MENINGKATKAN PROFESIONALISME GURU DALAM MEWUJUDKAN LITERASI SAINS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KIMIA/IPA BERKONTEKS ISU-ISU SOSIOSAINTIFIK (SOCIOSCIENTIFIC ISSUES) Oleh: Sri Rahayu* *Sri Rahayu adalah dosen Jurusan Kimia & Korprodi S2/S3 Pendidikan Kimia Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Keynote paper disampaikan dalam Semnas Pendidikan Kimia & Sains Kimia di Fakultas Pendidikan MIPA FKIP Universitas Negeri Cendana, 8 Mei 2015
PENDAHULUAN Berbagai terobosan dan kemajuan dalam bidang sains/ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan besar dalam meningkatkan kualitas hidup manusia di berbagai penjuru dunia (Friedman, 2007). Namun, seiring dengan perkembangan tersebut muncul permasalahan baru yang terkait dengan etika, moral dan isu-isu global yang justru mengancam martabat dan kelangsungan hidup manusia, seperti isu-isu tentang pemanasan global, berkurangnya sumber energi secara global atau munculnya berbagai bentuk polusi (Hurd, 1998). Permasalahan ini tidak saja mengkhawatirkan individu perorangan tapi juga masyarakat global dan masalah tersebut hanya dapat diselesaikan melalui sarana komunikasi dan kerjasama antar masyarakat global. Sebagai masyarakat global kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah dampak pemanasan global bagi kelangsungan hidup mahkluk hidup di bumi? Bagaimana caranya mengurangi polutan beracun? Bagaimana caranya memenuhi kebutuhan energi yang semakin menipis? Agar supaya dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu, diperlukan masyarakat yang memiliki pemahaman tentang ide-ide ilmiah, kemampuan intelektual, kreativitas, penalaran, dan juga memiliki kepedulian terhadap isu-isu dan masalah yang terjadi di alam sehingga mereka dapat menjaga kelestarian lingkungan, kesehatan, dan dapat mengambil keputusan tentang kebijakan sosial untuk diri sendiri dan masyarakat global. Harapan ini dapat tercapai jika masyarakat memiliki literasi sains (scientific literacy). Oleh karena itu, literasi sains semakin diperlukan dewasa ini agar kita dapat hidup di tengah-tengah masyarakat modern (New Zealand Curriculum Guides, 2013). Dalam kenyataannya, perkembangan literasi sains telah menjadi prioritas utama dalam bidang pendidikan sains di sekolah (Sadler 2004; Tytler 2007). Masyarakat yang berliterasi sains berarti masyarakat tersebut memiliki pengetahuan dan memahami konsep-konsep dan proses ilmiah yang diperlukan untuk membuat keputusan, mampu menyadari dan berpartisipasi secara aktif dalam diskusi serta memiliki rasa peduli dan mampu membuat keputusan terhadap isu-isu yang terjadi di masyarakat dan dunia secara global. Kebijakan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun merupakan kebijakan yang terkait dengan standar minimal mutu sumber daya manusia. Dengan kebijakan ini diharapkan semua masyarakat Indonesia akan memiliki literasi sains (Hidayat, 2007). Selain itu, kurikulum sekolah untuk sains juga seharusnya mengarahkan pembelajaran sains agar terwujud siswa yang nantinya menjadi masyarakat yang berliterasi sains. Kurikulum di SRI RAHAYU adalah Dosen & Korprodi pascasarjana prodi Pendidikan Kimia Universitas Negeri Malang (UM)
1
Indonesia yang baru yaitu kurikulum 2013 juga mengharapkan terwujudnya hal tersebut dengan cara menetapkan kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa di masa depan seperti (a) kemampuan untuk berkomunikasi, (b) kemampuan untuk berfikir kritis, (c) kemampuan untuk mempertimbangkan masalah dalam sisi moral dan (d) kemampuan hidup dalam masyarakat yang global. Harapan kurikulum masa depan ini menunjukkan pentingnya memasukkan isu-isu sosial saintifik (socioscientific issues) dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Socioscientific issues menjadi semakin penting dalam bidang pendidikan sains karena dapat digunakan sebagai alat untuk: (a) membuat pembelajaran sains menjadi lebih relevan bagi kehidupan siswa; (b) wahana yang mengarahkan hasil belajar seperti apresiasi siswa terhadap hakikat sains; (c) meningkatkan argumentasi siswa dalam berdialog; (d) meningkatkan kemampuan siswa dalam mengevaluasi data dan informasi ilmiah; dan (e) merupakan komponen penting dalam literasi sains (Sadler & Zeidler, 2004: 6). Impian agar terwujudnya masyarakat berliterasi sains dapat diwujudkan apabila guru sebagai komponen penting dalam sisten pendidikan memiliki kompetensi yang memadai sebagai manifestasi dari keprofesionalannya. Salah satu bentuk kompetensi tersebut adalah mampu merancang sebuah pembelajaran yang dapat mengarahkan siswa agar aspek/kemampuan yang diperlukan dalam berliterasi sains tercapainya. Sebagai contoh, bagaimana merancang pembelajaran yang berlatar belakang “socioscientific issues” dengan beberapa aspek penunjang literasi sains dan menerapkannya di kelas. Dalam makalah ini dibahas tentang: a) pengertian literasi sains, b) hakekat sains (NOS) dan berfikir kritis sebagai komponen penting dalam literasi sains, c) Isu-isu Sosial-saintifik (Socio-scientific Issues) sebagai konteks belajar; d) peranan guru yang professional dalam mengembangkan literasi sains siswa.
