PERBANDINGAN PEMAHAMAN MATEMATIK ANTARA SISWA SMP YANG PEMBELAJARANNYA MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN SETTING MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DENGAN TIPE MAKE A MATCH oleh LUDY HERDIANSYAH HAKIM Program Studi Pendidikan Matematika Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Siliwangi Bandung Jalan Terusan Jenderal Sudirman Cimahi Email :
[email protected]
ABSTRAK Pemahaman matematika yang baik pada siswa memberikan konstribusi positif terhadap kemampuan siswa dalam memahami berbagai konsep matematika. Pemahaman matematik perlu ditingkatkan karena sebagian besar siswa kelas VII SMPN 3 Cilaku Cianjur, mengalami permasalahan dalam hal tersebut. Hal tersebut tercermin pada kemampuan pemahaman matematik pada setiap kegiatan pembelajaran sehari-hari terutama tentang pecahan mengalami hambatan. Sehubungan dengan hal tersebut, dilakukan penelitian perbandingan dengan rumusan masalah apakah terdapat perbedaan pemahaman matematik antara siswa SMP yang pembelajarannya menggunakan pendekatan kontekstual dengan setting model kooperatif tipe STAD dengan tipe Make a Match? Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui perbedaan pemahaman matematik antara siswa SMP yang pembelajarannya menggunakan pendekatan kontekstual dengan setting model kooperatif tipe STAD dengan tipe Make a Match. Metode yang digunakan yaitu metode eksprimen. Subjek penelitian yaitu siswa kelas VII SMP Negeri 3 Cilaku sebanyak dua kelas, masing-masing untuk kelompok pembelajaran yang menggunakan model kooperatif tipe STAD dan kelompok pembelajaran untuk tipe Make a Match. Kesimpulan penelitian yaitu bahwa penggunaan pendekatan kontekstual dengan setting model kooperatif tipe STAD lebih baik dariapda tipe Make a Match. Kata kunci: pemahaman matematik, model kooperatif tipe STAD, dan tipe Make a Match.
ABSTRACT A good understanding of mathematics in students contribute positively to students' ability to understand mathematical concepts. Mathematical understanding needs to be improved because most of the students of class VII SMPN 3 Cilaku Cianjur, have a problem in it. This is reflected in the ability of understanding math learning in every activity of daily fractions mainly about obstacles. In this regard, the research comparing the formulation of the problem whether there is a difference between the students' understanding of mathematical learning SMP uses a contextual approach to setting type STAD cooperative model of type Make a Match? The purpose of research is to know the difference between students' understanding of mathematical learning SMP uses a contextual approach to setting type STAD cooperative model of type Make a Match. The method used the experimental method. The research subjects are students of class VII SMP Negeri 3 Cilaku much as two classes, each for group learning using model type STAD cooperative and group learning to type Make a Match. Conclusions of the study is that the use of a contextual approach to setting type STAD cooperative model better dariapda type Make a Match. Keywords: mathematical understanding, STAD cooperative model type, and type Make a Match.
1. PENDAHULUAN
(2004:5) mengatakan, “Pentingnya belajar matematik tidak lepas dari perannya dalam segala jenis dimensi kehidupan. Misalnya banyak persoalan kehidupan yang memerlukan kemampuan menghitung dan mengukur”. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pembelajaran matematik perlu diajarkan kepada siswa dengan sebaik mungkin agar dapat dipahami secara optimal. Selain itu, pembelajarannya hendanya dilakukan
Pembelajaran matematik merupakan bagian dari ilmu pengetahuan dan sebagai bagian dari alat yang sangat efektif untuk mengembangkan pendidikan. Kehadiran matematik sebagai ilmu pengetahuan masih diperlukan sebab peranan matematik sangat strategis dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Rusyan
1
