Vol.6 No.2 2014 PENGATURAN PERADILAN ADAT DALAM AWIG-AWIG DESA PAKRAMAN: STUDI PENDAHULUAN TENTANG EKSISTENSI PERADILAN ADAT DALAM KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DESA PAKRAMAN 1 Oleh: I Ketut Sudantra (
[email protected] ) Ni Nyoman Sukerti (
[email protected] ) 2
ABSTRACT This study aims to determine the regulation on customary justice in the traditional rules of awig-awig of pakraman village, the rules made by the customary community unit of Pakraman village in Bali. This study focused on structure, competency, mechanism, and principle of customary justice. The result shows that structure and competency of customary justice have been regulated clearly on awig-awig of pakraman village, but the mechanism of customary justice doesn’t regulated clearly. Awig-awig of desa pakraman only regulates initial mechanism, namely the process of filing a case, but does not regulate mechanisms after the case was subsequently processed by the customary justice. It can be identified some principles in awig awig of pakraman village to be a guidance for the customary courts in resolving cases that occur on it’s jurisdiction Keywords: awig-awig of pakraman village, customary justice, unity of customary law community
1
Karya ilmiah ini merupakan hasil penelitian yang dibiayai dari dana Dipa BLU Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum PPS UNUD dengan SK Direktur Nomor 1432/UN.14.4/HK/2013, telah dipresentasikan dalam seminar/FGD di Program Magister (S2) Ilmu Hukum pada tanggal 11 Nopember 2013. 2 Para penulis adalah dosen pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana UNUD dan Fakultas Hukum UNUD
310
Vol.6 No.2 2014 I. PENDAHULUAN
undang (RUU) yang secara khusus
1.1. Latar Belakang Masalah
memberikan
Secara keberadaan
konstitusional peradilan
adat
di
pengakuan
terhadap
kesatuan masyarakat hukum adat, bernama
lengkap
Rancangan
Indonesia sudah diakui berdasarkan
Undang-undang tentang Pengakuan
Pasal 18B ayat (2) Undang-undang
dan Perlindungan Hak Masyarakat
Dasar Negara Republik Indonesia
Hukum Adat (RUU-PPHMHA). Di
Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai
dalam RUU-PPHMHA tersebut juga
bagian
dimuat
tak
terpisahkan
dari
suatu
rancangan
pengakuan negara terhadap eksistensi
mengenai
kesatuan masyarakat hukum adat.
eksistensi peradilan adat3.
Hanya
saja,
pengakan
tersebut
pengakuan
pasal
terhadap
Dalam proses pembentukan
disertai sejumlah persyaratan, yaitu:
suatu
peradilan adat tersebut (1) masih
mengakomodasi pengakuan terhadap
hidup,
peradilan
(2) sesuai dengan dengan
undang-undang
adat,
tentu
yang
sangat
perkembangan masyarakat, (3) sesuai
dibutuhkan adanya dukungan data
dengan prinsip Negara Kesatuan
yang memadai dan valid mengenai
Republik Indonesia, dan (4) diatur
kondisi riil peradilan adat di seluruh
dalam
wilayah Indonesia. Oleh karena itu,
undang-undang.
demikian,
berdasar
Dengan ketentuan
konstitusi semestinya ada undangundang yang mengatur mengenai pengakuan terhadap peradilan adat, baik berupa undang-undang yang secara khusus mengatur pengakuan tersebut atau pun dalam undangundang sektoral lainnya. Menindaklanjuti
ketentuan
UUD 1945 atas, Badan Legislasi DPR-RI pada tahun 2012 sudah menyiapkan draf rancangan undang-
3
Dalam naskah RUU PHMHA yang sudah dimintakan masukan dari masyarakat itu, pengakuan terhadap peradilan adat telah diakomodir dalam rancangan Pasal 18 yang menyatakan bahwa “masyarakat hukum adat berhak untuk menyelenggarakan sistem peradilan adat dalam penyelesaian sengketa terkait dengan hak-hak adat dan pelanggaran atas hukum adat”; Lihat: Badan Legislasi DPR RI, “Rancangan Undang-undang Nomor… Tahun…tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat”, Bahan kunjungan Kerja dalam Rangka Mendapatkan Masukan Terhadap Penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hakhak Masyarakat Adat dari Komisi III DPR RI, di kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali, 4 Oktober 2012, h. 5
311
Vol.6 No.2 2014 suatu
penelitian
ilmiah
mengidentifikasi
untuk dan
desa pakraman di Bali menjadi relevan untuk dilakukan.
