Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di Laut Lepas Melalui Forum Regional Fisheries Management Organization (RFMO) dan Implikasi Bagi Keanggotaan Indonesia” Oleh: Rachma Indriyani
Abstract
One of the classic problems facing fisheries resources in the high seas is the old dictum “freedom of the seas’, whereby global fisheries resources are considered free to all States. However the application of this freedom has become increasingly dangerous as the exhaustible nature of fish stocks has been realised. In 2011, the United Nations Food and Agriculture Organisation (FAO) reported that only 15% of global marine fish stocks were estimated to be underexploited and moderately exploited. In this challenging situation, Regional Fisheries Management Organization (RFMO) appeared as a mechanism through which States that could cooperate in the interest of conserving and managing marine living resources. As an archipelagic State, Indonesia has been joint to some of RFMO. How such RFMOs can lead by their international authorities in managing quotas allocation to all member countries and whether the implication from the existence of Indonesia through its membership are main points of this article. Keywords : RFMO, high seas, fisheries resources, Indonesia membership
PENDAHULUAN Sumber daya perikanan adalah salah satu primadona perekonomian bagi setiap negara yang memiliki wilayah laut. Sejarah panjang kodifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 (the United Nations Convention on The Law of The Sea) pun tak luput dari kepentingan nasional setiap negara akan sumber daya perikanan dan tuntutan akan batas laut teritorial. Berkaitan dengan hal tersebut, telah jelas diatur di dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) bahwa setiap negara pantai berkedaulatan penuh hingga laut teritorialnya dan memiliki hak 30
berdaulat di Landas Kontinen, Zona Tambahan serta pengelolaan dan konservasi sumber daya alam di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), di luar semua zona tersebut ialah Laut Lepas (high seas). Disebutkan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 bahwa laut lepas merupakan zona maritim yang berada di luar yurisdiksi nasional. Kebebasan di laut lepas sebagai perwujudan doktrin dari Grotius “mare liberium” yang menekankan bahwa laut adalah terbuka untuk semua bangsa dan tidak seorang pun yang berhak melarang penangkapan ikan
di laut.1 Dikarenakan sifat alamiah laut yang begitu dinamis, potensi persoalan kewenangan ataupun hak untuk bertindak kerapkali muncul manakala terdapat sumber daya perikanan, yang merupakan “transzonal species” atau jenis ikan yang bermigrasi jauh dari ZEE suatu negara menuju Laut Lepas (high seas). Kepentingan bersama antar negara dalam pengelolaan perikanan lintas batas tersebut mendorong terbentuknya organisasi perikanan regional yang lebih dikenal dengan istilah Regional Fisheries Management Organization (RFMO). Saat ini di setiap samudera sudah ada sejumlah RFMO yang mana aturan-aturan di dalamnya mengikat terhadap setiap negara yang menjadi anggotanya. Berbagai aturan2 tersebut dimaksudkan untuk ketertiban dan keharmonisan antara peraturan regional dan negara-negara. Legitimasi masyarakat internasional membawa RFMOs menjadi institusi dunia yang memiliki otoritas sah dalam menentukan kebijakan konservasi dan pengelolaan perikanan di laut lepas. Rezim Hukum Laut Lepas Invasi kegiatan perikanan di laut lepas ditenggarai semakin meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya yakni teknologi pelayaran Melda Kamil Adriano, “Kepentingan Indonesia dalam Pengelolaan Perikanan Laut Bebas”, Jurnal Hukum Internasional, Volume 1 No. 2, 2005, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 503504 2 Aturan-aturan tersebut antara lain mencakup penggunaan alat penangkapan ikan, metode penangkapan ikan, musim yang terbuka untuk penangkapan ikan, moratorium, serta pembebasan ukuran ikan yang ditangkap 1
yang semakin mutakhir (seperti satellite information) sehingga memudahkan penangkapan ikan di laut lepas yang berdampak pada tidak seimbangnya antara penangkapan dan perkembangan populasi ikan, semakin tingginya tuntutan dalam negeri suatu negara yang mengalami overcapacity sehingga mau tidak mau harus melebarkan zona tangkapan ikan hingga ke laut lepas.3 Pasal 87 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur tentang enam jenis kebebasan di laut lepas yakni : (a) kebebasan berlayar; (b) kebebasan untuk melakukan penerbangan di atas laut lepas; (c) kebebasan untuk memasang kabel dan saluran-saluran pipa di bawah permukaan laut dengan memperhatikan Bab VI; (d) kebebasan membangun pulau-pulau buatan dan instalasi-instalasi yang diizinkan menurut hukum internasional dengan memperhatikan Bab VI; (e) kebebasan menangkap ikan dengan memperhatikan syarat-syarat yang ditetapkan dalam Bagian 2; dan (f) kebebasan untuk melakukan penelitian ilmiah dengan memperhatikan Bab VI dan XIII. Terutama dalam hal kegiatan perikanan di laut lepas, Pasal 116 mengatur bahwa semua negara mempunyai hak bagi warga negaranya untuk melakukan penangkapan ikan di laut lepas dengan tunduk pada : (a) kewajibannya berdasarkan perjanjian internasional yang diadakan oleh suatu negara dengan negara lainnya; (b) hak-hak dan kewajiban serta kepentingan negara pantai yang ditetapkan dalam Pasal 63 ayat 3
Trade and Agriculture Directorate and Fisheries Committee, 2014, Fishing for DevelopmentBackground paper for session 5, The Role of Fisheries Management Organisations (RFMOs), hlm.4
31
