PANDUAN PELATIHAN SEM DAN PATH SEM PLS BAHAN 1 : Workshop Sehari Pengembangan Hierarchies Latent Model SmartPls versi 3 Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
disusun oleh : Dr. Sudjana Budhi, SE, MSi website : www.dukutsbudhi.com email :
[email protected] Pusat Analisis Data Ekonomi Bisnis Fakultas Ekonomi Universitas Udayana Jalan Jenderal Sudirman Sanglah Denpasar 22 Juni 2016
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Kopnsep Dasar SEM PLS SEM PLS merupakan metode analisis yang dipergunakan untuk tujuan prediction orientation, dengan small sample, hal mana akan banyak memberikan peluang kepada para mahasiswa unuk memepergunakan metode analisis dengan metodologi yang keabsahannya tidak berkurang. Hair et al (2014) melaporkan perkembangan pengguna SEM PLS yang semakin meningkat secara signifikan pada 5 tahun terakhir melalui pantauan publikasi jurnal internasional. Pada tingkat studi strata 1, mahasiswa dapat mempergunakan sebanyak 10 responden, yang dipilih berdasarkan metodologi penarikan sampling secara benar, maka diharapkan outcome analysis tetap dapat dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiiah. Hal lain yang patut diperhatikan adalah penyusunan daftar pertanyaan yang mewakili dengan baik basis teori yang dipergunakan, serta telah teruji dengan baik bahwa syarat random dimana semua peluang jawaban mewakili skala Likert 1,2,3,4,5 terjawab pada peluang yang sama besar. Jika pertanyaan disusun sangat normative, maka hasil analisis akan menjadi bias. Pertanyaan seperti : karyawan sebuah perusahaan ada yang sangat rajin, sehingga perlu dinaikkan gajinya. Pertanyaan tersebut adalah statemen yang normative, sehingga setipa responden akan cenderung memilih skala 4 dan 5. Fokus studi SEM PLS berbeda dengan covarianced-based study yang saat ini di develop dengan merk dagang AMOS atau Lisrel, keduanya lebih memfokuskan kepada pendekatan uni-dimensional. SEM PLS lebih memperhatikan secara detail dan tuntas kelayakan dari instrument penelitian dalam mengkonstruksikan variabel laten melalui aplikasi analisis factor, yang pengujiannya dilakukan pada dua tahap. Tehap 2
pertama adalah kelayakan reliability dengan penggunaan analisis cronbach, composity reliability, sedangkan tahap kedua adalah melakukan evaluasi terhadap validitas instrumen penelitian. Apabila penelitian mengembangkan sample lebih dari 100, maka penetapan jumlah sample sebanyak 20 responden sebagai uji coba untuk mendapatkan kelayakan menjadi penting dilaksanakan, disebabkan oleh ada kemungkinan daftar pertanyaan tidak dimengerti oleh responden, adanya kendala penyusunan daftar pertanyaan dengan kalimat yang berlebihan, pengukuran instrument yang tidak tepat, yang menyebabkan data menjadi tidak reliable dan valid. Tenenhouse at al (2004) dan juga Henseler et al (2011) merekomendasikan melakukan pengujian sampel sebanyak 20 responden, yang dianggap cukup untuk
untuk menetapkan kualitas daftar pertanyaan melaui uji
reabilitas dan uji validitas. Penelit dapat mempergunakan software SPSS 17 atau versi yamg l;ebih baru untuk melakukan uji reabilitas cronbach Alpha yaitu dengan melakukan pengujian konsistensi internal untuk mendapatkan penilaian atas kondisi inter-item correlation dari indikator yang merefleksikan bahwa konstruk telah memiliki sebaran nilai yang konsisten ( Nunnally dan Bernstein, 1994). Peneliti juga perlu menganalisis dan mengevaluasi instrument penelitian untuk mendapatkan gambaran apakah instrument penelitian memenuhi syarat valid atau sebaliknya. Peneliti sebaiknya mempergunakan konsep pengujian validitas dengan memanfaatkan analisis factor dari Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) sebagaimana direkomendasikan oleh Tabachnick and Field, (2007). Berdasarkan analisis KMO, peneliti dapat memnperolah dua hal sekaligus, pertama kelayakan validitas, kedua adalah multivariate normal distribution yang penting diperhatikan apabila peneliti memutuskan mempergunakan analisis factor, yaiu metode yang selama ini
3
dimanfaatkan untuk mengkonstruksi data skala menjadi laten variabel score. ( Field, 2005). Jika hasil analisis mendapatkan nilai KMO paling sedikit atau lebih dari 0.70, maka dinyatakan sebaran data categorical bersumber dari multivariate normal distribution (Tabachknick dan Field, 2001).
Sedangkan sebaran data categorical
dinyatakan reliable apabila didapatkan paling rendah cronbach Alpha memiliki nilai sebesar 0.60 dapat dinyatakan bahwa data categorical memiliki sebaran data yang reliabel ( Hair et al, 2010).
1.2 Uji Konstruk Outer-model Pengujian statistik terhadap outer-model memanfaatkan analisis faktor untuk mendapatkan kelayakan atas konstruk yang dipergunakan sebelum direlasikan menjadi hubungan kausal antara variabel laten independen dengan variabel laten dependen dalam suatu hubungan model structura (inner-moel). Pengukuran instrument melalui reliabilitas dan validitas menjadi penting disebabkan atas posisi data jika tidak valid akan menyebabkan tercapainya hasil estimasi yang bias (Singleton dan Straits, 2010). Peneliti juga dapat memanfaatkan metode analisis yang lebih lengkap dari software Smartpls versi 2 sebelumnya ke SmartPls versi 3 yang menjadi materi pembahasan tulisan ini. Prosedur pengujian reabilitas juga disarankan mempergunakan loading indicator (Wong, 2013), yang menyatakan bahwa reliability cronbach Alpha sebesar 0.70, atau dapat lebih rendah setingkat dengan 0.60 untuk kegiatan penelitian bersifat ekploratif. Pengukuran reabilitas juga dapat diukur dengan metode composit reability, dimana dinyatakan reliable apabila didapatkan composit reability sebesar 0.70 atau lebih tinggi. Pendekatan metode compoite reability untuk kegiatan penelitian ekploratif dapat mempergunakan kisaran nilai antara 0.60 sampai dengan 0.70 ( Hair et al, 2011).
