NGA’ASAN Newsletter: Media Belajar, Berpikir, dan Berpihak Media Tou Minahasa: Belajar, Berpikir, dan Berpihak
EDISI II-AGUSTUS 2005 Dari Redaksi
TILIK UTAMA hal...2-6
Nga’asan dalam konsepsi Tou Minahasa memiliki makna aktif sebagai spirit intelektualitas. Nga’as ini sendiri secara harafiah berarti otak. Sehingga, ngaasan dapat dimaknai sebagai proses sadar dari optimalisasi sumbersumber intelektualisme dalam kesadaran yang dimiliki setiap orang. Baku dapa lagi................!!! Di edisi kali, dengan tampilan yang sedikit berubah, kembali hadir di meja pembaca; Bobot dan isi bulan ini menggali tentang pendidikan dan visi pendidikan yang sementara berlangsung di tanah air kita. Tentunya dengan melihat realita yang mana pendidikan merupakan prime needs suatu bangsa, namun sampai saat ini masih merupakan barang mewah dan mahal bagi generasi kita hingga hari ini. Bagi Tou Minahasa sendiri, upaya pendidikan selayaknya dimulai dari wanuawanua. Nga’as Tou Minahasa, adalah catatan kearifan lokal dipadu ilmu dan pengalaman; Saat ini Nga’as itu dipertanyakan karena patgulipat sistem yang masih tak berpihak pada rakyat. Yang barusan lewat, Pilkada yang sudah berlangsung damai di bumi nyiur melambai, agenda perubahan yang diusung semoga bukan cuma jadi wacana publik. Untuk semua catatan di bulan ini, Nga’asan tetap membuka ruang, setiap Tou Minahasa boleh bicara di sini untuk membangun se kasuat tou. Makapulu sama!!! Pembaca Yang Budiman... Redaksi Ngaasan menerima masukan tulisan, artikel serta analisa sosial yang terkait dengan problem sosial Tou Minahasa. Atas kesediaan hati anda untuk memberikan tulisan anda, kami ucapakan banyak terima kasih.
....orang miskin... .....dilarang sekolah...!!? FOKUS hal...8
QUO VADIS TOU MINAHASA
LASTe
hal...20
Apanya Yang Berubah...?
NUWU KATARE
Ngaasan-Edisi II-AGUSTUS 2005
ada apa dengan SEKOLAH...???
S
ekolah, sudah menjadi semacam syarat dalam usaha memanusiakan manusia. Hanya saja kritik terhadap sistem pendidikan formal kian tajam saja. Beberapa saat lalu, issue Sisdiknas menguat dan dicermati banyak kalangan, sebuah pertanyaan mengangah “ Benarkah pendidikan di Indonesia boleh diakses semua manusia Indonesia ? ” Sistem pendidikan kita masih terpenjara penyeragaman buah pikiran, dan sejauh itu kreatifitas anak bangsa menjadi miskin dan tidak siap mencipta karya bagi keberlangsungan hidupnya sendiri. Sekolah menjadi semacam dewa penyelamat dari phobia masa depan; “ mo jadi apa kalu nyanda skolah, nanti ngoni susah dapa karja “ Maar lia jo, so skolah tinggi-tinggi cuma jadi pengangguran tinggi hati. (biar nda kerja yang penting sarjana do’e !) Buka mata untuk realita SEKOLAH “Guru purapura mengajar, murid seakan-akan memperhatikan, dosen seperti membagi diktat, mahasiswa petak-umpat memasang batas-batas dusun dan kampung lalu bertanya cara petani bertanam jagung di laut. Yang dikais dari akar rumput seolah-olah adalah nama skripsinya yang harum nilai-nilai. Bukan nama petani yang ada di skripsi nya padahal ilmu dicontek dari petani yang bisa jadi si petani tak pernah mengenyam pendidikan formal. Naïf !!!
Masih banyak ijasah yang belum laku, mungkin karena banyak dan terlalu murah. Kita butuh yang mahal dan bergengsi supaya tetangga tahu bahwa kita hebat dan dapat diperhitungkan secara mathematic. Walau, sekolah sudah menjadi keyakinan dengan segala drama penghisapan arus berpikir dan nilai kehidupan. Berapa banyak orang tua murid saat ini yang teriak karena realita sekolah? Mahalnya biaya pendidikan, dan entah sandiwara apa lagi yang akan dilahirkan untuk mengais rupiah dari kocek orangtua siswa. Bila Kuliah Kerja Nyata (KKN) masih belajar sistem atministrasi wanua dan bertanya pada petani bagaimana caranya bercocok tanam, berarti ilmu bukan hanya ada di gedung sekolah. Ilmu ada di mana-mana di alam semesta ini. Kita terbiasa dengan terminology SEKOLAH sebagai formalitas lembaga bagi peserta didik menambang ilmu, padahal masih banyak model lain yang bisa di-adopt sebagai alternative cari ilmu. Lendo Novo seorang sarjana pendidikan lulusan IPB, merancang sebuah pendidikan yang menggunakan alam sebagai media sekaligus membuat sistem pendidikan yang sangat berbeda dengan sekolah konvensional lainnya. Menjadi penting untuk di kaji, ketika lembaga pendidikan formal mengalami decadency nilai, bukan berarti sekolah harus ditinggalkan. Sekolah harus tumbuh dan belajar dengan banyak alternatif sistem. Sekolah bukanlah gedung dan siapa yang mengajar, sekolah adalah transformasi nilai empiris yang mampu mencipta dan membaca peluang. Haawooo tu’un !2
Nga’asan ini diterbitkan atas kerja sama: YSN, ICRES, MAM, PM, Perpustakaan Minahasa AZR Wenas. Penanggungjawab:Dr Bert Adriaan Supit.Penasehat: Pdt J.R Pandeiroth, Pdt. J.L. Posumah, Bert Tua’ Supit, Drh. L. Lantang, Prof Dr. AE Sinolungan SH, DR Jong Ohoitimur, DR. Max Ruindungan, Dr. Rampen, Drs EP. Rumayar SH, Audy Wuisang, Msi, Beni Matindas. Chief Editor: Veldy Umbas. Manager:Octo Supit. Dewan Redaksi: Jootje Kawengian, Jull Takaliuang, Sandra Rondonuwu STh SH, Matulandi Supit SH,Octo Supit, Irvan Basri, Fredy Wowor. Koresponden: Sonny Mumbunan, Kartini Joseph (Jerman), Denny Sondakh (USA), Nora Worang (Kanada), Froly Lelengboto (NewZeland), Sony Wuisan (Jakarta). Redaktur: Denny Pinontoan, Daniel Kaligis. Staf Redaksi: Edwin, Jonly. Tata Letak: dactfay, Jonly. Alamat Redaksi: Jl. Raya Kakaskasen III No. 412 Tomohon 95362- Sulut Telp/fax 0431 354739, 3300242. Email:
[email protected],
[email protected]. http://nggaasan.tripod.com. http://icres.tripod.com.
2
TILIK UTAMA
Ngaasan-Edisi II-AGUSTUS 2005
Pendidikan Bertanggunggugat oleh : daniel kaligis
K
amus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan “Pendidikan” sebagai suatu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. (Balai Pustaka, 2001) Proses pendidikan itu sendiri sebenarnya berawal ketika pertemuan sperma dan ovum di dalam rahim ibu dan tidak pernah berakhir hingga manusia mati. Apa saja yang kita alami dalam hidup memberikan bekas pengalaman di otak sadar dan otak bawah sadar yang berkontribusi bagi proses pendewasaan manusia dalam hubungannya dengan manusia lain dan alam sekitar.
gbr : motherchild, db
Psikologi perkembanagan Manusia lahir dengan keunikan masing-masing. Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa, pendidikan dan pengajaran berlangsung sepanjang hayat dikandung badan. Pendidikan dan pengajaran akan mengena jika sesuai kebutuhan karakter dan minat. Pendidikan yang diterima belum tentu cocok dengan apa yang akan dikembangkan dan kebutuhannya di masa datang. Untuk itu peran orang tua dan guru menjadi penting dalam meletakkan dasar pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak sesuai jalan yang patut baginya supaya ia tidak menyimpang dari jalan hidup yang benar (Songs of King Salomo). Ahli pendidikan dan ilmu kejiwaan membagi kategori psikologi perkembangan sebagai berikut : · masa dalam kandungan · masa balita dan prasekolah · masa anak-anak, TK, SD · masa remaja, Sekolah Lanjutan · masa dewasa Tiap kategori ini tentunya akan mempengaruhi bentuk perlakuan pada tiap jenjangnya. Berawal dari zigot dengan respons yang terbatas, terlahir dan menerima perlakuan. Pola pertumbuhan dan perkembangan jasmani, kognitif, social dan emosi tiap kategori akan berbeda-beda pula. Tumbuh dan berkembang. Tumbuh berarti bertambah dalam ukuran dimana sel tubuh bertambah banyak. Mengukur pertumbuhan dilakukan dengan menimbang berat badan dan mengukur tinggi lebar. Sedangkan perkembangan merupakan perubahan dalam kompleksitas dan fungsinya serta interaksi dengan lingkungan yang melibatkan perkembangan psikologis dan perkembangan fisik. Perkembangan secara jasmani terlihat dari penampilan, proporsi tubuh dan
keterampilan. Kecepatan perkembangan sangat dipengaruhi oleh gizi, protein, lemak, karbohidrat, latihan dan lingkungan. Di usia balita perkembangan kognitif atau kecerdasan anak tumbuh pesat, rasa ingin tahu terhadap segala yang ditanggap indra, disimpan dalam long-term memory dan shortterm memorynya. Perkembangan kognitif ini dinyatakan dengan kesanggupan merancang, mengingat dan mencari penyelesaian masalah yang ia hadapi. Perkembangan kognitif biasanya sejalan dengan perkembangan bahasa pengertian dan pernyataan. Bahasa pengertian misalnya membaca dan mendengarkan dan bersifat pasif. Sedangkan bahasa pernyataan meliputi bicara dan menulis yang bersifat aktif. Lebih dari itu sang anak belajar berkomunikasi dengan dirinya sendiri, belajar dari dalam diri (emosi) dan berinteraksi social. Disini ia belajar berkhayal dan berpikir tentang penyelesaian masalah. Perkembangan ini dapat dilihat dari ekspresi bahasa, tingkah dan ekspresi tubuh, penerimaan orang baru dari luar lingkaran keluarga/ pengasuh. Ketika masuk ke lembaga pendidikan yang namanya sekolah, perkembangan anak akan sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia berinteraksi dan system pendidikan yang diberlakukan. Pengalaman yang ditemukan menuntun kesadartahuan manusia untuk tanggap menghadapi hidup itu sendiri. Walau tidak selamanya pengalaman bersifat mendidik, karena ada pengalaman yang justru bersifat menyesatkan. Di masa remaja, perkembangan hormon menuju manusia dewasa secara biologis memberikan pengalaman baru secara fisik dan emosi manusia. Masa ini ditandai dengan ketertarikan terhadap lawan jenis serta rasa ingin tahu yang lebih besar terhadap hakekat manusia. Saat mana manusia dapat dikatakan dewasa secara biologis belum tentu dapat dikategorikan dewasa dalam berpikir dan bertindak. Untuk keseluruhan masa itulah proses pendidikan dan pengajaran menjadi hal yang mutlak. Dewey mengemukakan bahwa, pendidikan merupakan proses pembaruan makna-makna pengalaman. (Dawey,1972) To build the whole value Kata pendidikan sudah merasuk jauh dalam benak manusia membentuk paradigma tentang keampuhan sebuah proses panjang dimulai dari kandungan, lahir, usia balita, masuk TK, SD, Sekolah Lanjutan, Kuliah jadi sarjana, cari master, cari doctor, cari kerja lalu dianggap hidup kemudian tunggu mati. Dan di negara kita semua itu harus dibayar dengan harga yang mahal. 3
TILIK UTAMA