(2) dan Pasal 64 ayat (1) Konvensi, dan (c) ketentuan-ketentuan mengenai konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan sebagaimana yang ditetapkan dalam Konvensi. Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa kebebasan menangkap ikan di laut lepas tidak dapat semata-mata ditafsirkan bebas dan mutlak, karena harus sejalan dengan kewajiban konservasi jenis dan persediaan ikan, khususnya ikan beruaya terbatas dan beruaya jauh sebagaimana diatur di dalam Pasal 63 dan Pasal 64 Konvensi. Masih menurut kedua pasal tersebut, bahwa negara-negara pantai harus bekerjasama dalam organisasi subregional maupun regional dalam mengeksplorasi jenis ikan “transzonal species”. Kewajiban untuk kerjasama tersebut diperkuat dengan ketentuan di dalam Pasal 118 yang menyatakan : “States shall cooperate with each other in the conservation and management of living resources in the area of the high seas. States whose nationals exploit identical living resources, off different living resources in the same area, shall enter into negotiations with a view to taking the measures necessary for the conservation of the living resources concerned. They shall, as appropriate, cooperate to establish subregional or regional fisheries organizations to this end.” Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal di atas, menekankan peran utama negara terhadap setiap warga 32
negaranya yang melakukan aktifitas perikanan di laut lepas, yang mana hal ini berarti yurisdiksi negara akan terus berlaku bagi setiap kapal yang mengibarkan bendera negara tersebut. Dikarenakan laut lepas tidak tunduk pada yurisdiksi negara manapun, maka untuk melindungi kepentingan publik, Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur setiap kapal perikanan untuk memperhatikan tindakan konservasi perikanan di laut lepas. Pasal 91 Konvensi Hukum Laut memberikan batasan terhadap setiap kapal yang berlayar di laut lepas tunduk pada negara bendera kapal dimana kapal tersebut terdaftar, dengan kata lain harus terdapat ‘genuine link’ diantara negara bendera dan kapal tersebut. Sebuah kapal laut yang berlayar di perairan teritorial dari berbagai negara dan laut bebas, harus memiliki kebangsaan kapal. Kebangsaan kapal tersebut seakanakan adalah pertanda bahwa kapal merupakan bagian dari wilayah suatu negara itu atau seakan-akan seseorang warga dari negara itu. Di atas kapal tidak berlaku hukum negara dimana kapal itu berada, namun yang berlaku adalah hukum negara dari mana kapal tersebut mengibarkan benderanya.4 Persoalannya adalah Konvensi Hukum Laut 1982 tidak didukung dengan pengaturan secara rinci terhadap bentuk pengawasan dan penegakan hukum bagi setiap kapal-kapal perikanan untuk menjalankan langkah-langkah konservasi di laut lepas. Disamping itu, tidak ada aturan rinci mengenai hak dan kewajiban negara yang memanfaatkan jenis ikan beruaya jauh dan beruaya terbatas, hal 4
Wartini Soegeng, Kebangsaan Kapal Indonesia, Bandung: PT Refika Aditama, 2003, hlm.7
demikian dapat berpotensi menyulut sengketa antara negara pantai dengan negara pantai maupun antara negara pantai dengan negara penangkap ikan. Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs) Status RFMOs yang merupakan amanat dari Konvensi Hukum Laut ialah sebagai organisasi internasional. Organisasi internasional adalah organisasi antar pemerintah yang diakui sebagai subjek hukum internasional dan mempunyai kapasitas untuk membuat perjanjian internasional.5 Dalam mengkaji sebuah organisasi internasional, perlu dilihat tiga aspek penting yakni aspek filosofis yang menyangkut nilai-nilai historis dan tema pokok; aspek administratif yang bersinggungan dengan tingkat personalitas dan kapasitas; serta aspek hukum yang menitikberatkan pada masalah konstitusional dan prosedural antara lain seperti wewenang dan pembatasan baik terhadap organisasi itu sendiri maupun terhadap anggotanya.6 Perkembangan RFMOs didasarkan pada sifat ikan yang bermigrasi dan melintasi batas wilayah antar negara. Meningkatnya kesadaran bahwa kegiatan penangkapan ikan di suatu negara akan dapat mempengaruhi status sumber daya ikan dan kinerja armada perikanan tangkap di negara lain yang memanfaatkan sumber daya ikan yang sama, turut menjadi faktor
utama dibangunnya kerjasama dalam RFMOs. Beberapa regulasi internasional yang melegitimasi terbentuknya serta mengatur peran dan fungsi dari RFMOs dapat dicermati dari elaborasi sebagaimana berikut : A. The United Nations Agreement on Management of Straddling and Highly Migratory Fish Stocks 1995 (UNFSA) Ketentuan konservasi dan pengelolaan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Konvensi Hukum Laut 1982, diadopsi dan diatur lebih rinci di dalam The United Nations Agreement on Management of Straddling and Highly Migratory Fish Stocks 1995 atau dikenal dengan Persetujuan PBB (Perserikatan BangsaBangsa) tentang Persediaan Ikan 1995, yang memuat kewajiban-kewajiban yang harus ditaati oleh negara peserta persetujuan.7 Pada Pasal 5 diatur bahwa negara pantai dan negara yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas diwajibkan untuk : 1. Mengambil langkah-langkah untuk menjamin keberlanjutan atas persediaan ikan yang beruaya terbatas dan beruaya jauh untuk jangka waktu yang lama dan memajukan tujuan pemanfaatan persediaan kedua jenis tersebut secara optimal;
5
Pasal 1 UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012). 6 Sumaryo Suryokusumo, 1990, Hukum Organisasi Internasional, Jakarta: UI-Press, hlm. 9
7
Dikdik Mohamad Sodik, 2011, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia, Bandung: PT Refika Aditama, hlm. 145
33