PEMBAHASAN Pengertian Literasi Sains (scientific literacy) Istilah scientific literacy telah digunakan dalam literatur sejak empat dekade yang lalu, namun pengertian-pengertian yang dikemukakan tersebut tidak selalu sama. Secara harfiah literasi berasal dari kata literacy yang bearti melek huruf/gerakan pemberantasan buta huruf (Echols & Shadily, 1990). Sedangkan istilah sains berasal dari bahasa Inggris Science yang bearti ilmu pengetahuan. Holbrook & Rannikmae (2009) menggambarkan bahwa ada dua kelompok utama orang yang memiliki pandangan tentang scientific literacy, yaitu kelompok “science literacy” dan kelompok “scientific literacy”. Kelompok pertama “science literacy” memandang bahwa komponen utama literasi sains adalah pemahaman konten sains yaitu konsep-konsep dasar sains. Pemahaman kelompok pertama inilah yang banyak dipahami oleh guru-guru sains saat ini baik di Indonesia maupun di luar negeri. Kelompok kedua, scientific literacy, memandang scientific literacy searah dengan pengembangan life skills (Rychen & Salganik, 2003), yaitu pandangan yang mengakui perlunya keterampilan bernalar dalam konteks sosial dan menekankan bahwa literasi sains SRI RAHAYU adalah Dosen & Korprodi pascasarjana prodi Pendidikan Kimia Universitas Negeri Malang (UM)
2
diperuntukan bagi semua orang, bukan hanya kepada orang yang memilih karir dalam bidang sains atau spesialis dalam bidang sains. Gräber dkk (2001) menjembatani kedua kelompok ini dengan model literasi sains seperti Gambar 1. Model literasi sains dalam Gambar 1 menunjukkan bahwa literasi sains tersebut berbasis kompetensi dan merupakan hasil interseksi (persinggungan) antara “what do people know” (terdiri dari kompetensi konten sains dan kompetensi epistemologis), “what do people value” (terdiri dari kompetensi etika/moral), dan “what can people do” (terdiri dari kompetensi belajar, kompetensi sosial, kompetensi prosedural, kompetensi berkomunikasi). Model scientific literacy ini menekankan perlunya keseimbangan antar berbagai kompetensi dan membutuhkan keterampilan dalam pengambilan keputusan socio-scientific (sosial-saintifik) (Holbrook & Rannikmae, 2007). Holbrook & Rannikmae (2009) mengembangkan definisi baru tentang literasi sains yang menjadi target pendidikan sains. Mereka menyarankan perlunya apresiasi tentang hakikat sains (NOS) dan relevansinya dengan sains yang sedang diperoleh, sehingga mengembangkan literasi sains melalui pendidikan sains adalah mengembangkan kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan keterampilan sains secara kreatif berlandaskan bukti-bukti cukup, khususnya yang relevan dengan karir dan kehidupan sehari-hari dalam memecahkan permasalahan-permasalahan penting dan memberi menantang
secara pribadi didalam
membuat keputusan social-saintifik secara berpertanggung jawab. Selain itu, dalam literasi sains diperlukan juga kemampuan mengembangkan keterampilan berinteraksi secara kolektif, pengembangan diri dengan pendekatan komunikatif, dan perlunya menunjukkan penalaran yang dapat dimengerti dan persuasif dalam memuat argumentasi dalam isu-isu sosio-saintifik. PISA 2000 dan 2003 menetapkan tiga dimensi besar literasi sains dalam pengukurannya, yakni kompetensi/proses sains, konten/pengetahuan sains dan konteks aplikasi sains. Pada PISA 2006 dimensi literasi sains dikembangkan menjadi empat dimensi, tambahannya yaitu aspek sikap siswa terhadap sains (OECD, 2007).
Ditinjau dari aspek kompetensi/proses sains, pendidikan sains perlu mengembangkan kemampuan siswa memahami hakekat sains (nature of science/NOS), prosedur sains, serta kekuatan dan limitasi sains. Siswa perlu memahami bagaimana ilmuwan sains mengambil data dan mengusulkan eksplanasi-eksplanasi terhadap fenomena alam, mengenal karakteristik utama penyelidikan ilmiah. PISA menetapkan tiga aspek dari komponen kompetensi/proses sains berikut dalam penilaian literasi sains, yakni mengidentifikasi pertanyaan ilmiah, menjelaskan fenomena secara ilmiah dan menggunakan bukti ilmiah. Proses kognitif yang terlibat dalam kompetensi sains antara lain penalaran induktif/deduktif, berfikir kritis, pengubahan representasi, mengkonstruksi eksplanasi berdasarkan data, berfikir dengan menggunakan model dan menggunakan matematika.
SRI RAHAYU adalah Dosen & Korprodi pascasarjana prodi Pendidikan Kimia Universitas Negeri Malang (UM)
3
Ditinjau dari aspek konten/pengetahuan sains, PISA mencakup konten sains yang menjadi kurikulum sains sekolah dan juga pengetahuan yang diperoleh melalui sumber-sumber informasi lain yang tersedia. Yaitu, pengetahuan yang sesuai untuk memahami alam dan memaknai pengalaman dalam konteks personal, sosial dan global, yang diambil dari bidang studi IPA.
