PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS TEKS DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK DAN UPAYA MEMBANGUN BUDAYA LITERASI1 Oleh Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd.2 Universitas Sebelas Maret A. Pendahuluan Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global, akuntabilitas publik terhadap kualitas pendidikan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan perlu dilakukan. Pendidikan diharapkan memiliki kesiapan dalam memberikan respon yang positif terhadap berbagai tuntutan kebutuhan masyarakat. Untuk itulah, kualitas praktik dan hasil pendidikan perlu secara terus-menerus ditingkatkan. Upaya mewujudkan pendidikan yang berkualitas bertalian erat dengan kurikulum. Kurikulum memiliki peran yang sangat strategis dan menentukan dalam pelaksanaan pendidikan karena di dalamnya terumuskan tujuan yang hendak dicapai, materi pembelajaran, cara yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran, dan tentu penilaian untuk mengetahui ketercapaian tujuan. Dalam Kurikulum 2013 pun tentu berisi unsur-unsur penting-penting itu karena sejatinya “curriculum is an educational program which states (1) the educational purpose of the program, (2) the content, (3) teaching procedures and learning experiences which will be necessary to achieve the purpose, and (4) some means of assessing whether or not the educational ends have been achieved (Richards, 2001). Demikian juga yang ditegaskan dalam Undang-Undang Sisdiknas bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU NO. 20 Tahun 2003), termasuk bidang Bahasa dan Sastra Indonesia, baik sebagai mata pelajaran wajib maupun sebagai peminatan. Rumusan tujuan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di berbagai kurikulum yang pernah berlaku di Indonesia bisa jadi berbeda-beda. Namun demikian, jika kita telah mampu menempatkan dan memerankan diri sebagai guru profesional, kita segera menyadari bahwa secara esensial sesungguhnya tujuan utama pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah peserta didik memiliki keterampilan berbahasa atau yang lazim disebut memiliki kemahiran berbahasa, kecakapan berbahasa, atau kompetensi berbahasa, yang mencakup empat aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis). Sementara itu, dalam pembelajaran sastra, menurut Sayuti (2013), tujuan utamanya berorientasi pada literary knowledge dan literary appreciation. Orientasi itu dapat diturunkan menjadi knowing, doing, dan being sastra; apresiasi, ekspresi, dan
1
Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesi FPBS IKIP PGRI Bojonegoro, 7 Juni 2014. 2 Guru Besar pada FKIP dan Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
1
produksi sastra; atau dalam (istilah bahasa Jawa) nga-3: ngerti, nglakoni, dan ngrasakke sastra. Dalam hal kompetensi yang menjadi orientasi pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran, sebenarnya esensinya sama. Pada Kurikulum 2004 dan KTSP kita mengenal Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar; sedangkan pada Kurikulum 2013 digunakan istilah Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Perubahan pada kerangka kerja penyusunan Kurikulum 2013 adalah terkait tata kelola pada satuan pendidikan dan peran guru. Jika pada KTSP, satuan pendidikan dan guru diberikan kewenangan menyusun silabus, pada Kurikulum 2013 beban tersebut ditanggung oleh pemerintah (Suwandi, 2013a). Dalih yang dikemukakan, pada KTSP para guru harus menyusun silabus sehingga beban guru menjadi berat dan keefektifan belajar kurang. Dengan pengurangan beban tersebut, efektivitas pembelajaran diharapkan meningkat. Berkenaan dengan pembelajaran bahasa Indonesia, Kurikulum 2013 menekankan pada pelaksanaan pembelajaran berbasis teks. Siswa dituntut mempelajari berbagai jenis teks secara eksplisit, memahami struktur dan fitur kebahasaannya, dan mampu memproduksi teks. Pembelajaran berbasis teks ini dipandang penting mengingat budaya membaca dan menulis peserta didik dan bahkan masyarakat Indonesia tergolong rendah. Budaya lisan begitu dominan dalam kehidupan masyarakat kita. Tradisi kelisanan begitu mendarah mendaging di hampir setiap stratifikasi sosial. Kiranya tidak sulit menyajikan dan menderetkan contoh fenomena yang menggambarkan betapa anakanak dan juga masyarakat kita merasa asing dengan buku. Anak-anak kita sering lebih asyik menghabiskan waktu mereka untuk ber-sms, bercengkerama dan bersendau-gurau dengan telpon, main game, dan aktivitas sejenis lainnya. Mereka lebih hafal artis-artis sinetron dan penyanyi di televisi daripada nama penulis buku. Mereka lebih fasih bercerita tentang alur serta karakter tokoh sinetron yang ditonton daripada bercerita tentang alur dan karakter tokoh dari sebuah novel. Ditegaskan pula bahwa pembelajaran hendaknya menggunakan pendekatan ilmiah atau pendekatan saintifik (pendekatan ilmiah). Proses pembelajaran dapat dipadankan dengan suatu proses ilmiah. Pendekatan ini diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. Pembelajaran yang berbasis pada teks dan penggunaan pendekatan saintifik tersebut diyakini akan mampu mengembangkan budaya literasi. Untuk itu, uraian berikut akan menjelaskan ihwal pembelajaran berbasis teks dan penerapan pendekatan saintifik serta upaya mengembangkan budaya literasi.
B. Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Teks Terjadi perampingan dalam Kurikulum 2013. Ditinjau dari mata pelajaran yang harus diajarkan, khususnya jenjang Sekolah Dasar, jumlah mata pelajaran dalam Kurikulum 2013 lebih sedikit dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bahasa Indonesia dipilih untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan alam (IPA) dan ilmu pengetahuan sosial (IPS). Pengintegrasian IPA dan IPS dalam mata pelajaran bahasa Indonesia tersebut membawa konsekuensi kewajiban menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana pencarian dan penemuan ilmu. Dengan perkataan kata lain, bahasa Indonesia merupakan bahasa ilmu. Ikhtiar menjadikan dan memantapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan perlu secara terus-menerus dilakukan. Di sisi lain, upaya pembinaan bahasa Indonesia—khususnya kepada para siswa—juga harus dilakukan agar mereka 2
memiliki sikap positif terhadap bahasanya, menaruh rasa hormat dan memiliki kebanggan terhadap bahasa Indonesia serta mampu menggunakannya dengan baik dan benar untuk berbagai keperluan. Penguatan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah diharapkan mampu mencerdaskan kehidupan bangsa. Melalui bahasa Indonesia diharapkan terwujud bangsa yang unggul dan berkarakter (Suwandi, 2013b, 2013c). Upaya mengefektifkan pembelajaran bahasa Indonesia perlu dilakukan secara sistematis. Salah satu upaya penting adalah pembenahan kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia. Bagaimana dengan Kurikulum 2013 mata pelajaran bahasa Indonesia? Pendekatan yang ditetapkan disebut pendekatan berbasis genre. Satu genre dapat muncul dalam berbagai jenis teks. Misalnya genre cerita, di antaranya, dapat muncul dalam bentuk teks: cerita ulang, anekdot, eksemplum, dan naratif, dengan struktur teks (struktur berpikir) yang berbeda. Kompetensi dasar ditata dengan setiap kali dikaitkan pada jenis-jenis teks. Teks merupakan suatu proses sosial yang berorientasi pada suatu tujuan sosial. Tujuan sosial yang hendak dicapai memiliki ranah-ranah pemunculan yang disebut konteks situasi (Mahsum, 2013). Lebih lanjut dijelaskan, proses sosial akan berlangsung jika terdapat sarana komunikasi yang disebut bahasa. Dengan kata lain, proses sosial akan merefleksikan diri menjadi bahasa dalam konteks situasi tertentu sesuai tujuan proses sosial yang hendak dicapai. Bahasa yang muncul berdasarkan konteks situasi inilah yang menghasilkan register atau bahasa sebagai teks. Oleh karena konteks situasi pemakaian bahasa itu sangat beragam, maka akan beragam pula jenis teks. Jika kita melihat perbandingan antara KD yang tersaji dalam Kurikulum 2013 dan KTSP di atas, sebenarnya kedua kurikulum tersebut telah menekankan pentingnya teks dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hanya saja, jenis-jenis teks dikesplisitkan dalam Kurikulum 2013. Perhatikan KD kelas VII KTSP misalnya, KD 3.2 Menyimpulkan isi bacaan setelah membaca cepat 200 kata per menit, KD 3.3 Membacakan berbagai teks perangkat upacara dengan intonasi yang tepat, KD 4.1 Menulis buku harian atau pengalaman pribadi dengan memperhatikan cara pengungkapan dan bahasa yang baik dan benar, KD 4.2 Menulis surat pribadi dengan memperhatikan komposisi, isi, dan bahasa, dan KD 4.3 Menulis teks pengumuman dengan bahasa yang efektif, baik dan benar. Bandingkan dengan KD kelas VII misalnya, KD 3.1 Memahami teks hasil observasi, tanggapan deskriptif, eksposisi, eksplanasi, dan cerita pendek baik melalui lisan maupun tulisan, KD 3.2 Membedakan teks hasil observasi, tanggapan deskriptif, eksposisi, eksplanasi, dan cerita pendek baik melalui lisan maupun tulisan, KD 4.1 Menangkap makna teks hasil observasi, tanggapan deskriptif, eksposisi, eksplanasi, dan cerita pendek baik secara lisan maupun tulisan, KD 4.2 Menyusun teks hasil observasi, tanggapan deskriptif, eksposisi, eksplanasi, dan cerita pendek sesuai dengan karakteristik teks yang akan dibuat baik secara lisan maupun tulisan. Jenis-jenis teks dengan segenap karakteristiknya ditampilkan secara eksplisit dalam Kurikulum 2013. Mahsun (2013) menjelaskan bahwa pada jenis teks cerita ulang (recount) unsur utamanya berupa peristiwa yang di dalamnya menyangkut siapa, mengalami apa, pada waktu lampau, dengan struktur: orientasi (pengenalan pelaku, tempat, dan waktu) diikuti rekaman kejadian; pada teks anekdot, peristiwa yang terdapat pada teks cerita ulang harus menimbulkan krisis. Partisipan yang terlibat bereaksi pada peristiwa itu sehingga teksnya berstruktur: orientasi, krisis, lalu diikuti reaksi. Berbeda dengan eksemplum, pada jenis teks ini peristiwa yang terdapat pada teks cerita ulang 3
