NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA BERKELANJUTAN Implementasi Filosofi ‘TRIHITAKARANA’ di Bali. Disusun oleh : Ida Bagus Rabindra
ABSTRACT The key of success in sustainable development implementation are: involve in community participation, understand and imply local wisdom, arrange synergies between local wisdom and the modern life. All of those keys are include in the process of decision makers policy. The local wisdom as well as community ideology has been proofed that people could live in harmony with the natural environment as their mother nature. Local wisdom and community ideology should synergize with values pattern which accepted by local community. The concept of Trihitakarana means ‘three elements of harmonious causes’ that philosophically based on the Balinese community living. This ideological concept was based on Balinese-Hinduism religion, which believe in ‘harmonious relationship’ human with God, human with human, and human with nature. This article explained: synergize between the Trihitakarana as ideology, environmental system analysis (ESA/ KLHS), and current issues in sustainable green city planning and management. Keywords : implementation, synergize, local wisdom, Trihitakarana, sustainable.
PENDAHULUAN Dalam
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang kerangka
menjamin
Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan.
terwujudnya ruang nusantara yang aman, nyaman,
produktif
solusi
cerdas
yang
berkelanjutan,
dipaparkan dalam Konferensi Nasional Smart
diterbitkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun
Green City Planning yang dilaksanakan di
2007 tentang Penataan Ruang. Undang-undang
Werdhapura Village Center, Bali-November
ini mengatur perencanaan tata ruang wilayah
2010,
kota harus memuat rencana penyediaan dan
penyusunan
pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas
pengendalian penataan ruang, penyusunan
minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah
peraturan zonasi, serta penataan ruang yang
kota. Demi efektifnya implementasi undang-
berwawasan
undang diatas, maka Kementerian Pekerjaan
pembangunan
Umum
pendekatan
menerbitkan
dan
Beberapa
Peraturan
Menteri
Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 tentang
diantaranya
mengenai
program
lingkungan
metode
pemanfaatan/
dan
berprinsip
keberkelanjutan Kajian
Lingkungan
melalui Hidup
Strategis (KLHS). 1
Latar Belakang
kearifan lokal adalah adanya kesatuan yang
Dalam penataan ruang kota, para pakar sering mengingatkan akan arti penting The Hannover Principles 1992, menyangkut ‘Kota Hijau’ yaitu tentang hak kemanusiaan dan alam agar diakomodasi dalam pembangunan kota
supaya
berkelanjutan.
bisa
sehat,
Diingatkan
beragam juga
utuh atau kesenyawaan antara warga dan lingkungan komunitasnya, serta terbentuknya ikatan sosial (social cohesiveness) yang sangat kental diantara para warganya. Permasalahan
dan
tentang
Gerakan Urbanisme Baru (New Urbanism) sebagai konsep dengan lima prinsip penangkal kecenderungan urbanisme brutal sebagaimana terjadi pada dekade 1980-an. Tak juga kalah pentingnya memasukkan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dalam setiap proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Implementasi nilai-nilai kearifan lokal kedalam proses
analisis dan sintesis peme-
cahan masalah perencanaan kota saat ini, tak semudah yang bisa kita bayangkan dan harapkan.
Dibutuhkan
suatu
pemahaman
mendalam tentang makna filosofis setiap kearifan lokal yang ada, dan kecermatan sosiologis serta kepekaan ideologis dalam analisis
strategis
pendekatan
metodologis
implementasi nilai intrinsiknya; Khususnya
Negeri ini sesungguhnya begitu kaya
bagaimana mensinergikannya kedalam pola
dengan kearifan-kearifan lokal yang sangat
dan metoda pendekatan analisis modern,
bernilai, namun tak sedikit yang faktanya
seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis.
diabaikan dan ditinggalkan oleh komunitasnya sendiri, dikarenakan dianggap usang dan tidak
Metodologi Pemecahan Masalah
mudah diimplementasikan untuk memecahkan
Diperlukan upaya sinkronisasi secara
masalah kekinian. Salah satu kearifan lokal
cerdas dan bijak antara dua pola pendekatan
yang dinilai para pakar telah memuat prinsip-
yang berbeda asas dan ideologis ini, dengan
prinsip menangkal kecenderungan urbanisme
memposisikan keduanya tidak dalam satu aras
brutal adalah falsafah Trihitakarana, yang
kategoris, melainkan komposisi saling mengisi
merupakan pandangan sekaligus landasan
dan
segenap segi kehidupan masyarakat Bali.
