Enfy Diana Dewi, dkk
Pemetaan Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Bencana Longsor di Kecamatan Karangkobar Kabupaten Banjarnegara (Ringkasan Eksekutif)
2014
Gedung Hearitage Lantai 3, Jalan Pattimura No 20 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 1
ADVIS SOSIAL, EKONOMI DAN LINGKUNGAN
" Pemetaan Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Bencana Longsor di Kecamatan Karangkobar Kabupaten Banjarnegara" Desember 2014
Pengarah : Ir. Lolly Martina Martief, MT Penanggung Jawab : Ir. Riana Suwardi, M.Si Penulis : Enfy Diana Dewi, ST, MUP Dr. Andi Suriadi Irwan Kusdaryanto, ST Dwi Rini Hartati, ST Nino Heri Setyoadi, S.Sos, M.Sc Masmian Mahida, S.Kom Ahmad Yusuf Aljunaid, SH, CES Suryawan Setianto, S.Sos Halleyana Tunjung Wratsari, SE Noordama, Amd Reinita Afif Aulia, ST
© 2014. Dipublikasikan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi dan Lingkungan (PUSLITBANG SOSEKLING) Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum
Untuk informasi lebih lanjut hubungi : PUSLITBANG SOSEKLING Gedung Heritage Lantai 3, Jalan Pattimura No 20 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 Phone +62 21 72784644, 72786483, Fax +62 21 72784644, 72786483 Website : http://sosekling.pu.go.id Email :
[email protected] 2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................................................................... 1 KATA PENGANTAR................................................................................................................................... 2 1. LATAR BELAKANG ............................................................................................................................ 3 2. TUJUAN DAN SASARAN PEMETAAN................................................................................................ 5 3. WAKTU PELAKSANAAN PEMETAAN ................................................................................................ 5 4. METODOLOGI .................................................................................................................................. 5 a. Lingkup Wilayah ......................................................................................................................... 5 b. Metode Pengumpulan Data ....................................................................................................... 6 5. GAMBARAN UMUM ........................................................................................................................ 8 a. Profil Kabupaten Banjarnegara .................................................................................................. 8 b. Profil Kecamatan Karangkobar................................................................................................. 11 c. Profil Desa-Desa Lokasi Pemetaan ........................................................................................... 12 d. Gambaran Kejadian Longsor Dan Dampaknya Terhadap Infrastruktur Di Lokasi Pemetaan .. 15 f. Gambaran Sosial Ekonomi Responden .................................................................................... 21 6. ANALISIS POLA PERMUKIMAN ...................................................................................................... 22 7. ANALISIS POLA PENGUNGSIAN ..................................................................................................... 24 8. ANALISIS POLA MITIGASI DAN ADAPTASI MASYARAKAT TERHADAP BENCANA LONGSOR ......... 25 a. Analisis Mitologi ....................................................................................................................... 25 b. Analisis Ekoliterasi: Pola Tanam Vs. Kerawanan ...................................................................... 26 c. Analisis Persepsi Terhadap Relokasi ........................................................................................ 27 d. Analisis Kapasitas Adaptasi ...................................................................................................... 28 e. Bentuk Mitigasi Dan Adaptasi Masyarakat .............................................................................. 29 9. ALTERNATIF TEKNOLOGI LITBANG UNTUK DAERAH RAWAN LONGSOR ...................................... 32 10. ANALISIS PARTISIPASI PEMELIHARAAN INFRASTRUKTUR ............................................................. 34 11. LESSON LEARNT PENANGANAN PENGUNGSI ................................................................................ 35 12. KESIMPULAN ................................................................................................................................. 37 13. REKOMENDASI .............................................................................................................................. 37
1
KATA PENGANTAR
Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu Kabupaten yang rawan lonsor di Jawa Tengah. Pada tanggal 12 Desember 2014 terjadi longsor besar yang menelan puluhan korban. Peristiwa ini dipicu oleh derasnya curah hujan yang terjadi pada bulan Desember 2014. Selain menewaskan korban, bencana ini juga merusak rumah penduduk serta melumpuhkan akses di wilayah setempat. Bantuan yang dibutuhkan lokasi bencana sangat banyak, mulai dari emergency response, relokasi penduduk, permukiman kembali, serta pendidikan kepada masyarakat mengenai mitigasi dan adaptasi terhadap rawan longsor. Puslitbang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan dalam rangka respon cepat terhadap bencana tanah longsor ini melaksanakan penelitian berupa pemetaan sosial, ekonomi dan lingkungan secara cepat untuk mengambil beberapa informasi yang diperlukan untuk persiapan rehabilitasi dan rekonstruksi. Data yang diperoleh dalam pemetaan dianalisis dari berbagai sudut pandang yaitu : analisis mitologi sosial, budaya masyarakat sekitar, analisis pola ekoliterasi berupa pola tanam dibandingkan dengan pemahaman masyarakat terhadap tingkat kerawanan terhadap longsor, analisis persepsi terhadap relokasi, analisis kapasitas adaptasi terhadap bencana longsor serta bentuk mitigasi dan adaptasi masyarakat di daerah bencana dan sekitarnya. Hasil dari pemetaan ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan masukan untuk relokasi penduduk, serta penanganan jangka panjang terhadap wilayah rawan longsor ini. Dokumen ringkasan eksekutif ini merupakan salah satu bentuk laporan hasil pemetaan yang dipublikasikan. Diharapkan dokumen ini dapat memberikan masukan terhadap pihak yang terkait.
Jakarta, Desember 2014 Tim Advis Puslitbang Sosekling
2
RINGKASAN EKSEKUTIF Laporan Survei Kegiatan Advis Pemetaan Sosial Ekonomi dan Lingkungan Penanganan Bencana Longsor di Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara
1. LATAR BELAKANG Bencana longsor Banjarnegara terjadi Jumat, 12 Desember 2014 pukul 18.00 WIB. Puncak bukit Telaga Lele luruh dalam waktu lima menitmenimpa Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara,yang berada tepat di lereng bukit. Bencana longsor terjadi pada saat cuaca cerah, dan gerimis ringan hanya terjadi sebentar pada pagi hari kejadian. Namun sehari sebelum bencana terjadi, Dusun Jemblung diguyur hujan deras pada tanggal 10 dan 11 Desember 2014 sehingga tanah jenuh dengan air dan akhirnya memicu longsor1. Peristiwa itu juga merusak sawah seluas 8 hektar dan 5 hektar kebun palawija2. Material longsoran bukit menutup jalan raya penghubung Pekalongan-Banjarnegara. Puncak bukit longsor menerjang perkampungan, menutup saluran sungai sepanjang 1 kilometer, lalu melompat ke badan jalan dengan ketinggian sekitar 50 meter dari sungai. Bencana ini menimbun 35 rumah dan 1 masjid yang berada di dalam area dusun seluas 25 hektar3.
Gambar 1.Longsor di Dusun Jemblung Sumber:http://www.antaranews.com/berita/469035/warg a-kejadian-longsor-berlangsung-sangat-cepat
Gambar 2. Material longsor di sungai Desa Ambal Sumber: Survey lapanganSosekling, 2014
1
Halimatus Sa'diyah, “Ini Analisis Penyebab Longsor Banjarnegara”,http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/15/ngmai6-ini-analisis-penyebablongsor-banjarnegara, diakses Kamis,18 Desember 2014 pukul 15.44 WIB 2 Riky Ferdianto,“Korban Longsor Banjarnegara Tambah Jadi 58 Tewas”, http://www.tempo.co/read/news/2014/12/15/173628731/Korban-Longsor-Banjarnegara-Tambah-Jadi-58Tewas, diakses Rabu,17 Desember 2014 pukul18.05 WIB 3 Sohirin, “Longsor Banjarnegara, 5 Menit yang Menenggelamkan”, http://www.tempo.co/read/news/2014/12/14/173628413/Longsor-Banjarnegara-5-Menit-yangMenenggelamkan, diakses Rabu,17 Desember 2014 pukul 17.26 WIB.