2 secara kontinyu sesuai dengan kedalaman dan keluasan materi yang tertuang dalam kurikulum serta jadwal yang sudah disusun. Untuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal, perlu memperhatikan berbagai aspek yang mendukung terhadap pelaksanaan pembelajaran dan salah satunya adalah kemampuan pemahaman matematik. Pemahaman matematik memegang peranan penting dalam pembelajaran matematik. Pemahamn matematik menjadi bagian yang integral dalam setiap materi. Begitu penting pemanahan matematik, maka perlu ditingkatkan. Adapun untuk meningkatkan kemampuan pemahaman matematik pada dasarnya banyak faktor yang mendukung di antaranya adalah penyajian pembelajaran yang menarik dan variatif. Dengan penyajian yang menarik dan variatif, diharapkan materi yang disajikan dapat dipahami oleh siswa dengan optimal. Selain itu, kemampuan pemahaman matematik dapat pula ditingkatkan dengan penggunaan pendekatan. Banyak pendekatan yang harus dipilih dan disesuaikan dengan materi yang akan disampaikan. Semua pendekatan mempunyai kelebihan dan kelemahan sehingga perlu pemilihan pendekatan yang paling efektif. Kelebihan dan kelemahan pendekatan serta efektivitasnya dalam pembelajaran matematik merupakan masalah yang perlu dipecahkan. Sebuah pendekatan dikatakan efektif apabila pendekatan yang digunakan sesuai dengan tujuan, bahan kajian, dan mendukung terhadap berbagai komponen pembelajaran dan mencapai hasil yang diharapkan. Tidak semua pendekatan, efektif untuk semua materi pembelajaran karena materi pembelajaran sangat beragam dan tentunya memerlukan cara penyampaian yang beragam pula. Dengan demikian, untuk mengetahui efektif tidaknya sebuah pendekatan, perlu dilakukan uji coba penggunaan pendekatan yang hasilnya dapat dijadikan alternatif sebagai model pembelajaran. Di antara berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematik, satu di antaranya adalah pendekatan kontekstual. Pendekatan kontekstual mempunyai kelebihan yakni pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Adapun kelemahannya yaitu memerlukan waktu yang lama karena proses berpikir siswa disertai dengan hal-hal yang nyata. Setting dari pendekatan kontekstual di antaranya adalah model kooperatif tipe STAD dan tipe Make a Match. Tipe STAD yaitu salah satu model pembelajaran yang dilaksanakan dengan cara mengelompokkan siswa menjadi beberapa kelompok kemudian menyamakan persepsi untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka bentuk pengajaran kelompok bisa terjadi melalui kerja kelompok atau diskusi kelompok. Dalam kerja kelompok, siswa diberi tugas untuk mengerjakan sesuatu secara berkelompok dan di sini guru harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut. Kelebihan tipe STAD yaitu dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama dalam suasana gotong
royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan pemahaman matematik. Adapun kelemahan model ini di antaranya jika guru tidak menguasai pengelolaan kelas, maka akan timbul suasana yang ribut. Jika guru tidak menguasai materi pembelajaran, maka guru tidak bisa mengarahkan sampai pada tujuan pembelajaran yang dikehendaki. Selanjutnya tipe Make a Match merupakan model pembelajaran untuk mencari pasangan sesuai dengan materi yang disajikan dalam situasi yang menyenangkan. Model ini mempunyai kelebihan yakni meningkatkan partisipasi, cocok untuk tugas sederhana, lebih banyak kesempatan untuk konstibusi masing-masing anggota, interkasi lebih mudah, dan lebih mudah dan cepat membentukanya. Adapun kelemahannya banyak kelompok yang melapor dan perlu dimonitor, lebih sedikit ide yang muncul, jika ada perselisihan, tidak ada penengah. Sehubungan dengan hal-hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang perbandingan kemampuan komunikasi matematik siswa antara tipe STAD dengan tipe Make a Match. Hasil penelitian akan terlihat jelas bagaimana pengaruhnya terhadap pemahaman matematik siswa. Adapun judul penelitian ini yaitu “Perbandingan Pemahaman Matematik antara Siswa SMP yang Pembelajarannya Menggunakan Pendekatan Kontekstual dengan Setting Model Kooperatif Tipe STAD dengan Tipe Make a Match”. Permasalahan penelitian dirumuskan yaitu apakah terdapat perbedaan pemahaman matematik antara siswa SMP yang pembelajarannya menggunakan pendekatan kontekstual dengan setting model kooperatif tipe STAD dengan tipe Make a Match? Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui perbedaan pemahaman matematik antara siswa SMP yang pembelajarannya menggunakan pendekatan kontekstual dengan setting model kooperatif tipe STAD dengan tipe Make a Match. Pemahaman matematik merupakan salah satu tujuan penting dalam pembelajaran, memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan kepada siswa bukan hanya hapalan, tetapi siswa dapat lebih mengerti akan konsep materi pelajaran itu sendiri. Hal ini sesuai dengan Handoyo yang mengatakan, “Tujuan mengajar adalah agar pengetahuan yang disampaikan dapat dipahami peserta didik.” Pendidikan yang baik adalah usaha yang berhasil membawa siswa kepada tujuan yang ingin dicapai yaitu agar bahan yang disampaikan dipahami sepenuhnya oleh siswa. Pemahaman matematika didefinisikan sebagai kemampuan mengaitkan notasi dan simbol matematika yang relevan dengan ide-ide matematika dan mengkombinasikannya ke dalam rangkaian penalaran logis (The ability to connect mathematical symbolism and notation with relevant mathematical ideas and to combine these ideas into chains of logical reasoning” (Skemp, 1987) Menurut Bloom dalam Ruseffendi (2005:17) ada tiga macam pemahaman matematik yaitu pengubahan (translation), pemberi arti (interpretasi), dan pembuatan ekstrapolasi (ekstrapolation). Pemahaman translasi