kerangka yang mewadahi (container) dengan
Sesungguhnya,
pelajaran
teramat
penting yang dapat ditarik dari keteladanan
melengkapi;
Masing-masing
sebagai
isi yang diwadahi (content) secara padu dan harmoni. Inti upaya ini adalah mengaktualisasi 2
potensi nila-nilai intrinsik kearifan lokal yang
ruang wilayah kota harus memuat rencana
terpendam, keatas permukaan kompleksitas
penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka
masalah saat ini bagi manfaat pemenuhan
hijau yang luas minimalnya sebesar 30%
kebutuhan kekinian, dalam kerangka metoda
dari luas wilayah kota. Memperkuat
logis yang sedemikian dinamis.
amanat isi Undang-undang no. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang tersebut, diterbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan
SOLUSI CERDAS PENATAAN RUANG
Umum
KOTA
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Penataan
sistem
proses
pemanfaatan
ruang
merupakan
perencanaan ruang,
dan
tata
suatu ruang,
No.
Ruang
05/PRT/M/2008
Terbuka
Hijau
di
tentang Kawasan
Perkotaan.
pengendalian
Penyediaan dan pemanfaatan RTH
pemanfaatan ruang. Wujud proses dan hasil
dalam
penataan ruang adalah dalam Kebijakan ,
Kawasan Strategis Kota /RTR Kawasan
Rencana dan Program Tata Ruang (KRP).
Perkotaan, dimaksudkan agar menjamin
Untuk menghasilkan rencana tata ruang yang
tersedianya ruang yang cukup bagi: (a)
sekaligus dapat menghambat, mengurangi atau
Kawasan konservasi untuk kelestarian
bahkan mengatasi dampak-dampak langsung
hidrologis, (b) Kawasan pengendalian air
ataupun tak langsungnya terhadap lingkungan
larian dengan menyediakan kolam retensi;
alami, maka diperlukan beberapa peraturan
(c) Area pengembangan keanekaragaman
atau metoda analisis yang wajib diintegrasikan
hayati; (d) Area penciptaan iklim mikro
sebagai solusi cerdas kedalam proses penataan
dan
ruang, antara lain:
perkotaan;
1. Menjamin Tersedianya Ruang Terbuka Hijau (RTH)
RTRW
Kota/RDTR
pereduksi
olahraga
(e)
polutan Tempat
masyarakat;
Kota/RTR
dikawasan rekreasi
(f)
dan
Pembatas
perkembangan kota kearah yang tidak diharapkan; (g) Pengamanan sumberdaya
Patut disyukuri, bahwasanya Pemerintah
baik alam, buatan maupun historis; (h)
melalui Kementerian Pekerjaan Umum
Penyediaan RTH yang bersifat privat,
cepat menyadari akan arti penting ruang
melalui
terbuka hijau sebagai prasyarat kota yang
criteria pemanfaatannya; (i) Area mitigasi/
berkelanjutan. Bahwa perencanaan tata
evakuasi
pembatasan bencana;
kepadatan dan
(j)
serta Ruang 3
penempatan pertandaan (signage) sesuai
keberlanjutan kota seperti perlindungan
dengan peraturan perundangan dan tidak
tata
mengganggu fungsi utama RTH tersebut.
konservasi hayati.
Tujuan penyelenggaraan RTH adalah Menjaga
ketersediaan
keseimbangan
Manfaat
langsung
ekologi
Ruang
dan
Terbuka
sebagai
Hijau (RTH)) membentuk keindahan dan
kawasan resapan air, menciptakan aspek
kenyamanan serta mendapatkan bahan-
planologis perkotaan melalui keseimbang-
bahan
an antara lingkungan alam dan lingkungan
manfaat tidak langsung seperti pembersih
binaan yang berguna untuk kepentingan
udara yang sangat efektif, pemeliharaan
masyarakat, serta meningkatkan keserasian
kelangsungan
lingkungan
pelestarian fungsi lingkungan (konservasi
perkotaan
lahan
air,
sebagai
sarana
pengaman lingkungan perkotaan yang
bernilai
ekonomi,
persediaan
disamping
air
tanah,
hayati atau keanekaragaman hayati).
aman, nyaman, segar, indah, dan bersih. 2. K.L.H.S. Fungsi Utama (intrinsic) RTH adalah
sebagai
Proses
Analisis
Lingkungan Sistematis
Fungsi Ekologis, yakni memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari
Devinisi KLHS (Kajian Lingkungan
system sirkulasi udara (paru-paru kota),
Hidup Strategis) atau SEA (Strategic
pengatur iklim mikro agar system sirkulasi
Environment
udara
proses sistematis dan komprehensif untuk
dan
berlangsung
air
secara
lancer,
alami
sebagai
dapat
peneduh,
Assesment)
mengevaluasi
adalah
dampak
suatu
lingkungan,
produsen oksigen, penyedia habitat satwa,
pertimbangan sosial dan ekonomi, serta
penyerap polutan media udara, air dan
prospek
tanah, serta penahan angin.
