PELESTARIAN WAYANG BEBER SEBAGAI KESENIAN ASLI INDONESIA (STUDI KASUS DI KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR, INDONESIA) Irva Yunita, S.Hum Abstrak Wayang beber merupakan sebuah pertunjukkan seni Indonesia. Kesenian wayang beber ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan kesenian wayang lainnya. Namun, dengan adanya perkembangan teknologi informasi yang saat ini menampilkan berbagai hiburan dengan kemasan modern dan menari, kesenian wayang beber ini menjadi kurang diminati, khususnya oleh para generasi muda. Sebagai kesenian asli Indonesia, wayang beber perlu dilestarikan. Terkait hal itu, penelitian ini membahas bagaimana upaya pelestarian wayang beber di Kabupaten Pacitan sebagai asal perkembangannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara-cara apa yang telah dilakukan oleh pemerintah dan warga Kabupaten Pacitan untuk melestarikan kesenian wayang beber. Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus deskriptif. Informan yang digunakan berjumlah tiga orang. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi non-partisipan, wawancara, dan studi dokumen. Hasil penelitan ini adalah penjelasan tentang keberadaan wayang beber yang masih cukup eksis karena masih sering muncul di berbagai peristiwa, baik di Kabupaten Pacitan maupun luar daerah Pacitan. Untuk pelestarian fisik wayang beber tidak ada perawatan khusus dan masih terbilang tradisional. Sementara itu, pelestarian kesenian dilakukan dengan cara menbentuk atau menciptakan dalang-dalang baru, melakukan work shop wayang beber, membuat berbagai kegiatan pengenalan wayang beber kepada generasi muda melalui komunitas guru sastra, menampilkan kesenian wayang beber ke beberapa media lain seperti penampilan dalam seni lukis, seni tari, dan media seni lainnya yang modern dan kontemporer. Selain itu, pihak Perpustakaan Kabupaten Pacitan juga berusaha untuk menyediakan informasi yang berkaitan dengan wayang beber dalam bentuk koleksi cetak meskipun informasi yang disediakan masih terbatas. Perpustakaan juga berencana untuk menyediakan informasi wayang beber dari bentuk lain seperti rekaman pementasan wayang beber dan kisahnya dalam format CD. Dengan demikian, diharapkan para generasi muda lebih tertarik untuk menikmati kesenian tradisional ini sehingga wayang beber tetap bisa dijaga kelestariannya sebagai kesenian Indonesia. Kata kunci: wayang beber, perpustakaa, kesenian Abstract Wayang Beber is Indonesia performing art. The art of Wayang Beber has its own uniqueness from other puppet art, but with the development of information technology, which is currently featuring a variety of entertainment with modern and attractive packaging, thus by making Wayang Beber art is becoming less desirable, especially by the younger generation. As the original art Indonesia, Wayang Beber needs to be preserved. Related to that, this study discusses how the conservation efforts Wayang Beber in Pacitan, which is a growing area of origin Wayang Beber. With the purpose of this study to determine ways what has been done by the government and citizens of Pacitan in preserving the art of Wayang Beber. This study used a qualitative research design with a descriptive case study. Informants were used in this study a number of three persons. Data collection techniques used by non-participant observation, interviews and document study. Results of this research explain the existence of Wayang
VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
139
Beber still exist, because they often appear in various events both within and outside the region Pacitan Pacitan.The physical preservation of Wayang Beber does not has special treatment and still fairly traditional, while the preservation of art done either by printing puppeteers new, do a work shop on the Wayang Beber, makes a variety of activities in introducing Wayang Beber beber to the younger generation through community literature teacher, featuring art Wayang Beber to some other media, such as shown in painting, dancing, and other art media are modern and contemporary. In addition, from the Library of Pacitan also seeks to provide information related to the puppet Beber in the form of printed collection, although information ynag provided is limited, but the library also has plans to provide information wayang Beber of other forms, such as recording Wayang Beber and story in CD format. It is hoped the younger generation is more interested in enjoying this traditional art so Wayang Beber can still be preserved as an Indonesian Art. Keys word : 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pada abad ke-21 ini ini perkembangan teknologi berjalan sangat cepat. Perkembangannya berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Hampir segala sesuatu yang ada di dunia ini selalu berhubungan dengan teknologi. Bahkan, dapat