mengenventarisir eksistensi peradilan adat
dalam
masyarakat
kesatuan-kesatuan
hukum
adat
yang
Walaupun lingkup wilayah Bali tidak begitu luas dibandingkan dengan
keseluruhan
wilayah
hiterogen dan tersebar di seluruh
Indonesia,
wilayah Indonesia sangat relevan dan
mendalam untuk mengetahui kondisi
urgen dilakukan saat ini. Perlu
riil eksistensi peradilan adat dalam
diketahui kondisi riil peradilan adat
kesatuan masyarakat hukum adat
dalam kesatuan-kesatuan masyarakat
desa pakraman di Bali tidak dapat
hukum adat tersebut, apakah masih
dilakukan tanpa dukungan dana yang
hidup,
bahkan
memadai. Dengan dukungan dana
barangkali sudah lenyap. Di samping
yang terbatas, penelitian pendahuluan
itu, legislator juga membutuhkan
telah penulis laksanakan sebagai
bahan
mengenai
bagian awal dari penelitian bertahap
konsep peradilan adat yang berlaku
yang penulis rencanakan. Penelitian
universal di seluruh Indonesia agar
tersebut
mengkaji
dalam undang-undang yang dibentuk
peradilan
adat
dapat dirumuskan konsep yang tepat
peraturan adat tertulis yang dibuat
mengenai peradilan adat.
oleh kesatuan masyarakat hukum
mati
yang
suri,
atau
memadai
Namun,
namun
pengaturan
dalam
adat
dan hiterogenitas kesatuan-kesatuan
Peraturan-peraturan
masyarakat hukum adat yang ada di
lazim
dalamnya tentu saja suatu penelitian
pakaraman.
bukanlah pekerjaan mudah sehingga
secara ringkas pokok-pokok hasil
perlu dilakukan secara bertahap.
penelitian
Sebagai
pekerjaan
“Pengaturan Peradilan Adat dalam
bertahap itu, penelitian mengenai
Awig-awig Desa Pakraman: Studi
eksistensi
Pendahuluan
dari
peradilan
adat
dalam
kesatuan masyarakat hukum adat
pakraman
peraturan-
mengingat luasnya wilayah Indonesia
bagian
desa
penelitian
disebut
Peradilan
adat
di
Bali. tersebut
awig-awig
Artikel
ini
berjudul
tentang
Adat
dalam
desa
memuat
lengkap
Eksistensi kesatuan
312
Vol.6 No.2 2014 Masyarakat
Hukum
Adat
Desa
Pakraman”
Oleh karena itu, penelitian tersebut dapat dikwalifikasikan dalam jenis penelitian hukum normatif
1.2. Rumusan Masalah Fokus
pendekatan
permasalahan
yang
dikaji dalam penelitian pendahuluan tersebut adalah sebagai berikut:
awig-awig
dan
konseptual. Pendekatan konseptual diperlukan karena dalam awig-awig tidak selalu ditemukan konsep yang
(1) Bagaimana pengaturan mengenai struktur peradilan adat dalam awig-awig desa pakraman? (2) Bagaimana
dengan
jelas tentang aspek-aspek peradilan adat sehingga akan menimbulkan kesulitan
pengaturan
kompetensi peradilan adat dalam awig-awig desa pakraman ?
dalam
argumentasi
membangun
hukum
mengenai
eksistensi peradilan adat di dalam awig-awig desa pakraman.
(3) Bagaimana pengaturan mengenai mekanisme kerja peradilan adat dalam
awig-awig
desa
2.2. Jenis dan Sumber Bahan Penelitian Bahan utama yang digunakan
pakaraman? (4) Bagaimana pengaturan mengenai
dalam
penelitian
pendahuluan
penyelesaian
tersebut adalah bahan hukum primer
perkara adat (asas rukun, laras,
yang bersumber dari awig-awig desa
dan patut) dalam dalam awig-
pakraman yang mewakili sembilan
awig desa pakraman?
kabupaten/kota se-Bali. Untuk dapat
asas-asas
kerja
memahami dan menjelaskan bahanII. METODE PENELITIAN
bahan hukum primer di atas, dalam
2.1. Jenis Penelitian dan
penelitian tersebut juga digunakan
Pendekatan Penelitian pendahuluan yang telah dilakukan tersebut bertujuan untuk meneliti kaidah-kaidah hukum mengenai pengaturan peradilan adat dalam awig-awig desa pakraman.
bahan-bahan hukum sekunder yang bersumber
dari
literatur-literaur
hukum, baik yang berupa karya ilmiah (buku, artikel) para sarjana hukum ataupun hasil-hasil penelitian hukum
yang
relevan.
