Nida | Manajemen Asma Melalui Pendekatan Kedokteran Keluarga
Manajemen Asma Melalui Pendekatan Kedokteran Keluarga
Nida Choerunnisa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Abstrak Asma merupakan penyakit yang menjadi masalah publik dan sering dijumpai di masyarakat dan berjumlah sekitar 300 juta orang penderita. Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu dan faktor lingkungan. Asma menimbulkan gangguan kualitas hidup, aktivitas sehari-hari menjadi terganggu, dan biaya pengobatan yang tidak sedikit. Oleh karena itu, asma dapat menjadi beban kesehatan yang serius. Tujuan studi ini adalah penerapan pelayanan dokter keluarga yang berbasis EBM pasien asma bronkial dengan identifikasi faktor risiko dan klinis serta penatalaksanaan berdasarkan patient centered dan family approach. Studi ini merupakan case report. Data primer diperoleh melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, kunjungan rumah, melengkapi data keluarga, dan psikososial serta lingkungan. Penilaian berdasarkan diagnosis holistik dari awal, proses dan akhir studi secara kuantitatif dan kualitatif. Seorang laki-laki, merupakan kepala keluarga dengan diagnosis asma, stress kekhawatiran pada kematian akibat penyakit, tinggal dengan istri dan tiga orang anak. Beban pasien sebagai kepala keluarga menumbuhkan pribadi pasien yang menolak dibatasi dan diawasi dalam usaha mencegah terjadinya kekambuhan penyakit. Berdasarkan teori, kasus asma merupakan permasalahan pada meningkatkan kualitas hidup. Hal ini menyangkut keikutsertaan masalah psikososial dan peranan dari petugas kesehatan dan anggota keluarga untuk bersama melakukan intervensi terhadap pasien. Kata Kunci : asma, pelayanan kedokteran keluarga, penatalaksanaan
Asthma Management Through Family Medicine Approach Abstract Asthma is a common disease that become a national problem. There are about 300 millions people that suffering asthma. Asthma attack is caused by the interaction between the host and environment factors. Asthma can decrease a patient’s quality of life, daily activites, and increase the fee for service. That’s why asthma can be a serious public health issue. The aim of this study is application of family doctor services based EBM in elderly asthma patients with identification of risk factors and clinical and patient management based and family centered approach. This study is a case report. The primary data obtained through anamnesis, physical examination, home visits, family complete data, and psychosocial and environmental. Based on a holistic assessment of the initial diagnosis, the process and the end of quantitative and qualitative studies. A man, a family head who has been diagnosed asthma, stress concerns the deaths from the disease, and live with his wife and three children. Patient load as the head of a private foster families of patients who refuse restricted and monitored in an effort to prevent disease recurrence. Based on the theory, cases of asthma is on improving the quality of life issues. This involves the participation and role of psychosocial problems health workers and family members to intervene with the patient. Keywords : asthma, family medical care, management Korespondensi: Nida Choerunnisa, S.Ked, alamat Jl. Letjen Mar Moekiyat No.118 Sawojajar Kotabumi Lampung Utara, HP 081274385862, email
[email protected]
Pendahuluan Di seluruh dunia, asma merupakan penyakit yang menjadi masalah publik dan sering dijumpai di masyarakat dan berjumlah sekitar 300 juta orang penderita. Sejalan dengan populasi dunia yang terus bertambah, diprediksikan populasi penderita asma akan bertambah menjadi 400 juta orang, disamping itu 80% kematian yang disebabkan oleh asma terjadi pada negara yang berpendapatan rendah dan sedang kebawah. Peningkatan prevalensi tersebut berhubungan dengan penyakit asma yang tidak terdiagnosa atau jika terdiagnosa, penderita asma tidak memiliki akses terhadap pengobatan dasar, akses
kesehatan, dan kurangnya tingkat pendidikan penderita1. Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu dan faktor lingkungan. Faktor pejamu termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, alergik (atopi), hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejalagejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara,