Dengan dalih “bagi masa depan” anak-anak sudah dijejali sindrom pendidikan formal sebagai tumpuan perbaikan kehidupan masa depan. Tentang pendidikan, Alfin Toffler coba mendefinisikan sesuatu yang bersifat imajinatif tentang masa dapan, padahal masa depan merupakan sesuatu yang tidak pasti dan belum final. Ketakutan terhadap masa depan yang tidak pasti menyebabkan berbagai macam kurikulum dieksperimenkan pada peserta didik tanpa dievaluasi secara representative dan transparan. Masih berimankah kita pada masa depan ? Bukan bermaksud membantah keyakinan dari banyak orang tapi, masa depan sebenarnya sudah tiba hari ini. Dan untuk itu kita harus menyiapkan system dan strategy untuk esok yang misteri dan belum pasti, paling tidak ada konsep yang predictable dan masuk akal untuk mengakali sesuatu yang tidak masuk akal. Unsur pendidikan (guru, murid, system dan pendukungnya) mestinya mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tuntutan zaman. Pendidikan seharusnya to build the whole value dari seseorang dan bermuara pada to build the whole value dari suatu bangsa. Indonesia malu dianggap Negara miskin tapi tak bergerak untuk keluar dari kemiskinan, meski sampai saat ini antrian masih panjang menunggu kesempatan kerja, masih panjang daftar perusahan di Indonesia dimana orang Indonesia sendiri tak punya akses untuk menentukan arah kebijakan, produk dalam negeri belum jadi tuan rumah di negeri sendiri, barisan rakyat masih panjang menunggu keadilan di depan pintu penegak dan institusi hukum serta pelayanan public yang kalang-kabut penuh birokrasi yang tidak mendukung efisiensi. Apa sebenarnya yang sedang berlangsung di sini, dan apa hubungan pendidikan dan kemiskinan ? Masih panjang daftar pertanyaan dan pernyataan yang berakar dari miskinnya kesadaran untuk keluar dari lingkar setan formalitas sentralistik yang sudah terbukti timpang selama puluhan tahun. Tantangan bagi pendidikan formal Indonesia Pendidikan formal di Indonesia sudah berkontribusi besar bagi pendewasaan bangsa, namun menuai kritik karena penyeragaman buah pikiran, pembohongan sejarah dan pembunuhan kreatifitas peserta didik. Pendidikan Formal di Indonesia selama ini sudah memproklamirkan ‘kebenaran tunggal’ menuju masa depan yang lebih baik, kini terseokseok menghadapi perubahan yang begitu cepat. Lalu, setelah peserta didik ditamatkan dari institusi yang namanya sekolah, mereka mau dikemanakan??? Jika yang didapat justru adalah akal-akalan ilmu palsu dan tak siap aplikasi, sarjana bekerja tidak sesuai dengan disiplin ilmu, pelayanan public terbengkalai karena lebih menggunakan instinct ketimbang ratio. Ini menjadi pertanda bobroknya sistem pendidikan dan the whole system yang berlangsung di negeri ini. (silakan dibantah!!!) Mestinya sistem yang sudah gagal ini ditinggalkan. Sistem pendidikan selama ini hanya mencetak intelektual-intelektual
Ngaasan-Edisi II-AGUSTUS 2005
yang umumnya tidak kreatif dan menjadi pelengkap bagi dunia industri dan ekonomi dunia yang sangat mendewadewakan harta dan kekuasaan. Jauh sebelum proklamasi, suku-suku bangsa Nusantara mengaplikasi kearifan local sebagai original science yang mampu bersaing dengan bangsa-bangsa di dunia. Yang ini justru sudah dipatahkan untuk kepentingan pemangsa adat dan anti pluralis. Pendidikan alternative berbasis kearifan local selama ini hampir ditinggalkan. Pertanyaan yang membutuhkan jawaban mendesak kini, “Masih mungkinkah kearifan local diangkat menjadi salah satu alternative pertahanan daerah-daerah bagi kelangsungan kehidupan bernegara dalam menghadap scenario globalisasi ?” Padahal sistem proteksi terhadap identitas bangsa kita belum siap menghadapi globalisasi yang akan membobol batas-batas Negara secara ekonomi dan politik..Jawaban terhadap pertanyaan diatas menjadi mungkin, jika kita mau. Sulit memang untuk berkreasi atau mencipta sesuatu yang baru. Robert W. Olson, dalam bukunya The Art of Creative Thinking menjawab kesulitan-kesulitan untuk berkreasi itu dengan menjawab tiga pertanyaan berikut :” Apakah Kreativitas itu ?” , “ Mengapa manusia berkreasi ?”, dan “ Apakah hambatan-hambatan untuk menjadi kreatif ?”. Olson menjelaskan jawabannya sebagai berikut : a. Kreativitas adalah kemampuan untuk mencipta / berkreasi. Oleh segelintir orang Kreativitas dianggap sebagai suatu kemampuan untuk menghasilkan gagasan baru atau wawasan yang segar. b. Dari semua makhluk yang ada di dunia hanya manusia yang dikaruniai akal untuk mengubah perilakunya ke arah yang lebih berbudaya, merencanakan kehidupannya dan melahirkan gagasan kreatif. Dan dengan akal tersebut manusia memiliki kemampuan self-determination, menentukan pilihannya sendiri dengan pertimbangan tanggung jawab. c. Hambatan yang seringkali dihadapi untuk menjadi kreatif adalah : kebiasaan, keterbatasan waktu dan energi, ketidakmampuan mengenali masalah, takut gagal, kritik orang lain, puas diri, tidak berpendirian dan kesulitan memusatkan konsentrasi. Dari jawaban tersebut kita dapat berusaha untuk memaksimalkan fungsi akal dan menunjukkan bahwa kita memang benar-benar manusia sejati serta membuat inovasi di luar kebiasaan, melakukan manajemen waktu dan energi, kritis terhadap lingkungan, tidak menyerah sebelum mencoba, menerima kritik sebagai masukan bagi kesempurnaan karya, tidak mudah puas diri dan mencoba untuk berkonsentrasi dalam mengerjakan segala hal. Mengapa di sini ditekankan bagaimana untuk menjadi kreatif ? Karena memang, yang dibutuhkan adalah pemikiranpemikiran kreatif dan inovatif dari kita semua, sebagai insan intelektual yang di pundak kita lah tanggung jawab kemajuan bangsa diamanatkan. Yang sementara ini berlangsung adalah sistem pendidikan dengan kurikulum yang berganti-ganti tak kenal arah, yang hanya melanggengkan sejarah palsu dan kekuasaan lalim penindas rakyat. Inilah yang mestinya dirombak dan diganti 4
TILIK UTAMA
dengan sistem pendidikan dengan perspective rakyat. Kita harus bersama-sama membangun sistem dan strategi pendidikan yang bertanggunggugat dimana kearifan local disejajarkan dengan semua cabang ilmu dan teknologi. Di banyak tempat orang belum merasa sekolah jika tidak melalui pendidikan formal. Belum merasa bekerja jika belum menjadi pegawai negeri atau pegawai perusahan. Kita belum mencoba sesuatu alternative yang kreatif untuk mendapat ilmu dan lapangan pekerjaan. Alam dapat menyiapkan semuanya. Alam merupakan laboratorium yang maha luas bagi semua orang. Bagaimana petani belajar ilmu pertanian, bagaimana peramu hutan belajar memanfaatkan sumberdaya hutan secara berkelanjutan dan lestari. Tentu kita tidak bisa belajar computer dengan memanjat pohon saja. Itulah mengapa penting kearifan local disejajarkan dengan semua cabang ilmu yang ada. Saat ini berkembang m o d e l pendidikan dengan alam sebagai media belajar. Di NegaraNegara lain Model pendidikan alternative ini sudah dikembangkan dan dibuktikan lebih berhasil ketimbang pendidikan formal (di Indonesia yang ini coba dipelintir seakan-akan pendidikan formal diatas segala-galanya. Namun ada beberapa kelompok yang mulai menggalakkannya) Ada beberapa contoh pendidikan alternative di sini, misalnya : Pelatihan Luar Ruang oleh perusahan-perusahan raksasa –Outbount Management Training—, sekolah lapang pengendalian hama terpadu, Sekolah Alam Ciganjur, Yayasan Ekowisata Indonesia, Adventure Indonesia, Outward Bound Indonesia, Adventure Sulawesi, Equalizer, training NGO berbasis kampung, kelompok belajar mandiri hutan, Junior Explorer dan masih banyak contoh lain yang tidak menggunakan institusi formal sebagai foundation. Penutup Pada kenyataan pendidikan yang terjadi selama ini sudah menyelewengkan arti hidup lebih pada formalitas keilmuan semata dengan jualan gelar dan title yang susah dipertanggungjawabkan secara moral keilmuan. Bersiaplah dengan kreatifitas untuk system pendidikan yang bertanggunggugat dan mandiri. Disadari atau tidak, ciri utama kehidupan saat ini adalah perubahan yang sangat cepat, paradigma yang dianggap mapan oleh banyak Negara ternyata tidak bisa bertahan dan ketinggalan zaman. Perubahan dari saat ini ke esok sangat tidak terpolakan, tak bersifat linier.
Ngaasan-Edisi II-AGUSTUS 2005
Akhir millinium ke dua, orang memprediksi Asia akan menjadi pusat perdagangan dunia, dengan pertumbuhan ekonomi di atas 7%. Tanpa diduga ekonomi Asia tersungkur dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang mendekati nol atau bahkan minus. Contoh yang tak bisa dipungkiri, gemilang masa silam sama sekali tak menjamin sukses masa depan. Itulah mengapa Indonesia gagal dengan sistem yang reaktif, menunggu dan menghidari resiko demi mempertahankan status-quo dan merasa tabuh meninggalkan neraka orde baru. Kemiskinan bukan berarti ketiadaan harta benda saja. Kalau boleh dikata Indonesia saat ini miskin konsep dan coba mengekalkan serta menganggap suci sistem yang sudah usang dan bau kentut. Sistem ini sudah terbukti gagal!!! Tiba masa dimana Indonesia harus proaktif dan toleransi atas ketidakjelasan yang terjadi akibat perubahan dengan tingkat turbulensi tinggi. Shariati, sosiolog Iran, mengemukakan ciri seorang manusia sejati 1.) Kesadaran diri. 2.) Keinginan untuk bebas, dan 3.) Kreativitas ! . Jadi Kreativitas, adalah salah satu cirri seorang manusia sejati ( becoming people ), manusia yang memiliki sifat mikrokosmos dari Tuhan Yang Maha Pencipta. Kreativitaslah yang telah mengantarkan tokoh-tokoh besar membuat perubahan pada dunia, membawa Eropa dari zaman kegelapan di era pertengahan menuju pencerahan di era renaissance. Mengutip Abraham Maslow , Kreativitas merupakan sebuah wujud nyata dari aktualisasi diri manusia. Dimana aktualisasi diri adalah kebutuhan yang memiliki tingkatan tertinggi dari lima kebutuhan manusia (psikologis, keamanan, cinta, rasa memiliki dan dihargai, dan aktualisasi diri). Dan ketika kita telah merasa butuh aktualisasi diri itu artinya kita telah menjadi manusia. Dari pendapat dua tokoh besar di atas, kita dapat mempertanyakan diri kita sendiri. Sejauh mana upaya kita untuk mengaktualisasikan pendidikan yang bermutu dan tepat guna. Sejarah formalitas ilmu sudah bukan zamannya lagi. Dari poros ini seharusnya manusia Indonesia berkaca untuk membangun keseluruhan nilai bagi pendidikan berbangsa dan bernegara. Pendidikan dalam arti yang sesungguhnya adalah kata kunci untuk hari ini dan tak mengenal akhir, dilakukan secara sadar untuk menyelaraskan kepribadian dalam keberagaman nilai. 2 5
TILIK UTAMA
Ngaasan-Edisi II-AGUSTUS 2005
Pendidikan Bukan Sekadar Status Oleh: Veldy Umbas
H
ari-hari gelap penuh kepekatan awan metafisis atas dunia kononisme yang terus berputar-putar mengelilingi kutukan pendidikan kita, adalah hari yang layak diakhiri bersama hadirnya kecerahan (:habis gelap terbitlah terang?) dari matahari hati yang benderang pada indera dan nurani yang sesadar-sadarnya belajar tentang hidup. Sayang, makna belajar; di Indonesia bernama institusi pendidikan nasional, sebagai mesin pemerintah yang tidak semata berkepentingan pada proses belajar itu sendiri, malah membiarkan terjadi pembodohan, penindasan, dan bahkan melegitimasi sentralisme (seperti model kurikulum yang centralistis) kekuasaan. Pendidikan waktu itu, bersama-sama dengan mesin politik rezim orde baru, mendirikan ideologi penguasa yang pada intinya memberangus kemampuan berpikir, berdialetika, berdiskursus, berdiskusi dan apalagi berepistemologis dengan menetapkan kurikulum berbasis kebenaran tunggal mutlak yang tak dapat dikritisi karena sakral (pancasila, p4, dan masih banyak cerita sejarah bohong yang dibukukuan oleh P&K). Sekarang rezim itu telah dikebumikan beberapa tahun silam. Namun, tradisi sentralisme pendidikan terus mendarah daging, hingga ketika zaman terus berputar dan kualitas pendidikan kita diuji, mucul pula kerancuan baru dengan hal-hal yang bernama UAN. Dengan ukuran-ukuran subjektif seperti itu, menteri pendidikan telah berkilah atas nama kualitas, indikator pendidikan ditanggungkan pada capaian nilai kuantitatif sumber daya manusia, sebagaimana maksud penyelenggaraan pendidikan di tanah air kita. Dengan kurikulum yang centralistik, para manusia peserta didik itu telah dituntut untuk menjadi penghafalpenghafal tangguh, tanpa ada hubungan jelas antara hapalan dan masalah hidup yang jelas menjadi masalah utama manusia peserta didik itu. Lalu, apakah angka kuantitas itu akan kemudian menentukan nasib jutaan peserta didik yang dengan terpaksa menjadi peserta pendidikan itu? Padahal dunia belajar adalah ruang dimana, kehidupan itu diurai, dibicarakan, direncanakan dan ditindaklanjuti. Sehingga, peserta didik kemudian menjadi cerdas dan
