NILAI-NILAI PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM (ANALISIS KITAB I’DHOTUN NASYIIN KARANGAN SYEIKH MUSTHAFA AL-GHALAYAINI) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh: Khikmatul Latifah 111-12-238
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2016
ii
NILAI-NILAI PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM (ANALISIS KITAB I’DHOTUN NASYIIN KARANGAN SYEIKH MUSTHAFA AL-GHALAYAINI) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh: Khikmatul Latifah 111-12-238
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2016
iii
iv
v
vi
MOTTO
Suatu bangsa takkan hidup baik tanpa pemimpin, Dan tidak ada guna pemimpin, jika orang-orang bodoh tampil menjadi pemimpin. Rumah takkan bisa berdiri tegak tanpa pilar, Dan tiada pilar yang berdiri tanpa dasar, Jika lengkap dasar dan pilar-pilar, Maka suatu saat rakyat itu sampai pada apa yang diharap. -SYEIKH MUSTHAFA AL-GHALAYAINI-
vii
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirobbil‟alamin dengan rahmat dan hidayah Allah SWT skripsi ini telah selesai. Skripsi ini saya persembahkan kepada: 1. Kedua orangtua saya, Bapak Muhklasin dan Ibu Sumtini yang senantiasa memberikan nasihat dan telah mendidik saya dari kecil sampai menikmati kuliah S1 di IAIN Salatiga ini, serta tidak lelah mendoakan tanpa henti untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari. 2. Saudara-saudaraku tersayang, Ambarwati, Zahid Fatkhurrohman, dan Uslum Mufidatul Laila yang selalu mendoakan dan memberikan semangat sehingga skripsi ini bisa penulis selesaikan. 3. Sahabat-sahabatku dan seluruh keluarga besar PP Nurul Asna tercinta yang aku banggakan. 4. Bapak Mufiq, S.Ag., M.Phil. yang selalu membimbing dan memotivasi penulis. 5. Keluarga besar PAI G, dan teman-teman PAI 2012 seperjuangan. 6. Almamaterku tercinta IAIN Salatiga.
viii
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadiran Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayahnya, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan tugas dan syarat yang wajib dipenuhi guna memperoleh gelar kesarjanaan pendidikan Agama Islam IAIN Salatiga. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi muhammad SAW. yang telah membawa risalah Islam yang penuh dengan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu keislaman, sehingga dapat menjadi bekal hidup kita di dunia dan di akhirat kelak. Suatu kebanggaan tersendiri, jika tugas dapat terselesaikan dengan sebaikbaiknya. Bagi penulis, penyusunan skripsi ini merupakan tugas yang tidak ringan. Penulis banyak hambatan yang menghadang dalam proses penyususnan skripsi ini, dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis sendiri. Kalaupun akhirnya skripsi dapat terselesaikan,tentunya karena beberapa pihak yang membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya, khususnya kepada: 1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku rektor IAIN Salatiga 2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan 3. Ibu Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan PAI 4. Bapak Mufiq, S.Ag., M.Phil. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran, arahan dan bimbingan serta keikhlasan dan kebijaksanaan
ix
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dalam penulisan skripsi ini. 5.
Bapak dan Ibuku tercinta yang telah mencurahkan kasih sayang, do’a dan dukungan demi keberhasilan penulis.
6.
Kakak-kakak dan adik tersayang yang selalu mendukung dan mendoakan.
7.
Teman seperjuangan, PAI 2012, yang selama ini telah berjuang bersama.
8.
Sahabat-sahabat tercinta dan teman-teman yang tidak bisa disebut satu persatu.
9.
Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Atas jasa mereka, penulis hanya dapat memohon doa semoga amal mereka
mendapat balasan yang lebih baik serta mendapat kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat. Penulisan dalam hal ini juga mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk menyempurnakan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembanca pada umumnya.
Salatiga, 14 September 2016 Penulis
Khikmatul Latifah 111-12-238
x
ABSTRAK Latifah, Khikmatul. 2016. “Nilai-nilai Pendidikan Kepemimpinan Perspektif Islam (Analisis Kitab I‟dhotun Nasyiin Karangan Syeikh Musthafa AlGhalayaini)”. Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Mufiq, S.Ag., M.Phil. Kata kunci: Nilai, Pendidikan Kepemimpinan, Kitab I’dhotun Nasyiin Pada hakikatnya, semua manusia adalah pemimpin, namun kebanyakan dari mereka melupakan atau tidak tahu menahu atas apa yang menjadi tanggung jawabnya menjadi seorang pemimpin. Wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepada seorang pemimpin tidak ringan di mata Allah, seringkali godaan setan dengan iming-iming keuntungan dunia telah memalingkan motivasi para pemimpin dari tujuan bersama. Banyak pemimpin yang hadir dengan tanpa mencerminkan sosok pemimpin yang seharusnya, terlihat adanya pemimpinpemimpin yang jauh dari harapan rakyat, tidak peduli dengan nasib rakyat bawah, dan hampir tidak pernah berpikir untuk melayani masyarakat. Selama ini banyak sekali pemahaman yang keliru tentang arti kepemimpinan, pada umumnya orang melihat pemimpin sebagai sebuah kedudukan atau posisi semata. Akibatnya banyak orang yang mengejar untuk menjadi seorang pemimpin dengan menghalalkan banyak cara dalam mencapai tujuan tersebut. Sehubungan dengan itu dilakukan penelitian dalam kitab I’dhotun Nasyiin dengan rumusan masalah (1) Bagaimanakah Biografi Syeikh Musthafa AlGhalayaini dan sistematika kitab I’dhotun Nasyiin?, (2) Bagaimanakah nilai-nilai pendidikan kepemimpinan yang diajarkan dalam kitab I’dhotun Nasyiin?, (3) Bagaimanakah relevansi nilai-nilai pendidikan kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin dengan konteks kepemimpinan masa kini?. Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan tema pembahasan dan permasalahan, yang diambil dari sumber-sumber kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat kami simpulkan bahwa: (1) Syeikh Musthafa Al Ghalayaini adalah pengarang kitab I’dhotun Nasyiin, Beliau merupakan seorang sastrawan Arab, penyair, orator, politikus dan jurnalis.(2) Nilai-nilai kepemimpinan yang dapat diambil dalam kitab I’dhotun Nasyiin antara lain: (a) pemimpin harus rendah hati dan sederhana (b) pemimpin harus mempunyai sikap suka menolong (c) pemimpin harus sabar dan menjaga kestabilan emosi (d) pemimpin harus percaya pada diri sendiri (e) pemimpin harus bersikap jujur, adil dan dapat dipercaya, (3) Nilai-nilai pendidikan kepemimpinan yang terkandung dalam kitab I’dhotun Nasyiin sangat relevan dengan konteks kepemimpinan sekarang (kekinian) dan memiliki persamaan penggunaan dengan berbagai pernyataan yang rasional baik tentang materi pendidikan, metode pendidikan, dan tujuan pendidikan.
xi
DAFTAR ISI
SAMPUL ......................................................................................................... i LEMBAR BERLOGO ..................................................................................... ii HALAMAN JUDUL........................................................................................ iii PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... iv PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... v PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ....................................................... vi MOTTO ........................................................................................................... vii PERSEMBAHAN ............................................................................................ viii KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix ABSTRAK ....................................................................................................... xi DAFTAR ISI .................................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................. 8
xii
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 9 D. Kegunaan Penelitian .......................................................................... 9 E. Metode Penelitian .............................................................................. 11 F. Penjelasan Istilah ............................................................................... 14 G. Sistematika Penelitian ....................................................................... 19 BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep Kepemimpinan...................................................................... 21 1. Pengertian Kepemimpinan ............................................................. 21 2. ............................................................................................. Kepe mimpinan Perspektif Islam............................................................ 24 3. ............................................................................................. Sifatsifat Pemimpin............................................................................... 28 4. ............................................................................................. Fung si Kepemimpinan........................................................................... 38 B. Pemikiran Syeikh Musthafa Al Ghalayaini tentang Nilai-Nilai Pendidikan Kepemimpinan dalam Kitab I’dhotun Nasyiin ............... 41 1. ............................................................................................. Arti Kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin .............................. 41
xiii
2. ............................................................................................. Syara t-Syarat Kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin................. 46 3. ............................................................................................. Tipol ogi Kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin ........................ 48 4. ............................................................................................. Nilai Pendidikan Kepemimpinan dalam Kitab I’dhotun Nasyin .......... 51
BAB III BIOGRAFI SYEIKH MUSTHAFA AL GHALAYAINI A. Latar Belakang Penulisan Kitab I’dhotun Nasyiin ........................... 61 B. Sistematika Penulisan Kitab I’dhotun Nasyiin .................................. 62 C. Biografi Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dan Sosio-Kulturnya ........ 64 D. Karya-Karyanya ................................................................................. 68 E. Corak Umum Pemikiran Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini ................ 69 F. Sinopsis Kitab I’dhotun Nasyiin ........................................................ 73 BAB IV RELEVANSI NILAI-NILAI KEPEMIMPINAN A. Analisis Nilai-nilai Pendidikan Kepemimpinan ............................... 77 B. Relevansi Nilai-nilai Pendidikan Kepemimpinan Pada Kitab Idhotun Nasyiin dengan Konteks Kepemimpinan Masa Kini ........... 84
xiv
a) ............................................................................................. Relev ansi Materi pendidikan Kepemimpinan ........................................ 85 b) ............................................................................................. Relev ansi Metode Pendidikan Kepemimpinan ...................................... 87 c) ............................................................................................. Relev ansi Tujuan Pendidikan Kepemimpinan ....................................... 91 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................................................... 94 B. Saran-saran ......................................................................................... 96 C. Kata Penutup ...................................................................................... 96 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xv
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang sempurna. Seluruh ajarannya bersumber dari wahyu Ilahi yang tidak akan bisa berubah-ubah sampai kapanpun. Allah SWT telah memberikan aturan-aturan dengan rinci. Dengan aturan-aturan itu, seluruh problem makhluk-Nya dalam situasi dan kondisi apapun dapat diselesaikan dengan memuaskan tanpa ada satupun yang yang dirugikan. Aturan-aturan Islam senantiasa memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah manusia, sebab Islam lahir dari Dzat yang menciptakan manusia. Dia Maha Tahu atas hakikat makhluk yang diciptakan-Nya. Konsep Islam tentang hakikat manusia secara mendasar telah diajarkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an yang dikembangkan lebih lanjut oleh Nabi Muhammad SAW dalam sunnahnya. Manusia diciptakan oleh Allah selain menjadi hamba-Nya juga menjadi penguasa (khalifah) di atas bumi. Selaku hamba dan khalifah, manusia diberi kelengkapan kemampuan jasmani (biologis) dan rohaniah (psikologis) yang dapat ditumbuhkembangkan seoptimal mungkin, sehingga menjadi alat budaya, guna dalam ikhtiar kemanusiaannya untuk melaksanakan tugas kehidupan di dunia (Arifin, 1990 : 156).
1
Hadirnya manusia di muka bumi ini bukan atas kehendak dan kemauan sendiri, tetapi manusia diciptakan atas kehendak dan kekuasaan yang Maha Pencipta. Menurut Joko Suharto bin Matsnawi (2007:22) Diciptakannya manusia bukan tanpa maksud, tetapi sebagaimana firman Allah SWT, bahwa “Dijadikan manusia adalah untuk menjadi khalifah atau penguasa di muka bumi”. Amanat mengemban misi suci ini disebutkan dalam surat al Ahzab ayat 72:
Artinya: “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (QS. Al Ahzab:72) Amanat tersebut telah pernah ditawarkan Tuhan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tapi semuanya enggan untuk memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya. Manusialah yang suka rela menerima untuk mengemban amanat tersebut (Musbikin, 2005:79). Manusia yang lahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa telah diberi kemampuan termasuk akal serta pengetahuan-pengetahuan sehingga akan mampu melaksanakan tugasnya selaku khalifah atau penguasa di muka bumi ini. Dengan indra, akal, dan segenap kemampuan yang dikaruniakan
2
Allah SWT ini, manusia mempunyai kemampuan untuk memimpin, memelihara, dan membangun kehidupan di dunia (Musbikin, 2005:22). Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, telah meletakkan persoalan pemimpin dan kepemimpinan sebagai salah satu persoalan pokok dalam ajarannya. Beberapa pedoman atau panduan telah digariskan untuk melahirkan kepemimpinan yang diridhai Allah SWT, yang membawa kemaslahatan, menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat kelak. Pemimpin yang dicintai dan dipercaya serta diikuti oleh para pengikutnya
adalah
pemimpin
yang
memiliki
kemampuan
untuk
memecahkan persoalan mereka. Ini dapat berupa masalah personal, publik, atau masalah yang berhubungan dengan kehidupan pribadi seseorang, komunitas sosial, persoalan ekonomi dan politik. Maju mundurnya kelompok atau organisasi itu sangat tergantung oleh pemimpinnya. Seseorang pemimpin akan dikatakan berhasil jika dalam melakukan proses kepemimpinannya itu, ia mempunyai visi dan misi yang jelas. Sehingga dalam melakukan proses kepemimpinannya itu akan sesuai dengan arah yang sudah direncanakan. Kepemimpinan adalah unsur yang tidak bisa dihindari dalam hidup ini. Sudah merupakan fitrah manusia untuk selalu membentuk sebuah komunitas. Dan dalam sebuah komunitas selalu dibutuhkan seorang pemimpin. Pemimpin adalah orang yang dijadikan rujukan ketika komunitas tersebut. Pemimpin adalah orang yang memberikan visi dan tujuan. Dalam
3
suatu kelompok katakanlah organisasi, bila tidak mempunyai tujuan sama saja dengan membubarkan organsasi tersebut. Hal terebut bahkan berlangsung sampai kedalam tataran Negara. Dan hanya pemimpinlah yang mampu mengatur dan mengarahkan semua itu. Dan sejarah teori kepemimpinan menjelaskan bahwa kepemimpinan yang dicontohkan Islam adalah model terbaik. Model kepemimpinan yang disebut sebagai Prophetic leadership yang contoh nyatanya adalah orang teragung sepanjang sejarah kemanusiaan yaitu Rasullullah SAW. Pentingnya pemimpin dan kepemimpinan ini perlu dipahami dan dihayati oleh setiap umat Islam di negeri yang mayoritas warganya beragama Islam ini. Pada prinsipnya menurut Islam setiap orang adalah pemimpin, Ini sejalan dengan fungsi dan peran manusia di muka bumi sebagai khalifatullah, yang diberi tugas untuk senantiasa mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Setiap manusia adalah pemimpin, namum kebanyakan dari mereka melupakan atau tidak menahu atas apa yang menjadi tanggungjawabnya sebagai seorang pemimpin, sehingga para penganutnya tidak terurusi. Manusia seperti itu telah lalai di dalam hidupnya dan kelak akan dimintai pertanggung jawaban atas segala perbuatan yang telah mereka lakukan. Pernyataan tersebut berkaitan dengan hadits nabi yang berbunyi:
لبيٞٔظ عٓ اٌض٘شٛ٠ زذثٕب بشش بٓ ِسّذ لبي أخبشٔب عبذ هللا لبي أخبشٔب ٍٝي هللا صّٛب أْ سعٕٙ هللا عٟأخبشٔب عبٌُ بٓ عبذ هللا عٓ بٓ عّش سض 4
اإلِبَ ساعٚ ٗت١ي عٓ سعٚوٍىُ ِغإٚ وٍىُ ساع: يٛم٠ ٍُ عٚ ٗ١ٍهللا ع ٗت١ي عٓ سعٚ ِغإٛ٘ٚ ٍٗ٘ أٟاٌشخً ساع فٚ ٗت١ي عٓ سعِٚغإٚ ِبيٟاٌخبدَ ساع فٚ بٙت١ٌت عٓ سعِٚغإٚ بٙخٚت ص١ بٟت ف١اٌّشأة ساعٚ ِبيٟاٌشخً ساع فٚ زغبت أْ لذ لبيٚ لبي. ٗت١ي عٓ سعِٚغإٚ ٖذ١ع ٖاٚ(س
ٗت١ي عٓ سعِٚغإٚ وٍىُ ساعٚ ٗت١ي عٓ سعِٚغإٚ ٗ١أب )ٜاٌبخبس
Artinya:“Telah menceritakan kepada kami Bisyr ibn Muhammad, dia berkata : “Telah mengabarkan kepada kami „Abdullah”, dia berkata : “Telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Zuhriy”, dia berkata : “Telah mengabarkan kepada kami Salim ibn „Abdillah dari Ibn Umar r.a” Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Penguasa adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawaan atas kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Pelayan adalah pemimpin dalam mengolah harta tuannya, dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Oleh karena itu kalian sebagai pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”HR. Bukhari (Albani, 2006:357). Di dalam konsep Islam, seorang pemimpin menempati kedudukan yang sangat fundamental. Ia menempati posisi tertinggi dalam bangunan masyarakat Islam. Dalam kehidupan berjama’ah, pemimpin ibarat kepala dari seluruh anggota tubuhnya. Ia memiliki peranan yang strategis dalam pengaturan pola (minhaj) dan gerakan (harakah). Kecakapan dalam kepemimpinan akan mengarahkan ummatnya kepada tujuan yang ingin dicapai, yaitu kejayaan dan kesejahteraan ummat dengan ridha Allah SWT
5
seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat 207: “Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah dan Allah Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya” (Al-Baqarah:207). Sebenarnya pemimpin yang harus diteladani adalah Rasulullah , karena semua yang beliau lakukan adalah berasal dari al-Qur’an. Beliau mendidik umatnya agar menjadi pemimpin yang berakhlak seperti apa yang beliau ajarkan kepada umatnya yaitu mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah. Nabi Muhammad mempunyai semua kualitas kepemimpinan yang diperlukan untuk keberhasilannya dalam segala aspek kehidupan. Akan tetapi yang lebih penting lagi adalah beliau mampu memimpin umatnya menuju keberhasilan di segala bidang. Beliau adalah sumber yang mengalirkan semua perkembangan selanjutnya yang berhubungan dengan komando, kenegaraan, agama, perkembangan spiritual dan sebagainya di seluruh dunia muslim. Beliaulah kiblat dari semua pendidik sekaligus pemimpin bagi umat Islam di dunia ini (Gulen, 2002:290). Fenomena kehidupan sekarang ini yang semakin bobrok saja moral dan mentalnya. Ibaratnya, semakin sulit mencari pemimpin yang baik (good leader). Banyak pemimpin yang hadir dengan tanpa mencerminkan sosok pemimpin yang seharusnya, malah terlihat adanya pemimpin-pemimpin yang jauh dari harapan rakyat, tidak peduli dengan nasib rakyat bawah, dan hampir tidak pernah berpikir untuk melayani masyarakat. Karena kepemimpinan mereka lebih dilandasi pada keinginan pribadi dan lebih mengutamakan kepentingan kelompok. 6
Saat ini banyak sekali pemimpin-pemimpin yang muslim bahkan tidak sedikit yang menggunakan Islam sebagai identitas khasnya, tetapi malah menjadi petualang politik yang tidak berakhlak. Bahkan tidak sedikit pemimpin kita yang tampil ke tengah-tengah masyarakat dengan slogan memperjuangkan Islam dan kaum muslimin, namun nyatanya bertindak korupsi dan memalukan umat Islam sendiri di tengah-tengah publik. Banyak pemimpin yang pada awalnya bertekad untuk selalu berbuat adil. Keadilan ditegakkan tidak pandang bulu, jika ada yang melakukan kesalahan, siapapun orang tersebut akan diproses dan diadili sesuai dengan hukum yang berlaku. Hal itu disosialisasikan misalnya pada saat masa kampanye politik. Pada awal masa pemerintahannya, boleh jadi masih terlihat ketegasan dalam menjalankan sifat keadilan. Namun, lambat laun, seiring dengan waktu, tekad itupun sirna sedikit demi sedikit, lalu tampaklah sifat otoriternya. Sikapnya sudah melampaui batas. Manusia menjadi angkuh dan semena-mena atas kekuasaan yang dipegangnya. Pantaslah jika Allah mengkritik sifat tersebut dengan firman-Nya:
Artinya: “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, Karena dia melihat dirinya serba cukup”.(QS. Al-Alaq:67)
7
Sudah lama umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk di Indonesia mendambakan pemimpin Islami dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kepemimpinan Islami di sini adalah sikap kepemimpinan yang berasaskan norma-norma Islam seperti halnya bersikap adil, amanah, tabligh dan lain sebagainya. Meskipun di Indonesia ini kaum muslimin merupakan mayoritas, namun sikap Islami dalam kepemimpinan belumlah tampak dalam kehidupan sehari-hari sehingga kita dapat dengan mudah melihat tampilannya pemimpin muslimin yang tidak amanah, bahkan terseret dalam pola politik “menghalalkan segara cara” (Zaenudin, 2002:7). Berdasarkan fenomena di atas maka penulis terdorong mengkaji lebih lanjut
tentang
“NILAI-NILAI
PENDIDIKAN
KEPEMIMPINAN
DALAM PERSPEKTIF ISLAM (ANALISIS KITAB I’DHOTUN NASYIIN KARANGAN SYEIKH MUSTHAFA AL-GHALAYAINI)”.