tepat dalam mendukung konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan;
2. Menjamin bahwa langkah-langkah tersebut didasarkan atas bukti ilmiah terbaik yang ada dan dirancang untuk memelihara atau memulihkan persediaan ikan pada tingkat yang mampu menjamin hasil maksimum yang lestari; 3. Menerapkan hatian;
pendekatan
kehati-
4. Mengukur dampak-dampak dari penangkapan ikan, kegiatankegiatan manusia lainnya dan faktor-faktor lingkungan; 5. Mengambil langkah-langkah konservasi dan pengelolaan untuk spesies dalam ekosistem yang sama atau berhubungan dengan atau bergantung pada persediaan target tersebut; 6. Meminimalkan pencemaran; 7. Melindungi keanekaragaman hayati di dalam lingkungan laut; 8. Mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau mengurangi kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan dan penangkapan yang melebihi kapasitas; 9. Memperhatikan kepentingan nelayan pantai dan subsistensi; 10. Mengumpulkan dan memberikan data yang lengkap dan akurat mengenai kegiatan-kegiatan perikanan; 11. Memajukan dan melaksanakan penelitian ilmiah dan mengembangkan teknologi yang 34
12. Melaksanakan dan menegakkan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan melalui pemantauan; pengawasan dan pengendalian yang efektif. Selain kewajiban-kewajiban di atas, persetujuan ini memuat ketentuan mengenai mekanisme kerjasama internasional, baik bilateral maupun multi lateral, kegiatan perikanan di laut lepas melalui organisasi-organisasi pengelolaan perikanan sub-regional ataupun regional yang kompeten. Pada Pasal 8 ayat (3) menetapkan bahwa apabila organisasi pengelolaan perikanan subregional/regional mempunyai kewenangan untuk menetapkan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan persediaan jenis tertentu ikan yang beruaya terbatas dan beruaya jauh, negara-negara diwajibkan untuk bekerja sama dengan menjadi anggota organisasi tersebut. Ketentuan ayat (4) lebih lanjut mengatur tentang pemberian hak akses kepada negara-negara anggota ataupun negara-negara non-anggota yang telah menyepakati penaatan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan organisasi tersebut (cooperating non-state parties) dalam bentuk alokasi kuota terhadap sumber daya ikan. Dengan kata lain, bagi negara-negara non-anggota yang tidak menyepakati ketentuan, maka tidak boleh melakukan penangkapan ikan di laut lepas.8
8
Dikdik Mohamad Sodik, ibid, hlm. 150
Satu hal yang tidak biasa dari ketentuan Persetujuan tersebut yakni pada ketentuan Pasal 21 dimana setiap kapal yang berlayar bukan hanya tunduk pada negara benderanya, tetapi juga dihadapkan pada resiko inspeksi oleh negara-negara anggota, baik kapal milik sesama negara anggota maupun negara bukan anggota untuk memastikan penaatan tindakan dan konservasi yang ditetapkan. Kondisi tersebut dapat berpotensi konflik apabila dilandaskan pada salah satu asa perjanjian yaitu “pacta tertiis nec nocent nec prosunt”9 yang berarti perjanjian tidak dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara ketiga. Keikutsertaan negara berkembang merupakan salah satu elemen unik yang diatur di dalam Pasal 25 dan Pasal 26 tentang “Special Requirement of Developing States”. Ketentuan tersebut mengamanatkan bantuan khusus kepada negara berkembang yang merupakan anggota dalam RFMOs, berupa bantuan dana, pengawasan dan penegakan hukum, alih teknologi, penelitian ilmiah, hingga bantuan yang bersifat teknis. Hal ini didasarkan pada pertimbangan banyaknya negara berkembang yang memiliki ketergantungan tinggi pada sumber daya ikan, nelayan-nelayan subsisten dengan skala penangkapan kecil, dan para nelayan tradisional yang sudah menangkap ikan secara turun temurun.10
9
Sumaryo Suryokusumo, 2008, Hukum Perjanjian Internasional, PT Tatanusa : Jakarta, hlm.95 10 Recommended Best Practises for Regional Fisheries Management Organizations, 2007, The Royal Institute of International Affairs, Chatham House, London, hlm. 90
B. FAO Code of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) 1995 Sejak 31 Oktober 1995, CCRF diadopsi menjadi dokumen resmi FAO, yang berisikan tentang standar perilaku internasional untuk menjamin dilaksanakannya secara lebih efektif konservasi dan pengelolaan sumbersumber perikanan. Salah satu amanat pembentukan RFMOs sebagai upaya pengelolaan perikanan, dapat terlihat dari ketentuan di dalam Bagian 7 tentang Fisheries Management butir 7.1.3, yakni : “For transboundary fish stocks, straddling fish stocks, highly migratory fish stocks and high seas fish stocks, where these are exploited by two or more States, the States concerned, including the relevant coastal States in the case of straddling and highly migratory fish stocks, should cooperate to ensure effective conservation and management of the resources. This should be achieved, where appropriate, through the establishment of a bilateral, subregional or regional fisheries organization or arrangement.” Selanjutnya pada butir 7.1.4A dimuat tentang kewajiban bagi negara pantai untuk turut berpartisipasi aktif dalam upaya konservasi dan pengelolaan perikanan dengan menjadi anggota RFMOs, sedangkan bagi negara yang bukan merupakan anggota, ketentuan butir 7.1.5A mewajibkan adanya sikap kerjasama dan mengambil tindakan yang harmonis dengan setiap ketentuan yang diadopsi oleh RFMOs terkait. Namun 35
