Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 17, No.2, 2012, halaman 158-163
ISSN : 1410-0177
PEMBUATAN MIKROKRISTALIN SELULOSA DARI AMPAS TEBU (Saccharum officinarum L.) Zulharmita, Siska Nola Dewi, Mahyuddin Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi (STIFARM) Padang ABSTRACT A study on the preparation of microcrystalline cellulose from sugar cane bagasse (Saccharum officinarum L.) has been carried out. A total of 250 grams of dry sugar cane bagasse was made into alpha-cellulose by the method of multistage pulping and hydrolyzed with hydrochloric acid to produce microcrystalline cellulose which was further characterized. Microcrystalline cellulose were obtained as much as 71.5 grams with a yield of 28.6%. Characterization of microcrystalline cellulose from dry sugar cane bagasse, was done, including loss on drying, organoleptic, blue-violet coloured with of iodinated zinc chloride solution, soluble in the ammoniacal copper tetrammine solution, water-disoluble substances, not giving blue coloured with iodine 0.05 M, pH ± 6 and absorbance spectrum using FT-IR spectrophotometer as same as the standard. It was concluded that microcrystalline cellulose from sugar cane bagasse and Vivacel PH 102® has fulfilled the requirements of British Parmacopoeia 2002. Keyword : microcrystalline cellulose, cellulose, sugar cane bagasse.
PENDAHULUAN Tebu merupakan salah satu jenis tanaman yang hanya dapat ditanam di daerah yang memiliki iklim tropis, termasuk salah satunya di Indonesia. Perkebunan tebu di Indonesia menempati luas wilayah kurang lebih 232 ribu hektar, yang tersebar di Medan, Sumatera barat, Lampung, Semarang, Solo. Pada tahun 2006, produksi tebu di Indonesia mencapai kurang lebih 64.169,06 ton. Dalam proses produksi gula, dari setiap tebu yang diproses dihasilkan ampas tebu (Wijayanti, 2009). Limbah pabrik gula berupa ampas tebu dapat mengganggu lingkungan apabila tidak dimanfaatkan. Selama ini pemanfaatan ampas tebu hanya terbatas untuk makan ternak, bahan baku pembuatan pupuk, pulp, dan untuk bahan bakar boiler di pabrik gula. Nilai ekonomi
yang diperoleh dari pemanfaatan tersebut masih cukup rendah. Ampas tebu memiliki kandungan selulosa sebanyak 37,65%, ampas tebu akan lebih bermanfaat bila diberikan perlakuan lebih lanjut (Wijayanti, 2009; Indriani dan Sumiarsih, 1992). Selulosa dapat dibuat menjadi mikrokristalin selulosa, yaitu dengan melarutkan selulosa dalam larutan alkali kuat maka akan diperoleh selulosa yang hampir murni yang dikenal dengan αselulosa dan dengan merendam α-selulosa dengan asam, kemudian dihaluskan secara mekanik akan didapat mikrokristalin selulosa (Halim, et al., 2002; Committee on Food Chemicals Codex, 2004; Halim, 1999). Pemanfaatan mikrokristalin selulosa dalam bidang farmasi di antaranya digunakan sebagai eksepien untuk percetakan tablet, 158
Zulharmita., et al.
