Asjmuni Abdurrachman: Prosedur Penetapan Keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional
Prosedur Penetapan Keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional Oleh: Asjmuni Abdurrachman*1
ملخص من مهمات الهيئة الشرعية القومية التابعة لمجلس العلماء اإلندونيسي هي اصدار الفتاوى التي تتعلق بالمس���ائل اإلقتصادية اإلسالمية والمصارف المالية الشرعية .وكان عصدر الفت���وى التي صدرت عن الهيئت هو القرآن أوالس���نة النبويه أواإلجتماع أو القياس
وهو ما يسمى أيضا باالجتهاد.
والمنهج الذى تسلكه االهيئة ىف إصدار تلك الفتاوى البد أن تكون مستندة عىل النصوص
الش���رعية -من الكتاب والس���نة -إذا وجد فيهما ما يتعلق بالمسائل المطروحة ،وأما إذا لم جيد فيهما أو ال يمكن االس���تنباط المباش���ر منهما فتس���تند عىل ما اجتهد إليه
العلماء من أقوالهم وآرائهم بمعنى أن الفتوى مس���تندة عىل أقوال العلماء التي وجدت
يف الكتب الفقهية المعتربة.
وأم���ا إذا اختلف���ت آراء العلم���اء أو تعارضت بينها فتكون الهيئة تس���لك منهج اجلمع والتوفي���ق إذا أمك���ن ذلك ،وإذا لم يمكن اجلمع والتوفي���ق فتكون بالرتجيح بني تلك
األقوال بما هي أقوى أدلتها أو ما هي أولى باالعتبار.
* Guru Besar Purna Tugas Program Studi Ekonomi Islam Fakultas Ilmu Agama Islam UII, anggota Dewan Syariah Nasional.
173
Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008
Asjmuni Abdurrachman: Prosedur Penetapan Keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional
وأم���ا فيم���ا يتعلق بالوقائع المس���تجدة أو النوازل التي لم تك���ن منصوصا عليها بنص
قاطع أو جممعا عليها أو لم تكن مسوغا باالجتهاد فيها فيكون حبث أحكامها باالجتهاد .اجلماعي وفق منهج السلف واخللف مع مراعات حاجات ومصالح األمة
I. Pendahuluan A. Dewan Syariah Nasional Dewan Syariah Nasional (DSN) dibentuk tahun 1999 oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Tujuan pembentukan dewan itu untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yakni lembaga keuangan yang mengeluarkan produk layanan keuangan syariah, seperti bank syariah, asuransi syariah atau takaful, reksadana syariah dan gadai syariah, yang sebelumnya ditangani langsung oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
B. Kedudukan dan Status Anggota DSN 1. DSN merupakan bagian dari MUI 2. Pelaksanaan tugas DSN sehari hari dilakukan oleh Badan Pelaksana Harian yang kedudukannya membantu pihak terkait, seperti Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan lain-lain dalam menyusun peraturan atau ketentuan untuk LKS. 3. Anggota DSN terdiri dari ulama, praktisi dan pakar yang terkait dengan muamalah syariah, ditunjuk dan diangkat oleh MUI, melaksanakan tugas yang akan diwenangkan selanjutnya. 4. Dalam melaksanakan pengawasan, pelaksanaan tugas DSN terhadap lembaga keuangan syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas pada LKS.
C. Tugas dan Wewenang DSN 1. Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya. 2. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan yang pengawasan pelaksanaan fatwa itu oleh LKS, dilakukan oleh Dewan Pengawasan Syariah (DPS) seperti tersebut pada point b.4. 3. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan terhadap LKS yang melanggar fatwa atau ketentuan syariah tidak diindahkan.
