PEMBIAYAAN AKAD MUDHÂRABAH DALAM WACANA FIQH DAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA Sanurdi Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Mataram Email:
[email protected]/
[email protected] Abstrak Dalam skala global konsep ekonomi Islam, telah menjadi perhatian para ilmuwan, akademisi, dan juga praktisi ekonomi. Bukan hanya mereka yang berlatar belakang muslim, akan tetapi juga mereka yang dibesarkan dalam tradisi ekonomi konvensional, dan telah secara serius bergelut di bidang tersebut. Kesadaran akan perlunya alternatif sistem ekonomi baru yang lebih berkeadilan, humanis untuk menggantikan sistem ekonomi sekarang yang sudah tidak terkendali, adalah pemicu ketertarikan para teoretisi dan praktisi ekonomi secara umum. Adapun di kalangan umat Islam, kondisi ini nampaknya menjadi angin segar yang memberikan motivasi dan kepercayaan diri untuk secara lebih serius menggali dan mengembangkan konsep ekonomi Islam dan menggagas implimentasinya dalam skala yang lebih besar dan massif. Di Indonesia, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, geliat akademik dan juga gagasan implimentasi ekonomi syariah sudah dimulai dan selalu dalam evaluasi terus menerus secara kolektif untuk menuju sistem ekonomi Islam yang sesungguhnya. Diskursus yang dikembangkan dari kajiankajian fiqh dan juga pengalaman empirik umat Islam Indonesia, coba dielaborasi dalam tulisan ini. Tujuannya adalah untuk melakukan evaluasi dan juga penyempurnaan pada beberapa hal yang dianggap masih kurang ideal. Fokus analisisnya adalah pada sistem mudharabah yang menjadi core praktis ekonomi Islam. Kata kunci: fiqh, mudharabah, perbankkan Islam
Pendahuluan Kesadaran secara kolektif di kalangan umat muslim Indonesia untuk coba mengkaji dan mengimplementasikan salah satu aspek dari sistem ekonomi Islam, yaitu gagasan pendirian lembaga keuangan dengan basis pengelolaan sistem syariah, sudah mulai muncul
sejak dua puluh lima tahun yang lalu. Kesadaran kolektif yang menggerakkan para akademisi, teoretisi dan praktisi ekonomi yang secara massip mem berikan warna baru dalam wacana dan diskusi-diskusi pada berbagai level.1 Diparuh akhir abad XX atau tepatnya dasawarsa 90-an pemantapan konsep ekonomi 1
Iqtishaduna
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 1
Keunggulan sistem syariah salah satunya, adalah karena di dalamnya terdapat prinsip dan sistem mudhârabah. Sistem ini diyakini oleh para pakar ekonomi Islam sebagai jalan keluar untuk menghindari penerimaan dan pembayaran bunga yang bersifat ribawi. Implementasi sistem syariah secara teknis dapat digambarkan melalui be berapa prinsip yaitu: pertama, bank adalah lembaga perantara keuangan dari pihak yang surplus dana kepada pihak yang minus dana; kedua, setelah dana terkumpul, lalu disalurkan kepada pihak yang membutuhkan dalam bentuk pembiayaan. Secara umum pembiayaan yang dikeluarkan oleh bank syariah meliputi tiga akad pembiayaan yaitu pembiayaan ber-aqad tijârah, pembiayaan ber-aqad syirkah, dan pembiayaan beraqad hasan.
Islam dan optimalisasi penerapannya telah mewarnai kehidupan umat Islam. Kesungguhan itu berimplikasi pada diintensifkannya kajian ekonomi Islam tidak sebatas diskursus lepas, tetapi sudah diajarkan secara kurikula dan bersilabi di berbagai Perguruan Tinggi, terutama Perguruan Tinggi Islam. Kesungguhan menelaah konsep ekonomi kapitalis dan sosialis telah menumbuhkan keyakinan umat Islam akan akurasi dan validitas konsep ekonomi Islam. Validitas ekonomi Islam ditandai dengan berdirinya beragam bangunan usaha ekonomi Islam, yaitu BAZIZ, BMT, BPRS, BAMI, dan Asuransi Takaful. Lihat M. Nur Yasin, Hukum Ekonomi Islam: Geliat Perbankan Syari’ah di Indonesia (Malang: UIN Malang Press, 2009), h. 94-114. Lihat juga Karnaen A. Poerwataatmadja, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia (Jakarta: Usaha Kami, 1996). Lihat juga, Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996). Lihat juga, Sultan Remy Syadeni, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia (Jakarta: Grafiti, 1999).
2 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
Pembiayaan ber-aqad tijârah dapat digolongkan sebagai pembiayaan yang bersifat investasi, jenis produk pem biayaan yang dikeluarkan yaitu ba’i bi al-tsaman ‘ajil dan ba’i murâbahah dan produk ijârah. Pembiayaan beraqad syirkah, digolongkan sebagai pembiayaan yang bersifat modal kerja, jenis produk pembiayan katagori ini yaitu pembiayaan musyârakah, pembiayaan mudhârabah dan pembiayaan ber-aqad hasan.2 Mudhârabah berasal dari kata darb, berarti memukul atau berjalan. Pe ngertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam men jalankan usaha.3 Dinamakan demikian karena kegiatan komersial pada umum nya dengan melakukan perjalanan un tuk mencari keuntungan. Dilihat dari sejarah penggunaan kalimat mudhârabah lebih sering dan populer digunakan di Irak,4 yang bagi orang Madinah transaksi demikian disebutnya qirad berasal dari qirad yang berarti memisahkan, karena pemilik harta memisahkan sebagian hartanya untuk dikelola dengan sejumlah Pengklasifikasian akad tijârah secara lengkap, lihat Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 70-71. 2
Muhammad Rawas Qal’aji, Mu’jam al-Lughah al-Fuqahâ (Beirut: Dâr al-Nafs, 1995), h. 212. Lihat M. Abdul Manan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam, (Edisi Indonesia), (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), h. 204. Lihat Taqiyuddin Nabhani, Al-Nizâm al-Iqtisâdi fi al-Islâmî (Beirut: Dâr al-Ummah, 1990), h. 80. 3
Nazih Hamad, Mu’zam al-Mustalahat alIqtisâdiyah fi lughât al-fuqaha (Herdon Virginia: AlMa’had al-‘Ali li al-Fikî al-Islamiyyah, 1995), h. 312. 4
imbalan keuntungan. Disamping itu juga berarti potongan karena pemilik modal memotong sebagian harta untuk dikelola dengan bagian keuntungan, sedang pekerja atau pengelola mendapat bagian keuntungan dari usahanya.5 Secara teknis, mudhârabah adalah akad kerjasama (partnership) usaha an tara dua pihak di mana pihak pertama (shâhib al-mâl) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya men jadi pengelola. Keuntungan usaha se cara mudhârabah dibagi menurut ke sepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi di tanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola.6 Seandainya kerugian itu di akibatkan karena kecurangan atau ke lalaian pengelola, pengelola harus ber tanggungjawab atas kerugian tersebut (profit and loss sharing). Mudhârabah telah dipraktikkan secara luas sebelum masa Islam. Para sahabat nabi Muhammad saw. menemukan jenis transaksi ini yang dianggap selaras dan bermanfaat untuk kemaslahatan manusia sebagai prinsip dasar ajaran syariah. Dari sekian banyak jenis tran saksi yang ada dan dipraktikkan pada masa pra-Islam, mudhârabah merupakan sistem yang paling manusiawi dan tidak menimbulkan masalah karena kesamaan Wahbah al-Zuhailî, Al-‘Uqûd al-Musamma: Fi Qanûn al-Mu’âmalat al-Madâniyah al-Imârah wa al-Qanûn al-Madanî al-Urdunî (Damaskus: Dâr alFikr, 1987), h. 188. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh alSunnah (Beirut: Dikr, 1992), Vol. 3, h. 182.