3
Selain bencana longsor yang terjadi di Dusun Jemblung, terdapat beberapa kejadian longsor lain di Kabupaten Banjarnegara yang menyebabkan terputusnya akses beberapa ruas infrastruktur jalan. Namun sebagian dapat segera ditangani,diantaranya adalah di Tunggoro dan jalur Banjarnegara-Karangkobar. Sementara itu hingga hari Kamis, 18 Desember 2014, jalur Karangkobar – Wanayasa belum dapat dilewati karena kondisi longsor yang kian parah. Jalur kendaraan umum atau organda jurusan Wanayasa dan Kalibening atau Gambar 3. Longsor di jalan Banjarnegara-Karangkobar Pekalongan terpaksa berputar melalui jalan Sumber: Survey lapangan Sosekling, 2014 alternatif Desa Gripit Banjarmangu. Sedangkan jurusan Dieng bisa ditempuh lewat Kab. Wonosobo4. Terkait penanganan pasca bencana longsor tersebut, Pemkab Banjarnegara telah menyiapkan tiga opsi hunian sementara (huntara) bagi para korban yang saat ini masih tinggal di pengungsian, yakni menyewa rumah warga di wilayah terdekat, membuat bedeng-bedeng hunian dan mendirikan tenda besar seperti halnya para korban tanah longsor di Sijeruk. Namun opsi yang lebih manusiawi adalah menyewa rumah warga karena mempertimbangkan alasan keamanan dan privasi, serta kondisi huntara juga tidak akan kumuh5. Sebagai alternatif penanganan jangka panjang, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berencana melakukan transmigrasi lokal untuk warga yang bertempat tinggal di puluhan kecamatan yang rawan tanah longsor di Kabupaten Banjarnegara. Warga akan dipindahkan ke lokasi yang lebih aman atau jauh dari daerah bahaya bencana, namun masih dalam satu kabupaten. Dari 43 KK penduduk Dusun Jemblung, 22 KK perlu direlokasi sedangkan 21 KK seluruhnya meninggal. Pemkab Banjarnegara telah mempersiapkan lahan seluas 5.200 m2 di Desa Karanggondang berdasarkan hasil survei tim dari Kodim 9704 Banjarnegara. Beberapa warga menolak relokasi tersebut mengingat lokasinya yang cukup jauh dari tempat tinggal awal6.Alasan yang diungkapkan masyarakat adalah karena sudah merasa tinggal lama dan memiliki mata pencaharian di sana7. Berbagai kondisi dan upaya yang telah direncanakan oleh pemerintah perlu dicermati mengingat apapun upaya penanganan yang dilakukan akan menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan. Oleh karena itu, untuk meminimalkan dampak tersebut, diperlukan langkah awal berupa pemetaan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pemetaan tersebut yang menjadi lingkup advis yang dilaksanakan oleh Puslitbang Sosekling Balitbang Kementerian PU, sebagai bagian dari tugas dan fungsinya. 4
“Daerah Rawan Longsor Dipasangi Rambu” [Berita], Radar Banyumas, 18 Desember 2014, h. 19 S. Bowo Pribadi,“Relokasi Korban Tunggu Rekomendasi PVMBG”, http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/17/ngq9h9-relokasi-korban-tunggurekomendasi-pvmbg, diakses Kamis, 18 Desember 2014 pukul 16.58 WIB 6 “1 KK Dapat 100 Meter Persegi”, Radar Banyumas, 21 Desember 2014, p.1 7 Esthi Maharani, “Gubernur Jateng akan Pindahkan Warga Banjarnegara ke Lokasi Aman”, http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/15/ngmbw4-gubernur-jateng-akan-pindahkanwarga-banjarnegara-ke-lokasi-aman, diakses Kamis, 18 Desember 2014 pukul 16.35 WIB 5
4
2. TUJUAN DAN SASARAN PEMETAAN Tujuan advis pemetaan sosial ekonomi dan lingkungan penanganan bencana longsor Banjarnegara adalah: • •
Memetakan kondisi sosial ekonomi lingkungan dan infrastruktur di lokasi rawan bencana Memetakan sikap masyarakat terhadap permukiman dan lingkungan di lokasi lokasi rawan bencana
Sasaran advis pemetaan ini adalah untuk memberikan rekomendasi tentang kebutuhan teknologi dan upaya-upaya upaya yang harus dilakukan dalam penanganan dampak bencana longsor.
3. WAKTU PELAKSANAAN PEMETAAN Waktu pelaksanaan pemetaan selama 5 hari tanggal t 17 s/d 21 Desember 2014.. Pemetaan dilakukan pada masa tanggap darurat, sehingga terdapat beberapa keterbatasan survei lapangan, lapangan yaitu: •
Terbatasnya waktu di lapangan, karena lokasi okasi survei dan jalan ke lokasi rawan longsor saat hujan, sementara di Banjarnegara hujan turun setiap hari.
•
Terbatasnya akses karena jalan-jalan j disekitar lokasi difokuskan untuk evakuasi dengan sistem buka tutup. tutup
Gambar 4.. Sistem buka tutup lalu lintas di sekitar lokasi Sumber: Survey lapanganSosekling,, 2014
4. METODOLOGI a. LINGKUP WILAYAH
Gambar 5. Peta wilayah studi
5
Wilayah pemetaan meliputi Kecamatan Karangkobar dengan fokus pada 6 desa yang berbatasan langsung dengan lokasi longsor di Desa Sampang (gambar 5), yaitu: • Desa Karangkobar • Desa Ambal • Desa Slatri • Desa Paweden • Desa Gumelar • Desa Puwodadi Wilayah tersebut dipilih dengan pertimbangan sebagai berikut: o o o
Desa Sampang titik lokasi longsor yang relatif masih sibuk dengan kegiatan pencarian dan evakuasi korban Suasana psikologis yang masih tahap berduka, kurang mendukung jika dilakukan riset di lokasi setempat Untuk itu, dicari lokasi desa sekitar yang diasumsikan memiliki karakteristik sosial dan lingkungan relatif tidak jauh berbeda
b. METODE PENGUMPULAN DATA Secara umum metode pemetaan yang digunakan mengacu pada Pedoman Pemetaan Sosial Ekonomi dan Lingkungan Bidang Pekerjaan Umum (Permen PU No.05/PRT/M/2013). Pengumpulan data dikelompok dalam 2 teknik yaitu pengumpulan data sekunder dan primer. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara studi literatur dengan mengumpulkan referensi seperti peta dan dokumendari berbagai sumber, termasuk instansi pemerintah (BNPB, BPBD, Bappeda, Dinas PU dan Cipta Karya, BPS, serta DinasSDA dan ESDM), surat kabar, dan media elektronik.Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode perluasan jaringan aktor (actor network), sebagai berikut: • Wawancara mendalam dengan aktor-aktor kunci (key informant), diantaranya: Kepala Bappeda Kabupaten Banjarnegara, Kabid Fisik Prasarana Bappeda, Kepala Dinas SDA ESDM, Kepala Seksi di 6
Gambar 6.Koordinasi instansional dengan Bappeda Kab. Banjarnegara dan tim Wilayah I Ditjen Tata Ruang Sumber: Survey lapanganSosekling, 2014
Gambar 7. Wawancara dengan masyarakat Desa Karangkobar Sumber: Survey lapanganSosekling, 2014
• •
BPBD, Kepala Seksi di Dinas PU Cipta Karya, Camatt Karangkobar, para Kepala Desa, para Sekretaris retaris Desa, dan para Kepala Dusun masing-masing masing lokasi pemetaan (gambar 8) Penyebaran kuesioner pada sejumlah responden yang dianggap mewakili populasi masyarakat wilayah pemetaan Observasi lapangan dengan pengamatan langsung di lokasi
Gambar 8. Jaringan informan
Pemilihan responden dilakukan dengan teknik stratified random sampling, sampling dengan cara menghitung jumlah KK dari keenam desa tersebut, yakni 3.892.. Dengan jumlah tersebut, tersebut dilakukan pengambilan sampel dengan menggunakan Rumus Slovin, dengan tingkat kepercayaan 95% sehingga diperoleh jumlah sampel sebesar 103responden, 3responden, yang dibagi secara proporsional pada masing-masing masing desa. Responden terdiri dari masyarakat yang berada di sekitar wilayah desa terkena bencana bencana longsor, masyarakat pengungsi dan masyarakat yang tinggal di area rawan longsor. Berikut ini adalah jumlah KK setiap desa, jumlah sampel rencana, dan sampel realisasi setiap desa sebagai berikut: Tabel 1.. Sebaran jumlah sampel masing-masing desa lokasi pemetaan
No. 1 2 3 4 5 6
Nama Desa Desa Karangkobar Desa Purwodadi Desa Gumelar Desa Slatri Desa Ambal Desa Paweden TOTAL
Jumlah KK 1.270 629 302 670 628 393 3.892
Sampel Minimal KK 33 17 8 18 17 10 103
Sampel Realisasi 41 21 2 15 19 2 100
Keterangan
Tidak Terpenuhi *) Tidak Terpenuhi *) Tidak Terpenuhi *)
Sumber: Diolah dari hasil survey urvey lapangan Sosekling, 2014
Dalam alam pelaksanaannya, pelaksanaannya terdapat kendala terutama curah hujan yang tinggi dan sulitnya akses ke lokasi yang mengakibatkan jumlah sampel yang ditargetkan tidak tercapai. Target 103 jumlah sampel hanya dapat dipenuhi 100 responden. Khususnya di Desa 7
Slatri, Gumelar dan Paweden, tim tidak berhasil mendapatkan jumlah sampel yang memadai. Dengan pertimbangan efektivitas dan efisiensi pengumpulan data, tim dibagi menjadi 2 kelompok dengan pola penyebaran seperti dijabarkan pada gambar 9.
Gambar 9. Proses pengumpulan data primer Sumber: Diolah dari peta dasar BPS, 2011
5. GAMBARAN UMUM a. PROFIL KABUPATEN BANJARNEGARA Kabupaten Banjarnegara secara astronomi terletak di 7◦12’-7◦31’ LS dan 109◦20’109◦45’ BT. Dilihat dari ketinggiannya, Banjarnegara sebagian besar berada pada ketinggian 100-500 meter di atas permukaan air laut. Wilayah Banjarnegara meliputi luas 106.970,997 Ha dan terdiri dari 20 kecamatan. Berdasarkan bentuk tata alam dan sebarannya dapat digolongkan sebagai berikut: • • •
Bagian Utara terdiri dari daerah pegunungan relief bergelombang dan curam Bagian tengah terdiri dari wilayah datar Bagian Selatan terdiri dari wilayah dengan relief curam
8
Dilihat dari kemiringan lahan, wilayah Banjarnegara dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: • • •
Antara 0-15% : Susukan, Porworejo Klampok, Mandiraja, Purwanegara, Pagedongan, Bawang, Rakit. Antara 15-40% : Madukara, Banjarmangu, Wanadadi, adadi, Punggelan, Karangkobar, Pagentan, Wanayasa, Kalibening. Lebih dari 40% : Susukan, Banjarnegara, Sigaluh, Banjarmangu, Pejawaran, Batur.
