ORASI ILMIAH KONTROL DAN PENCEGAHAN KRIMINALISASI ANAK DI KOTA BIMA OLEH ROSTINAH, SKM,M.KES Dalam semua abad baik itu abad kuno, pertengahan maupun jaman modern angka dan pelaku kriminalisasi anak bertambah baik itu yang sadis, nekrofil ataupun pedofil. Perilaku yang masyarakat umum anggap sebagai perilaku abnormal tetapi menjadi perilaku menyenangkan bagi para pelaku kriminalisasi anak. Kriminalisasi anak dapat dilakukan dalam 3 bentuk yaitu fisik, emosional/psikologis, dan seksual. Kekerasan terhadap anak adalah perbuatan atau tindakan yang didasari kekerasan yang mengarah pada fisik, emosional, psikologis, atau seksual, seperti pemaksaan atas sesuatu yang tidak diinginkan anak, tidak memberikan dukungan finansial, ancaman perceraian, pengabaian anak secara terus-menerus, dan merampas kedamaian pikiran anak. Secara deduktif pelecehan fisik anak bisa termasuk mendorong, menarik rambut dalam
kemarahan,
menendang,
meninju,
memukul
kepala,
menikam,
memutar
telinga, mutilasi, menggigit, dan pembunuhan, pelacuran paksa, pornografi paksa, dipaksa melakukan hubungan seksual yang tidak diinginkan, oral dan anal seksual, partisipasi paksa dalam pesta mabuk-mabukan (drunken orgy), dan incest. Kasus kriminal anak mencapai di Kota Bima sebanyak 39 kasus, tahun 2017 sampai bulan jul mencapai angka 29 kasus. Pelecehan
emosional,
psikologis,
atau
mental
seorang
anak
sering
dilakukan
secara verbal untuk kesalahan yang sangat tidak berarti, anak itu terus disiksa secara mental baik itu lewat Omelan, memarahi, memberi peringatan, melawan anak, dan menyalahkan anak. Jika Secara teratur hal ini maka akan merusak mental anak apalagi kalau dilakukan oleh orang tua, wali atau guru serta keluarga terdekat anak. Hal ini bahkan lebih menimbulkan trauma kepada anak. Trauma anak biasa dipicu oleh kekerasan keluarga. Di antara faktorfaktor
yang
Masalah
uang,
menyebabkan penolakan
kekerasan akses
seksual,
keluarga mabuk
adalah atau
kelainan alkoholisme,
seksual, narkoba
pelecehan dan kecanduan, stres pekerjaan rumah tangga, mempunyai anak-anak Kebutuhan khusus, dan kurangnya rasa saling menghormati. Sangat sering kita membaca tentang anak—anak yang dipekerjakan secara paksa baik dalam dunia pornografi dan merampas hak mereka untuk menempuh pendidikan. Setiap hari kita mendengar dan membaca berita anak-anak hilang karena penculikan, trafickking, aborsi, hamil diluar nikah, pernikahan dini dll yang menjadikan masalah kriminal anak menjadi masalah yang membutuhkan perhatian bersama-sama dari pemerintah, keluarga, intansi
pendidikan dan organisasi masayarakat yang concern terhadap masalah kriminal anak. Sebagian besar trafficked terjadi karena orang tua bercerai, atau berpisah, kemiskinan, lulusan sekolah yang tidak bekerja, anak putus sekolah, dan lokalisasi. Ada bermacam macam teori sosiologis yang menjelaskan eksploitasi, penyalahgunaan kriminal, dan traffi cking pada anak, dalam menjelaskan etiologi kejahatan kita bisa melihat dampak kriminalitas berkaitan dengan kondisi ekonomi. Etiologi kriminalisasi anak melekat dalam lingkungan sosial dan sistem dari semua masyarakat, Eliminasi Kemiskinan adalah mimpi yang gagal dalam mode produksi kapitalis. Struktur kelas masyarakat, ketergantungan inheren anakanak,
Unsur
kekuatan
di
alam
pikiran
manusia,
padrologi
pedofilia
dan
Nymphomania, hedonisme yang tidak dapat diatasi dalam sifat manusia, keserakahan Dari beberapa orang baik wanita maupun laki-laki, temperamen kasar orang lain, incorrigibility dari beberapa anak, dan selera seksual yang tidak dapat diatasi adalah salah satu faktor yang membuat penyalahgunaan kriminal anak-anak tak terelakkan dalam masyarakat modern. Ketergantungan seorang anak membuatnya rentan terhadap penganiayaan oleh orang dewasa manapun atau remaja lainnya. Di sekolah dasar di mana guru sekolah, kepala sekolah, menggunakan hukuman fisik untuk mendisiplinkan anak terkadang membuat mereka putus sekolah dan hal ini memacu tingkat kriminal anak bertambah luas. Kelalaian anak merupakan ciri umum pola asuh orang tua yang buruk diperparah dengan sistem sekolah yang masih menggunakan kekerasan sebagai bentuk dari edukasi maka itu merupakan bagian dari pelecehan anak, seperti yang dilakukan seorang ibu yang menampah anaknya yang berusia 10 bulan karena menangis, apakah itu masuk akal? Karena seorang bayi berumur 10 bulan tidak dapat mengartikulasikan mengapa dia menangis. Ada juga kasus seorang ibu yang menolak menyusui anaknya yang berusia 5 bulan dan meninggalkannya menangis karena harus pergi bekerja. Pelecahan anak juga terjadi karena ibu menggoyang dan melempar bayi yang menangis keatas dan kebawah sebagai cara membuat anak berhenti menangis juga merupakan pelecehan anak. Masalah yang besar sekarang adalah pelecehan anak didunia maya seperti anak terpapar gambar dan video pornografi yang di postkan di internet. Pornografi terutama bagi remaja di bawah usia 17 tahun adalah bisnis yang berkembang pesat di internet. Anak-anak dieksploitasi dipasar pornografi, wisata seks yang menjajakan anakanak dibawah umur untuk diperdagangkan ke turis asing maupun lokal. Menurut UNICEF lebih dari 1 juta anak hilang setiap tahunnya akibat penculikan internasional, pencurian, dan penjualan anak-anak. Globalisasi telah menciptakan pasar yang besar untuk pelacuran anak, tidak dapat disangkal tidak ada negara di dunia ini yang kebal terhadap pelacuran anak
termasuk negara kaya maupun negara religius. Di banyak negara di dunia, baik yang kaya maupun yang miskin, beberapa anak terbengkalai. Yang paling menyedihkan adalah saat anak-anak kelaparan di suatu negara banyak terjadi pelecehan seksual terhadap anak-anak di seluruh dunia bahkan telah mencapai proporsi epidemi. incest semakin meningkat; mereka yang seharusnya melindungi anak-anak adalah orang-orang yang menghancurkan mereka. Dunia telah terobsesi seks dan sesat, membuat Sodom dan Gomora terlihat suci di mata masyarakat kontemporer. Keamanan anak-anak di seantero dunia telah terancam oleh kondisi ekonomi, globalisasi, dan kemajuan teknologi dunia maya. Permasalahan kriminal anak bisa diselesaikan dengan pendekatan agama. Agama memiliki doktrin yang kuat untuk melindungi anak-anak dari kekerasan. Setiap agama menetapkan aturan baku seperti perilaku antara suami dan istri, orang tua dan anak-anak bagaimana cara memperlakukan orang dengan adil termasuk anak-anak. Seperti yang dikatakan Emile Durkheim pada tahun 1958, "“Society is religion and religion is society.” Every religion has the responsibility of protecting children, because children are the future of every society and the future of every religion. Sayangnya, beberapa sekte agama menyalahgunakan wanita dan anak-anak dan menjadikan kriminalisasi anak brtambah masif. Selain agama pencegahan kriminalisasi anak dengan adanya peraturan yang tegas dari negara ataupun masing-masing