PELATIHAN EFIKASI DIRI UNTUK MENGURANGI STRES KERJA PERAWAT RUMAH SAKIT JIWA Siti Sholichah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Email:
[email protected] Abstract The purpose of this study was to examine the effect of self-efficacy training to decrease work-stress on the nurses. Participants of this research were nurses of mental hospital in Yogyakarta. The comparative study was condusted toward the experimental group N (N=13). The study used the untreated control group design witg pre-test and post-test model. The experimental group was the one who received self- efficacy training, while the control group did not receive the intervention. Hypothesis test used non-parametric statistical Mann-Whitney U indicated that a significant difference of work-stress between these two groups (Z = -4,036, p = 0,00; p < 0,05). Keywords : work stress, self efficacy, self efficacy training Rumah sakit adalah salah satu sarana penting untuk menunjang terlaksananya kesehatan semua lapisan masyarakat. Sebagai organisasi yang memfokuskan bisnisnya pada sektor publik, maka rumah sakit diharapkan mampu memberikan pelayanan yang prima pada masyarakat. Perawat, sebagai ujung tombak dari sebuah rumah sakit memiliki peran yang sangat penting, mengingat perawat adalah bagian dari tenaga paramedik yang memberikan perawatan kepada pasien secara langsung dan intensif. Glazer dan Beehr (2002) menyatakan bahwa secara universal perawat berada pada garis depan untuk memberikan perawatan tanpa henti pada pasien, bahkan lebih banyak daripada yang diberikan oleh dokter. Perawat memiliki tanggung jawab untuk mengawasi, melaporkan dan merawat kesehatan pasien secara konstan. Seorang perawat dituntut untuk memiliki nilai kerja yang lebih berhubungan dengan nilai kemanusiaan. Nilai kemanusiaan merupakan representasi pengembangan kognitif sebagai sebuah hasil kebutuhan biologis, kebutuhan interaksi sosial, dan tuntutan kemakmuran/kesejahteraan kelompok (Schwarzt, 1999), yang tujuannya adalah melayani sebagai prinsip yang memotivasi Jurnal Psikologi Mandiri
agar orang lain mampu bertahan hidup. American Nurses Associations (dalam Yosep, 2007) mengemukakan bahwa keperawatan jiwa merupakan area khusus dalam praktek keperawatan yang menggunakan ilmu tingkah laku manusia (seperti psikologi, sosiologi, dan komunikasi) sebagai dasar dan menggunakan diri sendiri secara terapeutik dalam meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan mental pasien dan kesehatan mental masyarakat dimana pasien berada. Penggunaan diri sendiri secara terapeutik artinya perawat jiwa membutuhkan alat atau media untuk melakukan perawatan. Alat tersebut selain berupa keterampilan teknik dan alat-alat klinik, yang terpenting adalah menggunakan dirinya sendiri (misalnya gerak tubuh, mimik wajah, bahasa, sentuhan, dan sebagainya). Caroline (dalam Yosep, 2007) menyatakan bahwa pada prinsipnya semua pasien gangguan jiwa memiliki tiga hal berikut yaitu: tidak tahu, tidak mau, dan tidak mampu. Tugas perawat adalah menambah pengetahuan pasien dengan harapan perilakunya berubah atau menjadi termotivasi. Pada kenyataannya pada profesi human service, yaitu profesi yang bergerak 39
Siti Sholichah
pada bidang jasa pelayanan kemanusiaan yang menuntut adanya keterlibatan emosi yang tinggi banyak ditemukan stres kerja (Miller dkk., 1989). Kompleksitas tugas perawat yang dijelaskan diatas tersebut menjadi beban tugas yang berat bagi perawat, yang dapat menjadi pemicu timbulnya stres. Mengutip pendapat Ree dan Cooper (Suryanita, 2001), bahwa perawat memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan anggota medis lainnya. Hal tersebut dimungkinkan karena cakupan kerja perawat yang sangat luas disertai tuntutan kerja yang berat menjadikan perawat tidak dapat menghindari tekanan. Penelitian yang dilakukan oleh Pratopo (2001) terhadap perawat di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta menunjukkan bahwa stres yang dialami perawat berada dalam kategori sedang, bahkan 8% berada pada kategori tinggi. Padahal pekerjaan sebagai perawat sangat berkaitan dengan kepuasan dan keselamatan pasien. Tingkat stres yang tinggi tersebut akan mempengaruhi perawat dalam bekerja dan dapat mendatangkan kondisi yang tidak menguntungkan bagi pasien, misalnya perawat menjadi tidak berhati-hati ketika menangani pasien karena pikirannya terganggu oleh masalahmasalah yang menimbulkan stres. Stres kerja didefinisikan sebagai reaksi fisik dan yang emosional yang membahayakan, muncul ketika tuntutan pekerjaan tidak sesuai dengan kemampuan, sumber daya atau kebutuhan dari karyawan (Sauter dkk., 1995). Selanjutnya Robbins (1996) menyebutkan bahwa stres kerja dapat menghambat performance individu dan biasanya berhubungan dengan beban kerja yang berlebihan, perasaan susah dan ketegangan emosional. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat stres dalam pekerjaan. Sejumlah literatur penelitian mengenai stres terhadap pekerjaan menunjukkan bahwa ada hubungan yang jelas antara kondisi kerja terhadap tingkat stres karyawan (Jex dkk., 1992), diantaranya adalah target yang tidak 40