kebijakan
keberlanjutan rencana,
dari dan
usulan program
pembangunan. KLHS adalah rangkaian Adapun fungsi tambahan (extrinsic)
analisis yang sistematis, menyeluruh dan
RTH adalah fungsi sosial dan budaya,
partisipatif
fungsi ekonomi sebagai sumber produk
prinsip pembangunan berkelanjutan telah
yang bisa dijual, fungsi estetika untuk
menjadi dasar dan terintegrasi dalam
meningkatkan kenyamanan dan keindahan,
pembangunan suatu wilayah dan atau
fungsi-fungsi ini dapat dikombinasikan
kebijakan, rencana dan program (KRP).
untuk
memastikan
bahwa
sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, 4
KLHS dibutuhkan untuk menginte-
hidup
dan
kendala
pembangunan
di
grasikan pertimbangan lingkungan hidup
wilayah studi; Menganalisis implikasi
dan keberlanjutan melalui penyusunan
berbagai
Kebijakan, Rencana dan Program (KRP)
lingkungan dan memberi rekomendasi
untuk
untuk
meningkatkan
pembangunan;
opsi
perencanaan
optimasi
atau
terhadap
pengembangan
memperkuat proses pengambilan keputus-
berbagai alternative yang berkelanjutan;
an atas KRP, mengurangi kemungkinan
Merekomendasikan
kekeliruan dalam membuat prakiraan/
meminimalisasi resiko lingkungan dan
prediksi pada awal proses perencanaan,
sekaligus
kebijakan,
termasuk rekomendasi desain proyek dan
rencana
atau
program
pembangunan.
studi
Tujuan KLHS adalah menghasilkan Kebijakan, Rencana dan Program (KRP) yang
berwawasan
Pembangunan berwawasan
lingkungan
berkelanjutan lingkungan
hidup
langkah
untuk
memaksimalisasi
AMDAL
proyek
manfaat
bersangkutan,
penataan kelembagaan, dan inisiatif untuk mengendalikan dampak kumulatif.
hidup.
KLHS minimal memuat kajian, antara
yang
lain: Kapasitas daya dukung dan daya
adalah
tampung
lingkungan
hidup,
perkiraan
upaya sadar dan terencana, yang memadu-
mengenai dampak dan risiko lingkungan
kan lingkungan hidup, termasuk sumber
hidup, kinerja layanan jasa ekosistem,
daya, kedalam proses pembangunan untuk
efisiensi pemanfaatan sumber daya alam,
menjamin kemampuan kesejahteraan dan
serta tingkat kerentanan dan kapasitas
mutu hidup generasi kini dan generasi
adaptasi terhadap perubahan iklim.
masa depan. Sedangkan manfaat KLHS adalah dalam meningkatkan kredibilitas keputusan yang diambil dan mendorong kajian dampak lingkungan (AMDAL) pada tingkat proyek menjadi lebih efektif biaya dan waktu. KLHS
Pada
KLHS
perlu
dilaksanakan secara terintegrasi dengan proses
perencanaan.
menjamin
agar
Hal
itu
pengaruhnya
untuk terhadap
muatan KRP yang diputuskan memadai. Namun
memperkuat
prinsipnya
keragaman
kondisi
yang
proses
mempengaruhi proses perencanaan KRP
perencanaan melalui beberapa hal seperti :
menyebabkan pelaksanaan KLHS dapat
Identifikasi masalah-masalah lngkungan
dilakukan dengan cara : 5
a. KLHS dilaksanakan sebagai bagian dari proses penyusunan rancangan KRP atau dianggap sebagai peleburan kedua proses tersebut.
dengan
elemen-elemen
alam
dan
kehidupan yang mengitarinya. 2. Asas selalu berharap dapat menciptakan suasana kedamaian dan ketentraman antar
b. KLHS dilaksanakan bersamaan dengan
sesama mahluk dan juga terhadap alam
proses penyusunan rancangan KRP,
dimana manusia hidup sebagai salah satu
dimana
elemen dari alam semesta raya
kedua
proses
tersebut
diselenggarakan secara parallel namun saling berinteraksi satu sama lain. c. KLHS
dilaksanakan
ditetapkan;
setelah
dimana
Nilai dan asas-asas tersebut kemudian dipersepsikan
sebagai
landasan
filosofis
KRP
TRIHITAKARANA, yang artinya menurut
keseluruhan
Ketut Kaler (1983) adalah ‘Tiga unsur yang
rangkaian proses KLHS berdiri sendiri.
