PENGARUH KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK TERHADAP PENDAPATAN USAHA KECIL DAN MENENGAH (Kasus : UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng, Kabupaten Ciamis, Jabar)
OLEH MAYA ROSMAYATI H 14104057
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
MAYA ROSMAYATI. Pengaruh Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Pendapatan Usaha Kecil dan Menengah, Kasus : UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat (dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS). Usaha Kecil dan Menengah (UKM) memegang peranan penting dan strategis lingkungan domestik, regional maupun internasional. UKM mempunyai potensi yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat sehingga perlu di berdayakan dan di kembangkan agar mampu memberi kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pendapatan negara. Namun banyak hal yang membuat UKM sulit untuk berkembang, salah satunya adalah masalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dapat menaikkan harga barang input produksi. Kenaikan harga BBM sangat berpengaruh terhadap UKM jenis pengolahan makanan, salah satunya adalah UKM kerupuk. Penerapan kebijakan ini dalam sektor industri akan berdampak pada proses produksi, distribusi, hingga pola konsumsi konsumen yang mempengaruhi permintaan akan komoditi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kenaikan harga BBM terhadap pendapatan, keragaan UKM kerupuk, dan efisiensi faktor-faktor produksi sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM. Penelitian dilaksanakan pada UKM kerupuk selama bulan April sampai Mei 2008. Pengumpulan sampel dilakukan secara purposive sampling yaitu pelaku UKM kerupuk dengan kriteria lama usaha lebih dari tiga tahun, mengingat tujuan penelitian adalah menganalisis dampak kenaikan harga BBM tanggal 1 Oktober 2005. Jumlah responden adalah 41 UKM kerupuk. Analisis dilakukan secara deskriptif dan kuantitatif dengan menggunakan analisis imbangan penerimaan dan biaya, uji beda dua rataan untuk analisis keragaan UKM dan fungsi produksi Cobb-Douglass yang dianalisis melalui metode OLS untuk melihat efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah kenaikan harga BBM, keuntungan UKM kerupuk semakin berkurang. Kenaikan harga BBM berpengaruh positif terhadap jumlah input produksi (tepung, garam, minyak tanah, kayu bakar dan tenaga kerja), pengeluaran untuk semua input produksi, jumlah output, total biaya produksi, dan penerimaan hasil penjualan. Namun berpengaruh negatif terhadap jumlah input produksi (bawang putih, penyedap rasa dan bahan baku pembantu), dan pendapatan bersih UKM. Sebelum kenaikan harga BBM, hanya variabel bahan baku dan kayu bakar yang berpengaruh nyata terhadap output yang dihasilkan. Sedangkan pada kondisi setelah kenaikan harga BBM, semua variabel bebas berpengaruh nyata terhadap output. Pada efisiensi teknis, terjadi perubahan elastisitas semua faktor produksi menjadi lebih efisien. Pada efisiensi alokasi penggunaan faktor-faktor produksi, belum ada faktor produksi yang efisien. Sebelum kenaikan harga BBM, rasio NPM dan BKM bahan baku dan kayu bakar kurang dari satu. Setelah kenaikan harga BBM rasio NPM dan BKM bahan baku kurang dari satu sedangkan minyak tanah, kayu bakar, dan tenaga kerja lebih dari satu.
PENGARUH KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK TERHADAP PENDAPATAN USAHA KECIL DAN MENENGAH (Kasus : UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng, Kabupaten Ciamis, Jabar)
OLEH MAYA ROSMAYATI H 14104057
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Maya Rosmayati
Nomor Registrasi Pokok : H 14104057 Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Pengaruh Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Pendapatan Usaha Kecil dan Menengah (Kasus : UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat)
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Muhammad Firdaus, Ph.D NIP. 132 158 758
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M. S. NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MEYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor,
September 2008
Maya Rosmayati H 14104057
PADA
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Maya Rosmayati lahir pada tangal 1 Juni 1985 di Ciamis, sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Penulis anak terakhir dari tiga bersaudara, dari pasangan H. Erus Rusman dan Hj. Tati. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Imbanagara IV Ciamis, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 3 Ciamis dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 2 Ciamis. Pada tahun 2004 penulis meninggalkan kota tercinta untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola fikir, sehingga dapat menjadi orang yang berguna bagi semua orang dimanapun berada. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan ditermia sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi Pembangunan pada Fakulatas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dibeberapa organisasi seperti Keluarga Ekonomi dan Manjemen Pecinta Alam (KAREMATA), Pers Kampus IPB Gema Almamater, dan Paguyuban Mahasiswa Galuh Ciamis (PMGC).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul ”Pengaruh Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Pendapatan Usaha Kecil dan Menengah (Kasus : UKM Kerupuk di Kec. Cikoneng, Kab. Ciamis, Jabar)” ini menguraikan tentang pengaruh kenaikan harga BBM terhadap pendapatan, keragaan UKM kerupuk, fungsi produksi, dan efisiensi faktor-faktor produksi sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM. Dalam menyusun skripsi ini penulis banyak mengalami kesulitan. Oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada : Muhammad Firdaus Ph. D. dan Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsjah, Ph.D yang telah membimbing dan memberikan arahan kepada penulis. Tanti Novianti SP. MSi. sebagai penguji dan Fifi Diana Thamrin SP. MSi. sebagai komisi pendidikan yang memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. Pemerintahan Kec. Cikoneng yang telah membantu pencarian data. Ayah dan Ibu yang memberikan doa, kasih sayang, dan dukungan. Saudaraku Risna, Pian, Ripan, Wahyu, Delima, Rehan, H. Agus, Hj Ijah, H. Aang, Hj. Eneng, Tanti, Tanto, Tantan, Mang Emong, Bi Eka, Erwin, Egi, Eca serta keluarga besar Bapak Sanrusdi dan Bapak Udin. Mulyatries yang selalu membantu kesulitan penulis. Karlina, ka Toni, Saeful, Dika, Akbar, Bagus, Deni, Abi, Pri, Anwar, Tities, Irma, Tita, Nisa, Sari, Ochin, Putri, Dolli, all KAREMATA dan all IE’41. Segenap usaha maksimal telah penulis lakukan dalam menyelesaikan skipsi ini. Namun, penulis mengakui skipsi ini belum sempurna. Oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun.
Bogor, September 2008
Maya Rosmayati H 14104057
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN……………………………………………….……….......... i RIWAYAT HIDUP …………………………………………..……………
ii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………..
iii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………
iv
DAFTAR TABEL …………………………………………………………
vii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………...
ix
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………
x
I.
PENDAHULUAN …………………………………………………...
1
1.1. Latar Belakang ……….……………………………………….
1
1.2. Perumusan Masalah ..………………………………………….
6
1.3. Tujuan Penelitian ..…………………………………………….
8
1.4. Manfaat Penelitian ...…………………………………………..
9
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ..…………………………………...
9
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………….
10
2.1. Pengertian Usaha Kecil dan Menengah …..…………………...
10
2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu …………………………………
13
2.2.1. Penelitian tentang Usaha Kecil dan Menengah ………
13
2.2.2. Penelitian tentang Harga Bahan Bakar Minyak ….......
15
2.2.3. Penelitian tentang Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Usaha Kecil dan Menengah …..……………………….
15
III. KERANGKA PEMIKIRAN ………………………………………...
18
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis .....................................................
18
3.1.1. Pendapatan …………………………………………….
18
3.1.2. Imbangan Penerimaan dan Biaya ………………...........
19
3.1.3. Konsep Fungsi Produksi ………………………….…...
20
3.1.4. Model Fungsi Produksi Cobb-Douglas ……………….
25
3.1.5. Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi ………………..
27
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ………………..……………
31
3.3. Hipotesis ………………...……………………………………..
34
II.
IV. METODE PENELITIAN …………………………………………...
35
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian …………….……………………
35
4xiii.2.
Jenis dan Sumber Data…………...……………………………35
4.3. Teknik Pengambilan Sampel …………………………………
36
4.4. Metode Analisis dan Pengolahan Data ……………………..…
36
4.4.1. Analisis Pendapatan UKM Kerupuk ………….………
37
4.4.2. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya ……………
38
4.4.3. Analisis Pengaruh Kenaikan Harga BBM terhadap Keragaan UKM Kerupuk ……………………………..
38
4.4.4. Analisis Pengaruh Kenaikan Harga BBM terhadap Fungsi Produksi UKM Kerupuk ………….…………...
40
4.4.5. Analisis Efisiensi Penggunan Faktor-Faktor Produksi ..
47
4.5. Definisi Operasional …………………………………………..
48
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN …………………………………
50
5.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian …………………………..
50
5.2. Keadaan Demografis Penduduk ……………………………….
50
5.3. Gambaran Umum Harga Bahan Bakar Minyak .......…………..
53
5.4. Gambaran Umum Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia…..
58
5.5. Karakteristik UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng ………..
63
5.5.1. Pemilik UKM Kerupuk ……………….……………….
64
5.5.2. Pola Pengadaan Input …………….…………………...
67
5.5.3. Proses Produksi …………………………..…….……..
67
5.5.4. Cara Pembuatan Kerupuk ……………………………..
69
5.5.5. Pola Pemasaran …………………………….………….
72
VI. ANALISIS PENDAPATAN UKM KERUPUK ……………………
73
6.1. Penerimaan UKM Kerupuk …………………………………...
73
6.2. Pengeluaran UKM Kerupuk …………………………………..
74
6.3. Analisis Pendapatan serta Imbangan Penerimaan dan Biaya…..
77
6.4. Analisis Keragaan UKM Kerupuk …………………………….
80
V.
VII. ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI UKM KERUPUK …….……...
85
7.1. Analisis Fungsi Produksi UKM Kerupuk …….………………
85
7.1.1. Analisis Fungsi Produksi UKM Kerupuk Sebelum Kenaikan Harga BBM ………………….……………...
85
7.1.2. Analisis Fungsi Produksi UKM Kerupuk Setelah Kenaikan Harga BBM ……………….…..……………
89
Pengaruh Faktor-Faktor Produksi ……………………………
92
7.3. Analisis Pengaruh Kenaikan Harga BBM terhadap Efisiensi Produksi UKM Kerupuk ………………………………………
95
7.3.1. Analisis Efisiensi Teknis ………………………..……..
96
7.3.2. Analisis Efisiensi Alokasi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi ……………………………………………….
99
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………..
108
8.1. Kesimpulan ………………….…….…….…………………….
108
8.2. Saran …………………………………………………………..
109
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..
110
LAMPIRAN …………………………………….…………………………
114
7.2
DAFTAR TABEL
Nomor 1.
Perkembangan Harga BBM Tahun 2003-2008 …………...…….…
5
2.
Komposisi Penduduk Kecamatan Cikoneng Berdasarkan Jenis Kelamin pada Bulan Juni 2008…………………………...………...
51
Komposisi Penduduk Kecamatan Cikoneng Berdasarkan Usia pada Bulan Juni 2008 ……………………………………………………
51
Komposisi Penduduk Kecamatan Cikoneng Berdasarkan Wilayah pada Bulan Juni 2008 ………….………………………………......
52
Komposisi Kepala Keluarga Kecamatan Cikoneng Berdasarkan Tingkat Pendidikan pada Bulan Juni 2008…………………………
53
6.
Harga BBM sejak 1 Oktober 2005 …………….…………………..
58
7.
Perkembangan Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Usaha Kecil dan Menengah Tahun 2002-2006 ………………………………….
59
8.
Perkembangan Jumlah UKM Tahun 2002-2006 ………………….
60
9.
Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja UKM Tahun 2002-2006……
60
10. Perkembangan Produktivitas Tenaga Kerja Berdasarkan Skala Usaha Tahun 2003-2004 …………………………………………..
61
11. Posisi Kredit Rupiah dan Valuta Asing pada Bank-Bank Umum Tahun 2000-2004 (dalam milyar rupiah)…………………………..
62
12. Karakteristik Responden UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng..
65
13. Penerimaan UKM Kerupuk per Rata-Rata Kapasitas Produksi per Bulan ……………….………………….………………………
73
14. Biaya yang Dikeluarkan UKM Kerupuk per Rata-Rata Kapasitas Produksi per Bulan ………………………….……………………..
75
15. Analisis Pendapatan serta Imbangan Penerimaan dan Biaya per Rata-Rata Produksi per Bulan UKM Kerupuk ………….……….
78
16. Pengaruh Kenaikan Harga BBM terhadap Keragaan UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng …………….…….……………..
83
17. Hasil Analisis Regresi Fungsi Produksi UKM Kerupuk Sebelum Kenaikan Harga BBM …………………………...………………..
85
18. Hasil Pengujian Heteroskedastisitas Fungsi Produksi UKM Kerupuk Sebelum Kenaikan Harga BBM ….................................
86
19. Hasil Pengujian Autokorelasi Fungsi Produksi UKM Kerupuk Sebelum Kenaikan Harga BBM ………………………………….
87
3. 4. 5.
Halaman
20. Hasil Analisis Regresi Fungsi Produksi UKM Kerupuk Setelah Kenaikan Harga BBM …………………………………………….
90
21. Hasil Pengujian Heteroskedastisitas Fungsi Produksi UKM Kerupuk Setelah Kenaikan Harga BBM ………….………….……
90
22. Hasil Pengujian Autokorelasi Fungsi Produksi UKM Kerupuk Sebelum Kenaikan Harga BBM …………….…….………………
91
23. Elastisitas Produksi UKM Kerupuk Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga BBM ………………………………………….....................
96
24. Rasio NPM dan BKM UKM Kerupuk Sebelum Kenaikan Harga BBM di Kecamatan Cikoneng …………………………….……… 100 25. Rasio NPM dan BKM UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng Setelah Kenaikan Harga BBM ……………………………..……..
102
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1.
Proporsi serta Kontribusi UKM dan Usaha Besar terhadap PDB Nasional Tahun 2005-2006 Menurut Harga Berlaku ……..……….
2
Proporsi Jumlah Tenaga Kerja UKM dan Usaha Besar Tahun 2005-2006 …………………………………………………………
3
3.
Total Produksi dan Konsumsi BBM Indonesia Tahun 1986-2006 ..
4
4.
Hubungan antara Faktor Produksi dan Output …………………....
21
5.
Tiga Daerah Produksi ……………………………………………...
23
6.
Efisiensi Produksi …………………………………………………
28
7.
Diagram Alur Kerangka Pemikiran …………………………..…...
33
8.
Harga Subsidi BBM Jenis Minyak Tanah, Solar dan Premium Tahun 1965 s.d. 23 Mei 2008 ……………………………………...
55
Mekanisme Penyediaan BBM di Indonesia ……………………….
56
10. Proses Pengadonan Kerupuk ……………………………………...
69
11. Proses Pencetakan Kerupuk ………………………………………
70
12. Proses Pengukusan Kerupuk ………………………………………
70
13. Proses Pengeringan Kerupuk………………………………………
71
14. Proses Pembuatan Kerupuk di Kecamatan Cikoneng …….……….
72
15. Pola Pemasaran UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng…………
72
12. Lokasi Penelitian ………………………………………………….
131
2.
9.
Halaman
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1.
Harga Faktor Produksi dan Biaya Aktivitas Produksi Kerupuk di Kecamatan Cikoneng Sebelum Kenaikan Harga BBM ……..…….
114
Harga Faktor Produksi dan Biaya Aktivitas Produksi Kerupuk di Kecamatan Cikoneng Setelah Kenaikan Harga BBM ……..…..….
116
Jumlah input produksi per hari UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng Sebelum Kenaikan Harga BBM ……………………….
118
Jumlah input produksi per hari UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng Setelah Kenaikan Harga BBM …………………………
119
Total Penerimaan, Total Pengeluaran dan Pendapatan UKM Kerupuk Sebelum Kenaikan Harga BBM ………………………...
120
Total Penerimaan, Total Pengeluaran dan Pendapatan UKM Kerupuk Setelah Kenaikan Harga BBM ………………………….
121
Hasil Analisis Regresi dan Uji Asumsi OLS Fungsi Produksi UKM Kerupuk Sebelum Kenaikan Harga BBM ………………………...
122
Hasil Analisis Regresi dan Uji Asumsi OLS Fungsi Produksi UKM Kerupuk Setelah Kenaikan Harga BBM ……………………….…
124
Kuisioner Penelitian ……………………………………………….
126
10. Lokasi Penelitian …………………………………………………..
131
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Halaman
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Usaha Kecil dan Menengah (UKM) memegang peranan penting dan
strategis lingkungan domestik, regional maupun internasional. UKM mempunyai potensi yang besar dalam menggerakan kegiatan ekonomi masyarakat sehingga perlu diberdayakan dan dikembangkan agar mampu memberi kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pendapatan negara. UKM merupakan sektor yang paling fleksibel dalam menyerap tenaga kerja secara cepat dan alamiah dibandingkan sektor lain. Banyak orang yang dapat bekerja pada UKM dengan mudah, tanpa melihat status pendidikan ataupun keahlian yang mesti dimiliki karena pada UKM tenaga kerja akan mendapat keahlian setelah mereka bekerja. Jumlah UKM yang banyak serta sebaran yang merata, menjadikan sektor ini tidak hanya mampu menciptakan pertumbuhan namun sekaligus mengurangi disparitas antardaerah. UKM juga cukup fleksibel dan dapat dengan mudah beradaptasi dengan pasang surut arah permintaan pasar. Sektor ini memberikan kontribusi penting dalam pembentukan pendapatan domestik bruto (PDB) nasional dan ekspor. UKM adalah mesin penggerak roda perekonomian bangsa. Kinerja UKM cenderung lebih baik dalam menghasilkan tenaga kerja yang produktif sebagai bagian dari dinamikanya, UKM sering mencapai peningkatan produktifitas melalui investasi dan perubahan teknologi (Rachmanto, 2008). Pada tahun 2005 kontribusi UKM terhadap pembentukan PDB nasional menurut harga berlaku tercatat sebesar Rp 1.491,06 triliun atau 53,54 persen. Kontribusi usaha
kecil (UK) sebesar Rp 1.053,34 triliun atau 37,82 persen dan usaha menengah (UM) sebesar Rp 437,72 triliun atau sebesar 15,72 persen dari total PDB nasional. Selebihnya adalah usaha besar (UB) yaitu Rp 1.293,90 triliun.
Gambar 1.a. Proporsi Kontribusi UKM dan Usaha Besar terhadap PDB Nasional Tahun 2005-2006 Menurut Harga Berlaku. Sumber : BPS dengan Kementrian Koperasi dan UKM 2007, diolah. Pada tahun 2006 peran UKM terhadap penciptaan PDB nasional menurut harga berlaku tercatat sebesar Rp 1.778,75 triliun atau 53,28 persen dari total PDB nasional, mengalami perkembangan sebesar Rp 287,68 triliun atau 19,29 persen dibanding tahun 2005. Kontribusi UK tercatat sebesar Rp 1.257,65 triliun atau 37,67 persen dan UM sebesar Rp 521,09 triliun atau 15,61 persen, selebihnya sebesar Rp 1.559,45 atau 46,61 persen merupakan kontribusi UB.
Gambar 1.b. Jumlah Kontribusi UKM dan Usaha Besar terhadap PDB Nasional Tahun 2005-2006 Menurut Harga Berlaku. Sumber : BPS dengan Kementrian Koperasi dan UKM 2007, diolah. UKM di Indonesia telah memainkan peranan penting dalam menyerap tenaga kerja dan mendukung pendapatan rumah tangga. Pada tahun 2005 UKM
mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 83.233.793 orang atau 96,28 persen. Proporsi tenaga kerja UK tercatat sebanyak 78.994.872 orang atau 91,38 persen dan UM sebanyak 4.238.921 orang atau sebesar 4,90 persen, selebihnya adalah jumlah tenaga kerja UB yaitu sebanyak 3.212.033 orang atau 3,72 persen.
Gambar 2.a. Proporsi Tenaga Kerja UKM dan Usaha Besar Tahun 2005-2006. Sumber : BPS dengan Kementrian Koperasi dan UKM 2007, diolah. Pada tahun 2006, UKM mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 85.416.493 orang atau 96,19 persen dari total tenaga kerja yang diserap mengalami perkembangan sebanyak 2.182.700 orang atau 2,62 persen dibanding tahun 2005. Penyerapan tenaga kerja UK tercatat sebanyak 80.933.384 orang atau 91,14 persen dan UM sebanyak 4.483.109 orang atau 5,05 persen, selebihnya sebanyak 3.388.462 orang atau 3,82 persen merupakan total tenaga kerja UB.
Gambar 2.b. Jumlah Tenaga Kerja UKM dan Usaha Besar Tahun 2005-2006. Sumber : BPS dengan Kementrian Koperasi dan UKM 2007, diolah.
UKM mempunyai peranan yang sangat penting, Oleh karena itu keberlangsungan UKM perlu dijaga. Namun banyak hal yang membuat UKM sulit untuk berkembang, salah satunya adalah masalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dapat menyebabkan kenaikan harga barang input produksi. Kenaikan harga BBM ini disebabkan oleh konsumsi BBM yang terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, kemajuan teknologi dan kemajuan produktivitas ekonomi menyebabkan tingginya permintaan BBM. Konsumsi BBM di Indonesia mencangkup 60 persen dari total penggunaan energi yang terdiri dari penggunaan bahan bakar untuk transportasi, industri dan konsumsi rumah tangga. Tingkat konsumsi ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya populasi dan kesejahteraan masyarakat yang mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan BBM sebagai bahan bakar utama.
Gambar 3. Total Produksi dan Konsumsi BBM Indonesia Tahun 1986-2006. Sumber : International Energy Annual, Short-term Energy Outlook 2007. Penawaran produk BBM berkurang karena terjadinya penurunan produksi BBM dari tahun ke tahun. Penurunan produksi BBM disebabkan oleh teknologi yang digunakan sudah ketinggalan jaman dan iklim investasi di sektor pertambangan minyak yang kurang kondusif. Hal ini menyebabkan tidak ada penambahan kapasitas kilang minyak dalam negeri, sehingga sebagian minyak
mentah diekspor ke luar dan mengharuskan pemerintah mengimpor BBM olahan dari luar. Meningkatnya jumlah impor BBM dan tingginya harga minyak dunia menyebabkan jumlah subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah untuk menjaga kestabilan harga BBM meningkat. Di sisi lain, pemerintah tidak dapat terus mensubsidi kenaikan harga bahan bakar.
Jika pemerintah terus melakukan
subsidi, anggaran pemerintah akan terus menurun dan dana yang telah disiapkan untuk tujuan lain seperti pembangunan infrastruktur bisa hilang digunakan untuk menutup kenaikan anggaran tersebut. Oleh Karena itu, pemerintah memutuskan untuk menghapus subsidi BBM secara bertahap sejak tahun 2002. Kebijakan subsidi BBM yang dilakukan pada 1 Oktober 2005 telah meningkatkan harga BBM lebih dari seratus persen terlihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan Harga BBM Tahun 2003-2008
Jenis
2003
2004
1 Maret 2005
Pertamax 2.600 2.750 4.200 Plus Pertamax 2.300 2.450 4.000 Premium 1.810 1.810 2.400 M. Tanah 700 700 700 M. Solar 1.650 1.650 2.100 M. Diesel 1.650 1.650 2.300 M. Bakar 1.560 1.560 2.300 Sumber : Pertamina 2003-2008, diolah.
Tahun 1 Oktober 2005
2006
2007
23 Mei 2008
5.900
5.500
5.900
7.000
5.700 4.500 2.000 4.300 5.130 3.150
5.200 4.500 2.000 4.300 5.130 3.150
5.700 4.500 2.000 4.300 5.130 3.150
6.500 4.500 2.000 4.300 7.915 5.616
Kenaikan harga bahan bakar ini sangat berpengaruh terhadap UKM jenis pengolahan makanan, salah satunya adalah UKM kerupuk. Kenaikan harga BBM dapat meningkatkan biaya produksi, sehingga pelaku UKM harus menaikan harga jual kerupuk untuk menutup biaya produksi. Kenaikan harga jual produk kerupuk
dapat mengurangi permintaan. Rendahnya permintaan terhadap suatu barang akan mengurangi jumlah produksi, bahkan beberapa UKM terpaksa tutup karena tidak mampu menanggung tingginya harga input, sehingga akan terjadi pengurangan tenaga kerja. Hal ini akan menyebabkan bertambahnya pengangguran dan mengurangi penghasilan masyarakat. Padahal keberadaan UKM merupakan sumber lapangan kerja bagi masyarakat serta sumber pendapatan bagi masyarakat dan negara. Hal inilah yang menyebabkan perlunya penelitian tentang pengaruh kenaikan harga BBM terhadap kesejahteraan UKM.
1.2.
Perumusan Masalah Kenaikan harga bahan bakar memiliki dampak yang sangat besar bagi
kehidupan masyarakat diberbagai sektor, salah satunya adalah sektor usah kecil dan menengah. Penerapan kebijakan ini dalam sektor industri akan berdampak pada proses produksi, distribusi, hingga pola konsumsi konsumen yang mempengaruhi permintaan akan komoditi tersebut. Dalam proses produksi, kenaikan harga bahan bakar akan meningkatkan biaya yang diperlukan baik dalam penggunaan bahan bakar secara langsung, maupun kenaikan harga bahan baku lainnya secara tidak langsung. Sementara dalam proses distribusi produk, kenaikan harga bahan bakar akan meningkatkan biaya distribusi secara langsung, mengingat alat transportasi yang tersedia menggunakan bahan bakar. Oleh karena itu, kenaikan harga BBM memaksa industri untuk mengurangi penggunaan tenaga kerja dalam rangka efisiensi produksi. Hal ini dapat menimbulkan polemik sosial sebagai akibat dari peningkatan jumlah pengangguran.
Salah satu tempat adanya UKM yang cukup sukses dan cukup banyak adalah di Kecamatan Cikoneng, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. UKM di daerah ini adalah UKM yang mengolah bahan baku menjadi makanan ringan. Sebagian besar UKM ini mengolah bahan baku untuk dijadikan kerupuk. Kerupuk adalah salah satu jenis makanan yang sangat terpengaruh oleh kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM akan mempengaruhi biaya input produksi baik secara langsung ataupun tidak langsung. Secara tidak langsung, kenaikan harga BBM akan menaikan harga input kerupuk yaitu tepung yang merupakan input utama dan bahan pembantu lainnya. Secara langsung kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya input produksi karena harga bahan bakar yang digunakan dalam proses produksi meningkat. Tepung merupakan input utama dalam produksi kerupuk. Menurut Kusnajat 1
, kebutuhan produksi kerupuk dalam sehari membutuhkan 50 kg minyak
goreng, 50 kg tepung yang menghasilkan 6000 keping kerupuk beraneka bentuk dan rasa, serta bumbu lainnya. Untuk mendapatkan minyak goreng, UKM membeli langsung ke agen yang tadinya seharga Rp 6.500,00 per kg menjadi Rp 9.500,00 per kg. Selain kenaikan harga minyak goreng, harga tepung pun terjadi kenaikan, yang semula Rp 3.200,00 per kg menjadi Rp 3.600,00 per kg. Kenaikan harga input utama ini sangat berpengaruh terhadap biaya produksi yang semakin besar, namun UKM tidak dapat menaikan harga kerupuk. Untuk harga jual hasil olahan kerupuk dihargai Rp 600,00 per biji ke pengecer. Dari pengecer ke pemilik kedai Rp 800,00 per biji. Sementara kerupuk dengan 1
Rizal, Imbas kenaikan minyak goreng pada UKM. Dumai Pos, 18 Mei 2007. [20 Desember 2008].
ukuran lebih kecil Rp 300,00 per biji. Selanjutnya, pengecer itu meletakan ke kedai-kedai seharga Rp 400,00 per biji dan akhirnya sampai ke tangan konsumen Rp 1000,00 per biji dan Rp 500,00 per biji. Kenaikan harga BBM ini membuat UKM sulit untuk berkembang. Berdasarkan gambaran di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah kenaikan harga BBM mengurangi pendapatan UKM kerupuk di Kecamatan Cikoneng? 2. Apakah UKM mengurangi jumlah input yang digunakan karena harga input yang meningkat akibat kenaikan harga BBM? 3. Apakah UKM kerupuk lebih efisien dalam menggunakan faktor-faktor produksinya setelah kenaikan harga BBM?
1.3.
Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, tujuan dari
penelitian ini adalah : 1. Menganalisis dampak kenaikan harga BBM terhadap pendapatan UKM kerupuk di Kecamatan Cikoneng sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM. 2. Menganalisis perubahan jumlah input produksi dan pengeluaran untuk input produksi setelah kenaikan harga BBM. 3. Menganalisis pengaruh kenaikan harga BBM terhadap efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi.