mengurangi sedimentasi pada suspensi dan sirup kering, sebagai bahan pengikat kering untuk kapsul, dan sebagai stabilisator (Voigh, 1994). Mikrokristalin selulosa merupakan bahan penghancur yang baik, memudahkan percetakan tablet, (Ohwoavworhua, et al,2009). Ketersediaan perdagangan mikrokristalin selulosa diambil dari sebuk kayu dan kapas juga merupakan sumber yang lazim. Dalam perdagangan mikrokristalin selulosa dikenal dengan nama Avicel®, Vivacel®, Filtrate®, Heweten®, dan Farmacel® (Voigh,1994). METODA PENELITIAN a. Alat dan Bahan Alat Timbangan analitik (Ohaus®), Oven (Memmert®), seperangkat alat gelas, penyaring kaca masir, alat refluk, dan spektrofotometer FT-IR. Bahan Asam nitrat (HNO3), etanol, heksana, natrium hidroksida (NaOH) (Bratako®), natrium hipoklorit (NaOCl) (Bayclin®), natrium nitrit (NaNO2) (Bratako®), natrium sulfit (Na2SO3) (Bratako®), HCl (Merck®), aqua destilata, tembaga (II) sulfat, Vivacel PH 102®, seng klorida, kalium iodida, amoniak (Merck®), dan iodium. b. Pembuatan Reagen Larutan Tembaga Ammonium Tetraamin Sebanyak 34,5 g tembaga (II) sulfat dilarutkan ke dalam 100 mL air sambil diaduk, ditambahkan tetes demi tetes amoniak 13,5 M sampai endapan yang terbentuk larut sempurna, dipertahankan pada suhu di bawah 200C. Kemudian ditambahkan tetes demi tetes larutan natrium hidroksida 10 M, di kocok terus menerus, endapan yang terbentuk disaring melalui penyaring kaca masir (porositas no.3). Endapan di cuci dengan air sampai filtrat jernih dan endapan diaduk dengan 200 mL amoniak 13,5 M. Kemudian disaring melalui penyaring kaca masir dan ulangi penyaringan untuk
J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012
mengurangi residu sekecil mungkin maka akn dihasilkan filtrat berwarna biru (British Pharmacopoeia, 2002). Larutan Seng Klorida Beriodium Sebanyak 20 g seng klorida dan 6,5 g kalium iodida dilarutkan dalam 10,5 mL air. Kemudian ditambahkan 0,5 g iodium dan dikocok selama 15 menit. Saring dan disimpan pada tempat yang terlindung dari cahaya (British Pharmacopoeia, 2002). Larutan Iodium Sebanyak 20 g kalium iodida dilarutkan dalam sedikit air, ditambahkan 13 g iodium. Dikocok sampai larut dan dicukupkan dengan air sampai 1.000 mL (British Pharmacopoeia, 2002). c. Prosedur Penelitian Pengambilan Sampel Sampel ampas tebu (Saccharum officinarum L.) diambil dari pasar raya Padang. Identifikasi Sampel Identifikasi Tebu (Saccharum officinarum L.) dilakukan di Herbarium Biologi Fakultas FMIPA Universitas Andalas Padang. Pembuatan Mikrokristalin Selulosa a) Pengolahan Ampas Tebu (Saccharum officinarum L.) Ampas tebu dicuci, dikeringkan, kemudian dirajang dan digiling dengan blender. Sebanyak 250 g serbuk ampas tebu diekstrak dengan heksan-ethanol (2:1 v/v) dalam alat refluk selama 6 jam. Ampasnya kemudian dikeringkan pada suhu kamar (Ohwoavworhoa, et al, 2009). b) Pemurnian Ampas Tebu (Saccharum officinarum L.) Ampas kering dicampur dengan 3,5 liter asam nitrat 3,5% yang mengandung 35 mg natrium nitrit masukan dalam wadah beker glass kemudian panaskan dalam waterbath pada suhu 900C selama 2 jam. Sisanya dicuci dengan air dan disaring dengan kertas saring. Ampasnya ditambahkan dengan 2,5 liter campuran larutan natrium hidroksida dan natrium sulfit 2%, kemudian dipanaskan pada suhu 500C selama 1 jam. Kemudian 159
Zulharmita., et al.