3 digunakan untuk menyampaikan informasi dengan bahasa dan bentuk yang lain dan mengangkut pemerian makna dari suatu informasi yang bervariasi. Interpolasi digunakan untuk menafsirkan maksud dari bacaan, tidak hanya dengan kata-kata dan frase, tetapi juga mencakup estimasi dan prediksi yang didasarkan pada sebuah pemikiran, gambaran kondisi dari suatu informasi, juga mencakup pembuatan kesimpulan dengan konsekuensi yang sesuai dengan informasi jenjang kognitif ketiga yaitu penerapan (applikcation) yang menggunakan atau menerapkan suatu bahan yang sudah dipelajari ke dalam situasi baru yaitu berupa ide, teori, atau petunjuk teknis. Pendekatan dalam pembelajaran pada dasarnya sangat beragam dan salah satunya adalah pendekatan kontekstual. Pendekatan kontekstual merupakan pendekatan yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara maksimal. Sanjaya (2006:253) mengatakan bahwa Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Pendapat lain tentang CTL dikemukakan oleh Depdikbud (2004:16) bahwa CTL merupakan pembelajaran yang menitikberatkan kepada siswa. Dalam diri siswa telah terbentuk struktur pengetahuan yang telah dimilikinya. Oleh karena itu, guru harus mampu mengaitkan atau menghubungkan materi yang diajarkan dengan apa yang sudah dimiliki siswa sebelumnya, di sinilah pentingnya guru melakukan apersepsi. Sebab itu, siswa dituntut untuk mampu menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran yang lebih menekankan pada proses tersebut dikenal dengan pembelajaran yang kontekstual (contextual teaching and learning) sehingga dalam prosesnya diharapkan siswa belajar melalui proses mengalami sendiri bukan dari proses pemindahan/transfer pengetahuan dari gurunya. Dari pendapat tersebut terlihat bahwa CTL menitikberatkan kepada kegiatan siswa untuk aktif dan kreatif dalam belajar dalam hal-hal yang nyata. Dalam hal ini siswa diarahkan kepada konsep yang sebenarnya dan bukan tiruan sehingga siswa tidak verbalisme terhadap konsep yang dipelajarinya. Adapun tugas guru adalah memberikan fasilitas agar siswa menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi yang nyata. Situasi nyata dan pengalaman yang dimiliki siswa sangat penting bagi pelaksanaan pembelajaran menggunakan pendekatan CTL. Hasil dari kegiatan tersebut selanjutnya dijadikan sebagai pegangan untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam CTL diperlukan sebuah pendekatan yang lebih memberdayakan siswa dengan harapan siswa mampu mengkonstruksikan pengetahuan dalam benak mereka, bukan menghafalkan fakta. Di samping itu, siswa belajar melalui mengalami bukan mengahafal, mengingat pengetahuan bukan sebuah perangkat fakta dan konsep
yang siap diterima. Akan tetapi sesuatu yang harus dikonstruksi siswa (Sudrajat, 2007). Penggunaan kontekstual mempunyai tujuan dan manfaat yang sangat besar bagi pengembangan peserta didik. Dilihat dari tahapan kegiatan yang menjadi acuan dalam pembelajaran, tercermin tujuan yang akan dicapai. Tujuan tersebut yaitu kemampuan menemukan suatu konsep, kemampuan berpikir kritis, kemampuan bertanya, kemampuan mengemukakan pendapat dan bekerja sama, dan menciptakan sebuah model. Menurut Johnson (2008: 93-94), pendekatan kontekstual mempunyai beberapa komponen sekaligus sebagai tujuan pelaksanaannya. a. Menjadi siswa yang dapat mengatur diri sendiri dan aktif sehingga dapat mengembangkan minat individu, mampu bekerja sendiri atau dalam kelompok. b. Membangun keterkaitan antara sekolah dan konteks kehidupan nyata seperti bisnis dan lembaga masyarakat. c. Melakukan pekerjaan yang berarti. Pekerjaan yang memiliki tujuan, berguna untuk orang lain, yang melibatkan proses menentukan pilihan, dan menghasilkan produk, nyata atau tidak nyata. d. Menggunakan pemikiran tingkat tinggi yang kreatif dan kritis. Menganalisis, melakukan sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan, menggunakan logika dan bukti. e. Bekerja