Menurut peta rawan longsor dinas PU Banjarnegara, di seluruh wilayah kabupaten hanya 8% yang merupakan wilayah yang yang tidak rawan. Sebagian besar wilayah yang tidak termasuk rawan bencana longsor berada di kecamatan Punggelan dan kecamatan Rakit. Sedangkan 30% wilayahnya dinyatakan berada pada zona rawan longsor dan 2% sangat rawan longsor (gambar 10 dan 11).
Gambar 10.. Peta tingkat kerawanan longsor Kabupaten Banjarnegara Sumber: diolah dari peta Dinas PU Kabupaten Banjarnegara, Banjarnegara 2014
Gambar 11.. Prosentase zona rawan longsor Kabupaten Banjarnegara Sumber: diolah dari peta rawan longsor Dinas PU Banjarnegara
9
Kondisi rawan tersebut terbukti dengan banyaknya kejadian-kejadian tanah longsor di kabupetan ini sepanjang sejarah. Pada tahun 2014 saja, telah terjadi 5 kejadian tanah longsor selama musim penghujan (gambar 12).
Gambar 12. Peta kejadian longsor di Kabupaten Banjarnegara Sumber: diolah dari data BPBD Kabupaten Banjarnegara 2011-2014 dengan peta dasar BPS, 2011
10
b. PROFIL KECAMATAN KARANGKOBAR Kecamatan Karangkobar meliputi luas wilayah 39.07 km2 dan terdiri dari 13 desa, di mana seluruh desa di Kecamatan Karangkobar memiliki daerah rawan longsor karena terdapat zona yang bergerak akibat adanya patahan atau pergeseran batuan induk pembentuk tanah8.Wilayah kecamatan inisecara umum merupakan wilayah yang berada pada zona oranye, atau zona rawan longsor. 73% dari seluruh wilayah Kecamatan Karangkobar merupakan area rawan longsor, dan hanya 7% saja yang tergolong kurang rawan longsor, sisanya atau 20% merupakan area agak rawan. Menurut data dinas PU, Kecamatan Karangkobar tidak memiliki wilayah yang tidak rawan longsor (gambar 13).
Gambar 13. Peta daerah rawan bencana dan sebaran permukiman Kecamatan Karangkobar Sumber: diolah dari data Dinas PU Kabupaten Banjarnegara, 2014
Jenis Tanah Karangkobar terdiri dari adalah 58% Latosol dan 42% Grumusol yang bertekstur lempung. Tanah latosol merupakan jenis tanah yang rentan longsor karena sifatnya yang kurang padat dan mudah mengalami pelapukan. Namun, tanah ini sangat cocok untuk pertanian dengan tingkat kesuburan sedang sampai tinggi. Sedangkan tanah grumusol merupakan jenis tanah dengan permeabilitas tanah ini lambat9. Pola permukiman di Kecamatan Karangkobar merupakan pola permukiman menyebar. Pola permukiman semacam ini memang umum terbentuk di dataran tinggi seperti di 8
Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan Permukiman Daerah (RP4D) Kabupaten Banjarnegara tahun 2014 9 Peta tanah, Dinas PU Kabupaten Banjarnegara, 2014
11
Kecamatan Karangkobar yang memiliki ketinggian sekitar 800 sampai dengan 900 m diatas muka air laut, serta wilayah yang memiliki relief yang terjal serta terisolir. Penduduk di Kecamatan Karangkobar cenderung mencari daerah yang dianggap oleh mereka layak menjadi permukiman dan mereka bermukim secara terpusat di titik-titik tersebut (gambar 13). Jika dilihat dari data yang ada, ada kemungkinan ketidakpahaman masyarakat di wilayah ini akan bahaya wilayah rawan bencana karena titik-titik permukiman berada pada zona yang dinyatakan rawan bencana longsor. Sedangkan zona yang agak dan kurang rawan cenderung menjadi area pertanian (gambar 14). Permukiman di Karangkobar yang terbesar berada di Desa Leksana dan Desa Karangkobar.Hal tersebut sejalan dengan data yang menyatakan bahwa Desa Karangkobar merupakan desa dengan kepadatan penduduk yang paling tinggi dari desa wilayah studi yang lain, sedangkan Desa Leksana tidak termasuk salah satu wilayah studi dalam pemetaan ini.
Gambar 14. Peta tata guna lahan Kecamatan Karangkobar Sumber: diolah dari data Dinas PU Kabupaten Banjarnegara, 2014
c. PROFIL DESA-DESA LOKASI PEMETAAN Masing-masing desa dalamwilayah studi meliputi luas wilayah yang relatif samayaitu sekitar 200 Ha, kecuali desa Slatri (468 ha) dan Desa Paweden (383 Ha). Namun luas wilayah tersebut tidak berbanding lurus dengan jumlah penduduknya. Di Desa Karangkobar yang luasnya hanya 260 ha, ditinggali lebih dari dua kali lipat rata-rata jumlah penduduk di desa lainnya, yaitu 4.910 jiwa (gambar 15). Hal ini dikarenakan desa Karangkobar cenderung lebih dekat dengan pusat kecamatan dan memiliki daerah datar yang lebih luas, sehingga dianggap lebih aman dari longsor. Hal ini perlu mendapat 12
perhatian karena jika dilihat dari peta rawan longsor Kabupaten Banjarnegara (Dinas ( PU), ), dua desa di wilayah studi yang memiliki kepadatan tertinggi tertinggi yaitu Karangkobar dan Purwodadi berada di zona oranye (sesuai legenda peta) atau berada dalam zona rawan (gambar 16).
Gambar 15.. Perbandingan luas wilayah dan jumlah penduduk di lokasi pemetaan Sumber: Analisis Puslitbang Sosekling, 2014
Gambar 16. Peta Tingkat Rawan Longsor Wilayah Studi Sumber: diolah dari data Dinas PU Kabupaten Banjarnegara, Banjarnegara 2014
Tingkat pendidikan di wilayah studi masih relatif rendah, yaitu mayoritas lulus SD dan tidak sekolah (gambar 17). 1 . Hanya sebagian kecil saja yang mengenyam pendidikan SMP dan SMA.Dari seluruh wilayah studi, hanya desa Karangkobar saja yang memiliki cukup banyak sumber daya manusia dengan tingkat pendidikan tinggi (182 orang). orang) Rendahnya tingkat pendidikan idikan ini sangat mungkinmempengaruhipemahaman masyarakat terkait upaya mitigasi dan adaptasi yang sesuai terhadap tingkat kerawanan longsor tempat tinggalnya.
13
Gambar 17. Peta Sebaran jumlah penduduk dan tingkat pendidikan Sumber: diolah dari Kecamatan Karangkobar dalam Angka, 2014
Penduduk di wilayah studi rata-rata bermata pencaharian sebagai petani baik petani palawija maupun holtikultura. Sebagian besar penduduk yang bertani tersebut juga memiliki hewan ternak. Pertanian palawija menjadi sumber mata pencaharian dominan di Desa Purwodadi dan Ambal. Sementara pertanian holtikutura menjadi mata pencaharian mayoritas penduduk Gumelar. Di Desa Slatri, petani holtikultura dan petani palawija berimbang jumlahnya.
Gambar 18. Peta Kepadatan Penduduk dan Mata Pencaharian Penduduk Wilayah Studi Sumber: diolah dari Kecamatan Karangkobar dalam Angka, 2014
14
Secara umum, komoditas unggulan di lokasi pemetaan adalah salak, jagung, dan padi (gambar 19). Tanaman salak merupakan tanaman holtikultura dengan produksi dominan di empat desa yaitu Gumelar, Ambal dan Paweden. Tanaman jagung merupakan komoditas dominan di desa Karangkobar, sedangkan sedangkan padi dominan di desa Purwodadi.
Gambar 19. Produksi holtikultura di lokasi pemetaan Sumber: Analisis Puslitbang Sosekling, 2014
d. GAMBARAN KEJADIAN LONGSOR DAN DAMPAKNYA TERHADAP INFRASTRUKTUR DI LOKASI PEMETAAN Dilihat dari dampaknya terhadap infrastruktur, kejadian longsor di lokasi pemetaan terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
Tebing Longsor menutup badan jalan Longsoran tipe ini terjadi di beberapa lokasi, diantaranya jalan Desa Karangkobar dan jalan propinsi di Desa Slatri.