B.
Rumusan Masalah Mengacu pada uraian di atas, maka permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Biografi Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dan sistematika kitab I’dhotun Nasyiin? 2. Bagaimanakah nilai-nilai pendidikan kepemimpinan yang diajarkan dalam kitab I’dhotun Nasyiin?
8
3. Bagaimanakah relevansi nilai-nilai pendidikan kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin dengan konteks kepemimpinan masa kini?
C.
Tujuan Penelitian Berangkat dari latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas, maka dapat ditetapkan beberapa tujuan penelitian sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui Biografi Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dan sistematika kitab I’dhotun Nasyiin.
2.
Untuk
mengetahui
nilai-nilai
pendidikan
kepemimpinan
dalam
perspektif Islam yang diajarkan dalam kitab I’dhotun Nasyiin. 3.
Untuk mengetahui relevansi nilai-nilai pendidikan kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin dengan konteks kepemimpinan masa kini.
D.
Kegunaan Penelitian Adapun penelitian atau pembahasan terhadap masalah tersebut di atas mempunyai maksud agar berguna sebagai berikut: 1.
Manfaat teoritis a. Memberikan sumbangan pemikiran ilmu tentang pendidikan kepemimpinan,
terutama
mengenai
nilai-nilai
pendidikan
kepemimpinan dalam perspektif Islam yang diajarkan dalam kitab I’dhotun Nasyiin. b. Penelitian ini memiliki relevansi dengan Ilmu Agama Islam khususnya Program Studi Pendidikan Agama Islam, sehingga hasil 9
pembahasannya berguna menambah literatur atau bacaan tentang nilai-nilai pendidikan kepemimpinan dalam perspektif Islam dalam kitab I’dhotun Nasyiin. c. Penelitian ini semoga dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat sebagai calon pemimpin khususnya d. penulis untuk mengetahui dan mendalami nilai-nilai pendidikan kepemimpinan dalam perspektif Islam yang diajarkan dalam kitab I’dhotun Nasyiin. Dengan ini diharapkan dapat memperluas kepustakaan yang dapat menjadi reverensi penelitan-penelitian setelahnya. 2. Manfaat Praktis Memberikan kontribusi positif untuk dijadikan pertimbangan berfikir dan bertindak. Secara khusus penelitian ini dapat dipergunakan sebagai berikut: a. Dapat
menjadi
inspirasi
bagi
calon
pemimpin
dalam
mensosialisasikan nilai-nilai kepemimpinan di masyarakat sesuai dengan aturan ajaran agama Islam. b. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan acuan khususnya bagi para calon pemimpin agar dapat mengaplikasikan nilai-nilai kepemimpinan Islam dalam kehidupan sehari-hari. c. Dengan skripsi ini, juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan khususnya bagi penulis sendiri.
10
E.
Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian ini tergolong penelitian pustaka (library research), karena semua yang digali adalah bersumber dari pustaka. Penulis mengacu pada pendapat M. Arifin (1990:135) yang menyebutkan bahwa penelitian literatur dimaksudkan sebagai studi kepustakaan, karena penulis meneliti dan menggali datanya dari bahan-bahan tertulis. Di mana data-data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah berbagai tulisan yang temanya sama dengan judul yang diangkat. Dengan mengumpulkan data-data yang diperlukan, baik yang primer maupun yang sekunder, dicari dari sumber-sumber kepustakaan (seperti buku, majalah, artikel dan jurnal) (Kuswaya, 2011:11). Berkaitan dengan jenis penelitian literatur, pengumpulan data pada penulisan ini, penulis menggunakan metode studi kepustakaan dari buku-buku yang berkaitan langsung dengan pokok permasalahan dimulai dengan mengumpulkan kepustakaan, pertama-tama dicari segala buku yang ada mengenai tokoh dan topik yang bersangkutan (Bakker, 1990:63).
2. Sumber Data Adapun sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah:
11
a.
Sumber data primer Sumber data primer adalah sumber data utama yang akan dikaji dalam permasalahan. Karena sifat dan penelitian literatur, maka datanya bersumber dari literature. Adapun yang menjadi sumber data primer adalah kitab I’dhotun Nasyiin dan Terjemah I’dhotun Nasyiin.
b. Sumber data sekunder Data sekunder yang diambil dalam penelitian ini yaitu data yang mengandung dan melengkapi sumber-sumber data primer. Adapun sumber data sekunder berupa buku-buku kepemimpinan, internet, dan informasi lainnya yang berhubungan dengan judul skripsi ini. 3. Metode Pengumpulan Data Penelitian
ini
merupakan
penelitian
kepustakaan
(Library
Research). Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam penelitian ini adalah dengan mencari dan mengumpulkan buku yang menjadi sumber data primer yakni kitab Idhotun Nasyiin dan data sekunder yakni terjemah Idhotun Nasyiin, buku Pemimpin dan Kepemimpinan dan buku-buku serta kitab yang relevan lainnya. Setelah data terkumpul, maka dilakukan penelaah secara sistematis dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti, sehingga diperoleh data/informasi untuk bahan penelitian.
12
4. Metode Analisis Data Objek penelitian ini adalah buku-buku atau literatur yang termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan sebagai datanya. Metode penulisan data yang digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah: a.
Deduktif Metode yang digunakan untuk menjelaskan nilai pendidikan kepemimpinan adalah metode deduktif sesuai dengan yang telah dicanangkan pemerintah yaitu tentang kepemimpinan. Yang dimaksud metode deduktif adalah metode berfikir yang didasarkan pada pengetahuan umum dimana kita hendak menilai suatu kejadian yang khusus (Hadi, 1990:42).
b.
Induktif Metode yang digunakan adalah metode induktif guna mengkaji data yang telah didapat yang terkait dengan nilai pendidikan kepemimpinan yang telah dipaparkan oleh Syeikh Musthafa AlGhalayaini dalam kitab Idhotun Nasyiin dan dikaitkan dengan relevansi kekinian. Metode induktif adalah metode berfikir yang berangkat dari fakta-fakta peristiwa khusus dan konkret, kemudian ditarik generalisasi-generalisasi yang bersifat umum (Hadi, 1990:42).
13
F.
Penegasan Istilah Untuk menghindari kesalahan dan kekeliruan tehadap judul penelitian ini, maka penulis perlu untuk menjelaskan istilah-istilah yang terdapat dalam judul ini antara lain: 1. Nilai Pendidikan Nilai dalam bahasa Inggris value yang berarti quality of being useful or desirable (Hornby, 1974:950) dan dalam bahasa Latin valere yang berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku dan kuat. Nilai adalah sesuatu yang dipandang baik, disukai, dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau kelompok orang sehingga preferensinya tercemin dalam perilaku, sikap, dan perbuatan-perbuatan (Maslikhah, 2009:106). Nilai-nilai berasal dari kata “nilai” dapat diartikan dengan sifatsifat
(hal-hal)
yang
penting
atau
berguna
bagi
kemanusiaan
(Poerwadarminta, 2006:801). Dalam definisi lain yang di sampaikan Noor Syam. Bahwa nilai adalah suatu penetapan atau suatu kualitas yang menyangkut suatu jenis apresiasi atau minat, sehingga nilai merupakan suatu otoritas ukuran dari subjek yang menilai, dalam artian koridor keumuman dan kelaziman dalam batas-batas tertentu yang pantas bagi pandangan individu dan sekelilingnya. Pendidikan merupakan usaha membimbing dan membina serta bertanggung jawab untuk mengembangkan intelektual pribadi anak didik ke arah kedewasaan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-
14
hari (Armai, 2002:40). Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk meyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang (Mansur, 2004:57). Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang di perlukan dirinya, bangsa dan negara (Maslikhah, 2009:130). Menurut pandangan Islam bahwa “Pendidikan” adalah tindakan yang
dilakukan
secara
sadar
dengan
tujuan
memelihara
dan
mengembangkan fitrah insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil). Dalam bahasa Arab “pendidikan” itu sama dengan at-Tarbiyyah, sedangkan menurut Abdurrahman An-Nahlawi bahwa kata At-Tarbiyah berasal dari tiga bentuk. Pertama kata “Robbaa-yarbuu” yang berarti bertambah tumbuh. Kata kedua “Robiya-yarba” yang berarti menjadi besar dan yang ketiga adalah kata “robba-yarubbu” yang berarti menuntun, menjaga dan memelihara (Abdurrahman, 1992:31). Menurut Syeikh Mustafa al-Ghalayaini pendidikan bukanlah sekedar mengasuh, memelihara atau mendidik anak didik, namun pendidikan
merupakan
pengembangan
pengetahuan,
ketrampilan,
maupun kepandaian yang melalui adanya pengajaran, latihan-latihan atau
15
pengalaman-pengalaman. Lebih lanjut anak didik secara bertahab dengan memperhatikan usia kemampuan anak (al-Ghalayaini, t.t:189). Dari beberapa pendapat di atas dapat dirumuskan bahwa nilai pendidikan merupakan batasan segala sesuatu yang mendidik ke arah kedewasaan, bersifat baik maupun buruk sehingga berguna bagi kehidupannya yang diperoleh melalui proses pendidikan. Proses pendidikan bukan berarti hanya dapat dilakukan dalam satu tempat dan suatu waktu. Dihubungkan dengan eksistensi dan kehidupan manusia, nilai pendidikan diarahkan pada pembentukan pribadi manusia sebagai makhluk individu, sosial, religius, dan berbudaya. 2. Kepemimpinan Kepemimpinan adalah suatu proses interaksi sosial untuk mempengaruhi. Teknisnya adalah mempengaruhi bagian-bagian dalam organisasi. Dalam hal ini berupa perilaku sengaja yang dijalankan oleh seseorang
untuk
mengatur
aktivitas,
pekerjaan
dan
cara-cara
berhubungan di dalam sebuah kelompok/organisasi/lembaga, dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan (Karim, 2010:14). Adapun kepemimpinan menurut Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini “Ummat tidak mungkin memiliki sutu negara yang kokoh dan kuat, tentram dan sejahtera, kecuali kalau di kalangan mereka itu ada pemimpin, kepala, penganjur, pembimbing dan sebagainya yang semakna dengan itu. Tugas orang-orang itu ialah menggerakan ummatnya di kala ummatnya itu dalam keadaan lumpuh tidak berdaya,
16
meluruskan mereka, baik kelakuan yang tampak atau akhlak dan tatakrama di kala menyimpang dan menyeleweng, menarik mereka di kala mereka jatuh dan menunjukkan jalan yang benar di kala mereka dalam keadaan tersesat. Empat itulah tugas pokok bagi setiap pemimpin ummat” (Al-Ghayalayaini, 2002:145). Dari pengertian di atas dapat ditarik, kesimpulan bahwa kepemimpinan merupakan suatu hubungan proses mempengaruhi yang terjadi dalam suatu komunitas yang diarahkan untuk tercapainya tujuan bersama. Karena kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi, maka seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan dalam bidang yang dipimpinnya, contoh kepala sekolah harus mempunyai kompetensi yang cukup dalam kependidikan agar mampu mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya dalam mewujudkan visi dan misi kepemimpinannya. Sedangkan kepemimpinan Islam adalah konsep yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang meliputi kehidupan manusia dari pribadi, berdua, kelompok, keluarga, bahkan sampai umat manusia. Konsep ini mencakup baik cara-cara memimpin maupun dipimpin demi terlaksananya ajaran Islam untuk menjamin kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat sebagai tujuannya. 3. Perspektif Islam Dalam kamus Bahasa Indonesia Kontemporer perspektif diartikan dengan sudut pandang atau pandangan (Depdikbud, 1995:1060). Sedangkan Islam adalah ajaran atau petunjuk Allah. Selain dari pada itu,
17
Islam juga diartikan damai, tentram, atau agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, dengan kitab suci Al-Qur’an. Arti utama kata tersebut adalah tenang, diam, telah menunaikan kewajiban, dan memenuhi kedamaian yang sempurna. Adapun arti lainnya adalah berserah diri pada Tuhan pencipta kedamaian (Ali, 2008:157-158). Dilihat dari segi bahasa, al-Islam memiliki akar kata yang sama dengan as-Salam, yang berarti perdamaian. Kata al-Islam dan as-Salam sama-sama berasal dari akar kata sa-li-ma, yang berarti selamat dari bahaya atau terbebas dari gangguan. Dari kata itu terbentuk aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh (Madkour, 319). Sebagaimana firman Allah SWT QS. Al- baqarah:112
Artinya:“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. AlBaqarah:112). Dari kata aslama itu terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh kepada ajaran-Nya (Razak, 1986:56-57). Sehingga dari beberapa pendapat diatas dapat diketahui bahwasannya perspektif
18
Islam mempunyai arti segala sesuatu yang ditelaah melalui sudut pandang Islam.
G.
Sistematika Penulisan Skripsi Untuk memberikan gambaran yang jelas dan menyeluruh sehingga pembaca nantinya dapat memahami tentang isi skripsi ini degan mudah, penulis berusaha memberikan sistematika penulisan dengan penjelasan secara garis besar. Skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing saling berkait yaitu sebagai berikut: BAB I Pendahuluan, Dalam hal ini penulis menjabarkan pokok permasalahan yang mencakup Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan Skripsi. BAB II Landasan Teori, berisi tentang Diskripsi Pemikiran Syeikh Musthafa al-Ghalayaini tentang Nilai-Nilai Pendidikan Kepemimpinan dalam perspektif Islam yang di ajarkan dalam Kitab I’dhotun Nasyiin. BAB III Biografi Syeikh Musthafa al-Ghalayaini, Dalam hal ini memuat beberapa pembahasan yang mencakup Latar Belakang Penulisan Kitab I’dhotun Nasyiin, Sistematika Penulisan Kitab I’dhotun Nasyiin, Biografi Syeikh Musthafa al-Ghalayaini dan konteks Sosio Kulturnya, karya-karyanya, corak umum pemikiran Syeikh Musthafa al-Ghalayaini, sinopsis Kitab I’dhotun Nasyiin.
19
BAB
IV
berisi
tentang
Relevansi
Nilai-Nilai
Pendidikan
Kepemimpinan dalam Perspektif Islam dalam Kitab I’dhotun Nasyiin dengan Konteks Kepemimpinan Masa Sekarang. BAB V berisi tentang Penutup, Kesimpulan dan Saran. Bab penutup memuat kesimpulan penulis dari pembahasan skripsi ini, saran-saran dan kalimat penutup yang sekiranya dianggap penting dan daftar pustaka.
20
BAB II LANDASAN TEORI
Kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari kepemimpinan baik menyangkut kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial. Selama menjalani masa hidupnya pasti seorang manusia telah melewati sebuah peran sebagai orang yang dipimpin maupun menjadi seorang pemimpin. Kepemimpinan merupakan sebuah fenomena universal. Siapa pun menjalankan tugas-tugas kepemimpinan, manakala dalam tugas itu dia berinteraksi dengan orang lain. A.
Konsep Kepemimpinan 1. Pengertian Kepemimpinan Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia, kepemimpinan berasal dari kata “pimpin” yang berarti tuntunan, bimbingan, hasil memimpin. Kepemimpinan
yaitu
tindakan
atau
perbuatan
seseorang
yang
menyebabkan seseorang atau kelompok lain menjadi bergerak ke arah tujuan-tujuan tertentu. Seseorang dikatakan sebagai pemimpin apabila orang itu dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain, baik dalam bentuk individu, maupun kelompok untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Makna kata “kepemimpinan” erat kaitannya dengan kata “memimpin”. Kata memimpin mengandung makna yaitu kemampuan untuk menggerakkan segala sumber yang ada pada suatu organisasi
21
sehingga dapat didayagunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Jika pengertian secara harfiah yang tersaji di atas terkait dengan kata kerja yaitu memimpin, maka masih terdapat pengertian harfiah lainnya yang melekat pada kata atau konsep tersebut. Pemaknaan lain terkait dengan pengertian harfiah tersebut dapat dikupas dari aspek subjek atau pihak yang menjadi pelaku dalam kepemimpinan. Artinya kepemimpinan juga harus dipahami dari sisi pelaku kepemimpinan, yang disebut dengan istilah leader (pemimpin), yaitu orang yag melakukan aktivitas atau kegiatan untuk memimpin. Pemimpin merupakan orang yang menjalankan kepemimpinan atau dapat dimengerti sebagai a person who leads others a long way guidance (Utomo, 2008:10). Sedangkan pemaknaan kepemimpinan secara definitif jauh lebih terstruktur dan mengedepankan upaya belajar dari fenomena, kemudian mengalami proses abstraksi, sehingga diperoleh pengertian konseptual yang relatif tertata. Adapun contoh definisi yang dikemukakan oleh para ahli kepemimpinan dalam bukunya Mohammad As’ad (1986:2) yang berjudul Kepemimpinan Efektif dalam Perusahaan : Suatu Pendekatan Psikologis, adalah: a.
Kepemimpinan adalah kegiatan untuk memengaruhi orang-orang agar supaya bekerja dengan ikhlas untuk mencapai tujuan bersama (Terry, 1954)
22
b.
Kepemimpinan merupakan suatu proses atau tindakan untuk memengaruhi aktivitas suatu kelompok organisasi dalam usahanya untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan (Stogdill, 1977)
c.
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mengajak orang lain mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan penuh semangat (Davis, 1977)
d.
Kepemimpinan mengandung arti mempengaruhi orang lain untuk lebih berusaha mengarahkan tenaga dalam tugasnya, atau merubah tingkah laku mereka (Wexley & Yulk, 1977)
e.
Kepemimpinan adalah suatu seni atau proses mempengaruhi sekelompok orang sehingga mereka mau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih tujuan kelompok (H. Koontz dan O’Donnell, 1982)
f.
Kepemimpinan merupakan kemampuan memperoleh konsensus dan keikatan pada sasaran bersama melempaui syarat-syarat organisasi yang dicapai dengan pengalaman, sumbangan dan kepuasan di pihak kelompok kerja (Cribbin, 1982)
g.
Kepemimpinan adalah sebuah hubungan yang saling memepengaruhi diantara
23
pemimpin dan pengikutnya (bawahan) yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya (Rost, 1993). Para peneliti biasanya mendefinisikan “kepemimpinan” menurut pandangan pribadi mereka, serta aspek-aspek fenomena dari kepentingan yang paling baik bagi para pakar yang bersangkutan. Dari beberapa penjelasan tokoh mengenai definisi kepemimpinan dapat dikatakan bahwa kepemimpinan ialah suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi, mengarahkan, membimbing, mengkordinir, melayani serta melindungi individu lainnya dalam proses pencapaian tujuan organisasi. Sebuah kepemimpinan di dalamnya juga terdapat unsur seperti pemimpin, orang yang dipimpin serta sebuah situasi atau keadaan dan pula tujuan bersama di dalam suatu organisasi.
