TESIS
PEMBERIAN KRIM EKSTRAK BERAS HITAM (Oryza sativa L. indica) MENGHAMBAT PENURUNAN JUMLAH KOLAGEN PADA TIKUS (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR YANG DIPAPAR SINAR ULTRA VIOLET-B
YASMIN NOVITA MOERTOLO
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
PEMBERIAN KRIM EKSTRAK BERAS HITAM (Oryza sativa L. indica) MENGHAMBAT PENURUNAN JUMLAH KOLAGEN PADA TIKUS (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR YANG DIPAPAR SINAR ULTRA VIOLET-B
YASMIN NOVITA MOERTOLO NIM 1390761013
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS PEMBERIAN KRIM EKSTRAK BERAS HITAM (Oryza sativa L. indica) MENGHAMBAT PENURUNAN JUMLAH KOLAGEN PADA TIKUS (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR YANG DIPAPAR SINAR ULTRA VIOLET-B
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
YASMIN NOVITA MOERTOLO NIM 1390761013
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 31 Maret 2015
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. DR.dr.Wimpie Pangkahila,SpAnd,FAACS NIP. 194612131971071001
DR.dr.A.A.G.P.Wiraguna,SpKK(K).,FINSDV,FAADV NIP. 195609121984121001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. DR. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS NIP. 194612131971071001
Prof Dr.dr. A.A. Raka Sudewi,SpS(K) NIP. 19590215 198510 2001
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 31 Maret 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No: 733 /UN.14.4/HK/2015 Tertanggal ; 6 Maret 2015
Ketua
: Prof. DR. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS
Anggota
:
1. DR. dr. A.A.G.P. Wiraguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV 2. Prof. DR. dr. Alex Pangkahila, MsC, SpAnd 3. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK 4. DR. rer.nat.dr. Ni Nyoman Ayu Dewi, M.Si
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Yasmin Novita Moertolo
Program Studi
: S2 Ilmu Biomedik – Anti-Aging Medicine Program Pascasarjana Universitas Udayana
NIM
: 1390761013
No Telp
: +62 81316863333
Email
:
[email protected]
Judul Proposal
: Pemberian Krim Ekstrak Beras Hitam (Oryza sativa L. indica) Menghambat Penurunan Jumlah Kolagen Pada Tikus (Rattus norvegicus) Galur Wistar Yang Dipapar Sinar Ultra Violet-B
Merupakan hasil karya original yang bisa dipertanggungjawabkan keasliannya dan tidak mengandung unsur plagiatisme. Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, apabila dikemudian hari ditemukan adanya pelanggaran, maka saya bersedia untuk mempertanggungjawabkan sesuai aturan yang berlaku.
Denpasar, 31 Maret 2015 Yang membuat pernyataan,
Yasmin Novita Moertolo
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis senantiasa mengucapkan syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya maka tesis yang berjudul Pemberian Krim Ekstrak Beras Hitam (Oryza sativa L. indica) Menghambat Penurunan Jumlah Kolagen Pada Tikus (Rattus norvegicus) Galur Wistar Yang Dipapar Sinar Ultra Violet-B dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, pengarahan, sumbangan pikiran, dorongan semangat, dan bantuan lainnya yang sangat berharga dari semua pihak, tesis ini tidak akan terlaksana dengan baik dan lancar. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih setulus-tulusnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program Magister Ilmu Biomedik, Program Studi Kekhususan Anti-Aging Medicine di Universitas Udayana. 2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Raka Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa program Magister Ilmu Biomedik, Program Studi Kekhususan Anti-Aging Medicine di Universitas Udayana. 3. Ketua Program Magister pada Program Pascasarjana Ilmu Biomedik Program Studi Kekhususan Anti-Aging Medicine, Prof. DR. dr. Wimpie
Pangkahila,
Sp.And., FAACS, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Studi Kekhususan Anti-Aging Medicine. 4. Prof. DR. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And., FAACS, selaku pembimbing pertama penulis yang senantiasa membimbing dan mendukung selama penulis mengikuti program Magister Ilmu Biomedik, Program Studi Kekhususan AntiAging Medicine di Universitas Udayana. 5. DR. dr. A.A.G.P .Wiraguna,SpKK (K), FINSDV, FAADV, selaku pembimbing kedua yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, dorongan serta meluangkan waktu dan pemikiran dengan sabar dalam penyusunan tesis ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik. 6. Prof. Dr. dr. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And., Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp. FK dan DR.rer.nat. dr. Ni Nyoman Ayu Dewi, M.Si selaku penguji yang telah memberikan banyak masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. 7. Seluruh dosen Program Pascasarjana Ilmu Biomedik Program Studi Kekhususan Anti-Aging Medicine di Universitas Udayana atas segala bimbingan dan bantuan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan. 8. dr. I Gusti Kamasan Nyoman Arijana, M.Si.Med, Drs. Ketut Tunas, M.Si, Ida Bagus Ketut Widnyana Yoga, S.TP, M.Si, Gede Wiranatha, S.Si, Made Surya Pramana Mahardika, S.TP, M.Sc, Wong Lip Wih, BPharm, M.Sc, PhD, yang telah membantu penulis sehingga penelitian tesis ini dapat berjalan dengan baik. 9. Teman-temanku tercinta angkatan 2013 Program Pascasarjana Ilmu Biomedik Program Studi Kekhususan Anti-Aging Medicine Universitas Udayana.
10. Kepada ibunda tercinta Hj. Shanti Reni dan Ayah drg. H. RM. Zulkarnain. A. Moertolo, Sp. BM(K) yang sudah mengasuh dan menyayangi serta memberikan dukungan kepada penulis, kepada ibu mertua tercinta Hj. Ninuk Pryambodo, SH dan ayah mertua H. Dodi Pryambodo, SH, MBA yang sudah menyayangi penulis serta memberikan dukungan. Tante tercinta Hj. Machrani Moertolo, SH yang selalu memberikan dukungan kepada penulis. Suami tercinta Donny Narendra yang dengan penuh perhatian dan kesabaran mendampingi penulis selama ini. 11. Kepada semua pihak, sahabat, rekan sejawat yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu di sini, atas seluruh dukungan dan bantuan yang telah diberikan selama penulis menjalani pendidikan Program Magister Program Studi Kekhususan Anti-Aging Medicine Universitas Udayana. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari sempurna. Dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan tesis ini. Sekiranya, penulis tetap mohon petunjuk untuk perbaikan supaya hasil yang tertuang dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan. Denpasar, 24 Maret 2015
Yasmin Novita Moertolo
ABSTRAK PEMBERIAN KRIM EKSTRAK BERAS HITAM (Oryza sativa L. indica) MENGHAMBAT PENURUNAN JUMLAH KOLAGEN PADA TIKUS (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR YANG DIPAPAR SINAR ULTRA VIOLET-B Photoaging adalah penuaan pada kulit akibat paparan sinar ultraviolet (UV) berulang. Paparan sinar UV-B pada kulit menyebabkan terbentuknya Reactive Oxygen Species (ROS) yang dapat merusak serat – serat kolagen melalui aktivasi Activator Protein-1 (AP-1) yang kemudian akan mengaktifkan Matrix Metalloproteinase (MMP)-1, MMP-3 dan MMP-9 sehingga kolagen matur akan terdegradasi. Selain kolagen matur, aktivasi dari AP-1 dapat menurunkan sintesis prokolagen I dan reseptor Transforming Growth Factor-beta (TGF-β) sehingga sintesis kolagen akan menurun. Ekstrak beras hitam (Oryza sativa L. indica) mengandung antosianin yang dapat menghambat aktivasi AP-1 sehingga MMP-1, MMP-3 dan MMP-9 tidak meningkat, yang mengakibatkan sintesis kolagen tidak mengalami hambatan serta tidak rusaknya jaringan kolagen. Ekstrak beras hitam juga mengandung senyawa fenol dan vitamin C yang dapat mencegah terjadinya penurunan jumlah kolagen akibat terbentuknya ROS dengan mendonorkan atom hidrogennya sehingga dapat meredam ROS. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan efek pemberian krim ekstrak beras hitam (Oryza sativa L. indica) 20% menghambat penurunan jumlah kolagen pada tikus (Rattus norvegicus) galur wistar yang dipapar sinar UVB. Penelitian pemberian krim ekstrak beras hitam 20% ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan metode post test only control group design. Penelitian terdiri dari dua kelompok dengan jumlah sampel 18 ekor tikus wistar jantan tiap kelompok. Kelompok 1 yaitu kelompok kontrol, diberi paparan sinar UVB dan diolesi krim bahan dasar. Kelompok 2 diberi paparan sinar UVB dan krim ekstrak beras hitam 20%. Dosis total UVB yaitu 840 mJ/cm2 yang diberikan selama 4 minggu, kemudian dilakukan biopsi untuk pemeriksaan jumlah kolagen yang dihitung dengan pemeriksaan histopatologis jaringan kulit dengan pewarnaan Sirius red. Jaringan kolagen utuh akan tampak berwarna merah terang. Jumlah kolagen dihitung dengan persentase pixel luas area dibandingkan dengan pixel seluruh jaringan dermis. Uji perbandingan setelah diberikan perlakuan adalah menggunakan uji t independent. Rerata jumlah kolagen kelompok kontrol sebesar 72,43±5,64%. Rerata kelompok perlakuan lebih tinggi yaitu sebesar 80,93±3,22%. Hasil uji perbandingan dengan uji t independent menunjukkan bahwa nilai t sebesar 4,44 dan memiliki nilai p sebesar 0,001 (p < 0,05). Data tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah kolagen yang bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Simpulan penelitian ini adalah pemberian krim ekstrak beras hitam 20% pada tikus Wistar selama 4 minggu menghambat penurunan jumlah kolagen kulit tikus Wistar yang terpapar sinar ultraviolet B sebesar 8,5%. Perlu dilakukan uji klinis sebelum diaplikasikan pada manusia tentang mekanisme serta efek lain krim ekstrak beras hitam. Kata kunci: krim ekstrak beras hitam, kolagen, sinar ultraviolet B
ABSTRACT ADMINISTRATION of BLACK RICE (Oryza sativa L. indica) EXTRACT CREAM PREVENTED THE DECREASE OF SKIN COLLAGEN in WISTAR RATS (Rattus norvegicus) EXPOSED TO ULTRAVIOLET B Photoaging is the aging of the skin due to exposure to ultraviolet light (UV) repeatedly. Exposure of the skin to UVB rays causes the formation of Reactive Oxygen Species (ROS) that can damage the collagen fibers through activation of Activator Protein-1 (AP-1) which then activates Matrix Metalloproteinase (MMP) -1, MMP-3 and MMP-9 so that the mature collagen will be degraded. Besides mature collagen, the activation of AP-1 can reduce the synthesis of procollagen I and Transforming Growth Factor-beta (TGF-β) receptor so that collagen synthesis will be decreased. Extract of black rice (Oryza sativa L. indica) contain anthocyanins which can inhibit AP-1 activation thus MMP-1, MMP-3 and MMP-9 are not increase, that makes the synthesis of collagen is not inhibited and the collagen tissue is not damaged. Black rice extract also contains phenolic compounds and vitamin C that can prevent a decrease in the amount of collagen due to the formation of ROS by donating hydrogen atom so that ROS can be damped. The purpose of this study was to prove the effects of administrating 20% black rice (Oryza sativa L. indica) extract cream to prevent the decrease of skin collagen in wistar rats (Rattus norvegicus) exposed to UVB rays. This study was a true experimental using post test only control group design. The subjects were divided into 2 groups, with 18 rats each. Control group was exposed with ultraviolet B and treated with basis cream. Treatment group was exposed with ultraviolet B with total dose 840 mJ/cm2 and was treated with 20% black rice extract cream. Ultraviolet B was given for 4 weeks, then a biopsy was done for examining the amount of collagen skin with sirius red staining. The collagen was calculated by histophatologic examination using sirius red staining. Intact collagen tissue was signed by red color. The amount of collagen was calculated by the percentage of the pixels area of collagen and was compared with the pixels of entire dermal tissues. T-independent test was used to analyze the data. Mean of amount of collagen in control group was 72.43±5.64%. Mean of treatment group was 80.93±3.22%, higher than control group. The post test comparison among the groups with t-independent test showed t-value was 4.44 and p value was 0.001; those data showed that there was a significantly different between the two groups (p < 0.05). The conclusion of this research was that the administration of 20% black rice extract cream prevented the decrease of skin collagen in Wistar rats exposed to ultraviolet B for 8.5%. A clinical trial needs to be done before it is applied to humans to unravel the mechanism and other effects of black rice extract cream. Keywords: cream of balck rice extract, collagen, ultraviolet B
DAFTAR ISI Halaman PRASYARATAN GELAR ……………………………………………….
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………..
ii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI PENELITIAN …………....................
iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ……………………………………..
iv
UCAPAN TERIMA KASIH ……………………………………………….
v
ABSTRAK ………………………………………………………………….
viii
ABSTRACT ………………………………………………………………..
ix
DAFTAR ISI ………………………………………………………………
x
DAFTAR TABEL …………………………………………………………
xv
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………
xvi
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ………………………………
xvii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….
xix
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………
1
1.1 Latar Belakang …………………………………………………
1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………...
5
1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………….
5
1.4 Manfaat Penelitian ………………………………………………
5
BAB II KAJIAN PUSTAKA ………………………………………………..
6
2.1 Proses Penuaan …………………………………………………..
6
2.1.1 Teori Penuaan ……………………………………………...
6
2.1.2 Gejala Klinik Penuaan ……………………………………...
10
2.2 Kulit ………………………………………………………………
12
2.2.1 Anatomi Kulit ………………………………………………
12
2.2.1.1 Lapisan Epidermis …………………………………
13
2.2.1.2 Lapisan Dermis …………………………………….
15
2.2.1.3 Lapisan Subkutis …………………………………..
18
2.2.2. Penuaan Kulit ……………………………………………..
18
2.3 Sinar Ultraviolet dan Efeknya Terhadap Kulit …………………..
20
2.3.1 Efek Akut Sinar Ultraviolet ………………………………..
21
2.3.2 Efek Kronis Sinar Ultraviolet ………………………………
22
2.4 Photoaging dan Mekanisme Terjadinya Photoaging …………….
23
2.4.1 Photoaging …………………………………………………
23
2.4.2 Mekanisme Terjadiya Photoaging ………………………….
24
2.5 Radikal Bebas dan Antioksidan …………………………………..
27
2.5.1 Radikal Bebas ……………………………………………….
27
2.5.2 Antioksidan ………………………………………………….
30
2.6 Senyawa Fenol ……………………………………………………
32
2.7 Antosianin …………………………………………………………
33
2.8 Mekanisme Antosianin Mencegah Kerusakan Kolagen ………….
35
2.9 Vitamin C …………………………………………………………
36
2.10 Beras Hitam ………………………………………………………. 37 2.10.1 Klasifikasi Beras Hitam ……………………………………. 38 2.10.2 Anatomi Beras Hitam ………………………………………. 39 2.10.3 Kandungan Beras Hitam ……………………………………. 40 2.11 Krim ……………………………………………………………….. 41 2.12 Tikus (Rattus norvegicus) Galur Wistar…………………………
44
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS ……………
48
3.1 Kerangka Berpikir ……………………………………………….
48
3.2 Konsep Penelitian ………………………………………………..
50
3.3 Hipotesis Penelitian ……………………………………………… 51 BAB IV METODE PENELITIAN …………………………………………….
52
4.1 Rancangan Penelitian ……………………………………………. 52 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian …………………………………… 53 4.3 Populasi dan Sampel …………………………………………….. 53 4.3.1 Populasi ……………………………………………………. 53 4.3.2 Kriteria Sampel …………………………………………….. 53 4.3.2.1 Kriteria Inklusi ……………………………………. 53 4.4 Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel ………………….
54
4.5 Variabel Penelitian ………………………………………………
54
4.5.1 Identifikasi Variabel ………………………………………. 54 4.5.2 Klasifikasi Variabel ……………………………………….. 55 4.5.3 Hubungan Antar Variabel …………………………………
55
4.5.4 Definisi Operasional Variabel ………………………….....
56
4.6 Alat, Bahan dan Hewan Percobaan ……………………………… 57 4.6.1 Alat Penelitian ……………………………………………
57
4.6.2 Bahan Penelitian ………………………………………….
58
4.6.3 Hewan Percobaan ………………………………………...
58
4.7 Prosedur Penelitian ………………………………………………
59
4.7.1 Persiapan Hewan Uji ……………………………………… 59 4.7.2 Preparasi Simplisia ………………………………………
63
4.7.3 Ekstraksi …………………………………………………
63
4.7.4 Pembuatan Krim …………………………………………
63
4.7.5 Alur Penelitian ……………………………………………
65
4.8 Analisis Data …………………………………………………… BAB V HASIL PENELITIAN ……………………………………………….
66 67
5.1 Gambaran Histopatologis Kulit Tikus Wistar Setelah Perlakuan …
68
5.2 Uji Statistik ……………………………………………………..
68
5.2.1 Uji Deskriptif ………………………………………………..
68
5.2.2 Uji Normalitas Data ………………………………………….. 69 5.2.3 Uji Homogenitas Data …………………………………………. 69 5.2.3 Uji Efek Pemberian Krim Ekstrak Beras Hitam Terhadap Kadar Kolagen …………………………..…………………... 70 BAB VI PEMBAHASAN ……………………………………………………… 72 6.1 Subjek Penelitian …………………………………………………… 72 6.2 Jumlah Kolagen Pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan.. 73 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………….. 79 7.1 Simpulan ………………………………………………………….
79
7.2 Saran ………………………………………………………………
79
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….
80
LAMPIRAN – LAMPIRAN …………………………………………………..
86
DAFTAR TABEL
2.1
Kandungan Beras Hitam …………………………………...
40
5.1
Hasil Uji Deskriptif Rerata Jumlah Kolagen ………………….
69
5.2
Hasil Uji Normalitas Data Kolagen Sesudah Perlakuan ……
69
5.3
Homogenitas Data Kolagen Antar Kelompok Perlakuan …..
70
5.4
Perbedaan Rerata Kolagen Antar Kelompok Sesudah Diberikan Krim Ekstrak Beras Hitam ……………………………………
70
DAFTAR GAMBAR
2.1
Anatomi Kulit …………………………………………………
12
2.2
Biosintesis Kolagen ..………………………………………….
18
2.3
Efek Sinar Ultraviolet Terhadap Kulit ………………………… 20
2.4
Mekanisme Terjadinya Photoaging …………………………… 27
2.5
Turunan Senyawa Fenol ………………………………………. 33
2.6 Struktur Kimia Antosianin ……………………………………
34
2.7
Reaksi Reduksi dan Oksidasi Asam Askorbat ………………..
37
2.8
Anatomi Beras Hitam …………………………………………. 39
2.9
Tikus Galur Wistar ……………………………………………. 47
4.1
Rancangan The Randomized Post Test Only Control Group …. 52
4.2
Skema Hubungan Antar Variabel Penelitian ………………….. 55
4.3
Bagan Alur Penelitian …………………………………………
5.1
Gambaran Kolagen Kulit Tikus Wistar Dengan Pewarnaan Sirius red ……………………………………………………..
5.2
65
68
Perbandingan Jumlah Kolagen antar Kelompok Kontrol dengan Kelompok Perlakuan …………………………………………… 71
6.1
Mekanisme Senyawa Fenol, Vitamin C dan Antosianin Dalam Menghambat Kerusakan Kolagen………………………. 77
DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA SINGKATAN (IL)-1
: interleukin
a/m
: air dalam minyak
A4M
: American Academy of Anti Aging Medicine
ACN
: Antosianin
ALA
: asam alfa lipoat
AO
: Antioksidan
AP-1
: activator protein-1
cAMP
: Cyclic adenosine monophosphat
CoQ10
: Koenzim Q10
DNA
: Deoxyribonucleic Acid
EGF
: epidermal growth factor
F
: Distribusi
GAE
: Galic acid equivalent
GAEAC
: Gallic acid equivalent antioxidant capacity
HOCl
: asam hipoklorid
JNK
: C-Jun amino terminal kinase
m/a
: minyak dalam air
MAP kinase
: Mitogen-activated protein kinase
MED
: minimal erytema doses
MMP
: Matrix Metalloproteinase
mtDNA
: DNA mitokondria
n
: Jumlah sampel
NF-KB
: nuclear factor kappa B cells
nm
: Nano meter
ODC
: ornithine decarboxylase
p
: Signifikansi
RER
: Rough Endoplasmic Reticulum
ROS
: Reactive oxygen species
SB
: Simpangan Baku
SOD
: Superoksida dismutase
t
: Distribusi
TGF-β
: Transforming Growth Factor-beta
TNF-α
: Tumor Necroting Factor-alfa
USP
: United State Pharmacopeia
UV
: Ultra Violet
UVA
: Ultra Violet A
UVB
: Ultra Violet B
UVC
: Ultra Violet C
±
: lebih kurang
>
: lebih besar
<
: lebih kecil
%
: persentase
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Analisis Ekstrak Beras Hitam ………………………………
88
Lampiran 2 Uji Normalitas Data ………………………………………………
89
Lampiran 3 Uji Homogenitas Data ……………………………………………
90
Lampiran 4 Uji T-independent data …………………………………………..
91
Lampiran 5 Ethical Clearance ………………………………………………… 92
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penuaan adalah proses yang akan dialami oleh setiap mahluk hidup dan terjadi secara bertahap pada seluruh organ. Terdapat dua jenis penuaan yaitu penuaan secara kronologis dan penuaan secara biologis. Penuaan secara kronologis adalah bertambahnya usia, yang sampai saat ini tidak dapat dihambat, namun ilmu Anti Aging Medicine berpendapat bahwa penuaan yang terjadi secara biologis dapat dihambat dengan cara mencegah berbagai penyakit yang timbul akibat penuaan. Konsep Anti Aging Medicine dicetuskan pada tahun 1993, konsep ini mengganggap dan memperlakukan penuaan seperti penyakit yang dapat dicegah, dihindari dan diobati sehingga dapat kembali ke keadaan semula, oleh karena itu manusia tidak lagi harus membiarkan begitu saja dirinya menjadi tua dengan segala keluhan atau mendapatkan pengobatan atau perawatan yang belum tentu berhasil (Pangkahila, 2007). Dengan ditemukan berbagai teori tentang penyebab penuaan, maka ditemukan pula cara dan upaya untuk memperlambat terjadinya penuaan tersebut yang tujuan akhirnya adalah untuk memperpanjang usia dalam keadaan sehat dan memiliki kualitas hidup yang baik. Faktor – faktor yang menyebabkan penuaan dapat dikelompokan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal adalah radikal bebas, berkurangnya hormon, glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan gen. Faktor eksternal yang utama adalah gaya hidup tidak
sehat kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, stress dan kemiskinan (Pangkahila, 2011). Faktor eksternal yang menyebabkan penuaan pada kulit selain kebiasaan merokok, konsumsi alkohol yang berlebihan dan nutrisi buruk salah satunya adalah paparan sinar ultraviolet (UV) berulang, yang dapat menyebabkan terjadinya photoaging. Photoaging lebih sering mengenai daerah wajah, dada dan daerah ekstensor lengan. Gambaran klinis yang dijumpai antara lain adalah kulit yang kasar, kerutan, lesi pigmentasi dan keganasan (Baumann dan Saghari, 2009). Sinar UV berasal dari sinar matahari. Terdapat beberapa macam sinar UV yaitu sinar UVA yang memiliki panjang gelombang 320 – 400 nm, sinar UVB yang memiliki panjang gelombang 280 – 320 nm dan sinar UVC dengan panjang gelombang 100 – 280 nm. Dari berbagai macam sinar UV yang ada, sinar UVB yang memiliki daya rusak sampai menembus lapisan dermis kulit dan merusak serat – serat kolagen yang ada di dalamnya (Krutmann, 2011). Paparan sinar UVB yang lama dan berulang dapat menyebabkan kerusakan DNA berupa cross-linking pada basa pirimidin dan menyebabkan terbentuknya radikal bebas yaitu reactive oxygen species (ROS). Sinar UVB juga terbukti meningkatkan degradasi kolagen, karena sinar UVB dapat menginduksi berbagai matriks metalloproteinase (MMPs) akibat dari ROS yang terbentuk. Sinar UV memacu sintesis MMP-1, MMP-3 dan MMP-9 melalui pelepasan Tumor Necroting Factor-alfa (TNF-α) oleh keratinosit dan fibroblas serta menyebabkan penurunan Transforming Growth Factor-beta (TGF-β) (Alam dan Havey, 2010; Krutmann, 2011).
Kolagen adalah salah satu protein yang paling banyak pada tubuh manusia. Fungsi kolagen adalah sebagai jaringan yang dapat diregangkan dan menjadikan kulit sebagai pelindung dari trauma luar. Jenis kolagen yang ditemukan pada kulit adalah kolagen tipe I, tipe III, tipe IV, tipe V, tipe VII dan tipe XVII (Baumann dan Saghari, 2009). Pada photoaging, kolagen akan mengalami kerusakan dimana kolagen akan mengalami glikasi, yaitu reaksi non enzimatik yang melibatkan penambahan gula pereduksi molekul matriks ekstraseluler kolagen dan protein. Kolagen yang mengalami glikasi akan kehilangan kelenturannya dan tidak dapat mengalami remodeling. Kolagen yang terpapar berulang oleh sinar UVB akan mengalami degradasi dan penghambatan pertumbuhan prokolagen. Degradasi kolagen menjadi tidak lengkap dan terjadi akumulasi fragmentasi kolagen yang mengurangi integritas struktural dermis (Baumann dan Saghari, 2009; Yaar dan Gilchrest, 2007). Antioksidan diketahui dapat mencegah dan menghambat terbentuknya radikal bebas, walaupun kulit mengandung banyak antioksidan, antara lain superoksida dismutase (SOD), katalase, glutation peroksidase, tokoferol (vitamin E), koenzim Q10 (CoQ10), asam askorbat (vitamin C) dan karotenoid, tetapi jumlahnya masih jauh dari efektif dalam mengatasi stress oksidatif yang terjadi (Yaar dan Gilchrest, 2008). Untuk mencegah terjadinya kerusakan kolagen akibat paparan sinar UV, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengkonsumsi antioksidan. Belakangan ini banyak antioksidan beredar di pasaran, antara lain adalah vitamin C dan antosianin yang merupakan bagian dari senyawa fenol golongan flavonoid.
Senyawa fenol dan vitamin C melindungi kerusakan kolagen akibat paparan sinar UV dengan cara mendonasikan elektronnya untuk menetralisasi radikal bebas yang terbentuk pada saat kulit terpapar sinar UV, sementara antosianin dapat mencegah teraktivasinya beberapa faktor transkripsi yang dapat menyebabkan terdegradasinya kolagen matur dan menghambat pembentukan kolagen baru (Apak et al., 2007; Telang, 2013; Yaar dan Gilchrest, 2007) Bahan pangan yang mengandung tinggi senyawa fenol, antosianin dan vitamin C salah satunya adalah beras hitam (Oryza sativa L. indica). Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas dari senyawa fenol, antosianin dan vitamin C yang terkandung di dalam beras hitam sebagai antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas sehingga dapat mengurangi efek kerusakan pada kulit. Berdasarkan hasil analisis laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana, didapatkan bahwa ekstrak beras hitam bagian endosperma dan embrio setelah proses pemekatan mengandung antosianin sebanyak 2.309,14 mg/100 gram, senyawa fenol sebanyak 6,42 % b/b GAE (Gallic acid equivalent) dengan kapasitas antioksidan 1336,37 ppm GAEAC (Gallic acid equivalent antioxidant capacity) dan IC 50% 1,33 mg/ml serta vitamin C sebanyak 6.769,23 mg/100 gram (Lampiran 1). Pada penelitian yang dilakukan oleh Xia et al., (2006) tentang pemberian ektrak beras hitam per oral meningkatkan stabilisasi plaque aterosklerosis pada tikus yang mengalami defisiensi Apolipoprotein-E, terbukti bahwa ekstrak beras hitam dapat menghambat degradasi kolagen tipe I dan mengambat pembentukan MMP-1 pada arteri brakiosefalika. Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan tentang ekstrak beras hitam untuk mencegah penurunan jumlah kolagen pada tikus Wistar yang dipapar
sinar UVB dengan menggunakan krim ekstrak beras hitam dengan konsentrasi 15%, 18%, dan 20% didapatkan kadar yang paling efektif mencegah penurunan jumlah kolagen adalah krim ekstrak beras hitam dengan konsentrasi 20% (Moertolo, 2014). 1.2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dibuat rumusan masalah seperti berikut : Apakah krim ekstrak beras hitam (Oryza sativa L. indica) 20% secara topikal dapat menghambat penurunan jumlah kolagen pada kulit tikus Wistar yang dipapar sinar ultraviolet B? 1.3 TUJUAN PENELITIAN Membuktikan ekstrak beras hitam (Oryza sativa L. indica) dapat menghambat penurunan jumlah kolagen pada kulit tikus Wistar yang dipapar sinar UVB. 1.4 MANFAAT PENELITIAN 1. Dapat menghasilkan satu bahan yang potensial sebagai anti penuaan kulit. 2. Dengan melakukan prosedur yang spesifik, dapat diketahui pengaruh ekstrak beras hitam (Oryza sativa L. indica) sebagai anti penuaan kulit yang bermutu tinggi, aman dan berkhasiat.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Proses Penuaan 2.1.1 Teori Penuaan Anti Aging Medicine (AAM) telah memberikan konsep baru pada dunia kedokteran. Penuaan dapat diperlakukan seperti penyakit, sehingga dapat dicegah atau diobati bahkan dikembalikan ke kondisi semula sehingga usia harapan hidup dapat menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang lebih baik (Pangkahila, 2011). Definisi aging menurut American Academy of Anti Aging Medicine (A4M) adalah kelemahan dan kegagalan fisik dan mental yang berhubungan dengan aging yang normal disebabkan karena disfungsi fisiologik, dalam banyak kasus dapat diubah dengan intervensi kedokteran yang tepat (Goldman dan Klatz, 2007). Terdapat banyak teori yang dapat menjelaskan mengapa manusia mengalami proses penuaan. Teori – teori tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori wear and tear dan teori program. Teori wear and tear pada prinsipnya menyatakan tubuh menjadi lemah lalu meninggal akibat dari penggunaan dan kerusakan yang terus menerus, teori ini meliputi kerusakan DNA, glikoslasi dan radikal bebas. Teori progam menganggap tubuh memiliki jam biologis, teori ini meliputi terbatasnya replikasi, proses imun dan neuroendocrine theory (Pangkahila, 2011).
1. Teori wear and tear Teori ini menyatakan tubuh menjadi lemah lalu meninggal adalah akibat dari penggunaan dan kerusakan yang terus menerus. Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit serta organ lainnya menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi banyak lemak, gula, kafein, alkohol dan nikotin. Pada teori ini, sinar ultraviolet dan stress fisik serta emosional juga dianggap sebagai penyebab terjadinya kerusakan organ yang menyebabkan penuaan. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada organ, melainkan juga terjadi pada tingkat sel (Pangkahila, 2011). Pada masa muda sistem pemeliharaan dan perbaikan tubuh mampu melakukan kompensasi terhadap pengaruh penggunaan dan kerusakan yang terjadi, namun pada masa tua tubuh kehilangan kemampuan untuk memperbaiki kerusakan karena penyebab apapun. Teori ini menyakinkan bahwa pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang tidak terlambat dapat membantu mengembalikan proses penuaan. Yang termasuk ke dalam teori wear and tear ini adalah kerusakan DNA, glikosilasi dan teori radikal bebas (Pangkahila, 2011). 1.1 Kerusakan DNA Kerusakan DNA terjadi apabila terdapat proses penyembuhan yang tidak sempurna dan sebagai akibat dari penimbunan kerusakan molekul yang terus menerus. Kerusakan DNA yang menumpuk dalam waktu lama akan mencapai suatu keadaan di mana basis molekul
sebenarnya
keseimbangan
antara
sudah
rusak
kerusakan
berat.
Dikatakan
DNA
dan
bahwa
keberhasilan
penyembuhan DNA yang menentukan rentang usia seseorang (Pangkahila, 2011). 1.2 Glikosilasi Glikosilasi adalah faktor penting yang berkaitan dengan diabetes melitus tipe 2. Glukosa mungkin bergabung dengan protein yang telah mengalami dehidrasi, yang kemudian menyebabkan terganggunya sistem organ tubuh. Diabetes sering dianggap sebagai model biologik proses penuaan dini karena pada penderita diabetes mengalami proses patologik yang lebih awal sehingga usia harapan hidup pada penderita diabetes lebih pendek (Pangkahila, 2011). 1.3 Teori Radikal Bebas Pada teori ini dijelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi akumulasi kerusakaan akibat radikal bebas di dalam sel. Radikal bebas merupakan suatu molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas yang tinggi, karena kecenderungannya untuk menarik elektron dan memiliki kemampuan untuk mengubah suatu molekul menjadi radikal bebas karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain sehingga dapat menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak dan protein. Pertambahan usia mengakibatkan akumulasi sel yang rusak akibat radikal bebas, sehingga dapat merusak sel dan merangsang terjadinya mutasi sel yang akhirnya menyebabkan kanker dan kematian. Radikal bebas juga dapat merusak kolagen dan elastin, suatu protein
yang menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel dan elastis. Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal bebas, terutama pada daerah wajah, yang mengakibatkan lekukan dan kerutan pada kulit akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldman dan Klatz, 2007). 2. Teori Program Teori ini beranggapan bahwa di dalam tubuh manusia terdapat jam biologis, mulai dari proses konsepsi kemudian menjadi embrio, janin, masa bayi, anak – anak, remaja, dewasa sampai menjadi tua dan meninggal adalah suatu proses yang terprogram. Yang termasuk ke dalam teori program ini adalah teori terbatasnya replikasi sel, proses imun dan teori neuroendocrine (Pangkahila, 2011). 2.1. Teori Terbatasnya Replikasi Sel Menurut Hayflick (1998), mekanisme telomere, yaitu struktur khusus yang terdapat di bagian ujung chromosome strands, menentukan rentang usia sel dan pada akhirnya rentang usia organisme itu sendiri. Pada setiap proses replikasi sel, telomere akan memendek, yang pada suatu saat ketika telomere telah dipakai maka pembelahan sel akan berhenti (Pangkahila, 2011). 2.2 Proses Imun Teori ini menyatakan bahwa pada siklus kehidupan akan terjadi involusi pada kelenjar timus. Kelenjar ini adalah sumber dari sel T yang berperan penting pada sistem imun. Pada penuaan, jumlah sel T tidak
berkurang secara drastis namun terjadi penuruan pada fungsinya (Pangkahila, 2011). 2.3 Teori Neuroendocrine Teori
yang
dikembangkan
oleh
Vladimir
Wilwan,
yang
mengembangkan teori “wear and tear” yang berfokus pada berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya (Goldman dan Klatz, 2007). Hormon bekerja dengan baik mengendalikan berbagai fungsi organ tubuh pada usia muda, namun seiring dengan bertambahnya usia, akan terjadi penurunan produksi hormon, yang pada akhirnya akan mengganggu berbagai sistem tubuh (Goldman dan Klatz, 2007). 2.1.2 Gejala Klinis Penuaan Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya fungsi berbagai organ tubuh. Akibat penurunan fungsi itu, muncul berbagai tanda dan gejala proses penuaan Proses penuaan berlangsung melalui tiga tahap (Pangkahila, 2011) . 1. Tahap Subklinik (usia 25 – 35 tahun) : Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun, yaitu hormon testosteron, growth hormone, dan hormon estrogen. Pembentukan radikal bebas, yang dapat merusak sel dan DNA, mulai
mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Karena itu, pada tahap ini orang merasa dan tampak normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaan. Bahkan, umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal. 2. Tahap Transisi (usia 35 – 45 tahun) : Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25%. Massa otot berkurang sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun. Akibatnya, tenaga dan kekuatan terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Keadaan ini menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya resiko penyakit jantung pembuluh darah dan obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu penglihatan dan pendengaran menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi kulit menurun, dorongan dan bangkitan seksual menurun. Pada tahap ini orang merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. 3. Tahap Klinik (usia 45 tahun ke atas) : Pada tahap ini penurunan kadar hormon terus berlanjut, yang meliputi DHEA (dehydroepiandrosterone), melatonin, growth hormone, testosteron, estrogen dan hormon tiroid. Terjadi juga penurunan bahkan hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin dan mineral. Densitas tulang menurun, massa otot berkurang sekitar satu kilogram setiap tiga tahun, yang mengakibatkan ketidak mampuan membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh dan berat badan. Penyakit kronis mulai nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan. Disfungsi seksual merupakan keluhan yang penting dan mengganggu keharmonisan banyak pasangan (Pangkahila, 2011).
1.2
Kulit
2.2.1 Anatomi Kulit Kulit adalah organ terbesar dari tubuh, terhitung sekitar 15% dari total berat badan manusia. Kulit tersusun atas tiga lapisan yaitu epidermis, dermis, dan subkutis. Setiap lapisan memiliki karakteristik dan fungsinya masing – masing (Kanitakis, 2002; Baumann dan Saghari, 2009).
Gambar 2.1 Anatomi Kulit (Taghizadeh dan Bastanfard, 2012)
1.2.1.1 Lapisan Epidermis Epidermis adalah lapisan terluar dari kulit, terdiri dari epitel skuamosa bertingkat yang terutama terdiri dari dua jenis sel yaitu sel keratinosit dan sel dendritik. Epidermis dibagi menjadi empat lapisan sesuai dengan morfologi keratinosit yang tersusun dari dalam ke luar, yaitu lapisan sel basal (stratum basale), lapisan sel skuamosa (stratum spinosum), lapisan sel granular (stratum granulosum), dan lapisan sel cornified (stratum korneum) (James et al., 2006; Baumann dan Saghari, 2009). a. Stratum Basale Lapisan sel basal yang juga dikenal sebagai stratum germinativum, mengandung sel keratinosit yang menempel pada membran dasar dengan sumbu panjang tegak lurus terhadap dermis. Sel – sel basal ini membentuk lapisan tunggal yang melekat satu sama lain melalui desmosom. Desmosom adalah struktur kompleks yang terdiri dari molekul adhesi dan protein lain yang merupakan bagian integral dalam adhesi sel dan transportasi sel. Sel basal memiliki peran dalam terjadinya proliferasi sel pada epidermis. Pada stratum basale terdapat ornithine decarboxylase (ODC) yang digunakan sebagai marker aktivitas proliferasi. ODC distimulasi oleh paparan berulang UVB dan diinaktivasi oleh asam retinoat, kortikosteroid dan vitamin D3 (Chu, 2008; Baumann dan Saghari, 2009; Jain, 2012).
b. Stratum Spinosum Stratum Spinosum terdiri dari 5 – 10 lapisan sel skuamosa. Lapisan ini terdiri dari berbagai sel yang berbeda dalam bentuk, struktur dan sifat tergantung dari lokasinya, yang antara lain adalah sel spinosus supra basal yang berbentuk polyhedral dengan inti bulat, sedangkan sel – sel dari lapisan spinosus atas umumnya lebih besar ukurannya dan menjadi datar karena terdorong ke arah permukaan kulit dan mengandung granula lamellar (Chu, 2008). Pada lapisan ini terdapat cell junction yaitu, desmosom, adherent junction, tight junction dan gap junction (Jain, 2012). c. Stratum Granulosum Stratum granulosum terdiri dari sel – sel pipih yang mengandung granul keratohialin dalam sitoplasmanya. Granul keratohialin mengandung profilagrin, lorikrin dan involukrin. Sel – sel ini bertanggung jawab untuk sintesis dan modifikasi protein yang terlibat dalam keratinisasi (Chu, 2008; Baumann dan Saghari, 2009). d. Stratum Korneum Korneosit pada stratum korneum memiliki fungsi pelindung mekanik untuk epidermis dengan mencegah hilangnya air dan invasi oleh zat – zat asing. Korneosit yang mengandung kadar protein tinggi dan kadar lemak rendah ini dikelilingi oleh matriks ekstraseluler lipid. Sifat fisik dan biokimia dari sel – sel di stratum korneum bervariasi sesuai dengan letaknya. Sel – sel yang berada di tengah memiliki
kapasitas untuk mengikat air lebih banyak dibandingkan dengan sel – sel yang berada di lapisan yang lebih di dalam, karena konsentrasi asam amino bebas ditemukan lebih banyak pada sitoplasma sel lapisan tengah (Chu, 2008). 1.2.1.2 Lapisan Dermis Lapisan dermis terletak antara epidermis dan lemak subkutan. Lapisan ini yang menentukan ketebalan kulit, dan juga memiliki peran penting pada penampilan kosmetik kulit. Ketebalan lapisan dermis bervariasi pada berbagai bagian tubuh. Pada penuaan, terjadi penurunan ketebalan dan kelembaban pada lapisan ini. Di dalam dermis terdapat syaraf, pembuluh darah, kelenjar keringat dan sebagian besar dermis terdiri dari kolagen. Bagian paling atas lapisan dermis yang dekat dengan epidermis disebut dermis pars papilare dan bagian bawah dari lapisan dermis yang dekat dengan lemak subkutan disebut dermis pars retikulare (Baumann dan Saghari, 2009). Karakteristik dari dermis pars papilare adalah terdapat bundel kolagen yang kecil, kepadatan yang tinggi dan terdapat elemen vaskular. Pada pars retikulare terdapat bundel kolagen yang lebih besar, elastin yang matang, pembuluh darah, saraf, otot, polisebasea, kelenjar apokrin dan ekrin (Baumann dan Saghari, 2009). Fibroblast adalah jenis sel utama dalam dermis. Fibroblast memproduksi kolagen, elastin, protein matriks lainnya, dan enzim seperti kolagenase dan stromelysin. Di dalam dermis juga terdapat sel mast,
leukosit polimorfonuklear, limfosit dan makrofag (Baumann dan Saghari, 2009). a. Kolagen Kolagen adalah protein alami terkuat yang banyak terdapat pada tubuh manusia. Terdapat beberapa tipe kolagen yang terdapat pada kulit. 80% - 85% kolagen tipe I terdapat dermis, kolagen tipe I terdiri dari 2 rantai α yaitu α1 dan α2. Kolagen tipe I berguna untuk kelenturan dermis. Jumlah kolagen tipe I terbukti menurun pada kulit yang menua. Kolagen tipe III adalah bentuk kedua paling penting dari kolagen pada dermis, namun memiliki diameter yang lebih kecil dari kolagen tipe I. Kolagen tipe III terdiri dari 3 rantai α, yaitu hidroksiprolin, glisin dan residu sistein. Kolagen tipe III dikenal juga sebagai fetal kolagen karena banyak ditemukan pada fetus. Kolagen jenis lain yang juga terdapat pada dermis adalah kolagen tipe IV, terdapat pada lamina densa dan terdiri dari rantai α1 dan α2, heterotrimer dan homo polimer. Kolagen tipe V terdiri dari 4 rantai yang berbeda dan terletak pada ubiquitous. Kolagen tipe VII terdiri dari satu rantai α dan memiliki ikatan disulfide dalam rantainya, dan kolagen tipe XVII terletak pada hemidesmosome (Baumann dan Saghari, 2009). Biosintesis Kolagen Pembentukan rantai pro α yang merupakan prekursor kolagen diawali dengan sintesis rantai prepro α, sebuah polipeptida yang mengandung sekuen signal amino terminal. Rantai prepro α dirubah menjadi rantai pro α pada retikulum endoplasma kasar (RER), kemudian
akan terjadi proses hidroksilasi residu prolyl dan lysyl yang dimulai saat rantai pro α terbentuk, dengan bantuan enzim prolyl hydroxylase dan Lysil hydroxylase dan sebagai kofaktor adalah O2, Fe, α-ketoglutarat dan asam askorbat. Proses selanjutnya adalah glikosilasi. Kolagen adalah glikoprotein yang mengandung residu galaktosil dan glukosilgalaktosil, glikosilasi terjadi setelah sintesis hidroksilisin sampai dengan terbentuk tripel helix pada RER, proses ini terjadi dengan bantuan enzim galactosyl-transferase dan glucosyl-transferase, namun fungsi dari residu gula ini belum diketahui. Kemudian akan terjadi proses assembly dan sekresi dimana tiga rantai pro α berikatan menjadi prokolagen, kecepatan proses ini bervariasi tergantung dari jenis kolagen. Prokolagen akan di transfer ke aparatus golgi, di dalam aparatus golgi akan terbentuk vesikel sekretoris yang akan menyatu dengan membran plasma kemudian mengeluarkan
prokolagen
ke
matrix
ekstraselular.
Di
matrix
ekstraselluler akan terjadi pemutusan rantai prokolagen oleh enzim procollagen N-proteinase dan procollagen C-proteinase lalu terbentuk struktur tripel helix yang disebut tropokolagen. Tropokolagen secara spontan bersatu satu sama lain membentuk serat kolagen, namun serat tunggal tidak dapat berfungsi sebagai elastisitas kulit, sehingga serat kolagen bersatu membentuk cross link dengan bantuan enzim oxydase lysyl. Struktur cross link ini akan membentuk kolagen matur (Yaar dan Gilchrest, 2008).
Gambar 2.2 Biosintesis Kolagen (Gilkes et al., 2014).
2.2.1.3.
Lapisan Subkutis Lapisan subkutis atau hipodermis terletak di bawah dermis, sebagian
besar terdiri dari lemak, yang merupakan sumber energi yang penting bagi tubuh. Pada lapisan ini juga terdapat kolagen tipe I, III, dan V. Lapisan subkutis menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda – beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu (Baumann dan Saghari, 2009). 2.2.2
Penuaan Kulit Penuaan adalah proses yang terjadi di seluruh organ, namun paling terlihat pada
kulit. Terdapat dua proses utama pada penuaan kulit, yaitu penuaan intrinsik dan penuaan ekstrinsik. Penuaan intrinsik mengambarkan latar belakang genetik dari individu dan
akibat dari bertambahnya usia secara kronologis. Penuaan ekstrinsik disebabkan oleh faktor eksternal seperti merokok, konsumsi alkohol yang berlebihan, gizi buruk, dan paparan sinar matahari. Penuaan ekstrinsik dapat dikurangi dengan usaha anti aging. Penuaan kulit 80% disebabkan oleh paparan sinar matahari yang disebut photoaging (Baumann dan Saghari, 2009). Penuaan intrinsik pada kulit terjadi karena akumulasi kerusakan endogen akibat dari pembentukan senyawa oksigen relatif selama metabolisme oksidasi seluler. Selain itu penuaan intrinsik pada kulit juga terjadi akibat dari pemendekan telomere pada pembelahan sel, penurunan faktor pertumbuhan dan akibat dari penurunan hormon, dimana menurunnya hormon estrogen dapat mempengaruhi degradasi dari kolagen. Gambaran klinis penuaan intrinsik antara lain adalah serosis, kelemahan dan kerutan pada kulit serta gambaran tumor jinak seperti keratosis seboroik dan angina buah cherry. Di bawah mikroskop akan tampak atrofi epidermis, pendataran epidermal rete ridges dan atrofi dermis. Pada penuaan intrinsik terjadi peningkatan rasio jumlah kolagen III terhadap kolagen I (Baumann dan Saghari, 2009). Penuaan ekstrinsik paling utama disebabkan oleh paparan sinar UV atau yang disebut photoaging, sehingga penuaan ekstrinsik paling terlihat pada daerah wajah, dada dan bagian ekstensor dari lengan. Gambaran klinis photoaging antara lain adalah kerutan dan lesi pigmentasi seperti frackles, lentigines, hiperpigmentasi dan lesi hipopigmentasi seperti hipomelanosis gutata. Gambaran histopatologis berupa atrofi epidermis, dan perubahan pada kolagen dan elastin berupa fragmentasi, progresif cross-linkage serta kalsifikasi. Perbedaan gambaran klinis antara penuaan intrinsik dan ekstrinsik adalah pada penuaan intrinsik kulit tampak lebih halus dibandingkan pada kulit yang mengalami penuaan ekstrinsik walaupun pada kulit yang mengalami penuaan intrinsik tipis dan mengalami penurunan elastisitas (Baumann dan Saghari, 2009).
2.3
Sinar Ultraviolet dan Efeknya Terhadap Kulit
Gambar 2.3 Efek Sinar Ultraviolet Terhadap Kulit (Landro, 2010).
Sinar ultraviolet dibagi menjadi UVA dengan panjang gelombang 320 – 400 nm, UVB dengan panjang gelombang 280 – 320 nm dan UVC dengan panjang gelombang 100 – 280 nm. UVC tidak pernah mencapai permukaan bumi karena terfiltrasi oleh ozon, namun UVA dan UVB dapat mencapai permukaan bumi, dan keduanya dapat menimbulkan kerusakan akut maupun kronis pada kulit manusia (Krutmann, 2011). UVB diserap paling banyak oleh epidermis dan menyebabkan kelainan seperti keratinosit, sementara UVA dapat menembus sampai ke dermis sehingga diserap oleh epidermis dan dermis, namun dibutuhkan jumlah yang lebih banyak untuk menyebabkan kerusakan dibandingkan UVB (Alam dan Havey, 2010).
2.3.1
Efek Akut Sinar Ultraviolet 1. Eritema Eritema adalah reaksi inflamasi akut pada kulit yang ditandai dengan kemerahan setelah paparan berlebihan radiasi UV. Dosis kemerahan minimal yang dapat dilihat jelas dalam 24 jam setelah radiasi disebut minimal erytema doses (MED). Eritema yang terbentuk bervariasi tergantung kepada panjang gelombang UVA. UVA terbagi dua, yaitu UVA 1 dan UVA 2, dimana UVA 2 lebih meningkatkan eritema dibandingkan dengan UVA 1. Efektivitas eritema menurun sebanding dengan panjang gelombang. Eritema terinduksi UVB memberikan respon lebih lambat daripada UVA dan mencapai puncak setelah paparan 6 – 24 jam tergantung dosis (Rigel et al., 2004; Taylor, 2005).
2. Pigmentasi Respon pigmentasi kulit mengikuti paparan sinar matahari yang terdiri dari reaksi kecoklatan (tanning) dan pembentukan melanin baru. Respon kecoklatan pada kulit tergantung pada gelombang radiasi. Eritema yang diindukdi UVB diikuti dengan pigmentasi. Melanisasi yang terjadi akibat paparan kumulatif UVA bertahan lebih lama dibandingkan dengan yang terjadi akibat paparan UVB. Perbedaan ini terjadi karena lokalisasi pigmen yang diinduksi UVA dari basal. Melanin yang diinduksi oleh UVB menghilang dengan turn-over epidermis dalam 1 bulan (Fisher at al.,2002; Taylor, 2005).
3. Kerusakan DNA Sinar Ultraviolet dapat menyebabkan kerusakan pada DNA berupa kesalahan pembacaan kode genetik, mutasi dan apoptosis. DNA seluler langsung menyerap UVB dan menyebabkan lesi pada basa pirimidin, yang menjadi ikatan kovalen dan merusak heliks DNA. Radiasi UVA dapat juga mengakibatkan lesi pada DNA walaupun daya rusak lebih lemah dibandingkan UVB (Taylor, 2005). 2.3.2
Efek Kronis Sinar Ultraviolet 1. Photoaging Photoaging adalah bentuk kerusakan kulit akibat dari paparan sinar UV secara kronis dan lebih sering terjadi dibandingkan kanker kulit. Panjang gelombang sinar UV yaitu 100 – 400 nm. Sinar UV terbagi 3 menurut panjang gelombangnya yaitu UVA, UVB dan UVC. 95% sampai dengan 98% sinar UVA mencapai bumi. UVB sebagian besar diserap oleh lapisan ozon, 2 – 5% yang mencapai bumi, sedangkan UVC diserap seluruhnya oleh lapisan ozon (Alam dan Havey, 2010; Krutmann, 2011). UVA menembus lapisan kulit sampai ke lapisan dermis, sedangkan UVB menembus daerah bagian atas lapisan dermis. UVA masuk paling dalam, akan tetapi daya rusak UVB dan UVC lebih besar (Taylor, 2005). 2. Fotokarsinogenesis Efek paparan sinar UV pada induksi dan progresi kanker kulit pada manusia sangat sulit dideteksi pada manusia. Perkembangan lesi kanker ini membutuhkan waktu bertahun – tahun, sehingga penelitian
mengenai fotokarsinogenesis masih terbatas. Kerusakan DNA yang disebabkan oleh radiasi UV merupakan penyebab utama perkembangan kanker kulit (Taylor, 2005; Krutmann, 2011). 2.4
Photoaging dan Mekanisme Terjadinya Photoaging
2.4.1 Photoaging Akibat dari paparan sinar UV kronis menyebabkan penuaan dini pada kulit yang disebut photoaging. Photoaging ditandai dengan kerutan halus dan kasar pada kulit, dispigmentasi, perubahan tekstur kulit, hilangnya elastisitas, dan aktinik keratosis prakanker. Sebagian dari tanda – tanda klinis tersebut disebabkan oleh perubahan pada dermis. Dispigmentasi seperti keratosis seboroik, lentigo, dan hiperpigmentasi difus disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada epidermis (Alam dan Havey, 2010). Photoaging tergantung terutama pada tingkat radiasi ultraviolet dan pada jumlah melanin pada kulit. Di samping kerusakan DNA secara langsung maupun tidak langsung, radiasi sinar ultraviolet mengaktifkan reseptor permukaan sel keratinosit dan fibroblast di kulit, yang mengarah ke kerusakan kolagen dalam matriks ekstraseluler dan shutdown sintesis kolagen baru (Pandel at al., 2013). Hilangnya jaringan ikat fibril kolagen dan akumulasi jaringan ikat elastin secara tidak teratur yang menyebabkan elastosis merupakan karakteristik kulit yang menua. Perubahan juga terjadi pada komponen seluler dan matriks ekstraseluler dari jaringan ikat kulit menua yang dapat mempengaruhi kapiler superfisial sehingga menyebabkan terjadinya telangiektasis (Alam dan Havey, 2010). Studi pada manusia dan tikus albino tanpa rambut menunjukkan bahwa
radiasi UVB akut dan kronis akan sangat meningkatkan vaskularisasi kulit dan angiogenesis. Matahari adalah sumber utama radiasi sinar ultraviolet dan kontributor utama photoaging tersebut. Radiasi UVC hampir sepenuhnya diserap oleh lapisan ozon dan tidak mempengaruhi kulit. UVB mempengaruhi lapisan epidermis dan menyebabkan sunburns (luka bakar akibat paparan surya). UVB paling intensif adalah antara pukul 10 pagi hingga 2 siang, selama bulan-bulan sepanjang musim panas, dan menyumbang 70% dari rata-rata kumulatif tahunan dosis UVB seseorang. UVA diyakini memiliki efek minor pada kulit, namun studi menunjukkan bahwa mereka menembus kulit lebih dalam. Secara signifikan lebih banyak foton dalam UVA yang diperlukan untuk menyebabkan tingkat kerusakan yang sama dengan UVB karena kurangnya kandungan energi, namun berada dalam jumlah jauh lebih tinggi di bawah sinar matahari dan lebih penetran daripada di UVB (Pandel et al., 2013). 2.4.2
Mekanisme terjadinya Photoaging Sekitar 50% dari kerusakan kulit akibat photoaging disebabkan oleh
pembentukan ROS. Pembentukan ROS terjadi di dalam kulit pada saat kulit terpapar sinar UV. ROS merusak kulit melalui reaksi modifikasi kimia langsung pada DNA mitokondria (mtDNA), sel lipid, asam deoksiribonukleat (DNA), dan protein matriks dermal, termasuk kolagen (Alam dan Havey, 2010; Rhein dan Santiago, 2010). Pembentukan ROS terjadi dalam waktu kurang dari 30 menit setelah pajanan UV dan level peroksida meningkat dua kali lipat pada kulit manusia. Pembentukan ROS oleh paparan berulang UVB melalui interaksi langsung dan tidak langsung. Interaksi langsung UVB berupa cross-linking basa pirimidin berdekatan, yang menyebabkan kerusakan langsung pada DNA dan ikatan
dengan asam amino aromatik. Hal ini mengakibatkan provokasi radikal bebas dan penurunan antioksidan kulit, dan merusak kemampuan kulit untuk melindungi diri dari radikal bebas. Interaksi tidak langsung UVB menyebabkan ROS melalui fotosensitisasi yang akan merubah elektron pada kromosfor, menjadi singlet elektron
sehingga
terjadi
produksi radikal
bebas.
Fotosensitisasi juga
memproduksi superoksida anion yang diikuti oleh dismutase ke hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida dengan bantuan kation logam (Fe dan Cu) akan menghasilkan gugus hidroksil yang bersifat radikal bebas. Hidrogen peroksida membentuk ikatan ROS lain dengan cepat seperti radikal hidroksil, hal ini menyebabkan oksidasi komponen sel yaitu DNA, protein, membran sel dan mengaktivasi jalur seluler (Taylor, 2005; Svobodova et al., 2006). ROS yang dihasilkan oleh radiasi sinar UV mengaktifkan jalur seluler yaitu reseptor sel epidermal growth factor (EGF), interleukin (IL)-1, keratinocyte growth factor dan tumor necrosis factor (TNF)-α. Pengaktifan reseptor dimediasi oleh enzim protein-tyrosine phosphatase-K, yang berfungsi menginaktivasi reseptor EGF. Aktivasi reseptor mengaktifkan MAP kinase dan C-Jun amino terminal kinase (JNK). Aktivasi dari kinase mengaktifkan transkripsi kompleks activator protein-1 (AP-1), membentuk CJun dan C-Fos. (Taylor, 2005; Yaar dan Gilchrest, 2007). Peningkatan transkripsi AP-1 menginduksi jumlah kolagenase MMPs (MMP-1), stromelisin I (MMP-3) yang memblokir transforming growth factor (TGF)-β, sitokin yang meningkatkan transkripsi kolagen, yang berakibat menurunkan produksi tipe prokolagen I. AP-1 juga menurunkan jumlah reseptor (TGF)-β yang dapat menghambat transkripsi kolagen. AP-1 bersifat antagonis asam retinoat yang memiliki efek stimulus terhadap sintesis kolagen (Fisher et al., 2002; Taylor, 2005; Yaar dan Gilchrest, 2007).
Radiasi UV juga mengaktivasi faktor transkripsi NF-KB. NF-KB mengikat netrofil dan membentuk kolagenase netrofil (MMP-8) pada kulit yang terpapar UV. Secara keseluruhan MMPs tersebut mendegradasi kolagen kulit matur dan selanjutnya terjadi kerusakan pada struktur dermis (Alam dan Havey, 2010; Fisher et al., 2002; Yaar dan Gilchrest, 2007). Radiasi UV selain mendegradasi kolagen matur, juga menghambat sintesis kolagen, terutama dengan menurunkan regulasi jumlah gen prokolagen tipe I dan III, yang mengakibatkan kulit kehilangan kolagen secara akut. (Fisher et al., 2002). Degradasi kolagen oleh radiasi UV terjadi secara tidak lengkap, degradasi kolagen mengarah kepada akumulasi fragmentasi kolagen yang akan mengurangi integritas struktural dermis. Akumulasi fragmentasi kolagen akan menghambat pertumbuhan kolagen baru dan memberikan efek regulasi negatif pada sintesis kolagen (Yaar dan Gilchrest, 2007).
Gambar 2.4 Mekanisme Terjadinya Photoaging (Rabe et al., 2006).
2.5
Radikal Bebas dan Antioksidan
2.5.1
Radikal Bebas Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki satu elektron yang tidak
berpasangan pada orbital terluarnya. Radikal bebas bersifat tidak stabil, dan mudah bereaksi dengan bahan kimia anorganik dan organik, selain itu radikal bebas memiliki kecenderungan untuk menarik elektron dan dapat merubah suatu molekul menjadi suatu radikal bebas oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain (Mitchell, 2013). Bila dua senyawa radikal bertemu, elektron – elektron yang tidak berpasangan dari kedua senyawa tersebut akan bergabung dan membentuk ikatan kovalen yang stabil. Sebaliknya, bila senyawa radikal bebas bertemu dengan senyawa bukan radikal bebas, akan terjadi 3 kemungkinan, yaitu : 1. Radikal bebas akan memberikan elektron yang tidak berpasangan (reduktor) kepada senyawa bukan radikal bebas. 2. Radikal bebas menerima elektron (oksidator) dari senyawa bukan radikal bebas. 3. Radikal bebas bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas (Winarsi, 2007). Target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta unsur DNA termasuk karbohidrat. Dari ketiga molekul target tersebut, yang paling rentan terhadap radikal bebas adalah asam lemak tak jenuh sehingga menyebabkan dinding sel menjadi rapuh. Senyawa radikal bebas juga berpotensi merusak basa DNA sehingga mengacaukan sistem info genetika dan berlanjut pada pembentukan sel kanker (Winarsi, 2007).
Terdapat 3 tahap reaksi pembentukan radikal bebas, yaitu Tahap inisiasi yang merupakan tahap awal pembentukan radikal bebas, tahap propagasi yaitu pemanjangan rantai radikal, dan tahap terminasi yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau dengan penangkap radikal, sehingga potensi propagasinya rendah (Winarsi, 2007). Dua sumber radikal bebas adalah endogen dan eksogen. Secara endogen, radikal bebas diproduksi oleh mitokondria, membran plasma, lisosom, retikulum endoplasma dan inti sel. Secara eksogen, radikal bebas berasal dari asap rokok, polutan, radiasi ultraviolet, obat – obatan dan pertisida (Winarsi, 2007). Reactive Oxygen Species (ROS) adalah jenis oksigen yang diturunkan oleh radikal bebas. ROS memiliki gugus fungsional dengan atom oksigen bermuatan elektron lebih yang berperan pada cedera sel. ROS terbentuk secara terus menerus, baik memalui proses metabolisme sel normal, peradangan, kekurangan gizi, dan akibat respon terhadap pengaruh dari luar tubuh seperti polusi lingkungan, sinar UV, asap rokok, dan lain – lain (Winarsi, 2007; Mitchell, 2013). ROS dapat dibentuk melalui jalur enzimatis ataupun metabolik. Proses cascade dari asam arakidonat menjadi prostaglandin dan prostasiklin dipacu oleh enzim liposigenase dan siklooksigenase serta oksidase yang selanjutnya akan membentuk radikal anion superoksida atau hidroperoksida. Enzim sitokrom P 450-dependen oksidase, yang berperan dalam reaksi biotransformasi dan detoksifikasi senyawa intermediate metabolit dan xenobiotik juga akan menghasilkan senyawa peroksida atau ROS. Aktivasi makrofag dan netrofil yang merupakan bentuk mekanisme pertahanan tubuh terhadap serangan infeksi mikroorganisme juga akan membentuk berbagai radikal bebas dan ROS, termasuk asam hipoklorid (HOCl), yang akan menyerang dan menghancurkan virus
maupun bakteri. Namun, di sisi lain, terbentuknya senyawa radikal tersebut sangat berbahaya karena juga berpotensi menyerang sel tubuh (Winarsi, 2007; Mitchell, 2013). Dapat diyakini bahwa dengan meningkatnya usia seseorang, pembentukan ROS juga semangkin meningkat. Secara endogenus, hal ini berkaitan dengan laju metabolisme seiring dengan bertambahnya usia. Secara eksogenus, kemungkinan tubuh terpapar dengan polutan juga semankin tinggi, seiring dengan bertambahnya usia. Kedua faktor tersebut secara sinergis meningkatkan jumlah ROS pada tubuh (Winarsi, 2007). 2.5.2
Antioksidan Antioksidan (AO) adalah molekul yang mampu menghambat reaksi oksidasi dari
radikal bebas dengan berbagai cara, antara lain dengan menangkap radikal bebas atau free radical scavenging dan dengan mengikat logam, menyingkirkan berbagai logam transisi pemicu ROS serta menyingkirkan ROS. Oksidasi merupakan reaksi kimia yang memindahkan elektron dari satu substansi ke agen oksidan. Sebagai pertahanan terhadap kerusakan oksidatif, sel dilengkapi dengan berbagai jenis AO yang akan bekerja melalui beragam mekanisme. Integritas seluler dipertahankan oleh berbagai AO enzimatik antara lain katalase, glutation peroksidase, glutation reduktase dan superoksida dismutase. Sedangkan sistem AO nonenzimatik akan mempertahankan membran sel. Yang termasuk AO nonenzimatik antara lain glutation, asam askorbat, alfa-tokoferol dan ubiquinon (Ardhie, 2011). Berdasarkan mekanisme pertahanannya, AO dibedakan menjadi: (Ardhie, 2011) 1. Mekanisme pertahanan AO primer/chain breaking/scavenger antioxidants
adalah
menetralisir
radikal
bebas
dengan
mendonasikan satu elektronnya. Molekul AO yang telah kehilangan satu elektronnya akan menjadi radikal bebas yang
baru, namun dianggap relatif stabil atau akan dinetralisir oleh AO lainnya. Contoh AO tipe ini adalah vitamin E, vitamin C, asam alfa lipoat (ALA), CoQ10, flavonoid, asam urat dan bilirubin. 2. Mekanisme pertahanan AO sekunder/preventive antioxidants bekerja dengan mengikat logam, menyingkirkan berbagai logam transisi pemicu ROS dan menyingkirkan ROS. Contoh AO tipe ini adalah transferin, laktoferin, seruloplasmin, dan albumin. 3. Mekanisme pertahanan tersier dilakukan untuk mencegah penumpukan
biomolekul
yang
telah
rusak
agar
tidak
menimbulkan kerusakan lebih lanjut. Misalnya kerusakan DNA akan diperbaiki oleh enzim metionin sulfaoksida reduktase, protein yang teroksidasi akan diproses oleh sistem enzim proteolitik dan lipid teroksidasi oleh lipase, peroksidase dan sebagainya. Seiring dengan proses penuaan alami, mekanisme pertahanan tubuh akan berkurang, sedangkan produksi ROS meningkat, hal ini menyebabkan ketidakseimbangan antara jumlah AO endogen dan ROS. Selain itu mekanisme pertahanan antioksidan endogen juga dapat dihambat oleh sinar UV dan sinar UV dapat meningkatkan produksi ROS pada tubuh. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa menggunakan antioksidan eksogen dapat mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas (Baumann dan Allemann, 2009). Pada kulit, penggunaan antioksidan secara topikal dan kombinasi dengan konsumsi oral dapat meningkatkan kapasitas antioksidan di dalam tubuh karena keduanya bekerja secara sinergis. Pemberian antioksidan oral dapat mengurangi
stress oksidatif tetapi pemberian antioksidan topikal juga mampu mencegah kerusakan kulit yang disebabkan oleh stress oksidatif. Penelitian Yaar dan Gilchrest (2008) menyatakan bahwa pemberian antioksidan topikal dan oral dapat mengurangi akumulasi peroksida pada kulit. Interaksi antara radiasi matahari pada kulit mengakibatkan terbentuknya radikal bebas. ROS mengakibatkan hidroksilasi, peroksidasi, cross-link, pemutusan rantai, penambahan radikal pada cincin aromatik, pembentukan aldehid dan deplesi thiol. Autooksidasi dari asam lemak tak jenuh ganda pada membran lipid juga terjadi, kemungkinan berhubungan dengan singlet oksigen, radikal perhidroksi atau radikal hidroksil (Wenk et al., 2001). 2.6 Senyawa Fenol Senyawa fenol adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan yang mengandung cincin aromatik dengan satu atau dua gugus hidroksil. Fenol cenderung mudah larut dalam air. Senyawa fenol terdapat dalam berbagai jenis sayuran, buah – buahan dan tanaman yang memiliki fungsi sebagai antioksidan, antiviral dan antibiotik. Fenol dibagi menjadi dua kelompok yaitu fenol sederhana dan polifenol. Dalam fungsinya sebagai protektor kolagen, fenol bekerja sebagai antioksidan pemutus rantai atau scavenger antioxidants, dengan melepaskan satu atom hidrogen dari gugus hidroksilnya sehingga ROS tidak terbentuk (Apak et al., 2007). Diet yang kaya akan polifenol alami, terutama dari buah – buahan dan sayuran terbukti dapat mengurangi berbagai penyakit yang disebabkan oleh ROS. Pada kulit kerusakan yang disebabkan oleh ROS adalah terjadinya photoaging. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Vayalil et al. (2004) pemberian polifenol
terbukti dapat menghambat pembentukan MMP-3 dan MMP-9 serta menghambat degradasi kolagen pada kulit tikus yang dipapar sinar UVB. Kelompok polifenol yang telah banyak diketahui fungsinya adalah golongan flavonoid (Apak et al., 2007). Flavonoid sering ditemukan dalam bentuk pigmen, yang membentuk pigmentasi pada daun, bunga, buah dan biji tanaman. Pigmen ini sangat bermanfaat bagi manusia yaitu sebagai antioksidan. Flavonoid merupakan senyawa golongan fenol terbesar, terdapat sekitar 10 jenis flavonoid yaitu salah satunya adalah antosianin (Bhat et al., 2009).
Gambar 2.5 Turunan Senyawa fenol ( Bardell, 2012).
2.7 Antosianin Antosianin berperan dalam memberikan pigmen merah, biru, ungu hingga kehitaman pada beberapa bunga, buah, sayuran dan serealia. Beberapa sumber antosianin yang telah dilaporkan terdapat pada buah mulberry, bluberry, cherry, blackberry, rosela, kulit dan sari anggur, strawberry dan lobak merah. Senyawa ini merupakan
turunan
dari
polyhydroxy
atau
polymethoxy
dari
2-phenyl-
benzopyrilum (Durst dan Wrolstad, 2005; Toufektsian et al., 2008; Suhartatik et al., 2012). Antosianin adalah bagian dari senyawa fenol golongan flavonoid yang merupakan antioksidan kuat. Umumnya senyawa flavonoid berfungsi sebagai antioksidan primer, chelator dan scavenger terhadap superoksida anion (Santoso, 2006). Menurut Cao et al. (2001) antosianin merupakan glikoside dari antosianidin. Beberapa waktu lalu, diketahui variasi glykosidik diantara pigmen ini di bagi menjadi empat tipe yaitu 3-monoglycosides, 3-diglycosides, 3,5-diglycisides dan 3diglycisedes-5-monoglycosides. Kemampuan antioksidatif antosianin timbul dari reaktifitasnya yang tinggi sebagai pendonor hidrogen atau elektron, dan kemampuan radikal turunan polifenol untuk menstabilkan dan mendelokalisasi elektron tidak berpasangan, serta kemampuannya mengkhelat ion logam. Potensi kerja antioksidan antosianin ditentukan oleh jenis antosianidin, jenis glycone, posisi gugus hidroksil dan derajat metilasi gugus hidroksil dan gugus alifatik atau asam aromatik yang menempel pada glikosida. Antosianin bersifat polar sehingga dapat dilarutkan pada pelarut polar seperti etanol, aceton dan air (Evans et al., 2007; Gosh dan Konishi, 2007).
Gambar 2.6 Struktur Kimia Antosianin (Bardell, 2012)
Antosianin dipercaya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan manusia. Antosianin diketahui memiliki aktivitas metabolik tinggi seperti antikarsinogenik, antiviral, dan efek antiinflamasi. Semua aktivitas ini didasarkan pada peranannya sebagai antioksidan. Salah satu sumber antosianin yang juga merupakan sumber kekayaan alam di Indonesia selain buah dan sayuran adalah beras (Oryza sativa). Saat ini dikenal beberapa jenis beras yang kaya akan antosianin, seperti beras hitam (Suhartatik et al., 2012). 2.8 Mekanisme Antosianin Mencegah Kerusakan Kolagen Antosianin mencegah kerusakan kolagen melalui tiga mekanisme, yaitu : (Bei et al., 2009) 1. Menghambat Fosforilasi Tirosin Kinase, Enzim inaktivasi EGF Antosianin menghambat enzim fosforilasi kinase, sehingga mencegah aktifnya MAP kinase, C-Jun amino terminal kinase (JNK) dan transkripsi kompleks AP-1. Hal ini mengakibatkan MMPs tidak teraktivasi sehingga kolagen tidak terdegradasi dan terjadi proteksi terhadap TGF- β dan prokolagen. 2. Menghambat Transkripsi NF-KB Penghambatan transkripsi NF-KB akan menghambat aktivasi dari MMP8. Penghambatan aktivasi MMP akan menyebabkan kolagen tidak terdegradasi. 3. Menghambat regulasi 3’,5’-Cyclic adenosine monophosphat (cAMP). cAMP merupakan second messenger yang akan mengaktifkan protein kinase A, salah satu aktivator MMP. Inaktivasi protein kinase A akan
mencegah aktivasi gen transkripsi AP-1. 2.9
Vitamin C Vitamin C atau asam askorbat adalah antioksidan poten yang banyak terdapat pada buah – buahan dan sayuran seperti jeruk, strawberry, pepaya dan brokoli. Vitamin C juga ditemukan pada beberapa serealia seperti beras merah dan beras hitam. Vitamin C terdiri dari 6 rantai karbon yang dapat larut pada air. Vitamin C disintesis dari glukosa di dalam hepar mamalia kecuali manusia, karena manusia tidak memiliki enzim glunolakton oksidase yang dapat mensintesis asam askorbat dari glukosa (Suardi dan Ridwan, 2009; Padayatty et al., 2003; Baumann dan Alleman, 2009). Vitamin C dapat digunakan secara topikal untuk mencegah kerusakan pada kulit akibat paparan sinar UV. Pada saat kulit terpapar sinar UV akan terbentuk ROS yang akan menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi dari sel, termasuk di dalamnya adalah kolagen. Vitamin C bekerja sebagai antioksidan pada kulit dengan cara mendonorkan dua elektronnya yang berasal dari ikatan rangkap antara karbon kedua dan ketiga sehingga senyawa – senyawa lain tidak teroksidasi. Pada proses ini vitamin C akan teroksidasi sehingga menghasilkan asam dehidroaskorbat, yang kemudian dapat tereduksi kembali menjadi asam askorbat dengan bantuan enzim 4-hidroksifenilpiruvat dioksigenase (Winarsi, 2007; Telang, 2010).
4-hidroxyphenilpiruvat dioxygenase
Gambar 2.7 Reaksi Reduksi dan Oksidasi Asam Askorbat (Padayatty et al., 2003)
Keterangan Gambar : Asam askorbat mendonorkan dua elektronnya yang berasal dari ikatan rangkap antara karbon kedua dan ketiga. Asam askorbat akan teroksidasi sehingga menghasilkan asam dehidroaskorbat, yang kemudian dapat tereduksi kembali menjadi asam askorbat dengan bantuan enzim 4hidroksifenilpiruvat dioksigenase
Pada biosintesis kolagen, vitamin C memiliki peran sebagai kofaktor enzim prolil hidroksilase dan lisil hidroksilase. Pada kolagen banyak dijumpai prolin dan lisin, hidroksilasi keduanya akan merangsang pembentukan kolagen baru (Zussman and Ahdout, 2010).
2.10
Beras Hitam Beras hitam yang juga dikenal sebagai beras ungu termasuk ke dalam spesies Oryza sativa L. Beras hitam mengandung nilai nutrisi yang sangat tinggi, antara lain adalah protein, vitamin, mineral air dan antioksidan yaitu antosianin (Vaughan et al., 2008).
2.10.1 Klasifikasi Beras Hitam a. Klasifikasi beras hitam antara lain adalah •
Kingdom
: Plantae
•
Subkingdom
: Tracheobionta
•
Super Divisi
: Spermatophyta
•
Divisi
: Magnoliophyta
•
Subdivisi
: Angiospermae
•
Kelas
: Monocotyledoneae
•
Subkelas
: Commelinidae
•
Ordo
: Glumiflorae
•
Famili
: Poaceae/Gramineae
•
Subfamili
: Oryzoideae
•
Suku
: Oryzeae
•
Genus
: Oryza
•
Spesies : Oryza sativa L.
•
Sub Spesies
: japonica / indica (Vaughan et al., 2008)
b. Nama umum Beras Hitam Di Indonesia beras hitam dikenal dengan nama beras wulung ( Solo, Jawa Tengah), beras gadog (Cibeusi, Subang, Jawa Barat), beras jlitheng atau cempo ireng (Sleman), beras melik (Bantul). Keturunan cina kuno mengenal beras hitam sebagai beras terlarang atau forbidden rice (Kristamtini, 2009). 2.10.2
Anatomi Beras Hitam Anatomi dari beras hitam terbagi antara lain menjadi : (Suardi dan Ridwan, 2009). •
aleuron, lapis terluar yang sering kali ikut terbuang dalam proses pemisahan kulit.
•
Endosperma, tempat sebagian besar pati dan protein beras berada.
•
embrio, yang merupakan calon tanaman baru, dimana dalam beras tidak dapat tumbuh lagi, kecuali dengan bantuan teknik kultur jaringan.
Gambar 2.8 Anatomi Beras (Aritonang, 2012)
Pada beras hitam, bagian aleuron dan endosperma yang memproduksi antosianin dengan intensitas tinggi sehingga warna beras menjadi ungu pekat mendekati hitam (Suardi dan Ridwan, 2009). 2.10.3
Kandungan Beras Hitam Sebagaimana beras jenis lainnya, bagian terbesar beras hitam didominasi oleh pati, sekitar 80-85%. Pati beras tersusun dari dua polimer karbohidrat, yaitu : (Suardi dan Ridwan, 2009). •
Amilosa, pati dengan struktur tidak bercabang.
•
Amilopektin, pati dengan struktur bercabang dan cenderung bersifat lengket.
Perbandingan komposisi kedua golongan pati ini sangat menentukan warna dari beras, apakah transparan atau tidak. Ketan hampir sepenuhnya didominasi oleh amilopektin sehingga sangat lekat, sementara beras memiliki kandungan amilosa melebihi 20% (Suardi dan Ridwan, 2009). Tabel 2.1 Kandungan Beras Hitam (Zawaistowski et al., 2009). Unsur
Kadar gr/100gr
Protein
17
Lemak
15
Karbohidrat
57.7
Fiber
9.7
Antosianin (mg/g)
31.3
Cyanidin-3-glucoside
97.9
Peonidin-3-glucoside
2.1
Beras hitam mengandung tinggi antioksidan yaitu antosianin yang merupakan senyawa fenol golongan flavonoid. Jenis antosianin yang terdapat di dalam beras hitam adalah golongan Cyanidin-3-glucoside dan Peonidin-3glucoside. Antosianin merupakan senyawa fenol alami yang memberi warna atau pigmen pada buah dan sayuran termasuk pada beras hitam (Zawaistowski et al., 2009). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ratnaningsih (2010) tentang potensi beras hitam sebagai sumber antosianin didapatkan bahwa kandungan antosianin pada beras hitam adalah sekitar 159,31 – 359,51 mg/100 gram. Berdasarkan hasil analisis laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana, didapatkan bahwa ekstrak beras hitam bagian endosperma dan embrio mengandung antosianin sebanyak 2,309,14 mg/100 gram, senyawa fenol sebanyak 6,42 % b/b GAE (Gallic acid equivalent) dengan kapasitas antioksidan 1.336,37 ppm GAEAC (Gallic acid equivalent antioxidant capacity) dan IC 50% 1,33 mg/ml serta vitamin C sebanyak 6.769,23 mg/100 gram (Lampiran 1). Ekstrak beras hitam memiliki kandungan antosianin dan vitamin C yang lebih tinggi dibandingkan salah satu bahan pangan lain yang mengandung zat aktif sama dengan beras hitam yaitu jagung ungu yang ekstraknya mengandung antosianin sebanyak 210,40 mg/100 gram, senyawa fenol sebanyak 35,29 %b/b GAE dan vitamin C sebanyak 593,40 mg/100 gram dengan kapasitas antioksidan 7,723,91 ppm GAEAC dan IC 50% 6,08 mg/ml (Dianasari, 2014).
2.11
Krim Terdapat beberapa definisi dari krim, menurut farmakope Indonesia edisi III krim adalah bentuk sediaan setengah padat, berupa emulsi mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar. Sementara menurut farmakope Indonesia edisi IV, krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai (Allisa et al., 2011) Menurut formularium nasional, krim adalah sediaan setengah padat, berupa emulsi kental mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan utnuk pemakaian luar. Secara tradisional istilah krim digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair di formulasi sebagai emulsi air dalam minyak (a/m) atau minyak dalam air (m/a) (Allisa et al., 2011). Basis krim menurut US Pharmacopeia (USP) dibagi menjadi empat kelompok besar menurut komposisi dan karakteristik fisik, yaitu: (Mahalingam, et al., 2008). 1. Basis hidrokarbon, terbuat dari materi lemak. Hidrokarbon merupakan bahan pelembut, pelindung serta bertahan dikulit dalam jangka waktu lama. Bahan dasar hidrokarbon sukar digabungkan dengan air, namun bahan tepung dapat digabungkan kedalam bahan dasar ini dengan bantuan cairan petrolatum. Bahan dasar hidrokarbon sulit dihapus dari kulit sulit karena sifat alamiahnya yang berminyak. Contoh bahan dasar hidrokarbon yaitu, Petrolatum USP, salep kuning USP dan salep putih USP 2. Basis absorbsi, mengandung sedikit air. Basis absorbsi memiliki bahan pelembut yang relatif lebih sedikit daripada bahan dasar hidrokarbon. Bahan
dasar absorpsi sulit untuk dihapus dari kulit karena sifat alamiahnya yang hidrofobik. Contoh bahan dasar absorbs yaitu hidrofilik petrolatum USP dan lanolin USP. 3. Basis salep tercuci air, pada dasarnya adalah larutan minyak dalam air. Basis salep tercuci air, berbeda dengan bahan dasar hidrokarbon dan absorpsi, sejumlah besar air dapat digabungkan kedalam bahan dasar tercuci air dengan bantuan agen pengemulsi yang sesuai. Basis ini mudah terhapus dari kulit karena sifat alamiahnya yang hidrofilik. Contohnya adalah salep hidrofilik USP. 4. Basis larut dalam air, berbeda dengan basis salep lainnya, basis yang larut dalam air disebut sebagai greaseless karena tidak mengandung bahan berlemak. Larutan air tidak efektif bila dicampurkan dengan basis ini karena sifat basis yang mudah melunak dengan penambahan air. Bahan padat dapat dengan mudah digabungkan kedalam bahan dasar ini. Basis larut dalam air dapat dihapus dengan sempurna dari kulit karena sifat larut dalam airnya. Penambahan zat antioksidan kedalam krim semakin sering digunakan. Antioksidan topikal berguna untuk menekan efek ROS pada kulit. Basis krim minyak dalam air menjadi pilihan antioksidan topikal, karena stabil, krim lebih mudah menyerap serta lebih mudah dihapus (Dreher dan Maibach, 2001). Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Moertolo (2014) menggunakan krim ekstrak beras hitam (Oryza sativa L. indica) dengan konsentrasi 15%, 18%, 20% dan krim bahan dasar yang dilakukan selama 4 minggu di laboratorium Farmakologi dan 1 minggu di laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana pada bulan Desember 2014 sampai dengan Januari 2015, menggunakan tikus Wistar jantan sebanyak 16 ekor yang
dibagi menjadi 4 kelompok, tikus dipapar dengan UVB sebanyak 3 kali perminggu selama 4 minggu dengan total dosis 840 mJ/cm2, didapatkan kelompok yang diberikan krim bahan dasar memiliki jumlah kolagen sebanyak 68,26%, kelompok yang diberikan krim ekstrak beras hitam dengan konsentrasi 15% memiliki jumlah kolagen 70,97%, kelompok yang diberikan krim ekstrak beras hitam dengan konsentrasi 18% memiliki jumlah kolagen 77,96% dan kelompok yang diberikan krim ekstrak beras hitam dengan konsentrasi 20% memiliki jumlah kolagen 80,10%. Sehingga yang paling efektif menghambat penurunan jumlah kolagen adalah krim ekstrak beras hitam dengan konsentrasi 20%.
2.12
Tikus (Rattus norvegicus) Galur Wistar Mamalia kecil menjadi pilihan untuk berbagai penelitian karena mempunyai beberapa keuntungan, yaitu tidak mahal, mudah didapat, hanya membutuhkan sedikit ruang, makan, dan minum, mudah dalam pemeliharaan, dan dapat diubah secara genetik. Hewan kecil biasanya mempunyai cara mempercepat penyembuhan dibandingkan manusia, dengan jangka waktu beberapa hari, sedangkan pada manusia dalam beberapa minggu atau bulan (Birke, 2014). Syarat hewan yang digunakan untuk penelitian farmakologi harus terpenuhi yaitu harus jelas fisiologinya, bebas dari penyakit, didapat dari Breeding Centre yang baik atau dibiakkan sendiri. Etika terhadap hewan percobaan
juga
harus
diperhatikan
berdasarkan
pada
hasil
lokakarya
Pembentukan Panitia Etik Penelitian Kedokteran tahun 1986. Salah satu butir
dalam etika tersebut disebutkan bahwa bila percobaan menimbulkan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa nyeri atau penderitaan ringan dalam waktu singkat, harus dilakukan dengan premedikasi yang memadai dan dibawah anesthesia sesuai dengan praktik kedokteran hewan yang lazim. Kemudian pada butir yang lain disebutkan bahwa pada akhir percobaan, hewan yang akan menanggung nyeri hebat atau kronik penderitaan, rasa tidak enak, cacat yang tidak dapat disembuhkan, harus dibunuh dengan cara yang layak (Darmono, 2011). Persentase penggunaan hewan percobaan pada penelitian secara invivo adalah sebagai berikut: tikus (80%), mencit (11%), kelinci dan babi (4%), dan ayam (1%) (Birke, 2014). Bulu tikus yang tidak tebal mempunyai beberapa keuntungan dalam penelitian yang menggunakan model perlukaan pada epidermis. Pertama, epidermis yang tidak tertutup bulu tebal mengganggu pemisahan epidermis dari dermis; kedua, ukuran dari bulu tikus yang tidak tebal membuat model yang ideal untuk penilaian efek dari bahan farmakologi pada proses penyembuhan luka (Choi et al., 2001). Tikus putih atau mencit adalah tikus rumah rumah adalah binatang asli Asia, India, dan Eropa Barat. Jenis ini sekarang ditemukan di seluruh dunia karena pengenalan oleh manusia. Tikus jarang berkelahi seperti mencit jantan, dapat tinggal sendirian dalam kandang, asal dapat mendengar dan melihat tikus lain. Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani di laboratorium. Pemeliharaan dan makanan tikus lebih mahal daripada mencit, tetapi karena hewan ini lebih besar daripada mencit untuk beberapa macam percobaan tikus lebih menguntungkan (Fatchiyah, 2013).
Klasifikasi dari Tikus (Rattus norvegicus) galur Wistar adalah (Keith, 2010) : Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Mammalia
Order
: Rodentia
Family
: Muridae
Genus
: Rattus
Species : norvegicus Tikus termasuk dalam genus Rattus dengan spesies Rattus rattus dan Rattus norvegicus. Tikus yang sering digunakan sebagai tikus laboratorium adalah Rattus norvegicus karena tubuhnya yang lebih besar dari pada Rattus rattus (Keith, 2010). Rattus norvegicus yang sering dipakai dalam penelitian adalah strain Wistar dan Spargue Dawley yang merupakan tikus albino. Tikus strain Wistar memiliki ciri – ciri kepala lebar, telinga panjang dan memiliki ekor panjang kurang dari panjang tubuhnya, sedangkan strain Sprague Dawley memiliki ekor untuk meningkatkan rasio panjang tubuh dibandingkan dengan tikus (Keith, 2010).
Wistar
Gambar 2.9 Tikus Galur Wistar ( Estina, 2010)
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Sinar UV adalah salah satu faktor ekstriksik yang dapat menyebabkan penuaan pada kulit yang disebut photoaging. Pada photoaging terjadi perubahan pada kulit berupa kerutan, lesi pigmentasi yaitu frackles, hiperpigmentasi dan hipopigmentasi. Sinar UV yang dapat menembus sampai ke lapisan kulit dan merusak serat – serat kolagen adalah sinar UVB. Sinar UVB memiliki panjang gelombang 290 – 320 nm, hanya 2 – 5 % dari sinar UVB yang mencapai bumi dan kerusakannya menembus sampai ke lapisan dermis. Paparan sinar UVB berulang akan berinteraksi langsung dengan DNA yaitu induksi kerusakan DNA, berupa Cross-linking basa pirimidin. Reaksi ini dapat menghasilkan reactive oxygen species (ROS). Paparan sinar UVB juga mengubah elektron pada kromosfor, menjadi singlet elektron dan pembentukan superoksida anion yang diikuti oleh dismutase ke hidrogen peroksida. Pembentukan ROS ini terjadi pada pemajanan sinar UVB kurang dari 30 menit. Kolagen merupakan komponen fibrillar dari jaringan ikat dan sebagai protein ekstraselular yang paling utama dari tubuh manusia. Kolagen mengisi 70 – 80% dermis, dengan tipe kolagen dermis terbanyak yaitu tipe kolagen I yang menjaga kelenturan dermis. Kolagen yang telah terpapar berulang oleh sinar UVB akan mengalami degradasi dan penghambatan pertumbuhan prokolagen. Degradasi kolagen tidaklah
lengkap, akan tetapi terjadi akumulasi fragmentasi kolagen yang mengurangi integritas struktural dermis. Akumulasi fragmentasi kolagen menghambat pertumbuhan kolagen baru dan memberikan efek regulasi negatif pada sintesis kolagen. Gambaran histopatologi kulit dan kolagen yang terpapar UVB yaitu atrofi epidermis, pendataran dermal epidermal junction (DEJ), elastosis dermis dan fragmentasi kolagen. Beras hitam (Oryza sativa L. indica) mengandung senyawa fenol yang salah satunya adalah golongan flavonoid yaitu antosianin golongan cyanidin-3glucoside dan peonidin-3-glucoside. Antosianin dapat menghambat aktivasi dari beberapa faktor transkripsi antara lain MAP-kinase, C-Jun protein terminal kinase yang kemudian akan mengaktifkan kompleks AP-1. Kompleks AP-1 menyebabkan degradasi dari kolagen matur dan menghambat biosintesis kolagen baru akibat pembentukan ROS pada paparan sinar UVB berulang. Selain itu beras hitam juga mengandung vitamin C yang merupakan antioksidan primer yang dapat menghambat pembentukan ROS dengan mendonorkan elektronnya, sehingga radikal bebas ternetralisasi. Kandungan senyawa fenol yang termasuk di dalamnya adalah antosianin yang cukup tinggi serta kandungan vitamin C pada beras hitam menjadikan beras hitam salah satu bahan yang memiliki potensi sumber antioksidan kuat yang dapat menekan efek stress oksidatif sel dan sebagai protektor kolagen.
3.2 Konsep Penelitian
Krim ekstrak beras hitam 20% (Oryza sativa L. indica)
Faktor Eksternal
Faktor Internal
• • •
• • • •
Genetik Galur Hormon
Tikus (Rattus novergicus) galur Wistar yang dipapar sinar UVB
Jumlah kolagen
Keterangan :
Tidak diteliti
Diteliti
Penyakit Makanan Asap rokok Sinar matahari
3.3 HIPOTESIS Pemberian krim ekstrak beras hitam (Oryza sativa L. indica) 20% topikal efektif menghambat penurunan jumlah kolagen pada kulit tikus Wistar yang dipapar sinar ultraviolet B.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan post test only control group (Marczyk, et al., 2005).
Gambar 4.1 Rancangan Post Test Only Control Group
Keterangan : P
: Populasi
R : Random S
: Sampel
P0 : Perlakuan dengan pemberian paparan sinar ultraviolet B dan krim bahan dasar P1 : Perlakuan dengan pemberian paparan sinar ultraviolet B dan krim ekstrak beras hitam (Oryza sativa L indica) 20% O1 : Observasi jumlah kolagen kelompok 1, setelah perlakuan P0
O2 : Observasi jumlah kolagen kelompok 2, setelah perlakuan P1 4.2. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Animal Unit bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Waktu penelitian dilakukan selama 4 minggu, bulan Februari 2015. Pemeriksaan histopatologi jaringan kulit dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Waktu pemeriksaan histopatologis dilakukan selama 1 minggu, bulan Maret 2015. Pembuatan ekstrak beras hitam dilakukan di Unit Layanan Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana. Waktu pembuatan ekstrak selama 2 minggu, bulan November 2014. Analisis Fitokimia ekstrak beras hitam dilakukan di Unit Layanan Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana pada bulan Juli 2014.
4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah tikus (Rattus norvegicus) galur wistar jantan berusia 2 bulan. Tikus tidak menderita sakit, mau makan dan minum. Tikus ini diperoleh dari Laboratorium Animal Unit bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 4.3.2. Kriteria Sampel 4.3.2.1. Kriteria Inklusi a) Tikus (Rattus norvegicus) galur Wistar jantan
b) Umur 2 bulan c) Berat 160 – 200 gram d) Sehat e) Mau makan dan minum Kriteria drop Out : apabila tikus Wistar mati pada saat penelitian.
4.4. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel Dengan menggunakan rumus dari Federer (Federer, 2008), maka besarnya sampel dapat dihitung sebagai berikut : ( n – 1 )( t – 1 ) ≥ 15 ( n – 1 )( 2 – 1 ) = 15 ( n – 1 )( 1 ) = 15 n – 1 = 15 n = 16 Keterangan : n : Banyaknya ulangan t : Banyaknya perlakuan Berdasarkan perhitungan dengan rumus di atas maka diperoleh n = 16. Karena sampel dibagi menjadi 2 kelompok, maka jumlah sampel adalah 32. Sampel ditambah 10% dari 32 yaitu penambahan 3,2 ≈ 4 sampel menjadi 36 ekor untuk menghindari drop out selama penelitian.
4.5. Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel prakondisi, variabel bebas, variabel tergantung dan variabel kendali. 4.5.1. Identifikasi Variabel Variabel yang akan diukur adalah jumlah kolagen yang diambil dari jaringan kulit tikus wistar jantan secara histopatologi pada kelompok yang terpapar sinar ultraviolet B dengan pemberian krim bahan dasar dan kelompok yang terpapar sinar ultraviolet B dengan pemberian krim ekstrak beras hitam 20%. 4.5.2. Klasifikasi Variabel •
Variabel prakondisi adalah sinar UVB
•
Variabel bebas adalah krim ekstrak beras hitam 20%.
•
Variabel tergantung adalah jumlah kolagen dermis.
•
Variabel terkendali adalah strain tikus, umur, jenis kelamin, genetik, pakan tikus, aktifitas tikus, kesehatan tikus dan berat badan tikus.
4.5.3. Hubungan Antar Variabel
Variabel Prakondisi
Sinar UVB
Variabel
Variabel Tergantung
Bebas Krim Ekstrak Beras Hitam 20%
Jumlah Kolagen Dermis
Variabel Terkendali
Strain tikus, umur, jenis kelamin, genetik, pakan, aktifitas, kesehatan, berat badan
Gambar 4.2 Skema Hubungan Antar Variabel Penelitian
4.5.4. Definisi Operasional Variabel 1. Beras hitam dihasilkan dari padi yang ditanam secara organik, didapatkan dari desa Sidoharjo, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. 2. Ekstrak beras hitam adalah jumlah ekstraksi bagian endosperma dan embrio dari beras hitam yang dibuat di Unit Layanan Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana. 3. Krim ekstrak beras hitam 20% adalah krim mengandung ekstrak beras hitam 20%, Sepigel 305, lanol 2%, dimethicon 2% dan phenoxyethanol 0,5% yang dibuat di PT. Aesthetic, Jl. Taman Mekar Wangi Abadi I No. 62, Bandung. Krim diaplikasikan 0,1ml/cm2 pada kulit tikus wistar, sebanyak 2 kali sehari selama 4 minggu. Pada hari pemaparan sinar UVB, krim diaplikasikan 20 menit sebelum paparan sinar UVB dan 4 jam setelah paparan sinar UVB. 4. Krim bahan dasar adalah jumlah bahan dasar krim yang mengandung Sepigel 305, lanol 2%, dimethicon 2% dan phenoxyethanol 0,5%. Diaplikasikan 0,1 ml/cm2 pada kulit tikus wistar, sebanyak 2 kali sehari selama 2 minggu. Pada hari pemaparan sinar UVB, krim diaplikasikan 20 menit sebelum paparan sinar UVB dan 4 jam setelah paparan sinar UVB. 5. UVB adalah sinar UVB yang berasal dari lampu UVB PL-S9W/01/2P merk Philips yang diberikan sebanyak 3 kali seminggu yaitu pada hari Senin, Rabu dan Jumat dengan total dosis 840 mJ/cm2 selama 4 minggu. 6. Tikus Wistar yang digunakan pada percobaan ini adalah tikus (Rattus norvegicus) galur wistar jantan, berumur 2 bulan dengan berat badan 160 – 200 gram.
7. Jaringan kulit tikus Wistar adalah jaringan histologis yang diambil dari kulit punggung tikus wistar yang dipapar sinar UVB dan diberikan krim. Jaringan kulit diambil menggunakan skalpel no. 10 dan gunting anatomis dengan panjang jaringan kulit 2 cm, lebar 2 cm dan kedalaman subkutan 2 mm. 8. Kolagen yaitu protein fibrous utama yang terdiri dari fibril dan mikrofibril yang tersusun sejajar dan saling bersilangan, komponen utama dermis yang merupakan 70 – 80 % dari berat dermis. Jumlah kolagen dermis adalah luas daerah dermis yang berwarna merah terang pada pewarnaan immunohistokimia Sirius red yang mengindikasikan kolagen tanpa fragmentasi dan dinyatakan dengan ukuran persentase pixel. 4.6. Alat Bahan dan Hewan Percobaan Alat, bahan dan hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 4.6.1 Alat penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Kandang tikus (Rattus norvegicus) galur Wistar. 2. Tempat minum. 3. Lampu ultraviolet B. 4. Alat cukur. 5. Timbangan digital. 6. Peralatan bedah seperti gunting anatomis untuk bedah, skalpel no 10.
7. Peralatan untuk membuat sediaan histopatologi seperti mikrotom, gelas objek dan gelas penutup. 8. Mikroskop Olympus. 9. Kamera. 10. Penggaris. 4.6.2. Bahan Penelitian Bahan utama untuk penelitian ini adalah ekstrak bagian endosperma dan embrio dari beras hitam (Oryza sativa L. indica) yang diekstrak di laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana. Beras hitam berasal dari desa Sidoharjo, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Pembuatan krim dasar dan krim ekstrak beras hitam 20% dilakukan di laboratorium PT. Kaizen Aesthetic, Jl. Taman Mekar Wangi Abadi I No. 62, Bandung. Bahan untuk pewarnaan kolagen adalah Sirius Red, pewarnaan dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 4.6.3. Hewan Percobaan Hewan percobaan yang digunakan dalam percobaan ini adalah tikus (Rattus norvegicus) galur Wistar berusia 2 bulan, jenis kelamin jantan dengan berat badan 160 – 200 gram dengan makanan ternak diet standar dengan menggunakan HPS 511 yang mengandung protein 20%, lemak 5%, pati 45% serat kasar 5% dan abu 4%. Minum menggunakan air matang ad libitum. Hewan yang digunakan sesuai dengan persyaratan penelitian eksperimental. Prasyaratnya adalah tikus ditempatkan dalam kandang yang
terbuat dari wadah plastik berukuran 23 cm x 17 cm x 9,5 cm dengan alas sekam padi dan tutup dari anyaman kawat berisi tempat makan dan tempat minum gantung. Satu kandang maksimal dihuni 2 ekor tikus. Kandang ditempatkan dalam ruangan berventilasi dan udara alami. 4.7
Prosedur Penelitian 4.7.1 Persiapan hewan Uji •
Sebanyak 36 ekor tikus diadaptasi selama 1 minggu
• Secara random tikus dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok 1 dipapar UVB dan diberikan krim bahan dasar (P0), dan kelompok 2 dipapar UVB dan diberikan krim ekstrak beras hitam 20% (P1), masing – masing kelompok terdiri dari 18 ekor tikus. • Semua tikus dari kelompok 1 dan 2 dicukur bulu punggungnya, diaplikasikan krim bahan dasar pada kelompok 1 dan krim ekstrak beras hitam 20% pada kelompok 2. • 20 menit akan memberikan waktu absorbsi bahan topikal pada kulit, setelah aplikasi bahan topikal diberikan pajanan UVB dan aplikasi bahan topikal diulang 4 jam kemudian untuk memberikan waktu pembentukan ROS. Aplikasi bahan topikal tetap diberikan di hari tanpa penyinaran (Vani, 2013). • Tikus dari kelompok 1 dan 2 diberikan paparan UVB yang diberikan sebanyak 3 kali seminggu yang dimulai dengan 50 mJ/cm2 selama 50 detik pada minggu pertama, diikuti dengan 70 mJ/cm2 selama 70 detik pada minggu kedua dan 2 minggu berikutnya dengan 80 mJ/cm2 selama
80 detik sehingga total UVB yang diterima adalah 840 mJ/cm2 selama 4 minggu (Vani, 2013). • Tikus dieutanasia dengan menggunakan ketamin dosis berlebih (125 mg/kg BB) secara intramuskular di dalam anaerobic jar (Darmono, 2011) 48 jam setelah penyinaran terakhir, untuk menyingkirkan pengaruh penyinaran akut. Proses pengambilan sampel kulit dilakukan di daerah punggung yang akan diambil kulitnya, dibersihkan dari bulu, kulit digunting dengan ketebalan kurang lebih 2 mm sampai dengan subkutan dengan panjang 2 cm dan lebar 2 cm. setelah itu dibuat sediaan histopatologis dan dihitung jumlah kolagen dermisnya sebagai data post test. Setelah itu sisa organ tikus yang tidak digunakan akan dikubur. •
Total sampel yang didapat sebanyak 36 sampel. Sampel diambil dari jaringan kulit diambil dengan kedalaman subkutan 2 mm, panjang 2 cm dan lebar 2 cm kemudian dibuat sediaan histologis.
•
Pembuatan sediaan histologis a) Tahap Fiksasi Jaringan kulit tikus direndam dalam larutan formalin buffer fosfat 10% selama 1 hari. Kemudian dilakukan trimming bagian jaringan yang akan diambil. b) Tahap Dehidrasi Jaringan kulit tikus direndam dengan alkohol bertingkat berturut – turut 30%, 40%, 50%, 70%, 80%, 90%, 96% masing – masing 3 kali selama 25 menit.
c) Tahap clearing Jaringan dimasukan ke dalam clearing agent (alkohol : toluene = 1:1) selama 30 menit dan dicelupkan ke dalam toluol murni sampai transparan. d) Tahan Embedding Setelah dilakukan infiltrasi sebanyak 4 kali dengan parafin murni, kemudian jaringan ditanam kedalam parafin cair, dibiarkan membentuk blok (+/- 1 hari) agar mudah diiris dengan mikrotom. e) Tahap pemotongan Proses pemotongan jaringan menggunakan markotom, tebal 6μ, secara serial, diambil irisan ke-5, 10, 15 untuk dibuat slide dengan pewarna Sirius red, ditempelkan pada gelas objek yang sudah diolesi pelekat, ditetesi aquadest dan dikeringkan. •
Pewarnaan dengan Sirius red a. Jaringan yang masih mengandung parafin dideparafinasi dan dihidrasi. b. Perwarnaan inti sel dengan Haematoxylin Weigert’s selama 8 menit dan cuci sediaan selama 10 menit dengan air mengalir. c. Kemudian pewarnaan dengan sirius red selama 1 jam untuk membersihkan pewarnaan mendekati seimbang dimana penambahan waktu tidak meningkatkan hasil dan waktu yang lebih pendek tidak disarankan meskipun warna terlihat baik. d. Cuci dengan air asam sebanyak 2 kali.
e. Hilangkan air yang berlebihan secara fisik dengan menggoyang secara perlahan. f.
Dehidrasi dengan ethanol 100% sebanyak 3 kali.
g. Bersihkan dalam cairan Xylene dan mounting pada medium yang bersifat asam. •
Pengamatan hasil Jumlah kolagen dihitung dengan metode analisis cepat digital, setiap sediaan preparat difoto dengan menggunakan kamera LC evolution dan mikroskop Olympus Bx51 dengan pembesaran objektif 400x. Lapang pandang yang diambil yaitu lapang pandang yang paling banyak kolagen yang ditandai dengan daerah berwarna merah terang kemudian preparat difoto 3 kali, yaitu sisi kiri, tengah dan sisi kanan sediaan. Hasil foto disimpan dalam format JPEG.