174
Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008
Asjmuni Abdurrachman: Prosedur Penetapan Keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional
II. Metode Teknis Fatwa MUI Metode teknis dan prosedur penilaian dan penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia mengalami perkembangan, dan terakhir diputuskan dalam ijtima’ ulama komisi fatwa MUI ke-II Tahun 2006 di Pondok Gontor, yaitu: 1. Pemberian fatwa diberikan hasil penetapan kolektif komisi fatwa. 2. Rapat komisi fatwa harus dihadiri anggota komisi yang jumlahnya dipandang cukup. 3. Dalam hal-hal tertentu, rapat dapat menghadirkan tenaga ahli yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. 4. Rapat diadakan bila ada: a. Permintaan masyarakat yang dipandang penting b. Permintaan pemerintah, lembaga sosial atau dari MUI sendiri c. Masalah keagamaan yang muncul akibat perkembangan masyarakat dan iptek 5. Rapat dipimpin oleh ketua atau wakilnya atau salah satu anggota yang disetujui apabila ketua atau wakilnya berhalangan. 6. Hasil rapat yang dilakukan mendalam dan komprehensif, bila telah mendapat kesepakatan diputuskanlah fatwa dan disampaikannya kepada dewan pimpinan untuk dipermaklumkan kepada masyarakat atau pihakpihak yang bersangkutan.
III. Prosedur Penentuan dan Penetapan Fatwa Dewan Syariah Nasional A. Prosedur penetapan fatwa DSN mengikuti: Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah perkhidmatan terhadap umat Islam di Indonesia mempunyai beberapa fungsi dan tugas yang harus diembannya, salah satu fungsi dan tugasnya adalah sebagai pemberi fatwa keagamaan di Indonesia. Fatwa yang ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia itu dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, kategori pertama adalah fatwa tentang kehalalan produk makanan, minuman dan kosmetika yang permasalahannya ditangani oleh LPPOM. Kategori kedua adalah fatwa yang berkaitan dengan kemasyarakatan, kesehatan, dan sebagainya yang ditangani oleh komisi fatwa. Sedang kategori ketiga adalah fatwa tentang perekonomian Islam. Penetapan fatwa tentang perekonomian Islam dilakukan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), yaitu sebuah lembaga di bawah Majelis Ulama Indonesia yang beranggotakan para ahli hukum Islam
Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008 175
Asjmuni Abdurrachman: Prosedur Penetapan Keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional (fuqahaa) serta para ahli dan praktisi ekonomi, terutama sektor keuangan, baik bank maupun non bank, yang berfungsi untuk melaksanakan tugastugas MUI dalam mendorong dan memajukan ekonomi umat. Jadi, tugas utama DSN-MUI dalam hal ini menggali dan merumuskan nilai-nilai syari’ah dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga keuangan syariah. DSN-MUI juga mempunyai tugas mengawasi pelaksanaan dan implementasi fatwa-fatwa tersebut di lembaga keuangan syariah melalui Dewan Pengawasan Syariah (DPS) yang merupakan kepanjangan tangan DSN-MUI di lembaga keuangan syariah.
B. Sistem dan prosedur penetapan fatwa. Sistem dan prosedur penetapan fatwa adalah merupakan manhaj dalam menetapkan fatwa (manhaj fi itsbat al-fatwa) yang diharapkan mampu memberikan jawaban terhadap setiap persoalan yang muncul. Karena itu, pendekatannya harus dilakukan melalui nash qath’i, qauli, dan manhaji. Melalui ketiga pendekatan itu, setiap persoalan yang muncul diharapkan akan dapat terjawab. Suatu hal yang tidak mungkin menjawab semua persoalan yang timbul hanya terpaku dengan nash, karena nash sifatnya sangat terbatas sedangkan persoalan yang terjadi terus berkembang, demikian juga tidak mungkin hanya berpegang pada aqwal yang ada di dalam al-kutub almu’tabarah karena penulisannya sudah terhenti sejak sekitar seratus tahun yang lalu, padahal persoalan-persoalan yang timbul terus berlangsung. Persoalan yang berkembang sesungguhnya juga telah direspon melalui aqwal, af’al, dan tasharrufat para ulama terdahulu. Namun, sesudah periode mereka, masalah-masalah baru yang harus direspon terus bermunculan dan berkembang. Adalah tidak mungkin masalah-masalah itu dibiarkan tanpa adanya jawaban dengan alasan tidak ada nash atau tidak ada qaul di dalam al-kutub al-mu’tabarah atau karena masalah itu merupakan “qaulun lam yaqulhu ahadun minas salaf”, suatu pendapat yang belum pernah dilontarkan ulama terdahulu, atau “amalun lam ya’malhu ahadun minas salaf”, suatu aktifitas yang belum pernah dilakukan ulama terdahulu, atau “tasharrufun lam yatasharrafhu ahadun minas salaf”, suatu kebijakan yang belum pernah ditetapkan oleh ulama terdahulu. Sehingga menjadikan banyak masalah yang dibiarkan tanpa adanya jawaban terhadapnya, padahal membiarkan persoalan tanpa jawaban adalah tidak dibenarkan, baik secara i’tiqadi maupun secara syar’i.