Gambar 20.. Tebing longsor di jalan Dusun Diwek Desa Karangkobar Sumber: Survey lapangan Puslitbang Sosekling, 2014
15
Seperti tampak pada gambar 20,, longsoran tebing menutup sebagian badan jalan yang menghubungkan Karangkobar dengan Dusun Diwek. Sebagai dampaknya, mobilitas warga cukup terganggu terganggu karena jalan tersebut merupakan satu-satunya satu akses menuju pusat-pusat pusat pusat layanan (kesehatan, pasar, dan sekolah menengah) di Kecamatan Karangkobar. Menurut Kades Karangkobar longsoran semacam ini cukup sering terjadi pada musim hujan dan biasanya segera dibersihkan dengan bekerja bakti membersihkan material longsoran dari badan jalan.
Tebing longsor memutus jaringan air bersih
Gambar 21.. Tebing longsor di Dusun Diwek, Desa Karangkobar Sumber: Survey lapangan Puslitbang Sosekling, 2014
Longsoran tebing yang memutuskan saluran pipa air bersih terjadi di banyak lokasi di Kecamatan Karangkobar. Mayoritas warga memperoleh air bersih dari sumber air yang dialirkan dengan pipa (diantaranya melalui program PAMSIMAS). PAMSIMAS) Kejadian longsor mengakibatkan suplai air bersih terganggu. Di beberapa lokasi, seperti Desa Ambal, pipa dapat segera diperbaiki secara swadaya oleh masyarakat, sehingga warga hanya mengalami krisis air beberapa hari. Namun ada pula lokasi lain, seperti Dusun Tanggapan apan Desa Slatri, yang terpaksa membuat jaringan perpipaan baru dari sumber mata air lain yang diperkirakan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan warga seperti biasanya.
16
Tebing longsor menimpa rumah
Gambar 22. Rumah tertimpa longsor di Dusun Diwek Sumber : Survey lapangan Puslitbang Sosekling, 2014
Tebing longsor menimpa rumah terjadi di Dusun Diwek menghancurkan dua rumah warga di dua lokasi yang berjarak sekitar 50 meter. Dalam wawancara dengan Bapak Juned, salah satu pemilik rumah yang terkena longsoran, longsor terjadi sehari sebelum kejadian Dusun Jemblung. Untuk sementara Pak Juned dan keluarganya mengungsi di rumah saudaranya yang juga terletak di Dusun Diwek.
Tebing longsor di daerah pertanian dekat permukiman
Gambar 23. Tebing longsor di Dusun Diwek atas, Desa Karangkobar Sumber: Survey lapangan Puslitbang Sosekling, 2014
17
Tebing yang longsor di daerah pertanian/ladang warga terjadi di beberapa lokasi di Desa Karangkobar. Salah satunya di dusun Diwek atas. Tebing yang kini gundul (gambar 23), tadinya ditanami berbagai tanaman termasuk pohon albasia.Namun ketika terjadi hujan deras sehari semalam, pepohonan tersebut tidak kuat untuk menahan tanah dan ikut longsor ke bawah. Di dekat lokasi longsornya tebing, tanah turun kurang lebih 20 cm dan hanya berjarak 2 meter dari dinding rumah. Rumah tersebut memang tidak jauh dari pinggir tebing hanya berjarak sekitar 5 meter. Pemilik rumah di sekitar tebing khawatirakan terjadi longsor susulan dan mengosongkan rumahnya untuk mengungsi ke rumah saudaranya yang sebetulnya juga rawan karena hanya berjarak beberapa rumah dari lokasi.
Badan jalan ambles Jalan ambles terjadi di beberapa lokasi di desa Karangkobar, yaitu di jalan desa menuju Dusun Diwek dan jalan yang baru dibangun dengan program PPIP (Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan) tahun 2012 di Dusun Gayam.
Gambar 24. Amblesan di jalan menuju Dusun Diwek Sumber: Survey lapangan Puslitbang Sosekling, 2014
18
Amblesan di jalan Desa Karangkobar ada yang memanjang dan melintang badan jalan. Penurunan terjadi sekitar 10 cm dan panjang sekitar 10 m. Jalan ini merupakan jalan akses dari Dusun Diwek ke pusat Desa Karangkobar dan pusat kecamatan. Jalan ini terletak di daerah pertanian di mana pada satu sisi terdapat tebing dan di sisi lain terdapat jurang, dan tanpa penerangan jalan, sehingga amblesan mungkin menyebabkan rawan kecelakaan.
Gambar 25. Jalan lingkungan ambles di Dusun Gayam Sumber: Survey lapangan Puslitbang Sosekling, 2014
Gambar 26. Jalan ambles di lereng Dusun Gayam Sumber: Survey lapangan Puslitbang Sosekling, 2014
Jalan PPIP di Dusun Gayam longsor di 2 titik. Satu titik di dekat kolam ikan milik warga (gambar 25) dan satu lagi di lereng (gambar 26). Di titik pertama, separo badan jalan longsor dan pohon di sekitarnya ikut tumbang. Menurut informasi warga sekitar, kemungkinan air kolam merembes dan melunakkan tanah di bawah badan jalan, dan akar pohon yang tumbang semakin memperparah kerusakan jalan. Longsor di titik kedua disebabkan longsornya lereng yang menyangga badan jalan. Tutupan lereng penyangga jalan hanya pohon kecil dan semak belukar, sama sekali tidak diberi struktur penguat tebing. Di bawah lereng tersebut terdapat sungai kecil dengan arus cukup deras. Menurut keterangan warga setempat, bila hujan sangat deras, air sungai naik membanjiri sekitarnya. Kemungkinan hal ini yang menyebabkan lereng lebih mudah longsor. Jalan ini sama sekali tidak dapat dilalui sehingga warga sekitar harus mengambil jalan berputar melewati dusun lain.
Retak pada bangunan rumah Pergeseran tanah yang menyebabkan keretakan pada bangunan rumah terjadi di beberapa lokasi, diantaranya di 2 rumah yang berjarak 100 m di Dusun Klesem, Desa Ambal (gambar 27), dan 2 rumah yang bersebelahan di Dusun Gayam, Desa Karangkobar (gambar 28).
19
Gambar 27. Rumah-rumah retak di Dusun Klesem, Desa Ambal Sumber: Survey lapangan Puslitbang Sosekling, 2014
Kedua rumah yang berada di lereng di Dusun Klesem masih ditinggali sementara retakannya ditutup dengan tambalan sederhana. Rumah pertama mengalami retak di dinding belakang dan patah pada kolom penyangga atap yangditutup dengan karung goni. Pemilik rumah masih tinggal di rumah tersebut meskipun khawatir kondisi rumah akan semakin parah bila hujan deras karena tidak tahu harus pindah kemana. Bagian belakang rumah berbatasan dengan tepi tebing. Rumah kedua retak sepanjang lantai rumah. Retakan selebar 10 cm telah ditutup plesteran. Pemilik rumah tetap tinggal di rumah tersebut dengan kedua orang tuanya, karena suaminya sedang bekerja di luar kota. Rumah tersebut berada di depan tebing dengan saluran drainase yang baru sebagian diperkeras dengan program PNPM. Pemilik rumah bersedia pindah bila tidak jauh dari kampung asalnya.
Gambar 28. Rumah retak yang sudah dibongkar di Dusun Gayam, Desa Karangkobar Sumber: Survey lapangan Puslitbang Sosekling, 2014
Kedua rumah yang retak di Dusun Gayam langsung dibongkar secara gotong royong oleh warga. Kedua rumah yang bersebelahan berada pada ketinggian yang berbeda 1 meter. Para pemilik rumah telah mengungsi ke rumah keluarganya tidak jauh dari lokasi.
20
e. GAMBARAN SOSIAL EKONOMI RESPONDEN Responden dari 6 desa di Kecamatan Karangkobar berjumlah 100 orang, 66 laki-laki dan 34 perempuan.Umur rata-rata responden adalah 41 tahun. Responden terbanyak berada pada rentang umur 31 sampai dengan 40 tahun sebanyak 31 orang (gambar 29). Responden termuda berumur 18 tahun dan responden tertua berumur 90 tahun. Tingkat pendidikan responden cukup beragam, namun mayoritas responden yang merupakan penduduk asli Kecamatan Karangkobar adalah lulusan SD dengan jumlah 54 orang (gambar 30). Lulusan perguruan tinggi berjumlah 4 orang dan mayoritas dari lulusan perguruan tinggi bekerja sebagai guru SD di Kecamatan Karangkobar.
Gambar 29. Rentang umur responden Sumber : analisis Puslitbang Sosekling, 2014
Gambar 30. Tingkat pendidikan responden Sumber : analisis Puslitbang Sosekling, 2014
Mayoritas responden adalah penduduk asli (85 orang) dan jumlah pendatang 15 orang. Yang disebut pendatang sebagian besar merupakan pindahan dari desa tetangga dalam satu Kecamatan Karangkobar atau berasal dari kecamatan tetangga. Sebagian besar responden memiliki jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam 1 rumah yang bervariasi dengan mayoritas 3-5 orang (gambar 31). Jumlah anggota keluarga tersebut secara rata-rata menempati rumah seluas 95 m2(gambar 32). Luas rumah minimum 20 m2 dan luas rumah terbesar 350 m2.