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015 | 125
Nida | Manajemen Asma Melalui Pendekatan Kedokteran Keluarga
infeksi pernapasan, diet, dan status sosioekonomi2. Masalah faktor lingkungan adalah semakin besarnya polusi yang terjadi lingkungan dalam dan luar rumah, serta perbedaan cara hidup yang kemungkinan ditunjang dari sosioekonomi individu. Komponen kondisi lingkungan rumah yang dapat mempengaruhi serangan asma seperti keberadaan debu, bahan dan desain dari fasilitas perabotan rumah tangga yang digunakan (karpet, kasur, bantal), memelihara binatang yang berbulu (seperti anjing, kucing, burung), dan adanya keluarga yang merokok dalam rumah3. Asma menimbulkan gangguan kualitas hidup karena gejala yang ditimbulkannya baik berupa sesak napas, batuk, maupun mengi, mengakibatkan aktivitas sehari-hari pasien menjadi terganggu. Selain itu, biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan pun tidak sedikit. Asma juga dapat memicu kematian. Oleh karena itu, asma dapat menjadi beban kesehatan yang serius4. Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan nafas yang menimbulkan hiperesponsif dan obstruksi jalan nafas yang bersifat episodik1. Untuk dapat menghindari terjadin ya kekambuhan asma, maka pemahaman tentang penyakit dan cara mencegah kekambuhan asma menjadi dasar yang sangat penting. Oleh karena itu penting untuk memberikan edukasi pada pasien asma agar mengetahui dan memahami hingga mengaplikasikan cara pencegahan dan kekambuhan asma untuk meningkatkan kualitas hidup. Kasus Pasien, seorang laki-laki Tn.H, 42 tahun, datang ke Puskesmas Rawat Inap Kedaton dengan keluhan sesak napas disertai batuk tidak berdahak sejak 1 minggu yang lalu. Sesak napas disertai dengan bunyi “ngik”. Sesak timbul terutama pada malam hari, sehingga mengganggu saat tidur. Pasien sering J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015 | 126
terbangun pada malam hari karena sesak napasnya. Sesak napas bertambah bila pasien batuk. Keluhan sesak dan batuk timbul apabila pasien terpapar debu ataupun pada suhu ruangan yang rendah. Terkait keluhan batuk yang lama, pasien pernah melakukan pemeriksaan dahak SPS satu tahun yang lalu, namun tidak ditemukan adanya kelainan. Pasien didiagnosis asma oleh dokter di RSUD Abdul Moeloek sejak 1 tahun yang lalu. Pasien memiliki riwayat merokok selama 9 tahun dari kelas 5 SD hingga kelas 3 SMA dengan jumlah konsumsi rokok setengah bungkus per hari, namun pasien telah berhenti merokok sejak usia 18 tahun. Sebelumnya pasien rutin kontrol ke rumah sakit setiap bulan karena penyakit asma nya dan diberikan obat inhalasi yaitu berotec dan seretide. Obat dihisap saat pasien sesak napas, dan setelah menggunakan obat tersebut napas pasien tidak berbunyi lagi. Sejak 2 bulan terakhir pasien tidak kontrol dan mengambil obat karena merasa keluhan sudah berkurang dan terkendala biaya. Hasil Keluhan berupa sesak napas dan batuk selama 1 minggu. Kekhawatiran keluhan terus berlanjut, dan menganggu aktivitas pasien. Harapan bisa sembuh total dan dapat melakukan aktivitas tanpa khawatir akan kekambuhan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan penampilan lusuh, keadaaan umum: tampak sakit sedang, suhu 36,7oC, tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 96x/menit, frekuensi nafas 36x/menit, berat badan 45 kg, tinggi badan 153 cm, status gizi: IMT = 19 (gizi normal). Kepala, mata, hidung, dan mulut dalam batas normal. Regio coli tidak ditemukan adanya peningkatan Jugular Venous Pressure (JVP). Pada regio pulmo secara inspeksi tampat retraksi interkostal, secara palpasi dalam batas normal, secara perkusi ditemukan bunyi sonor pada lapang paru, dan secara auskultasi ditemukan napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (+/+). Pemeriksaan pada jantung tidak ditemukan pembesaran. Regio abdomen tidak ditemukan adanya kelainan. Ektremitas superior dan inferior dalam batas normal. Status neurologis : Reflek fisiologis normal, reflek patologis (-). Motorik dan sensorik dalam batas normal. Lingkungan rumah berupa pemukiman padat, luas rumah 7x7 m2 dengan 1 lantai.
