MUBYARTOInstitute
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011 eBulletin
MUBINS n Edisi 001 n April 2011 SWARA33 m 1 http://www.mubyarto.org/ebulletin
SwARA33 Ed
eb isi K
an
an t i k g
N
na o i s a
l
... Kemakmuran Untuk Semua
...
Kwik Kian Gie
n
Membangun Kekuatan Nasional untuk Kemandirian Bangsa Sri Edi Swasono
n
Kemandirian, Dasar Martabat Bangsa Mubyarto
n
Menggugat Budaya Neoliberal
Pedagang Pasar Tradisional Terancam n
Awan Santosa & Puthut Indroyono
Memperkuat Ekonomi Rakyat n Lewat Teknologi
Tulus T.H. Tambunan & Ida Busnety
NASIONALISME
KEMANDIRIAN EKONOMI
Penanggung Jawab Dumairy Fahmy Radhi Noer Soetrisno Pemimpin Umum Satriyantono Hidayat
ISI
SWARA33 SWARA33 m 2
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April eBulletin 2011 MUBINS n Edisi 001 n April 2011 n
FOKUS
Pemimpin Redaksi Awan Santosa
3 5
wakil Pemimpin Redaksi Puthut Indroyono
10 Jangan Menjual Indonesia
Redaktur Hudiyanto M., Yuli Nugroho, Dimas Deworo Puruhito, Tarli Nugroho, Istianto Wibowo Artistik Satriyantono Hidayat Sekretariat Deviana
Kembali ke PASAL 33 ! Ekonomi Indonesia Terjajah Kembali Mubyarto
Sri Edi Swasono
12 Ekonomi Merdeka
Revrisond Baswir
14 Kekuatan Lokal & Sistem Ekonomi Pancasila
Poppy Ismalina
DIALOG 21 Revrisond Baswir
Alamat Redaksi Mubyarto Institute Jalan Mahoni, Bulaksumur B-2 Yogyakarta 55281 Telp./Fax. : 0274-555664 Email :
[email protected] Website : http://www.mubyarto.org SWARA33 adalah buletin elektronik yang menyediakan info tentang fokus, opini, aksi dan warta gerakan ekonomi rakyat dan pengamalan pasal 33 UUD 1945 di Indonesia. Buletin tersedia secara gratis dan dapat diunduh melalui website http://www.mubyarto.org/ebulletin Redaksi menerima kontribusi naskah dari dalam dan luar Mubyarto Institute, baik berupa hasil penelitian atau gagasan yang sesuai dengan visi dan misi Mubyarto Institute. Naskah dikirim ke alamat email redaksi, ditulis menggunakan aplikasi pengolah kata populer (mis. MS Word, StarOffice). Sertakan foto atau ilustrasi (gambar atau grafik) yang diperlukan serta biodata lengkap dan foto penulis. Naskah yang masuk menjadi milik redaksi dan keputusan pemuatan sepenuhnya menjadi wewenang redaksi. Tulisan yang dimuat tidak dengan sendirinya merupakan pendapat resmi Mubyarto Institute maupun Yayasan Mubyarto. Donasi dapat disalurkan melalui rekening YAYASAN MUBYARTO Bank Mandiri Cabang Yogyakarta No. 021-4714083 FOTO SAMPUL : Satriyantono H. LOKASI : Bandung
AKSI33 33 36 38
OPINI 29 Pengembangan Apropriate Technology sebagai upaya Membangun Perekonomian Negeri Secara Mandiri
Fahmy Radhi
31 Kebijakan Perlindungan dan Inovasi Pasar Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta
Awan Santosa & Puthut Indroyono
39 Pasar Tradisional VS Pasar Moderen
Fahmy Radhi
39 Solusi Kerakyatan untuk Energi Baru Terbarukan
Puthut Indroyono
PUSTAKA 39 Indonesia Vrij : INDONESIA MERDEKA
Mohammad Hatta
39 A Development Manifesto : The Resillience of Indonesian Economy Rakyat During the Monetary Crisis
Mubyarto
39
WARTA | AGENDA
FOKUS
SWARA33 SWARA33 m 3
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April eBulletin 2011 MUBINS n Edisi 001 n April 2011 n
Pengantar Redaksi
kembali ke
PASAL 33 !
Awan Santosa Pemimpin Redaksi TIGATIGA
Sungguhpun demokrasi ekonomi telah lama menjadi amanat konstitusi (Pasal 33), keterapannya saat ini kiranya masih jauh panggang daripada api. Liberalisasi dan privatisasi sektor-sektor ekonomi strategis telah makin mengukuhkan ketimpangan struktur ekonomi Indonesia. Bukan saja karena segelintir elit pemilik korporasi yang kini menguasai mayoritas aset dan hasil produksi nasional, tetapi juga karena mereka sebagian besar berasal dari luar negeri. Corak keterjajahan ekonomi Indonesia setidaknya nampak dalam lima indikasi berikut ini. Pertama, ekonomi Indonesia masih menjadi pemasok bahan mentah sepertihalnya migas, batubara, emas, CPO, kakao, susu, dan berbagai produk mentah lainnya bagi pihak luar negeri. Bahan-bahan mentah tersebut sebagian besar telah dikuasai perusahaan swasta luar negeri, seperti pada 85% kontrak-kontrak minyak dan gas bumi. Pada saat yang sama hampir 70% perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia juga sudah mereka kuasai. Kedua, ekonomi Indonesia masih menjadi pasaran bagi pabrikan atau perusahaan luar negeri. Sampai saat ini impor pangan Indonesia mencapai Rp. 110 trilyun/tahun, yang terdiri dari kedelai sebesar 2,2 juta ton/tahun atau sekitar 70-80% total kebutuhan kedelai nasional. Di samping itu Indonesia masih harus mengimpor gandum sebesar 4,5- 5 juta ton/tahun, yang meliputi hampir 100% kebutuhan gandum nasional, jagung sebesar 1 juta ton/tahun, dan beras sekitar 1 juta ton pada tahun 2010. 70% kebutuhan susu, 50% garam, 30% gula pun masih didatangkan dari luar negeri. Ketiga, ekonomi Indonesia masih menjadi tempat pemutar kelebihan modal pihak luar negeri, baik melalui pasar modal, pasar uang, maupun utang luar negeri. Sampai saat ini total utang luar negeri kita telah mencapai lebih dari Rp. 600 Trilyun, sehingga total utang kita mencapai sebesar Rp. 1.300 Trilyun, dan terus bertambah jumlahnya dari tahun ke tahun. Keempat, bangsa kita masih mengalami ketergantungan yang parah dalam hal penyusunan Undang-Undang yang terkait dengan pengelolaan ekonomi nasional sepertihalnya UU BUMN, UU Ketenagalistrikan, UU Penanaman Modal, UU Sumber Daya Air, dan sebagainya pada pihak luar negeri. UU tersebut memberi keleluasaan bagi pihak luar negeri untuk menguasai kekayaan alam dan perusahaan Indonesia, dan prakteknya telah lama makin memerosotkan keberdikarian bangsa. Dan kelima, bangsa kita pun masih menjadi pemasok tenaga kerja yang diupah murah bagi perusahaan dan atau pihak-pihak lain di luar negeri. Sebagian besar dari mereka –terutama Tenaga Kerja Wanita (TKW)- yang seringkali menjadi korban penyiksaan baik di Malaysia, Arab Saudi, dan negara lainnya, adalah berasal dari desa. Padahal negara dengan jumlah penduduk lebih besar dari bangsa kita sepertihalnya India dan China tidak mengirimkan tenaga kerja tidak terampilnya ke luar negeri. Akhirnya, telah nyata akibat tergadaikannya kedaulatan ekonomi bangsa. Krisis energi (BBM, listrik, gas, dan batu bara) beriringan dengan parade kemiskinan dan pengangguran di negeri kaya SDA. Jelaslah, tidak akan besar dan maju sebuah bangsa sebelum
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
SWARA33 m 4
ia sanggup berdiri tegak, sejajar, dan segera berhenti bergantung pada bangsa lain. Pun, tidaklah makmur sebuah negeri jikalau terus-menerus sekedar menempatkan diri sebagai kuli di negeri sendiri. Kini saatnyalah merajut kembali amanat (cita-cita) proklamasi dan konstitusi pendiri bangsa, yang termaktub jelas dalam Pasal 33. Kedaulatan ekonomi yang menjadi ruh demokrasi ekonomi haruslah digelorakan kembali, agar menjadi cita-cita bersama seluruh elemen anak bangsa. Kelahiran e-buletin ini diharapkan dapat menjadi bagian dari perjuangan menyuarakan dan mengembalikan Pasal 33, demi mewujudkan amanat demokrasi ekonomi di bumi pertiwi.
Redaksi
FOKUS
SWARA33 SWARA33 m 5
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April eBulletin 2011 MUBINS n Edisi 001 n April 2011 n
Mubyarto Catatan: Makalah yang disampaikan oleh Prof. Mubyarto dalam rangkaian acara konferensi Asia Afrika di Jakarta April 2005 ini kemudian diterbitkan bersama makalah lain dalam buku “Ekonomi Terjajah”, oleh Aditya Media & Pusat Studi Ekonomi Pancasila Universitas Gadjah Mada, Mei 2005.
Merchants and manufacturers are an order of (people), whose interest is never exactly the same with that of the public, who generally have an interest to deceive and even to oppress the public. (Adam Smith, 1776)
EKONOMI INDONESIA
TERJAJAH KEMBALI However impressive the economic indicators, a society that is abused and plundered by a small elite with a monopoly of violence, cannot realize its potential. The resources of the Indonesian archipelago have for centuries allowed small elites, foreign and domestic, to make themselves fabulously wealthy, a process which culminated under the New Order. (Howard Dick: 2002:245)
Pendahuluan
T
anggal 22-23 April 2005 Indonesia menjamu 106 delegasi konperensi dari Asia dan Afrika, 89 di antaranya dipimpin Kepala Negara/Kepala Pemerintahan. Kita ingat Presiden Soekarno 50 tahun lalu pada konperensi Bandung (1955) merupakan pemimpin kelas dunia yang mampu menggelorakan semangat 29 negara yang baru saja memperoleh kemerdekaan atau berhasil merebutnya dari bekas penjajahnya. Indonesia baru 10 tahun merdeka, meskipun kemerdekaan itu sendiri baru diakui dunia internasional pada 27 Desember 1949. Kita bangga negara yang baru merdeka 10 tahun sudah mampu menyelenggarakan Konperensi besar Negara-negara berkembang yang baru saja merdeka.
FOKUS
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
SWARA33 m 6
Indonesia tahun 1955 berpenduduk 85 juta, yang bagian terbesar masih hidup miskin. Kita baru memiliki 2 Universitas Negeri, termasuk yang tertua UGM, yang juga baru berumur 6 tahun karena resmi berdiri 19 Desember 1949. Pemimpin Negara-negara Asia-Afrika yang hadir dalam Konperensi Bandung mewakili 1,8 milyar penduduk dunia yang waktu itu merupakan 65% dari penduduk dunia.
Kemiskinan Indonesia 1905-2005 Jika sulit membandingkan kondisi kesejahteraan rakyat Indonesia selama 50 tahun (1955-2005), mungkin justru lebih mudah membandingkan kondisi kemiskinan rakyat Indonesia selama 1 abad (1905-2005). Kita mengetahui dari sejarah ekonomi Indonesia bahwa tahun 1901 adalah tahun dimulainya politik etik pemerintah penjajah Belanda usulan C. Th. van Deventer. Dalam politik etik atau politik “balas budi”, pemerintah penjajah “bertekad” menanggulangi kemiskinan penduduk pribumi terutama di Jawa melalui pembangunan irigasi (pengairan rakyat), pembangunan pendidikan (edukasi), dan pemindahan sebagian penduduk miskin dari Jawa ke luar Jawa (emigrasi, kemudian transmigrasi). Politik etik ini merupakan rekomendasi hasil penelitian tentang penurunan kemakmuran atau meningkatnya kemelaratan penduduk Jawa pada akhir abad 19. Politik etik menggambarkan keinginan pemerintah penjajah untuk “menebus dosa”, karena di satu pihak Belanda setelah menjajah Indonesia selama 300 tahun telah berubah dari negara kecil yang relatif miskin di Eropa menjadi negara industri yang “diperhitungkan”, yang menjadi “pusat” perdagangan Eropa Barat. Namun di pihak lain kesejahteraan rakyat Indonesia tidak meningkat, malahan bertambah melarat. Apa hasil yang dicapai politik etik? Politik etik membawa kemajuan ekonomi “luar biasa” bagi pulau Jawa. Produksi beras dan hasil-hasil perkebunan meningkat, dan tentu saja juga volume dan nilai ekspor pertanian khususnya gula, kopi, dan karet. Ini berarti pertumbuhan ekonomi tanah jajahan (HindiaBelanda) meyakinkan. Namun, seperti halnya kemajuan ekonomi selama pemerintahan Orde Baru (1966-1996), pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu berarti meningkatnya kesejahteraan rakyat secara merata. Ternyata ke-3 jalur politik etik lebih banyak memberikan keuntungan pada perusahaan-perusahaan perkebunan ketimbang kepada rakyat. Pembangunan irigasi di Jawa lebih banyak dinikmati perkebunan-perkebunan tebu ketimbang petani padi, dan pembangunan sekolah-sekolah rakyat juga sekedar menghasilkan anak-anak didik bagi perusahaan-perusahaan Belanda yang banyak membutuhkan pegawai/karyawan rendahan. Menjelang depresi dunia 1929, Jawa menjadi pengekspor gula terbesar nomor 2 di dunia setelah Cuba, dengan ekspor 2 juta ton, tetapi tidak diikuti meningkatnya kesejahteraan petani tebu. Though the value of the products exported from Western-style plantations has increased by leaps and bounds, the indigenous level of welfare on Java was in fact not higher, but lower than at the outset of the liberal period. (Wertheim: 1961:5)
Juga tidak kita perkirakan pada awalnya bahwa kehadiran IMF di Indonesia menjadikan semua lembaga inTerlihat dalam perbandingan ini bahwa kalau pada tahun 1820 ternasional seperti Bank Dunia, PDB per kapita Indonesia adalahCGI, 39% dari PDB per kapita Belanda, tahun 1950 menjadi Asia hanya 15%nya, dan tahun Bankpada Pembangunan bersatu 1992 setelah 47 tahun merdeka tetap hanya 16% PDB per padu dalam danbahwa persyaratan kapita Belanda. Tetapi sikap harus dicatat pertumbuhan tahunan setelah merdeka (1950-1992) menjadi lebih tinggi (2,8%) di bawah komando IMF. IMF menpadahal pertumbuhan PDB Belanda hanya 2,6% per tahun . syaratkan bahwa pemerintah melakSekarang satu abad setelah politik etik, 38 juta atau 16% pensanakan yang duduk Indonesiakebijakan berpendapatandan kurangprogram dari Rp 4.000/orang/ hari. Banyak orang Indonesia menjadi kayadituangkan raya dan hidup daditentukan olehnya, yang lam kemewahan, tetapi kemiskinan yang parah sangat mudah dalamdiMemorandum of Economic and ditemukan sekitar mereka. Financial Policies (MEFP) atau lebih Amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 adalah Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat dengan Indonesia. Bagaimana kita dapatof memasyarakat nama Letter memberikan pembenaran (justification) bagi kenyataan makin Intent atau LOI. ekonomi dan kesenjangan sosial berkembangnya ketimpangan dalam masyarakat Indonesia? Apa arti kemerdekaan yang telah direbut dengan darah, keringat, dan airmata para perintis dan pejuang kemerdekaan kita? Penderitaan dan kemelaratan rakyat Indonesia selama zaman penjajahan diuraikan panjang lebar oleh Ir. Soekarno dalam “Indonesia Menggugat” tahun 1930, ketika Ir. Soekarno diadili di Landraad Bandung, dan kemudian dihukum 4 tahun penjara karena dituduh sebagai ketua PNI (Partai Nasional Indonesia) menghasut rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah (penjajah) Belanda “yang sah”. Bahkan 2 tahun sebelumnya di den Haag, seorang mahasiswa berusia 26 tahun, Moh. Hatta, juga diadili karena dituduh “menghasut” rakyat untuk merebut kemerdekaan Indonesia “dengan kekerasan”. Tetapi kalau Soekarno dihukum 4 tahun, Moh. Hatta dibebaskan dari segala tuntutan.