kedudukan antara pemilik modal dengan mereka yang membutuhkan. Para ulama mazhab sepakat atas kebolehannya dengan dalil-dalil dari Quran, Hadits, ijma’ dan qiyas.7 Tidak ada pertentangan dan khilafiyah antara para ahli hukum Islam (fiqh) dan juga kaum muslimin tentang keabsahan sistem ini. Landasan syariah dari mudhârabah dalam beberapa ayat Quran lebih mencerminkan an juran untuk melakukan usaha. Mudhârabah, secara umum terbagi menjadi dua jenis, pertama, mudhârabah muthlaqah ialah bentuk kerjasama an tara shâhib al-mâl dan mudhârib yang ca kupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqh salaf, seringkali dicontohkan dengan ungkapan if ’al ma syi’ta dari shâhib al-mâl ke mudhârib yang memberi kekuasaan sangat besar. Kedua, mudhârabah muqayyadah atau disebut juga istilah restriced mudhârabah adalah kebalikan dari mudhârabah muthlaqah. Mudhârib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum shâhib al-mâl dalam memasuki jenis du nia usaha.8 Mekanisme pembiayaan sistem sya riah memiliki persamaan dengan lem
5
Saiful Azhar, Critical Issues on Islamic Banking and Financial Markets (Kualalumpur: Dinamas Publishing, 2005), h. 477. 6
Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Alâ al-Mazâhib al-Arba’ah (Beirut: Dâr al-Kutub al Ilmiyyah, 1990), Vol. 3, h. 44. 7
Muhammad Tahir Mansuri, Islamic Law of Contract and Bussines Transaction (Islamabad: Syariah Academic International Islamic University, 2004), h. 283-284. 8
Iqtishaduna
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 3
baga keuangan konvensional terutama dalam mencari keuntungan (profit). Perbedaannya terletak pada cara dalam mencari keuntungan tersebut. Pem biayaan pola syariah selain memper timbangkan aspek business wise, namun juga mengutamakan etika wise. Artinya pembiayaan usaha yang dibiayai harus layak dari segi bisnis dana acceptable dari syariahnya. Orientasi pada pencapaian keuntungan atau laba diperlukan adanya keseimbangan yang dalam kerangka usaha disebut sebagai laba maximal.9 Berdasarkan beberapa statement di atas, objek pokok kajian makalah ini adalah pembiayaan akad mudhârabah da lam teori fiqh dan perbankan syariah di Indonesia dengan tujuan memahami prinsip pembiayaan mudhârabah baik se cara teoritis maupun praktis. Penulisan makalah ini ditekankan pada aspek akad pembiayaan mudhârabah menurut fiqh muamalah dan perbankan syariah serta memberikan analisa terhadap pe nerapan konsep akad mudhârabah pada bank syariah. Mudhârabah dalam Wacana Fiqih Muamalah Pemaknaan Akad Mudhârabah Mudhârabah adalah akad perjanjian antara pemilik modal (rab al-mâl) untuk digunakan dalam aktivitas yang produktif dimana keuntungan dibagi dua antara pemodal (shâhib al-mâl) dan pengelola modal (mudhârib). Jika terdapat kerugian Lihat Suherman Rosyidi, Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan kepada teori Ekonomi Mikro & Makro (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 50. 9
4 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
dalam proses mudhârabah, maka hal itu ditanggung oleh shâhib al-mâl, dengan ketentuan jika kerugian itu terjadi dalam keadaan normal.10 Mudhârabah adalah suatu bentuk akad/kontrak yang lahir sejak zaman jahiliyah dan Islam menerimanya da lam bentuk bagi hasil dan investasi. Dalam bahasa Arab, ada tiga istilah yang digunakan terhadap bentuk organisasi bisnis ini, yaitu qirad, muqâradah dan mudhârabah. Ketiga istilah tersebut tidak ada perbedaan yang prinsip. Perbedaan istilah itu mungkin disebabkan oleh faktor geografis.11 Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal tinggal di Irak, mereka menggunakan istilah mudhârabah. Akan tetapi sebaliknya, Imam Maliki dan Syafi’i menggunakan istilah qirad atau muqâradah mengikuti kebiasaan di Hijaz.12 Keempat mazhab sepakat menerima kontrak mudhârabah secara kaffah dengan tambahan Hanafi dan Hambali membolehkan akad/kon trak mudhârabah tersebut membeli
Pengertian mudhârabah yang dikemukakan oleh para ahli dapat dilihat dalam literatur berikut: Ibnu Qudâmah, Al-Mugnî (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), Juz 5; Wahbah al-Zuhailî, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu (Beirut: Dâr al-Fikr, 1998), Cet Ke-3 Juz III; M. Fakhim Khan, Essays in Islamic Economic (United Kingdom: The Islamic Foundation, 1995), h. 80; Ibrahim Warde, Islamic Finance in the Global Economy (Endenburgh: Endenburgh University Press, 2000), h. 288; Mervyn K. Lewis and Latifa M. Algoud, Islamic Banking (Massachusetts: Edward Elgar, 2001), h. 66. 10
Saad al-Harran, Lending Issues in Islamic Banking and Finance, (Selangor, Malaysia: Pelanduk Publication, 1995), h. 59. 11
12
Ibid., h. 60.