Ditinjau dari aspek konteks, soal-soal soal pada penilaian PISA berfokus pada situasi yang terkait pada diri individu, keluarga dan kelompok individu (personal), terkait pada komunitas (social), serta terkait pada kehidupan lintas negara (global). Konteks PISA mencakup bidang-bidang aplikasi sains dalam seting personal, sosial dan global, yaitu: (1) kesehatan; (2) sumber daya alam; (3) mutu lingkungan; (4) bahaya; (5) perkembangan mutakhir sains dan teknologi. Salah satunya adalah konteks socioscientific issues (SSI)
Gambar 1. The Gräber model for scientific literacy Hakekat Sains (Nature of Science) dan Berfikir Kritis Sebagai Komponen Penting Dalam Literasi Sains Pemahaman tentang hakikat sains, Nature of Science (NOS) dan berfikir kritis merupakan komponen penting dalam meningkatkan literasi sains siswa. Berikut ini dibahas mengenai NOS dan berfikir kritis. a) Pemahaman tentang hakikat sains (NOS) Pemahaman tentang hakikat sains (NOS) ditetapkan sebagai salah satu kharakteristik yang diharapkan bagi seseorang yang memiliki literasi sains (scientific literacy), dimana orang
SRI RAHAYU adalah Dosen & Korprodi pascasarjana prodi Pendidikan Kimia Universitas Negeri Malang (UM)
4
tersebut secara umum harus mengembangkan pemahaman konsep, prinsip, teori dan proses sains dan menyadari adanya hubungan yang kompleks antara sains, teknologi dan masyarakat dan yang lebih penting adalah pemahaman tentang NOS (Abd-El-Khalick & BouJaoude, 1997: 673). Jadi pada prinsipnya NOS mencakup konsepsi tentang pengetahuan sains, nilai-nilai dan keyakinan dalam memperoleh pengetahuan sains tersebut, serta pengaruhnya terhadap masyarakat, budaya dan teknologi dalam sains (Lederman, Abd-El-Khalick, Bell & Schwartz, 2002; Osborne, Collins, Ratcliffe, Millar & Duschl, 2003). Karena konsepsi tentang hakikat sains (NOS) berbasis pengetahuan, maka konsep tentang hakikat sains dapat diajarkan kepada siswa (Abd-El-Khalick & Lederman, 2001). Oleh karena itu, dewasa ini banyak kurikulum sains di dunia termasuk Indonesia bertujuan untuk membantu siswa memperoleh pemahaman yang memadai tentang NOS. Manfaat memasukkan NOS kedalam kurikulum, diantaranya dapat meningkatkan hasil belajar tentang materi sains, minat terhadap sains, pengambilan keputusan terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan sains dan cara penyampaian pembelajaran sains (Driver, Leach, Miller, & Scott, 1996). Lederman (1992) mendefinisikan NOS sebagai epistemology of science (epistemologi sains), sains sebagai a way of knowing (cara untuk mengetahui), atau values (nilai-nilai) and beliefs (keyakinan) yang melekat dalam pengembangan dan validasi pengetahuan saintifik. Lembaga untuk reformasi pendidikan sains Amerika Serikat yaitu American Association for the Advancement of Science (AAAS, 2013) memberikan rekomendasi Science for All Americans yang mencakup 12 bidang, dua diantaranya adalah 1) The Nature of Science mencakup pandangan dunia ilmiah, metode inkuiri ilmiah, hakikat-hakikat upaya ilmiah dan 2) Habits of Mind yang mencakup sikap, keterampilan, cara berfikir yang diperlukan dalam literasi sain. AAAS memberikan definisi tentang hakikat sains yang lebih luas dan dapat diterima oleh para ilmuwan dan pengajar sains. AAAS menggambarkan hakikat sains sebagai aspek hakikat sains yang saling berhubungan yaitu pengetahuan ilmiah seperti hukum ilmiah (scientific laws) dan teori ilmiah (scientific theories) merupakan objek yang dapat berubah (tentative). Alasan pengetahuan ilmiah bersifat tentatif merupakan akar dari aspek-aspek yang lain, yaitu: Pengetahuan ilmiah didasarkan pada data empiris; Pengumpulan dan interpretasi data pengamatan dipengaruhi oleh pandangan ilmiah/ teori (theory driven); Pengetahuan ilmiah merupakan hasil imaginasi (inferensial) dan kreatifitas (creative) manusia; Langkah penelitian dan hasil penelitian dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budaya sekitarnya (social and cultural embeddedness of science). Beberapa peneliti mensurvei bagaimana pemahaman calon guru sains dan guru-guru sains di luar negeri tentang hakikat sains (NOS) dengan asumsi bahwa pemahaman guru tentang sains dapat mempengaruhi pemahaman siswa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada umumnya, seperti halnya siswa, guru dan calon guru tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang NOS (misalnya penelitian King, 1991; Lederman & SRI RAHAYU adalah Dosen & Korprodi pascasarjana prodi Pendidikan Kimia Universitas Negeri Malang (UM)
5
Zeidler, 1987; Tsai, 2002). Mengingat pentingnya memasukkan aspek NOS untuk meningkatkan literasi sains siswa, beberapa penelitian berupaya untuk mengkaji cara-cara yang efektif untuk meningkatkan pemahaman guru tentang hakikat sains (Akerson, Abd-ElKhalick, & Lederman, 2000). Menurut Lederman (1998), ada tiga strategi pembelajaran yang utama untuk mengajarkan NOS selama empat dekade, yaitu melalui pendekatan sejarah, pendekatan
eksplisit
dan
pendekatan
implisit.
Contoh-contoh
penelitian
berikut