Karena
penelitian tersebut lebih mengacu
313
Vol.6 No.2 2014 kepada norma-norma hukum adat
diolah
sebagaimana
dalam
proses kwalifikasi dan sistematisi
yang
bahan hukum. Bahan-bahan hukum
ditulis dalam bahasa Bali, maka
yang telah tersusun secara sistematis
dalam
awig-awig
terwujud desa
pakraman
penelitian
digunakan
di
Kamus
sedemikian
tersebut
juga
kemudian
Bahasa
Bali
menggunakan
rupa,
melalui
dianalisis
dengan ternik-teknik
sebagai bahan non hukum yang
penalaran dan argumentasi hukum
digunakan untuk menjelaskan secara
(legal
gramatikal istilah atau konsep-konsep
argumentation). Keseluruhan hasil
di dalam awig-awig sehingga dapat
penelitian kemudian disajikan secara
dipahami
deskriptif analitis.
asas-asas dan norma
reasoning
and
legal
hukum yang tersurat di dalamnya. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 2.3. Teknik Pengumpulan Bahan
3.1. Eksistensi Peradilan Adat di
Hukum
dalam Awig-awig Desa
Bahan-bahan hukum yang
Pakraman
digunakan dalam penelitian tersebut
Hasil penelitian menunjukkan
dikumpulkan dengan teknik studi
bahwa istilah “peradilan adat” tidak
dokumen. Informasi yang diperlukan
dikenal di dalam awig-awig desa
dari bahan-bahan hukum di atas,
pakraman. Beberapa awig-awig yang
dikumpulkan
diteliti menyebut istilah “kerta desa”
dengan
teknik
pencatatan dan atau teknik fotocopy.
yang
Pencatatan
dengan
“peradilan desa” (kertha = hakim,
menggunakan sistem kartu (card
pengadilan4; desa = desa pakraman),
system) di mana dalam kartu-kartu
tetapi tidak semua awig-awig yang
catatan di tuliskan materi yang
diteliti secara eklpilisit menggunakan
dicatat
istilah tersebut. Walaupun demikian,
dilakukan
(kutipan,
ulasan)
serta
identitas sumber bahan hukum.
dapat
dimaknai
dengan mengkonsepkan
sebagai
peradilan
adat sebagai suatu sistem peradilan 2.4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Bahan-bahan
4
hukum
yang
digunakan dalam penelitian tersebut
J. Kersten S.V.D., 1984, Bahasa Bali Bagian I Tatabahasa Bagian II Kamus Bahasa Bali Lumrah, Ende-Flores, Penerbit Nusa Indah, hlm. 349.
314
Vol.6 No.2 2014 yang
hidup,
berkembang
dipraktekkan
dalam
dan
kesatuan-
Wicara
Lan
Pamidanda
ini,
khususnya pada Bagian atau Palet 1
kesatuan masyarakat hukum adat
Indik Wicara, juga
yang
aspek lain dalam sistem penyelesaian
berfungsi
menyelesaikan
perkara-perkara
yang
terjadi
dilingkungan masyarakat hukum adat 5
perkara,
yaitu
diatur aspekinstitusi
yang
berwenang menyelesaikan perkara-
yang bersangkutan , dapat dipastikan
perkara yang terjadi di wilayah desa
bahwa awig-awig desa pakraman
pakraman, mekanismenya, serta asas
sudah mengatur mengenai peradilan
yang
adat ini.
menyelesaikan perkara. Mekanisme
Dalam pakraman ditemukan
awig-awig
yang
diteliti
adanya
digunakan
dalam
desa
penyelesaian perkara adalah salah
berhasil
satu fungsi dari peradilan sehingga
satu
bab
mekanisme
penyelesaian
perkara
(sarga/sargah) yang secara khusus
yang diatur dalam awig-awig tersebut
mengatur mekanisme penyelesaian
dapat
perkara yang terjadi di wilayah desa
mekanisme peradilan, yaitu peradilan
pakraman. Bab tersebut berjudul
adat yang hidup dan dipraktekkan
Wicara lan Pamidanda, yang secara
dalam kesatuan masyarakat hukum
gramatikal
adat desa pakraman. Aspek-aspek
berarti
”perkara
dan 6
sanksi” (wicara=masalah, perkara ; 7
pamidanda=sanksi ). Di bawah bab
dikonsepkan
sebagai
tersebut akan diuraikan lebih lanjut dalam uraian berikutnya. 3.2. Pengaturan Stuktur Peradilan
5
Konsep peradilan adat sebagai sistem peradilan di lingkungan masyarakat hukum adat dianut oleh Pasal 51 Undangundang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Konsep ini berbeda dengan konspm peradilan (pengadilan) adat yang dimaksudkan dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 yang mengkonsepkan peradilan adat sebagai peradilan yang berlaku bagi penduduk Hindia Belanda golongan pribumi (inheemsche rechtspraak) 6 Sri Rshi Anandakusuma, 1986, Kamus Bahasa Bali: Bali-Indnesia, Indonesia-Bali, Denpasar, CV Kayumas, hlm.223.
Adat dalam Awig-awig Desa Pakraman Dalam pembahasan peradilan konsep
penelitian, mengenai
adat struktur
struktur
mengacu
kepada
hukum
(legal
structure) seperti yang dikemukakan 7
J. Kersten S.V.D., op.cit., hlm.
227.