karena sifatnya yang berupa rujukan perilaku, regulasi ini bersifat sukarela dan lebih mengandalkan etiket baik dari setiap negara anggota. C. FAO International Plan of Action (IPOA) Tindak lanjut dari tujuan di dalam CCRF, FAO mengeluarkan regulasi yakni International Plan of Action for The Management of Fishing Capacity yang mana pada Bagian III regulasi ini berisikan mandat untuk mendorong keanggotaan negara-negara dalam forum RFMOs demi meningkatkan pengelolaan kapasitas perikanan di tingkat regional dan global. Regulasi lain dari FAO yakni IPOA for Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing yang memberikan definisi bagi RFMOs yakni : “intergovernmental fisheries organisations or arrangements, as appropriate that have the competence to establish fisheries conservation and management measures”.11 Di dalam IPOA ini juga diatur mengenai kewajiban untuk bekerjasama dalam mencegah, mengurangi, dan menghilangkan IUU Fishing. Bentuk kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 9, yang berupa : 1. Partisipasi dan koordinasi serta pertukaran informasi untuk mengurangi IUU fishing 2. Fase implementasi, dimana National Plans of Action (NPOA) turut berpengaruh pada kecepatan implementasi
11
Pasal 6 c International of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (Rome : FAO, 2001)
36
3. Pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi, dengan memasukkan faktor-faktor yang mempengaruhi penangkapan ikan. Pendekatan ini mencakup Flag State, Port State Measures, Coastal State Measures, dan Market Related Measures. 4. Konservasi dan penggunaan berkelanjutan jangka panjang dari sediaan ikan dan perlindungan lingkungan 5. Implementasi yang transparan 6. IPOA harus diterapkan dan dikembangkan tanpa non diskriminasi terhadap setiap negara maupun kapal penangkap ikan. Terlihat bahwa RFMOs memiliki peran penting dalam sistem perikanan global, terutama dalam konservasi dan pengelolaan perikanan. Dalam operasionalnya, RFMOs memiliki pendekatan yang berbeda-beda, antara lain berdasarkan pendekatan kawasan (region) dimana pengelolaan dan konservasi tersebut dilakukan dalam suatu kawasan tertentu; atau RFMOs yang melakukan pengelolaan dan konservasi melalui pendekatan spesies. Dalam menentukan siapa yang dapat menjadi negara anggota, RFMOs memberikan keanggotaan terhadap setiap negara yang akan bergabung dengan didasarkan pada ‘real interest’ dalam perikanan. Tidak ada penjelasan lebih rinci mengenai hal ini, namun pada prakteknya penentuan besarnya alokasi tangkapan turut ditentukan oleh ‘catch history’. Apabila suatu negara memiliki riwayat jumlah tangkapan yang sedikit maka
kemungkinan akan mendapat kuota tangkapan yang kecil, begitu juga sebaliknya. Ironinya, setiap negara anggota memiliki besaran kuota tangkap yang berbeda satu sama lain namun sama-sama wajib menyumbang sejumlah iuran untuk organisasi.12 RFMOs juga mempertimbangkan sanksi perdagangan (trade sanction) sebagai salah satu jalan untuk memaksakan tindakan pengelolaan dan konservasi perikanan. Sanksi perdagangan diberikan antara lain melalui penolakan pendaratan dan transhipments, penolakan pemberian fasilitas pelabuhan, diskriminasi terhadap kapal dari negara-negara tertentu, hingga pelarangan impor. Meskipun dapat digolongkan sebagai pengecualian yang diatur dalam Pasal XX GATT,13 namun hingga saat ini masih belum ada
12
Trade and Agriculture Directorate and Fisheries Committee, 2014, Fishing for DevelopmentBackground paper for session 5, The Role of FisheriesManagement Organisations (RFMOs), hlm.12 13 Pasal XX mengatur pengecualian umum (general exeptions), yakni pengecualian-pengecualian yang dimungkinkan untuk menanggalkan aturan-aturan atau kewajiban-kewajiban suatu negara terhadap GATT, khususnya dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk: (a) melindungi moral masyarakat; (b) melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, tanaman, hewan (c) kaitannya dengan impor atau ekspor emas atau perak; (d) perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual; (e) produk-produk yang berasal dari hasil kerja para narapidana; (f) perlindungan kekayaan nasional, kesenian, sejarah atau purbakala; (g) konservasi kekayaan alam yang dapat habis; (h) dalam kaitannya dengan adanya kewajibankewajiban yang timbul dari perjanjian-perjanjian komoditi antar pemerintah
penyelesaian terhadap potensi konflik tersebut.14 Persoalannya adalah bagaimana dengan negara-negara berkembang yang menjadi anggota RFMO dan memiliki ‘real interest’ dalam perikanan serta bermaksud untuk mengembangkan perikanan dalam negerinya, namun tidak memiliki riwayat tangkapan dalam jumlah besar? Ketentuan dalam UNFSA tidak secara jelas mengatur tentang alokasi kuota. Hal ini selalu akan menjadi kesulitan bagi negara-negara, terutama negara berkembang, yang baru bergabung dalam RFMOs karena pemberian kuota akan tergantung pada kemauan negara anggota yang sudah ada untuk berbagi kuotanya dengan yang lain. Persepsi alokasi hak akses ini akan semakin kompleks tatkala cooperating non-state parties dapat turut menikmati sejumlah kuota perikanan. Nampaknya sistem kuota telah bergeser jauh dari hak perikanan sesungguhnya. Sehingga ekuilibrium adalah hal yang sulit diwujudkan dalam keanggotaan RFMOs. Ketika suatu negara anggota mendapat jumlah kuota tangkapan yang tidak besar sedangkan di sisi lain mereka harus tetap membayar sejumlah iuran untuk organisasi, maka keanggotaan dalam suatu RFMO merupakan hal yang dilematis. Berdasarkan hal tersebut, RFMOs selayaknya memiliki mekanisme alokasi kuota secara transparan yang disetujui oleh semua anggotanya dan tidak harus terpaksa untuk menambahkan kuota
14
Cathy Roheim and Jon G. Sutinen, Trade and Marketplece Measures to Promote Sustainable Fshing Practices, hlm. vii, diunduh dari http://ictsd.org/i/publications/11838/.
37
pada stok perikanan yang sudah oversubscribed.15 Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa doktrin kebebasan laut atau dikenal dengan ‘Mare Liberum’ yang dicetuskan oleh Hugo Grotius, kini sudah tidak berlaku lagi di laut lepas. Mengatasnamakan konservasi, kini laut lepas tengah memiliki zona-zonanya tersendiri yang mana sangat besar kemungkinan terjadi kapal ikan suatu negara yang menangkap ikan di laut lepas dikategorikan ilegal, unreported, dan unregulated jika memasuki zona milik suatu organisasi sub-regional/regional. Sama halnya yang akan terjadi pada negara anggota suatu organisasi subregional/regional yang melakukan kegiatan perikanan di dalam zona organisasi lain dimana ia bukan merupakan cooperating non-state parties pada organisasi tersebut.
datang ke pertemuan RFMO dan mendapatkan kuota penangkapan dengan jumlah yang lebih kecil. 1) Landasan Praktis Untuk melihat bagaimana posisi Indonesia dalam keanggotaan RFMOs, perlu diketahui beberapa latar belakang keterlibatan Indonesia. Satu hal yang paling mendasar yakni wilayah Indonesia yang berada di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik menjadikan wilayah laut Indonesia memiliki sumber daya tuna yang cukup melimpah terutama Tuna Sirip Biru Selatan (Southern Bluefin 16 Tuna/SBT). Jenis ikan tersebut memiliki tempat berpijah (spawning ground) terutama di perairan selatan Pulau Jawa. Untuk menerapkan konservasi terhadap spesies ini, pada tanggal 10 Mei 1993 telah dibentuk Konvensi tentang Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan beserta Komisi yang akan menentukan kuota tangkap dan mengatur keanggotaan yakni Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT). Selain itu, terdapat spesies tuna lainnya seperti Atlantik Blufin Tuna yang dikelola oleh International Commission For The Conservation of Atlantic Tuna (ICCAT) dan Pacific Bluefin Tuna yang dikelola oleh Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC).
Keanggotaan Indonesia Dalam RFMOs Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, keanggotaan di dalam RFMOs bukan semata-mata terkait kondisi geografis suatu negara, tetapi lebih kepada daerah tangkapan ikan dari suatu negara. Umumnya, status keanggotaan dari RFMOs terdiri dari dua yaitu member country dan cooperating non-contracting party. Member country merupakan anggota penuh dam mempunyai kewajiban membayar iuran anggota dan memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat di setiap forum pertemuan RFMO serta memperoleh kuota penangkapan. Cooperating non-contracting party merupakan negara yang kooperatif dengan RFMO, tidak membayar iuran, namun 15
Recommended Best Practises for Regional Fisheries Management Organizations, hlm.4
38
16
Lihat di http://www.ccsbt.org/docs/about.
Dengan demikian, landasan praktis Indonesia terkait sumber daya tuna yakni kebutuhan nelayan Indonesia untuk memanfaatkan spesies tuna di laut lepas secara legal. Selain itu, tuna merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia, agar tidak mendapatkan sanksi perdagangan dalam ekspor produk tuna ke negara anggota RFMOs, maka Indonesia perlu bergabung dalam keanggotaan RFMOs. 2) Landasan Hukum Pengelolaan dan konservasi dumber daya perikanan di Indonesia di atur dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang pada perkembangannya telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Guna pemanfaatan sumber daya perikanan lintas batas di laut lepas, Indonesia perlu membuat skala prioritas dalam politik hukum luar negeri. Untuk melindungi dan memajukan kepentingan nasional, setiap bangsa harus menentukan sikapnya terhadap bangsa lain dan juga harus menentukan arah tindakan yang akan diambil dan dicapai dalam urusan 17 internasional. 17
Nicholas Tandi Dammen, 2005, Kewenangan Perwakilan RI di Luar Negeri, Indonesian Journal of Internasional Law, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm.710
Cerminan politik hukum Indonesia untuk terlibat dalam RFMOs dapat dilihat dalam ketentuan pasal 10 ayat (2) yakni : Pemerintah ikut serta secara aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan internasional dalam rangka kerjasama pengelolaan perikanan regional dan internasional. Dorongan untuk terlibat dalam RFMOs turut diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan pada Pasal 11 ayat (2) huruf f disebutkan salah satu kewajiban Pemerintah yakni berpartisipasi dalam pengelolaan perikanan melalui forum pengelolaan perikanan regional dan internasional. Langkah efektif oleh Indonesia dalam konservasi jangka panjang dan pemanfaatan secara berkelanjutan atas jenis ikan beruaya terbatas dan beruaya jauh turut diperkuat dengan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan Agreement for the implementation of the provisions of the UNCLOS of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stock and Highly Migratory Fish Stock. Berdasarkan penjelasan Undang-undang tersebut, manfaat yang ingin dicapai ialah : a. Memantapkan kebijakan Pemerintah Indonesia dalam memberantas IUU fishing 39
4) Kewajiban Negara Anggota
b. Mendapat informasi perikanan secara akurat
Beberapa kewajiban negara anggota RFMOs ialah :21
c. Mendapatkan alokasi sumber daya perikanan untuk jenis ikan beruaya dan beruaya terbatas
(1) Mematuhi semua resolusi dan conservation management measures (CMM) yang sudah diadosi oleh masing-masing RFMOs; (2) Mengadopsi semua resolusi dan conservation management measures (CMM) yang aplikatif ke dalam legislasi nasional; (3) Membuat laporan tahunan (4) Melaporkan data dan informasi yang dipersyaratkan oleh resolusi seperti pendataan Ecologicaly Related Species (ERS) (5) Mendaftarkan kapal-kapal yang menangkap tuna dan spesies seperti tuna ke RFMOs terkait (6) Menghadiri pertemuan tahunan, compliance, dan working group yang relevan.
d. Memperoleh bantuan dan perlakuan khusus sebagai negara berkembang e. Memperkuat posisi Indonesia dan mempertegas hak berdaulat terhadap pengelolaan sumber daya ikan di ZEE Indonesia 3) Status Keanggotaan Saat ini Indonesia telah menjadi anggota di beberapa RFMO seperti : IOTC (Indian Ocean Tuna Commission),18 CCSBT (Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna ),19 dan WCPFC (Western and Central Fisheries Pacific Commission).20 Dari ketiga RFMOs tersebut nampak bahwa perikanan jenis tuna merupakan komoditas penting bagi perekonomian nasional.
5) Implikasi bagi Indonesia Pada tahun 2009 diterbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (selanjutnya disebut Permen KP) Nomor PER.03/MEN/2009 tentang
18
Full member sejak 9 Juli 2007, disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2007 tentang persetujuan pembentukan IOTC 19 Full member sejak 8 April 2008, disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 109 tahun 2007 tentang pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (SBT) 20 Full member sejak 29 November 2013, disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2013 tentang Pengesahan Convention On The Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in The Western and Central Pacific Ocean
40
21
Erni Widjajanti, Pengelolaan Perikanan Tuna Indonesia dan Peran Kerjasama Indonesia dalam RFMO, Kementrian Kelautan dan Perikanan, disampaikan pada Seminar Nasional Hukum Laut, 2013, Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas. Pasal 1 angka 3 memberikan pengertian RFMO secara sederhana yakni organisasi perikanan yang mengelola perikanan di laut lepas. Selanjutnya, pada tahun 2012 dikeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas yang menggantikan Peraturan Menteri tahun 2009. Dalam peraturan ini, RFMO didefinisikan sebagai organisasi perikanan regional yang mengelola sediaan ikan yang beruaya jauh dan beruaya terbatas di ZEE dan laut lepas. Pendaftaran kapal-kapal Indonesia pada Record of Fishing Vessels di setiap RFMOs, berdasarkan Pasal 14 Permen KP di atas, dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementrian Kelautan dan Perikanan. Untuk teknis dan operasional setiap kapal berbendera Indonesia, peraturan ini mensyaratkan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Untuk jenis alat tangkapan yang dipergunakan, mengacu pada ketentuan pada masing-masing RFMO. Data pada 21 November 2012, jumlah kapal Indonesia yang tercantum dalam record RFMOs yakni 1.275 unit (IOTC), 194 unit
(CCSBT), dan 430 unit 22 (WCPFC). Di dalam Permen KP turut diatur mengenai kewajiban untuk tindakan konservasi dan pengelolaan terkait dengan hasil tangkapan sampingan23 dan larangan untuk menangkap ikan selama musim ditutup dan/atau di dalam wilayah penangkapan ikan yang ditutup. Transhipment atau kegiatan memindahkan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan ke kapal pengangkut, diperbolehkan menurut Pasal 30 dalam peraturan ini, baik dilakukan di laut lepas maupun di pelabuhan negara lain yang menjadi anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama. Kapal yang akan melakukan transhipment disaksikan oleh pemantau di atas kapal pengangkut ikan (observer on board) serta kapal diwajibkan untuk mengaktifkan transmitter Vessel Monitoring System (VMS)24 agar dapat dipantau. Apabila, suatu kapal tidak dapat melaksanakan kepatuhan sesuai dengan persyaratan dan standar RFMO 22
Erni Widjajanti, ibid. Hasil tangkapan sampingan (bycatch) yang secara ekologis terkait dengan perikanan tuna berupa burung laut, penyu laut, mamalia laut termasuk paus dan hiu monyet, atau bukan hiu juvenille dan hiu dalam kondisi hamil dimana hiu tersebut harus didaratkan secara utuh 24 Merupakan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan untuk pengawasan dan pengendalian di bidang penangkapan dan/atau pengangkutan ikan, dengan menggunakan satelit dan peralatan transmitter yang ditempatkan pada kapal perikanan; untuk mendapatkan informasi tentang posisi kapal, kecepatan, pola gerakan kapal dan rekaman data terdahulu maupun near real time, 23
41
maka tindakan kapal tersebut dapat dikategorikan dalam Illegal, Unreported, dan Unregulated (IUU) Fishing dan selanjutnya dapat dicantumkan dalam IUU Vessels List. Terhadap kapal yang diberikan sanksi demikian, Pasal 38 Permen KP menyebutkan laranganlarangan yang diberlakukan yakni : (a) Melakukan pemindahan ikan hasil tangkapan dari dan/atau kepada kapal penangkap ikan maupun kapal pengankut ikan baik di laut lepas negara anggota RFMO maupun di wilayah Indonesia; (b) Melakukan pendaratan hasil tangkapan, mengisi bahan bahar dan logistik ataupun terlibat dalam transaksi perdagangan; (c) Menyewakan kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan; (d) Menjual ataupun mengekspor ikan; (e) Merubah nama kapal penangkap ataupun pengangkut ikan; Mencermati beberapa ketentuan hukum yang telah diuraikan sebelumnya, terdapat beberapa isu yang dapat berpotensi terjadi dalam tataran implementasi. Pertama, persyaratan dokumen perizinan bagi setiap kapal perikanan guna pendataan akurat kapal-kapal yang dapat menangkap ikan secara sah di laut lepas. Saat kapal tidak 42