menginvestigasi penggunaan pendekatan eksplisit dan implicit. Penelitian yang dilakukan oleh Khishfe & Lederman (2009) tentang hubungan antara konteks dengan pemahaman tentang NOS. Hasil penelitian kualitatif ini menunjukkan bahwa pemahaman siswa yang diajarkan materi pelajaran dengan NOS secara eksplisit meningkat dibandingkan dengan siswa yang diajar materi pelajaran tanpa NOS eksplisit. Penelitian ini menyarankan bahwa pembelajaran yang secara eksplisit memasukkan NOS baik secara terintegrasi dengan materi ataupun tidak dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang NOS. Namun perlu dipertimbangkan penggunaan waktu pembelajaran harus realistis. Selanjutnya Bell, Matkins, & Gansneder (2011) melakukan penelitian eksperimen tentang bagaimana pengaruh pembelajaran kontekstual dengan memasukkan aspek NOS secara eksplisit dibandingkan dengan pembelajaran kontekstual dengan aspek NOS implisit terhadap pemahaman calon guru SD terhadap NOS. Konteks yang digunakan adalah perubahan iklim global. Hasil penelitian menunjukkan bahwa calon guru SD yang diberi pembelajaran dengan aspek NOS secara eksplisit, baik dengan konteks perubahan iklim global ataupun tidak menggunakan konteks tersebut, memiliki pemahaman yang lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan pemahaman calon guru SD yang diberi pembelajaran dengan aspek NOS implisist. Dari kedua penelitian ini dapat disimpulkan bahwa mengajarkan aspek NOS untuk meningkatkan literasi sains sebaiknya dilakukan secara eksplisit, baik dengan konteks ataupun tanpa konteks. b) Pemahaman tentang Berfikir Kritis (Critical Thinking) Menurut Ben-Chaim, Ron & Zoller (2000), berpikir kritis merupakan inti dari masa depan seluruh masyarakat di dunia. Sudah diakui secara luas bahwa mengembangkan kemampuan berfikir kritis merupakan tujuan penting dalam pendidikan sains. Hal ini bisa dijumpai misalnya dalam the National Science Education Standards (National Academy of Science, 1996) yang salah satu tujuan dalam mendorong sains sebagai inkuiri. Tujuan tersebut dijabarkan kedalam beberapa items yang mengarah pada keterampilan berpikir kritis. Sebagai contoh, “identification of assumptions, use of critical and logical thinking, and consideration of alternative explanations” (p. 23); and “the critical abilities of analyzing an argument by reviewing current scientific understanding, weighing the evidence, and examining the logic
SRI RAHAYU adalah Dosen & Korprodi pascasarjana prodi Pendidikan Kimia Universitas Negeri Malang (UM)
6
so as to decide which explanation and models are best” (p.175). Apakah yang dimaksud dengan berfikir kirits (critical thinking)? Secara umum menurut Ennis (1993: 180) berfikir kritis adalah "Critical thinking is reasonable reflective thinking focused on deciding what to believe or do." Yaitu, berfikir reflektif yang masuk akal yang memfokuskan pada memutuskan apa yang dipercaya atau dilakukan. Dalam proses pengambilan keputusan tersebut seringkali dilakukan proses-proses berikut: menilai kredibilitas sumber; mengidentifikasi kesimpulan, alasan, dan asumsi; menilai kualitas argumentasi, termasuk penerimaan alasan, asumsi, dan bukti-bukti; mengembangkan dan mempertahankan sebuah posisi dalam sebuah isu permasalahan; mengajukan pertanyaan yang bersifat mengklarifikasi; merencanakan eksperimen dan mengkaji desain eksperimen; mendefinisikan istilah dengan cara yang cocok terhadap konteks; bersikap terbuka; mencoba untuk memahami dengan baik; dan menarik kesimpulan jika dibutuhkan dengan kehati-hatian. Berfikir kritis merupakan bagian dari pola berfikir kompleks/ tingkat tinggi yang bersifat konvergen dan menggunakan landasan proses berfikir untuk menganalisis argumen dan memunculkan gagasan terhadap tiap-tiap makna dan interpretasi, untuk mengembangkan pola penalaran yang kohesif dan logis, memahami asumsi dan bias yang mendasari tiap-tiap posisi, serta memberikan model presentasi yang dapat dipercaya, ringkas dan meyakinkan. Facione (2013) menyatakan bahwa inti berfikir kritis adalah deskripsi yang rinci dari sejumlah karakteristik yang saling berhubungan, yang meliputi:
keterampilan interpretasi,
keterampilan analisis, keterampilan inferensi, keterampilan evaluasi, keterampilan eksplanasi, dan keterampilan pengaturan diri. Berdasarkan kurikulum berfikir kritis yang dikembangkan oleh Ennis (1993) ada 2 kelompok berfikir kritis, yaitu disposisi berfikir kritis dan kemampuan berfikir kritis. Kemampuan berfikir kritis dapat dijabarkan berdasarkan tingkat kesulitannya menjadi 5 indikator berfikir kritis, yaitu: (1) memberikan penjelasan sederhana; (2) membangun keterampilan dasar; (3) membuat kesimpulan; (4) membuat penjelasan lebih lanjut; dan (5) mengatur strategi dan taktik. Setiap tahap berfikir tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam indikator-indikator berfikir yang lebih spesifik. Tabel 1 berikut ini merupakan indikator dan subindikator, dan deskriptor berfikir kritis. Tabel 1. Indikator, Subindikator dan Deskriptor Berfikir Kritis (Ennis, 1993) Indikator 1. Memberikan Penjelasan Sederhana
Sub indikator 1)
Merumuskan pertanyaan
2) Menganalisis argumen
Deskriptor Memformulasikan pertanyaan Memformulasikan kriteria untuk kemungkinan jawaban Memperhatikan situasi pikiran Argumen sesuai dengan kebutuhan Menunjukkan persamaan dan perbedaan Melihat sturktur argumen
SRI RAHAYU adalah Dosen & Korprodi pascasarjana prodi Pendidikan Kimia Universitas Negeri Malang (UM)
7
2. Membangun Keterampilan Dasar
3) Menanyakan dan menjawab pertanyaan 4) Menilai kredibilitas dari suatu sumber 5) Menilai hasil pengamatan
3. Membuat Kesimpulan
6) Melakukan deduksi 7) Melakukan induksi 8) Melakukan evaluasi
4. Membuat Penjelasan Lebih Lanjut
9) Menilai definisi
Menjawab pertanyaan yang meliputi mengapa, apa, dan bagaimana
10) Mengidentifikasi asumsi 5. Mengatur Strategi dan Teknik
11) Memutuskan tindakan
12) Berinteraksi dengan orang lain