Gambar 31 Jumlah anggota keluarga responden
Gambar 32 Luas rumah responden
21
Sesuai dengan profil keenam desa wilayah studi secara umum, mata pencaharian responden pun mayoritas adalah petani, baik petani ladang maupun petani sawah, baik sebagai pemilik lahan maupun buruh tani (gambar 33). Sebagai petani, komoditas utama yang ditanam oleh responden adalah jagung dan salak.
Gambar 33 Mata pencaharian responden
Gambar 34 Komoditas utama
6. ANALISIS POLA PERMUKIMAN Bentuk fisik permukiman di wilayah pemetaan didominasi konstruksi permanen kecuali di Desa Gumelar (gambar 35) dengan dinding batadan atap gentengserta desain vernakular (gambar 36). Khusus di Dusun Diwek, Desa Karangkobar, sebagian rumah dibangun dengan desain modern minimalis. Hal ini disebabkan mayoritas pemuda Dusun Diwek merantau ke kota besar sebagai tukang bangunan sehingga membawa bentuk arsitektural baru ketika membangun rumah di kampung halaman (gambar 37).
Gambar 35. Peta jenis bangunan rumah dan jumlah penduduk miskin
22
Gambar 36. Bentuk mayoritas rumah di lokasi pemetaan
Gambar 37. Rumah berasitektur modern minimalis di Dusun Diwek, Desa Karangkobar
Rumah yang terletak di lereng sebagian besar diperkuat dengan susunan batu kosong (gambar 38), meskipun di banyak lokasi masih ada lereng yang tidak diperkuat secara struktural (gambar 39). Karena sebagian besar lokasi permukiman terletak di daerah lereng, banyak permukiman yang berada lebih rendah dari jalan.
Gambar 38. Perkuatan bata kosong pada rumah di lereng
Gambar 39. Rumah di atas tebing tanpa perkuatan dinding tebing
Dilihat dari sebarannya, permukiman di lokasi pemetaan lebih padat di daerah yang cenderung lebih datar atau lereng yang lebih landai. Di lokasi yang lebih padat, jarak antar rumah hanya berkisar 1 – 2,5 meter. Hal ini disebabkan karena anak yang sudah bekeluarga biasanya membangun rumah sangat dekat dengan rumah orang tua.
23
Gambar 40. Kepadatan permukiman di Dusun Klesem, Desa Ambal dan Dusun Diwek Desa Karangkobar
Sebagian besar permukiman terpisah dari lahan pertanian/ladang. Ladang biasanya terletak di lereng yang lebih curam atau justru di lembah landai di bawah permukiman. Jarak antara lahan pertanian dan permukiman bervariasi sampai sekitar 1 km.
Gambar 41. Lahan pertanian Desa Gumelar
Gambar 42. Persawahan di Desa Ambal
Pola permukiman ini dipengaruhi oleh dua hal yaitu: pola mata pencaharian dan kekerabatan. Mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani ladang dan mereka bermukim secara mengumpul di suatu lokasi sementara ladang yang dimiliki berada di lokasi lain. Secara kekerabatan, masyarakat lokasi pemetaan cenderung untuk membangun rumah di sekitar rumah orang tua atau saudara dekatnya.
7. ANALISIS POLA PENGUNGSIAN Analisis Pola Pengungsian Jumlah pengungsi di Kabupaten Banjarnegara sebanyak 2.038 jiwa, yang tersebar di empat kecamatan. Masing-masing di Kecamatan Karangkobar 1.255 jiwa, Kecamatan Punggelan 613 jiwa, Kecamatan Banjarmangu 50 jiwa, dan Kecamatan Wanayasa 120 jiwa10. Terdapat beberapa pola hunian sementara pengungsi longsor Banjarnegara, yaitu:
10
Joko Sadewo, “Uang Sewa dan Jaminan Hidup Setahun untuk Korban Longsor” http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/21/ngxkot-uang-sewa-dan-jaminan-hidup-setahununtuk-korban-longsor Sabtu, 3 Januari 2015 pukul 13.45 WIB
24
1. Fasilitas Publik Penduduk di sekitar desa Sampang yang wilayahnya memiliki potensi longsor tinggi mengungsi ke berbagai fasilitas publik seperti Kantor Kecamatan dan sekolah di Desa Karangkobar. Makanan dan logistik untuk memenuhi kebutuhan dasar pengungsi disediakan oleh pemerintah. 2. Rumah saudara Pengungsi dari daerah rawan longsor banyak yang memilih untuk tinggal sementara di rumah saudaranya. Ketika pagi atau siang hari mereka kembali ke rumah dan pekerjaaan masing-masing, namun ketika malam hari atau cuaca hujan deras mereka tinggal di rumah saudara mereka. Lamanya mereka tinggal di rumah saudara antara ½ - 3 hari. 3. Rumah Sewa Pemerintah Kabupaten Banjarnegara telah menyewakan hunian sementara (huntara) bagi korban longsor di Dusun Jemblung. Rumah sewa tersebut merupakan rumah penduduk di sekitar lokasi Desa Sampang yang dianggap lebih aman, yaitu di Desa Ambal dan Desa Karanggondang. Umumnya, rumah yang disewa tersebut adalah rumah yang ditinggal merantau oleh pemiliknya. 8. ANALISIS POLA MITIGASI DAN ADAPTASI MASYARAKAT TERHADAP BENCANA LONGSOR a. ANALISIS MITOLOGI Setiap kelompok masyarakat yang berdiam di satu kawasan memiliki sistem sosial budaya dan sistem kepercayaan masing-masing. Seperti pendapat yang disampaikan sebagian responden di desa-desa sekitar kejadian bencana, bahwa bencana longsor yang terjadi tidak terlepas dari perilaku masyarakat korban itu sendiri. Menurut mereka, Tuhan tidak akan menurunkan azabnya jika masyarakat masih dekat kepada-Nya. Hal ini yang mendasari sebagian besar warga tetap bertahan tinggal di lokasi yang sebetulnya sangat rawan longsor. Terkait dengan kejadian di Dusun Jemblung, sebagian responden juga menyampaikan bahwa secara logika awam permukiman Dusun Jemblung seharusnya tidak terkena longsoran bukit Telaga Lele karena jaraknya yang cukup jauh sekitar 800 meter. Namun pada kenyataannya, longsoran tersebut seakan-akan “terbang” hingga menimpa Dusun Jemblung. Hal ini dikuatkan dengan fakta bahwa sebuah rumah milik guru ngaji yang berada di tengah permukiman itu masih utuh, meskipun sekitarnya seluruhnya tertimbun. Pendapat serupa disampaikan oleh salah seorang responden dari Dusun Tanggapan Desa Slatri yang saudaranya ikut menjadi korban longsor saat bertamu ke Dusun Jemblung. Responden tersebut bercerita bahwa terdapat perbedaan mencolok antara mayat korban yang merupakan penduduk asli Dusun Jemblung dengan mayat korban yang bertamu atau pelintas. Mayat korban yang bukan penduduk asli ditemukan dalam keadaan utuh berpakaian, sedangkan mayat korban khususnya wanita di Dusun Jemblung ditemukan dalam keadaan tanpa busana. Menurut beberapa informan terjadinya longsor di Dusun Jemblung tidak terlepas dari mulai munculnya perilaku masyarakat yang mengarah pada hal-hal yang dilarang oleh Tuhan, seperti judi sabung ayam, minum-minuman keras, dan hiburan malam/karaoke. Meskipun pada umumnya warga Dusun Jemblung adalah Islam, perilakunya sudah mulai dianggap melenceng dari
25
ajaran agama yang sebenarnya. Oleh karena itu, kejadian longsor tersebut dianggap sebagai peringatan, supaya mereka kembali jalan yang benar. Selain itu, menurut beberapa informan, dalam peristiwa tanah longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, sebenarnya ada “tanda” yang berbeda dari biasanya. Beberapa hari sebelum bencana, banyak muncul ikan lele di sungai yang tidak seperti biasanya. Hal ini kemudian dikait-kaitkan oleh sebagian warga yang masih mempercayai mitos adanya kerangka ikan lele yang hidup di Telaga Lele di puncak bukit.
b. ANALISIS EKOLITERASI: POLA TANAM VS. KERAWANAN Sebagai masyarakat agraris, masyarakat di lokasi pemetaan tidak bisa melepaskan ketergantungan pada sektor pertanian dan perkebunan. Namun mengingat keterbatasan lahan pertanian sawah, menyebabkan orientasi pertanian mayoritas masyarakat mengarah pada pemanfaatan lereng-lereng pegunungan dengan tanaman pola semusim. Untuk tanaman semusim, yang dominan ditanam adalah jagung, salak, cabe, padi,dan kubis. Hal tersebut terkait dengan tingkat penghasilan yang diperoleh seperti yang disampaikan oleh sebagian besar responden sebagai berikut: o
No. I. 1. 2. 3. 4. 5. II. 6. III. 7.
Uraian Pengeluaran Bibit Pupuk Telek (Ayam) Pupuk Kandang (Sapi) Pupuk TS Urea Penghasilan Kotor Panen Penghasilan Bersih per panen II – I o
No. I. 1. 2. 3.