C. Diperlukan adanya manhaj Dalam menetapkan fatwa DSN diperlukan adanya suatu manhaj yang dapat dijadikan acuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru
176
Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008
Asjmuni Abdurrachman: Prosedur Penetapan Keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional tersebut sehingga tidak terjadi penumpukan masalah yang tidak terjawab. Selain itu, manhaj ini juga dimaksudkan agar tidak timbul pemberian jawaban tanpa pedoman. Tidak jarang sesuatu masalah dijawab dengan hanya berdalih lil haajah, berdasarkan adanya kebutuhan, atau lil mashlahah, berdasarkan adanya kebaikan, atau lil maqashid al-syari’ah, berdasarkan intisari ajaran agama, dengan tanpa batasan dan patokan. Kelompok yang berpandangan seperti ini dapat dikatakan sebagai kelompok ifrathi. Sedangkan kelompok lain yaitu kelompok yang tidak mau memberikan jawaban terhadap masalah karena tidak ada nash qath’i atau aqwal (pendapat hasil ijtihad para ulama) dalam al-kutub al-mu’tabarah atau aqwal, af’al serta tasharrufat ulama terdahulu, mereka ini dapat dikatakan sebagai kelompok tafrithi.
D. Dasar penetapan fatwa Penetapan fatwa didasarkan pada Al-Qur’an, As Sunnah/Hadits, Ijma’ dan Qiyas atau ijtihad. Karena keempat hal tersebut adalah merupakan sumber hukum syara’ yang disepakati oleh jumhur ulama, sedangkan yang lainnya seperti al-istihsan, al-istishlah, sadd al dzari’ah dan lain sebagainya diperselisihkan keberadaannya sebagai sumber hukum oleh jumhur ulama. Walaupun begitu, dalam pendekatan manhaj, khususnya melalui metode istinbath, istihsan, istishlah, dan saddu al-dzari’ah, dapat dijadikan metode dalam memberikan jawaban terhadap suatu masalah disamping qiyas. Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ dianggap sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dalam menetapkan hukum/syari’ah karena tidak membutuhkan pihak lain dalam menetapkan suatu hukum. Sedangkan qiyas tidak dianggap sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri karena membutuhkan kepada sumber hukum yang ada dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dam Ijma’ dalam menetapkan hukum dan memerlukan untuk mengetahui ‘illat hukum asalnya.
E. Metode Pendekatan Fatwa Metode penetapan fatwa yang digunakan oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan nash qath’i, pendekatan qauli (pendapat para mujtahid) dan pendekatan manhaji yakni manhaj yang ditempuh oleh para ulama salaf dan kholaf. Pendekatan nash qath’i dilakukan dengan berpegang kepada nash al-Qur’an atau al-Hadits untuk sesuatu masalah apabila masalah yang ditetapkan terdapat dalam nash Al-Qur’an ataupun al-Hadits secara jelas. Sedangkan apabila tidak terdapat dalam nash Al-Qur’an maupun al-Hadist maka penjawaban dilakukan dengan pendekatan qauli dan manhaji. Pendekatan qauli dilakukan apabila jawaban dapat dicukupi oleh
Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008 177
Asjmuni Abdurrachman: Prosedur Penetapan Keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional pendapat dalam al-kutub al-mu’tabaroh dan hanya terdapat satu pendapat (qaul), kecuali jika qaul yang ada dianggap tidak cocok lagi untuk dipegangi karena ta’assur atau ta’adzdzur al-’amal atau shu’ubah al-’amal, sangat sulit untuk dilaksanakan, atau karena illat-nya berubah. Dalam hal ini perlu dilakukan telaah ulang (i’adatun nazhar). Melakukan telaah ulang merupakan kebiasaan para ulama terdahulu. Karena itu mereka tidak terpaku terhadap teks-teks hukum yang ada bila teks-teks tersebut sudah tidak tepat lagi untuk dipegangi. Pendapat seperti itu telah dikemukakan antara lain:
1. Imam Al-Qarafi (dalam kitabnya Al-Furuq):
اجلمود عىل المنقوالت ابدا ضالل ىف الدين وجهل بمقاصد علماء المس���لمني والس���لف .الماضني Artinya: “Senantiasa terpaku pada teks pendapat ulama terdahulu adalah suatu kesesatan dalam agama dan (juga) suatu ketidakmengertian terhadap apa yang diinginkan oleh para ulama terdahulu”.