2. Kepemimpinan Perspektif Islam Hakikat diutusnya para Rasul kepada manusia sebenarnya hanyalah untuk memimpin umat dan mengeluarkannya dari kegelapan kepada cahaya. Tidak satupun umat yang eksis kecuali Allah mengutus orang yang mengoreksi akidah dan meluruskan penyimpangan para individu umat tersebut. Sehingga makna hakiki kepemimpinan dalam Islam adalah untuk mewujudkan khilafah di muka bumi, demi terwujudnya kebaikan dan reformasi (Madhi, 2001:1-2). Di dalam Islam kepemimpinan identik dengan istilah khalifah yang berarti wakil. Pemakaian kata khalifah setelah Rasulullah wafat
24
menyentuh juga maksud yang terkandung di dalam perkataan “amir” (yang jamaknya umara) atau penguasa. Oleh karena itu, kedua istilah ini dalam bahasa Indonesia disebut pemimpin formal. Namun, jika merujuk kepada firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 30 berbunyi :
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Maka kedudukan non formal dari seorang khalifah juga tidak bisa dipisahkan lagi. Perkataan khalifah dalam ayat tersebut tidak hanya ditujukan kepada para khalifah sesudah nabi, tetapi adalah penciptaan Nabi Adam as yang disebut sebagai manusia dengan tugas untuk memakmurkan bumi yang meliputi tugas menyeru orang lain berbuat amar ma’ruf dan mencegah dari perbuatan mungkar. Selain kata Khalifah disebutkan juga kata Ulil Amri yang satu akar dengan kata amir sebagaimana disebutkan diatas. Kata Ulil amri berarti pemimpin tertinggi dalam masyarakat Islam. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat an Nisa ayat 59 :
25
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya" (QS. An Nisa :59) Dalam hadis Rasulullah SAW, istilah pemimpin dijumpai dengan kata raa‟in atau amir , seperti dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari Muslim :
ٞٔظ عٓ اٌض٘شٛ٠ زذثٕب بشش بٓ ِسّذ لبي أخبشٔب عبذ هللا لبي أخبشٔب ي هللاّٛب أْ سعٕٙ هللا عٟلبي أخبشٔب عبٌُ بٓ عبذ هللا عٓ بٓ عّش سض َاإلِبٚ ٗت١ي عٓ سعٚوٍىُ ِغإٚ وٍىُ ساع: يٛم٠ ٍُ عٚ ٗ١ٍ هللا عٍٝص ٗت١ي عٓ سعٚ ِغإٛ٘ٚ ٍٗ٘ أٟاٌشخً ساع فٚ ٗت١ي عٓ سعِٚغإٚ ساع ٟاٌخبدَ ساع فٚ بٙت١ٌت عٓ سعِٚغإٚ بٙخٚت ص١ بٟت ف١اٌّشأة ساعٚ ٟاٌشخً ساع فٚ زغبت أْ لذ لبيٚ لبي. ٗت١ي عٓ سعِٚغإٚ ٖذ١ِبي ع ٖاٚتٗ (س١ي عٓ سعِٚغإٚ وٍىُ ساعٚ ٗت١ي عٓ سعِٚغإٚ ٗ١ِبي أب )ٜاٌبخبس
26
Artinya:“Telah menceritakan kepada kami Bisyr ibn Muhammad, dia berkata : “Telah mengabarkan kepada kami „Abdullah”, dia berkata : “Telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Zuhriy”, dia berkata : “Telah mengabarkan kepada kami Salim ibn „Abdillah dari Ibn Umar r.a” Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Penguasa adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Pelayan adalah pemimpin dalam mengolah harta tuannya, dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Oleh karena itu kalian sebagai pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”HR. Bukhari (Albani, 2006:357).
Berdasarkan ayat Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW tersebut dapat disimpulkan bahwa, kepemimpinan dalam Islam adalah kegiatan menuntun, membimbing, memandu dan menunjukkan jalan yang diridhoi Allah SWT (Rivai, 2003:1-6). Dua peran utama kepemimpinan menurut perspektif Islam adalah pemimin sebagai pelayan (servant leader/ِٗ )خبدَ األdan pemimpin sebagai pelindung/wali (guardian leader). Peran pertama adalah sebagai pelayan masyarakat yaitu pemimpin bertugas memelihara kesejahteraan masyarakat dan membimbing mereka kepada kebaikan. Selanjutnya, peran kedua yaitu sebagai pelindung masyarakat yang bertugas untuk melindungi komunitas mereka dari penjajahan dan ancaman (Nashori, 2009:3).
27
3. Sifat-Sifat Pemimpin Upaya untuk menilai sukses atau gagalnya pemimpin itu dalam melaksanakan proses kepemimpinan antara lain dapat dilakukan dengan mengamati dan mencatat sifat-sifat dan kualitas/mutu perilakunya, yang dipakai sebagai kriteria untuk menilai kepemimpinannya (Kartono, 2010:37). Quraish Shihab dalam bukunya “Secercah Cahaya Ilahi” menuturkan bahwa setidaknya ada lima sifat pokok yang hendaknya dimiliki oleh sang pemimpin/imam. Kelima sifat tersebut terungkap dalam dua ayat, yaitu Surah As-Sajdah (32):24 dan Al-Anbiya (21): 73.
“Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami”. (QS. As-Sajdah(32):24).
“Kami Telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan Telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan Hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah” (QS. Al-Anbiya(21):73)
28
Sifat yang dimaksud adalah : a) Kesabaran dan ketabahan, Kami jadikan mereka pemimpinpemimpin ketika mereka tabah/sabar. b) “Yahduna bi amrina”, mengantar (masyarakatnya) ke tujuan yang sesuai dengan petunjuk Kami (Allah). c) “ Wa auhaina ilaihim fi‟la al khairat”, (telah membudaya pada diri mereka kebaikan). d) “Abidin”,
(Beribadah,
termasuk
melaksanakan
shalat
dan
menunaikan zakat). e) “Yuqinun”, (Penuh keyakinan). Menurut Ordway Tead dalam buku Kartini Kartono (2010:38) sifat-sifat pemimpin terdiri dari: a. Energi jasmaniah dan mental Hampir semua pribadi pemimpin memilki tenaga jasmani dan rohani yang luar biasa yaitu mempunyai daya tahan, keuletan, kekuatan atau tenaga yang istimewa yang tampaknya seperti tidak akan pernah habis. Hal ini ditambah dengan kekuatan-kekuatan mental berupa semangat juang, motivasi kerja, kesabaran, ketahanan batin dan kemauan yang luar biasa untuk mengatasi semua permasalahan yang dihadapi. b. Kesadaran akan tujuan dan arah Ia memiliki keyakinan yang teguh akan kebenaran dan kegunaan dari semua perilaku yang dikerjakan. Dia tahu persis kemana arah
29
yang akan ditujunya, serta pasti memberikan manfaat bagi diri sendiri maupun bagi kelompok yang dipimpinnya. c. Antusiasme (semangat, kegairahan, kegembiraan yang besar) Pekerjaan yang dilakukan dan tujuan yang akan dicapai itu harus sehat,
berarti,
bernilai,
memberikan
harapan-harapan
yang
menyenangkan, memberikan sukses dan menimbulkan semangat kerja. Semua ini dpat membangkitkan antusiasme, optimisme, dan semangat besar pada pribadi pemimpin maupun para anggota kelompok. d. Keramahan dan Kecintaan (friendliness and affection) Kasih sayang dan dedikasi pemimpin dapat menjadi tenaga penggerak
yang
positif
untuk
melakukan
perbuatan
yang
menyenangkan bagi semua pihak. Keramah-tamahan itu mempunyai sifat mempengaruhi orang lain juga membuka setiap hati yang masih tertutup untuk menanggapi keramahan tersebut. e. Integritas (keutuhan, kejujuran, dan ketulusan hati) Pemimpin itu harus bersifat terbuka, merasa utuh bersatu, sejiwa dan seperasaan dengan bawahannya bahkan merasa senasib dan sepenanggungan dalam satu perjuangan yang sama. f. Penguasaan Teknis Kecakapan dalam memimpin sangatlah dibutuhkan. Setiap pemimpin harus memiliki satu atau beberapa kemahiran teknis
30
tertentu, agar ia mempunyai kewibawaan dan kekuasaan untuk memimpin kelompoknya. g. Ketegasan dalam mengambil keputusan Pemimpin yang berhasil itu pasti dapat mengambil keputusan secara tepat, tegas dan cepat sebagai hasil dari kearifan dan pengalamannya. Selanjutnya ia mampu meyakinkan para anggotanya akan kebenaran keputusannya. h. Kecerdasan (Intellegence) Kecerdasan yang perlu dimiliki oleh setiap pemimpin itu merupakan kemampuan untuk melihat dan memahami dengan baik, mengerti sebab dan akibat kejadian, menemukan hal-hal yang krusial dan cepat menemukan cara penyelesaiannya dalam waktu singkat. i. Keterampilan mengajar (teaching skill) Pemimpin yang baik itu adalah seorang guru yang mampu menuntun,
mendidik,
mengarahkan,
dan
mendorong,
serta
menggerakkan bawahannya untuk berbuat sesuatu. Sesuatu tersebut tidaklah akan terjadi tanpa dorongan dan bimbingan dari orang yang memimpinnya. j. Kepercayaan (Faith) Keberhasilan pemimpin itu pada umumnya selalu didukung oleh kepercayaan dan loyalitas bawahannya. Yaitu kepercayaan bahwa para anggota pasti dipimpin dengan baik, dipengaruhi secara positif, dan diarahkan pada sasaran-sasaran yang benar. Ada kepercayaan
31
bahwa
pemimpin
bersama-sama
dengan
anggota-anggota
kelompoknya secara bersama-bersama rela berjuang untuk mencapai tujuan yang bernilai. Dengan demikian sifat-sifat pemimpin tersebut merupakan landasan utama seorang pemimpin dapat membangun sebuah perilaku positif jika dilandasi oleh sifat yang positif. Dengan kata lain ketika seorang pemimpin memiliki sifat-sifat kepemimpinan yang baik, maka potensial untuk menerapkan gaya kepemimpinan yang baik, sehingga dapat mencapai
efektivitas kepemimpinan pula. Jika sifat pemimpin
tersebut buruk, maka seorang pemimpin cenderung mempraktikan gaya kepemimpinan yang kurang disukai orang lain sehingga menjadi kurang efektif. Pada pembahasan sifat pemimpin ini, penulis akan menyajikan kepemimpinan Indonesia masa kini dan harapan atas pemerintahan terpilih
yang
penulis
ambil
dari
http://bdkbandung.kemenag.go.id/jurnal/261-kepemimpinan-nasionalindonesia-kini-dan-di-masa-mendatang, diakses pada tanggal 3 Oktober 2016 pukul 11.35, bahwasannya menjadi pemimpin di zaman reformasi ini sungguh sangat berat. Di satu pihak kondisi ekonomi sosial masyarakat terpuruk, tuntutan masyarakat sangat banyak, di pihak lain sumber daya yang ada memenuhi tuntutan tersebut sangat terbatas. Namun anehnya, dalam bayang-bayang beratnya tugas dan kewajiban yang di emban oleh pemimpin, justru pemilihan pimpinan baik eksekutif, 32
legislatif maupun yudikatif di Era Reformasi ini menampakkan gairah yang luar biasa. Kepemimpinan nasional mengalami penurunan kualitas, terlihat dari berbagai kasus penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat publik telah merata di seluruh lembaga negara, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Hal itu membuktikan bahwa penurunan kualitas kepemimpinan nasional telah terjadi. Pejabat publik, yang seharusnya memberi contoh kepada masyarakat untuk keluar dari krisis nasional, telah
keluar
dari
nurani
kebangsaannya.
Kepekaan
terhadap
pertanggungjawaban publik sudah hilang. Para pejabat tinggi pada instansi-instansi strategis bukannya memberi keteladanan, melainkan mempertontonkan perilaku buruk dalam mengelola otoritas publik. Adanya
kecenderungan
kepemimpinan
nasional
mengalami
disfungsi dikhawatirkan akan meruntuhkan seluruh sistem penegakan hukum, tidak berfungsinya sistem ketatanegaraan dan hilangnya kepercayaan publik kepada para pemimpinnya. Meskipun tampak di permukaan, mayoritas masyarakat cenderung apatis, bukan berarti tidak ada keresahan sosial
yang berpotensi memicu ledakan sosial.
Kesenjangan yang makin lebar antara rakyat kebanyakan yang sangat menderita akibat krisis ekonomi yang belum pulih, dengan perilaku kepemimpinan yang korup dan bermewah-mewah secara tidak sah, dapat memicu munculnya keresahan dan anarki sosial. Bahkan, dalam banyak kasus, pemerintah cenderung mereduksi keberadaan masyarakat. 33
Sejalan dengan paradigma pemerintahan yang baru menuntut kegiatan nyata pemimpin yang diarahkan kepada kegiatan-kegiatan yang kreatif, inovatif, orientasi kepentingan masyarakat, orientasi pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Seorang pemimpin tidak hanya cukup mengandalkan intuisi semata, tetapi harus didukung oleh kemampuan intelektual dan keahlian yang memadai, ketajaman visi serta kemampuan etika dan moral yang beradab, pemimpin dituntut untuk tanggap terhadap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat serta harus mampu menyediakan barang dan jasa bagi kepentingan rakyat banyak. Dukungan terhadap pimpinan dalam sistem pemerintahan modern sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk memberikan rasa aman serta meningkatkan kesejahteraannya. Sistem politik yang selama ini di bangun di Indonesia sangat melekat dan diidentifikasi dengan tokoh pimpinan nasional tertentu. Sehingga kekeliruan dan kegagalan mereka dilihat sebagai kegagalan sistem politik secara keseluruhan. Idealnya seorang pimpinan nasional merupakan kombinasi dari “leader” dan “manager”. Seorang “leader” dapat mempersatukan pengikutnya serta dapat memberikan visi, misi dan semangat. Sedangkan “manager” mampu menyatakan dan melaksanakan tugas-tugas yang diembankan secara efektif dan efisien.
Apabila kita perhatikan, orang-orang yang telah berhasil dalam masyarakat dan terkenal, hampir memiliki sifat yang sama, diantaranya
34
kekuatan ego yang tinggi, kemampuan berfikir strategis, analisa ke masa depan, dan suatu kepercayaan dalam prinsip fundamental perilaku manusia. Mereka mempunyai keyakinan yang kuat, dan tidak ragu-ragu terhadap keputusan yang diambilnya, cerdas, mempunyai kemampuan untuk menggunakan kekuasaan demi efisiensi dan kebaikan yang lebih besar, serta mampu “masuk pada pikiran” orang yang berhubungan dengan mereka.
Ada tiga karakter pemimpin yang diharapkan masyarakat: pertama, perencana. Masyarakat membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki kapasitas intelektual memadai dan menguasai kondisi makro nasional dari berbagai aspek, sehingga dapat menjaga visi perubahan yang dicitakan bersama. Kedua, Pelayanan. Masyarakat rindu figur pemimpin yang seorang pekerja tekun dan taat pada proses perencanaan yang sudah disepakati sebagai konsensus nasional, menguasai detil masalah kunci kebangsaan dan mampu melibatkan semua elemen yang kompeten dalam tim kerja yang solid. Ketiga, Pembina. Masyarakat berharap pemimpin menjadi tonggak pemikiran yang kokoh dan menjadi rujukan semua pihak dalam pemecahan masalah bangsa, yang setia dengan nilai-nilai dasar bangsa dan menjadi teladan bagi kehidupan masyarakat secara konprehensif.
Kepemimpinan nasional baru bukanlah trial and error. Melainkan upaya pengembangan potensi dengan dihadapkan pada kenyataan aktual.
35
Krisis ekonomi-politik yang masih terus berlanjut menuntut tokoh yang kompeten
di
bidangnya
dan
memiliki
visi
yang
jauh
untuk
menyelamatkan bangsa dari keterpurukan. Bencana alam dan sosial yang terjadi silih berganti menegaskan perlu hadir tokoh yang peka dan cepat tanggap terhadap penderitaan rakyat serta berempati dengan nasib mayoritas korban. Pemimpin baru seperti ini bukan hanya dibutuhkan segera di pentas nasional, juga di tingkat lokal. Karena itu, bangsa ini membutuhkan secara masif proses pengkaderan yang outputnya bisa diuji di tingkat regional bahkan global. Indonesia tidak mungkin memainkan peranan di arena antar bangsa tanpa anak-anak bangsa yang memiliki kualitas kepemimpinan yang mumpuni.
Di Indonesia ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembentukan kepemimpinan nasional di masa-masa mendatang. Indonesia memiliki tingkat kemajemukan masyarakat yang sangat tinggi. Seorang pemimpin yang dipandang terlalu ekstrim dalam menyuarakan aspirasi kelompoknya kemungkinan besar akan ditolak oleh kelompokkelompok masyarakat yang lain. Dengan demikian, seorang pemimpin yang berpeluang menarik simpati, atau sekurang-kurangnya tidak ditolak oleh kelompok-kelompok di luar kelompoknya sendiri, adalah seorang yang bersikap moderat dan mampu merangkul berbagai pihak.
Mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam yang cukup taat beragama. Dengan demikian faktor agama diperkirakan akan
36
memainkan peranan yang semakin penting dalam diskursus politik nasional, termasuk dalam pemilihan pemimpin. Kehidupan nasional telah menjadi semakin kompleks, tuntutan terhadap tersedianya pelayanan umum juga semakin meningkat ditengah meningkatnya pendidikan dan daya kritis masyarakat. Pemimpin masa depan dituntut untuk tidak saja mahir mengubar janji, tetapi juga harus memiliki pengetahuan yang memadai dan kompetensi untuk merancang dan melaksanakan programprogram pembangunan.
Pemimpin masa depan harus betul-betul mampu membangun komunikasi dengan rakyat. Masyarakat Indonesia telah menempatkan masalah kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) sebagai musuh utama bangsa yang harus diperangi. Pemimpin nasional masa depan dituntut untuk memiliki integritas dan moralitas yang tinggi, di samping menjunjung tinggi "rule of law" demi tegaknya "good governance" dan "clean government".
Sebagian dilahirkan jadi pemimpin, sebagian meraih prestasi untuk menjadi pemimpin, sedangkan sebagian lagi "ketiban" jadi pemimpin tanpa upayanya sendiri. Dalam sistem demokrasi legitimasi kekuasaan berasal dari amanat rakyat yang datang dari bawah. Setiap pemimpin yang muncul hendaklah berdasarkan kemampuan dan prestasi yang ia raih sendiri, sedangkan kekuasaan yang dimiliki berasal dari rakyat sehingga harus dipersembahkan untuk, dan dipertanggungjawabkan
37
kepada rakyat. Kepemimpinan hanyalah satu bagian saja dari sistem pemerintahan nasional secara keseluruhannya. Yang sangat diperlukan ialah suatu sistem politik yang memiliki ketahanan dan kekenyalan terhadap
goncangan-goncangan,
antara
lain
dengan
mempunyai
kemampuan untuk melakukan koreksi dan pembaharuan terhadap dirinya sendiri secara terus menerus. Hal ini hanya mungkin diperoleh apabila suatu sistem politik memiliki basis dukungan dan legitimasi yang luas, yang senantiasi terbuka dan tanggap terhadap aspirasi dan kritik, serta dibatasi kekuasaannya. Melalui sistem inilah para pemimpin nasional dapat dijaring dan dikontrol. Dalam kerangka itu Negara dan bangsa Indonesia harus membangun kepemimpinan yang kuat dan berkarakter pada kelembagaan legislatif, yudikatif dan eksekutif, sehingga mampu menghadapi persaingan global dan keluar dari krisis multidimensi.
4. Fungsi kepemimpinan Tentang eksistensi seorang pemimpin, dalam Al-Qur’an surat Al An’am:165 diterangkan:
38
"Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Departemen Agama RI, 1995:119). Berdasarkan ayat tersebut, seorang pemimpin berarti menjalani ujian dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pemimpin. Menurut Zelznick sebagaimana disalin oleh Richard H. Hall dalam bukunya yang berjudul Organization Structure and Process, mengatakan bahwa seorang pemimpin memiliki fungsi sebagai berikut: a) Involes the definition of the institusional organization mission and role Di sini mempunyai arti bahwa seorang pemimpin harus bisa mendefinisikan misi dan peran organisasi, sehingga seorang pemimpin harus mengerti apa sebenarnya tujuan dan fungsi dari organisasi yang dipimpinnya. Walaupun berjalannya kinerja dari sebuah organisasi merupakan tanggung jawab dari semua pengurus, akan tetapi yang menjadi penggerak utama dari berjalannya kinerja pengurus adalah tanggung jawab dari seorang pemimpin. b) The institusional embodiment of purpose Seorang pemimpin merupakan pengejawantahan tujuan organisasi. Dengan kata lain, bahwa kesuksesan dari sebuah oraganisasi bisa dilihat dan dinilai dari seorang yang berperan menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi tersebut.