maupun anekdot memunculkan insiden, dan dari insiden itu muncul interpretasi (perenungan). Dengan demikian, teks jenis ini berstruktur: orientasi, insiden, lalu diikuti interpretasi. Adapun jenis teks naratif, peristiwa yang diceritakan harus memunculkan konflik antartokoh atau konflik pelaku dengan dirinya sendiri atau dengan lingkungannya. Oleh karena itu, teks naratif berstruktur: orientasi, komplikasi, dan resolusi. Setiap struktur teks dalam masing-masing jenis teks memiliki perangkatperangkat kebahasaan yang digunakan untuk mengekspresikan pikiran yang dikehendaki dan secara terpadu diorientasikan pada pencapaian tujuan sosial teks secara menyeluruh. Untuk itu, pembicaraan ihwal satuan leksikal, gramatikal (tata bahasa) dalam pembelajaran berbasis teks harus berupa pembicaraan tentang satuan kebahasaan yang berhubungan dengan struktur berpikir yang menjadi tujuan sosial teks, bukan dalam bentuk serpihan-serpihan. Hal penting yang harus diwaspadai adalah hendaknya guru tidak terjebak untuk menjelaskan berbagai pengertian teks dengan segenap cirinya dalam pembelajaran bahasa Indonesia dan kurang memberikan pelatihan memproduksi teks. Ini merupakan hal yang paling rentan terjadi dalam pembelajaran di kelas, mengingat guru sendiri masih banyak yang belum familiar dengan berbagai jenis teks tersebut. Ingat kasus pembelajaran pragmatik pada Kurikulum 1994. Guru mestinya mengajar dan melatih siswa untuk bertelpon misalnya, tetapi yang terjadi tidak lebih pada bagaimana teori bertelpon yang baik. Praktik bertelpon yang baik dan sopan tidak pernah dilatihkan apalagi menjadi kemampuan siswa. Faktor lain, yang harus diakui, adalah kemampuan guru dalam menghasilkan teks baik secara lisan dan tulis masih kurang. Demikian pula, kemampuan membaca mereka masih belum baik yang antara lain karena belum bertumbuhnya minat dan budaya baca. Selain kedua faktor di atas, konstruk kurikulum perlu diwaspadai sebagai faktor yang memicu keadaan di atas. Sebagaimana telah dikemukakan, Kurikulum 2013 memformulasikan empat Kompetensi Inti (sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan) serta menjabarkan KI dalam KD-KD. Sungguhpun telah digariskan bahwa KI dan KD tersebut harus dikembangkan dalam setiap peristiwa pembelajaran secara integratif, aplikasinya dalam praktik pembelajaran masih perlu dilihat keterlaksanaanya. Pemilahan sikap, pengetahuan, dan keterampilan atau tidak menyajikan ketiganya dalam sebuah bangunan konsep yang holistik punya potensi pemahaman yang parsial terhadap ketiganya. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pembelajaran berbasis teks adalah membangun konteks. Pada tahap ini guru menyiapkan mental siswa dalam mempelajari teks tertentu. Hal ini harus disadari oleh guru karena tidak teks yang nirkonteks. Dalam pembelajaran tentu siswa tidak berangkat dari sebuah kekosongan. Guru tidak boleh berpandangan bahwa siswa tidak mengetahui apapun tentang sesuatu topik. Tatkala topik diberikan, tentang layang-layang misalnya, guru dapat meminta siswa menceritakan pengalamannya tentang layang-layang. Ketika siswa menyampaikan pengalamannya tentang bermain layang-layang bersama teman-temannya, guru dapat mengarahkan kapan sebaiknya siswa bermain layang-layang dilakukan, di mana sebaiknya bermain layang-layang dilakukan, bagaimana jika layang-layang putus? Lantas apa yang akan dilakukan? Meminta uang pada Ibu dan membeli layang-layang lagi atau bahkan akan membuat layang-layang? Siswa yang memiliki pengalaman membuat layang-layang dapat diminta bercerita proses pembuatan layang-layang. Membangun konteks di sini dimaksudkan sebagai apersepsi. Ketika motivasi siswa terbangun, pembelajaran difokuskan kepada tujuan pelajaran, misalnya teks prosedur. 4
Tahap kedua adalah guru memberi model teks, yakni struktur teks dan teksnya. Teks hendaknya disesuaikan dengan perkembangan kognitif peserta didik. Teks dibahas bersama dalam diskusi kelompok. Siswa bersama guru mempelajari teks model tersebut, baik yang bertalian dengan tujuan, penyusunan urutan teks, dan karakteristik kebahasaannya. Berkenaan dengan pembelajaran teks prosedur membuat layang-layang, misalnya, dipelajari (1) tujuan (merumuskan serangkaian langkah membuat layanglayang); (2) struktur teks (judul yang sesuai, daftar bahan atau alat, dan urutan langkah untuk menyelesaikan tugas; (3) karakteristik kebahasaan. Tahap ketiga adalah siswa bersama guru membangun teks. Berikut ini ddikemukakan contoh stuktur teks prosedur pembuatan layang-layang dan penggunaan bahasa. Tujuan kegiatan Cara membuat layang-layang Struktur teks Contoh pada teks Judul Mari Teman Membuat Layang-Layang Bahan-bahan Bambu, kertas, benang, lem, gunting Langkah1. Ambillah batang bambu kecil seukuran pokok sapu lidi langkah/step 2. Potong menjadi 2 sama panjang: satu untuk bagian mendatar (A) dan satunya untuk bagian tegak (B) 3. Kemudian sambunglah secara silang dengan tali benang pada sepertitiga bagian A dan tepat di tengah pada bagian B hingga membentuk rangka layang-layang. 4. Selanjutnya, kaitkan keempat ujung bambu dengan benang. 5. Setelah itu, siapkan kertas tipis seluas rangka layang-layan dan gunting bagian tepinya. Berikutnya, tempel dua sisi kertas dengan lem di semua benang yang mengaitkan keempat ujung bambu. Tunggu beberapa saat agar kering. 6. Jadilah layang-layang yang siap diterbangkan. Ciri-ciri kebahasaan dalam teks prosedur dapat dikemukakan berikut ini. (1) Pola kalimat berupa pernyataan (yang perlu disiapkan adalah benang, bambu, kertas, lem, gunting dan perintah (ambillah, potong, sambunglah, kaitkan, siapkan, tempel, tunggu. (2) Terdapat piranti kohesi antarkalimat untuk mengurutkan kegiatan: kemudian, selanjutnya, setelah itu, berikutnya, jadilah (penunjuk langkah terakhir), dan, hingga. (3) Terdapat adverbial, yaitu menyatakan rinci waktu, tempat, cara yang akurat (beberapa saat, ujung bambu, sepertiga bagian tengah, tepat di tengah, sama panjang). (4) Kosakata dibahas beserta penulisannya dan tanda baca. Dengan menganalisis struktur teks dan perwujudannya dalam teks serta penggunaan bahasanya, siswa diharapkan mengetahui bagaimana menyusun/menulis teks. Siswa harus benar-benar menguasai langkah penyusunan teks dan bagaimana bahasa digunakan bagi teks tersebut serta penulisannya. Di sinilah siswa dilatih berpikir kritis karena menganalisis bagian-bagian teks. C. Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013 menekankan penerapan pendekatan ilmiah (saintifik) dalam pembelajaran (Kemendikbud, 2013d). Pendekatan ilmiah diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. 5
Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuan lebih mengedepankan penalaran induktif (inductive reasoning) ketimbang penalaran deduktif (deductive reasoning). Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian menarik simpulan yang spesifik. Sebaliknya, penalaran induktif memandang fenomena atau situasi spesifik untuk kemudian menarik simpulan secara keseluruhan. Metode ilmiah merujuk pada teknik-teknik investigasi atas suatu atau beberapa fenomena, memperoleh pengetahuan baru, atau mengoreksi dan memadukan pengetahuan sebelumnya. Untuk dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik. Karena itu, metode ilmiah umumnya memuat serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi atau ekperimen, mengolah informasi atau data, menganalisis, kemudian memformulasi, dan menguji hipotesis (Kemendikbud, 2013d). Proses pembelajaran dengan berbasis pendekatan ilmiah harus dipandu dengan kaidah-kaidah pendekatan ilmiah. Pendekatan ini bercirikan penonjolan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran. Dengan demikian, proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah. Guru dan peserta didik harus menggunakan akal sehat selama proses pembelajaran, karena memang hal itu dapat menunjukan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang benar. Namun demikian, jika guru dan peserta didik hanya sematamata menggunakan akal sehat dapat pula menyesatkan mereka dalam proses dan pencapaian tujuan pembelajaran. Sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang diperoleh semata-mata atas dasar akal sehat (comon sense) umumnya sangat kuat dipandu kepentingan seseorang (guru, peserta didik, dan sejenisnya) yang menjadi pelakunya. Ketika akal sehat terlalu kuat didomplengi kepentingan pelakunya, acapkali mereka mengeneralisasi hal-hal khusus menjadi terlalu luas. Hal inilah yang menyebabkan penggunaan akal sehat berubah menjadi prasangka atau pemikiran skeptis. Berpikir skeptis atau prasangka itu memang penting, jika diolah secara baik. Sebaliknya akan berubah menjadi prasangka buruk atau sikap tidak percaya, jika diwarnai oleh kepentingan subjektif guru dan peserta didik. Tindakan atau aksi coba-coba sering melahirkan wujud atau temuan yang bermakna. Namun demikian, keterampilan dan pengetahuan yang ditemukan dengan cara coba-coba selalu bersifat tidak terkontrol, tidak memiliki kepastian, dan tidak bersistematika baku. Tentu saja, tindakan coba-coba itu ada manfaatnya bahkan mampu mendorong kreativitas. Karena itu, kalau memang tindakan coba-coba ini akan dilakukan harus diserta dengan pencatatan atas setiap tindakan, sampai dengan menemukan kepastian jawaban. Kemampuan berpikir kritis itu ada pada semua orang, khususnya mereka yang normal hingga jenius. Secara akademik diyakini bahwa pemikiran kritis itu umumnya dimiliki oleh orang yang bependidikan tinggi. Orang seperti ini biasanya pemikirannya dipercaya benar oleh banyak orang. Tentu saja hasil pemikirannya itu tidak semuanya benar karena bukan berdasarkan hasil esperimen yang valid dan reliabel. Pendapatnya itu hanya didasari atas pikiran yang logis semata. Dalam proses pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘mengapa’. Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘bagaimana’. Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi 6
atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘apa’. Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan (Kemendikbud, 2013d). Pendekatan ilmiah (saintific appoach) dalam pembelajaran meliputi menggali informasi melaui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau informasi, menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis, menalar, kemudian menyimpulkan, dan mencipta. Metode mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Metode ini memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media objek secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Tentu saja kegiatan mengamati dalam rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama dan matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran. Metode mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan metode observasi peserta didik menemukan fakta bahwa ada hubungan antara objek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru. Kegiatan observasi dalam proses pembelajaran meniscayakan keterlibatan peserta didik secara langsung. Dalam kaitan ini, guru harus memahami bentuk keterlibatan peserta didik dalam observasi tersebut, yakni observasi biasa (common observation), observasi terkendali (controlled observation), dan observasi partisipatif (participant observation). Selama proses pembelajaran, peserta didik dapat melakukan observasi secara tidak berstruktur dan observasi tidak berstruktur. Pada observasi berstruktur, dalam proses pembelajaran, fenomena subjek, objek, atau