barang dengan harga yang spesifik dan menjualnya kembali.13 Rukun dan Keabsahan Mudhârabah
Akad
Di kalangan ulama fiqh bahwa pelaksanaan akad mudhârabah diwajibkan ada lima hal yang tidak boleh tidak lima hal tersebut harus ada hal tersebut, lima hal tersebut disebutnya sebagai rukun akad mudhârabah, yaitu pertama, 'aqidain. Kedua pihak yang melaksanakan per setujuan. Kedua, pernyataan (shighat). Ketiga, harta sebagai modal (mâl). Keempat, kerja (‘amal). Kelima, (ribhun/ profit).14 Kelima rukun atau unsur asasi itu disebutkan sebagai rukun akad mudhârabah. Setiap rukun-rukun ter sebut mempunyai syarat-syarat ter tentu.15 Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtasid (Beirût: Dâr al-Ihya al-Kutub, 1988), h. 239. 13
Yusuf al-Qardawi, Bai’ al-Murâbahah li alAmîr bi al-Syirâ Kamâ Tajrihi al-Masârif al-Islamiyyah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995), h. 308 14
Mengenai penjelasan dari masing-masing syarat dalam rukun-rukun mudhârabah lihat Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syari’ah (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 175-176. Lihat Rachmadi Usman, Produk dan Akad Perbankan Syari’ah di Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), h. 214-215. Lihat juga Abdul Ghofur Anshori, Penerapan Prinsip Syari’ah Dalam Lembaga Keuangan, Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 19-18. Lihat Irma Devita Purnamasari dan Suswinarno, Kiat-kiat Cerdas, Mudah, Dan Bijak Memahami Masalah Akad Syari’ah (Bandung: Kaifa, 2011), h. 80-92. Lihat Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 204-206. Lihat juga Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 95-97. 15
Para ulama fiqih dalam mencari ru jukan bagi keabsahan mudhârabah, se cara umum mengacu pada aspek latar belakang sosio historisnya. Mereka menganalisa wacana-wacana kegiatan muamalah Nabi saw. dan para sahabat yang terjadi waktu itu. Ibnu Abbas me riwayatkan bahwa bapaknya al-Abbas telah mempraktikkan mudhârabah dengan memberi uang kepada sahabatnya se bagai mitra. Disyaratkan bahwa uang yang diberikan kepada sahabatnya itu tidak boleh dengan jalan mengarungi lautan, menuruni lembah dan membeli hewan ternak. Ia melakukan salah satu dari syarat yang telah ditentukan, maka dia akan menjadi tanggungannya. Peris tiwa itu dilaporkan kepada Nabi dan beliaupun menyetujuinya. Peristiwa tersebut di atas oleh para ahli fiqh dijadikan landasan keabsahan mudhârabah. Menurutnya, segala sesuatu yang dilakukan dan dibiarkan oleh Nabi merupakan sunnah taqrîriyah yang dapat menjadi sumber hukum Islam. Bahkan berdasarkan sejarah menyatakan bahwa Nabi telah mempraktikkannya dengan bermitra dengan Khadijah pada masa pra kenabian. Meskipun mudhârabah tidak secara langsung disebutkan dengan tegas dalam qur’an atau sunnah, namun mudhârabah merupakan suatu kebiasaan yang diakui dan dipraktikkan oleh umat Islam. Ben tuk persekutuan dagang seperti itu tam paknya terus hidup dan berkembang sepanjang periode awal Islam sebagai kegiatan utama perdagangan jarak jauh.
Iqtishaduna
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 5
Mudhârabah digunakan sebagai in strumen dagang, yakni jual beli barang, baik jarak jauh maupun jarak dekat. Kalangan mazhab Maliki dan Syafi’i menekankan bahwa mudhârabah adalah instrumen dagang murni. Mereka ti dak dapat menerima mudhârabah yang mensyaratkan, misalnya, suatu kegiatan pentalangan pada pihak agen (mudhârib). Bagi mereka, ketentuan semacam itu akan menjadi kontrak upahan yang seluruh keuntungan dan kerugian bagi investor, sementara mudhârib berhak atas upah yang pantas bagi pekerjaannya. Klasifikasi Akad Mudhârabah Berdasarkan beberapa literatur yang dirujuk oleh penulis, terdapat dua jenis mudhârabah, yaitu mudhârabah mutlaqah (general investment) dan mudhârabah muqayyadah (special investment). 1. Mudhârabah muthlaqah Mudhârabah mutlaqah merupakan bentuk kerjasama antara shâhib al-mâl dan mudhârib yang memiliki cakupan yang luas dan tidak dibatasi oleh spe sifikasi jenis usaha, waktu, daerah bisnis atau tidak ditentukan line of trade, line of industry, atau line of services yang akan dikerjakan dan tidak ditentukan dari siapa barang tersebut akan dibeli.16 Dalam pembahasan fiqh, ulama salaf seringkali mencontohkan dengan ungkapan if ’al mâsyi’ta (lakukan sesuka mu dari shâhib al-mâl ke mudhârib dengan Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syari’ah, h. 174. Lihat juga Dewan Redaksi, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 4 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 197.
kekuasaan sangat besar). Akan tetapi, kebebasan mudhârib dalam mudhârabah bentuk ini bukan kebebasan yang tidak terbatas sama sekali. Modal yang di tanamkan oleh shâhib al-mâl tidak boleh digunakan untuk membiayai proyek investasi yang dilarang oleh Islam seperti untuk keperluan spekulasi, membiayai pabrik, atau perdagangan minuman keras dan usaha-usaha yang dilarang secara shar’i. 2. Mudhârabah muqayyadah Mudhârabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudhârabah merupakan kebalikan dari mudhârabah mutlaqah. Mudhârib dibatasi dengan ba tasan jenis usaha, waktu dan tempat usaha. Mudhârib dalam menggunakan dananya harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh shâhib al-mâl. Sya rat-syarat tersebut misalnya harus ber dagang barang-barang tertentu saja, dilaksanakan dilokasi tertentu dan harus membeli dari orang tertentu.17 Apabila pengelola tidak bertentangan dengan dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditatapkan oleh pemilik mo dal, maka pengelola harus bertanggung jawab sendiri atas konsekuensi-kon sekuensi yang ditimbulkannya. Dalam hal mudhârabah dibatasi waktunya, maka mudhârabah berakhir dengan jangka waktu yang telah ditetapkan.
16
6 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtasid (Mesir: Matba’ah al-Istiqamah, 1952), h. 204. 17
Dasar Perjanjian Akad Mudhârabah Perjanjian mudhârabah dapat dibuat secara formal maupun informal, se cara tertulis maupun lisan. Namun, mengingat ketentuan al-Quran surat 2: 282-283 menekankan agar perjanjian pinjaman dibuat secara tertulis, maka sebaiknya perjanjian mudhârabah dibuat secara tertulis dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang memenuhi syarat dan dirumuskan secara tegas dan jelas un tuk menghindari salah tafsir yang secara lebih-lanjut dapat menimbulkan salah pengertian dan mengakibatkan per bedaan pendapat diantara shâhib al-mâl dan mudhârib.18 Perjanjian mudhârabah dapat pula dilangsungkan diantara be berapa shâhib al-mâl dan beberapa mudhârib.19 Berdasarkan beberapa literatur yang pernah dibaca bahwa perjanjian mudhâ rabah dapat pula dilangsungkan antara shâhib al-mâl dan satu mudhârib (seperti halya dalam kredit sindikasi) atau antara satu shâhib al-mâl dan beberapa mudhârib. Bahkan tidak mustahil dalam perjanjian mudhârabah terlibat beberapa shâhib almâl yang melakukan transaksi disatu pihak dengan pihak lain yang terdiri atas beberapa mudhârib sekalipun hanya menggunakan satu dokumen perjanjian saja. Pada hakikatnya kewajiban utama shâhib al-mâl adalah menyerahkan mo dal mudhârabah kepada mudhârib. Bila M. Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, Edisi Indonesia (Jakarta: Gema Insani Pers, 2000), h. 248. 18
Ibid., h. 249. Lihat juga Hasan Semi Hamûd, tatwîr al-Mâl al-Masrafiyyah bimâ Yattafiqu wa alSyarî’ah al-Islamiyyah (Amman: Matbâtu al-Syarq wa Maktabatuha, 1982), h. 187. 19
hal itu tidak dilakukan, maka perjanjian mudhârabah tidak sah.20 Mudhârib berkewajiban mengem balikan pokok dana investasi kepada shâhib al-mâl ditambah sebagian dari keuntungan yang pembagiannya telah ditentukan sebelumnya.21 Dalam hu bungan ini, mudhârib berkewajiban untuk merekonversi investasi mudhâ rabah menjadi uang melalui likuidasi. Likuidasi mudhârabah merupakan kul minasi dari tindakan-tindakan bisnis yang dipercayakan untuk dilakukan oleh mudhârib, mengingat likuidasi merupakan cara yang wajar untuk memperoleh keuntungan sehubungan dengan usaha tersebut.22 Mudhârib wajib mematuhi syaratsyarat dan ketentuan-ketentuan per janjian mudhârabah selama mengurus urusan-urusan mudhârabah yang ber sangkutan. Apabila mudhârib dihadap kan pada masalah yang bagi masalah itu tidak terdapat petunjuk-petunjuk khusus, maka mudhârib harus mengikuti kebiasan-kebiasaan praktik yang ber laku.23 Shâhib al-mâl berhak melakukan pengawasan untuk memastikan bah wa mudhârib menaati syarat-sayarat dan ketentuan-ketentuan perjanjian mudhâ Abdur Rahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Alâ alMadzâhib al-Arba’ah (Cairo: Al-Maktabah alTijâriyyah al-Kubra, 1938), Vol. 3, h. 106. 20
Direktorat Perbankan Syariah, Bank Indonesia, Laporan Hasil Kajian Akad Mudhârabah dan Murâbahah Bagi Bank Syariah, Jakarta, 2004, h. 208. 21
22
Ibid., h. 208.
23
Ibid. h. 109-110.
Iqtishaduna
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 7
rabah. Berdasarkan beberapa hasil baca an literatur, hal itu dapat melegakan dirinya dari rasa ragu. Bagaimanapun juga, shâhib al-mâl adalah pihak yang menyediakan modal dan dana dan ha rus memikul seluruh risiko finansial yang akan terjadi dan tidak boleh ikut campur di dalam pengelolaan proyek atau usaha yang bersangkutan. Modal yang harus disediakan oleh shâhib al-mâl disyaratkan harus berbentuk uang, jelas jumlahnya dan tunai.24 Jika modal itu berbentuk barang, menurut ulama tidak diperbolehkan, karena sulit menentukan keuntungannya. Demikian juga halnya dengan utang, karena hutang tidak dapat dijadikan modal mudhârabah. Tetapi jika modal tersebut berupa wadî’ah, yaitu titipan pemilik modal kepada pedagang, maka wadî’ah itu boleh dijadikan modal mudhârabah. Apabila sebagian modal itu tetap dipegang oleh pemilik modal, dalam arti tidak diserahkan seluruhnya, menurut ulama mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i hal itu tidak diperbolehkan. Namun, ulama mazhab Hanbali menyatakan bahwa se bagian modal tersebut boleh berada di tangan pemilik modal, asalkan tidak menggangu kelancaran usaha tersebut.25 Keuntungan26 bersih (net profit) di bagi antara shâhib al-mâl dan mudhârib Dewan Redaksi Ensiklopedia Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam (Bandung: Mizan, Jilid IV, 1997). 24
Hasan Semi Hamûd, Tatwîr al-Mâl alMasrafiyyah bimâ Yattafiqu wa al-Syarî’ah al-Islamiyyah, h. 187.