39
c) To defend the organnization‟s intregation Menurutnya, seorang pemimpin harus mampu mempertahankan keutuhan organisasi. Keutuhan organisasi bisa bertahan, manakala seorang pemimpin mampu menghidupkan suasana kebersamaan, kekeluargaan, dan kekompakan antar anggota. Dari situ maka masingmasing dari anggota bisa bekerja secara profesional sesuai dengan visi dan misi yang mengarah pada tujuan akhir dari organisasi tersebut. d) The ondering of internal conflict Seorang
pemimpin
harus
memiliki
kemampuan
dalam
mengendalikan konflik internal yang terjadi dalam organisasinya. Ini merupakan sebuah tantangan besar yang dihadapi pemimpin. Dalam menghadapi tantangan eksternal, sebuah organisasi bisa menghadapi dengan proses yang lancar apabila sudah ada kekompakan di tubuh internal, Akan tetapi, bila di tubuh internal sendiri sudah terjadi konflik, maka akan memicu kegagalan sebuah organisasi dalam mencapai tujuan akhir. Disinilah, seorang pemimpin di tuntut selalu bisa mengayomi anak buahnya tanpa adanya sentimen-sentimen pribadi (Husaini, 2006:251). Selanjutnya Kartini Kartono (2001:81) mengutarakan bahwa : Fungsi kepemimpinan ialah memandu, menuntun, membimbing, membangun, memberi atau membangunkan motivasi-motivasi kerja, mengemudikan organisasi, menjalin jaringan-jaringan komunikasi yang baik, memberikan supervisi/pengawasan yang efisien dan membawa para pengikutnya kepada sasaran yang ingin dituju, sesuai dengan ketentuan waktu dan perencanaan.
40
Dari beberapa fungsi kepemimpinan tersebut, penulis dapat menyimpulkan
bahwa
fungsi
kepemimpinan
adalah
memandu,
membimbing, memotivasi, mengkoordinir, menjalin jaringan, dan memberi supervisi yang efisien kepada anak buahnya serta membawa organisasi yang dipimpin pada sasaran dan sesuai program kerjanya.
B.
Pemikiran Syeikh Musthafa Al Ghalayaini tentang Nilai-Nilai Pendidikan Kepemimpinan dalam Kitab I’dhotun Nasyiin. 1. Arti Kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin Manusia adalah makhluk sosial yang menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan menjadi pemimpin bagi orang lain. Menjadi pemimpin berarti menjadi seseorang yang memiliki tanggung jawab lebih dalam hidup. Hukum Allah (Sunatullah) telah menetapkan, bahwa dalam setiap bentuk makhluk yang diciptakan Allah, pasti ada yang memimpin dan ada yang dipimpin. Ada yang mengatur dan ada yang diatur. Hal itu agar pemikiran-pemikiran itu tidak tumpang tindih dan keinginan-keinginan tidak bersimpang siur, yang mengakibatkan keretakan kerukunan, putus tali kasih sayang, pudar persatuan dan perselisihan (Al-Ghalayaini, t.t:149). Setiap golongan yang tidak memiliki pemimpin yang bisa mereka jadikan tempat mengadukan kesulitan-kesulitan mereka itu, sama halnya mereka sedang naik kuda (kendaraan) liar yang nakal, pada malam hari
41
yang gelap gulita (dalam keadaan panik dan bingung mengatasi kesulitan yang dihadapi). Para pemimpin setiap bangsa adalah roh persatuan mereka dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Apabila para pemimpin itu rusak, maka rusaklah umat dan bangsa itu, dan jika mereka baik, maka umat atau bangsa itu menjadi baik juga. Karena, umat akan berdiri tegak, kokoh
dan
sejahtera,
manakala
pemimpin-pemimpin
umat
itu
menggerakannya. Jika mereka (umat) sedang loyo, lalu mereka meluruskannya ketika bengkok, menarik tangannya ketika mereka (umat) jauh dan membimbingnya ketika sedang sesat (Al-Ghalayaini, t.t:150151). Al Ghalayaini mengatakan dalam kitabnya “idhotun Nasyiin” bahwasannya:
. ِذَ٘ب٠ْ ِٛ ْتَدَٚ َبِٙٔ َّو ًَ أَ ِْ َش ُع ّْ َشاَٚ ِٗ ١ْ ٌَ ِئَٚ ، ض ِ ْ ْاألَسٝفَتُ هللاِ ِف١ْ ٍِاَ ْ ِإل ْٔ َغب ُْ َخ ا ْعتَ ْخ َش َجَٚ ، َع َّ َش أَ ْلطَب َسَ٘بَٚ َبَٙٔ ُْٛ فَ َذ بَّ َش ثُئ- َبٙ ََِٕب ِو ِبٝف ِ َش١ْ فَا ِ ْْ أَزْ َغَٓ اٌ َّغ َُ ٍْ َٔ َش َش ْاٌ ِعَٚ ،َبٙ١ْ ِح ْاٌ َع ْذ ِي ف ِ ِ٘ ََِٕبِٝ َعب َسفَٚ ،َبِٙتَٚ ْأَثَب َس َوب َِِٓ ثَشَٚ ،َبِٙ َشات١ْ َخ ُ ٌِ َب ْاٌ َخبَّٕٙ َعِٝ ُِْ اٌَّت١بظ َّ ٌا ك ِ َٔ ََ ِس ْذ َع ِٓ ْاٌ َع َّ ًِ بِ ْبأل٠ ُْ ٌََٚ ،َبِٙٔ َٓ ُع َّىب١ْ َ َر ب١ْ ص ِس َ َٚ ،َب َزمًّّبٙ١ْ ِفَتَ ِٗ ف١ْ ٍِ َوب َْ َخ-َٗٔ ُع ْب َسب .َبٌِٙ َ ِذ ِٖ ِص َِب َ أَ ْع َّب١ِظ ًَّ ب “Manusia adalah khalifah Allah yang diserahi tugas memakmurkan dan membangun bumi oleh-Nya. Apabila manusia berlaku baik di seluruh bumi ini, mengaturnya dengan baik, membangun kawasankawasan yang perlu dibangun, mengeluarkan hasil buminya dan mengolah kekayaannya dengan cara sebaik mungkin, berbuat adil dalam segala persoalan, menyebarkan ilmu pengetahuan di kalangan penduduk dan tidak menyimpang dari peraturan yang telah digariskan oleh Sang 42
Pencipta, yakni Allah swt, maka manusia seperti itulah yang benar-benar dinamakan khalifah Allah swt dan semua urusan pengendalian tugastugas berada di tangan kekuasaannya” (Al-Ghalayaini, t.t:251). Sebaliknya, barangsiapa yang buruk perilakunya dan tidak baik dalam melaksanakan tugas-tugas yang diserahkan kepadanya, sesuai hukum-hukum Allah serta melupakan apa yang sudah diamanatkan, maka manusia seperti itu akan dikenai apa yang telah dialami oleh manusia yang semacam dengannya. Keadaannya berbalik total, kalau semula mulia berubah menjadi hina. Kalau semula tinggi kedudukannya berbalik menjadi rendah. Kalau semula berkuasa, berbalik dikuasai (hilang kekuasaanya). Kalau semula kaya berbalik menjadi miskin. Apa yang dimilikinya (berupa kehormatan dan kekayaan) dicabut oleh Allah dan diwariskan kepada orang lain. Kekuasaan yang ada padanya dicabut oleh-Nya dan diberikan kepada orang lain. Hal ini sudah dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya QS. Al- Anbiyaa:105
“Dan sungguh Telah kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi Ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh”. Yang dimaksud dengan kata-kata Ash-Shalihun (orang-orang yang saleh) dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang mampu menata atau memanage bumi dengan baik, mengatur pekerjaan-pekerjaan dengan sempurna dan memperbaiki kondisi penduduknya, dengan cara
43
menyebarkan ilmu pengetahuan, menegakkan keadilan, berhati-hati menghadapi lawan dan menciptakan usaha-usaha yang bermanfaat, seperti bidang pertanian, perindustrian, dan perdagangan. Jadi, kata AshShalihun tersebut, sama sekali bukan orang-orang yang rukuk dan sujud, sementara enggan berusaha melakukan hal-hal yang menyebabkan dapat menguasai bumi. Masalah ibadah adalah masalah spiritual (keagamaan), yang membuatnya hanya kembali pada yang melakukannya saja di akhirat nanti, sedangkan urusan menata bumi adalah persoalan material (duniawi) yang tidak mungkin ditempuh, kecuali melalui usaha yang telah ditunjukkan oleh Allah swt dan perantaraan-perantaraan yang siapa saja mau menggunakan lantaran itu, pasti dapat memegang atau menguasai kekuasaan di bumi ini (Al-Ghalayaini, t.t:252-254). Pemimpin yang baik ialah pemimpin yang disayangi rakyat atau orang bawahannya. Oleh karena itu seorang pemimpin hendaklah memupuk kesetiaan masyarakat kepada kepemimpinannya dan jangan melakukan sesuatu yang melemahkan kepercayaan mereka dan kesetiaan mereka.
،ْ ِدُٛخُٛ ٌْ ُذ ْاُٚ فَأَُِّٗ س،ب َ ١ْ ٍَفَ َع ِ ا ِخَٛ ٌَ ِبَ بِ ْب١ِ بِ ْبٌم، ُءَٝبإٌَّب ِشٙ٠ُّ َه أ ْ .ق ِ َ َسأطُ ْاألَ ْخالَٚ ،ِْ ِعشُّ ْاٌ ُع ّْ َشاَٚ “Wahai generasi muda, kalian wajib melaksanakan apa yang telah menjadi kewajiban kalian semua, sebab memenuhi kewajiban itu merupakan roh setiap barang yang ada di dunia ini. Ia merupakan rahasia kemakmuran hidup sebagai sumber akhlak yang mulia”.
44
.ُْ ُٙن ِِ ْٓ أَ ْٔفُ ُغ َ ُْٛصف َ ٌَّٕف ْا ِ ْٕ َ٠ ، َبط ِِ ْٓ َٔ ْف ِغه ِ ص ِ ْٔ َأ “Bersikap adil kepada orang lain, mereka pasti bersikap adil kepada kalian”.
َنَٛ ْ ِٗ َٔس١ْ ٍَب َع َ ِْش١ َغَٛ ْهَ َٔس١ْ ٍَب َع ِ ا ِخَٛ ٌَمُ ُْ بِ ْب٠ ن ِ ا ِخَٛ ٌلُ ُْ بِ ْبَٚ “Kerjakanlah kewajiban yang menjadi tanggung jawab kalian terhadap orang lain, pasti orang lain pun akan melaksanakan kewajibannya kepadamu”.(Al Ghalayaini, t.t:199). Seorang pemimpin itu wajib melaksanakan kewajibannya terhadap rakyatnya, dengan cara menjalankan tugas dengan jujur, tidak boleh melarikan diri dari tanggung jawabnya, dan rakyat hendaklah dilayani dengan adil dan seksama. Di setiap langkah sebagai seorang pemimpin, Allah akan memberikan peringatan bagi kaum Muslimin agar selalu berhati-hati tentang apa yang akan dilakukan sebagai khalifah Allah di bumi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan menurut Syeikh Musthafa Al Ghalayaini ialah seseorang yang mampu mengarahkan, mempengaruhi, membimbing, melayani dan melindungi individu lain dalam proses pencapaian tujuan, serta ada usaha kerja sama yang tidak menyimpang dari peraturan yang telah digariskan oleh Allah swt sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama.
45
2. Syarat-Syarat Kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin Menjadi seorang pemimpin bukan perkara yang mudah, pemimpin harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar bisa menjalankan roda kepemimpinan dengan maksimal. Syarat pemimpin merupakan segala sesuatu yang harus dipenuhi seorang pemimpin agar dalam menjalankan masa kepemimpinan bisa berjalan dengan lancar dan lebih disegani bawahannya. Menurut Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dalam kitabnya “Idhotun Nasyiin”, mengatakan bahwa :
َِِٓ ْ طُ اٌ ِّشئَب َع ِتُُٚٗ ُشش١ْ ِ فَّ َشفَٛ َ تَتَّٝ َزت،غًّب َزمًّّب١ْ ِْظُ َسئ١ِْ ُْ اٌ َّشئَٛ ُى٠ َلَٚ َ َٚ ،َب َِ ِتٙاٌ َّشَٚ ،ْ َء ِةُٚ ْاٌ ُّشَٚ ،َْا َب َس ِةٙط ِ َٚ ،ُِ ٍْ ْاٌ ِعَٚ ،ًِ ْاٌ َع ْم ِ خْ ذٌٛ ِ ص َّس ِت ْا َب ِء ْاألُ َِّ ِت١ ْ ًِْ ئِز١ َع ِبِٝ ف،ُِّ ْاٌبَ ْز ِي ْاٌ َدَٚ ،َِ ْاٌ َى َشَٚ ، َش ِة١ْ ُز ْغ ِٓ اٌ ِّغَٚ ، َش ِة٠ْ َّش ِ اٌغ ًّٕب١ْ َوب َْ َع،َ ِز ِٖ ْاألَ ْعبَب ِءِٙلَب ََ بَٚ َ َحْٕٙ َّ ٌَ َح َ٘ َز ْااَٙٔ ْٓ َّ َ ف.َبْٙ ِعُٛ ُسبَِٝٔ ْش ِش ْاٌ ِع ٍْ ُِ فَٚ ُّ َِِٓ ًّّب١ْ َص ِعَٚ ،غًّب َِِٓ اٌشُّ َؤ َعب ِء١ْ َس ِئَٚ ،ِْ َب١َِِٓ ْاألَ ْع ٍَٝ َعَٛ َُٙئِلَّ فَٚ ،اٌض َع َّب ِء .ًٌ١ْ َد ِخٌّٟ ٍِ١ْ َف طُف ِ اٌ َّش َشَٚ اٌ َّضعَب َِ ِتَٚ اٌ ِّشئَب َع ِتَٚ َخب َ٘ ِتَٛ ٌْا “Seorang pemimpin itu belum bisa dianggap sebagai pemimpin yang sejati, kecuali dia telah memenuhi syarat-syarat kepemimpinan, yakni berpikiran cerdas, berwawasan luas, baik pendapatnya, bisa mengendalikan diri, perkasa, bersih atau tulus hatinya, baik perilakunya, dermawan, banyak memberikan bantuan keuangan demi kesejahteraan umat dan giat menyebarkan ilmu pengetahuan ke seluruh pelosok tempat tinggal umat. Barangsiapa yang jejak perjalanannya seperti itu dan sanggup memikul tanggung jawab berat sebagaimana tersebut, maka dia baru bisa disebut sebagai “tokoh pemimpin sejati”. Jika ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut untuk menjadi pemimpin, maka orang itu termasuk perampas yang bodoh, tetapi mengaku pintar ingin
46
menjadi pemimpin, karena gila pangkat semata” (Al-Ghalayaini, t.t:151). Dari beberapa syarat-syarat kepemimpinan tersebut, penulis dapat meyimpulkan bahwa syarat kepemimpinan itu diantaranya: a. Mempunyai moralitas yang baik Para pemimpin itu hendaklah berakhlak terpuji, senantiasa berkata jujur, teguh memegang amanah, tidak gemar melakukan perbuatan dosa dan maksiat seperti korupsi, manipulasi, dusta maupun khianat dan tidak suka bermaksiat kepada Allah. b. Berilmu pengetahuan Selayaknya seorang pemimpin mempunyai pengetahuan yang mencakup tentang administrasi negara, politik, hukum, maupun agama. Allah menggambarkan tipe pemimpin itu dalam Al Qur’an surat Yusuf : 55
“Berkata Yusuf: "Jadikanlah Aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya Aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".(Qs Yusuf:55). c. Mempunyai kemampuan Seorang pemimpin itu hendaknya mampu menjalankan tugas (kompeten) dan konsekuen (istiqomah) memikul tanggung jawab yang diamanahkan kepadanya, dan ia harus memiliki kemampuan dan
47
keberanian untuk menegakkan keadilan serta melaksanakan amar ma‟ruf nahi munkar. d. Mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap rakyat dan mempunyai sifat kasih sayang Pemimpin itu selayaknya ialah orang yang mampu mengayomi dan bersedia berkorban untuk kepentingan rakyat yang lebih luas baik pemimpin
di
bidang
agama,
pemerintahan
maupun
sosial
kemasyarakatan. Rakyat butuh pemimpin yang peduli, mampu melindungi dan memberikan rasa aman terhadap berbagai ketakutan.
3. Tipologi Kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin Kecintaan
terhadap
jabatan
kepemimpinan
(ambisi
menjadi
pemimpin) adalah merupakan penyakit bangsa timur yang amat berbahaya, sedangkan berebut atau bersaing menjadi pemimpin adalah merupakan penyakit orang timur yang kronis. Begitu juga setiap ada pemimpin yang tampil, pasti timbul kecemburuan terhadapnya di hati bangsanya dan rasa dendam pada jiwa semakin membara. Lalu mereka melakukan adu domba, menjelek-jelekkan pemimpin tadi, mencurahkan segala kekuatan yang mereka miliki untuk menjatuhkannya, menyatakan terang-terangan menentang (menjadi oposisi) dan menghujatnya secara terang-terangan. Apabila pemimpin tersebut pemimpin sejati, maka dia tidak mempedulikan serangan-serangan itu dan menghiraukannya, Tetapi, dia
48
malah semakin teguh melanjutkan apa yang dia rencanakan, berupaya menciptakan kemakmuran untuk rakyatnya, tanpa mempedulikan hambatan-hambatan, pergolakan dan kesulitan-kesulitan serta tidak mau mengumpulkan massa untuk unjuk kekuatannya. Sebaliknya, apabila pemimpin tersebut guncang saat pertama kali mendapat tantangan, maka dia adalah orang yang lemah kemauan dan jiwanya. Semestinya, orang seperti ini tidak mau dijadikan pemimpin bangsanya (Al Ghalayaini, t.t:156). Menurut Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini bahwasannya jabatan kepemimpinan itu bukanlah seperti barang yang bisa dibeli dan bukan seperti baju, yang jika dipakai seseorang, lantas seseorang itu sudah dapat, maka dianggap menjadi pemimpin. Sesungguhnya, pemimpin itu roh umat atau bangsa, setiap bangsa yang dipimpin oleh orang yang tidak jelas pendiriannya, pemerintahannya dikendalikan oleh orang-orang yang bodoh dan pemuka-pemuka atau tokoh-tokoh mereka terdiri dari orangorang yang rendah dan berakhlak tercela, maka bangsa itu positif bobrok, kacau dan akhirnya hancur (Al Ghalayaini, t.t:157-158).