dikatakan bahwa teknologi menjadikan manusia menjadi ketergantungan padanya. Perkembangan teknologi tersebut juga membantu pekerjaan manusia. Mulai dari pekerjaan rumah tangga, kantor, pendidikan, industri, dan sebagainya. Namun, salah satu perubahan yang cukup menonjol dari munculnya teknologi adalah perubahan yang terjadi pada dunia seni. Dalam dunia seni peran teknologi sangatlah besar. Dengan adanya perkembangan teknologi saat ini, kesenian yang ada menjadi lebih beraneka ragam dan telah mengalami perubahan. Seni tari, drama, sastra, dan sebagainya telah disesuaikan dengan perkembangan zaman yang ada. Misalnya, kemunculan film animasi merupakan sebuah contoh adanya peranan teknologi dalam pembuatan sebuah seni pertunjukkan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perkembangan teknologi menjadikan dunia seni semakin berkembang. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa kemunculan berbagai kesenian-kesenian yang baru tidak menutup kemungkinan akan menggeser kesenian-kesenian tradisional yang telah ada dari zaman dulu. 140
Kemungkinan akan pergesesan keberadaan kesenian tradisional dengan kesenian modern saat ini tentu tanpa alasan. Masyarakat Indonesia, khususnya para pemuda lebih menyukai keseniankesenian modern seperti film, musik masa kini, dan sebagainya. Hal ini tentu mengkhawatirkan bagi bangsa kita. Sebuah kesenian tradisional tentu saja sebuah aset bagi bangsa kita. Sudah seharusnya kita memikirkan pelestariannya agar kesenian tersebut tetap ada dan diminati oleh masyarakat Indonesia. Hal tersebut bukanlah hal yang mudah mengingat jenis kesenian tradisional di Indonesia yang cukup banyak jumlahnya. Namun, hal ini bukanlah alasan untuk tidak melestarikan kesenian asli Indonesia. Pelestarian kesenian khususnya untuk kesenian asli Indonesia tentu merupakan hal yang sangat penting. Semua kesenian Indonesia tentu harus dijaga kelestariannya agar tidak ditinggalkan oleh masyarakat. Salah satu kesenian yang perlu dilestarikan adalah wayang karena wayang merupakan kesenian asli Indonesia. Bahkan, UNESCO telah menetapkan bahwa wayang Indonesia merupakan warisan budaya dunia tidak benda yang perlu dilestarikan (Aizid, 2012:35). Sayangnya, generasi muda saat ini terkesan acuh terhadap keberadaan warisan budaya Indonesia tersebut. Pertunjukkan wayang tentu tidak asing lagi bagi pencinta wayang. Seseorang yang tidak VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
pernah melihat pertunjukkan ini akan merasa asing khususnya para generasi muda atau yang belum pernah melihatnya. Hal tersebut tentu miris sekali karena wayang merupakan kesenian asli Indonesia. Aizid (2012:7) menyatakan bahwa wayang merupakan sebuah seni budaya asli Indonesia yang telah mengakar kuat dalam kehidupan mitologi masyarakat Indonesia khusunya pulau Jawa sehingga keberadaan wayang ini tentu saja perlu dilestarikan. Wayang memiliki banyak jenis. Salah satu jenis wayang yang unik adalah wayang beber. Menurut Suharyono (2005:39), wayang beber adalah jenis wayang yang unik dan khas karena wayang beber merupakan suatu pertunjukkan wayang dengan gambar-gambar sebagi objek pertunjukkannya dan dipertunjukkan dengan cara membentangkan gulungan. Namun, keberadaan wayang beber ini semakin hari semakin menurun dan kurang diminati oleh masyarakat. Wayang beber semakin surut dan mengalami kelangkaan (Suharyono, 2005:67). Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam makalah ini akan dibahas mengenai pelestarian wayang beber. Masalahnya akan dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimana keberadaan wayang beber saat ini? 2. Bagaimana cara pelestarian fisik wayang beber? 3.Bagaimana cara pelestarian kesenian wayang beber supaya tidak mengalami kepunahan? 1.2 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2014 di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, Indonesia 2. Landasan Teori 2.1 Wayang 2.1.1 Pengertian dan Jenis-jenis Wayang
VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
Kata wayang telah sering kita dengar, namun terkadang kita kurang paham akan definisi atas wayang itu sendiri. Aizid (2012:19) menjelaskan bahwa wayang berasal dari kata wayangan atau bayangan, yang berarti sumber ilham. Yang dimaksud ilham di sini adalah ide dalam meggambarkan wujud tokohnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, wayang berarti boneka tiruan orang dan sebagainya yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memamerkan tokoh dalam pertunjukkan tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dsb) yang biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang. Wayang memiliki banyak jenis, yaitu wayang madya, wayang klitik, wayang beber, wayang gedog, wayang golek, wayang suluh, wayang titi, wayang wahyu, wayang orang, wayang suket, dan wayang pancasila. Dari berbagai jenis wayang tersebut, wayang beber merupakan wayang yang dianggap paling unik. Suharyono (2005:39) menyatakan bahwa wayang beber adalah jenis wayang yang unik dan khas karena wayang itu merupakan suatu pertunjukkan wayang dengan gambar-gambar-gambar sebagi objek pertunjukkannya dan dipertunjukkan dengan cara membentangkan gulungan. 