berdasarkan profit and loss sharing principle. Dalam perjanjian mudhârabah, pem bagian keuntungan bersih harus telah diperjanjikan sebelumnya dan harus secara eksplisit ditentukan dalam per janjian mudhârabah.27 Menurut ulama mazahab Hanafi, apabila pembagian keuntungan tidak jelas, maka akad mudhârabah tersebut cacat.28 Para aliran hukum berpendapat bahwa pemba gian keuntungan, apakah untuk shâ hib al-mâl atau mudhârib, harus diten tukan berdasarkan proporsi yang tegas. Apabila tidak demikian, maka per janjian mudhârabah tidak tidak sah.29 Dalam hal mudhârabah diperjanjikan batas waktunya, maka tidak dibenarkan untuk membagi keuntungan sebelum dapat ditentukan besarnya kerugian, dan telah dihapusbukukannya (written off) kerugian itu, dan terhadap modal telah diberikan penggantian penuh. Pengem balian keuntungan sebelum perjanjian mudhârabah berakhir akan dianggap se bagai uang muka (advance). Dalam hal perjanjian mudhârabah tidak ditentukan jangka waktunya, yaitu dalam hal mudhârabah yang berkelanjutan, maka diperkenankan untuk memperjanjikan masa atau jangka waktu pembagian itu terdapat dua hak, hak untuk pengelola sebagai imbalan dari pekerjaannya dan hak dari pemilik modal sebagai imbalan dari modal yang diberikannya. Lihat Ibnu Qudamah, Al-Syarh alKabîr (Riyadh: Jamî’ah al-Imâm Muhammad bin Su’ûd al-Islamiyyah, tt), h. 224. 27
25
Adapun yang dimaksud keuntungan dalam akad mudhârabah ialah kelebihan dari modal sebagai hasil kerja ‘âmil (mudhârib). Dalam keuntungan 26
8 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
M. Umer Chapra, Sistem Moneter Islam..., h.
248. Dewan Redaksi Ensiklopedia Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam..., h. 1197. 28
29
248.
M. Umer Chapra, Sistem Moneter Islam..., h.
keuntungan dengan memperlakukan setiap masa atau jangka waktu tersebut sebagai masa atau jangka waktu yang terpisah satu sama lain.30 Apabila terjadi kerugian, shâhib almâl kehilangan sebagian atau seluruh modalnya, sedangkan mudhârib tidak menerima imbalan apa pun untuk kerja dan usahanya. Dengan demikian, baik posisi shâhib al-mâl maupun mudhârib harus menghadapi resiko. Namun, se perti telah dikemukakan sebelumnya, penanggung resiko financial hanyalah shâhib al-mâl sendiri. Mudhârib sama sekali tidak menanggung risiko financial, tetapi berupa waktu, pikiran dan jerih payah yang telah dicurahkannya se lama mengelola proyek atau usaha serta kehilangan kesempatan untuk memperoleh sebagian dari pembagian keuntungan yang telah diperjanjikan sebelumnya.31 Mudhârabah berakhir karena telah tercapainya tujuan dari usaha tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam perjanjian mudhârabah, atau pada saat berakhirnya jangka waktu perjanjian mudhârabah. Atau karena meninggalnya salah satu pihak, yaitu shâhib al-mâl atau mudhârib, atau karena salah satu pihak Direktorat Perbankan Syariah, Indonesia, Laporan Hasil Kajianh..., h. 208. 30
Bank
Abdul Mu’in Fayadh, Ba’i al-Murâbahah fi al-Mashârif al-Islamiyyah: Al-Azmah wa al-Makraj (Mesir: Dâr al-Nasr li al-Jâmi’ah al-Mishriyah, Maktabah al-Wafa, 1996), h. 62. Lihat Mahmoud A. El-Gamal, Islamic Finance: Law, Economic and Practice (New York: Cambridge University Press, 2006), h. 117. Lihat Muhammd Ayub, Understanding Islamic Finance (England: John Wiley & Sons Ltd, 2008), h. 323. 31
memberitahukan kepada pihak lainnya mengenai maksudnya untuk mengakhiri perjanjian mudhârabah itu.32 Mudhârib memiliki sifat sebagai seorang wali amanat (trustee), disamping sebagai kuasa dari usaha dari bisnis yang bersangkutan. Sebagai seorang wali amanat mudhârib wajib bertindak dengan hati-hati atau bijaksana (prudence) dan beritikad baik (in good faith) dan bertanggung jawab atas kerugian-kerugian yang terjadi karena kelalaiannya (wilful negligence). Sebagai seorang kuasa, mudhârib di harapkan untuk menggunakan dan mengelola modal yang ditanamkan se demikian rupa, sehingga memperoleh keuntungan seoptimal mungkin bagi bisnis mudhârabah yang dimaksud tanpa melanggar nilai-nilai Islam.33 Analisis Wacana Prinsip Implimentasi Mudhârabah Bank Syariah di Indonesia
dan pada
Berdasarkan beberapa literatur, be rupa buku ataupun hasil penelitian di lapangan yang sudah dibukukan, for mat akad mudhârabah telah diperluas cakupannya meliputi tiga pihak, pertama, paran nasabah penyimpan dana se bagai shâhib al-mâl, kedua, bank sebagai intermediary, dan ketiga, pengusaha sebagai mudhârib yang membutuhkan dana.34 Bank bertindak sebagai shâhib alAbdul Mu’in Fayadh, Ba’i al-Murâbahah fi alMashârif al-Islamiyyah..., h. 250-251. 32
Abdur Rahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Alâ alMadzâhib al-Arba’ah (Cairo: Al-Maktabah alTijâriyyah al-Kubra, 1938), Vol. 3, h. 248. 33
Lihat Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syari’ah (Jakarta: Sinar Grafika, 2013); Adiwarman 34
Iqtishaduna
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 9
mâl dalam hal menyediakan dana bagi para nasabah selaku mudhârib. Adapun beberapa syarat utama dalam hal perjanjian mudhârabah bagi perbankan syariah, yaitu bank memberikan dana yang didepositokan oleh nasabah pe nyimpan kepada nasabah mudhârib da lam bentuk pembiayaan. Dalam hal ini tidak ada persyaratan pembatasan bagi bank untuk menggunakan baik yang menyangkut kegiatan pendanaan, jangka waktu, maupun lokasi kegiatan tersebut. Bentuk mudhârabah antara nasabah penyimpan dana dan bank adalah bentuk mudhârabah yang tidak terbatas (mudhârabah mutlaqah). Bank boleh menggabungkan keuntungan dan kerugian, dari investasi-investasi atau proyek yang dibiayai bank dan berbagi keuntungan bersih setelah dikurangi biaya administrasi, penyusutan atas mo A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007); Sultan Remy Syadeni, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia (Jakarta: Grafiti, 1999); Abdul Ghofur Anshori, Penerapan Prinsip Syari’ah Dalam Lembaga Keuangan, Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008); Irma Devita Purnamasari dan Suswinarno, Kiat-kiat Cerdas, Mudah, Dan Bijak Memahami Masalah Akad Syari’ah (Bandung: Kaifa, 2011); Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007) dan Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001); Direktorat Perbankan Syariah, Bank Indonesia, Laporan Hasil Kajian Akad Mudhârabah dan Murâbahah Bagi Bank Syariah, Jakarta, 2004; Abd. Adhim, Disertasi: Studi Komparatif Akad Mudhârabah dan Murâbahah Bank Islam dengan Pembiayaan Sistem Bunga Bank Konvensional dalam Perspektif Keadilan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008; lihat M. Zuhri, Disertasi: Riba dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan Nasional, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1996.