ُّ َب٠َٚ ،َ ْب ُذ ُي ْاٌ َّب َي٠ ْٓ َِ ُْظ١ِْظ اٌ َّشئ ِسئَبِٝط ف َ ُث اٌ ِّش َخ َ ١ٌَ ِ ١ْ ٌِتَشْ ِغ،بي ِ ب إٌَّب ُت اٌ ِّشئَب َعت ْ َٔ ْظُ َِ ْٓ َوب١ِئَِّٔ َّب اٌ َّشئَٚ ،ِٗ ِْ َي َعٍَ ُِ َصعَب َِتٛف َز ِ ْا ِإل ٌْتِفَبَٚ ،ِٗ َِعت .ِٗ ُِخٍُمًّب ِِ ْٓ أَ ْخالَل “Pemimpin yang sejati itu, bukanlah orang yang suka bagi-bagi uang dan merangkul tokoh-tokoh, yang tujuannya hanya agar orangorang menyukai dan mendukung kepemimpinannya. Namun, pemimpin
49
yang sebenarnya ialah orang yang kepemimpinannya itu mencerminkan budi pekertinya yang luhur”. Kepemimpinan yang demikian itu tidak bakal terwujud, kecuali dalam diri orang yang telah dikenal sifat-sifat kemuliaannya, tidak berlaku negatif, murni gagasannya, teguh hatinya, tinggi cita-citanya, bersih janjinya (tanpa menginginkan timbal balik), cerdas pikirannya, kuat fisiknya, ramah, bersih kepribadiaannya, jelas moralnya, bersih nasabnya dari cacat moral, tanggap terhadap tuntutan rakyat, dan bekerja keras demi kepentingan dan kemajuan mereka. Barangsiapa yang memiliki sifat dan kepribadian seperti yang diuraikan di atas, maka dia pasti mempimpin dan memeritah orang banyak, semua ucapan dan petuahnya pasti didengar dan ditaati oleh rakyat, memiliki wibawa dan kedudukan yang tinggi di kalangan mereka (Al Ghalayaini, t.t:159). Kepemimpinan yang bobrok dapat dilihat dari sekelompok orang, yang jika mengalami kegagalan dalam usahanya (memenuhi ambisinya) merebut kekuasaan (dari pemimpin yang sebenarnya sudah baik), yang mereka inginkan, maka mereka mulai bangkit memprovokasi umat dengan atas nama agama, padahal kelompok ini sebenarnya paling ingkar dengan agama. Mereka gampang mengatakan orang lain sebagai kafir, ateis, sesat dan fasik. Untuk memenuhi keinginan yang sesat itu, mereka menggunakan cara-cara yang hina dan keji, orang-orang yang seperti ini biasanya suka menggunjing dan memprovokasi umat atau rakyat, agar tidak mendukung pemimpin yang sedang berkuasa (yang sebenarnya sudah baik) dan
50
mencemarkan nama baik pemimpin-pemimpin itu, sehingga terjadi krisis kepercayaan, yang akhirnya terjadi kefakuman. Situasi seperti itu oleh golongan tersebut dimanfaatkan sebagai jalan mencapai apa yang mereka maksud, yaitu mengambil alih kekusaan dan kepemimpinan, sehingga mereka bisa menjadi pemimpin. Padahal mereka tidak menyadari, bahwa apa yang telah mereka lakukan itu sebenarnya membuka cacat dan kejahatan mereka sendiri, yang pada akhirnya rakyat menjauhi mereka, tidak memperhatikannya, bahkan membenci dan marah kepada mereka (Al-Ghalayaini, t.t:160-161).
4. Nilai-nilai Pendidikan Kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin Syeikh Musthafa Al Ghalayaini dengan pemikirannya dalam kitab Idhotun Nasyiin menekankan pada akhlak, etika dan kemasyarakatan. Kitab ini berisi bimbingan untuk generasi muda muslim, agar menjadi individu-individu yang bersih dari sifat-sifat yang tidak terpuji, berakhlak mulia dan mengerti, sebagaimana ia bersikap, menghadapi segala peristiwa yang dialami bangsanya. Sebagaimana Al Ghalayaini dalam pidatonya yang ditulis dalam kitab Idhotun Nasyiin
terdapat nilai-nilai pendidikan kepemimpinan,
dapat dilihat dari beberapa kriteria sifat-sifat pemimpin yang baik yaitu sebagai berikut: a. Rendah hati dan sederhana Firman Allah dalam QS. Luqman:18
51
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Luqman:18). Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa seberapapun kita lebih unggul dari orang lain kita tetaplah makhluk yang kecil di hadapan sang Pencipta, dengan hendaklah selalu rendah hati. Dalam pidatonya yang disampaikan Syeikh Musthafa AlGhalayaini dimana telah dikutip dalam kitab Idhotun Nasyiin, “Wahai generasi muda, berpegang teguhlah dengan sikap moderat (sedang). Janganlah kalian membiarkan setan mendorongmu bersikap terlampau berlebihan (ekstrem) atau terlampau kurang (konservatif). Sebab, perkara yang paling baik adalah yang tengah-tengah, karena didalamnya terdapat kemuliaan, dan kemuliaan itualah yang dicari oleh orang-orang yang menginginkan hidup mulia” (Al-Ghalayaini, t.t:174). Kesederhanaan merupakan sikap tengah-tengah dalam setiap persoalan. Menurut kaidah umum, segala sesuatu yang telah melampaui batas maksimal, yang terjadi justru adalah sebaliknya. Dalam hal ini Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini memberikan gambaran bahwa ketakwaan yang melampaui batas justru menumbuhkan rasa was-was dalam hati. Seorang pemimpin yang baik itu jangan sekali-kali bersikap sombong atau juga merasa lebih tahu, lebih pandai dari yang lainnya. Ketahuilah bahwa setiap manusia itu mempunyai kelemahan dan
52
kelebihan masing-masing, jadi tidak ada hak sama sekali seorang pemimpin itu sombong. Pemimpin yang baik juga hendaklah sederhana, misalnya gaya hidup tidak berlebihan dan berkemewahan karena itu akan mengakibatkan kecemburuan dan sakit hati bawahannya. b. Suka menolong Sesungguhnya sikap dan usahamu berbuat baik kepada orang lain, berarti engkau telah menanamkan (mengukir) rasa cinta dalam hati orang itu, yang tidak bisa dihapus, kecuali jika engkau berbuat jahat kepadanya. Tetapi orang yang berhati mulia dan berakhlak baik, tidak mungkin akan melakukan perbuatan jahat sesudah ia berbuat baik. Apabila engkau berbuat baik kepada seluruh umat, maka berarti engkau ibarat orang yang membangun sebuah monumen dan panggung (mimbar) kecintaan dalam setiap hari tiap-tiap anggota umat tersebut yang tidak mungkin terlupakan selama umat itu masih ada. Artinya kebaikan atau jasa baik kalian kepada masyarakat akan tetap dikenang mereka selama-lamanya, selama mereka masih hidup (Al Ghalayaini, t.t:220-221). Seorang pemimpin hendaknya selalu siap sedia untuk membantu bawahannya, juga hendaknya selalu mendengarkan kesulitan yang disampaikan bawahan. Dengan begitu maka pemimpin akan dianggap sebagai pelindung dan pembimbing yang baik.
53
c. Sabar dan kestabilan emosi Dalam melakukan setiap perbuatan dan mengambil sebuah keputusan, peran akan (logika) menempati posisi yang paling penting. Sebab tanpa melibatkan akal, maka hasil yang akan diperoleh tentunya tidak akan sesuai dengan apa yang diharapkan. Orang yang berakal selalu
memperhitungkan
aspek-aspek
baik
dan
buruk
yang
ditimbulkan oleh perbuatan tersebut. Hal ini berbeda sekali dengan orang yang lebih mengedepankan ego (hawa nafsu) ketimbang akal. Akibatnya kemudian apabila ia menghadapi sebuah kesulitan, ia menjadi manusia yang amat bingung, selalu berhati gelisah, tidak berjiwa mantab dan bahkan berusaha mundur untuk menghindarkan diri dari kesulitan tersebut. Dalam hal ini seorang pemimpin setidaknya memiliki sifat sabar, tidak mudah kecewa, bisa mengendalikan dirinya dalam menghadapi anak buahnya dan harus bisa mengatur emosinya. Dengan begitu sifat sabar tersebut akan membuat bawahan merasa aman, tidak merasa ditekan dan tidak merasa takut. Menurut Syeikh Musthafa Al Ghalayaini dalam kitabnya Idhotun Nasyiin, mengatakan “Sesungguhnya orang yang berakal sempurna ialah orang yang sabar terhadap segala macam kesulitan, juga sanggup menghadapinya dengan hati yang tabah dan teguh. Orang yang berakal sempurna, bukanlah orang yang mudah bingung ketika menghadapi kesulitan dan selalu gelisah” (Al Ghalayaini, t.t:5).
54
Jiwa orang yang cerdik itu di dalamnya mesti ada sifat atau watak tenang dan sabar. Ia berusaha dengan tenang dalam menyingkirkan bencana yang menimpa dirinya dan tidak bingung dalam mencegah bencana itu. Adapun jiwa orang-orang yang bodoh itu selalu bingung setiap kali menghadapi kesulitan, meskipun itu sangat kecil. Sebab, dia telah berkeyakinan, bahwa dirinya tidak sanggup menghadapinya dan tidak mampu menolaknya. Dia merasa tidak bisa membebaskan diri dari persoalan yang dihadapinya. Itulah perbedaan antara dua jiwa manusia (Al Ghalayaini, t.t:6). Allah swt akan memberi balasan kepada orang yang sabar dalam mendidik jiwanya dan akan mengangkat derajat mereka, sama dengan derajat orang-orang yang mendapat hidayah dan menyelamatkan mereka dari kedudukannya yang tidak jelas. Dalam
pidatonya
Syeikh
Musthafa
Al-Ghalayaini
menyampaikan:
َّ ٌ اٌَٝ ِ فَا ه َٔ َدب ُذ َ ٌِ فَا ِ َّْ عَبلِبَتَ َر: ُْ ْ ُوْٛ ِع ُى ُْ أَ ْد ُعُٛب ُٔف ِ ٠ْ ِزْٙ َ تٍَٝصب ِْش َع . ِٓ ١ْ َ١َْٕ ُص بِب ٌْ ُس ْغَٛ ْاٌفَٚ ، ِٓ ١ْ ََب ت١ َع َعب َدةُ ْاٌ َسَٚ ،ِٓ ٠ْ اٌ َّذا َس “Saya menyerukan kepada kalian semua, hendaklah bersabar dalam mendidik jiwa kalian semua. Sebab, sesungguhnya hal itu menyebabkan kebahagiaan kebahagiaan dunia dan akhirat” (Al Ghalayaini, t.t:7).
55
d. Percaya pada diri sendiri Bangsa barat itu tidak akan mengalami kemajuan dan tidak akan mencapai kemajuan dalam bidang perdaban, pandangan dan pemerintahan, kecuali setelah mereka mendidik para generasi muda mereka untuk bebas berpikir dan percaya pada diri sendiri. Syeikh Musthafa Al Ghalayaini mengatakan bahwasannya: apabila seorang anak sudah mulai timbul pikirannya, maka kedua orangtuanya wajib membiasakan anaknya itu mandiri dalam semua urusannya, sehingga ketika dia menginjak usia remaja, akan menjadi orang yang berjiwa gemar mengabdi kepada bangsanya, seperti pengabdian orang-orang besar dan kuat. Manakala pemuda-pemuda yang biasa hidup mandiri itu semakin banyak jumlahnya, maka dari mereka inilah terbentuk bangsa yang baik dan layak menjadi pewaris bumi (Al Ghalayaini, t.t:293). Pemimpin itu harus mempunyai keyakinan bahwa ia mampu dan bisa memimpin dengan apa yang dia miliki dan dia harus yakin dengan dirinya sendiri atas kemampuan yang dimilikinya. Setiap orang bisa mengukur kemampuan dirinya sendiri, oleh karena itu jangan memaksakan kehendak menduduki jabatan jika memang seseorang tidaklah mampu atas jabatan tersebut. e. Jujur, adil dan dapat dipercaya Perlu diingat, bahwa poros kepercayaan itu ada pada tiap-tiap individu anggota umat. Apabila kadar kejujuran dan kemuliaan jiwa dalam umat itu besar, maka kepercayaan di antara mereka juga besar. Dan apabila kadar dua sifat mulia tersebut rendah, maka kepercayaan di antara mereka juga sangat rendah dan tatanan kerja pun menjadi rumit. Semua itu dapat mengusik ketentraman dan kebahagiaan semua
56
umat. Dalam pidatonya Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini memberikan pesan yang mengatakan:
ُْ ْ ا أَ ْٔفُ َغ ُىُِٛ أَ ٌْ ِضَٚ ، ًِ َّ ْاٌ َعَٚ ْ ِيَٛق ْاٌم َ ص ْذ ِ ، َٓ١ْ ِ َِ ْع َش َشإٌب ِشئ، ْ اٚ ُدَّٛ تَ َع َ ِٔ ٍْتُ ُْ ثِمَتَٝ َِتَٚ . ُْ ِٕ ُى١ْ ِّ َ٠ ْ َعَٛ تَ ُى ِٓ ا ٌثِّمَتُ ِب ُى ُْ ط، ْع ِذَٛ ٌْفَب َء بِب٠ْ ْا ِإلَٚ ْا ِإلبَب َء ْ َ٘ب ؛ فَا ِ َّٔ ُى ُْ بِب ٌثِّمَ ِتَُّٛب ُو ُْ أَ ْْ تَضْ َعف٠ ِئَٚ . َٓ١ْ ُو ْٕتُ ُْ َِِٓ ْاٌ ُّ ْفٍِ ِس، ُْ ط ِب ُى ِ إٌَّب . َْ ْٛ ُش١ْ تَ ِع “wahai, generasi muda, biasakanlah jujur (benar) dalam bertutur kata dan beramal. Paksaan dirimu memenuhi janji, kalian kan memperoleh kepercayaan dan jika engkau telah mendapat kepercayaan dari masyarakat, maka kalian termasuk orang-orang yang bahagia. Hati-hatilah, jangan sampai kalian meremehkan kepercayaan, sebab dengan modal kepercayaan itulah kalian bisa hidup” (Al Ghalayaini, t.t:209). Pemimpin yang baik menurut Nabi, adalah pemimpin yang adil (imamun „akilun), yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya (Mubarok, 2003:12). Seorang pemimpin hendaknya terbuka dan terus terang terhadap bawahannya sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam bekerja dan harus memeliki keteladanan yang baik (uswatun hasanah)
dan
ucapan-ucapannya
harus
bisa
dipertanggung
jawabkannya. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam surat Al Maidah ayat 8:
57
“Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Departemen Agama RI, 1989:159) Dampak dari kepemimpinan seorang pemimpin akan sangat besar implikasinya terhadap bawahannya. Jika keputusannya tepat, maka kebaikan akan dapat dirasakan oleh anak buahnya, tapi jika keliru maka bawahan akan menanggung derita karenanya.
Dari uraian di atas dapat dipahami bersama, bahwa dalam menjalankan proses kepemimpinan, setidaknya ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar dalam proses kepemimpinannya bisa berjalan seperti yang telah direncanakan. Memang benar, sangat sulit untuk memenuhi syarat menjadi pemimpin sesuai dengan teori-teori yang ada, akan tetapi pemimpin haruslah berusaha secara maksimal agar memperoleh hasil yang maksimal pula. Syeikh Musthafa Al-ghalayaini menasehati kaum remaja agar memiliki akhlak yang terpuji untuk membentuk kepemimpinan yang baik sebagaimana dalam pidatonya sebagai berikut:
58
ْ تَ َّغَٚ ْاٌ ِع ٍْ ُِ ْاٌ َىب ِِ ًِ ؛ٌَِٝ ئ، ُءْٟ َب إٌَّب ِشٙ٠ُّ َ أ، َْ فَتَمَ َّذ ض ًِ ؛ ِ ك اٌفَب ِ ٍَُّه بِب ٌْ ُخ َُ ١ْ ْ َْ َص ِعٛر ؛ ٌِتَ ُى ِ ُِ ْغتَشْ ِشذًّا بِب ٌْ َع ْم ًِ اٌشَّا ِخ، ر ِ ٌِ اٌ َع َّ ًِ اٌصَّبٍَٝأَ ْل ِذ َْ َعَٚ . َ َشتِه١ْ َش َ ِِ َْٛل َ ١ِ َسئَٚ ه ِ ْظ ع “Majulah, wahai, generasi muda, untuk menuntut ilmu secara sempurna, berpegang teguhlah dengan akhlak mulia dan rajinlah beramal saleh dengan bimbingan akal yang sehat, agar engkau kelak menjadi pemimpin bangsamu dan kepala dalam keluargamu”
ُ َٔ ْٚن َس ، ك اٌ ِّشئَب َع ِت َ َ ُغ َّش٠ َْٚ أ، ه َٔ ْفغُهَ بِب ٌ َّض عَب َِ ِت َ ََّب نَ اَ ْْ تُ َس ِّذ ث٠ ِئَٚ َ ت ٌَغ َ ْٔ َأَٚ . . ِّه اٌّ ُّز ي َ َٔ ْف ِغٌَٝ ِئَٚ ، ًِ ٠ْ َٛ ٌه ْا َ ِِ َْٛ لٌَُِٝ َّب بِأ َ ْ٘ ًٍ ؛ فَتَدْ ٍُبُ ئٌَٙ ْت "Waspadalah terhadap bisikan hatimu untuk berambisi memegang jabatan kepemimpinan atau rayuan yang merayumu dengan keenakan memegang jabatan kepemimpinan. Sedangkan engkau belum layak mendudukinya, engkau justru akan menjerumuskan umatmu ke jurang kesengsaraan dan engkau sendiri menjadi hina." Seperti sebuah syair yang disampaikan Syeikh Musthafa Al Ghalayaini:
ُْ ٌَُٙ َ َل َع َشا ةٝض َ َْْٛ َُ فََٛصْ ٍُ ُر ْاٌم٠ َل ْ اُٚ ُْ َعب ُدٌُٙ َّبٙ َل َع َشا ةَ ئِ َرا ُخَٚ ُ ١َ ْاٌبَٚ ئِلَّ ٌَُٗ َع َّ ٌذََُٕٝ ْبت٠ ْت َل ْ تَب ُدَٚلَ ِع َّب َد ئِ َرا ٌَ ُْ تَشْ طُ أَٚ Suatu bangsa takkan hidup baik tanpa pemimpin, Dan tidah ada guna pemimpin, jika orang-orang bodoh tampil menjadi pemimpin.
59
Rumah takkan bisa berdiri tegak tnpa pilar, Dan tiada pilar yang berdiri tanpa dasar, Jika lengkap dasar dan pilar-pilar, Maka suatu saat rakyat itu sampai pada apa yang diharap (Al Ghalayaini, t.t:153-154).
-(Syeikh Musthafa Al Ghalayaini)-
60
BAB III BIOGRAFI SYEIKH MUSTHAFA AL-GHALAYAINI
A.
Latar Belakang Penulisan Kitab I’dhotun Nasyiin Kitab I’dhotun Nasyiin yang ditulis oleh Syeikh Musthafa AlGhalayaini dilatar belakangi ketika al-Ghalayaini menulis nasehat-nasehat berharga di koran al-Mufid dengan judul Nasehat untuk Generasi Muda, di bawah asuhan Abu Fayyadh, artikel tersebut telah menyita perhatian para pembaca karena memiliki kesan positif dan pengaruh luar biasa pada jiwa para pembacanya, sehingga sebagian besar mereka mengusulkan, agar artikel tersebut dibukukan, dicetak dalam bentuk buku dan diedarkan dalam masyarakat luas, khususnya mereka yang belum sempat menelaah koran tersebut (Al-Ghalayaini, t.t: 7). Setelah memahami keinginan mereka kemudian al-Ghalayaini bertekad mengedarkan nasehat-nasehat tersebut di kalangan generasi muda ini, dengan harapan semoga nasehat-nasehat tersebut dapat menjadi penerang dan petunjuk bagi mereka (Al-Ghalayaini, t.t:7). Melalui buku ini Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini seorang tokoh ulama modern memberikan nasehat dan petunjuk yang berguna bagi kaum remaja dan pemuda harapan bangsa sebagai penyuluh dan penerangan serta pedoman hidup untuk mencapai akhlak yang luhur.
61
B.
