PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN DANGKAL KARANG CONGKAK DAN KARANG LEBAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA IKONOS PAN-SHARPENED
CORYELISABETY DIANOVITA
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN CORYELISASABETY DIANOVITA. Pemetaan Batimetri Perairan Dangkal Karang Congkak dan Karang Lebar Dengan Menggunakan Citra IKONOS Pan-Sharpened. Dibimbing oleh JONSON LUMBAN GAOL DAN VINCENTIUS P. SIREGAR.
Batimetri perairan dangkal sangat penting untuk studi morfologi dasar laut, pengelolaan dan manajemen sumber daya zona pesisir. Pendugaan batimetri dengan menggunakan metode penginderaan jauh umumnya dilakukan pada kondisi air yang jernih. Survei batimetri dilakukan untuk mendapatkan data kedalaman aktual. Data kedalaman tersebut digunakan dalam mengestimasi kedalaman dengan menggunakan algoritma yang telah dikembangkan oleh Lyzenga. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji penggunaan citra IKONOS Pan-Sharpened dalam memetakan batimetri perairan dangkal Karang Congkak dan Karang Lebar. Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, diantaranya adalah pengumpulan data survei lapang, pengumpulan data sekunder, pengolahan citra dan analisis data. Survei lapang dilakukan pada tanggal 5 dan 6 Juni 2010, pengumpulan data sekunder (data pasang surut) dilakukan pada bulan OktoberNovember 2010, pengolahan citra dan analisis data akhir pada bulan Desember 2010-Januari 2011. Pengambilan data kedalaman in situ dilakukan pada bagian dalam tubir gobah baik Karang Congkak maupun Karang Lebar. Model pendugaan kedalaman dikembangkan dengan menggunakan 3 kanal (merah, hijau, dan biru) Citra IKONOS Pan-Sharpened yang menunjukkan bahwa kanal hijau lebih baik digunakan untuk pemetaan batimetri. Model tersebut adalah ππ = 3,602 β ln(ππ β ππππ ππππππππππ βππππππππ) β 16,86 dengan nilai koefisien korelasi dan determinasi sebesar 0,88 dan 0,78. Perbandingan antara nilai kedalaman estimasi dan kedalaman aktual menunjukkan galat sebesar 1,61 m. Walaupun demikian, korelasi antara kedalaman estimasi dan aktual sangat baik dengan nilai sebesar 0,88 m. Kedalaman dibagi menjadi 5 kelas. Kelas kedalaman yang terwakili dengan baik adalah kelas kedalaman 0 hingga 1,3 m, kelas 2 hingga 4,3 m, dan kelas 4,4 hingga 8 m dengan nilai producer accuracy lebih dari 50%.
iii
PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN DANGKAL KARANG CONGKAK DAN KARANG LEBAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA IKONOS PAN-SHARPENED
CORYELISABETY DIANOVITA
SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Β© Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian/seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN DANGKAL KARANG CONGKAK DAN KARANG LEBAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA IKONOS PAN-SHARPENED
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2011
CORYELISABETY DIANOVITA C54061233
SKRIPSI
Judul Penelitian : PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN DANGKAL KARANG CONGKAK DAN KARANG LEBAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA IKONOS PANSHARPENED Nama Mahasiswa : Coryelisabety Dianovita Nomor Pokok
: C54061233
Departemen
: Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui, Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si NIP.196600721 199103 1 002
Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA NIP. 19561103 198503 1 003
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M. Sc NIP. 19580909 198303 1 003
Tanggal Ujian : 15 Agustus 2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas semua karunia yang telah diberikan-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai. Skripsi yang berjudul Pemetaan Batimeri Perairan Dangkal Karang Lebar dan Karang Congkak Dengan Menggunakan Citra IKONOS Pan-Sharpened diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan. Selama penyusunan skripsi penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si dan Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA selaku Pembimbing Skripsi atas arahan dan bimbingan selama proses penyelesaian skripsi. 2. Bapak Sam Wouthuyzen atas bimbingannya selama penelitian. 3. Bapak M. Banda Selamat atas bimbingannya selama penelitian. 4. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan kasih sayang dan perhatian serta dukungan baik secara moril maupun materil. 5. Teman-teman yang selalu memberikan semangat dan motivasi. Penulis menyadari bahwa proposal ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca. Penulis berharap skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi diri sendiri maupun pembacanya.
Bogor, September 2011
Coryelisabety Dianovita
vii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ...............................................................................
vii
DAFTAR TABEL ..................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
xii
1. PENDAHULUAN ................................................................................ 1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1.2. Tujuan ............................................................................................
1 1 3
2. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2.1. Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal ....... 2.1.1. Batimetri ................................................................................ 2.1.2. Pemetaan batimetri perairan dangkal ..................................... 2.2. Satelit IKONOS ............................................................................. 2.2.1. Citra Pan-Sharpened IKONOS .............................................
4 4 4 6 10 12
3. METODOLOGI .................................................................................. 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ......................................................... 3.2. Alat dan Bahan .............................................................................. 3.3. Metode Perolehan Data ................................................................. 3.3.1. Kedalaman ............................................................................. 3.3.2. Pasang Surut .......................................................................... 3.4. Metode Pengolahan Citra .............................................................. 3.5. Pemetaan Batimetri .......................................................................
14 14 14 16 16 17 19 20
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................
27
4.1. Pemetaan Batimetri ....................................................................... 4.1.1. Transformasi Algoritma Lyzenga .......................................... 4.1.2. Peta Batimetri ........................................................................ 4.1.3. Matriks Kesalahan ................................................................. 4.2. Galat (Error) Model Nilai Digital Asli dengan Algoritma Lyzenga .........................................................................
27 31 35 33
5. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 5.1. Kesimpulan .................................................................................... 5.2. Saran ..............................................................................................
40 40 40
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
41
viii
37
LAMPIRAN ..............................................................................................
43
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................
51
ix
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Spesifikasi Satelit IKONOS ................................................................
11
2.
Matriks kesalahan (confusion matrix) .................................................
26
3.
Korelasi antara nilai kedalaman lapang dengan nilai digital transformasi citra Ikonos .....................................................................
30
Matriks kesalahan kelas nilai kedalaman lapang dan kedalaman estimasi ..............................................................................
35
Matriks kesalahan kelas kedalaman aktual dan kedalaman estimasi (reclass) ..............................................................
36
4.
5.
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya jumlah gelombang cahaya yang diterima sensor setelah melalui massa air ......................
7
2.
Konversi kedalaman ke kedalaman bawah datum ..............................
9
3.
Piksel asli MS, piksel PAN, dan piksel pan-sharpened MS ...............
13
4.
Citra pan-sharpened IKONOS yang digabung dari citra pankromatik dan multispektral ............................................
13
Lokasi Penelitian di Karang Congkak dan Karang Lebar, Kep. Seribu, DKI Jakarta .....................................................................
15
6.
Diagram alir pengolahan data batimetri dengan citra satelit IKONOS
21
7.
Citra IKONOS Pan-Sharpened hasil transformasi nilai ln(V-VS) pada algoritma Lyzenga di perairan dangkal Karang Lebar......................... 28
8.
Grafik model persamaan regresi linier dan koefisien determinasi Karang Lebar dari hasil plot kedalaman pemeruman dan nilai digital citra IKONOS pan-sharpened ..................................................................... 29
9.
Kedalaman estimasi perairan dangkal Karang Congkak dan Karang Lebar dengan menggunakan algoritma Lyzenga ...................
5.
33
10. Kedalaman estimasi perairan dangkal Karang Congkak dan Karang Lebar dengan menggunakan algoritma Lyzenga (reclass)............................. 34 11. Grafik perbandingan antara nilai kedalaman duga (estimated depth) terhadap nilai kedalaman sebenarnya (actual depth) ..........................
37
12. Grafik analisis residual antara nilai kedalaman sebenarnya dengan kedalaman duga hasil model regresi linier .............................
39
xi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Metadata Citra IKONOS Pan-Sharpened yang diakuisisi pada tanggal 8 Juli 2008. .....................................................................
44
2.
Histogram pengkelasan nilai kedalaman .............................................
45
3.
Hasil analisis regresi statisik hubungan antara nilai kedalaman aktual dan nilai kedalaman estimasi dari algoritma Lyzenga (1985) yang dikembangkan ..................................
46
Data nilai kedalaman survei lapang dan kedalaman dugaan, nilai digital kanal hijau citra IKONOS pada pengembangan model Lyzenga, dan nilai biasnya .......................................................
47
4.