realistik, jumlah jam kerja yang tinggi, gangguan dalam kantor, lingkungan eksternal, kompetisi diantara pekerja, perasaan ketidakamanan (Rojas & Kleiner, 2001), desain pekerjaan, gaya manajemen, hubungan interpersonal, peran kerja, pengembangan karir, dan kondisi lingkungan (Sauter dkk., 1995). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Higlaey dan Cooper pada tahun 1980 pada 512 manager keperawatan, menghasilkan kesimpulan bahwa beban kerja yang berlebihan, hubungan dengan staf senior, ketegangan dan konflik peran, hubungan interpersonal, menghadapi urusan kematian dan menjelang ajal merupakan sumber utama stres bagi manajer keperawatan (Abraham & Stanley, 1997). Pada banyak penelitian mengenai stres, lingkungan kerja dapat menjadi penyebab munculnya stres karyawan yang mengakibatkan kondisi psikologi , fisik dan perilaku berubah menjadi negatif. Hal tersebut menunjukkan secara eksplisit maupun implisit bahwa kondisi kerja dapat menjadi penyebab munculnya stres terhadap pekerjaan pada karyawan (Jex & Bliese, 1999). Stres dipandang sebagai suatu situasi yang menuntut seseorang di luar batas kemampuan untuk beradaptasi. Stres diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang. Ada stres yang bersifat positif, bermanfaat dan konstruktif yang disebut sebagai eustres. Ada pula stres yang berdampak negatif dan merugikan yang disebut dengan distres (Robbins, 1998). Perbedaan antara distress dan eustres ditekankan pada pembangkitan positif maupun negatif yang mengikuti munculnya stres. Ada tiga pendekatan dalam cara pandang stres (Jex, dkk., 1992), yaitu: 1. Pendekatan stimulus Menurut pendekatan ini, stres kerja disebabkan oleh adanya kondisikondisi dalam pekerjaan yang menyebabkan terjadinya stres. Kondisi pekerjaan seperti bekerja di tempat Jurnal Psikologi Mandiri
PELATIHAN EFIKASI DIRI UNTUK MENGURANGI STRES KERJA PERAWAT RUMAH SAKIT JIWA
yang sangat tinggi dan beresiko dapat dipandang sebagai stimulus yang dapat mengakibatkan munculnya stres kerja. 2. Pendekatan respon Pendekatan ini memandang bahwa stres kerja disebabkan oleh respon individu terhadap kondisi-kondisi dalam pekerjaannya. Suatu kondisi pekerjaan yang tidak mengakibatkan stres kerja pada seorang karyawan, dapat saja mengakibatkan munculnya stres kerja pada karyawan lain. Hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan respon kedua karyawan tersebut dalam menghadapi kondisi pekerjaan yang ada. 3. Pendekatan stimulus-respon Pendekatan ini memandang bahwa stres kerja muncul akibat adanya stimulus yang mengakibatkan munculnya stres dan disertai oleh respon individu yang memandang stimulus tersebut sebagai sumber stres. Penelitian ini memandang stres sebagai suatu respon dan sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungan. Stres dipandang sebagai suatu respon yang dihasilkan dari stresor yang berasal dari lingkungan yang akan mempengaruhi individu, namun demikian stres juga dipengaruhi oleh adanya individu sebagai agen aktif yang dengan upayanya mampu mempengaruhi stresor baik menggunakan strategi perilaku, kognitif maupun emosional. Stres tingkat tinggi atau strain merupakan sejumlah reaksi yang disebabkan karena stresor di tempat kerja yang sifatnya merugikan (Beehr dan Jex ; Kahn dan Byosiere ; Spector dan Jex ; dalam Jex dan Bliese, 2001). Strain kerja merupakan reaksi penolakan secara fisik, perilaku maupun psikis yang diakibatkan adanya stresor kerja (Spector dkk, 2000). Strain kerja terbagi dalam tiga kategori, kategori pertama adalah strain perilaku (behavioral), kedua, strain fisik, dan ketiga, strain psikis (Luthans, 1998 ; Robbins,1998 ; Spector, 2000). Strain perilaku adalah suatu perilaku Jurnal Psikologi Mandiri
yang dimunculkan seseorang dalam merespon stresor yang muncul di tempat kerja, misalnya berdiam diri di rumah padahal seharusnya masuk kerja atau tidak dalam keadaan sakit. Strain fisik merupakan manifestasi dari kesehatan, seperti sakit kepala atau gangguan pencernaan. Strain psikologis merupakan reaksi afektif seseorang ketika dihadapkan pada stresor. Reaksi afektif ini berupa sikap dan emosi. Reaksi afektif yang berupa sikap misalnya berupa ketidakpuasan kerja dan rendahnya komitmen terhadap organisasi,sedangkan reaksi emosi misalnya kecemasan dan frustasi (Spector, O'Connell, Chen, 2000) Hasil wawancara yang dilakukan pada bulan Juni 2011 di sebuah Rumah Sakit Jiwa di Yogyakarta menunjukkan adanya indikasi stres kerja pada perawat. Kondisi stres ini menyebabkan perawat mengalami kejenuhan, rasa bosan dalam bekerja, dan penurunan motivasi kerja perawat sehingga performa kerja yang ditunjukkan biasabiasa saja. Perawat sebagai ujung tombak rumah sakit dalam memberikan pelayanan langsung kepada pasien mempunyai tanggung jawab dan tuntutan berat dalam tugas, namun kurang diimbangi dengan penghargaan instrinsik yang memadai (meliputi: pujian, pengakuan). Perawat dalam melaksanakan tugas berada di lingkungan terbatas dan berhadapan langsung dengan orang-orang sakit sehingga mudah jenuh, jika piket malam merasa khawatir akan kondisi pasien. Disamping kondisi lingkungan, kurangnya komunikasi interpersonal antara bawahan dengan atasan, dan sesama rekan kerja misalnya komunikasi antara atasan dengan bawahan cenderung seperlunya, hanya dalam konteks memberikan instruksi. Antara perawat senior dan junior jarang berkomunikasi secara intim. Hal tersebut dipandang sebagai rendahnya usaha membina persaudaraan atau kekeluargaan dan kepedulian, sehingga situasi dalam lingkungan kerja dirasakan tidak menyenangkan dan menekan. Stres pada dasarnya adalah proses persepsi (Riggio, 2003), artinya suatu 41
Siti Sholichah