kreatif menghadapi masa-masa sulit kehidupan yang makin materialistis ini. Mestinya dunia belajar (:baca pendidikan), adalah dunia mempersepsikan ide, bukan sebatas ingatan dan hapalhapalan, seperti yang dilakukan oleh anak-anak sekolah saat mengikuti berbagai ujian sekolah seperti UAN. Itulah pula mengapa paradigma pendidikan Indonesia tampak seperti kurikulum koran, yakni membaca, menghapal, dan memahami berita apapun yang ditulis wartawan. Tak heran pula kalau pembicaraan-pembicaraan keseharian didominasi oleh judul-judul headline koran, tak ubahnya kurikulum pendidikan yang menguasai otak setiap lulusan anak didik sekolah di bawah depdikbud. Belum lagi kualitas pendidikan perguruan tinggi yang berkualitas diktat. Semata pendidikan dinilai sebagai kerajinan tangan (handycraft) yang menjadi murah saking menjamurnya perguruan tinggi dengan segala macam penjurusan yang ada. Itukah pendidikan yang hendak kita capai? Jelas, ini hanya menambah daftar panjang penyakit sosial dengan kepala-kepala yang terisi dengan teorema hasil ketimbang proses melakukan dan mencapai kualitas itu~pola pikir bahwa menjadi sarjana, dapat pekerjaan, bla...bla...bla... dan sejahtera. Biasanya jalurnya adalah menjadi budak-budak pemilik modal yang ngantri di setiap loket-loket pembukaan pencarian kerja di kantor departemen tenaga kerja (heran juga ada departemen yang kerjaannya mirip broker), sementara BLK-BLK membusuk dimakan rayap. Padahal, di tahun-tahun silam, kita pernah mengerti betul bahwa pendidikan itu merupakan sebuah proses belajar; dari tidak mengerti menjadi mengerti, dengan tingkap-tingkap kesadarannya mengkreasi sebuah perubahan untuk sebuah azas manfaat bagi kehidupan manusia. Itulah proses belajar, ketika Indonesia belajar teknologi satelit, muncullah satelit Palapa yang mengorbit di angkasa Indonosia pada awal tahun 1980an. Tapi sepuluh tahun kemudian Korea Selatan yang belajar teknologi satelit dari Indonesia, kini muncul dengan teknologi komunikasi seperti telpon cellular yang kini menjajah pasar telekomunikasi Indonesia. 6
TILIK UTAMA
Sementara Jepang yang sudah lebih dulu ambruk oleh bom atom Hirosima Nagasaki, bangkit setelah berinvestasi jor-joran di dunia pendidikan untuk menguasai teknologi mutakhir, lahirlah industri raksasa di bidang otomotif dan elektronik. Thailand yang sadar belakangan setelah Indonesia sempat menjadi salah satu raksasa rapuh ekonomi Asia, langsung melakukan jor-joran pada bidang agrikultur, dan lihatlah produk-produk pertanian, baik beras sampai kentang goreng made in Thailand bertebaran di rak-rak supermarket Indonesia. RRC yang konon Negara Komunis malah menyedot besar sekali uang proletar rakyat Indonesia dengan kredit-kredit mochin (motor china). Sayang, pendidikan kita masih pada menghasilkan tenaga-tenaga pengamat (pengamat politik, pengamat bola, bahkan pengamatnya pengamat). Dan kalau ada yang salah, harusnya paradigma pendidikan kita; ‘sedikit tahu tentang banyak hal, harus segera direvisi dengan banyak tahu tentang sedikit hal.’ Belum lagi dengan minimnya anggaran pendidikan yang berdampak langsung pada kwalitas pendidik itu sendiri. Seluruh perangkat pendidik, lembaga pendidikan, guru, dosen dan penyelenggara pendidikan itu sendiri, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sebuah kondisi objektif pendidikan kita. Bahwa, capaian kualitatif akhirnya juga berbenturan dengan masalah teknis kesejahteraan penyelenggara pendidikan. Di sini nampak jelas mengapa sekolah-sekolah yang dikelola swasta relatif lebih bermutu ketimbang kebanyakan sekolah negeri; jawabannya adalah biaya pendidikan itu sendiri. Jelas pengelolaan swasta yang mengabil untung setinggitingginya, mendapatkan dana untuk mengongkosi pengelolaan pendidikan yang bermutu, sebaliknya, sekolah dan perguruan tinggi lainnya harus berharap dari subsidi, sehingga
Ngaasan-Edisi II-AGUSTUS 2005
penyelenggaraannya pun berharap banyak dari ada tidaknya suntikan dana itu. Sehingga muncullah berbagai sesat pikir seperti; seolah-olah sekolah yang mahal menjaminkan kwalitas pendidikannya. Sesat pikir yang lain adalah, bahwa pendidikan formal adalah jalur yang tepat untuk menyelesaikan masalah kesejahteraan. Pada kenyataannya, pasar tenaga kerja relatif lebih sedikit dibanding dengan jumlah lulusan yang dihasilkan. Sehingga ketimpangan ini pun menyebabkan antitesis pernyataan diatas dengan sebuah persepsi baru, “percuma saja menyekolahkan anak tinggi-tinggi, toh juga jadi pengangguran.” Anggapan itu harusnya menjadi cambuk bagi lembaga-lembaga pendidikan formal yang ternyata belakangan perlu melakukan evaluasi dan rethinking lagi. Kenyataannya yang mampu bersaing di pasar kerja adalah mereka yang memiliki keahlian di bidang tertentu. Kata keahlian sendiri tidak identik dengan tingginya tingkat pendidikan, tapi justru pada jelas dan berkualitasnya penjurusan sebuah pendidikan. Dus, tampaknya, terlalu banyak hal yang harus kita perhatikan dan benahi dalam sistem pendidikan nasional kita. Apakah melulu kita akan menganggap pendidikan itu sebagai simbol-simbol status sosial semata, atau kita mulai memberi bobot dengan mulai menerapkan paradigma pendidikan, “banyak tahu tentang sedikit hal, dari pada sedikit tahu tentang banyak hal.” Sembari kita memperkuat wilayah pendidikan informal sebagai pendidikan alternatif yang tepat sasaran, maka, sejatinya, kita semua harus segera memulai sebuah babakan baru dari apa yang mestinya menjadi penentu masa depan bangsa yang bernama: belajar (sumekolah). 2 7
Ngaasan-Edisi II-AGUSTUS 2005
FOKUS
QUO VADIS TOU MINAHASA Oleh: Bert Tua’ Supit
T
erlebih dahulu saya mau kemukakan, bahwa dalam kalangan kita sendiri masih hidup berbagai pendapat tidak tepat mengenai Tou Minahasa, dan dengan sendirinya mengenai perkembangan dan pemberdayaan Budaya Minahasa. Ada saja yang berpendapat bahwa alat identifikasi status dan keberadaan Tou Minahasa adalah Agama Kristen. Ada pula yang mengira bahwa Tou Minahasa yang berada di Tanah Minahasa, baik dalam arti geografis maupun dalam arti wilayah pemerintahan (kota dan kabupaten) adalah identik dengan seluruh rakyat dari wilayah-wilayah yang bersangkutan. Karenanya mereka menganggap bahwa objek pengembangan dan pemantapan Budaya Minahasa adalah Rakyat Minahasa dalam keseluruhannya...Pemikiran yang absurd! Bahwa kita sebagai Tou Minahasa, dimana pun kita berada, wajib mengklaim Tanah Minahasa sebagai Tanah Adat Tou Minahasa, itu tidak berarti bahwa kita pun dapat mengklaim bahwa Rakyat Daerah Minahasa dalam keseluruhannya adalah indentik dengan Tou Minahasa ada pula mengklaim bahwa Tou Minahasa sama dengan Orang Kristen. Harus diketahui bahwa pada saat ini, Tanah Minahasa sudah dihuni oleh berbagai Suku. Kita tidak mempunyai otoritas menjadikan seluruhnya, dengan segala segi positif dan negatifnya, sebagai obyek pemantapan budaya Minahasa. Bila pemikiran-pemikiran yang tidak tepat itu, tidak ditertibkan, tugas dan usaha kita akan mengalami kesemrawutan. Malahan akan layu sebelum berkembang. Sebab pemikiran-pemikiran itu di satu pihak mengandung unsur-unsur pengucilan dan usurpasi di pihak lain. Karenanya kita harus mempelajari dengan seksama perkembangan Sejarah dan Budaya Minahasa berabad lamanya. Dalamilah Adat Kebiasaan/Hukum Adat Minahasa, yang sedari dulu merupakan alat operasional dan identifikasi Budaya Minahasa, dengan memperhatikan bahwa walaupun budaya itu mempunyai sifat merubah dan berubah yang sangat besar, banyak elemen budaya tua tetap hidup sampai saat ini. Malahan ada yang kini berkembang subur. Kiranya karena ditantang oleh pola budaya bangsa saat ini yang tidak menentu, mengandung unsur-unsur ketidakpastian akan hari esok. Suatu perkembangan alami. Elemen-elemen budaya tua memang tidak mungkin hilang secara menyeluruh. Dapat saja terjadi bahwa diantarannya sudah kurang diperhatikan oleh sekelompok orang, tapi hilang/mati secara menyeluruh pasti tidak akan terjadi. Budaya Minahasa memang telah mengadaptasi malahan mengadopsi dan mengakomodir banyak elemen budaya luar. Teristimewa budaya Barat/Kristen. Tapi kita tidak dapat
mengidentifikasikannya dengan budaya luar manapun. Tapi dapat mengidentifikasikannya dengan budaya Kristen. Apapula karena sebagian Tou Minahasa, tidak menganut agama Kristen. Embrio budaya Minahasa adalah budaya berbagai komunitas yang bebas dan mandiri. Tersebar diseluruh tanah Minahasa dengan berbagai sifat, warna dan varian yang diwariskan. Komunitas-komunitas yang disebut Walak. Suatu kesatuan teritorial dan genealogis. Seiring dengan perkembangan zaman budayabudaya Walak telah tumbuh berkembang menjadi suatu kesatuan budaya yang besar, yakni Budaya Minahasa sebagaimana ia dikenal saat ini. Kesatuan budaya itu dapat tercipta karena dalam Walak manapun hidup “moral forces” yang mempunyai daya pemersatu yang sangat tangguh. Antara lain, suatu falsafah hidup, dan keyakinan akan adanya satu garis keturunan dan persamaan darah, dari anggota Walak manapun. Falsafah hidup itu, jelas terekspresi dalam lembaga Mapalus. Yakni “kebebasan, pula kekhususan : Tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Merupakan “integrated whole”. Suatu falsafah hidup yang menghormati dan menjunjung tinggi kebebasan dan kemandirian individu. Dilengkapi suatu sistem etika, yang tidak mengakomodasi kebebasan dan kemandirian absolut. Sekaligus menghormati kebebasan dan kemandirian individu dalam kebersamaan. Dalam kehidupan bersama. Dengan demikian ia dapat mengakomodir berbagai sifat, warna dan kekhususan Walak. Termasuk Agama dan kepercayaan. Disinilah letaknya kebesaran dan kunci kelanggengan Budaya Minahasa. Budaya manusia-manusia bebas dan mandiri dalam kebersamaan Bhineka Tunggal Ika dalam praktek; dalam kata dan tindakan. Suatu social force yang tangguh! Social force lainnya yang merupakan pula semen pemersatu dan soko guru, pengawal dan pemantap eksistensi Tou Minahasa sebagai satu kesatuan, adalah kepercayaan dan keyakinan bahwa Tou Minahasa, dari Walak manapun, kesemuanya mempunyai satu cikal bakal yang sama. Karenannya mempunyai garis keturunan dan darah yang sama. Berdasarkan keyakinan itu, Adat menentukan bahwa mereka yang mempunyai sekecil persentase bagaimanapun, darah Minahasa, ia adalah Tou Minahasa dan berhak memiliki tanah di Tanah Minahasa. Termasuk “orang luar” yang menurut Adat telah “menyatu badan” dengan pria ataupun perempuan Minahasa. Keyakinan dan ketentuan Adat ini, pada hakekatnya merupakan pula moral force yang tangguh dalam pemantapan eksistensi Tou Minahasa sebagai 8