memperpanjang dokumen perizinan, maka kemungkinan pergerakan atau posisi kapal tidak diketahui termasuk apa yang sedang dikerjakan kapal tersebut. Kedua, untuk pendeteksian pergerakan kapal sangat bergantung pada transmitter yang wajib dihidupkan. Jika tidak ada sanksi yang tegas, maka responsibilitas kapal perikanan untuk tujuan konservasi dan pengelolaan perikanan sangatlah rawan, karena kapal kemungkinan memasang atau mengaktivasi trasmitter hanya untuk memenuhi persyaratan formal perizinan. Hal ini turut memicu maraknya illegal transhipment maupun penggunaan bendera kapal kepada pihak lain (flags of convenience) demi keuntungan ekonomi semata. Ketiga, kapal perikanan Indonesia dalam sebuah RFMO dapat terancam melakukan pelanggaran di overlaping area antara satu RFMO dengan RFMO lainnya. Disamping itu, armada kapal Indonesia yang belum sepenuhnya dilengkapi dengan perlengkapan untuk mencegah tertangkapnya hiu, burung laut, kura-kura maupun spesies yang diwajibkan konservasi, maka aktifitas kapal perikanan akan rentan diklasifikasikan sebagai IUU fishing berdasarkan ketentuan masing-masing RFMO. Meski demikian, keputusan Pemerintah untuk bergabung dan ambil bagian dalam RFMOs
tentunya bukan tanpa pertimbangan strategis. Sebagai negara kepulauan, Indonesia harus bisa mengambil peluang dari keanggotaannya dengan ikut memanfaatkan sumber daya perikanan di perairan internasional. Data dari Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) menunjukkan selama tahun 2008 dan 2009 merupakan ekspor tuna terbesar yakni sebesar 11.620 ton pada tahun 2008 dan 13.049 pada tahun 2009. Hal ini disebabkan bertambahnya jumlah kapal Indonesia yang didaftarkan di IOTC, sehingga upaya penangkapan ikan disinyalir menjadi lebih optimal karena nelayan Indonesia dapat memanfaatkan kuota sebagai full member. Dengan bergabungnya Indonesia ke dalam IOTC maka posisi tawar Indonesia akan semakin kuat di dalam akses pasar perikanan tuna terutama di antara sesama negara anggota. Berkaitan dengan spesies tuna yang ada di Samudera Hindia, Indonesia juga merupakan daerah pemijahan jenis Southern bluefin tuna (SBT) yang memiliki nilai yang paling tinggi. Jumlahnya yang sangat terbatas, menyebabkan banyak pengusaha perikanan tuna menjadikan SBT sebagai target utama penangkapan terutama oleh Taiwan, Jepang, Korea, Selandia Baru dan Australia. Hal demikian dapat memperkokoh posisi Indonesia sebagai pelaku utama perikanan
dan dapat meningkatkan ekspor perikanan nasional.25 Keanggotaan di dalam RFMOs membuat Indonesia mendapatkan alokasi sumber daya ikan untuk jenis ikan yang beruaya terbatas dan beruaya jauh melalui penetapan kuota internasional. Berikut adalah penerapan kuota hasil tangkapan untuk Indonesia26 : Kuota di CCSBT 2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
800
800
750
750
651
651
685
707
750
Kuota di WCPFC a. Kuota bigeye longline 2008 2009 2010 2011
2012
2013
8.413 7.571 6.814 5.889 5.889 5.889 (satuan ton) b. Kuota Yellowfin longline 2009
2010
2011
2012
2013
7.192
7.192
7.192
7.192
7.192
(satuan ton) Hal yang tidak kalah penting dari perolehan kuota perikanan di laut lepas yakni bagaimana keberlanjutan dari pemanfaatan sumber daya perikanan tersebut 25
Mardia, 2011, Manfaat Keanggotaan Indonesia Dalam Indian Ocean Tuna Commission (IOCT), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, hlm. 39 26 Erni Widjajanti, op.cit
43
bagi kepentingan nasional. Pasal 25B ayat (2) Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan mewajibkan kepada pemerintah untuk memprioritaskan produksi dan pasokan ke dalam negeri untuk mencukupi kebutuhan konsumsi nasional. Pasal ini merupakan kebijakan penting mengenai “domestic obligation“ untuk memprioritaskan konsumsi protein bagi setiap warga negara Indonesia. Mengingat keanggotaan dalam RFMOs tidak semata-mata didasarkan pada kondisi geografis suatu negara, maka sesungguhnya Indonesia sebagai negara pantai dan penghasil tuna merupakan negara yang paling berkepentingan baik dari sisi sumber daya, habitat dan perdagangan, jika dibandingkan dengan posisi ‘distance-water fishing state’, seperti Korea misalnya, yang perairannya jauh dari Samudera Hindia ataupun Samudera Pasifik, walaupun pada kenyataannya negara-negara tersebut sangat berpartisipasi aktif dalam rangka untuk melindungi kepentingannya. Keanggotaan pada suatu RFMO yang pada dasarnya bertolak dari ‘real interest’ suatu negara, sangat mungkin keanggotaan tersebut terus bertambah jumlahnya. Secara logika hal ini berarti akan turut berdampak pada pemberian alokasi kuota perikanan. Anggota yang sudah bergabung akan berbagi kuota dengan anggota yang baru 44