Jagung Tanaman jagung selain untuk dijual, juga menjadi makanan pokok bagi sebagian masyarakat, yang dikenal dengan istilah sega jagung. Sebagai contoh analisis usaha jagung salah seorang petani dengan luas lahan 0,3 ha dengan tenaga sendiri dapat dilihat pada bagan berikut ini. Vol
Unit
Harga
15 10 20 3 2
kg ktg ktg ktg ktg
1 kg = Rp 5.000 1 ktg = Rp 25.000 1 ktg = Rp 15.000 1 ktg = Rp 130.000 1 ktg = Rp 120.000
7.000
kg
1 kg = Rp 4.000
28.000.000 – 1.255.000
Total 75.000 250.000 300.000 390.000 240.000 28.000.000 26.745.000
Cabe Untuk tanaman cabe, salah seorang informan dengan menjelaskan hasil usaha tani mereka dengan luas 0,3 ha dan dikerjakan sendiri. Uraian Pengeluaran Bibit Pupuk Telek (Ayam) Pupuk Kandang (Sapi)
Vol
Unit
Harga
7.000 60 40
btg ktg ktg
1 btg = Rp 250 1 ktg = Rp 25.000 1 ktg = Rp 15.000
26
Total 1.750.000 1.500.000 600.000
4. 5. II. 6. III. 7.
No. I. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
II. 6. III. 7.
Pupuk TS Urea Penghasilan Kotor Panen
4 4
ktg ktg
1 ktg = Rp 130.000 1 ktg = Rp 120.000
250
kg
7 kali panen (max) 1 kg = Rp 50.000
520.000 480.000
87.500.000 Penghasilan Bersih per panen II – I 87.500.000 - 4.850.000 82.650.000 o Kubis Untuk tanaman kubis, salah seorang informan menyatakan bahwa untuk luas 0,3 ha yang dikerjakan dengan tenaga sendiri memperoleh keutungan sebagai berikut: Uraian Pengeluaran Bibit Pupuk Telek (Ayam) Pupuk Kandang (Sapi) Pupuk TS Urea Obat - Hanora - Saromil - Dakunil Penghasilan Kotor Panen Penghasilan Bersih per panen II – I
Vol
Unit
Harga
5 30 75 5 5
pak ktg ktg ktg ktg
1 pak = Rp 60.000 1 ktg = Rp 25.000 1 ktg = Rp 15.000 1 ktg = Rp 130.000 1 ktg = Rp 120.000
300.000 750.000 1.125.000 650.000 600.000
1 15 3
btl btr btl
1 btl = Rp 200.000 1 btr = Rp 30.000 1 btl = Rp 80.000
200.000 450.000 240.000
15.000
kg
1 kg = Rp 4.000
60.000.000 – 4.315.000
Total
60.000.000 55.685.000
Besarnya keuntungan yang diperoleh petani menyebabkan sebagian dari mereka melupakan bahwa pola tanam semusim di lereng pegunungan dengan kemiringan tertentu justru sangat berbahaya dan tidak ramah lingkungan. Bahkan muncul anggapan bahwa tanaman produktif merupakan tanaman pelindung dan kuat menahan tanah. Meskipun demikian, tidak dapat diingkari bahwa sebagian masyarakat sudah melakukan upaya untuk melindungi permukiman mereka dari ancaman bencana longsor antara lain dengan menanam tanaman keras seperti albasia.
c. ANALISIS PERSEPSI TERHADAP RELOKASI Interaksi di antara masyarakat serta hubungan dengan lingkungan sekitarnya menyebabkan terciptanya ikatan yang khas. Selain itu, durasi terbentuknya pola permukiman tersebut pada umumnya sudah lama turut membentuk sikap masyarakat terhadap permukimannya. Meskipun sebagian mereka bermukim di daerah yang rawan longsor, ternyata sikap mereka masih dominan enggan untuk pindah atau relokasi. Hal ini terlihat pada jawaban responden sebanyak 52 % tidak mau pindah dan kalaupun harus pindah harus dengan memenuhi berbagai syarat sebesar 44 %. Untuk melihat perbedaan sikap masyarakat terhadap relokasi, dapat dilihat pada Gambar 43.
27
Gambar 43. Sikap responden terhadap relokasi Sumber: Diolah dari data lapangan, 2014
Sebagian responden yang menyatakan akan pindah dengan syarat dapat dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama, syarat yang diajukan adalah mereka dipindahkan tidak jauh dari lokasi semula, yaitu tidak lebih dari 2 km dengan akses yang mudah dijangkau. Kedua, jika pun n lokasinya jauh maka syarat yang harus dipenuhi adalah mereka dipindahkan bersama dengan lahan pertaniannya. Sebagian responden yang menyatakan tidak mau pindah, menyampaikan keengganan untuk pindah juga tidak terlepas dari adanya hubungan atau ikatan dengan para tetangga. Sebagai masyarakat perdesaan yang membentuk permukiman mereka berdasarkan ikatan hubungan keluarga ternyata hingga saat ini tidak banyak berubah. Berdasarkan jawaban responden, dominan menyatakan bahwa hubungan dengan tetangga masih memiliki memiliki ikatan kekeluargaan sebesar 88 % dan hanya 8 % yang menjawab karena kesamaan pekerjaan. Secara lengkap proporsi jawaban responden terhadap hubungannya dengan tetangga dapat dilihat pada gambar ambar 44.
Gambar 44. Hubungan kekerabatan dengan tetangga Sumber: Diolah dari data lapangan, 2014
d. ANALISIS KAPASITAS ADAPTASI Meskipun masyarakat dominan tidak mau pindah, bukan berarti mereka tidak memiliki kekhawatiran terhadap bencana tanah longsor. Setiap musim penghujan tiba, tingkat 28
ekhawatiran masyarakat juga semakin tinggi. Beberapa kejadian di masa lalu dan kekhawatiran peristiwa yang terjadi di akhir tahun 2014 menyebabkan masyarakat senantiasa khawatir terutama jika hujan turun dalam waktu yang cukup lama. Berdasarkan jawaban responden, ternyata ternyata tingkat kehawatiran terhadap bencana tanah longsor masih tinggi. Responden yang menjawab sangat khawatir sebesar 59 %, sedangkan yang menjawab agak khawatir sebesar 26 %. Meskipun demikian, yang unik adalah adanya responden yang menjawab tidak khawatir khawa sebesar 14 %. Ketidakkhawatiran ini dimungkinkan karena posisi hunian yang dianggap jauh dari titik-titik titik longsoran, kepasrahan kepada Tuhan atas kondisi lingkungan permukiman yang dikelilingi oleh perbukitan dan kepercayaan bahwa bencana longsor tidak akan menimpa pada orangorang orang yang taat dan patuh pada Tuhan. Untuk melihat proporsi jawaban responden terhadap tingkat kekhawatiran terhadap bencana tanah longsor, dapat dilihat pada gambar 45.
Gambar 45. Tingkat kekhawatiran terhadap bencana Sumber: Diolah dari data lapangan, 2014
e. BENTUK MITIGASI DAN ADAPTASI MASYARAKAT Kondisi alam yang rawan bencana di Kec. Karangkobar menyebabkan warga berusaha mengembangkan pola mitigasi dan adaptasi sesuai dengan kemampuannya yang diselarasakan asakan dengan lingkungan sekitar. Berdasarkan hasil observasi lapangan ada beberapa bentuk upaya mitigasi yang dikembangkan oleh warga. Pertama,, membuat tanggul/bronjong. Pola ini dilakukan karena kawasan permukiman mereka sebagian besar berada pada lereng pegunungan. Pembuatan tanggul/bronjong ini memiliki dua tipe, yakni yang bersifat komunal dan individual. Turap/tanggul yang bersifat komunal dibuat untuk melindungi sebagian besar atau beberapa rumah yang ada di bawah lereng. Tipe yang bersifat komunal ini ada beberapa yang sudah menggunakan perekat semen dan sebagian masih merupakan susunan batu gunung atau batu kali. Sedangkan yang bersifat individual dominan masih menggunakan susunan batu gunung atau batu kali.
29
Gambar 46. Tanggul/bronjong buatan warga
Kedua,, pembuatan drainase. Pola mitigasi ini dilakukan untuk mengalihkan derasnya air yang mengalir dari pengunungan. Saluran drainase tersebut umumnya dibuat dengan perekat semen (plasteran) agar air tidak sampai mengikis tanah dinding drainase. Meskipun demikian, akibat keterbatasan anggaran untuk membeli material, tidak semua drainase di permukiman warga menggunakan perekat semen. Untuk hal tersebut, warga biasanya menyiasatinya dengan cara menyusun batu gunung atau at u batu kali.
Gambar 47. Saluran drainase di tebing
Ketiga,, penanaman pohon keras/pelindung. Masyarakat menyadari bahwa bahw peristiwa tanah longsor selain disebabkan jenis tanah lempung di Kec. Karangkobar juga karena perilaku masyarakat dalam memanfaatkan lahan. Namun kadang-kadang kadang tuntutan kebutuhan hidup yang semain mendesak membuat sebagian warga mengabaikan pemanfaatan lahan ahan yang ramah lingkungan. Di Dusun Diwek, Desa Karangkobar, warga berusaha menghindari pemanfaatan lahan yang menimbulkan kerentanan longsor yang tinggi, namun perilaku warga dari kecamatan tetangga, yakni Kec. Wanayasa justru melakukan penanaman holtikultura holtikultura di puncak gunung di atas Dusun Diwek. Hal ini agak berbeda dengan yang terjadi di Dusun Curug, Desa Purwodadi yang masyarakatnya ma relatif patuh dengan aturan-aturan aturan aturan yang diamanahkan leluhur mereka secara turun temurun.