315
Vol.6 No.2 2014 M.Friedman8
dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan
sehingga yang dimaksudkan dengan
Daerah tersebut di atas ditegaskan
struktur
dalam
bahwa prajuru adalah pemimpin desa
mencakup
pakraman sehingga penyelenggaraan
oleh
Lawrence
peradilan
penelitian
adat
tersebut
berbagai institusi dengan berbagai
pemerintahan
fungsinya
dilaksanakan oleh prajuru. Walaupun
dalam
mendukung
bekerjanya peradilan adat.
desa
pakraman
Dengan
struktur dan sistem pemerintahan
konsepsi seperti itu dapat diketahui
desa pakraman di Bali bervariasi,
bangunan struktur peradilan adat
terdapat hal-hal yang universal dalam
menurut awig-awig desa pakraman.
susunan prajuru desa pakraman.,
Hasil penelitian menunjukkan
yaitu di dalamnya terdapat unsur
bahwa struktur peradilan adat telah
jabatan ketua yang menempati posisi
diatur
desa
puncak
dalam
pakraman. Menurut awig-awig desa
dengan
sebutan
pakraman
(seperti:
bendesa,
dalam
awig-awig
yang
terdepan
diteliti,
yang
institusi
susunan
prajuru
yang
beragam
kelihan
desa,
mempunyai
penghulu desa, jero bahu mucuk, dan
kewenangan menyelesaikan perkara
lain-lain). Di samping unsur ketua,
di
terdapat
lingkungan
masyarakat
wilayah
hukum
kesatuan adalah
dengan sebutan yang beragam pula
prajuru desa pakraman itu sendiri.
(penyarikan, juru tulis, dan lain-
Berdasarkan
Peraturan
lain); unsur bendahara (juru raksa,
Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun
patengen, dan lain-lain), serta unsur
2001
pembantu (tutus, kasinoman, saya,
Pasal
sebagaimana
adat
unsur jabatan sekretaris
1
telah
diubah
dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun
2003
dimaksudkan
Dari awig-awig yang diteliti
adalah pengurus
dapat diketahui bahwa dalam batas-
dalam desa pakraman. Selanjutnya,
batas tertentu prajuru inilah yang
dengan prajuru
8
yang
dan lain-lain9.
Lihat: Lawrence M. Friedman, 1969, The Legal System: A Social Sceince Perspektive, Russel Sage Foundation, New York, hl, 16.
9
I Ketut Sudantra dan Wayan P. Windia, Sesana Prajuru Desa: Tatalaksana Pimpinan Desa Adat di Bali, Denpasar, Udayana University Press, hlm. 63.
316
Vol.6 No.2 2014 berfungsi
sebagai
pelaksana
pemerintahan di desa (pejabat desa
peradilan adat, yaitu sebagai pihak
dinas) dalam penyelesaian perkara di
yang
desa pakraman, seperti ditemukan
berwenang
menyelesaikan
perkara yang terjadi di lingkungan
dalam
desa pakraman. Prinsip itu dalam
Sengkiding. Pawos 102 awig-awig
bahasa
misalnya
desa pakraman tersebut menyebutkan
dirumuskan dengan ketentuan: “Sane
bahwa ”Sane patut muput wicara
wenang mawosin mekadi mutusang
ring desa adat Sengkiding inggih
wicara ring desa inggih punika
punika: kelian adat lan kepala dusun
awig-awig
prajuru
kerta
sinanggeh
desa”
saha
Awig-awig
prajuru
Desa
Adat
sami”
(Yang
(terjemahan bebas: yang berwenang
berwenang menyelesaikan perkara di
menyelesaikan/memutuskan perkara
desa pakraman Sengkiding adalah
di desa pakraman adalah prajuru
kelian adat dan kepala dusun bersama
selaku hakim desa). Dalam hal
prajuru lainnya).
susunan desa pakraman bertingkat, yaitu desa pakraman meliputi lebih dari
satu
banjar,
prajuru
3.3. Pengaturan
Peradilan Adat dalam Awig-
yang
awig Desa Pakraman
berwenang menyelesaikan perkara
Berdasarkan hasil penelitian
juga bertingkat, yaitu perkara-perkara yang
terjadi
pertama-tama
di
tinghkat
banjar
diusahakan
dapat
diselesaikan di tingkat banjar oleh prajuru banjar. Apabila perkara tidak dapat diselesaikan di tingkat banjar, perkara dapat diselesaikan ditingkat desa pakraman oleh prajuru desa
terhadap awig-awig desa pakraman dapat diketahui bahwa peradilan adat menyelesaikan setiap perkara adat yang
terjadi
pakraman,
di
baik
pelanggaran
wilayah yang
hukum
sengketa.
Dengan
desa berupa
maupun demikian,
kompetensi peradilan adat meliputi
pakraman. Di
Kompetensi
samping
menyebut
peranan prajuru, beberapa awig-awig desa pakraman yang diteliti juga menyebutkan peran serta pejabat
semua
jenis
perkara,
sedangkan
yuridiksinya adalah wilayah desa pakraman.