xii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Hidrografi adalah cabang ilmu yang berkaitan dengan pengukuran dan deskripsi dari fitur fisik perairan, wilayah pesisir, danau, dan sungai, serta dengan prediksi evolusi mereka, dengan tujuan utama keselamatan navigasi dan kegiatan kelautan lainnya seperti, pengembangan ekonomi, keamanan dan pertahanan, penelitian ilmiah, dan perlindungan lingkungan laut (IHO, 2010). Survei hidrografi umumnya banyak dimanfaatkan untuk memetakan dasar laut yang digunakan untuk berbagai kegiatan di laut seperti pengerukan, navigasi, pengendalian sedimentasi dan banjir. Kondisi hidrografi mengalami perubahan tanpa batas waktu tertentu. Perubahan kondisi hidrografi umumnya disebabkan oleh beberapa faktor seperti pengikisan pantai oleh gelombang, sedimentasi, penggunaan lahan di wilayah pesisir, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, revisi terhadap peta-peta batimetri perlu dilakukan terus menerus, walaupun telah banyak perairan yang dipetakan melalui survei hidrografi. Kajian mengenai kondisi fisik perairan perlu dilakukan dengan cepat dan akurat sehubungan dengan faktor-faktor penting seperti keselamatan pelayaran. Karena luas perairan Indonesia yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, maka perlu dilakukan survei untuk pemeruman kedalaman (batimetri) yang lebih efisien dan efektif tanpa memerlukan biaya yang besar dan waktu yang lama (Wouthuyzen, 2001). Survei batimetri merupakan salah satu kegiatan dari survei hidrografi yang digunakan untuk mendapatkan data kedalaman dan menampilkan topografi dasar laut. Teknik awal survei batimetri dilakukan secara konvensional, 1
2
yaitu dengan menggunakan tali atau kabel berat terukur yang diturunkan dari sisi kapal. Metode konvensional ini dianggap tidak efisien karena setiap satu kali pengukuran hanya dapat dilakukan dalam satu waktu saja. Selain itu, metode ini tidak cocok digunakan dalam pemetaan perairan dangkal karena kapal yang digunakan untuk memetakan daerah perairan dangkal akan sulit untuk bergerak leluasa dan berbahaya bagi badan kapal apabila substrat dasar tidak beraturan. Oleh karena itu, saat ini teknik penginderaan jauh banyak digunakan sebagai alternatif untuk survei batimetri tersebut dalam pendugaan kedalaman perairan, terutama perairan dangkal. Penginderaan jauh yang dimanfaatkan untuk pendugaan batimetri ini adalah penginderaan jauh warna air laut atau dikenal dengan istilah penginderaan jauh ocean color dengan memanfaatkan radiasi gelombang elektromagnetik pada panjang gelombang cahaya tampak yang dipantulkan kembali dari bawah permukaan laut. Metode ini memiliki beberapa keunggulan seperti data yang dihasilkan berupa data digital dalam bentuk foto atau citra yang memudahkan manusia untuk mengolahnya, cakupan daerah yang diobservasi luas dan mampu mendeteksi daerah yang sulit dijangkau atau berbahaya bagi manusia, dan tidak memerlukan pengeluaran yang besar karena biayanya yang relatif murah. Pendugaan batimetri dengan menggunakan metode ini dapat dilakukan hingga ke kedalaman Β±25 m pada kondisi air yang jernih, dan kurang dari itu pada kondisi air yang keruh (Green et al., 2000). Namun pemetaan batimetri juga sering mengalami pembauran pada warna yang disebabkan oleh variasi pada albedo substrat, misal perubahan dari pasir putih hingga lamun berwarna gelap (Green et al., 2000). Pendugaan batimetri dengan menggunakan data satelit ini
3
memiliki kesalahan (error) di dalamnya karena nilai dugaan yang dihasilkan merupakan hasil olahan data yang tercatat oleh sensor satelit. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu pengukuran langsung (ground truth) untuk mengetahui keakuratan dan ketelitian dari data satelit yang masih dipengaruhi faktor lain seperti keterbatasan daya tembus radiasi gelombang elektromagnetik. Pendekatan algoritma merupakan salah satu metode yang digunakan untuk memecahkan kelemahan-kelemahan pendugaan batimetri dengan data satelit. Pada penelitian ini kedalaman perairan diestimasi dengan menggunakan algoritma yang telah dikembangkan oleh Lyzenga (1985). Algoritma yang digunakan berfungsi untuk menerjemahkan data yang direkam oleh sensor satelit IKONOS. Namun, algoritma ini memiliki kesulitan untuk memecahkan masalah lain seperti faktor kekeruhan air, efek atmosfir, dan lainnya. Penelitian pendugaan batimetri ini dilakukan pada perairan dangkal Karang Congkak dan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, perairan yang cukup jernih dan ekosistem yang cukup beragam. Informasi dari pendugaan batimetri juga memudahkan upaya karakterisasi habitat sehingga juga dapat digunakan untuk memetakan kondisi habitat karang dan pendugaan potensi pemutihan karang (Siregar dan Selamat, 2010).
1.2. Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji penggunaan citra IKONOS Pan-Sharpened dalam memetakan batimetri perairan dangkal Karang Congkak dan Karang Lebar dengan mengaplikasikan algoritma Lyzenga.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal Data kedalaman merupakan salah satu data dari survei hidrografi yang biasa digunakan untuk memetakan dasar lautan, hal ini sangat penting dalam keselamatan navigasi. Pemetaan dasar perairan (batimetri) juga sangat penting untuk menunjang pengembangan wilayah pantai dan pesisir sehingga dapat diketahui tempat-tempat berpotensi rawan dan berbahaya. Pemetaan kedalaman perairan telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti dengan menggunakan citra satelit. Citra satelit yang umum digunakan untuk memetakan batimetri perairan terutama perairan dangkal (shallow water), yaitu citra Landsat TM dan Landsat MSS, SPOT XS, dan Airborne MSS (Green et al., 2000). Beberapa peneliti pada abad ini menggunakan citra yang beresolusi tinggi untuk memetakan kedalaman perairan kedalaman, seperti Mishra (2001) yang menggunakan citra multispektral IKONOS untuk memetakan kedalaman perairan pulau Roatan, Honduras dan Deng et al. (2008) memetakan Estuaria Beilun, China dengan menggunakan citra multispektral Quickbird dan Landsat-7 ETM+. 2.1.1. Batimetri Batimetri menjelaskan tentang pengukuran kedalaman dasar perairan, seperti danau, sungai, dan laut. Pengetahuan mengenai batimetri berawal dari pemetaan topografi dasar laut yang telah lama dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti Biertwith, Lyzenga, dan masih banyak lagi yang melakukan pemetaan
4
5
batimetri dengan tujuan tertentu. Peta batimetri biasanya menyajikan tentang relief suatu dasar perairan dengan garis-garis kontur yang disebut dengan kontur kedalaman (depth contour atau isobath) dan informasi tambahan berupa informasi navigasi permukaan. Batimetri perairan dangkal sangat penting untuk studi morfologi dasar laut, pengelolaan dan manajemen sumber daya zona pesisir. Selain itu informasi batimetri juga dapat digunakan dalam pembuatan peta lainnya, seperti pemetaan kondisi habitat karang. Pengaruh reflektansi dasar perairan sering sekali menjadi faktor penghambat dalam pemetaan habitat dasar perairan. Oleh karena itu perlu pengetahuan mengenai nilai reflektansi dasar perairan agar memperoleh model elevasi digital kedalaman perairan yang memadai, terutama untuk sistem terumbu karang (Mumby et al., 1998). Pengukuran kedalaman perairan diawali dengan menggunakan metode konvensional yang dilakukan dengan menggunakan tali tambang terukur dengan pemberat yang diturunkan dari kapal ke dalam perairan. Pendekatan konvensional ini mengandalkan survei lapangan kedalaman air di lokasi penelitian. Namun pendekatan ini memerlukan tenaga kerja yang banyak dan memerlukan waktu yang lama. Sejak tahun 1970-an hingga saat ini, teknologi satelit penginderaan jauh telah banyak digunakan sebagai alternatif untuk memperkecil kerja lapangan untuk pemetaan batimetri air jernih (Deng, et al. 2008), metode ini memetakan kedalaman dengan menggunakan sistem foto udara dan penginderaan jarak jauh dengan sensor satelit.
6
2.1.2. Pemetaan batimetri perairan dangkal Gelombang elektromagnetik yang digunakan untuk memetakan perairan dangkal berada dalam kisaran spektrum sinar tampak (400-700 nm). Sinar tampak (merah, hijau, dan biru) yang dipancarkan dari sensor satelit mampu menembus badan air sehingga dapat penetrasi kedalaman ke dalam beberapa kelas kedalaman. Pada saat sinar tampak menembus air laut, sinar tersebut akan mengalami atenuasi akibat interaksi dengan kolom perairan. Intensitas cahaya akan berkurang (I d ) setelah memasuki kedalaman perairan tertentu p, dimana dapat dirumuskan seperti berikut (Green et al., 2000): πΌπΌππ = πΌπΌ0 . ππ βππππ ........................................................................................................ (1)
dimana, I o = intensitas awal sebelum memasuki permukaan air dan k = koefisien atenuasi yang bervariasi tergantung oleh panjang gelombang elektromagnetik tersebut.
Koefisien atenuasi akan semakin besar pada kanal yang memiliki panjang gelombang yang besar, seperti yang dikemukakan pada penelitian Selamat dan Nababan (2009) yang menggunakan citra satelit SPOT untuk memetakan batimetri Pulau Pandangan. Dikatakan bahwa kanal dengan panjang gelombang sinar hijau yang mampu menembus air hingga ke kedalaman maksimum yang mampu direkam oleh satelit SPOT memiliki koefisien atenuasi terkecil dibandingkan dengan kanal merah (panjang gelombang sinar merah) dan kanal inframerah (panjang gelombang inframerah) pada satelit SPOT. Perairan yang jernih memungkinkan sensor satelit dapat mendeteksi kedalaman Β±30 m (Green et al., 2000). Pada kondisi perairan yang jernih, kanal dengan cahaya biru dan hijau mampu mempenetrasi kedalaman hingga ke dasar
7
perairan, kemudian dipantulkan kembali dan ditangkap oleh sensor. Berbeda dengan cahaya biru dan hijau, cahaya merah umumnya akan diserap atau dihamburkan di kolom perairan sehingga tidak mampu menembus lebih jauh lagi ke dasar perairan. Meaden dan Kapetsky (1991) mengemukakan bahwa tingkat kecerahan pada setiap kedalaman memiliki nilai yang berbeda. Kontur kedalaman digambarkan berdasarkan tingkat kedalaman yang sama. Penetrasi energi cahaya kedalaman perairan dipengaruhi oleh fitoplankton dan kekeruhan air yang umumnya terdiri dari partikel sedimen tersuspensi dan komponen organik terlarut (Gambar 1). Komponen-komponen tersebut akan menghamburkan dan mengabsorbsi cahaya yang masuk ke dalam air sehingga mengakibatkan atenuasi semakin besar dan perubahan sifat optik air laut.