10 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
dal dan zakat dengan para penyimpan dana berdasarkan perbandingan yang sudah ditentukan sebelumnya. Dalam hal terjadinya kerugian, para penyimpan dana akan mengalami kerugian atas keuntungan dari semua bagian atau seluruh jumlah dananya. Proyek (inves tasi) yang imbalan (return) kepada bank harus ditentukan secara tegas sebagai bagian dari keuntungan. Dalam hal bank sebagai shâhib al-mâl bagi para nasabah mudhârib, bank mempunyai hak (mudhârabah muqayyadah) untuk menentukan syaratsyarat atas penggunaan dana tersebut yang menyangkut jenis dari kegiatan itu, jangka waktu, dan lokasi dari proyek-proyek yang dibiayai. Namun, pembatasan-pembatasan tersebut tidak boleh diformulasikan sedemikian rupa, sehingga merugikan kinerja nasabah yang bersangkutan. Disamping itu juga, bank tidak boleh mencampuri manajemen dari investasi yang bersangkutan. Para ulama sepakat bahwa apabila terjadi kerugian seperti yang dijelaskan sebelumnya, maka pemilik modal ke hilangan sebagian atau seluruh modalnya sedangkan pengelola tidak menerima remunirasi apa pun untuk kerja dan usahanya. Dengan demikian, baik posisi shâhib al-mâl maupun mudhârib harus menghadapi risiko. Risiko yang timbul dalam mudhârabah secara finansial di tanggung oleh pemilik modal. Akan tetapi, risiko waktu dan tenaga merupa kan bagian dari pengelola. Bank syariah di Indonesia dalam menerapkan akad mudhârabah meminta
adanya jaminan kepada mudhârib karena ada faktor-faktor yang dapat dijadikan pertimbangan sebagai istidlâl, yaitu un tuk menghindari terjadinya moral hazard, sebagai ikatan antara pihak bank dan nasabah, untuk melindungi dana nasabah investor, menghindari resiko-resiko pembiayaan. Oleh ka rena itu, berdasarkan pertimbanganpertimbangan tersebut, maka jaminan dibolehkan dalam perbankan syariah. Kebolehan itu bukan dimaksudkan untuk memastikan kembalinya mo dal, melainkan memastikan bahwa ki nerja mudhârib sesuai dengan syaratsayarat kontrak dan untuk menjaga tidak terjadinya moral hazard berupa pe nyimpangan oleh mudhârib. 35 Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 07/DSN-MUI/IV/2000 mengizinkan pemilik dana meminta jaminan dari mudhârib terhadap pe langgaran batas atau tindakan menyalahi ketentuan. MUI telah menetapkan Disebutkan dalam Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) pada penjelasan pembiayaan mudhârabah poin g dinyatakan bahwa: “Pada prinsipnya pembiayaan mudhârabah tidak dipersyaratkan adanya jaminan, namun agar tidak terjadi moral hazard berupa penyimpangan oleh pengelola dana, pemilik modal dapat memintakan jaminan dari pengelola dana atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila pengelola dana terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang disepakati bersama dalam akad. Lihat Tim penyusunan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (IAI), Pedoman Akuntansi Perbankan Syari’ah Indonesia, (Jakarta: Ikatan Akuntansi Indonesia, 2003). Lihat juga Atiq AA dan Hanifah, “Analisis Kepatuhan Pembiayaan Mudharabah dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK No.59) terhadap Aspek Syari’ah Ilmu fiqih syafi’iyah.”Journal Ekonomi dan Bisnis 2 (2007): 28-44. 35
bahwa pada dasarnya dalam mudhârabah tidak ada ganti rugi, karena akad itu bersifat amanah kecuali akibat dari ke salahan yang disengaja, kelalaian atau pelanggaran kesepakatan. Berdasarkan keterangan tersebut MUI menyetujui tentang jaminan, hanya saja jaminan dapat dicairkan apabila mudhârib terbukti melakukan pelanggaran terhadap halhal yang telah disepakati bersama dalam akad.36 Mudhârabah dalam khazanah fiqh klasik seperti yang telah dibahas pada bahasan sebelumnya adalah wacana yang berlaku antara dua pihak saja se cara langsung, yakni shâhib al-mâl ber hubungan langsung dengan mudhârib. Hubungan langsung antara shâhib al-mâl dan mudhârib seprti itulah sesungguhnya praktik mudhârabah yang dilakukan oleh nabi dan para sahabat serta umat muslim sesudahnya. Dalam kasus tersebut, yang terjadi adalah direct financing antara shâhib al-mâl sebagai surplus unit dengan mudhârib sebagai defisit unit. Dalam direct financing seperti itu, peran bank syariah sebagai intermediary institution tidak ada.37 Mudhârabah klasik seperti itu biasanya bercirikan hubungan an tara para pihak merupakan hubungan personal dan langsung serta dilandasi oleh rasa saling percaya. Pemilik modal hanya mau menyerahkan modalnya Fatwa DSN-MUI No. 07/DSN-MUI/ IV/2000. Lihat Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syari’ah, h. 176-177. 36
Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 210.
Iqtishaduna
37
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 11
kepada orang yang dikenal dengan baik, profesionalitas maupun karakternya.38
bertanggung jawab atas kerugian yang timbul.40
Dalam rangka mengatasi hal di atas, para ulama kontemporer melakukan inovasi baru atas skema mudhârabah, yakni mudhârabah yang melibatkan tiga pihak. Tambahan satu pihak itu diperankan oleh bank syariah sebagai lembaga perantara yang mempertemukan shâhib al-mâl dengan mudhârib. Jadi, terjadi evolusi dari konsep direct financing men jadi indirect financing.39
Dalam praktik perbankan syariah modern, telah dikenal dua bentuk mudhârabah muqayyadah, yakni yang on balance-sheet dan yang off balance-sheet. Dalam mudhârabah on balance-sheet, aliran dana terjadi dari satu nasabah investor ke kelompok pelaksana usaha dalam beberapa sektor terbatas, misal nya pertanian, manufaktur dan jasa. Nasabah investor lainnya mungkin mensyaratkan dananya hanya boleh dipakai untuk pembiayaan di sektor pertambangan, properti dan pertanian. Sedangkan dalam mudhârabah off balancesheet, aliran dana berasal dari satu nasabah investor kepada satu nasabah pembiayaan. Dalam hal ini, bank sya riah bertindak sebagai manager saja. Pencatatan transaksinya di dilakukan secara off balance-sheet. Sedangkan bagi hasil dari model ini hanya melibatkan nasabah investor dan pelaksana usaha saja dan besaran bagi hasil berdasarkan kesepakatan nasabah investor dan na sabah pembiayaan.41 Disebut skema off balance-sheet karena transaksi itu tidak dicatat dalam neraca bank, tetapi hanya dicatat dalam rekening administratif saja.
Pada prinsipnya, mudhârabah seperti yang disebutkan pada sub bahasan di atas, sifatnya mutlak dimana shâhib almâl tidak menetapkan restriksi atau syarat-syarat tertentu kepada mudhârib. Namun demikian, apabila dipandang perlu, shâhib al-mâl boleh menetapkan syarat-syarat batasan-batasan atau mu qayyadah tertentu guna menyelamatkan modalnya dari risiko kerugian. Syaratsyarat itu harus dipenuhi oleh mudhârib. Apabila mudhârib melanggar syaratsyarat atau batasan-batasan itu, ia harus Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, h. 210. Menurut Adiwarman Karim, modus seperti itu tidak efisien lagi dan kecil kemungkinannya untuk dapat diterapkan oleh bank, karena beberapa hal, pertama, sistem kerja pada bank adalah investasi berkelompok, dimana mereka tidak saling mengenal. Jadi, kecil sekali kemungkinannya terjadi hubungan yang langsung; kedua, banyak investasi sekarang ini membutuhkan dana dalam jumlah besar, sehingga diperlukan banyak shâhib al-mâl untuk sama-sama menjadi penyandang dana untuk satu proyek tertentu; ketiga, lemahnya disiplin terhadap ajaran Islam menyebabkan sulitnya bank memperoleh jaminan keamanan atas modal yang disalurkan. 38
Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan..., h. 211. 39
12 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
Bahasan sebelumnya telah di singgung ciri khas pembiayaan mudhâ rabah yang menuntut saling percaya Dewan Redaksi, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 4 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 197. 40
Lihat Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syari’ah..., h. 186. 41
yang tinggi antara nasabah dengan bank. Kenyataan itu menjadikan pembiayaan mudhârabah sebagai pembiayaan yang berisiko tinggi. Karena bank akan selalu menghadapi permasalahan asymmetric information dan moral haszard. Bank syariah tidak dapat menyalurkan begitu saja sejumlah dana kepada mudhârib atas dasar kepercayaan, karena selalu ada risiko bahwa pembiayaan yang diberikan kepada mudhârib atas dasar kepercayaan, karena selalu ada risiko bahwa pembiayaan yang telah diberikan kepada mudhârib tidak diper gunakan sebagaimana mestinya untuk memaksimalkan keuntungan kedua belah pihak. Begitu dana dikelola oleh mudhârib, maka akses informasi bank terhadap usaha mudhârib menjadi terbatas. Dengan demikian, terjadi asymmetric information dimana mudhârib mengetahui informasi-informasi yang tidak diketahui oleh bank. Pada saat yang sama timbul moral hazard dari mudhârib, yakni mudhârib melakukan hal-hal yang hanya mengun tungkan mudhârib dan merugikan shâhib al-mâl, bank syariah dan nasabah pemilik dana pihak ketiga. Oleh karena itu, untuk mengurangi terjadinya resikorisiko, bank syariah dapat menerapkan sejumlah batasan-batasan tertentu ke tika menyalurkan pembiayaan kepada mudhârib. Batasan-batasan dimaksud seperti pertama, menetapkan syarat agar porsi modal dari pihak mudhâribnya lebih besar dan/atau menggunakan jaminan; kedua, mensyaratkan agar mudhârib me lakukan bisnis yang resiko operasinya
lebih rendah; ketiga, menetapkan bisnis dengan arus kas yang transparan. Kesimpulan Mudhârabah dalam khazanah fiqh klasik berlaku antara dua pihak saja secara langsung, yakni shâhib al-mâl ber hubungan langsung dengan mudhârib. Hubungan langsung antara shâhib almâl dan mudhârib merupakan praktik mudhârabah yang dilakukan oleh nabi dan para sahabat serta umat muslim se sudahnya. Mudhârabah antara dua pihak yang terjadi adalah direct financing antara shâhib al-mâl sebagai surplus unit dengan mudhârib sebagai defisit unit. Dalam direct financing seperti itu, peran bank syariah sebagai intermediary institution tidak ada. Ciri-ciri mudhârabah klasik biasanya hubungan antara para pihak merupakan hubungan personal dan langsung serta dilandasi oleh rasa saling percaya, pe milik modal hanya mau menyerahkan modalnya kepada orang yang dikenal dengan baik, profesionalitas maupun karakternya. Mudhârabah dalam perbankan sya riah modern, dikenal dua bentuk mu dhârabah muqayyadah, yakni yang on balance-sheet dan yang off balance-sheet. Dalam mudhârabah on balance-sheet, aliran dana terjadi dari satu nasabah investor ke kelompok pelaksana usaha dalam beberapa sektor terbatas, misalnya per tanian, manufaktur dan jasa. Sedangkan dalam mudhârabah off balance-sheet, me rupakan penyaluran dana mudhârabah secara langsung kepada pelaksana usaha nya, dalam hal ini bank syariah berperan hanya sebagai perantara atau arranger