sama. Membantu siswa bekerja dengan efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bahwa apa yang mereka lakukan mempengaruhi orang lain, membantu mereka berkomunikasi dengan orang lain. f. Mengembangkan setiap individu. Memotivasi dan mendorong setiap siswa. Siswa tidak akan sukses tanpa dukungan dari orang dewasa. Para siswa menghormati teman sebayanya dan orang dewasa. g. Mengenali dan mencapai standar tinggi. Mengidentifikasi tujuan yang jelas dan memotivasi siswa untuk mencapainya. Menunjukkan kepada mereka cara untuk mencapai keberhasilan. Berdasarkan hal-hal tesebut, pendekatan kontekstual mempunyai tujuan yang mengarah kepada kemampuan siswa yang kompleks. Mulai dari berpikir secara sederhana sampai kepada berpikir tarap tinggi. Dengan pendekatan kontekstual, siswa dibekali berbagai aktivitas yang mengarah kepada kemampuan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Para siswa akan belajar dengan motivasi yang tinggi karena pada pendekatan kontekstual berbagai kemampuan dasar dijadikan sebagai landasan untuk mengembangkan diri ke arah yang lebih optimal. Pendekatan kontekstual mempunyai komponen sebagai acuan dalam pelaksanaan pembelajaran. Sagala (2006:262) mengemukakan tujuh azas yang melandasi pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual yaitu kontruktivisme, inkuiri, bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), penilaian nyata (authentic assesment). Model pembelajaran Cooperative Learning Tipe Student Team Achievment Divisions (STAD) menitikberatkan kepada belajar berkelompok atau gotong
4 royong. Menurut Lie (2004: 28), Falsafah yang mendasari model pembelajaran gotong royong dalam pendidikan adalah falsafah homo homini socius. Berlawanan dengan teori Darwin, falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kerja sama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Tanpa kerja sama, tidak akan ada individu, keluarga, organisasi atau sekolah. Model pembelajaran Cooperative Learning Tipe Student Team Achievment Divisions (STAD) menitikberatkan kepada belajar berkelompok atau gotong royong. Menurut Lie (2004: 28), Falsafah yang mendasari model pembelajaran gotong royong dalam pendidikan adalah falsafah homo homini socius. Berlawanan dengan teori Darwin, falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kerja sama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Tanpa kerja sama, tidak akan ada individu, keluarga, organisasi atau sekolah. Namun, adakala orang berpendapat bahwa belajar berkelompok itu tidak menguntungkan bagi sebagian siswa. Lebih-lebih siswa yang mempunyai kemampuan yang lemah, ia hanya duduk dan kebingungan apa yang hendak dikerjakan. Siswa yang tekun merasa harus bekerja melebihi siswa yang lain dalam kelompok itu, sedangkan siswa yang kurang mampu merasa minder ditempatkan dalam satu group dengan siswa yang pandai. Untuk itu ada beberapa hal yang dapat dijadikan acuan agar tidak terjadi seperti itu. Roger dan David Johnson (Lie, 2004: 31) mengatakan, “Tidak semua kerja kelompok bisa dianggap Cooperative Learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model pembelajaran gotong royong harus diterapkan yaitu saling ketergantungan, tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antar anggota, dan evaluasi proses kelompok”. Dalam pembelajaran model ini kesepakatan bersama merupakan tujuan utama yang harus dicapai. Karena itu, semua anggota dalam kelompok itu harus bekerja sama sehingga hasilnya adalah kesuksesan bersama. Jadi, dalam model ini yang harus ditonjolkan adalah bagaimana menyamakan persepsi untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka bentuk pengajaran kelompok bisa terjadi melalui kerja kelompok atau diskusi kelompok. Model kooperatif tipe mencari pasangan (Make a Match) merupakan bagian dari model pembelajaranyang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif dalam belajar. Kegiatan siswa lebih terfokus kepada kemampuan berpikir untuk mencari jawaban dari kartu yang dipegang kemudian mencari pasangan (siswa lain) yang mempunyai kartu yang cocok. Menurut Lie (2004: 55), model pembelajaran mencari pasangan (Make a Match) dikembangkan oleh Lorna Curran. Salah satu keunggulan model ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Hipotesis penelitian ini yaitu terdapat perbedaan pemahaman matematik siswa SMP antara yang pembelajarannya menggunakan pendekatan kontekstual
dengan setting model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan tipe Make a Match.
2. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen yakni mengujicobakan kemudian membandingkan penggunaan model kooperatif tipe STAD dengan tipe make a match pada pokok bahasan pecahan. Sehubungan penelitian ini adalah eksperimen, maka ditentukan desain penelitian. Adapun untuk menentukan desain penelitian, ditempuh langkah-langkah yaitu kelompok siswa yang digunakan dalam penelitian ini dua kelas yakni kelas VII SMP Negeri 3 Cilaku Cianjur, sebelum dan sesudah percobaan dilakukan tes dengan tujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antara kelompok yang pembelajarannya menggunakan tipe STAD maupun tipe make a match, dan kedua kelas yang dijadikan sampel dipilih secara acak.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Perbandingan pembelajaran menggunakan tipe STAD dan tipe Make a Match pada pembelajaran kemampuan pemahaman matematika merupakan suatu kegiatan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan hasil yang dicapai. Berdasarkan hasil analisis data, menunjukkan hasil yang cukup baik yang tercermin dari peningkatan kemampuan siswa dalam memahami materi pecahan yang disajikan berdasarkan hasil tes awal dan tes akhir. Sebelum perlakuan, terlebih dahulu dilakukan tes awal guna mengetahui ada tidaknya perbedaan antara dua kelas yang dijadikan objek penelitian. Hasil tes awal menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini berarti siswa belum pernah diberi perlakuan (treatment) pada kedua kelas eksperimen. Setelah diberi perlakuan yakni kelas VII A menggunakan model kooperatif tipe STAD dan kelas VII B menggunakan model kooperatif tipe Make a Match, selanjutnya dilakukan tes akhir. Adapun hasil tes akhir menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Hal ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara siswa yang pembelajarannya menggunakan tipe STAD dan tipe Make a Match. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan “Kemampuan pemahaman matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan tipe STAD lebih baik daripada tipe Make a Match” diterima. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan tipe STAD lebih efektif daripada tipe Make a Match yang tercermin dalam aktivitas siswa selama mengikuti pembelajaran. Dengan menggunakan pendekatan kontekstual dengan setting model pembelajaran tipe STAD, siswa lebih mudah memahami materi pelajaran daripada menggunakan model kooperatif tipe Make a Match. Pada pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe SATD, siswa yang kurang pandai diberi
5 bimbingan oleh temannya sehingga semua siswa aktif dan kreatif dalam belajar. Penggunaan tipe STAD, siswa yang kurang aktif tidak merasa malu dan segan-segan untuk bertanya kepada temannya. Berbagai masalah yang dihadapi siswa yang kurang pandai dan kurang aktif dapat dicari jalan keluarnya dengan cara diberi bimbingan dan petunjuk oleh temannya. Dengan demikian, peran teman satu kelompok memberikan konstribusi positif terhadap aktivitas siswa yang lainnya.
4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman matematika siswa kelas VII SMP Negeri 3 Cilaku yang pembelajarannya menggunakan pendekatan kontekstual dengan setting model kooperatif tipe STAD lebih baik daripada tipe Make a Match.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (2005). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Asikin.
(2002). Alfabeta.
Strategi
Pembelajaran.
Bandung:
Dahlan, M.D. (1990). Model-model Mengajar: Beberapa Alternatif Belajar Mengajar. Bandung: Diponegoro. Depdikbud. (2004). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Depdikbud. Hamalik, O. (2005). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Herdian. (2010). Kemampuan Pemahaman Matematik. http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/kemam puan-pemahaman-matematis/. 27 Februari 2012. Jakob, C. (2003). Mamtematika sebagai Komunikasi. Prosiding Konferensi Nasional Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang. Jhonson. (2008). Pendekatan Kontekstual. Bandung: Alfabeta. Kahfi, M.S. (1996). Geometri Sekolah Dasar dan Pengajarannya. Suatu Pola Penyajian Berdasarkan Teori Piaget dan Teori Van Hiele. Semarang: IKIP Semarang. Lie, A. (2004). Cooperative Learning. Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Poerwadarminta, W.J.S. (2006). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. Ruseffendi, E.T. (2005). Dasar-dasar Matematika Modern dan Komputer. Bandung: Tarsito. Rusyan, A.T. (2004). Pedoman Mengajar Matematika. Jakarta: Intimedia Ciptanusantara. Sagala, S. (2006). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran Berbasis Standar Proses Pendidikan. Sudrajat.
(2001). Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Bandung: Cipta Cekas Grafika.
Sumarno. (2003). Beberapa Teknik Model, dan Strategi dalam Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Depdiknas. Widdiharto. (2004). Model Pembelajaran Kooperatif pada Pembelajaran IPS-Geografi. Jakarta: Bumi Aksara.