Sensor
Matahari
LS
LT
E0
Atmosfir
ΞΈ TΞΈ
TΦ LP
ED RWS
Permukaan air
RE
RW RB
Z Substrat
Sumber: Biertwith, et al. (1993). Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya jumlah gelombang cahaya yang diterima sensor setelah melalui massa air (dimana, E 0 = pencahayaan sinar matahari di atas atmosfir; T Ξ¦ , T ΞΈ = Transmitansi atmosfir; E D = hamburan cahaya dari langit; R WS = pantulan dari permukaan air; R w = pantulan dari molekul-molekul dan partikelpartikel di kolom air; R B = pantulan dari subtrat dasar; R E = pantulan efektif dari badan air (tidak termasuk R WS ); L P = hambur balik di atmosfir; L T = radiasi dari target yang ditransmisikan oleh atmosfir; L S = radiasi sinar tampak yang diterima oleh sensor)
8
Ada beberapa metode yang dikenal untuk memetakan batimetri, seperti metode Benny dan Dawson, metode Jupp, dan metode Lyzenga (Green et al., 2000). Metode-metode pemetaan batimetri ini umumnya mengasumsikan 3 hal, yaitu (i) atenuasi cahaya merupakan fungsi eksponensial untuk kedalaman, (ii) kualitas air tidak tampak berbeda pada citra, (iii) albedo dari substrat adalah konstan. Biasanya metode satu dengan yang lain merupakan metode yang dikembangkan dari metode sebelumnya, seperti metode Jupp merupakan pengembangan dari metode Lyzenga. Metode yang digunakan untuk menduga batimetri melalui citra juga dapat menimbulkan permasalahan apabila terjadi variasi pemantulan yang signifikan pada substrat dasar sehingga perlu dilakukan validasi data kedalaman yang biasanya menggunakan metode survei lapang. Oleh karena itu dibutuhkan suatu uji akurasi atau validasi data yang berfungsi untuk menguji ketelitian dari data atau informasi yang dihasilkan dari pengolahan citra. Pada umumnya uji akurasi ini dilakukan untuk membandingkan antara kedua data atau informasi, yaitu data dari hasil analisis penginderaan jauh dan data dari survei lapang (ground truth), dimana data dari survei lapang berisi sumber informasi atau data yang lebih akurat dan detail. Hasil dari uji akurasi ini biasanya disusun dalam bentuk matriks kesalahan yang juga dinamakan dengan matriks konfusi. Selain mengindentifikasi kesalahan dalam suatu kategori, matriks konfusi juga dapat mengindentifikasi kesalahan pada klasifikasi antar kategori (Siregar et al., 2008). Kedalaman perairan yang terukur, baik secara in situ maupun melalui citra satelit, terukur mulai dari bawah permukaan air. Pengukuran kedalaman secara in situ umumnya menggunakan sistem pemeruman melalui suatu alat perum seperti
9
GPS sounder atau Map souder. Pada saat pengukuran dapat terjadi suatu kesalahan yang dapat diindikasikan dari presisi dan akurasinya. Presisi mengacu dari ulangan bacaan alat tersebut, sedangkan akurasi mengacu pada pendekatan pengukuran terhadap angka sebenarnya (Chapra dab Canale dalam Siregar et al., 2008). Hubungan antara nilai aproksimasi dan nilai sebenarnya dirumuskan sebagai berikut: X s = X a + ΞX ...................................................................................................... (2) dimana, Xs = nilai sebenarnya Xa = nilai aproksimasi (pendekatan) ΞX = kesalahan (bias) Ketinggian air pada waktu t ht
datum
Zt Z
Dasar Laut Sumber: Green et al. (2000). Gambar 2. Konversi kedalaman ke kedalaman bawah datum. Z t = kedalaman air pada saat waktu t (baik di lapangan, maupun pada saat pengukuran melaui penginderaan jauh), h t = ketinggian pasut di atas datum pada saat waktu t. Kedalaman dasar perairan dihitung mulai dari bawah datum, yaitu Z t - h t Koreksi data kedalaman perlu dilakukan sehubungan dengan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi pengukuran kedalaman tersebut, seperti tinggi pasang surut (pasut) pada waktu pengukuran. Ketinggian pasang surut dalam satu hari dapat berbeda-beda sehingga hal ini sangat mempengaruhi
10
pengambilan data kedalaman tersebut. Agar menghindari kesalahan klasifikasi pada pembuatan peta batimetri, maka perlu dilakukan koreksi data kedalaman terhadap data pasang surut (Gambar 2). Nilai kedalaman dasar perairan yang diukur adalah nilai kedalaman sebenarnya ditambah dengan nilai pasut. Oleh karena itu penting untuk mencatat waktu pada saat pengukuran kedalaman agar datum yang diperoleh dapat dikoreksi dengan benar. Perhitungan ketinggian pasang surut di atas datum (Gambar 2) pada saat survei lapang umumnya dilakukan secara langsung dengan menggunakan alat perum seperti GPS Sounder. Namun saat ini ketinggian pasang surut juga dapat diukur melalui alat perekam kedalaman otomatis seperti GPS Sounder.
2.2. Satelit IKONOS IKONOS merupakan salah satu satelit observasi bumi dan satelit komersial pertama dengan resolusi spasial dan radiometrik yang tinggi (Grodecki dan Dial, 2001). Satelit IKONOS diluncurkan pertama kali pada tanggal 24 September 1999 di Vandenberg Air Force Base, California dan telah mengirimkan data komersial sejak tahun 2000. IKONOS berasal dari bahasa Yunani, yaitu Eye Koh Nos yang berarti image atau citra. Satelit IKONOS mengindera dan merekam citra pankromatik dengan resolusi spasial 1 meter dan multispektral 4 meter dalam 4 kanal. Resolusi radiometrik pada citra IKONOS sebesar 11 bit per pixel yang berarti adanya perluasan pada nilai tingkatan warna sehingga pengguna (user) bisa melihat lebih banyak penampakan objek yang lebih detail pada citra (Tabel 1). Namun dari
11
waktu ke waktu, citra IKONOS diskala ulang hingga 8 bit dengan tujuan untuk memperkecil ukuran dari file citra tersebut (GeoEye, 2010). Satelit ini dirancang untuk beroperasi selama 10 tahun yang mengorbit di ketinggian 681 km dari permukaan laut, dengan orbit sinkron matahari (sunsynchronous) dengan sudut inklinasi 98,1ΒΊ (Pike dan Brown dalam Hildanus, 2002). Pada lintang 40ΒΊ satelit IKONOS memiliki waktu revisit selama 2,9 hari pada 1 meter Ground Sampling Distance (GSD) dan 1,5 hari pada 1,5 GSD. Waktu revisit akan lebih sedikit pada lintang yang lebih tinggi dan akan lebih panjang untuk bujur yang mendekati ekuator (Grodecki dan Dial, 2001). Tabel 1. Spesifikasi Satelit IKONOS. Imaging Mode Resolusi Spasial Resolusi Spektral
Pankromatik 0.82 m Band Blue Green Red Near IR
Lebar Sapuan Off-Nadir Imaging Resolusi Radiometrik Masa pengoperasian Resolusi Temporal Ketinggian (altitude) Waktu penurunan nodal Tipe orbit (Sumber : GeoEye, 2010)
Multispektral 3.2 m
Pan-Sharpened 1m
450-950 nm 450-520 nm 520-600 nm 625-695 nm 760-900 nm 11 x 11 km Β±60Β° 11 bit per pixel Β±10 Tahun 3-5 hari (off-nadir) dan 144 hari (true-nadir) 681 km 10:30 AM Sun-synchronous
Seperti yang terlihat pada Tabel 1 satelit IKONOS memiliki 3 kanal dengan panjang gelombang sinar tampak (merah, hijau, dan biru) dan 1 kanal pankromatik yang berguna untuk mengukur panjang gelombang yang menampilkan karakteristik spektral dari suatu obyek di bumi yang terlihat oleh mata. Kanal inframerah dekat yang mengukur reflektansi spektrum
12
elektromagnetik pada bagian yang inframerah dekat sangat membantu dalam mengklasifikasikan vegetasi (Hildanus, 2002). Produk citra IKONOS yang dikeluarkan oleh perusahaan GeoEye ini menyediakan standar pengkoreksian citra IKONOS. Citra IKONOS yang disediakan oleh GeoEye umumnya telah terkoreksi radiometrik dan geometrik. Citra dikoreksi radiometrik dengan melakukan rescale pada data mentah hasil transmisi dari satelit. Selama tidak ada permintaan perubahan dynamic range adjusment dalam proses produksi, akurasi radiometrik yang asli akan tetap dipertahankan dan piksel dalam citra tetap direkam dalam 11 bit. Koreksi geometrik biasa digunakan untuk menghilangkan distorsi pada citra (Wang et al., 2004). 2.2.1. Citra Pan-Sharpened IKONOS Penggabungan citra (image fusion) dilakukan dengan menggabungkan beberapa citra (multiple images) untuk meningkatkan kualitas citra. Salah satu teknik penggabungan ini adalah pan-sharpening. Teknik pan-sharpening menggantikan estimasi informasi kecerahan yang berasal dari kanal-kanal citra multispektral (MS) beresolusi spasial rendah dengan nilai-nilai yang ada pada resolusi spasial tinggi kanal pankromatik (PAN). Hal ini dapat dilihat dari ilustrasi Gambar 3 penggabungan 1 piksel MS dengan 16 piksel PAN sehingga menghasilkan 16 piksel pan-sharpened MS (Hanaizumi, et al., 2008).
13
Gambar 3. (a) piksel asli MS, (b) piksel PAN, dan (c) piksel pan-sharpened MS MS (Hanaizumi, et al., 2008) Salah satu citra pan-sharpened adalah Citra IKONOS Pan-sharpened yang menggabungkan citra (image fusion) resolusi 1 meter pankromatik (black/white image) dan resolusi 4 meter multispektral (colour image) sehingga tampilan ekstraksi fitur tampak lebih detail dalam warna dan kejernihannya karena menyajikan true-color dan false-color dalam resolusi 1 meter. Ilustrasi penampakan detail citra hasil penggabungan (citra pan-sharpened) antara citra pankromatik dan multispektral dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Citra pan-sharpened IKONOS yang digabung dari citra pankromatik (kiri) dan multispektral (tengah); (Sumber: Geosage, 2010)
3. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, diantaranya adalah pengumpulan data survei lapang, pengumpulan data sekunder (pendukung), serta pengolahan citra dan analisis data. Survei lapang pengukuran kedalaman perairan dilakukan pada tanggal 4, 5, dan 6 Juni 2010, pengumpulan data sekunder (data pasang surut) dilakukan pada bulan Oktober-November 2010, dan tahap akhir dilakukan pengolahan citra dan analisis data akhir pada bulan Desember 2010Januari 2011. Letak geografis lokasi pengambilan data lapang di perairan Karang Congkak dan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta terletak pada koordinat 106Β°33β BT -106Β°38β BT dan 5Β°41β LS -5Β°46β LS (Gambar 5).
3.2. Alat dan Bahan Pembuatan peta batimetri ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan berupa data Satelit IKONOS yang telah digabung menjadi Citra IKONOS Pan-Sharpened dengan resolusi spasial 1 meter yang sudah terkoreksi geometrik dan radiometrik (Lampiran 1). Citra IKONOS PanSharpened ini diakuisisi pada tanggal 8 Juli 2008 dengan koordinat liputan citra 5Β°40β39β LS β 5Β°46β15β LS (669998,02 mT β 679749,15 mT) dan 106Β°32β7β BT β 106Β°37β23β BT (9361898,89 mU β 9372219,68 mU). Selain data satelit, data kedalaman yang diambil pada saat survei lapang juga digunakan sebagai data primer.
14
Gambar 5. Lokasi Penelitian di Karang Congkak dan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
15
16
Pada saat survei lapang, data pasang surut diukur untuk digunakan sebagai koreksi kedalaman perairan. Selain itu data sekunder juga digunakan pada penelitian ini, data sekunder yang digunakan adalah data ramalan pasang surut perairan Kepulauan Seribu tahun 2008 dan 2010 yang diperoleh dari Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL (DISHIDROS TNI-AL) dengan titik stasiun terdekat yang digunakan adalah stasiun Tanjung Priok. Alat yang digunakan dalam penelitian terbagi menjadi dua kategori, yaitu perangkat lunak dan perangkat keras. Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah Microsoft Excel, Idrisi Andes, dan ArcGIS 9.3. Perangkatperangkat lunak tersebut digunakan untuk pengolahan citra (Idrisi dan ArcGIS) dan analisis data (M. Excel). Perangkat keras yang digunakan adalah sebagai berikut. 1. Personal Computer (PC) untuk analisis data. 2. Printer untuk mencetak dokumen. 3. Global Positioning System (GPS) Map 420 Si untuk menentukan posisi dan pengukuran kedalaman perairan pada titik-titik pengamatan. 4. Papan Pasang Surut (Pasut) yang digunakan untuk mengukur tinggi rendah muka air pada saat penelitian dilakukan.