Kewenangan
peradilan
adat dalam mengadili jenis perkara
317
Vol.6 No.2 2014 menyangkut aspek yang sangat luas,
dalam penyelesaiannya memerlukan
di samping berwenang mengadili
laporan atau pengaduan (pasadok)
perkara-perkara
terlebih dahulu dari pihak yang
pelanngaran
yang
merupakan
awig-awig,
juga
berperkara.
Dalam
pelangaran terhadap paswara, yaitu
hukum,
peraturan
memerlukan
yang
keputusan
dari
perkara-perkara
penyelesaiannya
pemerintah),
perkara
pelanggaran
yang
pengaduan
penguasa (adat: prajuru; negara: juga
termionologi
dalam
adalah
yang
perkara-
berupa
sengketa,
terhadap keputusan-keputusan desa
sehingga dapat disimpulkan bahwa
pakraman lainnya yang berbentuk
peradilan adat juga menyelesaikan
Konsep
pararem.
”pelanggaran
terhadap awig-awig desa pakraman”
perkara-perkara adat yang berupa sengketa.
sendiri sudah mencakup aspek yang sangat
luas
sejatinya
karena
adalah
awig-awig
penjabaran
Dengan
demikian,
dari
analisis terhadap ketentuan awig-
dari
awig desa pakraman yang telah
filosofi Tri Hita Karana, sehingga
diteliti, dapat disimpulkan bahwa
setiap
awig-awig
pelanggaran
keseimbangan pawongan
terhadap
hubungan-hubungan (hubungan
manusia),
palemahan
sesama (hubungan
desa
mengatur
pakraman
kompetensi
telah absolut
peradilan adat, yaitu bahwa peradilan adat
mempunyai
kewenangan
manusia dengan lingkungan), dan
menyelesaikan semua jenis perkara
parhyangan
adat
(hubungan
manusia
yang
dengan Tuhan); yang telah diatur
wilayahnya,
dalam awig-awig merupakan bentuk
pelanggaran
pelanggaran terhadap awig-awig.
sengketa.
terjadi baik
dilingkungan yang
berupa
hukum
Hanya
maupun
saja,
perlakuan
Di samping perkara-perkara
terhadap sengketa berbeda dengan
yang berupa pelanggaran hukum,
perkara yang berupa pelanggaran
dalam awig-awig juga dinyatakan
hukum,
di
bahwa
sengketa
baru
peradilan
menyelesaikan
adat
juga
perkara-perkara
lainnya, yaitu perkara-perkara yang
mana
penyelesaian
dilakukan
apabila
sudah ada pengaduan dari pihak yang berperkara.
318
Vol.6 No.2 2014 Yurisdiksi
peradilan
adat
aktivitas dan saling berinteraksi satu
yang hanya berwenang mengadili
dengan
perkara di wilayah desa pakraman
tertutup
dapat ditafsirkan dari frasa: “Sane
pelanggaran
wenang mawosin minakadi mutusang
sengketa.
wicara ring desa” (Yang berwenang
dengan penduduk yang tinggal di
menyelesaikan
wilayah
dan
memutuskan
lainnya,
sehingga
kemungkinan
terjadinya
hukum
Demikian
desa
maupun
pula
halnya
pakraman,
terkecuali
frasa itu, tidak bisa ditafsirkan lain
awig-awig yang diteliti, tampaknya
bahwa
pembentuk
berwenang
adat
hanya
mengadili
perkara-
Dari
tidak
perkara di desa pakraman). Dengan
peradilan
tamiu.
tidak
ketentuan
awig-awig
mengantisipasi
sudah
kemungkinan-
perkara yang terjadi di lingkungan
kemungkinan itu sehingga membuat
wilayah desa pakraman. Tetapi, di
ketentuan yang mewajibkan setiap
dalam wilayah desa pakraman hidup
penduduk yang tinggal di wilayah
dan
desa pakraman harus tunduk kepada
berinteraksi
dua
golongan
penduduk, yaitu (1) krama desa, yaitu
hukum
penduduk yang merupakan anggota
terhadap pranata peradilan adatnya.
kesatuan masyarakat hukum adat
Itu berarti, desa pakraman secara
desa pakraman; dan (2) krama tamiu
implisit sudah menentukan bahwa
atau tamiu, yaitu penduduk yang
peradilan adat berwenang mengadili
berada dalam wilayah desa pakraman
semua perkara adat yang terjadi di
karena
wilayah
suatu
kepentingan,
baik
adat
setempat,
hukumnya,
termasuk
termasuk
bertempat tinggal menetap maupun
terhadap orang yang bukan anggota
tinggal
desa pakraman.
sementara,
merupakan masyarakat
yang
anggota hukum
bukan kesatuan
adat
desa
pakraman. Secara teoritis maupun sosiologios sudah dapat dipastikan bahwa setiap orang yang tinggal bersama dengan orang lain di satu wilayah akan melakukan berbagai
3.4. Pengaturan Mekanisme dan Asas Kerja Peradilan Adat dalam Awig-awig Desa Pakraman Dalam
memahami
konsep
peradilan adat, selain pemahaman
319
Vol.6 No.2 2014 mengenai struktur dan kompetensi
ini lebih mirip dengan tatacara
peradilan adat, sangat penting juga
penyelesaian
dipahami mengenai mekanisme kerja
(litigasi).
peradilan
adat.