30
Gambar 48.. Bibit Albasia untuk ditanam warga di Desa Purwodadi
an responden, besaran pola mitigasi bebeda-beda beda pada setiap lokasi. Berdasarkan jawaban Secara lengkap proporsi jawaban responden terhadap upaya melindungi tanah dan permukiman mereka dapat dilihat diliha pada Gambar 49.
Gambar 49.Upaya Melindungi Tanah dan Permukiman (Sumber: Diolah dari data lapangan, 2014)
Data di atas menunjukkan bahwa pola mitigasi warga masih lebih dominan bersifat non struktral, terlihat bahwa dari keseluruhan keseluruhan responden, terdapat 51 % yang menyatakan berusaha menanam tanaman pelindung tanah. Hal ini tidak terlepas dari adanya beberapa program pemerintah yang sering membagikan tanaman keras kepada warga agar wilayah permukiman mereka terlindungi dari ancaman bencana tanah longsor. Selain itu, adanya kearifan lokal warga dalam mencermati dinamika hubungannya hubun dengan alam sekitar membuat muncul upaya inisiatif secara kolektif di kalangan warga seperti di Desa Purwodadi. Purwodadi Selain upaya non struktural (vegetatif), juga terdapat upayaupaya upaya yang bersifat struktural yang bersifat sipil-teknis teknis seperti membuat drainase dr dan bronjong/tanggul. Namun demikian, di antara dua upaya sipil-teknis sipil tersebut, pembuatan drainase tampaknya masih lebih dominan (25 %) dibanding dengan pembuatan bronjong (3 %) atau upaya lainnya (20 %). Hal ini sangat terkait dengan besarnya risiko ko luncuran air dari pegunungan yang menghempas permukiman warga. Dalam kaitan dengan pola adaptasi, masyarakat di lokasi pemetaan berusaha b menghadapi ancaman tanah longsor dengan beberapa cara. Kondisi lingkungan permukiman yang berada di lereng pegunungan pegunungan membuat warga mengembangkan sistem pengetahuan dari berbagai peristiwa yang terjadi selama ini. ini Pengetahuan 31
masyarakat yang terkait dengan tanah longsor dapat dilihat dari pengetahuan tentang adanya tanda-tanda tanda longsor yang muncul di sekitar permukiman. Berdasarkan jawaban responden, bahwa untuk saat ini (bencana di akhir tahun 2014) sebagian warga mengatakan melihat adanya tanda-tanda tanda tanda longsoran (53 %). Sebaliknya, yang mengatakan tidak melihat adanya tanda-tanda tanda tanda terjadinya longsoran sebesar 46 %. Yang dimaksud oleh responden esponden yang menjawab tidak melihat tanda-tanda tanda longsor adalah bahwa tanda-tanda tanda tersebut tidak berada di sekitar rumahnya. Untuk mengetahui pengetahuan masyarakat terhadap tanda-tanda tanda tanda indikasi terjadinya bencana longsor dapat dilihat pada Gambar 50.
Gambar 50. Pengetahuan Warga terhadap Tanda-tanda Tanda Tanah Longsor
Namun demikian, ketika warga melihat adanya indikasi potensi awal terjadinya tanah longsor seperti hujan turun terus-menerus, terus menerus, maka warga melakukan upaya adaptasi dengan cara menghindari terjadinya risiko yang lebih besar. Berdasarkan data, warga yang berusaha aha mencari lokasi yang aman sebesar 45 %, yang pasrah sebesar 29 % dan siaga 24 %. Secara proporsional, besaran upaya warga untuk menghindari bencana longsor dapat dilihat pada Gambar 51.
Gambar 51. Upaya Mengindari Bencana Longsor
9. ALTERNATIF TEKNOLOGI LITBANG UNTUK DAERAH RAWAN LONGSOR
32
Dalam diskusi dengan tim,Kepala Bappeda Kabupaten Banjarnegara menyampaikan usulan agar Balitbang PU mengadakan riset terpadu dengan berbagai sektor termasuk Badan Geologi untuk menangani permukiman yang rawan longsor di daerah Banjarnegara. Dengan pertimbangan bahwa akan sangat sulit mencari lokasi yang betul-betul aman dari longsor untuk merelokasi seluruh masyarakat yang saat ini tinggal di daerah rawan, maka yang dapat dilakukan adalah mitigasi bencana longsor dan adaptasi terhadap kondisi tanah yang ada. Diharapkan dari riset tersebut d Dari produk litbang PU, terdapat beberapa alternatif teknologi yang dapat direkomendasikan untuk diterapkan di lokasi pemetaan, diantaranya: Teknologi perkuatan tebing
•
Salah satu teknologi perkuatan tebing yang paling sederhana adalah bronjong dengan penguat kawat. Teknologi perkuatan tebing yang dikembangkan oleh Puslitbang SDA terdiri dari berbagai variasi tergantung bahan dan penerapannya. Beberapa contoh teknologi yang mungkin dapat diterapkan di beberapa lokasi tebing di Banjarnegara, khususnya tepi sungai dan tepi jalan, adalah teknologi geocell dan geosintetik11.
Gambar 52. Teknologi Geocell pelindung tebing
Gambar 53. Teknologi Geosintetik pelindung tebing
Rumput vetiver
•
Teknologi penguat tebing lain yang mungkin cocok diterapkan di banyak lokasi di Banjarnegara adalah rumput vetiver. Rumput vetiver merupakan salah satu teknologi penguat lereng yang dikembangkan oleh Puslitbang Jalan dan Jembatan. Tanaman ini merupakan tanaman tahunan yang tumbuh tegak dengan tinggi 1.5 – 2.5 m. Sistem perakarannya dalam dan masif, mampu masuk sangat jauh kedalam tanah. Bahkan ada yang mampu menembus hingga kedalaman 5.2 meter.Bila ditanam di lereng-lereng keras dan berbatu, ujung-ujung akar vetiver mampu masuk menembus dan menjadi semacam jangkar yang kuat. Cara kerja akar ini seperti besi kolom yang masuk ke dalam menembus lapisan tanah, dan pada saat yang sama menahan partikel-partikel tanah dengan akar serabutnya. Kondisi seperti ini dapat mencegah erosi yang disebabkan oleh angin dan air sehingga vetiver dijuluki sebagai ”kolom hidup”12.
11
Katalog produk litbang SDA, 2013 http://litbang.pu.go.id/vetiver-rumput-perkasa-penahan-erosi.balitbang.pu.go.id
12
33
Gambar 54. Teknologi rumput vetiver
Teknologi ini secara khusus menarik perhatian Kepala Bappeda Banjarnegara untuk dapat dikembangkan di Banjarnegara. Meskipun rumput ini kurang bernilai ekonomis dibandingkan tanaman pertanian yang saat ini dibudidayakan warga (seperti salak), rumput ini bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Hal ini sesuai dengan kondisi mata pencaharian sebagian warga yang juga peternak. RISHA (Rumah Instan Sederhana Sehat)
•
Risha sangat cocok untuk bangunan hunian sementara atau rumah tumbuh pada hunian tetap. Risha dibangun dengan konsep bongkar-pasang/knock down system, sehingga dapat dibangun secara bertahap berdasarkan modul. Waktu yang diperlukan dalam proses pembangunan setiap modul hanya 24 jam dengan tiga pekerja13.