4
Pengukuran berikutnya adalah melakukan pengujian terhadap validitas instrument sebagai alat ukur untuk terpenuhinya syarat berikutnya untuk dapat dilanjutkan ke tingkat penggunaan metode statistik regressi. Reabilitas bereda dengan validitas. Reliabilitas dan validitas, keduanya diperlukan untuk mendapatkan gambaran atas proses pengukuran daftar pertanyaan dan kualitas informasi yang dapat dihasilkan atas sejumlah item pertanyaan tersebut. Konsep validity adalah merupakan perluasan dari kedalaman atas pengukuran reabilitas. Pengukuran instrumen penelitian dinyatakan valid adalah bilamana alat pengukuran instrument yang bersangkutan dapat berfungsi untuk mengukur apa seharusnya yang perlu diukur (MacKenzie, Podsakoff, & Podsakoff, 2011; Singleton dan Straits, 2010; Trochim dan Donnelly, 2007). Sedangkan reabilitas adalah konsep pengukuran untuk mendapatkan informasi tentang kualitas indikator sebagai instrumen alat pengukuran, yang apabila dilakukan secara berulang dengan obyek yang sama, maka akan didapatkan konstruk yang sama. Keterkaitan antara reability dan validity adalah bahwa sebuah instrumen dinyatakan valid, maka lebih dapat dipastikan bahwa instrument adalah reliable, sedangkan sebuah instrumen dinyatakan reliable belum dapat dinyatakan valid. Meskipun sebuah instrumen dinyatakan reliable yang terbebas dari random errors, tetapi masih mungkin terdapat systematic error, akan tetapi sebuah instrumen dinyatakan valid adalah bahwa instrument tersebut telah terbebas dari persoalan random error dan systematic error. (MacKenzie et al., 2011; Singleton & Straits, 2010). Memahami konsep reability dan validity sebagai pola operasional dalam mengelola instrumen untuk mendapatkan pola pengukuran yang terbebas dari random error dan systematic error adalah untuk mendapatkan informasi data yang berkualitas melalui peggunaan analisis factor EFA. Mengembangkan model penelitian yang reliable dan valid akan membantu peneliti mendapatkan informasi data ditingkat
5
outer-model untuk dapat diteruskan ke tingkat pengembangan metode statistic regressi pada inner model, sehingga akan didapatkan inferensi, interpretasi data dan penarikan kesimpulan yang semakin akurat dan berdaya guna maksimal ( Abugabah and Sanzogni (2010), Amoako-Gyampah (2004), S. Chou and Chang(2008), Chung et al. (2009). Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, bahwa konstruk yang reliable belum tentu memberikan jaminan validitas atas konstruk-koinstruk tersebut, sehingga perlu ditindak-lanjuti dengan pengukuran validitas data (Singleton & Straits, 2010). Sejumlah peneliti lain, Tenenhouse et al (2004), Henseler et al (2011), serta Hair et al ( 2011) merekomendasikan penggunaan the average variance extracted (AVE) untuk mendapatkan convergent validity. Untuk melakukan pengukuran convergent validity, maka nilai AVE adalah minimal atau lebih besar dari 0.50 ( Hair, et al 2011, Wong, 2013). Metode lain yang dapat dipergunakan untuk mendapatkan informasi bahwa sebuah konstruk dapat dinyatakan memiliki discriminant validity, maka indicator loadings harus lebih besar dari cross- loading seluruh konstruk (Hair et al, 2011). Metode lain yang tersedia untk mengukur validitas adalah pengembangan metode average variance extracted (AVE) dari Fornerll dan Larcker (1981). Berdasarkan pendekatan Fornell-Larcker criterion, dinyatakan kondisi discriminant validity terpenuhi jika akar dari AVE untuk setiap variabel laten adalah lebih besar dari korelasi dari relasi antar variabel laten ( Fornell dan Larcker, 1981). Cara lain yang dapat dilakukan untuk untuk mendapatkan convergent validity adalah berdasarkan the heterotrait-monotriat ratio of correlations (HTMT) sebagaimana dikeukakan oleh Henseler, Ringle, dan Sarstedt (2015), yang menyatakan bahwa nilai HTMT sebarannya adalah lebih kecil dari 0.85 dan nilai confidence interval adalah lebih kecil dari 1.0, sehingga dapat dinyatakan konstruk memiliki discriminant validity.
6
(Abugabah and Sanzogni (2010), Chou and Chang (2008). Tabel 5.7 menyajikan hasil analisis discriminate validity berdasarkan pendekatan Fornerll dan Larcker (1981), dan Henseler, Ringle, dan Sarstedt (2015). Berdasarkan kajian sejumlah rujukan tersebut diatas, materi workshop ini kemudian disusun untuk menadi guide-line materi yang searah dengan panduan pustaka yang tersajikan diatas, sehingga dapat dihindari adanya kekeliruan atau multitafsir atas hasil analisis yang dapat membingungkan pembaca. Sejauh yang dapat dihidari, adalah bahwa menulis akan selalu berusaha merujuk kepada jurnal terkini atas pekembangan penggunaan metode SEM PLS pada sejumlah jurnal internasional, sebagai panduan untuk mendapatkan pandangan yang sama atas persoalan praketk penggunaan SEM PLS berikut interpretasi atas hasil analisis SEM PLS tersebut. Software SmartPls Versi 3 student, jurnal SEM PLS internatonal, serta data pimer dari sejumlah mahasiswa S3 ( Indro Kirono, FEB UB 2016 berikut model disertasi atas ijin yang bersangkutan), Candra Dewi MHS S3 FEB UNUD 2016, atas ijin yang bersangkutanb), serta Putu Kawiana MHS S3 FEB UNUD atas ijin yang bersangkutan, telah disertakan pada CDROM sebagai bahan pelatihan di FEB Univ. Brawijaya, Uni 2016.
7
SEM PLS BERBASIS VARIANCE KASUS 1 : Studi Tentang Pengaruh Kapabilitas Sumber Daya Managerial Dalam Membangun Kinerja UsahaPada Perusahaan Logistik Gambar 1.1
Definisi: Variabel :
adalah satuan unit analisis yang dapat diukur seara langsung ( harga, produksi,dst)
Konstruk:
adalah satuan unit analisis yang tidak dapat diuur secara langsung (Kepuasan, kapabilitas, kinerja pelangan, kualitas informasi dst)
Dimensi :
adalah konsep yang bersumber dari teori untuk membangun konstruk tertentu. Dimensi dapat berjumlah sekurang-kurangnya dua buah dan paling banyak 6 buah ( Hair, 2010) yang jumlahnya sangat terikat kepada konsep teori yang dibangun untuk mengkonstruksikan dimensi tersebut.
Indikator :
adalah instrument penelitian yang dibangun berdasarkan konsep dimensi yang telah ditetapkan berdasarkan rujukan teori yang dipergunakan, Instrumen penelitian pada umumnya dibuat dengan mempergunakan daftar pertanyaan.
Tabel 1.1 Konstruk dan Dimensi Capabilitas Konstruk (Y2) (Morash et al., 1996)
Yallwe & Buscemi, 2014
Dimensi
Kode
Penyajian pelayanan kepada pelanggan.
Y2.1
Responsif pada kebutuhan dan keinginan pelanggan.
Y2.2
Efisiensi waktu pengiriman barang kepada pelanggan.
Y2.3
Akses pelanggan untuk mendapatan informasi dan pelayanan
Y2.4
8
Tabel 1.2 Konstruk dan Dimensi Logistic Performance Konstruk Logistic Performance (Y1) (Stock dan Lambert, 2001 Bowersox et al., 2000)
Dimensi
Kode
Kinerja pelayanan angkutan barang on time delivery.
Y1.1
Management angkutan barang delivery lead-time.
Y1.2
Daya tanggap perusahan terhadap keluhan pelanggan
Y1.3
Skala Pengukuran : 1 : Sangat tidak setuju 2 : Tidak Setuju 3 : Neutral 4 : Cukup Setuju 5 : Sangat setuju
Tabel 1.3 Dimensi dan Pengukuran skala Likert Kode
Indikator Capabilities
Skala
Y1.1
Perusahaan mampu memberikan layanan terbaik kepada pelanggan.
1
2 3
4 5
Y1.2
Perusahaan tanggap terhadap kebutuhan dan keinginan pelanggan.
1
2 3
4 5
Y1.3
Perusahaan mampu meminimalisir waktu pengiriman pada pelanggan
1
2 3
4 5
Tabel 1.4 Dimensi dan Pengukuran skala Likert Kode
Indikator Capabilities
Skala
Y2.1
Perusahaan anda selalu menerapkan on time delivery.
1
2
3
4
5
Y2.2
Perusahaan anda mampu untuk memperpendek delivery lead-time.
1
2
3
4
5
Y2.3
Perusahaan anda dapat meminimalkan biaya logistik.
1
2
3
4
5
Y2.4
Perusahaan anda dapat merespon keluhan pelanggan dengan cepat.
1
2
3
4
5
9
Tabel 1.1 Data survey Lapangan ( Indro Kirono, Surabaya, 2015) Hasil Awawncara Collobaration (Y2) dan Logistic Performance (Y1)
Y1.1 5 5 3 4 4 5 3 4 4 3 3 5 4 4 4 3 4 4 5
Y1.2 5 5 4 4 5 5 3 3 3 4 3 5 4 5 4 3 3 3 4
Y1.3 5 4 5 4 3 5 3 2 3 3 3 5 3 4 3 2 3 1 4
Y2.1 4 5 3 4 5 5 3 3 3 3 4 4 3 3 4 4 4 3 5
Y2.2 4 4 3 4 3 5 3 3 3 3 3 4 3 5 4 4 4 3 5
Y2.3 4 4 3 4 4 5 4 4 3 3 3 4 3 5 3 4 4 3 5
Y2.4 4 5 5 4 5 5 3 4 3 3 4 5 4 5 4 4 4 3 4
Langkah Pertama : Penyusunan Model Capabilities berpengaruh terhadap kinerja usaha (lihat Gambar 1.1)
Y1 = α 1 + β 1Y 2 + ε 1
……………. (1.1)
Persamaan (1.1) adalah dikenal dengan model regressi, yang terdri dari persamaan dependent Y1, serta persamaan independent Y2. Sehubungan dengan kedua anggota persamaan (1.1) adalah bukan variabel, tetapi adalah konstruk, yaitu satuan unit analisis yang tidak dapat diukur secara langsung, tetapi mempergunakan skala pengukuran Likert (1,2,3,4,5), sehingga diperlukan dua prosedur penyelesaian analisis yaitu (a) Outer-model dann (b) Inner-model. Prosedur pengukura tingkat pertama, disebut outer-model, yaitu penggunaan analisis factor untuk mendapatkan regression score. Penggunaan secara langsung metode regressi tidak dapat dilakukan pada data nominal (categorical data), sehingga perlu dicari skala pengukuran mempergunakan analisis factor. Berbeda dengan metode
10
regressi yang telah kita kenal, pada teknik analisis factor, data latent didapatkan dengan cara mereduksi yang berbeda dengan metode kuadrat sebagaimana dilakukan pada metode regressi. Gambar 1.4 Konstruk Logistic Perpformance (Y1)
Langkah pertama, adalah penyelesaian pengukuran skala data categorical yang diperoleh dari responden
(lihat Gambar 1.4). Data dipolakan dengan cara
melakukan reduksi atas sebaran data melalui metode rata-rata. Data Tabel 1.1 dilampirkan bersama naskah ini, kemudian diolah berdasarkan pengunaan tiga software, Excl sheet, SmartPLS 3 dan SPSS 17, untuk kemudian dibandingkan dengan cara manual dengan Excel. Ketiga cara dilakukan untuk mendapatkan konfirmasi hasil, sehingga pembaca dapat melakukan penilaian atas metode reduksi tersebut dalam menghasilkan data baru yang disebut data laten, versi SmartPLS 3, SPSS 17 dan Excel worksheet secara manual. Tabel 1.1 selengkapnya disediakan pada CDROM dengan jumlah data seluruhnya sebanyak 46 buah yang terdiri dari dua konstruk yaitu Y1 dan Y2. Berdasarkan pengelompokkan data Y1.1 sampai dengan Y1.3 untuk mengkonstruksi variabel laten Y1, serta Y2.1 sampai dengan Y2.4 untuk mengonstruksi Y2, maka didapatkan cara berhitung Excel dengan teknik rerata reduksi berbasis analisis factor, didapatkan hasil akhir tersajikan pada Tabel 1.2. Versi perhitungan excel dinyatakan sebagai std. Y1 dan std. Y2, sedangkan versi Garbing-Anderson yang didapatkan melalui prosedur SPSS disajikan sebagai SPSS Y1 dan SPSS Y2. (lihat panduan prosedur Arderson-Garbing pada CDROM).
11
Tabel 1.2 Hasil Olah Data Excel dan SPSS
Tabel 1.2 menyajikan teknik perhitungan manual mempergunakan sheet excel dapat dilihat sampel perhitungan pada CDROM yang disertakan pada modul workshop ini. Tujuan yang ingin dicapai dari cara berhitung manual adalah untuk memahami pola kerja SmartPls yang seakan gelap tanpa kita fahami bahwa sebenarnya konsep yang mendasari penyelesaian outer-model adalah bahwa SmartPls memanfaatkan secara optimal prosedur analisis factor untuk menyelesaikan model SEM PLS ditingkat awal yaitu mengkonstruksikan kualitas data outer-model untuk mendapatkan regression score. SEM PLS bekerja secara bertahap untuk mendapatkan model prediksi dalam bentuk final statistical report yang dilengkapi dengan sejumlah uji statistik. SEM PLS bekerja melalui dua tahapan, yaitu TAHAP Analisis Factor dan TAHAP Analisis regressi. Pada tingkat mengkonstruksikan kerangka hubungan antara konstruk dengan indikatornya, SmartPLS mempergunakan analisis Factor, karena data yang dipergunakan umumnya adalah categorical data dengan skala tertentu, seperti skala Likert ( 5 skala), skala 7 ataupun skala 9. Pada tingkat ketika proses analisis factor selesai dilakukan, maka pekerjaan SEM PLS telah memiliki regression score, yang dapat diteruskan dengan analisis regressi.
12
Pengembangan model SEM PLS yang dikembangkan oleh Herman Wold (1981), Joreskoug (1988), kemudian menjadi lebih dikembangkan ke tingkat prediction oriented dengan small sample, serta melalui penggunaan regressi yang tidak full regresseion atau dikenal sebagai partial regression, yang tidak memerlukan asumsi normalitas. Bahwa focus studi SEM PLS bukan ditargetkan berorientasi kepada final statistical report seperti pada pendekatan covariance-based model ( AMOS, Lisrel, EQS dan seterusnya), melainkan lebih terfokus kepada upaya untuk mendapatkan
kualitas
mempertimbangkan tidak
informasi
model
ditingkat
modeling
dengan
hanya model konstruk yang reflective, tetapi juga
fenomena adanya variabel laten yang berkarakter formative, yang tidak mungkin dapat diselesaikan dengan pendekatan covariance-based. Kita akan bahas secara khusus model formative pada uraian tersendiri, sementara pokok bahasan kita adalah untuk memahami pola kerja analisis factor dalam mengkonstruksikan variabel latent kemudian menjadi regression score. Penelitian mahasiswa yag mempergunakan data categorical dimulai dari 1,2,3,4,5 adalah data skala yang tidak dapat diperlakukan secara utuh melalui penggunaan analisis regressi, karena data categorical bukan data numeric, tetapi adalah data laten yaitu data yang diperoleh melalui cara pengukuran tidak secara langsung. Dengan demikian, tahap penyelesaian data categorical secara umum sampai saat ini diselesaikan dengan memanfaatkan analisis factor yang berbasis kepada upaya mendapatan pengelompokkan data berdasarkan dimensi, terposisikan lebih tinggi, sedang atau rendah, meskipun ditingkat akhir bisa diselesaikan dengan metode regressi, bahwa statistical result tetap memiliki karakter dimensi, bukan kuantitatif yang berbasis variabel. (lihat Gambar 1.5). Gambar 1.5 disebut sebagai proses outer-model, yaitu proses pembentukan latent variable menjadi regression score dengan bantuan analisis factor. Proses pembentukan konstruk bersumber dari indikator yang merefleksikan konstruk bersangkutan. Banyak metode yang dapat dipergunakan, antara lain yaitu prosedur Anderson Garbing, sebagaimana dapat ditemukan pada prosedur dimension reduction factor analysis pada SPSS untuk mendapatkan regression score. (lihat Tabel 1.2 untuk konstruk Y1 SPSS dan Y2 SPSS. Ketika regression score sudah didapatkan, maka proses berikutnya adalah menghubungkan
konstruk satu dengan kontruk
lainnya melalui tanda panah. Pada proses menghubungkan satu konstruk dengan kontruk lainnya memerlukan metode regressi untuk menyelesaikannya. 13
Gambar 1.5 Tahap Analisis Factor
Gambar 1.5 adalah focus dari studi SEM PLS dalam rangka mendapatkan kualitas informasi yang konsisten dan tidak bias. SEM PLS memperkenalkan pendekatan model formative ( lihat Lennox dan Bollen, (1991), Diamantopoluos dan Winkhover, (2001), Jarvis et al (2003), Petter (2007), Henseler et al (2009), Hair et al (2010), serta Ringer et al (2014). Sebuah konstruk dinyatakan reliable apabila terpenuhi nilai cronbach Alpha paling minimal 0.60 ( Nunally dan Bersttein, 1988),
cara lain dengan
mempergunakan pendekatan composite reability ( Chin et al (1988), juga dengan nilai minimal dengan keragaman paling kecil 0.60. Ketika kualitas data yang dianalisis ternyata tidak reliable, maka peneliti bisa kembali melihat instrumen penelitian, yang memiliki kemungkinan pertanyaan dengan jawaban ganda, atau sejumlah pertanyaan yang memiliki tendensi mengarah kepada jawaban tertentu, sehingga meniadakan peluang random yang seharusnya menjadi acuan responden dalam menjawab secara bebas, memahami dengan benar dan mengerti atas jawaban mengapa mereka memilih skala 1,2 atau skala lainnya. Sebagiamana telah dinyatajan sebelumnya, bahwa model regressi dapat dilakukan apabila proses outer-model telah menunjukkan data instrument adalah reliabel dan valid. Gambar 1.6 menyajikan proses ke tingkat innermodel . 14
Gambar 1.6 Tahap Analisis Regressi
Prosedur berikutnya adalah dalam rangka mendapatkan instrumen yang dapat memberikan jaminan validitas alat ukur, bahwa emas diukur bukan dengan timbangan kilogram, atau sebaliknya beras bukan ditimbang dengan alat timbangan emas. Secara garis besar, konsep pengukuran validitas dapat dilakukan dengan banyak metode antara lain, dengan prosedur Keizer-Meiser-Ohlin yang dikenal sebagai KMO ( Alkalaf et al (2012), Nimoko et al (2014).
Standar pendekatan SmartPLS 3
merekomendasikan tiga prosedur untuk mengukur validitas. (1) prosedur FornellLarscher (1988), kedua adaah prosedur cross-loading ( Chian, 1988), serta ketiga adalah prosedur heterotrait-monotrait ratio ( Henseler et al (2015). Khusus untuk konstruk berkarakter formative, pendekatan diatas tidak dapat dipergunakan, karena model formative tidak mengenal standar error individual, melainkan adalah standar error bersama ( seperti ditemukan pada regressi berganda). Langkah pertama dapat dilakukan dengan melihat sebaran nilai signifikansi dari outer-weight per indikator dari konstruk yang bersangkutan. Apabila statistik t tidak signifkan, maka dapat dinyatakan model formative tidak valid dan tidak dapat dilanjutkan sebagai pilihan analisis ke proses berikutnya (Barclay et al (1995), Diamantopoluos dan Winkhover, 2001).
Cara lain yang dapat dilakukan untuk 15
mendeteksi kelayakan model formative adalah melalui penggunaan analisis VIF untuk mendapatkan uji collinearity (Tenenhouse et al (2004). Basis pendekatan konsep formative adalah bersifat multi-dimensional, sehingga dinyatakan model formative layak untuk dipertimbangkan ke analis berikutnya apabila nilai VIF lebih kecil dari 3 untuk inner model, serta VIF lebih kecil dari 10 untuk outer model untuk sebuah model statistik yang terbebas dari gejala multi-collinearity. Bahan workshop ini diharapkan dapat menjadi bahan review tentang SEM PLS yang disederhanakan, pada proses dimana pemahaman pola yang sederhana dapat menggugah dipergunakan alat analisis SEM PLS khususnya SmartPls pada kebutuhan penulisan skripsi pada jenjang pendidikan Strata 1, yang diyakini bisa dilakukan pada model hubungan tiga variabel laten dangan pengembangan model mediasi segitiga, serta dukugan software Excel dan SPSS dapat dimanfaatkan sebagai pengantar, untuk nantinya bisa masuk ke SmartPLS 3 jika pemahanan mahasiswa sudah menjadi lebih baik dan memadai. Bahasan berikut akan lebih banyak menguraikan pemahaman data yang tidak dapat diukur secara langsung dikenal sebagai construck yang tidak sama dengan variable. Kemudian terpenting bagi kita adalah menyadari bahwa pengukuran skala adalah pengukuran dimensional, yang memiliki keterbatasan ruang gerak dalam meng-interpretasikan hasil, yang tidak dapat diselaraskan dengan pengembangan model regressi dengan data kuantitatif dan dinyatakan sebagai variable.
16
KASUS 2 : SIMULASI EXCEL OUTER-MODEL
Data yang dipergunakan sebagai sumber untuk memahami pola kerja analisis factor dan regressi, telah disertakan pada CDROM dan ditampikan sebagian pada Tabel 1.1 . Hasil perhitungan Excel dan SPSS untuk mendapatkan regression score ternyata dapat dibuktikan sama, terdapat sedikit perbedaan karena adanya decimal yang menyebabkan perbedaan yang tidak signifikan. Jika latent variable cara excel dan cara SPSS dibandingkan, maka seperti tampak pada Gambar 1.7 yang dikelola dengan teknik reduksi mempergunakan excel, serta Gambar 1.8 sepenuhnya mempergunakan fasilitas dimension reduction analisis factor versi Anderson Garbing (1988), sebagaimana disertakan pada pengembangan SPSS. Gambar 1.7 Latent Variable Regression Score Hasil Olah Data Excel
Cara berhitung melalui cara reduksi dan dibagi dengan standar deviasi, didapatkan std. Y1 dan std. Y2 yang sepenuhnya dilakukan dengan cara manual, sehingga dinyatakan sebagai data latent, yang menjadi basis perhitungan data skala pada Smartpls, dan sejumlah software SEM dan PATH lainnya. Membandingan cara excel dan SPSS membuktikan bahwa pola sebaran grafik pada Gambar 1.7 dan Gambar 1.8 adalah sama dan tidak berbeda. Dengan demikian paling sedikit dapat difahami, bahwa alur pembentukan data latent berbasis analisis factor yang mempergunakan prosedur teknik reduksi. Gambar 1.8 17
Latent Variable Regression Score Hasil Olah Analisis Factor Data SPSS
Penelusuran terhadap hasil akhir dari hubungan kausalitas dari Y1 dan Y2 dalam pola hubungan regressi sederhana, membuktikan bahwa data latent yang diperoleh dari pengolahan excel sama dengan data yang diperoleg melalui cara Anderson Garbing melalui fasilitas analisis factor pada SPSS ( lihat Gambat 1.9 dan Gambar 1.10). Gambar 1.9 REGRESSION SCORE VERSI PERHITUNGAN EXCEL Regression Variables Entered/Removedb Variables Entered
Model 1
y2
Variables Removed
Method
a
. Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: y1 Model Summary Model
R
1
.594a a.
Adjusted R Square
R Square .352
Std. Error of the Estimate
.338
.81378
Predictors: (Constant), y2 ANOVAb
Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
15.850
1
15.850
Residual
29.138
44
.662
Total
44.988
45
F 23.934
Sig. .000a
18
a. Predictors: (Constant), y2 b. Dependent Variable: y1 Coefficientsa Standardized Coefficients
Unstandardized Coefficients Model 1
B
(Constant)
Std. Error
-7.331E-17
y2 a. Dependent Variable: y1
Beta
t
.120
.000 1.000
.121
.594
Sig.
4.892
.594
.000
Bardasarkan Ganbar 1.9 didapatkan nilai F yang hanya berbeda pada satu digit, serta nilai R yang hanya berbeda 0.02. Hal yang juga didaptkan pada parameter pada standar beta 0.594 pada model excel yang didapatan sebesar 0.597 pada model SPSS. Dengan demikian, model perhitungan excel adalah valid dan dapat dijadikan rujukan untuk mendapatkan prosedur Anderson Garbing yang juga diterapkan pada SmartPls. Pembaca dapat membuktikan bahwa model dua variabel yang dipolakan melalui penggunaan SmartPls akan menghasilkan model regressi yang sama.
Gambar 1.10 REGRESSION SCORE VERSI ANALISIS FACTOR SPSS Regression Model Summary Model
R
R Square
Adjusted R Square
1 .597a .357 a. Predictors: (Constant), zb
Std. Error of the Estimate
.342
.81100230
ANOVAb Model 1
Sum of Squares
Df
Mean Square
Regression
16.060
1
16.060
Residual
28.940
44
.658
Total
45.000
45
F
Sig.
24.418
.000a
a. Predictors: (Constant), zb b. Dependent Variable: za Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant) Zb
Std. Error
1.849E-17
.120
.597
.121
Standardized Coefficients Beta
t .597
Sig. .000
1.000
4.941
.000
a. Dependent Variable: za
19
Gambar 1.11 menyajikan informasi grafik dari data latent yang bersumber pada perhitungan Smartpls, yang ternyata tidak berbeda banyak dengan Gambar 1.8 maupun Gambar 1.9, sehingga dapat disimpulkan bahwa model pengembangan metode Anderson Garbing yang terdapat pada SPSS juga didapatkan pada SmartPls. Meskipun dengan SPSS bisa didapatkan nilai indikator loading factors, namun SPSS tidak memiliki orientasi kebutuhan praktis seperti yang dapat ditampilkan pada SmartPls, sehingga relatif banyak waktu yang dihabiskan dalam pengolahan data untuk mendapatkan model penyelesaian praktis, seperti disajikan pada SmartPls. Gambar 1.11 Latent Variable Regression Score Hasil Olah Analisis Factor SmartPls versi 3
KASUS 3 : APLIKASI MODEL SMARTPLS Pembahasan
pada
dua
kasus
sebelumnya
telah
menyajikan
dan
mengkonstruksi regression score melalui cara reduksi sebagaimana lazim dipergunakan pada analsis factor. Harapan yang ingin disampaikan bahwa pengembangan model SEM PLS tidak harus terikat pada SmartPLS, bahkan dalam pengembangan model penelitian berbasis data persepsi (catagorical), dapat dilakukan dengan mempergunakan excel, atau SPSS, meski juga disadari menjadi lebih menghabiskan waktu dan tidak praktis khusus untuk pengembangan model penelitian yang melibatkan lebih banyak variabel latent. Berikut disampaikan perluasan dari model penelitian Gambar 1.1 ke pengembangan tiga hubungan variabel, dengan information sharing sebagai variabel eksogen, yaitu variabel laten yang berdiri sendiri dan tidak menerima tanda panah dari variabel latent lainnya.
20
Gambar 1.12 merupakan pengembangan dari Gambar 1.1, Gambar 1.5 dan Gambar 1.6 dengan menyertakan konstruk information sharing, sehingga terdapat tiga variabel laten yang saling berhubungan satu sama lainnya. Kita pada saatnya juga akan mendapatkan model mediasi yang terbentuk dari pola hubungan antar variabel laten yang berbentuk segitiga. Gambar 1.12 Model Kinerja Perusahaan Logistik
Gambar 1.12 menyajikan pola hubungan capabilities (Y2) sebagai jembatan penghubung yang disebut mediator dari variabel laten information sharing (X1). Dengan demikian, hubungan kausal dari information sharing terhadap logistic performance (Y1) dinyatakan sebagai hubungan tidak langsung (indirect effect). Information sharing yang mengarahkan tanda panahnya secara langsung ke logistic performance dinyatakan sebagai hubungan langsung. Pola hubungan tiga variabel laten dinyatakan sebagai hubungan segitiga dimana teori mengenal pola hubungan partial mediation dan full mediation. Dinyatakan sebagai partial mediation, apabila hubungan kausal antara information sharing dengan logistic performance adalah signifikan ( Lihat Hair et al, 2010). Sedangkan dinyatakan konstruk capabilities dapat berfungsi sebagai mediator dalam kondisi full mediation, apabila hubungan langsung information sharing dengan logistic performance (H3) adalah tidak signifikan. 21
Pengujian atas hipotesis berkaitan dengan peran mediation, dapat kita lakukan dengan dua cara yang berbeda. (a) mempergunakan metode yang tersedia pada SmartPls, serta (b) mempergunakan prosedur pengujian Sobel yang berada diluar model SmartPls. Prinsip pengembangan uji statistik mediasi pada SEM PLS secara garis besar masih berpedoman kepada Baron dan Kenny (1999), yang kemudian diterjemahkan menjadi kalkulasi Sobel. Kita akan menempatkan model segitiga dimaksud dilengkapi dengan sumber data pada SmartPls versi 3. Model yang dimaksud dapat dilihat pada Gambar 1.13. SmartPls versi 3 masih tetap mempertahankan dua tahap penyelesaian model penelitian, pertama adalah tahap estimasi untuk mendapatkan prosedur pengujian outer-model berbasis analisis factor, langkah kedua adalah prosedur bootstrapping untuk mendapatkan uji statistik berbasis metode regressi. Langkah kedua disebut penyelesaian inner-model, yaitu menghubungkan konstruk penelitian sesuai dengan model yang dirumuskan peneliti. Langkah pertama, adalah focus studi SEM PLS yang sangat mencermati pengembangan verifikasi model, apakah seluruh konstruk yang dipergunakan berdimensi reflective, atau reflective – formative, atau seluruhnya formative. Dalam hal menetapkan apakah formative atau reflective, diperlukan rujukan yang memadai. Lennox dan Bollen (1991), Diamantopolous dan Winkhover (2001), Jarvis et al (2003) serta Petter (2007), Hair et al (2010) adalah sumber rujukan yang sangat memadai untuk menetapkan sebuah konstruk dinyatakan refective atau formative. Diamantopolous dan Winkhover (2001) adalah penggagas terkemuka yang merumuskan model formative berbasis konstruk. Dengan demikian, untuk menentukan sebuah variabel laten memiliki karakter formative tidak ditentukan berdasarkan penilaian atas indikator yang dipergunakan peneliti, tetapi berdasarkan konstruk yang dipergunakan, antara lain adalah dari sumber data yang terindek (Diamantopolous dan Winkhover, 2001), konstruk menggambarkan nuansa bilangan seperti marketing expences, government budget ( Hair et al, 2010). Berdasarkan rujukan diatas, model formative dapat dinyatakan mewakili sumber data bersifat non persepsi, serta data bilangan yang berpotensi merubah konstruk. Hair et al (2012) memberikan ilustrasi tentang ciri-ciri orang mabuk, yang jalannya tidak stabil, bicara tidak normal dan sulit difahami dan seterusnya, dapat dinyatakan sebagai peristiwa reflective. Tetapi ketika sejumalah orang bertindak 22
melakukan pesta minuman keras, maka minuman keras merupakan causal effect yang menyebabkan orang menjadi mabuk. Ilutrasi lainnya, seperti anggaran pemerintah untuk memberdayakan orang miskin melalui bantuan modal dan pelatihan. Tentu model bantuan pemerintah tersebut akan menjadi pertimbangan untuk dipolakan menjadi model formative, karena nuansa bilangan dalam bentuk dana pemerintah akan mengubah banyak orang miskin keluar dari kemiskinan, hal yang sangat berbeda, jika peneliti hanya ingin mengetahui sejumlah indikator yang ada pada rumah tangga miskin, seperti kurang gizi, pendidikan rendah dan seterusnya, sehingga model refective dapat dipergunakan. Kita akan membahas model formative pada bagian akhir dari pembahasan, dengan harapan bahwa pemahaman terhadap reflective dengan prosedur pengujiannya dapat difahami terlebih dahulu. Gambar 1.13 akan kita teruskan dengan pengolahan data untuk mendapatkan sejumlah hasil analisis berkaitan dengan pengukuran reabilitas dan validitas. Gambar 1.13 Model SmartPls Kinerja Logistik
Langkah pertama, adalah untuk mendapatkan informasi bahwa indikator yang merefleksian konstruk
yang bersangkutan memiliki sebaran loading factor yang
covary ( Jarvis et al (2003), yaitu dimana loading factor memiliki kesetaraan sebaran nilai satu sama lainnya, disebabkan karena refective memiliki karakter uni23
dimensional. Karena memiliki dimensi yang uni-dimensional, maka menghilangkan satu indikator tidak akan mempengaruhi makna atas konstruk yang bersangkutan, hal yang sangat berbeda dengan model formative yang memiliki karakter multidimensional. Berdasarkan data med.csv yang disediakan pada CDROM, didapatkan hasil pengolahan data sebagaimana disajikan pada Gambar 1.14. Kita masih melihat perlu melakukan reduksi atas sejumlah indikator yang belum menunjukkan pola covary, sehingga tidak memberikan jaminan penuh bahwa model reflective yang kita dapatkan adalah memiliki karakter uni-dimensional. Pada konstruk Y1 terdapat loading factor Y1.3 sebesar 0.707 yang masih belum memiliki kesetaraan dengan indikator Y1.1 dan Y1.2. Meskipun demikian, apabila konstruk hanya direfleksikan hanya oleh dua indikator, teknik reduksi indikator mungkin sebaiknya tidak perlu dilakukan. Gambar 1.14 Hasil Analisis Estinasi SmartPls (tahapan outer-model)
Hair et al (2010) merekomendasikan indikator sebuah konstruk minimal 2 buah dan maksimal 6 buah. Rekomendasi Hair et al (2010) didasarkan atas pertimbangan bahwa perbanyakan indikator akan menciptakan peluang terjadinya tetrad, dimana akan lahir indikator yang sama persis pada konstruk yang berbeda. Konstruk Y2 yang tergejala tidak covary terdapat pada indikator Y2.1 serta indikator X1.4 dengan nilai 0.921 yang berada diatas indikator lainnya. Reduksi 24
atas konstruk Y1 tidak membawa dampak yang diharapkan, sehingga membiarkan tanpa reduksi menjadi lebih baik, sangat berbeda dengan konstruk Y2 dan konstruk X1, yang berhasil menempatkan loading factor menjadi covary. Reduksi atas sejumlah indikator telah membuat koreksi atas nilai estimasi H1 yaitu pola hubungan X1 dengan Y2, serta pola hubungan X1 dengan Y1, demikian juga Y2 dengan Y1. Perubahan estimasi terjadi sekaligus membuktikan bahwa estimasi akan berubah apabila dimensi reflective belum memiliki sebaran covary secara memadai. Ketika kesetaraan loading factor sangat setara, maka perubahan estimasi tidak akan terjadi disebabkan telah berfungsinya dimensi yang unidiomensional. Gambar
1.15
membuktikan
bahwa
reduksi indikator
dengan
tidak
menyertakan Y2.1 pada konstruk Y2 telah membuktikan konstruk memiliki sebaran loading factor yang covary, perbaikan sebaran loading factor yang semakin uni-dimensional juga dilakukan dengan tidak menyertakan indikator X1.4 pada konstruk X. (lihat Gambar 1.15). Gambar 1.15 Hasil Analisis Estimasi SmartPls (tahapan outer-model)
Kita dapat membuktikan bahwa dengan menghilangkan salah satu dari indikator X1, tidak akan merubah nilai estimasi 0.300 ( X1 ke Y1) atau 0.441 ( X1 ke Y2), yang membuktikan teori bahwa pada karakter reflective, menghilangkan 25
salah satu dari indikator tidak membawa perubahan makna atas relasi yang sedang berjalan. Ketika tahapan konsep uni-dimensional telah dapat menetapkan model reflective secara tuntas pada kondisi yang sehat, maka tahap berikutnya adalah melakukan penilaian apakah instrumen kuestioner yang kita gunakan adalah reliable sebagai penyedia informasi yang memiliki konsistensi internal atau tidak. Banyak peneliti seringkali mengabaikan pentingnya menetapkan instrumen pertanyaan yang dapat mewakili random probability dimana skala Likert memiliki peluang yang sama untuk terpilih berdasarkan persepsi responden. Pertanyaan yang bersifat normative, misalnya dapat menciptakan kondisi dimana responden akan memilih skala 4 dan 5, hal yang dapat menimbulkan bias dengan kualitas informasi yang bernilai rendah. Pertanyaan yang dimulai dengan hal-hal yang umum dan normative seperti bahwa karyawan yang rajin bekerja sebaiknya ditingkatkan gajinya, akan di respon oleh semua responden terpilih untuk menjawab 4 atau 5. Itulah sebabnya, bahwa instrument penelitian sepatutnya diuji terlebih dahulu sebelum diputuskan untuk ditingkatkan ke analisis inner-model ( regression methods). Tabel 1.3 menyajikan uji reabilitas mempergunakan cronbach Alpha yang mensyaratkan bahwa sebuah konstruk reliable apabila nilai konstruk berada diatas 0.60 ( Nunally dan Berstein, 1988), sebaran nilai composite reability diatas 0.60 ( Henseler et al, 2009). Sedangkan AVE memiliki sebaran minimal 0.50 untuk nantinya dapat dipergunakan untuk mengukur validitas konstruk. Tabel 1.3 Hasil Analisis Estimasi SmartPls
Kemajuan yang ditampilkan dari SmartPls versi 3 adalah digabungkannya AVE yang d iakarkan dengan cross-correlation menjadi satu kesatuan, karena cukup banyak yang memberikan interpretasi yang salah atas hubungan antara AVE dengan cross-correlation. Fornell dan Larscher yang menjadi penggagas pola pengukuran
26
AVE dan cross-correlation adalah dengan membandingkan AVR minimum ( akar AVE) dengan korelasi yang dapat dibangun oleh konstruk yang bersangkutan terhadap variabel laten lainnya. Apabila kondisi konstruk yang bersangkutan dicerminkan oleh nilai AVE minimum, memiliki cross-correlation dengan konstruk lain ternyata lebih besar, maka dinyatakan tidak valid discriminant, karena upaya membangun korelasi dengan pihak lain tampak lebih kuat dibandingkan dengan kapasitas konstruk yang bersangkutan. Tabel 1.4 menyajikan hasil analisis dari metode Fornell-Larscher AVE – cross-correlation.
Tabel 1.4 Uji Validitas Fornall-Larscher
Tabel 1.4 menyajikan hasil uji akar AVE ( 0.869) untuk X1, dan 0.810 untuk X2, serta 0.840 untuk nilai AVE minimum Y2. Berdasaran nilai akar AVE sebesar 0.869 ternyata masih lebih besar dibandingkan dengan korelasi X1 – Y1 sebesar 0.516, serta korelasi X1 – Y2 sebesar 0.441 yang lebih rendah dari AVE minimum 0.869. Berdasarkan perbandingan tersebut, maka konstruk X1 adalah valid discriminant. Konstruk Y1 memiliki nilai akar AVE sebesar 0.810 yang masih lebih besar dibandingkan dengan korelasi X1 – Y1 (0.516), serta lebih besar dari korelasi Y2 – Y1 ( 0.662), dengan demikian maka konstruk Y1 adalah valid discriminant. Konstruk terakhir yang perlu di evaluasi adalah Y2 dengan akar AVE sebesar 0.842 yang ternyata masih lebih besar dibandingkan dengan cross-correlation dari konstruk yang bersangkutan terhadap X1 dan Y1, yaitu masing-masing dengan nilai korelasi 0.441 dan 0.662. Dengan demikian, semua konstruk yang disertakan yaitu X1, Y1 dan Y2 adalah valid discriminant (lihat Fornell-Larscher, 1998). Prosedur kedua yang dapat dilakukan untuk menguji validitas adalah dengan mempergunakan cross-loading ( Chin, 2010), yang mempolakan bahwa loading factor utama yang bersumber dari konstruk yang bersangkutan lebih besar dibandingkan dengan nilai korelasi yang dibangun dari variabel tersebut terhadap konstruk lainnya. 27
Tabel 1.5 Uji Cross-loading Factor utama
Tabel 1.5 menyajikan evaluasi validitas berdasarkan nilai loading factor utama terhadap nilai cross-loading factor dengan konstruk lainnya. X1 memiliki loading factor utama dengan X1.1, X1.2 dan X1.3 yang ternyata masih lebih tinggi dibandingkan dengan nilai loading factor diluar loading factor utama, yaitu loading factor X1.1 dengan Y1 (0.400), X1.1 dengan Y2 (0.465), X1.2 dengan Y1 (0.504), X1.2 dengan Y2 (0.465), sehingga dapat dinyatakan bahwa validitas konstruk Y1 memiliki loading factor utama (Y1.1 = 0.844), (Y1.2= 0.870), (Y1.3 = 0.720) yang ternyata masih lebih besar dibandingkan dengan cross-loading factor yaitu diluar loading factor utama yaitu Y1.1, Y1.2 dan Y1.3 masing-masing dengan X1 dan Y2, maka dengan demikian konstruk Y1 dinyataan valid discriminant. Konstruk terakhir yang perlu ditelusuri validitasnya adalah Y2 dengan sebaran loading factor utama adalah ( Y2.2 = 0.840), (Y2.3 = 0.872) dan (Y2.4= 0.813) yang ternyata masih lebih besar dibandingkan dengan cross-loading factor yaitu diluar loading factor utama yaitu Y2.2, Y2.3 dan Y2.4 masing-masing dengan X1 dan Y1, maka dengan demikian konstruk Y2 dinyatkan valid discriminant. Prosedur ketiga yang dapat dilakukan untuk menguji validitas adalah berdasarkan metode heterotrait-monotrait ratio sebagaimana dibahas oleh Henseler et al (2015) yang mempergunakan standar pengukuran nilai 0.85 sebagai batas atas ratio, dan menyatakan bahwa sebaran nilai ratio dibawah 0.85 dinyatakan valid discriminant.
28
Tabel 1.6 Uji Validitas Heterotrait-monotrait Ratio
Seluruh sebaran nilai menunjukkan masih dibawah 0.85, sehingga dinyatakan ketiga konstruk adalah valid discriminant ( Henseler et al (2015). Prosedur berikut untuk lebih memastikan bahwa model reflective adalah valid dan layak dipercaya sebagai konstruk yang mampu memberikan informasi yang berkualitas, dapat ditelusuri dengan meanfaatkan uji signifikansi pada konstruk outerloading, disajikan pada Tabel 1.7. Berdasarkan sajian Tabel 1.7 dapat disimpulkan bahwa seluruh konstruk memiliki P-values lebih kecil dari 5%, sehingga dapat dinyatakan bahwa seluruh konstruk adalah valid dan meyakinkan peneliti untuk dapat diteruskan ke proses analisis inner-model. Tahap terakhir adalah melakukan pengujian model hipotesis yaitu memproses tingkat hubungan kausal antar konstruk dan menetapkan taraf signifikansinya. Ternyata hasil analisis menunjukkan bahwa seluruh konstruk memiliki peluang Pvalues lebih kecil dari 5% (lihat Tabel 1.8). Tabel 1.7 Uji Konstruk Signifikansi outer-loading (dimensi reflective)
Berdasarkan Tabel 1.8 didapatkan estimasi parameter X1-Y1 sebesar 0.300, X1-Y2 sebesar 0.441 serta Y2-X1 sebesar 0.489. Dengan hasil tersebut, maka seluruh hipotesis penelitian ini terjawab dan dapat diteruskan ke tingkat rekomendasi bahwa 29
hubungan kausal yang dibangun penelitian ini dapat diyakini sebagai proses hubungan signifikan, dengan dimensi capabilities (Y1) memberikan dampak paling dominan disusul oleh
oleh information sharing (X1) berdampak secara langsung kepada
kinerja logistik.
Tabel 1.8 Uji Hipotesis Penelitian (dimensi reflective)
Hasil bootstrapping yang dilakukan melalui smartpls versi 3 dapat disajikan melalui relasi antar path disajikan pada Gambar 1.16 Gambar 1.16 Hasil Analisis Bootstrapping SmartPls
KASUS 4 : APLIKASI MODEL MEDIASI SMARTPLS Model SEM PLS yang telah dibahas telah menguraikan model parsial yang menyajikan prosedur uji outer-model dan inner-model. Outer-model adalah metode analisis
yang
memanfaatkan
analisis
factor,
sedangkan
pada
inner-model 30
mengembangkan model relasi antar konstruk dengan metode regressi. Tulisan ini memperluas model yang telah dibahas dengan mengembangkan teknik mediasi. Kita memberikan dua cara penyelesaian model mediasi. Pertama, adalah dengan cara manual yang dapat dilakukan melalui teknik Sobel, sehingga berada diluar proses Smartpls. Cara kedua, adalah dengan menyelesaikan mediasi melalui Smartpls versi 3, yang mengembangkan tiga metode penyelesaian yaitu mediasi berdasarkan prosedur product, two stages dan orthogonalized. Kita akan membahas default yang dipergunakan smartpls yaitu metode two stages. Peneliti dapat memanfaatkan ketiga model pendekatan sebagai pilihan, untuk mendapatkan model estimasi yang paling masuk akal, paling tidak lebih banyak didapatkan target signifikansi sacara statistik. Gambar
1.17
menyajikan
prosedur
penyelesaian
interaction
effect
yang
menggambarkan peran X1 yang mempengaruhi Y2 melalui mediasi Y2.
Gambar 1.17 Hasil Analisis Bootstrapping SmartPls
Interaction effect ( mediation effect) didapatkan dengan signifikansi t sebesar 3.25 yang tenyata masih lebih nesar dari t.05 = 1.96. Hasil analisis bootstrapping disajikan pata Tabel 1.9 dengan p-values lebih kecil daro 5%.
31
Tabel 1.9 Uji Mediasi Berbasis Two Stages ( default analysis )
Berdasarkan sumber data yang dipergunakan, ternyata prosedur penyelesaian product indicator dan prosedur two stages tidak terlihat memiliki perbedan yang berarti, meski tidak dapat menjamin pada kasus datya yang berbeda hasilya akan serupa, karena dengan metode yag berbeda juga akan diiberlakukan asumsi teoritik yang berbeda (lihat Tabel 1.10).
Tabel 1.10 Uji Mediasi Berbasis Product Indcator ( option peneliti )
Gambar 1.18 yang diperoleh dari perhitungan mediasi product indicator tampak menunjukkan pada penurunan nilai statistic t dari 3.25 pada estimasi mediasi berdasarkan metode two stages (lihat Gambar 1.18) mengalami penurunan nilai t pada meted product indicator sebesar2.970 (lihat Gambar 1.19).
32
Gambar 1.18 Hasil Analisis Bootstrapping SmartPls
Prosedur ketiga adalah metode orthogonalized yang dikembangkan smartpls versi 3 seperti disajikan pada Tabel 1.10 serta Gambar 1.19 yang ternyata mencatat perbedaan sebaran nilai staistik t, dari ketiga prosedur pengujian mediasi tersebut.
Tabel 1.10 Uji Mediasi Berbasis Orthogonalized ( option peneliti )
33
Gambar 1.19 Hasil Analisis Bootstrapping SmartPls Metode Orthogonalized
Peneliti masih memiliki peluang yang lain, yaitu penggunaan prosedur uji mediasi Sobel ( Baron dan Kinney, 1984) untuk dipergunakan yang terlepas dari metode SMartpls, serta berada diluar model perhitungan yang dapat mempengaruhi model estimasi secara keseluruhan. Apabila penggunaan proses perhitungan mediasi mempergunakan smartPls tidak memuaskan, maka peneliti masih punya piliha ke empat yaitu prosedur perhitungan Sobel, sebagaimana disajikan pada Gambar 1.20.
********************
34