Moh.
melalui
peradilan
Koesnoe
Dari hasil penelitian terhadap
mengajarkan bahwa terdapat dua
awig-awig desa adat desa pakraman,
jalan dalam menyelesaikan perkara
tidak
adat, yaitu: (1) ajaran menyelesaikan
secara spesifik mengatur tentang pola
10
ditemukan
ketentuan
dan (2) ajaran memutus . Dalam
penyelesaian
ajaran menyelesaikan, asas yang
peradilan adat, apakah dilakukan
digunakan lebih mengutamakan asas
berdasarkan “ajaran menyelesaikan”
kerukunan,
yang lebih cendrung pada cara
keselarasan
dan
sehingga
diselesaikan
secara
musyawarah
ataukah
mendapatkan
penyelesaian
memutus” yang lebih cendrung untuk
yang terbaik bagi semua pihak,
mengadili suatu perkara. Walaupun
sehingga lebih mirip dengan model
awig-awig
peneyelesaian secara mediasi dalam
menyebut pilihan terhadap kedua
Alternative
tatacara
11
(ADR) .
Dispute Cara
Resulotion
secara
perdamaian
berdasarkan
desa
tersebut,
pakraman
namun
“ajaran
tidak
dengan
itu
penafsiran sistematis dan konseptual
berbeda dengan tatacara penyelesaian
dapat disimpulkan bahwa peradilan
berdasarkan “ajaran memutus”, di
adat dapat menyelesaikan perkara
mana dalam ajaran memutus, pihak
dengan menggunakan kedua ajaran
ketiga
tersebut
yang
penyelesaian
penyelesaian
penyelesaian
melalui
kepatutan
untuk
perkara
perkara
yang
terlibat perkara
dalam
berwenang
kebutuhan.
tergantung Dianutnya
kepada “ajaran
untuk memutuskan suatu perkara.
menyelesaikan” dapat ditafsirkan dari
Penyelesaian dengan cara memutus
tujuan (patitis) desa pakraman, yang sekaligus sebagai tujuan dibuatnya
10
Moh. Koesnoe, Catatan-catatan terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Surabaya, Airlangga University Press, hlm. 44-54. 11 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. hlm. 79
awig-awig. Dalam awig-awig desa pakraman umumnya ditemukan satu bab yang mengatur tentang tujuan dan dasar (patitis lan pamikukuh)
320
Vol.6 No.2 2014 desa pakraman, yaitu suasana tertib
penyelesaian perkara, yaitu sebagai
dan damai lahir bathin (“kasukertan
berikut.
desa
a. Penyelesaian secara berjenjang,
saha
pawongannya
niskala”).
sekala
Tujuan desa pakraman
yaitu
pada
tingkat
pertama
tersebut tentu saja sekaligus sebagai
perkara diselesaikan di tingkat
tujuan
banjar,
kemudian
perkara yang terjadi di wilayah desa
ditingkat
banjar
pakraman. Suasana tertib dan damai
diselesaikan maka penyelesaian
lahir batin dalam kehidupan desa
dilkukan
pakraman
pakraman.
dari
setiap
hanya
penyelesaian
mungkin
dapat
diwujudkan apabila setiap perkara yang
terjadi
dapat
di
permasalahan,
dengan tidak menyisakan masalah,
permasalahan
yaitu
pelanggaran
“ajaran
tidak
bisa
tingkat
desa
b. Membeda-bedakan
diselesaikan
dengan
apabila
yaitu yang
berupa
hukum
dengan
menyelesaikan”. Tetapi karena tidak
segera harus diselesaikan tanpa
mungkin
menunggu
semua
diselesaikan
perkara
dapat
dengan
menyelesaikan”,
awig-awig
adanya
laporan,
“ajaran
sedangkan yang berupa sengketa
desa
baru mendapat penyelesaian dari
pakraman juga menegaskan bahwa
peradilan
“desane
laporan (pengaduan) dari pihak
wenang
niwakang
adat
apabila
pamidanda ring warga sane sisip”
yang
(desa
menjatuhkan
membeda-bedakan permasalahan,
putusan yang berupa sanksi kepada
pembedaannya tidak seperti yang
warga desa yang bersalah), yang
dianut dalam hukum Barat di
tidak bisa lain harus dilakukan
mana perkara perdata disadili
dengan
perkara
oleh hakim perdata sedanghkan
memutus”
perkara pidana diadili oleh hakim
berwenang
menyelesaikan
berdasar
“ajaran
(mengadili).