cuci, disaring dan diputihkan dengan 1,7 liter campuran larutan natrium hipoklorit 3,5% dan air (1:1) didihkan selama 10 menit, campuran dicuci dan disaring untuk mendapatkan alfa selulosa. c) Pemisahan Alfa Selulosa Selulosa yang didapat dari ampas tebu ditambah dengan 1,7 liter natrium hidroksida 17,5% dipanaskan pada suhu 800C selama 30 menit. Hasilnya kemudian dicuci bersih dengan air, ampasnya ditambah dengan campuran natrium hipoklorit 3,5% dan air (1:1) dipanaskan pada suhu 1000C selama 5 menit, kemudian dicuci dengan air sampai filtratnya jernih, disaring dan diperas, lalu dikeringkan pada suhu 600C dalam oven. Maka diperoleh alfa selulosa (Ohwoavworhua, et al, 2009). d) Pembuatan Mikrokristalin Selulosa Sebanyak 50 g alfa selulosa dimasukan dalam beker glass dan dihidrolisis dengan HCl 2,5 N sebanyak 1,2 liter dengan cara mendidihkan selama 15 menit, kemudian dituangkan pada air dingin sambil diaduk kuat-kuat dengan spatel dan diamkan semalam. Mikrokristalin selulosa yang dihasilkan dari proses ini dicuci dengan air sampai netral, disaring dan dikeringkan dengan oven pada suhu 57-600C selama 1 jam. Maka diperoleh mikrokristalin selulosa, selanjutnya mikrokristalin selulosa digerus. Hasil disimpan pada suhu kamar dalam desikator (Ohwoavworhua, et al, 2009). Pemeriksaan Mikrokristalin Selulosa Pemeriksaan Mikrokristalin Selulosa meliputi, susut pengeringan, pemeriksaan organoleptis, identifikasi, kelarutan dalam tembaga aminium tetraamin, kelarutan dalam air, uji pati, uji pH, pengamatan dengan spektrofotometer FT-IR. Pengujian ini sesuai dengan British Pharmacopoeia 2002. Susut Pengeringan Sebanyak 5 gram sampel dimasukkan dalam krus porselen, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 1001050C sampai diperoleh berat konstan.
J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012
Persentase susut pengeringan dapat ditentukan dengan perbandingan berat sampel dengan berat setelah dikeringkan (British Pharmacopoeia, 2002). Pemeriksaan Organoleptis Karakteristik bentuk yaitu sampel diletakan di atas dasar yang berwarna putih, diamati bentuk atau rupa, warna, rasa,bau (British Pharmacopoeia, 2002). Identifikasi Sebanyak 10 mg sampel diletak pada kaca arloji dan dispersikan dalam 2 mL larutan seng klorida beriodium. Senyawa akan menjadi warna biru violet (British Pharmacopoeai, 2002). Kelarutan Dalam Tembaga Ammonium Tetraamin Sebanyak 50 mg serbuk dilarutkan dalam 10 mL larutan tembaga ammonium tetraamin. Senyawa larut sempurna, tidak meninggalkan residu (British Pharmacopoeia, 2002). Kelarutan Dalam Air Sebanyak 5 gram sampel dikocok dengan 80 mL aquadest selama 10 menit. Disaring, diuapkan diatas waterbath pada suhu 100-1050C selama satu jam. Berat sisa tidak boleh lebih dari 12,5 mg (0,25%) (British Pharmacopoeia, 2002). Uji Pati Sebanyak 10 mg serbuk ditambahkan 90 mL aquadest dan dipanaskan selama 15 menit. Kemudian disaring selagi panas. Dinginkan dan ditambahkan pada filtrat 0,1 mL iodium 0,05 M, tidak berbentuk warna biru. (British Pharmacopoeia, 2002; Farmakope Indonesia, 1979). Uji pH Sebanyak 2 gram serbuk diaduk dengan 100 mL air suling selama 5 menit dan diukur pHnya dengan pH meter (Ohwoavworhua, et al, 2009; Farmakope Indonesia, 1979). Pengamatan Dengan Spektrofotometer Infra Merah Spektrum IR mikrokristalin selulosa dari ampas tebu dibandingkan dengan spektrum IR Vivacel PH 102 menggunakan spektrofotometer FT-IR. Analisa Data 160
Zulharmita., et al.
Data-data yang didapat dari karakterisasi mikrokristalin selulosa dibandingkan dengan Vivacel PH 102® sebagai standar baku. Data yang akan dianalisa berupa tabel dan angka. Rata-rata pengukuran kedua sampel diuji dengan metode uji t dua sampel independen.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah ampas tebu (Saccharum officinarum L.) yang di ambil dari Pasar Raya Padang. Ampas Tebu memiliki kandungan selulosa yang tinggi sehingga dapat diolah menjadi mikrokristalin selulosa. Pembuatan mikrokristalin selulosa dimulai dengan membersihkan ampas tebu dicuci, dikeringkan dan dijadikan serbuk agar mendapatkan hasil yang sempurna. Selanjutnya sampel direfluks dengan campuran heksan dan etanol (2:1) selama 6 jam. Hal tersebut dilakukan untuk menghilangkan senyawa polar dan non polar yang terdapat dalam ampas tebu. Selanjutnya dilakukan pemanasan dengan larutan asam nitrat 3,5 % dan 40 mg natrium nitrit pada suhu 90 0C selama 2 jam, bertujuan untuk menghilangkan lignin dalam bentuk nitro lignin yang dapat larut. Pemanasan dengan larutan NaOH 2% dan Na2SO3 2 % selama 1 jam pada suhu 50 0C bertujuan untuk menyempurnakan pembebasan lignin dari ampas, setelah proses tersebut dilakukan penambahan campuran larutan natrium hipoklorit 3,5 % dan air (1:1) dan didihkan berguna untuk proses menghilangkan residu lignin pada pulp maka didapatlah holoselulosa. Holoselulosa yang telah didapat ditambahkan dengan larutan NaOH 17,5 % dan panaskan pada suhu 80 0C selama 30 menit berguna untuk pemisahan antara α selulosa, β-selulosa dan γ- selulosa, αselulosa tidak dapat larut dalam larutan NaOH 17,5 % sedangkan β-selulosa dan γ-
J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012
selulosa dapat larut. Alfa selulosa yang didapat diputihkan kembali dengan larutan NaOCl 3,5% dalam air (1:1). Selanjutnya mikrokristalin selulosa dibuat dengan menghidrolisis alfa selulosa dangan HCl 2,5 N. Dari 250 gram ampas tebu didapatkan αselulosa sebanyak 92 gram (36,8%), dan dari 50 g αselulosa didapat mikrokristalin selulosa sebanyak 39 g (78%). sehingga dengan perhitungan dari 250 g ampas tebu akan didapatkan mikrokristalin selulosa sebanyak 71,5 gram (28,6 %). Mikrokristalin selulosa yang didapat dibandingkan dengan mikrokristalin selulosa yang ada di pasaran (Vivacel PH 102®) maka dilakukan pengolahan data dengan uji t dua sampel independen, untuk melihat apakah kedua sampel hasil pengujiannya berbeda nyata atau tidak berbeda nyata. Setelah dilakukan uji organoleptis dari mikrokristalin selulosa yang diperoleh dari ampas tebu dan Vivacel PH 102® ternyata hasilnya sama yaitu serbuk bewarna putih, tidak berbau dan tidak 4 berasa. Hasilnya memenuhi persyaratan British Pharmacopoeia 2002.
Gambar 1. Uji organoleptis Vivacel PH 102® dan mikrokristalin selulosa. Susut pengeringan mikrokristalin selulosa yang diperoleh dari ampas tebu = 5,4% ± 0,1732 dan susut pengeringan Vivacel PH 102® = 5,3% ± 0,2646; sedangkan persyaratan dalam British Pharmacopoeia 2002 tidak boleh lebih dari 6 %. Dari data tersebut ternyata hasilnya memenuhi 161
Zulharmita., et al.
J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012
persyaratan British Pharmacopoeia 2002. Harga thitung = 0,5469 < tkritis = 2,776; maka H0 diterima dan Ha ditolak. Hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara susut pengeringan mikrokristalin selulosa dan Vivacel PH 102®
Table I. Hasil pengeringan
pemeriksaan
No
Susut Pengering an MCC (%)
1. 2. 3. Rata – rata
5,3 5,6 5,3 5,4
susut
Susut Pengering an Vivacel PH 102® (%) 5,1 5.2 5,6 5,3
Identifikasi serbuk mikrokristalin selulosa dengan larutan seng klorida beriodium ternyata hasilnya terbentuk warna biru violet. Hal ini menunjukkan bahwa serbuk yang didapat dari ampas tebu benar mikrokristalin selulosa dan dibandingkan dengan Vivacel PH 102® ternyata hasilnya sama yaitu terbentuk juga warna biru violet. Hasilnya memenuhi persyaratan British Pharmacopoeia 2002.