2.1.2 Wayang Beber Wayang beber merupakan sebuah kesenian budaya Indonesia, namun tidak banyak orang mengetahui akan hal itu. Bahkan, generasi muda saat ini ada yang belum mengetahui apa itu wayang beber. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, wayang beber adalah wayang berupa lukisan yang dibuat pada kertas gulung dan yang dimainkan dengan cara membeberkannya kertas gulung itu yang berisi cerita inti dari lakon yang akan dikisahkan oleh dalang. Aizid (2012: 42-43) menyatakan bahwa wayang beber adalah wayang berbentuk lembaran-lembaran (beberan). Tiap beberan merupakan satu adegan cerita. Jika sudah tidak dimainkan maka wayang bisa
141
digulung. Wayang ini di buat pada zaman kerajaan Majapahit. Wayang beber merupakan seni wayang yang muncul dan berkembang di Jawa pada Masa pra-Islam dan masih berkembang di daerah-daerah tertentu di pulau Jawa. Wayang beber asli sampai sekarang masih bisa dilihat di daerah Pacitan dan di daerah Gunung Kidul. Mulyono, (1978:150) juga menjelaskan bahwa wayang beber merupakan sebuah cerita gambar yang dilukiskan berwarnawarni pada segulung kertas. Gulungan kertas ini menurut dan menunjuk gambar yang bersangkutan. Jadi, wayang beber ini dapat dikatakan sebagai sebuah pertunjukkan yang sederhana. Suharyono (2005:41) berpendapat bahwa wayang beber pada zaman dahulu dibuat dari kulit kayu sebagi media lukisnya dan wayang beber dari bahan kulit kayu telah ada sejak zaman Majapahit. Sayangnya, tidak ada kepastian tentang kemundulannya. Ada beberapa keterangan mengenai kemunculan wayang beber ini. Serat Satramiruda dalam Mulyono, (2005:51) menyebutkan bahwa asal-usul wayang beber dimulai sejak zaman kerajaan Jenggala. Bentuk wayang beber masih berupa gambar-gambar pada daun siwalan atau rontal (ron berarti ‘daun’ dan tal ’siwalan. Gambar-gambar narasi cerita wayang dilukiskan pada helaian rontal yang disebut wayang rontal. Cara melukisnya dengan digariskannya pada rontal yang masih basah. Lama-lelamaan helaian daun ini akan mengering menjadi keras dan tahan lama. Garisan yang dilukiskan pada daun ini akan membekas dan sukar hilang, menjadi gambargambar yang terlukis pada permukaan rontal. Helaian rontal dirangkai menjadi sejenis buku dengan tali atau benang. Wayang rontal ini masih banyak tersisa di Bali dan d Jawa. Di Bali wayang rontal ini disebut keropak dan di Jawa disebut kropyak. Wayang rontal ini yang menurut Serat Sastramiruda dianggap sebagai nenek moyang wayang beber. Sedangkan menurut Ismunandar (1988: 13) menjelaskan pada awal abad ke-12 sekitar tahun 1130, Prabu Mahesa Tandrema menjadi Raja
142
Pajajaran, menyuruh merubah dan memperbesar gambar wayang Purwo, dan membuat pula riwayant Jenggala. Gambar tadi dibuat dari kulit kayu ynag diambil dari daerah ponorogo. disebelah kanan dan kiri gambar tadi diikat sepotong kayu untuk menggulung dan membuka gambar tadi. Selain dari kulit kayu, gambar-gambar tadi juga dibuat di atas kertas jawi (gedog) pada tahun 1165 yang ditandai dengan Candra Sengkala. Pertunjukkan seperti itu kemudian berkembang di Majapahit. Ismunandar (1988:14) juga menyebutkan bahwa kesenian wayang beber ini lama-kelamaan telah sulit ditemuai, kecuali di daerah-daerah tertentu seperti di Komering (Sumatera Selatan) yang disebut sebagai wayang Warahan dan wayang beber Pacitan di daerah Pacitan Jawa Timur. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa wayang beber merupakan sebuah petunjukan seni kubudayaan daerah dengan mempertunjukkan wayang yang berupa lembaran-lembaran (beberan) yang di dalam lembaran-lembaran tersebut terdapat sebuah cerita. Mengenai asalusul wayang beber ini tidak dapat diketahui secara pasti. Pementasannya hanya dapat ditemui di daerah tertentu, yaitu di daerah Pacitan. 2.1.3 Wayang Beber Pacitan Menurut Sunggingan dalam Suharyono, (2005: 41), wayang beber Pacitan merupakan wayang beber kuno yang masih ada hingga saat ini. Wayang Berber kuno ini dilukis dengan teknik sungging pada lembaran kertas gedhog, yaitu kertas buatan orang Jawa asli dari daerah Ponorogo (Suharyono, 2005:41). Kertas gedhog ini diketahui sudah dibuat pada masa akhir Majapahit. Bahan kertas dibuat dari kayu galuga. Asal-usul wayang beber ini menurut Marsudi dalam Susanto (2012:23) berdasarkan versi dalang sekaligus pemiliknya adalah sebagai berikut. Pada zaman dahulu ada sebuah daerah yang bernama Wukir Donorojo yang terletak di wilayah pegunungan Kidul di selatan Pulau Jawa yang masih masuk dalam daerah Majapahit. Di daerah itu ada seorang pertapa sakti bernama Naladerma.
VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
Pada saat itu, Putri Raja dari Prabu Brawijaya sakit keras dan tidak ada seorang tabib pun yang mampu menyembuhkan penyakitnya. Oleh karena hal itu, sang Raja kemudian membuat sayembara. Ki Naladerma yang merasa memiliki kemampuan untuk menyembuhkan putri raja kemudian menghadap Tumenggung Buto Ijo dan mereka sepakat untuk menghadap Prabu Brawijaya. Ki Naladerma kemudian bertapa. Setelah itu, sang putri sembuh dari sakitnya. Prabu Brawija pun sangat senang putrinya telah sembuh. Sebagai imbalan Naladerma dipersilahkan mengajukan pemintaan pada Prabu Brawijaya. Naladerma meminta agar raja memberikan pengetahuan pada dirinya. Akhirnya, Prabu memberikan pelajaran mendalang wayang beber beserta perangkatnya dengan harapan pengetahuan tersebut dapat dijadikan sarana mencari nafkah sampai turuntemurun. Sejak itulah wayang beber lakon Joko Kembang dibawa ke wilayah Donorojo Kabupaten Pacitan. Cerita yang dipentaskan dalam wayang beber Pacitan ini menurut Bodogri dalam Susanto (2012:22) adalah bahwa wayang beber Pacitan terdiri dari enam gulungan yang merupakan seperangkat lakon utuh cerita Panji yang berjudul “Joko Kembang Kuning”. Pagelaran wayang beber ini menggunakan orkes pengiring yang tidak lengkap, yaitu hanya terdiri dari rebab, kendang, kethuk, kenong, kempuk, dan gong. Pertunjukkannya biasanya diadakan kalau ada bahaya, penyakit menjalar, dan lain-lain. Hal seperti ini disebut dengan ngruwat (Ismunandar: 1988:15). Wayang beber merupakan milik sebuah keluarga Naladerma. Beliau merupakan dalang pertama wayang beber. Dalang wayang beber tersebut pun selalu turu-temurun. Dalang-dalang wayang Pacitan menurut Ismunandar (1988:15) adalah Naladerma, Nolowongso, Citrowongso, Gendayuda, Singowongso, Trunodopo, Gondolosano, Dipoloseno, Palsono, Resosetiko, dan Gunokoyo
VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
2.2 Pelestarian Berdasarkan penjelasan mengenai wayang beber, pelestarian wayang beber ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pelestarian secara fisik wayang beber itu sendiri karena di atas telah dijelaskan bahwa wayang beber terbuat dari kertas dan pelestarian dari segi keberadaannya agar tidak punah. 2.2.1 Pelestarian Fisik Wayang Beber Wayang beber ini juga termasuk bahan pustaka karena bahannya yang telah disebutkan sebelumnya berasal dari kertas gedhog ‘kertas yang berasal dari kulit kayu’. Menurut Martoadmojo (2010:1--15), yang termasuk bahan pustaka adalah perekam hasil budaya manusia dari berbagai media, yaitu tanah liat, papyrus, kulit kayu, daun tal atau lontar, kayu, gading, tulang, batu, logam, mental, kulit binatang, pergamen dan vellum, leather, kertas, papan, film, pita magnetik, disket, video disk, dan lain-lain. Meskipun tidak semua bahan tersebut digunakan media perekam saat ini, itu semua termasuk dalam bahan pustaka. Pelestarian bahan pustaka lebih condong pada pelestarian bahan pustaka di perpustakaan. IFLA dalam Martoadmodjo (2010:1) menyatakan bahwa pelestarian adalah mencakup semua aspek usaha melestarikan bahan pustaka, keuangan,ketenangan, metode, dan teknik, serta penyimpanannya. Namun, bukan berarti pelestarian ini hanya dilakukan dalam koleksi perpustakaan semata. Tujuan pelestarian bahan pustaka adalah untuk mengusahakan agar bahan pustaka tidak cepat mengalami kerusakan (Martoadmodjo (2010:1.5). Hal tersebut tentu sesuai dengan pelestarian wayang beber agar tidak rusak mengingat bahan wayang beber juga berasal dari kertas. Kerusakan bahan pustaka tentu disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu sebagai berikut ini: 1. faktor biologi, misalnya serangga (rayap,
143
kecoa, kutu buku), binatang pengerat, dan jamur; 2.faktor fisika, misalnya cahaya, udara/debu, suhu, dan kelembapan; 3. faktor kimia, misalnya zat-zat kimia keasaman, dan oksidasi; dan 4. faktor-faktor lain, misalnya banjir, gempa bumi, api, manusia (Martoadmodjo, 2010:2.3). Dalam upaya pelestarian bahan pustaka, diperlukan berbagai cara pencegahan kerusakan bahan pustaka, antara lain (i) fumigasi, yaitu sebuah cara melestarikan bahan pustaka dengan cara mengasapi bahan pustaka agar jamur tidak tumbuh, binatang mati, dan perusak bahan pustaka lainnya terbunuh; (ii) deadifikasi, yaitu kegiatan pelestarian bahan pustaka dengan cara menghentikan proses keasaman yang terdapat pada kertas; (iii) laminasi, yaitu sebuah kegiatan melapisi bahan pustaka dengan kertas khusus, agar bahan pustaka menjadi awet; dan (iv) enkapsulasi, yaitu suatu cara melindungi kertas dari kerusakan yang bersifat fisik, misalnya rapuh karena umur, pengaruh asam, karena dimakan serangga, kesalahan penyimpanan, dan sebagainya (Martoadmodjo, 2010: 4.3--4.22). Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa pelestarian wayang beber dari fisik dapat dilakukan dengan cara enkapsulasi, yaitu sebuah kegiatan perlindungan kertas yang bersifat fisik (rapuh karena umur) mengingat usia wayang beber sudah sangat tua. 2.2.2 Pelestarian Kesenian Wayang Beber Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelestarian adalah suatu perlindungan dari kemusnahan atau kerusakan. Muis (2009) berpendapat bahwa pelestarian adalah suatu usaha atau kegiatan untuk merawat, melindungi, dan mengembangkan objek pelestarian yang memiliki nilai guna untuk dilestarikan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pelestarian
144
merupakan kegiatan perawatan, perlindungan, dan pengembangan terhadap sesuatu agar tidak rusak dan punah. Seperti yang telah kita bahas sebelumnya bahwa wayang beber ini merupakan sebuah kesenian daerah sehingga pelestariannya ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Menurut Suwajibastomi (1990), kesenian daerah (tradisional) ini dapat dilestarikan dalam dua bentuk. Pertama adalah berbentuk culture experience, yaitu pelestarian kesenian daerah yang dilakukan dengan cara terjun langsung ke dalam sebuah pengalaman kultural. Contohnya, jika kesenian tersebut berbentuk tarian, masyarakat dianjurkan untuk belajar dan berlatih dalam menguasai tarian tersebut. Kedua adalah berbentuk culture knowledge, yaitu pelestarian kesenian daerah (tradisional) yang dilakukan dengan cara membuat suatu pusat informasi mengenai kebudayaan yang dapat difungsionalisasi ke dalam banyak bentuk. Tujuannya adalah untuk edukasi ataupun untuk kepentingan pengembangan kesenian daerah (tradisional) itu sendiri. Dalam kegiatan inilah seharusnya perpustakaan berperan. Undang-undang Republik Indonesia No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan dalam Pasal 22 tersirat bahwa pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota menyelenggarakan perpustakaan umum daerah yang koleksinya mendukung pelestarian hasil budaya daerah masing-masing dan memfasilitasi terwujudnya masyarakat pembelajar sepanjang hayat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pelestarian kesenian wayang beber ini dapat dilakukan dengan cara berlatih langsung dalam kesenian tradisional, dapat pula memberikan edukasi kepada generasi muda mengenai kesenian tradisional, dan berusaha menyediakan koleksi terkait dengan wayang beber. 3. Metode Penelitian Penelitan ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Tohirin (2012:3), penelitian kualitatif adalah sebuah penelitian yang
VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian seperti perilaku, tindakan, dan lain-lain secara holistik dengan cara mendeskripsikannya dalam bentuk uraian kata-kata. Penelitian ini menggunakan tiga orang informan yang memiliki pemahaman lebih terhadap keberadaan wayang beber serta upaya pelestariannya. Satu orang informan merupakan Kepala Seksi Kebudayaan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Pacitan, satu informan lainnya berasal dari keluarga keturunan pemilik wayang beber yang sekarang menyimpan wayang beber tersebut, dan satu orang pustakawan yang bekerja di Perpustakaan Kabupaten Pacitan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi non-partisipan, wawancara, dan kajian dokumen. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. 4. Pembahasan 4.1 Keberadaan Wayang Beber Pacitan Saat Ini. Berdasarkan hasil yang diperoleh saat wawancara dengan dua informan, jawaban mengenai asal-usul kedua informan tersebut pun sama, yakni wayang beber merupakan pemberian Raja Kerajaan Majapahit kepada Naladerma sebagai hadiah karena dapat menyembuhkan putri raja yang saat itu sedang sakit. Pak R. Katno sebagai informan juga menambahkan bahwa dalang wayang beber saat ini sudah sudah mencapai generasi ketiga belas. Wayang beber ini pun menurut informan (Mbah Marno) yang merupakan keluarga keturunan wayang beber mengatakan bahwa wayang beber saat ini sudah cukup terkenal. Beliau sering ke luar kota untuk menghadiri undangan pementasan wayang beber. Informan lain (Pak R.Katno) mengatakan bahwa tiap tahun Dinas Kabupaten Pacitan menampilkan pementasan wayang beber pada peristiwa-peristiwa tertentu, seperti hari jadi
VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
kota Pacitan, dan hari-hari besar lainnya. Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa wayang beber Pacitan sering mendapat undangan sampai tingkat nasional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kesenian wayang beber Pacitan ini masih cukup eksis. Hal tersebut dibuktikan masih seringnya undangan untuk pementasan wayang beber pacitan, baik dalam kota maupun luar kota. Di tambah lagi adanya peristiwa-peristiwa rutin yang selalu menampilkan kesenian wayang beber tiap tahunnya. Dengan demikian, keberadaan wayang beber saat ini tidak hanya digunakan sebagai kegiatan ngruwat saja seperti jaman dulu. 4.2 Pelestarian Fisik Wayang Beber Seperti yang telah dijelaskan pada kajian teori, wayang beber merupakan wayang yang berbentuk beberan dan berasal dari kertas sehingga tentu saja perlu dilestarikan secara fisik. Berdasarkan data yang diperoleh dari kedua informan, yaitu mbah Marno dan Pak R. Katno, tidak ada perawatan khusus yang dilakukan untuk melestarikan wayang beber ini. Wayang beber ini hanya disimpan pada sebuah kotakan yang terbuat dari kayu yang dibelah menjadi dua. Bentuknya bulat memanjang yang kemudian disimpan dalam sebuah ruangan khusus bersama peralatan wayang beber lainnya. Tidak ada perawatan khusus pada wayang beber karena para informan berpendapat bahwa kertas yang dijadikan untuk membuat wayang beber sangatlah tebal. Usianya telah bertahun-tahunpun. Menurut salah satu informan, wayang beber hanya mengalami kerusakan yang tidak berarti karena lama keberadaan wayang beber saja. Dengan demikian dapat disimpulkan, perawatan wayang beber secara fisik belum dilakukan. Wayang beber hanya diletakkan di sebuah kotakan dari belahan kayu saja tanpa memperhatikan faktor-faktor yang dapat menjadikan kerusakan pada wayang beber. Meskipun demikian, wayang beber masih dalam keadaan baik karena faktor bahan pembuat kertas wayang beber. Dapat pula dikatakan bahwa perawatan wayang beber ini masih bersifat tradisional. 145
4.3 Pelestarian Kesenian Wayang Beber 4.3.1 Culture Experience Berdasarkan dari data yang telah diperoleh, kegiatan pelestarian wayang beber diawali dengan minat seseorang belajar langsung mengenai wayang beber secara langsung yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga dengan cara menyiapkan seseorang untuk belajar mendalangkan wayang beber kepada dalang keturunan wayang beber. Seorang informan (Pak R. Katno, S.Sos, M.M.) yang merupakan Kepala Seksi Kesenian, Sejarah, dan Nilai Tradisional, Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Pacitan menyatakan bahwa dinas ini telah membuat dalang baru di luar jalur keluarga keturunan wayang beber, yakni Pak Rudi dari Nanggungan untuk regenerasi wayang beber. Selain upaya tersebut, dalam upaya pelestarian wayang beber ini juga dilakukan dengan melatih dalang wayang beber baru dari keluarga keturunan wayang beber, yang sekarang masih duduk di bangku Kelas 3 SMK 1 Pacitan. Pihak keluarga keturunan Wayang beber berpendapat bahwa yang mampu mendalangkan wayang beber hanyalah dari keluarga keturunan wayang beber. Hal tersebut dibenarkan oleh informan (R. Katno, S.Sos., M.M.). Hal tersebut sama dengan data yang diperoleh dari Mbah Marno yang merupakan keluarga keturunan wayang beber yang mengatakan bahwa cucu dari mbah Mardi sedang belajar untuk menjadi dalang wayang beber. Mbah Mardi ini merupakan dalang wayang beber sebelumnya. Ada pula keponakan mbah Marno, yaitu Supani yang sudah bisa juga mendalangkan wayang beber. Supani biasanya diajak ke mana-mana oleh Mbah Maardi untuk pementasan wayang beber saat ini. Berdasarkan data-data tersebut, dapat disimpulkan bahwa cara pelestarian terkait dengan pengalaman kultural dengan terjun langsung mempelajari sesuatu dalam hal ini kaitannya dengan pelestarian wayang beber telah dilakukan oleh Dinas Kebudayaan,
146
Pariwisata, Pemuda dan Olahraga dan pihak keluarga keturunan wayang beber dengan cara mencetak dalang wayang beber baru. 4.3.2 Culture Knowledge Pelestarian wayang beber dari sisi culture knowledge ini dilakukan dengan mengedukasi wayang beber, mengebangkan wayang beber, atau membuat pusat informasi wayang beber. Upaya pelestarian wayang beber dalam sisi ini diupayakan Pemerintah Kabupaten Pacitan khususnya Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga yang sering mengadakan berbagai kegiatan yang terkait dengan wayang beber, seperti yang disampaikan oleh Informan (Pak R. Katno) bahwa kemarin Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga membuat tari massal yang dikirim ke negara dengan menggunakan properti wayang beber. Selain itu, pada tahun 2013 Bupati Pacitan mewajibkan dinas-dinas di Pacitan untuk memiliki lukisan wayang beber. Untuk anak-anak sekolah pernah dilakukan melalui komunitas guru-guru bahasa SMP untuk mengenalkan wayang beber kepada para siswa berupa dongeng. Kegiatan ini dilakukan pada tingkat sekolah menengah pertama. Hal itu sudah diprogramkan untuk tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas namun masih terkendala oleh aturan. Selain itu, juga dilakukan seni lukis wayang beber yang telah mendapatkan rekor muri sebagai wayang beber terpanjang dengan panjang 87 meter. Selain itu, terkait dengan upaya pelestarian wayang beber dari pihak keluarga juga ingin wayang beber ini dibuatkan museum khusus, seperti yang disampaikan informan (Mbah Marno). Keluarga keturunan wayang beber mengatakan bahwa keluarga keturunan wayang beber ingin membuat museum. Sebelumnya, ada pihak tertentu yang memberi janji akan membuat museum wayang beber, tapi sampai sekarang belum ada.
VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
Pelestarian wayang beber tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Pacitan dan pihak keluarga saja. Pihak luar juga ada, yakni mahasiswa ISI (Institut Seni Indonesia) Surakarta. Seperti yang disampaikan seorang informan (Pak R. Katno) bahwa pada tahun 2011 juga diadakan work shop wayang Beber oleh mahasiswa ISI Surakarta di Sanggar Warna-warni dengan peserta siswa, guru, dan mahasiswa ISI. Pelajar diundang untuk melukis wayang beber. Seperti yang telah dijelaskan dalam kajian teori, perpustakaan dapat berperan untuk melestarikan wayang beber melalui koleksi yang disediakan. Berdasarkan hasil observasi peneliti, Perpustkaan Kabupaten Pacitan hanya memiliki satu koleksi wayang beber. Menurut hasil wawancara dari Ibu Yayuk sebagai pustakwan di sana, sebenarnya perpustakaan Kabupaten Pacitan telah berupaya menyediakan koleksi-koleksi yang berkaitan dengan kesenian dan kebudayaan asli daerah Pacitan termasuk wayang beber. Namun, pada kenyataannya penulis yang membuat tulisan mengenai Kesenian Kabupaten Pacitan jarang yang menyerahkan karyanya ke perpustakaan daerah. Padahal, itu sudah ada aturannya, jelas Beliau. Selanjutnya, beliau juga menjelaskan bahwa ada rencana untuk menyediakan koleksi wayang beber dalam format selain di media cetak, seperti CD hasil pendokuntasiaan pementasan wayang beber. Menurut informan, hal tersebut juga membantu proses pembelajaran bidang seni dan budaya yang sekaligus akan melestarikan nilai kesenian lokal. Namun, hal itu belum dapat terealisaikan karena harus bekerja sama dengan instansi lain dan masih terbentur pada aturan dan kebijakan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pelestarian wayang beber dari sisi culture knowledge dapat dilakukan oleh berbagai pihak, baik dari pihak Pemerintahan Kabupaten Pacitan, keluarga keturunan wayang beber, dan pihak lain di luar pemerintah Kabupaten Pacitan dan keluarga keturunan wayang beber. Cara pelestarian dalam
VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