Menilai kekurangan sebuah konflik Kesepakatan sumber Mengetahui resiko Memberikan alasan Mengidentifikasi bukti-bukti yang menguatkan Melaporkan hasil pengamatan Merekam apa yang diinginkan Mendeduksi secara logis Menginterpretasi secara tepat Melakukan generalisasi Menarik kesimpulan Menjelaskan latar belakang sebuah fakta Mengevaluasi berdasarkan fakta Memberikan alternatif lain Mendefinisikan bentuk (seperti sinonim, klasifikasi, rentang, ekspresi yang sama, operasional, contoh dan non contoh) Mendefinisikan strategi (tindakan mengidentifikasi persamaan) Mendefinisikan isi. Mengidentifikasi pernyataan yang tidak dinyatakan Merekonstruksi argumen Mendefinisikan masalah Menentukan jalan keluar Memilih kemungkinan yang akan dilaksanakan Merancang strategi logis Merancang strategi retoris Melakukan presentasi baik secara oral atau tulisan
Isu-isu Sosial-saintifik (Socio-scientific Issues) sebagai konteks belajar Konteks pembelajaran meliputi segala sesuatu yang berada di lingkungan sekitar yang dapat berupa fisik, sosial, institusional dan personal yang mempengaruhi proses belajar mengajar. Berkaitan dengan konteks, kharakteristik pembelajaran sains dapat digolongkan sebagai pembelajaran berkonteks dan yang tidak berkonteks. Dalam pembelajaran yang berkonteks, hakikat sains (NOS) misalnya, dikaitkan dengan topik sains tertentu. Contoh khusus untuk pengintegrasian NOS didalam pembelajaran sains adalah: (a) NOS dalam pembelajaran konsep struktur atom modern, (b) NOS dalam argumentasi dan perdebatan tentang socioscientific issues (SSI), dan (c) NOS untuk mengembangkan keterampilan proses (Bell, Matkins, & Gansneder, 2011). Bila hakikat sains diajarkan dengan cara yang tidak berkonteks maka hakikat sains tersebut menjadi fokus utama pembelajaran dan diajarkan melalui penggunaan kegiatan dan diskusi khusus yang dirancang untuk mendorong aspek-
SRI RAHAYU adalah Dosen & Korprodi pascasarjana prodi Pendidikan Kimia Universitas Negeri Malang (UM)
8
aspek tertentu dari hakikat sains dengan tidak mengaitkan langsung terhadap konten sains atau keterampilan proses. Literasi sains membahas tentang konteks sains dan peranannya dalam perubahan yang terjadi di dunia. Isu-isu sosial-saintifik (SSI) memiliki implikasi moral dan etika. Oleh karena itu, dorongan untuk literasi sains membutuhkan perhatian kurikuler terhadap implikasi moral dan etika dari isu-isu sosial-saintifik. Literasi sains penting bagi semua siswa. Sebagian besar siswa tidak akan menjadi ilmuwan yang professional. Mereka perlu memiliki kemampuan dalam menggunakan proses ilmiah dan kebiasaan berfikir dalam memecahkan masalah yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan untuk menghadapi masalah yang melibatkan ilmu pengetahuan dan membuat keputusan (Sadler, 2004). SSI menjadi semakin penting dalam bidang pendidikan sains karena dapat digunakan sebagai alat untuk: (a)
menjadikan
pembelajaran sains lebih relevan bagi kehidupan siswa; (b) wahana yang mengarahkan hasil belajar seperti apresiasi terhadap hakikat sains; (c) meningkatkan argumentasi berdialog; (d) meningkatkan kemampuan mengevaluasi informasi ilmiah; dan (e) termasuk aspek penting dalam literasi sains (Sadler & Zeidler, 2004: 6). SSI menginspirasi, memprovokasi, atau sebaliknya mengkontroversi wawasan. Isu-isu tersebut sering ditemukan pada frontier of science (science dalam pembuatan) yang potensial mengenai hewan, energi, dan penggunaan lahan dan teknologi genetika dan reproduksi. SSI biasanya melibatkan perdebatan para ahli pada pertanyaan-pertanyaan ilmiah utama yang tidak memiliki solusi sederhana dan jelas (Kolstø et al., 2006). Kontroversi semacam itu yang memprovokasi keterlibatan pikiran siswa merupakan keunikan SSI karena provokasi tersebut tidak mungkin bisa muncul dalam perkuliahan/ceramah. Pembenaran untuk menggunakan SSI, dijelaskan oleh Zeidler et al (2009), didirikan pada kerangka teoritis dari bidang psikologi perkembangan, sosiologi dan filsafat. Siswa memperoleh pengetahuan di kelas bisa dengan atau tanpa SSI, namun SSI memiliki keunikan yaitu SSI dapat mengelola berbagai macam hasil belajar (misalnya literasi sains, hakikat sains yang disebut sebagai kekuatan penyatuan (unification power) (Zeidler et al, 2005). Dengan mendorong keterlibatan siswa yang besar melalui permasalahan sosial yang relevan dan berakar dari disiplin ilmu, SSI telah menunjukkan potensinya
untuk
meminimalkan isu-isu pengelolaan kelas dan menyediakan pemecahan masalah dan peluang perolehan konten sains (Sampson, Groom, & Walker, 2011). Selain itu, SSI dapat mengembangkan moral siswa melalui eksplorasi permasalahan sosial dan pribadi yang menggunakan perspektif tersebut, dengan demikian, akan menciptakan lingkungan belajar yang lebih bermakna (Zeidler & Keefer, 2003). Jika dikaitkan dengan isu-isu moral dalam proses pertimbangan untuk pengambilan keputusan atau tindakan, siswa secara alamiah
SRI RAHAYU adalah Dosen & Korprodi pascasarjana prodi Pendidikan Kimia Universitas Negeri Malang (UM)
9
menjadi merasa memiliki masalah tersebut dan suasana seperti ini jarang sekali dipraktekkan di sekolah. Masalah-masalah SSI menggabungkan komponen-komponen moral dan etika dari suatu topik sains yang dilakukan melalui kegiatan diskusi dan interaksi siswa tentang isu-isu kontroversial bertujuan untuk meredam/memecahkan isu-isu tersebut. Oleh karena itu, SSI bersifat terbuka sehingga memungkinkan siswa untuk berfikir kritis mengenai isu-isu tersebut bersama dengan orang lain yang memiliki pandangan yang berbeda (Simonneaux, 2008; Zeidler & Sadler, 2008). Gerakan SSI memfokuskan pada bagaimana siswa memahami suatu permasalahan serta mengambil keputusan dan keputusan-keputusan yang mereka buat tentang isu-isu tersebut berkaitan dengan moral dan etika. Beberapa contoh permasalahan yang bisa dikategorikan socioscientific issues misalnya permasalahan tentang pemanasan global (global warming), pencemaran lingkungan, penerapan nuklir, dan sebagainya. Peranan Guru Professional dalam Mengembangkan Literasi Sains Siswa. Tingkat literasi sains siswa di Indonesia masih tergolong rendah. Menurut PISA hal ini diduga disebabkan karena kurikulum, pembelajaran dan asesmen di Indonesia masih menitikberatkan pada dimensi konten namun melupakan dimensi proses dan konteks sains (Firman, 2007:24). Oleh karena itu, pembelajaran IPA di sekolah perlu menekankan dimensi konten, proses dan konteks yang seimbang agar mampu mengembangkan dan meningkatkan literasi sains siswa Indonesia. Guru sebagai komponen utama dalam penyelenggaraan pendidikan perlu dibekali dengan pemahaman dan ketrampilan yang baik untuk mengimplementasikan pembelajaran yang dapat mengembangkan literasi sains siswa. Pembelajaran yang berkonteks socioscientific issues dapat dirancang untuk mengembangakan berbagai kemampuan untuk mengembangkan literasi sains seperti kemampuan siswa dalam memahami hakekat sains (nature of science/NOS), prosedur sains, serta kekuatan dan keterbatasan sains. Selain itu, dapat juga mengembangkan penalaran induktif/deduktif, berfikir kritis, mengkonstruksi eksplanasi berdasarkan data, dan sebagainya. Contoh rancangan pembelajaran dengan konteks socioscientific issues dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. KESIMPULAN Siswa yang berliterasi sains adalah tujuan utama pendidikan sains di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Guru sebagai komponen penyelenggara pendidikan diharapkan secara professional dapat mengarahkan pembelajaran di kelas menuju terwujudnya masyarakat yang berliterasi sains, yaitu masyarakat yang memiliki pengetahuan dan memahami konsep-konsep dan proses ilmiah yang diperlukan untuk
SRI RAHAYU adalah Dosen & Korprodi pascasarjana prodi Pendidikan Kimia Universitas Negeri Malang (UM)
10
membuat keputusan, mampu menyadari dan berpartisipasi secara aktif dalam diskusi serta memiliki rasa peduli dan mampu membuat keputusan terhadap isu-isu yang terjadi di masyarakat dan dunia secara global. Dalam kaitan ini maka pembelajaran di kelas perlu dirancang sedemikian rupa sehingga komponen-komponen konten, proses dan konteks sains yang seimbang. Misalnya, memasukkan konteks socioscientific issues dalam konten sains, mengekplisitkan hakekat sains (NOS) dan menekankan pada proses kognitif berfikir kritis untuk mengoptimalkan proses ilmiah yang diperlukan dalam literasi sains. RUJUKAN Abd-El-Khalick, F., & BouJaoude, S. 1997. An exploratory study of the knowledge base for science teaching. Journal of Research in Science Teaching, 34(7), 673-699. Abd-El-Khalick, F., & Lederman, N. G. 2001. Improving science teachers’ conceptions of nature of science: A critical review of the literature. International Journal of Science Education, 22(7), 665–701. Ben-Chaim, D., Salit, R. & Zoller, U. 2000. The Disposition of Eleventh-Grade Science Students Toward Critical Thingking. Journal of Science and Technolog, 9 (2), 149-159 Driver, R., Leach, J., Miller, A., & Scott, P. 1996. Young people images of science. Pennsylvania: Open University Press. Echols, J. M. dan Shadily H., 1990. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Ennis, R. H. 1993. Critical thinking: What is it? In Henry A. Alexander (Ed.), Philosophy of education 1992. Urbana, IL: Philosophy of Education Society.Pp. 76-80. Facione, P.A. 2013. Critical thinking: What is it and why it count. Millbrae, CA: California Academic Press. Firman, H. 2007. Analisis Literasi Sains Berdasarkan Hasil PISA Nasional Tahun 2006.
Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Depdiknas Friedman, T. 2007. The world is flat: A brief history of the twenty-first century. New York: Farrar, Straus and Giroux. Graber, W., Nentwig, P., Becker, H.J, Sumfleth, E., Pitton, A., Wollweber, K, Jorde, D. 2001. Scientific literacy: From theory to practice. In H. Behrendt, et al (Eds). Research in Science Education-Past, Present, and Future (pp 61-70). Nederland: Kluwer Academic Publisher Hidayat, I. 2007. Peranan keyakinan guru terhadap Hakikat dan belajar mengajar saina terhadap pengembangan profesionalisme. Cakrawala, 27(1), 63-82 Holbrook, J, & Rannikmae, M. 2009. The meaning of scientific literacy. International Journal of Environmental & Science Education, 4(3), 275-288 Holbrook, J., & Rannikmae, M. 2007. Nature of science education for enhancing scientific literacy. International Journal of Science Education, 29(11), 1347-1362. http://www.oecd.org/dataoecd/63/35/37464175.pdf Hurd, P.D. 1998. Scientific Literacy: New Minds for a Changing World. Science Education, 82(3), 407 King, B. B. 1991. Beginning teachers’ knowledge of and attitudes toward history and philosophy of science. Science Education, 75(1), 135 – 141. Kolstø, S., Bungum, B., Arnesen, E., Isnes, A., Kristensen, T., Mathiassen, K., Mestad, I.,Quale, A., Tonning, A., & Ulvik, M. 2006. Science students’critical examination of scientific information related to socioscientific issues. Science Education, 90, 632-655. Lederman, N. G., & Zeidler, D. L. 1987. Science teachers’ conceptions of the nature of science: Do they really influence teaching behavior? Science Education, 71(5), 721 – 734.
SRI RAHAYU adalah Dosen & Korprodi pascasarjana prodi Pendidikan Kimia Universitas Negeri Malang (UM)
11
Lederman, N. G., Abd-El-Khalick, F., Bell, R. L., & Schwartz, R. S. 2002. Views of nature of science questionnaire: Toward valid and meaningful assessment of learners’ conceptions of nature of science. Journal of Research in Science Teaching, 39, 497– 521. Lederman, N.G. 1992. Students’ and teachers’ conceptions of the nature of science. Journal of Research in Science Teaching, 29(4), 331–359. Lederman, N.G. 1998. The state of science education: Subject mater without content. Electronic Journal of Science Education, 3, 1–12. Organisation for Economic Cooperation and Development. (OECD), 2007. Assessing scientific, reading and mathematical literacy: A framework for PISA 2006. Retrieved November 2008 from http://www.oecd.org/dataoecd/63/35/37464175.pdf Osborne, J., Collins, S., Ratcliffe, M., Millar, R., & Duschl, R. 2003. What ‘ideas-aboutscience’ should be taught in school science? A Delphi study of expert community. Journal of Research in Science Teaching, 40(7), 692–720. Rychen, D.S. & Salganik, L.H. (Eds.). 2003. Key competencies for a successful life and a well functioning society. Cambridge, MA: Hogrefe & Huber. Sadler, T. D. (2004). Moral and ethical dimensions of socioscientific decision-making as integral components of scientific literacy. Science Educator, 13, 39–48. Sadler, T., 2004. Moral and ethical dimensions of socioscientific decision-making as integral components of scientific literacy. Science Educator, 13(1): 39-48. Sadler,T.D & Zeidler, D.L. 2004. The morality of socioscientific issues: Construal and resolution of genetic engineering dilemmas. Science Education, 88 (1), 4-27 Sadler,T.D & Zeidler, D.L. 2004. The morality of socioscientific issues: Construal and resolution of genetic engineering dilemmas. Science Education, 88 (1), 4-27 Sampson, V., Grooms, J., & Walker, J.P. 2011. Argument-Driven Inquiry as a way to help students learn how to participate in scientific argumentation and craft written arguments: An exploratory study. Science Education, 95(2): 217-257 Simonneaux, L. 2001. Role-play or debate to promote students' argumentation and justification on an issue in animal transgenesis. International Journal of Science Education, 23, 903-927. Tsai, C., C. 2002. Nested epistemologies: science teachers’ beliefs of teaching, learning and science. International Journal of Science Education, 24(8), 771 – 783. Tytler, R. 2007. Re-imagining science education: engaging students in science for Australia’s future. Australian Council for Educational Research. Retrieved 20 July, 2007 from: http://www.acer.edu.au/documents/AER51_ReimaginingSciEdu.pdf Zeidler, D.L. & Keefer, M. 2003. The role of moral reasoning and the status of socioscientific issues in science education: Philosophical, psychological and pedagogical considerations. In D.L. Zeidler (Ed.), The role of moral reasoning on socioscientific issues and discourse in science education. The Netherlands: Kluwer Academic Press. Zeidler, D.L., & Sadler, T.D. 2008. Social and ethical issues in science education: A prelude to action. Science and Education, 17, 799-803. Zeidler, D.L., Sadler, T.D., Applebaum, S, & Callahan, B.E. 2009. Advancing reflective judgment through socioscientific issues. Journal of Research in Science Teaching, 46(1), 74-101.
SRI RAHAYU adalah Dosen & Korprodi pascasarjana prodi Pendidikan Kimia Universitas Negeri Malang (UM)
12
LAMPIRAN. Contoh Isu-Isu Sosiosaintifik (Socioscientific Issues) Topik: Pencemaran Lingkungan, Subtopik: Pemanasan Global Tujuan Pembelajaran: Melalui pengalaman belajar mengkaji literatur, mengamati gambar ilustrasi, animasi, menganalisis artikel, observasi, diskusi dan presentasi, siswa dapat: 1. Menjelaskan pengertian pemanasan global. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab pemanasan global. 3. Menjelaskan dampak pemanasan global bagi ekosistem. 4. Menganalisis sumber dari berbagai jenis gas rumah kaca. 5. Menganalisis upaya penanggulangan masalah pemanasan global dari berbagai informasi tentang pemanasan global. 6. Mempresentasikan usulan penanggulangan masalah pemanasan global. 7. Menjelaskan sikap terhadap pemanasan global.
Pengetahuan Awal:
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut sesuai dengan yang Anda ketahui! 1. Apa yang Anda ketahui tentang pemanasan global? Bagaimana hubungannya dengan pencemaran udara? 2. Pengetahuan berasal dari observasi yang menghasilkan data ilmiah (NOS) Pemanasan global merupakan suatu pengetahuan. Apa indikator bahwa bumi mengalami pemanasan global? 3. Pengetahuan merupakan hasil inferensi manusia terhadap data hasil observasi mereka (NOS). Ada sekelompok peneliti yang membenarkan terjadinya pemanasan global yang akhirnya menghasilkan Protokol Kyoto, namun ada sekelompok peneliti yang bersikap skeptis atau menolak pandangan tersebut. Menurut yang Anda ketahui benarkah bahwa bumi kita mengalami pemanasan global? 4. Mengapa gas-gas pencemar yang menyebabkan pemanasan global disebut gas rumah kaca? Bagaimana hubungan istilah tersebut dengan rumah kaca dalam bidang pertanian? 5. Bagaimana mekanisme terjadinya pemanasan global? 6. Suatu pengetahuan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman (NOS). Zaman telah berkembang dari tradisional ke industri yang modern. Adanya banyak industri telah banyak menghasilkan gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Dengan adanya pemanasan global terjadilah perubahan iklim yang menyebabkan petani kesulitan menentukan musim tanamnya. Apa yang dapat Anda lakukan untuk mengatasi pemanasan global dalam upaya membantu petani menentukan musim tanamnya dengan mudah kembali?
Diskusi Anda mengetahui bahwa sumber emisi dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi laju pemanasan global. Perlu Anda ketahui bahwa sains memiliki hubungan dengan bidang sosial budaya(NOS). Bacalah artikel yang berisi isu sosial saintifik berikut dan jawablah pertanyaanpertanyaan ayo berpikir kritis pada halaman selanjutnya!
SRI RAHAYU adalah Dosen & Korprodi pascasarjana prodi Pendidikan Kimia Universitas Negeri Malang (UM)
13
================================================================ Global Warming dan Vegetarian??? Pada November 2006 PBB telah merilis laporan mengejutkan yang berhasil membuka mata dunia bahwa ternyata 18% dari emisi gas rumah kaca datang dari aktivitas pemeliharaan ayam, sapi, babi, dan hewan-hewan ternak lainnya. Di sisi lain, mobil, sepeda motor, truk-truk besar, pesawat terbang, dan semua sarana transportasi lainnya yang bisa Anda sebutkan hanya menyumbang 13% emisi gas rumah kaca. Bayangkanlah kenyataan ini: ternyata penghasil utama emisi gas berbahaya yang mengancam kehidupan planet kita saat ini bukanlah mobil, sepeda motor, ataupun truk dan bis dengan polusinya yang menjengkelkan Anda. Tetapi emisi berbahaya itu datang dari sesuatu yang nampak sederhana, tidak berdaya, dan nampak lezat di meja makan Anda, yaitu daging! Mungkin bagi Anda hal ini sangat berlebihan. Tetapi ketahuilah bahwa laporan ini bukan dirilis oleh sekelompok ilmuwan paranoid yang tidak kompeten, ataupun peneliti dari tingkat universitas lokal. Berbagai faktor dan mekanisme secara langsung atau tidak langsung menunjukkan bahwa sektor peternakan yang menyumbang emisi gas rumah kaca. Menurut FAO antara lain emisi karbon dari pembuatan pakan ternak yang meliputi penggunaan bahan bakar fosil dalam pembuatan pupuk menyumbang 41 juta ton CO2 setiap tahunnya, penggunaan bahan bakar fosil di peternakan menyumbang 90 juta ton CO2 per tahunnya (misal diesel atau LPG), serta alih fungsi lahan yang digunakan untuk peternakan menyumbang 2,4 milyar ton CO2 per tahunnya, termasuk di sini lahan yang diubah untuk merumput ternak, lahan yang diubah untuk menanam kacang kedelai sebagai makanan ternak, atau pembukaan hutan untuk lahan peternakan Emisi karbon lain berasal dari dari sistem pencernaan hewan yaitu metana yang dilepaskan dalam proses pencernaan hewan dapat mencapai 86 juta ton per tahun. Sedangkan metana yang terlepas dari pupuk kotoran hewan dapat mencapai 18 juta ton per tahunnya. Ditambah lagi dengan emisi karbon dari pengolahan dan pengangkutan daging hewan ternak ke konsumen. Emisi CO2 dari pengolahan daging dapat mencapai puluhan juta ton per tahun. Emisi CO2 dari pengangkutan produk hewan ternak dapat mencapai lebih dari 0,8 juta ton per tahun. Suatu penelitian di Universitas Chicago menunjukkan bahwa seorang vegetarian dapat mengurangi emisi karbon 1,5 ton setiap tahunnya. Dari penelitian tersebut juga dihasilkan perbandingan emisi karbon dari peternakan dengan emisi karbon kendaraan bermotor sebagai berikut.
(Sumber: http://hiduplebihmulia.files.wordpress.com/2008/04/pemanasan-global-lowres1.pdf) SRI RAHAYU adalah Dosen & Korprodi pascasarjana prodi Pendidikan Kimia Universitas Negeri Malang (UM)
14
=============================================================
1. Apa masalah yang sedang dihadapi pada artikel tersebut? 2. Misalkan Anda merupakan penggemar makanan olahan daging, keputusan apa yang Anda ambil? 3. Mengapa vegetarian dapat menjadi salah satu cara terbaik dalam mengatasi pemanasan global? 4. Adakah emisi gas yang dapat digunakan sebagai energi alternatif dari peternakan? Jika ada bagaimana hubungannya dengan menipisnya persediaan bahan bakar fosil! 5. Apakah dengan menggunakannya sebagai energi alternatif dapat mengurangi emisi gas rumah kaca? Jelaskan! 6. Apa yang dapat disimpulkan dari konsep vegetarian untuk mengurangi laju pemanasan global? 7. Sebagai pelajar yang mengerti sains, sebutkan tindakan lain yang dapat Anda lakukan untuk mengurangi laju pemanasan global!
Berilah tanda silang (X) pada jawaban yang paling tepat! Palma mempelajari hubungan yang mungkin antara suhu rata-rata atmosfer bumi dengan emisi gas karbon dioksida. Dari suatu buku di perpustakaan dia mendapatkan grafik emisi karbondioksida dan suhu rata-rata atmosfer bumi berikut.
SRI RAHAYU adalah Dosen & Korprodi pascasarjana prodi Pendidikan Kimia Universitas Negeri Malang (UM)
15
(melakukan evaluasi) 1. Dari kedua grafik tersebut, Palma menyimpulkan bahwa kenaikan emisi karbondioksida menyebabkan kenaikan suhu atmosfer bumi. Palma menyimpulkan demikian karena.... a) Berdasarkan grafik tersebut suhu atmosfer sebanding dengan emisi karbondioksida b) Berdasarkan grafik tersebut suhu atmosfer tidak sebanding dengan emisi karbondioksida c) Berdasarkan grafik tersebut suhu rata-rata atmosfer dan rata-rata emisi karbondioksida meningkat. d) Berdasarkan grafik tersebut pada tahun 1980-1990 suhu atmosfer dan emisi karbondioksida mengalami peningkatan. (menganalisis argumen) 2. Cuaca pada hari itu begitu panas. Merasa gerah, Raga merasa tidak nyaman dengan pakaiannya. Dia mengganti pakaian dan langsung mencuci pakaian kotornya. Dia berpendapat bahwa dengan langsung mencuci dia tidak akan menumpuk pekerjaan. Menurut Anda pendapat Raga . . . karena.... a) Benar, selama masih ada waktu jangan menunda pekerjaan b) Benar, karena dia tidak menggunakan mesin cuci sehingga jika menumpuk akan kerepotan c) Salah, karena mencuci baju sedikit ataupun banyak memerlukan air yang hampir sama danmenyediakan air juga memerlukan listrik d) Salah, karena dia akan melakukan pekerjaan yang sama secara berulang
Sikap No
Pernyataan
1.
Aktivitas manusia menyebabkan terjadinya pemanasan global.
2.
Memahami macam-macam dan sumber gas rumah kaca dapat membantu mengurangi laju pemanasan global. Mengurangi penggunaan listrik dapat membantu mengurangi laju pemanasan global.
3.
4.
Menjadi vegetarian dapat membantu mengurangi laju pemanasan global.
5.
Laporan tentang terjadinya pemanasan global harus berdasarkan penelitian ilmiah.
SRI RAHAYU adalah Dosen & Korprodi pascasarjana prodi Pendidikan Kimia Universitas Negeri Malang (UM)
Setuju
Tidak setuju
Alasan
16