Sistematika Penulisan Kitab I’dhotun Nasyiin Kitab I‟dhotun Nasyiin karya Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini memiliki sistematika hampir sama dengan kitab lainnya, dengan halaman pertama judul diikuti dengan nama pengarangnya yaitu Syeikh Musthafa AlGhalayaini. Halaman berikutnya adalah tentang latar belakang penulisan kitab I‟dhotun Nasyiin. Dengan bahasa yang halus dan sopan penulisannya didahului dengan bacaan basmalah kemudian diikuti penjelasan tentang permulaan kejadian yang mendorong untuk penulisan kitab I‟dhotun Nasyiin tersebut. Pembahasan selanjutnya tentang materi yang berhubungan dengan akhlak, etika dan kemasyarakatan yang diakhiri dengan doa. Kitab tersebut, menjelaskan sistem pergantian antara pembahasan masalah yang satu dengan pembahasan masalah yang lain yang ditandai dengan bab-bab tertentu yang sesuai dengan pembahasan masalah. Lebih simpelnya, sistematika penulisan kitab I‟dhotun Nasyiin dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu: 1. Halaman judul 2. Latar belakang penulisan 3. Muqodimah Dalam bagian ini berisi nasihat Al Ghalayaini yang mengatakan bahwa : “Ini adalah berbagai nasihat yang sangat berguna. Ia bagikan mutiara yang berkilauan. Kalian semua akan melihatnya tersusun rapi dalam tatanan yang indah, dan manfaatnya sangat banyak. Ia diungkapkan dengan kata-kata yang penuh hikmah, dapat memberi petunjuk ke jalan yang lurus dengan cara yang bijaksana. Ia akan
62
menuntun kepada setiap orang yang mengamalkannya ke jalan yang benar. Buku ini dapat dikatakan suatu wadah yang penuh ibarat, tamsil dan percontohan, juga sebagai suatu bejana yang tiada isi dan kandungannya kecuali petunjuk baik, nasehat berharga dan petuah yang tiada ternilai harganya. Wahai generasi muda, berpegang teguhlah pada nasehat-nasehat ini. Sebab, ia akan menjadi benteng yang menyelamatkan engkau, pada saat engkau masih muda dan akan menjadi simpanan berharga di saat engkau menjadi tua. Semiga keselamatan diberikan kepada orang yang mendengar, mengerti dan mengamalkan isi nasehat-nasehat ini.” 4. Isi atau kandungan kitab, yang diakhiri dengan penutup. Secara ringkasnya buku ini berisi nasehat-nasehat yang berguna, dengan dilandasi oleh niat yang ikhlas dan penuh keyakinan. Terdiri dari dari berbagai macam topik dan pembahasan, yang berkaitan dengan masalah-maslah kemasyarakatan, sosial, budi pekerti luhur serta akhlak yang mulia. Di samping itu, juga mengandung berbagai macam persoalan etika dan falsafah serta hikmah. Pada bagian penutup Al-Ghalayaini menyampaikan doa yang dipanjatkan agar keselamatan dan kesejahteraan tetap dilimpahkan oleh Allah kepada generasi muda, demikian juga rahmat dan berkah-Nya. Beliau sangat mengharapkan keberhasilan kaum generasi muda, dengan harapan mereka tidak mengesampingkan atau melupakan kitab yang berisi nasehat-nasehat itu.
63
C.
Biografi Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dan Sosio-Kulturnya Nama lengkapnya adalah Musthafa bin Muhammad Salim alGhalayaini. Dalam kitab “Mu‟jam al-Muallafin Tarajum Mushanafi alKutub al-Arabiyyah” yang ditulis oleh Umar Ridha Kahalah, ia mengungkapkan bahwa Musthafa Al-Ghalayaini dilahirkan pada tahun 1303 Hijriyah atau bertepatan pada tahun 1808 Masehi. Walaupun demikian, dengan dikaruniai umur sekitar 59 tahun ternyata telah banyak sekali predikat atau gelar yang beliau sandang di antaranya selain dikenal sebagai ulama yang berpandangan modern dan berkaliber internasional beliau adalah seorang sastrawan, penulis, penyair, orator, linguis, politikus, kolomnis maupun wartawan (Kahalah,1993: 881). Al-Ghalayaini lahir di kota Beirut, ibukota negara Libanon. Di masa pertumbuhannya Al-Ghalayaini ketika masih kecil sudah menunjukkan kecerdasan intelektual melebihi teman-temannya. Dan ia mendapatkan pendidikan dasar dari guru atau syeikh terkenal pada saat itu, diantaranya adalah Muyiddin al-Khayyath (1310 H), Abdul Basith al-Fakhuri (1323 H), Shalih al-Rofi’i dan lainnya. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di tanah kelahirannya, beliau kemudian melanjutkan pendidikan tingginya di Mesir, tepatnya di Universitas Al-Azhar Kairo, di sana beliau berguru kepada seorang yang di dunia Islam dikenal sebagai pembaharu pemikiran islam, yakni Muhammad Abduh (Kahalah, 1993: 881). Pengaruh pemikiran Muhammad Abduh terhadap Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dalam kitab I‟dhotun Nasyiin terlihat gaya penulisan dalam
64
isi kitab ini. Kontribusi pembaharuan pemikiran Muhammad Abduh yang bersifat rasional sangat tampak dalam kitab ini. Hal tersebut sangat tampak dalam pembahasan tentang pembaharuan, kemerdekaan, rakyat dan pemerintah, yang menekankan pada kebebasan berpikir, berpendapat, dan bernegara. Pemikiran Muhammad Abduh yang juga sangat jelas mempengaruhi pemikiran Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dalam hal ini dijelaskan pentingnya seseorang memiliki sifat tawakal. Dalam konteks ini, Muhammad Abduh menyatakan bahwa terdapat dua ketentuan yang sangat mendasari perbuatan manusia, yaitu: pertama, manusia melakukan perbuatan dengan gaya kemampuannya. Kedua, kekuasaan Allah adalah tempat kembali semua yang terjadi (Sucipto, 2003: 152). Di samping itu, Muhammad Abduh juga mempengaruhi pemikiran Syeikh
Mushthafa al-Ghalayani
dalam
hal
gagasan dan
gerakan
pembaharuannya yang modernis. Muhammad Abduh adalah seorang reformis yang toleran, liberal dan kaya akan gagasan modern. Tapi di satu sisi, Muhammad Abduh dilihat sebagai seorang alim, mujtahid, dan penganjur doktrin orisinalitas Islam (Sucipto,2003: 153). Kemudian setelah menamatkan pendidikan di Universitas al-Azhar Kairo, beliau kembali lagi ke Beirut dan aktivitasnya tiada lain adalah mengamalkan seluruh ilmu yang telah didapatkan di Kairo tersebut. Beliau aktif mengajar di beberapa Universitas, di antaranya adalah Universitas Umari, Maktab Sulthani, Sekolah Tinggi Usmani, dan Sekolah Tinggi Syari’ah lainnya (al-Ghalayaini, 2002: 4).
65
Selain aktif sebagai pengajar beliau juga sangat berminat menggeluti dunia penerbitan. Beliau menerbitkan majalah Nibrasy di Beirut dan berpartisi aktif dalam dunia perpartaian, yakni dengan bergabungnya beliau kepada
kelompok
Hizb
al
Ittihad
al-Taraqqi
(Partai
Persatuan
Pembangunan). Tapi, tidak berapa lama kemudian beliau mengundurkan diri dari keterlibatannya di partai tersebut dan bergabung dengan Hizb al-I‟tilaf (Partai Koalisi). Sama seperti di partai sebelumnya, atas ketidaksepahaman pendapat dengan golongan elit terpelajar yang bergabung dengan partai itu, beliau lagi-lagi mengulangi keputusannya untuk menarik diri. Menurutnya kejelekan mereka adalah terlalu mengabdikan diri kepada pemimpin keagamaan tradisional yang cenderung sektarian dan nonegaliter. Partai-partai politik yang ada juga tidak dapat diterimanya karena mereka cenderung akomodatif hanya terhadap salah satu kelompok saja dan tidak aspiratif serta mau berjuang dan membela masyarakat umum. Hal inilah yang mendorong Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini beserta para intelektual lainya dengan gagasan, visi dan misi yang sama terketuk untuk membentuk partai baru yang disebut dengan Hizb-al-Islah (Partai Reformasi). Maka sesuai namanya partai ini lebih beriontasi kepada perjalanan Islam yang bernuansa reformis dan modernis serta membela hakhak orang yang tertindas dan mewujudkan masyarakat umum (Kahalah, 1993: 881). Setelah sekian lama berkecimpung dalam partai politik, beliau kemudian oleh pemerintah diangkat menjadi orator (ahli pidato) untuk
66
mendampingi pasukan Ustmani IV pada perang dunia pertama. Beliau juga menyertainya dalam perjalanan dari Damaskus menyeberangi gurun menuju Terusan Suez dari Arah Isma’iliyah, dan ikut hadir di medan perang walaupun kemudian mengalami suatu kekalahan. Beberapa peristiwa yang melingkupi perjalanan karir beliau, baik yang berkaitan dengan dunia politik dan perang telah memberikan pelajaran sangat berarti bagi diri Al-Ghalayaini. Berdasarkan keinginan yang kuat untuk mengabdikan diri kepada dunia pendidikan, beliau lagi-lagi ke Beirut dan aktif sebagai tenaga pengajar. Di sela-sela kesibukannya sebagai tenaga edukatif, beliau mendapatkan kepercayaan dari pemerintah yang waktu itu negara berada di bawah pemerintahan raja Faisal untuk mengunjungi kota Damaskus, dan disana beliau diangkat sebagai pegawai di kantor administrasi keamanan publik sekaligus juga sebagai tenaga sukarela pada tentara Arab. Di tahun berikutnya kembali ke Beirut, lalu dengan tanpa alasan yang jelas beliau ditahan oleh pemerintah, tapi tidak lama kemudian beliau dibebaskan. Sebagai seorang yang suka berkelana dan menjelajah dari suatu kota ke kota lainya yang masih dalam lingkup tanah Arab, beliau kemudian pergi ke Jordania Timur di sana diangkat sebagai pengasuh dua anak Amir Abdullah dan menetap dalam waktu yang tidak lama. Perjalanan ke Jordania Timur membuatnya tidak betah berlama-lama di negeri orang, lalu kembali lagi ke Beirut. Tapi sesampainya di Beirut bukan malah mendapatkan suatu penyambutan yang meriah, melainkan
67
suatu penahanan yang dilakukan oleh otoritas Prancis yang sudah lama berada di tanah Beirut untuk kemudian diasingkan ke Negara Palestina dan selanjutnya menetap di daerah Haifa. Setelah dibebaskan dari pengasingannya dan menghirup kembali alam bebas, beliau berniat kembali ke tanah kelahiranya, yaitu Beirut. Beliau ternyata masih mendapat kepercayaan dari rakyat untuk memangku beberapa jabatan sekaligus, di antaranya adalah beliau diangkat sebagai kepala Majelis Islam, hakim Syari’ah serta penasehat pada Mahkamah Banding Syari’ah Sunni sekaligus terpilih sebagai anggota Dewan Keilmuan Damaskus. Beliau wafat di Beirut pada tanggal 17 Februari 1945 tepat diusianya yang ke 59 tahun (Kahalah, 1993: 881). D.
Karya-Karyanya Adapun karya-karya Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dalam bidang bahasa Arab meliputi: a) Al Thurayya Al Mudhiyyah fi Al Durus Al Arudhiyyah b) Al Qawaid Al Arabiyyah c) Rijal Al Mu‟allaqat Al‟Asyr d) Al Durus Al Arabiyyah e) Jami‟ Al Durus Al Arabiyyah f)Nadzarat fi Al Lughati wa Al Adab Al Ghalayaini juga memiliki banyak tulisan tentang kemasyarakatan, pendidikan, politik, perbaikan diri, dan tentang beberapa metode pengajaran. Diantaranya:
68
a) Arij Al Zuhr b) Al Islam Ruh Al Madinah fi Al Rad „Ala Kurmur c) Idzat Al Nasyiin d) Nadzarat fi Al Adab wa Al Fiqh e) Lubab Al Khair fi Siyar Al Nabi Al Mukhtar f)Al Ta‟awun Al Ijtima‟i g) Nukhbatun min Al Kalam Al Nabawy h) Diwan Al Ghalayini (fi Syi‟r Fakhr wa Al Hikmat wa Al Wathaniyyah) i)Nadzarat fi Al Sufur wa Al Hijab. (Http://ngalapberkahtiyangsoleh.blogspot.co.id/2014/01/syeikhmustafa-al-ghalayini.html.) Di akses pada tanggal 24 Agustus 2016 pukul 14.30
E.
Corak Umum Pemikiran Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini Ciri khas yang paling menonjol dalam kitab I‟dhatun Nasyiin karya Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini ini yang disusun dengan gaya pidato dengan berbagai poin yang menjadi tema pokoknya sekaligus dilengkapi dangan solusi-solusi dan langkah-langkah ke depan yang lebih baik. Isinya bukan saja menawarkan sederetan teori ilmiah, melainkan juga arahan operasional yang lebih praktis. Nasehat-nasehatnya tediri dari berbagai macam topik dan pembahasan yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial dan moral. Di samping itu juga mengandung berbagai macam persoalan etika dan falsafah serta hikmah.
69
Untuk memahami pemikiran seorang cendekiawan secara objektif, kita harus memberikan perhatian pada situasi dan kondisi yang melingkupi realitas zamannya. Karena kondisi itulah yang mendorong seorang cendekiawan untuk mengartikulasi gagasan, pandangan, dan sikapnya. Kondisi itulah yang mendorong untuk menentukan metode yang dia tempuh untuk mengekspresikan segala ide-idenya. Bahkan, cendekiawan yang berhasil adalah mereka yang mampu menjadikan dirinya cermin atas realitas zamannya. Kemudian, dia juga berusaha menjadikan pemikirannya sebagai solusi efektif untuk memecahkan tantangan realitas yang semakin maju. Dia akan dianggap lebih berhasil, apabila dia sanggup mengubah sisi negatif bagi perjalanan kehidupan ke depan, dan memanfaatkan perubahan yang ada demi kemaslahatan masyarakat (Mu’thi, 2000: 84). Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa, beberapa faktor yang mewarnai pemikiran seseorang diantaranya, adalah pertama, kebutuhan masyarakat dan penguasa akan sistem ajaran tertentu. Kedua, ortodoksi yakni paham yang dianut oleh mayoritas kaum muslimin yang pembentukannya tidak lepas dari kepentingan-kepentingan keduniawian. Ketiga, sumber ajaran islam, al-Qur’an dan al-Hadits, yang tertuang dalam bahasa Arab yang dipakai oleh orang-orang Arab pada tempat dan waktu tertentu itu menimbulkan persoalan pemahaman bagi orang-orang yang masa hidupnya jauh dari masa hidup Nabi Muhammad SAW. Keempat, adanya kecenderungan manusia untuk bebas dari suatu pihak yang lain. Kelima, adanya pertentangan kepentingan.
70
Demikian juga tingkat
intelegensi, kecenderungan, latar belakang kependidikan, perkembangan ilmu pengetahuan, kondisi sosial budaya, politik, ekonomi, dan lain-lainya memberikan warna terhadap paradigma pemikirannya (Maragustan, 2000: 43). Pada bab di atas telah disinggung mengenai latar belakang kehidupan, perjalanan menempuh pendidikan, serta pergulatannya dengan dunia karir al-Ghalayaini, walaupun tidak begitu lengkap dan mendetail. Namun demikian, setidaknya dengan pemaparan di atas bisa menjadi sebuah patokan tersendiri untuk menelusuri sejauh mungkin paradigma berpikirnya al-Ghalayaini tentang konsep pendidikan akhlak, etika dan sosialnya yang dituangkan dalam menulis kitab I‟dhatun Nasyiin tersebut. Sebab karya tersebut boleh dibilang bukan sebuah karya utuh dan sistematis sebagai sebuah tulisan ilmiah berbentuk buku sebagaimana karangan-karangan yang lain. Tulisan tersebut merupakan essai bebas yang dia tulis dari balik jeruji besi. Karena di situlah beliau mengalami proses pencerahan diri yang sangat luar biasa berartinya, yakni pencerahan secara intelektual dan spiritual. Baginya penjara bukan merupakan tempat yang menakutkan yang bisa memasung kreatifitas berpikir dan menulis gagasan-gagasan aktual mengenai kondisi riil moralitas remaja Lebanon pada saat itu. Karena ketika kebebasan berbicara sudah dibungkam, maka tidak ada pilihan lain kecuali tulisan-tulisan kritislah yang harus dikemukakan ke arah publik. Hal inilah yang dilakukan al-Ghalayaini menghadapi rezim yang otoriter (Subairi, 2005:36).
71
Lebih jauh al-Ghalayaini dalam sejarah kehidupannya kaya akan pengalaman bergumul dengan gejolak sosial dan politik yang sudah mengarah pada kondisi anomie, kondisi masyarakat dimana agama, pemerintah dan moralitas telah memudar keefektifannya, akibat keakutan dan krisis Psiko-sosial yang terjadi. Al-Ghalayaini dengan getol melakukan refleksi kritis dengan menggagas lahirnya tata kehidupan yang normatif-etis. Dalam kondisi yang serba sulit itulah, tidak dapat dipungkiri akan kemungkinan terjadinya clash (benturan). Pemikiran dan kepentingan berbagai pihak baik kalangan atas maupun kalangan masyarakat bawah. Ini berarti kondisi sosial-budaya yang dihadapi al-Ghalayaini tampak mirip dengan
kondisi
sekarang ini.
Dengan
demikian,
kajian
terhadap
pemikiranya, terutama terkait dengan lingkup akhlak (moral) dan sosial kemasyarakatan yang belum banyak disentuh, di satu sisi dinilai relevanfungsional bagi upaya menyumbangkan penemuan solusi problem-problem kontemporer di atas, dan di sisi yang lain bagi upaya memperkaya khasanah pemikiran teoritik khusus akhlak (moral) dan pendidikan (Subairi, 2005:36). Al-Ghalayaini sangat apresiatif terhadap otonomi akal atau kebebasan dalam melontarkan sebuah gagasan. Menurutnya, fungsi akal dapat dipandang sebagai sumbu keutamaan dan sumber moral (akhlak). Akal dalam pandangan al-Ghalayaini tidak hanya sekedar mudrik (berfungsi mengatahui), melainkan juga sebagai hakam (pemutus/penentu baik, buruk). Jadi pendidikan yang dikehendakinya adalah yang mampu menyadarkan peserta didik akan realitas yang dihadapi dengan cara yang mengakibatkan
72
mampu melakukan tindakan efektif terhadap realitas tersebut. Untuk merealisasikan ini, hal mendasar yang perlu digarap adalah dengan pendidikan akal. Sebab dengan akal manusia mampu memahami taklif Allah dan mengatur kehidupan dunia ini. F.
Sinopsis Kitab I’dhotun Nasyiin Menjadi sebuah keniscayaan, seorang pengarang dengan yang lain memiliki karakter dan warna tersendiri. Perbedaan ini dipengaruhi latar belakang kehidupan, misalnya pendidikan, pengetahuan, pengalaman dalam berkarya dan kecenderungan pengarangnya. Background inilah yang kemudian memunculkan satu bentuk karakteristik tersendiri dalam hasil karyanya. Karakteristik Musthafa Al-Ghalayaini dalam kitab I‟dhatun Nasyiin kental dengan muatan keagamaan seperti: pendidikan, budi pekerti, dan sosial budaya. Untuk itu kitab I‟dhatun Nasyiin karangan Syekh Musthafa Al-Ghalayaini dapat dikategorikan menjadi 3 hal: 1.
Hal-hal yang berupa pengembaraan seseorang dalam menjalani proses kehidupan di mana kemudian akan menemukan sebuah bentuk jati diri yang sejati, tetapi hal tersebut harus ditunjang dengan sikap dan perilaku yang baik tentunya. Karena dengan menemukan bentuk jati dirinya ia akan berkembang menjadi kenal sesama maupun Tuhannya.
2.
Hal-hal yang berbicara tentang perenungan seseorang untuk melalui berbuat baik terhadap sesamanya sebagai bentuk manifestasi dari ajaran
73
Islam. Kerena dengan menjadikan Islam sebagai ajaran agama maka keselamatan akan mudah diraih, baik didunia maupun diakhirat. 3.