situasi yang ingin diobservasi oleh peserta didik telah direncanakan oleh secara sistematis di bawah bimbingan guru. Sementara itu, pada observasi yang tidak berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, tidak ditentukan secara baku atau rijid mengenai hal yang harus diobservasi oleh peserta didik. Dalam kerangka ini, peserta didik membuat catatan, rekaman, atau mengingat dalam memori secara spontan atas subjek, objektif, atau situasi yang diobservasi. Praktik observasi dalam pembelajaran hanya akan efektif jika peserta didik dan guru melengkapi diri dengan dengan alat-alat pencatatan dan alat-alat lain, seperti: (1) tape recorder, (1) kamera, untuk merekam objek atau kegiatan secara visual; (2) film atau video, untuk merekam kegiatan objek atau secara audio-visual; dan (3) alat-alat lain sesuai dengan keperluan. Secara lebih luas, instrumen yang digunakan dalam melakukan observasi, dapat berupa daftar cek (checklist), skala rentang (rating scale), catatan anekdotal (anecdotal record), catatan berkala, dan alat mekanikal (mechanical device). Guru yang efektif mampu menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula dia membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia mendorong asuhannya itu untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik. Berbeda dengan penugasan yang menginginkan tindakan nyata, pertanyaan dimaksudkan untuk memperoleh tanggapan verbal. Istilah pertanyaan tidak selalu dalam bentuk kalimat 7
tanya, melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya menginginkan tanggapan verbal. Bertanya memiliki sejumlah fungsi. Di antara banyak fungsi itu antara lain adalah (1) membangkitkan rasa ingin tahu, minat, dan perhatian peserta didik; (2) mendorong dan menginspirasi peserta didik untuk aktif belajar; (3) mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik dan sekaligus menyampaikan ancangan untuk mencari solusinya; (4) membangkitkan keterampilan peserta didik dalam berbicara; (5) , mendorong partisipasipeserta didik dalam berdiskusi; (6) melatih kesantunan dalam berbicara dan membangkitkan kemampuan berempati satu sama lain. Sementara itu kriteria pertanyaan yang baik, antara lain (1) singkat dan jelas, (2) menginspirasi jawaban, (3) memiliki fokus, (4) bersifat probing atau divergen, (5) bersifat validatif atau penguatan, (6) memberi kesempatan peserta didik untuk berpikir ulang, (7) merangsang peningkatan tuntutan kemampuan kognitif, dan (8) merangsang proses interaksi. Istilah menalar dalam kerangka proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 untuk menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif daripada guru. Penalaran adalah proses berpikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Penalaran dimaksud merupakan penalaran ilmiah, meski penalaran nonilmiah tidak selalu tidak bermanfaat. Istilah menalar di sini merupakan padanan dari associating; bukan merupakan terjemanan dari reasonsing, meski istilah ini juga bermakna menalar atau penalaran. Karena itu, istilah aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemampuan mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukkannya menjadi penggalan memori. Menurut teori asosiasi, proses pembelajaran pembelajaran akan berhasil secara efektif jika terjadi interaksi langsung antara pendidik dengan peserta didik. Pola interaksi itu dilakukan melalui stimulus dan respons (S-R). Teori ini dikembangan berdasarkan hasil eksperimen Thorndike, yang kemudian dikenal dengan teori asosiasi. Oleh karena tidak semua perilaku belajar atau pembelajaran dapat dijelaskan dengan pelaziman sebagaimana dikembangkan oleh Ivan Pavlov, teori asosiasi biasanya menambahkan teori belajar sosial (social learning) yang dikembangkan oleh Bandura. Menurut Bandura, belajar terjadi karena proses peniruan (imitation). Kemampuan peserta didik dalam meniru respons menjadi pengungkit utama aktivitas belajarnya. Ada empat konsep dasar teori belajar sosial (social learning theory) dari Bandura (1977). Pertama, pemodelan (modelling), peserta didik belajar dengan cara meniru perilaku orang lain dan pengalaman vicarious, yakni belajar dari keberhasilan dan kegagalan orang lain itu. Kedua, fase belajar, meliputi fase memberi perhatian terhadap model (attentional), mengendapkan hasil memperhatikan model dalam pikiran pebelajar (retention), menampilkan ulang perilaku model oleh pebelajar (reproduction), dan motivasi (motivation) ketika peserta didik berkeinginan mengulang-ulang perilaku model yang mendatangkan konsekuensi-konsekuensi positif dari lingkungan. Ketiga, belajar vicarious, peserta didik belajar dengan melihat apakah orang lain diberi ganjaran atau hukuman selama terlibat dalam perilaku-perilaku tertentu. Keempat, pengaturan8
diri (self-regulation), peserta didik mengamati, mempertimbangkan, memberi ganjaran atau hukuman terhadap perilakunya sendiri. Selama proses pembelajaran, guru dan peserta didik acapkali menemukan fenomena yang bersifat analog atau memiliki persamaan. Dengan demikian, guru dan peserta didik adakalanya menalar secara analogis. Analogi adalah suatu proses penalaran dalam pembelajaran dengan cara membandingkan sifat esensial yang mempunyai kesamaan atau persamaan. Berpikir analogis sangat penting dalam pembelajaran karena hal itu akan mempertajam daya nalar peserta didik. Seperti halnya penalaran dan analogi, kemampuan menghubungkan antarfenomena atau gejala sangat penting dalam proses pembelajaran. Guru dan peserta didik dituntut mampu memaknai hubungan antarfenonena atau gejala, khususnya hubungan sebab-akibat. Hubungan sebab-akibat diambil dengan menghubungkan satu atau beberapa fakta yang satu dengan datu atau beberapa fakta yang lain.Suatu simpulan yang menjadi sebab dari satu atau beberapa fakta itu atau dapat juga menjadi akibat dari satua tau beberapa fakta tersebut. Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau otentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan, terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Aplikasi metode eksperimen atau mencoba dimaksudkan untuk mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Jika kita amati dengan saksama, unsur-unsur penting yang dituntut dalam pembelajaran dengan pendekatan saintifik di atas sebenarnya sudah pula ditekankan dalam penerapan pembelajaran kontekstual sebagaimana selama ini disosialisasikan dan dilatihkan oleh pemerintah kepada para guru. Semenjak KBK diimplementasikan, penerapan pendekatan kontekstual digencarkan. Barangkali sudah ratusan atau bahkan ribuan pelatihan dengan dana miliaran rupiah telah dihelat pemerintah. Buku Contetual teaching and Learning (CTL) sudah pula diterbitkan dan digandakan sejak tahun 2002. Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang menekankan guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning commnity), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment) (Depdiknas, 2002). Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak serta-merta. Dalam pandangan konstruktivis, ‘strategi memperoleh’ lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Unsur-unsur belajar yang konstruktivistik, menurut Zahorik (1995), meliputi: (1) pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activiting knowledge); (2) pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari keseluruhannya dahulu, kemudian mempelajari detailnya; (3) pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), dengan cara menyusun (a) konsep sementara (hipotesis), (b) melakukan sharing dengan orang lain untuk mendapatkan tanggapan (validasi), dan (c) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan; (4) mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman (applying knowledge); dan (5) melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. 9
D. Upaya Mengembangkan Budaya Literasi Budaya literasi (tulis) sering dikontraskan dengan budaya lisan (oral). Kedua budaya yang bersangkut paut dengan aktivitas berbahasa tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kelebihan budaya lisan, baik yang dipresentasikan dalam komunikasi bersemuka serta melalui media audio-visual dengan segenap aspek gesture dan kinestetik yang menyertainya, adalah kemampuannya dalam mengomunikasikan aspek emotif dan sering hal-hal abstrak yang sulit diungkapkan melalui budaya literasi bisa diungkapkan dengan lebih baik. Karena aspek emotif itu pula aktivitas berbahasa lisan sering pula bisa membuat tingkat partisipasi pendengar/pemirsa lebih tinggi. Sementara itu, budaya literasi harus diakui sebagai landasan perkembangan ilmu pengetahuan karena bahasa ilmu lebih menekankan pada fungsi simbolik serta menekankan aspek presisi. Selain kelebihan di atas, harus pula diakui bahwa budaya literasi memunculkan dampak invidualisme. Dampak tersebut sulit dihindari karena aktivitas membaca merupakan proses individualisasi. Aktivitas membaca pada umumnya merupakan proses yang terjadi secara sendiri dan membutuhkan internalisasi yang intens antara pembaca dengan objek bacaan. Sikap invidualisme yang tinggi akan dapat memunculkan ancaman atau setidaknya hambatan bagi upaya mewujudkan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat literasi. Hormoni dalam kehidupan sering dikonotasikan dengan terwujudnya situasi keguyuban. Sementara itu, tingkat partisipasi yang berlebihan yang terbentuk dalam budaya oral bisa berdampak pada rendahnya produktivitas masyarakat. Literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis atau kadang disebut dengan istilah ‘ atau melek aksara’ atau keberaksaraan (Harras, 2011). Literasi menurut Besnier adalah komunikasi melalui inskripsi yang terbaca secara visual, bukan melalui saluran pendengaran dan isyarat Sementara itu, menurut Kirsch dan Jungeblut, literasi kontemporer diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam memanfaatkan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas (Takdir, 2012). Dalam bahasan ini, literasi lebih berkaitan dengan konsep membaca dan menulis. Oleh karena itu, budaya literasi yang dimaksudkan dalam tulisan ini lebih budaya membaca dan menulis. Melalui pembelajaran berbasis teks yang diterapkan dalam Kurikuum 2013, siswa dibiasakan membaca dan memahami teks serta meringkas dan menyajikan ulang dengan bahasa sendiri. Siswa dibiasakan pula menyusun teks yang sistematis, logis, dan efektif melalui latihan-latihan penyusunan teks. Untuk itu, siswa dikenalkan dengan aturan-aturan teks yang sesuai sehingga tidak rancu dalam proses penyusunan teks (sesuai dengan konteks). Upaya mengembangkan budaya literasi sesungguhnya telah dilakukan pada kurikulum sebelumnya. Dalam Permendiknas No. 22 Th. 2006 tentang Standar Isi ditegaskan bahwa pada akhir pendidikan di SD/MI, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya sembilan buku sastra dan nonsastra; pada akhir pendidikan di SMP/MTs, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya 15 buku sastra dan nonsastra; dan pada akhir pendidikan di SMA/MA, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya 15 buku sastra dan nonsastra. Pertanyaannya, apakah guru telah menerapkan strategi pembelajaran yang tepat untuk memfasilitasi siswa mencapai target minimal tersebut? Apakah sekolah dan pemerintah telah menyediakan fasilitas, khususnya koleksi buku di perpustakaan, secara 10
memadai dan siswa memiliki kemudahan untuk mengakses dan memanfaatkannya? Apakah telah ada upaya yang melibatkan seluruh pamangku kepentingan pendidikan (termasuk Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) untuk menumbuhkembangkan minat dan budaya baca? Mencermati berbagai fenomena yang ada tampaknya komitmen dan upaya nyata dari pelaku dan pengambil kebijakan pendidikan untuk mewujudkan budaya literasi sebagai dieksplisitkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Tahun 2006 masih kurang. Sungguh ini sangat ironis mengingat KTSP sudah dilaksanakan selama 7 tahu. Terlebih lagi, permasalahan rendahnya budaya baca sudah diteriakkan Taufiq Ismail sejak Mei 2005 melalui tulisannya “Tragedi Nol Buku”. Taufiq Ismail membandingkan jumlah buku sastra yang wajib dibaca oleh setiap siswa SMA di sejumlah negara yang ditelitinya. Siswa SMA di Thailand Selatan membaca 5 judul, di Malaysia 6 judul, Singapura 6 judul, Brunei Darussalam 7 judul, Rusia 12 judul, Kanada 13 judul, Jepang 15 judul, Jerman Barat 22 judul, Prancis 30 judul, Belanda 30 judul, dan Amerika Serikat 32. Sementara itu, SMA di Indonesia 0 judul. Jika demikian, persoalan sebenarnya pada faktor praksis. Kurikulum kurang terimplementasikan dengan baik dalam praktik pendidikan dan pembelajaran. Berbeda dengan KTSP, sungguhpun Kurikulum 2013 sangat menekankan kompetensi anak dalam membaca dan menulis melalui pembelajaran berbasis teks, kurikulum ini tidak mematok target minimal buku yang harus dibaca siswa. Dilihat dari sisi ini, tampak kegamangan Kurikulum 2013. Secara berpikir sederhana pun tentu dapat dipahami bahwa jika para siswa dituntut mampu memproduksi tulisan atau menulis, maka tentu mereka harus banyak membaca. Melalui aktivitas banyak membaca para siswa akan mendapat banyak inspirasi, memiliki gagasan dan wawasan yang kaya, dan sekaligus memperoleh banyak model tulisan yang baik. Berkenaan dengan pembelajaran sastra pada Kurikulum 2013, Taufiq Ismail mengemukakan kegalauannya. Setelah membaca buku pelajaran bahasa Indonesia untuk siswa SMP kelas VII dan SMA kelas X Taufiq Ismail (2013) menyatakan “para linguis yang mendominasi kurikulum dan buku teks ini menghalangi anak bangsa menikmati pusaka sastra yang ditulis sastrawan Indonesia, merintangi mereka mereguk karya sastra yang akan menjadikan mereka cendekia, dan mencegah mereka memperoleh pencerahan batin dalam pertumbuhan kepribadian menjelang usia dewasa.” Jika guru, pengawas, dan pengambil kebijakan pendidikan gagal memahami persoalan di atas serta tidak ada ikhtiar sungguh-sungguh dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013, maka upaya mewujudkan budaya literasi yang telah digagas dan dirumuskan secara “indah” tersebut akan mengalami nasib yang sama. Guru sebagai pihak yang berada di garda depan pendidikan dan pembelajaran harus benar-benar mampu menyesuaikan pola pikir dan pola tindak sebagaimana yang dikehendaki oleh kurikulum. Pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks membawa banyak implikasi. Implikasi penting pertama adalah guru sebagai fasilitator dan model hendaknya memiliki kebiasaan, minat, dan budaya baca dan dengannya guru akan memiliki kemampuan membaca. Dengan kemampuan membaca itu, guru akan memiliki kemampuan ekspresif, yakni menghasilkan teks secara lisan maupun tulis. Kemampuan itu menjadi modal penting baginya untuk dapat mengajar dan memfasilitasi siswa untuk belajar memahami dan menghasilkan teks. Implikasi kedua adalah berkenaan dengan pilihan pendekatan dan metode pembelajaran. Guru hendaknya memiliki kemampuan memilih dan menerapkan pembelajaran yang sesuai agar siswa mampu menghasilkan 11
berbagai jenis teks yang diharapkan. Guru dituntut untuk mampu menghadirkan pembelajaran yang bermakna dengan selalu memperhatikan konteks. Selain itu, guru diharapkan menjadi model yang baik. Guru harus benar-benar bisa memastikan bahwa pembelajaran yang dilakukan merupakan suatu interaksi edukatif yang mampu mematik dan memfasilitasi para siswa mampu menghasilkan teks yang baik. Guru, ditegaskan oleh Suwandi (2013d), hendaknya berupaya secara terusmenerus meningkatkan kemampuannya untuk men jadi guru hebat yang mampu menginspirasi siswa agar mereka terlibat secara aktif, kooperatif, dan bertanggung jawab dalam pembelajaran. Harmin dan Toth (2012: 7) menyarankan lima potensi siswa yang dapat diarahkan guru. Lima kemampuan itu adalah dignity (martabat), energy (energi), self management (manajemen diri), community (komunitas), dan awareness (kepedulian) yang disingkat DESCA. Semua siswa dilahirkan dengan kemampuan untuk hidup dengan martabat, untuk melakukan semua tugasnya dengan berenergi, melakukan manajemen diri dengan semestinya, bekerja dengan komunitas orang lain, dan untuk peduli terhadap segala hal yang terjadi di sekitar mereka.