FOKUS
suatu Nasion Satu Komunitas yang mempunyai tanah air sendiri. Sudah teruji berabad-abad lamanya. Tapi kini dengan perkembangan zaman, social forces ini kelihatan sedang mengalami erosi. Karenanya harus direvitalisasi. Menipis dan melemahnya moral forces itu terjadi melalui suatu proses. Mulai tampak di permukaan dalam Era Kemerdekaan Bangsa. Diiringi menipisnya ketangguhan berbagai social forces, yang di waktu lalu merupakan andalan eksistensi dan preeminensi Tou Minahasa. Seperti yang terdapat di bidang pendidikan dan SDM, ekonomi, birokrasi dan alat pengendali keamanan. Pokoknya hampir di seluruh bidang kehidupan sosial menipis akibatnya usaa konsolidasi sistem sentralisme yang tidak mempedulikan sepenuhnya cita ke bhinekaan. Sayangnya tidak diantisipasi, malahan tidak dipedulikan oleh Tou Minahasa. Karena sudah puas dan mepunyai percaya diri yang tidak-tidak, walaupun tidak lagi mempunyai dasar berpijak. Tou Minahasa berilusi dan mengira bahwa status pre-eminent di masa lalu akan tetap berlanjut tanpa perjuangan. Mereka anti terbangun dengan adanya Proklamasi 2 Maret 1957, yang memprogramkan Pembangunan Darah yang dipimpin oleh anak-anak Daerah. Atas dasar otonomi Daerah yang seluas-luasnya. Dengan demikian menekankan pula revitalisasi moral dan sosial forces yang sudah menimpis dan melemah. Sangat disayangkan bahwa usaha ini dirusak leh Pemberontakan PRRI yang pada hakekatnya telah mengakibatkan menguatnya pola budaya sentralistis yang dikendalikan oleh pemegang kekuasaan. Lebih para lagi oleh penghianatan G.30.S yang di Tanah Minahasa telah menciptakan suatu fenomena budaya dengan warna “tole makan tole”. Peminggiran serta perbudakan segolongan masyarakat Tou Minahasa yang belum pernah dikenal sebelumnya. Akhirnya pola budaya itu membawa Tou Minahasa terdampar di atas karang suatu elemen budaya Minahasa yang negatif, yakni budaya “ator jo”. Di mana, “ya” dapat berarti tidak dan sebaliknya. Tercipta karena usaha penyelamatan diri mereka yang terpinggir dan diperbudak, serta mereka yang telah berjasa dalam kosolidasi pola budaya yang berlaku. Mereka “maraju” karena bonus yang diharapkan, tak kunjung tiba. Malahan dipinggirkan dalam berbagai bidang, antara lain bidang ekonomi dan pimpinan pemerintahan, yang hanya terbuka bagi “orang-orang istana”, dan partai politik yang dikendalikan istana. Era reformasi yang membawa arus kebebasan, disambut olehsegelintir Tou Minaasa dengan berlombalomba mengklaim diri sebagai penyambug lidah rakyat. Tapi karena tidak mempedulikan perubahan dan struktur politik baru, tindakan mereka hanya berbau ABS. Tidak membebaskan diri dari cengkraman pola budaya peninggalan masa lalu. Karenanya hanya disambut dingin baik oleh penguasa yang dipuja, maupun oleh rakyat banyak. Kita tidak dapat menciptakan produk-produk budaya yang
Ngaasan-Edisi II-AGUSTUS 2005
dilahirkan zaman. Yang dapat merevitalisasi moral dan sosical forces yang sudah mulai tak berdaya. Malaham memberi angin kepada merebaknya, “kebebasan” tanpa penyekat tindakan yang tidak-tidak. Menuju pada sikap, “sapa lu, sapa gue.” Makanan empuk bagi segi negatif yang dibawa serta oleh globalisasi, yakni “konsumerisme yang tak terkendali”. “Zucht naar weelde” dan penumpukan uang dan kekayaan material walaupun melalui tindakan-tindakan kotor. Elemen-elemen budaya inilah yang mengemuka dalam era reformasi kini. Yang dapat merusak lebih para lagi moral forces yang kita mau kuatkan kembali. Kita harus menyetopnya atas dasar suatu konsep revitalisasi yang dapat disebut konsep Revitalisasi Budaya Minahasa. Dalam hubungan ini, kami menggaris bawahi pendapat Mosca yang antara lain menyatakan bahwa, “Keberadaan suatu nasion (sebagaimana halnya dengan kesatuan Tou Minahasa) akan hilang lenyap, bila moral forces yang sanggup menggalang dan mendisplinkan suatu kekuatan secara menyeluru, untuk mempertahankan kepentingan bersama, menipis, melemah dan tidak berdaya lagi. Tanpa diganti oleh yang lain.” Dengan kata lain, bila pemikiran, sentimen dan tindakan yang dapat menggalang kita menjadi suatu kekuatan yang tangguh, kehilangan pengaruh, gengsi dan wibawa. Tidak dapat memperhitungkan dan memperbanyak elemen-elemen budaya yang lahir dalam perkembangan zaman, yang pada hakekatnya merupakan moral forces tangguh. Satukanlah persepsi kita dalam membangun konsep penyelamatan dan jadikanlah ia sebagai pegangan dalam melaksanakan misi yang walaupun bersifat visioner tapi dapat diperasionalisasikan. Kita harus keluar dari pola budaya yang tidak menentu sekarang ini. Pola budaya yang masih terus berada dalam cengkeraman tragedi budaya masa lalu. Untuk itu, saran kami, agar, perbanyak kelompokkelompok diskusi, teristimewa dalam kalangan generasi muda. Tingkatkan SDM generasi muda agar dapat “main” di tingkat nasional maupun internasional. Perbanyak sanggar-sanggar budaya yang akan berfungsi sebagai mesin bagi motor pernggerak upaya kita. Untuk itu, temukanlah maecenas sebanyak mungkin dalam masyarakat Tou Minahasa. Berilah kepercayaan penuh bagi investor budaya untuk memimpin dan membimbing usaha kita. Manusia-manusia yang mempunyai kredibilitas sosial yang tinggi, pemikir dan pejuang yang dapat merasakan apa yang hidup dalam masyarakat, apa yang dikehendaki oleh Tou Minahasa. Pun dapat memproduksi produk-produk budaya yang dapat dilembagakan. Akhirnya, dalam segala usaha, marilah kita terus bahanakan MARS MINAHASA, disamping lagu yang cantik gemulai, lagu Whispering Hope. When the night is upon us, Why should our heart shink away. When the dark midnight is over, Watch for the breaking of day. Makapulu sama.2 9
FOKUS
Ngaasan-Edisi II-AGUSTUS 2005
STRATEGI KEBUDAYAAN MINAHASA SEBAGAI KAPITAL SOSIAL TOU MINAHASA Oleh : DR. Max G. Ruindungan
K
ajian atau lebih tepatnya analisis kebudayaan terhadap masalah-masalah pembangunan, apalagi menyangkut segi aktual kehidupan masyarakat seperti ekonomi, tenaga kerja dan kemiskinan, memang sangat dibutuhkan untuk mengungkap ketahanan sistem sosial budaya, adat dan kearifan lokal dalam menghadapi kepungan budaya kontemporter: konsumerisme, hedonisme yang dihasilkan oleh peradaban globalisme dan kapitalisme internasional yang merasuk dan mulai membongkar sistem dan tatanan budaya lokal yang sifatnya self contained Kebutuhan untuk menganalisis berbagai masalah “pembangunan” dari sudut pemikiran kebudayaan tidak semata-mata sebagai suatu domain nilai dan pengetahuan yang menghasilkan metode dan alat analisis tertentu, melainkan corak pendekatan berfikir kebudayaan yang lebih bersifat holistik merupakan strategi berfikir yang agaknya efektif untuk memberi eksplanasi yang cermat terhadap fenomena sosial. Dan hal ini sejalan dengan prinsip yang dianut dalam pemikiran kebudayaan bahwa tidak ada suatu sektorpun dalam kehidupan umat manusia yang dapat diisolasi (sekalipun hanya metodologis) dan ditempatkan sebagai sektor yang dependen ataupun independen terhadap sektor yang lain (Kleden, 1987: 8). Makalah ini sesuai tujuannya mencoba mendeskripsi upaya-upaya, sosok, dan mutu perilaku kehidupan, dan hasil-hasil perilaku sebagai proses kebudayaan, berdasarkan kerangka teori kebudayaan yang diajukan oleh Kuntjaraningrat dan St. Takdir Alisyahbana. Atas dasar deskripsi itu, dikemukakan pemikiran-pemikiran strategis mengenai bagaimana seyogyanya prospek kebudayaan dari segi arah, orientasi, kebijakan dan kearifannya berdasarkan kerangka strategi kebudayaan Galtung (1971) dan Soerjanto Poespowardojo (1989). Modernisme Minahasa dari perspektif wujud dan isi kebudayaan: Wujud kebudayaan Untuk keperluan analisis kebudayaan, Kuntjaraningrat mengajukan (1985) dua dimensi, yaitu dimensi wujud dan dimensi isi kebudayaan. Dimensi wujud meliputi (1) wujud sebagai suatu kompleks gagasan, konsep dan pemikiran manusia, (2) wujud sebagai suatu kompleks aktivitas, dan (3) wujud sebagai benda (hasil, produk). Apabila dimensi wujud kebudayaan ini dipakai untuk mengevaluasi dan menguji mutu pembangunan sebagai proses kebudayaan, maka muncul tiga issues budaya
pembangunan di Minahasa yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu: • Apakah gagasan-gagasan dan konsep kebudayaan sebagai infrastruktur pembangunan di Minahasa baik secara kualitatif maupun kuantitatif te-lah cukup memadai berdasarkan standar (nasional, dan internasional). Gagasan itu dapat meliputi sistem pengetahuan, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial (cq. sistem pemerintahan), agama, kesenian, dan bahasa. Apakah kita memiliki gagasangagasan ekonomi yang ung gul untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan; seberapa banyak dan bermutunya hasil-hasil riset perguruan tinggi di daerah ini dalam upaya pemulihan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat. • Apakah aktivitas-aktivitas, interaksi, dan relasirelasi sosial telah menunjuk-kan ukuran-ukuran mutu pelayanan, keteraturan, kelayakan, keharusan dan kepatutan sosial. Seberapa ber mutunya aktivitas-aktivitas pemerintahan dalam pelayanan publik sebagai aktivitas budaya telah menampilkan budaya kinerja yang efisien, efektif, dan produktif. • Apakah hasil-hasil karya budaya pembangunan baik secara individual maupun kolektif itu menunjukkan ciri-ciri yang bermutu, bernilai, bermakna, unggul dan memberi kepuasan. Apakah produk-produk pembangunan sebagai produk budaya, misalnya jalan, jembatan, gedung, dan berbagai sarana umum telah dikerjakan dengan benar, layak, dan patut sesuai dengan intensi, motivasi, dan syaratsyarat pembangunannya, etc. Isi kebudayaan Untuk menilai lebih lanjut seberapa jauh usaha-usaha pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan telah memajukan peradaban hidup masyarakat di tanah Minahasa, maka unsur-unsur isi kebudayaan dapat dipakai sebagai ukuran. Malinowski (1944) mengajukan 7 unsur isi kebudayaan, yaitu (1) bahasa, (2) sistem teknologi, (3) sistem mata pencaharian atau sistem ekonomi, (4) organisasi sosial, (5) sistem pengetahuan, (6) religi, dan (7) kesenian. Dengan menggunakan teori Ralph Linton (1936) tentang covert culture (kebudayaan yang tidak tampak), dan overt culture (kebudayaan yang tampak, kebudayaan fisik), maka Kuntjaraningrat (1985) membuat satu kerangka teoretis tentang kebudayaan sebagaimana dalam gambar 1 di bawah ini.
10
FOKUS
Ngaasan-Edisi II-AGUSTUS 2005
Visi pembangunan di Sulawesi Utara yang menjadi bagian dari sistem pemerintahan di Minahasa adalah “terwujudnya masyarakat Sulawesi Utara terdepan dalam peradaban, perdamaian, supremasi hukum, keadilan, dan kemakmuran, … “. Konsep peradaban dalam rumusan visi ini mengacu kepada istilah civilization yang dalam pengertian dasarnya adalah “masyarakat yang memiliki organisasi sosial yang tinggi, dengan kesenian, dan ilmu pengetahuan yang maju”
Dalam gambar ini, Kuntjaraningrat membuat tiga lingkaran konsentris yang mencakup semua unsur isi kebudayaan. Lingkaran yang berada di pusat atau inti adalah sistem budaya (kebudayaan yang tidak tampak). Lingkaran kedua adalah sistem sosial, dan lingkaran ketiga adalah kebudayaan fisik.