Ekonomi Indonesia Terjajah Kembali Banyak daerah, terutama yang kaya sumber daya alam, di masa Orde Baru (1966-98) merasa “dihisap” kekayaannya oleh pemerintah pusat, atau oleh investor asing. Nilai dan tingkat “penghisapan” ini dapat ditaksir. Salah satu cara menghitung atau menaksirnya adalah dengan membandingkan nilai PDRB (per kapita) dengan nilai pengeluaran konsumsi per kapita. Dengan asumsi tabungan (saving) masyarakat tidak cukup berarti, jika nilai PDRB per kapita jauh lebih tinggi dibanding
FOKUS
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
SWARA33 m 7 krisis moneter 1997-98 yang mengakibatkan “hengkangnya” modal asing (ditaksir USD 10 milyar per tahun sejak 1997), justru berdampak positif yaitu menurunnya “derajat penghisapan” terhadap ekonomi Indonesia. Daerah/propinsi-propinsi terbagi 2, 12 propinsi derajat penghisapannya turun (total 101%), dan 11 propinsi meningkat (25%). Ini berarti bahwa menurunnya peranan modal asing yang beroperasi di Indonesia berdampak positif pada ekonomi Indonesia, karena derajat penghisapannya terhadap ekonomi daerah menurun total 76%. Propinsi-propinsi Bali, DIY, Sulut, dan NTT, kini menjadi daerahdaerah yang perekonomiannya jauh lebih mandiri, ketimpangan ekonominya relatif rendah, dan produksinya sebagian besar dinikmati masyarakat setempat. Yang tetap memprihatinkan adalah propinsi-propinsi kaya sumberdaya alam yaitu Kaltim dan Riau, yang derajat penghisapannya tetap tinggi masing-masing 90% dan 76%, bahkan DKI Jakarta derajat penghisapannya malah meningkat selama 1996-2002 dari 78% menjadi 81%. Ini berarti ekonomi daerah Jakarta menjadi makin timpang.
nilai pengeluaran konsumsi per kapita penduduknya, berarti sebagian besar produksi daerah tidak dinikmati oleh penduduk setempat. Dengan perkataan lain sebagian produksi memang “dikirimkan” kembali kepada pemiliknya atau investor dari luar daerah, yang bisa beralamat di Jakarta, atau di luar negeri seperti New York, Tokyo atau London. Tabel 2 menunjukkan “derajat penghisapan” daerah propinsi tahun 1996 dan 2002. Terlihat jelas untuk tahun 1996 propinsipropinsi yang paling kaya sumber daya alam yaitu NAD, Riau, Kalimantan Timur, dan Papua (Irian Jaya), “derajat penghisapannya” sangat tinggi, masing-masing 81%, 84%, 89%, dan 82%. Artinya dari setiap 100 nilai produksi, bagian yang dinikmati penduduk setempat hanya 19% (NAD), 16% (Riau), 11% (Kaltim), dan 18% (Papua), dan selebihnya dinikmati investor dari luar. Propinsi DKI Jakarta yang menjadi pusat peredaran uang Indonesia ternyata juga “dihisap” pemodal dari luar negeri yaitu sebesar 78%, atau hanya 22% yang dinikmati penduduk DKI Jakarta sendiri. Adalah menarik membandingkan derajat penghisapan nasional tahun 1996 dan tahun 2002. Ternyata, dapat diduga,
Kesimpulan kita tentang perekonomian Indonesia selama periode Orde Baru adalah bahwa selama 32 tahun era pembangunan ekonomi, Indonesia memang tidak menyia-nyiakan kesempatan membangun ekonominya dengan cara mengundang modal asing secara besar-besaran (UU PMA), tetapi tak mampu “mengendalikan diri”, dan menjadi kebablasan. Akibatnya, ekonomi Indonesia memang telah tumbuh secara ajaib (miracle) seperti 7 negara Asia Timur lainnya (East Asian Miracle), tetapi tanpa disadari telah “kembali dijajah” oleh kekuatan-kekuatan ekonomi asing. Pada tahun 1988 terjadinya penjajahan kembali ini sebenarnya sudah diperingatkan, namun diabaikan. Perkembangan sejarah mengajarkan kepada kita bahwa hakekat penjajahan yaitu penghisapan satu bangsa oleh bangsa yang lain tidak berhenti, setelah masa kemerdekaan tiba. Hakekat penjajahan itu tetap berlangsung hingga kini dalam bentuk yang lebih halus, lebih sopan, tetapi lebih kuat daya hisapnya, dan lebih sulit melawannya. Bentuk yang paling umum dari penjajahan model baru ini adalah penjajahan ekonomi di antaranya melalui cengkeraman Multi National Corporation (Ridlo: 1990: 21).
Globalisasi dan Indonesia The West won the world not by the superiority of its ideas or values or religion (to which few members of other civilization were converted), but rather by its superiority in applying organized violence. Westerners often forget this fact; non-West-
FOKUS
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
erners never do (Huntington: 1997: 51). Rektor UGM Prof. Sofian Effendi pada Pidato DIES ke 55 tanggal 20 Desember 2004, 23 kali menyebut kata Pancasila. Pidatonya sendiri diberi judul Revitalisasi Jati Diri UGM Menghadapi Perubahan Global. Begitu selesai pidato, Prof. Moh. Sadli salah seorang alumnus Fakultas Teknik, pernah 2 kali menjadi Menteri Pemerintah Orde Baru, dan pernah menjadi Ketua ISEI, menyindir, “Jadi UGM anti globalisasi?” Rektor Sofian Effendi menjawab, “UGM sangat waspada” (cautious). Kalau saya yang harus menjawab pertanyaan Prof. Sadli, saya pasti menjawab ya! UGM harus bersikap “antiglobalisasi”, karena globalisasi dalam sifatnya yang sekarang, yang serakah dan imperialistik, sangat merugikan perekonomian negara-negara berkembang seperti Indonesia. Sikap yang sama (“antiglobalisasi”) memang sudah ditunjukkan pula oleh Forum Sosial Dunia (WSF) kumpulan negara-negara miskin, yang menantang Forum Ekonomi Dunia (WEF) dari negara-negara kaya. Mengapa Prof. Joseph Stiglitz (yang memberikan ceramah tanggal 14 Desember 2004 di Jakarta), tidak dituduh bersikap antiglobalisasi ketika buku-bukunya tegas-tegas menunjukkan merajalelanya keserakahan negara-negara kaya, yang melalui globalisasi ingin menguasai negara-negara miskin, kadangkadang dengan sikap-sikap sangat kasar dan terang-terangan? Apakah ini adil? Kita memuji keberanian Rektor Sofian Effendi untuk menyampaikan gagasan “revolusioner” tersebut sebagai pidato Dies. Di masa lalu Prof. Sardjito, Rektor UGM pertama (1949-1961) selalu menyampaikan pidato penting pada upacara Dies yang selanjutnya dijadikan pegangan semua dosen dalam kegiatankegiatan akademiknya, dalam pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Misalnya pada pidato Dies berturut-turut tahun 1954 dan 1955, Prof. Sardjito berbicara tentang dasar dan tugas sosial UGM, dalam mengajar, meneliti, dan mengabdikan ilmu pengetahuan kepada masyarakat. Setiap dosen UGM harus “ber-Pancasila”, setiap kuliah harus ber-Ketuhanan, supaya kita dapat hidup religius, ber-perikemanusiaan, berkebangsaan, demokratis, dan berkeadilan sosial. Para ahli peneliti harus mempunyai pendirian Pancasila. (Mubyarto, 2004: 130). Dalam “Pemikiran Bulaksumur (Bulaksumur School of Thought)” setiap disiplin ilmu harus dikembangkan ke arah bidang-bidang yang menyentuh kehidupan rakyat, dan tidak sekedar mengekor atau memfotokopi pikiran pakar-pakar “bule” dari negara-negara maju. Ilmu pengetahuan tidak pernah bebas nilai (value free). Justru ilmu-ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Indonesia harus berisi nilai-nilai sosial budaya masyarakat Indonesia yaitu Pancasila. Contoh yang sangat baik diberikan oleh Prof. Sardjito, yang dokter, bagaimana setiap ilmu harus berusaha menerapkan (sistem) nilai Pancasila. Buat saya sendiri di Fakultas Kedokteran, mahasiswa baru saya beri syariatnya untuk dapat mengisi Pancasila. Kuliahkuliah dititikberatkan pada Ketuhanan, dan bagaimana melatih diri mempertebal perasaan persaudaraan dalam keluarga UGM dan hal-hal perikemanusiaan, kebangsaan,
SWARA33 m 8
demokrasi, dan keadilan sosial (Mubyarto, 2004: 130). Prof. Syafii Maarif yang pada Dies UGM ke-55 menerima anugerah HB IX, menyampaikan pidato “Ekonomi Moral”, mengritik tajam ajaran keserakahan sistem ekonomi kapitalis liberal yang telah merusak bangunan bangsa Indonesia Keserakahan segelintir orang sekarang harus dihentikan, dengan melakukan penegakan hukum, dan sikap tegas pemerintah. Mereka yang serakah sering berlindung di balik Pancasila semata-mata untuk menutupi syahwat kekuasaan sebagai agenda tersembunyi.
Sistem Ekonomi Yang Membelenggu John Perkins yang berperan sebagai ECONOMIC HIT MAN (EHM) dalam buku “Confessions of An Economic Hit Man” (Berrett-Koehler Publishers Inc, San Francisco, 2004), membuat geger dengan pengakuannya bahwa paham corporatocracy yang lahir dan berkembang di Amerika berani membayar sangat tinggi kepada seorang EHM seperti dia, dengan misi “rahasia” membuat negara-negara yang kaya minyak seperti Indonesia, agar mendapat utang sebanyak-banyaknya dari Amerika, terutama melalui Bank Dunia dan IMF, sampai benar-benar tidak mampu membayarnya kembali. Kalau kondisi yang matang ini sudah tercapai, maka negara yang bersangkutan sudah masuk perangkap “the global empire” sehingga “keamanan nasional Amerika terjamin”. Kalau kondisi demikian tidak tercapai, jalan terakhir akan ditempuh yaitu seperti halnya Panama tahun 1989, dan Irak tahun 2003, negara yang bersangkutan akan diinvasi dengan kekuatan militer penuh. Demikian Indonesia yang akan merayakan 60 tahun merdeka bulan Agustus mendatang, belum mematuhi amanat Pembukaan UUD 1945 yang 7 kali menyebut kata kemerdekaan, dan menyebut 5 kali kata keadilan. Namun rupanya Indonesia tidak sendirian. Mungkin sekali lebih dari separo negara-negara yang hadir dalam peringatan 50 tahun Konperensi AA bulan April di Bandung, tidak dapat lagi disebut sebagai negara yang sudah benar-benar merdeka. Banyak yang sejak globalisasi melanda seluruh dunia, khususnya sejak dicanangkannya Konsensus Washington (1989), secara politik negara-negara tersebut merdeka tetapi perekonomiannya sudah dikuasai corporatocracy. Putusan pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM ratarata 29% tanggal 1 Maret 2005, yang ditentang sebagian besar warga masyarakat karena jelas tidak adil, tetap saja dilakukan karena kepentingan modal asing menghendakinya. Indonesia kini sudah terjebak dalam perangkap “global empire”, sehingga terpaksa mengorbankan kepentingan nasionalnya. Perjuangan kemerdekaan dan pembangunan nasional untuk menyejahterakan rakyat Indonesia masih belum dapat dikatakan berhasil, kalau tidak dapat disebut gagal. The problems confronting us today are not the result of malecious institutions; rather they stem from fallacious concepts about economic development... we need a revolution in our approach to education, to empower ourselves and our children to think, to question, and to dare, to act (Perkins: 2004: 222).
FOKUS
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
Pengakuan sangat polos Perkins dalam buku yang membuat geger ini membuka tabir mengapa pemikiran ekonomi Pancasila amat sulit berkembang dan diterima pakar-pakar ekonomi konvensional Indonesia. How do you rise up against a system that appears to provide you with your home and car, food and clothes, electricity and health care....How do you muster the courage to step out of line and challenge concepts you and your neighbors have always accepted as gospel, even when you suspect that the system is ready to self-destruct?(ibid. 217)
Penutup Presiden Soekarno tahun 1955 secara berapi-api menegaskan “kolonialisme belum mati”. Colonialism has also its modern dress in the form of economic control, intellectual control, (and) actual physical control by a small but alien community within a nation (www.fordham. edu/halsall/mod/1955sukarno-bandong.html). Apakah kita heran betapa ungkapan Presiden Soekarno masih sangat relevan 50 tahun kemudian? Dan jika kita sadar sekarang bahwa kolonialisme belum mati, berapa banyak di antara kita yang berani mengakui mengapa kita telah membiarkan proses “rekolonisasi” bisa terjadi? Apa sebab kaum cendekiawan kita banyak yang tidak menyadari bahaya besar penjaja-
SWARA33 m 9
han intelektual ini? Presiden RI sekarang memang tidak mungkin berbicara lantang seperti Presiden RI 50 tahun lalu, karena Indonesia sudah berada dalam cengkeraman kekuasaan global (global empire) yang berbentuk “corporatocracy”, yang menjadi sumber utangutang luar negeri kita yang amat besar. Meskipun demikian kita harus berbicara blak-blakan kepada anak-anak muda kita sekarang, yang akan menerima estafet kepemimpinan Indonesia di masa depan. Mereka harus diberi tahu bahwa masih ada cara, atau jalan keluar, menghadapi arus globalisasi yang makin menyesakkan kehidupan kita sekarang dan masa datang. Satu-satunya sikap yang harus kita kembangkan adalah meningkatkan rasa percaya diri. Kalau Francis Fukuyama menegaskan pentingnya kepercayaan (trust) bagi berkembangnya kehidupan berbangsa yang penuh dinamika, kita harus dapat percaya satu sama lain di antara bangsa kita, bukan malah lebih percaya pada mulut orang-orang atau bangsa-bangsa super kaya dan adikuasa yang berobsesi menguasai dunia. Mudah-mudahan para pemimpin kita menyadari hal ini. Pancasila adalah ideologi nasional yang merupakan jati diri bangsa Indonesia yang harus senantiasa diperkuat dalam menghadapi hegemoni globalisasi yang makin menekan.
n
FOKUS
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
SWARA33 m 10
Sri-Edi Swasono
M
akin banyak diberitakan keprihatinan tentang makin melunturnya nasionalisme. Makin banyak pula gerakan patriotik yang mencemaskan telah berubahnya “pembangunan “ menjadi sekadar “pembangunan di “. Gegap-gempitanya pembangunan di Tanah Air, menggelegarnya tiangtiang pancang menembus bumi sebagai derap pembangunan di belum menempatkan sebagai Tuan di Negeri Sendiri. Semula berbisik- bisik, lama-lama menjadi pembicaraan terbuka sehari-hari, bahwa banyak pemuda berdasi kita sudah menjadi “jongos” globalisasi. Keprihatinan di media massa ini haruslah kita syukuri sebagai suatu arus-balik kembalinya kesadaran nasional
JANGAN MENJUAL
INDONESIAKU
dan rasa kebangsaan yang akan bisa memperkukuh jati diri Bangsa . Lahirnya Perhimpunan Nasionalis (Pernasindo) yang dideklarasikan Kwik Kian Gie dan kawan-kawan pada 9 Juni 2006, tidak terlepas dari alasan makin intensifnya pelaksanaan kebijakan sistematis ala Konsensus Washington (deregulasi, liberalisasi dan privatisasi).