Iqtishaduna
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 13
yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat/ketentuan umum dalam produk tersebut. Daftar Rujukan Abd. Adhim, Disertasi: Studi Komparatif Akad Mudhârabah dan Murâbahah Bank Islam dengan Pembiayaan Sistem Bunga Bank Konvensional dalam Perspektif Keadilan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Aziz Thaba, Abdul, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996). Ghofur Anshori, Abdul, Penerapan Prinsip Syari’ah Dalam Lembaga Keuangan, Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008). Mu’in Fayadh, Abdul, Ba’i al-Murâbahah fi al-Mashârif al-Islamiyyah: AlAzmah wa al-Makraj (Mesir: Dâr al-Nasr li al-Jâmi’ah al-Mishriyah, Maktabah al-Wafa, 1996). Rahman al-Jaziri, Abdur, Al-Fiqh ‘Alâ al-Madzâhib al-Arba’ah (Cairo: AlMaktabah al-Tijâriyyah al-Kubra, 1938), Vol. 3. A. Karim, Adiwarman, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007). AA
dan Hanifah, Atiq, “Analisis Kepatuhan Pembiayaan Mudharabah dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK No.59) terhadap Aspek Syari’ah Ilmu fiqih
14 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
syafi’iyah.”Journal Bisnis 2 (2007).
Ekonomi
dan
Redaksi, Dewan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 4 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994). Direktorat Perbankan Syariah, Bank Indonesia, Laporan Hasil Kajian Akad Mudhârabah dan Murâbahah Bagi Bank Syariah, Jakarta, 2004. Djamil, Fathurrahman, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syari’ah (Jakarta: Sinar Grafika, 2013). Fatwa DSN-MUI No. 07/DSN-MUI/ IV/2000. Semi Hamûd, Hasan, Tatwîr al-Mâl alMasrafiyyah bimâ Yattafiqu wa alSyarî’ah al-Islamiyyah (Amman: Matbâtu al-Syarq wa Maktabatuha, 1982). Rusyd, Ibnu, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtasid (Beirût: Dâr al-Ihya al-Kutub, 1988). Rusyd, Ibnu, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtasid (Mesir: Matba’ah al-Istiqamah, 1952). Warde, Ibrahim, Islamic Finance in the Global Economy (Endenburgh: Endenburgh University Press, 2000). Devita Purnamasari, Irma dan Suswinarno, Kiat-kiat Cerdas, Mudah, Dan Bijak Memahami Masalah Akad Syari’ah (Bandung: Kaifa, 2011). A.
Poerwataatmadja, Karnaen, Membumikan Ekonomi Islam di
Indonesia (Jakarta: Usaha Kami, 1996).
International Islamic University, 2004).
Manan, M. Abdul, Teori dan Praktik Ekonomi Islam, (Edisi Indonesia), (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997).
Ayub, Muhammd, Understanding Islamic Finance (England: John Wiley & Sons Ltd, 2008).
Khan, M. Fakhim, Essays in Islamic Economic (United Kingdom: The Islamic Foundation, 1995).
Hamad, Nazih, Mu’zam al-Mustalahat al-Iqtisâdiyah fi lughât al-fuqaha (Herdon Virginia: Al-Ma’had al‘Ali li al-Fikî al-Islamiyyah, 1995).
Yasin, M. Nur, Hukum Ekonomi Islam: Geliat Perbankan Syari’ah di Indonesia (Malang: UIN Malang Press, 2009).
Usman, Rachmadi, Produk dan Akad Perbankan Syari’ah di Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009).
Chapra, M. Umer, Sistem Moneter Islam, Edisi Indonesia (Jakarta: Gema Insani Pers, 2000).
al-Harran, Saad, Lending Issues in Islamic Banking and Finance, (Selangor, Malaysia: Pelanduk Publication, 1995).
M. Zuhri, Disertasi: Riba dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan Nasional, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1996. A. El-Gamal, Mahmoud, Islamic Finance: Law, Economic and Practice (New York: Cambridge University Press, 2006). Lewis, Mervyn K and Latifa M. Algoud, Islamic Banking (Massachusetts: Edward Elgar, 2001). Rawas Qal’aji, Muhammad, Mu’jam alLughah al-Fuqahâ (Beirut: Dâr alNafs, 1995). Syafi’i Antonio, Muhammad, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001). Tahir Mansuri, Muhammad, Islamic Law of Contract and Bussines Transaction (Islamabad: Syariah Academic
Azhar, Saiful, Critical Issues on Islamic Banking and Financial Markets (Kualalumpur: Dinamas Publishing, 2005). Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dikr, 1992), Vol. 3. Rosyidi, Suherman, Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan kepada teori Ekonomi Mikro & Makro (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998). Remy Syadeni, Sutan, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia (Jakarta: Grafiti, 1999). Nabhani, Taqiyuddin, Al-Nizâm alIqtisâdi fi al-Islâmî (Beirut: Dâr alUmmah, 1990). Tim penyusunan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (IAI), Pedoman Akuntansi Perbankan
Iqtishaduna
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 15
Syari’ah Indonesia, (Jakarta: Ikatan Akuntansi Indonesia, 2003). Al-Zuhailî, Wahbah, Al-‘Uqûd alMusamma: Fi Qanûn al-Mu’âmalat al-Madâniyah al-Imârah wa alQanûn al-Madanî al-Urdunî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1987).
16 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
------, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu (Beirut: Dâr al-Fikr, 1998), Cet Ke-3 Juz III. Al-Qardawi, Yusuf, Bai’ al-Murâbahah li al-Amîr bi al-Syirâ Kamâ Tajrihi al-Masârif al-Islamiyyah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995).