Tentang peradaban Visi pembangunan di Sulawesi Utara yang menjadi bagian dari sistem pemerintahan di Minahasa adalah “terwujudnya masyarakat Sulawesi Utara terdepan dalam peradaban, perdamaian, supremasi hukum, keadilan, dan kemakmuran, … “. Konsep peradaban dalam rumusan visi ini mengacu kepada istilah civilization yang dalam pengertian dasarnya adalah “masyarakat yang memiliki organisasi sosial yang tinggi, dengan kesenian, dan ilmu pengetahuan yang maju”. Konsep peradaban dalam konstelasi kebudayaan sebagaimana usul Kuntjaraningrat (1985: 107) adalah “unsur-unsur kebudayaan yang maju, tinggi, dan halus”. Dengan demikian peradaban masyarakat Minahasa yang dimaksud dalam visi adalah kehidupan masyarakat yang maju, tinggi, dan halus dalam bahasa, sistem teknologi, sistem pengetahuan, sistem ekonomi, organisasi sosial, agama, dan kesenian. Sosok Pembangunan di Minahasa dari perspektif nilai-nilai budaya Pendekatan lain untuk memeriksa dan menilai sosok pembangunan sebagai proses kebudayaan di Minahasa adalah dengan menggunakan perspektif nilai budaya. Takdir Alisjahbana (1985), yang sering berbeda dengan Kuntjaraningrat, dengan mengacu kepada teori nilai Edward Spranger, mengemukakan bahwa kebudayaan itu yang bergerak kepada dua arah, yaitu arah progresif dan arah ekspresif tidak lain adalah
penjelmaan dari nilai-nilai teori, nilai ekonomi, nilai agama, nilai seni, nilai kuasa, dan nilai solidaritas. Nilai teori dan nilai ekonomi merupakan nilai yang mendorong budaya progresif, sedangkan nilai agama dan nilai seni mendorong budaya ekspresif. Kerangka teori nilai budaya ini sesungguhnya dapat dipakai untuk menilai dan mengungkap profil kebudayaan pembangunan di Minahasa, baik dari segi kualitas, intensitas, karakteristik, suasana, gaya, dan tipologi kebudayaan. Ada kemungkinan dua tipos kebudayaan progresif yang dikuasai oleh nilai teori/ilmu dan nilai ekonomi yang secara bersama dapat menciptakan teknologi yang dahsyat, pertumbuhan ekonomi yang tinggi ataupun kedua-duanya, tetapi mempunyai orientasi yang berbeda dalam nilai kuasa, dan nilai solidaritas. Yang satu mungkin cenderung diktatorial yang dikuasai oleh nilai kuasa, yang lain cenderung demokratis yang dikuasai oleh nilai solidaritas.
Selanjutnya kemungkinan dua tipos kebudayaan ekspresif yang muncul yang dikuasai oleh nilai agama dan nilai seni yang dapat menimbulkan suasana kehidupan masyarakat yang amat kental dengan simbol-simbol agama dan kesalehan, atau suasana kehidupan yang amat diwarnai oleh simbol-simbol kesenian yang tinggi. Kedua tipos kebudayaan ekspresif itu juga mungkin cenderung diktatorial ataupun demokratis sesuai dengan kuat lemahnya orientasi nilai kuasa dan nilai solidaritas.
11
FOKUS
Ngaasan-Edisi II-AGUSTUS 2005
Evaluasi reposisi strategi kebudayaan sebagai modal sosial di Minahasa Pada bagian akhir makalah ini dikemukakan sebuah usul evaluasi untuk melihat prospek dan reposisi strategis kebudayaan di Minahasa. Apabila kita sepakati bahwa strategi pembangunan yang telah kita rumuskan dalam berbagai dokumen perencanaan (Pola dasar, Propeda, dan Renstra) sebagai strategi kebudayaan, maka kita memang memerlukan evaluasi kebudayaan yang sementara kita jalankan dan lakoni pada tahun 2002 ini. Pertanyaanpertanyaan yang dapat kita ajukan seyogyanya mengacu kepada tiga wujud kebudayaan, yaitu: gagasan, aktivitas, dan hasil/produk. Pertanyaan-pertanyaan itu juga perlu dilanjutkan dengan dimensi isi kebudayaan, yang meliputi (1) bahasa, (2) sistem teknologi, (3) sistem mata pencaharian atau sistem ekonomi, (4) organisasi sosial, (5) sistem pengetahuan, (6) religi, dan (7) kesenian. Di samping itu perlu pula dievaluasi kualitas, kekuatan, dan ketangguhan tiga basis kebudayaan, yaitu basis material, basis sosial, dan basis mental kebudayaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan manusia dan perkembangan kebudayaan (Kleden, 1987: 9). Atas dasar itu dirumuskan strategi kebudayaan untuk mewujudkan masyarakat di Minahasa terdepan dalam peradaban, …… etc. Strategi kebudayaan itu dengan menggunakan model Soerjanto Poespowardojo (1989: 30) seperti yang dikemukakan pada gambar di bawah ini, berupaya meminimalisasi kekerasan yang bersifat dystopia dan memaksimalisasi perkembangan secara utopis.
Untuk mewujudkan peradaban yang sejati ada dua nilai kebutuhan dasar pada individu yang menjadi basis pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan diri, yaitu nilai kebutuhan pemilikan (having) dan nilai kebutuhan keberadaan (being). Orientasi pelaku adalah (1) pertumbuhan ekonomi dan (2) pertumbuhan diri. Selanjutnya orientasi struk-tur adalah (3) solidaritas bangsa, (4) partisipasi rakyat, (5) pemerataan, dan (6) otonomi. Sedangkan interaksi antara pelaku dan struktur adalah (7) keadilan sosial, (8) keamanan, dan (9) keseimbangan lingkungan. Bagaimana posisi masing-masing nilai yang harus direalisasi dalam transformasi sosial itu dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Model ini mengusulkan bahwa untuk menemukan dan memajukan peradaban yang sejati maka transformasi sosial, ataupun “reformasi” dalam wacana politik kebu-dayaan, semestinya menjadi strategi kebudayaan untuk meminimalisasi kekerasan yang bersumber pada orientasi pelaku, orientasi struktur, dan interaksi antara pelaku dan struktur. Johan Galtung (1971) menawarkan satu strategi kebudayaan yang berorientasi kepada pelaku (aktor) dan struktur, serta interaksi antara keduanya.
referensi :
Untuk mencapai peradaban sejati maka perlu meminimalisasi kekerasan pada orientasi pelaku, yaitu 1. kemiskinan/kesengsaraan 2. alienasi Pada orientasi struktur, yaitu 3. fragmentasi 4. marginalisasi 5. eksploitasi 6. penetrasi pada orientasi pelaku dan struktur 7. ketidak adilan 8. ketidak-amanan 9. ketidak-seimbangan lingkungan
Galtung, Johan. 1971. A Structural theory ofiImperialism. Journal of Peace Research, Vol.2. h. 81-117. Kleden, Ignas. 1987. Berfikir strategis tentang kebudayaan. Prisma, No. 3 tahun 1987 h. 3-8 ; Kuntjaraningrat 1985. “Persepsi tentang kebudayaan nasional”. Dalam Alfian, 1985. Persepsi masyarakat tentang kebudayaan”. Gramedia: Jakarta; Linton, R. 1936. The Study of man, American Book. Newy York. Malinowski, B. 1944. A Scientific theory of culture and other essays, University of NorthCaroline, Chapel Hill. Soerjanto Poespowardojo. 1989. Strategi kebudayaan, suatu pendekatan folosofis. Gramedia: Jakarta.Takdir Alisjahbana. 1985. “Pembahasan Sutan Takdir Alisjahbana terhadap persepsi tentang kebudayaan nasional Kuntjaraningrat”. Dalam Alfian, ed. 1985. Persepsi masyarakat tentang kebudayaan. Gramedia: Jakarta.
2
12
Ngaasan-Edisi II-AGUSTUS 2005
FOKUS
Who Killed the Bentenan Golden Goose? Oleh Prof. W.J.Waworoentoe To think is a defining property of thought To be intelligent is not merely to satisfy criteria But more important to apply them To regulate one’s action and not merely to be well regulate (lake good governance) Reason should direct and appetite obey (only for not so hungry scientists) # Pre colonial assumption and colonial assimilation # Post colonial continuities and (post)modernism Pre colonial Indonesia certainly covers a very wide cultural spectrum of conditions and possibilities. Not much is known about the particular social and culture condition in Minahasa or Northern Sulawesi. The paradigm runs from a rather poor primitive early developmental stage, to a more advanced pragmatic outlook usually associate with some modern attitudes. A rather comprehensive view or outlook we can see in the following statement by Ratu Langie which he expressed in ‘Het Minahassisch Ideaal”. “Saya tidak akan mempermasalakan apakah keberadaan bangsa kami disukai atau tidak, karena itu adalah permasalahan teoretis. Bagi saya dan bangsa saya, sudah jelas bahwa kami memiliki hak untuk eksis. Jadi tugas kami adalah bagaimana menjamin eksistensi bangsa Minahasa ini, dan sedapat mungkin memperkecil penetrasi asing. Kami (akan) berusaha untuk merumuskan suatu tujuan yang sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan rakyat kami dalam menjalankan tugas tadi.dan agar usaha-usaha kami dapat diterima dan dihargai, kita perlu mengenal hal-hal yang mendasarinya, yaitu posisi Minahasa selama ini terhadap Negara-negara sekitarnya.” (dikutip dari Het Minahassisch Ideaal – door G.S.S.J. Ratu Langie, dalam Voordrachten en mededeelingen Indische Vereeniging, 28 Maart 1914 ‘sGravenhage. WDMeinema Hipolitasbuurt, Delft. Diterjemahkan oleh Alfa Supit, mahasiswa kedokteran UNSRAT) # Cloth Comfort and Contextual Compatibilities. Or # Possible futures for fine Minahasan hand-weavings. Augusta de Witt provides us with some intrigueing but also very clear images of such (colonial) life in Java during the early part of this (last) century : “It is the North which has introduced tight fitting clothes and high houses.” For the more purpose to show that some kind of assimilation had taken place in Minahasa during three centuries, above analysis should be sufficient. The problem seem to be however, how and what actually this cultural assimilation implied, not only for the colonizer but also for the colonized native. It is not enough to recognize the beauty, comfort and substantiality of the (house) dresses of colonial times. Colonial times were then mainly a period of cultural interface, then it seems that this period was first beneficial for the colonizer since essentially he would adapt to local tropical condition, while the native might also gain but not quite in the some way, there was no adaptation but simply an acceptance of new and very often very inappropriate ways of living. As Eric Hoffer said : “Contrary to what one would expect, it is easier for the advanced to imitate the backward and the weak see in the imitation an act of submission and a proof of their inadequacy. They must
rid themselves of their sense of inferiority, must demonstrate their prowess, before they will open their minds and heart to all that the world can teach them.” “Most often in history it was the conquerors who learned willingly from the conquered. The backward says de Tocqueville, “ will go forth in arms to gain knowledge, …but will not receive it when it comes to them.” A Prince who is not himself wise, cannot be well advice, Good advice, whomever it comes from, simply depends on… The shrewdness of the Prince who seek it. (Nicole Machiavelli) First of all there should be a return or revival of traditional values (which are still valid – which is logic, how can a value be invalid) In a way this is denouncing meaningless imitation, approximately comes to the essence of vernacularism. (see the definition of Vernacular Value – Schumacher Lectures, …a slave born in his master house) The last thirty (or now fifty) years have given us four of five major attempt to designate analogues for goods and service, which are not generated within the present (conventional) economic system. We oppose social production to economic production; with Polanyi we oppose pre market traders to traders commodities 6. We speak about use value which are pure, in contras to exchange value, which sometimes also have use value for the ultimate receiver – or consumer – o them. For each one of these highly technical terms to designate that which we do without being paid for, and without the intent to exchange it, that which we and other around us value without ever having destined it for the market – for these values we have words such as use value, home economy, and finally in the true Polanyi tradition, non marketable trading. War’s vielleicht auf Regentstreet In den sonning gelben Armen Jener schlanken Javanesin Die bestaending Blemen kaute (Heinrich Heine) (……Ach niccht durch Untersuchungen ueber die ‘ware Mata Hari’ Mata Garbo, Mata Marlene, Mata Moreau, tanzenund sterben immer noch aufdergroszen Leinwand der kollektiven Erinnerung.”) Heinrich Seemann Indonesien in der deutschen Geisteswelt. Von Ghote bis EmilNolde Jakarta 1996 Jadi hikmah penelusuran kami tentang ‘punahnya’ kain Bentenan, mungkin sukar ditemukan asal-usul sebenarnya dan hal ihwal kepunahannya. Tetapi if we now still believe in the legend of the golden goose, why not keep the legend alive, while pragmatics such as reason should direct and appetite obey, will be our present lesson. Barangkali memang kita masih membutuhkan suatu memorandum teknis yang jauh lebih strategis dan ampuh, namun itu bukan tujuan utama dari ulasan ini sekarang. Killing me softly…. With a last sigh by the now legendary Bentenan Golden Goose Tomohon 2005 2
13
SIKAP
Ngaasan-Edisi II-AGUSTUS 2005
Menyimak Sejarah Tombatu di Wanua Kali oleh: Denni Pinontoan
M
