TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Baru dan Patogenesis Rosasea
(New Clasification and Pathogenesis of Rosacea) Vella, Angelica Vanini Taufiq, Sunarso Suyoso Departemen/Staf Medik Fungsional lImu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya ABSTRAK Latar belakang: Rosasea merupakan kelainan kulit kronis yang umum, yang patogenesisnya belum dimerngerti secara sepenuhnya. Proses penyakit ini melibatkan beragam faktor termasuk predisposisi genetik, lingkungan, neurogenik dan faktor-faktor mikrobial. Tujuan: Membahas klasifikasi terbaru dan patogenesis rosasea untuk mengidentifikasi dan memberi terapi efektif pada penderita dengan rosasea. Telaah kepustakaan: Rosasea adalah penyakit kulit kronis, tampak eritema pada sentro fasial pada penderita usia 30–50 tahun. Klasifikasi rosasea ada 4 subtipe yaitu Erythematotelangiectatic Rosacea (ETR), Papulopustular Rosacea (PPR), Phymatus Rosacea (PR), dan Ocular Rosacea (OR). Manifestasi klinis yang paling awal adalah flushing dengan munculnya telangiektasis dan kemerahan pada wajah. Rosasea disebabkan oleh faktor-faktor patogenesis yang berbeda. Etiologi yang tepat tidak diketahui, diduga berbagai faktor berkontribusi terhadap kondisi ini. Kesimpulan: Klasifikasi baru rosasea memudahkan diagnosis dan mekanisme patogenesis rosasea masih belum diketahui dengan pasti. Kata kunci: rosasea, sub tipe klasifikasi, patogenesis ABSTRACT Background: Rosacea is a very common chronic skin condition where its pathogenesis is still not fully understood. Multiple factors contribute to the disease including genetic predisposition, neurogenic environment and microbial factors. Purpose: To discuss the newest rosacea’s classification and pathogenesis to aid medical professionals in identifying and effectively treating patients with rosacea. Review: Rosacea is a chronic skin disease that starts with redness around the centro facial area in patients between the ages of 30–50 years. Rosacea can be classify into four subtypes: Erythematotelangiectatic Rosacea (ETR), Papulopustular Rosacea (PPR), Phymatus Rosacea (PR), and Ocular Rosacea (OR). Flushing is the earliest clinical manifestation where telangiectasis will start appearing with redness in the facial area. Rosacea is caused by various different pathogenis factors. The correct etiology is still unknown and various factors are predicted to contribute to this condition. Conclusion: The new classification of rosasea is easy to make diagnosis and rosacea pathogenesis mechanism is still not completely known. Key words: rosacea, sub type classification, pathogenesis Alamat korespondensi: Vella, e-mail:
[email protected]
PENDAHULUAN Rosasea merupakan kelainan kulit umum yang kronis, di mana patogenesisnya belum dimengerti secara sepenuhnya. Area predileksi meliputi hidung, dagu, pipi, kening dan glabela merupakan daerah paling sering dijumpai, dan jarang terjadi di daerah infraorbital, submental, retro aurikular, daerah V di dada, leher, punggung dan kulit kepala. Manifestasi klinis antara lain: flushing, eritema persisten, telangiektasi, papul, pustul dan hiperplasia jaringan glandula sebasea.1,2,3
Walaupun rosasea bukan merupakan penyakit yang mengancam jiwa, namun perkembangannya yang meliputi papul, pustul, dan rinophima mempunyai dampak negatif terhadap kualitas hidup dari penderitanya. Survei yang dilakukan oleh National Rosacea Society melaporkan bahwa sampai 70% pasien rosasea menyatakan penyakit tersebut berpengaruh terhadap rasa percaya diri dan kehidupan sosial mereka.4 Rosasea paling sering diderita oleh yang berkulit putih terutama yang keterunan Eropa Utara atau