merupakan
sumber
sebab
terciptanya
kebaikan’; Adapun ketiga unsur tersebut adalah : KEARIFAN
LOKAL
MASYARAKAT
BALI DALAM LANDASAN FILOSOFI ‘TRIHITAKARANA’ Masyarakat
Bali,
2. Unsur Tenaga atau Kekuatan yang disebut yang
kehidupannya
dituntun oleh nilai-nilai kebudayaan Bali yang bercorak religious Hinduistis, selalu berusaha bersikap seimbang terhadap alam sekitarnya. Sehingga dapat dikatakan, bahwa nilai dasar dari kehidupan adat di Bali adalah ‘nilai keseimbangan’
1. Unsur Jiwa yang disebut Atman,
(Dharmayudha
dan
Koti
Cantika, 1994) Nilai keseimbangan ini diwujudkan dalam asas-asas kehidupan masyarakat Bali, yakni : 1. Asas selalu berharap dapat menyesuaikan
Prana, 3. Unsur Badan Wadag atau Ragawi yang disebut Sarira. Ketiga
unsur
Tri
Hita
Karana
ini
kemudian dipakai sebagai pola dasar baku oleh masyarakat Bali dalam membentuk segala sesuatu yang diharapkan dapat menciptakan keharmonisan, termasuk membentuk desa dan komunitasnya.
Dalam
pembentukan
desa
(adat) yang harmonis, ketiga unsur Tri Hita Karana diwujudkan sebagai :
diri dan berusaha menjalin hubungan 6
1. Parhyangan Desa, yaitu Tri Kahyangan
atau
Kesejahteraan,
dalam
filosofi
ini
atau Tiga Tempat Suci, berupa Pura
kesejahteraan hanya dapat dicapai melalui tiga
Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem
jalan yang diharapkan. Ketiga jalan dimaksud,
sebagai unsur jiwa atau ‘atman’-nya desa.
yakni Satyam atau Kebenaran yang bisa
2. Pawongan Desa, adalah segenap Krama Desa yaitu warga komunitas desa sebagai unsur tenaga atau ‘prana’ nya desa. 3. Palemahan
Desa,
adalah
tanah
dicapai melalui kedamaian Atman atau Jiwa; Ciwam atau Kebijakan yang bisa dicapai melalui
keharmonisan
Prana
atau
Tenaga/Kekuatan Komunitas; dan Sundaram dan
atau Kebahagiaan yang dapat dicapai melalui
lingkungan Wilayah Desa termasuk daerah
kearifan Sarira atau Badan Wadag/ Fisik
pemukimannya yang merupakan unsur
Lingkungan.
badan wadag atau ‘sarira’-nya desa. Tri Hita Karana mengajarkan pencapaian tujuan hidup yang disebut dengan Jagaditha
Gambar 01 SKEMA FILOSOFI TRIHITAKARANA
Pola hubungan yang seimbang dan serasi diantara ketiga sumber kesejahteraan dan kedamaian ini, diharapkan agar manusia selalu berusaha
untuk
menjaga
keharmonisan
hubungannya dengan ketiga unsur itu, yakni :
1. Hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, untuk mencapai Kebenaran, 2. Hubungan harmonis manusia dengan manusia, untuk mencapai Kebijakan,
7
3. Hubungan harmonis manusia dengan alam, untuk mencapai Kebahagiaan. IMPLEMENTASI KEDALAM
batas tegas peruntukan dan perkembangan
‘TRIHITAKARANA’
KONSEP
TATA
RUANG
DESA ADAT DI BALI
penataan ruang, dapat diimplementasikan baik kedalam proses perencanaan tata ruang, ruang
dan
pengendalian
pemanfaatan ruang. Pendekatan penerapan Trihitakarana kedalam konteks pola tata ruang desa dilakukan melalui wujud implementasi makna ketiga unsurnya yakni implementasi makna Parhyangan sebagai Jiwa Desa, implementasi Tenaga
Desa
fisik desa. Pura pada hulu desa disebut Pura Puseh, yakni pura yang berkaitan dengan keyakinan
Penerapan falsafah Trihitakarana dalam
pemanfaatan
dan Hilir-Desa dimana ketiganya menjadi
makna
Pawongan
sebagai
dan
implementasi
makna
Palemahan sebagai Sarira Desa.
akan proses penciptaan atau kelahiran manusia,
dimana
Tuhan
dalam
manifestasinya sebagai Sang Hyang Brahma atau
Sang
(diposisikan
Pencipta untuk
di-stana-kan
disembah).
Dengan
diposisikannya pada bagian Kaja-Kangin atau Timur Laut sebagai wilayah paling hulu desa dengan tata nilai ruang UtamaningUtama, maka secara tegas diatur untuk tidak diperkenankan adanya fungsi fisik profane guna lahan lain pada wilayah desa yang lebih hulu daripada Pura Puseh, sehingga Pura ini menjadi batas fisik kelayakan fungsi guna
1. Parhyangan : Pengendali Pemekaran
lahan profane (non sacral) wilayah paling
Fisik Wilayah dan Tata Guna Lahan
Timur (Kangin) dan wilayah paling Utara
Desa Adat
(Kaja) Desa.