emasuki Wanua Kali, kecamatan Tombatu, tidak terkesan sesuatu yang istimewa. Wanua itu, sepintas serupa dengan wanua-wanua lain yang ada di Tanah Minahasa. Rumah-rumah panggung khas Minahasa, beberapa di antaranya kelihatan berdiri kokoh. Tapi banyak juga rumahrumah yang bermodel modern dengan semen, batu, pasir dan besi sebagai bahan bakunya. Tampak sejumlah gereja dengan menaranya yang menjulang tinggi, seakan-akan telah menggapai awan berdiri kokoh menghiasi wanua itu. Para ibu sibuk dengan urusan rumah tangganya, tapi juga ada yang kelihatan baru pulang dari kebun. Para suami, ada yang kelihatan masih sibuk dengan pekerjaan rutinnya. Anak-anak kecil riang bermain di halaman rumah. Wanua Kali, dapat ditempuh dengan sepeda motor lebih kurang 10 menit dari ibu Kota Kecamatan Tombatu., dengan ongkos Rp. 2.000 per orang. “Tidak terlalu jauh jaraknya,” kata seorang tukang ojek. Jika dari Tombatu, kita menuju ke wanua Kali, di salah satu lokasi kita akan menyaksikan pemandangan danau Bulilin, yang tenang laksana seorang yang sudah uzur. Menurut cerita warga setempat danau Bulilin menyimpan sejumlah sejarah terkait dengan terbentuknya sub etnis Tombatu itu. Siapa yang tahu, kalau ternyata salah satu sub etnis di Minahasa itu, dulunya pernah mengenal sistem kerajaan. Adalah sejarahnya orang-orang Toundanow atau Tonsawang atau juga Tombatu yang mengisahkan itu. Cerita turun temurun di sub etnis itu meyakini bahwa di zaman penjajahan bangsa Spanyol (bangsa ini disebut orang setempat dengan Tasikela) pernah hidup seorang pemimpin perempuan yang mereka sebut Ratu Oki. “Memang di sini dulu pernah bertakhta seorang pemimpin perempuan yang warga setempat di sini menyebutnya Ratu Oki,” kata Opa Ellon Pongulu, lelaki berusia 80 tahun yang dirujuk oleh Hukum Tua wanua Kali untuk mencari tahu tentang sejarahnya Ratu Oki dan Tombatu tersebut. Opa Ellon yang pernah menjabat Ketua Jemaat GMIM “Kalvari” Kali ini menceritakan, sebelum terbentuknya sub etnis Tombatu dan wanua-wanuanya, daratan yang menjadi pemukiman sekarang adalah danau. “Tombatu ini, dulunya, menurut cerita yang diturunkan kepada kami oleh para tuatua ditutupi oleh air danau Bulilin. Saya pikir itu memang benar adanya, karena sisa danau yang telah mengecil tersebut masih ada hingga sekarang, yaitu danau Bulilin,” kata Opa Ellon yang ditemui di kediamannya di wanua Kali. Selain danau Bulilin, ada juga danau-danau kecil lainnya di Tombatu. Selain keadaan geografisnya yang dikitari oleh sejumlah gunung dan perbukitan, danau-danau kecil yang terdapat di sejumlah wanua di sub etnis Tombatu, memperkuat kepercayaan mereka bahwa daratan yang didiami sekarang dahulunya adalah danau. Di wanua Kali, selain danau Bulilin, ada juga danau Sosong dan Kasah. Sementara di wanua Silian ada danau Kawelaan. Danau-danau ini sangat terkait dengan kisah terbentuknya daratan Tombatu. Danau Bulilin, dulunya adalah danau besar yang meliputi Tombatu, wanua Silian, wanua Kali dan wanua Kuyanga. “Danau Bulilin menjadi kering sehingga berubah
menjadi daratan untuk bisa menjadi lokasi pemukiman adalah usaha dari Dotu Lelemboto. Ia membuat semacam parit atau juga terowong besar di wanua Kuyanga sebagai tempat keluarnya air danau Bulilin,” jelas Opa Ellon. Kisah tentang Ratu Oki, sangat dekat di kalangan warga setempat. Ratu Oki adalah seorang pemimpin perempuan yang pemberani. Dia gigih memimpin perang melawan penjajah Spanyol atau orang-orang Tasikela itu. “Bukti sejarahnya masih ada hingga sekarang. Di atas bukit itu (sambil menunjuk ke sebuah bukit) ada Batu Lesung. Kami di sini, lewat cerita turun temurun, mengerti itu sebagai tempat mencuci tangan dan kaki Ratu Oki,” kata Opa Ellon. Bersama Hukum Tua kali Yunus Tiouw ( 52 thn) kami kebetulan sebelumnya sempat mengamati Batu Lesung yang dimaksud Opa Ellon. Batu lesung itu berada di sebuah bukit yang jaraknya kira-kira 300 meter dari perkampungan. Batu lesung itu, berdiameter 50 cm. “Warga yang ke kebun kadang menggunakan batu lesung ini sebagai tempat menggosok peda (parang – red), sehingga bentuknya tidak teratur seperti ini,” kata Tiouw sambil meraba-raba batu lesung tersebut yang permukaan pinggirnya tidak lagi rata. Menariknya, di dalam batu lesung tersebut terdapat air, yang menurut Tiouw, tidak pernah kering meski musim kemarau berkepanjangan. “Menurut cerita, dari dahulu, batu lesung ini memang ada airnya. Di sinilah Ratu Oki mencuci tangan atau kakinya,” jelas Tiouw. Kiprah Ratu Oki dalam panggung sejarah anak suku Tombatu, menurut P.A. Gosal, dkk dalam makalah mereka berjudul Ringkasan Sejarah Toundanow-Tonsawang yang disampaikan pada Musyawarah Kebudayaan Minahasa (2728 Juli 1995 di Auditorium Bukit Inspirasi Tomohon) berkisar di tahun 1644 sampai 1683. Waktu itu, terjadi perang yang hebat antara anak suku Tombatu (juga biasa disebut Toundanow atau Tonsawang) dengan para orang-orang Spanyol. Perang itu dipicu oleh ketidaksenangan anak suku Tombatu terhadap orang-orang Spanyol yang ingin menguasai perdagangan terutama terhadap komoditi beras, yang kala itu merupakan hasil bumi andalan warga Kali. Di samping itu kemarahan juga diakibatkan oleh kejahatan orang-orang Spanyol terhadap warga setempat, terutama kepada para perempuannya. Perang itu telah mengakibatkan tewasnya 40 tentara Spanyol di Kali dan Batu (lokasi Batu Lesung sekarang – red). Naasnya, di pihak anak suku Tombatu, telah mengakibatkan tewasnya Panglima Monde bersama 9 orang tentaranya. Panglima Monde tidak lain adalah suaminya Ratu Oki. Menurut yang dikisahkan dalam makalah itu, Panglima Monde tewas setelah mati-matian membela istrinya, Ratu Oki. Menurut P.A. Gosal, dkk., dalam masa kekuasaan Ratu Oki, anak suku Toundanow (sebutan lain untuk anak suku Tombatu atau Tonsawang) yang mendiami sekitar danau Bulilin hidup sejahtera, aman dan tenteram. “Atas kebijaksanaan dan kearifannya memimpin anak suku Toudanow maka Ratu Oki disahkan juga sebagai Tonaas atau Balian. Selama kepemimpinnan Ratu Oki, Spanyol dan Belanda tidak pernah menguasai atau menjajah anak Toundanow,” tulis Gosal, dkk. 2
14
SIKAP
Ngaasan-Edisi II-AGUSTUS 2005
JATI DIRI WEWENE MINAHASA Oleh: Sandra Rondonuwu STh SH
Ketika berbicara tentang perempuan Minahasa, saya teringat sebuah lagu yang berjudul “Jam Pukul Lima”. Syairnya adalah: Jam pukul lima Si rawan dumangkoy Si rawan dumangkoy Tumutut lalantemberan Sirawan dumangkoy Tumutut lalantemberan Mangemateterang Un cinta minaputuso Sengaja saya mengangkat lagu tersebut karena dari syairnya mengandung cukup banyak arti bahkan banyak pula pesan yang disampaikan.Para wewene Minahasa pada jam pukul lima pagi sudah harus bangun dengan memulai aktivitas untuk kehidupan.Dan memang sejak kecil wewene Minahasa telah dilatih bangun pagi memulai kewajiban membantu orang tua. Ini menyatakan bahwa wewene Minahasa sejak dini sudah dibina untuk berjuang.Lirik selanjutnya adalah gambaran tentang keberanian, kemandirian dan kebebasan.Ketiga hal ini bukanlah pada konotasi yang negatif tetapi sesungguhnya adalah “tumutut lalantemberan” (mengikuti tepian jalan) artinya tidak memilih berjalan di tengah yang mengundang resiko tapi jalan sesuai tatanan nilai yang disepakati bersama. Berjalan di tepi jalan sebagai sebuah manifestasi rasa kesopanan masyarakat. Ada napas kerendahan hati dan perilaku yang mencerminkan keluhuran budi. Kata “ mangemateterang” menyampaikan tentang usaha mencari kepastian. Dalam daerah-daerah tertentu mungkin sangat sullit menerima kenyataan seorang perempuan berjalan dalam kesendirian sebab dipandang riskan dan mengandung resiko.Tetapi di Minahasa sejak leluhurnya itu tidaklah dirisaukan.Wewene Minahasa memiliki emansipasi yang sejati dan sebagai manusia demokrasi sejak dahulu. Karena itu bukan kejanggalan wewene Minahasa penuh inisiatif mencari kepastian sebab ia tahu bahwa ia berhak dan bertanggung jawab dalam melakukan kewajiban menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Persoalan apapun memang harus diselesaikan secara tuntas agar tidak menjadi kendala yang menyita waktu. Dengan demikian menjadi jelas bahwa wewene Minahasa memiliki latar belakang sosial budaya tentang disiplin waktu, disiplin diri, disiplin moral dan disiplin atas tatanan nilai masyarakat, juga kemandirian keberanian dan kebebasan dalam Sumaru Endo (menatap kehidupan). Wewene Minahasa tidak memandang pembedaan dengan tuama atau lelaki Minahasa. Memang sejarah Minahasa tentang
awal mula Tou Minahasa ada bebarapa versi baik dari Gravlaand, Tountemboan dan Tombulu. Lepas bahwa cerita-cerita tersebut hanya mitos ataupun bukan mitos tapi satu hal yang pasti peran-peran yang sangat penting dilakukan oleh perempuan. Karema dianggap sebagai penyebab kehidupan di tanah Minahasa. Tetapi bukan berarti sistem yang berlaku adalah matrilineal tetapi justru budaya egaliter. Tidak ada pembedaan atau saling mendiskriminasi justru yang ada ialah saling melengkapi dan tergambar secara jelas dalam budaya Mapalus. Dari gambaran tersebut, muncul pertanyaan “bagaimana dengan wewene Minahasa masa kini”? Pasti kita semua mempunyai jawaban berdasarkan pengamatan kita masingmasing. Tetapi dalam situasi dan kondisi sekarang ada beberapa hal yang harusnya menjadi perhatian dari semua pihak. Pertama, wewene Minahasa harus mendapat pendidikan yang layak seperti: bea siswa, Pendidikan murah, dan APBD yang harus mengalokasikan dana pendidikan bagi wewene Minahasa. Kedua, wewene Minahasa sampai dipelosok manapun ia berada harus mendapat penjelasan tentang PSK dan trafficking yang sedang merajalelah karena tak dapat dipungkiri banyak wewene Minahasa yang telah melakukan peran-peran tersebut. Ketiga, legislatif dan eksekutif serta pihak yang berwajib harus secara tegas dan serius menindak para sindikat yang bebas memperjual belikan wewene Minahasa. Keempat, semua pihak harus secara sadar menumbuhkan semangat mapalus bagi tou Minahasa.Kesejahteraan hanya bisa dicapai dengan “basuar” dan ini harus menjadi prinsip bagi siapapun termasuk wewene Minahasa. Kelima, Minahasa tidak pernah kenal dengan budaya patriarchal karena itu, budaya tersebut yang sudah masuk dan menggerogoti sistem niali yang kita miliki harus secara tegas kita hilangkan dari bumi Minahasa. Membangun kesadaran kultural hanya dapat terwujud jika wewene dan tuama minahasa memegang teguh dan memaknai pesan para leluhur: Maesa-esaan, Maleos-leosan, Masawa-sawangan. Membangun Minahasa bukan sekedar kata-kata politis tetapi lebih membutuhkan satu tindakan yang sungguhsungguh nyata bahkan pengorbanan.Berbagai perbedaan jangan harus menciptakan konflik sebab Minahasa hanya punya satu warna, warna darah leluhur Minahasa. Empung Wailan Wangko pasti memberkati setiap Tou Minahasa yang sungguh-sungguh berjuang untuk tanah lumimuut toar, bangsa Minahasa. Pakatuan wo Pakalawiren.*** 15
Ngaasan Edisi II-Agustus 2005
AKSI
Potret Perempuan di Buyat Pante Pra Relokasi Oleh: Denni Pinontoan
M
alam telah larut. Tapi, waktu itu (Jumat, 24 Juni 2005) Buyat Pante, sebuah lokasi pemukiman warga 5 menit dari pusat kecamatan Ratatotok, masih ramai. Meski, banyak di antaranya tidak lagi tinggal di dalam rumah seperti biasanya. Rumah mereka telah dibongkar. Mereka akan pindah ke desa Duminga, kecamatan Bolaang Uki, Kab. Bolaang Mongondow. Tenda-tenda yang dibuat darurat menjadi perteduhan sementara menunggu pagi tiba. Malam itu sejumlah aktivis LSM, (antara lain Kelola dan Yayasan Suara Nurani Tomohon), kelompok mahasiswa PMII, dan Komite Kemanusiaan Teluk Buyat (KKTB) serta relawannya berkumpul di sana untuk mendampingi warga Buyat Pante dalam proses relokasi. Aparat polisi terlihat berjaga-jaga di pos polisi tepat memasuki lokasi pemukiman itu. “Sebenarnya sedih untuk meninggalkan tanah yang telah saya diami selama 13 tahun ini. Tapi apa boleh buat, daripada terus menderita dengan sakit penyakit akibat pencemaran oleh nyumon (PT. Newmont Minahasa Raya - red), lebih baik pindah,” ujar Suli Manopo, ibu tiga anak, dengan keharuan mengunkapkan isi hatinya jelang detikdetik terakhir direlokasi. Masnah, perempuan setengah baya yang juga Ibu dari bayi Andini yang meninggal 3 Juli 2004 akibat pencemaran itu, terlihat gelisah. Ia sedang memikirkan rangka anaknya. “Ade (Andini – red) pe kubur mo gale jam berapa?” (Kubur adik akan di gali jam berapa?). Tanya Masnah kepada suaminya ketika sedang berkumpul dengan sesama warga yang sedang menunggu-nunggu untuk proses relokasi. Sejumlah perempuan lain, tetap berjaga dengan kain sarung membungkus tubuh. Ada yang masih mengingatngingat barang-barang yang akan di bawah ke lokasi tempat tinggal baru. Ada juga yang bercakap-cakap dengan sejumlah aktivis LSM. Sesekali terdengar canda tawa untuk mengobati penderitaan pecah dari kerumunan itu. Yul Takaliuang aktivis Yayasan Suara Nurani (YSN) Tomohon dan sejumlah aktivis dari Kelola terlihat di antara perempuan-perempuan itu. Mereka dengan akrabnya bercakap dengan warga yang selama ini didampinginnya melewati segala kesulitan hidupnya sejak diketahui Teluk Buyat Pante, tempat mereka melakukan pekerjaannya sebagai nelayan, tercemar.
Di sebuah kelompok kerumunan orang, seorang perempuan yang kira-kira berusia 30-an tahun mengeluhkan pinggangnya yang sakit. “Ado kasing. Mo duduk setengah mati. Mo ba diri lei setengah mati. Kita pe pinggang saki,” (Aduh kasihan. Mau duduk setengah mati. Mau berdiri juga setengah mati. Pinggangku sakit) keluhnya sambil memegang-megang pinggangnya itu. Perempuan itu barangkali satu dari kebanyakan warga setempat yang kesehatannya terganggu akibat pencemaran limbah PT. Newmont Minahasa Raya (PT. NMR). Temuan sejumlah kelompok LSM antaranya, JATAM, WALHI, ICEL, KELOLA, YSN, BKMKT, FORJAPB, ELSAM, DAN TAPAL yang kemudian dibukukan (Judul Buku: Teluk Buyat Tercemar dan Berisiko bagi Masyarakat Lembar Fakta Kasus Buyat, terbit 2004) mencatat bahwa pada saat penutupannya 31 Agustus 2004, PT. NMR meninggalkan 4 juta ton lebih tailing didasar Teluk Buyat, sekitar 70 kk nelayan kehilangan mata pencaharian, dan 80 persen lebih warga mengalami gangguan kesehatan serius dan puluhan anak putus sekolah. Menurut Yul Takaliuang, (seperti yang tercatat dalam buku tersebut) sejak saat itu muncul beragam gangguan kesehatan pada warga. Di antaranya ada yang mengeluh mengalami mual, pusing, sakit kepala yang hebat, pesendian sakit, lemah, kram, gemetar, dan munculnya benjolanbenjolan di tubuh. Khusus untuk perempuan banyak di antaranya yang mengalami gangguan kesehatan reproduksi, misalnya keguguran kandungan yang berulang-ulang pada pada usia kehamilan 5-6 tahun, anak terlahir cacat, dan ada beberapa perempuan yang menyusui bayinya hanya dengan sebelah payudara karena bagian lainnya mengalami bejolan. Soal ini warga setempat telah paham benar, kalau gejala gangguan kesehatan itu akibat pencemaran PT. NMR. Meski, berulang-ulang kali, Kepala Puskemas Ratatotok, dr. Sandra Roti menyebut itu hanya penyakit biasa yang masih bisa sembuh kalau diobati secara rutin. “Ini aneh. Masakan penyakit yang barangkali hanya banyak terdapat di sini (Buyat Pante – red) dibilang hanya penyakit biasa. Bayangkan saja beberapa jenis ikan yang biasa kami tangkap di teluk Buyat ini juga mengalami bejolan-benjolan di bagian tubuhnya,” kata Imran Raden, warga Buyat Pante. Dari 100 orang yang diperiksa kesehatannya pada bulan Juni 2004, sebanyak 94 orang melaporkan mengalami 16
AKSI
Ngaasan Edisi II-Agustus 2005
gangguan kesehatan, pemberitaan tentang 60 persen di antaranya pencemaran Teluk adalah perempuan dan Buyat meledak di sisanya anak-anak. Hasil media nasional, warga Pemantauan Kondisi Buyat menjadi semakin HAM Perempuan di terpojok karena ikan Komunitas Buyat, hasil tangkapan yang Minahasa Selatan, tidak ada benjolan pun Sulawesi Utara, tanggal tidak laku dijual. 18-12 Oktober, 2004 Akibatnya, penghasilan seperti yang dilansir reguler keluarga nelayan Jaringan Advokasi terus menyusut drastis.” Tambang (Jatam) Dalam kondisi dalam media ekonomi semacam ini, t e r b i t a n n y a kata Komnas HAM menyebutkan, Puyang Perempuan, tekanan (alm) seorang pada kaum perempuan perempuan warga semakin besar untuk Buyat Pante meninggal mencari sumberPerempuan Buyat bergulat melawan penyakit aneh. dunia setelah sumber penghasilan payudaranya pecah. baru. “Realitas ini Penyakitnya itu diduga kuat akibat pencemaran logam bahkan dilaporkan sudah memunculkan fenomena baru berat. di mana mulai terjadi pertukaran peran antara laki-laki dan Awal Desember 2004, seperti yang tercatat dalam perempuan, di mana si perempuan yang mencari nafkah Media terbitan Jatam itu, sedikitnya 17 orang warga Buyat ke luar rumah, sedangkan laki-lakilah yang menunggu Pante, mengalami gejala-gejala penyakit “aneh”. Mereka rumah dan anak-anak. Perempuan Buyat mencari sumber umunya adalah perempuan dan anak-anak. “Selain keluhan- penghasilan baru, antara lain, dengan membuka usaha keluhan seperti yang dialami sebelumnya, mereka juga warung, menjadi tukang cuci pakaian, menjadi penjual di kerap mengeluarkan darah kental dari lubang anus dan pasar. Kendati demikian, mereka melaporkan bahwa vagina,” tulis Jatam. berbagai sumber kerja baru ini tetap belum mampu Komnas HAM Perempuan (dalam Laporan Hasil mengeluarkan warga dari jeratan hutang. Khususnya kaum Pemantauan Kondisi HAM Perempuan di komunitas perempuan muda ternyata menemui kerentanan tambahan. Buyat, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, Komisi Nasional Beberapa dari mereka dilaporkan tertangkap melakukan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta, 28 tindakan kriminal, yaitu mencuri kelapa di kebun milik september 2004) menyebutkan beberapa temuanya. orang lain. Seorang perempuan muda lain dilaporkan Disebutkan bahwa warga Buyat mengalami penurunan mencari kerja di diskotek PT Newmont, tetapi setelah 3 akses terhadap sumber penghidupan layak dan kaum bulan kerja, ia mengundurkan diri karena merasa integritas perempuan mendapatkan beban ekonomi yang semakin tubuhnya sebagai perempuan terancam dilecehkan.” besar akibat laut yang tercemar. Malam itu, ada jutaan harapan di benak para perempuan Komnas HAM Perempuan dalam laporannya itu Buyat Pante tentang nasib dirinya dan keluarga ketika mengatakan, “Perempuan Buyat, yang bertugas berada di lokasi yang baru. “Torang pe harapan, mudahmenangkap nener (sejenis ikan: anak bandeng) di perairan mudahan setelah dipindahkan dari sini (Buyat Pante – red), torang dekat pantai, mengeluh bahwa sekarang mereka hanya pe segala kesusahan mo ta kurang,” (Harapan kami, mudahmampu menangkap 10 ekor nener per hari, dengan harga mudahan setelah dipindahkan dari sini, segala kesusahan jual Rp 13 per ekor, sedangkan dulu mereka bisa kami akan berkurang) kata Suli yang juga diiyakan oleh mendapatkan 300-500 ekor per hari. ... Dan, setelah perempuan yang lain di malam itu. 17
AKSI
Ngaasan-Edisi II-AGUSTUS 2005
Pelatihan Budaya Angkatan II Di Kora-kora:
Lahirkan Komitmen Adat dan Ekonomi Rakyat
D
ebur ombak menebar riak merontah-rontah di Indonesia yang sudah porak-poranda, sama seperti ketika pantai Kora-kora. Dayu kemayu air laut menjilati Tou Minahasa dulu, seperti Sam Ratulangie cs, bersamapasir-pasir menyisahkan guratan-guratan indah sama membangun Indonesia berdasarkan pluralitas sukuyang tak dapat dibahasakan. Keindahannya memang tak suku bangsa di Indonesia. pudar juga, bahkan jauh ketika Simon Kos, Gubernur Cermin kebinekaan juga tampak dalam keluarga besar Ternate, mendarat di Pantai ini untuk datang berunding Minahasa yang datang pada acara pelatihan tersebut. dengan orang-orang Minahasa Tempo dulu. “Meskipun torang datang dari berbagaibagai sub entis, Tang gal 24-26 ada yang Kristen dan Juni, di tepi pantai non Kristen, bahkan yang sama, Koraada juga sub etnis kora, 20 orang dari 7 Jawa dan Tionghoa, Sub entis di Minahasa tapi kami merasa terkumpul untuk satu dalam semangat m e l a k u k a n keminahasaan,”ujar perenungan Piter Wua, kader selanjutnya adat dari wanua merumuskan Lowian, Kecamatan program aksi atas Tompaso Baru, keterpurukan, P a k a s a a n Minahasa: Manusia, Tountemboan. Juga tanah dan sistem diaminkan oleh sosialnya. beberapa pakasan Bergambar bersama usai pelatihan Acara ini disebut, yang hadir, seperti pelatihan pelatih Tou Bawontehu, identitas budaya Minahasa, yang diselenggarakan oleh 5 Tonsea, Tolour, Tonsawang dan Tou Ratahan juga para lembaga Minahasa, yakni; Persatuan Minahasa, Majelis penyelenggara seperti Matulandi Supit, sekjen MAM, Fendy Adat Minahasa, Yayasan Suara Nurani, Perpustakaan Parengkuan, sekjen Persatuan Minahasa, Jootje Kawengian, Minahasa dan ICRE Sumekolah. Koordinator Perpustakaan Minahasa, Octo Supit, Direktur Berlangsung di pantai Kora-kora, dua puluh orang YSN, dan Veldy Umbas, Direktur ICRES. kader Minahasa serius mengikuti materi-materi yang Seolah tidak ada lagi perbedaan, dan semua melebur diberikan untuk membuka cakrawala berpikir terhadap menjadi satu dalam semangat Persatuan Minahasa. Apalagi urgensi persoalan orang Minahasa. Dengan sangat antusias saat hymne Persatuan Minahasa dinyanyikan, suasana pula, setiap sesi pelatihan para kader selalu aktif langsung larut dalam kesyaduhan. Wajah-wajah penuh berpartisipasi dalam semangat kekeluargaan. harap tertegun menatap kemalangan yang dialami Tou Bahkan dalam pelatihan yang dimotori oleh ICRES Minahasa dalam Indonesia. Walau semua kemudian itu, dilahirkan 3 komitmen yang akan disosialisasikan bersepakat untuk memulai lagi menata semua kemunduran kepada masyarakat Minahasa. Pertama, konsep yang telah dialami. perkawinan adat Minahasa yang benar, kedua, tentang Dalam lingkaran, dua puluh orang yang datang dari tanah adat, ketiga, memperkuat ekonomi rakyat Minahasa. segala penjuru Minahasa itu bergandengan tangan, dengan Hasil ini menurut, Dr. Bert Adriaan Supit juga penasehat tekad dan semangat mereka berseru, “I Yayat U Santi.” di lima lembaga Minahasa itu merupakan hasil yang sangat Pekik gelora yang disambut dengan gelegar semangat menggembirakan. Ia bahkan berharap, kebangkitan untuk kembali membangun tanah Minahasa demi anak Minahasa akan menjadi spirit untuk membangun kembali dan generasi penerus kita. (daniel) 18
LASTe
Ngaasan-Edisi II-AGUSTUS 2005