Mengenai sosial-politik. Wacana tentang sosial-politik utama di Libanon pada waktu itu nampaknya berjalan kurang harmonis. Hal ini terlihat oleh berbagai macam kepentingan antar kelompok sehingga memunculkan sebuah pemikiran adanya suatu masalah dalam pemerintah yang kontra konsep dan realitas. Selanjutnya berkenaan dengan sinopsis kitab tersebut , bahwa kitab ini
secara keseluruhan berisi tentang ajaran moral dan menjalani proses kehidupan dengan nuansa pribadi yang penuh optimisme. Sehingga kemudian akan tercipta sebuah komunitas masyarakat yang benar-benar menjujung tinggi moral dan mencegah akan terjadinya dekadensi moral yang sudah demikian parah. Adapun tema-tema yang tertuang dalam kitab tersebut terdiri dari empat puluh empat tema, diantaranya sebagai berikut: 1. Berani maju ke depan 2. Sabar 3. Kemunafikan 4. Keikhlasan 5. Berputus asa 6. Harapan 7. Sifat licik atau penakut 8. Bertindak tanpa perhitungan
74
9. Keberanian 10. Kemashlahatan umum 11. Kemuliaan 12. Lengah dan waspada 13. Revolusi Budaya 14. Rakyat dan pemerintah 15. Tertipu oleh perasaan sendiri 16. Pembaharuan 17. Kemewahan 18. Agama 19. Peradaban 20. Nasionalisme 21. Kemerdekaan 22. Macam-macamnya kemerdekaan dan kebebasan 23. Kemauan 24. Kepemimpinan 25. Orang-orang yang ambisi menjadi pemimpin 26. Dusta dan sabar 27. Kesederhanaan 28. Kedermawanan 29. Kebahagiaan 30. Melaksanakan kewajiban 31. Dapat dipercaya
75
32. Hasud dan dengki 33. Tolong menolong 34. Sanjungan dan Kritikan 35. Kefanatikan 36. Para pewaris bumi 37. Peristiwa pertama 38. Nantikankah saat kebinasaannya 39. Memperbagus pekerjaan dengan baik 40. Wanita 41. Berusahalah dan tawakalah 42. Percaya pada diri sendiri 43. Tarbiyah atau pendidikan 44. Penutup Inilah gambaran singkat mengenai biografi dan perjalanan karir beserta paradigma berpikirnya Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini, diharapkan ke depan kita dapat memanfaatkan ilmunya sehingga kita benar-benar menjadi insan yang berkualitas dan berguna bagi diri sendiri, bangsa, dan negara. Amin.
76
BAB IV RELEVANSI NILAI-NILAI KEPEMIMPINAN
A.
Analisis Nilai-nilai Pendidikan Kepemimpinan Pemimpin dan kepemimpinan adalah fitrah kemanusiaan. Sejak manusia ada, pada saat itu pula pemimpin dan kepemimpinan telah ada. Oleh sebab itu, tema pemimpin dan kepemimpinan merupakan topik yang selalu menarik untuk diperbincangkan dan tak akan pernah habis dibahas. Masalah kepemimpinan akan selalu hidup dan digali pada setiap zaman, dari generasi ke generasi guna mencari formulasi sistem kepemimpinan yang aktual dan tepat untuk diterapkan pada zamannya. Pemimpin memiliki peran strategis dalam sebuah organisasi karena kesuksesan organisasi ditentukan moralitas dan kompetensi pemimpinnya. Hal ini mengindikasikan bahwa paradigma kepemimpinan adalah sesuatu yang sangat dinamis dan memiliki kompleksitas yang tinggi. Bahasan mengenai pemimpin dan kepemimpinan pada umumnya menjelaskan bagaimana pemimpin yang baik, tipe dan sifat yang sesuai dengan kepemimpinan serta kemampuan-kemampuan apa saja yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin agar bisa menjadi pemimpin yang diidolakan.
77
Sebuah ungkapan “tidak akan pernah ada suatu negara atau organisasi yang tidak mempunyai pemimpin, kalaupun ada, pasti tidak akan bertahan lama.” Di dalam suatu negara atau masyarakat yang sedang membangun, diperlukan banyak warga masyarakat yang mempunyai kemampuan kepemimpinan yang handal. Semakin banyak jumlah anggota masyarakat yang mempunyai ketrampilan kepemimpinan, semakin cepat pertumbuhan pembangunan menuju ke arah yang diidam-idamkan oleh masyarakat tersebut. Semakin banyak anggota masyarakat yang mempunyai ketrampilan kepemimpinan, sesungguhnya semakin mendorong tumbuhnya berbagai organisasi yang bisa melayani berbagai kebutuhan masyarakat yang terus menerus tumbuh sesuai dengan visi suatu negara atau masyarakat tersebut. Dalam prakteknya kepemimpinan sudah ada semenjak manusia hidup berkelompok. Namun demikian, sebagian ilmu kepemimpinan baru mendapat perhatian sejak timbulnya manejemen ilmiah yang dipelopori oleh Frederich Winslow Taylor. Di Indonesia, masalah kepemimpinan baru berkembang sejak berdirinya Lembaga Administrasi Negara (LAN) tahun 1957. Masalah
kepemimpinan mengundang berbagai
pihak
untuk
mempelajari dan mengembangkannya, karena kepemimpinan menduduki tempat yang sangat penting, bahkan sangat menentukan dalam organisasi modern (Sutikno, 2014:3-4).
78
Di dalam suatu negara yang sedang membangun, diperlukan banyak warga masyarakat yang mempunyai kemampuan kepemimpinan yang handal. Semakin banyak anggota masyarakat yang mempunyai ketrampilan kepemimpinan akan semakin cepat pertumbuhan pembangunan menuju ke arah seperti yang diharapkan oleh masyarakat tersebut. Suatu ungkapan yang mulia mengatakan bahwa pemimpinlah yang bertanggung jawab atas kegagalan pelaksanaan suatu pekerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa posisi pemimpin dalam suatu organisasi berada pada posisi yang terpenting. Demikian juga pemimpin di manapun letaknya akan selalu mempunyai beban untuk mempertanggungjwabkan kepemimpinannya. Menurut Ihsan Tanjung (2002) kepemimpinan di dalam Islam pada hakekatnya adalah berkhidmat atau menjadi pelayan umat. Kepemimpinan yang asalnya adalah hak Allah diberikan kepada manusia sebagai Khalifatullah fil ardli, wakil Allah SWT di muka bumi. Jika bukan karena iradahNya, tak ada seorangpun yang mendapatkan amanah kepemimpinan, baik kecil maupun besar. Oleh karena itu setiap amanah kepemimpinan harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Allah memberikan amanah kepada pemimpin untuk (1) mengatur urusan orang yang dipimpinnya (2) mengarahkan perjalanan sekelompok manusia yang dipimpinnya guna mencapai tujuan bersama (3) menjaga dan melindungi kepentingan yang dipimpinnya. Wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepada seorang pemimpin tidaklah ringan di mata Allah. Meskipun seringkali godaan setan
79
dengan iming-iming keuntungan dunia telah memalingkan motivasi para pemimpin dari tujuan bersama (Moedjiono, 2002:11). Pelanggaran manusia atas batas-batas ketentuan Allah SWT berarti penyelewengan manusia dan penyalahgunaan wewenang yang telah diberikan Allah SW kepada manusia. Hal ini akan membawa kehancuran bagi hidup dan kehidupan manusia itu sendiri. Sebagai khalifah di bumi, kekuasaan manusia dibatasi oleh ketentuanketentuan yang telah digariskan Allah SWT untuknya yang berupa hukumhukum Allah SWT baik yang tersirat dan tersembunyi dalam kandungan alam maupun yang tertuang di dalam kitab-kitab suci-Nya. Manusia harus mengikuti kaidah-kaidah hukum Allah SW yang telah ditentukan sehingga mereka
tidak
tersesat
dalam
mengemban
amanat
Allah
SWT
(Fatchurrohman, 2006:26). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi dengan segala bekal potensi kemampuan dan akalnya yang dinamis dan kreatif diberi wewenang untuk mengolah dan mengatur alam semesta secara bebas bertanggung jawab sesuai dengan kaidah hukum yang diberikan kepadanya. Dengan kata lain, manusia adalah subjek di alam, dan dibumi dengan segala isinya adalah objek olahan dan aturan bagi manusia (Fatchurrohman, 2006:28). Pada hakikatnya, semua manusia adalah pemimpin. Hanya wilayah kepemimpinannya saja yang berbeda. Seorang suami adalah pemimpin
80
untuk keluarganya, seorang direktur adalah pemimpin untuk perusahaannya, seorang presiden adalah pemimpin untuk negaranya, seorang Nabi dan Rasul adalah pemimpin untuk ummatnya. Urgensi kepemimpinan ini sangatlah ditekankan oleh Rasulullah saw. Dalam sebuah hadis beliau bersabda yang maknanya adalah jika ada di antara kita yang melakukan suatu perjalanan, dan perjalanan itu melibatkan minimal tiga orang, maka salah satu dari mereka harus menjadi pemimpin untuk rombongan itu (Suryaman, 2016:7-8). Tentu pemimpin yang punya banyak pengikut adalah pemimpin yang memiliki pengaruh yang besar. Setidaknya dampak kepemimpinannya menimbulkan kebaikan di tengah pengikutnya. Sehingga mereka dengan serta merta mengikuti apapun kemauan pemimpinnya. Apapun, bahkan sampai perilaku dan gaya hidupnya. Menurut Suryaman selama ini banyak sekali pemahaman yang keliru tentang arti kepemimpinan, pada umumnya orang melihat pemimpin sebagai sebuah kedudukan atau posisi semata. Akibatnya banyak orang yang mengejar untuk menjadi seorang pemimpin dengan menghalalkan banyak cara dalam mencapai tujuan tersebut. Mulai dari membeli kedudukan dengan uang, menjilat atasan. Menyikut pesaing atau teman, atau cara-cara lainnya demi mengejar posisi pemimpin. Pemimpin hasil dari cara ini akan selalu menggunakan kekuasaannya untuk mengarahkan, memperalat, bahkan menguasai orang lain untuk mengikutinya. Umumnya, jenis
81
pemimpin seperti ini suka menekan. Akibatnya, hal tersebut melahirkan pemimpin yang tidak dicintai, tidak disenangi, tidak ditaati dan bahkan dibenci (Suryaman, 2016:38). Permasalahan kepemimpinan yang diuraikan Suryaman tersebut sepaham dengan pemikiran Syeikh Musthafa Al Ghalayaini dalam kitab Idhotun Nasyiin tentang ambisi seseorang untuk menjadi pemimpin. Sehingga Al Ghalayaini pun memberikan nasehat kepada generasi muda bahwasannya: “Wahai generasi muda, aku mohonkan engkau perlindungan kepada Allah, janganlah kalian merebut jabatan kepemimpinan dengan cara-cara yang terkutuk, sebagaimana disebutkan di atas. Sebab, cara seperti itu menyebabkan hubunganmu sebagi pemimpin dengan rakyat terputus, rakyat menjauhimu dan engkau sendiri akan jauh dari sifat mulia (menjadi tidak terhormat). Jangan sekali-kali kailan memiliki sifat senang (ambisi) menjadi pemimpin, kecuali jika jabatan itu datang sendiri atau rakyat memaksa harus menduduki jabatan pemimpin, karena mereka memang melihatmu sebagai orang yang mau bekerja dengan baik, bersih dan baik akhlak serta mulia kepribadiannya”(Al Ghalayini, t.t:162). Banyak sekali orang yang akalnya berebut menjadi pemimpin, padahal mereka tidak memenuhi syarat-syarat menjadi pemimpin sedikit pun. Mereka itu tidak sadar, bahwa pemimpin bangsa itu sebenarnya adalah juru bicara yang menyuarakan hati nurani rakyat, pemikir mereka, tempat pengaduan rakyat ketika mereka menghadapi kesulitan dan pelindung mereka ketika dalam keadaan bahaya, tempat meminta pertolongan saat dilanda krisis dan sebagai tempat sandaran rakyat di waktu mereka menghadapi persoalan besar. Menurut Sutikno (2014), Keberhasilan suatu organisasi sangat tergantung pada kepemimpinan dari pimpinan organisasi tersebut. Karena
82
sebagai pemimpin di lembaganya, maka dia harus mampu membawa lembaganya ke arah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Dia harus mampu melihat adanya perubahan serta mampu melihat masa depan dalam kehidupan globalisasi yang lebih baik. Profesionalisme pemimpin menjadi syarat mutlak terwujudnya organisasi yang berdaya saing tinggi. Kalau pemimpin yang memimpin organisasi pasif dan miskin ide, maka organisasi tersebut akan mengalami kemunduran. Oleh karena itu jangan sekali-kali meremehkan posisi pemimpin. Sebaik apapun sistem yang dibangun, kalau pemimpinnya buruk maka akan sulit untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Di sini urgensinya mengembangkan kualitas pemimpin agar mampu memimpin organisasi secara dinamis, kompetitif, dan produktif sesuai dengan tantangan zaman (Sutikno, 2014:85). Sejalan dengan itu Al Ghalayaini pun mengatakan “Para pemimpin setiap bangsa adalah roh persatuan mereka dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Apabila para pemimpin itu rusak, maka rusaklah umat dan bangsa itu, dan jika mereka baik, maka umat atau bangsa itu menjadi baik juga. Karena, umat akan berdiri tegak, kokoh dan sejahtera, manakala pemimpin-pemimpin umat itu menggerakannya. Jika mereka (umat) sedang loyo, lalu mereka meluruskannya ketika bengkok, menarik tangannya ketika mereka (umat) jauh dan membimbingnya ketika sedang sesat”. (Al-Ghalayaini, t.t:150-151). Terdapat kesamaan antara kepemimpinan Syeikh Musthafa Al Ghalayaini dengan kepemimpinan menurut Suryaman dan Sutikno. Menjadi pemimpin adalah amanah. Oleh sebab itu prasyarat yang harus terpenuhi adalah kerelaan hati orang-orang yang dipimpinnya untuk menyerahkan dan mempercayakan segala urusannya yang berkaitan dengan upaya meraih kepentingan-kepentingan dan cita-cita (politik, ekonomi, hukum, budaya,
83
dan lain sebagainya). Untuk itu perlu disadari bersama bahwa menjadi pemimpin bukanlah alat untuk gagah-gagahan tetapi pemimpin itu untuk mengabdi dan menjalankan tugas. Kewajiban untuk taat dan patuh kepada pemimpin dalam pandangan Islam adalah karena ia dipilih oleh umat, dengan sifat-sifat yang terpuji. Dengan demikian, seorang pemimpin dalam proses kepemimpinannya tidak terlepas dari pandangan Allah dan umat (yang dipimpinnya). Pemimpin harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, baik di hadapan Allah maupun manusia. Agar tanggung jawab kepemimpinannya dapat terlaksana dengan baik, maka ia harus memiliki sifat-sifat yang dicontohkan oleh Rasulullah, yang dalam hal ini merupakan teladan yang baik dan telah berhasil memimpin dunia karena ia memiliki sifat-sifatnya yang mulia sehingga sampai sekarang sifat-sifat kepemimpinannya menjadi acuan bagi setiap pemimpin, khususnya bagi umat Islam.
B.
Relevansi Nilai-nilai Pendidikan Kepemimpinan pada Kitab Idhotun Nasyiin dengan Konteks Kepemimpinan Masa Kini Al Ghalayaini mengatakan bahwa “Anak-anak kita yang masih kecil sekarang ini kelak di masa mendatang akan menjadi pemimpin-pemimpin. Apabila mereka membiasakan diri dengan akhlak yang baik, yang dapat meninggikan derajat mereka dan berhasil mempelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat untuk dirinya dan bermanfaat untuk negara, maka anak-anak itu berarti berarti menjadi dasar yang kokoh untuk kebangkitan umat. Ini adalah
84
perkara yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Sebaliknya, apabila anak-anak telah terbiasa dengan akhlak yang tidak terpuji dan enggan menuntut ilmu pengetahuan yang menjadi sebab utama bangsa-bangsa bisa hidup, maka mereka, anak-anak itu, akan menjadi bencana bagi umat dan menjadi pengacau negara yang mereka diami” (Al Ghalayaini, t.t:297). 1.
Relevansi Materi pendidikan Kepemimpinan Mengenai materi pendidikan Al Ghalayaini berpendapat bahwa Al-Qur’an
beserta
kandungannya
adalah
merupakan
ilmu
pengetahuan. Isinya sangat bermanfaat bagi kehidupan, membersihkan jiwa, memperindah akhlak, dan mendekatkan diri pada Allah (Nizar, 2002:90). Ini berarti materi pendidikan adalah semua yang terkandung dalam Al-Qur’an antara lain materi keimanan, akhlak, kemasyarakatan salah satu diantaranya adalah kepemimpinan. Menurut Al Ghalayaini pendidikan adalah usaha menanamkan akhlak terpuji dalam jiwa anak-anak, Akhlak yang sudah tertanam itu harus disirami dengan bimbingan dan nasihat, sehingga menjadi watak atau sifat yang melekat dalam jiwa. Sesudah itu buah tanaman akhlak itu akan tampak berupa amal perbuatan yang mulia dan baik serta gemar bekerja demi kebaikan negara. Anak itu wajib diberi pendidikan tentang keberanian, maju, kedermawanan, kesabaran, ikhlas dalam beramal, mementingkan kemaslahatan umum di atas kepentingan pribadi, kemuliaan jiwa, harga diri, keberanian yang beradab, pemahaman agama yang bersih
85
dari khufarat, peradaban yang bersih dari kerusakan, kebebasan berbicara dan bertindak yang baik dan cinta tanah air (Al Ghalayaini, t.t:299-230). Kita berkewajiban juga memberi pendidikan kepada anak-anak tentang iradah, yakni kemauan yang keras, kejujuran, senang memberi bantuan dan pertolongan kepada orang-orang yang melarat dan tertindas, proyek-proyek yang bermanfaat dan melatihnya, biasa melakukan kewajiban dan sebagainya, yang berkaitan dengan akhlak yang mulia. Tentu saja kita berkewajiban menjauhkan anak-anak itu dari kebiasaan dan akhlak yang berlawanan dengan kebiasaan dan akhlak terpuji yang tersebut di atas (Al Ghalayaini, t.t230). Menurut kodrat serta irodratnya bahwa manusia dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Sejak Adam diciptakan sebagai manusia pertama dan diturunkan ke bumi, Ia ditugasi sebagai Khalifah fil ardhi. Sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 30 yang berbunyi:
86
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa manusia telah dikaruniani sifat dan sekaligus tugas sebagai seorang pemimpin. Pada masa sekarang ini setiap individu sadar akan pentingnya ilmu sebagai petunjuk/alat/panduan untuk memimpin umat manusia yang semakin besar jumlahnya serta komplek persoalannya. Atas dasar itulah dan relevan dengan upaya proses pembelajaran yang mewajibkan kepada setiap umat manusia untuk mencari ilmu. Dengan demikian dengan upaya tersebut tidak lepas dengan pendidikan, dan tujuan pendidikan tidak akan tercapai secara optimal tanpa adanya menejemen atau pengelolaan pendidikan yang baik, yang selanjutnya dalam kegiatan menejemen diperlukan adanya pemimpin yang memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin. 2.
Relevansi Metode Pendidikan Kepemimpinan Menurut Armai dalam kutipannya secara etimologi, istilah metode berasal dari bahasa Yunani “metodos”. Kata ini terdiri dari dua suku kata; yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Metode berarti jalan yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan (Armai, 2002:40). Dalam bahasa Arab metode disebut “Thariqat”, dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, “metode”
87
adalah : “Cara yang teratur dan berfikir baik-baik untuk mencapai maksud, sehingga dapat dipahami metode berarti suatu cara yang harus dilalui untuk menyajikan bahan pelajaran agar tercapai tujuan pengajaran” (Armai, 2002:40). Metode dapat didenifisikan sebagi cara kerja yang bersistem untuk mempermudah pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan yang ditentukan (Departemen Agama RI, 2001:19). Jadi metode pendidikan adalah suatu cara kerja secara sistematis yang bertujuan untuk mempermudah pelaksanaan kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan berhubungan dengan pendidikan. Dalam kitab ini Al-Ghalayaini menggunakan metode ceramah yaitu cara penyampaian sebuah materi pelajaran dengan cara penuturan lisan kepada siswa atau khalayak ramai. Ini relevan dengan definisi yang dikemukakan oleh Armai yang dikutip Ramayulis, bahwa metode ceramah ialah “Penerangan atau penuturan secara lisan guru terhadap murid-murid di ruangan kelas” (Armai, 2002: 136). Dari kedua definisi di atas, terlihat bahwa subtansi metode adalah sama yaitu menerangkan materi pelajaran kepada anak didik dengan penuturan kata-kata/lisan. Metode ceramah dikenal dengan metode kuliah, karena umumnya banyak dipakai di Perguruan tinggi, dan disebut juga metode pidato atau khutbah. Dalam bahasa Inggris metode ceramah disebut denga istilah “Lecturing method” atau
88
“Telling method”. Metode ini sering digunakan, karena metode ini sangat mudah dilakukan (Armai, 2002:136). Menurut Omar Mohammad al Toumy al Syaibani (1979:553) memaknai metode mengajar sebagai bentuk kegiatan terarah yang dikerjakan pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan kepada peserta didik sesuai dengan tingkat perkembangan jiwa dan kondisi lingkungan sekitarnya. Hal ini dimaksudkan untuk menolong peserta didik mencapai tujuan pendidikan yang berupa perubahan perilaku, penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan-keterampilan maupun kebiasaan-kebiasaan. Dalam menyiarkan agama Islam, Rasulullah saw berpidato di depan khalayak ramai sambil membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi petunjuk peribadatan kepada Allah SWT. Media dakwah lainnya, Rasulullah saw memberikan pelajaran Agama Islam secara menyeluruh di rumah-rumah dan di masjid-masjid, sebagai tempat pertemuan dan bermusyawarah (Armai, 2002:43). Sejak zaman Rasulullah metode caramah merupakan cara yang paling awal yang dilakukan Rasulullah saw, dalam menyampaikan wahyu kepada umat. Karakteristik yang menonjol dari metode ceramah adalah peranan guru tampak lebih dominan, sementara anak didik lebih banyak pasif dan menerima apa yang disampaikan guru.