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak diantaranya :
1. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dan informasi untuk mengevaluasi serta menetapkan kebijakan khususnya menstabilkan harga BBM dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui UKM. 2. Bagi penulis, dapat melatih kemampuan dalam menganalisis permasalahan sesuai dengan pengetahuan yang diperoleh selama kuliah dan menambah pengetahuan penulis melalui kondisi UKM. 3. Bagi pembaca, dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan penelitian selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan dan bahan pertimbangan / perbandingan.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini membandingkan kondisi sebelum dan sesudah kenaikan
harga BBM yang terjadi pada 1 Oktober tahun 2005 terhadap kesejahteraan UKM di Kecamatan Cikoneng, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Fokus penelitian ini adalah pengaruh kenaikan harga BBM terhadap pendapatan UKM, jumlah input produksi, pengeluaran untuk input produksi serta efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi. Jenis UKM yang diteliti adalah UKM kerupuk yang mengolah bahan baku menjadi bahan setengah jadi (kerupuk mentah). Bahan bakar yang digunakan adalah bahan bakar jenis minyak tanah.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pengertian Usaha Kecil dan Menengah Sampai saat ini belum ada definisi maupun kriteria baku mengenai UKM.
Masing-masing institusi pemerintah mempunyai kriteria yang berbeda terhadap UKM di Indonesia. Menurut UU No. 9 Tahun 1995 usaha kecil (UK) adalah kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dengan kekayaan bersih maksimal Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan, penjualan tahunan maksimal Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan milik Warga Negara Indonesia (WNI) serta berdiri sendiri bukan merupakan anak perusahaan. Menurut UU No. 10 Tahun 1999, usaha menengah (UM) adalah kegiatan ekonomi rakyat yang mempunyai penjualan tahunan di atas Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). Departemen Perindustrian dan Perdagangan menggunakan kriteria industri kecil berdasarkan surat keputusan mentri No. 254/MPP/Kep/7/1999 tentang kriteria industri kecil di lingkungan departemen perindustrian dan perdagangan yang menyatakan bahwa yang termasuk industri kecil dan usaha dagang kecil adalah perusahaan yang mempunyai nilai investasi perusahaan seluruhnya sampai dengan 200 juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha serta pemiliknya adalah WNI. Departemen Perindustrian Republik Indonesia mulai tahun 2003 membagi industri kecil kedalam lima cabang industri yaitu sandang, pangan, kimia dan bahan bangunan, logam dan elektronika serta kerajinan.
World Bank memiliki definisi yang berbeda mengenai industri kecil dan menengah. World Bank membaginya kedalam tiga kelompok dengan kriteria : •
•
•
Medium Enterprise
Jumlah karyawan maksimal 300 orang.
Pendapatan setahun mencapai $ 15 juta.
Jumlah aset mencapai $ 15 juta.
Small Enterprise
Jumlah karyawan kurang dari 30 orang.
Pendapatan setahun mencapai $ 3 juta.
Jumlah aset tidak lebih dari $ 15 juta.
Micro Enterprise
Jumlah karyawan kurang dari 10 orang.
Pendapatan setahun tidak lebih dari $ 100 ribu.
Jumlah aset tidak melebihi $ 100 ribu. Sebenarnya masih ada definisi dan kriteria yang berbeda-beda dari
berbagai lembaga swadaya masyarakat dan para peneliti sesuai dengan tujuan masing-masing. Namun dalam penelitian ini menggunakan data dengan definisi UKM dari Badan Pusat Statistik (BPS). Definisi tentang ukuran besar kecilnya perusahaan di Indonesia berdasarkan jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi menurut BPS dibagi menjadi : 1. Industri rumah tangga, yaitu perusahaan atau industri pengolahan dengan jumlah tenaga kerja berkisar antara 1-4 orang. 2. Industri kecil, yaitu perusahaan atau industri pengolahan dengan jumlah tenaga kerja berkisar antara 5-19 orang.
3. Industri sedang, yaitu perusahaan atau industri pengolahan dengan jumlah tenaga kerja berkisar antara 20-90 orang. 4. Industri besar, yaitu perusahan atau industri pengolahan dengan jumlah tenaga kerja lebih besar dari 100 orang. Berdasarkan pengelompokan tersebut, UKM kerupuk didomonasi oleh industri rumah tangga, industri kecil dan beberapa industri sedang. UKM kerupuk ini berada dalam satu tempat yang disebut dengan sentra UKM kerupuk. Menurut Surat Keputusan Mentri Negara Koperasi dan UKM Republik Indonesia No.23/PER/M.KUKM/XI/2005, sentra UKM adalah pusat kegiatan bisnis di kawasan/lokasi tertentu dimana terdapat UKM yang menggunakan bahan baku/sarana yang sama, menghasilkan produk yang sama/sejenis serta memiliki prospek untuk dikembangkan menjadi bagian integral dari klaster dan sebagai titik masuk (entry point) dari upaya pengembangan klaster. Klasifikasi bagi usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar menggunakan sembilan penggolongan utama sektor ekonomi yang meliputi : 1. Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan. 2. Pertambangan dan penggalian. 3. Industri pengolahan. a. Makanan, minuman dan tembakau. b. Tekstil, barang kulit dan alas kaki. c. Barang kayu dan hasil hutan lainnya. d. Kertas dan barang cetakan. e. Pupuk kimia dan barang dari karet. f. Semen dan barang galian bukan logam.
g. Logam dasar besi dan baja. h. Alat angkutan, mesin dan peralatan. i. Barang lainnya. 4. Listrik, gas dan air bersih. 5. Bangunan. 6. Perdagangan. 7. Pengangkutan dan komunikasi. 8. Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan. 9. Jasa-jasa. a. Pemerintah. b. Swasta. Menurut penggolongan industri di atas, UKM kerupuk di Kecamatan Cikoneng merupakan jenis industri pengolahan makanan yang mengolah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi (kerupuk mentah) yang selanjutnya dipasarkan ke UKM yang mengolah kerupuk bahan setengah jadi menjadi bahan jadi yang siap untuk dikonsumsi.
2.2.
Tinjauan Penelitian Terdahulu
2.2.1. Penelitian tentang Usaha Kecil dan Menengah UKM disebut sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. Sejak krisis ekonomi terjadi di Indonesia, UKM telah menunjukkan untuk bertahan dari krisis dikala industri besar banyak yang gulung tikar. Malik (2008), mengungkapakan bahwa investasi, tenaga kerja dan nilai ekspor UKM berhubungan positif terhadap output produksi UKM di Yogyakarta. Selain itu
ditemukan juga bahwa elastisitas tenaga kerja dan modal (investasi) pada UKM ekspor lebih besar dari pada UKM non ekspor. Oleh karena itu, UKM mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia, baik dalam investasi, tenaga kerja ataupun nilai ekspor yang dapat menambah PDB nasional. Namun, perkembangan UKM hingga saat ini belum mengalami perubahan yang berarti. Jumlah UKM cukup banyak, tapi nilai tambahnya masih jauh lebih kecil dibanding dengan industri besar. Salah satu penyebabnya dikarenakan UKM kekurangan modal untuk berproduksi. Menurut Irwanti (2007), kinerja industri kecil dan menengah di Indonesia relatif baik dan secara positif dipengaruhi oleh input-input produksi barang modal dan tenaga kerja. Semua jenis skala industri di Indonesia baik UKM ataupun usaha besar bersifat capital intensive. Selain itu, telah terbukti bahwa terdapat perbedaan skala penggunan faktor produksi antara UKM dengan usaha besar. UKM berada pada kondisi decreasing return to scale, sedangkan industri besar berada pada kondisi constant return to scale. Perbedaan kualitas tenaga kerja antara usaha kecil dan usaha besar menjadi penyebab relatif rendahnya pengaruh tenaga kerja terhadap peningkatan kinerja. Permasalahan yang dihadapai UKM secara umum masih terbilang tinggi. Anggreani (2005) menjelaskan permasalahan yang dihadapi UKM adalah masalah pemasaran, teknologi, menejemen keuangan dan masalah permodalan. Sedangkan Santoso (2006) menjelaskan strategi pengembangan UKM dengan cara menambah jumlah pelanggan tetap, meningkatkan kapasitas penjualan, menambah kapasitas produksi, melakukan promosi, melakukan sistem pencatatan keuangan dan administrasi, melakukan penelitian dan pengembangan pasar, meningkatkan
kualitas produk, meningkatkan sinergisme dan kemitraan serta melakukan studi banding.
2.2.2. Penelitian tentang Harga Bahan Bakar Minyak Kenaikan harga BBM mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam perekonomian. Nugroho (2006) menjelaskan bahwa inflasi dipengaruhi secara signifikan oleh uang kartal, nilai tukar riil, harga BBM dan uang kartal periode sebelumnya memiliki pengaruh positif terhadap inflasi. Persentase perubahan uang kartal, nilai tukar riil, harga BBM dan uang kartal periode sebelumnya memiliki pengaruh positif terhadap tingkat harga umum pada tingkat kepercayaan 95 persen. Jika jumlah uang kartal naik satu persen maka inflasi akan meningkat sebesar 0,15 persen. Apabila nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar satu persen maka inflasi akan meningkat 0,15 persen. Kenaikan harga BBM sebesar satu persen akan menyebabkan inflasi meningkat 0,11 persen. Jika jumlah uang kartal pada periode sebelumnya meningkat sebesar satu persen maka inflasi akan mengalami peningkatan sebesar 0,21 persen. Selama periode 1990 sampai 2004 harga BBM berkorelasi positif terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Kenaikan harga BBM akan meningkatkan laju inflasi. Demikian pula jika harga BBM turun, maka laju inflasi akan turun.
2.2.3. Penelitian tentang Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Usaha Kecil dan Menengah Kenaikan harga BBM akan mendorong harga barang lain untuk meningkat. Karena BBM digunakan sebagai input produksi barang-barang lain, sehingga ketika harga minyak naik, biaya produksi juga ikut naik. UKM kerupuk
merupakan suatu usaha yang menggunakan input produksi yang akan terpengaruh dengan kenaikan harga BBM. Nurlatifah (2006), memperlihatkan bahwa kenaikan harga BBM mempengaruhi kondisi usaha pengrajin tempe di Kelurahan Cilendek Timur, Kotamadya Bogor. Hal tersebut dapat diketahui dari berkurangnya jumlah hasil produksi tempe karena adanya pengurangan faktor input. Setelah kenaikan harga BBM hasil produksi mengalami penurunan sebesar 12,9 persen. Kenaikan harga BBM menyebabkan penurunan penggunaan faktor input kedelai sebesar 13,9 persen, penggunaan input ragi menurun sebesar 4,5 persen, penggunaan tenaga kerja turun sebesar 3,3 persen, serta penggunaan minyak tanah dan kayu bakar turun sebesar 9,1 persen dan 10,3 persen. Penggunaan kemasan plastik menurun sebesar 10,4 persen dan penggunan daun meningkat sebesar 3,5 persen. Kenaikan harga BBM menyebabkan kenaikan total biaya produksi sebesar 7,1 persen, biaya variabel sebesar 7,2 persen dan biaya tetap sebesar 6,6 persen. Pengaruh dari masing-masing variabel yang berpengaruh nyata pada output produksi antara lain variabel kedelai, ragi, tenaga kerja dan kemasan, namun dengan tingkat kepercayaan yang berbeda antar kondisi sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM. Pada kondisi sebelum kenaikan harga BBM, variabel kedelai, ragi, tenaga kerja dan plastik masing-masing memiliki tingkat kepercayaan 99 persen, 95 persen, 90 persen dan 85 persen. Sedangkan setelah kenaikan harga BBM variabel plastik, kedelai, dan daun masing masing memiliki tingkat kepercayaan 99 persen, 95 persen dan 80 persen. Pada kondisi sebelum maupun sesudah kenaikan harga BBM variabel minyak tanah dan kayu tidak berpengaruh nyata terhadap variabel output. Pada kondisi sebelum dan sesudah
kenaikan harga BBM, penggunaan faktor produksi tempe belum efisien karena rasio NPM dan BKM tidak sama dengan satu. Terkecuali untuk variabel kedelai yang pada kondisi sebelum kenaikan harga BBM sudah efisien, setelah kenaikan harga BBM, penggunaan variabel kedelai tidak lagi efisien. Menurut Pangastuti (2006), penurunan subsidi BBM tidak berpengaruh nyata terhadap penggunaan input produksi selain kedelai, alokasi pengeluaran untuk bahan baku pembantu dan pendapatan kotor yang diterima pengrajin tahu skala kecil di Kecamatan Cibungbulang dan Parung Kabupaten Bogor. Penurunan subsidi BBM mempengaruhi volume produksi, pola penggunaan kedelai, alokasi pengeluaran
input
dan
margin
keuntungan
yang
diterima.
Dengan
membandingkan fungsi produksi industri tahu pada kondisi sebelum dan sesudah penurunan subsidi BBM, diketahui bahwa elastisitas penggunaan input dalam proses produksi tahu mengalami perubahan. Hal ini menunjukkan terjadinya perubahan pola penggunaan ketiga faktor produksi tesebut. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sama-sama menganalisis dampak kenaikan harga BBM terhadap UKM. Perbedaan penelitian ini adalah pada objek penelitian yaitu pada UKM kerupuk yang bahan bakunya adalah tepung tapioka sedangkan penelitian sebelumnya UKM tahu dan tempe yang bahan bakunya kedelai. Selain itu, dilakukan analisis imbangan penerimaan dan biaya dan analisis perubahan keragaan UKM kerupuk sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM. Perbedaan lainnya pada waktu penelitian, sebelumnya dilakukan tahun 2006, beberapa bulan setelah kenaikan harga BBM sedangkan penelitian ini dilakukan pada tahun 2008, tiga tahun setelah kenaikan harga BBM tahun 2005 dan menjelang kenaikan harga BBM pada tahun 2008.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Pendapatan Pendapatan adalah jumlah uang yang diterima oleh perusahaan dari aktivitasnya baik dari penjualan produk atau jasa. Pertumbuhan pendapatan merupakan indikator penting dari penerimaan produk dan jasa perusahaan tersebut. Soehartani dalam Hadaina, mengemukakan beberapa definisi yang berkaitan dengan pendapatan yaitu : 1. Penerimaan tunai adalah nilai uang yang diterima dari penjualan penuh. 2. Pengeluaran tunai adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi industri. 3. Pendapatan tunai yaitu selisih penerimaan tunai dengan pengeluaran tunai. 4. Penerimaan kotor yaitu produk total usaha dalam jangka waktu tertentu baik yang dijual maupun tidak dijual. 5. Pengeluaran total usaha yaitu nilai semua masukan yang habis dipakai atau dikeluarkan dalam produksi termasuk biaya yang diperhitungkan. 6. Pendapatan bersih usaha yaitu selisih antara penerimaan kotor usaha dan pengeluaran total usaha. Analisis pendapatan berguna untuk mengetahui dan mengukur apakah kegiatan usaha yang dilakukan berhasil atau tidak. Tujuan dilakukan analisis pendapatan adalah untuk menggambarkan keadaan sekarang dari suatu kegiatan dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan.
Tingkatan pendapatan selain dipengaruhi oleh keadaan harga faktor produksi dan harga hasil produksi juga dipengaruhi oleh menajemen pemeliharaan. Saefudin dan Marisa dalam Inayati (2006) mengemukakan definisi pendapatan sebagai penerimaan bersih seseorang baik berupa uang atau natura. Secara garis besar pendapatan digolongkan menjadi tiga yaitu : 1. Gaji dan upah yaitu imbangan yang diperoleh seseorang setelah melakukan pekerjaan untuk orang lain, perusahaan swasta atau pemerintah di pasar tenaga kerja. 2. Pendapatan dari usaha sendiri yaitu nilai total hasil produksi dikurangi biaya yang dibayar (baik dalam bentuk uang atau natura). 3. Pendapatan dari sumber lain yaitu keuntungan yang diperoleh tanpa penggunaan tenaga kerja antara lain hasil dari menyewakan aset (ternak, rumah, barang lain), bunga uang, sumbangan dari pihak lain atau pensiun.
3.1.2. Imbangan Penerimaan dan Biaya Salah satu cara untuk mengukur kelayakan kegiatan usaha adalah dengan menggunakan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio analysis). Analisis rasio penerimaan atas biaya menunjukkan berapa besarnya penerimaan yang akan diperoleh dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam produksi suatu usaha. Rasio penerimaan atas biaya produksi dapat digunakan untuk mengukur tingkat keuntungan relatif kegiatan usaha, artinya dari angka rasio penerimaan atas biaya tersebut dapat diketahui apakah suatu usaha menguntungkan atau tidak. Semakin besar nilai R/C maka semakin besar pula penerimaan usaha yang
diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan usaha tersebut menguntungkan untuk dilaksanakan. Suatu usaha dikatakan menguntungkan apabila nilai R/C lebih besar dari satu, artinya biaya satu rupiah akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar dari satu rupiah. Sebaliknya, suatu usaha dikatakan tidak menguntungkan jika nilai R/C lebih kecil dari satu, artinya setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil daripada tambahan biaya. Sedangkan jika kegiatan usaha memiliki R/C ratio sama dengan satu berarti suatu usaha berada pada keuntungan normal.
3.1.3. Konsep Fungsi Produksi Produksi merupakan kegiatan untuk menghasilkan barang atau jasa, sedangkan untuk memproduksi barang dan jasa tersebut digunakan sumber daya yang disebut sebagai faktor produksi (Lipsey, 1995). Produksi dalam arti yang luas merupakan kegiatan untuk menambah manfaat atau nilai guna suatu barang untuk memenuhi kebutuhan manusia. Tindakan yang dimaksud meliputi mengubah bentuk barang, memindahkan suatu barang dari satu tempat ke tempat lainnya, mengatur waktu penggunaan suatu barang dan menciptakan suatu jasa. Kegiatan produksi memerlukan unsur-unsur yang dapat digunakan dalam proses produksi yang disebut faktor produksi. Proses produksi hanya bisa berlangsung jika terpenuhinya faktor-faktor produksi yang diperlukan. Faktor produksi tersebut terdiri dari sumber daya alam (land), modal (capital), tenaga kerja (labour) dan kewirausahaan (enterpreneurship). Dalam proses produksi, terdapat hubungan yang sangat erat antara faktor-faktor produksi yang digunakan
dengan produksi yang dihasilkan. Produk sebagai output (keluaran) dari proses produksi sangat bergantung dari faktor produksi sebagai input (masukan) dalam proses produksi. Hubungan antara faktor produksi dan output dalam proses produksi dapat digambarkan sebagai berikut : input (faktor produksi)
Proses produksi
Output (hasil produksi)
Gambar 4. Hubungan antara Faktor Produksi dan Output. Gambar 4. menunjukkan bahwa suatu produk tergantung dari proses produksi yang dilakukan, sedangkan proses produksi tergantung dari faktor produksi yang masuk didalamnya. Hal ini berarti nilai produk yang dihasilkan tersebut tergantung dari nilai faktor produksi yang dikorbankan dalam proses produksinya. Keterkaitan antara nilai produk (output) dengan nilai faktor produksi (input) dalam proses produksi dapat disebut sebagai fungsi produksi. Fungsi produksi merupakan hubungan antara input yang berupa sumber daya perusahaan dengan output yang berupa barang dan jasa. Bentuk fungsi produksi menggambarkan perubahan output dengan meningkatnya sejumlah input (Doll dan Orazem, 1984). Sementara Mankiw (2000), menyatakan bahwa fungsi produksi menggambarkan teknologi yang digunakan untuk mengubah faktor produksi menjadi output. Secara matematis, hubungan antara faktor produksi dan produk dari hasil proses produksi dapat dituliskan sebagai berikut : Q = f (K, L, R, T) Dimana : Q
: jumlah produk yang dihasilkan
f
: fungsi
K
: modal
L
: tenaga kerja
R
: sumber daya alam
T
: teknologi / kewirausahaan
Fungsi produksi yang disusun dalam persamaan matematis di atas mengandung arti bahwa barang atau jasa yang dihasilkan (Q) merupakan akibat dari masukan (K, L, R, T) yang diproses. Jika salah satu sumber daya masukan diubah, maka keluaran (output) akan berubah. Fungsi produksi yang sebenarnya terjadi dari proses produksi sulit diketahui secara pasti. Untuk menyederhanakan abstraksi yang ada, dilakukan pendugaan melalui konsep statistika. Hasil pendugaan sering kurang memuaskan sehingga tidak dapat dijadikan patokan untuk mengukur keragaan produksi yang sebenarnya. Kesalahan dalam melakukan pendugaan seringkali terjadi karena : 1. terbatasnya variabel dari fungsi produksi yang diukur, 2. kesalahan pengukuran yagn diamati, dan 3. kemungkinan timbulnya masalah kolonier ganda (multikolinear). Bentuk fungsi produksi dipengaruhi oleh hukum ekonomi produksi, yaitu hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang (The law of diminishing return) yang memiliki makna bahwa penambahan berturut-turut satu satuan faktor produksi variabel sementara faktor produksi lain tetap, akan mencapai keadaan dimana penambahan produksi yang semakin menurun akibat penambahan suatu input atau faktor produksi.
Fungsi produksi dapat dinyatakan dalam bentuk grafik, dengan asumsi bahwa hanya satu faktor produksi yang berubah ceteris paribus (faktor produksi lain dianggap konstan). Secara grafik, fungsi produksi adalah sebagai berikut : Y
C B I
TP II
III
A
AP/MP
X1 X2
X3
X
AP X1 X2
X3 MP X
Gambar 5. Tiga Daerah Produksi. Sumber : Lipsey et al, 1995. Dimana : TP
: total produk
MP
: marginal produk
AP
: produk rata-rata
A
: titik balik
B
: titik optimum produksi
C
: titik maksimum produksi
Berdasarkan Gambar 5. fungsi produksi dibagi menjadi tiga daerah produksi berdasarkan elastisitas produksi (Lipsey et al, 1995) yaitu : a. Daerah produksi I Pada daerah ini elastisitas produksi lebih besar dari satu (Ep > 1), yang terletak antara titik 0 dan X2. Artinya, setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan output lebih besar dari satu persen. Pada daerah ini belum dihasilkan produksi yang optimal karena produksi masih dapat diperbesar dengan pemakaian faktor produksi lebih banyak. Daerah ini disebut daerah irrasional apabila produksi dihentikan. b. Daerah produksi II Pada daerah ini elastisitas produksi bernilai antara nol dan satu (0 ≤ Ep ≤ 1) yang terletak antara titik X2 dan X3. Artinya, setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan output paling tinggi satu persen dan paling rendah nol persen. Daerah ini dicirikan oleh penambahan hasil produksi yang peningkatannya semakin berkurang (decreasing return). Pada suatu tingkat penggunaan faktor produksi tertentu dalam daerah ini akan tercapai keuntungan yang maksimum sehingga daerah ini disebut daerah rasional. c. Daerah produksi III Pada daerah ini elastisitas produksi lebih kecil dari nol (Ep < 0). Artinya, setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penurunan jumlah output yang dihasilkan. Daerah ini mencerminkan pemakaian faktor produksi sudah tidak efisien sehingga irrasional.
disebut daerah
Pada umumnya seorang produsen yang rasional belum tentu produksinya dalam kondisi dimana dia memperoleh keuntungan yang maksimal. Alokasi sumber daya dalam melaksanakan proses produksi tersebut belum tentu efisien, sehingga perlu diketahui konsep efisiensi dalam melakukan proses produksinya. Produksi suatu usaha dapat ditunjukan dengan melakukan penjumlahan koefisien regresi dari suatu fungsi produksi jika fungsi produksi tersebut homogen. Ada tiga bentuk skala usaha dalam suatu proses produksi, yaitu : 1. Bila koefisien regresi lebih besar dari pada satu, menunjukkan bahwa skala usaha produksi berada dalam keadaan meningkat (increasing return to scale). 2. Bila nilai koefisien regresi sama dengan satu, menunjukkan bahwa skala produksi dalam keadaan tetap (constant return to scale). 3. Bila nilai koefisien regresi lebih kecil dari satu, menunjukkan bahwa skala usaha produksi berada dalam keadaan menurun (decrasing return to scale).
3.1.4. Model Fungsi Produksi Cobb-Douglas Berbagai macam fungsi produksi telah dikenal dan digunakan dalam penelitian. Untuk mendapatkan model suatu bentuk fungsi produksi yang baik, hendaknya fungsi tersebut : (1) dapat dipertanggung jawabkan; (2) mempunyai dasar yang logis secara fisik maupun non ekonomik; (3) mudah dianalisa; dan (4) mempunyai implikasi ekonomi (Soekartawi, 1986). Model fungsi produksi yang sering digunakan dalam penelitian antara lain fungsi linier, fungsi kuadratik, model substitusi yang konstan (CES), fungsi transedental, dan fungsi Cobb-Douglas. Fungsi produksi kuadratik dan transedental memiliki persamaan yang rumit dan parameternya bukan merupakan
elastisitas dari faktor-faktor produksi. Jika menggunakan fungsi produksi CES sulit untuk mempertahankan elastisitas produksi yang konstan. Model fungsi Cobb-Douglas merupakan salah satu model untuk menjelaskan
hubungan
antara
produksi
dengan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya. Penggunaan fungsi produksi Cobb-Douglas didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut : (1) koefisien pangkat dari masing-masing fungsi produksi Cobb-Douglas menunjukkan besarnya elastisitas produksi dari masingmasing faktor produksi yang digunakan terhadap output; (2) jumlah elastisitas produksi dari masing-masing produksi yang diduga merupakan penduga terhadap skala usaha dari proses produksi yang berlangsung; (3) mengurangi terjadinya heterokedastisitas linier dari fungsi produksi Cobb-Douglas ditransformasikan kedalam bentuk log e (ln) sehingga variasi data menjadi lebih kecil; (4) perhitungan sederhana karena dapat dimanipulasi kedalam bentuk persamaan linier; (5) merupakan fungsi dari kurva produksi yang menggambarkan kondisi The Law of Diminishing Return untuk masing-masing input; (6) bentuk fungsi produksi Cobb-Douglas paling banyak digunakan dalam penelitian, sehingga bisa dibandingkan dengan hasil penelitian lain. Fungsi produksi Cobb-Douglas memiliki beberapa kelemahan antara lain : (1) elastisitas produksinya dianggap konstan (sama dengan satu), sehingga tidak mencangkup ketiga tahap yang biasa dikenal dalam proses produksi; (2) nilai dugaan elastisitas produksi yang dihasilkan menjadi bias apabila faktor yang digunakan tidak lengkap; (3) tidak dapat digunakan untuk menduga tingkat produksi pada taraf penggunaan faktor produksi sama dengan nol; dan (4) sering terjadi multikolinier (Soekartawi 1986).
Persamaan matematis dari fungsi Cobb-Douglas secara umum dirumuskan sebagai berikut : Y = αX1β1X2β2X3β3….Xnβneu Dimana : Y
: jumlah produksi
X1,X2,..Xn
: faktor - faktor produksi yang digunakan
β1, β2,... βn : parameter regresi yang merupakan elastisitas masing-masing faktor produksi α
: konstanta (intersep)
e
: bilangan natural (2,1782)
u
: unsur galat Dengan mentransformasikan dari fungsi produksi Cobb-Douglas kedalam
bentuk linier logaritmik, maka model fungsi produksi tersebut dapat ditulis sebagai berikut : Ln Y = Ln α + β1 Ln X1 + β2 Ln X2 + …. + βn Ln Xn
3.1.5. Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Efisiensi sangat erat kaitannya dengan prinsip ekonomi dalam fungsi produksi yaitu hubungan antara input yang digunakan dengan output yang dihasilkan. Tingkat output yang lebih tinggi dapat diperoleh dengan menambahkan lebih banyak faktor produksi kepada faktor produksi tetap, namun dengan batasan The Law of Diminishing Return ada tingkat pemakaian faktor produksi yang optimal, artinya efisiensi ekonomi telah terpenuhi.
Efisiensi ekonomi diukur dari pemakaian input dalam jumlah tertentu dengan biaya terendah sehingga memberikan output dengan keuntungan maksimum. Syarat untuk memenuhi keuntungan maksimum yaitu dengan efisiensi alokatif (allocative efficiency) atau juga disebut efisiensi harga (price efficiency) dan efisiensi teknis. Lipsey (1995), menyatakan bahwa efisiensi teknis dapat dicapai apabila untuk menghasilkan output dalam jumlah tertentu digunakan kombinasi input yang lebih kecil, sementara efisiensi alokatif terjadi jika suatu usaha menggunakan kombinasi input yang menghasilkan keuntungan maksimum. Para ahli ekonomi mengemukakan konsep efisiensi sebagai alat analisa dalam menerangkan keadaan keragaan aspek teknis dan ekonomi dari suatu proses produksi. Gambar 6. menunjukkan garis produksi TP1 dan TP2 dengan garis rasio harga. Titik A menunjukkan kondisi efisiensi alokatif karena garis harga menyinggung garis produksi total. Efisiensi teknis tidak tejadi pada titik A karena jumlah output yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan jumlah output yang berada pada TP2 atau dengan kata lain, ada cara lain yang lebih baik menghasilkan output lebih tinggi. Titik C hanya menunjukkan terjadinya efisiensi teknis dan titik D tidak menunjukkan adanya efisiensi alokatif dan teknis. Sedangkan, titik B menunjukkan kedua kondisi yaitu efisiensi alokatif dan teknis. Y TP
YB YC YA YD
B C D
XD
TP1 A
XC X A
Garis Rasio Harga
XB
X
Gambar 6. Efisiensi Produksi Sumber: Doll dan Orazem, 1984
Doll dan Orazem (1984) menyatakan ada dua kondisi untuk mencapai efisiensi ekonomi, yaitu : a. Syarat keharusan (necessary condition). Syarat keharusan bagi penentuan efisiensi dan tingkat produksi optimum adalah hubungan fisik antara faktor produksi dengan produksi harus diketahui. Syarat ini menyatakan bahwa proses produksi harus berada pada daerah dua yaitu ketika elastisitas produksi antara nol dan satu (0 < Ep < 1) atau daerah rasional. Syarat keharusan menunjukkan tingkat efisiensi teknis yang harus dipenuhi. b. Syarat kecukupan (sufficient condition). Syarat ini merupakan indikator pilihan dan berhubungan dengan tujuan individu, masyarakat, dan nilai-nilai yang berlaku. Syarat kecukupan ini sifatnya subjektif dan berbeda diantara individu. Indikator pilihan ini membantu pengusaha menentukan kombinasi faktor produksinya untuk mencapai tujuan sehingga efisiensi alokatif dari faktor produksi merupakan tujuan dari syarat tersebut. Dalam teori abstrak, kondisi ini biasa disebut indikator pilihan (choicw indicator). Syarat untuk mencapai kuntungan maksimum adalah turunan pertama dari fungsi keuntungan terhadap masing-masing faktor produksi sama dengan nol (Doll dan Orazem, 1984). Fungsi keuntungan yang diperoleh UKM dapat dinyatakan sebagai berikut :
Dimana : π
: pendapatan UKM
i
: 1, 2, 3, …, n
Pxi
: harga pembelian faktor produksi ke-i
TFC : total fixed cost (biaya tetap total) Py
: harga per unit produksi
Y
: hasil produksi Untuk memenuhi syarat tercapainya keuntungan maksimum, maka turunan
pertama dari fungsi keuntungan adalah :
Dari persamaan tersebut dapat diketahui bahwa level penggunaan faktor produksi ke-i yang efisien merupakan fungsi dari harga output, harga faktor produksi ke-i dan jumlah output yang dihasilkan, atau secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut : Xi = f (Py, Px, Y) Dengan mengetahui
sebagai marginal product (MPxi) faktor produksi
ke-i, maka persamaan di atas menjadi : Py.MPxi = Pxi Dimana : Py.MPxi
: nilai produk marginal xi (NPMxi).
Pxi
: harga faktor produksi atau biaya korbanan marginal xi (BKMxi).
Sesuai dengan prinsip keseimbangan marjinal (equi-marginal principle), bahwa untuk mencapai keuntungan maksimal, tambahan nilai produksi akibat tambahan penggunaan faktor produksi ke-i (NPMxi) harus lebih besar dari tambahan biaya yang dikeluarkan untuk pembelian faktor produksi ke-i (BKMxi), maka penambahan penggunaan faktor produksi berhenti ketika NPMxi = BKMxi. Pada saat inilah keuntungan maksimum tercapai. Secara matematis keuntungan maksimum dari penggunaan faktor produksi ke-i dinyatakan sebagai berikut : Artinya keuntungan maksimum tercapai pada saat tambahan nilai
produksi akibat penambahan pengunaan faktor produksi ke-i tersebut atau resiko keduanya sama dengan satu. Secara umum keuntungan maksimum dari penggunaan faktor produksi akan diperoleh pada saat :
Berdasarkan rumus kecukupan, efisiensi dengan keuntungan maksimum tercapai apabila NPM sama dengan BKM, berarti setiap tambahan biaya yang dikeluarkan untuk faktor produksi mampu memberikan tambahan penerimaan dengan jumlah yang sama dengan tambahan biaya. Bila rasio NPM dengan BKM lebih kecil dari satu, kondisi optimum telah terlampaui. Pada kondisi ini tambahan biaya yang dikeluarkan lebih besar dari tambahan penerimaannya, sehingga produsen harus mengurangi penggunaan faktor produksi agar lebih efisien. Bila rasio NPM dengan BKM lebih besar dari satu, kondisi optimum belum tercapai. Pada kondisi ini tambahan penerimaan lebih besar daripada tambahan biayanya, sehingga produsen harus menambah pengunaan faktor produksi agar lebih efisien.
3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional Kenaikan harga BBM akan berdampak pada kesejahteraan usaha kecil dan
menengah. Peningkatan harga BBM diperkirakan akan mengubah jumlah input yang digunakan, jumlah output yang dihasilkan, total biaya yang dikeluarkan untuk proses produksi dan pendapatan yang diterima oleh pelaku UKM kerupuk. UKM kerupuk menggunakan bahan bakar jenis minyak tanah sehingga kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya produksi. Selain itu, kenaikan harga BBM akan menaikan harga barang yang merupakan input produksi bagi UKM kerupuk sehingga akan meningkatkan biaya produksi kerupuk. Dilihat dari sisi tenaga kerja, kenaikan harga BBM identik dengan peningkatan biaya hidup sehingga kenaikan harga BBM akan memaksa tenaga kerja untuk menuntut peningkatan upah kerja. Berdasarkan hukum supply dan demand tenaga kerja, untuk dapat meningkatkan upah tenaga kerja, perusahaan harus melakukan efisiensi dengan cara mengurangi tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi atau menambah jam kerja tenaga kerja. Sehingga dapat dikatakan bahwa kenaikan harga BBM akan memiliki dampak terhadap kondisi tenaga kerja UKM. Untuk meminimalkan dampak kenaikan harga BBM, umumnya pengusaha akan menetapkan berbagai strategi yang ditujukan untuk dapat menyeimbangkan biaya produksi dan pendapatan agar keuntungan yang didapat tidak menurun akibat kenaikan harga BBM. Strategi tersebut dapat berupa upaya efisiensi input, perubahan ukuran produksi, pemasaran produk, dll. Penerapan strategi tersebut akan mengubah kondisi UKM kerupuk, bahkan akan dapat mengubah skala
produksi dan mempengaruhi keuntungan yang diterima oleh pelaku UKM. Untuk memudahkan penelitian, maka dibuat kerangka pemikiran sebagai berikut.
Impor BBM meningkat
Defisit anggaran
Harga BBM dunia meningkat UKM kerupuk
Harga BBM domestik meningkat
Faktor-faktor produksi
Harga input produksi meningkat
Faktor produksi tetap
Faktor produksi variabel
Pengurangan subsidi BBM
Analisis fungsi produksi Cobb-Douglas, Uji beda dua rataan
Faktor-Faktor Produksi: - Tepung terigu - Bahan baku pembantu - Bawang putih - Kayu bakar - Garam - Bahan bakar - Penyedap rasa - Tenaga kerja
Efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi
Produksi Respon dan strategi pengusaha
Analisis Pendapatan
Perubahan margin keuntungan
Pendapatan rasio R/C
Total
Gambar 7. Diagram Alur Kerangka Pemikiran.
Tunai
3.3.
Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran, maka hipotesa awal dari penelitian ini
adalah : 1. Kenaikan harga BBM diduga berpengaruh negatif terhadap jumlah input produksi, jumlah output yang dihasilkan dan pendapatan yang diterima pelaku UKM, serta berpengaruh positif terhadap pengeluaran untuk input produksi. 2. Penggunaan faktor-faktor produksi UKM kerupuk diduga menjadi lebih efisien setelah kenaikan harga BBM.
IV. METODE PENELITIAN
4.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cikoneng, Kabupaten Ciamis,
Provinsi Jawa Barat. Kegiatan penelitian dilaksanakan selama bulan April sampai bulan Mei 2008. Waktu tersebut digunakan untuk pengambilan informasi dan data dari UKM kerupuk. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan Kecamatan Cikoneng sebagai salah satu wilayah sentra UKM makanan di Jawa Barat.
4.2.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
skunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara dengan pelaku UKM kerupuk. Data skunder diperoleh dari instansi terkait seperti KUD PD MAKMUR Kecamatan Cikoneng, Pemerintahan Kecamatan Cikoneng, Badan Pusat Statistik, Departemen Koperasi dan UKM, serta website yang menunjang dan litelatur-literatur yang terkait. Jenis data antara lain data jumlah produksi dan harga output, data pemakaian faktor produksi dan harga input, dan data lain yang dapat mendukung penulisan ini. Pengambilan data tersebut dilakukan melalui dua pendekatan yaitu : 1. Pendekatan kuantitatif dengan menggunakan media kuesioner berupa daftar isian yang digunakan untuk memperoleh informasi kuantitatif. Penelitian dilakukan dengan cara mengisi daftar pertanyaan yang diajukan secara tertulis.
2. Pendekatan kualitatif dengan menggunakan pendekatan indepth study, yaitu daftar isian yang digunakan untuk memperoleh informasi kualitatif dengan melakukan wawancara langsung atau tanya jawab dengan responden / pihakpihak yang terkait langsung dengan objek penelitian. Instrumen ini diperlukan untuk melakukan elaborasi terhadap data kuantitatif yang diperoleh.
4.3.
Teknik Pengambilan Sampel Pengumpulan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah non
probability sampling. Teknik yang dipilih adalah purposive sampling atau yang disebut juga judgemented sampling, yaitu teknik penarikan sampel berdasarkan pertimbangan objektif dan kriteria tertentu dari peneliti (Juanda, 2007). Sampel dalam penelitian ini adalah pelaku UKM kerupuk dengan kriteria lama usaha lebih dari tiga tahun. Hal ini dilakukan mengingat tujuan penelitian adalah untuk menganalisis dampak kenaikan harga BBM pada tanggal 1 Oktober 2005. Jumlah responden yang diwawancarai adalah 41 pelaku UKM kerupuk.
4.4.
Metode Analisis dan Pengolahan Data Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan analisis
deskriptif dan analisis kuantitatif. Penjelasan data dilakukan melalui tahap transfer data, editing data, kemudian dideskripsikan melalui tabulasi dengan tujuan untuk menyederhanakan data kedalam bentuk yang mudah dibaca. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan perangkat lunak Microsoft Excel dan Eviews 4.1.
4.4.1. Analisis Pendapatan UKM Kerupuk Analisis pendapatan merupakan hasil pengurangan antara total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan. Analisis pendapatan dilakukan dengan mencatat seluruh penerimaan dan pengeluaran UKM kerupuk sesuai dengan kemampuan kapasitas produksi kerupuk per bulan. Pendapatan dibagi menjadi pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Penerimaan total adalah nilai produk total dalam jangka waktu tertentu. Pengeluaran total adalah nilai semua input yang dikeluarkan dalam proses produksi. Pengeluaran total dibagi menjadi dua bagian, yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan secara tunai, sedangkan biaya diperhitungkan mencakup biaya yang secara tidak langsung dikeluarkan pengusaha seperti biaya sewa, listrik, pajak dan biaya penyusutan. Perhitungan pendapatan usaha atas biaya tunai secara matematis adalah : ∏ tunai = TR-Bt Keterangan : ∏ tunai : pendapatan tunai atau keuntungan tunai usaha TR
: penerimaan total usaha (total revenue)
Bt
: biaya tunai Sedangkan pendapatan usaha atas biaya total secara matematis adalah :
∏ total = TR-BT Keterangan : ∏ total : pendapatan total atau keuntungan total usaha BT
: biaya total (biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan)
4.4.2. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya Analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio analysis) merupakan alat untuk mengetahui kriteria kelayakan dari kegiatan usaha yang dilakukan. Rasio R/C menunjukkan berapa besarnya penerimaan yang akan diperolah dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam kegiatan usaha. Analisis ini dilakukan dengan membandingkan antara nilai output terhadap nilai inputnya atau perbandingan antara penerimaan kotor (TR) usaha dengan pengeluaran dalam proses produksi. Analisis rasio R/C dilakukan berdasarkan jenis biaya yang dikeluarkan, yaitu biaya tunai (Bt) dan biaya total (BT). Secara matematis, perhitungan rasio R/C atas biaya tunai dapat dirumuskan sebagai berikut :
Sedangkan perhitungan rasio R/C atas biaya total adalah :
4.4.3. Analisis Pengaruh Kenaikan Harga BBM terhadap Keragaan UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng Dampak kenaikan harga BBM terhadap keragaan UKM kerupuk dilakukan dengan membandingkan jumlah input produksi yang digunakan, pengeluaran untuk input produksi, jumlah output, total biaya produksi, total penerimaan dan pendapatan bersih UKM kerupuk sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM. Untuk membandingkannya digunakan uji beda dua rataan. Uji ini dapat digunakan untuk membandingkan data yang berpasangan. Jumlah input produksi adalah penggunaan faktor-faktor produksi yang meliputi tepung tapioka dihitung dalam satuan kilogram, bawang putih dihitung
dalam satuan kilogram, garam dihitung dalam satuan kilogram, penyedap rasa dihitung dalam satuan kilogram, bahan baku pembantu dihitung dalam satuan kilogram, minyak tanah dihitung dalam satuan liter, kayu bakar dihitung dalam satuan meter kubik dan tenaga kerja dihitung dalam satuan jam kerja, masingmasing dalam periode satu bulan produksi. Pengeluaran untuk input produksi adalah biaya yang dikeluarkan untuk setiap faktor produksi meliputi biaya pembelian tepung tapioka, bawang putih, garam, penyedap rasa, bahan baku pembantu, minyak tanah, kayu bakar dan tenaga kerja. Dihitung dalam satuan rupiah, dalam satu bulan produksi. Jumlah output adalah jumlah produksi kerupuk yang dihasilkan masingmasing responden selama satu bulan dan dihitung dalam satuan kilogram. Total biaya produksi adalah total biaya tunai ditambah total biaya diperhitungkan selama satu bulan produksi, dihitung dalam satuan rupiah. Total penerimaan adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh masing-masing responden dari hasil penjualan kerupuk dihitung dalam satuan rupiah selama satu bulan. Pendapatan bersih adalah total penerimaan yang diterima oleh masing-masing responden setelah dikurangi total biaya yang dikeluarkan dan dihitung dalam satuan rupiah selama satu bulan. Nilai tengah (rata – rata, rerata atau rataan) dari gugus populasi berukuran N, yakni X1, X2, …, Xn, nilai tengah populasi dirumuskan dengan :
Jika µ0 - µ1 adalah negatif, maka keragaan UKM kerupuk setelah kenaikan harga BBM menurun, dan jika µ0 - µ1 adalah positif, maka keragaan UKM kerupuk setelah kenaikan harga BBM meningkat.
4.4.4. Analisis Pengaruh Kenaikan Harga BBM terhadap Fungsi Produksi UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng Untuk menganalisis perbedaan kondisi sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM, dilakukan perbandingan antara fungsi produksi kerupuk pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga BBM. Perbandingan dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif. Model dugaan fungsi produksi awal untuk kedua kondisi yang ingin dilihat adalah : Y = αBBβ1MTβ2KBβ3TKβ4eu Dimana : Y
: tingkat produksi kerupuk (kg/bulan)
BB
: jumlah bahan baku (kg/bulan)
MT
: jumlah minyak tanah (liter/bulan)
KB
: jumlah kayu bakar (m3/bulan)
TK
: tenaga kerja yang digunakan (jam kerja/bulan)
α
: konstanta (intersep)
βi
: koefisien regresi Xi, yang menggambarkan pengaruh Xi terhadap Y
e
: bilangan natural (2,718)
u
: unsur galat. Model tersebut ditransformasikan kedalam bentuk linier sebagai berikut :
Ln Y = lnα + β1 lnBB + β2 lnMT + β3 lnKB + β4 lnTK + u ln e Model yang telah ditransformasikan kemudian akan diuji melalui analisis regresi dengan menggunakan perangkat lunak Eviews 4.1. Model dianalisis dengan menggunakan metode kuadrat terkecil atau OLS (Ordinary Least Square). Pengujian-pengujian yang dilakukan adalah :
1. Uji t Pengujian ini berguna untuk mengetahui apakah masing-masing variabel bebas (Xi) yang dipakai secara berpisah berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tidak bebas (Y). Pengujian secara statistik adalah sebagai berikut : Hipotesis : a. H0 : β1 = 0
(variabel bahan baku tidak berpengaruh signifikan terhadap output kerupuk).
H1 : β1 ≠ 0
(variabel bahan baku berpengaruh signifikan terhadap output kerupuk).
b. H0 : β2 = 0
(variabel minyak tanah tidak berpengaruh signifikan terhadap output kerupuk).
H1 : β2 ≠ 0
(variabel minyak tanah berpengaruh signifikan terhadap output kerupuk).
c. H0 : β3 = 0
(variabel kayu bakar tidak berpengaruh signifikan terhadap output kerupuk).
H1 : β3 ≠ 0
(variabel kayu bakar berpengaruh signifikan terhadap output kerupuk).
d. H0 : β4 = 0
(variabel tenaga kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap output kerupuk).
H1 : β4 ≠ 0
(variabel tenaga kerja berpengaruh signifikan terhadap output kerupuk).
Statistik uji t : thitung
ttabel = t (α/2, n-k) Dimana : i
: koefisien regresi variabel bebas ke i
S ( i) : standart error koefisien regresi variabel bebas ke i k
: jumlah variabel bebas
n
: jumlah pengamatan/responden
Kriteria uji : thitung > ttabel, maka tolak H0. thitung < ttabel, maka terima H0. Jika nilai thitung lebih besar dari ttabel maka variabel bebas Xi berpengaruh nyata pada variabel yang tidak bebas Y. Sebaliknya jika nilai thitung lebih kecil dari pada nilai ttabel, maka variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas. 2. Uji F Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui apakah model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter dalam fungsi produksi. Uji statistik yang digunakan adalah uji Fhitung yang dilakukan untuk melihat pengaruh variabel bebas (Xi) terhadap variabel tidak bebas (Y) secara bersamaan, atau dengan kata lain untuk mengetahui apakah model penduga yang digunakan sudah layak untuk menduga variabel dalam fungsi produksi. Pengujian terhadap model penduga adalah sebagai berikut : Hipotesis : H0 : β1 = β2 = β3 = β4 = 0 H1 : minimal ada satu βi ≠ 0
Statistik uji F : Fhitung Ftabel = F (k-1, n-k) Dimana : n
: jumlah responden
k
: jumlah variabel, tetapi tidak termasuk konstanta
Kriteria uji : Fhitung > Ftabel, maka tolak H0 Fhitung < Ftabel, maka terima H0 Apabila nilai Fhitung lebih besar dari nilai Ftabel, maka variabel bebas (Xi) dalam proses produksi secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap hasil produksi (Y). Namun bila nilai Fhitung yang didapat lebih kecil dari pada nilai Ftabel maka variabel bebas tersebut secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (Y). 3. Pengujian koefisien determinasi Nilai koefisien determinan (R2) digunakan untuk melihat seberapa jauh keragaman yang dapat dijelaskan oleh parameter bebas terhadap parameter tidak bebas (goodness of fit). Nilai R2 berkisar antara 0 ≤ R2 ≤ 1. Jika R2 sebesar 1 berarti suatu kecocokan sempurna, sedangkan R2 yang bernilai nol berarti tidak ada hubungan antara variabel endogen dengan variabel eksogen. R2 akan bertambah tinggi dengan bertambahnya variabel eksogen (Gujarati, 1978). Semakin besar nilai R2 suatu model fungsi regresi, berarti semakin banyak keragaman yang mampu diterangkan oleh model tersebut, yang berarti model tersebut semakin baik. R2 dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Dimana : SSR : jumlah kuadrat regresi, menunjukkan variasi yang dapat dijelaskan SST : jumlah kuadrat total, menunjukkan total variasi dalam Y Metode kuadrat terkecil biasa (OLS) dapat dilakukan apabila asumsi regresi linear klasik terpenuhi. Beberapa asumsi yang harus dipenuhi adalah : 1. Normalitas, regresi linear klasik mengasumsikan bahwa tiap ε i mengikuti distribusi normal ε i ~ N(0, σ 2 ). 2. Tidak terjadi multikolinearitas yang artinya tidak terdapat hubungan linear yang sempurna atau pasti diantara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan model regresi. 3. Homoskedastisitas, var ( ε i ) = σ 2 untuk setiap i, i = 1,2,…,n yang artinya varians dari semua sisaan adalah konstan atau homoskedastik. 4. Non autokorelasi antar sisaan, berarti cov ( (ε i , ε j ) = 0, dimana i ≠ j. Untuk mengetahui apakah model persamaan yang digunakan sudah memenuhi asumsi-asumsi regresi tersebut maka perlu dilakukan pemeriksaan pada masing-masing
asumsi. Pemeriksaan asumsi regresi linear klasik dapat
dijelaskan sebagai berikut : 1. Pemeriksaan asumsi kenormalan sisaan Pemeriksaan kenormalan sisaan bertujuan untuk melihat distribusi sisaan ( ε i ). Pemeriksaan kenormalan sisaan dilakukan dengan memeriksa apakah error term mendekati distribusi normal. Uji ini dilakukan jika sampel yang digunakan kurang dari 30 (n < 30), karena jika sampel lebih dari 30
maka error term akan didistribusikan secara normal. Uji ini disebut Jarque Bera Test. Hipotesis pengujiannya adalah : H0 : α = 0 , error term terdistribusi normal. H1 : α ≠ 0 , error term tidak terdistribusi normal. Wilayah kritis penolakan H0 adalah Jarque Bera (J-B) > X2df-2 atau probabilitas (p_value) < α , sedangkan daerah penerimaan adalah Jarque Bera (J-B) < X2df-2 atau probabilitas (p_value) > α . Jika H0 ditolak maka disimpulkan error term tidak terdistribusi normal, sedangkan jika H0 diterima maka disimpulkan bahwa error term terdistribusi normal. 2. Pendeteksian asumsi non multikolinearitas Multikolinearitas adalah terjadinya hubungan linier yang sempurna atau pasti antara variabel bebas. Indikasi multikolinearitas tecermin dengan melihat hasil t dan F statistik hasil regresi. Jika banyak koefisien parameter dari t statistik diduga tidak signifikan sementara dari hasil F hitungan signifikan, maka diduga ada multikolinearitas. Selain itu ada beberapa cara mendeteksi multikolinearitas, salah satunya melalui correlation matrix, dimana batas terjadinya korelasi antara sesama variabel bebas adalah tidak lebih dari |0,80|. Apabila terjadi nilai korelasi yang lebih dari |0,80|, maka multikolinearitas dapat diabaikan selama nilai korelasi tidak lebih dari nilai R-squared. 3. Pendeteksian asumsi homoskedastisitas Homoskedastisitas artinya varians dari semua sisaan adalah konstan. Jika variannya bervariasi, berarti terjadi heteroskedastisitas. Pendeteksian heterosekedastisitas dapat dilakukan dengan menguji White Heterodescedasity
atau Autoregressive Conditonal Heteroscedasticity (ARCH) test. Hipotesis yang diuji adalah : H0 : γ = 0 , tidak terdapat heteroskedastisitas H1: γ ≠ 0 , terdapat heteroskedastisitas Wilayah kritik penolakan H0 adalah Probability Obs*R-squared < α , sedangkan wilayah penerimaan H0 adalah Probability Obs*R-squared > α . Jika H0 ditolak maka varians dari error term untuk setiap pengamatan berbeda untuk setiap variabel bebas, sebaliknya jika H0 diterima maka varians dari error term untuk setiap pengamatan sama untuk seluruh variabel bebas. 4. Pemeriksaan asumsi non autokorelasi Autokorelasi merupakan gejala adanya korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut deret waktu (time series) yang menyebabkan suatu persamaan akan memiliki selang kepercayaan yang semakin lebar dan pengujian menjadi kurang akurat. Selain itu mengakibatkan hasil uji-t dan uji-F menjadi tidak sah dan penaksiran regresi akan menjadi sensitive terhadap fluktuasi (Gujarati, 1978). Pendeteksian autokorelasi dapat dilakukan dengan melihat probabilitas Obs*R-squared menggunakan statistik Breusch-Godfrey Serial Correlation LM. Hipotesis dalam uji ini adalah : H0 : ρ = 0 , tidak terdapat autokorelasi. H1 : ρ ≠ 0 , terdapat autokorelasi. Wilayah kritis penolakan H0 adalah Probabilitas Obs*R-squared < α sedangkan wilayah penerimaan H0 adalah probabilitas Obs*R-squared > α.
Jika H0 ditolak maka terjadi autokorelasi (positif atau negatif) dalam model. Sebaliknya jika H0 diterima maka tidak ada autokorelasi dalam model. Gujarati (1978) menyatakan bahwa apabila asumsi-asumsi regresi klasik tersebut terpenuhi menjadikan teknik analisis dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa (OLS), maka menghasilkan penaksir tak bias linier terbaik (BLUE/ Best Linear Unbiased Estimator).
4.4.5. Analisis Efisiensi Penggunan Faktor-Faktor Produksi Efisiensi teknis faktor-faktor produksi dalam fungsi produksi CobbDouglas dapat langsung diketahui dari nilai koefisien yang merupakan nilai elastisitas produksinya. Produksi harus berada pada daerah dua yaitu ketika elastisitas produksi antara nol dan satu (0 ≤ Ep ≤ 1)
atau daerah rasional.
Sedangakn efisiensi alokasi penggunaan faktor-faktor produksi dapat diketahui dari rasio nilai produk marginal (NPM) dan biaya korbanan marginal (BKM). NPM merupakan hasil kali harga rata-rata output dengan produk marginalnya (PM). Produk marginal merupakan hasil kali antara koefisien regresi dengan ratarata produksi per rata-rata penggunaan masing-masing faktor produksi. Koefisien regresi yang digunakan adalah koefisien regresi yang diperoleh dari hasil pendugaan dan pengujian fungsi produksi. Faktor produksi telah dialokasikan secara efisien jika nilai rasio NPM dan BKM sama dengan satu. Apabila rasio menunjukkan nilai lebih besar dari satu maka penggunaan input belum efisien sehingga perlu penambahan pemakaian faktor produksi agar mencapai kondisi yang optimal. Sementara jika nilai rasio kurang dari satu menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi telah melebihi
batas optimal sehingga perlu pengurangan pemakaian faktor produksi agar lebih efisien.
4.5.
Definisi Operasional
1. Pelaku UKM kerupuk adalah pemilik usaha UKM kerupuk yang biasa disebut dengan nama kerupuk bulet. 2. Proses produksi kerupuk adalah proses yang diperlukan untuk mengubah faktor input menjadi output. Dalam hal ini, proses produksi adalah mengubah bahan mentah yang merupakan faktor input menjadi bahan setengah jadi (kerupuk mentah) yang merupakan faktor output. 3. Total produksi adalah jumlah produksi kerupuk yang dihasilkan oleh pelaku selama satu bulan dengan satuan kilogram per bulan. 4. Bahan baku terdiri dari tepung sebagai bahan baku utama, bumbu yang terdiri dari bawang putih, garam dan penyedap rasa serta bahan baku pembantu. 5. Tepung adalah bahan baku utama dalam pembuatan kerupuk dan diukur dalam satuan kilogram per bulan. Jenis tepung yang digunakan adalah tepung tapioka dan harga tepung yang digunakan merupakan harga yang berlaku di setiap pelaku pada saat wawancara. 6. Bawang putih, garam dan penyedap rasa merupakan bumbu dalam pembuatan kerupuk dan masing-masing variabel diukur dalam satuan kilogram per bulan. Harga bawang putih, garam dan penyedap rasa yang digunakan merupakan harga yang berlaku di setiap pelaku pada saat wawancara. 7. Bahan baku pembantu
adalah bahan baku yang digunakan dalam proses
pembuatan kerupuk untuk melengkapi rasa agar lebih gurih. Ada dua jenis
bahan baku pembantu yaitu terasi dan sarden. Masing-masing UKM hanya memakai salah satu jenis bahan baku pembantu dalam proses produksinya dan diukur dalam satuan kilogram per bulan. Harga bahan baku pembantu yang digunakan merupakan harga yang berlaku di setiap responden pada saat wawancara. 8. Minyak tanah adalah bahan bakar yang digunakan dalam proses pengopenan atau pengeringan kerupuk, diukur dalam satuan liter per bulan. Harga minyak tanah yang digunakan merupakan harga yang berlaku di setiap pelaku pada saat wawancara. 9. Kayu bakar adalah bahan bakar yang digunakan dalam proses pengukusan dan diukur dalam satuan meter kubik per bulan. Harga kayu bakar yang digunakan merupakan harga yang berlaku di setiap pelaku pada saat wawancara. 10. Tenaga kerja adalah jumah tenaga kerja yang diperlukan untuk membuat kerupuk dan diukur dalam satuan jumlah jam kerja dalam sebulan. Tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja keluarga, tenaga kerja luar keluarga atau kombinasi keduanya. Adapun tingkat upah yang digunakan adalah tingkat harga yang berlaku pada saat wawancara.
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN, HARGA MINYAK, UKM INDONESIA DAN KARAKTERISTIK UKM KERUPUK
5.1.
Keadaan Umum Wilayah Penelitian Kecamatan Cikoneng merupakan salah satu dari 36 kecamatan di wilayah
Kabupaten Ciamis dengan luas 3.603,154 ha, suhu wilayah 23-29 0C, curah hujan 2290,4 mm/tahun, dan memiliki ketinggian 150 m dpl. Batas wilayah Kecamatan Cikoneng sebelah utara adalah Gunung Sawal dan Kecamatan Sadananya, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Ciamis dan Kecamatan Sadananya, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sindangkasih. Jarak dari Kecamatan Cikoneng ke Ibu Kota Kabupaten Ciamis adalah 10 km, jarak ke Ibu Kota Propinsi Jawa Barat 112 km dan jarak ke pusat Ibu Kota 345 km. Kecamatan Cikoneng terdiri dari 9 desa yaitu Desa Cikoneng, Cimari, Darmacaang, Gegempalan, Kujang, Margaluyu, Nasol, Panarangan, dan Sindangsari.
5.2.
Keadaan Demografis Penduduk Penduduk Kecamatan Cikoneng umumnya adalah suku sunda yang
menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa sehari-hari. Jumlah penduduk Kecamatan Cikoneng mencapai 50.077 jiwa pada bulan Juni 2008. Komposisi penduduk Kecamatan Cikoneng adalah sebagai berikut :
1. Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin Jumlah penduduk laki-laki di Kecamatan Cikoneng pada Juni 2008 sebanyak 25.356 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 24.721 jiwa. Dengan demikian, berdasarkan gender dapat dikatakan seimbang dengan rasio sebesar 50,63 : 49,37. Tabel 2. di bawah ini menggambarkan komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin. Tabel 2.
Komposisi Penduduk Kecamatan Cikoneng Berdasarkan Jenis Kelamin pada Bulan Juni 2008
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
Jumlah Penduduk (jiwa) 25.356 24.721 50.077
Persentase (%) 50,63 49,37 100,00
Sumber : Data kependudukan Kecamatan Cikoneng 2008.
2. Komposisi penduduk berdasarkan struktur usia Komposisi penduduk Kecamatan Cikoneng berdasarkan usia pada bulan Juni 2008 sangat bervariasi. Tabel 3. di bawah ini menggambarkan komposisi penduduk berdasarkan usia. Tabel 3.
Komposisi Penduduk Kecamatan Cikoneng Berdasarkan Usia pada Bulan Juni 2008
Kelompok Usia (tahun) 0-9 10-19 20-29 30-39 40-49 50-59 > 60 Total
Jumlah Penduduk (jiwa) 9.217 8.957 9.088 8.190 6.742 4.093 3.790 50.077
Persentase (%) 18,41 17,89 18,15 16,35 13,46 8,17 7,57 100,00
Sumber : Data kependudukan Kecamatan Cikoneng 2008.
Usia penduduk yang memiliki jumlah penduduk terbanyak adalah usia 0-39 tahun, yaitu pada kelompok usia 0-9 tahun sebanyak 18,41 persen dari
total jumlah penduduk. Sedangkan
usia penduduk yang memiliki jumlah
penduduk terkecil berada di atas 40 tahun, yaitu pada kelompok usia > 60 tahun sebanyak 7,57 persen dari total jumlah penduduk Kecamatan Cikoneng. 3. Komposisi penduduk berdasarkan wilayah Komposisi penduduk setiap wilayah di Kecamatan Cikoneng berbedabeda. Wilayah yang memiliki jumlah penduduk terbanyak pada Juni 2008 adalah Desa Nasol sebanyak 7.774 jiwa, sedangkan wilayah yang memiliki jumlah penduduk terkecil adalah Desa Gegempalan sebanyak 4.187 jiwa. Tabel 4.
Komposisi Penduduk Kecamatan Cikoneng Berdasarkan Wilayah pada Bulan Juni 2008
No.
Desa
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Cikoneng Cimari Darmacaang Gegempalan Kujang Margaluyu Nasol Panaragan Sindangsari Jumlah
Jumlah Seluruh (jiwa) L P Jumlah 3.183 3.214 6.397 2.654 2.671 5.325 2.186 2.058 4.244 2.118 2.069 4.187 2.716 2.845 5.561 2.754 2.715 5.469 3.989 3.785 7.774 2.475 2.549 5.024 3.281 2.815 6.096 25.356 24.721 50.077
Persentase (%) L P Jumlah 12,56 13,01 12,78 10,47 10,80 10,63 8,62 8,32 8,48 8,35 8,37 8,36 10,71 11,51 11,11 10,86 10,98 10,92 15,73 15,31 15,52 9,76 10,31 10,03 12,94 11,39 12,17 100,00 100,00 100,00
Sumber : Data kependudukan Kecamatan Cikoneng 2008.
4. Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan Sumberdaya
manusia
merupakan
faktor
utama
dalam
suatu
pembangunan. Pendidikan merupakan salah satu ukuran kualitas sumberdaya manusia. Jumlah kepala keluarga
yang berpendidikan tamat SD-SMP
berjumlah 11.426 orang atau 81,32 persen dari total jumlah kepala keluarga. Tingkat pendidikan masyarakat Kecamatan Cikoneng yang masih relatif rendah, merupakan salah satu faktor yang bisa menghambat pembangunan.
Tabel 5.
Komposisi Kepala Keluarga Kecamatan Cikoneng Berdasarkan Tingkat Pendidikan pada Bulan Juni 2008
Tingkat Pendidikan Tidak tamat SD Tamat SD - SMP Taman SMA Tamat Perguruan Tinggi Jumlah
Jumlah Kepala Keluarga (jiwa) 553 11.426 1.710 361 14.050
Persentase (%) 3,94 81,32 12,17 2,57 100,00
Sumber : Data kependudukan Kecamatan Cikoneng 2008.
5.3.
Gambaran Umum Harga Bahan Bakar Minyak Menurut UU No. 22 tahun 2001, Minyak Bumi adalah hasil proses alami
berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. BBM adalah bahan bakar yang berasal atau diolah dari Minyak Bumi BBM merupakan salah satu kekayaan alam Indonesia yang dalam pengelolaannya dan dalam penyalurannya dikuasai oleh negara. Menurut UU No. 22 tahun 2001, minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Menurut UU No. 44 Perpu tahun 1960, bahan galian minyak dan gas bumi adalah kekayaan nasional, dikuasai oleh negara sedangkan usaha pertambangan dilaksanakan oleh perusahaan negara. Pasal tersebut menjelaskan dalam pengelolaan minyak mentah
dan BBM dikuasai sepenuhnya oleh negara yang penguasaannya dikuasai oleh pemerintah. Penguasaan tersebut dijalankan oleh pertamina, selaku Badan Usaha Milik Negara. Menurut UU No. 8 tahun 1971 pertamina mempunyai tugas meliputi kegiatan eksplorasi, eksploitasi, pemurnian, dan pengolahan. BBM yang banyak digunakan oleh UKM kerupuk adalah bahan bakar jenis minyak tanah sebagai input produksi. Harga bahan bakar tersebut secara langsung dapat mempengaruhi biaya input produksi kerupuk. Selain itu, meningkatnya harga solar dan premium akan meningkatkan biaya transportasi pengiriman barang. Pada tahun 1981, minyak tanah secara politis telah dijadikan sebagai
instrumen
pemerataan
pembangunan,
sebagai
kebijakan
sosial
dan karena itu minyak tanah dijadikan sebagai unsur dari bahan kebutuhan pokok masyarakat (Susastro dalam Hasyim 2004 ). Konsekuensi dari keputusan ini, telah terjadi penetrasi minyak tanah ke seluruh tanah air, desa serta ke pulaupulau kecil dengan ketersediaan dan kemudahan memperoleh minyak tanah. Masyarakat dan industri di pedesaan mulai menggantikan kayu bakar dan bahan bakar non konvensional lainnya dengan minyak tanah. Hal ini dilakukan karena adanya kecemasan yang berlebihan bahwa akan terjadi penggundulan hutan jika masyarakat terus menggunakan kayu bakar. Padahal menurut penelitian Dick dalam Hasyim (2004), kecemasan itu tidak terbukti dan justru dalam jangka panjang akan terjadi komersialisasi kayu bakar, yang ikut membantu kenaikan pendapatan rakyat di pedesaan. Sejak saat itulah kebutuhan minyak tanah sebagai unsur kebutuhan pokok masyarakat yang digunakan oleh seluruh masyarakat Indonesia untuk berbagai
keperluan terus meningkat. Pola penggunaan dan kecenderungan konsumsi minyak tanah saat ini sudah banyak berubah. Konsumsi minyak tanah pada tahun 2003 sudah mencapai 16,7 juta kl, dibandingkan dengan konsumsi minyak tanah pada tahun 1980 sebesar 7,8 juta kl, atau meningkat 214 persen. 2 Begitupula dengan bahan bakar jenis solar dan premium. Makin meningkatnya jumlah transportasi yang dimiliki oleh masyarakat akan meningkatkan konsumsi BBM. Bahan bakar premium, solar dan minyak tanah adalah jenis bahan bakar yang banyak digunakan oleh masyarakat umum terutama kelas menengah kebawah. Selain itu, banyak digunakan oleh UKM yang dapat memberikan kontribusi yang besar bagi negara. Hal inilah yang mendorong pemerintah untuk mensubsidi bahan bakar yang merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat dan dapat mendorong berkembangnya UKM. Harga BBM jenis minyak tanah, solar dan premium dari tahun 1965-2008, disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Harga Subsidi BBM Jenis Minyak Tanah, Solar dan Premium Tahun 1965 sampai 23 Mei 2008. Sumber : Diolah dari BPS, 1965-2008.
Berdasarkan Gambar 8. pada tahun 1965-1981 bahan bakar premium, solar dan minyak tanah cukup stabil,
2
pada tahun 1982-2004 mulai mengalami
Hasyim, Soal minyak tanah. Kompas, 29 Oktober 2004.
peningkatan dan pada tahun 2005 harga bahan bakar premium, solar dan minyak tanah mengalami peningkatan yang sangat tajam. Hal ini disebabkan terjadi peningkatan jumlah penduduk, peningkatan jumlah transportasi dan bertambahnya industri yang menggunakan bahan bakar premium, minyak tanah dan minyak solar sehingga menyebabkan permintaan akan minyak meningkat. Selain itu, adanya subsidi BBM menyebabkan harga BBM di Indonesia menjadi murah. Hal ini menyebabkan pola konsumsi BBM yang cenderung konsumtif. Dilihat dari segi produksi, BBM mengalami penurunan dikarenakan sumur-sumur minyak
yang ada sudah tua, teknologi yang digunakan sudah
ketinggalan jaman, ditambah dengan iklim investasi di sektor pertambangan minyak yang kurang kondusif menyebabkan hampir tidak adanya penambahan kapasitas kilang minyak dalam negeri, menyebabkan sebagian minyak mentah diekspor ke luar. Tingginya tingkat konsumsi yang tidak diimbangi oleh peningkatan produksi BBM menyebabkan defisit BBM, sehingga untuk mencukupi kebutuhan minyak dalam negeri, dilakukan dengan cara mengimpor. Ekspor produk Ekspor minyak mentah Produksi minyak mentah
Produk minyak lainnya Kilang dalam negeri
Konsumsi produk dalam negeri
Konsumsi BBM dalam negeri
Impor BBM
Stok BBM dalam negeri
Gambar 9. Mekanisme Penyediaan BBM di Indonesia. Sumber : Nugroho, 2007.
Adanya kenaikan harga minyak dunia menyebabkan biaya impor semakin besar sehingga beban subsidi BBM semakin meningkat yang dapat menyebabkan defisit anggaran meningkat. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk mengurangi subsidi BBM. Said dalam Pangastuti (2006), mengemukakan beberapa alasan yang mendasari kebijakan penghapusan subsidi yaitu : a. Apabila laju pertumbuhan pemakaian minyak bumi pada masa mendatang masih sebesar laju saat ini, diperkirakan Indonesia akan menjadi pengimpor minyak bumi netto (net oil importer country) sebelum tahun 2010 sehingga subsidi BBM tidak dapat lagi dilakukan. b. Pendapatan negara dari migas hampir setengahnya dialokasikan untuk membiayai subsidi BBM. Alokasi subsidi BBM pada APBN 2001 sama dengan pinjaman luar negeri yang harus dilakukan untuk menutup defisit pada APBN 2001. c. Manfaat subsidi BBM lebih dirasakan oleh golongan masyarakat mampu, karena tingkat konsumsi golongan masyarakat tersebut (dengan harga subsidi) lebih besar dibanding masyarakat miskin. d. Perbedaan yang cukup besar antara harga BBM domestik dengan harga BBM internasional mendorong terjadinya penyelundupan BBM dan praktek pengeplosan minyak tanah dengan solar atau bensin. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut pemerintah memutuskan untuk menghapus subsidi BBM secara bertahap sejak tahun 2002. Kebijakan subsidi BBM yang dilakukan pada 1 Oktober 2005 ikut meningkatkan harga bahan bakar premium, solar dan minyak tanah. BBM jenis premium mengalami
kenaikan harga sebesar 87,5 persen, harga minyak tanah meningkat sebesar 185,7 persen, dan harga minyak solar meningkat sebesar 104,8 persen. Tabel 6. Harga BBM sejak 1 Oktober 2005 Harga Lama (Rp/Liter) Premium 2.400 Minyak tanah 700 Minyak solar 2.100 Sumber : Pertamina, 2006. Jenis BBM
Harga Baru (Rp/Liter) 4.500 2.000 4.300
Perubahan (%) 87,5 185,7 104,8
Pembelian minyak untuk pengusaha kecil seperti pedagang kaki lima (PKL) dan UKM sudah diatur oleh pertamina. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 55/2005 disebutkan bahwa nelayan serta usaha kecil dan menengah seperti PKL diperbolehkan membeli minyak tanah langsung ke pertamina dengan harga subsidi.
Namun, mereka harus mengajukan rekomendasi terlebih dahulu ke
instansi yang berwenang seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Namun, tidak semua UKM mengetahui tentang Perpres ini. Meskipun tahu, banyaknya aturan untuk mengajukan rekomondasi tersebut membuat UKM sulit untuk mendapatkannya.
5.4.
Gambaran Umum Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia UKM mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan ekonomi
nasional, selain berperan dalam pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga berperan dalam pendistribusian hasil-hasil pembangunan. UKM pada masa krisis ekonomi tahun 1997 telah membuktikan peranannya sebagai katup pengaman perekonomian nasional.
Tabel 7. Perkembangan Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Usaha Kecil dan Menengah Tahun 2002-2006 N o. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sektor Ekonomi Pertanian, peternakan, kehutanan, &perikanan Pertambangan & penggalian Industri pengolahan Listrik, gas & air bersih Bangunan Perdagangan, hotel &restoran Pengangkutan & komunikasi Keuangan, persewaan, & jasa perusahaan Jasa - jasa Total
2002
2003
Jumlah (juta rupiah) 2004 2005
261.408.027 290.452.827
2006
315.037.700
348.974.700
412.044,8
2 1.428.875
23.739.200
30.917.300
40.418.500
118.507.178 124.358.969
175.908.900
186.896.900
222.129.000
18.977.545
2.115.079
2 .994.455
2.044.500
2.173.700
2.459.100
62.376.603
71.309.367
94.028.300
129.368.700
164.369.500
256.182.281 280.414.497
355.288.400
414.365.300
478.535.100
57.721.446
68.548.462
77.078.900
95.485.000
123.122.900
70.223.902
76.483.961
119.651.700
147.594.500
172.620.200
68.400.797 8 1.013.534 109.212.400 135.420.900 163.046.600 915.912.858 1.017.004.948 1.271.990.100 1.491.061.900 1.778.745.700
Sumber : BPS dengan Kementrian Koperasi dan UKM 2003-2007, diolah. Berdasarkan data BPS tahun 2007 kondisi UKM menunjukkan perkembangan yang positif. Pada tahun 2006, kontribusi UKM pada produk domestik bruto nasional rata-rata mencapai 53,28 persen. Secara sektoral aktivitas UKM ini mendominasi sektor perdagangan, hotel, restoran dan pertanian, perternakan, kehutanan dan perikanan. Sektor ekonomi UKM yang memiliki proporsi unit usaha terbesar berdasarkan statistik UKM tahun 2003 sampai 2007 adalah sektor (1) pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan; (2) perdagangan, hotel dan restoran; (3) industri pengolahan; (4) jasa-jasa; serta (5) pengangkutan dan komunikasi. Sedangkan sektor ekonomi yang memiliki proporsi unit usaha terkecil berturutturut adalah sektor (1) listrik, gas dan air bersih; (2) keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; (3) bangunan; serta (4) pertambangan dan penggalian.
Tabel 8. Perkembangan Jumlah UKM Tahun 2002-2006 N o
Sektor Ekonomi
2002
2003
Jumlah (unit) 2004
1 Pertanian, peternakan, 24.621.631 25.457.190 25.477.756 kehutanan, & perikanan 2 Pertambangan & 286.752 203.711 144.834 penggalian 3 Industri pengolahan 2.563.923 2.711.522 2.743.858 4 Listrik, gas dan air bersih 8.939 4.423 4.111 5 Bangunan 198.189 132.346 162.359 6 Perdagangan, hotel & 8.487.945 9.071.331 9.845.682 restoran 7 Pengangkutan dan 2.298.785 2.488.161 2.551.727 komunikasi 8 Keuangan, persewaan & 33.428 33.169 37.185 jasa perusahaan 9 Jasa - jasa 2.265.076 2.433.483 2.254.317 40.764.668 42.535.336 43.221.829 Total
2005
2006
26.261.562 26.209.346 236.064
266.293
2.808.949 14.844 162.992
3.217.506 15.460 165.892
12.223.397 13.304.939 2.606.849
2.701.937
72.079
82.649
2.716.008 2.965.614 47.102.744 48.929.636
Sumber : BPS dengan Kementrian Koperasi dan UKM 2003-2007, diolah. Kemampuan sektor usaha dalam menciptakan nilai tambah sangat berbeda antara satu kelompok usaha dengan usaha lainnya dan mencerminkan karakteristik masing-masing pelaku usaha. Banyaknya jumlah UKM menunjukkan besarnya jumlah tenaga kerja pada UKM. Tabel 9. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja UKM Tahun 2002-2006 N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor Ekonomi Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas dan air bersih Bangunan Perdagangan, hotel dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan Jasa - jasa Total
2002 37.657.731
2003
Jumlah (orang) 2004
39.302.806 37.673.596
2005
38.833.911 38.711.409
647.357
546.697
418.242
564.365
589.783
10.588.769
10.724.891
8.350.199
8.883.965
9.344.161
88.350
81.859
86.623
113.710
117.175
778.439
612.101
609.372
716.978
717.492
16.944.370
17.937.449 18.667.102
21.326.347 22.186.035
3.221.359
3 .479.985
3.552.815
3.419.816
3.050.774
397.884
423.423
465.173
762.778
778.405
5.319.491 75.643.750
6.294.985 5.667.401 79.404.196 75.490.523
8.611.923 9.406.259 83.233.793 85.416.493
Sumber : BPS dengan Kementrian Koperasi dan UKM 2003-2007, diolah.
2006
Perkembangan kontribusi UKM dan kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja selama periode di atas menggambarkan produktivitas pelaku UKM. Produktivitas usaha besar pada tahun 2003 masing masing Rp 1,87 miliar per tenaga kerja per tahun meningkat cukup besar pada tahun 2004 menjadi Rp 2,22 miliar per tenaga kerja per tahun. Sementara itu produktivitas kelompok UKM pada tahun 2003 masing-masing sebesar Rp 10,37 juta dan Rp 33,70 juta per tenaga kerja per tahun. Pada tahun 2004, masing-masing mengalami peningkatan menjadi 11,57 juta dan Rp 38,71 juta per tenaga kerja per tahun. Tabel 10. Perkembangan Produktivitas Tenaga Kerja Berdasarkan Skala Usaha Tahun 2003-2004 Produktivitas (rupiah / tenaga kerja) 2003 2004 Usaha Kecil (juta/TK) 10,37 11,57 Usaha Menengah (juta/TK) 33,70 38,71 Usaha Kecil dan Menengah (juta/TK) 44,07 50,28 Usaha Besar (miliar/TK) 1,87 2,22 Sumber : BPS dengan Kementrian Koperasi dan UKM, 2005. Skala Usaha
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa masing-masing kelompok usaha memiliki keungulan komparatif dan saling melengkapi. Kelompok usaha besar memiliki potensi sebagai motor pertumbuhan, sementara kelompok UKM sebagai penyeimbang pemerataan dan penyerapan tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa unit-unit UKM pada umumnya masih menjadi sandaran hidup masyarakat kecil yang jumlahnya besar. Secara kuantitas UKM memang unggul, hal ini didasarkan pada fakta bahwa sebagian besar usaha di Indonesia (lebih dari 99 %) berbentuk usaha skala kecil dan menengah. Namun secara jumlah omset dan aset, UKM masih jauh di bawah usaha besar.
Tabel 11. Posisi Kredit Rupiah dan Valuta Asing pada Bank Umum Tahun 2000-2004 Usaha Besar Tahun Nominal Porsi (%) (milyar rupiah) 2000 269.000 212.375 79 2001 307.594 245.025 80 2002 365.410 303.145 83 2003 437.942 363.974 83 2004 553.548 459.933 83 Sumber : Bank Indonesia, 2005. Total Kredit
Usaha Kecil Menengah Nominal Porsi (milyar rupiah) (%) 56.625 21 62.596 20 62.265 17 73.968 17 93.615 17
Dilihat dari lembaga keuangan formal yang identik dengan perbankan, pemberian berbagai kredit untuk membantu permodalan UKM sangat kecil persentasenya jika dibandingkan dengan usaha besar. Bahkan dalam rentang tahun 2000-2004 kredit yang diberikan kepada UKM proporsinya semakin mengecil (Tabel 11). Hal ini semakin memperjelas bahwa jika UKM menggantungkan sumber pembiayaan dari lembaga keuangan formal, tidak akan mampu mengembangkan UKM. Namun, Direktorat Jendral Industri Kecil (1982) menyatakan bahwa UKM di Indonesia secara umum memiliki keunggulankeunggulan sebagai berikut : 1. Jumlah besar dan tersebar dari seluruh pelosok tanah air. 2. Bagian terbesar dari kelompok masyarakat golongan ekonomi lemah. 3. Mampu mendorong proses pemerataan dan penanggulangan kemiskinan. 4. Mampu menggali dan memanfaatkan keunggulan komparatif dan ketersediaan tenaga kerja dan sumber daya alam. 5. Dapat berjalan meski modal yang digunakan sangat terbatas.
5.5.
Karakteristik UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng Kerupuk adalah bahan kering berupa lempengan tipis yang terbuat dari
adonan yang bahan utamanya adalah pati. Berbagai bahan berpati dapat diolah menjadi kerupuk, diantaranya adalah ubi kayu, ubi jalar, beras, sagu, terigu, tapioka dan talas. Kerupuk merupakan sajian yang hampir selalu ada dalam hidangan masyarakat Indonesia sehari-hari baik pada acara perayaan kecil maupun besar. Makanan ini dibuat dari bahan dasar berbagai macam tepung terutama terigu dan tapioka, bumbu-bumbu, dan bahan tambahan penyedap. Kerupuk umumnya diproduksi industri rumah tangga (home industry), industri skala kecil formal dan non-formal, dalam bentuk dan jenis yang beraneka ragam. Kecamatan Cikoneng merupakan sentra industri produksi kerupuk di Kabupaten Ciamis. Berdasarkan hasil pendataan bidang perkembangan ekonomi dan usaha masyarakat Kecamatan Cikoneng tahun 2007, diketahui terdapat 116 UKM yang terdaftar dan memiliki izin usaha serta 560 UKM yang tidak terdaftar. UKM kerupuk mulai terdaftar pada tahun 2003 sebanyak 50 UKM. Setelah kenaikan harga BBM banyak UKM yang mengalami gulung tikar, berhenti berproduksi untuk beberapa waktu dan melanjutkan kembali produksinya saat UKM tersebut memiliki modal lagi untuk berproduksi serta banyak juga UKM yang masuk setelah kenaikan harga BBM. Karena hal tersebut, pemerintahan di Kecamatan Cikoneng saat ini tidak mempunyai data yang pasti tentang jumlah UKM yang ada di Kecamatan Cikoneng, karena UKM yang keluar tidak memberikan laporan begitu juga dengan UKM yang masuk di Kecamatan Cikoneng.
Karakteristik UKM kerupuk yang dikaji dalam penelitian ini adalah karakteristik pemilik UKM kerupuk, pola pengadaan input produksi, proses produksi, cara pembuatan kerupuk dan pola pemasaran UKM kerupuk di Kecamatan Cikoneng.
5.5.1
Pemilik UKM Kerupuk Responden UKM kerupuk yang diambil dalam penelitian berjumlah 41
orang. Karakteristik umum responden dinilai dari beberapa kriteria yang meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan formal, alasan memulai usaha kerupuk, sumber modal, besarnya modal awal, pelatihan yang pernah diikuti serta lamanya mendirikan usaha kerupuk (Tabel 12). a. Jenis Kelamin UKM kerupuk didominasi oleh laki-laki. Hal ini terlihat dari jumlah total responden sebanyak 41 orang, UKM kerupuk yang dimiliki oleh responden lakilaki sebanyak 38 unit usaha, sedangkan UKM kerupuk yang dimiliki oleh responden perempuan adalah sebanyak tiga unit usaha. Dominasi responden lakilaki ini dikarenakan UKM kerupuk di kecamatan Cikoneng merupakan usaha keluarga dengan pengambil keputusan adalah laki-laki. b. Usia Tingkat usia responden bervariasi dari 33 tahun hingga 65 tahun. Jumlah responden terbesar terdapat pada kelompok usia 40-49 tahun yaitu sebanyak 39,02 persen, sedangkan jumlah responden terkecil terdapat pada kelompok usia di atas 60 tahun, yaitu sebanyak 4,88 persen. Pada kelompok usia 30-39 tahun, jumlah
responden adalah sebanyak 31,71 persen dan pada kelompok usia 50-59 tahun, jumlah responden adalah sebanyak 24,39 persen. Tabel 12. Karakteristik Responden UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng No. Karakteristik Responden 1. Jenis kelamin Perempuan Laki - laki 2. Usia (tahun) 30-39 40-49 50-59 > 60 3. Pendidikan terakhir SD SMP SMA PT 4. Alasan memulai usaha Ada pasar Keturunan Lainnya 5. Sumber modal Sendiri Pinjam 6. Modal awal (juta) <2 2-5 6-9 > 10 7. Mengikuti pelatihan Pernah Tidak pernah 8. Lama usaha (tahun) 3-6 7 - 10 > 11
Jumlah 3 38 13 16 10 2 21 12 6 2 24 13 4 38 3 7 17 11 6 5 36 18 16 7
Persentase (%) 7,32 92,68 31,71 39,02 24,39 4,88 51,22 29,27 14,64 4,88 58,54 31,71 9,76 92,68 7,32 17,07 41,46 26,83 14,63 12,20 87,80 43,90 39,02 17,07
c. Pendidikan Formal Pelaku UKM kerupuk sebagian besar hanya menyelesaikan pendidikan sekolah dasar sebanyak 51,22 persen, hanya 4,88 persen yang berpendidikan perguruan tinggi. Pelaku UKM yang berpendidikan SMP dan SMA adalah sebanyak 29,27 persen dan 14,64 persen.
d. Alasan Memulai Usaha Pelaku UKM memulai usahanya dikarenakan sebagian besar dari mereka melihat adanya permintaan terhadap produk kerupuk (ada pasar) yaitu sebanyak 58,54 persen. Pelaku UKM yang memulai usahanya dikarenakan keturunan adalah sabanyak 31,71 persen dan berbagai macam alasan lainnya seperti mencoba memproduksi kerupuk atau mempunyai pengalaman dalam membuat kerupuk adalah sebanyak 9,76 persen. e. Sumber Modal Sumber modal UKM kerupuk sebagaian besar adalah modal sendiri yaitu sebanyak 92,68 persen. Sedangkan modal yang berasal dari meminjam baik itu dari bank, koperasi atau keluarga adalah sebanyak 7,32 persen. f. Modal Awal Pelaku UKM mengeluarkan modal awal untuk mendirikan UKM kerupuk sebagian besar adalah 2-5 juta rupiah yaitu sebanyak 41,46 persen. Responden yang mengeluarkan modal awal sebanyak 6-9 juta rupiah, di bawah 2 juta rupiah dan di atas 10 juta rupiah berturut-turut adalah sebanyak 26,83 persen, 17,07 persen, dan 14,63 persen. g. Pelatihan yang Pernah Diikuti Responden umumnya tidak pernah mengikuti pelatihan baik yang diadakan di tingkat desa, kecamatan ataupun kabupaten. Kurangnya pelatihan yang diikuti dan rendahnya pendidikan formal yang diterima mengakibatkan mayoritas responden menerapkan system flexible dalam aturan kerja. Hanya lima orang responden yang pernah mengikuti pelatihan yang umumnya diadakan di tingkat kecamatan.
h. Lama Usaha Lama usaha responden bervariasi, namun apabila dikelompokan kedalam skala per tiga tahun, terlihat bahwa responden yang menjalankan usahanya selama 3-6 tahun adalah sebanyak 43,90 persen, 7-10 tahun adalah sebanyak 39,02 persen dan hanya 17,07 persen yang menjalankan usahanya lebih dari 11 tahun.
5.5.2. Pola Pengadaan Input Pengadaan input produksi diusahakan oleh masing-masing pelaku UKM dan tidak ada upaya untuk mengkoordinir pengadaan input. Tepung, bawang putih, garam, penyedap rasa, bahan baku pembantu yaitu terasi dan sarden serta minyak tanah dibeli secara langsung oleh pelaku UKM dari grosir yang terdapat di wilayah Tasik dan Ciamis dan langsung diantar oleh pihak grosir. Sedangkan kayu bakar sebagai bahan bakar dalam pengukusan diperoleh dari rental pemotongan kayu yang ada di sekitar wilayah tersebut. Tenaga kerja yang digunakan umumnya tenaga kerja bukan keluarga hanya saja tenaga kerja tersebut bertempat tinggal tidak jauh dari lokasi pabrik kerupuk (tetangga pelaku UKM).
5.5.3. Proses Produksi Jenis kerupuk yang diproduksi adalah kerupuk bulet yang berbentuk kerupuk setengah jadi atau kerupuk mentah (babanggi) 3 yang telah dikeringkan sebelum digoreng menjadi kerupuk matang yang siap untuk dikonsumsi.
3
Dalam bahasa sunda, babanggi adalah kerupuk mentah yang sudah kering dan siap untuk di goreng.
Mayoritas pelaku UKM memproduksi kerupuk putih (tidak berwarna) dan sebagian kecil memproduksi kerupuk berwarna orenye. Bahan baku utama yang digunakan dalam proses produksi kerupuk adalah tepung tapioka. Tepung tapioka adalah granula pati yang banyak terdapat di dalam sel ketela pohon. Singkong (Manihot utilissima) disebut juga ubikayu atau ketela pohon, mempunyai kandungan karbohidrat cukup tinggi yaitu 32,4 dan kalori sebanyak 567 dalam 100 gram singkong. Selain itu terdapat juga protein, lemak dan komponen-komponen yang lainnya dengan jumlah yang relatif sangat sedikit. Granula pati tapioka terletak di dalam sel umbi dan mempunyai bentuk sama dengan pati kentang. Granula pati tapioka berukuran 5-35 mikron dan mempunyai sifat birefringent yang kuat serta tersusun atas 20% amilosa dan 80% amilopektin sehingga mempunyai sifat mudah mengembang dalam air panas. Ketela pohon atau singkong yang dipilih untuk proses pembuatan tepung tapioka adalah singkong yang mempunyai umur panen 9-12 bulan dengan kadar pati 24 persen dan masih segar (tidak lebih dari tiga hari setelah panen). 4 Proses produksi UKM kerupuk sebagian besar menggunakan alat pencetak secara manual yang tidak jauh berbeda seperti terlihat dalam lampiran 10. Hanya satu UKM yang sudah menggunakan mesin pencetak yang lebih maju. Perbedaan lain terletak dari
penggunaan bahan baku pembantu. Sebagian besar UKM
menggunakan terasi sebagai bahan baku pembantu dan sebagian kecil lainnya menggunakan sarden yang digunakan sebagai bahan penyedap. Penggunaan minyak tanah dilakukan dalam proses pengopenan untuk mengeringkan kerupuk mentah yang masih basah. Apabila cuaca panas, pelaku
4
Soemarno. Rancangan teknologi proses pengolahan tapioka dan produk –produknya. [Juni 2008].
UKM memanfaatkan sinar matahari untuk mengeringkan kerupuk mentah yang masih basah, setelah itu baru dilakukan pengopenan dengan waktu yang lebih sedikit.
5.5.4. Cara Pembuatan Kerupuk 1. Pembuatan Adonan Adonan dibuat dari tepung tapioka yang dicampur dengan bumbu-bumbu yang digunakan. Tepung diberi air dingin hingga menjadi adonan yang kental. Bumbu (garam, penyedap rasa dan bawang putih ditumbuk sampai halus) dan bahan baku pembantu (terasi atau sarden sebagai bahan penyedap yang telah digiling halus) dimasukkan ke dalam adonan dan diaduk/diremas hingga rata sehingga diperoleh adonan yang kenyal.
Gambar 10. Proses Pengadonan Kerupuk. 2. Pencetakan Pencetakan dilakukan setelah adonan dibuat dengan menggunakan mesin tradisional. Setiap mesin dilakukan oleh minimal 2 orang dan maksimal 4 orang (satu orang memutar mesin dan tiga orang mencetak kerupuk).
Gambar 11. Proses Pencetakan Kerupuk. 3. Pengukusan Adonan yang telah dicetak kemudian dikukus dalam dandang selama kurang lebih dua jam sampai masak. Proses pengukusan ini merupakan proses pematangan kerupuk dengan menggunakan kayu bakar. Untuk mengetahui apakah adonan kerupuk telah masak atau belum adalah dengan cara menusukkan lidi ke dalamnya. Bila adonan tidak melekat pada lidi berarti adonan telah masak. Cara lain untuk menentukan masak atau tidaknya adonan kerupuk dapat dilakukan dengan menekan adonan tersebut. Bila permukaan silinder kembali seperti semula, artinya adonan telah masak.
Gambar 12. Proses Pengukusan Kerupuk.
4. Pengeringan Dalam proses pengeringan ada dua cara yaitu pengopenan dan penjemuran. Pengopenan dilakukan dengan menggunakan minyak tanah apabila cuaca mendung/hujan atau saat jumlah produksi tinggi dan tidak memungkinkan untuk semua menggunakan sinar matahari dalam pengeringan. Apabila cuaca panas, pengopenan dilakukan hanya untuk mengeringkan dengan waktu yang lebih sedikit.
Pengeringan
Pengopenan
Penjemuran
Gambar 13. Proses Pengeringan Kerupuk. 5. Pengepakan Kerupuk yang telah kering di pack ke dalam karung yang dapat berisi 40-45 kg per karung untuk dipasarkan.
Pengadonan Bumbu utama : garam, penyedap rasa, bawang putih
Bahan penyedap : sarden atau terasi di
Adonan tepung tapioka yang ditambahkan dengan
Aduk hingga
Pencetakan Pengukusan Pengeringan Pengepakan Gambar 14. Proses Pembuatan Kerupuk di Kecamatan Cikoneng.
5.5.5. Pola Pemasaran Secara garis besar, pemasaran hasil produksi kerupuk adalah UKM kerupuk yang mengolah kerupuk setengah jadi menjadi kerupuk jadi yang selanjutnya dipasarkan kepada konsumen. Pelaku UKM kerupuk di Kecamatan Cikoneng umumnya memasarkan hasil produksinya ke UKM lain di wilayah Jakarta, Bekasi, Tanggerang, Depok, Bogor, Garut, Tasik, Ciamis, Cirebon, Purwoerejo, dan Batam. Gambar 15. menunjukkan bagan pola pemasaran UKM kerupuk.
UKM kerupuk setengah jadi
Pedagang perantara UKM pengolahan kerupuk
Konsume n akhir
Gambar 15. Pola Pemasaran UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng.
VI. ANALISIS PENDAPATAN UKM KERUPUK
6.1.
Penerimaan UKM Kerupuk Penerimaan yang diperoleh UKM kerupuk dalam melakukan aktivitas
usaha berasal dari hasil penjualan kerupuk mentah. Tabel 13. menunjukkan kondisi penerimaan UKM kerupuk sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM. Tabel 13. Penerimaan UKM Kerupuk per Rata-Rata Kapasitas Produksi per Bulan Sebelum Setelah Perubahan Total Penerimaan Kenaikan Harga Kenaikan Harga (Rp) BBM (Rp) BBM (Rp) Penjualan kerupuk 44.177.389 52.379.650 8.202.261
Persentase Perubahan (%) 18,57
UKM kerupuk setelah kenaikan harga BBM memiliki rata-rata jumlah produk yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan UKM kerupuk sebelum kenaikan harga BBM. Jumlah kerupuk yang dihasilkan UKM kerupuk sebelum kenaikan harga BBM adalah 6.964 kg per bulan dengan harga jual Rp 6.344,00 per kg, sehingga hasil penjualan kerupuk adalah Rp 44.177.389,00. Jumlah kerupuk yang dihasilkan UKM kerupuk setelah kenaikan harga BBM adalah 7.272 kg per bulan dengan harga jual Rp 7.202,00 per kg, sehingga hasil penjualan kerupuk adalah Rp 52.379.650,00. Penerimaan UKM kerupuk setelah kenaikan harga BBM mengalami peningkatan sebesar Rp 8.202.261,00 atau naik sebesar 18,57 persen. Hal ini disebabkan untuk mengatasi kenaikan harga BBM, UKM memperluas pemasarannya sehingga UKM dapat meningkatkan jumlah produksinya dan meningkatkan harga jual kerupuk setelah kenaikan harga BBM.
6.2.
Pengeluaran UKM Kerupuk Aktivitas usaha yang dilakukan oleh UKM kerupuk dalam tiap tahapannya
memiliki resiko biaya yang ditanggung oleh UKM. Biaya tersebut terbagi atas biaya tunai dan biaya tidak tunai. Biaya tunai dikeluarkan oleh UKM meliputi biaya pembelian bahan baku, biaya pengolahan, dan biaya penjualan. Sedangkan biaya tidak tunai adalah biaya diperhitungkan (biaya sewa, listrik, pajak dan penyusutan). Biaya pembelian bahan baku terdiri dari biaya untuk membeli tepung, bawang putih, garam, penyedap rasa, dan bahan baku pembantu. Biaya pembelian bahan baku dihitung dengan mengalikan biaya input per kilogram (Rp/kg) tiap aktivitas dengan jumlah input yang dibeli (kg). Biaya pengolahan terdiri dari biaya minyak tanah, kayu bakar dan upah tenaga kerja. Biaya minyak tanah dihitung dengan mengalikan biaya minyak tanah per liter (Rp/liter) dengan jumlah minyak tanah yang dibeli (liter). Biaya kayu bakar dihitung dengan mengalikan biaya kayu bakar per meter kubik (Rp/m3) dengan jumlah kayu bakar yang dibeli (m3). Biaya upah tenaga kerja dihitung dengan mengalikan biaya upah per jam kerja (Rp/jam kerja) dengan jumlah jam kerja yang dipakai (jam kerja). Biaya penjualan adalah biaya untuk transportasi pengiriman barang. Dihitung dengan mengalikan ongkos pengiriman per karung (40-45 kg per karung) dengan jumlah karung yang dikirimkan. Biaya diperhitungkan merupakan biaya untuk pajak, listrik, sewa dan biaya penyusutan yang besarnya tergantung dari jawaban masing-masing responden pada saat wawancara.
Setelah mengidentifikasi biaya tunai dan tidak tunai, maka dapat diperoleh total biaya UKM kerupuk per rata-rata kapasitas produksi per bulan. Tabel 14. menunjukkan kondisi UKM kerupuk sebelum dan setelah kenaikan harga BBM. Tabel 14. Biaya yang Dikeluarkan UKM Kapasitas Produksi per Bulan
Komponen Biaya Biaya tunai Biaya pembelian bahan baku Tepung tapioka Bawang putih Garam Penyedap rasa Bahan baku pembantu Biaya pengolahan Minyak tanah Kayu bakar Upah Biaya penjualan Transportasi Total biaya tunai Biaya tidak tunai Pajak Listrik Sewa Penyusutan Total biaya tidak tunai Total biaya
Kerupuk
per
Rata-Rata
Sebelum Sesudah Persentase Kenaikan Kenaikan Perubahan Perubahan Harga BBM Harga BBM (Rp) (%) (Rp) (Rp)
22.549.512 486.112 202.981 804.659 323.463
30.603.659 531.634 267.598 904.927 380.073
8.054.147 45.522 64.617 100.268 56.610
35,72 9,36 31,83 12,46 17,50
475.308 2.072.585 6.113.244
777.666 2.530.341 6.675.561
302.358 457.756 562.317
63,61 22,09 9,20
1.437.794 34.465.658
1.686.941 44.358.400
249.147 9.892.742
17,33 28,70
7.474 28.707 138.100 17.927 192.208 34.657.866
5.203 32.634 160.480 21.098 219.414 44.577.814
-2.271 3.927 22.380 3.171 27.206 9.919.948
-30,39 13,68 16,21 17,69 14,15 28,62
UKM kerupuk setelah kenaikan harga BBM memiliki kapasitas produksi yang lebih besar dibandingkan UKM kerupuk sebelum kenaikan harga BBM. Rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk pembelian tepung tapioka sebagai bahan baku utama sebelum kenaikan harga BBM adalah sebesar Rp 22.549.512,00 mengalami peningkatan sebesar 35,72 persen menjadi Rp 30.603.659,00 setelah
kenaikan harga BBM. Begitu pula dengan rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk garam, bahan baku pembantu, penyedap rasa dan bawang putih sebelum kenaikan harga BBM mengalami peningkatan sebesar
31,83 persen, 17,50 presen,
12,46 persen, dan 9,36 persen setelah kenaikan harga BBM. Rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk pembelian minyak tanah memiliki perubahan yang paling besar dibanding dengan input lainnya yaitu Rp 475.308,00 sebelum kenaikan harga BBM meningkat sebesar 63,61 persen menjadi Rp 777.666,00 setelah kenaikan harga BBM. Hal ini dikarenakan kenaikan harga BBM pada 1 Oktober 2005 berdampak langsung pada biaya input minyak tanah. Sedangkan rata-rata yang dikeluarkan untuk pembelian kayu bakar dan pembayaran upah tenaga kerja meningkat sebesar 22,09 persen dan 9,20 persen. Untuk biaya transportasi mengalami peningkatan sebesar 17,33 persen. Rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk biaya pajak menurun sebesar 30,39 persen dari Rp 7.474,00 sebelum kenaikan harga BBM menjadi Rp 5.203,00 setelah kenaikan harga BBM. Hal ini terjadi karena ada beberapa UKM yang mempunyai bangunan pabrik menyatu dengan rumah. Setelah kenaikan harga BBM, UKM tersebut tidak lagi memasukan biaya pajak kedalam perhitungan pengeluaran usaha dengan alasan, jika dihitung mereka merasa keuntungan yang mereka peroleh tambah menipis. Hal ini dilakukan karena mereka ingin menghilangkan rasa stress menerima kenyataan bahwa keuntungan yang diterima semakin berkurang. Hal ini terjadi karena administrasi UKM yang kurang baik. Sedangkan rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk biaya listrik, sewa dan biaya penyusutan mengalami peningkatan setelah kenaikan harga BBM sebesar 13,68 persen, 16,21 persen, dan 17,69 persen.
Total biaya tunai yang dikeluarkan sebelum kenaikan harga BBM sebesar Rp 34.465.658,00 mengalami peningkatan sebesar 28,70 persen menjadi Rp 44.358.400,00 setelah kenaikan harga BBM. Total biaya tidak tunai yang dikeluarkan sebelum kenaikan harga BBM sebesar Rp 192.208,00 mengalami peningkatan sebesar 14,15 persen menjadi Rp 219.414,00 setelah kenaikan harga BBM.
Setelah semua biaya tunai dan tidak tunai diidentifikasi, maka dapat
diketahui total biaya UKM kerupuk sebelum kenaikan harga BBM sebesar Rp 34.657.866,00 mengalami peningkatan sebesar 28,62 persen menjadi Rp 44.577.814,00 setelah kenaikan harga BBM.
6.3.
Analisis Pendapatan serta Imbangan Penerimaan dan Biaya Analisis pendapatan dilakukan untuk menentukan nilai yang diperoleh
UKM kerupuk dari aktivitas produksinya. Analisis pendapatan meliputi analisis pendapatan atas biaya tunai dan analisis pendapatan atas biaya total. Analisis pendapatan atas biaya tunai hanya mempertimbangkan biaya tunai sementara analisis pendapatan atas biaya total dengan menginkutsertakan komponen biaya diperhitungkan ke dalam analisis. Perhitungan pandapatan UKM kerupuk dilakukan pada kondisi UKM kerupuk sebelum kenaikan harga BBM dan sesudah kenaikan harga BBM. Perhitungan dilakukan untuk rata-rata kapasitas produksi UKM kerupuk. Penerimaan berasal dari penjualan hasil produksi berupa kerupuk mentah. Sementara biaya dihasilkan dari aktivitas UKM kerupuk mulai dari pembelian bahan baku sampai pada penjualan produk ke UKM kerupuk yang mengolah kerupuk mentah menjadi kerupuk yang siap untuk dikonsumsi. Tabel 15.
menunjukkan data penerimaan dan biaya UKM kerupuk sebelum dan setelah kenaikan harga BBM. Tabel 15. Analisis Pendapatan serta Imbangan Penerimaan dan Biaya per Rata-Rata Produksi per Bulan UKM Kerupuk
Komponen Penerimaan Total penerimaan Total biaya Total biaya tunai Total biaya diperhitungkan
Sebelum Setelah Kenaikan Kenaikan Harga Harga BBM (Rp) BBM (Rp) 44.177.38 52.379.65 9 0 34.657.86 44.577.81 6 4 34.465.65 44.358.40 8 0 192.208
Pendapatan atas biaya tunai
9.711.731
Pendapatan atas biaya total
9.519.523
R/C atas biaya tunai R/C atas biaya total
1,282 1,275
219.414
Persentase Perubahan Perubahan (Rp) (%) 8.202.261
18,57
9.919.948
28,62
9.892.742
28,70
27.206
14,15
1.690.481 7.801.836 1.717.687 1,181 -0,101 1,175 -0,1 8.021.250
-17,41 -18,04 -7,88 -7,84
sumber : Tabel 13. dan 14.
Total penerimaan UKM kerupuk sebelum kenaikan harga BBM adalah Rp
44.177.389,00.
Total
biaya
yang
menjadi
beban
UKM
adalah
Rp 34.657.866,00 yang berasal dari total biaya tunai Rp 34.465.658,00 ditambah total biaya diperhitungkan sebesar Rp 192.208,00. Kemudian dihitung pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total berturut-turut
sebesar
Rp 9.711.731,00 dan Rp 9.519.523,00. Efisiensi UKM kerupuk dapat dilihat dari perbandingan penerimaan dan biaya (rasio R/C). Rasio R/C atas biaya tunai adalah 1,282 yang artinya, setiap biaya yang dikeluarkan sebesar seribu rupiah akan menghasilkan Rp 1.282,00. Sedangkan, rasio R/C atas biaya total sebesar 1,275 yang artinya, setiap biaya yang dikeluarkan sebesar seribu rupiah akan menghasilkan Rp 1.275,00. Rasio R/C atas biaya tunai dan atas biaya total relatif
tidak jauh berbeda. Hal ini terjadi karena jumlah biaya diperhitungkan relatif kecil. Total penerimaan UKM kerupuk setelah kenaikan harga BBM adalah Rp
52.379.650,00.
Total
biaya
yang
menjadi
beban
UKM
adalah
Rp 44.577.814,00 yang berasal dari total biaya tunai Rp 44.358.400,00 ditambah total biaya diperhitungkan sebesar Rp 219.414,00. Kemudian dihitung pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total berturut-turut
sebesar
Rp 8.021.250,00 dan Rp 7.801.836,00. Efisiensi UKM kerupuk dapat dilihat dari perbandingan penerimaan dan biaya (rasio R/C). Rasio R/C atas biaya tunai adalah 1,181 yang artinya, setiap biaya yang dikeluarkan sebesar seribu rupiah akan menghasilkan Rp 1.181,00. Sedangkan rasio R/C atas biaya total sebesar 1,175 yang artinya, setiap biaya yang dikeluarkan sebesar seribu rupiah akan menghasilkan Rp 1.175,00. Rasio R/C atas biaya tunai dan atas biaya total relatif tidak jauh berbeda. Hal ini terjadi karena jumlah biaya diperhitungkan relatif kecil. Berdasarkan perbandingan antara kondisi UKM kerupuk sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM pada Tabel 15. dapat diketahui bahwa pendapatan UKM kerupuk mengalami penurunan setelah kenaikan harga BBM. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan nilai R/C atas biaya tunai sebesar
1,282 sebelum
kenaikan harga BBM mengalami penurunan sebesar 7,88 persen menjadi 1,181 setelah kenaikan harga BBM. Begitu pula dengan perbandingan nilai R/C atas biaya total sebesar 1,275 sebelum kenaikan harga BBM, mengalami penurunan sebesar 7,84 persen menjadi 1,175 setelah kenaikan harga BBM. Dilihat juga dari
pendapatan atas biaya tunai mengalami penurunan sebesar 17,41 persen dan pendapatan atas biaya total mengalami penurunan sebesar 18,04 persen.
6.4.
Analisis Keragaan UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng Pengaruh kenaikan harga BBM terhadap keragaan UKM kerupuk
dilakukan dengan membandingkan UKM kerupuk sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM dengan menggunakan uji beda dua rataan. Perbandingan dilakukan pada jumlah input produksi yang digunakan (penggunaan tepung tapioka dalam satuan kg, bawang putih dalam satuan kg, garam dalam satuan kg, penyedap rasa dalam satuan kg, bahan baku pembantu dalam satuan kg, minyak tanah dalam satuan liter, kayu bakar dalam satuan m3 dan tenaga kerja dalam satuan jam kerja), pengeluaran untuk input produksi (biaya yang dikeluarkan untuk tepung tapioka, bawang putih, garam, penyedap rasa, bahan baku pembantu, minyak tanah, kayu bakar dan tenaga kerja) dalam satuan rupiah, serta jumlah output dalam satuan kg, total pengeluaran dalam satuan rupiah, total penerimaan dalam satuan rupiah dan pendapatan bersih yang diterima UKM kerupuk dalam satuan rupiah. Tabel 16. menunjukkan hasil uji beda dua rataan pada 41 responden UKM kerupuk. Hasil uji beda dua rataan menunjukkan adanya peningkatan pada jumlah input tepung tapioka, garam, minyak tanah, kayu bakar dan tenaga kerja sebesar 0,78 persen, 3,62 persen, 5,45 persen, 11,55 persen dan 257,72 persen setelah kenaikan harga BBM. Sebelum kenaikan harga BBM, jumlah tepung tapioka yang digunakan adalah 6.590,24 kg mengalami peningkatan sebanyak
51,22 kg
menjadi 6.641,46 kg setelah kenaikan harga BBM. Meningkatnya tepung tapioka dikarenakan ada beberapa UKM yang memperluas pasarnya. Hal ini terjadi karena
kenaikan harga BBM menyebabkan beberapa UKM gulung tikar, sehingga pasar UKM yang gulung tikar beralih ke UKM yang dapat bertahan. Peningkatan jumlah input tepung tapioka, meningkatkan jumlah input garam, minyak tanah, kayu bakar dan jam kerja yang digunakan. Sebelum kenaikan harga BBM, jumlah minyak tanah yang digunakan adalah 323,34 liter, meningkat sebanyak 17,61 liter menjadi 340,95 liter setelah kenaikan harga BBM. Meningkatnya input minyak tanah juga dikarenakan sulitnya mendapatkan minyak tanah membuat UKM membeli minyak tanah lebih banyak saat minyak tanah sedang tersedia untuk dijadikan persediaan. Jumlah kayu bakar mengalami peningkatan sebesar 11,15 m3 dari 96,51 m3 sebelum kenaikan harga BBM, menjadi 107,66 m3 setelah kenaikan harga BBM. Meningkatnya jumlah kayu bakar juga dikarenakan kayu bakar sebagai barang substitusi dari minyak tanah sehingga UKM membeli kayu bakar lebih banyak untuk mengganti sebagian minyak tanah dengan kayu bakar. Penggunaan jumlah jam kerja yang meningkat sebesar 7238,66 jam kerja dari 2.808,73 jam kerja sebelum kenaikan harga BBM, menjadi 10.047,39 jam kerja setelah kenaikan harga BBM. Jumlah jam kerja yang meningkat selain karena peningkatan jumlah produksi juga dikarenakan sebelum kenaikan harga BBM jam kerja tenaga kerja tidak teratur, namun setelah kenaikan harga BBM UKM lebih mengatur jam kerja tenaga kerja. Penggunaan jumlah input bawang putih, penyedap rasa, dan bahan baku pembantu menurun sebesar 4,25 persen, 5,43 persen, 8,30 persen. Sebelum kenaikan harga BBM, jumlah input bawang putih yang digunakan sebanyak 86,80 kg menurun sebesar 3,69 kg menjadi 83,11 kg setelah kenaikan harga BBM. Penggunaan jumlah input penyedap rasa menurun sebanyak 3,88 kg dari 71,48 kg
sebelum kenaikan harga BBM, menjadi 71,48 kg setelah kenaikan harga BBM. Penggunaan jumlah input bahan baku pembantu juga menurun sebanyak 5,85 kg dari 71,48 kg sebelum kenaikan harga BBM, menjadi 64,67 kg setelah kenaikan harga BBM. Penurunan jumlah input produksi tersebut terjadi karena untuk mengatasi kenaikan harga BBM, UKM mengurangi penggunaan input tersebut sehingga kualitas rasa dari kerupuk menurun. Pengeluaran untuk input produksi menunjukkan biaya yang meningkat untuk semua input produksi. Pengeluaran input minyak tanah mengalami peningkatan yang paling besar yaitu 63,61 persen, tidak sebanding dengan peningkatan jumlah input minyak tanah yaitu sebesar 5,45 persen. Hal ini terjadi karena kenaikan harga BBM pada 1 Oktober 2005, langsung berpengaruh terhadap biaya yang dikeluarkan UKM untuk membeli minyak tanah. Pengeluaran untuk input tepung terigu, garam, dan kayu bakar juga mengalami peningkatan biaya yang lebih besar dari peningkatan jumlah input. Hal ini dikarenakan secara tidak langsung kenaikan harga BBM mempengaruhi hargaharga input lain ikut meningkat. Begitu juga dengan biaya untuk input bawang putih, penyedap rasa, dan bahan baku pembantu, meskipun penggunaan jumlah input tersebut menurun, namun biaya yang dikeluarkan oleh UKM untuk input tersebut meningkat. Hal ini dikarenakan secara tidak langsung kenaikan harga BBM mempengaruhi harga-harga input lain ikut meningkat. Sedangkan untuk input tenaga kerja mengalami peningkatan pengeluaran lebih kecil dibanding dengan peningkatan jumlah jam kerja. Hal ini terjadi karena peningkatan upah tenaga kerja lebih kecil dibanding dengan peningkatan jumlah jam kerja.
Tabel 16. Hasil Uji Beda Dua Rataan Keragaan UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng 1. Jumlah Input Produksi Input
Jumlah UKM
Perubahan
sesudah
6.590,24
6.641,46
51,22
0,78
meningkat
86,80
83,11
3,69
4,25
menurun
307,95
319,10
11,15
3,62
meningkat
Penyedap rasa
71,48
67,60
3,88
5,43
menurun
Bahan baku pembantu
70,52
64,67
5,85
8,30
menurun
323,34
340,95
17,61
5,45
meningkat
96,51
107,66
11,15
11,55
meningkat
2.808,73
10.047,39
257,72
meningkat
Tepung tapioka Bawang putih Garam
Minyak tanah Kayu bakar Tenaga kerja
Input
jumlah
7.238,66 2. Pengeluaran untuk Input Produksi (Rp) Jumlah UKM
persentase
Perubahan
sebelum
Perubahan
Perubahan
sebelum
sesudah
jumlah
persentase
22.549.512
30.603.658
8.054.146
35,72
meningkat
Bawang putih
486.112
531.634
45.522
9,36
meningkat
Garam
202.980
267.598
64.618
31.83
meningkat
Penyedap rasa
804.659
904.927
100.268
12,46
meningkat
Bahan baku pembantu
323.463
380.073
56.610
17,50
meningkat
Minyak tanah
475.308
777.666
302.358
63,61
meningkat
Kayu bakar
2.072.585
2.530.341
457.756
22,09
meningkat
Tenaga kerja
6.113.244
6.675.561
Tepung tapioka
meningkat 562.317 9,20 3. Jumlah Output, Total Biaya, Penerimaan Kotor dan Penerimaan Bersih
Input Jumlah output
Jumlah UKM sebelum
sesudah
Perubahan jumlah
persentase
Perubahan
6.962,49
7.273,76
311,27
4,47
meningkat
Total biaya
34.287.215
44.148.256
9.861.041
28,76
meningkat
Total Penerimaan
43.683.429
52.014.512
8.331.083
19,07
meningkat
Pendapatan bersih
9.396.214
7.866.256
1.529.958
16,28
menurun
Pengeluaran input produksi yang meningkat, menyebabkan peningkatan total biaya yang dikeluarkan UKM sebesar 28,76 persen yaitu Rp 34.287.215,00 sebelum kenaikan harga BBM, meningkat menjadi Rp 44.148.256,00 setelah kenaikan harga BBM.
Begitu juga peningkatan jumlah input tepung tapioka
sebagai bahan baku utama, menyebabkan peningkatan jumlah output yang
dihasilkan sebesar 4,47 persen, yaitu sebesar 6.962,49 kg sebelum kenaikan harga BBM, meningkat menjadi 7.273,76 kg setelah kenaikan harga BBM. Hal ini menyebabkan
penerimaan penjualan kerupuk yang diterima UKM kerupuk
meningkat sebesar 19,07 persen yaitu sebesar Rp 43.683.429,00 sebelum kenaikan harga BBM, meningkat menjadi Rp 52.014.512,00 setelah kenaikan harga BBM. Hal ini dikarenakan UKM meningkatkan harga jual kerupuk untuk mengatasi dampak kenaikan harga BBM. Peningakatan penerimaan hasil penjualan kerupuk harusnya dapat meningkatkan keuntungan UKM, namun pendapatan bersih yang diterima UKM kerupuk menurun sebesar 16,28 persen. Sebelum kenaikan harga BBM, pendapatan UKM kerupuk adalah
Rp 9.396.214,00 menurun sebesar
Rp. 1.529.958,00 menjadi Rp 7.866.256,00. Hal ini terjadi karena naiknya pengeluaran untuk input produksi lebih besar dibandingkan naiknya penerimaan yang dihasilkan dari penjualan kerupuk. Meskipun UKM telah meningkatkan jumlah produksi dan menaikkan harga output, namun besarnya kenaikan harga input akibat kenaikan harga BBM tetap mengurangi keuntungan UKM kerupuk.
VII. ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI UKM KERUPUK
7.1.
Analisis Fungsi Produksi UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng Fungsi produksi menggambarkan suatu hubungan antara faktor-faktor
produksi dengan hasil produksinya. Untuk mengetahui hubungan antara faktorfaktor produksi yang digunakan dalam produksi kerupuk terhadap output yang dihasilkan, digunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas.
7.1.1. Analisis Fungsi Produksi UKM Kerupuk Sebelum Kenaikan Harga BBM Berdasarkan konsep awal penelitian, diduga bahwa produksi kerupuk sebelum kenaikan harga BBM dipengaruhi oleh empat variabel yaitu jumlah bahan baku, alokasi waktu kerja yang digunakan serta jumlah bahan bakar jenis minyak tanah dan kayu bakar yang digunakan selama satu bulan. Semua faktor produksi tersebut merupakan variabel bebas yang akan menduga produksi kerupuk sebagai variabel tidak bebas. Tabel 17. menunjukkan hasil regresi dari model fungsi Cobb-Douglas. Tabel 17. Hasil Analisis Regresi Fungsi Produksi UKM Kerupuk Sebelum Kenaikan Harga BBM Dependen Variabel Y Variabel
Koefisien
t-statistik
C
-0,335580
-2,705332
lnBB lnMT lnKB lnTK
1,032205 0,019397 -0,069284 0,028766 0,997226 0,996918
42,739870 0,724630 -2,197202 1,284503 F-statistic Prob (F-statistic)
R-squared Adjusted R-squared
Sumber : Lampiran 7. Keterangan : * nyata pada taraf lima persen.
Probabilitas
0,0104 0,0000 * 0,4734 0,0345 * 0,2072 3235,494 0,000000
Berdasarkan hasil regresi, didapat R2 sebesar 99,7 persen yang berarti bahwa 99,7 persen variabel produksi kerupuk dapat dijelaskan oleh variabel bebas dalam model di atas. Nilai R2 yang tinggi menunjukkan bahwa model fungsi produksi yang dihasilkan sangat baik. Peluang F yang lebih kecil dari taraf nyata menunjukkan bahwa secara bersama-sama keempat variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel Y. Sementara, hasil uji t menunjukkan bahwa hanya variabel bahan baku dan kayu bakar yang memiliki pengaruh signifikan terhadap variabel Y, sementara variabel tenaga kerja dan minyak tanah tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah output kerupuk pada tingkat kepercayaan 95 persen. Suatu model terbaik harus memenuhi beberapa asumsi OLS antara lain adalah normalitas (kenormalan sisaan), tidak terdapat multikolinearitas (hubungan antar variabel), homoskedastisitas (kehomogenan ragam) dan autokorelasi. Uji normalitas dilakukan jika sampel yang digunakan kurang dari 30, karena jika sample lebih dari 30 maka eror term akan didistribusikan secara normal. Pada penelitian ini sampel berjumlah 41, sehingga tidak dilakukan uji normalitas. Pengujian homoskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji White heteroskedastisity. Apabila nilai Obs *R-square lebih besar dari taraf nyata (α) maka hasil regresi tidak mengandung gejala heteroskedastisity. Hasil uji tersebut dapat dilihat dalam Tabel 18. Tabel 18. Hasil Pengujian Heteroskedastisitas Fungsi Produksi UKM Kerupuk Sebelum Kenaikan Harga BBM Uraian
F-statistic Obs*R-squared
Nilai
1,653077 11,989250
Sumber : Lampiran 7, dengan taraf nyata lima persen.
Peluang
0,148895 0,151684
Tabel 18. menunjukkan peluang Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata (0,151684 > 0,05), sehingga disimpulkan bahwa
tidak terdapat
heteroskedastisitas pada model. Pengujian Autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Breusch Serial Correlation LM Test. Suatu model terbebas dari masalah autokorelasi jika nilai probabilitas Obs*R-squared dari Breusch Serial Correlation LM Test lebih besar dari taraf nyata yang digunakan dalam model. Hasil uji tersebut dapat dilihat dalam Tabel 19. Tabel 19. Hasil Pengujian Autokorelasi Fungsi Produksi UKM Kerupuk Sebelum Kenaikan Harga BBM Uraian
F-statistic Obs*R-squared
Nilai
Peluang
0,388090 0,915091
0,681318 0,632835
Sumber : Lampiran 7, dengan taraf nyata lima persen.
Tabel 19. menunjukkan peluang Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata (0,632835 > 0,05), sehingga disimpulkan bahwa
tidak terdapat gejala
autokorelasi dalam model. Uji Multikolinearitas adalah pengujian yang dilakukan untuk melihat hubugan linier dari model regresi yang kita ujikan. Multikolinearitas dapat didefinisikan sebagai hubungan fungsional yang bersifat linear antara dua atau lebih variabel independen yang kuat sehingga secara signifikan berpengaruh terhadap koefisien hasil estimasi, koefisien regresi dari variabel independen (Gujarati, 1978). Masalah multikolinearitas yang terdapat pada model CobbDouglas dapat diatasi dengan beragam cara antara lain (1) mengeluarkan variabel bebas yang berkolinear (berhubungan) dari model, (2) mentrasformasikan variabel berkolinear, dan (3) mencari data tambahan atau menambah ukuran sampel.
Salah satu cara mengetahui adanya multikolinear melalui correlation matirix dimana batas terjadinya korelasi antara sesama variabel bebas adalah tidak lebih dari |0,8|. Berdasarkan lampiran 7 data yang diperoleh terdapat koefisien korelasi antar variabel bebas lebih besar dari |0,8|, sehingga terdapat multikolinear dalam model, namun masih lebih kecil dari nilai *R-squared sehingga multikolinear dapat diabaikan. Gujarati (1978) menyatakan bahwa setiap perbaikan terhadap masalah multikolinearitas memiliki suatu kekurangan karena multikolinearitas adalah sebuah fenomena yang bersifat grey issue karena dapat berubah dari sampel ke sampel bahkan untuk spesifikasi yang serupa dari sebuah persamaan regresi. Oleh karena itu, tindakan tanpa melakukan perbaikan seringkali menjadi solusi yang bijak. Eksistensi multikolinearitas dalam model Cobb-Douglas tidak memiliki arti sehingga tindakan perbaikan tidak diperlukan. Jika perbaikan tetap dilakukan maka dapat menyebabkan persoalan lain yang mungkin lebih parah pada model tersebut. Gujarati (1978) memberikan penjelasan bahwa multikolinearitas adalah sebuah penyakit dan tindakan perbaikan adalah obatnya, maka obatnya mungkin lebih buruk dari penyakitnya dalam beberapa situasi. Alasan lainnya mengabaikan perbaikan dalam masalah multikolinearitas adalah bahwa menghapuskan sebuah variabel multikolinear yang dimiliki sebuah persamaan dapat membahayakan karena akan muncul bias spesifikasi. Menghapus variabel semacam itu berarti secara sengaja menciptakan bias spesifikasi tersebut. Oleh karena itu, banyak ahli ekonometrika yang tidak menghilangkan variabel berkorelasi dalam model walaupun nilai t-nya rendah.
Berdasarkan hasil pendugaan, model fungsi produksi kerupuk sebelum kenaikan harga BBM adalah : Y = -0,336 + 1,0322 lnBB + 0,019 lnMT-0,069 lnKB + 0,029 lnTK + e Dari hasil analisis fungsi produksi Cobb-Douglas dapat diduga skala usaha UKM kerupuk melalui penjumlahan dari nilai elastisitas masing-masing variabel. Analisis skala usaha digunakan untuk mengetahui apakah produksi kerupuk sebelum kenaikan harga BBM lebih besar, sama atau lebih kecil dibandingkan penambahan faktor-faktor produksi. Dari model produksi yang diduga menunjukkan bahwa jumlah elastisitas dari variabel bebas adalah 1,011 yang berarti produksi kerupuk berada pada skala kenaikan hasil yang meningkat (increasing return to scale), dimana penambahan satu persen dari masing-masing faktor produksi secara bersama-sama akan meningkatkan produksi sebesar 1,011 persen. Hal ini menunjukkan tingkat produksi kerupuk belum optimum, pelaku UKM kerupuk harus meningkatkan produksinya dengan cara meningkatkan penggunaan input produksi.
7.1.2. Analisis Fungsi Produksi UKM Kerupuk Setelah Kenaikan Harga BBM Berdasarkan konsep awal penelitian, diduga bahwa produksi kerupuk setelah kenaikan harga BBM dipengaruhi oleh empat variabel yaitu jumlah bahan baku, alokasi waktu kerja yang digunakan serta jumlah bahan bakar jenis minyak tanah dan kayu bakar yang digunakan selama satu bulan. Semua faktor produksi tersebut merupakan variabel bebas yang akan menduga produksi kerupuk sebagai variabel tidak bebas. Hasil analisis regresi dari model fungsi produksi CobbDouglas tersebut dapat dilihat dalam Tabel 20.
Tabel 20. Hasil Analisis Regresi Fungsi Produksi UKM Kerupuk Setelah Kenaikan Harga BBM Dependen Variabel Y Variabel C lnBB lnMT lnKB lnTK R-squared Adjusted R-squared
Koefisien 0,941060 0,557119 0,030208 0,240504 0,184604 0,999334 0,999260
t-statistik 2,982673 5,668760 2,351882 3,231789 2,196526 F-statistic Prob (F-statistic)
Probabilitas 0,0051 0,0000 * 0,0243 * 0,0026 * 0,0346 * 13496,19 0,000000
Sumber : Lampiran 8. Keterangan : * nyata pada taraf lima persen.
Berdasarkan hasil regresi didapat R2 sebesar 99,9 persen yang berarti bahwa 99,9 persen variabel produksi kerupuk dapat dijelaskan oleh variabel bebas dalam model di atas. Nilai R2 yang tinggi menunjukkan bahwa model fungsi produksi yang dihasilkan sangat baik. Peluang F yang lebih kecil dari taraf nyata menunjukkan bahwa secara bersama-sama keempat variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel Y. Sementara, hasil uji t menunjukkan bahwa semua variabel bebas memiliki pengaruh signifikan terhadap jumlah output produksi kerupuk pada tingkat kepercayaan 95 persen. Pengujian homoskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji White Heteroskedastisity. Apabila nilai Obs*R-square lebih besar dari taraf nyata (α) maka hasil regresi tidak mengandung gejala heteroskedastisity. Hasil uji tersebut dapat dilihat dalam Tabel 21. Tabel 21. Hasil Pengujian Heteroskedastisitas Fungsi Produksi UKM Kerupuk Setelah Kenaikan Harga BBM Uraian
F-statistic Obs*R-squared
Nilai
Peluang
0,148390 1,466588
0,995879 0,993249
Sumber : Lampiran 8, dengan taraf nyata lima persen.
Tabel 21. menunjukkan peluang Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata (0,993249 > 0,05), sehingga disimpulkan bahwa
tidak terdapat
heteroskedastisitas pada model. Pengujian Autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Breusch Serial Correlation LM Test. Suatu model terbebas dari masalah autokorelasi jika nilai probabilitas Obs*R-squared dari Breusch Serial Correlation LM Test lebih besar dari taraf nyata yang digunakan dalam model. Hasil uji tersebut dapat dilihat dalam Tabel 22. Tabel 22. Hasil Pengujian Autokorelasi Fungsi Produksi UKM Kerupuk Setelah Kenaikan Harga BBM Uraian
F-statistic Obs*R-squared
Nilai
Peluang
1,206152 2,716238
0,311833 0,257144
Sumber : Lampiran 8, dengan taraf nyata lima persen.
Tabel 22. menunjukkan peluang Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata (0,257144 > 0,05), sehingga disimpulkan bahwa
tidak terdapat gejala
autokorelasi dalam model. Masalah multikolinearitas dilihat melalui correlation matrix. Berdasarkan lampiran 9, data yang diperoleh terdapat koefisien korelasi antar variabel bebas lebih besar dari |0,8|, sehingga terdapat multikolinear pada fungsi produksi UKM setelah kenaikan harga BBM, namun masih lebih kecil dari nilai *R-squared sehingga multikolinear dapat diabaikan dan tidak dilakukan perbaikan dalam masalah multikolinearitas pada model. Berdasarkan hasil pendugaan, model fungsi produksi kerupuk setelah kenaikan harga BBM adalah : Y = 0,941 + 0,557 lnBB + 0,030 lnMT + 0,241 lnKB + 0,185 lnTK + eu
Dari hasil analisis fungsi produksi Cobb-Douglas dapat diduga skala usaha UKM kerupuk melalui penjumlahan dari nilai elastisitas masing-masing variabel. Dari model produksi yang diduga menunjukkan bahwa jumlah elastisitas dari parameter penjelas adalah 1,013 yang berarti produksi kerupuk berada pada skala kenaikan hasil yang meningkat (increasing return to scale), dimana penambahan satu persen dari masing-masing
faktor produksi secara bersama-sama akan
meningkatkan produksi sebesar 1,013 persen. Hal ini menunjukkan tingkat produksi kerupuk belum optimum, pelaku UKM kerupuk harus meningkatkan produksinya dengan cara meningkatkan penggunaan input produksi.
7.2.
Pengaruh Faktor-Faktor Produksi Analisis regresi fungsi Cobb-Douglas dapat menunjukkan pengaruh
masing-masing faktor produksi terhadap produksi kerupuk. Pengaruh masingmasing faktor produksi dapat diketahui berdasarkan nilai elastisitas produksi yang dilihat dari koefisien masing-masing faktor produksi. Informasi mengenai pengaruh masing-masing faktor produksi terhadap hasil produksi dapat dijadikan dasar dalam pengalokasian faktor-faktor produksi secara tepat. Pengaruh masingmasing faktor produksi terhadap produksi kerupuk sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM dapat diuraikan sebagai berikut : a. Bahan Baku Pada kondisi sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM, variabel bahan baku berpengaruh positif nyata terhadap jumlah kerupuk yang diproduksi pada tingkat kepercayaan 95 persen. Elastisitas yang positif menunjukkan bahwa jumlah penggunaan bahan baku dan jumlah produksi kerupuk yang dihasilkan
berbanding lurus, dimana penambahan jumlah bahan baku akan meningkatkan output. Nilai elastisitas bahan baku sebelum kenaikan harga BBM sebesar 1,0322 yang berarti, apabila variabel minyak tanah, kayu bakar dan tenaga kerja tetap, maka setiap penambahan bahan baku sebanyak satu persen akan meningkatkan output kerupuk sebanyak 1,0322 persen. Sedangkan nilai elastisitas setelah kenaikan harga BBM adalah 0,557 yang berarti, setiap penambahan bahan baku sebanyak satu persen akan meningkatkan output kerupuk sebanyak 0,557 persen (ceteris paribus). b. Minyak Tanah Pada kondisi sebelum kenaikan harga BBM, variabel minyak tanah berpengaruh positif dan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah output yang dihasilkan. Variabel minyak tanah yang tidak berpengaruh nyata terhadap output dikarenakan penggunaan minyak tanah antar responden memiliki variasi yang kecil. Setelah kenaikan harga BBM, meningkatnya julah produksi, langkanya minyak tanah dan dengan kondisi cuaca yang sulit untuk diprediksi dalam proses pengeringan kerupuk membuat pelaku UKM harus memiliki stok minyak tanah yang cukup banyak, hal ini yang menyebabkan variabel minyak tanah menjadi berpengaruh nyata. Setelah kenaikan harga BBM, variabel minyak tanah berpengaruh positif nyata terhadap jumlah kerupuk yang diproduksi pada tingkat kepercayaan 95 persen. Elastisitas yang positif menunjukkan bahwa jumlah penggunaan minyak tanah dan jumlah produksi kerupuk yang dihasilkan berbanding lurus, dimana penambahan jumlah minyak tanah akan meningkatkan output. Nilai elastisitas
minyak tanah setelah kenaikan harga BBM adalah sebesar 0,030 yang berarti, setiap penambahan minyak tanah sebanyak satu persen akan meningkatkan output kerupuk sebanyak 0,030 persen (ceteris paribus). c. Kayu Bakar Pada kondisi sebelum kenaikan harga BBM, variabel kayu bakar berpengaruh negatif nyata terhadap jumlah output yang dihasilkan. Elastisitas yang negatif menunjukkan bahwa jumlah penggunaan kayu bakar dan jumlah produksi kerupuk yang dihasilkan berbanding terbalik, dimana penambahan jumlah kayu bakar akan menurunkan output. Nilai elastisitas kayu bakar sebelum kenaikan harga BBM sebesar 0,069 yang berarti, setiap penambahan kayu bakar sebanyak satu persen akan menurunkan output kerupuk sebanyak 0,069 persen (ceteris paribus). Setelah kenaikan harga BBM, variabel kayu bakar berpengaruh positif nyata terhadap jumlah kerupuk yang diproduksi pada tingkat kepercayaan 95 persen. Elastisitas yang positif menunjukkan bahwa jumlah penggunaan kayu bakar dan jumlah produksi kerupuk yang dihasilkan berbanding lurus, dimana penambahan jumlah kayu bakar akan meningkatkan output. Nilai elastisitas pada kondisi setelah kenaikan harga BBM adalah sebesar 0,241 yang berarti, setiap penambahan kayu bakar sebanyak satu persen akan meningkatkan output kerupuk sebanyak 0,241 persen (ceteris paribus). d. Tenaga Kerja Pada kondisi sebelum kenaikan harga BBM, variabel tenaga kerja berpengaruh positif dan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah output yang dihasilkan. Variabel tenaga kerja yang tidak berpengaruh nyata terhadap output
yang dihasilkan sebelum kenaikan harga BBM dikarenakan jumlah tenaga kerja yang terserap oleh UKM melebihi kebutuhan dengan waktu kerja yang tidak tentu. Hal ini dikarenakan sifat UKM kerupuk yang menggunakan tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja yang bertempat tinggal dekat dengan lokasi pabrik serta adanya hubungan kekerabatan yang erat antara pemilik UKM dengan tenaga kerja menyebabkan tenaga kerja dapat keluar masuk dalam waktu kerja. Setelah kenaikan harga BBM, UKM mengatur waktu kerja untuk dapat meningkatkan upah tanpa memperkecil margin keuntungan yang diterima. Setelah kenaikan harga BBM, variabel tenaga kerja berpengaruh positif nyata terhadap jumlah kerupuk yang diproduksi pada tingkat kepercayaan 95 persen. Elastisitas yang positif menunjukkan bahwa jumlah penggunaan tenaga kerja dan jumlah produksi kerupuk yang dihasilkan berbanding lurus, dimana penambahan jumlah tenaga kerja akan meningkatkan output. Nilai elastisitas tenaga kerja pada kondisi setelah kenaikan harga BBM adalah sebesar 0,185 yang berarti, setiap penambahan tenaga kerja sebanyak satu persen, akan meningkatkan output kerupuk sebanyak 0,185 persen (ceteris paribus).
7.3.
Analisis Pengaruh Kenaikan Harga BBM terhadap Efisiensi Produksi UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng Efisiensi ekonomi diukur dari pemakaian input dalam jumlah tertentu
dengan biaya terendah sehingga memberikan output dengan keuntungan maksimum. Syarat untuk memenuhi keuntungan maksimum yaitu dengan efisiensi teknis dan efisiensi alokatif (allocative efficiency) atau juga disebut efisiensi harga (price efficiency). Faktor-faktor produksi yang akan dianalisis tingkat efisiensinya
adalah faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi kerupuk berdasarkan hasil uji t.
7.3.1. Analisis Efisiensi Teknis Efisiensi teknis faktor-faktor produksi dalam fungsi produksi CobbDouglas dapat diketahui dari nilai koefisien regresi yang merupakan nilai elastisitas produksinya. Syarat keharusan menurut Doll dan Orazem (1984) dipenuhi pada saat tidak ada lagi kemungkinan lain dalam penggunaan input yang lebih sedikit untuk menghasilkan nilai produksi yang sama, atau ketika elastisitas produksi antara nol dan satu (0 ≤ e ≤ 1). Untuk mengetahui nilai elastisitas dari masing-masing faktor produksi sebelum kenaikan harga BBM dan sesudah kenaikan harga BBM dapat dilihat dalam Tabel 23. Tabel 23. Elastisitas Produksi UKM Kerupuk Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM Elastisitas Faktor Produksi Sebelum Kenaikan Harga BBM Sesudah Kenaikan Harga BBM 0,557 * 1,032 * Bahan baku 0,030 * 0,019 Minyak tanah 0,241 * - 0,069 * Kayu bakar 0,185 * 0,029 Tenaga kerja Keterangan : * Nyata pada taraf lima persen.
Efisiensi teknis faktor-faktor produksi terhadap produksi kerupuk adalah sebagai berikut : a. Bahan Baku Elastisitas bahan baku sebelum kenaikan harga BBM bernilai lebih dari satu (1,0322 > 1), yang berarti bahwa penggunaan bahan baku terletak pada daerah I dalam kurva fungsi produksi (daerah irasional). Hal ini menunjukkan tingkat produksi kerupuk belum optimum, pelaku UKM kerupuk harus
meningkatkan produksinya dengan cara meningkatkan penggunaan input produksi. Elastisitas bahan baku setelah kenaikan harga BBM bernilai antara nol dan satu (0 ≤ 0,557 ≤ 1), yang berarti bahwa penggunaan bahan baku terletak pada daerah II dalam kurva fungsi produksi (daerah rasional). Kondisi ini menunjukkan bahwa penggunaan bahan baku dalam fungsi produksi sudah efisien namun masih dapat ditingkatkan apabila UKM ingin meningkatkan jumlah produksi yang maksimal. Dari hasil perbandingan kedua fungsi produksi, terlihat bahwa elastisitas penggunaan bahan baku menurun setelah kenaikan harga BBM. Hal ini berarti tambahan output setiap penambahan satu satuan bahan baku semakin menurun setelah kenaikan harga BBM. Penurunan elastisitas ini dikarenakan penggunaan bahan baku lebih efisien setelah kenaikan harga BBM sehingga terjadi perubahan elastisitas bahan baku. b. Minyak Tanah Elastisitas minyak tanah setelah kenaikan harga BBM bernilai antara nol dan satu (0 ≤ 0,030 ≤ 1), yang berarti bahwa penggunaan minyak tanah terletak pada daerah
II dalam kurva fungsi produksi (daerah rasional). Kondisi ini
menunjukkan bahwa penggunaan minyak tanah dalam fungsi produksi sudah efisien namun masih dapat ditingkatkan apabila UKM ingin meningkatkan jumlah produksi yang maksimal. Dari hasil perbandingan kedua fungsi produksi, terlihat bahwa elastisitas pengunaan minyak tanah meningkat setelah kenaikan harga BBM, yang berarti tambahan output setiap penambahan satu satuan minyak tanah
semakin
meningkat setelah kenaikan harga BBM. Peningkatan elastisitas ini menunjukkan
terjadinya penggunaan minyak tanah yang lebih efisien setelah kenaikan harga BBM sehingga terjadi perubahan elastisitas minyak tanah. c. Kayu Bakar Elastisitas kayu bakar sebelum kenaikan harga BBM bernilai negatif (-0,069), yang berarti bahwa penggunaan bahan baku terletak pada daerah III dalam kurva fungsi produksi (daerah irasional). Hal ini menunjukkan penggunaan kayu bakar tidak efisien, sehingga UKM kerupuk harus mengurangi pemakaian kayu bakar untuk dapat meningkatkan hasil produksinya. Elastisitas kayu bakar setelah kenaikan harga BBM bernilai antara nol dan satu (0 ≤ 0,241 ≤ 1) yang berarti bahwa, penggunaan kayu bakar terletak pada daerah II dalam kurva fungsi produksi (daerah rasional). Kondisi ini menunjukkan bahwa penggunaan kayu bakar dalam fungsi produksi sudah efisien namun masih dapat ditingkatkan apabila UKM ingin meningkatkan jumlah produksi yang maksimal. Dari hasil perbandingan kedua fungsi produksi maka terlihat
bahwa
elastisitas penggunaan kayu bakar meningkat setelah kenaikan harga BBM, yang berarti tambahan output setiap penambahan satu satuan kayu bakar semakin meningkat setelah kenaikan harga BBM. Peningkatan elastisitas ini menunjukkan terjadinya penggunaan kayu bakar yang lebih efisiensi setelah kenaikan harga BBM sehingga terjadi perubahan elastisitas kayu bakar. d. Tenaga Kerja Elastisitas tenaga kerja setelah kenaikan harga BBM bernilai antara nol dan satu (0 ≤ 0,185 ≤ 1), yang berarti bahwa penggunaan tenaga kerja terletak pada daerah
II dalam kurva fungsi produksi (daerah rasional). Kondisi ini
menunjukkan bahwa penggunaan tenaga kerja dalam fungsi produksi sudah
efisien namun masih dapat ditingkatkan apabila UKM ingin meningkatkan jumlah produksi yang maksimal. Dari hasil perbandingan kedua fungsi produksi, terlihat bahwa elastisitas penggunaan tenaga kerja meningkat setelah kenaikan harga BBM, yang berarti tambahan output setiap penambahan satu satuan tenaga kerja semakin meningkat setelah kenaikan harga BBM. Peningkatan elastisitas ini menunjukkan terjadinya penggunaan tenaga kerja yang lebih efisiensi setelah kenaikan harga BBM sehingga terjadi perubahan elastisitas tenaga kerja.