Nida | Manajemen Asma Melalui Pendekatan Kedokteran Keluarga
Tinggal bersama istri yang berjarak usia 1 tahun lebih muda. Jarak dari puskesmas ±3 km. Dinding geribik, berlantaikan semen dan tanah, memiliki 1 jendela di ruang tamu, memiliki 1 kamar. Memiliki 1 kamar mandi yang digunakan bersamaan dengan tetangga. Pencahayaan pada rumah kurang dikarenakan jendela hanya terdapat di ruang tamu sedangkan di dapur dan kamar tidak ada jendela. Penerangan menggunakan lampu listrik. Sumber air berasal dari sumur yang berjarak ±15 m dari septic tank. Pembahasan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin1. Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor lingkungan5,6,13 Faktor Genetik berupa atopi/alergi, hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin, ras/etnik, dan obesitas. Faktor lingkungan diantaranya alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain) dan alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur). Faktor lain diantaranya adalah alergen makanan (susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,
jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan), alergen obat-obatan tertentu (penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritromisin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain), bahan yang mengiritasi (parfum, household spray, dan lain-lain), ekspresi emosi berlebih, asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif, polusi udara dari luar dan dalam ruangan, exerciseinduced asthma, perubahan cuaca, status ekonomi. Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis5,16. Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Pada pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan wheezing dan ekspirasi memanjang5. J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015 | 127
Nida | Manajemen Asma Melalui Pendekatan Kedokteran Keluarga
1,8
Tabel 1. Klasifikasi asma
Derajat asma
Gejala
Gejala malam ≤ 2 kali sebulan
Intermitten
Bulanan Gejala < 1x/minggu Tanpa gejala di luar serangan Serangan singkat
Persisten Ringan
Mingguan Gejala > 1x/minggu, tetapi < 1x/hari Serangan dapat mengganggu aktiviti dan tidur Harian Gejala setiap hari Serangan dapat mengganggu aktiviti dan tidur Membutuhkan bronkodilator setiap hari
> 2 kali sebulan
Kontinyu Gejala terus menerus Sering kambuh Aktiviti fisik terbatas
Sering
Persisten Sedang
Persisten Berat
> 1x seminggu
Pada kasus ini, pasien mengalami sesak napas dan batuk berdahak yang sering hilang timbul sejak 1 minggu lalu. Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya retraksi intercostal dan terdengar bunyi wheezing. Pemeriksaan dahak telah dijalani pasien di rumah sakit dan tidak terdapat adanya kelainan. Pada pasien asma diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang, antara lain: radiologi (foto toraks), spirometri, Peak Flow Meter (PFM), pemeriksaan IgE, petanda inflamasi, dan Uji Hipereaktivitas Bronkus (HRB).5,7 Pasien tidak pernah menjalani pemeriksaan spirometri, namun dari gejala pada pasien kasus ini, pasien tergolong dalam asma bronkial. Hal ini didapat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarah kepada penyakit asma. Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015 | 128
penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan nafas yang menimbulkan hiperesponsif dan obstruksi jalan nafas yang bersifat episodik1,11,12,19. Kepada pasien dalam kasus ini, manajemen yang diberikan pertama adalah edukasi, dimana pasien perlu menghindari halhal yang dapat menyebabkan kekambuhan (batuk dan sesak napas) sehingga pasien dapat menjalani aktivitas sehari-hari. Pasien juga diberikan informasi mengenai penyakitnya, asma, sehingga pasien dapat memahami bahwa pasien dapat mengontrol penyakit tersebut meskipun tidak dapat sembuh. Kemudian pemberitahuan mengenai kegunaan dari obat-obatan, cara penggunaan, waktu penggunaan, dosisi obat, dan efek samping. Selain itu pasien juga perlu melakukan latihan, atau eksersais, sehingga dapat mencapai kualitas hidup yang optimal1,14,15.
Nida | Manajemen Asma Melalui Pendekatan Kedokteran Keluarga
Pasien pada kasus ini telah mendapatkan terapi obat berupa salbutamol oral 2x5 mg, kemudian Gliseril Guaiakolat (GG) 3x1 tab, dan dexamethasone 2x0,5 mg. Sebelumnya pasien menggunakan obat inhalasi berupa berotec dan seretide, akan tetapi karena pasien tidak kontrol lagi ke rumah sakit sehingga pasien tidak menggunakan obat tersebut dalam dua bulan terakhir. Penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi penatalaksanaan asma akut/saat serangan dan penatalaksanaan asma jangka panjang. Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui oleh pasien. Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah, dan apabila tidak ada perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat dan cepat. Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah bronkodilator (β2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida) dan kortikosteroid sistemik. Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya β2 agonis kerja cepat yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan secara sistemik. Pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral. Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi menggunakan nebulizer. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (Inhalasi Dosis Terukur) dengan alat bantu (spacer). Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma. Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi: 1) edukasi; 2) obat asma (pengontrol dan pelega); dan menjaga kebugaran. Obat pelega diberikan pada saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus. Untuk mengontrol asma digunakan anti inflamasi (kortikosteroid inhalasi). Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain: Inhalasi kortikosteroid, β2 agonis kerja
panjang, antileukotrien, teofilin lepas lambat5,9,10,20. Pada kasus Tn. H, pemberian terapi obat-obatan hanya apabila ketika pasien merasakan kekambuhan. Hal ini dapat disebut sebagai eksaserbasi akut dimana eksaserbasi akut berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi sebelumnya yang disebabkan oleh infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan, atau timbulnya komplikasi1,17,18. Dari kondisi-kondisi tersebut, pasien dapat dikategorikan menderita asma bronkial dan memiliki prognosis quo ad vitam: dubia, quo ad funtionam: dubia ad bonam karena pasien masih dapat melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri dan quo ad sanationam: dubia ad malam karena pasien tidak dapat sembuh total dari penyakitnya dan perlu terus menghindari faktor pencetus timbulnya kekambuhan. Kesimpulan Diagnosis asma bronkial pada kasus ini sudah ditegakkan berdasarkan kriteria yang terdapat dalam teori yang telah dikemukakan. Terdapat beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi terjadinya asma bronkial dan hal ini telah dinyatakan oleh beberapa teori yang didasarkan sebagai acuan. Penatalaksanaan asma bronkial sudah disesuaikan dengan strategi penatalaksanaan PDPI (Persatuan Dokter Paru Indonesia). Peran keluarga sangat diperlukan untuk membantu pasien untuk menghindari faktor pencetus penyebab kekambuhan. Pelayanan medis tidak hanya terfokus pada pasien sebagai orang yang menderita sakit, namun juga dilihat dari aspek keluarga yang terlibat dan lingkungan.