3.3. Metode Perolehan Data 3.3.1. Kedalaman Pengambilan data lapang dilakukan dengan pengukuran secara langsung (ground check) pada lokasi penelitian. Parameter yang diambil pada survei lapang ini adalah kedalaman dan pasang surut. Karena lokasi penelitian
17
merupakan perairan dangkal, alat transportasi yang digunakan pada saat pengukuran berupa perahu kecil bertenaga motor. Pada perahu dipasang alat instrumentasi GPS Sounder pada bagian salah satu sisi perahu. Sebelum dilakukan perekaman data GPS Sounder diatur ke pengaturan merekam informasi, seperti kedalaman, secara otomatis selama suvey lapang berlangsung. Data yang tersimpan dalam GPS Sounder dalam format GDB file kemudian ditransfer ke dalam PC untuk disimpan dalam format text (*.txt) dan diolah. Pengambilan data kedalaman pada Karang Congkak dilakukan sekitar pukul 09.00-15.00, dan Karang Lebar dilakukan sekitar pukul 07.40-12.00 dan 12.30-15.30 WIB. Metode pengambilan data dilakukan dengan membuat suatu jalur berbentuk zig-zag pada bagian dalam tubir gobah baik Karang Congkak maupun Karang Lebar, jalur tersebut merupakan jalur yang dapat dilalui oleh perahu kecil yang biasa digunakan oleh nelayan. 3.3.2. Pasang Surut Karena waktu pengambilan data lapang dengan waktu perekaman citra berbeda, maka ada kemungkinan perbedaan kedalaman pada wilayah kajian yang diteliti. Oleh karena itu perlu dilakukan koreksi kedalaman perairan dengan melakukan kalibrasi data kedalaman lapang terhadap pasang surut. Koreksi kedalaman perairan ini didasari oleh kondisi muka air laut yang bersifat dinamis sehingga adanya perbedaan pasang surut dari waktu ke waktu dapat mempengaruhi perbedaan data kedalaman yang terukur. Koreksi kedalaman perairan dilakukan dengan mengkalibrasi data kedalaman lapang terhadap data kedalaman perairan pada waktu perekaman citra. Pada proses koreksi kedalaman ini menggunakan data pasang surut pada saat
18
survei lapang, data ramalan pasang surut pada waktu pengambilan data kedalaman lapang dan data ramalan pasang surut pada waktu perekaman citra. Pengambilan data pasang surut dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan papan pasut dan GPS Sounder yang merekam data secara otomatis pada saat melakukan survei lapang. Perolehan data dengan menggunakan papan pasang surut biasanya diletakkan pada daerah yang terendam dengan air laut di salah satu dermaga Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Kemudian data diperoleh dengan melakukan pengamatan terhadap tinggi rendahnya muka air laut yang terkena papan pasut setiap 30 menit. Karena data hasil pengamatan lapang dengan menggunakan papan pasang surut tidak dilakukan sesuai dengan waktu survei lapang yang dilakukan, maka data tidak dapat digunakan. Data pasang surut dari pemeruman GPS Sounder digunakan untuk melihat pola pasang surut selama 2 hari pengamatan, namun untuk pengoreksian kedalaman perairan terhadap pasang surut menggunakan data ramalan pasang surut DISHIDROS TNI-AL bulan Juni 2010 dari stasiun terdekat, yaitu Tanjung Priok. Karena data ramalan pasang surut dengan data pengukuran di lapang tidak berbeda jauh dan data ramalan merupakan data 30 hari sehingga pola pasang surut dapat terlihat lebih jelas, maka data ini cukup baik untuk digunakan pada pengoreksian kedalaman perairan pada saat survei lapang. Koreksi pasang surut dilakukan dengan cara melakukan kalibrasi data pasang surut pada waktu pengambilan data lapang terhadap data pasang surut pada saat perekaman citra, yaitu pada pukul 10.30 WIB. Hal ini dilakukan agar informasi dari data kedalaman lapang sama dengan informasi yang diperoleh data hasil perekaman citra.
19
3.4. Metode Pengolahan Citra Pemrosesan citra dilakukan secara bertahap, yaitu pengolahan citra awal dan pengolahan citra lanjutan. Pemrosesan citra awal meliputi Pemulihan citra (image restoration). Pemulihan citra terdiri dari koreksi geometrik dan radiometrik, dalam penelitian ini citra yang digunakan telah mengalami koreksi geometrik dan radiometrik. Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan pada pengolahan citra lanjutan yang meliputi tahap pengekstraksian citra untuk memperoleh nilai reflektansi atau digital number (DN) citra dengan menggunakan algoritma Lyzenga yang telah dikembangkan. Pemotongan citra IKONOS Pan-Sharpened disesuaikan dengan lokasi penelitian yang diteliti, yaitu perairan dangkal Karang Lebar. Potongan citra ini digunakan untuk mengekstrak nilai DN pada area kajian (training area) yang diteliti. Masking citra dilakukan untuk memisahkan obyek laut dan obyek yang bukan laut, dimana obyek yang bukan laut diberi nilai nol. Masking citra ini perlu dilakukan sebelum citra digunakan untuk pengolahan lebih lanjut, hal ini bertujuan untuk memfokuskan area kajian ke daerah perairan pada saat pengolahan data citra. Data yang diperoleh pada saat ground truth/check disimpan ke dalam bentuk file berekstensi GDB, kemudian dikonversi ke format text (*.txt). Data kedalaman ini direduksi dengan data pasang surut (pasut) dan data koreksi lainnya sehingga diperoleh nilai kedalaman tanpa dinamika gelombang air laut (Selamat dan Nababan, 2009). Pada tahap ekstraksi citra dilakukan analisis data dengan membandingkan nilai kedalaman in situ dan nilai reflektansi gelombang yang dipancarkan dari
20
kanal satelit yang berupa nilai digital (digital number) yang disajikan dalam bentuk grafik Cartesian. Ketiga kanal citra dianalisis untuk melihat perbandingan antara ketiga kanal dan menentukan kanal citra yang paling baik untuk digunakan pada proses pemetaan batimetri (Gambar 6). Digital Number (DN) ketiga kanal citra IKONOS Pan-Sharpened hasil ekstraksi dari citra yang merupakan nilai pantulan radiansi (reflektansi) dengan kisaran panjang gelombang sinar tampak (kanal biru, hijau dan merah) dianalisis relasinya terhadap nilai kedalaman aktual. Agar dapat mengetahui kekuatan relasi dari kedua variabel tersebut, maka dilakukan uji statistik terhadap persamaan regresi linier yang diperoleh dari data hasil olahan ketiga kanal citra. Nilai koefisien korelasi linier (r) dan determinansi (R2) akan diperoleh dari hasil uji regresi linier masing-masing persamaan regresi.
3.5. Pemetaan Batimetri Informasi yang diperoleh dari hasil pemeruman adalah data kedalaman dan data pasang surut. Data kedalaman ini akan digunakan untuk menentukan model dugaan terbaik dari ketiga kanal Citra IKONOS Pan-Sharpened dalam mengestimasi kedalaman perairan di Karang Congkak dan Karang Lebar. Data pasang surut digunakan untuk pengkoreksian data kedalaman itu sendiri seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.
1. Kedalaman (Z lapang) 2. Pasang surut
Survei lapang
Kedalaman terkoreksi
Gambar 6. Diagram alir pengolahan data batimetri dengan citra satelit IKONOS Pan-Sharpened
Peta batimetri perairan dangkal dengan model nilai digital asli
Masking citra akhir
1. Pasang surut 2008 (waktu perekaman citra) 2. Pasang surut 2010 (waktu survei)
Data sekunder Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL
Koreksi kedalaman lapang terhadap pasang surut (koreksi pasang surut)
Uji Akurasi (RMS Error)
Penentuan kanal dengan model regresi terbaik
dimana, X = ln (Vi-VS).
Pengolahan citra (Perhitungan nilai X)
Kanal terpilih (model regresi terbaik)
Nilai reflektansi gelombang berupa digital number (DN)
Tracking area
Masking citra awal
Cropping citra
Citra IKONOS yang sudah terkoreksi
21
22
Pada penelitian ini, kedalaman suatu perairan diestimasi dengan menggunakan algoritma yang dikembangkan oleh Lyzenga (1985). Transformasi algoritma Lyzenga (1985) ini mampu memberikan informasi kedalaman pada suatu citra satelit, namun untuk mentransformasikannya algoritma ini hanya membutuhkan 1 kanal terbaik dari citra tersebut agar mampu membedakan antar obyek dalam citra secara nyata. Persamaan algoritma Lyzenga (1985) secara umum dinyatakan sebagai berikut (Wouthuyzen, 2001): Z =β
1 1 k * ln (V-V S ) + k * (ln VO ) .............................................................. (3) 2 2
dimana, Z V VS k VO
= Kedalaman (m), = Sinyal radians yang diamati pada citra (DN), = Bagian sinyal hasil pembaruan radiasi di atmosfir, kolom air, dan permukaan laut, = Koefisien attenuasi , dan = Faktor sensitifitas yang meliputi kontribusi irradians matahari di permukaan air, pantulan dasar perairan, transmisi atmosfir dan pengaruh dari sensor itu sendiri.