Pengarang Utama 2 SKP. Pengarang Pembantu 1 SKP (SK PB IDI No. 318/PB/A.7/06/1990)
127
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin
Vol. 22 No. 2 Agustus 2010
Eropa Timur serta dalam beberapa keturunan etnis tertentu seperti Celts.2 Tujuan pembuatan telaah kepustakaan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang klasifikasi baru dan patogenesis dari rosasea. Perkembangan terbaru dalam biomolekuler dan genetika memberi harapan untuk menjelaskan bagaimana faktor-faktor ini saling terkait dalam patogenesis rosasea, di samping menjadi dasar terapi-terapi baru yang berpotensial. TELAAH KEPUSTAKAAN Rosasea merupakan kelainan kulit umum yang kronis, di mana patogenesisnya belum di mengerti sepenuhnya. Proses penyakit ini melibatkan beragam faktor termasuk predisposisi genetik, lingkungan, neurogenik dan faktor-faktor mikrobial.1 The National Rosacea Society Expert Committee on the Classification and Staging of Rosacea mengklasifikasikan rosasea dalam sub tipe klinis berdasarkan karakteristik morfologik Erythematotelangiectatic Rosacea (ETR), Papulopus-tular Rosacea (PPR), Phymatus Rosacea (PR) dan Ocular Rosacea (OR).1,2,3
Para klinisi dalam mendiagnosis penderita rosasea dengan gejala dan tanda primer (Tabel 1) dengan nilai 0–3, yaitu: absent (0), mild (ringan/1), moderate (sedang/2) dan severe (berat/3) dan tanda sekunder (Tabel 2).3 Gejala rosasea terdiri dari tanda primer dan tanda skunder. Tanda primer adalah: Flushing (kemerahan) dari data yang di peroleh pada pasien dengan gejala flushing dengan menanyakan frekuensi, jangka waktu, luasnya dan derajat keparahannya. Tambahan jangka waktu terjadinya flushing perlu dicatat, karena pada beberapa episoda dapat terlihat, seperti pada keadaan malu yang sangat dan penggunaan alkohol. Non transient erythema: secara klinis non transient erythema bisa di nilai dari 0 ke 3, walaupun dengan inflamasi (papul, pustul) atau keadaan kulit kering yang mengaburkan eritema. Inflamasi dan keadaan kering boleh dicatat, tetapi tepi lesi yang eritema tidak termasuk dalam penilaian ini. Papul dan pustul: suatu modifikasi terhadap penilaian pada akne vulgaris. Telangiektasi: secara klinis telangiektasi dinilai dari 0 ke 3, jika eritema yang kuat sulit untuk menentukan atau menilai telangiektasi. Ini digambarkan sebagai
Tabel 1. Kartu skor klinis rosasea3 Primary features Flushing (transient erythema) Nontransient erythema Papules and pustules Telangiectasia Secondary features Burning or stinging Plaques Dry appearance Edema If present: If chronic: Ocular manifestations Peripheral location If present: Phymatous changes Global assessment Physician ratings by subtype: Subtype 1: Erythematotelangiectatic Subtype 2: Papulopustular Subtype 3: Phymatous Subtype 4: Ocular Patient’s global assessment 128
¨ Absent ¨ Absent ¨ Absent ¨ Absent
¨ Mild ¨ Mild ¨ Mild ¨ Mild
¨ Moderate ¨ Moderate ¨ Moderate ¨ Moderate
¨ Severe ¨ Severe ¨ Severe ¨ Severe
¨ Absent ¨ Absent ¨ Absent ¨ Absent ¨ Acute ¨ Pitting ¨ Absent ¨ Absent
¨ Mild ¨ Mild ¨ Mild ¨ Mild ¨ Chronic ¨ Nonpitting ¨ Mild ¨ Present
¨ Moderate ¨ Moderate ¨ Moderate ¨ Moderate
¨ Severe ¨ Severe ¨ Severe ¨ Severe
¨ Moderate
¨ Severe
List Location(s) _________________________ ������������������������� ¨ Absent ¨ Mild ¨ Moderate
¨ Severe
¨ Absent ¨ Absent ¨ Absent ¨ Absent ¨ Absent
¨ Severe ¨ Severe ¨ Severe ¨ Severe ¨ Severe
¨ Mild ¨ Mild ¨ Mild ¨ Mild ¨ Mild
¨ Moderate ¨ Moderate ¨ Moderate ¨ Moderate ¨ Moderate
Telaah Kepustakaan