Dalam setiap desa adat di Bali (baik di wilayah terdapat
pedesaan
maupun
Parhyangan
perkotaan)
Desa,
yang
merupakan wujud hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan dalam pemahaman
falsafah
Trihitakarana.
Parhyangan desa terdiri atas 3 (tiga) buah Pura (bangunan suci tempat beribadah) yang berada pada Hulu-Desa, Pusat-Desa,
Pura pada pusat desa disebut Pura Desa, yakni pura yang berkaitan dengan keyakinan akan proses pemeliharaan atau kehidupan manusia, dimana Tuhan dalam manifestasinya
sebagai
Sang
Hyang
Wisnu atau Sang Pemelihara di-stanakan. Posisinya pada pusat desa dengan tata nilai Madya-ning-Madya, menjadikannya sebagai
pusat
pertumbuhan
dan
pengendalian perkembangan desa yang tak 8
dapat digeser fungsi lain sebagai pusat
2. Pawongan : Pengendali Jumlah Populasi
desa. Pusat Desa berperan mengendalikan
Komunitas dan Ikatan Sosial Antar
batas terluar desa, hal ini dapat terjadi
Warga Komunitas
karena
batas
terluar
desa
biasanya
disyaratkan dengan jangkauan suara kulkul (kentongan) dari pura dipusat desa ini. Berdasarkan hasil penelitian jarak terluar batas wilayah dari pusat, suara kulkul masih dapat terdengar pada radius sekitar 500 meter hingga 800 meter (Rabindra, Pola Komunits Kota Tabanan, Bali, Tesis, PWK-ITB, 1995).
Pawongan
Desa,
adalah
segenap
Krama Desa yaitu warga komunitas desa sebagai ‘tenaga’ atau ‘prana’ nya desa; merupakan kekuatan yang timbul dan terwujud dari bentuk hubungan harmonis antara manusia satu dengan manusia lainnya sebagai unsur utama pembentuk sebuah komunitas, dalam pemahaman falsafah Tri Hita Karana. Komunitas inilah
Pura pada hilir desa disebut Pura
inti kekuatan atau tenaga atau ‘prana’ nya
Dalem, yakni pura yang berkaitan dengan
desa
keyakinan akan proses peleburan atau
pembentuk komunitas wilayah atau kota.
kematian manusia, dimana Tuhan dalam
Kekuatan komunitas ini bukanlah pada
manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa
ukuran
atau Sang Pelebur atau Sang Pemralina
melainkan kekuatan sosial berupa rasa
di-stana-kan. Sesuai dengan fungsinya
kebersamaan, solidaritas dan sikap gotong
sebagai pura kematian, pada kawasan
royong yang sangat kental diantara para
sekitar pura ini biasanya juga terdapat
warganya. Sebuah kekuatan sosial yang
Setra
desa.
terbentuk dari harmoni hubungan antara
Dengan diposisikannya pada bagian Kelod-
manusia satu dengan lainnya, yang diikat
Kauh atau Barat-Daya sebagai wilayah
dengan kedekatan fisik dan intensitas
paling hilir desa dengan tata nilai ruang
komunikasi dan tingkat kenal yang tinggi
Nista-ning-Nista, maka tidak layak adanya
diantara
fungsi fisik profane guna lahan lain yang
cohesiveness).
atau
pemakaman/kuburan
lebih nista dari kuburan, sehingga Pura ini menjadi batas fisik kelayakan fungsi guna lahan paling Barat (Kauh) dan Selatan (Kelod) Desa.
(adat)
sebagai
tenaga
satu
dalam
dengan
unit-unit
artian
lainnya
dasar
fisis,
(social
Krama desa atau warga komunitas desa (adat) terdiri dari jumlah beberapa warga komunitas banjar (adat), dimana 9
warga komunitas banjar adat terdiri dari
komunikasi, serta rasa saling kenal dan
warga
tempekan.
saling memperhatikan diantara anggota
Berdasarkan hasil penelitian, jumlah warga
komunitas. Dengan unit dasar besaran ini
komunitas tempekan biasanya terdiri dari
secara otomatis akan terkendali jumlah
25 hingga 50 kepala keluarga atau sekitar
populasi setiap unit komunitas, sehingga
100 jiwa hingga 250 jiwa atau setara
sulit timbul terjadinya peledakan jumlah
dengan jumlah warga rukun tetangga (RT)
populasi yang tak terkendali didalam
minimal. Beberapa tempekan biasanya
maupun
membentuk suatu komunitas banjar (adat),
komunitas inti seperti diatas, terdapat juga
dengan jumlah warga komunitas banjar
sub-sub komunitas yang disebut sekehe
(adat) idealnya terdiri atas 150 hingga 250
atau kelompok, seperti : sekehe suka duka
kepala keluarga atau sekitar 600 jiwa
yakni
hingga 1000 jiwa, atau setara dengan
gotong royong, arisan, dsb; sekehe subak
jumlah warga rukun warga (RW) ideal.