2. Syaikh Nawawi al-Bantani (dalam Nihayah al-Zain):
م���ا تق���رر من أنه ابد من تعميم األضناف ه���و المعتمد ألن معنى احلصر المذكور عند اإلمام الش���افعى رضى اننه عنه إنما ُتصرف لهؤالء ال لغريهم وال لبعضهم فقط بل جيب
والمعنى عند مالك وأبى... وال خيفى ما ىف هذه من الصعوبة سيما زكاة الفطر...استعابه وهذا ُيصدق بعدم استعابهم فيجوز.حنيفة رضى انه عنهما أن ُتصرف لهؤالء ال لغريهم
دفعها لصنف منهم وال جيب تعميم قال ابن عجيل اليمانى ثلث مسائل ىف الزكاة تفتى
قال ولو.عىل خالف المذهب نقل الزكاة ودفع زكاة لواحد ودفعها إلى صنف واحد ًّ كان االشافعى .حيا ألفتى وأطال بعضهم ىف االنتصار بذلك Artinya: “Apa yang ditetapkan (oleh imam as-Syafi’i) bahwa harta zakat harus dibagikan kepada semua ashnaf dengan sama rata adalah merupakan pendapat yang bisa dijadikan pegangan (mu’tamad). Karena arti al-hashr menurutnya adalah membagi (harta zakat) kepada semua ashnaf, tidak kepada yang lainnya ataupun kepada sebagiannya saja... Tentu pendapat Imam asSyafi’i ini sangat susah penerapannya, terutama dalam membagi zakat fitrah. Sedangkan menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah pembagian (harta zakat) tersebut kepada ashnaf, bukan
178
Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008
Asjmuni Abdurrachman: Prosedur Penetapan Keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional yang lainnya, tapi tidak harus kepada semua ashnaf, cukup sebagiannya saja. Pendapat terakhir inilah yang memungkinkan untuk dipakai. Ibnu Ujail al-Yamani berpendapat bahwa ada tiga masalah yang berkaitan dengan zakat yang ditentukan berlainan dengan pendapat Imam Syafi’i, yaitu: memindahkan zakat, membayar zakat kepada satu orang dan membayar zakat hanya kepada satu golongan saja. Ia melanjutkan, seandainya Imam asSyafii masih hidup tentu akan memfatwakannya seperti ini juga”. Apabila jawaban tidak dapat dicukupi oleh nash qath’i dan pendapat yang ada dalam al-kutub al-mu’tabarah, maka jawaban dilakukan melalui pendekatan manhaji. Pendekatan manhaji dilakukan melalui ijtihad jama’i, ijtihad kolektif, dengan menggunakan metode: al-jam’u wat taufiq, ilhaqi dan tarjihi. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan imam madzhab maka penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu diantara pendapat-pendapat madzhab melalui metode al-jam’u wa al-taufiq. Jika usaha al-jam’u wa al-taufiq tidak berhasil maka penetapan fatwa dilakukan melalui metode tarjihi, yaitu dengan menggunakan metode muqaran al-madzahib dan dengan menggunakan kaedah-kaedah ushul fiqh al-muqaran. Memilih pendapat yang paling rajih merupakan satu keharusan. Membiarkan masyarakat untuk memilih sendiri diantara qaul ulama tersebut adalah sangat berbahaya karena hal itu berarti membiarkan masyarakat untuk memilih salah satu qaul tanpa prosedur, tanpa batasan dan patokan. Oleh karena itu, menjadi kewajiban lembaga fatwa yang memiliki kompetensi untuk memilih qaul yang rajih untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat. Ketika satu masalah atau satu kasus belum ada qaul yang menjelaskan