kejadian bagi individu yang satu dapat dianggap sebagai ancaman tetapi tidak bagi individu yang lain, tergantung pada persepsinya. Atau dengan kata lain sumber stres kerja bagi individu yang satu dapat menjadi ancaman, namun tidak bagi individu yang lain. Dapat disimpulkan, reaksi dan respon individu terhadap stres kerja tidak dapat disamaratakan. Penelitian ini memandang stres kerja sebagai suatu keadaan yang bersifat potensial maupun nyata yang penuh dengan tekanan dan melibatkan tuntutan fisik, psikologis serta perilaku yang diakibatkan karena peristiwa atau kondisi lingkungan pekerjaan yang sifatnya relatif karena dipengaruhi oleh penyesuaian diri individu. Ada individu yang tampaknya beresiko terhadap stres tetapi ada pula yang tidak, salah satunya tergantung dari faktor psikologis. Salah satu faktor psikologis yang digunakan untuk meningkatkan daya tahan stress adalah melalui efikasi diri. Jex dan Bliese (1999) dalam penelitiannya menemukan bahwa tinggi rendahnya stres pada individu dalam menghadapi stresor kerja tergantung tinggi rendahnya efikasi diri yang dimilikinya. Lebih lanjut, penelitiannya juga menemukan bahwa efikasi diri merupakan variabel penting dalam mempelajari hubungan antara stresor dan stres dikarenakan ada hubungan sangat kuat antara stresor, stres dan tinggi rendahnya efikasi diri. Penelitian Musfirah, Rahmahana dan Kumolohadi (2003) menemukan bahwa tingginya efikasi diri individu mampu mengurangi tingkat kecemasan dalam menggunakan komputer. Penelitian yang dilakukan oleh Jex dan Bliese (2001) menghasilkan penemuan bahwa efikasi diri memiliki peran dalam hubungan antara stresor dan stres. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan aktif menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Efikasi diri yang tinggi juga mengurangi penghindaran terhadap penyelesaian masalah yang dihadapi individu. Jex dan Bliese (1999) menemukan bahwa individu yang memiliki efikasi diri tinggi tidak bereaksi negatif 42
terhadap beban kerja yang berlebihan dibandingkan dengan individu yang level efikasi dirinya rendah. Bandura (1997) mengemukakan bahwa efikasi diri adalah keyakinan tentang sejauh mana individu memperkirakan kemampuannya dalam melaksanakan suatu tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil. Efikasi diri merupakan hasil proses kognitif berupa keputusan, keyakinan atau pengharapan individu. Individu yang merasa mampu atau memiliki efikasi diri tinggi akan melihat stresor yang ada bukan sebagai ancaman sebagaimana individu yang memiliki tingkat efikasi diri rendah memandangnya. Sementara Bandura (1997) mengatakan efikasi diri seseorang dibedakan atas dasar beberapa dimensi yang memiliki implikasi terhadap prestasi. Dimensi-dimensi tersebut adalah: 1) Magnitude atau tingkat kesulitan tugas. Hal ini berdampak pada pemilihan perilaku yang akan dicoba atau dikehendaki berdasarkan pengharapan efikasi pada tingkat kesulitan tugas. Individu akan mencoba perilaku yang dirasakan mampu untuk dilakukan. Sebaliknya ia akan menghindari situasi dan perilaku yang dirasa melampaui batas kemampuannya. 2) Generality atau luas bidang perilaku. Hal ini berkaitan dengan seberapa luas bidang perilaku yang diyakini untuk berhasil dicapai oleh individu. Beberapa pengharapan terbatas pada bidang perilaku khusus sedangkan beberapa pengharapan mungkin menyebar pada berbagai bidang perilaku. 3) Strenght atau kemantapan keyakinan. Hal ini berkaitan dengan keteguhan hati terhadap keyakinan pada diri individu bahwa ia akan berhasil dalam menghadapi suatu permasalahan. Dimensi ini seringkali harus menghadapi rasa frustasi, luka dan berbagai rintangan lainnya dalam mencapai suatu hasil tertentu. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut di atas maka efikasi diri dalam penelitian ini akan diungkap berdasarkan ketiga dimensi yang diuraikan oleh Bandura (1997) yaitu magnitude atau kesulitan tugas, generality Jurnal Psikologi Mandiri
PELATIHAN EFIKASI DIRI UNTUK MENGURANGI STRES KERJA PERAWAT RUMAH SAKIT JIWA
atau luas bidang perilaku, dan strenght atau kemantapan keyakinan. Selanjutnya dari dimensi-dimensi inilah nantinya akan diaplikasikan dalam penyusunan modul pelatihan efikasi diri yang meliputi empat materi yaitu mengenal potensi diri, membangun persepsi positif, manajemen waktu dan daya juang. Jex & Blise (1999) dalam penelitiannya menggunakan sampel besar (N=2.273) dari personal militer, hasilnya menunjukkan bahwa efikasi diri berhubungan dengan stressor dan stres kerja yang tinggi. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi tidak menunjukkan ketegangan psikologis dan fisik selama bekerja dalam waktu yang lama dan beban kerja yang berat atau berlebih dibandingkan yang memiliki efikasi diri yang rendah. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi menunjukkan perilaku yang positif dalam bentuk : lebih puas dalam bekerja untuk mengerjakan tugas (job satisfaction) daripada yang memiliki efikasi diri yang rendah. Bandura (1997) mengatakan bahwa orang yang memiliki efikasi diri tinggi mempunyai keyakinan mampu berperilaku tertentu untuk dapat mencapai hasil yang diinginkan. Orang-orang yang mempunyai efikasi diri tinggi juga lebih giat dan lebih tekun dalam berusaha dan mengatasi kesulitan, serta mengerahkan tenaga yang lebih besar untuk mengatasi tantangan, sedangkan orang yang mempunyai efikasi diri rendah cenderung mengurangi usahanya atau menyerah ketika dihadapkan pada suatu permasalahan. Orang cenderung menghindari situasi yang diyakini melampaui batas kemampuan mereka, tetapi akan melakukan tindakan yang menurut penilaiannya mampu dilakukan. Hal ini berkaitan dengan penentuan target, individu yang memiliki efikasi diri tinggi akan menetapkan target lebih tinggi dengan usaha keras untuk mencapainya. Individu tersebut kemudian akan berupaya menetapkan target yang lebih tinggi lagi bila target yang sesungguhnya telah mampu dicapai. Kegagalan dalam mencapai suatu Jurnal Psikologi Mandiri