Gereja Harus Memerdekakan Oleh Veldy Umbas ereja sebagai institusi moral yang mengemban peran pewarta suara kenabian kini nampak bergeser dari misinya, hingga kehadirannya seringkali mengalami gugatan-gugatan atas disorientasi fungsi dan peran. Meski gugatan terhadap gereja sebagai institusi sudah terjadi bahkan jauh sebelum Martin Luther, tokh gereja selalu dan sengaja bergeser pada posisi-posisi yang tidak mestinya. Di awal-awal abad perselingkuhan gereja dengan kekuasaan, jelas meninggalkan perannya dalam membahanakan suara kenabian. Pertautan gereja dan kekuasaan pada massa itu telah mengukir sejarah kelam dalam peradaban manusia. Gereja cenderung represif, bahkan militeristik. Pada saat yang sama, terjadi kekosongan dalam ruang-ruang pembelaan terhadap kaum marjinal yang teralieanasi oleh sentralistime segala apapun isme di dunia ini. Hegemoni seluk beluk kehidupan, tatakrama, etika, normal, dan bahkan moral oleh klaim-klaim gereja (baca:penguasa agama) jelas semakin menisbikan keagungan harkat dan martabat manusia. Sehingga Marx setelah sebelumnya Hegel yang menggugat gereja atas bentuk transendental yang tidak menyentuh pada persoalan real/pragmatis mestinya memberikan solusi nyata atas pergulatan batin yang menyebabkan manusia teralieanasi pada hal-hal seperti tiadanya pekerjaan, tekanan-tekanan pemilik modal, bukan malah memberikan angan-angan muluk bagaikan candu. Gereja dalam hal ini lembaga, pun tak urung dari gugatangugatan sama terjadi atas klaim gereja pemegang amanat dan atas nama Tuhan namun batasan-batasan pramatisme yang cenderung subjektif terperangkap paradoksial ritual serta liturgis. Karena di situlah justru terletak kontroversi dan disorientasi gereja. Padahal, Yesus sendiri dalam misinya ke dunia bertujuan memulihkan citraNYA yang rusak oleh dosa. Sehingga tidak dapat tidak gereja hadir hanya dalam rangka mendekatkan diri kepada kaum marjinal, miskin, papah, untuk dimuliakan. Sikap tegas ini dinyatakan Yesus pada orang muda yang kaya yang menyuruh pemuda ini menjual habis seluruh kekayaannya. Atau sikapNya yang selalu menentang arogansi kesewenangan gereja lama yang diperankan oleh ahliahli Taurat, Farisi dan Lewi. Yang terakhir nyata sekali keberpihakan Yesus ketika ia menyatakan manifestasi pembelaannya kepada kaum lemah, miskin, terpenjara, telanjang, cacat dan marjinal. Keberpihakan Yesus ini harus menjadi dasar pijak gereja yang misinya tidak lain adalah memulihkan citra Allah akibat dosa melalui kabar suka cita, bahwa semua umat manusia yang sama kedudukannya dihadapan Tuhan, menerima anugerah keselamatan melalui pengorbanan Yesus Kristus di Golgota. Sehingga urusan hak-hak sipil adalah agenda yang sudah sejak lama diperjuangkan Yesus untuk mengangkat manusia dari kubangan dosa semata pemulihan cita—sebagai mahkluk yang diciptakan serupa dan segambar dengan Allah, yang telah hilang. Demi misi ini, maka seharusnya gereja jeli menempatkan diri sebagai pewarta suara kenabian untuk mengambil peran tegas bagi keberpihakannya kepada kaum lemah, papah, dan marjinal. Bukan malah sebaliknya berlomba mendekatkan diri dengan kekuasaan yang cenderung represif. Karena ketika gereja mulai bergandeng tangan dengan penguasa, maka terjadi pengingkaran-pengingkaran terhadap komitmen perjuangan terhadap kaum lemah yang harus dibebaskan dari keserakahan. Kondisi ini lebih-lebih menciptakan ruang yang kosong dalam keterasingan umat, gilirannya terciptakan
G
kondisi di mana moralitas bergeser jauh dari tempatnya mencari perlindungan baru yang bisa memberikan kelegaan atas keterdesakan kehidupan akibat peran kekuasaan yang represif tersebut. Lalu muncullah sejumlah penyakit sosial seperti pembunuhan, perampokan, penipuan, penganiayaan, yang semuanya terjadi begitu saja sebagai akibat dari gagalnya gereja sebagai institusi moral menyelaraskan nalar dan nurani pada kenyataan-kenyataan hidup yang dewasa ini makin menghimpit. Dewasa ini, bergesernya moralitas (moral decadency) dari sebuah moralitas dasar yang hakiki dan kodradi berturut-turut akan mengakibatkan kerusakan dunia yang dasyat (moral destroyed). Yakni suatu kondisi di mana terjadi konflik komunal, baik horizontal maupun vertical. Terjadi peperangan antar manusia, suku, agama, etnis. Atau antara buruh dengan majikan, antara rakyat dengan penguasa. Ataupun antara manusia dengan lingkungan hidup. Yang terakhir ini justru lebih memprihatinkan, ketika alam yang lestari diciptakan Tuhan untuk menjadi sumber kehidupan, malah oleh ulah manusia yang telah mengalami pergeseran moral (moral switching) akan merugikan manusia sendiri. Seperti banjir, badai, panas bumi yang makin meningkat, atau pencemaran lingkungan yang kini menyebabkan sumber penyakit, kanker, pernapasan, dan penyakit lain yang mematikan. Padahal amanat menjaga keseimbangan ekosistem adalah firman yang sama seperti ketika penciptaan bumi agar manusia bisa mengupayakan dan mengusahakan bumi berserta isinya dengan sebaik mungkin. Di Indonesia, ketika umat Kristiani berada di tengah-tengah masyarakat yang majemuk, baik suku, agama, ras dan bahkan ideology sosial lainnya, jelas dituntut peran ganda; umat sebagai bagian dari dogma Kristiani maupun umat dalam perannya sebagai warga masyarakat, tentu harus dapat menjadi garam dan terang, untuk kepentingan bangsa. Jelas pula peran gereja sebagai Pembina moral umatnya, juga sebagai fungsi suara kenabian dalam rangka menggarami dan menerangi kehidupan sosial sebagai warga Negara “kaisar.” Semasa orde baru, peran gereja sangat kentara terseret-seret ke dalam kekuasaan “kaisar” lantaran misinterpretasi “kaisar adalah wakil/hamba Allah.” Dalam kitab Amos hal itu sangat jelas dipaparkan tentang kejahatan Israel sehingga Amos seorang yang sederhana, seorang peternak disuruh untuk menyampaikan Firman ‘Carilah Tuhan maka kamu akan hidup’. Seruan untuk bangsa yang dikasihi Allah dan bangsa yang mengakui Allah tetapi dalam praktek justru sangat bertolak belakang bahkan orang lemah dan miskin dikorbankan dan diperas, memutar balikan fakta, terjadi suap yang sudah sangat jelas menggambarkan terjadinya ketidakadilan. Gustavo Guiteres memang memulai gerakan Kristen kerakyataan dalam konteks yang lebih sosialis hingga kecaman Eka Darmaputra bahwa umat harus relah menderita bersama teks-teks yang membelenggu itu (manut tanpa perlawanan), sama sekali merupakan dua kutub yang telah membuat disvaritas wacana kekristenan pada jarak yang distinktif. Eka mungkin benar di satu sisi, namun peran sosial umat tidak meluluh pada tataran transendental yang tanpa bantahan apapun, tapi juga naluriah, bakat kasih Yesus harus bisa menjadi bagian dari ibadah dalam proses membebaskan belenggu teks-teks yang dalam interpretasinya salah kaprah. 2 19
LASTe
Ngaasan-Edisi II-AGUSTUS 2005
Apanya Yang Berubah? Oleh: Dr. Bert A. Supit
P
erubahan kini menjadi burning issues yang membakar wacana-wacana sosial atas gagasan menuju masyarakat sosial yang lebih baik dan berkeadilan. Sebuah gagasan perubahan yang menjadi antitesis dari status quo yang jelas menjadi tempat berlindung para penguasa lalim yang larut dan menikmati segala fasilitas kekuasaan yang disediakan oleh NKRI. Perubahan, berarti terjadi peralihan dari satu hal lama kepada satu hal yang baru. Ada proses yang dilakukan, lama ditinggalkan dan yang baru dijalankan. Secara prinsip, perubahan yang kini maksudkan adalah sebuah proses menuju pada tatanan masyarakat mandiri (Civil society) yang lebih baik. Mencermati materi kampanye para calon (kini telah menjadi Kepala Daerah), yang mengangkat “Perubahan” sebagai tema utama sungguh sangatlah menggembirakan, karena tentu ada niat untuk melakukan proses demi menuju tatanan masyarakat yang lebih baik. Hanya saja, pertanyaanya adalah: What kind of changes? Perubahan seperti apa yang hendak diproposalkan oleh para calon terpilih? Tentu masih merupakan gagasan yang dapat diperdebatkan. Karena kemudian, roda pemerintahan daerah akan berputar sesuai dengan selerah dari pemegang kendali kekuasaan. Bagi NGO dan pegiat masyarakat sosial lainnya memaknai kata perubahan sebagai sebuah transformasi sosial yang banyak berlatar perlawanan atas sentralisme kekuasaan dan hegemoni kebijakan pemerintahan pusat yang deterministik. Transformasi sosial yang menjadi antitesis terhadap sistem pemerintahan sentralistik sejak zaman orde lama, orde baru, bahkan ketika reformasi digulirkan, sentralisme kekuasaan terus menerus menerus dipertahankan sehingga kedaulatan rakyat terus saja dikebiri. Memang, PILKADA akhirnya juga dilangsungkan dengan kedaulatan ada ditangan rakyat, walaupun masih setengah hati. Namun, spirit sentralisme kekuasaan masih saja menjadi warna utama model penyelenggaraan pemerintahan. Yang diinginkan rakyat adalah, model penyelenggaraan yang digagas dari bawah, dengan melibatkan rakyat dalam perencanaan dan penyelenggaraan. Model partisipatory seperti ini sebenarnya bukanlah hal baru. Karena di beberapa negara lain telah membuka bagi partisipatory
budgeting, ataupun partisipatory planning. Di mana, rakyatlah subyek dari penyelenggaraan negara. Dari sinilah perubahan mestinya harus dimulai. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan harus menjadi agenda utama perencanaan pembangunan. Dan ini hanya dapat dilakukan kalau ada karakter yang kuat dari pemimpin. Karekater ini menjadi inti sari dari nilai-nilai kultural yang menjadi sosial capital bagi masyarakat untuk maju, berkreatifitas menggagas masyarakat yang adil dan makmur. Adat dan budaya inilah yang akan menjadi perekat yang sangat kuat bagi dasar (social capital), bahu-membahu (mapalus) membangun bangsa yang sedang terpuruk. Perubahan seperti inilah yang sedang ditunggu oleh rakyat kita. Bahwa kemudian, sistem, model, dan pola pendekatan yang menempatkan agenda rakyatlah yang akan membuat perubahan itu menjadi bernilai, kelak dapat menjadi “role model” bagi pembangunan di SULUT. Bukan perubahan yang sekadar “ganti kulit”, semata-mata transformasi kekuasaan, melainkan transformasi sosial yang menuju pada civil society dengan karekter budaya yang kuat. Tentu kita semua masih harus menunggu perubahan yang dimaksud. Dan itu tentu merupakan waktu, antara proses kesadaran ide dan pelaksanaan, yang akan menyingkapkan kepada kita bahwa perubahan yang dijanjikan benar untuk rakyat, atau malah pola rutin ular berganti kulit. Karena itu, sembari rakyak menanti perubahan itu, tentu bukan tanpa reserve, memang tidak harus berharap banyak karena sistemnya yang masih sangat sentralistik. Hal ini jelas sangat dipahami oleh Gubernur terpilih. Dalam bukunya, “Arus balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah,” SH. Sarundayang mengulas banyak tentang sistem penyelenggaraan yang sentralistis dan yang partisipatif. Apakah, local self goverment akan menjadi model yang akan dijalankan ataukah local state government, tentu akan ditunggu oleh rakyat SULUT. Niat baik untuk melakukan perubahan berada di tangan pemegang kekuasaan sekarang, apakah kita sedang menuju perubahan, atau akan kembali menjalankan model-model yang lama--sekedar melanggengkan kekuasaan demi kepentingan tertentu dan sementara, tentu harus dijawab oleh waktu. Semoga.2
20