terdaftar dalam RFMO. Semakin besar catch history suatu negara maka akan semakin besar perolehan kuotanya, di sisi lain, bisa diasumsikan kuota negara lain akan ikut berkurang setiap kali anggota baru ikut bergabung. Kemungkinan lain, jika RFMOs memperluas daerah penangkapannya hingga semakin jauh ke laut lepas, akan turut berdampak pada armada kapal yang dibutuhkan akan semakin besar dengan pemakaian bahan bakar yang semakin banyak. Sebagai negara berkembang, dalam suatu forum RFMO Indonesia dituntut untuk siap dengan kecukupan anggaran dan personal capacity dalam peran sertanya untuk memanfaatkan sumber daya perikanan di laut lepas. PENUTUP Kebutuhan setiap negara terhadap pemanfaatan sumber daya perikanan di Laut Lepas telah mendorong terbentuknya Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs) yang merupakan organisasi internasional untuk konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan beruaya jauh dan beruaya terbatas. Otoritas RFMOs berlaku bagi seluruh negara anggota dan cooperating non-state parties. Problematika yang belum dapat sepenuhnya diselesaikan oleh RFMOs yakni menjembatani ‘real interests’ guna alokasi kuota diantara coastal states, yang secara geografis lebih dekat dengan zona perikanan, distance water fishing states, yang merupakan negara-negara pemancing jarak jauh, serta cooperating
non-state parties. Untuk mewujudkan hak akses perikanan yang adil proporsional serta seiris dengan tujuan konservasi dan pengelolaan, RFMOs selayaknya memiliki mekanisme alokasi kuota yang transparan dan penegakah hukum serta penguatan sanksi terhadap setiap negara anggotanya yang melakukan pelanggaran. Sebagai negara yang turut bergabung dalam CCSBT, IOTC, dan WCPFC, , Indonesia telah mengadopsi berbagai ketentuan RFMOs dalam peraturan perundang-undangan nasional. Implikasinya, setiap kapal perikanan Indonesia wajib memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku pada masingmasing RFMOs. Melalui keanggotaannya, Indonesia dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan organisasi dan dapat terhindar dari sanksi embargo produk perikanan di negara sesama anggota. Meski demikian, Indonesia perlu melaksanakan secara penuh dari seluruh Revolusi/regulasi yang dikeluarkan oleh RFMO untuk mencegah terjadinya tindakan yang dikategorikan dalam IUU fishing pada masing-masing RFMO. DAFTAR PUSTAKA Buku dan Jurnal Cathy Roheim and Jon G. Sutinen, Trade and Marketplece Measures to Promote Sustainable Fshing Practices, diunduh dari http://ictsd.org/i/publications/11838 /. Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2011.
Erni Widjajanti, Pengelolaan Perikanan Tuna Indonesia dan Peran KerjasamIndonesia dalam RFMO, Kementrian Kelautan dan Perikanan, disampaikan pada Seminar Nasional Hukum Laut, Universitas Sebelas Maret,Surakarta, 2013. Mardia, Manfaat Keanggotaan Indonesia Dalam Indian Ocean Tuna Commission (IOCT), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, 2011. Melda
Kamil Adriano, Kepentingan Indonesia dalam Pengelolaan Perikanan Laut Bebas, Jurnal Hukum Internasional, Volume 1 No. 2, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Nicholas Tandi Dammen, Kewenangan Perwakilan RI di Luar Negeri, Indonesian Journal of Internasional Law, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005. Recommended Best Practises for Regional Fisheries Management Organizations, Chatham House, The Royal Institute of International Affairs, London, 2007. Sumaryo Suryokusumo, 1990, Hukum Organisasi Internasional, Jakarta: UI-Press. Sumaryo Suryokusumo, 2008, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: PT Tatanusa. Trade and Agriculture Directorate and Fisheries Committee, Fishing for Development-Background paper for session 5, The Role of Fisheries 45
Organisations
The Establishment of The Indian Ocean Tuna Commision
Wartini Soegeng, Kebangsaan Kapal Indonesia, Bandung: PT Refika Aditama, 2003.
Peraturan Presiden Nomor 109 tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (SBT)
Management (RFMOs), 2014.
Regulasi Internasional Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 Tentang Hukum Laut FAO Code of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) 1995 FAO International Plan of Action (IPOA) The
United Nations Agreement on Management of Straddling and Highly Migratory Fish Stocks 1995 (UNFSA)
Regulasi Nasional Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan Agreement for the implementation of the provisions of the UNCLOS of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stock and Highly Migratory Fish Stock. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pengesahan Agreement For
46
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2013 tentang Pengesahan Convention On The Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in The Western and Central Pacific Ocean Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas