ANOTASI HUKUM PUTUSAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI PADA PENGADILAN NEGERI BANDUNG NO. 22/PID.Sus/TPK/2011/PN.BDG ATAS NAMA TERDAKWA MOCHTAR MUHAMMAD Oleh : Abdul Fickar Hadjar, SH., MH Dari bacaan putusan perkara pidana Korupsi No. 22/Pid/Sus/TPK/2011/PN.BDG. nyata sekali terlihat ada kesengajaan Majelis Hakim untuk membebaskan Terdakwa MOKHTAR MOHAMMAD dalam peradilan tindak pidana korupsi ini. - Indikator kesengajaan itu antara lain : a. Penangguhan penahanan yang walaupun menjadi kewenangan sepenuhnya Majelis Hakim, namun bertentangan dengan kebiasaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang tidak pernah memberi toleransi terhadap Terdakwa Tipikor; b. Tindakan Majelis Hakim yang tidak memberi perlakuan sama kepada Terdakwa / Penasehat Hukum dgn kepada JPU; c. Majelis Hakim sama sekali tidak mempertimbangkan pendekatan “fakta Terdakwa dapat menduga atau mengetahui” dalam tindak pidana yang didakwakan; d. Majelis Hakim banyak mengenyampingkan “fakta-fakta hukum yang merugikan Terdakwa” tanpa argumentasi yang jelas; e. Majelis banyak kekeliruan dalam menafsir atau sengaja mengelirukan diri dalam menafsir “unsur pasal” yang didakwakan. I. KASUS POSISI 1) Antara bulan Maret 2009 s/d Desember 2009 Terdakwa (MOCHTAR MOHAMAD) secara melawan hukum/menyalahgunakan kewenangannya selaku Walikota menyisihkan anggaran dari kegiatan fiktif atau mark up pada kegiatan Dialog/Audiensi dengan tokokh-tokoh masyarakat, Pimpinan/anggota organisasi kemasyarakatan/sosial dari Belanja Pengadaan/Pemberian Hadiah (MAK 5220209) dan Belanja Makanan Minuman Tamu (MAK 52221103) untuk membayar angsuran kredit pribadi Terdakwa pada Bank Jabar Banten tahun 2009 hingga mencapai Rp.639.000.000,- sehingga merugikan keuangan negara cq Pemerintah Kota Bekasi. 2) Pada antara bulan Desember 2009 s/d juni 2010 Terdakwa (MOCHTAR MOHAMAD) selaku Walikota Bekasi baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan TJANDRA UTAMA EFENDI (Sekretaris Daerah), HERRY LUKMANTOHARY (Inspektorat Daerah), HERRY SUPARJAN (Kabid Asset & Akutansi) (perkara sidang terpisah) memberi atau menjanjikan uang sebesar Rp.4.000.000.000,- kepada LILIK HARYOSO (Ketua Badan Anggaran DPRD Kota Bekasi Tahun 2010) pad tanggal 23 Desember 2009 dengan maksud agar LILIK berbuat sesuatu yaitu mempercepat proses pengesahan APBD Kota Bekasi Tahun 2010 yang terkatungkatung / tidak diselkesaikan dengan berbagai alasan yang tidak jelas. Dan memberikan Rp.400.000.000,- kepada Suharto (Pegawai BPK Propinsi Jawa Barat) untuk mendapatkan opini WTP. 3) Pada antara tanggal 1 Juni s/d 30 Juni 2010, di kantor Walikota Bekasi, Terdakwa (MOCHTAR MOHAMAD) selaku Walikota Bekasi baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama TJANDRA UTAMA EFENDI (Sekda) melakukan permufakatan jahat memberi atau menjanjikan sesuatu kepada MELDA MARDALINA pegawai negeri pada Kementrian Lingkungan Hidup berupa
uang sejumlah Rp.500.000.000,- dengan maksud agar Tim Penilai Adipura termasuk MELDA memberikan penilaian dengan layak atau nilai 73, sehingga Pemkot Bekasimendapatkan penghargaan ADIPURA tahun 2010. II. TENTANG DAKWAAN A. Konstruksi Dakwaan Terdakwa dalam perkara ini didakwa dengan dakwaan yang bersifat kumulatif, yaitu: KESATU Primair: Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang. No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentangPemberantasan Korupsi; Subsidiair: Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang. No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi; KEDUA Pertama Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tenang Perubahanatas Undang-undangNo. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. Atau Kedua Pasal 13 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tenang Perubahan Undang-undang No. 31Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.. KETIGA Pertama Pasal 5 ayat (1) huruf a jo Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tenang Perubahanatas Undang-undangNo. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Atau Kedua Pasal 13 jo Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tenang Perubahan Undang-undang No. 31Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. B. CATATAN PENGGUNAAN PASAL 2 DALAM DAKWAAN Jika diperhatikan secara cermat, dakwaan disusun secara kumulatif berlapis tiga, dari ketiga dakwaan tersebut tindak pidana yang didakwakan Penuntut Umum seluruhnya merupakan tindak pidana korupsi. Pada kasus ini merupakan dugaan tindak pidana yang terjadi berkenaan dengan tindakan-tindakan dan kebijakan-kebijakan yang diambil pada terdakwa selaku Walikota Bekasi. Demikian juga kedudukan para saksi yang sekaligus juga menjadi terdakwa dalam tindak pidana korupsi penyuapan merupakan pegawai negeri atau penyelenggara negara, yaitu berkedudukan sebagai pegawai negeri yaitu Sekretaris Daerah dan Inspektorat Daerah. Sehingga karenanya
baik kebijakan maupun indakan-tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa maupun bersama-sama saksi ada dalam ranah jabatannya sebagai pegawai negeri. Menurut hemat kami / Annator, penggunaan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberanasan Korupsi pada Dakwaan Kesatu Primer adalah berlebihan (redundent). Karena bagaimanapun tindakan melakukan penyisihan atau memerintahkan penyisihan anggaran dari kegiatan fiktif atau mark up pada kegiatan Dialog/Audiensi dengan tokokh-tokoh masyarakat, Pimpinan/anggota organisasi kemasyarakatan/sosial di Kota Bekasi hanya dapat dilakukan oleh TERDAKWA sebagai Walikota ataupun pejabat pegawai negeri lainnya dilingkungan Pemkot Bekasi. Oleh karenanya lebih tepat dikualifisir sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang jabatan publik (Vide Pasal 3 joPasl 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001). Menebar jaring dalam memerangkap ikan besar adalah hal yang wajib dilakukan, namun harus dipikirkan pada masa yang akan datang apakah pengunaan pasal yang belebihan dalam dakwaan tidak justru mengurangi kredibilitas dakwaan itu sendiri. C. Tentang Uraian Tindak Pidana dalam Dakwaan Dalam Pasal 143 ayat (1) huruf b KUHAP ditentukan bahwa, dakwaan memuat “uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan”. Apabila Surat Dakwaan dalam perkara ini dicermati, maka ada dua rumusan tindak pidana yang dijadikan pangkal tolak dakwaan. Dalam Dakwaan KESATU Primair menggunakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Sedangkan dalam Dakwaan KESATU Subsidiair menggunakan pangkal tolak Pasal 3 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Dalam kedua rumusan delik tersebut, terdapat perbedaan yang sangat fundamental. Terutama berkenaan dengan adanya unsur “melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat (1), dan adanya unsur “menyalahgunakan kewenangan, sarana dan kesempatan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 3 Undang-Undang Korupsi. Kedua unsur ini menyebabkan “uraian tindak pidana” yang ada dalam dakwaan seharusnya berbeda satu sama lain. Namun demikian, dalam Surat Dakwaan KESATU Primair dan Subsidair perkara ini tidak terdapat perbedaan yang prinsipiel berkenaan uraian perbuatannya antara dakwaan-dakwaan tersebut. Padahal seharusnya karena “melawan hukum” berbeda dengan “penyalahgunaan kewenangan” maka “uraian perbuatan” berkenaan unsur tersebut juga sangat berbeda. Dalam semua dakwaan tersebut memuat uraian sebagai berikut: KESATU Primair: “Bahwa TERDAKWA MOCHTAR MOHAMAD,selaku Walikota Bekasi berdasarkan Keputusan Menteri Dalam negeri Nomor......................................................................dst, bulan Maret 2009 s/d Desember 2009............dst...... secara melawan hukum yaitu TERDAKWA menyisihkan anggaran dari kegiatan fiktif atau markup pada kegiatan Dialog/Audiensi dengan tokoh-tokoh masyarakat Pimpinan /Anggota Organisasi Sosial/Kemasyarakatan Tahun 2009 dengan Mata Anggaran 5220209 Belanja Pengadaan/Pemberian Hadiah/Dana Kerohiman dan Mata Anggaran 52221103 Belanja Makanan Minuman Tamu bersumber dari APBD tahun 2009, yang kemudian dari hasil penyisihan anggaran tersebut dipergunakan oleh TERDAKWA untuk membayar angsuran pinjaman kredit pribadi Terdakwa pada Bank Jabar Banten tahun 2009 hingga sebesar Rp.639.000.000,-, perbuatan TERDAKWA bertentangan dengan: - Pasal 28 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur bahwakepala daerah dilarang: huruf a; membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi
diri, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, huruf c: melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi putusan atau tindakan yang akan dilakukannya; huruf e: menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya ; - Jo bertentangan dengan Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 3 ayat (3) bahwa: setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN/APBD jika anggaran untukmembiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia: - Jo bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 13 ayat (1) bahwa “setiap pengeluaran belanja atas beban APBD harus didukung bukti yang lengkap dan sah; memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu memperkaya diri TERDAKWA sebesar Rp.639.000.000,- yang dapat merugikan keuangan negara cq Pemerintah Kota Bekasi yaitu sebesar Rp.639.000.000,- sebagaimana Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara dari BPKP No. SR-1145/PW09/5/2011 tanggal 14 Februari 2011 atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut perbuatan mana dilakukan TERDAKWA dengan cara-cara: dst... KESATU Subsidair = (sama dengan) Kesatu Primair, perbedaan hanya ada perubahan dari kalimat secara melawan hukum dst diganti dengan dengantujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu menguntungkan TERDAKWA dst...... menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yaitu TERDAKWA....dst. = KESATU Primair Uraian sebagaimana dikemukakan di atas merupakan salah satu uraian yang menurut hemat kami / Annator merupakan hal yang diarahkan pada penggambaran baik unsur “melawan hukum” maupun “penyalahgunaan kewenangan” dalam dakwaan-dakwaan tersebut. Dalam putusan perkara tersebut yang memuat Dakwaan secara utuh terdapat dalam halaman 2-3 (Dakwaan KESATU Primair) dan halaman 11-12 (Dakwaan KESATU Subsidiair). Cara penyusunan dakwaan seperti ini membuat “dakwaan kabur” (obscuur libel) karena tidak menguraikan perbuatan tentang tindak pidana yang didakwaan secara jelas dan tepat. Menurut pendapat Annator : Dakwaan “melawan hukum” harus ditekankan pada pelanggaran yang dilakukan orang tidak dalam jabatan negeri dan melanggar peraturan perundangan positif (formil) juga kepatutan, kesusilaan baik dst (materiil). Sedangkan Dakwaan “menyalahgunakan jabatan” lebih ditekankan pada “menggunakan kewenangan yang tidak sesuai dengan tujuan diberikannya kewenangan itu sendiri (melebihi / menyimpang dsb). III. TENTANG FAKTA DI PERSIDANGAN A. FAKTA PERSIDANGAN Dalam persidangan telah diperiksa keterangan saksi-saksi & pemeriksaan barang bukti : - Jaksa Penuntut Umum mengajukan 48 orang saksi fakta; 2 orang saksi ahli; 310 bukti dokumen/surat; 10 bukti berupa barang; Notes: Dari seluruh jumlah bukti dokumen / surat yang diajukan Jaksa Penuntut Umum tidak ada satupun diajukan bukti putusan pengadilan Tipikor yang telah menjatuhkan hukuman terhadap saksi-saksi yang bekerjasama dengan Terdakwa (al. Saksi Tjandra Utama Efendi (Sekda). - Terdakwa (Penasehat hukum) mengajukan: 36 orang saksi; 3 orang saksi ahli (ade charge)
33 bukti dokumen/surat B. CATATAN TENTANG TIDAK DIAJUKANNYA BUKTI PUTUSAN YG MENGHUKUM SAKSI- SAKSI (SEKDA & INSPEKTORAT) Bahwa dari dakwaan kumulatif yang didakwakan kepada Terdakwa tercantum juga dakwaan dimana perbuatan TERDAKWA dilakukan bersama-sama saksi-saksi yang dalam perkara terpisah juga “berstatus sebagai Terdakwa” ic saksi Tjandra Utama Efendi & saksi Lukmantohary. Dengan telah diputuskan dan dijatuhinya hukuman terhadap Tjandra Utama Efendi & Lukmantohary dalam perkara terpisah, maka semua fakta persidangan keterangan saksi, ahli yang berkesesuaian dengan barang bukti lainnya, maka dengan sendirinya hal tersebut telah menjadi fakta-fakta hukum. Fakta hukum ini jelas akan sangat memberatkan bagi TERDAKWA, jika fakta-fakta hukum tadi dikemukakan dalam persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum. Namun sepanjang penelitian kami selaku annator, tidak satupun bukti dokumen / surat yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum berupa putusan pengadilan Tipikor terhadap Terdakwa Tjandra Utama Efendi & Lukmantohary diajukan dalam perkara ini, sehingga semua stake holder dalam perkara ini termasuk MAJELIS HAKIM berpandangan bahwa fakta hukum yang terjadi dalam perkara ini adalah sepanjajang yang diajukan dan terjadi di persidangan aquo. Adalah logis dan seharusnya Jaksa Penuntut Umum mengajukan Bukti Putusan Pengadilan Tipikor yang menghukum para saksi yang telah menjadi fakta hukum, untuk mendukung dan memperkuat dakwaannya. Annator menemukan bukti Salinan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 25/Pid.B/TPK/2010/PN.JKT.PST tanggal 8 Nopember 2010 a/n Terdakwa Tjandra Utama Efendi yang diajukan oleh TERDAKWA / Penasehat Hukumnya. Akan tetapi meski diajukan oleh Terdakwa sebagai salah satu bukti, (tentu saja dimaksudkan untuk membela diri membuktikan bahwa Terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi), tetapi sepanjang penelitian annator “putusan tersebut” sedikitpun tidak disebut, dibahas atau dijadikan pertimbangan oleh Majelis Hakim dalam putusannya. Yang menjadi pertanyaan adalah : (1) mengapa “putusan pengadilan tipikor terhadap Tjandra Utama & Lumkamntohary” tersebut diajukan oleh Terdakwa ? (2) Mengapa Jaksa Penuntut Umum tidak menggunakan fakta-fakta hukum dalam putusan tersebut utuk memperkuat dakwaannya?, (3) Mengapa Majelis Hakim tidak mempertimbangkan sama sekali fakta hukum dalam perkara tersebut ? IV. PUTUSAN HAKIM A. Putusan Majelis Hakim Majelis Hakim berkesimpulan: (1) dakwaan terrhadap Terdakwa MOCHTAR MOHAMAD selaku Walikota Bekasi tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Tipikor atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor dan melanggar Pasal 13 UU Tipikor jo Psl 55 ayat (1) ke 1 KUHPidana jo Psal 65 ayat (1) KUHPidana dan melanggar Pasal 13 jo 15 UU Tipikor. (2) Membebaskan Terdakwa Mochtar Muhammad dari seluruh dakwaan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum. Argumen pembuktiannya : - Tidak terbukti “unsur setiap orang” dalam dakwaan JPU Kesatu Primair Pasal 2 UU No 31 Tahun 1999, karena Terdakwa Pegawai Negeri / Penyelenggara Negara; - Terdakwa tidak “melawan hukum”, karena ternyata kegiatan dialog dan audiensi antara Terdakwa dengan para tokoh masyarakat itu ada dan tidak fiktif dan tindakan Terdakwa melakukan
pinjaman pribadi kepada Bank Jabar dan memotong anggaran untuk membayar angsurannya adalah Diskresi / Freies Ermerson bertujuan atau demi melayani kepentingan publik; - Tindakan Terdakwa “tidak bertujuan menguntungkan diri sendiri”, karena uang yang telah dikembalikan oleh Pemkot Bekasi kepada Terdakwa adalah sejumlah Rp.639.000.000,sedangkan yang dianggarkan APBD Kota Bekasi tahun 2009 sebesar Rp.1.378.025.000,-, jadi Negara yang diuntungkan Rp.700.000.000,-; - Dalam menanggapi “unsur memeberi atau menjanjikan sesuatu” Majelis Hakim telah mempertimbangkannya bahwa di persidangan tidak ada satu saksipun yang melihat & mendengar Terdakwa ”menyerahkan atau menjanjikan sesuatu” baik pada anggota DPRD Kota Bekasi maupun pegawai BPK Propinsi Jawa Barat; - Terdakwa “tidak memberi hadiah atau menjanjikan sesuatu” sebagaimana keterangan Saksi Melda Mardalina (PNS Kementrian KLH), karena Terdakwa MOHTAR MUHAMAD menolak keterangan tersebut. V. Tentang PERTIMBANGAN HUKUM PUTUSAN A. Pertimbangan hukum tentang unsur “Setiap Orang” Tafsir “setiap orang” yg inkonsisten Pasal 1 ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi secara jelas memberi pengertian “Setiap Orang” sebagai orang perseorangan atau termasuk korporasi. Pengertian ini jelas yang disebut setiap orang adalah siapapun orangnya tanpa dikaitkan dengan status, kedudukan dan jabatannya. Namun dalam putusan Perkara tindak pidana Korupsi No. 22/Pid/Sus/TPK/2011/PN.BDG. Majelis Hakim telah melakukan sikap yang inkonsisten dalam memberi tafsir unsur “Setiap Orang”, yaitu disatu sisi unsur setiap orang dikaitkan dengan jabatannya untuk menafsir tindak pidana yang dapat dilakukan oleh siapa saja baik yang berstatus pegawai negeri maupun tidak (Pasal 2 UU Tipikor), namun di sisi yang lain terhadap tindak pidana lain (suap Pasal 5) sama sekali tidak mempersoalkannya. Padahal unsur “setiap orang” pada Pasal 5 ayat (1) UU Tipikor pun dapat dilakukan baik oleh orang yang mempunyai jabatan atau tidak. Hal mana terlihat dari uraian pertimbangan hukumnya pada hal 263-264 dan hal 280. B. Pertimbangan hakim tentang Unsur “melawan hukum” Dalam membahas unsur “melawan hukum”, Majelis Hakim telah cukup komprehensif membahas dan mempertimbangkannya dengan mengutif doktrin (pendapat para sarjana) antara lain Prof. Dr. Komariah Emong Sapardjaja, SH, Prof. Ruslan Saleh, SH dan Drs. PAF Lamintang, SH, Keputusan MK No.003/PUU/2006 dan Yurisprodensi MARI. Sebagaimana juga dikemukakannya dalam pertimbangan hukum halaman 269 yang pada pokoknya menyatakan : ” bahwa Majelis Hakim dalam mengadili perkara ini akan mempertimbangkan selain Keputusan MK No.003/PUU/2006 juga akan memperhatikan yurisprodensi MARI tentang makna perbuatan melawan hukum dalam arti formal dan dalam arti materiil yang harus tetap dijadikan pedoman untuk terbinanya konsistensi penerapannya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi”. Namun demikian ketika harus menerapkan dan menetapkan pendiriannya tentang “unsur melawan hukum” dalam perkara ini, Majelis Hakim telah melakukan kekeliruan dan kesalahan karena secara sengaja tanpa memberikan alasan telah mengenyampingkan fakta-fakta hukum yang merugikan Terdakwa. Secara sengaja mengesampingkan keterangan Ahli BPKP Dalam menafsir unsur “melawan hukum” (Putusan hal 269 – 276) , Majelis Hakim sengaja telah mengenyampingkan keterangan saksi Ahli BPKP (Arman Sahri Harahap) padahal telah diketahuinya Ahli BPKP lah yang mempunyai kompetensi memeriksa keuangan negara ic
Pemkot Bekasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Majelis Hakim hanya mempertimbangkan ada tidaknya kegiatan Dialog Terdakwa dengan Tokoh Masyarakat berdasarkan Keterangan Akuntan Publik Rekson Nainggolan, bukan mempertimbangkan fakta bahwa dari sejunlah laporan pelaksanaan dialog ada 13 kegiatan yang fiktif atau kegiatan yang dilaksanakan lebih tinggi harga / biayaanya dari angaran yang sebenarnya. Sebagaimana keterangan Ahli yang didukung bukti-bukti surat, sebagai berikut: Saksi Ahli BPKP Arman Sahri Harahap (hal 190) antara lain menjelaskan: - Ahli melakukan perhitungan kerugian negara dalam penyimpangan keuangan negara cq Pemkot Bekasi terkait angaran dialog dengan tokoh masyarakat TA 2009 ada kerugian sejumlah Rp.660.398.544,-, yaitu berasal dari Surat Pelaksanaan Perjalanan Dinas (SP2D); - Ahli mengadakan pengujian data, menghitung dan memastikan ada ditemukan 13 kegiatan yang tidak dilaksanakan, dan dengan konfirmasi kepada beberapa pihak ada kegiatan dialog namun harga/biayanya lebih tinggi dari yang seharusnya. - Saksi SUHARNI (hal 99, saksi yang mengadministrasikan kegiatan Walikota) yang menyatakan bahwa dalam tahun 2009 terdapat 24 kegiatan dialog dari jumlah tersebut 15 kegiatan fiktif dan 9 yang dilaksanakan.(Vide Ket Saksi DINAS FAISAL BADAR hal 150) Meminjam uang secara pribadi bukanlah freis ermersen / diskresi Tindakan Terdakwa meminjam uang secara pribadi kepada Bank dan menyisihkan potongan dari kegiatan APBD, meski untuk menutup kegiatan Pemkot tidak dapat dinyatakan sebagai tindakan tata usaha negara yang disebut Diskresi / Freis Ermersen, tafsir yang demikian adalah kekeliruan Majelis Hakim dalam memahami institusi diskresi dalam ranah hukum administrasi negara. Diskresi atau freis ermersen itu adalah wewenang Pejabat Tata Usaha Negara secara sepihak tanpa mempertimbangkan pendapat atau keadaan pihak yang terkena diskresi. Dan diskresi itu dilakukan atas nama Badan Tata Usaha Negara bukan atas nama pribadi[3]. Oleh karena itu jikapun tindakan Terdakwa disamakan dengan diskresi –quod non-, maka seharusnya ketika mengajukan kredit ke Bank Terdakwa bertindak sebagai Walikota Bekasi sebagai badan tata usaha negara. Jadi baik alasan tidak fiktifnya kegiatan dialog maupun tindakan meminjam uang dan memotong pembayarannya dari APBD sebagai Diskresi, tidaklah menghilangkan unsur melawan hukum dari dakwaan, tindakan Terdakwa tersebut melawan hukum baik secara formil melanggar peraturan perundangan sebagaimana disebutkan dalam Dakwaan, maupun melawan hukum secara materiil. C. Pertimbangan hukum tentang unsur “ dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain” Dalam mempertimbangkan terbukti atau tidaknya “unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain”, Majelis hakim telah menarik kesimpulan yang keliru, yaitu ada fakta uang dari APBD Pemkot Bekasi mengalir kepada Terdakwa sejumlah Rp.639.000.000,-, demikian juga ada perhitungan Akuntan Publik Rekson Nainggolan bahwa anggaran kegiatan dialog dalam APBD Bekasi sejumlah Rp.1.378.025.000,-. Dari fakta ini Majelis Hakim
[3] Suatu perbuatan Badan Tata Usaha Negara disebut sebagai Freiss ermerseen atau diskresi
berdasarkan doktrin para sarjana, jika memenuhi beberapa unsur antara lain: 1) belum ada aturan perundang-undangan yang mengatur; 2) perundang-undangan yang ada memberi kebebasan kepada pejabat tata usaha negara; 3) ada delegasi di perundang-undangan kepada pejabat tata usaha negara.
mengambil kesimpulan bahwa bukan Terdakwa Mohtar Muhammad yang diuntungkan melainkan Negara yang diuntungkan Rp.700.000.000,Bahwa kesimpulan Majelis Hakim tersebut jelas keliru, karena baik keterangan keseluruhan para saksi maupun bukti pendukungnya, TIDAK DITEMUKAN BUKTI penyetoran uang Terdakwa MOHTAR MUHAMAD kepada Pemkot Bekasi untuk digunakan kegiatan dialog sejumlah Rp.1 Milyard. Meskipun ada bukti Persetujuan Kredit Multi Guna atas nama MOHTAR MOHAMAD pribadi, tetapi tidak ditemukan bukti penggunaannya untuk kepentingan Pemkot Bekasi. Dengan demikian jelas dengan telah menerima pembayaran angsuran kredit pribadinya sejumlah Rp.639.000.000,- (enam ratus tiga puluh sembilan juta rupiah) Terdakwa MOHTAR MUHAMAD telah merugikan keuangan negara sejumlah Rp.639.000.000,D. Pertimbangan hukum unsur “memberi atau menjanjikan sesuatu” - Dalam menanggapi “unsur memeberi atau menjanjikan sesuatu” pada Dakwaan Kedua Pertama & Kedua (Pasal 5 ayat (1) a UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana), Majelis Hakim telah mempertimbangkannya bahwa di persidangan tidak ada satu saksipun yang melihat & mendengar Terdakwa ”menyerahkan atau menjanjikan sesuatu” baik pada anggota DPRD Kota Bekasi maupun pegawai BPK Propinsi Jawa Barat, sebagaimana dikemukakannya pada halaman 283 putusan, dan menyatakan unsur ini tidak terbukti. - Dengan pertimbangan yang demikian Majelis Hakim telah secara sengaja mengenyampingkan fakta-fakta hukum yang dikemukakan saksi-saksi di muka persidangan, antara lain: - 1. Kehendak Terdakwa agar APBD segera di sahkan oleh legislatif yang telah tertunda-tunda tanpa alasan yang jelas, dengan memerintahkan masing-masing SKPD untuk menyetorkan dana 2 % kepada saksi Chandra Utama Efendi (Sekda) untuk diberikan kepada anggota DPRD Kota Bekasi untuk mempercepat pengesahan APBD tahun Anggaran 2010 (Keterangan saksi CHANDRA UTAMA EFENDI hal 105, saksi AGUS SOFYAN hal 153, saksi AHMAD ZULNAINI hal 116); - 2. Terkumpulnya dana sejumlah Rp.4.000.000.000,- (Empat Milyar dua ratus lima puluh juta rupiah) dari SKPD-SKPD ditangan saksi CHANDRA UTAMA EFENDI telah diserahkan kepada anggota DPRD Kota Bekasi LILIK HARYOSO sebagai Ketua Harian badan Anggaran DPRD Kota Bekasi(Keterangan Saksi CHANDRA UTAMA EFENDI hal 105 & 106); - 3. Fakta bahwa saksi IIS WISNUWATI selaku anggota Tim TPAD finalisasi RAPBD Bekasi pada tanggal 23 Desember 2009 melihat LILIK HARSOYO menyeret tas hitam membawa masuk ke kamar 111 di Villa 200 dan setelah itu beberapa angota DPRD Bekasi keluar masuk kamar LILIK HARSOYO dengan membawa tas kresek warna hitam dan warna lain (halaman 112); - 4. Fakta bahwa Saksi MAHMUD diminta tolong oleh LILIK HARSOYO untuk mengambil tas hitam dari bagasi Pak Sekda (saksi CHANDRA UTAMA EFENDI) denga cara menyeret dan membawanya ke kamar pak LILIK HARSOYO di Villa 200 (halaman 113); - 5. Fakta keterangan saksi SUHARTO (Pegawai BPK Propinsi Jawa Barat) yang menyatakan menerima uang sejumlah Rp.400 juta dari saksi Hery Suparjan dan Hery Lukmantohary (Inspektorat Pemkot Bekasi) yang pada waktu penyerahan yang kedua ditangkap KPK (Keterangan Saksi SUHARTO hal 127, HERY SUPARJAN hal 125 & HERI LUKMANTOHARY hal ); - 6. Fakta bahwa saksi-saksi CHANDRA UTAMA EFENDI (Sekda), HERRY LUKMANTOHARY (Inspektorat) dan HERY SUPARJAN (Kabid Aset Dinas Pendapatan & Pengelolaan Aset Pemkot Bekasi) adalah PNS bawahan Terdakwa di Pemkot Bekasi yang menerima perintah dari Terdakwa. - 7. Fakta bahwa saksi CHANDRA UTAMA EFENDI telah menjadi terpidana dalam perkara penyuapan kepada BPK dan sudah dihukum 3 tahun penjara; (Ket Saksi Chandra Utama Efendi);
Demikian juga pengenyampingan fakta-fakta hukum yang mengemuka dalam persidangan tersebut dengan menyatakan bahwa “perbuatan Terdakwa baru merupakan perbuatan persiapan dan belum merupakan pelaksanaan sebagai unsur objektif yang dilarang oleh ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor”(hal 282) adalah pertimbangan hukum yang keliru dan cenderung mencari-cari, karena: 1. Terdakwa patut menduga dan mengetahui dengan kehendak Terdakwa agar RAPBD segera diputuskan legislatif dan kehendak Terdakwa agar mendapatkan laporan keuangan Pemkot Bekasi WTP diterima sebagai perintah oleh aparatnya; 2. Terdakwa patut menduga dan mengetahui bahwa perintahnya kepada masing-masing SKPD menyetorkan uang kepada CHANDRA UTAMA EFENDI (Sekda) untuk mewujudkan kehendaknya tersebut ditindak lanjuti dengan pemberian uang baik kepada Anggota DPRD Bekasi (Lilik Haryoso) maupun kepada BPKP Jawa Barat (Suharto). Apalagi dalam dakwaan Pertama dan kedua digunakan juga Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP yang menjelaskan kedudukan dan peran seseorang dalam terjadinya sebuah tindak pidana termasuk korupsi, yaitu sebagai pelaku (pleger), pelaku peserta (medepleger), pembuat pelaku atau penyuruh (doen pleger) dan pemancing atau penganjur (uitlokker). Jadi dengan adanya faktafakta hukum sebagaimana dikemukakan diatas sangat jelas bahwa Terdakwa MOHTAR MOHAMAD merupakan pelaku dalam kedudukannya sebagai penyuruh (doen pleger). Dengan demikian meski Terdakwa tidak memberi sendiri sejumlah uang kepada Lilik Harsoyo (Anggota DPRD Bekasi sejumlah Rp.4,5 Milyard) dan kepada Suharto (Pegawai BPKPropinsi Jawa Barat Rp.400 juta), perbuatannya telah selesai dilaksanakan melalui perintah yang dilaksanakan oleh Saksi Chandra Utama Efendi, Herry Suparjan dan Hery Lukmantohary yang notabene bawahan Terdakwa. E. Pertimbangan hukum unsur “memberi hadiah atau janji” Dalam pertimbangan hukum mengenai “unsur memberi hadiah atau janji”, Majelis Hakim menyatakan bahwa unsur tersebut tidak terbukti karena Terdakwa MOHTAR MUHAMAD menolak keterangan Saksi MARDALINA.. Pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam menafsir dan menerapkan “unsur memberi hadiah atau janji” pada dakwaan KETIGA Pertama maupun Kedua tersebut keliru, karena hal tersebut telah mengenyampingkan fakta hukum-fakta hukum antara lain: 1. Pengakuan saksi MELDA MARDALINA (PNS Kementrian KLH) yang menyatakan pernah akan diberikan uang sejumlah Rp.200 juta di dalam mobil setelah melakukan peninjauan lokasi titiktitik pantau penilaian Adipura kota Bekasi; 2. Keterangan Saksi Ratna Kartika Sari Ketua Tim Pemantau Adipura, hal 141 yang menyatakan mengetahui Terdakwa akan memberikan uang Rp.200 juta kepada Saksi MELDA MARDALINA;; 3. Rapat tangal 1 Juni 2010 yang dipimpin Terdakwa memerintahkan kepada para SKPD untuk kontribusi terkait ADIPURA (Ket Saksi Chandra Utama Efendi hal 109); KESIMPULAN: Berdasarkan anotasi-anotasi sebagaimana annator kemukakan diatas, dapatlah disimpulkan halhalsebagai berikut: - Dari bacaan putusan perkara pidana Korupsi No. 22/Pid/Sus/TPK/2011/PN.BDG. nyata sekali terlihat ada kesengajaan Majelis Hakim untuk membebaskan Terdakwa MOKHTAR MOHAMMAD dalam peradilan tindak pidana korupsi ini,; - Indikator kesengajaan itu antara lain :
f. Penangguhan penahanan yang walaupun menjadi kewenangan sepenuhnya Majelis Hakim, namun bertentangan dengan kebiasaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang tidak pernah memberi toleransi terhadap Terdakwa Tipikor; g. Tindakan Majelis Hakim yang tidak memberi perlakuan sama kepada Terdakwa / Penasehat Hukum dgn kepada JPU; h. Majelis Hakim sama sekali tidak mempertimbangkan pendekatan “fakta Terdakwa dapat menduga atau mengetahui” dalam tindak pidana yang didakwakan; i. Majelis Hakim banyak mengenyampingkan “fakta-fakta hukum yang merugikan Terdakwa” tanpa argumentasi yang jelas; j. Majelis banyak kekeliruan dalam menafsir atau sengaja mengelirukan diri dalam menafsir “unsur pasal” yang didakwakan. Kesengajaan-kesengajaan tersebut dapat dilihat dari beberapa fakta, antara lain: 1. Jaksa Penuntut Umum Terdapat beberapa hal yang dapat diindikasikan sebagai kelemahan JPU dalam membuat Surat Dakwaan, antaralain: a. Jaksa Penuntut Umum dalam membuat dakwaan terasa berlebihan (redundent) dengan menggunakan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, padahal diketahuinya secara jelas baik pelaku, pelaku peserta, saksi-saksi maupun tempat terjadinya tindak pidana dilingkungan instansi negara, yang lebih akurat jika dakwaan didasarkan pada penyalahgunaan jabatan atau kesempatan (Vide Pasal 3 UU Tipikor); b. Penyusunan dakwaan dengan penggambaran peristiwa yang serupa antara dakwaan Kesatu Primair dan Kesatu Subsidair sebagaimana dikemukakan Jaksa Penuntut Umum merupakan salah satu uraian yang diarahkan pada penggambaran baik unsur “melawan hukum” maupun “penyalahgunaan kewenangan” dalam dakwaan-dakwaan tersebut. Cara penyusunan dakwaan seperti ini berpotensi dakwaan dinayatakan sebagai “dakwaan kabur” (obscuur libel) karena tidak menguraikan perbuatan tentang tindak pidana yang didakwaan secara jelas dan tepat; c. Jaksa Penuntut Umum tidak mengajukan Bukti Putusan Pengadilan Tipikor yang menghukum para saksi yang telah menjadi fakta hukum, untuk mendukung dan memperkuat dakwaannya. Padahal dalam dakwaannya disebutkan perbuatan TERDAKWA dilakukan bersama-sama saksi-saksi yang dalam perkara terpisah juga “berstatus sebagai Terdakwa” ic saksi Tjandra Utama Efendi & saksi Lukmantohary yang telah diputus oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. 2. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung: a. Majelis Hakim telah melakukan sikap yang tidak konsisten (inkonsisten) dalam menafsirkan unsur “setiap orang” utamanya unsur setiap orang pada pasal 2 UU Tipikor yang mengkaitkannya dengan jabatan, padahal Pasal 1 ayat (3) UU Tipikor telah memberi batasan yang jelas tentang “unsur setiap orang”; b. Majelis Hakim terlihat cenderung sengaja mengenyampingkan fakta-fakta hukum yang terjadi dalam persidangan yang terekam dalam putusan NO. 22/PID.Sus/TPK/2011/PN.BDG dalam menapsirkan unsur-unsur tindak pidana untuk membebaskan Terdakwa. Hal ini terlihat dari pertimbangan hukumnya atas unsur-unsur dakwaan yang dinyatakan tidak terbukti, yaitu antara lain: “unsur melawan hukum” dalam Dakwaan Kesatu Primair: Majelis Hakim secara sengaja telah mengenyampingkan keterangan: saksi Ahli BPKP (Arman Sahri Harahap) padahal telah diketahuinya Ahli BPKP lah yang mempunyai kompetensi memeriksa keuangan negara ic Pemkot Bekasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Demikian juga Saksi SUHARNI yang nota bene Staf Pemkot Bekasi yang mengadministrasikan kegiatan Walikota. “unsur “memberi atau menjanjikan sesuatu” dalam Dakwaan Kedua Pertama dan Kedua Majelis Hakim telah secara sengaja mengenyampingkan fakta-fakta hukum yang menyatakan adanya perintah kepada bawahannya untuk mengumpulkan dana guna mempercepat disahkannya APBD Pemkot Bekasi Tahun 2010 dan Penilaian WTP dari BPKP Jawa Barat. Demikian juga fakta hukum pemberian sejumlah dana kepada Anggota DPRD Bekasi dan Pegawai BPKP Jawa Barat oleh bawahannya. unsur “memberi hadiah atau janji” Majelis Hakim telah secara sengaja mengenyampingkan fakta-fakta hukum yang menyatakan adanya suap atau akan adanya pemberian uang kepada saksi MELDA MARDALINA (PNS Kementrian KLH yang mengurusi Adipura); c. Majelis Hakim keliru dalam menafsirkan unsur-unsur tuiindak pidana korupsi lainnya seperti unsur melawan hukum dalam kaitannya dengan diskresi, dan unsur memperkaya diri sendiri terutama dalam memahami fakta-fakta yang terkait dengan unsur tersebut.
[1] Disampaikan pada Sidang Examinasi Focus Grouf Discussion, ICW, Hotel Grand Alia,
Jakarta, 13 Desember 2011; [2] Praktisi hukum, Staf Pengajar FH Universitas Trisakti Jakarta & FH UIKHA Bogor. [3] Suatu perbuatan Badan Tata Usaha Negara disebut sebagai Freiss ermerseen atau diskresi berdasarkan doktrin para sarjana, jika memenuhi beberapa unsur antara lain: 1) belum ada aturan perundang-undangan yang mengatur; 2) perundang-undangan yang ada memberi kebebasan kepada pejabat tata usaha negara; 3) ada delegasi di perundang-undangan kepada pejabat tata usaha negara.