Fungsi linier kedalaman (Z) dapat diperoleh dengan mengasumsikan nilai radians (V) pada Persamaan 3 bervariasi terhadap kedalaman perairan. Nilai V S diduga dengan mengasumsikan bahwa perairan dalam (>40 m) nilai radians pada panjang gelombang biru telah terserap habis oleh kolom air dalam tersebut, sehingga memiliki DN = 0 dan jika DN bernilai lebih dari 0, maka nilai tersebut merupakan pengaruh dari faktor lain seperti pembauran dari atmosfir (Wouthuyzen, 2001). Z = Sudut (Slope) * X + Konstanta ................................................................. (4)
dimana, X
= ln (V-V S ), β
1 k 2
Sudut (Slope)
=
Konstanta
= 2 k * (ln VO ) 1
,
23
Setelah kedua data dari olahan citra IKONOS dan survei lapang diperoleh, dilakukan estimasi akurasi citra satelit untuk mengetahui bahwa data yang diperoleh dari citra satelit baik untuk digunakan dalam pemetaan batimetri. Estimasi akurasi dilakukan dengan membandingkan data citra dengan data survei lapang sebagai validasi data kedalaman. Analisis regresi yang dilakukan pada setiap model regresi linier menunjukkan seberapa baik model tersebut dapat digunakan untuk memetakan kedalaman perairan dengan melihat nilai koefisien korealasi dan determinasi dari hasil analisis tersebut. Koefisien korelasi linier ini digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan linier antara kedua variabel dalam persamaan regresi linier yang dianalisis (Walpole, 1997). Rentang nilai koefisien korelasi linier ini adalah -1 hingga 1(-1 β€ r β€ 1). Koefisien korelasi dapat dikatakan memiliki hubungan linier yang baik bila mendekati -1 atau 1. Berikut adalah formula dari koefisien korelasi (Walpole, 1997): ππ =
ππ βππππ=1 π₯π₯ ππ π¦π¦ ππ βοΏ½βππππ=1 π₯π₯ ππ οΏ½οΏ½βππππ=1 π¦π¦ ππ οΏ½ 2
2
οΏ½οΏ½ππ βππππ=1 π₯π₯ ππ2 βοΏ½βππππ=1 π₯π₯ ππ οΏ½ οΏ½οΏ½ππ βππππ=1 π¦π¦ ππ2 βοΏ½βππππ=1 π¦π¦ ππ οΏ½ οΏ½
dimana, r x y n
= = = =
................................................... (5)
koefisien korelasi nilai peubah bebas ke-i (nilai digital masing-masing kanal) nilai peubah tak bebas ke-i (nilai kedalaman aktual) jumlah pasangan data
Koefisien determinasi menyatakan proporsi variasi variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variasi variabel independen (Walpole, 1997). Nilai besaran koefisien determinasi merupakan hasil kuadrat dari koefisien korelasi, sehingga nilai koefisien ini selalu bernilai positif antara nol dan satu (0β€R2β€1). Nilai koefisien determinasi akan lebih baik apabila nilai tersebut semakin mendekati 1, yang menyatakan bahwa sekitar 100% nilai variabel dependen dapat
24
dijelaskan oleh variasi variabel dependen. Dari hasil uji koefisien determinasi ini dapat diketahui persamaan regresi yang baik untuk mengestimasi kedalaman perairan dangkal pada daerah kajian. Residual merupakan perbedaan antara nilai in situ dan nilai hasil prediksi dari suatu pendugaan. Residual ini merepresentasikan porsi dari validasi data yang tidak dapat dijelaskan dari model (Mathworks, 2011). Uji analisis residual digunakan untuk mengetahui seberapa besar ketepatan data hasil estimasi terhadap data in situ yang dibatasi oleh suatu selang kepercayaan antara kedua parameter tersebut. Kalkulasi nilai akurasi untuk estimasi data satelit menggunakan formula Root Mean Square error (RMSE) yang dinyatakan oleh Walpole (1997) untuk menunjukkan besarnya galat antara nilai kedalaman aktual dan nilai kedalaman estimasi. Persamaan untuk menentukan nilai RMSE dapat dinyatakan sebagai berikut.
RMSE =
   ο£
ο£Ά
n
β (ai β bi )2 ο£·ο£· ο£Έ
i =1
N β2
.............................................................................. (6)
dimana, a i = nilai lapangan; b i = nilai interpolator data; N = total number dari nilai validasi. Selain itu, untuk mengindentifikasi kesalahan dan ketelitian dalam suatu klasifikasi citra yang telah dikelaskan ke dalam beberapa kelas kedalaman juga dilakukan uji akurasi dengan menggunakan matriks kesalahan atau matriks konfusi (confusion matrix). Evaluasi akurasi ini menentukan seberapa besar persentase ketelitian antara nilai kedalaman lapang dan nilai kedalaman duga yang telah dibentuk menjadi kelas-kelas kedalaman baru dengan selang kelas tertentu.
25
Nilai-nilai yang dihasilkan dari matriks kesalahan adalah producerβs accuracy, userβs accuracy, dan overall accuracy. Berikut adalah formula yang digunakan untuk ke empat nilai di atas. Producer' s accuracy = User ' s accuracy =
X ii x100% ...................................................... (7) X i+
X ii x100% ......................................................................... (8) X +i r
Overall accuracy =
βX i =1
N
ii
x100% .................................................................. (9)
dimana, N = jumlah piksel setiap kelas pada training area r = jumlah kelas X i+ = β X ij (jumlah kolom pada baris ke-i) X +j = β X ij (jumlah kolom pada baris ke-j) Evaluasi akurasi dilakukan pada seluruh data dengan mengkelaskan data ke dalam beberapa kelas. Penentuan selang kelas kedalaman dilakukan berdasarkan histogram hasil estimasi dari citra (Lampiran 2). Pengkelasan ini dilakukan dengan mengukur nilai-nilai pada tiap puncak di histogram dan menggunakan nilai-nilai tersebut sebagai acuan untuk memetakan kedalaman estimasi dan kedalaman aktual ke rentang kelas baru. Kemudian data kedalaman hasil estimasi dari algroritma dievaluasi terhadap data kedalaman aktual. Hasil akurasi dari perbandingan kedua data kedalaman tersebut disajikan seperti pada Tabel 2.
26
Tabel 2. Matriks kesalahan (confusion matrix) Data Acuan Training Area
Diklasifikasikan Ke Kelas A
A X ii B ... ... ... D ... Total Kolom X +k Producer X kk /X Accuracy k Sumber : Hildanus (2002).
B
...
D
... ... ... ...
... ... ... ...
... ... ... ...
Total Baris X k+ ... ... ... N
User Accuracy (X kk /X k+) ... ... ...
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pemetaan Batimetri 4.1.1. Pemilihan Model Dugaan Dengan Nilai Digital Asli Citra hasil transformasi pada Gambar 7 menunjukkan nilai reflektansi hasil transformasi ln (V-V S ), dimana rentang nilai pada masing-masing kanal berkisar antara nol hingga enam. Nilai mendekati nol atau daerah yang gelap pada citra hasil transformasi diasumsikan sebagai suatu perairan yang dalam, namun daerah bernilai nol juga dapat merepresentasikan darat yang telah mengalami masking. Secara visual terlihat pada gambar semakin tinggi nilai digital, semakin dangkal kedalaman perairan yang juga dapat dilihat korelasi antara keduanya pada grafik di Gambar 8. Hal ini juga dinyatakan oleh Ibrahim dan Cracknell (1990) dalam Wouthuyzen (2001) bahwa umumnya pada suatu titik pengamatan yang bernilai digital rendah akan memiliki nilai kedalaman yang tinggi dan begitu pun sebaliknya. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), kemampuan penetrasi yang baik terletak pada panjang gelombang 400-600 nm. Sinar dengan panjang gelombang tersebut merupakan yang terbaik dalam mengintepretasikan kedalaman perairan. Kanal yang tergolong mampu penetrasi kedalaman dengan baik adalah kanal dengan panjang gelombang sinar hijau dan biru. Secara visual pada Gambar 7 terlihat bahwa hasil tranformasi dari nilai ln(V-V S ) pada kanal hijau dan kanal biru tidak jauh berbeda, hal ini dikarenakan oleh pada kisaran panjang gelombang sinar tampak, sinar biru dan sinar hijau yang mampu penetrasi kedalaman dengan
27
28
baik. Namun hal ini belum dapat dipastikan kedua kanal tersebut adalah kanal dengan model regresi linier terbaik.
(a) Kanal Merah
(b) Kanal Hijau
(c) Kanal Biru Gambar 7. Citra IKONOS Pan-Sharpened hasil transformasi nilai ln(V-V S ) pada algoritma Lyzenga di perairan dangkal Karang Lebar (Kiri merupakan citra awal (sebelum ditransformasi), kanan merupakan citra setelah ditransformasi) Hasil transformasi dari nilai ln(V-V S ) pada Gambar 7 diplotkan terhadap nilai kedalaman aktual ke dalam suatu grafik sehingga menghasilkan suatu model regresi linier seperti yang terlihat pada Gambar 8. Pada Gambar 8 terlihat bahwa dalam satu kisaran nilai ln(V-V S ) yang sama terdapat banyak sebaran nilai
29
kedalaman sehingga perlu dilakukan analisis regresi linier untuk mengetahui model yang cukup memadai dari ketiga model yang ada.
Gambar 8. Grafik model regresi linier dari hasil plot kedalaman in situ dan nilai digital Citra IKONOS Pan-sharpened pada perairan Karang Lebar Setiap model regresi linier dianalisi Analisis regresi ini menghasilkan nilai r dan R2. Seperti yang terlihat pada Tabel 3, nilai r dan R2 pada masing-masing kanal berbeda.
30
Tabel 3. Korelasi antara nilai kedalaman lapang dengan nilai digital transformasi citra IKONOS. Jenis Kanal
Model Regresi Linier
Koefisien Korelasi (r)
Koefisien Determinasi (R2)
Merah
y = 1,918x β 8,203
0,73
0,54
Hijau
y = 3,602x β 16,867
0,88
0,78
Biru
y = 3,666x β 17,040
0,80
0,64
Nilai korelasi tertinggi ditunjukkan oleh model regresi linier kanal hijau deng an nilai sebesar 0,881. Nilai korelasi model regresi kanal biru adalah nilai korelasi tertinggi kedua setelah nilai korelasi model regresi kanal hijau dengan nilai sebesar 0,798. Model regresi kanal merah memiliki nilai korelasi terendah diantara ketiga model yang dihasilkan dengan nilai sebesar 0,734. Pada Tabel 3 diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) untuk kanal merah dengan nilai sebesar 0,538 menyatakan bahwa 53,8% diantara keragaman dalam nilai-nilai kedalaman dapat dijelaskan oleh hubungan liniernya dengan transformasi nilai digital ln(V-V S ). Nilai R2 kanal hijau menyatakan bahwa 77,5% keragaman dalam nilai-nilai kedalaman mampu dijelaskan oleh hubungan liniernya dengan transformasi nilai digital ln(V-V S ). Dan nilai R2 pada kanal biru menyatakan 63,7% keragaman dalam nilai-nilai kedalaman dapat dijelaskan oleh hubungan liniernya dengan transformasi nilai digital ln(V-V S ). Nilai korelasi yang baik adalah nilai korelasi yang mendekati 1 atau -1 (Walpole, 1997), pada kasus ini kanal hijau adalah kanal dengan nilai korelasi yang paling baik dibandingkan dengan nilai korelasi kanal biru dan merah. Selain itu dinyatakan juga, nilai R2 akan semkin lebih baik jika nilai R2 semakin mendekati nilai 1 atau 100%. Di antara ketiga kanal, model regresi kanal hijau
31
memiliki nilai R2 yang lebih baik karena presentase yang mendekati 100%. Berdasarkan rangkaian uji statistik yang dilakukan dengan melihat nilai r dan R2 yang dihasilkan dan pertimbangan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kanal hijau Citra IKONOS Pan-sharpened adalah kanal yang terbaik untuk memetakan kedalaman perairan Karang Congkak dan Karang Lebar. Hasil transformasi algoritma Lyzenga dengan model regresi linier yang terbaik dapat dinyatakan sebagai berikut: ππ = 3,602 β ln(ππ β πππ π ππππππππππ βππππππππ) β 16,86 ............................................. (10) 4.1.2. Peta batimetri Biertwith et al. (1993) mengemukakan masalah utama dalam memetakan batimetri perairan dangkal adalah ketika menganalisis penginderaan jauh diperoleh efek yang kontras di kedalaman air keruh dan sifat natural dari substrat dasar perairan mengalami distorsi. Beberapa faktor seperti penghamburan cahaya oleh fitoplankton dan kekeruhan air laut (penghamburan oleh materi sedimen tersuspensi dan komponen organik terlarut), penyerapan (absorption) dan penghamburan (scattering) oleh molekul-molekul air dalam kolom air dapat mempengaruhi intesitas gelombang sinar tampak yang ditangkap oleh sensor. Pada peneltitian ini peta batimetri dibuat berdasarkan model regresi 10 yang merupakan hasil dari tranformasi algoritma Lyzenga yang telah dikembangkan. Nilai hasil dari transformasi algoritma tersebut merupakan nilai kedalaman estimasi. Berdasarkan peta estimasi kedalaman perairan dangkal hasil turunan dari citra IKONOS Pan-Sharpened ini hanya mampu mengintepretasikan kedalaman
32
hingga kedalaman sekitar 16 meter. Namun model regresi yang digunakan untuk membuat peta batimetri perairan dangkal masih dapat digunakan karena nilai kedalaman aktual yang digunakan saat pengolahan analisis regresi tidak melebihi 16 meter (Gambar 8). Kelas kedalaman terbagi menjadi 8 kelas (Lampiran 2a). Pada Gambar 9 menunjukkan detail kelas kedalaman perairan dangkal dengan rentang nilai dari 0 hingga 8 m. Kelas terakhir merupakan kelas kedalaman dengan selang kelas yang tak terhingga. Namun karena wilayah kajian yang digunakan adalah perairan dangkal, maka kelas terakhir tersebut tidak diikutsertakan. Kelas kedalaman perairan dangkal ini kurang sesuai digunakan untuk acuan pada pemetaan terumbu karang karena adanya selang kelas kedalaman yang terlalu kecil (kelas β€ 0,4 m dan kelas 0,5 hingga 0,9 m) dan total akurasi yang diperoleh kurang memadai seperti yang dipaparkan pada subbab 4.1.3 (Tabel 4). Oleh karena itu dilakukan pengkelasan ulang (reclass) sehingga menghasilkan 5 kelas baru (Lampiran 2b). Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Siregar et al. (2008) dan observasi visual dapat dinyatakan bahwa substrat pasir pada Karang Congkak dan Karang Lebar lebih mendominasi seluruh wilayah kajian, hal ini pun terlihat pada Gambar 10 yang ditampilkan dengan warna putih dengan kedalaman kurang dari 1,3 meter pada Karang Congkak dan Karang Lebar. Namun warna putih juga dapat disertai informasi lain seperti adanya buih (ombak) yang tercipta pada saat air laut menghempas tubir yang didominasi oleh habitat karang hidup. Warna hijau muda dengan kedalaman antara 1,4-1,9 meter didominasi dengan substrat lamun, hal ini juga terlihat pada saat survei lapang bahwa lamun banyak mendominasi pada selang kedalaman tersebut.