Demikian pula dideklarasikannya Komite Bangkit Indonesia oleh Rizal Ramli dan kawan-kawan pada 31 Oktober 2007, yang mendapat sambutan banyak kalangan, ruhnya adalah semangat kebangkitan menolak penjajahan (baru), menolak privatisasi kebablasan, menolak kapitalisme, dan imperialisme predatorik yang makin nyata menelikung Indonesia, yang telah memberikan kesempatan berlebih kepada investor-investor luar negeri untuk mendominasi (overheersen-istilahnya kaum Republiken doeloe) lapangan-lapangan usaha strategis di negeri kita. Di Surabaya, dalam memperingati Hari Pahlawan 10 November (the Glorious November 10th, 1945) akan dikumandangkan nasionalisme dan patriotisme . Akan ditegaskan di situ bahwa untuk Bangsa , “ is not for sale”.
Posisi Rakyat
Keterpurukan adalah keterperosokan menerima pasar-bebas. Pasar-bebas ibarat menjadi “berhala baru” dalam praktek penyelenggaraan ekonomi. Di harian ini pernah saya kemukakan tentang keprihatinan tentang Daulat Pasar yang menggusur Daulat Rakyat. Bila kita meneropongnya dengan jeli, tidaklah sulit untuk melihat telah terjadinya proses pembangunan berkesinambungan yang menggusur orang-orang miskin, tetapi bukan menggusur kemiskinan. Berdasar paham Daulat Rakyat maka posisi rakyat dalam pembangunan nasional adalah substansial, namun posisi sentral ini telah direduksi dan rakyat terpojok ke posisi residual. Ibaratnya kepentingan rakyat ditempatkan pada urutan preferensi tambal-sulam, di pinggiran variabel-variabel makro ekonomi konvensional-tradisional, tidak pada preferensi substansial (karena terbatasnya kolom, data dan contoh-contohnya tidak dikemukakan di sini). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menegaskan penolakannya terhadap liberalisme, kapitalisme, dan ideologi
FOKUS
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
fundamentalisme pasar, yang tentulah sangat kita hargai. Tentu berkaitan pula dengan penolakan ideologi itu, Wapres Jusuf Kalla pun berpendapat seiring. Wapres tidak menghendaki bank-bank nasional kita berperan sebagai tengkulak - maksudnya bank-bank kita harus tetap berperan sebagai agent of development, tidak sebagai rentseekers melulu. Namun, kenyataan di lapangan belum sesuai dengan penegasan Presiden dan Wapres di atas. Barangkali para penerima Hadiah Nobel Ekonomi 2007, Leonid Hurwicz, Eric Maskin, dan Roger Myerson yang tidak memutlakkan mekanisme pasar-bebas dengan “tangan gaib” (invisible hand) senyawanya dapatlah menambah keyakinan para pembaca, bahwa yang dikemukakan oleh Presiden dan Wakil Presiden itu adalah pemikiran yang benar. Teori para Nobel laureates, yang berujung pada upaya mencapai Pareto efficiency melalui rancangan design mechanism itu, moga-moga menyadarkan para ekonom kita akan error (erroneous)-nya fundamentalisme pasar. Dengan makanisme pasar-bebas (berdasar doktrin perfect individual liberty dan doktrin self-interest-nya Adam Smith), yang kuat (kaya) akan selalu lebih mampu meraih manfaat di pasar. Prinsip Pareto optimal, dalam pengertian dapat tercapainya kondisi efisien, di mana “tidak lagi seseorang bisa beruntung (better-off) tanpa membuat orang lain merugi (worse-off)”, maka dalam pasar-bebas yang better-off pastilah yang kaya. Pasar-bebas yang tabiatnya tidak self-correcting dan tidak self-regulating memerlukan campur-tangan pemerintah untuk mengoreksi keserbamenangan pasar (sesuai adagium the winner-take-all).
Nasionalisme Ekonomi Jauh sebelum Kemerdekaan , para founding fathers kita telah dengan jeli mewaspadai individualisme dan liberalisme Adam Smith. Pada 1934, Mohammad Hatta telah mengemukakan: “...teori Adam Smith berdasar kepada perumpamaan homo economicus.... Akan tetapi orang ekonomi seperti lukisannya hanya ada dalam dunia pikiran...sebab itu dalam praktik laisser-faire - persaingan merdeka (pasar-bebas) - tidak bersua maksimum kemakmuran yang diutamakan oleh Adam Smith.... Ia memperbesar mana yang kuat, menghancurkan mana yang lemah....” Tangan gaib Adam Smith adalah ilusi dan mitos belaka. Sedang Radjiman Wediodiningrat (1944) menyatakan: “... Adam Smith adalah golongan cerdik pandai yang tidak menganggap pamrih-pribadi (self-interest) sebagai penyakit masyarakat....” Dalam kaitan dengan Hurwicz, Maskin, dan Myerson, adalah tepat reaksi para ekonom strukturalis yang menegaskan pentingnya kembali melaksanakan Pasal 33 UUD 1945 untuk menghindarkan gugurnya Daulat Rakyat oleh Daulat Pasar. UU Migas (No. 22/2001) dan UU Penanaman Modal (2007) harus secara fundamental ditinjau ulang. Pasal 33 UUD 1945 adalah benteng nasionalisme ekonomi . Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang dikandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
SWARA33 m 11
digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bagi pemikir strukturalis Indonesia, Soekarno, Hatta, Radjiman, Margono, dan Sumitro Djojohadikusumo, Wilopo, dan seterusnya, kemudian Mubyarto, Sritua Arief, Hartojo Wignjowijoto, Dawam Rahardjo, Bambang Ismawan, Kwik Kian Gie, Rizal Ramli, Kurtubi, I Noorsy, Revrison Baswir, Marwan Batubara, dan seterusnya, maka peran Negara tidak saja untuk mengatasi kegagalan pasar, tetapi untuk mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, menolak penjajahan baru. Nasionalisme Soekarno-Hatta tidak tertundukkan. Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 10 November mari kita mengenang kepahlawanan mereka. Dalam pledoinya di depan Sidang Pengadilan Den Haag (1928) berjudul “Indonesi? Vrij” (Indonesia Merdeka), Bung Hatta menegaskan: “...lebih baik tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain...”. Dua tahun kemudian (1930), Bung Karno pun menggugat di depan Sidang Pengadilan Bandung. Dengan pledoinya berjudul “Indonesi? Klaagt-Aan” (Indonesia Menggugat), menegaskan: “...imperialisme berbuahkan ‘negeri-negeri mandat’, ‘daerah pengaruh’...yang di dalam sifatnya ‘menaklukkan’ negeri orang lain, membuahkan negeri jajahan...syarat yang amat penting untuk pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup itu ialah Kemerdekaan Nasional...”. Namun, beberapa ekonom muda mengibarkan bendera ketertekuk-lututannya dengan membacakan tuah: “nasionalisme itu kuno, masukkan saja dalam saku”. Sambil menepuk dada mengagumi buku-buku fiksi baru membacakan proklamasinya: “...this is the end of nation sates, the world is borderless and there is no more free lunch...”. Absurditas bertemu dengan mediokritas. Memang sejak awal Kemerdekaan pun ada kelompok Republiken dan kelompok Co (NICA), ada kelompok yang mangusir penjajah dan ada yang mengundang kembali penjajah. Kelompok Co, yang serba hanging-loose dan bermasa-bodoh, tidak merasa perlu untuk tahu ground-zero keberadaannya dalam berperikehidupan nasional. Posisi rakyat adalah sentral dan substansial, bukan tersubordinasi. Oleh karena itu, doktrin residual Presiden Hoover yang berujung pada teori trickle-down effect (teori rembesan ke bawah), yang menempatkan rakyat hanya berhak akan rembesan, harus kita tolak. Mari kita kembali ke Pasal 33 UUD 1945 (tanpa menunggu MDGs), mengutamakan kepentingan rakyat seluruhnya sesuai Pasal 27 (ayat 2) UUD 1945, bahwa tiap warga negara berhak akan pekerjaan (antipengangguran) dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (antikemiskinan), sesuai pula dengan Pancasila kita: Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat , merdeka dan rukun bersatu.
n Prof. Dr. Sri-Edi Swasono Guru Besar Fakultas Ekonomi UI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
SWARA33 m 12
Revrisond Baswir
EKONOMI P
MERDEKA
erbedaan antara terjajah dan dan merdeka tampaknya tidak memiliki makna apa-apa bagi sebagian besar ekonom. Dalam pandangan para ekonom yang saya sebut sebagai ekonom arus utama ini, identitas sebuah negara tidak memiliki makna lain selain untuk kepentingan statistik belaka.
Akibatnya, ketika berbicara mengenai perekonomian sebuah negara, yang penting bagi mereka tidak lebih dari sekedar datadata statistik seperti luas wilayah, jumlah penduduk, Produk Domestik Bruto (PDB), pendapatan perkapita, jumlah uang beredar, volume anggaran negara, cadangan devisa, nilai kurs, dan seterusnya. Demikian halnya ketika berbicara mengenai perkembangan ekonomi, yang menjadi pusat perhatian mereka tidak lebih dari sekedar data-data statistik seperti pertumbuhan ekonomi, peran investasi, peran konsumsi, tingkat inflasi, tingkat suku bunga, dan paling jauh mengenai tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Cara pandang seperti itu jelas sangat bertolak belakang dengan cara pandang para Bapak Pendiri Bangsa. Bung Karno, misalnya, ketika berbicara mengenai politik perekonomian Indonesia, secara jelas membedakan antara ekonomi kolonial dengan ekonomi nasional. Menurut Bung Karno, ekonomi Indonesia yang berwatak kolonial setidak-tidaknya memiliki tiga ciri sebagai berikut. Pertama, diposisikannya perekonomian Indonesia sebagai pemasok bahan mentah bagi negara-negara industri maju. Kedua, dijadikannya perekonomian Indonesia sebagai pasar produk negara-negara industri maju. Ketiga, dijadikannya perekonomian Indonesia sebagai tempat untuk memutar kelebihan kapital yang terdapat dinegara-negara industri maju. Dengan latar belakang seperti itu, ekonomi Indonesia merdeka, yang oleh Bung Karno disebut sebagai ekonomi nasional, haruslah merupakan koreksi total terhadap ciri-ciri ekonomi kolonial tersebut. Sejalan dengan Bung Karno, Bung Hatta lebih memusatkan
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
perhatiannya terhadap struktur sosial ekonomi yang diwarisi Indonesia dari pemerintah Hindia Belanda. Menurut Bung Hatta, struktur sosial-ekonomi Hindia Belanda ditandai oleh terbaginya masyarakat Indonesia atas tiga strata sebagai berikut. Pertama, kelas atas yang makmur diisi oleh bangsa Eropa. Kedua, lapis tengah yang menguasai perdagangan diisi oleh warga timur asing. Ketiga, kelas bawah yang miskin diisi kaum pribumi. Sebab itu, menurut Bung Hatta, sebagai koreksi terhadap ekonomi kolonial, ekonomi Indonesia merdeka harus ditandai oleh bangkitnya kaum pribumi sebagai tuan di negeri mereka sendri. Untuk mewujudkan cita-cita ekonomi merdeka tersebut, baik Bung Karno, Bung Hatta, maupun para Bapak Pendiri Bangsa yang lain, sepakat untuk menjadikan demokrasi ekonomi sebagai dasar penyelenggaraan perekonomian Indonesia. Dalam rangka itu, sebagaimana terungkap secara terinci dalam Pasal 33 UUD 1945, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak (harus) dikuasai oleh negara. Bumi, air, dan segala kekayan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Perjuangan para Bapak Pendiri Bangsa untuk mewujudkan ekonomi Indonesia merdeka itu jelas sangat bertentangan dengan kepentingan kaum kolonial. Sebab itu, tidak heran, bila mereka hampir terus menerus berusaha menjegal rencana tersebut. Hal itu antara lain mereka lakukan dengan melakukan agresi pertama dan kedua segera setelah proklamasi. Selanjutnya, melalui Konferensi Muja Bundar (KMB), mereka berusaha memaksa Indonesia untuk membayar pampasan perang dan menanggung warisan utang luar negeri pemerintah Hindia Belanda, masing-masing sebesar US$2,5 milyar dan US$4 milyar.