yakni kelompok pengairan dan pertanian;
Pada wilayah pusat kota yang padat,
sekehe gong yakni kelompok kesenian dan
jumlah warga banjar (dinas) bisa mencapai
sebagainya; sekehe semal yakni kelompok
sekitar 1200 jiwa sampai 2000 jiwa atau
pembasmi hama pertanian; juga sekehe
sekitar 250 hingga 500 kepala keluarga.
teruna-teruni yakni kelompok remaja
Luas wilayah banjar minimal diperkotaan
semacam kelompok karang taruna. Hampir
sekitar 35 Ha hingga 55 Ha atau luas
tidak ada masalah yang tidak dapat
wilayah dalam radius 350 m sampai
diselesaikan dengan baik, apabila rasa
dengan 420 m. Sedangkan luas wilayah
kebersamaan dalam komunitas terbentuk
banjar maksimal adalah sekitar 75 Ha
begitu harmonis; demikian halnya dalam
hingga 200 Ha atau seluas wilayah dalam
konteks dengan penataan ruang wilayah,
radius 500 m sampai dengan 800 m
tak ada masalah pemanfaatan ruang dan
(Rabindra, Tesis, PWK-ITB,1995).
pengendalian pemanfaatan ruang yang tak
beberapa
komunitas
Besaran jumlah unit-unit komunitas tempekan, banjar dan krama desa terbentuk atas dasar derajat ikatan sosial yang dipengaruhi lingkungan,
oleh intensitas
kedekatan pertemuan
diluar
semacam
komunitas.
koperasi
Disamping
suka-duka,
bisa diselesaikan secara mudah dan tanpa masalah oleh warga komunitas yang harmonis.
fisik dan 10
3. Palemahan
:
Pengendali
Perluasan
geografis dan topografis alam lingkungan
Kawasan Terbangun dan Terjaganya
desa,
Kelestarian Lingkungan Alami
terbentuknya desa, atau system jaringan
Yang dimaksud dengan Badan Wadag atau Sarira Desa, adalah wujud fisik
adalah
latar
belakang
historis
transportasi wilayah yang lebih luas. Pekarangan
sebagai
unsur-unsur
lingkungan desa (adat) di Bali yang terdiri
pembentuk cluster ditata secara sangat
atas
masyarakat
bijaksana dengan memperlakukan konsep
termasuk pekarangannya; fasilitas sosial
Sanga Mandala, yakni sistem tata nilai
non sakral seperti Bale Desa/ Bale Banjar/
ruang yang membagi pekarangan dalam 9
Bale Wantilan, Pasar, Sekolah, jalan
(Sembilan) zona pemanfaatan. Konsep ini
lingkungan lapangan, kuburan (setra), dan
memiliki tiga zona Utama, 3 zona Madya,
lain sebagainya; juga termasuk kebon
serta Madya ning Nista.dan 3 zona Nista.
(teba), tegalan, sawah serta sungai, situ/
Zona Utama ning Utama berfungsi sebagai
danau/ pantai, bukit, lembah, jurang, hutan
Pemerajan yakni tempat suci yang 70 %
dan elemen lingkungan alami lain yang ada
berupa ruang terbuka dengan proporsi
didalam wilayahnya.
hijau sekitar 50:50 atau sekitar 4 % total
cluster
pemukiman
Cluster pemukiman dalam satuan unit tempekan, banjar maupun desa ditata dengan berbagai bentuk seperti konsep perempatan agung/ Catur Muka, konsep Swastikasana, Konsep Linier Tri Mandala (seperti di Desa Penglipuran) atau Iron Grid (seperti di Tenganan atau Desa Bugbug) dan sebagainya. Apapun konsep cluster pemukiman selalu mengacu pada ikatan sosio-religious dengan tata letak Tri Kahyangan,
dan
ikatan
sosio-kultural
pekarangan. Zona Madya ning Madya berfungsi sebagai Natah atau halaman tengah multi fungsi yang 100% terbuka dengan proporsi hijau 50:50 atau sekitar 5,5% total pekarangan. Sementara 7 zona lainnya rata-rata 60 % terbangun dan 40 % terbuka dengan proporsi hijau 50:50 atau setara dengan 15,5 % total pekarangan. Jadi setiap pekarangan menyumbang ruang terbuka 40,5 % dengan ruang terbuka hijau 25 % total luas pekarangan.
