PEMANFAATAN SUMBERDAYA ARKEOLOGI DALAM PEMBENTUKAN IDENTITAS DAN JATI DIRI BANGSA MENGHADAPI ERA GLOBALISASI
Oleh : Supriadi, M.A. Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin
I.
PENDAHULUAN Ketika filsafat positivisme menguasai dunia, perkembangan teknologi terjadi semakin cepat. Kemajuan dalam bidang informasi, telekomunikasi dan transportasi seakan membuka tabir batas-batas manusia dan dunia menjadi semakin kecil. Revolusi teknologi informasi, komunikasi maupun transportasi telah melahirkan apa yang sekarang disebut dengan globalisasi. Sudah tidak jelas lagi batas ruang dan waktu antar bangsa. Dunia menjadi kampung besar “Global Village” yang kejadian atau peristiwa di suatu tempat dapat terlihat dan terdengar di tempat lain pada waktu yang bersamaan. Proses globalisasi yang terjadi kemudian diiringi dengan efek yang kontradiktif (Tanudirjo, 2003). Satu sisi mengakibatkan penyeragaman (homogenisasi), disisi lain melahirkan keragaman (heterogenisasi, Friedman, 1994). Heterogenisasi dapat kita lihat dengan munculnya pribadi-pribadi yang khas dengan pola hidupnya sendirisendiri. Homogenisasi dapat kita lihat meratanya pengetahuan seseorang baik yang berada di kota besar maupun yang berada di pedesaan (Supriadi, 2005). Gaung globalisasi, yang sudah mulai terasa sejak akhir abad ke-20, telah membuat masyarakat dunia harus bersiap-siap menerima masuknya pengaruh luar terhadap seluruh aspek kehidupan bangsa. Salah satu aspek yang mendapat pengaruh adalah kebudayaan. Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Simon Kemoni, sosiolog asal Kenya mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru
1
sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi, menurut Simon Kimoni, dalam proses ini, negara-negara harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing. Seorang penulis asal Kenya bernama Ngugi Wa Thiong’o menyebutkan bahwa perilaku dunia Barat, khususnya Amerika seolah-olah sedang melemparkan bom budaya terhadap rakyat dunia. Mereka berusaha untuk menghancurkan tradisi dan bahasa pribumi sehingga bangsa-bangsa tersebut kebingungan dalam upaya mencari indentitas budaya nasionalnya. Penulis Kenya ini meyakini bahwa budaya asing yang berkuasa di berbagai bangsa, yang dahulu dipaksakan melalui imperialisme, kini dilakukan dalam bentuk yang lebih luas dengan nama globalisasi (Sumber : rendhi.wordpress.com/makalah-pengaruh-globalisasi-terhadap-eksistensi-kebudayaandaerah). Indonesia termasuk salah satu negara yang mendapat dampak globalisasi. Nilainilai yang dulu hidup dimasyarakat seolah-olah sudah tercabut dari akarnya. Pada tataran ini, menghadapi arus globalisasi Indonesia harus kembali memperkuat peranperan kebudayaan untuk identitas bangsa. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah mencari identitas dan membangun jati diri bangsa dengan memanfaatkan sumberdaya arkeologi (beberapa referensi menyamakan dengan sumberdaya budaya). II. SUMBER DAYA ARKEOLOGI Setidaknya ada tiga istilah utama yang berbeda untuk menyebut sumberdaya arkeologi. Istilah tersebut yaitu, Archaeological Resource (sumberdaya arkeologi), Cultural Heritage (warisan budaya), dan Cultural Resource (sumberdaya budaya) (Carman, 2002). Pertama, istilah sumberdaya arkeologi (Achaeological Resource), dalam penerapannya hanya mencakup situs, fakta-fakta fisik yang mencakup lansekap dari masyarakat masa lampau, serta semua fakta fisik prilaku manusia masa lampau yang dapat digunakan untuk merekonstuksi cara-cara hidup masyarakat masa lampau (Carman, 2002). Kedua, warisan budaya. Kata warisan budaya seringkali digunakan pada objek yang telah terdaftar dan dilindungi oleh hukum atau produk perundangan. Pengertian
2
dan cakupan warisan budaya sendiri, oleh beberapa orang ditafsirkan berbeda-beda. Menurut Howard (2003), warisan budaya adalah segala sesuatu yang oleh seseorang diharapkan untuk dilestarikan atau dikoleksi dengan jumlah yang terbatas. Objek warisan budaya mencakup budaya material dan alam yang mempunyai nilai dan mempunyai fungsi keduniawian (Howard, 2003). Feilden dan Jokilehto (1993), menyatakan warisan budaya adalah hasil dari sebuah proses yang bernilai, mempunyai syarat-syarat, dan dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat sekarang (Feilden dan Jokilehto, 1993). Warisan budaya adalah semua objek dan sisa bekas manusia masa lampau yang dapat memberikan gambaran tentang sejarah manusia, baik yang berada di atas permukaan tanah maupun yang di bawah air (Cleere, 1989; Trotzig, 1993 dalam Carman, 2002). Menurut Hardy (1988) warisan budaya adalah mata rantai masa lalu, yang merupakan representasi beberapa macam warisan dari generasi ke generasi yang meliputi tradisi dan budaya material (Hardy, 1988 dalam Timothy dan Boyd, 2003: 2). Dalam konvensi warisan dunia oleh Unesco, secara garis besar warisan budaya terdiri dari monumen, kumpulan bangunan dan situs. Monumen mencakup karya patung dan lukisan yang monumental, karya arsitektur, elemen atau struktur yang bersifat arkeologis, prasasti, gua hunian dan kombinasi ciri-ciri yang memiliki nilai universal dan luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau sains. Kumpulan bangunan mencakup kumpulan bangunan terpisah atau terhubung yang karena arsitektur, homogenitas, atau tempatnya dalam lansekap, memiliki nilai universal luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau sains. Situs mencakup karya manusia atau gabungan antara karya manusia dengan karya alam dan kawasan yang termasuk situs arkeologis yang memiliki nilai universal luar biasa dari sudut pandang sejarah, estetika, etonologi atau antropologi (Unesco, 2005). Ketiga, sumberdaya budaya. Sumberdaya budaya adalah hasil interaksi dan atau intervensi manusia terhadap lingkungan alam. Istilah sumberdaya budaya mencakup semua manifestasi dari manusia baik yang berupa bangunan, lansekap, artefak, literatur, seni, maupun lembaga budaya (Pearson dan Sullivan, 1995). Sumberdaya budaya, termasuk berbagai hal yang dilindungi oleh undang-undang, termasuk idea
3
atau pikiran yang dapat memberi informasi tentang aktivitas manusia masa lampau (Fowler, 1982; Lipe, 1984 dalam Carman, 2002). Menurut Aplin (2002), sumberdaya budaya adalah hasil-hasil dari proses aktivitas manusia. Hasil proses ini mencakup budaya material dan budaya non-material seperti religi dan tradisi. III. SUMBERDAYA ARKEOLOGI, IDENTITAS DAN JATI DIRI BANGSA Ada berbagai kasus yang dapat diidentifikasi bagaimana arkeologi berperan dalam politik. Beberapa negara sukses menggunakan hasil-hasil penelitian arkeologi untuk menjustifikasi rezim dan patokan territory dari masa lampau. Mussolini, diktator fasis Italia mengklaim bahwa wilayah-wilayah yang pernah dikuasai kekasairan Romawi harus menjadi wilayah Italia. Alasan ini kemudian digunakan untuk menginvasi Afrika untuk menjadikan laut Mediterania sebagai danau Italia sebagaimana yang pernah dilakukan kekaisaran Romawi. Saddam Husein membangun rezimnya dengan mensejajarkan Iraq sebagai Babilonia yang menguasai wilayah Timur Tengah pada Millenium ke-dua. Di Jerman, hasil penelitian arkeologi dijadikan sebagai alat propaganda NAZI antara tahun 1930 hingga 1940. Pada saat itu, beberapa arkeolog menggunakan style tembikar untuk mengidentifikasi kelompok etnis yang ”istimewa” dan menggunakan tinggalan tengkorak untuk melihat perbedaan ras. NAZI kemudian menggunakan hasilnya untuk membuat peta ras di Eropa dan mengidentifikasi ras arya sebagai ras yang superior. Lebih lanjut, ekskavasi yang dilakukan menemukan data bahwa artefak (mangkuk yang bergambar swastika) yang berasal (asli) Jerman ternyata juga berada di Polandia. Hal ini kemudian yang mendasari Jerman menyerang Polandia dan memicu perang dunia ke-dua (Grant, et.all, 2002). Walau kemudian faktanya bahwa swastika merupakan simbol dari indian kuno.
Foto 1. Lambang Swastika NAZI
4
Bintang Vergina yang digunakan untuk bendera Macedonia telah mendapat kritikan keras dari Yunani.
Menurutnya Bintang yang berupa simbol emas kuno
berasal dari makam Vergina pada peti emas dari makam Philip, ayah Alexander The Great dan sudah lama menjadi bagian dari identitas Yunani. Penggunaan Bintang Vergina oleh Yunani ditafsirkan sebagai ambisi teritory dan ancaman bagi identitas Yunani (Hirst, 2010). Israel, Bosnia dan India merupakan tiga tempat dimana arkeologi menjadi dasar klaim yang mengakibatkan kekerasan politik. Di Bosnia, peneliti dari Zagreb University mempublikasikan bagaimana situs-situs arkeologi di krosia dihancurkan untuk medeligitimasi keberadaan etnis tertentu. Pertarungan klaim juga terjadi di India antara Hindu dan Muslim (Grant. Et.all, 2002). Di Israel, konflik antara Palestina dan Yahudi terus berlanjut menyangkut tempat suci “ Temple Mount”. Temple Mount adalah sebuah bangunan/daerah di Jerusalem yang istimewa bagi para penganut Yahudi, Nasrani dan Islam. Yahudi menghormati tempat ini karena disinilah Tuhan menampakkan wujudNya, tempat yang diyakini akan turun Messiah lewat Western Wall (wailing wall/tembok ratapan). Western Wall sendiri dulunya adalah bagian dari Solomon Temple, kuil peribadatan yang dibangun oleh Nabi Sulaiman. Kaum Nasrani juga begitu menghormati Temple Mount karena merupakan salah satu setting pada kehidupan Yeshua of Nazareth (Jesus). Diyakini pula Messiah (Jesus) akan datang kembali di masa depan untuk menegakkan kebenaran lewat Western Wall. Ramalan yang sama dengan yang diyakini bangsa Yahudi. Sedangkan Muslim pernah menjadikan Masjid Al-Aqsa sebagai kiblat (sebelum akhirnya Muhammad memindahkan kiblat ke Ka'ba, Mekah). Masjid Al-Aqsa yang berada di lokasi tersebut juga menjadi persinggahan Muhammad ketika melakukan perjalanan spiritual Isra' Mi'raj. Jerusalem dianggap sebagai kota suci ketiga setelah Mekkah dan Madina (Reynold, 2007).
5
Gambar 1. Peninggalan Arkeologi dan Bangunan Suci di Jerusalem (Sumber : http://news.bbc.co.uk/ 2/hi/middle_east/6347 077.stm.)
Penerapan arkeologi untuk kepentingan politik juga juga digunakan oleh Amerika untuk melegitimasi Euro-American sebagai Native American. Berbeda dengan beberapa negara yang telah disebutkan sebelumnya, Amerika memanfaatkan museum untuk menjustifikasi identitas Euro-American sebagai identitas nasional. Museum Nasional Smithsonian Institution di Washinton , DC dijadikan sebagai simbol resmi kebangsaan. Museum ini menggambarkan tentang European Past dan negara-negara jajahannya. Euro-American past dengan penekanan pada pengembangan teknologi dan kemajuan sosial.
Penduduk asli Amerika dan masyarakat di negara-negara ketiga
ditempatkan di Museum Sejarah Alam bersama dengan tumbuhan, hewan, contohcontoh geologi sebagai bagian dari alam (Blakey, 1990). IV. PERAN ARKEOLOGI INDONESIA Melihat dari berbagai contoh negara yang sukses menggunakan sumberdaya arkeologi dalam membangun identitas dan menguatkan jati diri bangsa, sudah saatnya Indonesia melakukan hal serupa. Tidak saja bertujuan untuk mengangkat derajat
6
bangsa, tetapi juga membentengi diri terhadap efek globalisasi sehingga Indonesia tidak dihegemoni oleh imperialisme modern. Pada tahap ini, arkeologi sebagai ilmu budaya harus melakukan introspeksi dan reorientasi. Arkeologi Indonesia harus mengungkap nilai-nilai yang terkandung dibalik sumberdaya arkeologi. Tugas arkeologi kemudian menjadi penerjemah atau interpreter budaya masa lampau versi masa kini, dengan kata lain bahwa pengetahuan arkeologi harus dilihat sebagai produk sosial masa kini (Hodder, 1989). Sumberdaya arkeologi harus diinterpretasi berdasarkan konteks sosial masyarakat dan politik dewasa ini. Untuk mengungkap dimensi ideologis dan simbolis dalam budaya material peninggalan masa lampau, maka budaya material tersebut
harus dilihat sebagai
sebuah “teks”. Sebagimana teks naskah-naskah kuno atau karya sastra, pembaca teks belum tentu dapat menangkap secara tepat apa yang ingin disampaikan oleh sipembuat naskah. Kaitannya dengan arkeologi bahwa jika budaya material dilihat sebagai sebuah teks, maka arkeolog yang berfungsi sebagai penerjemah teks tersebut (Hodder, 1989; Johnson, 1999; Supriadi, 2007). Hasil-hasil penelitian arkeologi tidak lagi hanya menjadi laporan demi kesenangan arkeolog semata. Arkeolog harus turun dari “menara gadingnya” untuk memberikan penyadaran-penyadaran tentang nilai-nilai luhur bangsa ini baik kepada negara maupun masyarakat. Negara dan masyarakat harus “diingatkan” tentang budaya sendiri sebagai identitas bangsa sehingga tidak tergerus oleh globalisasi. V. PENUTUP Sebagai penutup, mungkin ada baiknya kita mulai renungkan “Apabila semua pengaruh budaya dominan masuk, merasuki kebudayaan kita, masihkah ada ciri khas kebudayaan kita? Ataukah kita justru larut dalam budaya bangsa lain tanpa meninggalkan sedikitpun sistem nilai kita? VI. KEPUSTAKAAN Aplin, Graeme. 2002. Heritage: Identification, Conservation, and Management.. Oxford: University Press.
7
Blakey, Michael L. 1990. “American Nationality and Ethnicity in Depicted Past”. Dalam P. Gathercole and D. Lowenthal (Ed). The Politics of the Past. London: Unwin Hyman. Carman, John. 2002. Archaeology and Heritage : An Introduction. London – New York: Continuum Feilden, Bernard M dan Jukka Jokilehto. 1993. Management Guidelines for World Cultural Heritage Sites. Rome, Italy: ICCROM Friedman, J. 1994. Cultural Identities and Global Process. London : Sage Publication. Grant, Jim. Sam Gorin and Neil Fleming. 2002. The Archeology Coursebook. London: Routledge. Hodder, Ian. 1989. Reading The Past.. Cambridge – New York: Cambridge University Press. Howard, Peter. 2003. Heritage: Management, Interpretation, Identity. New York – London: Continuum. Pearson, Michael dan Sharon Sullivan. 1995. Looking After Heritage Places: The Basic of Heritage Planning for Managers, Landowners and Adiministrators. Melbourne: Melbourne University Press. Supriadi, 2005. Eksistensi Undang Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan Dinamika Masyarakat. Tidak Terbit. ------------2007. “Kerangka Pikir Post Prosessual Arkeologi Relevansinya dengan Cultural Resource Management”
Dalam Bulletin Somba Opu. Makassar.
Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala.
8
Tanudirjo, Daud Aris. 2003. “Warisan Budaya untuk Semua: Arah Kebijakan Pengelolaan Warisan Budaya Indonesia di Masa Mendatang. Makalah disampaikan pada Kongres Kebudayaan V, Bukittinggi. Timothy, Dallaen J dan Stephen W. Boyd. 2003. Heritage Tourism. England: Prentice Hall. Sumber Internet : -
Reynold. 2007. http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/6347077.stm.
(diakses
tanggal 1 Desember 2010). -
http://arsmagicaarteficii.blogspot.com/2010/09/temple-mount.html
-
Sumber : rendhi.wordpress.com/makalah-pengaruh-globalisasi-terhadap-eksistensikebudayaan-daerah/
9