SWARA33 m 13
Dengan latar belakang seperti itu, jika disimak perjalanan ekonomi Indonesia selama 60 tahun belakangan ini, hanya dalam era pemerintahan Soekarno rencana untuk mewujudkan ekonomi merdeka melalui proses demokratisasi ekonomi itu benar-benar pernah dilaksanakan, yaitu melalui pengembangan koperasi dan dilakukannya nasionalisasi perusahaanperusahaan asing dalam periode 1956 – 1964. Setelah itu, terutama setelah masuknya Mafia Berkeley sebagai bagian dari kekuasaan pada awal pemerintahan Soeharto, kaum kolonial secara sistematis berhasil menghentikan proses tersebut. Bahkan, terhitung sejak diterbitkannya UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), mereka berhasil melakukan koreksi ulang sesuai dengan selera dan kepentingan mereka. Lebih-lebih setelah ekonomi Indonesia mengalami krisis moeneter pada 1997/1998 yang lalu. Melalui penyelenggaraan sejumlah agenda ekonomi neoliberal yang dikomandoi oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, upaya untuk mewujudkan ekonomi merdeka tidak hanya terhenti secara praksis. Tetapi mengalami koreksi secara sempurna hingga ke tingkat konstitusi. Belakangan, melalui penyusunan UU Penamaman Modal, kaum kolonial tampaknya sedang berusaha keras untuk menuntaskan rencana jahat tersebut. Demikianlah, jika disimak secara keseluruhan, rasanya tidak terlalu berlebihan bila perjalanan ekonomi Indonesia sejak proklamasi layak dipahami sebagai sebuah perjalanan dari kolonialisme menuju neokolonialisme. Quo vadis ekonom arus utama?
n Dr. Revrisond Baswir, MBA. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM ; Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM ; Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
SWARA33 m 14
Poppy Ismalina
(Persembahan dan Pengabdian Pemikiran pada Konsistensi dan Perjuangan Pemikiran (alm) Pak. Muby)
KEKUATAN LOKAl
SISTEM EKONOMI PANCASILA
”Some Indonesians, including social scientists, especially economists, argue that there is no entity such as ekonomi rakyat (people’s economy) or that there is no history of ekonomi rakyat. We believe that it is because they have never read books on Indonesian economic history”(Mubyarto “A Development Manifesto” 2005)
k
ekuatan lokal adalah salah satu jawaban besar dari upaya pencarian kekuatan tandingan globalisasi. Globalisasi yang melahirkan banyak permasalahan, seperti kemiskinan, pengangguran, ketidakmerataan, dan marginalisasi sebagian besar penduduk dunia, memaksa orang untuk
beralih dan memperkuat apa yang dimiliki dalam kehidupan lokalnya. Seiring dengan merebaknya keyakinan orang akan fenomena globalisasi, banyak dorongan untuk kemudian mengeksplorasi kekuatan lokal, baik dari segi pemikiran maupun aksi. Robertson and Haquekhondker (1995) menegaskan bahwa the defense or promotion of the local is a global phenomenon. Namun demikian, tidak sedikit pengalaman di berbagai negara yang menunjukkan kegagalan dalam membangun kekuatan lokal. Cerita sukses dari pengalaman Grameen Bank di Bangladesh, Credit Union di Eropa, gerakan LETS (Local Exchange Trading System) di Inggris dan Kanada, dan gerakan Zapatista di Meksiko maupun lembaga-lembaga keuangan mikro di Indonesia (dan masih banyak cerita sukses dari belahan dunia lainnya) masih kurang mampu memprovokasi kesadaran kita akan keefektifan dari bangunan kekuatan lokal. Padahal, di Indonesia, tidak seperti di banyak negara lain, eksplorasi kekuatan lokal sebenarnya tidak hanya baru sampai pada dataran aksi, tetapi juga sudah pada dataran pemikiran (baca: bahkan, ideologi ekonomi). Salah seorang pemikir besar
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
yang tiada henti berbuat dan menunjukkan pada kita semua tentang bangunan kekuatan lokal yang dimiliki oleh rakyat Indonesia adalah alm. Pak Muby. Pemikiran sistem ekonomi Pancasila dibangun dari kesadaran perlunya ’kuasa’ kekuatan lokal, yang selalu sering disebut oleh Pak Muby sebagai ekonomi rakyat. Semangat berpikir dan bertindak lokal (think locally, act locally) yang menjadi dasar dari seluruh gerakan kekuatan lokal di dunia juga menjadi pijakan pemikiran dan implementasi sistem ekonomi Pancasila (Mubyarto, 1997(1)). Sistem Ekonomi Pancasila adalah sesungguhnya sistem lokal yang kita punya, sebagai jawaban dari pencarian kekuatan tandingan atas fenomena globalisasi, dan lebih jauh lagi adalah sebagai ideologi tanding (counter ideology) dari kapitalisme (Mubyarto, 2000). Lebih tegasnya, sistem Ekonomi Pancasila adalah jawaban dari upaya kita membangun Kekuatan Lokal di Indonesia. Realitas itulah yang menjadi inspirasi isi makalah ini. Apa yang akan dibahas cerminan dari keinginan untuk memaknai pemikiran dan implemetasi sistem ekonomi Pancasila dalam membangun kekuatan lokal. Catatan-catatan tambahan yang mungkin belum banyak tertuang dalam tulisan-tulisan yang ada mengenai Ekonomi Pancasila hanyalah merupakan catatan yang selama ini sedikit tercecer dari diskursus Ekonomi Pancasila. Meski tidak akan dijelaskan tentang bagaimana Ekonomi Pancasila merumuskan kekuatan ekonomi lokal, tetapi itulah yang menjadi semangat utama perkembangan pemikiran dalam tulisan ini. Hal ini disebabkan penulis yakin bahwa sistem Ekonomi Pancasila tidak terdefinisikan secara tunggal, melainkan sarat makna mengingat posisinya sebagai sistem ekonomi alternatif. Untuk itu pertanyaan-pertanyaan umum yang akan dicoba dijawab adalah bagaimana kita mendefinisikan kekuatan lokal dan mengapa upaya membangun kekuatan (ekonomi) lokal seringkali kandas di tengah jalan. Ilustrasi-ilustrasi tentang apa yang selama ini berkembang di masyarakat Indonesia akan pula diulas untuk memperkaya pemahaman kita akan kondisi riil.
Redefinisi Kekuatan Lokal : Bukan Sekedar Kekuatan Ekonomi Lokal Upaya melibatkan partisipasi masyarakat lokal telah menjadi ciri khas dari program-program Pemerintah Indonesia, mulai dari Orde Baru sampai pada era reformasi ini, terutama dalam rangka menanggulangi kemiskinan. Pemerintah pada tahun 1993 meluncurkan program IDT, pada tahun 1998 untuk mengatasi dampak krisis ekonomi meluncurkan program PDMDKE, pada tahun 1999 khususnya untuk kegiatan pertanian diluncurkan KUT, untuk tahun 2001 diluncurkan program PPK dan P2KP. Implementasi otonomi daerah pada tahun 2001 juga didorong oleh semangat peningkatan partisipasi lokal dalam pembangunan. Namun demikian, tidak banyak ilmuwan atau ahli-ahli sosial dan ekonomi maupun masyarakat sendiri yang mengakui bahwa dampak dari seluruh kebijakan tersebut adalah terbangunnya kekuatan-kekuatan lokal di Indonesia yang dapat digunakan untuk menjamin kebertahanan hidup masyarakat dalam menghadapi segala permasalahan ekonomi. Kalaupun ada pengakuan tentang kekuatan ekonomi rakyat sebagai
SWARA33 m 15
cerminan dari kekuatan lokal hal ini dianggap sebagai inisiatif dan gerakan murni dari masyarakat, bukan bagian dari implementasi program-program Pemerintah. Fenomena ini memang telah menjadi kritik umum di berbagai belahan dunia terhadap program-program Pemerintah dalam membangun kekuatan lokal. Banyak ahli yang mensinyalir bahwa program-program tersebut malahan merusak tatanan sosial yang sebenarnya telah lama terbentuk di masyarakat. Selain itu, program-program tersebut menetapkan basis hubungan masyarakat pada kontrak-kontrak ekonomi. Semangat kebersamaan menjadi terbunuh dengan adanya motif-motif ekonomi yang melandasi setiap kegiatan. Dengan demikian, yang terjadi di Indonesia adalah penyeragaman aksi yang memiliki tujuan parsial yaitu peningkatan pendapatan semata. Apalagi, parameter-parameter keberhasilan upaya peningkatan partisipasi masyarakat tereduksi hanya sampai pada parameter-parameter ekonomi. Bangunan kekuatan lokal hanya diterjemahkan sebagai kekuatan ekonomi lokal, sementara sebenarnya kekuatan ekonomi lokal hanyalah bagian dari upaya membangun kekuatan lokal itu sendiri, atau bahkan implikasi dari bangunan kekuatan lokal. Sebenarnya banyak program-program yang telah dilakukan oleh LSM-LSM dalam rangka membangun ‘kuasa’ kekuatan lokal, tidak sekedar kekuatan ekonomi lokal. Program Pemerintah seperti Program Inpres Desa Tertinggal pun sebenarnya dilambari oleh semangat dan komitmen kekuatan lokal. Namun demikian, makna program-program tersebut tereduksi karena dianggap sebagai bagian dari penyeragaman aksi pemerintah Orde Baru. Hal inilah yang menyebabkan kekuatan lokal belum terbangun secara signifikan di Indonesia dan yang lebih parah lagi, kerangka berpikir sebagian besar masyarakat Indonesia akan bangunan kekuatan lokal hanya tereduksi sampai pada kekuatan ekonomi (beserta parameter-parameter ekonominya). Imajinasi kita akan bangunan kekuatan lokal menjadi terbatas pada satu makna, yaitu peningkatan pendapatan masyarakat sekitar. Pemaparan ilustrasi tentang keberhasilan IDT, lembaga keuangan mikro maupun koperasi kredit, atau bahkan pengalaman Grameen Bank di Bangladesh, ataupun praktek LETS (Local Exchange Trading System) juga pada umumnya lebih menonjolkan paramer-parameter ekonomi sebagai indikasi keberhasilan. Lantas, bagaimana ‘kuasa’ kekuatan lokal tersebut dapat kita bangun? Dalam kaitannya dengan gagasan kekuatan lokal, secara gamblang Wolfgang Sachs (1992) menegaskan bahwa membangun ‘kuasa’ kekuatan lokal harus mengakui adanya KEBERAGAMAN kondisi-kondisi lokal yang terkait dengan sistem kehidupan masyarakat. Berkaitan dengan itu, Borda (2000) menggariskan tiga hal yang dapat memotivasi masyarakat untuk membangun ‘kuasa’ kekuatan lokal, yaitu: (1) Perjuangan untuk kewilayahan dan sumber daya (the struggle for territory and natural resources); (2) Perjuangan untuk pengakuan budaya (the struggle for cultural recognition); (3) Perjuangan untuk kekuasaan politik (the struggle for political power). Kesimpulan akan tiga hal ini didasarkan pada pengalaman-pengalaman di berbagai wilayah di dunia yang telah oleh sejarah dianggap berhasil dalam membangun ‘kuasa’ kekuatan lokal. Perjuangan untuk mempertahankan wilayah pemukiman dan
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
sumberdaya alam yang dimiliki oleh masyarakat setempat bukan hanya semata-semata retribusi ekonomi ataupun hanya persoalan ganti rugi tanah dan rumah maupun ganti rugi penggunaan kekayaan alam. Untuk menepis anggapan parsial tersebut, Manuel Castells (1997) secara tegas menganalisis tentang apa yang disebut ‘identitas kewilayahan’ (territory identities) dari komunitas-komunitas lokal. Konsekuensinya adalah kita harus berpikir bahwa locally based identities intersect with other sources of meaning and social recognition, in a highly diversified pattern that allows for alternative interpretations (Castells, 1997). Di Indonesia sendiri, perseteruan tentang wilayah pemukiman dan sumberdaya alam banyak terjadi, seperti kasus Kedungombo, isu seputar hak-hak ulayat di wilayah-wilayah pedalaman, dan konflik-konflik di wilayah pertambangan. Meski kalah akibat tidak adanya keberpihakan Pemerintah, tetapi ceritacerita di wilayah-wilayah pedalaman Papua, Sulawesi, maupun Kalimantan mengantarkan kita pada pengakuan bahwa telah ada upaya masyarakat lokal untuk mempertahankan identitas diri dan lingkungannya. Untuk model perjuangan kedua, pengakuan akan budaya setempat bukan hanya sebatas pada pengakuan akan tampilantampilan fisik budaya setempat. Lebih jauh pengakuan budaya merupakan pengakuan akan ‘local knowledge’ (pengetahuan lokal) dan ‘local genius’ (kapasitas lokal untuk memikirkan dirinya sendiri) yang sudah berkembang di suatu masyarakat dalam masa yang amat panjang. Perjuangan hal ini diarahkan pada pengakuan identitas kultural masyarakat secara menyeluruh. Implikasinya, sistem ekonomi lokal tidak ditempatkan sebagai sebuah realitas terpisah, tetapi bagian dari realitas budaya masyarakat secara keseluruhan, yang terkait dengan segala tatanan sosial yang berlaku di masyarakat tersebut. Konflikkonflik antar ras yang terjadi di Indonesia, seperti di Aceh, Ambon, dan Papua, disinyalir merupakan wujud dari keinginan masyarakat untuk mendapatkan pengakuan kultural dari Pemerintah. Pemerintah Indonesia selalu menuntut ‘kesetiaan’ dari rakyatnya, tetapi tidak pernah berusaha untuk memahami bagaimana kondisi sebenarnya dari masyarakat. Tidak berlebihan kalau kemudian, rakyat menuntut haknya untuk mulai ‘diketahui’ dan ‘dipahami’ oleh Pemerintah. Tahapan perjuangan ketiga, yaitu untuk kekuasaan politik terjadi apabila kemudian masyarakat menjadikan kekuatan lokal sebagai kekuatan tanding dari kekuatan politik negara atau sistem yang berlaku. Perjuangan ini didasarkan kepentingan bahwa kekuatan politik adalah jawaban untuk Negara menimbang kehendak-kehendak masyarakat. Gerakan Zapatista di Meksiko merupakan contoh riil dari macam perjuangan ini. Yang menarik, secara empiris terbukti bahwa perjuangan yang biasa dilakukan oleh masyarakat lokal dalam meningkatkan posisi tawar politiknya tidak pernah menggunakan organisasiorganisasi politik formal yang telah ada (partai-partai politik). Cikal bakal perjuangan ini adalah bagaimana masyarakat mendefinisikan tentang makna kehidupan demokrasi di wilayahnya. Misal, di desa Gadingsari, Bantul, Yogyakarta,
SWARA33 m 16
masyarakat berinisiatif membentuk “Paguyuban Masyarakat Gadingsari” yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan demokrasi. Dan ini tidak hanya terjadi di desa Gadingsari, banyak daerah di Indonesia yang memiliki inisiatif sama. Dari ketiga macam perjuangan dalam upaya membangun kekuatan lokal, secara umum kita bisa yakini bahwa apa yang disebut Michael Todaro (2000) sebagai tiga nilai utama pembangunan, yaitu pemenuhan kebutuhan dasar, penegakan harga diri, dan kebebasan bertindak akan kemudian tercipta. Pada akhirnya, kekuatan lokal tidak hanya sebagai kekuatan tandingan sistem global tetapi juga mengantarkan masyarakat pada kesejahteraan yang sebenarnya. Atas dasar basis pemikiran tersebut di atas, beberapa ekonom Indonesia, yang dimotori oleh Pak Muby, terus berpikir dan bertindak dalam mengeksplorasikan peranan kekuatan-kekuatan lokal di Indonesia. Kepedulian tentang ekonomi rakyat menjadi semangat dari seluruh pemikiran dan perjuangan Pak Muby. “Ekonomi rakyat (people’s economy) has indeed a long history in Indonesia and that the facts of its history should be recognized as playing a very important role in the modern Indonesian economy. It makes a great deal of sense that the government should pay close attention to the role of ekonomi rakyat in further developing the Indonesian economy” (Mubyarto, A Development Manifesto, 2005) Sistem Ekonomi Pancasila, yang merupakan produk ideologi dari perjuangan tersebut, merupakan representasi keberadaan kekuatan lokal di Indonesia. Demokrasi ekonomi sebagai nilai keempat dari Sistem Ekonomi Pancasila tersebut menandakan adanya pengakuan keberagaman perilaku-perilaku ekonomi dari seluruh masyarakat Indonesia. Pengakuan keberagaman tersebut merupakan isyarat adanya pengakuan akan local knowledge, local genius, dan local culture dari masing-masing wilayah di Indonesia. Apabila kita memang peduli pada nasib seluruh rakyat Indonesia, langkah awal yang harus dilakukan adalah belajar untuk memahami apa dan siapa masing-masing kelompok masyarakat tersebut sebelum mengambil keputusan apapun tentang agenda-agenda pembangunan bagi masyarakat. Inilah juga yang merupakan teladan komitmen dan sikap dari (alm) Pak Muby semasa hidupnya. Semoga Allah SWT menempatkan Pak Muby di tempat yang terbaik sekarang. Segala komitmen, sikap, pemikiran dan perjuangan Pak Muby akan selalu melambari semangat kami dalam berbuat sesuatu untuk negeri ini dan rakyat Indonesia.
n Poppy Ismalina, SE, MEcDev., PhD. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM dan Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP), UGM.