E. Penutup Penyempurnaan kurikulum belumlah selesai tatkala dokumen kurikulum itu telah dirumuskan dan disepakati. Munculnya “kurikulum baru” tentu memunculkan sejumlah konsekuensi yang harus kita pikul. Penyempurnaan kurikulum memunculkan sejumlah implikasi, baik yang bertalian dengan perencanaan, pelaksanaan pembelajaran, dosen, mahasiswa, penyiapan sarana-prasarana, maupun penilaiannya. Untuk itu, yang penting untuk disadari oleh semua pihak adalah kurikulum—betapapun baiknya, belum menjamin keberhasilan pendidikan dan pengajaran. Terlebih jika sejak awal kita sadari bahwa masih terdapat sejumlah rumpang dalam Kurikulum 2013. Kita perlu mengkritisinya secara bertanggung jawab dan melakukan perbaikan atas kekurangan yang ada. Pada akhirnya, komitmen dan profesionalitas kitalah sebagai faktor penting yang akan menentukan keberhasilan pelaksanaan kurikulum tersebut. Semoga upaya mengembangkan budaya literasi yang kita lakukan membuahkan hasil.
Daftar Pustaka Bandura, A. 1977. Social Learning Theory. New York: General Learning Press. Depdiknas. 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama Ditjen Dikdasmen. ________. Depdiknas. 2006a. Permendiknas 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Jakarta. ________. 2006b. Permendiknas 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta. Harmin, Merrill dan Toth, Melanie. 2012. Pembelajaran Aktif yang Menginspirasi, Buku Pegangan Lengkap untuk Guru Masa Kini, terj Bethari Anissa Ismayasari. Jakarta: Indeks. Harras, Kholid A. 2011. “Mengembangkan Potensi Anak melalui Program Literasi Keluarga”, Jurnal Artikulati Vol. 10 No. 1.
12
Ismail, Taufiq. 2013. “Mendidik Anak Bangsa Cintai Membaca Buku dan Piawai Mengarang” Horison Edisi Juni. Kemendikbud. 2013a. Kurikulum 2013 Kompetensi Dasar Sekolah Dasar (SD)//Madrasah Ibtidaiyah (MI). Jakarta. ________. 2013b. Kurikulum 2013 Kompetensi Dasar Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs). Jakarta ________. 2013c. Kurikulum 2013 Kompetensi Dasar Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA). Jakarta. _______. 2013d. Modul Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013 SMA/MA dan SMK/MAK Bahasa Indonesia. Mahsun. 2013. “Pembelajaran Teks dalam Murikulum 2013.” dalam Media Indonesia 16 April. Oliva, Peter F. dan Gordon, William. 2013. Developing the Curriculum. Eight Edition. Boston: Pearson Education. Richards, Jack C. 2001. Curriculum Development in Language Teaching. New York: Cambridge University Press. Sayuti, Suminto A. 2013. “Pembelajaran Sastra di SMA dan Kurikulum 2013”, Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Inovasi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Kurikulum 2013 yang diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 1 Juli. Suwandi, Sarwiji. 2013a. ”Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013: Quo Vadis?” Makalah disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Purwokerto, 20 Mei. _______. 2013b. “Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Berbasis Teks dalam Kurikulum 2013”, Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Inovasi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Kurikulum 2013 yang diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 1 Juli. _______. 2013c. “Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Kurikulum 2013: Beberapa Catatan terhadap Konsep dan Implementasinya” Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Respons Kebijakan Kurikulum 2013 yang diselenggarakan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, 19 November. _______. 2013d. “Peran Guru Bahasa Indonesia yang Inspirarif untuk Mewujudkan Peserta Didik Berkarakter” Proceeding Seminar Internasional Pengembangan Peran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Mewujudkan Generasi Berkarakter. Surakarta: PBSI FKIP UNS. Takdir, Muhammad. 2012. “Pendidikan Berbasis Budaya Literasi”, Suara Pembaharuan Edisi 7 September. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
13
SEMINAR NASIONAL INOVASI PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DALAM KURIKULUM 2013
Bojonegoro, 7 Juni 2014
PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS TEKS DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK DAN UPAYA MEMBANGUN BUDAYA LITERASI
Oleh: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Universitas Sebelas Maret
PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FPBS IKIP PGRI BOJONEGORO 2014
14