Gambar 55. Teknologi RISHA
10. ANALISIS PARTISIPASI PEMELIHARAAN INFRASTRUKTUR Pada lokasi pemetaan terdapat beberapa infrastruktur yang dibangun oleh berbagai pihak seperti dari BBWS Serayu Opak, program PNPM Mandiri, PPIP, dan Pamsimas. Infrstruktur yang dibangun 13
http://puskim.pu.go.id/2014/12/28/risha-rumah-instan-sederhana-sehat/
34
antara lain turap penahan tebing perumahan, jalan lingkungan, saluran drainase, drainase, bronjong penahan tebing sungai, dan jaringan air bersih. Penerapan teknologi atau infrastruktur apapun di masyarakat menuntut adanya kesiapan untuk operasi dan pemeliharaan secara mandiri oleh masyarakat. Salah satu indikatornya adalah partisipasi warga ga yang ditunjukkan selama ini dalam OP infrastruktur bantuan pemerintah. Di lokasi pemetaan, sebagian besar masyarakat mendapatkan air bersih dari sumber mata air yang dialirkan ke rumah r mah mereka melalui jaringan perpipaan PAMSIMAS. Selain itu, terdapat beberapa erapa infrastruktur lain yang juga memerlukan partisipasi masyarakat dalam OP, seperti jalan lingkungan, turap, dan saluran drainase. Pada umumnya warga mewujudkan partisipasi mereka bentuk tenaga. Hanya sebagian warga yang mewujudkan partisipasinya dalam bentuk uang serta material. Untuk melihat proporsi bentuk partisipasi warga dalam memelihara infrastruktur, dapat dilihat pada Gambar 56. 56
Gambar 56. 56 Bentuk Partisipasi dalam Memelihara Infrastruktur Sumber: Diolah dari data lapangan, 2014
11. LESSON LEARNT PENANGANAN PENGUNGSI
Penanganan longsor dan relokasi pernah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Banjarnegara pada bencana tanah longsor di bukit Pawinihan, Dusun Gunung Raja, desa Sijeruk kecamatan Banjarmangu.Bencana Banjarmangu tersebut terjadi pada hari Rabu pagi, 04 Januari 2006, menelan korban jiwa yang ditemukan sebanyak 90 orang dan puluhan sisanya hingga kini tidak ditemukan. Semua warga Dusun Gunung Raja yang selamat sudah direlokasi di lokasi yang lebih aman oleh h pemerintah tidak jauh dari lokasi kejadian14 . Pada tahun 2014,, tanah longsor terjadi kembali di lokasi relokasi desa Sijeruk. Berdasarkan informasi dari Bappeda dan Dinas PU Kabupaten Banjarnegara, paling tidak 3 rumah di kompleks relokasi Galurrata sudah rusak. Selain merusak rumah, tanah longsor di permukiman relokasi Sijeruk juga merusak kebun salak. Warga menderita kerugian hingga ratusan juta rupiah. Sedangkan kerugian infrastruktur meliputi rumah, talud, jalan, ditaksir mencapai mencap Rp 665 juta serta kerugian 14
http://regional.kompasiana.com/2014/12/14/kenapa http://regional.kompasiana.com/2014/12/14/kenapa-terjadi-lagi-bencana bencana banjarnegara-696904.html banjarnegara
35
pertanian diperkirakan mencapai Rp 430 juta. Kepala desa Sijeruk mengatakan rumah yang dirobohkan karena berada di atas rekahan sekaligus untuk menyelamatkan bagian rumah seperti batu bata, genteng dan kusen15. Masyarakat di lokasi-lokasi rawan tanah longsor di kabupaten Banjarnegara cenderung memilih tinggal di lokasi yang masih berdekatan dengan tempat asal mereka. Selain itu mereka memanfaatkan kembali tanah bekas lokasi longsor dengan menanam tanaman pertanian seperti salak, tanaman kayu dan sebagainya. Pemilihan lokasi yang cenderung berdekatan, sangat terkait dengan kemampuan mereka dalam pertanian dan perkebunan, khususnya pertanian cabai, jagung, dan perkebunan seperti salak dan kopi yang akan sulit diadaptasikan di lokasi yang tidak cocok dengan tanaman-tanaman tersebut. Mereka khawatir apabila lokasi relokasi yang ditawarkan tidak cocok dengan kemampuan mereka, maka penghidupan ekonomi menjadi sulit. Namun untuk mendapatkan lokasi yang benarbenar aman dan sesuai dengan kemampuan penduduk tidak mudah. Penelitian geologi yang teliti dan mendalam sangat dibutuhkan guna memetakan lokasi-lokasi yang benar-benar aman. Selain itu pola pemanfaatan lahan kembali dengan cara-cara yang lama menandakan belum ada perubahan perilaku penduduk dalam tata guna lahan di lokasi rawan bencana. Tidak mengherankan jika pada tahun 2014 ini kejadian longsor di tanah pertanian di desa Sijeruk terulang kembali. Untuk merubah pola pertanian, perkebunan dan kehutanan pada masyarakat Sijeruk, Sampang, Slimpet dan sebagainya membutuhkan proses yang memakan waktu dan teknologi yang benar-benar sesuai. Pelajaran lain yang dapat diambil dari pengalaman relokasi tersebut adalah bahwa untuk merelokasi penduduk ke wilayah yang dinilai aman, pemerintah harus menyiapkan penduduk asli diwilayah relokasi. Pengalaman relokasi tahun yang lalu menunjukkan adanya kecemburuan sosial antara penduduk asli wilayah relokasi dengan penduduk yang direlokasi. Hampir sebagian besar bantuan termasuk rumah, sarana dan prasarana permukiman, bantuan ekonomi dan pendidikan hanya diberikan kepada korban longsor. Hal ini menimbulkan kecemburuan yang ditunjukkan dengan adanya protes warga asli kepada Pemda Banjarnegara dan tindakan pemutusan saluran air bersih menuju lokasi permukiman relokasi.16 Penyiapan penduduk asli menjadi penting agar benih kecemburuan sosial dan konflik horizontal tidak berkembang di lokasi relokasi. Pemerintah bisa belajar dari implementasi “sister village” yang dipraktekkan di masyarakat lereng Merapi. Dalam konsep sister village satu desa di wilayah KRB 3 menjalin kerja sama dengan desa penyangga yang relatif aman dari ancaman awan panas Gunung Merapi. Jika sewaktu-waktu erupsi Merapi, warga desa di 15
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/seratusan-rumah-akan-direlokasi/ Hasil wawancara dengan Bapak Husnul (staf bidang Cipta Karya Dinas PU Kab. Banjarnegara) tanggal 17 Desember 2014 16
36
KRB 3 langsung mengungsi ke desa tersebut. Warga KRB 3 dibekali materi kebijakan penanggulangan bencana, analisa resiko, kajian ancaman, analisa kebutuhan, membuat rencana informasi, gladi berbasis sister village, dan simulasi ruang. Adapun warga desa penyangga diberi materi manajemen barak dan simulasi bencana. Setidaknya dengan upaya ini benih awal persaudaraan antar desa dapat dikembangkan dalam kasus-kasus bencana seperti di Banjarnegara. 12. KESIMPULAN
Hasil Pemetaan Sosial, Ekonomi dan Lingkungan di lokasi bencana longsor Banjarnegara dapat dirumuskan dalam beberapa kesimpulan, sebagai berikut: • Sulit menemukan lokasi di zona yang benar-benar aman dari longsor di Kecamatan Karangkobar, karena 73% wilayahnya termasuk dalam zona rawan, hanya 7% saja yang termasuk kurang rawan. Berdasarkan peta rawan longsor, kepadatan permukiman justru berada di daerah yang rawan longsor. • Keengganan warga di Kecamatan Karangkobar untuk direlokasi dilatarbelakangi alasan antara lain : Ikatan kekerabatan yang kuat yang menjadi modal sosial untuk saling membantu bila terjadi bencana Kedekatan dengan lahan pencaharian Ikatan emosional dengan tanah Rendahnya tingkat pendidikan warga menyebabkan kurangnya pemahaman mengenai ancaman bahaya longsor Kepercayaan (religius magis) yang kuat bahwa bencana tidak akan menimpa masyarakat yang menjalankan ajaran agamanya dengan sebaik-baiknya. • Terdapat 2 tipe mitigasi yang berkembang di masyarakat Karangkobar yaitu Tipe mitigasi struktural (sipil teknis), yaitu masyarakat membuat bronjong dan drainase secara swadaya. Tipe mitigasi non struktural (vegetasi) , yaitu penanaman tanaman albasia dan salak • Terdapat 2 tipe adaptasi, diantaranya Masyarakat bersiaga pada saat hujan lebat. Mengungsi sementara ke rumah saudara. 13. REKOMENDASI Berdasarkan hasil analisis di atas dapat dirumuskan beberapa rekomendasi sebagai berikut: • Puslitbang Sumber Daya Air, Jalan Jembatan, dan Permukiman melakukan pengujian hasilhasil riset litbang skala penuh di daerah rawan longsor di Kecamatan Karangkobar, diantaranya:
Puslitbang Sumber Daya Air
Early warning system di hampir semua lokasi di Kec. Karangkobar 37
Pengamanan tebing, terutama di tepi sungai yang rawan longsor seperti Kali Urang di Ds. Ambal
Puslitbang Jalan dan Jembatan
rumput vetiver di hampir semua tebing tepi jalan, antara lain tepi jalan Ds. Karangkobar dan tepi jalan propinsi di Ds. Paweden
Jalan lingkungan tahan retakan di Ds. Karangkobar
Puslitbang Permukiman
Drainase antara lain di Ds. Karangkobar dan Ds. Ambal
Pengamanan perpipaan air bersih di hampir semua lokasi
Huntara (permukiman sementara) dengan teknologi RISHA di dekat Kec. Karangkobar dan Ds. Ambal
Bangunan tahan retakan
Pola Permukiman rawan bencana longsor dengan temporary shelter
• Direktorat Jenderal terkait:
Melakukan tahap rekonstruksi dan rehabilitasi wilayah bencana berdasarkan hasil pemetaan dan bersinergi dengan Balitbang
Melakukan evaluasi pembangunan infrastruktur pada lokasi yang rawan longsor
• Pemerintah Kabupaten Banjarnegara:
Sosialisasi mengenai zona rawan longsor, bahaya dan resikonya, serta cara adaptasi dan mitigasi bencana
Melengkapi kebutuhan data dan rencana diantaranya, • BPBD : membuat peta rawan bencana Karangkobar • Bappeda : tata ruang wilayah rawan bencana
38
PUSAT LITBANG SOSIAL, EKONOMI DAN LINGKUNGAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN - KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM Gedung Hearitage Lantai 3, Jalan Pattimura No 20 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 Phone +62 21 72784644, 72786483, Fax +62 21 72784644, 72786483 Website : http://sosekling.pu.go.id
ISBN 978-602 602-71672-7-8 39