Walaupun
pidana dengan hukum acara yang
Dalam pakraman
berperkara.
ada
yang
awig-awig diteliti,
desa berhasil
diidentifikasi beberapa asas dalam
berbeda pula. Dalam awig-awig, baik
perkara
pelanggaran
yang hukum
berupa maupun
321
Vol.6 No.2 2014 sengketa
diselesaikan
oleh
prajuru yang sama. c. Keputusan
sudah ditentukan dalam kitabkitab hukum.
harus
dapat
e. Desa
pakraman
berwenang
memberikan kepastian hukum,
menjatuhkan
memastikan kesalahan-kesalahan
sanksi terhadap warga desa yang
atau
terbukti
kebenaran
para
pihak
putusan
bersalah.
berupa
Pelaksanaan
berdasarkan tiga alat bukti (cara
keputusan dilakukan oleh seluruh
pembuktian), yang disebut tri
warga desa diwakili oleh prajuru.
pramana, yaitu: bukti (fakta-fakta dari
kejadian),
ilikita
f. Berat
ringannya
sanksi
yang
(bukti
dijatuhkan kepada pihak yang
tertulis), dan saksi (keterangan
bersalah dibedakan berdasarkan
saksi). Tidak ada penjelasan di
berat ringannya kesalahan.
dalam awig-awig, alat bukti mana yang
mempunyai
kekuatan
1. Simpulan
pembuktian terkuat. d. Penyelesaian
perkara
hukum adat yang disebut catur dresta, yaitu meliputi: (1) loka yaitu
penyelesaian
dilakukan dengan memandang baik atau buruknya kelakuan pihak poerwa
yang
berperkara; dresta,
(2) yaitu
penyelesaian perkara berdasarkan adat istiadat yang sudah berlaku sejak lama; (3) desa dresta yaitu penyelesaian menurut adat istadat negeri (desa), dan (4) sastra dresta,
yaitu
Berdasarkan pembahasan di
harus
didasarkan kepada aturan-aturan
dresta
IV. SIMPULAN DAN SARAN
penyelesaian
perkara menurut tatacara yang
atas,
penelitian
akhirnya
menyimpulkan sebagai berikut. 1. Pengaturan
mengenai
struktur
(institusi) peradilan adat sudah cukup jelas dalam awig-awig desa pakraman. Walaupun awigawig
tidak
menyebut
secara struktur
spesifik tersebut
sebagai struktur peradilan, tetapi dengan mengkonsepkan peradilan adat sebagai suatu mekanisme penyelesaian peradilan) dipraktekkan
perkara yang
(sistem
hidup
dalam
dan
kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat
322
Vol.6 No.2 2014 – termasuk kesatuan masyarakat
anggota desa pakraman (krama
hukum adat desa pakraman –
desa) maupun yang melibatkan
dapat dipersepsikan bahwa awig-
pihak yang bukan anggota desa
awig telah mengatur struktur atau
pakraman (krama tamiu).
institusi fungsi
yang peradilan
melaksanakan adat
3. Mekanisme kerja peradilan adat
dalam
tidak di tegaskan secara lengkap
kesatuan masyarakat hukum adat
dan jelas di dalam awig-awig
desa pakraman. Menurut awig-
desa pakraman. Dalam awig-awig
awig desa pakraman, peradilan
desa
terhadap perkara-perkara (wicara)
mengenai mekanisme awal dari
yang terjadi di dalam lingkungan
penyelesaian perkara adat, di
kesatuan masyarakat hukum adat
mana perlakuan terhadap perkara
desa pakraman dilaksanakan oleh
yang berupa pelanggaran hukum
prajuru secara berjenjang, yaitu
(kecorahan,
di tingkat banjar peradilan adat
awig, paswara, dan pararem)
diselenggarakan
prajuru
dibedakan perlakuannya dengan
banjar dipimpin oleh Kelihan
perkara yang bukan pelanggaran
Banjar sedangkan ditingkat desa
hukum.
dilaksanakan oleh prajuru desa
perkara
dipimpin Bendesa.
pelanggaran
oleh
pakraman
hanya
diatur
nungkasin
Untuk adat
awig-
menangani yang
berupa
hukum,
prajuru
2. Pengaturan mengenai kompetensi
selaku pelaksana peradilan adat
peradilan adat sudah cukup jelas
diharuskan bertindak aktif untuk
dalam awig-awig desa pakraman,
menyelesaikannya
terutama mengenai kompetensi
menunggu
berdasarkan
perkara.
sedangkan untuk perkara di luar
awig-awig
desa
itu, yaitu perkara yang berupa
peradilan
adat
sengketa, prajuru baru bertindak
Menurut pakraman,
pokok
tanpa
adanya
ada
laporan;
berwenang menyelesaikan semua
setelah
laporan
atau
perkara adat yang terjadi di
pengaduan
pihak
yang
wilayah desa pakraman, baik
berperkara.
Awig-awig
desa
perkara yang melibatkan sesama
pakraman tidak mengatur lebih
dari
323
Vol.6 No.2 2014 lanjut mengenai mekanisme kerja
desa diwakili oleh prajuru, serta
peradilan adat setelah perkara
(7)
tersebut
disesuaikan
masuk
dan
diproses
dalam peradilan adat.
asas
penjatuhan
sanksi
dengan
berat
ringannya kesalahan.