dengan pola komunitas krama desa yang
Konsep penyengker yang memben-
hidup diwilayahnya. Yang membedakan
tengi pekarangan, selain mencegah konflik
penerapan
kepentingan
pola
desa
selain
kondisi
dengan
tetangga,
juga 11
mengendalikan
pertumbuhan
fisik
proses
pelambatan
bangunan karena memisahkan pekarangan
sehingga
yang boleh dibangun dengan teba atau
menjadi sangat efektif.
kebun yang tak boleh dibangun. konsep telajakan
antara
pekarangan
lain
pekarangan dan
dengan
dengan
jalan
lingkungan (semacam garis sempadan pagar atau bangunan) membuat batas sakral yang menjadikan manfaat pencegah perselisihan dengan masyarakat umum selain manfaat konstruktif pagar dan bangunan,
juga
menyumbang
ruang
terbuka hijau yang cukup signifikan.
daya
aliran
serap
air
air
kehilir,
permukaan
Pemanfaatan potensi hidrografis seperti sungai, mata air dan situ/ danau juga dikelola secara sangat bijaksana untuk melindungi sumber-sumber air bersih dan air pertanian bagi kehidupan bersama. Mata air (mumbul) dan situ atau danau dijaga
dengan
membangun
semacam
petirtan (pura kecil tempat mengambil air suci bagi kegiatan sakral), pelanggaran perlakuan terhadap sumber-sumber air
Topografi desa dikelola dengan sangat
diancam sanksi agama dan adat yang
arif, yakni tidak melakukan pembentukan
sangat berat. Aliran sungai dikelola secara
muka tanah dengan metoda cut dan fill
kolektif untuk dijaga dan dimanfaatkan
secara sembarangan, karena aturan tidak
demi kesejahteraan bersama melalui sistem
diperkenankan merubah komposisi bagian
teknologi
lahan hulu ke hilir dan atau sebaliknya.
fenomenal yakni sistem subak. Sistem ini
Metoda yang diijinkan adalah dengan
dikelola oleh sub komunitas yang disebut
metoda
untuk
sekehe subak, yakni kelompok petani dan
mengurangi dampak terjadinya run-off
warga pengelola air bagi manfaat pertanian
ataupun
memberi
(khususnya sawah) dan manfaat lainnya
manfaat pada system pengairan pertanian
seperti untuk kegiatan mandi , cuci dan
yang disebut subak, metoda terasering ini
kakus (MCK).
terrasering/ longsor.
berjenjang
Disamping
pengairan
tradisional
yang
juga memberi peluang sangat besar pada
12
Gambar 02 SKEMA IMPLEMENTASI TRIHITAKARANA DALAM KONSEP HARMONISASI TATA NILAI RUANG DESA ADAT
Pada
bagian
belakang
setiap
perubahan peruntukkannya. Dengan aturan
pekarangan biasanya terdapat teba atau
yang sangat ketat dan umumnya sangat
kebun/ kandang hewan/ruang terbuka hijau
ditaati oleh krama desa, maka kelestarian
dan lain sebagainya, yang rata-rata seluas
alam lingkungan pada kawasan-kawasan
setidaknya 50 % setiap pekarangan, ini
tadi akan sangat terjaga.
berarti menyumbang RTH yang sangat signifikan bagi desa. Disamping itu, potensi hutan, tebing, lembah ataupun jurang
juga
bijaksana,
dikelola
umumnya
secara
sangat
kawasan-kawasan
seperti ini dijadikan tanah ulayat seperti laba desa
IMPLEMENTASI
‘TRIHITAKARANA’
KEDALAM PENATAAN RUANG KOTA SECARA CERDAS Desa adat merupakan entitas utama ter-
(tanah milik desa) dan laba
bentuknya kota-kota di Bali, dari dahulu kala
pura (tanah milik pura), dimana ditetapkan
hingga kini. Populasi yang berkembang secara
awig-awig desa atau aturan lokal yang
pesat akibat proses urbanisasi dikawasan
sangat ketat terhadap pemanfaatan dan
perkotaan di Bali, tidak serta merta melahirkan 13
pemekaran desa-desa baru. Lebih cenderung
umumnya diatur dalam awig-awig desa adat.
terjadi peningkatan jumlah populasi warga
Diantara aturan yang wajib ditaati warga
desa atau pemekaran banjar-banjar baru
pendatang adalah peraturan menyangkut tata
didalam desa. Karenanya pola tata ruang desa
ruang desa adat dalam pembangunan sarana
adat sebaiknya dapat tetap dipertahankan dan
dan prasarana baru bagi pemukiman dan
juga
fasilitas pendukungnya.
dapat
dijadikan
landasan
pokok
pengembangan tata ruang perkotaan di Bali.