89
Hal ini berkenaan dengan firman Allah swt dalam QS. Yusuf:2-3 yang berbunyi:
Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran Ini kepadamu, dan Sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum Mengetahui. Ayat di atas menerangkan bahwa Tuhan menurunkan Al Qur’an dengan memakai bahasa Arab dan menyampaikannya kepada Nabi Muhammad saw, dengan jalan cerita dan ceramah. Dari pemaparan sebelumnya dapat dikatakan bahwa metode ceramah masih merupakan metode mengajar yang masih dominan dan paling banyak dipakai, khususnya di sekolah-sekolah tradisional (Armai, 2002:137). Sedangkan metode penyampaian materi pendidikan kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin adalah hanya dengan menggunakan metode ceramah seperti nasehat dan anjuran, menurut penulis metode ceramah tidak bisa diterapkan di era zaman sekarang. Karena zaman sekarang dibutuhkan juga metode keteladanan, metode pemberian
90
ganjaran, metode kebiasaan dan metode-metode pembelajaran lainnya agar kegiatan pembelajaran lancar dan sesuai dengan tujuan. Mengenai
pendidikan
di
Indonesia saat
ini, guna untuk
mempersiapkan anak didik tentu sangat membutuhkan metode ceramah sebagaimana yang telah dilakukan oleh Syaikh Mustafa Algalayaini. Menurut pengamatan penulis dalam penyampaian materi alGhalayaini lebih banyak menggunakan metode ceramah metode ini sangat relevan jika mengajar peserta didik dengan jumlah yang banyak dan waktu yang sedikit. 3.
Relevansi Tujuan Pendidikan Kepemimpinan Suatu usaha yang tidak memiliki tujuan tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ibarat seseorang yang bepergian tak tentu arah maka hasilnya pun tak lebih dari pengalaman selama perjalanan. Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan secara sadar dan jelas memiliki tujuan. Sehingga diharapkan dalam penerapannya ia tak kehilangan arah dan pijakan. Dalam perkembangannya teori-teori tentang tujuan pendidikan menjadi perhatian yang cukup besar dari para pakar pendidikan. Berdasarkan kepada pengertian pendidikan Islam yaitu sebuah proses
yang
dilakukan
untuk
menciptakan
manusia-manusia
seutuhnya beriman dan bertakwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang 91
berdasarkan kepada ajaran Al-Qur’an dan sunnah, maka tujuan dalam konteks ini berarti terciptanya insan-insan kamil setelah proses pendidikan berakhir (Armai, 2002:16). Islam adalah agama ilmu dan cahaya, bukan merupakan agama kebodohan dan kegelapan. Wahyu Allah SWT yang pertama diturunkan mengandung perintah membaca kepada Rasulullah SAW. Pengulangan atas perintah tersebut dan menyebutan masalah ilmu dapat dirasakan dalam suatu pendidikan. Allah berfirman dalam surat Al-Alaq ayat 1-5 yang artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. Tujuan adalah suatu yang diharapkan tercapai setelah usaha atau kegiatan selesai dilaksanakan. Tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang bersifat tetap dan statis, tetapi merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang yang berhubungan dengan seluruh aspek kehidupannya.
92
Tujuan pendidikan yang ideal itu nampak pada tujuan akhir. Tujuan akhir biasanya dirumuskan secara singkat dan padat, seperti terbentuknya manusia sempurna, terbentuknya kepribadian muslim (Marimba, 1989:45). Lain halnya dengan tujuan ditulisnya buku Idhotun Nasyiin ini, Syeikh Musthafa Al Ghalayaini mempunyai tujuan agar generasi muda muslim menjadi individu-individu yang bersih dari sifat-sifat yang tidak terpuji, berakhlak mulia dan mengerti bagaimana seharusnya dia bersikap menghadapai segala peristiwa yang dialami bangsanya. Dari individu-individu seperti itulah akan terbentuk masyarakat dan bangsa (umat) yang beradab dan bermoral serta menjunjung tinggi kebenaran yang sejati, sehingga mereka menjadi bangsa yang tetap eksis. Sesungguhnya suatu bangsa itu akan hidup dan tetap hidup, selama mereka bermoral dan beradab, jika moral bangsa itu bejat, maka hancur dan binasalah mereka. Ini mengandung makna bahwa dengan pendidikan kepemimpinan itu diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakat serta gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia, serta dapat mengambil manfaat dari alam semesta untuk kepentingan di dunia dan di akhirat nanti.
93
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan-pembahasan dan analisis pada bab-bab sebelumnya, akhirnya penulis dapat membuat beberapa butir atas kesimpulan yang dituangkan dalam kitab “I’dhotun Nasyiin” karya Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini. Adapun butir-butir tersebut sebagai berikut: 1.
Nama lengkap Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini adalah Musthafa bin Muhammad Salim al-Ghalayaini. Dia adalah seorang sastrawan Arab, penyair, orator, grammer (ahli bahasa), politikus dan jurnalis. Dilahirkan di Beirut, Libanon pada tahun 1303 H/1886 M dan wafat pada tahun 1364 H/1944 M tepat diusianya yang ke 59 tahun.
2.
Pemimpin
adalah
seseorang
yang
mampu
mengarahkan,
mempengaruhi, membimbing, melayani dan melindungi individu lain dalam proses pencapaian tujuan, serta ada usaha kerja sama yang tidak menyimpang dari peraturan yang telah digariskan oleh Allah swt sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Definisi di atas memberikan analisa bahwa pemimpin itu merupakan ujung tombak dalam memberikan arah dan tujuan yang jelas, yang ingin dicapai bersama-sama. Oleh karena itu pemimpin harus berperilaku sesuai status atau kedudukan dan peranan
94
sebagai orang yang duduk di lapisan terdepan. Ia harus benar-benar menjadi teladan dan tempat bercermin bagi orang-orang yang dipimpinnya. Nilai yang dibangun dari pendidikan kepemimpinan Syeikh Musthafa Al Ghalayaini dalam kitab Idhotun Nasyiin, dapat dilihat dari beberapa kriteria sifat-sifat pemimpin yang baik yaitu sebagai berikut: Pertama, pemimpin harus rendah hati dan sederhana; Kedua, pemimpin harus mempunyai sikap suka menolong; Ketiga, pemimpin harus sabar dan menjaga kestabilan emosi; Keempat, pemimpin harus percaya pada diri sendiri; Kelima, pemimpin harus bersikap Jujur, adil dan dapat dipercaya. 3.
Nilai-nilai pendidikan kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin dengan konteks kepemimpinan masa sekarang memiliki persamaan penggunaan dan kebutuhan. Di dalam suatu negara yang sedang membangun, diperlukan banyak warga masyarakat yang mempunyai kemampuan kepemimpinan yang handal, baik kemampuan intelektual maupun kemampuan etika moral yang beradab. Oleh karena itu semakin banyak anggota masyarakat yang mempunyai ketrampilan kepemimpinan akan semakin cepat pertumbuhan pembangunan menuju ke arah yang diharapkan oleh masyarakat. Hal tersebut relevan dengan pentingnya pendidikan kepemimpinan dari berbagai pernyataan yang rasional baik tentang meteri pendidikan, metode pendidikan, dan tujuan pendidikan.
95
B.
Saran-Saran Berdasarkan kesimpulan di atas maka penilis memberikan saran sebagai berikut: 1.
Untuk dunia pendidikan Islam Kepemimpinan sangat perlu dipelajari, karena setiap ada kelompok manusia yang saling berinteraksi, pasti akan terjadi proses kepemimpinan di dalamnya. Demikian juga dalam dunia penididikan. Oleh sebab itu, para aktivis kependidikan perlu mempelajari seluk beluk kepemimpinan yang berasaskan Islam.
2.
Untuk para pemimpin Kekuasaan bukanlah satu-satunya hal yang bisa dibanggakan selamanya, oleh sebab itu, ketika seseorang menjadi pemimpin, jadilah pemimpin yang jujur, dapat dipercaya, cerdas selalu menyampaikan informasi kepada para pengikutnya, agar sesuai dengan sistem kepemimpinan Rasulullah saw, sehingga terwujudlah baldatun toyyibatun wa robbun ghoffur.
C.
Kata Penutup Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah, Tuhan semesta alam. Maha pengasih dan Maha penyayang dan hanya Allah yang berhak di sembah dan diibadahi dengan benar. Shalawat beriring salam kepada Rasulullah Muhammad saw yang menjadi tauladan sekaligus mampu mengubah dan membentuk umat menuju akhlak mulia.
96
Ucapan terima kasih tidak lupa penulis sampaikan kepada semua pihak
yang
telah
membimbing,
mengarahkan
dan
membantu
terselesaikannya penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini, mengingat kemampuan yang ada, tentulah skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Kebenaran Mutlak adalah milik Allah yang Esa, maka penulis menyadari bila skripsi ini masih perlu dilengkapi dan diberikan saran yang membangun. Maka penulis mengharapkan kepada para pembaca yang budiman untuk memberi kritik dan saran sebagai kajian lebih lanjut. Sehingga skripsi ini mendekati kebenaran dan kesempurnaan sebuah karya ilmiah. Akhirnya ridha Allah SWT semata yang senantiasa penulis harapkan sehingga skripsi ini akan menjadi salah satu sumbangan khasanah keilmuan Islam, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya di dunia dan akhirat. Aminamin yarobbal alamin.
97
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1992. Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam. Terj. Hery Noer Ali. Bandung:CV Diponegoro. Al Bani, Al Nashiruddin Muhammad. 2006. Shahih Sunan Abu Daud. Jakarta : Pustaka Azam. Al-Ghalayaini, Musthafa. 2002. I‟dhotun Nasyiin (Bimbingan Menuju Akhlak Luhur) Diterjemahkan oleh Moh. Abdai Rathomy. Semarang: PT Karya Toha Putra. Al-Ghalayaini, Musthafa. Idhotun Nasyiin Alih Bahasa H.M. Fadlil Said AnNadwi. Surabaya:Al-Hidayah. Anshari, Saifuddin, Endang. 1978. Kuliah Al-Islam. Bandung : Pustaka Bandung. Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press. Arifin, Tatang M. 1990. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta:Rajawali. As’ad, Moh. 1986. Kepemimpinan Efektif dalam Perusahaan: Suatu Pendekatan Psikologik. Yogyakarta:Liberty. Bakker, Anton. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta:Kanisius.
98
Danim, Sudarwan. 2004. Motivasi Kepemimpinan dan Fektifitas Kelompok. Jakarta: Rineka Cipta. Dekdikbud. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Departemen Agama RI. 2001. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Fatchurrohman.
2006.
Demokratisasi
Pendidikan
dalam
Al-Qur‟an.
Salatiga:STAIN SALATIGA Press Gulen, M. Faetullah. 2002. Versi Terdalam Kehidupan Rasul Allah Muhammad. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. Hadi, Sutrisno. 1990. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset. Husaini. 2006. Manajemen Teori dan Riset Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara. Kahalah, Ridho Umar. 1993. Mu‟jam al-Muallafin Tarajum Mushannafi al-Kutub al-Arabiyah. Beirut: Muassasah al-Risalah. Karim, Mohammad. Pemimpin Transformasional di Lembaga Pendidikan Islam. Malang:UIN-Maliki PRESS. Kartono, Kartini. 2010. Pemimpin dan Kepemimpinan (Apakah Pemimpin Abnormal Itu?). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Kuswaya, Adang. 2011. Metode Tafsir Kontemporer. Yogyakarta:CV. Orbittust Corp.
99
Madhi, Jamal. 2001. Menjadi Pemimpin yang Efektif dan Berpengaruh: Tinjauan Manajemen Kepemimpinan Islam. Bandung :PT. Syamil Cipta Media. Mansur. 2004. Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Maragustan. 2000. Studi Krisis Ide-Ide Sentral K.H.A Wahid Hasyim Tentang Pendidikan Islam. Yogyakarta:Jurnal Penelitian Agama Nomor 25. Maslikhah. 2009. Ensiklopedia Pendidikan. Salatiga:STAIN Salatiga Press. Moedjino, Imam. 2002. Kepemimpinan & Keorganisasian. Yogyakarta:UII Press. Muhadjir, Noeng. 1996. Metode Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Musbikin,
Imam,
Sholeh,
Moh.
2005.
Agama
Sebagai
Terapi.
Yogyakarta:Pustaka Belajar. Nashori, Fuad. 2009. Psikologi Kepemimpinan: Peran Psikologi Islami dalam Pengembangan Moralitas Pemimpin. Yogyakarta: Pustaka Fahima. Poerwadarminta, WJ.S. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia edisi ketiga, cet ke-3. Jakarta:Ciputat Press. Razak, Nasruddin. 1986. Dienul Islam. Bandung : Al-Ma’arif. Riberu, J. 1992. Dasar-dasar Kepemimpinan. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya Rivai, Veithzal. 2003. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
100
Siagian, Sondang P. 2010. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta:PT Rineka Cinta. Subairi, 2005. Nilai Pendidikan Akhlak dalam Kitab Izhah An Nasyi‟in dan Implikasinya terhadap Pendidikan Akhlak Remaja. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Jurusan Tarbiah UIN SUKA. Suharto, Joko. 2007. Menuju Ketenangan Jiwa. Jakarta:PT Rineka Cipta. Suryaman, Yana. 2016. Great leader 4 Kunci Sakti Menjadi Pemimpin Hebat. Jakarta: Bestari. Sutikno, M. Sobry. 2014. Pemimpin dan Kepemimpinan Ips Praktis untuk Menjadi Pemimpin yang Diidolakan. Lombok: Holistica. Utomo, Warsito. 2008. Kepemimpinan Profesional (Pendekatan Leadership Games). Yogyakarta: Gava Media. Zaenudin, Mahdi. 2002. Studi Kepemimpinan Islam. Yogyakarta:Al-Muhsin. Http://ngalapberkahtiyangsoleh.blogspot.co.id/2014/01/syeikh-mustafa-alghalayini.html. Di akses pada tanggal 24 Agustus 2016 pukul 14.30 Http://bdkbandung.kemenag.go.id/jurnal/261-kepemimpinan-nasional-indonesiakini-dan-di-masa-mendatang, Diakses pada tanggal 3 Oktober 2016 pukul 11.35
101
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1.
Nama
: Khikmatul Latifah
2.
Tempat, Tanggal Lahir : Magelang, 16 September 1995
3.
Jenis Kelamin
: Perempuan
4.
Warga Negara
: Indonesia
5.
Agama
: Islam
6.
Alamat
: Ngadisono Rt. 01/Rw. 06, Selomirah, Ngablak, Magelang.
7.
Riwayat Pendidikan
:
a. SD N Selomirah
: Tahun 2000-2006
b. SMP N 2 Grabag
: Tahun 2006-2009
c. MAN 1 Kota Magelang
: Tahun 2009-2012
Demikian daftar riwayat hidup ini penulis buat dengan sebenar-benarnya
Salatiga, 12 September 2016 Penulis
Khikmatul Latifah 111-12-238
102
103
DAFTAR NILAI SKK
NO 1.
2.
3.
4.
5.
6
7. 8.
9.
Nama
: Khikmatul Latifah
NIM
: 111-12-238
Jurusan
: Pendidikan Agama Islam
Fakultas
: Tarbiyah dan Ilmu Pendidikan
Dosen Pembimbing
: Mufiq, S.Ag., M.Phil.
Jenis Kegiatan Orientasi Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan (OPAK) dengan Tema “ Progresifitas Kaum Muda, Kunci Perubahan Indonesia”. Orientasi Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan (OPAK) Jurusan Tarbiyah dengan tema “ Mewujudkan Gerakan Mahasiwa Tarbiyah sebagai Tonggak Kebangkitan Pendidikan Indonesia” Orientasi Dasar Keislaman (ODK) dengan Tema “ Membangun Karakter Keislaman Bertaraf Internasional di Era Globalisasi Bahasa” Seminar Entrepreneurhip dan Perkoperasian 2012 dengan tema “ Explore Your Entrepreneurship Talent” Achievment Motivation Training (AMT) dengan Tema “ Dengan AMT, Bangun Karakter Raih Prestasi” Library User Education (Pendidikan Pemakai Perpustakaan) oleh UPT Perpustakaan STAIN Salatiga Membentuk Militansi Kader Menuju Mahasiswa yang Ideal Seminar “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah dalam Perspektif Hukum Positif dan Syariah” Seminar Nasional “Ahlussunnah Waljamaah dalam Perspektif Islam
104
Pelaksanaan 05-07 September 2012
Keterangan Peserta
Skor 3
08-09 September 2012
Peserta 3
10 September 2012
Peserta 2
11 September 2012
Peserta 2
12 September 2012
Peserta 2
13 September 2012
Peserta 2
05-07 Oktober 2012
Peserta
17 Desember 2012
Peserta
2
2 26 Maret 2013
Peserta 8
10.
11.
12.
13.
14. 15.
16.
17.
18.
19. 20.
Indonesia” Seminar Nasional Entrepreneurship “Menumbuhkan Jiwa Entrepreneur Generasi Muda”. Akhirussanah Ma’had STAIN Salatiga “Pesantren Sebagai Wadah Perkembangan Karakter Pemuda Islam yang berakhlaqul Karimah dan Bernalar Ilmiah” Piagam Penghargaan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Mahasiswa V Tingkat Mahasiswa, SMA Se-Derajat dan Pondok Pesantren Se-Salatiga dan sekitarnya. dengan tema “HTQ Wahana Apresiasi untuk Mencetak Insan Qur’ani”. Dialog Interaktif & Edukatif “DIASPORA Politik Indonesia di Tahun 2014, Memilih Untuk Salatiga Hati Beriman”. Seminar Nasional LPM Dinamika “Idealime Mahasiswa” Public Hearing “STAIN Menuju IAIN Dari Mahasiswa Oleh Mahasiswa Untuk Mahasiswa” “Training Pembuatan Makalah” oleh Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Darul Amal STAIN Salatiga Gebyar Seni Qur’aniyy (GSQ) umum ke-VI SE- JAWA TENGAH “Aktualisasi Makna dan Syiar Al-Qur’an sebagai Sumber Inspirasi” oleh JQH AL-FURQON STAIN SALATIGA Diklat Microteaching Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Pendidikan Agama Islam Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga Seminar Nasional Entrepreneurship RACANA Kusuma Dilaga-Woro Srikandhi Pelatihan Pertanian, Peternakan, Perikanan dan Fermentasi Yayasan PonPes Nurul Asna
105
27 Mei 2013
Peserta 8
30 Juni 2013
Peserta 2
23 Oktober 2013
Peserta 2
01 April 2014
Peserta 2
03 Juni 2014
Peserta 8
10 Juni 2014
Peserta 2
17 Sepetember 2014
Peserta 2
05 November 2014
Peserta
08 November 2014
Peserta
4
2 16 November 2014
Peserta 8
31 Januari 2015
Peserta 2
106
107
108