4. Asas rukun, laras, dan patut yang merupakan asas-asas kerja dalam menyelesaikan perkara adat, tidak ditemukan pengaturannya secara tegas dan spesifik dalam pasalpasal yang mengatur tentang peradilan adat. Dari bab yang secara khusus disediakan untuk mengatur penyelesaian perkara, dapat diidentifikasi beberapa asas dalam penyelesaian perkara adat, yaitu (1) asas penyelesaian secara berjenjang, bedakan
(2)
membeda-
permasalahan,
keputusan
yang
(3) dapat
memberikan kepastian hukum, (4) pembuktian berdasarkan tiga golongan pramana), dilakukan
alat
bukti
(5)
(tri
peradilan
berdasarkan
hukum
adat yang disebut catur dresta, (6) asas bahwa desa pakraman berwenang menjatuhkan putusan berupa sanksi terhadap warga desa mana
yang terbukti bersalah di pelaksanaan
keputusan
dilakukan oleh seluruh warga
2. Saran Dari temuan-temuan di atas, peneliti akhirnya mengajukan saran sebagai berikut. a. Desa pakraman perlu mengatur secara lebih lengkap dan jelas mengenai mekanisme dan asas kerja
yang
digunakan
dalam
penyeelsaian
perkara
adat.
Karena awig-awig membedakan antara perkara (wicara) yang berupa
pelanggaran
hukum
dengan sengketa, perlu dirinci bagaimana mekanisme serta asasasas kerja yang digunakan oleh prajuru
dalam
menyelesaikan
perkara-perkara tersebut; b. Penelitian ini perlu dilanjutkan dengan penelitian hukum empiris untuk
mengetahui
eksistensi
peradilan adat dalam kesatuankesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di Bali. Perlu diketahui dalam kenyataannya: (1) bagaimana srtuktur, (2) apa kompetensi, dan (3) bagaimana
324
Vol.6 No.2 2014 mekanisme, serta (4) apa asasasas kerja yang digunakan oleh peradilan adat di dalam praktek penyelsaian
perkara
kesatuan-kesatuan
dalam
masyarakat
hukum adat desa pakraman di
Koesnoe Moh., 1978, Catatancatatan terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press, Surabaya. Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Bali.
DAFTAR PUSTAKA Anandakusuma Sri Reshi., 1986, Kamus Bahasa Bali: BaliIndonesia, Indonesia-Bali, CV Kayumas, Denpasar. Badan Legislasi DPR RI, 2012, “Rancangan Undang-undang Nomor… Tahun…tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat”, Bahan kunjungan Kerja dalam Rangka Mendapatkan Masukan Terhadap Penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat dari Komisi III DPR RI, di kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali, 4 Oktober 2012. Friedman Lawrence M., 1969, The Legal System: A Social Science Perspektive, Russel Sage Foundation, New York. Kersten S.V.D. J., 1984, Bahasa Bali Bagian I Tatabahasa Bagian II Kamus Bahasa Bali Lumrah, Penerbit Nusa Indah, EndeFlores.
Sudantra I Ketut dan Wayan P Windia, 2012, Sesana Prajuru Desa Tatalaksana Pimpinan DesaAdat di Bali, Udayana University Press, Denpasar. Windia Wayan P. dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar,.
PERATURAN Republik Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Republik Indonesia, UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara Untuk menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilanpengadiklan Sipil, LNRI Tahun 1951 No. 9, TLNRI No. 31. Republik Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, LNRI Tahun 2001 Nomor 135; TLNRI Nomor 4151.
325
Vol.6 No.2 2014 Republik Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-undang, TLNRITahun 2008 Nomor 112; TLNRI Nomor 4884. Pemerintah Daerah Propinsi Bali, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman, Lembaran Daerah Propinsi Bali Tahun 2001 Nomor 29 Seri D Nomor 29. Pemerintah Daerah Propinsi Bali, Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, Lembaran Daerah Propinsi Bali Tahun 2003 Nomor 11; Tambahan
Lembaran Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Desa Adat Bebandem, 1981, Awigawig Desa Adat Bebandem . Desa Adat Bondalem, 1987, Awigawig Desa Adat Bondalem Desa Adat Badingkayu, 1995, Awigawig Desa Adat Badingkayu Desa Pakraman Gadungan, 2004 , Awig-awig Desa Pakraman Gadungan. Desa Adat Sembung, 2008, Awigawig Desa Adat Sembung . Desa Adat Denpasar, 1987, Awigawig Desa Adat Denpasar Desa Adat Belege, 1995, Awig-awig Desa Adat Belega. Desa Adat Sengkiding, 1987, Awigawig Desa Adat Sengkiding. Desa
Adat Gebog Satak Tiga Buungan, 1995, Awig Desa Adat Gebog Satak Tiga Buungan.
326