secara persis dalam al-kutub al-mu’tabarah namun terdapat padanannya dari masalah tersebut, maka penjawabannya dilakukan melalui metode ilhaqi, yaitu menyamakan suatu masalah yang terjadi dengan kasus padanannya dalam al-kutub al-mu’tabarah. Metode istinbathi dilakukan ketika tidak bisa dilakukan dengan metode ilhaqi karena tidak ada mulhaq bih dalam al-kutub al-mu’tabarah. Istinbathi dilakukan dengan memberlakukan metode qiyasi, istishlahi, istihsani dan sadd al-dzari’ah secara umum penetapan fatwa harus pula memperhatikan kemaslahatan umum (mashalih ‘ammah) dan maqashid al-syari’ah.
F. Proses Penetapan Fatwa tentang ekonomi Islam Penetapan fatwa tentang ekonomi Islam dilakukan oleh sebuah rapat pleno yang dihadiri oleh semua anggota Dewan Syariah Nasional Majelis
Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008 179
Asjmuni Abdurrachman: Prosedur Penetapan Keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional Ulama Indonesia, Bank Indonesia atau lembaga otoritas keuangan lainnya, dan pelaku usaha baik perbankan, asuransi, pasar modal, maupun lainnya. Alur penetapan fatwa tentang ekonomi syariah adalah sebagai berikut: 1. Badan Pelaksana Harian DSN-MUI menerima usulan atau pertanyaan hukum mengenai suatu produk lembaga keuangan syariah. Usulan atau pertanyaan hukum ini bisa dilakukan oleh praktisi lembaga perekonomian melalui Dewan Pengawas Syariah atau langsung ditujukan pada sekretariat Badan Pelaksana Harian DSN-MUI. 2. Sekretariat yang dipimpin oleh sekretariat paling lambat satu hari kerja setelah menerima usulan/pertanyaan harus menyampaikan permasalahan kepada ketua. 3. Ketua Badan Pelaksana Harian DSN-MUI bersama anggota BPH DSNMUI dan staff ahli selambat-lambatnya 20 hari kerja harus membuat memorandum khusus yang berisi telaah dan pembahasan terhadap suatu pertanyaan atau usulan hukum tersebut. 4. Ketua Badan Pelaksana Harian DSN-MUI selanjutnya membawa hasil pembahasan ke dalam Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia untuk mendapat pengesahan hasilnya. 5. Memorandum yang sudah mendapat pengesahan dari rapat pleno DSNMUI ditetapkan menjadi fatwa DSN-MUI. Fatwa tersebut ditandatangani oleh ketua DSN-MUI (ex officio Ketua Umum MUI) dan Sekretaris DSN —MUI (ex officio Sekretaris Umum MUI). 6. Dalam rangka agar fatwa menjadi hukum positif sehingga dapat dijadikan rujukan oleh peradilan dan instansi yang berkompeten, materi fatwa diberi bingkai oleh Bank Indonesia (BI) dengan bentuk peraturan-peraturan atau surat edaran.
DAFTAR PUSTAKA Himpunan Fatwa MUI, Dep. Agama tahun 2003 Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional Indonesia, DSN-BI tahun 2006. Keputusan Ijma Ulama Komisi Fatwa MUI II tahun 2006, MUI tahun 2006. Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majlis Ulama Indonesia, Sekretariat Majelis Ulama Indonesia tahun 2001. Himpunan Ketentuan Perbankan Syari’ah Indonesia (Februari 2005- April 2006), Bank Indonesia, 2006.
180
Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008