AKSI33
SWARA33 SWARA33 m 17
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April eBulletin 2011 MUBINS n Edisi 001 n April 2011 n
Pedagang Pasar Tradisional
Terancam B
aru-baru ini Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dan Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) DIY juga melakukan studi dalam konteks Yogyakarta. Secara umum terdesaknya pedagang pasar tradisional atau pebisnis retail lokal, di antaranya dalam bentuk menurunya omset penjualan. Penelitian ini menemukan penurunan rata-rata sebesar –5,9%, namun penurunan yang lebih besar dialami oleh kelompok pedagang dengan aset antara Rp 5-15 juta, Rp 15-25 juta, dan di atas Rp 25 juta, yang masing-masing mengalami penurunan sebesar –14,6%, –11%, dan – 20,5%. Berdasarkan kewilayahan, penurunan omset tertinggi dialami oleh pedagang di kota Yogyakarta dan kabupaten Sleman, masing-masing sebesar – 25,5% dan – 22,9%.
Laporan Awan Santosa & Puthut Indoroyono Sudah banyak kajian yang menyebut pasar tradisional kini mengalami ancaman serius dari masifnya penetrasi dan ekspansi pusat perbelanjaan dan retail modern. Studi UGM, Nielson, SMERU, dan INDEF, mengkonfirmasi menurunnya omset pedagang di pasar tradisional maupun toko-toko lokal. Sayangnya, sampai dengan saat ini belum ada upaya serius dari banyak pihak terutama pemerintah untuk mengantisipasi hal itu.
Lebih khusus, penelitian ini juga menemukan bahwa yang paling terkena dampak adalah mereka yang pasokan dagangannya berasal dari industri/pabrikan dan lokasinya berdekatan dengan toko modern. Sementara pedagang yang lebih banyak menjual barang mentah atau produk pertanian atau industri desa cenderung tidak separah kelompok di atas. Penelitian ini mengungkap bahwa pedagang pasar tradisional yang menjual produk pabrikan sebesar 34%, produk pabrikan dan produk desa sebesar 18%, produk impor 3%, dan produk desa sebesar 45%. Pada tingkat nasional, saat ini 28 ritel modern utama menguasai 31% pangsa pasar ritel dengan total omset sekitar
AKSI33
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
Rp. 70,5 trilyun. Ini artinya bahwa satu perusahaan rata-rata menikmati Rp. 2,5 Trilyun omset ritel/tahun atau Rp. 208,3 milyar/bulan. Padahal kalau ditelusuri omset ritel modern tersebut terkonsentrasi pada 10 ritel inti, yakni minimarket Indomaret dan Alfamart (83,8%), supermarket Hero, Carrefour, Superindo, Foodmart, Yogya, dan Ramayana (75%), dan hypermarket Carrefour (48,7%), Hypermart (22%), Giant (17,7%), Makro (9,5%), dan Indogrosir (1,9%) (Pandin, 2009). Hal ini kontras dengan ritel tradisional yang memiliki total omset sebesar Rp. 156,9 trilyun namun dibagi kepada sebanyak 17,1 juta pedagang, yang 70%-nya masuk kategori informal. Dengan demikian satu usaha pedagang tradisional rata-rata hanya menikmati omset sebesar Rp. 9,1 juta /tahun atau Rp. 764,6 ribu/bulan.
Perlindungan vs Free Fight Liberalism Penetrasi pasar modern secara makro ekonomi tidak saja mengancam pelaku pasar tradisional, tetapi juga pelaku ekonomi pada sektor-sektor lain. Dengan kondisi struktur perdagangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kondisi persaingan usaha di Indonesia makin mengarah pada pola monopoli atau oligopoli sebagai dampak dari pengaruh globalisasi ekonomi (pasar bebas). Sayangnya, regulasi pada tingkat nasional terkait perdagangan (Perpres No 112/2007 dan Permendag No 53/2008) tidak memiliki kecukupan material dan substansial dalam memberi arah dan model perlindungan dan pengembangan sistem nilai, modal sosial, dan pelaku pasar tradisional. Semangatnya justru lebih mengarah pada persaingan bebas (free fight liberalism). Isi kedua regulasi tersebut lebih mengakomodasi ketelanjuran tatanan perdagangan saat ini di mana telah terjadi dominasi peritel besar daripada memenuhi semangat dan imperasi konstitusional yang terdapat dalam Pasal-Pasal Sosial-Ekonomi Undang-Undang Dasar 1945. Draft RUU Perdagangan yang sedang dibahas Pemerintah dan DPR saat ini juga lebih mencerminkan ketertundukan pada kenyataan faktual daripada cita-cita yang ideal (law as a tool of social enginering). Regulasi
SWARA33 m 18
tersebut hanya melahirkan kebijakan residual, yang menjadikan pelaku pasar tradisional tetap akan sebagai obyek proyek dan pemain pinggiran. Meskipun demikian, kekaburan semangat, arah, dan model perlindungan dan pengembangan perdagangan rakyat, telah memberi ruang lebar bagi eksistensi regulasi daerah. Dalam konteks perlindungan, maka beberapa regulasi daerah yang sudah ada maupun sedang dirancang di Propinsi DIY sudah menunjukkan semangat dan ketegasan aspek/ model perlindungan bagi pelaku pasar tradisional. Namun bagaimana perlindungan terhadap sistem nilai dan modal sosial, serta arah, aspek, dan model pengembangan pasar tradisional masih belum jelas dan sangat ditentukan oleh tafsir dan orientasi pemangku kebijakan daerah. Kebijakan perlindungan semestinya ditujukan untuk melindungi sistem nilai (kebersamaan dan kekeluargaan), modal sosial (budaya produksi), dan seluruh elemen pelaku pasar tradisional di Propinsi DIY meliputi pedagang, pemasok, pengecer, pekerja informal, dan konsumen. Sesuai dengan UUD 1945 maka perlindungan pelaku pasar tradisional mencakup perlindungan terhadap elemen material, intelektual, dan institusional mereka. Perlindungan ketiga dimensi dan elemen tersebut semestinya meliputi berbagai aspek komprehensif mencakup pembatasan (kuota) jumlah toko modern, penetapan lokasi dan jarak (zonasi), pembatasan jam buka toko modern, pembagian produk yang dijual, pengaturan perijinan, penyebaran kepemilikan dan penilikan toko modern, penyeimbangan hubungan antara pedagang besar, menengah, dan kecil
AKSI33
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
SWARA33 m 19
(pembagian pangsa pasar), dan penegasan arah dan pola pembinaan pasar tradisional.
keanggotaan, diversifikasi usaha, perluasan kemitraan, dan pendidikan anggota secara intensif.
Strategi Inovasi Pasar Tradisional
Tawaran model yang bisa didorong untuk pengembangan pasar di antaranya adalah Model Pasar Mandiri, Model Perpaduan Pasar Barang, Pasar Jasa, dan Pasar Even Regional, Model Perpaduan Pasar Tradisional dan Klaster Pasar Khusus, Model Perpaduan Pasar Desa, Pasar Khusus, dan Pasar Even Lokal, Model Koridor Ekonomi (Shopping-belt) Pasar Khusus Wisata, dan Model Pengembangan Bursa Koperasi Pasar Yogyakarta (Bukopy).
Berdasarkan paparan di atas, maka strategi yang harus ditempuh dalam pengembangan pasar tradisional mencakup beberapa hal, yakni: penguatan organisasi pelaku pasar untuk mengembangkan SDM pelaku pasar, kemitraan produsen lokal dengan koperasi pasar untuk pengembangan produk lokal, pembelian kolektif melalui koperasi pasar untuk memperbaiki harga bagi produsen dan pedagang kecil, penataan (setting) pasar dan revitalisasi kios zona depan untuk memaksimalkan fungsi tempat pasar, menggerakkan kecintaan publik sejak dini melalui berbagai promosi di media public, melakukan berbagai inovasi bisnis untuk mengoptimalkan layanan kepada pelanggan. Sedangkan pada aspek pelaku, perlu upaya serius untuk mengembangkan modal material (inovasi bangunan, lay-out dan setting, dan produk yang dijual di pasar tradisional), modal intelektual (inovasi cara bisnis, pemasaran “nilai sosial” (social marketing), dan pencitraan (branding) pasar tradisional, dan institusional (inovasi membership, usaha kolektif, resource map, dan jaringan (networking) organisasi pelaku pasar tradisional). Secara khusus pengembangn koperasi pasar dapat dilakukan melalui perluasan basis
Studi PUSTEK-UGM dan LOS DIY yang berlangsung pada akhir tahun 2010 dan awal 2011 ini dapat dijadikan salah satu awalan bagi kebijakan perlindungan dan pengembangan pasar tradisional di DIY. Diharapkan juga studi ini dapat dijadikan pemantik bagi upaya pemerintah dan DPR DIY yang saat ini sedang menyusun Raperda, pemerintah dan DPRD kabupaten dan Kota yang sedang berbenah dalam pengelolaan pasar tradisional. Selain itu pada level pelaku langsung seperti dinas pasar, koperasi pasar, pedagang pasar, APPSI, dapat merapatkan barisan untuk tetap semangat dalam bekerjasama mengembangkan pasar tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan begitu semoga gebyar pasar di DIY tidak semakin meredup dan pasar tidak justru makin ilang kumandange.
n
OPINI
SWARA33 SWARA33 m 20
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April eBulletin 2011 MUBINS n Edisi 001 n April 2011 n
Fahmy Radhi
Pengembangan
APPROPRIATE TECHNOLOGY sebagai upaya
Membangun Perekonomian Negeri secara
MANDIRI
Beberapa penelitian empiris membuktikan bahwa pengembangan teknologi telah memberikan kontribusi secara signifikan terahadap industrialisasi yang memicu pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Para peneliti sepakat bahwa pengembangan tektonologi pada level makro mendorong pembangunan ekonomi dan memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Pada era global diprediksikan bahwa kemajuan teknologi akan memberikan kontribusi lebih dari 65 persen dalam pembangunan ekonomi dunia Pendahuluan
P
ada level mikro, kemajuan teknologi memainkan peran yang sangat berarti dalam perubahan struktur industri dan persaingan global. Untuk dapat memenangkan persaingan di pasar global, setiap bisnis dituntut untuk mengelola teknologi dalam menciptakan keunggulan bersaing (compettive advatages). Kesuksesan
bisnis dalam memenangkan persaingan sangat ditentukan oleh penciptaan compettive advatages yang berbasis pada pengembangan teknologi. Pengembangan teknologi tersebut dibutuhkan pada setiap proses tranformasi dari sejumlah input untuk menghasilkan output yang dapat memberikan nilai tambah (added value) pada setiap tahapan proses transformasi. Dengan demikian, pengembangan teknologi sangat dibutuhkan, baik untuk mendorong pembangunan ekonomi bagi suatu negara, maupun untuk menciptakan keunggulan bersaing bagi entitas bisnis. Oleh karena itu, setiap negara dan bisnis dituntut untuk senantiasa mengembangkan teknologi secara berkelanjutan yang merupakan kebutuhan yang tidak terelakan pada era global. Dalam pengembangan tekonologi, setiap negara dan bisnis dihadapkan pada dua pilihan. Pertama mengembangkan teknologi melalui proses invention and innovation. Kedua, mengembangkan teknologi melalui proses alih teknologi. Hampir tidak ada suatu negara dan bisnis yang mampu memenuhi semua jenis teknologi yang dibutuhkan. Dalam menghadapi kondisi tersebut, suatu negara atau bisnis dapat menerapkan strategi teknologi yang disebut: “make-someand-buy-some strategy”. Penerapan startegi Make-some dilakukan dengan pengembangan teknologi baru melalui R&D, sedangkan strategi buy-some diterapkan melalui proses alih teknologi. Selain itu, suatu negara atau bisnis juga dituntut untuk menentukan pilihan secara fragmatis berkaitan dengan jenis dan level teknologi yang harus dikembangkan agar me-
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
menuhi kriteria appropriate technology. Pilihan appropriate technology harus didasarkan atas beberapa faktor yang mendukung, di antaranya: kebutuhan teknologi yang sesuai dengan pengembangan industri, ketersediaan infrastructure technology, keteresediaan SDM yang mempunyai kemampuan teknologi (technological capabilities) dan faktor-faktor lingkungan yang mendukung.
Pengembangan Teknologi di Indonesia Selama ini, pemerintah Indonesia cenderung menerapkan trial and error dalam pengembangan teknologi yang dibutuhkan. Hasilnya, teknologi yang dikembangkan lebih banyak error-nya, sehingga teknologi yang dikembangkan tidak memenuhi kriteria appropriate technology. Pilihan pemerintah Orde Baru dalam mengembangkan teknologi tinggi (high-tech) di bidang industri pesawat terbang dengan mendirikan PT Dirgantara (PT DI) d/h IPTN dan di bidang industri otomotif dengan Proyek Mobnas merupakan contoh unappropriate technology yang pernah dikembangkan di Indonesia. Sejak berdirinya PT DI sudah menjadi sasaran berbagai kritik, baik kritik dari dalam maupun dari luar negeri. Kritik tersebut berkaitan dengan keputusan dalam pemilihan jenis teknologi tinggi dan padat modal yang dinilai tidak cocok bagi kondisi Indonesia, serta pengelolaan perusahaan yang dinilai tidak efisien dan tidak transparan. Bahkan beberapa pengritik menyamakan PT DI dengan Proyek Mercu Suar pada masa Orde Lama. Meskipun selalu menuai berbagai krtik tanpa henti, PT DI, di bawah kendali BJ Habibie, tetap meneruskan program pengembangan teknologi di bidang kedirgantaraan. Melalui kerjasama dengan CASA, PT DI berhasil memproduksi CN-235, yang sudah menadapat sertifikat laik terbang. Meskipun PT DI sudah berusaha memasarkan CN-235, baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri, namun hasil penjualannya masih di bawah target. Investasi besar-besaran yang dilakukan PT DI di bidang sumberdaya manusia (SDM) dan adanya akumulasi pengembangan kemampuan teknologi (technological capability) telah menghantarkan PT DI mampu memproduksi pesawat N-250, yang sepenuhnya didesign dan diproduksi oleh putra-putri Indonesia. Namun sayang PT DI tidak memiliki kecukupan dana untuk membiayai sertifikasi laik terbang yang dipersyaratkan sebelum N-250 diproduksi secara komersial. Akiibatnya, PT DI tidak dapat memasarkan produk N-250 hingga sekarang. Meskipun produk unggulan N-250 belum berhasil memasuki produksi komersial, PT DI tetap melanjutkan tahapan pengembangan produk baru dengan melakukan investasi besar-besaran di bidang R&D untuk memproduksi N-2130. Pesawat jet berteknologi canggih ini ditargetkan memasuki produksi komersial pada tahun 2005. Dengan memproduksi N-2130, yang akan dilakukan sendiri oleh putra-putri Indonesia, PT DI diharapkan telah merampungkan proses alih teknologi dan program pengembangan teknologi di bidang
SWARA33 m 21
industri pesawat terbang secara tuntas. Karena kesulitan finansial, PT DI terpaksa menghentikan Proyek N-2130 sebelum berrampungkan prototipenya. Kendati Pabrik Pesawat Terbang berhasil dalam melakukan transfer teknologi hingga mampu menghasilkan pesawat N250 secara mandiri, namun secara komersial prestasi PT DI masih belum berhasil. Seiring dengan menyurutnya kekuasaan BJ Habibie, maka menyurut pula perkembangan PT DI hingga sekarang kondisinya teramat sangat mengenaskan. Selama 1998-2002, misalnya, pabrik pesawat terbang tersebut telah menderita kerugian sebesar Rp. 7,25 triliun hingga terancam gulung tikar yang puncaknya ditandai dengan dirumahkannya 9.800 karyawan. Selain itu, sebagian besar SDM lulusan luar-negeri yang memiliki technological capability tinggi, terpaksa harus bekerja di berbagai perusahaan pesawat terbang di luar negeri (brain drain). Kegagalan serupa juga terjadi pada saat Pemerintah Orde Baru bermaksud mengembangkan teknologi otomotif dengan membangunan pabrik Mobil Nasional (Mobnas) yang dikendalikan oleh Tommy Soeharto dengan mendirikan PT Timor. Melalui kerjasama dengan KIA Korea Selatan, PT Timor mengimpor Mobil KIA dalam kondis Completely Build Up (CBU), kemudian memberikan merk Timor yang di pasarkan di pasar dalam negeri. Rencananya, transfer tekonologi dari KIA ke PT Timor akan dilaksanakan secara bertahap dalam kurun waktu lima tahun. Belum sempat transfer teknologi tersebut dilakukan, Proyek Mobnas mendapat perlawanan dari berbagai negara dengan mengadukan ke forum World Trade Organization (WTO) karena dinilai ada unsur diskriminasi dalam pengenaan beamasuk. Setelah vonis dijatuhkan oleh WTO yang melarang proyek Mobnas di Indonesia, pembangunan pabrik PT Timor terbengkalai, sementara proses transfer teknologi tidak pernah terlaksana
Ekspor Komoditas Eksplotasi Kegagalan PT DI dan PT Timor tersebut dapat dijadikan sebagai indikator bahwa pengembangan high technology bukanlah appropriate technilogy bagi Indonesia. Selain kegagalan pengembangan teknologi pada kedua industri tersebut, pemerintah Indonesia tidak pernah secara serius dan terus menerus untuk mengembangkan teknologi yang dibutuhkan sesuai dengan kriteria appropriate technilogy. Indikasinya, hampir semua komoditi ekspor Indonesia tidak berbasis pada teknologi, melainkan berbasis pada eksploitasi. Sungguh ironis memang, di tengah membanjirnya komoditi impor yang berbasis pada teknologi di pasar Indonesia, semua produk ekspor Indonesia masih berbasis pada komoditi eksploitasi. Kemampuan Indonesia untuk mengekspor tekstil salah satunya ditopang oleh eksploitasi terhadap buruh yang menetapkan UMR relatif lebih rendah dibanding upah buruh di negara lain. Hal yang sama terjadi dalam mengekspor playwood yang dilakukan dengan mengeksploitasi secara besar-
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
besaran terhadap hasil hutan. Yang paling ironis adalah kemampuan Indonesia untuk mengeskpor TKI ke berbagai negara yang dilakukan dengan mengeksploitasi penduduk miskin yang tidak punya pilihan bekerja di bidang lain. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa ekspor komoditi ekspolitasi tersebut telah memberikan nilai tambah dan aliran devisa bagi Indonesia. Namun, nilai tambah komoditi berbasis ekspolitasi jauh lebih kecil dibanding nilai tambah komoditi berbasis teknologi. Selain itu, kemampuan bersaing komoditi ekspor berbasis eksploitasi tidak dapat dipertahankan dalam jangka panjang, karena komoditi terebut tidak dapat diperbaharui (unrenewable) dan sangat rentan (fragile) terhadap berbagai perubahan. Volume ekspor tekstil Indoensia di pasar USA menurun drastis pada saat China dan Vietnam mengekspor tekstil di pasar yang sama dengan harga lebih murah, lantaran Cina dan Vietnam dapat menetapkan upah buruh lebih rendah daripada upah buruh di Indonesia. Penurunan volume ekspor produk plyawood juga akan terjadi pada saat hasil hutan Indonesia sudah habis sehingga tidak dapat dieksplotasi lagi untuk menghasilkan produk ekspor. Sementara ekspor TKI yang sebagian besar terdiri dari TKW yang berprofesi sebagai pembatu rumah tangga, disamping dapat menorehkan imej sebagai negara pengekspor “babu” juga menimbulkan berbagai permasalahan serius lainnya, seperti perlakuan semena-mena, penganiayaan dan pemerkosaan terhadap TKW tersebut. Paling tidak ada tiga variabel yang menyebabkan Indonesia hingga sekarang masih belum mampu mengekspor komoditi berbasis teknologi sehingga terpaksa masih harus mengekspor komoditi berbasis eksploitasi sebagai produk andalan. Pertama, pada level makro tidak adanya keterkaitan antara kebijakan ekonomi dengan kebijakan teknologi. Salah satunya terjadi pada kebijakan penanaman Modal Asing (PMA) yang tidak pernah diintegrasikan dengan kebijakan teknologi. Sejak diberlakukannya UU PMA 1967 pada awal pemerintahan Orde Baru hingga sekarang (Draft UU Penanaman Modal 2007) tidak pernah sekalipun dipersyaratkan bagi investor asing untuk melakukan alih teknologi dalam menanamkan modal di Indonesia. Padahal, negara lain seperti Singapore secara tegas mensyaratkan bagi setiap investor asing untuk melakukan proses alih teknologi secara bertahap dalam menetapkan kebijakan PMA. Dampaknya, kemampuan teknologi (technological capability) tenaga kerja Indonesia di berbagai sektor indistri masih sangat rendah. Industri otomotif misalnya, meskipun Indonesia sudah memasuki indusri otomotif sejak 50 tahun yang lalu, namun kemampuan teknologi tenaga kerjanya masih masih terbatas pada penguasaan teknologi perakitan saja, sedang teknologi design dan pengembangan produk baru belum pernah dikuasai. Kedua, tidak adanya komitmen dari pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur teknologi (technological infrastructure) yang mutlak dibutuhkan bagi pengembangan komoditi berbasis teknologi. Salah satu indikatornya
SWARA33 m 22
adalah rendahnya pengeluaran APBN untuk membiayai kedua komponen teknologi infrastuktur, yakni R&D dan pendidikan. Selama lima tahun terkahir ini, alokasi pengeluaran untuk R&D rata-rata per tahun hanya sebesar 0,02 persen dari GNP. Bandingkan dengan alokasi pengeluaran untuk R&D di Singapore dan Malyasia rata-rata per tahun mencapai sebesar 1,1 persen dan 0.4 persen dari GNP. Kencederungan yang sama terjadi ada pengeluaran untuk sektor pendidikan. Dalam waktu yang sama, pengeluaran pemerintah Indonesia untuk sektor pendidikan rata-rata per tahun hanya sebesar 1.9 persen dari GNP, bandingkan dengan pengeluaran pemerintah Singapore dan Malaysia yang mencapai rata-rata pertahun sebesar 5,2 persen dan 5,8 persen dari GNP. Ketiga tidak adanya keterkaitan sama-sekali antara infrastruktur teknologi yang dikembangkan oleh pemerintah dengan kebutuhan industri. Berbagai hasil riset, yang telah dilakukan oleh lembaga R&D bentukkan pemerintah maupun yang dilakukan oleh lembaga pendidikan tinggi, sebagian besar bukan merupakan kebutuhan bagi industri. Oleh karena itu, sebagian besar hasil riset tersebut tidak dapat dimanfatkan sama sekali oleh industri dalam menghasilkan komoditi berbasis teknologi. Demikian pula dengan hasil lulusan pendidikan tinggi yang cenderung tidak membekali dengan berbagai ketrampilan yang dibutuhkan oleh industri. Selain itu, pemerintah juga tidak memberikan stimulus dan dukungan bagi industri untuk mengembangkan technology center, yang melibatkan unsur pemerintah, industri dan perguruan tinggi, sebagai ajang untuk pengembangan inovasi guna mengahasilkan produk berbasis teknologi. Malaysia sejak beberapa tahun yang lalu sudah mengembangkan technology center yang dikenal dengan “lembah silicon” untuk mendukung kebutuhan industri dalam melakukan inovasi, sehingga pengembangan lembah silicon tersebut memberikan kontribusi significant dalam mengubah Malaysia dari negara pengeskpor komoditi eksploitasi (timah dan karet) menjadi negara pegekspor komoditi berbasis teknologi.
Pengembangan Appropriate Technology di Indonesia Bangsa Indonesia mau-tidak-mau, suka-tidak-suka, siaptidak-siap, harus menghadapi persaingan global yang tidak mungkin bisa dihindari lagi. Padahal bangsa yang sudah merdeka lebih setengah abad ini tampaknya belum siap sama sekali dalam menghadapi persaingan global. Ketidaksiapan dalam menghadapi persaingan global dapat dilihat dari beberapa indikasi. Di antaranya, industri manufaktur Indonesia, seperti industri otomotif dan elektronik, maupun industri jasa tampaknya hanya mampu “berlaga” di kandang sendiri. Itupun karena masih ada unsur proteksi dari pemerintah bagi industri tersebut. Sementara, industri tekstil, yang selama ini menjadi primadona ekspor Indonesia, sudah menyurut pamornya dan diperkirakan tidak akan mampu lagi bersaing dalam menghadapi pesaing dari China, India bahkan dari Vietnam sekalipun di pasar global. Memang, Indonesia masih bisa mengekspor tenaga kerja
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
Indonesia (TKI) dalam jumlah besar, tetapi hampir semua TKI yang dikirim ke luar negeri adalah TKI yang tidak terampil (unskill labor), seperti pembantu rumah tangga dan kuli perkebunan. Sumber daya alam (SDA) Indonesia, seperti hutan, boleh dikatakan masih berlimpah. Namun, kalau hutan tersebut diekspolitasi secara besar-besaran, baik secara legal maupun illegal, dan terbakar hampir setiap tahunnya, tentunya pada saatnya akan punah juga Selain berlimpahnya SDA, sesungguhnya Indonesia juga dianugrahi oleh Tuhan berupa kondisi alam dan iklim yang memungkinkan tumbuh-dan-berkembangnya berbagai jenis buah-buahan. Ada Durian, Pisang, Rambutan, Mangga, Salak, Duku, Kelengkeng, Apel, Pepaya, Jeruk dan lainnya yang tumbuh secara subur di hampir seluruh wilayah Indonesia. Buah-buahan tersebut semestinya menjadi potensi besar untuk menciptakan keunggulan bersaing bagi Indonesia. Ironisnya, berbagai jenis buah-buahan itu tidak bisa berkutik sama sekali menghadapi persaingan buah-buahan impor di pasar domestik, apalagi di pasar global. Durian dan Klengkeng lokal kalah besaing dengan Kelengkeng dan Durian Bangkok. Apel Malang hampir punah gara-gara tidak bisa bersaing dengan apel Australia dan Amerika. Dalam kondisi persaingan global yang semakin ketat, penciptaan keunggulan bersaing untuk suatu industri hanya dapat dilakukan dengan upaya pengembangan teknologi (technology development) atau paling tidak memberikan setuhan teknlogi (technology touch) terhadap industri tersebut secra mandiri. Pertanyaannya, industri apa yang musti diprioritaskan untuk dikembangkan di Indonesia dalam menciptakan keuanggulan bersaing di pasar global?. Kalau Indonesia memprioritaskan mengembangkan industri manufaktur, seperti industri otomotif dan elektronik serta industri tekstil, kemungkinannya tidak akan mampu mengejar ketertinggalan yang sudah dicapai lebih dulu oleh negara-negara lain, sehingga sangat berat bagi Indonesia untuk bisa bersaing di pasar global. Salah satu industri yang masih mungkin dikembangkan dalam penciptaan keunggulan bersaing di pasar global adalah agroindustri. Pertimbangan pertama tidak banyak negara lain yang bisa mengembangkan agroindustri karena adanya kendala alam dan iklim yang tidak memungkinkan, sehingga persaingan di pasar global bagi agroindustri tidak begitu ketat. Sementara bagi Indonesia, kondisi alam dan iklim yang ada sangat memungkinkan secara lebih leluasa untuk mengembangkan agroindustri. Kedua, sentuhan teknologi (technology touch) yang dibutuhkan untuk pengembangan agroindustri tidak teralu mahal dan tidak begitu rumit dibanding pengembangan teknologi pada industri manufatur. Ketiga, pengembangan agroindustri yang cenderung padat tenaga kerja (labor intensive) dan melibatkan banyak pihak, seperti petani dan usaha kecil. Pengembangan agroindustri ini harus linked dengan pembangunan industri pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditi yang dihasilkan. Misalnya, membangun industri pengalengan
SWARA33 m 23
buah-buahan, industri pengolahan kelapa sawit beserta komoditi turunannya. Selain itu, pengembangan agroindustri beserta industri pengolahannya harus berorietasi ekspor ke pasar global, sehingga menuntut adanya jaminan kualitas yang dipersyaratkan oleh pasar global. Mengacu pada karakteristik appropriate technology yang berkaitan dengan teknologi yang dibutuhkan, dan technological capability yang tersedia, serta kondisi alam, iklim dan lingkungan yang ada di Indonesia, barangkali pengembangan agroindustri beserta industri pengolahan yang berbasis pada teknologi merupakan appropriate technology bagi bangsa Indonesia. Keberhasilan dalam pengembangan appropriate technology tersebut akan mendorong pembangunan ekonomi secara mandiri dan akan memberikan kontribusi dalam mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Untuk mencapai keberhasilan tersebut dibutuhkan adanya komitmen dari barbagai pihak, utamanya pemerintah, pelaku industri dan perguruan tinggi, secara sinergis untuk mengupayakan secara serius dan terus menerus pengembangan appropriate technology tersebut secara mandiri.
n
Daftar Pustaka Aswicahyono, Basri, Hill, H, (2000). ‘How Not to Industrialize? Indonesia’s Automotive Industry,’ Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 36, No. 1, pp. 209-241. Chalmers, I. (1998), ’Tommy’s toys trashed’, Inside Indonesia 56 (October-December), http://www.insideindonesia.or/edit/56/chalm. htm, 10/03/01. Lall, S., 1992, “Technological Capabilities and Industrialization,” World Development, Vol. 20, No. 2, pp. 165-186 Radhi, Fahmy, 2005, “Industry Policy and Technology Transfer: Review and Analysis of the Indonesian Automotive Industry during New Order Era”, Jurnal Akutansi dan Manajemen, STIE YKPN, Jogyakarta, Vol. XVI, Nomor 2, hal. 107-120. Radhi, Fahmy and Priyono, Anjar, 2005, “Implementation of Technology and Management Initiatives to Eliminate Competitive Priorities Trade-offs, Proceeding, Workshop of the 14th International Conference on Management of Technology Radhi, Fahmy, 2002, “Cross-Border Technology Transfer”, Proceeding of Doing Business Across Borders Conference, the University of Newcastle, Australia 2002 Radhi, Fahmy, 1997, “Technological Consideration in Strategic Planning: a Case Study of an Indonesia Aircraft Company,” Business and Economic Analysis Journal, No. 6, Vol. II, pp. 95-107 Siahaan, B. (2000), ‘Industrialisasi di Indonesia: dari periode rehabilitasi sampai awal Reformasi [Industrialisation in Indonesia: from rehabilitation to reformation period], ITP Publisher, Bandung, Indonesia. Soehoed, AR. (1998), ‘Reflections on Industrialisation and Industrial Policy in Indonesia’, Bulletin of Indonesian Economic Studies 24 (2): 43-57. Thee, (1990). Indonesia: Technology Transfer in the Manufacturing Industry, in Soesastro, H. and Pangestu, M (Eds.) Technological Challenge in the Pacific, Allen and Unwind, Sydney, Australia, pp. 200-232
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
SWARA33 m 24
Awan Santosa & Puthut Indroyono
Kebijakan Perlindungan dan Inovasi
PASAR TRADISIONAL
daerah istimewa yogyakarta
Sudah banyak kajian yang menyebut pasar tradisional kini mengalami ancaman serius dari masifnya penetrasi dan ekspansi pusat perbelanjaan dan retail modern. Studi UGM, Nielson, SMERU, dan INDEF, mengkonfirmasi menurunnya omset pedagang di pasar tradisional maupun toko-toko lokal. Sayangnya, sampai dengan saat ini belum ada upaya serius dari banyak pihak terutama pemerintah untuk mengantisipasi hal itu.
B
aru-baru ini Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dan Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) DIY juga melakukan studi dalam konteks Yogyakarta. Secara umum terdesaknya pedagang pasar tradisional atau pebisnis retail lokal, di antaranya dalam bentuk menurunya omset penjualan. Penelitian ini menemukan penurunan rata-rata sebesar –5,9%, namun penurunan yang lebih besar dialami oleh kelom-
pok pedagang dengan aset antara Rp 5-15 juta, Rp 15-25 juta, dan di atas Rp 25 juta, yang masing-masing mengalami penurunan sebesar –14,6%, –11%, dan – 20,5%. Berdasarkan kewilayahan, penurunan omset tertinggi dialami oleh pedagang di kota Yogyakarta dan kabupaten Sleman, masing-masing sebesar – 25,5% dan – 22,9%. Lebih khusus, penelitian ini juga menemukan bahwa yang paling terkena dampak adalah mereka yang pasokan
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
dagangannya berasal dari industri/pabrikan dan lokasinya berdekatan dengan toko modern. Sementara pedagang yang lebih banyak menjual barang mentah atau produk pertanian atau industri desa cenderung tidak separah kelompok di atas. Penelitian ini mengungkap bahwa pedagang pasar tradisional yang menjual produk pabrikan sebesar 34%, produk pabrikan dan produk desa sebesar 18%, produk impor 3%, dan produk desa sebesar 45%.
SWARA33 m 25
informal. Dengan demikian satu usaha pedagang tradisional rata-rata hanya menikmati omset sebesar Rp. 9,1 juta /tahun atau Rp. 764,6 ribu/bulan.
Perlindungan vs Free fight liberalism Penetrasi pasar modern secara makro ekonomi tidak saja mengancam pelaku pasar tradisional, tetapi juga pelaku ekonomi pada sektor-sektor lain. Dengan kondisi struktur perdagangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kondisi persaingan usaha di Indonesia makin mengarah pada pola monopoli atau oligopoli sebagai dampak dari pengaruh globalisasi ekonomi (pasar bebas).
Pada tingkat nasional, saat ini 28 ritel modern utama menguasai 31% pangsa pasar ritel dengan total omset sekitar Rp. 70,5 trilyun. Ini artinya bahwa satu perusahaan rata-rata menikmati Rp. 2,5 Trilyun omset ritel/ tahun atau Rp. 208,3 milyar/bulan. Padahal kalau ditelusuri omset ritel modern tersebut terkonsentrasi pada 10 ritel inti, yakni minimarket Indomaret dan Alfamart (83,8%), supermarket Hero, Carrefour, Superindo, Foodmart, Yogya, dan Ramayana (75%), dan hypermarket Carrefour (48,7%), Hypermart (22%), Giant (17,7%), Makro (9,5%), dan Indogrosir (1,9%) (Pandin, 2009). Hal ini kontras dengan ritel tradisional yang memiliki total omset sebesar Rp. 156,9 trilyun namun dibagi kepada sebanyak 17,1 juta pedagang, yang 70%nya masuk kategori
Sayangnya, regulasi pada tingkat nasional terkait perdagangan (Perpres No 112/2007 dan Permendag No 53/2008) tidak memiliki kecukupan material dan substansial dalam memberi arah dan model perlindungan dan pengembangan sistem nilai, modal sosial, dan pelaku pasar tradisional. Semangatnya justru lebih mengarah pada persaingan bebas (free fight liberalism). Isi kedua regulasi tersebut lebih mengakomodasi ketelanjuran tatanan perdagangan saat ini di mana telah terjadi dominasi peritel besar daripada memenuhi semangat dan imperasi konstitusional yang terdapat dalam Pasal-Pasal Sosial-Ekonomi Undang-Undang Dasar 1945.
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
Draft RUU Perdagangan yang sedang dibahas Pemerintah dan DPR saat ini juga lebih mencerminkan ketertundukan pada kenyataan faktual daripada cita-cita yang ideal (law as a tool of social enginering). Regulasi tersebut hanya melahirkan kebijakan residual, yang menjadikan pelaku pasar tradisional tetap akan sebagai obyek proyek dan pemain pinggiran. Meskipun demikian, kekaburan semangat, arah, dan model perlindungan dan pengembangan perdagangan rakyat, telah memberi ruang lebar bagi eksistensi regulasi daerah. Dalam konteks perlindungan, maka beberapa regulasi daerah yang sudah ada maupun sedang dirancang di Propinsi DIY sudah menunjukkan semangat dan ketegasan aspek/model perlindungan bagi pelaku pasar tradisional. Namun bagaimana perlindungan terhadap sistem nilai dan modal sosial, serta arah, aspek, dan model pengembangan pasar tradisional masih belum jelas dan sangat ditentukan oleh tafsir dan orientasi pemangku kebijakan daerah. Kebijakan perlindungan semestinya ditujukan untuk melindungi sistem nilai (kebersamaan dan kekeluargaan), modal sosial (budaya produksi), dan seluruh elemen pelaku pasar tradisional di Propinsi DIY meliputi pedagang, pemasok, pengecer, pekerja informal, dan konsumen. Sesuai dengan UUD 1945 maka perlindungan pelaku pasar tradisional mencakup perlindungan terhadap elemen material, intelektual, dan institusional mereka. Perlindungan ketiga dimensi dan elemen tersebut semestinya meliputi berbagai aspek komprehensif mencakup pembatasan (kuota) jumlah toko modern, penetapan lokasi dan jarak (zonasi), pembatasan jam buka toko modern, pembagian produk yang dijual, pengaturan perijinan, penyebaran kepemilikan dan penilikan toko modern, penyeimbangan hubungan antara pedagang besar, menengah, dan kecil (pembagian pangsa pasar), dan penegasan arah dan pola pembinaan pasar tradisional.
SWARA33 m 26
Strategi Inovasi Pasar Tradisional Berdasarkan paparan di atas, maka strategi yang harus ditempuh dalam pengembangan pasar tradisional mencakup beberapa hal, yakni: penguatan organisasi pelaku pasar untuk mengembangkan SDM pelaku pasar, kemitraan produsen lokal dengan koperasi pasar untuk pengembangan produk lokal, pembelian kolektif melalui koperasi pasar untuk memperbaiki harga bagi produsen dan pedagang kecil, penataan (setting) pasar dan revitalisasi kios zona depan untuk memaksimalkan fungsi tempat pasar, menggerakkan kecintaan publik sejak dini melalui berbagai promosi di media public, melakukan berbagai inovasi bisnis untuk
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
SWARA33 m 27 Tawaran model yang bisa didorong untuk pengembangan pasar di antaranya adalah Model Pasar Mandiri, Model Perpaduan Pasar Barang, Pasar Jasa, dan Pasar Even Regional, Model Perpaduan Pasar Tradisional dan Klaster Pasar Khusus, Model Perpaduan Pasar Desa, Pasar Khusus, dan Pasar Even Lokal, Model Koridor Ekonomi (Shoppingbelt) Pasar Khusus Wisata, dan Model Pengembangan Bursa Koperasi Pasar Yogyakarta (Bukopy).
mengoptimalkan layanan kepada pelanggan. Sedangkan pada aspek pelaku, perlu upaya serius untuk mengembangkan modal material (inovasi bangunan, layout dan setting, dan produk yang dijual di pasar tradisional), modal intelektual (inovasi cara bisnis, pemasaran “nilai sosial” (social marketing), dan pencitraan (branding) pasar tradisional, dan institusional (inovasi membership, usaha kolektif, resource map, dan jaringan (networking) organisasi pelaku pasar tradisional). Secara khusus pengembangn koperasi pasar dapat dilakukan melalui perluasan basis keanggotaan, diversifikasi usaha, perluasan kemitraan, dan pendidikan anggota secara intensif.
Studi PUSTEK-UGM dan LOS (Lembaga Ombudsman Swasta) DIY yang berlangsung pada akhir tahun 2010 dan awal 2011 dapat dijadikan salah satu awalan bagi kebijakan perlindungan dan pengembangan pasar tradisional di DIY. Diharapkan juga hasil studi yang rencana akan diterbitkan dalam sebuah buku ini dapat dijadikan pemantik bagi upaya pemerintah dan DPR DIY yang saat ini sedang menyusun Raperda, pemerintah dan DPRD kabupaten dan Kota yang sedang berbenah dalam pengelolaan pasar tradisional. Selain itu pada level pelaku langsung seperti dinas pasar, koperasi pasar, pedagang pasar, APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia), dapat merapatkan barisan untuk tetap semangat dalam bekerjasama mengembangkan pasar tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan begitu semoga gebyar pasar di DIY tidak semakin meredup dan pasar tidak justru makin ilang kumandange.
n
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
SWARA33 m 28
Fahmy Radhi
PASAR TRADISIONAL
PASAR MODEREN
Menjamurnya pasar moderen yang bergerak di bidang bisnis ritel, seperti hipermarket, supermarket, dan minimarket, yang sudah merambah hingga perkampungan dan desa-desa dikhawatirkan akan menjadi ancaman serius bagi keberadaan pasar tradisional di berbagai daearah, termasuk Jogyakarta. Kehadiran pasar moderen, yang umumnya merupakan jaringan pemodal asing dengan sistim waralaba (franchise), sangat berpotensi meminggirkan keberadaan pasar tradisional, bahkan tidak mustahil pada saatnya akan memusnahkan pasar tradisional.
p
roses peminggiran terhadap pasar tradisional sesungguhnya telah berlangsung secara sistimatis dan berkelanjutan yang dilakukan dengan sangat kompak oleh koalisi strategis antara pemilik modal dan oknum birokrasi. Sedikitnya ada dua modus operandi yang selama ini telah digunakan oleh koalisi strategis itu dalam melakukan peminggiran terhadap pasar tradisional. Modus pertama, “pengambil-alihan” secara paksa sejumlah pasar tradisional untuk digantikan dengan pasar moderen, seperti hipermarket dan supermarket. Dalam pengambilan paksa tersebut, pedagang pasar tradisional tidak bisa berkutik sama sekali
menghadapi tekanan dari pihak koalisi, sehingga mereka harus rela terpinggirkan. Misalnya, pedagang pasar tradisional singosaren di Solo harus rela pindah ke pinggiran, karena lokasinya harus ditempati oleh sebuah mall yang megah. Modus operandi kedua adalah “pengepungan” terhadap pasar tradisional dengan pendirian bebarbagai mall, super market, dan berbagai mini market waralaba di sekeliling pasar tradisional. Contohnya, pasar tradisional Bringhardjo selama ini telah dikepung oleh berbagai mall dan mini market waralaba. Akibatnya, jumlah pengunjung dan pedagang pasar tradisional Bringharjo semakin menurun secara drastis dari waktu ke waktu.
Keuanggulan Pasar Moderen Selain kedua modus operandi di atas, pasar modern juga menawarkan berbagai keunggulan bersaing yang tidak dimiliki oleh pasar tradisonal. Selain menawarkan konsep one stop shopping dan kenyaman dalam berbelanja yang didukung keungungulan teknologi dan manajemen, pasar moderen juga menggunakan instrumen harga dalam bersaing (competing on price). Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki pasar moderen tersebut, kayaknya mustahil bagi pasar tradisional untuk bisa bertahan menghadapi gempuran persaingan dari pasar moderen. Beberapa pihak berpendapat bahwa kehadiran pasar moderen bukanlah pesaing bagi pasar tradisional. Argumentasinya, segmen pasar yang dibidik oleh pasar moderen berbeda dengan segmen pasar tradisional. Barangkali ada benarnya juga argumen yang mengatakan bahwa masih ada segmen konsumen bagi pasar tradisonal. Segemen kosumen itu umumnya mempunyai keterikatan emosional dengan pasar tradisional maupun konsumen yang mempunyai perilaku lebih menyukai proses tawar-menawar dalam berbelanja di pasar tradisional. Namun, jenis segmen konsumen ini jumlahnya terbatas pada generasi tertentu, sedangkan pada generasi yang lebih muda cenderung memilih ber-
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
belanja di pasar moderen. Apalagi kalau keberadaan pasar moderen sudah merambah di berbagai pelosok perkampungan dan desa-desa, yang menjual barang dagangannya lebih murah dibanding harga-harga di pasar tradisional, maka segmen konsumen pasar tradisional sudah pasti akan tersedot untuk berbelanja di pasar moderen. Tersedotnya segmen konsumen pasar tradisonal ke pasar moderen diprediksikan lambat laun akan menyebabkan kepunahan pasar tradsional.
Upaya Penyelamatan Pasar Tradisional Pertanyaannya, apakah kepunahan pasar tradisional akan dibiarkan begitu saja sesuai dengan logika ekonomi pasar? Mengingat para pedagang yang menggantungkan hidupnya di pasar tradisional umumnya pedagang kecil yang lemah, maka harus ada upaya serius dari pemerintah daerah untuk mencegah kepunahan pasar tradisional. Paling tidak ada tiga upaya harus dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mencegah proses kepunahan pasar tradisional. Pertama, intervensi melalui regulasi yang memberikan pembatasan wilayah bagi beroperasinya pasar moderen, khususnya bagi mini market yang merupakan jaringan pemodal besar dengan sistem waralaba. Selain pembatasan wilayah, perlu juga diatur jarak dalam radius tertentu bagi pendirian dan pengoperasian mini market dengan jarak pasar tradisional. Regulasi tersebut harus benar-benar ditegakan secara konsisten dengan pengawasan yang ketat agar bisa dilaksanakan dalam rangka melindungi pedagang pasar tradisional dari persaingan yang tidak seimbang dengan pasar moderen. Kedua, pemerintah daerah harus berupaya untuk menata ulang pasar tradisional, baik untuk memperbaiki penampi-
SWARA33 m 29
lan yang lebih baik, maupun untuk menyiptakan kenyaman dalam berbelanja di pasar tradisional. Dalam penataan ulang ini, jangan sampai terjadi lagi adanya penggusuran bagi pedagang yang selama ini sudah menempati pasar tradisional setelah pasar tradisional tersebut direnovasi. Pengalaman selama ini telah membuktikan bahwa pada saat selesainya renovasi pasar tradisional, banyak pedagang yang harus tergusur karena tidak mampu membayar kenaikan sewa paska renovasi. Untuk itu, pemerintah daerah harus memberikan bantuan dan jaminan bagi pedagang sehingga masih bisa menempati tempat berjualan mereka setelah pasar tradisional direnovasi. Ketiga, pemerintah daerah harus berupaya untuk melakukan pemberdayaan bagi pedagang pasar tradisional untuk bisa menjadi pemasok bagi kebutuhan pasar moderen. Memang, ada beberapa jaringan pasar moderen yang memberikan kesempatan bagi pedagang kecil untuk menjadi mitra usaha pasar moderen sebagai pemasok. Namun, dalam prakteknya bukanlah hal yang mudah bagi pedagang kecil untuk bisa memenuhi berbagai persyaratan “njlimet” yang ditetapkan jaringan pasar moderen untuk dapat menjadi mitra usaha. Untuk itu, pemerintah daerah harus memfasilitasi bagi pedagang kecil untuk bisa memenuhi berbagai persyaratan-persyaratan yang ditetapkan jaringan pasar moderen.. Tanpa ada upaya serius dan konsisten dari pemerintah daerah untuk mempertahankan keberadaan pasar tradisional, tidak mustahil pada saatnya pasar tradisional akan punah. Dampak kepunahan pasar tradisional tersebut dapat meningkatkan jumlah pengangguran dan memperbesar angka kemiskinan di negeri ini.
n
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
SWARA33 m 30
Puthut Indroyono
SOLUSI KERAKYATAN UNTUK
ENERGI BARU TERBARUKAN
Harus diakui pendekatan demokratik tidak pernah jadi pilihan utama dalam kebijakan energi kita baik yang menyangkut energi fosil, maupun energi baru dan terbarukan (EBT). Kalaupun ada, porsinya minimal dan hanya untuk sekedar memberi kesan populis. Peran pemerintah dan BUMN yang bertanggungjawab untuk mendistribusikan pendapatan melalui kesempatan berusaha khususnya pelaku ekonomi lokal, justru makin terkesan berpihak bukan pada kepentingan ekonomi rakyat banyak.
m
ubyarto (1987:139) pernah mengingatkan bahwa proses privatisasi tidak seyogyanya diterapkan pada semua bidang tanpa mempertimbangkan kepentingan umum dan hajat hidup orang banyak. Karena yang demikian itu dapat menimbulkan kekawatiran pada pertumbuhan yang mengarah ke monopoli dan oligopoli yang merugikan masyarakat. Bagi pembaca yang mengikuti perkembangan EBT di Indonesia, tentu merasa sangat prihatin karena lebih banyak cerita yang kurang menggembirakan. Sebagaimana Kompas (18/3/11), hampir semua adalah bad practice. Artikel Opini Kedaulatan Rakyat (8/4/11) lalu, memang telah memberikan argumentasi normatif tentang EBT, namun belum memberi arah yang jelas tentang “siapa melakukan apa dan bagaimana”, sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Partisipasi Energi Kolektif Di belahan bumi lain, yang masyarakatnya lebih individualistik, program energi baru berbasis kepemilikan kolektif dapat berkembang pesat, sementara perusahaan negara menjadi cerminan kepemilikan rakyat secara kolektif. Model sentralistik berbasis mekanisme pasar berangsur ditinggalkan karena persoalan energi adalah persoalan negara dan rakyatnya. Alaska Permanent Fund adalah contoh cerita sukses legislasi yang menempatkan partisipasi rakyat dalam produksi energi di Amerika Serikat khususnya Alaska. Di negara bagian itu, setiap warga negara mandapat dividen tahunan dari “BUMN” sejak tiga dekade lalu. Pendekatan kepemilikan kolektif (community ownership) juga menjadi magnitude dan trend baru dalam investasi EBT. Praktek monopoli/oligopoli negara dan swasta seakan dianggap sebagai sumber masalah timbulnya krisis energi berkepanjangan dan sekaligus krisis lingkungan. Sebagai gantinya adalah pengelolaan energi berbasis investasi rakyat. Partisipasi rakyat tidak sebatas konsumsi, tapi juga pada produksi, distribusi, dan penguasaan faktor-faktor produksi. Rakyat didorong untuk berpartisipasi dalam arti luas, pada aspek material (bahan baku, peralatan/teknologi, modal finansial, tenaga kerja dll.), intelektual (aspek keahlian/know-how), dan institusional (kelembagaan/modal sosial). Hasilnya, rakyat berbondong-bondong membeli saham energi atau menyetor “simpanan wajib/sukarela”, membolehkan tanahnya untuk tempat pembangkit atau sekedar dilewati transmisi listrik. Mereka mendukung program, karena kontribusi sekecil apapun diperhitungkan dalam biaya maupun keuntungan. Pendeknya, “pemain” energi terbarukan makin diperluas (from few to the many). Denmark merupakan salah satu negara paling sukses yang menyumbang 20% untuk pasokan energi baru negeri mereka saat ini. Di Inggris, terdapat
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
“energy4all”, koperasi energi angin yang melibatkan banyak anggota koperasi, pengembang lokal, dan pusat studi energi. Di Asia Tenggara kita mengakui Thailand sebagai negara terdepan dalam pengembangan EBT yang partisipatif. “The more people involved…, the more democratic the energy supply system becomes”. Penjual energi mendapat keuntungan wajar, pemilik tanah mendapat sewa, rakyat mendapat tambahan fasilitas, penduduk lokal dapat bekerja, pemerintah mendapat pajak, dan konsumen berdaya ikut menentukan harga energi.
Keunggulan Banyak studi menyimpulkan keunggulan model ini. Pertama, metode ini membuka kesempatan pada rakyat untuk merevitalisasi proyek-proyek macet di masa lampau, yang ditinggalkan pemerintah/investor karena tidak menguntungkan. Kita tahu di Indonesia banyak proyek energi baru yang terbengkelai. Misalnya, Pertamina dan PT RNI, dan PGN yang harus “menyumbang” Rp 10 milliar untuk proyek biodiesel untuk program Desa Mandiri Energi di Grobogan. Petani dimobilisasi melalui kelompok tani dan diposisikan sebagai penyuplai bahan baku, bukan pada kemanfaatan energi baru kini dan masa depan. Mereka tidak peduli selain harga pembelian saat panen. Lain cerita bila mereka diberi kesempatan menjadi “pemilik” proyek biodiesel lewat skema yang disepakati seperti saham atau koperasi. Dalam kasus Grobogan, “proyek gagal” itu kemudian diambil perusahaan yang justru memanfaatkan biji jarak untuk produk lain atau diekspor. Alasan kegagalan program karena harga jual bahan baku di atas harga “pasar”, sebagaimana sering disampaikan para pengelola/ pemilik proyek EBT di Indonesia sangat tidak relevan. Kedua, meluasnya partisipasi rakyat dapat meningkatkan investasi energi terbarukan. Sekalipun tingkat pengembalian modal lebih rendah, namun di banyak negara hal itu tidak menyurutkan semangat masyarakat berinvestasi. Kita masih ingat bagaimana investasi produk strategis bangsa justru diberikan pada pemodal asing. Ketiga, munculnya kesadaran masyarakat bahwa energi adalah persoalan mereka sehingga mereka berkepentingan
SWARA33 m 31
menjaga berkesinambungannya, agar terjangkau harganya, dan bersih secara lingkungan. Tentu masih banyak dampak positif kepemilikan yang mendorong kesadaran dan kesejahteraan rakyat seperti keuntungan yang terdistribusi, biaya transmisi murah karena pembangkitnya juga terdistribusi. Dukungan publik pada pemerintah akan meningkat sehingga tidak perlu “ragu” menaikkan harga BBM fosil atau listrik. Memang tidak mudah, namun kalau kita mengingat masa lalu, bagaimanapun masyarakat kita memiliki tingkat swadaya tinggi karena kepemilikan kolektif. Kalau sekarang ini terkesan kurang, itu karena pendekatan program yang selama ini dijalankan. Jika potensi besar itu dikembangkan, maka tidak mustahil di masa depan di banyak desa akan banyak dijumpai “Perusahaan Listrik Desa”, yang berfungsi layaknya PLN. Shareholder-nya adalah pemerintah, investor lokal, universitas/pusat studi, masyarakat setempat, koperasi, kelompok swadaya, kelompok tani, kelompok perempuan, dan lain-lain. Peraih Nobel ekonomi 2009, Elinor Ostrom menolak keras pemahaman umum bahwa common property selalu buruk dalam pengelolaan dan perlu diambil alih negara atau diprivatisasi. Menurutnya, semuanya sama-sama tidak lebih baik dari yang lain berdasarkan teori-teori standar. Oleh karena itu, dengan keseriusan semua pihak energi kolektif rakyat dapat menjadi salah satu sarana dalam mendemokratisasi kesempatan berusaha bagi rakyat untuk mengurangi kesenjangan, memperluas lapangan usaha rakyat, serta meningkatkan kedaulatan energi terutama dalam energi baru dan terbarukan. Saat ini pemerintah sedang mengembangkan proyek energy angin dan surya di pantai selatan Yogyakarta. Pemerintah daerah bekerjasama dengan UGM sedang mengembangkan kelembagaan ekonomi yang nantinya dapat mengembangkan kawasan pantai selatan itu. Menurut Bappeda, pemerintah daerah kabupaten Bantul mengharapkan terbentuknya sebuah koperasi yang dapat menjadi wadah bagi pengembangan ekonomi rakyat melalui pengembangan EBT. Semoga harapan itu nantinya dapat terwujud sesuai cita-cita konstitusi, karena tidak ada yang lebih “menyakitkan” ketika koperasi hanya diberi kesempatan oleh negara sebagai “tempat mbayar” rekening listrik di masa lalu.
n
PUSTAKA
SWARA33 SWARA33 m 32
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April eBulletin 2011 MUBINS n Edisi 001 n April 2011 n
WARTA
SWARA33 SWARA33 m 33
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April eBulletin 2011 MUBINS n Edisi 001 n April 2011 n
Program Kelembagaan Energi Baru dan Terbarukan di Bantul
Laporan : Puthut Indroyono
(SWARA33) Kamis, 5 Mei 2011, Tim peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (Pustek-UGM) mengadakan sosialisasi program pengembangan kelembagaan energi terbarukan di balai desa Poncosari Srandakan Bantul. Sosialisasi ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan tentang program pengembangan kelembagaan masyarakat dalam kerangka program PHKI yang dibiayai oleh DIKTI. Hadir memberikan paparan pada kesempatan itu adalah Drs. Sulistiyanto, M.Pd dari Bappeda Kab. Bantul, Dr. Ahmad Agus Setiawan, M.Sc dari Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM, dan Awan Santoso, SE, M.Sc serta Drs. Puthut Indroyono, keduanya dari Pustek UGM. Peserta yang hadir merupakan wakil-wakil dari kelompok-kelompok masyarakat di lingkungan desa Poncosari, Srandakan, Bantul. Hadir pula beberapa
pejabat dari dinas-dinas pemerintah daerah Bantul, kecamatan Srandakan dan wakil dari Sekolah Menengah Kejuruan.
Dijelaskan oleh Sulistiyanto, saat ini pemerintah Bantul sedang memikirkan bentuk kelembagaan masyarakat dalam pengembangan energi baru dan terbarukan di kawasan pantai Kowaru Bantul. Harapannya bentuk organisasi nantinya adalah “dari, oleh dan untuk masyarakat”, dan wadah organisasi itu menurutnya adalah koperasi. Pada kesempatan itu disampaikan pula bahwa perlu dibentuk pula “Study Club” yang mampu mewadai para pemuda agar dapat belajar tentang energi baru dan terbarukan. Sementara itu, Dr. A.Agus Setiawan menjelaskan besarnya potensi pengembangan energi terbarukan di Indonesia, terutama di daerah-daerah terpencil.
Berdasarkan pengalaman panjangnya dalam mendampingi masyarakat di beberapa daerah, potensi energi terbarukan dapat diaplikasikan untuk meningkatkan usaha ekonomi rumah tangga. Selain ketersediaannya melimpah, energi bersih tersebut telah menjadi salah satu prioritas pengembangan energy nasional saat ini. Awan Santoso, SE. M.Sc, pada saat yang sama menggarisbawahi pentingnya peran modal sosial dalam pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat, yang berpotensi besar tidak hanya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetapi juga menguatkan kemandirian ekonomi rakyat. Pada kesempatan tanyajawab, tiga orang orang peserta menyampaikan pertanyaan dan tanggapannya. Peserta pertama menyampaikan
SWARA33 m 34
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n April 2011
kritikannya tentang kurangnya peserta dari generasi muda dalam acara tersebut, meskipun ia mengharapkan tindaklanjut program selanjutnya. Seorang ibu utusan dari salah satu sekolah menengah kejuruan menyampaikan ketertarikannya untuk mengkaitkan program energi terbarukan dengan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya,
meski masih membutuhkan persiapanpersiapan. Sedangkan seorang wakil kelompok tani menyampaikan upayanya dalam memperbaiki peralatan tani dan kemungkinannya dapat dibantu oleh ahli dari UGM.
juti dengan kajian partisipatif terkait kelembagaan yang diharapkan oleh masyarakat, termasuk menyusun rencana program bersama berikut macam program pendampingan yang diperlukan (PI).
Pada bagian akhir dijelaskan oleh PIC program, Puthut Indroyono, bahwa setelah kegiatan ini akan ditindaklan-
n