Gambar 9. Kedalaman estimasi perairan dangkal Karang Congkak dan Karang Lebar dengan menggunakan algoritma Lyzenga
33
Gambar 10. Kedalaman estimasi perairan dangkal Karang Congkak dan Karang Lebar dengan menggunakan algoritma Lyzenga (reclass)
34
35
4.1.3. Matriks Kesalahan Berdasarkan hasil perhitungan user accuracy dan producer accuracy yang diperoleh tidak semua kelas kedalaman terwakili dengan baik. Pada selang kelas kedalaman 2-4,3 m diperoleh user accuracy dengan nilai sebesar 54% dan producer accuracy sebesar 60%, sehingga dapat dikatakan model regresi yang digunakan untuk mengestimasi kedalaman memadai pada selang kedalaman tersebut. Selain itu, pada kelas kedalaman >8 m diperoleh user accuracy sebesar 72% yang merupakan akurasi yang cukup tinggi. Namun belum dapat dikatakan pada kelas kedalaman tersebut kedalaman aktual dapat terwakili dengan baik oleh kedalaman estimasi karena selang kedalaman tersebut berada pada kelas kedalaman akhir dengan batasan yang tak tentu. Tabel 4. Matriks kesalahan kelas nilai kedalaman aktual dan kedalaman estimasi. Aktual Estimasi β€0,4 0,5-0,9 1-1,3 1,4-1,9 2-4,3 4,4-6 6,1-8 >8 Total kolom Producer accuracy
β€0,4
0,5-0,9
1-1,3
1,4-1,9
2-4,3
4,4-6
6,1-8
>8
4 9 6 2 1 0 0 0 22
25 30 19 25 13 3 0 0 115
9 6 13 16 16 4 0 0 64
7 3 7 45 40 6 0 0 108
0 0 0 7 84 25 23 0 139
0 0 0 0 3 22 17 0 42
0 0 0 0 0 7 13 11 31
0 0 0 0 0 8 68 84 160
0.18
0.26
0.20
0.42
0.60
0.52
0.42
0.53
Total baris 45 48 45 95 157 75 121 95 681
User accuracy 0.09 0.63 0.29 0.47 0.54 0.29 0.11 0.88 0.43
Pengambilan sampel secara acak dilakukan pada 741 data. Pada setiap kelas kedalaman dapat dilihat bahwa banyak data kedalaman estimasi yang mengalami overestimate. Hal ini dapat dikarenakan oleh beberapa faktor seperti ketidaksensitifan alat sounding untuk merekam data ketika terjadi perubahan yang signifikan dari dangkal ke dalam sehingga terjadi bias yang cukup tinggi pada data kedalaman aktual yang terekam. Selain itu dapat dikarenakan oleh asumsi
36
bahwa substrat dasar perairan dianggap sama sehingga menurunkan nilai korelasi dan mempengaruhi nilasi estimasi hasil dari model yang terpilih. Tabel 5. Matriks kesalahan kelas kedalaman aktual dan kedalaman estimasi (reclass). Aktual Estimasi 0-1.3 1,4-1,9 2-4,3 4,4-8 >8 Total kolom Producer accuracy
0-1.3
1,4-1,9
2-4,3
4.4-8
>8
Total baris
User accuracy
145 43 30 7 0 225 0.64
19 45 40 6 0 110 0.41
0 7 84 48 5 144 0.58
0 0 3 59 18 80 0.74
0 0 0 76 84 160 0.53
164 95 157 196 107 719
0.88 0.47 0.54 0.30 0.79 0.58
Karena nilai user accuracy dan producer accuracy pada beberapa kelas kurang dari 50%, maka pada selang kelas kedalaman dilakukan pengkelasan baru. Pada pengkelasan baru ini menghasilkan 5 kelas kedalaman yang baru dengan total akurasi sebesar 58%. Selang kelas kedalaman 0 hingga 1,3 m, kelas 2 hingga 4,3 m, dan kelas 4,4 hingga 8 m citra mampu mewakili kedalaman aktual karena producer accuracy yang melebihi 50%. Pada selang kelas kedalaman 1,4 hingga 1,9 m memiliki user accuracy dan producer accuracy yang rendah dengan nilai 47% dan 41%. Hal ini dapat disebabkan oleh tingkat kecerahan perairan yang dapat mempengaruhi nilai reflektansi yang tercatat oleh sensor, hal ini juga dinyatakan dalam penelitian VahtmΓ€e dan Kutser (2007) bahwa absorpsi cahaya oleh coloured dissolved organic matter (CDOM) dan penghamburan cahaya oleh partikel tersuspensi dapat mempengaruhi pengukuran kedalaman oleh instrumen penginderaan jauh. Kelas kedalaman ini dapat digunakan sebagai acuan pembuatan peta sebaran terumbu karang untuk pengelolaan terumbu karang. Kelima kelas kedalaman ini dapat dilakukan reclass kembali apabila ingin memperoleh total
37
akurasi yang lebih besar. Namun dalam hal ini tidak dilakukan karena persantese total akurasi yang diperoleh dari kelima kelas tersebut lebih dari 50% dan hal ini dapat dikatakan cukup memadai.
4.2. Galat (Error) Model Nilai Digital Asli dengan Algoritma Lyzenga Grafik antara kedalaman aktual dan kedalaman estimasi pada Gambar 10 menunjukkan bias yang tinggi pada kedalaman estimasi lebih dari 8 meter, hal ini dapat dilihat dari banyak nilai kedalaman yang mengalami penyimpangan. Model dugaan yang digunakan hanya mampu mengestimasi kedalaman yang mendekati kedalaman aktual hingga nilai kedalaman Β± 16 m, hal ini juga dapat terlihat pada grafik Gambar 11. Walaupun demikian, kedalaman estimasi perairan dangkal dalam Gobah Karang Congkak dan Karang Lebar dapat terwakili dengan baik kisaran nilai kedalaman 0 hingga 6 m. Kedalaman aktual (m) -14
-12
-10
-8
Kedalaman estimasi (m)
-16
0,0 -6 -4 -2 0 -2,0 -4,0 -6,0 -8,0 -10,0 -12,0 y = 0,790x - 1,095 -14,0 RΒ² = 0,778 -16,0
Gambar 11. Grafik perbandingan antara nilai kedalaman estimasi (estimated depth) terhadap nilai kedalaman aktual (actual depth) Berdasarkan grafik Gambar 11 yang membandingkan data kedalaman aktual dan data kedalaman estimasi hasil transformasi algoritma Lyzenga yang
38
dikembangkan, menunjukkan nilai r sebesar 0,882 (Lampiran 3) dengan RMSE sebesar 1,61 m. Karena nilai korelasi yang dihasilkan mendekati 1, maka dapat dikatakan keeratan hubungan antara kedalaman estimasi dan kedalaman aktual sangat baik. Hal ini juga dibuktikan dengan banyak bias (selisih antara nilai kedalaman aktual dan kedalaman estimasi) yang kecil pada setiap data kedalaman (Lampiran 4). Nilai RMSE akan meningkat seiring meningkatnya nilai kedalaman aktual sehingga dapat mempengaruhi perhitungan nilai kedalaman estimasi, hal ini juga dinyatakan pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Mishra et al. (2001) yang menggunakan citra IKONOS Multispektral untuk memetakan kedalaman dengan algoritma Lyzenga. Mishra et al. (2001) menyatakan bahwa apabila semakin dalam (kedalaman) jalur panjang gelombang sinar tampak yang akan dilalui, maka akan semakin bertambah besar atenuasi cahaya yang akan mengurangi intensitas cahaya tersebut. Mishra et al. (2001) juga menambahkan korelasi antara dua variabel input pada model akan semakin kecil dengan seiringnya bertambah nilai kedalaman. Hal ini disebabkan karena adanya kontribusi dari suatu faktor yang berkurang seperti nilai reflektansi dari dasar perairan yang seharusnya dapat ditangkap oleh sensor satelit. Oleh karena itu, nilai transformasi dari panjang gelombang sinar tampak pada masing-masing kanal pun mengalami penurunan dan lebih banyak dipengaruhi oleh reflektansi dari partikel-partikel di kolom air. Hasil analisis residual merupakan selisih antara hasil model kedalaman estimasi dengan kedalaman aktual. Analisis ini umumnya digunakan untuk penafsiran kesesuaian antara data hasil estimasi dengan data hasil lapang yang
39
digunakan. Nilai kedalaman aktual dan nilai kedalaman estimasi diplotkan ke dalam grafik analisis residual sehingga membentuk pola tersebar acak seperti yang terlihat pada Gambar 12. 6,0 4,0 2,0 0,0 -2,0 -4,0 -6,0 Gambar 12. Grafik analisis residual antara nilai kedalaman aktual dengan kedalaman estimasi Karena nilai RMSE pada grafik perbandingan antara kedalaman estimasi dan aktual sebesar 1,61 m, oleh karena itu kisaran keakurasian yang digunakan antara -2 dan 2 meter. Pada grafik analisis residual terlihat bahwa 561 titik sampel dari 741 titik sampel yang diplotkan berada selang pada -2 dan 2 meter. Hasil analisis residual menunjukkan bahwa data kedalaman estimasi dapat dipercaya tingkat keakurasiannya sebesar 75,71% Β± 2 meter. Oleh karena itu dapat dikatakan model regresi linier yang dianalisis memiliki akurasi sebesar 75,71% pada kisaran bias Β± 2 meter.