Klasifikasi Baru dan Patogenesis Rosasea�
post-erythema-relevated telangiectasia. Jika memungkinkan dihitung berapa banyak telangiektasi untuk menentukan suatu area.3,4 Tabel 2. Derajat papula dan pustula rosasea3 Severity Mild Moderate Severe
Papules/pustules Few Several Many
Plagues None None Present
Tanda sekunder: burning atau stinging: secara klinis burning atau stinging dikeluhkan oleh penderita dan ditanyakan lokasi dan gejala-gejala yang muncul. Plague: secara klinis plague merupakan daerah inflamasi, sering terlihat lebih besar dan merah di antara papul dan pustul tanpa perubahan epidermis. Dapat dibedakan derajat keparahannya, lokasi atau kriteria-kriteria lainnya. Kekeringan: secara klinis terlihat kering pada kulit, mungkin dikarenakan dermatitis seboroik atau infeksi kulit (iritasi). Edema: secara klinis edema terjadi pada daerah periorbital, kelopak mata, pipi atau tulang pipi. Pada keadaan akut dan kronis dapat dinilai dari 0 ke 3 menurut luas dan bengkaknya. Manifestasi yang berkaitan dengan penglihatan: secara klinis dapat diidentifikasikan dengan adanya bengkak pada bulbar dan/atau palpebra konjungtiva, kelopak mata atau periokular eritema, adanya benda asing, mata seperti ada pasir, stinging, menimbulkan rasa gatal, kekeringan, sensitivitas ringan, penglihatan kabur atau berkurang fokus penglihatan, sehingga dengan adanya keluhan tersebut perlu dikonsulkan pada bagian kesehatan mata. Manifestasi mata ini dapat dinilai dengan mild (ringan) yaitu gejala/keluhan pada batas mata, kelenjar Meibom, moderat (sedang) yaitu gejala/keluhan pada penutup mata, pengeluaran cairan, permukaan mata dan severe (berat) yaitu pembengkakan di epitel kornea dan kerusakan mata yang parah. Lokasi peripheral: secara klinis dapat terlihat dari munculnya gejala dan keluhan ektra fasial, lokasi anatomi. Lokasi ektra fasial seperti leher, dada, kulit kepala, kuping. Perubahan phymatous: secara klinis keparahan di mulai dari 0 ke 3.3 Keempat Sub Tipe Rosasea adalah sebagai berikut: 1) Erythematotelangiectatic Rosacea (ETR): Tanda-tanda dominan dari ETR yaitu fasial sentro flushing, yang bertahan lebih dari 10 menit yang diikuti oleh rasa terbakar dan rasa menyengat baik dengan atau tanpa eritema yang terus-menerus. Eritema biasanya tidak memengaruhi kulit periokular dan submental, tetapi bisa mengganggu telinga, leher atau bagian atas dada.
Secara umum penderita dengan ETR akan memiliki kulit dengan tekstur yang halus tanpa berminyak atau kelenjar sebasea yang menonjol. Daerah eritema di muka bisa tampak kasar dengan sisik yang kemungkinan berasal dari inflamasi tingkat rendah yang kronis (Gambar 1).1,3,5 2) Papulopustular Rosacea (PPR): ditandai dengan munculnya eritema sentral dengan inflamasi pustul atau pustul yang distribusi pada pusat wajah. Sub tipe ini bisa meliputi daerah perioral maupun perinasal. Wajah yang kemerahan atau flushing yang berkepanjangan dapat menyebabkan edema jaringan lunak yang bisa bertahan beberapa hari. Ada juga keluhan dari penderita yang timbul edema, keras, padat di kening, glabela, alis atas, hidung dan pipi (penyakit Morbihan) Edema berat mungkin berada pada morfologi plak dari edema wajah yang solid. Sering ditemukan pada daerah
Gambar 1. Erythematotelangiectatic rosacea (ETR) dengan adanya flushing dan persisten sentral fasial eritema. Telangiektasi sering terjadi, tapi tidak begitu mutlak untuk diagnosis. A. Mild (ringan); B. Moderate (sedang); C. Severe (berat).3 129
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin
Vol. 22 No. 2 Agustus 2010