•
Prosedur perhitungan jumlah kolagen dermis Prosedur menggunakan piranti lunak Adobe Photoshop CS3 versi 9.0. jaringan kolagen tampak berwarna merah yang dengan fungsi magic wand oleh program Adobe Photoshop CS3. Kemudian dengan menggunakan fungsi inverse maka terpilihlah pixel selain warna merah, lalu dihapus menggunakan fungsi delete, sehingga gambar yang tersisa adalah pixel dengan warna merah. Jumlah kolagen dihitung sebagai persentase pixel area kolagen yang berwarna merah dibandingkan pixel area seluruh jaringan (Kiernan, 2011) Pixel area kolagen Jumlah Kolagen =
x 100% Pixel area lapangan pandang jaringan
4.7.2. Preparasi Simplisia 1. Beras Hitam yang berasal dari Tegal dicuci bersih di bawah air mengalir. 2. Beras hitam dikeringkan dengan cara dijemur kemudian dihancurkan 3. Beras hitam diekstrak dengan etanol 96% 4.7.3. Ekstraksi 1. Sampel yang telah dihancurkan diekstrak menggunakan etanol 96%. 2. Lalu dimeserasi dengan magnetik stirer sampai ampas sampel
tidak berwarna, disaring sehingga diperoleh filtrat. 3. Setelah 24 jam, redemen disaring sehingga diperoleh filtrat dan residu 4. Residu dipisahkan dan Filtrat diuapkan dengan evaporator suhu 40°C sampai diperoleh sampel pekat. 4.7.4 Pembuatan Krim Formulasi bahan dasar krim : Sepigel 305 sebagai emulsifier dengan konsentrasi 3% dicampur ke dalam air selama 5 menit, lalu dimasukan lanol 2%, dimethicon 2% dan phenoxyethanol 0,5%, lanjutkan pencampuran hingga berbentuk krim. Formulasi bahan krim ekstrak beras hitam : ekstrak beras hitam 20%, Sepigel 305 sebagai emulsifier dengan konsentrasi 3% dicampur ke dalam air selama 5 menit, lalu dimasukan lanol 2%, dimethicon 2% dan phenoxyethanol 0,5%, lanjutkan pencampuran hingga berbentuk krim.
4.8. Analisis Data Data yang telah terkumpul diproses dengan IBM SPSS 21.0 for Macintosh, dan dianalisis dengan langkah – langkah : 1. Analisis deskriptif disajikan dalam bentuk tabel dan diagram untuk mengetahui karakteristik data yang dimiliki. 2. Analisis Normalitas dan Homogenitas a. Uji normalitas data menggunakan uji Shapiro-Wilk, oleh karena sampel berjumlah lebih kecil dari 30. Data terdistribusi normal pada p> 0,05. b. Uji homogenitas, setelah dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan uji Levene’s test. Data dinyatakan homogen pada p>0,05. 3. Analisis komparasi Analisis perbedaan rerata antar kelompok menggunakan uji t-independent karena data berjenis numerik, berdistribusi normal dan homogen.
BAB V HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan metode post test only control group design. Penelitian menggunakan tikus galur Wistar jantan, umur dua bulan, berat 160-200 gram yang dibagi menjadi dua kelompok masing-masing berjumlah 18 ekor tikus. Kelompok 1 sebagai kelompok kontrol adalah kelompok yang diberikan paparan sinar UVB dan krim bahan dasar, kelompok 2 adalah kelompok yang diberikan paparan sinar UVB dan krim ekstrak beras hitam 20%. Pembahasan ini menguraikan uji normalitas data, uji homogenitas data, uji komparabilitas dan uji efek perlakuan. Setiap kelompok diberi paparan sinar UVB sebanyak 3 kali seminggu yaitu hari Senin, Rabu dan Jum’at, selama empat minggu. Dosis sinar UVB pada minggu pertama adalah 50mJ/cm2 selama 50 detik, pada minggu kedua adalah 70mJ/cm2 selama 70 detik dan pada minggu ketiga dan keempat adalah 80 mJ/cm2 selama 80 detik, sehingga total dosis sinar UVB yang diberikan adalah 840mJ/cm2. Pada hari pemaparan UVB, krim pada setiap kelompok diberikan 20 menit sebelum dan 4 jam sesudah paparan sinar UVB. Pada hari tanpa pemaparan UVB, krim tetap diberikan 2 kali sehari. Empat puluh delapan jam setelah paparan, tikus Wistar di euthanasia terlebih dahulu menggunakan ketamin dosis berlebih (150 mg/kg bb) secara intramuscular. Daerah punggung yang akan diambil kulitnya, dibersihkan dari bulu kemudian dibuat preparat histopatologis menggunakan pewarnaan Sirius red
yang memberikan warna merah terang pada kolagen. Jumlah kolagen dihitung dengan persentase pixel luas area kolagen dari tiga lapang pandang baik dari kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dibandingkan dengan pixel seluruh jaringan dermis. 5.1 Gambaran Histopatologis Kulit Tikus Wistar Setelah Perlakuan Setelah empat minggu perlakuan, jaringan kulit punggung tikus Wistar dibiopsi untuk dilakukan pemeriksaan histopatologis. Kolagen akan berwarna merah terang pada pewarnaan Sirius red. Gambaran kolagen pada jaringan dermis tikus Wistar disajikan pada Gambar 5.1 .
Kelompok 1
Kelompok 2
Gambar 5.1 Gambaran Kolagen Kulit Tikus Wistar Dengan Pewarnaan Sirius red
Keterangan gambar: Jaringan histopatologis dermis tikus Wistar dengan pembesaran 400x. Gambaran kolagen ditunjuk oleh tanda panah berwarna hitam. Pada kelompok 1 (kontrol) terlihat kolagen berwarna merah terang, tidak utuh dan berjumlah sedikit yang ditandai dengan area putih yang ditunjuk oleh panah berwarna biru di antara area merah terang; pada kelompok 2 (krim ekstrak beras hitam 20%) terlihat kolagen berwarna merah terang, berjumlah banyak, tebal, utuh dan memenuhi hampir seluruh daerah lapang pandang jaringan dermis. 5.2 Uji Statistik 5.2.1 Uji Deskriptif Hasil uji deskriptif rerata jumlah kolagen pada masing-masing kelompok disajikan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Hasil Uji Deskriptif Rerata Jumlah Kolagen
Kelompok Kolagen
Jumlah Sampel (N)
Mean
Standar Deviasi
Kontrol
18
72,43
5,64
Perlakuan
18
80,93
3,22
5.2.2 Uji Normalitas Data Data kolagen sesudah perlakuan diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas Data Kolagen Sesudah Perlakuan
Jumlah sampel (n)
Kelompok Subjek Kelompok 1
18
Kelompok 2
18
Signifikansi (p)
Keterangan
0,269
Normal
0,119
Normal
5.2.3 Uji Homogenitas Data Data
kolagen
sesudah
perlakuan
diuji
homogenitasnya
dengan
menggunakan uji Levene’s test. Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3 Homogenitas Data Kolagen Antar Kelompok Perlakuan
Variabel
Distribusi (F)
Kolagen
1,94
Signifikansi (p) 0,223
Keterangan
Homogen
5.2.4 Uji Efek Pemberian Krim Ekstrak Beras Hitam Terhadap Jumlah Kolagen
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata kolagen antar kelompok sesudah diberikan perlakuan berupa krim bahan dasar dan krim ekstrak beras hitam 20%. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada Tabel 5.4 berikut.
Tabel 5.4 Perbedaan Rerata Jumlah Kolagen Antar Kelompok Sesudah Diberikan Krim Ekstrak Beras Hitam
Kelompok Subjek
Jumlah Sampel (n)
Kelompok 1
18
Kelompok 2
18
Rerata Kolagen (%)
Simpangan Baku (SB)
72,43
5,64
80,93
3,22
Distribusi Signifikansi (t) (p)
4,44
0,001
Tabel 5.4 di atas, menunjukkan bahwa rerata kolagen kelompok kontrol adalah 72,43±5,64 dan rerata kelompok perlakuan adalah 80,93±3,22. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = 4,44 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata kolagen pada kedua kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).
Gambar 5.2 Perbandingan Jumlah Kolagen antara Kelompok Kontrol dengan Kelompok Perlakuan
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Subyek Penelitian Untuk menguji pemberian ekstrak beras hitam terhadap pencegahan penurunan jumlah kolagen dermis, maka dilakukan penelitian eksperimental dengan menggunakan tikus (Rattus norvegicus) galur Wistar umur 2 bulan, berat 160-200 gram sebagai sampel. Pemilihan tikus Wistar sebagai hewan coba adalah karena tikus Wistar memiliki persamaan struktur organ dengan manusia, selain itu bulu pendek dan tidak tebal yang dimiliki oleh tikus Wistar memudahkan penelitian yang menggunakan jaringan kulit sebagai sampel penelitian. Sampel terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok 1 sebagai kelompok kontrol yang diberikan paparan sinar UVB dan diolesi krim bahan dasar, kelompok 2 yaitu kelompok yang diberikan paparan sinar UVB dan diolesi krim ekstrak beras hitam 20%. Semua kelompok diberi perlakuan selama empat minggu, total paparan sinar UVB yaitu 840 mJ/cm2 yang diberikan bertahap, pada minggu pertama 50 mJ/cm2 selama 50 detik, minggu kedua 70 mJ/cm2 selama 70 detik, pada minggu ketiga dan keempat 80 mJ/cm2 selama 80 detik. Pengambilan sampel kulit tikus Wistar dilakukan 48 jam setelah penyinaran terakhir, kemudian dibuat sediaan histopatologis dan dihitung jumlah kolagen dermisnya. Data jumlah kolagen yang didapat dari sediaan histopatologis jaringan kulit dilakukan uji statistik yaitu uji normalitas, uji homogenitas dan uji
komparabititas efek perlakuan. Uji normalitas menggunakan Saphiro-Wilk, dilanjutkan dengan uji homogenitas antar kelompok dengan Lavene’s test. Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal dan homogen sehingga digunakan uji parametrik, uji t-independent.
6.2 Jumlah Kolagen Pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan. Hasil analisis sesudah diberikan perlakuan didapatkan rerata jumlah kolagen kelompok 1 yaitu 72,43±5,64, kelompok 2 sebesar 80,93±3,22. Hasil uji perbandingan menunjukan bahwa nilai t sebesar 4,44 memiliki nilai p sebesar 0,001 dimana lebih kecil dari alpha (p < 0,05). Data tersebut menunjukan bahwa terdapat perbedaan jumlah kolagen yang signifikan diantara dua kelompok yang dibandingkan. Jumlah kolagen dilihat dengan sediaan histopatologis jaringan kulit dengan pewarnaan Sirius red. Sirius red menunjukan warna merah terang pada kolagen yang utuh. Kelompok kontrol memiliki persentase jumlah kolagen yang lebih rendah, sehingga kerusakan kolagen yang terjadi pada kelompok kontrol lebih besar. Jumlah kolagen dermis yang lebih sedikit pada kelompok kontrol disebabkan oleh paparan sinar UVB berulang. Paparan sinar UVB berulang menghasilkan ROS dalam waktu kurang dari 30 menit setelah paparan (Taylor, 2005). ROS yang dihasilkan mengaktifkan jalur seluler yaitu reseptor sel epidermal growth factor (EGF), interleukin (IL)-1, keratinocyte growth factor dan tumor necrosis factor (TNF)-α. Pengaktifan reseptor dimediasi oleh enzim protein-tyrosine phosphatase-K, yang berfungsi menginaktivasi reseptor EGF. Aktivasi reseptor EGF
mengaktifkan MAP kinase dan C-Jun amino terminal kinase (JNK). Aktivasi dari kinase mengaktifkan transkripsi kompleks activator protein-1 (AP-1) dengan membentuk C-Jun dan C-Fos (Taylor, 2005; Yaar dan Gilchrest, 2007). Peningkatan transkripsi AP-1 menginduksi jumlah kolagenase MMP-1, MMP-3 dan MMP-9 yang memblokir transforming growth factor (TGF)-β, sitokin yang meningkatkan transkripsi kolagen, yang berakibat menurunkan produksi tipe prokolagen I. AP-1 juga menurunkan jumlah reseptor (TGF)-β yang dapat menghambat transkripsi kolagen (Fisher et al., 2002; Taylor, 2005; Yaar dan Gilchrest, 2007). Sinar UVB juga mengaktivasi faktor transkripsi NF-KB. NF-KB mengikat netrofil dan membentuk kolagenase netrofil (MMP-8) pada kulit yang terpapar UVB. Secara keseluruhan MMPs tersebut mendegradasi kolagen kulit matur dan selanjutnya terjadi kerusakan pada struktur dermis (Alam dan Havey, 2010; Fisher et al., 2002; Yaar dan Gilchrest, 2007). Sinar UVB selain mendegradasi kolagen matur, juga menghambat sintesis kolagen, terutama dengan menurunkan regulasi jumlah gen prokolagen tipe I dan III, yang mengakibatkan kulit kehilangan kolagen secara akut. (Fisher et al., 2002). Degradasi kolagen oleh sinar UVB terjadi secara tidak lengkap, degradasi kolagen mengarah kepada akumulasi fragmentasi kolagen yang akan mengurangi integritas struktural dermis. Akumulasi fragmentasi kolagen akan menghambat pertumbuhan kolagen baru dan memberikan efek regulasi negatif pada sintesis kolagen baru (Yaar dan Gilchrest, 2007).
Pada kelompok perlakuan yaitu kelompok yang diberikan krim ekstrak beras hitam 20% ditemukan persentase jumlah kolagen yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol, hal ini menunjukkan bahwa
penurunan jumlah kolagen dapat dihambat oleh antioksidan yang terdapat pada ekstrak beras hitam 20%. Hasil analisis ekstrak beras hitam yang digunakan pada penelitian ini menunjukkan bahwa beras hitam memiliki kapasitas antioksidan 1,336,37 ppm GAEAC, kadar total fenol 6,42% b/b GAE, Antosianin 2,309,14 mg/100g dan vitamin C 6,769,23 mg/100g (lampiran 1). Antioksidan adalah molekul yang mampu menghambat reaksi oksidasi dari radikal bebas dengan berbagai cara, antara lain dengan menangkap radikal bebas atau free radical scavenging, mengikat logam dan menyingkirkan berbagai logam transisi pemicu ROS serta menyingkirkan ROS (Ardhie, 2011). Dalam fungsinya sebagai protektor kolagen, senyawa fenol bekerja sebagai antioksidan pemutus rantai atau scavenger antioxidants, dengan melepaskan satu atom hidrogen dari gugus hidroksilnya (Apak et al., 2007) sehingga efek penurunan jumlah kolagen akibat radikal bebas dapat dicegah. Antosianin adalah bagian dari senyawa fenol golongan flavonoid yang merupakan antioksidan kuat (Santoso, 2006). Kemampuan antioksidatif antosianin timbul dari reaktifitasnya yang tinggi sebagai pendonor hidrogen atau elektron, dan kemampuan radikal turunan polifenol untuk menstabilkan dan mendelokalisasi elektron tidak berpasangan (Evans et al., 2007). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bei et al. (2009) Antosianin berperan sebagai protektor kolagen melalui 3 mekanisme, yaitu penghambatan fosforilasi tirosin kinase yang mencegah teraktifasinya MAP kinase, JNK,
dan transkripsi kompleks AP-1 sehingga tidak terjadi degradasi kolagen serta terjadi proteksi terhadap TGF-β dan prokolagen sehingga sintesis kolagen baru tidak terhambat. Mekanisme selanjutnya menghambat transkripsi NFЌB sehingga aktivasi MMP-8 terhambat. Penghambatan aktivasi MMP menyebabkan kolagen tidak terdegradasi. Mekanisme terakhir yaitu penghambatan cAMP. cAMP mengaktivasi protein kinase A, yang merupakan salah satu aktivator MMP. Vitamin C bekerja sebagai protektor kolagen pada kulit dengan cara mendonorkan dua elektronnya yang berasal dari ikatan rangkap antara karbon kedua dan ketiga sehingga ROS tidak terbentuk. Pada proses ini vitamin C akan teroksidasi sehingga menghasilkan asam dehidroaskorbat, yang kemudian dapat tereduksi kembali menjadi asam askorbat dengan bantuan enzim 4-hidroksifenilpiruvat dioksigenase (Telang, 2010). Pada biosintesis kolagen, vitamin C memiliki peran sebagai kofaktor enzim prolil hidroksilase dan lisil hidroksilase. Pada kolagen banyak dijumpai prolin dan lisin, hidroksilasi keduanya akan merangsang pembentukan kolagen baru (Zussman and Ahdout, 2010).
Gambar 6.1 Mekanisme Senyawa Fenol, Vitamin C dan Antosianin Dalam Menghambat Kerusakan Kolagen (Rabe et al., 2006) Keterangan : NF-kB : Nuclear Factor Kappa B ROS : Reactive oxygen species AP-1 : Activator Protein-1 ACN : Antosianin RA : Retinoic Acid TGF-β : Transforming Growth Factor Beta MMP : Matrix Metalloproteinase
Keterangan Gambar : Senyawa Fenol dan Vitamin C menghambat kerusakan kolagen dengan meredam terbentuknya ROS. Antosianin menghambat kerusakan kolagen dengan menghambat turunnya enzim protein tirosin fosfatase, menghambat menurunnya TGF-β dan reseptor TGF-β serta menghambat terbentunya NF-KB.
Proteksi senyawa fenol, antosianin dan vitamin C terhadap kolagen terlihat pada sediaan histopatologis dengan pewarnaan sirius red. Kelompok perlakuan yang dipapar sinar UVB dan diolesi krim ekstrak beras hitam 20%
terjadi penghambatan penurunan jumlah kolagen sebesar 8,5%. Pencegahan penurunan jumlah kolagen terlihat dari banyaknya kolagen yang tidak mengalami fragmentasi, ditandai dengan persentase daerah yang berwarna merah terang lebih besar. Hal ini berarti penurunan jumlah kolagen matur dan penurunan pembentukan kolagen baru pada kulit tikus yang terpapar sinar UVB dapat dicegah. Bahan pangan lain yang terbukti dapat menghambat penurunan jumlah kolagen pada tikus Wistar yang dipapar sinar UVB dan memiliki kandungan antioksidan yang mirip dengan beras hitam adalah Jagung ungu yang ekstraknya mengandung antosianin sebanyak 210,40 mg/100 gram, senyawa fenol sebanyak 35,29 %b/b GAE dan Vitamin C sebanyak 593,40 mg/100 gram dengan kapasitas antioksidan 7,723,91 ppm GAEAC dan IC 50% 6,08 mg/ml (Dianasari, 2014). Dibandingkan dengan Jagung ungu, beras hitam memiliki keunggulan pada kadar antosianin yang lebih tinggi yaitu 2,309,14 mg/100 g, kadar Vitamin C 6,769,23 mg/100 g dan dari hasil IC 50% yang menunjukan banyaknya jumlah ekstrak yang dibutuhkan untuk menghambat 50% reaksi radikal bebas lebih sedikit dibandingkang jagung ungu yaitu 1,33 mg/ml. Penelitian tentang efek ekstrak beras hitam pada kolagen masih terbatas. Pada penelitian yang dilakukan oleh Xia et al., (2006) menyatakan bahwa antosianin ekstrak beras hitam terbukti menghambat degradasi dari kolagen I dan menghambat pembentukan MMP-1 pada arteri brakoisefalika.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan simpulan sebagai berikut: Pemberian krim ekstrak beras hitam (Oryza sativa L. indica) 20% menghambat penurunan jumlah kolagen kulit tikus (Rattus norvegicus) galur Wistar yang dipapar sinar UVB. 7.2 Saran 1. Melakukan uji klinis krim ekstrak beras hitam terlebih dahulu sebelum diaplikasikan kepada manusia. 2. Melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek samping dari krim ekstrak beras hitam, serta efek sebagai anti penuaan dini pada kulit seperti menghambat peningkatan pigmentasi kulit akibat paparan sinar UV.
DAFTAR PUSTAKA
Alam, M., Havey, J. 2010. Photoaging. In : Draelos, Z.D, editor. Cosmetic Dermatology Products & Procedures. First Edition. United Kingdom: Blackwell. p.3-21 Allisa, D.F., Hartanti, D., Chairunnisa, R.F. 2011. Moisturizer Cream. Available from : http://www.scribd.com/doc/16996/Prk-1-Krim-Pelembab.Accessed September 9, 2014. Apak, R., Guclu, K., Demirata, B., Ozyurek, M., Celik, S.E., Bektasoglu, K., Berker, I., Ozyurt, D. 2007. Comparative Evaluation of Various Total Antioxidant Capacity Assay Applied to Phenolic Compounds with The CUPPRAC Assay. Molecules, 12 : 1496 – 1547. Ardhie, A. M. 2011. Radikal Bebas dan Peranan Antioksidan Dalam Mencegah Penuaan. Available from : https://www.scribd.com/doc/131397378/Radikal-Bebas-DanPeranAntioksidan-Dalam-Mencegah-Penuaan . Accessed July 20, 2014. Aritonang, I. 2012. Pengertian Beras. Available from : http://indaharitonangfakultaspertanianunpad.blogspot.com/2013/05/peng ertian-beras.html. Accessed December 1, 2014. Bardell, S. 2012. Phytochemicals : Foundation to Health. Available from : http://bioimmersion.com/blog/2012/01/. Accessed December 1, 2014. Baumann, L., Alleman, I. B. 2009. Antioxidants. In : Baumann, L., Saghari, S., Weisberg, E., editors. Cosmetic Dermatology. Second edition. New York : Mc Graw Hill. p. 292-311. Baumann, L., Saghari, S. 2009. Basic Science of The Dermis. In Bauman, L., Saghari, S., Weisberg, E., editors. Cosmetic Dermatology. Second edition. New York: Mc Graw Hill. p.8-42. Bei, R., Masuelli, L., Turriziani, L., Volti G. 2009. Impaired Expression and Function of Signaling Pathway Enzymes by Anthocyanins: Role on Cancer Prevention and Progression. Current Enzyme Inhibition. Vol: 5. p.184-197.
Bhat, S.V., Nagasampagi, B.A., Meenakshi, S. 2009. Natural Products : Chemistry and Application. Narosa Publishing House, New Delhi.
Birke, L. 2014. Escaping The Maze : Wildness and Tameness in Studying Animal Behaviour, in Marvin, G., McHugh, S., editors. Routledge Handbook of HumanAnimal Studies. New York : Routledge. p.39-53. Cao, G., Muccitelli, H.U., Moreno, C.S., Prior, R.L. 2001. Anthocyanins are Absorbed in Glycated Forms in Elderly Women. American Journal Of Clinical Nutrition. Vol 73(no.5). p.920-926. Choi, K.C., Lee, S., Kwak, S.Y., Kim, M.S., Choi, H.K., Kim, K.H., Chung, J.H., Park, S.H., 2005. Increased expression of 14-3-3ɛ protein in intrinsically aged and photoaged human skin in vivo. Mechanism of Ageing and Development. Vol.126(no.6-7): 629- 636. Chu, D.H. 2008. Overview of biology, development, and structure of skin. In K. Wolff, L.A. Goldsmith, S.I. Katz, B.A. Gilchrest, A.S. Paller, & D.J. Leffell, editors., Fitzpatrick’s dermatology in general medicine 7th edition., New York: McGrawHill. p.57–73. Darmono, S., 2011. Buku Ajar Farmakologi Eksperimental. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Hal: 1-21. Dianasari, R. 2014. Pemberian Krim Ekstrak Jagung Ungu (Zea Mays) Menghambat Peningkatan Kadar MMP-1 dan Penurunan Jumlah Kolagen pada Tikus Wistar (Rattus norvegicus) yang Dipapar Sinar UV-B. (Thesis). Denpasar : Universitas Udayana. Dreher, F., Maibach, H. I. 2001. Protective effects of topical antioxidants in humans. In Thiele, J., Elsner, P., editors. Current Problem in Dermatology, vol 29 : Oxidants and Antioxidants in Cutaneous Biology. Switzerland : Krager. p 157-164. Estina. 2010. Jenis dan Ciri – ciri Tikus Laboratorium Disertai Gambar. Available from : https://dokterternak.wordpress.com. Accessed December 1, 2014. Evans, C., Miller, N. J., & Paganga, G. 2007. Antioxidant properties of phenolic compounds. Trends in Plant Science, 2, p.152–159 Fatchiyah, 2013. “Laik Ethic Penelitian dengan Hewan Coba”(makalah). Malang: Brawijaya.
Federer, W.T. 2008. Statistical Design and Analysis for Intercropping Experiments. New York: Springer. p 30-33. Fisher, G.J., Kang, S., Varani, J., Csorgo, Z.B., Wan, Y., Datta, S., Voorhees, J.J. 2002. Mechanism of Photoaging and Chronogical Skin Aging. Journal of Dermatology. Vol 138(no. 11): 1462-1470. Gilkes, D.M., Semenza, G.L., Wirtz, D. 2014. Hypoxia and The Extracellular Matrix : Drivers of Tumour Metastasis.. Nature Reviews Cancer. Vol. 14 : 430-439. Goldman, R., Klatz, R. 2007. Theories on Aging, In Hirsch, C., Rosenberg, C., editors. The New Anti-Aging Revolution. Third edition. North Bergen: Basic Health. p 19-32 Mechanism of Photoaging and Chronological Skin Aging. Journal of Dermatology. Vol 138(no.11): 1462-1470. Gosh, D., Konishi, T. 2007. Anthocyanins and Anthocyanin-rich Extracts : Role in Diabetes and Eye Function. Available from : http://apjcn.nhri.org.tw/server/apjcn/16/2/200.pdf . Accessed July 15, 2014. Jain, S. 2012. Epidermis-Basic Science and Immunology. In: Dermatology, Ilustrated Study Guide and Comprehensive Board Review. USA: Springer. p.2-10. James, W.D., Berger, T.G., & Elston, D.M. 2006. Andrews’ diseases of the skin: Clinical dermatology. 10th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. p.6783. Kanitakis, J. 2002. Anatomy, histology and immunohistochemistry of normal human skin. European Journal of Dermatology, p.390–401. Keith, R.
2010. Rattus Norvegicus. Available from : http://genomics.senescence.info/species/entry.php?species=Rattus _norvegicus. Accessed September 10, 2014.
Kiernan, J.A. 2011. Sirirus Red Staining Protocol for Collagen. Available from: http://www.ihcworld.com/protocol/special_stains/sirius_red.htm. Accessed July 15, 2014. Kristamtini. 2009. Keragaman Genetik dan Korelasi Parameter Warna Beras dan Kandungan Antosianin Total sebelas Kultivar Padi Beras Hitam Lokal.
Available from : http://www.researchgate.net/publication/264200942 . Accessed September 10, 2014. Krutmann, J. 2011. Skin Aging. In: Krutmann, J., Humbert, P., editors., Nutrition for Healthy Skin. New York: Springer. p.15-24. Landro, L. 2010. A Shade-Seeker Finds New Ways To Block UV Rays. Available from : http://www.wsj.com/articles/SB100014240527487043883045752021107 268326 90. Accessed January 28, 2015. Mahalingam, R., Li, X., Jasti, B.R. 2008. Semisolid Dosages: Ointments, Creams, and Gels. In: Gad, S.C., editor., Pharmaceutical Manufactoring Handbook: Production and Processes. First edition. Kanada: John Wiley: p. 267-276. Marczyk., Geoffrey, R., Dematteo, D., Festinger, D. 2005. Experimental design. In: Dematteo, D., David., editors. Essential of Research Design and Methodology. First edition. New Jersey: John-Wiley. p 48-56. Mitchell, R.N. 2013. Cell Injury, Cell death, and Adaptations in Kumar, V., Abbas, A.K., Aster, J.C., 2013., editors. Robins Basic Pathology. Ninth edition. Philadelphia : Elsevier Saunders. p.1-28. Moertolo, Y.N. 2014. Kandungan Ekstrak Beras Hitam dan Fungsinya Untuk Mencegah Penurunan Kolagen pada Tikus Wistar Jantan yang dipaparkan sinar UVB. (penelitian pendahuluan). Denpasar : Universitas Udayana. (unpublished). Padayatty, S.J., Katz, A., Wang, Y., Eck, P., Kwon, O., Lee, J.H., Chen, S., Corpe,C., Dutta, S.K., Levine, M. 2003. Vitamin C as an Antioxidant : Evaluation of its role in disease prevention. J Am Coll Nutr. Vol 22:18-35 Pandel, R., Poljsak, B., Godic, A., Dahmane, R. 2013. Skin Aging Process and the Role of Antioxidants in Prevention. Available from : https://www.scribd.com/doc/241318090/. Accessed September 10, 2014. Pangkahila, W. 2007. Anti Aging Medicine. First edition. Jakarta: Kompas. p.1152. Pangkahila, W. 2011. Anti-Aging Tetap Muda dan Sehat. Jakarta: Kompas. p.151192.
Rabe, J.H., Mamelak, A.J., McElgunn, P.J., Morison, W.L., Sauder, D.N. 2006. Photoaging:Mechanisms and Repair. J Am Acad Dermatol.vol 55(1):1-19. Ratnaningsih, N. 2010. Potensi Beras Hitam Sebagai Sumber Antosianin. Available from : www.eprints.uny.ac.id/5170 . Accessed Desember 1, 2014. Rhein, L.D, Santiago, J.M. 2010. Matrix Metalloproteinases, Fibrosis and Regulation by Transforming Growth Factor Beta : A New Frontier in Wrinkle Repair, In Rhein, L.D, Fluhr, J.W., editor. Aging Skin Current and Future Therapeutic Strategies. 1st edition. USA: Alluredbooks. p.2570. Rigel, D.S., Russak, J., Friedman, R. 2010. The Evolution of Melanoma Diagnosis : 25 Years Beyond The ABCDs. CA Cancer J Clin. Vol. 60 : 301-316. Santoso, B. 2010. Penentuan Total Fenol dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Leilem (Clerodendrum minahassae). (Thesis). Bogor : Institut Pertanian Bogor. Suardi, D., Ridwan, I. 2009. Beras Hitam, Pangan Berkhasiat. Available from : http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/wr312095.pdf. Accessed September 11, 2014. Suhartatik, N., Cahyanto, M.N., Raharjo,S., Rahayu, E.S. 2013. Aktivitas Antioksidan Antosianin Beras Hitam Selama Fermentasi. Available from : https://journal.ipb.ac.id/index.php/jtip/article/view/6962.Accessed September 10, 2014. Svobodova, A., Walterova, D., Vostalova, J. 2006. Ultraviolet Light Induced Alteration to The Skin. Journal of Biomedic Palacky Olomouc University. Vol. 150(n0.1): 25 – 38. Taghizadeh, K., Bastanfard, M. 2012. The Anatomy of a Human Body. Available from : http://article.sapub.org/10.5923.j.scit.20120201.02.html. Accessed December 1, 2014. Taylor, S.C. 2005. Photoaging and Pigmentary Changes of the Skin, In Burgess, C.M., editor. Cosmetic Dermatology. First edition. Germany: Springer. p 29-49.
Telang,
P.S. 2013. Vitamin C in Dermatology. Available from : http://www.ncbi.nlm.gov/pmc/articles/PMC3673383. Accessed January 18, 2015.
Toufektsian, M.C., Lorngeril,M., Nagy,N., Salen, P., Donati,M.B., Giordano, L., Mocl,H.P., Peterek,S., Matrol,A., Petroni, K., Pilu,R., Rptoliu,D., Torelliu,C., Leiris,J.,Boucher,F., Martin,C. 2008. Chronic Dietary Intake of Plant-Derived Anthocyanins Protects the Rat Heart against Ischemia. Journal of Nutrition. Vol. 138:747-752. Vani, T.A. 2013. Pemberian krim Ekstrak Umbi Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas L) Mencegah Penurunan Jumlah Kolagen Kulit Tikus Putih Galur Wistar (Rattus norvegicus) Yang Dipapar Sinar Ultraviolet B. (Thesis). Denpasar : Universitas Udayana. Vaughan, D.A., Lu, B., Tomooka, N. 2008. The Evolving Story of Rice Evolution. Available from : http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S016via=ihub . Accessed July 17, 2014. Vayalil, K.P., Mittal, A., Hara, Y., Elmets, A. C., Katiyar, S. K. 2004. Green Tea Polyphenols Prevent Ultraviolet Light-Induced Oxidative Damage and Matrix Metalloproteinases Expression in Mouse Skin. Journal of Investigative Dermatology. Vol. 122: 1480 – 1487. Wenk, J., Breinnesen, P., Meewes, S., Wlaschek, M., Peters, T., Blaudschun, R., Ma, W., Kuhr, L., Schneider, L., Scharffetter, K.K. 2001. UV-Induced Oxidative Stress and Photoaging. In: Elsner, T.J., editor., Oxidants and Antioxidants in Cutaneous Biology. Vol. 29. Switzerland: Krager. p. 8394. Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan radikal Bebas. Potensi dan Aplikasinya Dalam Kesehatan. Penerbit Kanisius. Jogjakarta. p. 177-190. Wrolstad, R.E., Robert, W.D., Jungmin, L. 2005. Tracking Color and pigment Changes in Anthocyanin Products. Trends in Food Science & Technology 16: 423–428. Xia, X., Ling, W., Ma, J., Xia, M., Hou, M., Wang, Q., Zhu, H., Tang, Z. 2006. An Anthocyanin – Rich Extract from Black Rice Enhances Atherosclerotic Plaque Stabilization in Apoprotein-E Deficient Mice. Jurnal of Nutrition. Vol : 136: 2220-2225
Yaar, M., Gilchrest, B.A. 2007. Photoageing: Mechanism, Prevention and Therapy. Journal Compilation-British Journal Dermatology. Vol. 157: 874-877. Yaar, M., Gilchrest, B.A. 2008. Aging of Skin, In Wolf, K., Lowel, A., Katz, G.S., editor. Fitzpatrick Dermatology in General Medicine. 7th edition. New York: McGrawHill. p 964-1397. Zawaistowski, J., Kopec, A., Kitts, D.D. 2009. Effects of a Black Rice (Oryza Sativa L. indica) on Cholestrol Levels and Plasma Lipid Parameters in Wistar Kyoto Rats. Journal of Functional Foods.Vol. 1: 50-56. Zussman, J., Ahdout, J. 2010. The Role of Vitamins in Skin Care Products. Available at : http://www.prnewawire.com/90614309.html. Accessed November 15, 2014.
Lampiran 1
Lampiran 2 Uji Normalitas Data Kolagen Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Kelompok Kolagen
Kontrol Perlakuan
.158
18
.200*
.938
18
.269
.151
18
.200*
.918
18
.119
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
Lampiran 3 Uji Homogenitas Data Kolagen Homogenitas Data Kolagen Antar Kelompok Perlakuan
Variabel
Distribusi (F)
Kolagen
1,94
Signifikansi (p) 0,223
Keterangan Homogen
Lampiran 4 Uji t-independent Data Kolagen antara Kelompok Kontrol dengan Kelompok Perlakuan Group Statistics Kelompok Kolagen
N
Kontrol Perlakuan
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
18
72.4279
5.64063
1.32951
18
80.9344
3.22272
.75960
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F Kola Equal variances gen assumed Equal variances not assumed
Sig.
t-test for Equality of Means
t
1.940 .223 -4.444
df
Std. 95% Confidence Error Interval of the Difference Mean Differen ce Sig. Differen Lower Upper (2tailed) ce
34
.000 -8.5066 1.91425 -12.397 -4.6163
-4.444 23.14
.000 -8.5066 1.91425 -12.465 -4.5480
Lampiran 5