7.3.2. Analisis Efisiensi Alokasi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Untuk melihat tingkat efisiensi alokasi penggunan faktor-faktor produksi dapat dilihat dari rasio nilai produk marginal (NPM) dengan biaya korbanan marginal (BKM) per periode produksi. Pada kondisi sebelum kenaikan harga BBM, analisis efisiensi dilakukan pada faktor produksi bahan baku dan kayu bakar sedangakan pada kondisi setelah kenaikan harga BBM analisis efisiensi dilakukan pada semua faktor produksi yaitu bahan baku, minyak tanah, kayu bakar dan tenaga kerja. Sebelum kenaikan harga BBM, UKM kerupuk memiliki rata-rata kapasitas produksi kerupuk per bulan sebesar 6.964,756 kg dengan harga jual rata-rata Rp 6.344,00 per kg. Penggunaan rata-rata bahan baku per bulan adalah 7.126,994 kg dan penggunaan rata-rata kayu bakar per bulan adalah 96,512 m3. Harga ratarata bahan baku adalah Rp 25.818,00 per kg dan harga rata-rata kayu bakar adalah Rp 21.512,00 per m3. Tingkat efisiensi alokasi pengunaan faktor -faktor produksi UKM kerupuk sebelum kenaikan harga BBM dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Rasio NPM dan BKM UKM Kerupuk Sebelum Kenaikan Harga BBM di Kecamatan Cikoneng Faktor Produksi BB (kg) KB (m3)
Penggunaan Koefisien NPM Rata - Rata Input Regresi 7.126,994 1,032 6.396,955 96,512 - 0,069 -31.584,048
BKM 25.818 21.512
NPM / BKM 0,248 -1,470
Penggunaan Input Optimal 1.765,843 -
Bahan baku memiliki NPM sebesar 6.396,955 yang berarti, setiap penambahan penggunaan satu kilogram bahan baku akan memberikan tambahan penerimaan sebesar Rp 6.396,955,00. Rasio NPM dan BKM diperoleh sebesar 0,248 dengan harga rata-rata bahan baku sebesar Rp 25.818,00 per kg dan koefisien regresi sebesar 1,032. Rasio NPM dan BKM bahan baku yang kurang dari satu (0,248 < 1) menunjukkan bahwa, tambahan biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku melebihi tambahan penerimaan yang didapat. Penggunaan bahan baku dalam produksi kerupuk yang melebihi batas optimal ini disebabkan oleh kurangnya kualitas SDM dalam mengatur penggunaan bahan baku. Hal ini bisa terlihat dari pengaturan jam kerja tenaga kerja yang tidak teratur. Untuk mecapai kondisi efisien maka penggunaan bahan baku harus dikurangi sebesar 5.361,151 kg menjadi 1.765,843 kg. Namun adanya kendala sistem manajemen usaha yang tidak teratur dan kualitas sumber daya manusia yang kurang menyebabkan upaya untuk membuat bahan baku menjadi efisien sulit dilakukan. Oleh karena itu diperlukan adanya pelatihan dan pengawasan terhadap UKM kerupuk. Kayu bakar memiliki NPM sebesar -31.584,048 yang berarti, setiap penambahan penggunaan satu meter kubik kayu bakar akan menurunkan penerimaan sebesar Rp 31.584,048,00. Rasio NPM dan BKM diperoleh sebesar -1,470 dengan harga rata-rata kayu bakar sebesar Rp 21.512,00 per m3 dan
koefisien regresi sebesar -0,069. Rasio NPM dan BKM kayu bakar memiliki nilai negatif yang disebabkan oleh elastisitas produksi (kefisien regresi) yang negatif. Kayu bakar memiliki elastisitas yang negatif karena penggunaan kayu bakar di daerah penelitian berlebih yang disebabkan oleh harga kayu bakar sebelum kenaikan harga BBM masih murah sehingga terjadi pemborosan dalam penggunaan kayu bakar. Hal ini mengakibatkan penggunaan faktor produksi pada tingkat efisiensinya tidak dapat diramalkan secara tepat. Sebab secara teori apabila nilai NPM negatif, maka NPMxi ≠ Pxi sehingga syarat keharusan untuk mencapai tingkat efisien dalam penggunaan faktor produksi tidak terpenuhi. Nilai elastisitas produksi kayu bakar menggambarkan pemakaian faktor produksi tersebut berada pada daerah irrasional. Oleh karena itu, untuk mencapai tingkat efisien dapat diduga penggunaan kayu bakar harus dikurangi. Kondisi UKM kerupuk setelah kenaikan harga BBM memiliki rata-rata kapasitas produksi kerupuk per bulan adalah 7.272,488 kg dengan harga jual ratarata Rp 7.202,00. Penggunaan rata-rata bahan baku per bulan adalah 7.175,939 kg, minyak tanah adalah 340,945 liter, kayu bakar adalah 107,659 m3 dan tenaga kerja adalah 10.047,39 jam kerja. Harga rata-rata bahan baku adalah Rp 32.201,00 per kg, minyak tanah adalah Rp 2.273, 00 per liter, kayu bakar adalah Rp 23.620,00 per m3 dan tenaga kerja adalah Rp 800, 00 per jam kerja. Tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi UKM kerupuk setelah kenaikan harga BBM dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25. Rasio NPM dan BKM UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng Setelah Kenaikan Harga BBM Faktor Produksi BB (kg) MT (liter) KB (m3) TK (jam)
Penggunaan Koefisien Rata - Rata Input Regresi 7.175,939 0,557 340,945 0,030 107,659 0,241 10.047,390 0,185
NPM
BKM
4.065,735 4.608,924 117.254,442 964,453
32.201 2.273 23.620 800
NPM/ Penggunaan BKM Input Optimal 0,126 906,04 2,028 691,28 4,964 534,45 1,205 12.109,78
Bahan baku memiliki NPM sebesar 4.065,735 yang berarti, setiap penambahan penggunaan satu kilogram bahan baku akan memberikan tambahan penerimaan sebesar Rp 4.065,735,00. Rasio NPM dan BKM diperoleh sebesar 0,126 dengan harga rata-rata bahan baku sebesar Rp 32.201,00 per kg dan koefisien regresi sebesar 0,557. Rasio NPM dan BKM bahan baku yang kurang dari satu (0,126 < 1) menunjukkan bahwa, tambahan biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku melebihi tambahan penerimaan yang didapat. Penggunaan bahan baku dalam produksi kerupuk yang melebihi batas optimal ini disebabkan oleh kurangnya kualitas SDM dalam mengatur penggunaan bahan baku. Hal ini bisa terlihat dari pengaturan jam kerja tenaga kerja yang tidak teratur. Untuk mecapai kondisi efisien maka penggunaan bahan baku harus dikurangi sebesar 6.269,90 kg menjadi 906,04 kg. Namun adanya kendala sistem manajemen usaha yang tidak teratur dan kualitas sumber daya manusia yang kurang menyebabkan upaya untuk membuat bahan baku menjadi efisien sulit dilakukan. Oleh karena itu diperlukan adanya pelatihan dan pengawasan terhadap UKM kerupuk. Minyak tanah memiliki NPM sebesar 4.608,924 yang berarti, setiap penambahan penggunaan satu liter minyak tanah akan memberikan tambahan penerimaan sebesar Rp 4.608,924,00. Rasio NPM dan BKM diperoleh sebesar 2,028 dengan harga rata-rata minyak tanah sebesar Rp 2.273,00 per liter dan
koefisien regresi sebesar 0,030. Rasio NPM dan BKM minyak tanah yang lebih dari satu (2,028 > 1) menunjukkan bahwa, tambahan penerimaan yang didapatkan lebih besar dari pada tambahan biaya yang harus dikeluarkan. Penggunaan minyak tanah dalam produksi kerupuk yang masih kurang dari batas optimal ini disebabkan oleh daya beli UKM yang rendah akibat adanya kenaikan harga minyak tanah, terjadinya kelangkaan akibat adanya konversi minyak tanah ke gas dan adanya barang substitusi. Untuk mencapai kondisi efisien maka penggunaan minyak tanah dapat ditambah sebesar 350,33 liter menjadi 691,28 liter. Kondisi ini tidak sesuai dengan pengurangan jumlah bahan baku pada kondisi optimal, karena pengurangan penggunaan bahan baku seharusnya dapat mengurangi jumlah minyak tanah yang digunakan sebagai bahan bakar. Semakin sedikit bahan baku yang diproduksi, maka minyak tanah yang dibutuhkan semakin sedikit. Kondisi optimal minyak tanah yang membutuhkan penambahan juga tidak sesuai dengan kenaikan harga minyak tanah, dari Rp 1.450 per liter pada tahun 2005 menjadi Rp 2.300 per liter pada bulan Mei 2008. Penambahan minyak tanah akan mengakibatkan peningkatan biaya yang sangat besar, sehingga akan merugikan UKM kerupuk. Oleh karena itu, dibutuhkan teknologi yang mampu menerapkan penghematan bahan bakar. Kayu bakar memiliki NPM sebesar 117.254,442 yang berarti, setiap penambahan penggunaan satu meter kubik kayu bakar akan memberikan tambahan penerimaan sebesar Rp 117.254,442,00. Rasio NPM dan BKM diperoleh sebesar 4,964 dengan harga rata-rata kayu bakar sebesar Rp 23.620,00 per m3 dan koefisien regresi sebesar 0,241. Rasio NPM dan BKM kayu bakar yang lebih dari satu (4,964 > 1) menunjukkan bahwa, tambahan penerimaan yang
didapatkan lebih besar dari pada tambahan biaya yang harus dikeluarkan. Penggunaan kayu bakar dalam produksi kerupuk yang masih kurang dari batas optimal ini disebabkan oleh daya beli UKM yang rendah akibat adanya kenaikan harga kayu bakar. Kenaikan harga kayu bakar ini disebabkan oleh kayu bakar sebagai substitusi minyak tanah akibat kenaikan harga BBM menyebabkan permintaan kayu bakar meningkat yang menyebabkan harga kayu bakar meningkat. Sehingga secara agregat permintaan terhadap kayu bakar akan berkurang kembali. Untuk mecapai kondisi efisien maka penggunaan kayu bakar dapat ditambah sebesar 426,79 meter kubik menjadi 534,45 meter kubik. Kondisi ini tidak sesuai dengan pengurangan jumlah bahan baku pada kondisi optimal, karena pengurangan penggunaan bahan baku seharusnya dapat mengurangi jumlah kayu bakar yang digunakan. Semakin sedikit bahan baku yang diproduksi, maka kayu bakar yang dibutuhkan semakin sedikit. Kondisi optimal kayu bakar yang membutuhkan penambahan juga tidak sesuai dengan kenaikan harga kayu bakar dari Rp 21.512,00 per m3 pada tahun 2005 menjadi Rp 23.620,00 per m3 pada bulan Mei 2008. Penambahan kayu bakar akan mengakibatkan peningkatan biaya yang sangat besar, sehingga akan merugikan UKM kerupuk. Oleh karena itu, dibutuhkan teknologi yang mampu menerapkan penghematan bahan bakar. Tenaga kerja memiliki NPM sebesar 964,453 yang berarti, setiap penambahan penggunaan satu jam kerja akan memberikan tambahan penerimaan sebesar Rp 964,453,00. Rasio NPM dan BKM diperoleh sebesar 1,205 dengan harga rata-rata tenaga kerja sebesar Rp 800,00 per jam kerja dan koefisien regresi sebesar 0,185. Rasio NPM dan BKM tenaga kerja yang lebih dari satu (1,205 > 1) menunjukkan bahwa, tambahan penerimaan yang didapatkan lebih besar dari pada
tambahan biaya yang harus dikeluarkan. Penggunaan tenaga kerja dalam produksi kerupuk yang masih kurang dari batas optimal ini disebabkan oleh upah tenaga kerja yang rendah dan adanya arus urbanisasi ke kota sehingga penawaran tenaga kerja rendah. Untuk mecapai kondisi efisien maka penggunaan jam kerja dapat ditambah sebesar 2.062,39 jam kerja menjadi 12.109,78 jam kerja. Kondisi ini tidak sesuai dengan pengurangan jumlah bahan baku pada kondisi optimal, karena pengurangan penggunaan bahan baku seharusnya dapat mengurangi jumlah tenaga kerja yang digunakan. Semakin sedikit bahan baku yang diproduksi, maka tenaga kerja yang dibutuhkan semakin sedikit. Kondisi optimal tenaga kerja yang membutuhkan penambahan juga tidak sesuai dengan kenaikan upah tenaga kerja. Penambahan tenaga kerja akan mengakibatkan peningkatan biaya yang sangat besar, sehingga akan merugikan UKM kerupuk. Oleh karena itu diperlukan mesin pengolahan kerupuk yang lebih modern agar mampu meningkatkan produktivitas kerupuk. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dibandingakn kondisi sebelum dan sesudah kenaikan BBM pada variabel bahan baku dan kayu bakar. Penggunaan bahan baku lebih efisien sebelum kenaikan harga BBM, sedangkan penggunaan kayu bakar lebih efisien setelah kenaikan harga BBM. Rasio NPM dan BKM bahan baku sebelum kenaikan harga BBM adalah sebesar 0,248 berubah menjadi 0,126 setelah kenaikan harga BBM. Hal ini menunjukkan bahwa setelah keanikan harga BBM, penggunaan input bahan baku kurang efisien dibandingkan setelah kenaikan harga BBM. Hal ini dikarenakan sebelum kenaikan harga BBM, banyaknya jumlah UKM kerupuk menyebabkan persaingan dalam memasarkan kerupuk sangat tinggi sehingga untuk memasarkan
produksinya UKM bersaing di kualitas kerupuk. Hal ini yang menyebabkan pelaku UKM lebih mengontrol bahan baku agar dapat menghasilkan kerupuk yang berkualitas tinggi. Sedangkan setelah kenaikan harga BBM, banyak UKM yang gulung tikar sehingga secara otomatis pasar UKM yang gulung tikar berpindah ke UKM yang masih bertahan. Hal ini menyebabkan UKM tidak ladi bersaing dalam masalah kualitas produk. Oleh karena itu, tidak begitu memperhatikan masalah kualitas produk sehingga UKM tidak lagi fokus untuk mengontrol penggunaan bahan baku. Hal ini menyebabkan adanya bahan baku yang terbuang yaitu sering kali ditemukan sisa bahan baku tepung tapioka yang masih tersisa pada karung tepung. Rasio NPM dan BKM kayu bakar sebelum kenaikan harga BBM adalah sebesar -1,470, berubah menjadi 4,964 setelah kenaikan harga BBM. Hal ini menunjukkan bahwa variabel bahan baku lebih efisien setelah kenaikan harga BBM. Sebelum kenaikan harga BBM penggunaan kayu bakar berlebih, sehingga perlu pengurangan variabel kayu bakar. Berlebihnya penggunan kayu bakar disebabkan karena harga kayu bakar sebelum kenaikan harga BBM masih murah sehingga terjadi pemborosan dalam penggunaan kayu bakar. Namun setelah kenaikan harga BBM variabel kayu bakar menjadi lebih mahal dikarenakan UKM mensubsitusi sebagian variabel minyak tanah dengan menggunakan kayu bakar. Oleh karena itu diperlukan adanya teknologi yang mampu menerapkan penghematan bahan bakar. Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahan baku setelah kenaikan harga BBM menjadi kurang efisien dibandingkan setelah kenaikan harga BBM. Variabel minyak tanah dan tenaga kerja sebelum kenaikan
harga BBM tidak berpengaruh nyata sehingga tidak dilakukan analisis efisiensi pada variabel tersebut. Penggunaan bahan baku melebihi batas optimal untuk mencapai kondisi efisien sehingga penggunaan bahan baku perlu dikurangi, sedangakan kayu bakar bernilai negatif sehingga tingkat efisiensinya tidak dapat diramalkan dengan pasti namun diduga penggunaan kayu bakar harus dikurangi agar lebih efisien. Setelah kenaikan harga BBM, penggunaan bahan baku melebihi batas optimal untuk mencapai kondisi efisien sehingga penggunaan bahan baku harus dikurangi untuk mencapai kondisi efisien. Penggunaan minyak tanah, kayu bakar dan tenaga kerja masih kurang dari batas optimal untuk mencapai kondisi efisien sehingga perlu penambahan minyak tanah dan tenaga kerja agar lebih efisien. Oleh karena itu UKM diharapkan dapat mengatur penggunaan faktor produksi agar mencapai kondisi yang efisien (NPM=BKM).
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Keuntungan UKM kerupuk semakin berkurang setelah kenaikan harga BBM, terlihat dari nilai rasio R/C yang menurun setelah kenaikan harga BBM 2. Berdasarkan uji beda dua rataan jumlah input tepung tapoika, garam, minyak tanah, kayu bakar dan jam kerja tenaga kerja meningakt setelah kenaikan harga BBM. Sedangkan jumlah pemakaian bawang putih, penyedap rasa dan bahan baku pembantu menurun setelah kenaikan harga BBM. Biaya untuk input produksi mengalami peningkatan untuk semua variabel. jumlah output kerupuk yang dihasilkan, total pengeluaran produksi kerupuk dan total penerimaan hasil penjualan meningkat, namun pendapatan yang diterima UKM menurun setelah kenaikan harga BBM. 3. Pada efisiensi teknis, terjadi perubahan elastisitas faktor produksi menjadi lebih efisien. Pada efisiensi alokasi penggunaan faktor-faktor produksi, belum ada variabel yang efisien. Sebelum kenaikan harga BBM rasio NPM dan BKM bahan baku kurang dari satu, untuk mencapai kondisi efisien maka penggunaan variabel tersebut harus dikurangi. Sedangkan rasio NPM dan BKM kayu bakar bernilai negatif sehingga tingkat efisiensinya tidak dapat diramalkan secara tepat. Setelah kenaikan harga BBM rasio NPM dan BKM bahan baku kurang dari satu, sehingga perlu pengurangan bahan baku agar efisien. Sedangkan untuk variabel minyak tanah, kayu bakar, dan tenaga kerja rasio NPM dan BKM lebih dari satu, sehingga untuk mencapai kondisi efisien
maka penggunaan variabel tersebut harus ditambah. Variabel bahan baku lebih efisien sebelum kenaikan harga BBM, sedangkan variabel kayu bakar lebih efisien setelah kenaikan harga BBM.
8.2 1.
Saran Perlu adanya pelatihan dan pengawasan terhadap UKM kerupuk agar UKM dapat mengatur manajeman usaha untuk meningkatkan keuntungan dengan mengatur faktor-faktor produksi lebih efisien.
2.
Untuk mengatasi masalah harga bahan bakar yang tinggi, dibutuhkan teknologi yang mampu menerapkan penghematan bahan bakar dan juga dibutuhkan adanya bantuan modal usaha.
3.
Untuk lebih mengoptimalkan produksi sebaiknya mulai ada pengenalan penggantian mesin pencetak kerupuk yang lebih modern agar dapat menghasilkan output dalam jumlah yang lebih banyak dan lebih efisien.
4.
Penelitian ini dilakukan hanya pada UKM kerupuk yang mengolah bahan baku menjadi bahan setengah jadi (kerupuk mentah) sebaiknya diadakan penelitian pada UKM kerupuk yang mengolah bahan setengah jadi menjadi kerupuk yang siap untuk dikonsumsi.
5.
Penelitian pengaruh kenaikan harga BBM terhadap UKM telah dilakukan pada waktu beberapa bulan setelah kenaikan harga BBM dan menjelang kenaikan harga BBM, yaitu pada kondisi harga yang berfluktuasi tinggi. Sebaiknya dilakukan penelitian pada kondisi dimana UKM telah mengalami penyesuaian terhadap kenaikan harga BBM (kondisi stabil).
DAFTAR PUSTAKA
Adi, M. K. 2007. Analisis Usaha Kecil dan Menengah. Yogyakarta : Andi Offset. Anggreani, Y. H. 2006. Analisis Efektifitas Kredit Usaha kecil dan Menengah : Kasus Nasabah Binaul Ummah Kelurahan Pamoyanan Bogor [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. [Anonim]. 2006. Pengkajian Peningkatan Daya Saing UKM yang Berbasis Perkembangan Ekonomi Lokal. Jurnal Pengkajian Koperasi, 1 : 2. BPS dengan Kementrian Koperasi dan UKM. 2007. Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil dan Menengah Tahun 2003-2007. Jakarta. Dinas Kependudukan dan Pemberdayaan Masyarakat Kecamatan Cikoneng. 2008. Laporan Bulanan Dinas Kependudukan dan Pemberdayaan Masyarakat Kecamatan Cikoneng Bulan Juni 2008. Ciamis. Dinas Perdagangan dan Perekonomian Masyarakat Kecamatan Cikoneng, 2008. Laporan Tahunan Dinas Perdagangan dan Perekonomian Masyarakat Kecamatan Cikoneng Tahun 2008. Ciamis. Dixon, J. W. dan F. J. Massey. 1991. Pengantar Analisis Statistik. Samiyino S. K. [Penerjemah]. Soejati [Editor]. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Terjamahan dari : Introduction to Statistical Analisys. Djunaedi, E. E. 2005. Pengaruh Kenaikan Harga BBM terhadap Inflasi Dua Kota Besar di Pulau Jawa [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Doll, J. P. dan Orazem. 1984. Production Economics Theory with Applications Second Edition. John Wiley and Sons, Inc. Singapore. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain S. [Penerjemah]. Hutauruk G. [Editor]. Jakarta : Erlangga. Terjamahan dari : Basic Econometrics. Hadaina, H. 2005. Analisis Pendapatan Industri Kecil Kirai : Kasus di Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Hafsah, M. J. 2004. Upaya Mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah. Jurnal Industri Koperasi, 20 : 25. Peter, H. 1990. Statistik Nonparametrik. Sayuti Z. et al. [Penerjemah]. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari : Nonparametric Statistics for the behavioral Sciences.
Iftaudin. 2005. Kajian Kemitraan dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Usaha Tani dan Efisiensi Penggunaan Input : Kasus Desa Banjar Panji Kabupaten Sidoarjo [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Inayati, H. 2006. Dampak Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Pendapatan dan Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Supir Angkot serta Usaha Angkot di Kota Bogor : Kasus Trayek 03 Jurusan Baranang Siang-Bubulak [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Irawati, V. 2007. Pengaruh Modal dan Tenaga Kerja terhadap Kinerja Industri Kecil dan Menengah di Indonesia Periode 2000-2005 [Skripsi]. Depok : Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Juanda B. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. Bogor : IPB Press. Kusuma, A. K. 2007. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Penggunaan FaktorFaktor Produksi Peternak Probiotik dan Non Probiotik pada Usaha Ternak Ayam Ras Pedagang [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Lipsey, et al. 1995. Pengantar Mikro Ekonomi. Wasana A. J. dan Kirbandoko, [Penerjemah]. Jakarta : Bina Aksara. Terjemahan dari : Economics 10th ed. Malik, F. 2008. Perbedaan Pengaruh Antara Industri Kecil dan Menengah Orientasi Ekspor dan Non Ekspor terhadap Output Produksi IKM di Yogyakarta [Skripsi]. Depok : Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Mankiw, N. G. 2000. Pengantar Ekonomi. Munandar H. [Penerjemah]. Sumihari dan Kristiaji W. C. [Editor]. Jakarta : Erlangga. Terjemahan dari : Principles of Economic. Nugroho, C. W. 2006. Analisis Pengaruh Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Tingkat Inflasi di Indonesia [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Nurlatifah, F. 2006. Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Pendapatan Usaha Pengrajin Tempe : Kasus Anggota Koperasi Primer Tahu Tempe Kelurahan Cilendek Timur, Kotamadya Bogor [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Pangastuti, A. S. 2006. Analisis Dampak Penurunan Subsidi BBM terhadap Industri Tahu Skala Kecil : Kasus di Kecamatan Cibungbulang dan Parung, Bogor [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pemerintahan Kecamatan Cikoneng. 2007. Profil Wilayah Kecamtan Cikoneng Tahun 2007. Ciamis. PERTAMINA. 2008. Perkembangan Harga BBM Tahun 1965-2008. Jakarta.
Rachmanto, B. 2008. UKM dan Daya Saing Nasional. Jakarta : myrmnews. Rahmadani, A. 2007. Dampak Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga : Kasus Rumah Tangga Pengojeg Pengguna Kredit Motor [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Santoso, A. 2008. Strategi Pengembangan Bisnis Usaha Kecil dan Menengah : Kasus UKM Kambing Desa Cikarawang, Dramaga, Bogor [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Soekartawi, et.al. 1986. Ilmu Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Taylor C. R. et al. 1994. Ekonomi Produksi. Josohardjono S. [Penerjemah]. Sumodiningrat G. [Editor]. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Terjemahan dari : The Economic of Production.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Harga Faktor Produksi dan Biaya Aktivitas Produksi Kerupuk di Kecamatan Cikoneng Sebelum Kenaikan Harga BBM
No.
Nama Responden
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Entin K. Aan Dahman Ati Saidi Apep Ulung Suganda Iwan Farid Momo W. Fatimah Nur Solihin E. Aef Jumri Sugono Okan Farid Ood Sapri
Biaya Pembelian Bahan Baku (Rp) TT BP GR PR BBP 3.000 3.000 600 12.000 3.000 3.000 3.000 650 12.500 14.000 3.400 3.000 600 12.500 4.000 3.400 3.000 600 12.500 4.000 3.600 15.000 600 12.000 14.000 3.500 8.000 800 8.000 4.000 3.500 8.000 700 8.000 3.000 3.600 4.500 700 13.000 8.000 3.000 3.500 800 8.000 7.000 2.500 8.000 500 16.000 5.500 3.500 8.000 600 14.000 12.000 3.000 5.000 500 8.000 3.500 3.000 8.000 600 10.000 5.000 2.500 8.000 600 8.000 3.000 3.500 8.000 600 9.000 3.000 2.800 5.000 600 8.000 5.000 2.500 8.000 600 7.000 6.000 2.800 5.000 700 8.000 4.000 3.000 10.000 500 16.000 5.500 3.500 5.000 700 10.000 5.000 3.400 3.600 600 13.000 4.000
Biaya Pengolahan (Rp) MT KB Upah 1.500 160.000 187.500 1.400 160.000 450.000 1.550 120.000 431.295 1.500 160.000 480.000 1.450 160.000 546.000 1.500 160.000 835.800 1.500 160.000 210.000 1.450 165.000 327.700 1.450 160.000 650.000 1.450 160.000 350.000 1.400 165.000 487.500 1.500 165.000 182.000 1.500 170.000 150.000 1.450 160.000 546.000 1.450 175.000 780.000 1.400 165.000 390.000 1.500 165.000 156.000 1.500 160.000 260.000 1.450 170.000 250.000 1.450 150.000 445.700 1.450 160.000 166.200
B. Penjualan (Rp) Transport
5.000 8.000 6.000 8.000 7.000 8.000 7.500 8.500 8.000 8.000 6.500 8.000 8.500 7.500 5.000
Biaya Diperhitungkan (Rp) Listrik Sewa Penyusutan 20.000 25.000 10.000 10.000 30.000 20.000 40.000 100.000 20.000 3.500 25.000 15.000 1.700 15.000 15.000 20.000 40.000 15.000 2.500 150.000 40.000 2.000 17.000 10.000 2.000 25.000 20.000 20.000 25.000 20.000 4.000 30.000 10.000 3.500 100.000 50.000 16.700 150.000 30.000 2.500 20.000 20.000 10.000 100.000 25.000 2.000 10.000 10.000 4.000 30.000 15.000 1.500 20.000 20.000 4.000 30.000 15.000 20.000 209.000 20.000 PBB 3.000 3.000 1.300
Lanjutan lampiran 1. No. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41.
Nama Responden Upen Yaya Budi Komar Suardi Warman Budi Rudi Jaja Wardi Rusdi Aang Budi wardi Enceng Dahman Sopian Ruslan Rusman Jaja rata - rata
Biaya Pembelian Bahan Baku (Rp) Biaya Pengolahan (Rp) TT BP GR PR BBP MT KB Upah 3.400 3.500 700 13.000 5.000 1.500 165.000 320.600 3.900 3.000 700 13.000 4.000 1.500 160.000 569.600 3.500 6.000 600 14.000 5.000 1.500 175.000 1.300.000 3.300 5.500 700 13.000 3.000 1.450 160.000 416.000 3.600 6.000 600 12.000 4.500 1.450 160.000 936.000 3.200 6.000 700 12.000 5.000 1.450 160.000 371.500 3.500 5.000 600 11.000 4.000 1.500 160.000 520.000 3.500 7.000 700 10.000 5.000 1.500 160.000 286.000 3.400 4.000 700 10.000 5.000 1.400 165.000 520.000 3.500 7.000 800 10.000 3.000 1.400 160.000 437.700 3.200 6.000 700 11.000 4.500 1.450 160.000 936.000 3.600 5.500 700 10.000 4.000 1.450 160.000 663.000 3.500 5.000 600 10.000 5.000 1.500 160.000 741.000 3.500 5.000 600 10.000 3.000 1.500 160.000 565.500 3.600 6.000 700 11.000 3.500 1.450 160.000 1.001.000 3.500 4.500 700 12.000 3.500 1.450 175.000 442.000 3.600 6.000 700 10.000 3.500 1.450 160.000 689.000 3.600 5.000 600 11.000 5.000 1.500 160.000 780.000 3.300 5.000 600 11.000 3.000 1.500 160.000 760.000 3.800 7.000 600 10.000 5.000 1.500 165.000 650.000 3.317,1 5.868,3 645,1 10.963,4 5.024,4 1.468,3 161.341.5 516.746,2
Keterangan : TT : Tepung terigu BP : Bawang Putih
GR : Garam PR : Penyedap rasa
B. Penjualan (Rp) Transport 10.000 8.000 8.000 8.000 8.000 5.000 8.000 12.000 8.000 5.000 8.500 8.000 8.000 8.000 8.000 8.000 8.000 7.000 8.000 7.000 7.657,1
BBP : Bahan Baku Pembantu MT : Minyak tanah
Biaya Diperhitungkan (Rp) Listrik Sewa Penyusutan 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 166.700 15.000 4.000 10.000 15.000 3.500 10.000 10.000 2.000 10.000 10.000 5.000 10.000 15.000 10.000 15.000 20.000 76.700 10.000 76.700 15.000 5.000 10.000 20.000 1.500 10.000 15.000 2.500 15.000 20.000 7.000 15.000 20.000 2.100 10.000 10.000 3.000 20.000 10.000 5.000 10.000 20.000 3.000 10.000 10.000 1.500 10.000 15.000 2.000 15.000 10.000 3.000 20.000 20.000 7.474 28.707 138.100 17.927 PBB 20.000 20.000
KB : Kayu bakar TK : Tenaga kerja
Lampiran 2. Harga Faktor Produksi dan Biaya Aktivitas Produksi Kerupuk di Kecamatan Cikoneng Setelah Kenaikan Harga BBM
No.