sisi ini melalui berbagai kegiatan yang berkiatan dengan wayang beber, seperti memaksukan properti pada pementasan kesenian lain, seperti seni tari atau lukis dan mengadakan work shop wayang beber. Selain itu, pelestarian wayang beber juga dilakukan melalui lingkungan pendidikan dengan adanya komunitas guru bahasa yang mendongengkan cerita wayang beber kepada para siswa sekolah menengah pertama. Kegiatan itu sudah diprogramkan untuk jenjang pendidikan sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas. Peran Perpustakaan Kabupaten Pacitan yang berupaya menyediakan koleksi mengenai wayang Beber merupakan bentuk pelestarian wayang beber berdasarkan informasi yang terkandung di didalamnya supaya dapat digunakan sebagai pembelajaran untuk generasi muda. Harapan adanya sebuah museum wayang beber juga merupakan sebuah upaya pelestarian wayang beber. 5. Penutup 5.1 Simpulan Keberadaan wayang beber pacitan saat ini masih dikatakan cukup eksis karena masih adanya peristiwa-peristiwa yang terkait dengannya. Pementasan wayang beber tiap tahunnya selalu diagendakan, misalnya dalam acara hari jadi Pacitan dan hari-besar lainnya. Undangan pertunjukan dan pementasannya pun ke daerahdaerah lain di luar Kabupaten Pacitan pun sering terjadi. Pelestarian fisik wayang beber tidak ada perawatan khusus. Gulungannya hanya diletakkan dalam sebuah tempat yang terbuat dari kayu yang dibelah menjadi dua. Dapat dikatakan bahwa pelestarian fisik wayang beber ini masih tergolong tradisional. Pelestarian kesenian wayang beber ini terbagi menjadi dua, yaitu dalam koteks culture experience dan culture knowledge. Culture experience adalah cara pelestarian yang
147
terkait dengan pengalaman kultural dengan terjun langsung mempelajari sesuatu. Cara pelestarian wayang beber yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga dan pihak keluarga keturunan wayang beber dengan cara menciptakan dalang wayang beber baru. Selanjutnya, pelestarian dengan culture knowledge dilakukan oleh berbagai pihak seperti Pemerintahan Kabupaten Pacitan, keluarga keturunan wayang beber, dan pihak luar Pemerintah Kabupaten Pacitan dan keluarga keturunan wayang beber. Cara pelestariannya dilakukan dengan berbagai kegiatan seperti memasukkan properti pada pementasan kesenian lain dan mengadakan work shop wayang beber. Selain itu, pelestarian wayang beber juga dilakukan melalui lingkungan pendidikan dengan adanya komunitas guru bahasa yang mendongengkan cerita wayang beber kepada para siswa sekolah menengah pertama. Kegiatan tersebut sudah diprogramkan juga untuk jenjang pendidikan sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas. Perpustakaan Kabupaten Pacitan juga berupaya menyediakan koleksi wayang beber sebagai bentuk pelestarian wayang beber berdasarkan informasi yang terkandung di didalamnya supaya dapat digunakan sebagai pembelajaran untuk generasi muda. Harapan adanya sebuah museum wayang beber juga merupakan sebuah upaya pelestarian wayang beber.
seperti dinas kebudayaan setempat dapat bekerja sama untuk melestarikan wayang beber dari segi dokumentasi dan informasi karena ketersediaan informasi kesenian lokal merupakan upaya pelestarian. Daftar Pustaka Aizid, Rizem. 2012. Atlas Tokoh-tokoh Wayang. Yogyakarta: Diva Press. Ismunandar. 1988. Wayang: Asal Usul dan Jenisnya. Semarang: Dahara Prize. Martoadmodjo, Karmidi. 2010. Pelestarian Bahan Pustaka. Jakarta: Universitas Terbuka. Mulyono, Sri. 1978. Wayang: Asal-Usul, Filsafat, dan Masa Depannya. Jakarta: Gunung Agung. Suharyono, Bagyo. 2005. Wayang Wonosari. Wonogiri: Bina Citra Pustaka.
Beber
Susanto, Andri. 2012. “Wayang Beber dan Perkembangannya”. Skripsi: Tidak diterbitkan. Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tohirin. 2012. Metode Penelitian Kualitatif dalam Pendidikan dan Bimbingan Konseling. Jakarta: Rajawali Pers.
5.2 Saran Keberadaan wayang beber harus selalu dilestarikan supaya kesenian Indonesia ini tidak mengalami kepunahan. Perawatan fisik wayang beber seharusnya lebih diperhatikan lagi mengingat usianya yang sudah cukup tua. Selain itu, tempat pelestarian wayang beber harus pada tempat khusus atau tersendiri, yaitu berupa museum wayang beber sehingga akan ada perhatian dan perawatan terhadap keberadaannya. Selain itu, pihak perpustakaan daerah juga bersama-sama dengan pihak lain yang terkait
148
Undang-Undang Republik Indonesia No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015