dahi dan glabela, dan ini tidak terdapat pada daerah kelopak mata dan pipi atas (Gambar 2).1,3,5 3) Phymatus Rosacea (PR): ditandai dengan penebalan kulit dan edema dengan permukaan nodul yang tidak rata pada hidung, dagu, kening, telinga dan kelopak mata. Permukaan kulit ditandai dengan glandula sebasea yang jelas dan permukaan folikuler besar. Perubahan klinis disebabkan oleh infiltrasi inflamasi kronis yang sangat luas. Hipertropi jaringan ikat dengan fibrosis dan kelenjar sebasea hiperplasia.1 PR ditandai oleh folicullar orificium, kulit tebal, nodul, dan permukaan tidak rata pada area konveks. Sub tipe ringan, sedang dan berat dapat dibedakan.2 Empat varian histologi yang berbeda bisa muncul dengan rhinophima (nasal rhinopyma rosacea): glandular, fibrous, fibroangiomatus dan aktinik. Di
samping pada hidung daerah yang sering mengalami dagu (gnathophyma), kening/dahi (metophyma), telinga (otophyma), kelopak mata (blepharophyma).3,5 Wanita dengan rosasea tidak menjadi phyma, mungkin karena hormonal, tetapi mereka dapat berwujud gambarangambaran sebasea atau glandula yang ditandai oleh penebalan kulit dan lubang folikel yang besar (Gambar 3).2 4) Ocular Rosacea (OR): Manifestasi mata meliputi blepharitis, kongjungtivitis, inflamasi pada kelopak mata dan kelenjar Meibom, interpalpebral conjunctival hyperemia, corneal infiltrates, ulkus, dan vaskularisasi.1 Blepharitis adalah gambaran terlazim, ditandai dengan adanya chalacia dan infeksi Staphylococcus aureus sebab dari disfungsi kelenjar Meibom. Photopobia, nyeri, rasa terbakar, rasa gatal, dan rasa ada benda asing, mungkin bagian dari gejala
Gambar 2. Papulopustular rosacea termasuk eritema yang terus menerus pada sentral wajah dengan papul, pustul, atau di antara sentral wajah. A. Mild (ringan); B. Moderate (sedang); C. Severe (berat).3
Gambar 3. Phymatous rosacea, dapat menyebabkan kulit tebal, permukaan yang tidak rata dan bernodul-nodul dan membesar. folikel bisa muncul pada daerah phymatous: A. Mild (ringan); B. Moderate (sedang); C. Severe (berat).3
130
Telaah Kepustakaan
yang komplek pada mata. Dimulai dengan penurunan sekresi lipid, inflamasi dan sensasi luar tubuh. Penderita dengan rosasea sering melaporkan pedih mata atau terbakar, kekeringan iritasi dari cahaya atau sensasi luar tubuh. Komplikasi yang bisa memengaruhi penglihatan dari OR adalah keratitis Staphylococcus aureus yang dapat menimbulkan kekeruhan kornea, luka dan kebutaan (Gambar 4).1,2,5 Walaupun telah dilakukan penelitian mengenai etiologi rosasea selama berabad-abad tetapi etiologinya tetap tidak di ketahui. Patogenesis dari rosasea meliputi beberapa faktor yang diakibatkan oleh interaksi faktorfaktor genetik dan lingkungan.1,6 Aspek yang dapat menyebabkan terjadinya patogenesis Rosasea, yaitu: iklim dan cuaca (temperatur panas dan dingin, radiasi sinar ultra
Gambar 4. Ocular rosacea, bisa memberi penampilan berair atau bloodshot, telangiektasis kongjungtiva dan tepi kelopak atau kelopak dan periokular eritema, irregularity pada pinggir kelopak mata bisa terjadi A, Mild (ringan); B, moderate (sedang); C, severe (berat).3
Klasifikasi Baru dan Patogenesis Rosasea�
violet, kelembaban, angin kencang), emosional (stres, ketakutan, marah, tertawa, perasaan malu-malu), aktivitas yang berhubungan dengan suhu (mandi air panas, sauna, showers), latihan fisik, minuman (alkohol, minuman panas, cokelat panas, kopi panas, teh panas), makanan (makanan panas, makanan pedas, bumbu kari, kecap, produk dari susu, cokelat, cuka, saus tomat, buah-buahan contohnya alpukat, pisang, kismis, buah ara, buah jeruk, red plums), obat-obatan (topikal fluorinat kortikosteroid, vasodilator contoh, asam nikotonik, angiotensin-converting enzyme inhibitor, calsium channel blockers, statin), produk perawatan kulit, (kosmetik, astringent, sabun, exfoliants/pengelupasan kulit, make up, tabir surya terutama yang mengandung alkohol, witch hazel extract, aseton, pewangi dan mentol, kondisi kesehatan penderita (reaksi alergi, rhinitis oleh karena virus, demam, migraine, batuk, pilek, caffeine withdrawal), kelainan dari unit pilosebasea dengan adanya Demodex folliculorum, pengaruh hormonal dan kelainan hemostatis kutaneus vaskuler1,4,7,8. Mekanisme patogenesis rosasea yaitu ultra violet menyebabkan edema di dermis, infiltrasi perivaskular lymphocytic, dan pembuluh limfe yang melebar baik di dermis maupun di bagian atas subkutis (yang ditandai dengan antibodi LYVE-1 selektif) menunjukkan bukti kuat bahwa rosasea berawal sebagai actinic lymphatic vasculopathy. UV pada kulit manusia mengakibatkan angiogenesis dermal yang kuat bersamaan dengan up-regulation dari VEGF dan down-regulation dari endogenous angiogenesis inhibitor thrombospondin-1 (TS-1). Walaupun tidak dimunculkan oleh endotel, VEGF tetap terdapat pada sel-sel epitel dan masuk ke sel-sel kulit yang terkait dengan rosasea. Munculnya VEGF receptor (VEGFR) tampak pada vaskular endotel maupun sel-sel mononuklear yang terinflitrasi. Ikatan VEGF receptor–ligand membantu terhadap perubahan vaskular dan infiltrasi selular yang terjadi pada rosasea. Tempat yang baru terbentuk akan infiltrasi dari sel-sel radang ke dalam jaringan dermal, yang mengakibatkan kerusakan pada komponen matrik dermis. CD11b+ macrophages dan neutrofil menginfiltrasi epidermis setelah mengalami penyinaran UV yang kuat, karena penyiranan UV dengan dosis sedang dapat menyebabkan peningkatan ekspresi cyclooxygenase-2 (COX-2) di keratinosit yang menjadi penyebab terjadinya eicosanoid prostaglandin E2. Mediator nuerogenik akan memperparah inflamasi dan imunosupresi akibat penyinaran UV pada kulit. Substance P (SP) mengakibatkan degranulasi dari sel mast bersamaan dengan pengeluaran histamin dan leukotrien, aktifasi adhesi leukocyte-endothelial dan 131
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin
neutrofil. Corticotropin-Releasing Hormone (CRH) bertindak sebagai koordinator untuk neuroendokrin. CRH dapat menyebabkan peningkatan permeabiliti vaskuler pada mikrosirkulasi kulit melalui degranulasi dari sel-sel mast dan histamin yang berasal dari sel-sel mast. CRH mengatur produksi interleukin (IL)-18 pada keratinosit manusia dan sekresi basal IL-6 dan IL-8 pada sebocytes manusia, yang mengatur MAP kinase (MAPK) dan nuclear factor-kB (NF-kB) dan dapat menyebabkan eritema di wajah. Khusus untuk efek CRH telah ditunjukkan dengan pemakaian CRH-H antagonis antalarmin dan peran CRH dalam mengatur epithelial homeostasis lokal.4 Sebab dari macam-macam klinis yang menyolok pada sub tipe rosasea, dapat berupa perbedaan etiologi dan patofisiologi. Perbedaan seperti ini meliputi reaktivitas pembuluh darah wajah, struktur jaringan ikat dermis atau komposisinya, komposisi matrik, struktur pilosebasea, kolonisasi mikroba, atau kombinasi respons kulit terhadap faktor-faktor yang menyebabkan rosasea.2,5,9,10 Korelasi klinis antara Radiasi Ultra Violet (RUV) dan rosasea telah banyak di dukung oleh penelitian dermatologi. Peran utama dari RUV telah didukung dengan adanya distribusi eritema dan telangiektasi pada konveksitis permukaan kulit. Supraorbital, infraorbital, submental, dan daerah yang