5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Pemetaan kedalaman perairan Karang Congkak dan Karang Lebar menggunakan Citra IKONOS Pan-Sharpened kanal hijau dengan model dugaan ππ = 3,602 β ln(ππ β ππππ ππππππππππ βππππππππ) β 16,86 . Model dugaan ini memiliki nilai 0T
koefisien korelasi dan determinasi yang tinggi yaitu sebesar 0,88 dan 0,78.
Perbandingan antara nilai kedalaman aktual dan estimasi menunjukkan nilai RMSE sebesar 1,61 m. Bias semakin besar seiring dengan meningkatnya kedalaman. Kedalaman dibagi menjadi 5 kelas. Kelas kedalaman estimasi yang mampu mewakili kedalaman aktual adalah kelas kedalaman 0 hingga 1,3 m, kelas 2 hingga 4,3 m, dan kelas 4,4hingga 8 m dengan nilai producer accuracy yang melebihi 50%.
5.2. Saran Pada penelitian selanjutnya diharapkan untuk mempertimbangkan perbedaan tipe substrat dasar sehingga model dugaan yang dihasilkan lebih akurat karena pada penelitian ini mengasumsikan substrat dasar perairan semua sama (homogen).
40
DAFTAR PUSTAKA
Biertwith, P. N., T. J. Lee, dan R. V. Burne. 1993. Shallow Sea-Floor Reflectance and Water Depth Derived by Unmixing Multispectral Imagery. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing. 59(3): 331338. Deng, Z., Ji, M., dan Zhang, Z. 2008. Mapping Bathymetry From Multi-Source Remote Sensing Images: A Case Study In The Beilun Estuary, Guangxi, China. The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences. 37(8): 1321-1326. GeoEye, LLC. 2010. IKONOS high-resolution satellite imagery. http://www.landinfo.com/satprices.htm. [20 Maret 2010]. Geosage. 2010. Image Fusion. http://www.geosage.com/highview/imagefusion.html. [7 April 2010] Green, E.P., P.J. Mumby, dan A.J. Edwards. 2000. Mapping bathymetry. In A.J. Edwards (Ed.), Remote Sensing Handbook for Tropical Coastal Management. Coastal Management Sourcebook 3. UNESCO, Paris. Hal. 219-234 Grodecki, J. dan G. Dial. 2001. IKONOS Geometric Accuracy. Space Imaging. Thornton, USA. Hildanus. 2002. Kajian penggunaan data IKONOS dan Landsat untuk evaluasi hutan hujan tropika dataran rendah. Tesis (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hanaizumi, H., M. Akiba, H. Yamano, dan T. Matsunaga. 2008. A pansharpening method for satellite image-based coral reef monitoring with higher accuracy. Proceedings of the 11th International Coral Reef Symposium, 7-11 July 2008. Ft. Lauderdale, Florida. Hal. 626-630. International Hidrographyc Organization (IHO). 2010. Definiton of Hidrographyc. http://www.iho-ohi.net/english/home/about-theiho/definition-of-hydrography.html. [13 Maret 2011] Lillesand, T. M. dan R. W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Intepretasi Citra. Diterjemahkan oleh Dulbahri, P. Suharso, Hartono, dan Suharyadi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta, Indonesia. Mathworks. Residual analysis. http://www.mathworks.com/help/toolbox/ident/ug/bq1sjml.html. [25 Agustus 2011]
41
42
Meaden, G. J. dan J. M. Kapetsky. 1991. Geographycal information systems and remote sensing inland fisheries and acuaculture. FAO Tech. Pap. 318. Mumby, P. J., C. D. Clark, E. P. Green, dan A. J. Edwards. 1998. Benefits of water column correction and contextual editing for mapping coral reefs. Int. J. Remote Sensing. 19(1): 203-210. Mishra, D., S. Narumalani, M. Lawson, dan D. Rundquist. 2001. Bathymetric Mapping Using IKONOS Multispectral Data. GIS Science and Remote sensing. 41(4): 301-321. Selamat, M. B. dan B. Nababan. 2009. Bathymetric mapping using SPOT satellite of Pandangan Island waters in the Makassar strait. Jurnal Kelautan Nasional. 1: 98-107. Siregar, V., S. Wouthuyzen, dan S. Sukimin. 2008. Pendugaan potensi ikan karang dengan citra satelit resolusi tinggi dan merancang alat tangkap yang selektif di Kepulauan Seribu. Laporan Penelitian. Seameo Biotrop. Siregar, V. P. dan M. B. Selamat. 2010. Evaluasi citra Quickbird untuk pemetaan batimetri gobah dengan menggunakan data perum: studi kasus gobah karang lebar dan pulau panggang. Ilmu Kelautan. 1: 99-109. VahtmΓ€e, E. dan T. Kutser. 2007. Mapping Bottom Type and Water Depth in Shallow Coastal Waters with Satellite Remote Sensing. Journal of Coastal Research, SI 50(Proceedings of the 9th International Coastal Symposium):185-189. Gold Coast, Australia. Walpole, R. E. 1997. Pengantar Statistika. PT Gramedia Pustaka Umum. Jakarta. Wang, L., W. P. Sousa, P. Gong, dan G. S. Biging. 2004. Comparison of IKONOS and Quickbird images for mapping mangrove species on the Carribean coast of Panama. Remote Sensing of Environment. 91: 432440. Wouthuyzen, S. 2001. Pemetaan perairan dangkal dengan menggunakan citra satelit landsat-5 tm guna dipakai dalam pendugaan potensi ikan karang : Suatu studi di pulau-pulau padaido. Seminar Sehari βPotensi dan Eksploitasi Sumberdaya Alam Nasional Dalam Mendukung Otonomi Daerahβ. 29 Maret 2001. Jakarta, Inodnesia.
LAMPIRAN
44
Lampiran 1. Metadata Citra IKONOS Pan-Sharpened yang diakuisisi pada tanggal 8 Juli 2008. Creation Date: 10/15/08 Product Work Order Number: sa-or-ik-341-1008 Product Order Number: 1846967 Customer Project Name: sa-or-ik-341-1008 Ground Station ID: PGS License Type: Single Organization Product Order Area (Geographic Coordinates) Number of Coordinates: 4 Coordinate: 1 Latitude: -5.7708330000 degrees Longitude: 106.5352780000 degrees Coordinate: 2 Latitude: -5.6775000000 degrees Longitude: 106.5352780000 degrees Coordinate: 3 Latitude: -5.6775000000 degrees Longitude: 106.6230560000 degrees Coordinate: 4 Latitude: -5.7708330000 degrees Longitude: 106.6230560000 degrees Product Order Area (Map Coordinates in Map Units) Coordinate: 1 Map X (Easting): 670025.61 meters Map Y (Northing): 9372219.68 meters Coordinate: 2 Map X (Easting): 679749.15 meters Map Y (Northing): 9372193.16 meters Coordinate: 3 Map X (Easting): 679719.98 meters Map Y (Northing): 9361871.94 meters Coordinate: 4 Map X (Easting): 669998.02 meters Map Y (Northing): 9361898.89 meters Sensor Type: Satellite Sensor Name: IKONOS-2 Processing Level: Standard Geometrically Corrected Image Type: PAN/MSI Interpolation Method: Cubic Convolution Multispectral Algorithm: Projective Stereo: Mono Mosaic: No Map Projection: Universal Transverse Mercator UTM Specific Parameters Hemisphere: S Zone Number: 48 Datum: WGS84 Product Order Pixel Size: 1.0000000000 meters Product Order Map Units: meters MTFC Applied: Yes DRA Applied: Yes Media: DVD File Format: GeoTIFF TIFF Tiled: No Bits per Pixel per Band: 8 bits per pixel Multispectral Files: RGB File RGB Bands Red Band: Red Color Green Band: Green Color Blue Band: Blue Color
45
Lampiran 2. Histogram pengkelasan nilai kedalaman a. Kelas kedalaman awal. 70
-8,0
50 -6,0 -4,3
40
-1,9 -1,3 -0,9 -0,4
30 20
Frekuensi
60
10 0 -14,0
-12,0
-10,0
-8,0
-6,0
-4,0
-2,0
0,0
2,0
Kedalaman estimasi (m)
b. Kelas kedalaman hasil pengkelasan ulang (reclass). 70 -8,0
60
-6,0
-4,3
Frekuensi
50 40 -1,9 -1,3 30 20 10 0 -14,0
-12,0
-10,0
-8,0
-6,0
-4,0
Kedalaman (m)
-2,0
0,0
2,0
46
Lampiran 3. Hasil analisis regresi statisik hubungan antara nilai kedalaman aktual dan nilai kedalaman estimasi dari algoritma Lyzenga (1985) yang dikembangkan. Regression Statistics Multiple R 0.8824 R Square 0.7786 Adjusted R Square 0.7783 Standard Error 1.6081 Observations 741 ANOVA df Regression Residual Total