Gambar 2. identifikasi Vivacel PH102® dan mikrokristalin selulosa dengan larutan
seng klorida beriodium, larutan menjadi warna biru violet.
DAFTAR PUSTAKA Allen, L.V. dan N.G Popovich, H.C. Ansel. (2005). Ansel’s pharmaceutical dosage froms and drug delivery system, (eighth edition), : Philadelphia. Lippincott Williams and wilkins. Anonim. (2002). Brithis Pharmacopoiea, Volume I, London: The Stationary Office. Anonim. (2001). European Pharmacopoeia ( fourt edition), Strasbourg : Council of Europe. Anonim. (2005). United State pharmacopoeia XXVII dan National Formulari XXIII, Rockville: Parkway. Committee on Food Chemicals Codex. (2004). Food Chemicals Codex. (4th ed). Washington: The National Academic Press. Departemen kesehatan RI. (1979). Farmakope Indonesia. (Edisi III) Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Fangel, D dan G. Wegener. (1995), Kayu: Kimia, Ultrastuktur, Reaksi-reaksi, penerjemah: Hardjono Sastrohamidjojo. Yokjakarta: Gajah Mada University Press. Halim, A. (1999). “Pembuatan dan Uji Sifatsifat Teknologi Mikrokristalin Selullosa dari Jerami”. Jurnal Sain dan Teknologi Farmasi, 4,1. Halim, A., ben, E.S., Sulastri. E. (2002). Pembuatan Mikrokristalin Selulosa dari Jerami Padi (Oryza Sativa Linn) dengan Versi Waktu Hidrolisa. Jurnal Sain dan Teknologi Farmasi.7, 2, 8087. Indriani, Y.H., Sumiarsih. E. (1992). Pembudayaan Tebu Dilahan Sawah dan Tegalan, Bandung: Penerbit Penebar Swadaya. Lehninger, L.A, (1982). Dasar-dasar biokimia, Jilid I, Penterjemah M. Thenawidjaja, Jakarta: Erlangga. 162
Zulharmita., et al.
J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012
Malau, K.M. (2009). Pemamfaatan Ampas Tebu Sebagai Bahan Baku Dalam Pembuatan Papan Partikel. (skripsi) Medan : Universitas Sumatera Utara Murray, R.K Granner, P.A. Mayer, V.W. Rodwell. (2003). Biokimia Harper, (Edisi 25). penerjemah: Andry Hartono, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Ohwoavworhua, F.O T.A adelakun dan A.O Okhamafe. (2009). Processing Pharmaceutical Grade microcryistalline cellulose from groundnut husk: extraction methods and characterization, International Journal of Green Pharmacy. 70, 97104. Robinson, Trevor. (1995) Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, (Edisi ke enam), Penterjemah K. Padmawinata, Bandung: Penerbit ITB. Rowe, R.C., sheskay, P.J., Owen, S.C. (2006). Handbook of Pharmaceutical Excipients. London : Pharmaceutical Press Schunack ,W., K, Mayer, M. Haake. (1990). Senyawa obat : buku pelajaran kimia farmasi, (edisi kedua), Penterjemah J. R. Wattimena, dan S. Suebito, Yogyakarta: Gadja Mada University prees. Sjostrom, E. (1998). Kimia Kayu: Proses Dasar dan Penggunaannya, diterjemahkan oleh Hardjono Sastrohamidjono, Yogyakarta, Gajah Mada University press. Voigh, R. (1997). Buku Pelajaran teknologi Farmasi, (edisi kelima), diterjemahkan oleh Soedani Noerono, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wijayanti, R. (2009). Arang Aktif dari Ampas Tebu Sebagai Adsorben Pada Pemurnian Minyak Goreng Bekas. (skripsi). Bogor : Institut Pertanian Bogor.
163