terlindung dari matahari biasanya aman. Kerusakan oleh sinar matahari dianggap faktor etiologi, tetapi faktor-faktor lain juga berperan serta. Elastosis sinar matahari adalah latar belakang yang lazim, di mana gambaran histologi rosasea bertumpang tindih. Walaupun, prevalensi rosasea tidak meningkat pada para pekerja di luar rumah, kerusakan karena matahari pada lokasilokasi non wajah tidak berkembang ke fenotipe rosasea dan penelitian-penelitian yang di timbulkan sinar matahari pada penderita rosasea belum menunjukkan peningkatan sensitivitas kulit terhadap paparan ultra violet akut. Kedua radiasi UVA dan UVB mengganggu matrik intra seluler. Perubahan dermal pada dermis pars retikular menunjukkan bahwa radiasi UVA memiliki peran penting dari UVB, dikarenakan sedikit presentasi UVB yang tembus ke papilaris superfisial.1,2 Transient eritema, atau flushing pada rosasea dimediasi oleh ke dua faktor neuronal dan humoral. Mekanisme neural dan humoral menghasilkan reaksi flushing yang terlihat terbatas pada wajah. Terlihat menyolok pada wajah disebabkan aliran darah di wajah meningkat dibandingkan dengan tempat tubuh yang lain. Pembuluh darah kulit di wajah lebih superfisial 132
Vol. 22 No. 2 Agustus 2010
dan pembuluh darahnya lebih banyak serta lebih besar dibandingkan tempat-tempat lain.2,9 Faktor-faktor mikroba yaitu: Cathelicidin Antimicrobial Peptides: penderita rosasea memiliki tingkat Cathelicidin peptides yang lebih tinggi pada bagian kulit yang terkena dibandingkan dengan bagian kulit sehat pada anatomi yang sama.1,11,12 Infeksi Helicobacter pylori: infeksi Helicobacter pylori di dunia telah meningkat 50%. Infeksi ini biasanya diderita pada masa kecil dan usia baru dewasa. Penderita rosasea dilaporkan memiliki peningkatan antibodi anti- Helicobacter pylori.1,5,13 Kutu Demodex: benar tidaknya kutu Demodex memegang peranan penting dalam patogen rosasea perlu dibuktikan. Bisa saja peningkatan densitas kutu tersebut merupakan akibat dari rosasea, bukannya kutu sebagai penyebab rosasea. Kutu Demodex dapat memicu reaksi hipersensititas yang tertunda dan mengkontribusi dalam pembentukan papul dan pustul. Infestasi kutu ke bagian dalam dermis dapat menimbulkan reaksi granulomatus.1,5,14,15 Pengobatan rosasea dengan tetrasiklin oral dan obat salep topikal sulfur 3% menimbulkan perbaikan klinis rosasea tanpa memengaruhi jumlah kutu Demodex. Beberapa penulis mempostulasikan bahwa keuntungan yang tampak dengan pengobatan metronidazol ada kaitan dengan aktivitas anti Demodex. Namun demikian kutu Demodex telah ditunjukkan mampu bertahan in vitro pada konsentrasi metronidazol tinggi.1 Tumpang tindih antara rosasea dan Demodex, seperti rosasea yang tampak pada penderita AIDS mendukung peran kutu Demodex. Studi terkini menunjukkan perkembangan Demodex yang mirip rosasea setelah pengobatan dermatitis fasial dengan topikal calceneurin inhibitor.16,17,18,19 Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan penyebab pada dermatosis, penuaan psikologik, imunusupresi yang disebabkan oleh UV, dan photoaging. Pasien rosasea memiliki kulit dengan tingkatan ROS yang bertambah dibandingkan dengan pasien normal.1,18 Walaupun peran ROS bebas pada patogenesis rosasea masih belum jelas, terdapat beberapa hipotesis tentang perannya. Pertama, ROS yang dihasilkan oleh interfollicular neutrophils bisa secara langsung merusak folikel muka pada pasien rosasea. Kedua, ROS yang dihasilkan sinar UV bisa mengaktifkan matrix metalloproteinase yang mengakibatkan rusaknya kolagen dermal, karena menghambat matrix metalloproteinase serta menghasilkan aktivator protein A. Ketiga, kerusakan aktinik yang disebabkan oleh ROS bebas bisa menambah terhadap simptom rosasea
Telaah Kepustakaan
melalui degradasi dari vaskular, perivaskular kolagen, dan jaringan elastik, serta melemahkan integritas mekanis dari pembuluh darah.1,18,20 Guzman-Sanchez dan kawan-kawan mengadakan penelitian nilai ambang panas dan nyeri dan aliran darah di kulit pada pasien rosasea dengan menggunakan uji quantitative thermal sensory dan pencitraan laser Doppler. Penderita dengan ETR maupun PPR memiliki nilai ambang panas dan nyeri lebih rendah pada daerah yang menderita rosasea dibanding dengan daerah yang tidak menderita. Tingkat rata-rata nilai ambang panas dan nyeri untuk ETR dan PPR lebih rendah dari pada pasien normal, walaupun secara statistik tidak berarti pada kelompok ETR. Tingkat keparahan klinis dari penyakit dan nilai ambang panas dan nyeri menunjukkan korelasi yang positif pada kelompok ETR, tetapi tidak pada kelompok PPR.1,9,21 Rosasea sebagai kelainan inflmasi, lesi beradang (papul dan pustul) merupakan temuan yang lazim pada PPR tahap inflamasi. Secara klinis, lesi ini hampir semuanya bermula dari folikular yang memengaruhi sebasea maupun folikel rambut. Lesi inflamasi rosasea bersifat steril dan tidak ada kaitan dengan penyakit bakteri dari unit pilosebasea. 1 Penegakan diagnosis rosasea adalah dengan klinis dan pemeriksaan histologi dapat membantu ketika penyebaran pada wajah tidak khas atau ketika dicurigai adanya pembentukan granuloma. Pada ETR, infiltrat limpohistiosis perivaskuler yang jarang disertai oleh edema dermis dan venula ektatik dan limpatik. Elastosis yang berat mungkin ada. Gambaran yang sama ditemukan pada sub tipe papulopustula, tetapi radang infiltrat juga mengelilingi folikel rambut dan kelenjar sebasea. Phymatous rosacea ditandai oleh elastosis yang dominan, fibrosis, radang di dermis, hiperplasia sebasea, dan hipertropi folikel sebasea. Jalinan epitelisasi melubangi jaringan hiperplastik dan terisi oleh bahan inflamasi. Kutu Demodex folliculorum mungkin ditemukan pada semua tipe rosasea di dalam folikel infundibula dan glandula sebasea.2,6 PEMABAHASAN Rosasea merupakan kelainan kulit kronis yang umum terjadi, terutama memengaruhi bagian pusat muka dan konveks muka. Hidung, dagu, pipi, kening dan glabela merupakan daerah paling sering dijumpai. Jarang terjadi kelainan pada daerah infraorbital, submental, retro aurikular, darah V di dada, leher, punggung dan kulit kepala. Penyakit ini memiliki beberapa manifestasi klinis sesuai klasifikasi baru
Klasifikasi Baru dan Patogenesis Rosasea�
termasuk di antaranya flushing, eritema persisten, telangiektasi, papul, pustul dan jaringan dan glandula sebasea yang hiperplasia. Diagnosis dari rosasea didasarkan pada pengenalan karakter-karakter morfologik secara klinis. Walaupun demikian secara pasti dan kriteria diagnosis yang konprehensif sulit dilakukan mengingat manifestasi klinis yang beragam dan tidak adanya pemeriksaan laboratorium. Mekanisme patogenesis dari rosasea masih belum diketahui dengan pasti. Kemungkinan yang berperan adalah beberapa faktor, predisposisi genetik dan lingkungan, neurogenik, dan faktor-faktor mikroba merupakan proses penting untuk penyakit ini. Etiopatogenesis rosasea berawal sebagai actinic vasculopathy yang kemungkinan berasal dari lymphatic vessels, rosasea dapat juga terjadi seperti penyakit kulit yang disebabkan oleh matahari. Peran dari neuropeptida dan sitokin pro inflamasi dalam menghasilkan respon kemerahan, kadar minyak pada kulit wajah, dan kegunaan spironolakton pada rosasea masih perlu dibuktikan, namun peran penting CorticotropinReleasing Hormone (CRH) dalam kombinasi dengan radiasi UV yang harus dipertimbangkan. Sensitivitas terhadap sinar pada kulit dengan rosasea dan sirkulasi mediator vasoaktif seperti CRH adalah faktor predisposisi tambahan yang harus dipertimbangkan. Ada kemungkinan subtipe-subtipe rosasea merupakan penjelmaan berbagai proses penyakit tersebut dengan masing-masing memiliki etiologi yang berbeda. Perkembangan terbaru tentang petunjuk diagnosis dan klasifikasi yang lebih ketat oleh National Rosacea Society Expert Committee on the Classification and Staging of Rosacea memungkinkan investigasi dan uji klinis yang lebih tepat dan terfokus. Dari berbagai sumber tinjauan pustaka dapat disimpulkan bahwa klasifikasi baru rosasea memudahkan diagnosis dan mekanisme patogenesis rosasea masih belum diketahui dengan pasti. KEPUSTAKAAN 1. Reszko AE, Granstein RD. Pathogenesis of Rosacea. Cosm Dermatol. 2008; 21: 224–35. 2. Pelle MT. Rosacea. In Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Faller A, Leffell D, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 703–9. 3. Wilkin J, Dahl M, Detmar M, Drake L, Liang MH, Odom R, et al. Standard Grading System for Rosacea: Report of the National Rosacea Society Expert Committee on the classification and staging of rosacea. J Am Acad Dermatol 2004; 50: 907–12.
133
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin
4. Fimmel S, Naser MBA, Kutzner H: New aspects of the pathogenesis of Rosacea. Drug discovery today: Dis Mech 2008; 5: 103–11. 5. Grawford GH, Pelle M T, James WD: Rosacea: 1. Etiology, pathogenesis, and suntype classification. J Am Acad Dermatol 2004; 9: 327–41. 6. Webster GF. Rosacea. Med Clin N Am 2009; 93: 1183–94. 7. Blount BW, Pelletier AL. Rosacea: A common, yet commonly overlooked, condition. Ame Fam Phys 2002; 66: 435–40. 8. Knox C: Rosacea: A review of the a common disorder. The Int J of Acad Phys Assist 2006: 4. 9. Romagnolo SC, Benedetto AV. Rosacea in a new light. Skin Med 2005; 1: 47–8. 10. Millikan L. The proposed inflammatory pathophysiology of rosacea: Implication for treatment. Skin Med 2003; 2: 43–7. 11. Johnson RA, Wolff K, Polano MK, Suurmond D. Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology: Common and Serious Diseases. 3rd ed. New York: McGraw-Hill; 1997. 12. Gawkrodger DJ. Dermatology an illustrated Colour Text. 3rd ed. Oxford: Elsevier Health Sciences; 2002.
134
Vol. 22 No. 2 Agustus 2010
13. Rebora A. Papulopustular Rosacea. In: Williams H, Bigby M, Diepgen T, Herxheimer A, Naldi L, Rzany B, editors. Evidence-Based Dermatology. Malden: BMJ Books; 2008. p. 105–10. 14. Wolff K, Johnson R, Suurmond R. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. 5th ed. New York: McGraw-Hill; 2005. 15. Barankin B, Freiman A. Dermatology Clinical Pocket Guide. F.A. Philadelphia: Davis Company; 2006. 16. Champion RH, Rook A, Wilkinson DS, Ebling FJG. Textbook of Dermatology. 6thed. New York: Blackwell Science Ltd.; 1998. p. 2099–9. 17. Cunliffe WJ, Gollnick HP. Acne Diagnosis and Management. 1st ed. London: Martin Dunitz Ltd; p. 2001. 18. Hunter J, Savin J, Dah M. Clinical Dermatology. 3rd ed. Malden: Blackwell Science Ltd.; 2002. 19. Abd-El-Al AM, Bayoumy AM, Abou Salem EA. A study on Demodex Folliculorum in rosacea. J Egypt Soc Parasitol 1997; 27: 183–95. 20. James WD, Berger T, Elston D. Andrews’ Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier Inc; 2006. 21. Goldberg DJ. Laser Dermatology. New York: Springer; 2005.