Permasalahan sering muncul apabila
pariwisata
berbagai peraturan menyangkut tata ruang
telah menarik begitu banyak pendatang untuk
kawasan perkotaan yang diterapkan oleh
menetap
pemerintah kota/kabupaten, tak selaras dengan
Perkembangan
kegiatan
dikawasan
perkotaan
di
Bali.
Heterogenitas penduduk yang tinggal dan
awig-awig
menetap
terbentuknya wilayah kota tersebut. Koreksi
di
wilayah-wilayah
dikawasan
perkotaan
beragam.
Mengatasi
desa-desa
adat
entitas
pokok
desa
adat
menjadi
lebih
atas
keberagaman
latar
dialamatkan kepada kebijakan pemerintah
pun
masalah
yang
muncul
belakang sosial dan budaya yang berkembang
kota/kabupaten
diterapkan
bagi
mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal
pendatang, yakni boleh tinggal dan menetap
yang ada kedalam analisis kebijakan tata ruang
pada wilayah salah satu banjar adat dari desa
kotanya.
aturan
kependudukan
yang
tidak
sepatutnya mampu
adat tertentu dikawasan perkotaan dengan
Sepatutnya pemerintah kota/kabupaten
menjadi warga banjar dinas dan warga desa
dapat mengadopsi potensi-potensi kearifan
dinas.
lokal yang tertuang dalam berbagai awig-awig Banjar Dinas dan Desa Dinas adalah
desa adat, sebagai landasan konseptual isi
bentuk banjar adat atau desa adat yang juga
(content)
diperankan sebagai banjar administrasi atau
perencanaan tata ruang kota. Sedangkan
desa administrasi yang melayani urusan
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
administrasi
Warga
sebagai metodologi modern penataan ruang
mengikuti
kota hijau yang berkelanjutan, dapat dijadikan
kegiatan adat banjar atau desa adat, namun
wadah (container) dari proses analisis strategis
wajib
yang
dalam pendekatan perencanaan tata ruang
berlaku pada banjar/desa adat tersebut, yang
perkotaan sebagai suatu metode pemecahan
pendatang
warga tidak
mentaati
pendatang. diwajibkan
berbagai
peraturan
materi
analisis
kebijakan
dan
masalah secara cerdas. 14
Melalui sinergi content – container
diharapkan tercipta dan terjaga keharmonisan
antara implementasi nilai-nilai kearifan lokal
kehidupan masyarakat kota diantara elemen-
konsep Trihitakarana kedalam proses analisis
elemen lingkungan binaan kota dan elemen-
strategis pengambilan kebijakan tata ruang
elemen lingkungan alaminya.
kota hijau berkelanjutan secara sinkron,
Gambar 03 SINERGI IMPLEMENTASI SOLUSI CERDAS PENATAAN RUANG (CONTAINER) DENGAN IMPLEMENTASI FILOSOFI TRIHITAKARANA (CONTENT)
Daftar Pustaka Adhika, I Made, Peran Banjar dalam Penataan Komunitas Perkotaan di Bali, 15
Studi Kasus Kota Denpasar, Tesis S-2, Program Pasca Sarjana PWK-ITB, Bandung, 1994.
Rabindra, Ida Bagus, Pola Komunitas Kota Tabanan, Bali, Tesis S-2, Program Pasca Sarjana PWK-ITB, Bandung, 1995.
Cantika, Koti dan I Made Dharmayudha, Filsafat Adat Bali, Upadha Sastra, Denpasar, 1994.
Russ, Thomas H., Site Planning and Design Handbook, McGraw-Hill Companies, Boston, Massachusetts, 2002.
Kozlowski, Jerzy and G.Hill, Towards Planning For Sustainable Development – A Guide for the Ultimate Environmental Threshold (UET) Method, Avebury, Brookfield USA, 1993.
Simonds, John Ormbee, Garden Cities 21: Creating A Livable Urban Environment, McGraw- Hill, Inc., 1994.
Mantra, Ida Bagus, Bali : Masalah Sosial Budaya dan Modernisasi, Upadha Sastra, Denpasar, 1990. Rudito, Bambang dan Melia Famiola, Social Mapping – Metode Pemetaan Sosial, Teknik Memahami Suatu Masyarakat atau Komuniti, Penerbit Rekayasa Sains, Bandung, 2008.
………….., Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008, tentang, Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, Direktorat Jenderal Penataan Ruang – Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, 2008. ………….., Tanya Jawab – Seputar Penyelenggaraan Penataan Ruang Daerah, Direktorat Jenderal Penataan Ruang – Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, 2010.
16