Nama Responden
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Entin K. Aan Dahman Ati Saidi Apep Ulung Suganda Iwan Farid Momo W. Fatimah Nur Solihin E. Aef Jumri Sugono Okan Farid Ood Sapri
Biaya Pembelian Bahan Baku (Rp) TT BP GR PR BBP 4.500 5.500 700 15.000 3.000 4.800 5.500 1.000 16.000 20.000 4.800 5.000 700 14.000 5.000 4.800 5.000 700 14.000 5.000 4.800 15.000 700 15.000 14.000 5.000 10.000 1.000 15.000 4.000 4.800 10.000 1.000 15.000 4.000 4.900 4.500 750 15.500 10.000 5.000 4.500 1.000 14.000 7.500 5.000 9.000 700 24.000 7.500 4.900 8.000 800 15.000 12.000 4.800 9.000 1.000 10.000 7.000 4.200 5.000 700 10.000 5.000 4.600 10.000 800 14.000 4.000 4.500 13.000 1.000 15.000 4.000 4.500 5.000 900 11.000 12.500 5.000 8.000 700 10.000 7.000 4.700 6.000 800 15.000 6.000 4.500 10.000 700 17.000 6.000 4.700 6.000 800 15.000 6.000 4.200 4.000 800 10.000 5.000
Biaya Pengolahan (Rp) MT KB Upah 2.300 200.000 312.500 2.300 200.000 234.375 2.300 170.000 549.059 2.300 175.000 480.000 2.300 180.000 546.000 2.300 175.000 563.300 2.400 175.000 360.000 2.300 185.000 705.700 2.250 175.000 650.000 2.250 175.000 410.000 2.200 180.000 487.500 2.200 180.000 390.000 2.300 170.000 270.000 2.300 175.000 585.000 2.350 175.000 572.000 2.300 180.000 468.000 2.300 175.000 312.000 2.300 170.000 151.700 2.200 190.000 370.000 2.200 170.000 260.000 2.200 175.000 361.000
B. Penjualan (Rp) Transport
7.000 10.000 8.000 10.000 10.000 10.000 10.000 13.000 10.000 10.000 9.000 10.000 12.000 10.000 7.500
Biaya Diperhitungkan (Rp) Listrik Sewa Penyusutan 20.000 25.000 15.000 20.000 50.000 20.000 40.000 100.000 20.000 3.500 25.000 15.000 1.700 15.000 15.000 20.000 40.000 15.000 2.500 210.000 50.000 2.000 17.000 10.000 2.000 30.000 20.000 30.000 250.000 20.000 4.000 40.000 10.000 3.500 30.000 100.000 16.700 100.000 20.000 2.500 20.000 20.000 10.000 140.000 15.000 2.000 20.000 15.000 4.000 20.000 10.000 1.500 20.000 40.000 4.000 10.000 10.000 20.000 209.000 20.000 PBB 3.000 3.000 1.300
Lanjutan lampiran 2. No.
Nama Responden
22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41.
Upen Yaya Budi Komar Suardi Warman Budi Rudi Jaja Wardi Rusdi Aang Budi wardi Enceng Dahman Sopian Ruslan Rusman Jaja rata - rata
Biaya Pembelian Bahan Baku (Rp) TT BP GR PR BBP 4.200 4.000 800 10.000 6.000 4.500 4.000 900 15.000 5.500 4.500 6.000 800 15.000 9.000 4.500 5.500 900 14.500 4.500 4.000 6.000 600 14.000 5.000 4.800 7.000 1.000 14.000 6.000 4.700 6.000 1.000 14.000 5.500 4.800 8.500 900 14.000 6.500 4.500 4.000 900 13.000 6.000 4.000 4.000 700 10.000 4.500 4.500 7.000 900 13.000 7.000 4.700 6.000 900 11.000 5.000 4.700 6.000 900 13.000 6.000 4.500 5.000 800 11.000 4.000 4.500 6.000 900 13.000 4.500 4.800 5.000 900 14.000 5.000 4.300 6.000 900 12.000 5.000 4.500 6.000 800 13.000 6.000 4.600 6.000 800 13.000 4.000 4.800 7.000 800 12.000 6.000 4.619,5
6.658,5
Keterangan : TT : Tepung terigu BP : Bawang Putih
Biaya Pengolahan (Rp) MT KB Upah 2.250 175.000 812.500 2.250 175.000 812.500 2.300 165.000 936.000 2.300 175.000 788.700 2.300 175.000 591.500 2.300 175.000 752.200 2.250 175.000 656.000 2.250 180.000 442.000 2.250 180.000 599.500 2.250 170.000 682.500 2.300 175.000 533.000 2.200 175.000 910.000 2.200 175.000 877.500 2.300 175.000 160.000 2.250 175.000 913.250 2.250 160.000 455.000 2.300 170.000 528.700 2.300 175.000 676.000 2.300 175.000 760.000 2.250 175.000 715.000
837,8 13.609,8 6.475,6 2.273,2 176.219,5 55.2194,7
GR : Garam PR : Penyedap rasa
B. Penjualan (Rp) Transport 15.000 12.000 10.000 10.000 10.000 8.000 10.000 15.000 10.000 8.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 8.500 8.000 9.000 10.000
BBP : Bahan Baku Pembantu MT : Minyak tanah
Biaya Diperhitungkan (Rp) Listrik Sewa Penyusutan 40.000 25.000 60.000 30.000 20.000 166.700 20.000 4.000 20.000 20.000 3.500 10.000 10.000 2.000 10.000 10.000 5.000 20.000 20.000 10.000 25.000 25.000 36.000 76.700 20.000 5.000 20.000 35.000 1.500 10.000 10.000 2.500 20.000 20.000 7.000 20.000 20.000 2.100 10.000 10.000 3.000 10.000 10.000 5.000 40.000 25.000 3.000 10.000 10.000 1.500 15.000 15.000 2.000 10.000 20.000 3.000 20.000 20.000
PBB 20.000 20.000
5.202,8 3.2634,2 16.0480
KB : Kayu bakar TK : Tenaga kerja
21.097,6
Lampiran 3. Jumlah input produksi per hari UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng Sebelum Kenaikan Harga BBM Nama Responden 1 Entin K. 2 Aan 3 Dahman 4 Ati 5 Saidi 6 Apep 7 Ulung 8 Suganda 9 Iwan 10 farid 11 momo 12 Fatimah 13 Nur 14 Solihin 15 Aef 16 Jumri 17 Sugono 18 Okan 19 Farid 20 Ood 21 Sapri 22 Upen 23 Yaya 24 Budi 25 Komar 26 Suardi 27 Warman 28 Budi 29 Rudi 30 Jaja 31 Wardi 32 Rusdi 33 Aang 34 Budi 35 wardi 36 Enceng 37 Dahman 38 Sopian 39 Ruslan 40 Rusman 41 Jaja rata - rata Keterangan : TT : Tepung terigu BP : Bawang Putih No
TT (kg) 2.000 1.500 7.800 5.200 2.600 10.400 4.800 15.600 2.600 6.000 2.600 1.300 12.000 2.600 2.600 2.600 2.600 1.300 6.000 1.300 2.600 18.200 18.200 7.800 10.400 7.800 5.200 5.200 7.800 5.200 13.000 5.200 10.400 7.800 7.800 7.800 5.200 5.200 7.800 7.800 10.400 6.590,2
BP (kg) 24 15 67,5 52 13 52 48 26 26 30 52 26 240 39 13 26 13 13 60 13 26 182 409,5 78 208 117 78 104 156 52 195 104 156 78 78 156 78 104 117 78 156 86,8
GR (kg) 100 90 450 260 156 520 240 130 104 300 156 104 480 130 130 78 156 65 150 65 104 728 1.092 390 520 468 208 260 429 260 585 312 624 312 312 390 260 234 390 468 416 307,9
G : Garam PR : Penyedap rasa
PR (kg) 18 23 70 52 13 52 48 13 26 30 26 13 120 26 13 26 26 13 15 13 26 182 409,5 78 104 117 78 52 78 52 195 52 156 117 117 78 52 52 117 78 104 71,5
BBP (kg) 10 3,75 78 52 65 52 48 13 26 60 26 26 120 26 13 26 26 13 30 13 26 182 409,5 78 104 117 52 52 156 104 130 52 104 78 78 78 52 52 78 78 104 70,5
MT (liter) 80 60 300 260 200 520 320 1200 130 375 162.5 65 80 162.5 104 104 162.5 81.25 250 50 162.5 700 910 487.5 520 520 325 260 300 208 812.5 200 520 312 487.5 312 200 325 312 300 416 323,3
BBP : Bahan Baku Pembantu MT : Minyak tanah
KB (m3) 30 22,5 120 75 37,5 150 72 240 37,5 97,5 45 19,5 22,5 37,5 45 45 45 22,5 97,5 22,5 37,5 270 270 112,5 165 120 82,5 75 120 78 180 75 165 120 112,5 120 75 82,5 120 127,5 165 96,5
TK (Jam kerja) 1.872 1.664 3.978 3.042 1.100 4.420 3.744 6.552 1.560 4.050 2.080 1.872 5.000 2.184 1.300 1.872 1.404 1.248 4.050 1.092 2.106 7.280 6.006 2.600 3.432 3.432 1.820 2.080 3.120 1.404 2.028 2.340 2.860 2.288 2.288 2.288 3.042 2.106 2.730 2.704 3.120 2.808,7
KB : Kayu bakar TK : Tenaga kerja
Lampiran 4. Jumlah input produksi per hari UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng Setelah Kenaikan Harga BBM Nama TT BP GR PR BBP MT Responden (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (liter) 1 Entin K 1.200 18 60 18 6 50 2 Aan 3.000 30 180 45 7.5 120 3 Dahman 7.800 67,5 450 70 78 300 4 Ati 5.200 52 260 52 52 260 5 Saidi 2.600 13 156 13 6.5 200 6 Apep 18.200 91 910 91 91 910 7 Ulung 4.800 48 240 48 48 320 8 Suganda 15.600 26 130 13 13 1200 9 Iwan 2.600 26 104 26 26 130 10 farid 6.000 30 300 30 60 375 11 momo W. 2.600 52 156 26 26 162,5 12 Fatimah 2.600 52 208 26 52 130 13 Nur 3.000 60 120 30 30 200 14 Solihin E 7.800 117 390 78 78 520 15 Aef 3.900 19,5 195 19,5 19,5 162,5 16 Jumri 5.200 104 156 104 52 208 17 Sugono 1.300 6.5 78 13 13 81,25 18 Okan 3.900 39 195 39 39 243,75 19 Farid 6.000 60 150 15 30 250 20 Ood 3.900 39 195 39 39 150 21 Sapri 1.300 13 52 13 13 81,25 22 Upen 7.800 78 312 78 78 300 23 Yaya 10.400 156 624 156 156 520 24 Budi 13.000 130 650 130 130 812,5 25 Komar 5.200 104 260 52 52 260 26 Suardi 15.600 234 936 234 234 1040 27 Warman 2.600 39 104 39 26 162,5 28 Budi 5.200 104 260 52 52 260 29 Rudi 5.200 104 286 52 104 200 30 Jaja 5.200 52 260 52 104 208 31 Wardi 2.600 39 117 39 26 162,5 32 Rusdi 13.000 260 780 130 130 500 33 Aang 7.800 117 468 117 78 390 34 Budi 7.800 78 312 117 78 312 35 wardi 5.200 52 208 78 52 325 36 Enceng 10.400 208 520 104 104 416 37 Dahman 5.200 78 260 52 52 200 38 Sopian 7.800 156 351 78 78 520 39 Ruslan 13.000 195 650 195 130 520 40 Rusman 10.400 104 624 104 104 400 41 Jaja 10.400 156 416 104 104 416 rata - rata 6.641,5 83,1 319,1 67,6 64,7 340,9 Keterangan : TT : Tepung terigu GR: Garam BBP : Bahan Baku Pembantu BP : Bawang Putih PR : Penyedap rasa MT : Minyak tanah No
KB (m3) 23 53 120 90 45 285 78 248 42 99 41 42 49 124 59 84 21 62 99 62 21 134 172 214 83 253 43 84 83 84 42 215 126 129 83 165 84 126 210 165 172 107,7
TK Jam kerja 1.872 4.560 12.168 8.060 3.848 26.572 7.296 24.024 3.978 8.760 3.848 3.692 4.440 12.090 6.045 8.112 2.028 6.006 9.120 5.889 1.963 11.544 15.184 18.980 7.644 22.932 4.004 8.008 7.904 7.904 4.056 20.280 12.012 12.090 8.112 16.432 8.216 12.402 18.460 15.392 16.016 10.047,4
KB : Kayu bakar TK : Tenaga kerja
Lampiran 5. Total Penerimaan, Total Pengeluaran dan Pendapatan UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng Sebelum Kenaikan Harga BBM No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41.
Nama Responden Entin K Aan Dahman Ati Saidi Apep Ulung Suganda Iwan farid momo W. Fatimah Nur Solihin E Aef Jumri Sugono Okan Farid Ood Sapri Upen Yaya Budi Komar Suardi Warman Budi Rudi Jaja Wardi Rusdi Aang Budi wardi Enceng Dahman Sopian Ruslan Rusman Jaja rata - rata
Total Penerimaan (Rp) 14.300.000 10.140.000 47.736.000 34.320.000 17.160.000 70.304.000 31.824.000 105.456.000 17.238.000 37.800.000 17.576.000 8.788.000 85.680.000 19.448.000 18.033.600 18.033.600 17.576.000 8.619.000 39.600.000 9.295.000 18.590.000 120.120.000 111.384.000 52.728.000 65.769.600 55.770.000 37.180.000 34.476.000 51.105.600 32.136.000 87.035.000 34.476.000 63.648.000 52.728.000 52.728.000 49.327.200 32.136.000 37.180.000 51.480.000 47.736.000 74.360.000 44.177.389
Total Pengeluaran (Rp) 8.686.000 9.130.500 39.507.800 27.240.000 14.903.100 59.715.700 23.403.000 84.549.500 13.281.700 25.170.750 15.988.100 7.519.000 45.928.500 17.612.325 15.357.300 14.590.400 9.227.350 7.677.375 26.719.000 8.547.000 12.378.625 84.272.600 101.159.400 48.641.950 47.827.000 48.682.800 23.627.850 26.876.000 40.587.300 27.015.600 57.636.500 32.327.400 53.212.300 39.995.200 37.998.550 43.553.400 28.400.000 30.225.050 47.605.500 42.659.800 56.338.600 34.657.866
Pendapatan (Rp) 5.614.000 1.009.500 8.228.200 7.080.000 2.256.900 10.588.300 8.421.000 20.906.500 3.956.300 12.629.250 1.587.900 1.269.000 39.751.500 1.835.675 2.676.300 3.443.200 8.348.650 941.625 12.881.000 748.000 6.211.375 35.847.400 10.224.600 4.086.050 17.942.600 7.087.200 13.552.150 7.600.000 10.518.300 5.120.400 29.398.500 2.148.600 10.435.700 12.732.800 14.729.450 5.773.800 3.736.000 6.954.950 3.874.500 5.076.200 18.021.400 9.396.214
Lampiran 6. Total Penerimaan, Total Pengeluara dan Pendapatan UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng Setelah Kenaikan Harga BBM No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41.
Nama Responden Entin K Aan Dahman Ati Saidi Apep Ulung Suganda Iwan farid momo W. Fatimah Nur Solihin E Aef Jumri Sugono Okan Farid Ood Sapri Upen Yaya Budi Komar Suardi Warman Budi Rudi Jaja Wardi Rusdi Aang Budi wardi Enceng Dahman Sopian Ruslan Rusman Jaja rata - rata
Total Penerimaan (Rp) 9.900.000 23.100.000 56.420.000 38.220.000 19.656.000 140.140.000 36.960.000 120.120.000 20.020.000 47.520.000 20.475.000 21.450.000 25.896.000 64.350.000 28.392.000 38.896.000 10.530.000 27.885,000 46.200,000 26.871,.000 10.868.000 65.208.000 85.800.000 107.250.000 41.184.000 120.120.000 22.022.000 41.756.000 42.900.000 41.184.000 22.308.000 100.100.000 60.060.000 60.060.000 42.900.000 81,224.000 41.184.000 60.918.000 100.100.000 80.080.000 82.368.000 52.379.650
Total Pengeluaran (Rp) 9.092.000 19.204.000 54.227.800 35.488.000 17.838.700 115.499.700 33.191.000 109.773.500 18.981.500 42.505.750 20.174.300 18.578.000 24.147.500 51.913.700 23.703.375 34.714.800 9.413.475 23.483.625 38.609.500 23.243.000 10.403.850 64.054.600 84.698.600 72.666.450 40.000.000 86.225.100 21.309.750 35.480.000 41.772.400 34.453.700 21.322.525 76.598.500 55.000.700 52.111.200 34.789.000 64.401.000 36.099.000 46.250.900 72.304.000 67.233.200 69.120.800 44.577.814
Penda.atan (Rp) 808.000 3.896.000 2.192.200 2.732.000 1.817.300 24.640.300 3.769.000 10.346.500 1.038.500 5.014.250 300.700 2.872.000 1.748.500 12.436.300 4.688.625 4.181.200 1.116.525 4.401.375 7.590.500 3.628.000 464.150 1.153.400 1.101.400 34.583.550 1.184.000 33.894.900 712.250 6.276.000 1.127.600 6.730.300 985.475 23.501.500 5.059.300 7.948.800 8.111.000 16.823.000 5.085.000 14.667.100 27.796.000 12.846.800 13.247.200 7.866.256
Lampiran 7.
Hasil Analisis Regresi dan Uji Asumsi OLS Fungsi Produksi UKM Kerupuk Sebelum Kenaikan Harga BBM
7.a. Hasil Analisis Regresi Fungsi Produksi UKM Kerupuk Sebelum Kenaikan Harga BBM Dependent Variable: LNY_A Method: Least Squares Date: 07/05/08 Time: 03:34 Sample: 1 41 Included observations: 41 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNBB_A LNMT_A LNKB_A LNTK_A C
1.032205 0.019397 -0.069284 0.028766 -0.335580
0.024151 0.026768 0.031533 0.022395 0.124044
42.73987 0.724630 -2.197202 1.284503 -2.705332
0.0000 0.4734 0.0345 0.2072 0.0104
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.997226 0.996918 0.040685 0.059590 75.76738 1.782316
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
8.612071 0.732837 -3.452067 -3.243095 3235.494 0.000000
7.b. Hasil Pengujian Heteroskedastisitas Fungsi Produksi UKM Kerupuk Sebelum Kenaikan Harga BBM White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
1.653077 11.98925
Probability Probability
0.148895 0.151684
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 07/05/08 Time: 03:34 Sample: 1 41 Included observations: 41 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNBB_A LNBB_A^2 LNMT_A LNMT_A^2 LNKB_A LNKB_A^2 LNTK_A LNTK_A^2
-0.052751 0.015695 -0.001042 0.005428 -0.000562 -0.022083 0.002849 0.005074 -0.000237
0.144882 0.046653 0.002762 0.008085 0.000719 0.023600 0.002846 0.018657 0.001183
-0.364097 0.336416 -0.377275 0.671315 -0.782767 -0.935692 1.001008 0.271932 -0.200383
0.7182 0.7388 0.7085 0.5068 0.4395 0.3564 0.3243 0.7874 0.8424
0.292421 0.115526 0.001538 7.56E-05 212.4853 2.046554
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.001453 0.001635 -9.926114 -9.549964 1.653077 0.148895
7.c. Hasil Pengujian Autokorelasi Fungsi Produksi UKM Kerupuk Sebelum Kenaikan Harga BBM Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.388090 0.915091
Probability Probability
0.681318 0.632835
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 07/05/08 Time: 03:35 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNBB_A LNMT_A LNKB_A LNTK_A C RESID(-1) RESID(-2)
-0.002707 -0.002550 0.004074 0.008431 -0.046233 0.095144 -0.160044
0.026233 0.027805 0.034227 0.024882 0.140069 0.194169 0.202581
-0.103196 -0.091726 0.119040 0.338848 -0.330071 0.490006 -0.790024
0.9184 0.9275 0.9059 0.7368 0.7434 0.6273 0.4350
0.022319 -0.150213 0.041395 0.058260 76.23011 1.873619
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
1.69E-15 0.038597 -3.377079 -3.084517 0.129363 0.991757
7.d. Hasil Pengujian Multikolinearitas Fungsi Produksi UKM Kerupuk Sebelum Kenaikan Harga BBM
LNY_A
LNBB_A
LNMT_A
LNKB_A
LNTK_A
LNY_A
1.000000
0.998229
0.857988
0.881680
0.793308
LNBB_A
0.998229
1.000000
0.867080
0.894220
0.785799
LNMT_A
0.857988
0.867080
1.000000
0.949066
0.646554
LNKB_A
0.881680
0.894220
0.949066
1.000000
0.665361
LNTK_A
0.793308
0.785799
0.646554
0.665361
1.000000
Lampiran 8.
Hasil Analisis Regresi dan Uji Asumsi OLS Fungsi Produksi UKM Kerupuk Setelah Kenaikan Harga BBM
8.a. Hasil Regresi Fungsi Produksi UKM Kerupuk Setelah Kenaikan Harga BBM Dependent Variable: LNY_B Method: Least Squares Date: 07/05/08 Time: 03:39 Sample: 1 41 Included observations: 41 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNBB_B LNMT_B LNKB_B LNTK_B C
0.557119 0.030208 0.240504 0.184604 0.941060
0.098279 0.012844 0.074418 0.084044 0.315509
5.668760 2.351882 3.231789 2.196526 2.982673
0.0000 0.0243 0.0026 0.0346 0.0051
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.999334 0.999260 0.018909 0.012872 107.1825 1.514049
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
8.675385 0.694894 -4.984511 -4.775539 13496.19 0.000000
8.b. Hasil Pengujian Heteroskedastisitas Fungsi Produksi UKM Kerupuk Setelah Kenaikan Harga BBM dengan Empat Variabel White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
0.148390 1.466588
Probability Probability
0.995879 0.993249
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 07/05/08 Time: 03:40 Sample: 1 41 Included observations: 41 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNBB_B LNBB_B^2 LNMT_B LNMT_B^2 LNKB_B LNKB_B^2 LNTK_B LNTK_B^2
0.010388 0.012084 -0.000884 0.002171 -0.000194 0.000408 0.000138 -0.014731 0.000908
0.112618 0.039929 0.002309 0.004310 0.000371 0.016540 0.001986 0.041027 0.002249
0.092237 0.302644 -0.382771 0.503849 -0.523905 0.024661 0.069395 -0.359053 0.403471
0.9271 0.7641 0.7044 0.6178 0.6040 0.9805 0.9451 0.7219 0.6893
0.035770 -0.205287 0.000651 1.36E-05 247.7286 1.388069
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.000314 0.000593 -11.64530 -11.26915 0.148390 0.995879
8.c. Hasil Pengujian Autokorelasi Fungsi Produksi UKM Kerupuk Setelah Kenaikan Harga BBM Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
1.206152 2.716238
Probability Probability
0.311833 0.257144
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 07/05/08 Time: 03:40 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNBB_B LNMT_B LNKB_B LNTK_B C RESID(-1) RESID(-2)
0.005784 0.001162 0.017310 -0.025035 0.091407 0.273554 -0.084845
0.097958 0.012827 0.075590 0.085285 0.322516 0.176960 0.173465
0.059050 0.090578 0.228998 -0.293543 0.283417 1.545855 -0.489120
0.9533 0.9284 0.8202 0.7709 0.7786 0.1314 0.6279
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.066250 -0.098530 0.018802 0.012019 108.5877 1.961145
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
1.82E-15 0.017939 -4.955496 -4.662935 0.402051 0.872437
8.d. Hasil Uji Multikolinearitas Fungsi Produksi UKM Kerupuk Setelah Kenaikan Harga BBM
LNY_B
LNBB_B
LNMT_B
LNKB_B
LNTK_B
LNY_B
1.000000
0.999429
0.944377
0.998598
0.998727
LNBB_B
0.999429
1.000000
0.941327
0.998163
0.998586
LNMT_B
0.944377
0.941327
1.000000
0.939767
0.940702
LNKB_B
0.998598
0.998163
0.939767
1.000000
0.997486
LNTK_B
0.998727
0.998586
0.940702
0.997486
1.000000
Lampiran 9.
Kuisioner Penelitian
Kuisioner Penelitian Pengaruh Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak Terhadap Kesejahteraan Usaha Kecil Menengah (Stadi Kasus : UKM Kerupuk di Kec. Cikoneng Kab. Ciamis, Jabar) Oleh : Maya Rosmayati No
:
Tanggal
:
A. Identitas Responden Yang Masih Berproduksi Setelah Kenaikan Harga BBM 1. Nama Perusahaan
:
2. Alamat
:
3. Kelurahan
:
4. Kecamatan
:
5. Pemilik
:
6. Jenis Kelamin
:
7. Umur
: …………tahun
Laki – laki
Perempuan
8. Mengikuti Pelatihan :
Pernah
Tidak Pernah
9. Pendidikan
Tidak Tamat SD
Tamat SD
Tamat SLTP
Tamat SMA
Perguruan Tinggi
Lainnya,sebutkan : ..….
:
B. Karakteristik Usaha 10. Mengapa anda memilih untuk memproduksi kerupuk? Banyak permintaan / ada pasar
Turun temurun
Resiko kerugian kecil
Lainnya, sebutkan…………….
11. Sudah berapa lama anda memproduksi kerupuk? < 3 tahun
6 – 9 tahun
3 – 6 tahun
> 9 tahun
12. Berapa hari dalam seminggu anda berproduksi?.......... hari
13 Berapakan modal awal usaha anda? < 2 juta
6 – 9 juta
2 – 5 juta
> 10 juta
14. Modal awal anda berasal dari? Pinjaman dari bank
Modal sendiri
Lainnya, Sebutkan…….
15. Apabila anda mendapatkan modal awal anda dengan cara meminjam, berapakah jumlah angsuran yang harus anda bayarkan? Rp. …………/bulan. 16. Pasokan bahan baku anda peroleh dari? Pedagang eceran
KUD
Agen
Lainnya, sebutkan : ……………
17. Apakah anda harus mengeluarkan biaya transportasi khusus untuk pengambilan bahan baku? Tidak
Ya, sebesar Rp…….……/ angkut
18. Bagaimana dengan status bangunan pabrik anda saat ini? Milik sendiri, lanjut ke nomor 22
Sewa, seharga Rp………/(bln/thn)
Membeli
Lainnya, sebutkan: …..…………..
19. Berapa harga bangunan pabrik pada saat anda membeli? Rp. …………………, pada tahun ……… 20. Bagaimana anda membeli bangunan pabrik tersebut? Membayar lunas Menyicil, sebesar Rp…………….…./bln, selama…..…bulan 21. Apakah status pembayaran anda sekarang sudah lunas atau belum? Sudah lunas
Belum lunas
22. Berapa tenaga kerja yang anda pekerjakan?................ orang 23. Apakah tenaga kerja yang dipekerjakan tersebut merupakan tenaga kerja keluarga? Ya
Tidak
Tidak semuanya
24. Apabila tidak semua tenaga kerja yang dipekerjakan merupakan tenaga kerja keluarga, berapa perbandingannya? ………….… orang tenaga kerja keluarga. ……………. orang tenaga kerja upahan.
C. Tanggapan Responden Terhadap Kenaikan BBM. 25. Dari mana anda mengetahui tentang kenaikan harga BBM? TV
Mendengar
Lainnya,sebutkan .……
Radio
Surat kabar atau media cetak lainnya
26. Apakah anda menyetujui kenaikan harga BBM? Bila ya, mengapa?………………....................................................................... ………………………………………………………………………………… Bila tidak, mengapa?……………….................................................................. ………………………………………………………………………………… 27. Apakah menurut anda peningkatan harga BBM berpengaruh pada usaha anda? …………………………………….…………………………………………… 28. Menurut anda apakah peningkatan harga BBM berpengaruh terhadap jumlah produksi anda? Ya
Tidak
29. Berapa jumlah rata – rata produksi anda perhari sebelum dan setelah kenaikan harga BBM? Sebelum Kenaikan Harga BBM Ukuran kerupuk
Harga
Sesudah Kenaikan Harga BBM Ukuran kerupuk
Harga
30. Menurut anda apakah peningkatan harga BBM berpengaruh terhadap tenaga kerja anda? Ya
Tidak
31. Bagaimana tenaga kerja anda sebelum dan setelah kenaikan harga BBM? Sebelum Kenaikan Harga BBM
Sesudah Kenaikan Harga BBM
Jumlah Tenaker
Jumlah Tenaker
Keluarg
Upah
Upah
Keluarga
a Upahan
Upahan
32. Bagaimana biaya produksi sebelum dan setelah kenaikan harga BBM?
Biaya
Biaya Variabel Tepung Terigu Bawang Putih Garam Penyedap rasa Minyak tanah Kayu bakar Tenaga Kerja Transportasi
Biaya Tetap Penyusutan Listrik Pajak Sewa
TOTAL
Volume
Volume
Pemakaian
Pemakaian
Sebelum
Sesudah
Kenaikan
Kenaikan
Harga BBM
Harga BBM
Harga Beli Sebelum Kenaikan Harga BBM
Harga Beli Sesudah Kenaikan Harga BBM
33. Apabila anda menggunakan BBM dalam proses produksi, berapakah kebutuhan akan BBM tersebut? Proses
Jenis BBM yang
Jumlah kebutuhan BBM
produksi
dibutuhkan
(liter/hari)
34. Apa strategi anda dalam mengatasi kenaikan harga BBM? Memperkecil ukuran produk
Mengurangi pemakaian bahan baku
Mengganti bahan bakar
Mengurangi jumlah tenaga kerja
Mengurangi jumlah produksi
Lainnya, sebutkan : ……………
35. Apakah pelanggan mengeluh karena apa yang anda lakukan untuk mengatasi kenaikan harga? Ya
Tidak
36. Apakah jumlah pelanggan anda berkurang setelah kenaikan harga BBM? Ya
Tidak
37. Apakah perusahaan anda masih bisa berproduksi setelah kenaikan harga BBM? Ya
Tidak
Kadang – kadang, …kali dalam sebulan
Lampiran 10. Lokasi Penelitian
Gambar 12. Peta Kecamatan Cikoneng