daerah terkait kriminalisasi anak. Setiap negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memiliki undang-undang yang melindungi wanita dan anakanak.seperti yaitu undang-undang melarang "menjual atau membeli anak-anak. Isu eksploitasi seksual terhadap anak-anak di seluruh dunia mendorong PBB untuk mengambil tindakan pengendalian segera sejak tahun 1970an. Adapun masukan dari para delegasi dari semua kalangan masyarakat, agama, dan budaya sehingga Jenderal PBB Majelis dengan suara bulat mengadopsi Konvensi Hak-hak Anak. Dengan tegas, konvensi tersebut mengutuk eksploitasi seksual anak di bawah umur dalam pelacuran, penggunaan anak secara eksploitatif dalam pertunjukan berbau pornografi, penculikan, penjualan, dan trafficking anak-anak, dan praktik seksual yang tidak sah. Anak membutuhkan pendidikan tentang modus operandi para pedagang trafiking pada wanita dan anak-anak. Pemerintah harus memiliki batasan tentang cybersex atau melarangnya sepenuhnya. Pemerintah, organisasi agama, dan keluarga harus bersatu untuk mengurangi penyebaran penyimpangan seksual di seluruh dunia. PBB, pemerintah, dan LSM harus terlibat mengendalikan epidemi seksual mengerikan ini. Aparat penegak hukum harus bertanggung jawab dalam menegakkan hukum terhadap pelanggaran hukum dan penyalahgunaan perempuan dan anak-anak. Hukuman untuk keterlibatan dalam traffi cking
pada wanita dan anak-anak harus diperketat bahkan tanpa pembebasan bersyarat Banyak negara telah melewati legislasi melawan traffi cking pada wanita dan anak-anak, namun tidak ada penegakan yang ketat terhadap hukum-hukum itu bahkan cenderung hukum bisa dsuap disegala aspek. Selain itu, negara-negara di dunia harus mengatasi masalah kemiskinan. PBB dan negara-negara maju harus membantu mengurangi kemiskinan di banyak negara karena traffi cking dan penyalahgunaan perempuan dan anak-anak terjadi karena faktor ekonomi atau kemiskinan karena beberapa orang tua miskin menjual anak mereka untuk terlibat dalam prostitusi sebagai cara untuk bertahan hidup dari kemiskinan. Perlu adanya Perda perlindungan anak di Kota dan Kabupaten Bima, ironiisnya perda itu belum ada maka perlu ada kerjasama dari berbagai pihak agar perda PPA bisa dicetuskan agar meminimalisir kriminalisasi anak. Mengutip Kak Seto Mulyadi dalam sebuah seminar pendidikan mengatakan bahwa mendidik anak tidak perlu dengan kekerasan. Mendidik itu dilakukan dengan hati. Kalau anak diajari dengan kasar dan kekerasan, anak tidak akan tumbuh sebagai pembelajar sejati dalam hidupnya. Kunci sukses dalam mengajar adalah menciptakan suasana yang ramah. Para pendidik harus bisa menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi anak-anaknya. Oleh karena itu para pendidik harus terus belajar dan berpikir secara kreatif dalam mengajarkan ilmu kepada anak-anaknya secara menyenangkan. Jika hal ini terus menerus diasah, maka anak akan tumbuh menjadi seorang pembelajar yang sejati. Anak-anak akan memahami betul apa makna belajar, yaitu berusaha memahami, merasakan dan menyelesaikan sebuah permasalahan. Sebagai orang tua sekaligus pendidik, kita dituntut untuk bisa mendidik anak dengan hati agar anak bisa merasa nyaman untuk mengoptimalkan potensi dirinya.Saya contohkan kisah seorang ibu yang mendidik anaknya dengan hati. Ia seorang single parents asal korea yang memiliki anak cacat bernama Hee Ah Lee. Bayangkan, anaknya hanya memiliki panjang kaki sebatas lutut dengan jari-jari tangan yang hanya berjumlah empat jari. (dua dikiri dan dua dikanan) yang lebih malangnya lagi anaknya juga mengalamai keterbelakangan mental. Bila menilik secara logika, sulit membayangkan anaknya bisa sukses. Tapi berkat ibunya yang penuh cinta kasih dalam mendidiknya juga berkat gurunya yang perduli pada Hee Ah Lee, akhirnya anak tersebut berhasil menjadi seorang pemain piano yang terkenal di Asia bahkan didunia. Timbul pertanyaan dibenak kita mengapa anak–anak yang cacat fisik dan keterbelakangan mental bisa memiliki prestasi yang mengagumkan? dan memiliki pribadi yang mulia dan bermanfaat bagi sesamanya. Hal ini tak lain karena ibu dan gurunya melihat peserta didiknya dengan Kacamata hati sehingga dia memberikan kasih sayang dan cinta yang tulus, Ibu dan gurunya fokus pada solusi dari persoalan yang dihadapi anaknya, dengan demikian ia bisa menemukan mutiara terpendam
dari bakat Hee Ah Lee anaknya, Ibu dan gurunya sadar bahwa anak adalah titipan Allah, oleh karenanya ia jaga dengan penuh kearifan. Timbullah kesadaran untuk mencurahkan perhatian pada anaknya. Jadi jangan pernah merasa Tuhan tidak adil bila anak kita memiliki kekurangan atau berbeda dengan anak yang lain karena Allah tahu bahwa sebagai pendidik kita sanggup mengatasinya. Selain itu masalah yang timbul pada anak bisa menjadi ladang amal buat kita bila sabar dalam mendidiknya. Pentingnya mendidik dengan hati karena hati adalah dasar dari pemikiran. Bila baik hatinya maka baiklah pikirannya. Jadi salah besar bila kita lebih menjejali otak anak dengan nilai-nilai akademik yang tinggi semata sementara hatinya tetap kita biarkan kering dan gersang.
PUSTAKA 1. Adepoju, A. 2005. “Review of Research and Data on Human Traffi cking in Sub- Saharan Africa.” In Data and Research on Human Traffi cking: A Global Survey, edited by F. Laczko and E. Gozdziak. Geneva: International Organization for Migration, pp. 75–90. 2. Brennan, D. 2005. “Methodological Challenges in Research with Traffi cked Persons: Tales from the Field.” In Data and Research on Human Traffi cking: A Global Survey, edited by F. Laczko and E. Gozdziak, 17–34. Geneva: International Organization for Migration. 3. Ebbe, O. N. I. 2007. “Th e Nature and Scope of Traffi cking in Women and Children.” In Global Traffi cking in Women and Children, edited by O. N. I. Ebbe and D. K. Das. Boca Raton, FL: CRC Press/Taylor & Francis Group. 4. Garrett, J. 2008. “Jerry Jones on the Run.” Chattanooga Times Free Press, May 6. 5. Laczko, F., and Gozdziak, E., eds. 2005. Data and Research on Human Traffi cking: A Global Survey. Geneva: International Organization for Migration. 6. Okereke, G. O. 2005. “Th e International Trade in Human Beings: A Critical Look at the Causes Factor.” Contemporary Criminal Justice Review 21(86):4–17. 7. Tyldum, G., and Brunovskis, A. 2005. “Describing the Unobserved: Methodological Challenges in Empirical Studies on Human Traffi cking.” In Data and Research on Human Traffi cking: A Global Survey, edited by F. Laczko and E. Gozdziak. Geneva: International Organization for Migration. 8. Ebbe, O. N. I. 2007. “Introduction: An Overview of Traffi cking Women and Children.” In Global Traffi cking in Women and Children, edited by O. N. I. Ebbe and D. K. Das. Boca Raton, FL: CRC Press/Taylor & Francis Group. National Center for Missing and Exploited Children. http://www.missingkids.com, accessed May 6, 2008.