Daftar Pustaka 1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pengendalian penyakit asma. Departemen Kesehatan RI; 2009. hlm. 5-11. 2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman tata laksana asma di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2005. 3. Hanggoro B. Gambaran pencetus serangan dan penanganan pasien asma bronkhiale di Puskesmas Sumbang II
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015 | 129
Nida | Manajemen Asma Melalui Pendekatan Kedokteran Keluarga
4.
5. 6.
7.
8. 9.
10.
11.
12.
Kecamatan Sumbang Kabupaten Banyumas [internet]. 2012 [Diakses tanggal 31 Maret 2015]. Tersedia dari: http://digilib.ump.ac.id Sundaru H, Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Siregar SP, et al. Allergy and asthma, The scenario in Indonesia. Dalam: Shaikh WA. editor. Principles and practice of tropical allergy and asthma. Mumbai: Vicas Medical Publishers; 2006. hlm. 707-36. Rengganis I. Diagnosis dan tata laksana asma bronkial. Maj Kedokt Indon. Nov 2008; 58(11). Augusto A. Asthma and obesity: Common earlylife influences in the inception of disease. JACI. 2008 Mei; 121(5):1075. Gotzsche CP. House dust mite control measures for asthma: systematic review in European Journal of Allergy and Chronic Urticaria. 2008; Volume 63. Hlm. 646. Bochner BS, Busse WW. Allergy and asthma. JACI. 2005; 115(5):953-9. Broide D. New perspectives on mechanisms underlying chronic allergic inflammation and asthma in 2007. JACI. 2008. 122(3):475-80. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide for asthma management and prevention; 2014. Levy ML, Thomas M, Small I, Pearce L, Pinnock H, Stephenson P. Summary of the 2008 BTS/SIGN British Guideline on the management of asthma. Prim Care Respir J. 2009; 18:S1–16. Jindal SK, Gupta D, Aggarwal AN, Agarwal R. World Health Organization; Government of India. Guidelines for management of asthma at primary and secondary levels of health care in India. Indian J Chest Dis Allied Sci. 2005; 47:309–43.
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015 | 130
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Vernon MK, Wiklund I, Bell JA, Dale P, Chapman KR. What do we know about asthma triggers? A review of the literature. J Asthma. 2012; 49:991–8. British Thoracic Society Scottish Intercollegiate Guidelines Network. British guideline on the management of asthma. Thorax. 2008; 63(Suppl 4):iv1– 121. Nair P. Update on clinical inflammometry for the management of airway diseases. Can Respir J. 2013; 20:117–20. Taylor DR, Bateman ED, Boulet LP, Boushey HA, Busse WW, Casale TB, et al. A new perspective on concepts of asthma severity and control. Eur Respir J. 2008; 32:545–54. Executive Committee Gema 2009. GEMA 2009 (Spanish guideline on the management of asthma) J Investig Allergol Clin Immunol. 2010; 20(Suppl 1):1–59. Reddel HK, Taylor DR, Bateman ED, Boulet LP, Boushey HA, Busse WW, et al. American thoracic society/European respiratory society task force on asthma control and exacerbations. An official American Thoracic Society/European Respiratory Society statement: Asthma control and exacerbations: Standardizing endpoints for clinical asthma trials and clinical practice. Am J Respir Crit Care Med. 2009; 180:59–99. Expert Panel Report 3 (EPR-3). Guidelines for the diagnosis and management of asthma-summary report 2007. J Allergy Clin Immunol. 2007; 120(suppl):S94–138. Platts-Mills TA. Allergen avoidance in the treatment of asthma: problems with the meta-analyses. J Allergy Clin Immunol. 2008; 122:694–96.