SS MS F 1 6722.7543 6722.7543 2599.5688 739 1911.1306 2.5861 740 8633.8848
Significance F 3.3901E-244
47
Lampiran 4. Contoh Data nilai kedalaman in situ dan kedalaman estimasi hasil pengembangan model Lyzenga, dan nilai biasnya. Easting 675818 675825 675825 675826 675827 675957 675962 675967 675977 675984 675991 675999 676007 676018 676028 676034 676038 676038 676037 676033 676031 676030 676029 676029 676029 676029 676028 676029 676030 676032 676032 676033 676034 676036 676049 676053 676055
Northing 9369621 9369627 9369626 9369625 9369625 9369839 9369851 9369864 9369885 9369897 9369908 9369918 9369926 9369929 9369924 9369915 9369901 9369885 9369869 9369854 9369839 9369824 9369809 9369793 9369778 9369763 9369748 9369733 9369718 9369703 9369688 9369673 9369658 9369643 9369583 9369568 9369553
Kedalaman aktual (m) -0.6 -0.5 -0.6 -0.5 -0.4 -0.6 -0.6 -0.6 -0.7 -0.8 -0.6 -0.7 -0.8 -0.9 -0.7 -0.8 -1 -0.9 -0.9 -0.7 -0.8 -0.6 -0.6 -0.4 -0.4 -0.4 -0.4 -0.4 -0.3 -0.3 -0.3 -0.3 -0.4 -0.4 -0.6 -0.5 -0.3
Kedalaman Estimasi (m) Bias (m) -0.5 -0.1 -0.1 -0.4 -0.3 -0.3 -0.3 -0.2 0.4 -0.8 -1.7 1.1 -0.4 -0.2 -2.0 1.4 -0.4 -0.3 -0.5 -0.3 -1.5 0.9 -1.0 0.3 -1.1 0.3 -1.7 0.8 -2.2 1.5 -1.5 0.7 -1.3 0.3 -0.6 -0.3 -1.1 0.2 -1.0 0.3 -0.7 -0.1 -1.1 0.5 -0.7 0.1 -1.1 0.7 -0.5 0.1 -1.0 0.6 -1.3 0.9 -0.9 0.5 -0.7 0.4 -0.4 0.1 -0.4 0.1 -1.1 0.8 -1.5 1.1 -0.5 0.1 -0.6 0.0 -0.6 0.1 -0.4 0.1
47 Lampiran 4 (Lanjutan) 675825 675828 675829 675831 675830 675832 675832 675828 675829 675831 675830 675823 675822 675823 675827 675824 675825 675826 675825 675829 675828 675826 675827 675827 675828 675831 675830 675830 675827 675827 675826 675826 675828 675830 675832 675833 675835 675836 675838 675839 675840
9369594 9369594 9369594 9369595 9369595 9369597 9369596 9369595 9369595 9369596 9369596 9369596 9369595 9369595 9369595 9369596 9369595 9369595 9369596 9369596 9369596 9369596 9369596 9369597 9369597 9369597 9369597 9369598 9369598 9369599 9369599 9369598 9369600 9369602 9369602 9369602 9369602 9369601 9369601 9369600 9369599
-1.7 -1.5 -1.5 -0.9 -0.8 -0.9 -0.8 -1.3 -1.2 -1.6 -1.6 -2.2 -2.4 -2.2 -1.7 -1.7 -1.9 -1.8 -1.7 -1.6 -2 -1.8 -1.6 -1.5 -1.2 -1.1 -1.1 -1.4 -1.5 -1.4 -1.5 -1.6 -1.2 -1.1 -0.8 -0.4 -0.7 -0.6 -0.7 -0.5 -0.5
-2.2 -1.7 -1.7 -1.3 -1.0 -0.4 -0.5 -1.7 -1.3 -1.3 -0.9 -2.4 -2.2 -2.6 -1.9 -2.2 -1.9 -2.4 -2.0 -1.0 -1.5 -1.9 -1.9 -1.5 -1.4 -0.6 -0.6 -0.6 -1.3 -1.3 -1.9 -1.7 -1.3 -0.7 0.4 0.3 0.2 0.4 0.3 0.4 0.1
0.5 0.2 0.2 0.4 0.2 -0.5 -0.3 0.4 0.1 -0.3 -0.7 0.2 -0.2 0.4 0.2 0.5 0.0 0.6 0.3 -0.6 -0.5 0.1 0.3 0.0 0.2 -0.5 -0.5 -0.8 -0.2 -0.1 0.4 0.1 0.1 -0.4 -1.2 -0.7 -0.9 -1.0 -1.0 -0.9 -0.6
48 Lampiran 4 (Lanjutan) 675841 675844 675844 675844 675845 675847 675841 675841 675841 675842 675841 675841 675796 675788 675779 675772 675762 675750 675739 675683 675672 675661 675651 675642 675624 675613 675606 675599 675592 675587 675581 675573 675564 675503 675499 675497 675498 675500 675503 675507 675511
9369598 9369596 9369595 9369594 9369594 9369591 9369549 9369534 9369519 9369504 9369490 9369476 9369500 9369512 9369524 9369537 9369548 9369558 9369567 9369612 9369621 9369631 9369641 9369652 9369665 9369689 9369701 9369713 9369726 9369739 9369752 9369764 9369773 9369714 9369700 9369684 9369669 9369653 9369638 9369622 9369607
-1.4 -1.7 -1.5 -0.7 -0.5 -0.4 -3.6 -3.1 -3 -1.6 -0.7 -0.7 -2.3 -2.9 -1.8 -2.7 -2.8 -4.2 -5.9 -9.1 -7.9 -8.8 -8.3 -3.6 -1.5 -2.7 -2 -1.5 -1.4 -1.4 -1 -0.5 -0.5 -5.8 -7.5 -8.6 -9 -9.1 -9.6 -9.8 -9.7
0.4 0.6 0.5 0.5 0.4 -0.7 -3.7 -3.7 -3.0 -1.7 -2.0 -0.9 -2.4 -4.0 -6.0 -6.0 -8.0 -8.0 -10.4 -12.8 -8.0 -9.0 -9.0 -6.5 -6.0 -7.2 -5.5 -3.7 -1.4 -0.7 -0.2 0.3 -2.2 -10.4 -10.4 -9.0 -9.0 -9.0 -9.0 -9.0 -9.0
-1.8 -2.3 -2.0 -1.2 -0.9 0.3 0.1 0.6 0.0 0.1 1.3 0.2 0.1 1.1 4.2 3.3 5.2 3.8 4.5 3.7 0.1 0.2 0.7 2.9 4.5 4.5 3.5 2.2 0.0 -0.7 -0.8 -0.8 1.7 4.6 2.9 0.4 0.0 -0.1 -0.6 -0.8 -0.7
49 Lampiran 4 (Lanjutan) 675515 675520 675525 675529 675534 675538 675543 675547 675602 675609 675615 675624 675625 675621 675614 675607 675601 675595 675589 675581 675572 675541 675533 675527 675522 675495 675488 675464 675456 675448 675439 675431 675423 675414 675405 675397 675389 675368 675361 675353 675345
9369591 9369576 9369561 9369547 9369533 9369520 9369506 9369494 9369343 9369330 9369319 9369285 9369273 9369264 9369259 9369259 9369262 9369269 9369278 9369287 9369293 9369307 9369314 9369323 9369333 9369368 9369376 9369396 9369402 9369409 9369415 9369422 9369428 9369434 9369441 9369448 9369456 9369481 9369490 9369497 9369504
-9.4 -8.8 -3.1 -4.3 -4 -4.7 -5 -1 -0.8 -0.5 -0.5 -0.4 -0.6 -0.7 -1.1 -1.5 -1.9 -2.1 -2.5 -2.6 -1.4 -10.3 -10.5 -10.6 -10.8 -11.4 -12.2 -13.8 -13.4 -12.3 -10.9 -9.4 -9.8 -2.1 -1.2 -1.1 -1.1 -1.3 -1.4 -2 -2.5
-10.4 -8.0 -8.0 -8.0 -7.2 -8.0 -5.5 -2.8 -0.7 -0.3 -0.2 -0.4 -0.7 -0.9 -1.3 -2.0 -2.4 -2.6 -3.5 -7.2 -6.0 -12.8 -9.0 -10.4 -10.4 -12.8 -9.0 -10.4 -12.8 -10.4 -8.0 -9.0 -8.0 -4.7 -3.2 -6.0 -4.0 -4.7 -4.0 -3.0 -2.6
1.0 -0.8 4.9 3.7 3.2 3.3 0.5 1.8 -0.1 -0.2 -0.3 0.0 0.1 0.2 0.2 0.5 0.5 0.5 1.0 4.6 4.6 2.5 -1.5 -0.2 -0.4 1.4 -3.2 -3.4 -0.6 -1.9 -2.9 -0.4 -1.8 2.6 2.0 4.9 2.9 3.4 2.6 1.0 0.1
50 Lampiran 4 (Lanjutan) 675338 675333 675327 675321 675315 675311 675304 675300 675296 675291 675285 675280 675272 675264 675257 675251 675246 675241 675235 675230 675224 675218 675212 675207 675201 675197 675191 675185 675179 675173 675166 675160 675154 675147 675139 675132 675128 675124 675118 675116 675511
9369512 9369521 9369532 9369542 9369553 9369563 9369574 9369586 9369596 9369607 9369617 9369626 9369632 9369639 9369648 9369657 9369668 9369678 9369688 9369698 9369709 9369719 9369730 9369740 9369751 9369762 9369772 9369782 9369792 9369802 9369812 9369822 9369832 9369842 9369845 9369842 9369834 9369823 9369801 9369788 9369607
-2.4 -2.4 -2.5 -2.8 -3 -3.1 -3.2 -2.9 -2.8 -3.4 -2.9 -2.9 -3.4 -3.7 -3.7 -3.9 -3.3 -3 -2.3 -1.4 -1.1 -0.9 -1 -1 -1 -0.9 -1 -1.1 -1.2 -1.3 -1.2 -1.3 -1.4 -1.6 -1.9 -2.6 -3.1 -7.6 -8.8 -9.5 -9.7
-2.8 -6.0 -4.7 -3.7 -3.5 -4.3 -3.7 -4.3 -6.0 -6.0 -6.0 -5.5 -4.3 -4.3 -4.0 -4.0 -4.0 -3.5 -2.4 -2.8 -1.9 -2.4 -1.3 -1.4 -1.3 -1.5 -2.4 -3.5 -3.2 -1.9 -1.9 -2.4 -2.4 -2.6 -3.2 -3.2 -4.0 -10.4 -9.0 -8.0 -9.0
0.4 3.6 2.2 0.9 0.5 1.2 0.5 1.4 3.2 2.6 3.1 2.6 0.9 0.6 0.3 0.1 0.7 0.5 0.1 1.4 0.8 1.5 0.3 0.4 0.3 0.6 1.4 2.4 2.0 0.6 0.7 1.1 1.0 1.0 1.3 0.6 0.9 2.8 0.2 -1.5 -0.7
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 November 1987. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari Bapak K. Johnson Rajagukguk dan Ibu Ida Hutagalung. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan di SMA TARAKANITA I dan lulus tahun 2006. Penulis diterima sebagai mahasiswa IPB pada tahun 2006 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama perkuliahan penulis pernah aktif menjadi asisten mata kuliah Penginderaan Jarak Jauh Kelautan (2010-2011) dan asisten mata kuliah Dasar-dasar Penginderaan Jauh Kelautan (2010-2011). Penulis juga aktif dalam organisasi kemahasiswaan sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) periode 2008 β 2009 dan periode 2009 β 2010. Sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dengan judul βPemetaan Batimetri Perairan Dangkal Karang Congkak dan Karang Lebar Dengan Menggunakan Citra IKONOS Pan-Sharpenedβ di bawah bimbingan Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si dan Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA.