PEDOMAN DAN PROSEDUR PENETAPAN FATWA Dr. HM. Asrorun Ni’am Sholeh,MA Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
@ans
PENGERTIAN
Fatwa adalah jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai masalah keagamaan dan berlaku untuk umum. Fatwa MUI adalah fatwa MUI tentang suatu masalah keagamaan yang telah disetujui oleh anggota Komisi dalam rapat komisi. Fatwa Produk Halal adalah fatwa yang ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI mengenai produk pangan, obat-obatan dan kosmetika.
PENGERTIAN
Auditor Halal adalah orang yang ditugaskan oleh LPPOM MUI untuk melakukan audit halal setelah melalui proses seleksi yang mencakup kompetensi, kualitas, dan integritas, serta lulus pelatihan yang diadakan oleh LPPOM MUI, dan berfungsi sebagai wakil dari ulama dan saksi untuk mencari fakta tentang produksi halal di perusahaan. Auditing adalah proses pemeriksaan atau penilaian secara sistematik, independen dan terdokumentasi yang dilakukan oleh Auditor Halal untuk menentukan apakah penerapan Sistem Jaminan Halal berjalan sesuai dengan ketentuan. Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh MUI melalui keputusan sidang Komisi Fatwa yang menyatakan kehalalan suatu produk berdasarkan proses audit.
OTORITAS DAN DASAR FATWA
Penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga yang disebut Komisi Fatwa. Penetapan fatwa didasarkan pada Al-Quran, Hadist, Ijma’, Qiyas dan dalil lain yang mu’tabar.
SIFAT FATWA
Proses penetapan fatwa bersifat : responsif, proaktif dan antisipatif.
Fatwa yang ditetapkan bersifat : argumentatif
(memiliki kekuatan hujjah), legitimatif (menjamin penilaian keabsahan hukum), kontekstual (waqi’iy), aplikatif (siap diterapkan), dan moderat.
METODE PENETAPAN FATWA (Ps 5 – 7)
Sebelum fatwa ditetapkan, dilakukan kajian komperehensif terlebih dahulu guna memperoleh deskripsi utuh tentang :
Kajian komprehensif mencakup:
obyek masalah (tashawwur al-masalah), rumusan masalah; dampak sosial keagamaan yang ditimbulkan dan titik kritis dari berbagai aspek hukum (norma syari’ah) yang berkaitan dengan masalah tersebut.
telaah atas pandangan fuqaha mujtahid masa lalu, pendapat para imam madzhab dan ulama yang mu’tabar, telaah atas fatwa-fatwa yang terkait, serta pandangan ahli fikih terkait masalah yang akan difatwakan.
Kajian komprehensif antara lain dapat melalui penugasan pembuatan makalah kepada Anggota Komisi atau ahli
PENETAPAN FATWA Masalah yang ma’lum min al-din bi al-dlarurah langsung difatwakan dengan menyampaikan hukum sebagaimana apa adanya. Masalah yang terjadi perbedaan pendapat (masail khilafiyah) di kalangan madzhab, maka :
1.
2.
1. 2.
3.
4.
Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha pencapaian titik temu di antara pendapat melalui metode al-jam’u wa al-taufiq; Jika tidak tercapai titik temu, penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqaranah (perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih muqaran.
Masalah yang tidak ditemukan pendapat hukum di kalangan madzhab atau ulama yang mu’tabar, didasarkan pada ijtihad kolektif melalui metode bayani dan ta’lili (qiyasi, istihsaniy, ilhaqiy, istihsaniy dan sad al-dzaraa’i) serta metode penetapan hukum (manhaj) yang dipedomani oleh para ulama madzhab. Dalam masalah yang terdapat perbedaan di kalangan peserta Rapat, dan tidak tercapai titik temu, maka penetapan fatwa disampaikan tentang adanya perbedaan pendapat tersebut disertai dengan penjelasan argumen masing-masing, disertai penjelasan dalam hal pengamalannya, sebaiknya mengambil yang paling hati-hati (ihtiyath) serta sedapat mungkin keluar dari perbedaan pendapat (al-khuruuj min al-khilaaf).
PROSEDUR RAPAT
Rapat harus dihadiri oleh para anggota Komisi yang jumlahnya dianggap cukup memadai oleh pimpinan rapat. Dalam hal-hal tertentu, rapat dapat menghadirkan pakar atau tenaga ahli yang berhubungan dengan masalah yang akan difatwakan.
Rapat diadakan jika terdapat:
permintaan atau pertanyaan dari masyarakat; permintaan atau pertanyaan dari pemerintah, lembaga/organisasi atau MUI sendiri; perkembangan dan temuan masalah-masalah keagamaan yang muncul akibat perubahan sosial kemasyarakatan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni budaya.
Pimpinan Rapat
Rapat dipimpin oleh Ketua atau Wakil Ketua Komisi atas persetujuan Ketua Komisi, didampingi oleh Sekretaris dan/atau Wakil Sekretaris Komisi. Jika Ketua dan Wakil Ketua Komisi berhalangan hadir, rapat dipimpin oleh salah satu pimpinan Komisi yang hadir. Selama proses rapat, Sekretaris dan/atau Wakil Sekretaris Komisi mencatat usulan, saran dan pendapat Anggota Komisi untuk dijadikan Risalah Rapat dan Bahan Fatwa Komisi.
FORMAT FATWA
Nomor dan Tema Fatwa
Kalimat Basmalah.
Konsideran yang terdiri atas :
Menimbang; memuat latar belakang dan alasan serta urgensi penetapan fatwa.
Mengingat; memuat dasar-dasar hukum (adillah al-ahkam) yang berbentuk nash syar’i, terjemah dalam bahasa Indonesia dan penjelasan terkait pemanfaatan dalil sebagai argumen (wajhu al-dilalah)
Memperhatikan; memuat pendapat para ulama, peserta rapat, para ahli dan hal-hal lain yang mendukung penetapan fatwa.
Diktum yang memuat :
Ketentuan Umum; yang berisi tentang definisi dan batasan pengertian masalah yang terkait dengan fatwa, jika dipandang perlu
Ketentuan Hukum; yang berisi tentang substansi hukum yang difatwakan.
Rekomendasi dan/atau solusi masalah jika dipandang perlu.
Lampiran-lampiran terkait masalah yang difatwakan, jika dipandang perlu.
TANDA TANGAN
Fatwa ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris Komisi. Terhadap beberapa fatwa yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut, fatwa dapat diberikan penjelasan agar dapat dipahami secara utuh oleh masyarakat.
KEWENANGAN DAN WILAYAH FATWA (16 – 19)
MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah syari’ah secara umum, baik dalam bidang akidah, ibadah, maupun akhlak Kewenangan penetapan fatwa juga meliputi: faham keagamaan yang muncul di masyarakat, masalah sosial kemasyarakatan, masalah pangan obat-obatan dan kosmetika (POM), masalah yang terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta masalah ekonomi syari’ah.
KEWENANGAN DAN WILAYAH FATWA
Majelis Ulama Indonesia berwenang menetapkan fatwa yang menyangkut :
umat Islam secara nasional atau masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang berpotensi meluas ke daerah lain.
Terhadap masalah yang terjadi di daerah dan belum difatwakan oleh MUI, Majelis Ulama Indonesia Daerah berwenang untuk menetapkan fatwa terkait masalah tersebut. Majelis Ulama Indonesia Daerah yang berwenang menetapkan fatwa adalah
Komisi Fatwa MUI Provinsi dan Komisi Fatwa MUI Kabupaten/Kota.
KEWENANGAN DAN WILAYAH FATWA
Terhadap masalah yang telah difatwakan oleh MUI, MUI Daerah hanya berhak untuk melaksanakannya. Pada kasus tertentu di mana Fatwa MUI tidak dapat dilaksanakan, MUI daerah berkewajiban untuk berkonsultasi kepada MUI untuk menetapkan Fatwa Khusus yang terkait masalah tersebut.
KEWENANGAN DAN WILAYAH FATWA
Terhadap masalah-masalah yang sangat musykil dan sensitif, MUI Daerah berkewajiban melakukan koordinasi dan konsultasi terlebih dahulu kepada MUI.
FATWA PRODUK HALAL (20 – 21)
Penetapan fatwa produk halal dilakukan setelah :
adanya laporan hasil pemeriksaan (auditing) oleh Auditor Halal dan telah melalui proses evaluasi dalam Rapat Auditor LPPOM MUI.
Laporan hasil audit disampaikan oleh Direktur LPPOM MUI dalam Sidang Pleno Komisi. Dalam bidang yang memerlukan keahlian fikih secara khusus, seperti proses penyembelihan dan proses pensucian, Auditor Halal dalam menjalankan tugasnya disertai oleh Komisi Fatwa. Sertifikat Halal dikeluarkan oleh MUI setelah ditetapkan status kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI.
RUANG LINGKUP Penetapan fatwa terhadap produk yang berskala nasional dan internasional dilakukan oleh MUI. Penetapan fatwa terhadap produk yang berskala lokal dapat dilakukan oleh MUI Daerah.
FATWA EKONOMI SYARI’AH
Penetapan fatwa tentang ekonomi syari’ah yang terkait dengan produk dan jasa keuangan syari’ah dilakukan oleh DSN-MUI. Penetapan fatwa tentang ekonomi syari’ah mengikuti pedoman penetapan fatwa dalam ketentuan ini. Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme penetapan fatwa ekonomi syari’ah diatur oleh Dewan Syari’ah Nasional.
LAIN-LAIN
Di samping penetapan fatwa dengan format sebagaimana diatur dalam Pasal 13, Komisi Fatwa juga menetapkan fatwa melalui :
Di samping penetapan fatwa, Komisi Fatwa berwenang :
surat dan/atau melalui lisan secara langsung tanpa melalui rapat Komisi Fatwa terhadap masalah yang telah jelas hukum dan dalil-dalilnya (ma’lum min al-din bi al-dlarurah) dengan menyampaikan hukum sebagaimana apa adanya.
menetapkan Rekomendasi Kesesuaian Syari’ah atas berbagai hal yang terkait dengan masalah keagamaan praktis untuk menjadi panduan bagi masyarakat.
Rekomendasi kesesuaian syari’ah diberikan kepada masyarakat yang mengajukan setelah dilakukan pengkajian dan pendalaman sesuai dengan ketentuan syari’ah.
Fatwa MUI Sebagai Wadah Ijtihad Jama’i
Berdasarkan paartisipasi kepesertaan, ijtihad dikategorikan menjadi dua; (i) ijtihad personal (ijtihad fardi) dan ijtihad kolektif (ijtihad jama`i). Ijtihad jama’i dilakukan oleh sejumlah (sekelompok) orang yang terdiri atas para ahli di berbagai bidang, yang secara kumulatif telah memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam berijtihad. Wujud kongkrit dari lembaga ijtihad kolektif ini, di lingkungan MUI antara lain adalah “Komisi Fatwa”.
Kelembagaan Fatwa MUI
Komisi Fatwa adalah perangkat organisasi MUI yang bertugas untuk menelaah, membahas, dan merumuskan masalah fatwa keagamaan. Kelembagaan Komisi Fatwa berdiri bersamaan dengan berdirinya MUI, yakni pada tahun 1975.
Fatwa Produk Halal
Fatwa Produk Halal adalah fatwa yang ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI mengenai produk pangan, obatobatan dan kosmetika.
PENETAPAN FATWA HALAL
Di Indonesia, lembaga yang memiliki kewenangan mengeluarkan Sertifikat Halal adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebelum penetapan fatwa, pelaksanaan teknis auditing dilakukan oleh LPPOM-MUI. Penetapan Fatwa dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI.
Prosedur dan Mekanisme Penetapan Fatwa Halal… (1) MUI memberikan pembekalan pengetahuan kepada para auditor LPPOM tentang standar penetapan produk halal. 2. Para auditor melakukan penelitian dan audit ke pabrik-pabrik (perusahaan) yang meminta sertifikasi halal. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi: a. Pemeriksaan secara seksama terhadap bahan-bahan produk, baik bahan baku, bahan tambahan maupun bahan penolong. b. Pemeriksaan terhadap bukti-bukti pembelian bahan produk. c. Cara pemotongan hewan untuk produk hewani atau mengandung unsur hewani. 1.
Prosedur dan Mekanisme Penetapan Fatwa Halal….. (2) 3. Bahan-bahan tersebut kemudian diperiksa, terutama bahan-bahan yang dicurigai sebagai benda haram atau mengandung benda haram (najis), untuk mendapat kepastian, serta didiskusikan dan dikaji oleh tim di LP.POM. 4. Pemeriksaan terhadap suatu perusahaan tidak jarang dilakukan lebih dari satu kali; dan tidak jarang pula auditor (LP.POM) menyarankan –bahkan mengharuskan— agar mengganti suatu bahan yang dicurigai atau diduga mengandung bahan yang haram (najis) dengan bahan yang diyakini kehalalannya atau sudah berserifikat halal dari MUI atau dari lembaga lain yang dipandang berkompeten, jika perusahaan tersebut tetap menginginkan mendapat sertifikat halal dari MUI. 5. Hasil audit dan kajian LP.POM tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah Berita Acara yang disebut dengan “Laporan Hasil Auditing LP.POM-MUI” dan kemudian diajukan ke Komisi Fatwa MUI untuk dibahas dalam rapat Komisi Fatwa.
Prosedur dan Mekanisme Penetapan Fatwa Halal….. (3) 6. Dalam rapat Komisi Fatwa, pihak LP.POM menyampaikan dan menjelaskan isi Laporan Hasil Auditing, dan kemudian dibahas secara teliti dan mendalam oleh peserta rapat Komisi. 7. Suatu produk yang masih mengandung bahan yang jelasjelas diharamkan atau diragukan kehalalannya, atau terdapat bukti-bukti pembelian bahan produk yang dipandang tidak transparan oleh rapat Komisi, dikembalikan kepada LP.POM untuk dilakukan penelitian atau auditing ulang ke perusahaan bersangkutan. 8. Sedangkan produk yang telah diyakini kehalalannya oleh peserta rapat, diputuskan fatwa halalnya oleh rapat Komisi tersebut. 9. Hasil rapat Komisi yang berupa keputusan fatwa halal kemudian dilaporkan kepada Dewan Pimpinan MUI untuk ditanfiz-kan dan dikeluarkan Surat Keputusan Fatwa Halal dalam bentuk Sertifikat Halal.
Proses Fatwa Produk Halal Mustafti/ Produsen
Meminta fatwa (lewat LPPOM)
KOMISI FATWA
(1)
(3)
(4)
Proses Auditing
(2)
Fatwa
LPPOM-MUI
Pleno menyetujui Hasil Audit
(5)
Rapat pleno Komisi
(6)
Pleno tidak menyetujui Hasil Audit 1. LPPOM menjelaskan hasil 2.
auditingnya KF melakukan pendalaman dan pengkajian terhadap substansi masalah
Dokumen SJH
Dokumen Sertifikat Produk
Pendaftaran
Audit Produk
Tidak
Evaluasi Audit
Audit Memorandum Bahan
Ya
Sidang Komisi Fatwa
Tidak
Ya Sertifikat Halal
Syukran... @ans
Assalamu’alaikum Wr.Wb
@ans