target justru akan membuat individu berusaha lebih giat lagi untuk meraihnya kembali serta mengatasi rintangan yang membuatnya gagal dan kemungkinan akan menetapkan target lain yang lebih tinggi lagi. Individu yang mempunyai efikasi diri rendah menetapkan target yang lebih rendah pula serta keyakinan terhadap keberhasilan akan pencapaian target yang juga rendah, sehingga usaha yang dilakukan lemah. Berkaitan dengan penelitian ini, Rohmah (2006) dengan menggunakan media pelatihan efikasi diri untuk mengurangi tingkat stres pada mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas akhir, menghasilkan bahwa pelatihan efikasi diri mampu mengurangi tingkat stres pada mahasiswa yang sedang melakukan tugas skripsi. Noe (2005) menyatakan bahwa pelatihan merupakan program yang diselenggarakan oleh perusahaan untuk memfasilitasi karyawan agar memperoleh kompetensi yang berkaitan dengan pekerjaannya. Kompetensi tersebut mencakup pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang bisa meningkatkan kinerja karyawan. Ada banyak metode yang bisa digunakan dalam pelatihan, misalnya diskusi, ceramah efektif, serta proses pembelajaran langsung dan aktif dimana para peserta dilibatkan secara aktif dalam setiap sesi pelatihan. Ditambahkan oleh Nitisemito (1992) bahwa pelatihan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki dan mengembangkan sikap, perilaku, keterampilan dan pengetahuan pesertanya. Pelatihan efikasi diri ini nantinya akan disampaikan dengan metode ceramah, diskusi, dan praktek yang dilakukan langsung oleh para peserta. Silberman (1998) mengemukakan bahwa pembelajaran melalui pengalaman adalah metode yang paling efektif untuk meningkatkan pemahaman dalam proses pelatihan. Pembelajaran melalui pengalaman adalah proses belajar yang terjadi ketika subjek melakukan suatu aktivitas, kemudian subjek tersebut memperhatikan, menganalisis aktivitas yang dilakukannya itu, lalu mencari 43
Siti Sholichah
pemahaman dari analisis tersebut untuk kemudian menerapkan pengetahuan dan pemahaman tersebut dalam perilaku. Penelitian ini akan mengarah pada usaha untuk mengembangkan efikasi diri melalui pelatihan guna menghadapi stres kerja para perawat, sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : Pelatihan efikasi diri efektif untuk mengurangi stres kerja pada perawat rumah sakit jiwa. METODE PENELITIAN Subjek Subjek dalam penelitian ini adalah 26 perawat pada salah satu rumah sakit jiwa di Yogyakarta, dan memiliki kriteria sebagai berikut: (1) pegawai tetap, (2) telah bekerja di rumah sakit di tempat penelitian dilaksanakan minimal selama 1 tahun, (3) memiliki pendidikan minimal Sekolah Perawat Kesehatan. Kedua puluh enam subjek dibagi kedalam dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol secara random. Kelompok eksperimen terdiri atas 13 subjek dan mendapatkan pelatihan efikasi diri, sementara kelompok kontrol terdiri atas 13 subjek yang tidak mendapatkan perlakuan. Subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat stres kerja sedang, sedangkan untuk efikasi diri tergolong rendah dan sedang. Intervensi Perlakuan dalam penelitian ini diberikan dalam bentuk pelatihan efikasi diri. Pelatihan ini menggunakan metode experiental learning (permainan, role play, diskusi) yaitu sebuah metode pelatihan yang membuat peserta belajar melalui pengalamannya. Proses pembelajaran melalui structured experience digunakan oleh Rohmah (2006) dalam menyusun modul pelatihan efikasi diri, hasilnya diperoleh empat materi pelatihan efikasi diri yang meliputi: (1) kemampuan mengenali potensi diri; (2) kemampuan membentuk persepsi positif; (3) manajemen waktu; dan 44
(4) daya juang , materi ini diperoleh dengan menggunakan beberapa pendapat ahli dalam menyusunnya. Berdasarkan penelitian dari Rohmah (2006) tersebut peneliti mengembangkan dan menyusun kembali materi pelatihan efikasi diri sebagai bentuk intervensi untuk mengurangi stres kerja lebih lanjut dengan menyusun materi berdasarkan pada dimensi efikasi diri Bandura (1997) yang terdiri dari empat dimensi (magnitude atau tingkat kesulitan tugas, generality atau luas bidang perilaku dan strenght atau kemantapan keyakinan) kemudian dikembangkan melalui penjabaran masing-masing dimensi tersebut sehingga menjadi empat materi, antara lain: mengetahui informasi tentang kemampuan diri, membentuk persepsi positif sebagai upaya persuasi kognitif dalam menghadapi tuntutan pekerjaan, manajemen waktu sebagai upaya untuk meningkatkan keyakinan dalam mencapai target yang ditetapkan dan daya juang sebagai upaya untuk meningkatkan keyakinan dalam mengatasi permasalahan yang akan dihadapi. Perlakuan yang diberikan adalah pelatihan efikasi diri terdiri dari empat materi pelatihan (pengenalan potensi diri, membentuk persepsi positif, manajemen waktu dan daya juang). Pelatihan diberikan dalam satu kali pertemuan dengan waktu 8 jam efektif. Rangkaian kegiatan yang dilakukan pada pelatihan efikasi diri adalah pengantar (pembukaan, perkenalan pelatih), pelaksanaan pelatihan dan penutup. Pelaksanaan pelatihan terdiri dari sesi : 1. Pencairan. Pada sesi ini diberikan permainan yang tujuannya adalah untuk menghilangkan suasana tegang dan agar subjek penelitian lebih saling mengenal. 2. Mengenali Potensi Diri Pada sesi ini subjek penelitian diberikan materi mengenali potensi diri dan lembar pengenalan potensi diri. Bentuk kegiatannya berupa penulisan dan berbagi dengan kelompok. 3. M e m b e n t u k P e r s e p s i P o s i t i f Jurnal Psikologi Mandiri
PELATIHAN EFIKASI DIRI UNTUK MENGURANGI STRES KERJA PERAWAT RUMAH SAKIT JIWA
Pada sesi ini subjek penelitian diberi materi membentuk persepsi positif kemudian menuliskan peristiwa konflik yang pernah dialami dan peristiwa bahagia yang pernah dialami selama ini, serta bagaimana mereka menginterpretasikannya. 4. Manajemen Waktu Pada sesi ini subjek penelitian diberi materi manajemen waktu dan membuat rencana kerja yang target pencapaiannya dalam satu bulan, satu minggu dan satu hari serta menentukan skala prioritas pencapaian. 5. Daya Juang Pada sesi ini subjek penelitian diberi materi daya juang dan menuliskan hambatan-hambatan yang dialami selama menjalankan pekerjaan. Selanjutnya subjek penelitian melihat film dan menganalisa serta mengambil pelajaran yang terkandung di dalam film tersebut. 6. Penutup Pada sesi ini subjek penelitian melakukan evaluasi kegiatan secara keseluruhan dan pengisian lembar evaluasi pelatihan. Alat Ukur 1. Stres Kerja Stres kerja diukur menggunakan Occupational Stres Inventory-Personal Strain Questionnaire, yang dikembangkan oleh Osipow dan Spokane (1987), terdiri atas 40 aitem. Skala ini menggunakan empat dimensi yang mengungkapkan respon afektif berkenaan dengan permasalahan dalam sikap dan pekerjaan, ketegangan psikologis, gangguan dalam hubungan interpersonal, dan ketegangan fisik (Osipow & Spokane, 1987). Skala ini berbentuk self rating. Subjek penelitian ini diminta untuk menilai sendiri seberapa sering kondisikondisi dalam pekerjaan yang dicantumkan dalam aitem dapat meyebabkan individu mengalami stres kerja. Sebelum alat ukur diberikan kepada subjek penelitian, Occupational Stres Inventory – Personal Strain Questionnaire Jurnal Psikologi Mandiri
telah diujicobakan kepada 35 orang mahasiswa keperawatan yang sedang melakukan kerja praktek di rumah sakit jiwa tersebut. Uji coba skala menghasilkan reliabilitas yang baik dengan nilai koefisien reliabiltas alfa sebesar 0,915. Peneliti mengkorelasikan aitem-aitem pada masingmasing kelompok aitem. Nilai korelasi aitem yang diterima sebagai dasar pemilihan aitem adalah 0,25. Sehingga setelah diujicobakan, diketahui 28 aitem dapat memenuhi persyaratan, sedangkan 12 butir aitem gugur. 2. Efikasi diri Efikasi diri diukur dengan menggunakan skala efikasi diri yang dimodifikasi oleh penulis dari skala efikasi diri oleh Kurniawan (2002). Skala ini disusun berdasarkan dimensi-dimensi efikasi kerja yang dikemukakan oleh Bandura (1997), yaitu: magnitude (tingkat kesulitan tugas), generality (luas bidang perilaku) dan strength (kemantapan keyakinan). Sebelum alat ukur diberikan kepada subjek penelitian, skala efikasi diri telah diujicobakan kepada 35 orang mahasiswa keperawatan yang sedang melakukan kerja praktek di rumah sakit jiwa tersebut. Uji coba skala menghasilkan reliabilitas yang baik dengan nilai koefisien reliabilitas alfa sebesar 0,919. Peneliti mengkorelasikan aitem-aitem pada masing-masing kelompok aitem. Nilai korelasi aitem yang diterima sebagai dasar pemilihan aitem adalah 0,25. Sehingga setelah diujicobakan, diketahui 23 aitem dapat memenuhi persyaratan, sedangkan 1 butir aitem gugur. 3. Jajak pengetahuan Alat ukur jajak pengetahuan bertujuan untuk mengetahui pengetahuan subjek penelitian mengenai materi pelatihan yang telah diberikan. Pengukuran Pengukuran tingkat stres kerja dikenakan pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dua minggu sebelum perlakuan diberikan, tingkat stres kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol 45
Siti Sholichah
diukur (pra tes) dengan Occupational Stress Inventory-Personal Strain Questionnaire. Kemudian, empat minggu setelah perlakuan diberikan pada kelompok eksperimen, tingkat stres kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diukur kembali (paska tes). Pengukuran pra tes dan paska tes ini bertujuan untuk melihat perbedaan stres kerja perawat sebelum dan sesudah perlakuan. Berkenaan dengan pelaksanaan perlakuan yang diberikan, peneliti juga melakukan evaluasi untuk mengungkap reaksi subjek mengenai perlakuan yang ia terima, evaluasi tersebut meliputi: materi, pelatih, penyelenggaraan training dan sikap umum terhadap training. Analisis kualitatif juga dilakukan melalui proses observasi dan self monitoring dengan melibatkan kelompok eksperimen di akhir perlakuan sebagai bentuk cek manipulasi. Cek manipulasi bertujuan untuk mengetahui sejauh mana perlakuan telah dilaksanakan oleh seluruh partisipan dalam kelompok eksperimen. Desain Eksperimen Penelitian ini menggunakan eksperimen kuasi dengan desain the untreated control group design with pretest and postest (Cook & Campbell, 1979). Desain eksperimen kuasi ini digunakan karena eksperimen murni tidak memungkinkan untuk dilakukan dengan kondisi yang ada. Prosedur 1. Dua minggu sebelum pelatihan efikasi diri, semua subjek diminta untuk mengisi skala stres kerja dan efikasi diri. Selanjutnya data dianalisis sehingga diperoleh gambaran tingkat stres kerja perawat dan efikasi diri perawat. Pengelompokkan partisipan dilakukan secara acak. Kelompok eksperimen diberikan pelatihan efikasi diri sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan pelatihan. 2. Kelompok eksperimen diberikan pelatihan efikasi diri selama 8 jam 46
efektif (diberikan selama satu hari). Pelatihan terbagi atas enam sesi yaitu satu sesi pembukaan, empat materi pelatihan efikasi diri dan sesi review. Materi mengenali potensi diri bertujuan untuk menyadari bahwa mengenal potensi diri sangat penting, ada tahaptahap yang harus dilakukan untuk mendapatkan pemahaman mengenai potensi yang dimiliki. Materi membentuk persepsi potisitif bertujuan untuk menyadari pentingnya membentuk dan memiliki persepsi positif. Materi manajemen waktu bertujuan untuk menyadari pentingnya pengelolaan waktu. Materi daya juang bertujuan untuk menyadari pentingnya memiliki daya juang dalam menghadapi apapun. Serangkaian materi ini disajikan dalam bentuk diskusi, ceramah, video tayangan dan praktek. Pada akhir sesi pelatihan dilakukan review materi pelatihan untuk membantu peserta memahami strategistrategi dalam membangun efikasi diri. Pelatihan ini diberikan oleh seorang pelatih berpengalaman. Pelatih didampingi asisten pelatih yang bertugas untuk membantu kelancaran selama proses pelatihan. 3. Empat minggu setelah pelaksanaan pelatihan, dilakukan kembali pengumpulan data untuk keperluan evaluasi. Evaluasi terhadap terhadap pelaksanaan pelatihan ini dilakukan untuk mengetahui apakah pelaksanaan pelatihan benar-benar telah sesuai dengan tujuannya yaitu meningkatkan efikasi diri sehingga pada akhirnya dapat menurunkan stres kerja. Pengukuran skala stres kerja dan efikasi diri diberikan kembali pada kelompok eksperimen dan kontrol dengan pemberian informasi terlebih dahulu pada subjek penelitian bahwasanya pengukuran ini digunakan untuk mengukur hal-hal dan peristiwa yang dialami subjek selama satu bulan ini. Pada kelompok eksperimen selain mengukur kembali skala stres kerja dan Jurnal Psikologi Mandiri
PELATIHAN EFIKASI DIRI UNTUK MENGURANGI STRES KERJA PERAWAT RUMAH SAKIT JIWA
efikasi diri juga dilakukan self monitoring dan wawancara terhadap kondisi subjek paska pelatihan efikasi diri. Menurut Kirkpatrick (1996), ada empat level evaluasi pelatihan, yaitu (1) reaksi, untuk mengetahui apakah peserta menyukai program pelatihan. Evaluasi reaksi ini dilakukan setelah pelatihan diberikan, (2) pengetahuan, untuk mengetahui apa yang telah dipelajari peserta. Evaluasi pengetahuan dalam penelitian ini dilakukan sebelum pelatihan dan sesudah pelatihan. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan jajak pengetahuan, (3) perilaku, untuk mengetahui apakah perilaku peserta berubah setelah mengikuti pelatihan. Evaluasi perilaku dilakukan dengan menggunakan skala efikasi diri, (4) hasil, untuk mengetahui apakah perubahan perilaku peserta berpengaruh secara positif terhadap organisasi. Dalam penelitian ini, hanya melihat dampak pelatihan efikasi diri pada level pertama, kedua dan ketiga yaitu efek pelatihan pada peningkatan kompetensi efikasi diri peserta yang pada akhirnya dapat membantunya menurunkan tingkat stres kerja. 4. Tahap terakhir yaitu melakukan analisis data atas keseluruhan data yang diperoleh. Pelatihan efikasi diri dapat dikatakan efektif apabila mampu mengurangi stres kerja perawat rumah sakit jiwa. Analisis Data Analisis data menggunakan statistik non-parametrik Mann-Whitney U dengan teknik gained scores (Diekhoff, 1992) dengan tujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan stres kerja yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kontrol setelah diberi perlakuan. HASIL Data penelitian dianalisis terlebih dahulu dianalisis menggunakan uji asumsi normalitas dan homogenitas. Hasil uji Jurnal Psikologi Mandiri
normalitas skor stres kerja diketahui data pra tes termasuk normal (K-SZ=0,997; p = 0,273; p>0,05), paska tes termasuk normal (K-SZ= 1,189; p=0,118; p>0,05). Hasil uji normalitas skor efikasi diri diketahui data pra tes termasuk normal (K-SZ=1,138; p=0,150; p>0,05), paska tes termasuk normal (K-SZ=0,721 ; p=0,676; p>0,05). Uji asumsi selanjutnya adalah uji homogenitas, hasil uji homogenitas skor stres kerja diketahui data pra tes termasuk homogen (Levene statistic=0,050; p=0,825; p>0,05); paska tes termasuk tidak homogen (Levene statistic=6,761; p=0,016; p<0,05). Hasil uji homogenitas skor efikasi diri diketahui data pra tes termasuk homogen (Levene statistic=2,316; p=0,141; p>0,05); paska tes termasuk tidak homogen (Levene statistic=16,568; p=0,000; p<0,05). Hasil uji asumsi normalitas dan homogenitas tidak terpenuhi, kemudian dilakukan analisis statistik non parametrik Mann-Whitney U, hasil menunjukkan nilai p = 0,00 (p < 0,05) artinya terdapat perbedaan gained score yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen sehingga dengan demikian hipotesis penelitian ini yang menyatakan bahwa pelatihan efikasi diri akan menurunkan stres kerja perawat dapat diterima. Hal ini didukung dengan analisis gained score efikasi diri antara kelompok eksperimen dan kontrol. Data skor jajak pengetahuan dianalisis membandingkan rerata skor. Hasil analisis data skor jajak pengetahuan dapat diketahui ada peningkatan pemahaman pengetahuan setelah diberikan pelatihan. Hasil analisis data skor jajak pengetahuan yang menggunakan Paired Sample T-Test. Hasil analisis data skor jajak pengetahuan dapat diketahui ada peningkatan pemahaman pengetahuan setelah diberikan pelatihan (t=-5,838; p=0,000; p<0.05). Hal tersebut menunjukkan pengetahuan mengenai efikasi diri meningkat setelah diberikan pelatihan efikasi diri, artinya subjek penelitian cukup paham dengan materi yang disampaikan.
47
Siti Sholichah
DISKUSI Berdasarkan hasil penelitian dapat dibuktikan bahwa pelatihan efikasi diri mampu mengurangi stres kerja perawat rumah sakit jiwa. Hasil analisis dengan uji beda Mann Whitney U diperoleh nilai Z = 4,036 (p < 0,05), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan stres kerja antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada paska perlakuan, dimana tingkat stres kerja kelompok eksperimen lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Artinya, penurunan stres kerja pada kelompok eksperimen paska perlakuan merupakan hasil dari perlakuan yang telah diberikan. Jex dan Bliese (1999) dalam penelitiannya menemukan bahwa tinggi rendahnya stres pada individu dalam menghadapi stresor kerja tergantung tinggi rendahnya efikasi diri yang dimilikinya. Lebih lanjut, penelitiannya juga menemukan bahwa efikasi diri merupakan variabel penting dalam mempelajari hubungan antara stresor dan stres dikarenakan ada hubungan sangat kuat antara stresor, stres dan tinggi rendahnya efikasi diri. Hal ini diperkuat dengan hasil data penelitian ini bahwa hasil analisis efikasi diri kelompok eksperimen dan kelompok kontrol juga terdapat perbedaan (Z= -4,350, p = 0,00). Hal ini didukung dengan data tambahan yang menunjukkan hasil perbedaan prates dan paskates pada kelompok eksperimen ( p = 0,00; p<0,05) dapat dilihat pada lampiran hasil uji tambahan. Bandura (1997) mengatakan bahwa orang yang memiliki efikasi diri tinggi mempunyai keyakinan mampu berperilaku tertentu untuk dapat mencapai hasil yang diinginkan. Orang-orang yang mempunyai efikasi diri tinggi juga lebih giat dan lebih tekun dalam berusaha dan mengatasi kesulitan, serta mengerahkan tenaga yang lebih besar untuk mengatasi tantangan, sedangkan orang yang mempunyai efikasi diri rendah cenderung mengurangi usahanya atau menyerah ketika dihadapkan 48
pada suatu permasalahan. Orang cenderung menghindari situasi yang diyakini melampaui batas kemampuan mereka, tetapi akan melakukan tindakan yang menurut penilaiannya mampu dilakukan. Hal ini berkaitan dengan penentuan target, individu yang memiliki efikasi diri tinggi akan menetapkan target lebih tinggi dengan usaha keras untuk mencapainya. Individu tersebut kemudian akan berupaya menetapkan target yang lebih tinggi lagi bila target yang sesungguhnya telah mampu dicapai. Kegagalan dalam mencapai suatu target justru akan membuat individu berusaha lebih giat lagi untuk meraihnya kembali serta mengatasi rintangan yang membuatnya gagal dan kemungkinan akan menetapkan target lain yang lebih tinggi lagi. Individu yang mempunyai efikasi diri rendah menetapkan target yang lebih rendah pula serta keyakinan terhadap keberhasilan akan pencapaian target yang juga rendah, sehingga usaha yang dilakukan lemah. Hal ini semakin dipertegas dengan pernyataan Bandura (1997) yang menyebutkan bahwa efikasi diri terhadap kapasitas dalam mengatasi permasalahan akan berpengaruh pada tingkat stres dan depresi yang akan dialami seseorang ketika menghadapi situasi-situasi yang sukar dan mengancam. Efikasi diri untuk mengatasi stresor memainkan peran utama dalam menentukan tingkat kecemasan. Seseorang yang yakin dapat mengatasi ancaman-ancaman tidak akan mengalami gangguan pola berpikir dan berani menghadapi tekanan dan ancaman. Sebaliknya mereka yang tidak yakin dapat mengatasi ancaman akan mengalami tingkat kecemasan yang tinggi yang akhirnya mengarah kepada stres yang merugikan. Penelitian yang dilakukan oleh Jex dan Bliese (2001) menghasilkan penemuan bahwa efikasi diri memiliki peran dalam hubungan antara stresor dan stres. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan aktif menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Efikasi diri yang tinggi juga mengurangi penghindaran Jurnal Psikologi Mandiri
PELATIHAN EFIKASI DIRI UNTUK MENGURANGI STRES KERJA PERAWAT RUMAH SAKIT JIWA
terhadap penyelesaian masalah yang dihadapi individu. Jex dan Bliese (1999) menemukan bahwa individu yang memiliki efikasi diri tinggi tidak bereaksi negatif terhadap beban kerja yang berlebihan dibandingkan dengan individu yang level efikasi diri-nya rendah. Prihadi (2004) mengemukakan bahwa pembelajaran melalui pengalaman adalah proses belajar yang terjadi ketika subjek melakukan suatu aktivitas, kemudian ia memperhatikan, menganalisis aktivitas yang dilakukannya itu secara kritis, lalu mencari pemahaman berguna dari analisis tadi dan menetapkan pengetahuan dan pemahaman tersebut dalam perilaku mendatang. Pelatihan efikasi diri mampu memberikan pengetahuan bagi subjek penelitian. Adapun keterbatasan dalam penelitian ini antara lain tidak adanya batasan waktu respon dalam sakala stres kerja dan efikasi diri, pada desain eksperimen kelompok kontrol lebih baik diberikan perlakuan plasebo, dan menjaga interaksi antara kelompok kontrol dan eksperimen selama masa penelitian. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian ini telah membuktikan bahwa pelatihan efikasi diri mampu mengurangi stres kerja perawat rumah sakit jiwa. Penurunan stres kerja pada kelompok eksperimen paska perlakuan merupakan hasil dari perlakuan yang telah diberikan. Saran 1. Saran untuk Organisasi Pelatihan efikasi diri dalam penelitian ini terbukti mampu untuk mengurangi stres kerja. Sebagai bahan pertimbangan pelatihan efikasi diri juga dapat diaplikasikan pada perawat untuk mengatasi stresor yang muncul dalam pekerjaan dengan memiliki emosi yang lebih positif dalam menyikapi tekanan atau persoalan di tempat kerja. 2. Saran untuk penelitian selanjutnya Jurnal Psikologi Mandiri
Peneliti selanjutnya dapat mempertimbangkan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi subjek penelitian dan tidak dapat dikontrol oleh peneliti sehingga mempengaruhi hasil penelitian, meliputi tipe kepribadian, kondisi lingkungan sosial (pengaruh keluarga, teman, atau masyarakat sekitar), kondisi lingkungan fisik. DAFTAR PUSTAKA Abraham, C & Stanley, E. (1997). Psikologi sosial untuk perawat kedokteran. Jakarta: WGC. Bandura A. (1997). Self efficacy: The Exercise of Controll. New York: Freeman. Cook, T. D., & Campbell, D. T. (1979). Quasi experimentation: Designs and Analysis Issues for Field Settings. Boston: Houghton Miffin Company. Diekhoff, G. (1992). Statistic for the social and behavioral sciences, Univariate Bivariate Multivariate. Dubuque: Wm C. Brown Publishers. Jex, S.M & Bliese,P.D. (1999). Efficacy beliefs as moderator of the impact of work-related stressor : A Multilevel Study. Journal of Applied Psychology, Vol 84, No.3, 349-361. Jex, S.M & Bliese, P.D. (2001). The impact of self efficacy on stressor strain relation : Coping Style as Explanatory Mechanism. Journal of Applied Psychology, Vol 86, No.3, 401-409. Jex, S.M., Beehr, T.A., & Roberts, C.K. (1992)., “The meaning of occupational stress item to survey respondents,” Journal of Applied Psychology, vol 77, pp. 623-628. Kirkpatrick, D.L. (1996). Evaluation training programs. San Fransisco: Berret_Koehler Publishers.
49
Siti Sholichah
Kurniawan. JA, (2002)., Hubungan antara persepsi terhadap gaya kepemimpinan transformasional atasan langsung dan iklim organisasi dengan efikasi diri pada tenaga penjualan asuransi di PT. AIG Lippo BAD Jateng II. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Pasca Sarjana UGM. Miller, K. I., Zook, E.G. & Ellis, B.H. (1989). Occupational differences in the influence of communication on stress and burnout in the workplace. Management Communication Quarterly. 3, (2), 166. Musfirah, Rahmahana & R.S.,Kumolohadi, R. 2003. Hubungan antara computer s e l f e ff i c a c y d a n k e c e m a s a n menggunakan komputer. Jurnal Psikologika, Vol. 8, No. 15, 37-46. Nitisemito, A. S. (1992). Manajemen personalia (Manajemen Sumber Daya Manusia). Jakarta: Ghalia Indonesia. Noe, R. A. (2005). Employee training and development. Singapore: Mc-Graw Hill, Inc. Osipow, S. H., & Spokane, A. R. (1987). Manual for the occupational stres inventory-research version. Odessa, FL: Psychological Assessment Resources. Pratopo, T.C. (2001). Hubungan antara motivasi dan stres kerja pada perawat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). Yo g y a k a r t a : F a k . P s i k o l o g i Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta. Riggio, R. E. (2003). Introduction to industrial/ organizational psychology (Fourth edition). New Jersey : Prentice Hall. Robbins, S. P. (1996). Perilaku organisasi jilid 2 (Edisi Terjemahan). Jakarta: PT. Prehallindo. 50
Robbins, S.P. (1998). Organizational behavior, concepts, controversies, applications (8th Ed). Upper Saddle River, New Jersey : Simon & Schuster Company. Rojas, V., & Kleiner, B. (2001). The art and science of effective stres management. Management Research News, 24(3/4), 86-89. Rohmah, F, A. (2006). Efektifitas diskusi kelompok dan pelatihan efikasi diri untuk mengurangi stres pada mahasiswa yang sedang Skripsi. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Pasca Sarjana UGM. Prihadi, S.F.(2004). Assessment centre : Identifikasi pengukuran dan Pengembangan Kompetensi. Jakarta :PT.Gramedia Pustaka Utama. Sauter, S. L., & Murphy, L. R. (1995). Organizational risk factors for job stress. Washington, DC: American Psychological Association. Schwartz, S. H. ( 1999). A theory of cultural values and some implications for work. Applied Psychology : An International Review. 48 (1). 2347. Silberman, M. (1998). Active training: A Handbook of Techniques, Design, Case Examples, and Tips. San Fransisco: Jossey-Bass. Spector, P.E., O'Connel, B.J., & Chen, D.Y. (2000)., “A Longitudinal study of relations between job stressor and job strains while controlling for prior negative affectivity and strains. “ Journal of Applied Psychology, vol. 85, pp. 211-218. Suryanita, Y. (2001). Hubungan antara strategi penanggulangan stres dan sindrom burnout pada perawat di kota X. Jurnal Psikologi. 1. 1. Surabaya: Fak. Psikologi Universitas Widya Mandala Surabaya. Jurnal Psikologi Mandiri