Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER DALAM POLITIK DEMOKRASI DI INDONESIA (SEBUAH KAJIAN TEORITIK) Oleh: Hafis Muaddab Staf pengajar akuntansi dan perbankan syariah SMK Negeri 1 Jombang dan Wakil Sekretaris PC GP Ansor Jombang Tahun 2014-2018 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK NU's political role as an opinion leader, was built in the three functions of (1) the function of social culture (2) the function of advocacy and political literacy, (3) social networking functionality. These functions are a series of interrelated to one another. The operation of one of the functions need to be supported by other functions so that a real political role occurred. Implementation of NU's political role should not leave their social functions as religious organizations in Indonesia. Leaving the implementation of the social function of NU not only deny the 1926 legacy but also make the political role NU fragility of the building itself . Keyword: opinion leader, Nahdlatul Ulama, politic, democracy
Pendahuluan
Dalam konsep good governance, “accountability is a key requirement of good governance” 1. Richard C. Box 2, memberikan ruang yang lebih besar terhadap peran masyarakat sebagai warga negara. Dalam bingkai pemerintahan di Indonesia hal ini dapat ditelusuri dalam koridor UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Secara formal, undang-undang tersebut memberikan kerangka yang cukup ideal bagi terwujudnya keadaan politik lokal yang dinamis dan demokratis terhadap partisipasi masyarakat di setiap daerah. Penguatan media sebagai ekses dari globalisasi, dalam mempengaruhi hingga mampu menghegemoni dan membentuk kehendak umum dalam mengatasi persoalan sektoral. Apa yang terjadi di Mesir, Libya dan beberapa kawasan di Timur Tengah 3 membuktikan hal tersebut. Kita menyaksikan betapa mobilisasi massa melalui opini 1
Konsep " pemerintahan " bukanlah hal baru . Hal ini setua peradaban manusia . Sederhananya " governance " berarti : proses pengambilan keputusan dan proses dimana keputusan diimplementasikan ( atau tidak diimplementasikan ) . Tata Kelola dapat digunakan dalam beberapa konteks seperti tata kelola perusahaan , pemerintahan internasional , pemerintahan nasional dan pemerintahan lokal . UN, 2004. What is good governance. Economic and Social Commission for Asia and the Pacific 2 Lihat, Richard C. Box. 1998. Citizen Governance: Leading American Communities into 21st Century, Sage Publication, California 3 Hal ini disitilahkan dengan kebangkitan dunia Arab atau Musim Semi Arab (bahasa Inggris: The Arab Spring; bahasa Arab: ةيبرعلا تاروثلا, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi di dunia Arab. Sejak 18 Desember 2010, telah terjadi revolusi di Tunisia dan Mesir; perang saudara di Libya; pemberontakan sipil di Bahrain, Suriah, and Yaman; protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko] dan Oman, dan protes kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, Sudan, dan Sahara Barat. Kerusuhan di perbatasan Israel bulan Mei 2011 juga terinspirasi oleh kebangkitan dunia Arab ini. Protes ini menggunakan teknik pemberontakan sipil dalam kampanye yang melibatkan serangan, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial, seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Skype, untuk mengorganisir, berkomunikasi, dan meningkatkan kesadaran terhadap usaha-usaha penekanan dan penyensoran Internet oleh pemerintah.
14
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
media sosial yang dilakukan secara sistematis mampu melakukan perubahan kepemimpinan nasional. Di dalam negeri sendiri kita kita dapat melihat pada kasus Prita 4 atau Cicak Vs Buaya 5, pembuktian pendapat Gramsci bahwa media memiliki peran sebagai alat hegemoni terhadap pembentukan kehendak umum. Persoalannya, hegemoni yang berlangsung saat ini apakah dilakukan melalui integritas ideologis. Perkembangan selanjutnya, trend globalisasi sangat mempengaruhi proses-proses politik di seluruh negara di dunia, termasuk berpengaruh terhadap demokratisasi di Indonesia. Globalisasi bukan saja ditandai oleh ketergantungan antar negara dan terintegrasinya sistem-sistem ekonomi dan sosial, tetapi juga, dan lebih penting lagi, menimbulkan gejala-gejala baru berupa de-statisation dan de-nationalisation. Gejala-gejala itu ditandai oleh berkurangnya peran negara sebagai akibat liberalisasi pasar dan terbentuknya konfigurasi baru hubungan pemerintah pusat dan lokal. Lebih lanjut, globalisasi menyebabkan perubahan-perubahan politik secara mendasar, yaitu dengan bercampur-baurnya kepentingan dan kewenangan aktor-aktor negara, bisnis dan masyarakat sipil di tingkat global, nasional, regional dan lokal. Akibatnya, proses-proses politik demokratis, baik untuk merumuskan dan menjalankan kepentingan publik, hingga fungsi kontrol media dalam survei publik didominasi oleh aktivitas berorientasi ekonomi-pasar yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan modal para aktor yang bermain di dalamnya. Yang terpinggirkan dari proses seperti itu adalah hak publik untuk berpartisipasi di dalam proses-proses perumusan kebijakan publik. Di Indonesia, studi yang dilakukan Demos pada 2003/2004 dan 2007 serta paparan Robison dan Vedi Hadiz 6, misalnya, memperlihatkan demokratisasi politik yang cenderung oligarkis. Terjadi dominasi elit ditingkat lokal yang tidak memberikan kontribusi positif terhadap kalangan akar rumput (grass root). Dalam konteks Nahdhatul Ulama (NU), perkembangan politik demokratis tidak bisa dipisahkan dari pesantren sebagai entitas politik selain sebagai lembaga pendidikan yang merupakan basis gerakan NU. Persaingan para elit NU dalam memperebutkan kekuasaan baik pusat ataupun daerah, menunjukkan bahwa NU telah jauh masuk dalam pusaran liberalisasi politik. Elit NU yang memilih terjun dalam politik pragmatis ini membuat mereka terfragmentasi di partai politik. Perebutan akses politik ini jelas sarat kepentingan ekonomi pribadi ataupun golongan. Figur kiai yang biasanya disegani masyarakat NU juga masuk dalam pusaran politik pragmatis, terutama
4 Kasus yang disebabkan surat elektronik yang menyebar di internet mengenai layanan RS Omni Internasional Alam Sutera. Melalui surat ini Prita dianggap telah mencemarkan nama baik rumah sakit tersebut beserta sejumlah dokter mereka 5 Kedua personifikasi ini diciptakan oleh Susno Duadji ketika diwawancarai oleh majalah Tempo tercetak pada edisi 20/XXXVIII 06 Juli 2009 dengan mengatakan cicak kok mau melawan buaya sebagai personifikasi KPK sebagai cicak sementara Kepolisian sebagai buaya dan dalam perkembangan selanjutnya buaya berubah menjadi penganti tikus yang dahulu diidentikkan dengan para pelaku korupsi 6 Lihat, Ricard Robinson and Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganising Power In Indonesia: The Politics of Oligarchy in an age of Markets. Bulletin of Indonesian Economic Studies. Australian National University. Australia
15
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
didaerah basis suara NU. Implikasinya terjadi delegitimasi peran kiai sebagai culture broker atau agent of change. Menurunnya jumlah santri dibeberapa pesantren yang kiainya berpolitik memberi bukti terjadinya delegitimasi tersebut. Saidin Ernas 7 dalam studinya menyebutkan bahwa, banyak pesantren yang mengalami penurunan kualitas karena kiai atau pimpinan pesantrennya lebih sibuk berpolitik. Pesantren yang terlampau aktif dalam peran politiknya (political oriented) sangat mungkin akan ditinggal oleh santrinya. Sebab orang tua santri yang kritis akan lebih memilih pesantren yang lebih menjaga independensinya terhadap politik praktis. Pada titik ini, dapat disimak bahwa masyarakat yang sebelumnya sangat menghormati pesantren dan selalu mengikuti anjuran dan arahan pesantren mempunyai dasar untuk menentang legitimasi fatwa pesantren, khususnya dalam isu-isu sosial dan politik, terutama dalam kasus pemilu. Lemahnya penegakan hukum, rendahnya komitmen pemerintah terhadap perlindungan kaum minoritas, persoalan kesejahteraan masyarakat, perilaku koruptif para birokrat hingga rendahnya empati sosial para wakil rakyat di senayan. Kondisi politik ini menurut Prof. Azumardi Azra telah menyebabkan terjadinya kelelahan politik (political fatique) yang berujung pada apatisme politik. Padahal baik di negara yang sudah mapan dengan demokrasi maupun yang masih dalam proses konsolidasi seperti Indonesia, apatisme politik jelas tidak menguntungkan. Dalam konteks Indonesia, apatisme politik dapat mengakibatkan kian terbengkalainya agenda-agenda konsolidasi demokrasi, seperti pemberdayaan pranata dan institusi demokrasi semacam partai politik, lembaga perwakilan rakyat (DPR); penciptaan good governance dan pemberantasan korupsi; penguatan kultur politik demokratis, civic culture (budaya kewargaan) dan civility (keadaban); serta penegakan hukum. Jika agenda-agenda ini telantar, bisa dipastikan konsolidasi demokrasi di negeri ini tidak bakal pernah berakhir. Sebaliknya, yang terus berlanjut adalah kerancuan, anomali, dan kekisruhan politik yang menghambat akselerasi Indonesia menjadi sebuah negara yang bermartabat dan disegani negara-negara lain. Apatisme masyarakat terhadap politik secara struktural merupakan bagian dari alienasi politik. Alienasi politik seperti dijelaskan oleh Lane dalam bukunya, Political Ideology, memiliki definisi umum sebagai keterasingan orang terhadap pemerintah dan politik dalam masyarakatnya sehingga memunculkan penolakan terhadap kegagalan politik 8. Masyarakat yang acuh tak acuh pada setiap agenda politik nasional maupun daerah dapat ditempatkan sebagai floating mass yang hanya diaktifkan dimasa pemilihan. Fakta ini terjadi manakala NU hanya dimanfaatkan menjadi
7
Saidin Ernas. 2011. Bias Politik Pesantren: Dari Pragmatisme-Transaksional Hingga Resistensi Sosial. Jurnal Studi Pemerintahan Vol.2 Nomor 1 Februari 2011. UMY Press. Yogyakarta 8 Lihat, Lane, R. E.1962. Political Ideology. Why the American Common Man Believes What He Does, New York, The Free Press.
16
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
pengumpul suara (vote getter) bukan sebagai mitra strategis pemerintah dalam membangun demokrasi yang lebih baik. Agar komunikasi politik berjalan dengan baik maka keberadaan ormas menjadi penting sebagai perantara komunikasi politik. Sehingga sesuai khittah 1926 yang digariskan para pendirinya, NU perlu berperan sebagai perantara komunikasi politik, sebuah peran yang dalam ilmu komunikasi disebut sebagai peran “opinion leader”. Untuk melaksanakan peran tersebut NU perlu mendayagunakan tiga elemen dasar. Pertama, pembenahan fungsi kultur sosial (moralitas politik) pesantren yang terdegradasi oleh perilaku para elitnya. Kedua mendayagunakan kelembagaan media sebagai ruang publik alternatif yang dapat menjadi kekuatan potensial. Ketiga, membangun kemandirian masyarakat tentang apa yang harus dilakukan untuk memungkinkan berlangsungnya fungsi pengendalian terhadap urusan-urusan publik dan kesetaraan warga negara dalam politik demokrasi yang dibangun. Tokoh NU yang pernah berhasil melakukan peranan tersebut adalah KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Tinjauan Teoritik Konsep Opinion Leader Istilah opinion leader menjadi perbincangan dalam literatur komunikasi sekitar tahun 19501960an. Sebelumnya dalam istilah komunikasi sering digunakan istilah influentials, influence atau tastemakers untuk menyebut opinion leader. Kata opinion leader kemudian menjadi lebih lekat dengan kondisi masyarakat di pedesaan karena tingkat media exposure-nya dan tingkat pendidikannya yang masih rendah. Akses dari media lebih memungkinkan dari mereka yang mempunyai tingkat pemahaman yang lebih tinggi. Melalui seorang opinion leader-lah informasi yang datangnya dari media diketahui oleh masyarakat awam. Secara tidak langsung, opinion leader merupakan perantara berbagai informasi yang diterima dan diteruskan kepada masyarakat setempat. Pihak yang sering menjadi media exposure di masyarakat desa kadang diperankan oleh seorang opinion leader. Mereka ini sangat dipercaya dan dijadikan panutan serta menjadi tempat bertanya dan meminta nasehat dalam segala hal. Opinion leader dalam kelompok mempunyai cara yang berbeda-beda dalam menyampaikan pesannya kepada komunikan untuk mendapatkan respon atau tanggapan tertentu dalam situasi tertentu pula. Kesesuaian maksud dari opinion leader ini tergantung dari isi pesan dan feedback yang diharapkan dari komunikan. Selain itu faktor psikologis masing-masing opinion leader juga menentukan gaya dan caranya dalam mengelola penyampaian pesan. Dalam sebuah komunikasi, umpan balik merupakan bentuk khas dari sebuah pesan. Komunikasi disebut efektif jika umpan balik yang didapatkan sesuai dengan harapan komunikator.
17
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Oleh karena itu perlu seorang komunikator yang berkemampuan untuk mendapatkan kategori komunikasi efektif. Untuk itu karakteristik opinion leader dapat dibagi menjadi 6 (enam), yaitu: 1.
The Controlling Style Dalam karakter opinion leader yang pertama adalah bersifat mengendalikan. Gaya mengendalikan ini ditandai dengan adanya satu kehendak atau maksud untuk membatasi, memaksa dan mengatur baik perilaku, pikiran dan tanggapan komunikan. Gaya ini dapat dikategorikan sebagai one step flow. Oleh karena itu opinion leader tidak berusaha untuk membicarakan gagasannya, namun lebih pada usaha agar gagasannya ini dilaksanakan seperti apa yang dikatakan dan diharapkan tanpa mendengarkan pikiran dari komunikan.
2.
The Equalitarian Style Gaya ini lebih megutamakan kesamaan pikiran antara opinion leader dan komunikan. Dalam gaya ini tindak komunikasi dilakukan secara terbuka. Artinya setiap anggota dapat mengkomunikasikan gagasan ataupun pendapat dalam suasana yang rileks, santai dan informal. Dengan kondisi yang seperti ini diharapkan komunikasi akan mencapai kesepakatan dan pengertian bersama. Opinion leader yang menggunakan pola two step flow ini merupakan orang-orang yang memiliki sikap kepedulian tinggi serta kemampuan membina hubungan baik dengan orang lain dalam lingkup hubungan pribadi maupun hubungan kerja. Oleh karena itu akan terbina empati dan kerjasama dalam setiap pengambilan keputusan terlebih dalam masalah yang kompleks.
3.
The Structuring Style Poin dalam gaya ini adalah penjadwalan tugas dan pekerjaan secara terstuktur. Seorang opinion leader yang menganut gaya ini lebih memanfaatkan pesan-pesan verbal secara lisan maupun tulisan agar memantapkan instruksi yang harus dilaksanakan oleh semua anggota komunikasi. Seorang opinion leader yang mampu membuat instruksi terstuktur adalah
orang-orang
yang
mampu
merencanakan
pesan-pesan
verbal
untuk
memantapkan tujuan organisasi, kerangka penugasan dan memberikan jawaban atas pertanyaan yang muncul. 4.
The Relinquising Style Gaya ini lebih dikenal dengan gaya komunikasi agresif, artinya pengirim pesan atau komunikator mengetahui bahwa lingkungannya berorientasi pada tindakan (action oriented). Komunikasi semacam ini seringkali dipakai untuk mempengaruhi orang lain dan memiliki kecenderungan memaksa. Tujuan utama komunikasi dinamis ini adalah untuk menstimuli atau merangsang orang lain berbuat lebih baik dan lebih cepat dari saat itu. Untuk penggunaan gaya ini lebih cocok digunakan untuk mengatasi persoalan 18
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
yang bersifat kritis namun tetap memperhatikan kemampuan yang cukup untuk menyelesaikan persoalan tersebut bersama-sama. 5.
The Dynamic Style Dalam sebuah komunikasi kelompok tidak semua hal dikuasai oleh opinion leader, baik dalam percakapan hingga pengambilan keputusan. Bekerja sama antara seluruh anggota lebih ditekankan dalam model komunikasi jenis ini. Komunikator tidak hanya membicarakan permasalahan tetapi juga meminta pendapat dari seluruh anggota komunikasi. Komunikasi ini lebih mencerminkan kesediaan untuk menerima saran, pendapat atau gagasan orang lain. Komunikator tidak memberi perintah meskipun ia memiliki hak untuk memberi perintah dan mengontrol orang lain. Untuk itu diperlukan komunikan yang berpengatahuan luas, teliti serta bersedia bertanggung jawab atas tugas yang dibebankan.
6.
The Withdrawal Style Deskripsi konkret dari gaya ini adalah independen atau berdiri sendiri dan menghindari komunikasi. Tujuannya adalah untuk mengalihkan persoalan yang tengah dihadapi oleh kelompok. Gaya ini memiliki kecenderungan untuk menghalangi berlangsungnya interaksi yang bermanfaat dan produktif. Akibat yang muncul jika gaya ini digunakan adalah melemahnya tindak komunikasi, artinya tidak ada keinginan dari orang-orang yang memakai gaya ini untuk berkomunikasi dengan orang lain, karena ada beberapa persoalan ataupun kesulitan antar pribadi yang dihadapi oleh orang-orang tersebut.
Opinion Leader dalam Kelompok Sebuah kelompok adalah kumpulan dari beberapa individu yang memiliki tujuan sama untuk membangun sebuah perubahan. Kelompok merupakan bagian kehidupan kita sehari-hari. Bagi individu, kelompok dikatakan sebagai media pengungkapan persoalan-persoalan baik yang bersifat pribadi (keluarga sebagai kelompok primer) maupun yang bersifat umum (kebutuhan pengetahuan semua anggota kelompok). Setiap individu memilih kelompoknya masing-masing berdasarkan ketertarikannya (interest) masing-masing. Orang yang memisahkan atau mengisolasi diri dari orang lain adalah orang yang penyendiri, benci kepada orang lain atau dapat dikatakan sebagai orang antisosial. Semua anggota di dalam kelompok memiliki tujuan yang sama sehingga mereka bersatu dan membangun sebuah sinergi untuk mewujudkannya. Di dalam teori kepribadian kelompok, sinergi dikatakan memiliki peran penting dalam sebuah pencapaian cita-cita. Namun sinergi tidak hanya dihabiskan untuk mencapai tujuan saja tetapi juga termasuk untuk menjaga hubungan antar anggota, baik pribadi maupun umum. Dalam sebuah kelompok terdapat opinion leader (komunikator) dan
19
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
anggota (komunikan). Fungsi seorang komunikator dapat dijabarkan dalam 8 (delapan) aspek menurut Burgoon, Heston dan Mc. Croskey. Kedelapan fungsi tersebut adalah: (1) Fungsi Inisiasi (2) Fungsi Keanggotaan, (3) Fungsi Perwakilan (4) Fungsi Organisasi (5) Fungsi Integrasi (6) Fungsi Manajemen Informasi Internal (7) Fungsi Penyaring Informasi (8) Fungsi Imbalan. Dalam konteks politik peran opinion leader lebih dikaitkan pada kemampuan atau otoritas yang tinggi untuk menentukan sikap dan perilaku kelompok. Bukan dari kedudukan politik tetapi karena kewibawaan, ketundukan, kharisma, mitos yang melekat padanya atau karena pengetahuan serta pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, kondisi kultural NU yang merupakan representasi pesantren yang memiliki solidaritas primordial memungkinkan untuk menampilkan peran politik sebagai sebagai opinion leader secara kelembagaan. Membangun NU sebagai kekuatan ekstra parlementer dalam paradigma Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Teori Elit Garis besar perkembangan elit Indonesia adalah dari yang bersifat tradisional yang berorientasi kosmologis, dan berdasarkan keturunan kepada elit modern yang berorientasi kepada negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan. Elit modern ini jauh lebih beraneka ragam daripada elit tradisional. Secara struktural ada disebutkan tentang administratur-administratur, pegawaipegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional, dan para intelektual, tetapi pada akhirnya perbedaan utama yang dapat dibuat adalah antara elit fungsional dan elit politik. Elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin yang baik pada masa lalumaupun masa sekarang mengabdikan diri untuk kelangsungan berfungsinya suatu negara dan masyarakat yang modern, sedangkan elit politik adalah orang-orang (Indonesia) yang terlibat dalam aktivitas politik untuk berbagai tujuan tapi biasanya bertalian dengan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yang lebih besar dengan bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan ke dua lebih mempunyai arti simbolis daripada praktis. Elit politik yang dimaksud adalah individu atau kelompok elit yang memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik. Suzanne Keller (dalam Nas, 2007: 22) mengelompokkan ahli yang mengkaji elit politik ke dalam dua golongan. Pertama, ahli yang beranggapan bahwa golongan elite itu adalah tunggal yang biasa disebut elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, ahli yang beranggapan bahwa ada sejumlah kaum elit yang berkoeksistensi, berbagi kekuasaan, tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan. (ahlinya adalah Saint Simon, Karl Mainnheim, dan Raymond Aron).
20
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Teori Hegemoni Gramsci Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ‘eugemonia’. Sebagaimana yang dikemukakan Encylclopedia Britanica dalam prakteknya di Yunani, diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polism atau citystates) secara individual misalnya yang dilakukan oleh negara Athena dan Sparta terhadap negara-negara lain yang sejajar. 9 Adapun teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci 10 adalah: “Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.” Berdasarkan pemikiran Gramsci tersebut dapat dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi. Berdasarkan pemikiran Gramsci tersebut dapat dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi, jika direfleksikan ke dalam kehidupan sosial-politik di Indonesia. Bagi Gramci, media merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competing ideologies). Antonio Gramci melihat media sebagai ruang di mana berbagai ideologi dipresentasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. Konsep Keterwakilan Dalam Politik Demokrasi
Unsur mendasar demokrasi seperti disinggung sebelumnya dalam latar belakang setidaknya melibatkan tiga unsur pokok, yaitu warga negara yang setara (demos), urusan publik (public matters), dan kontrol publik (popular control). Maka, pertanyaan-pertanyaan terpenting untuk 9
Lihat, Hendarto, Heru, 1993, Mengenal Kosep Hegemoni Gramsci: dalam Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Gramedia, Jakarta 10 Gramsci, Antonio, 2001. Catatan-Catatan Politik. Pustaka Prometehea. Surabaya
21
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
mendiagnosa situasi dan kondisi demokrasi adalah: (1) siapa demos?; (2) bagaimana urusan publik dirumuskan?; dan (3) bagaimana kontrol publik dijalankan?. Pertanyaan-pertanyaan ini sangat erat kaitannya dengan persoalan keterwakilan dan partisipasi. Keterwakilan berkaitan dengan jaminan atas hak-hak setiap warga negara untuk mewujudkan kepentingan-kepentingannya. Sedangkan partisipasi berkaitan dengan jaminan atas hak-hak setiap warga negara untuk ikut serta secara aktif di dalam proses-proses politik yang menentukan pengambilan, pelaksanaan dan kontrol atas kebijakan-kebijakan publik.Institusi keterwakilan dan partisipasi yang demokratis harus menjamin hak dan kepentingan setiap warga negara. Abai terhadap kedua aspek itu, maka demokrasi hanyalah sebatas serangkaian prosedur demokrasi, dan karena itu jauh dari demokrasi yang substansial. Partisipasi dan keterwakilan merupakan dua konsep penting yang senantiasa muncul dalam topik diskusi demokrasi. Kendati begitu, masing-masing konsep merupakan buah dari dua gagasan yang berbeda. Partisipasi tumbuh dalam tradisi pemikiran republikanisme, sedangkan keterwakilan lebih dekat dengan gagasan liberalisme. Partisipasi merupakan prinsip keterbukaan bagi semua individu untuk mengontrol semua urusan publik, sedangkan keterwakilan berkaitan dengan pengakuan dan pemenuhan atas hak-hak (kepentingan) setiap individu. Dalam wacana demokrasi, karena itu, muncul istilah demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi perwakilan (representative democracy). Pada perkembangannya hingga kini, baik partisipasi maupun keterwakilan kerap menjadi tolok ukur kualitas demokrasi. Semakin luas partisipasi publik dan semakin banyak kepentingan publik yang terwakili, dikatakan kualitas demokrasi semakin baik. Sebaliknya, keterbatasan akses partisipasi dan ketimpangan muatan kepentingan dalam proses dan produk-produk kebijakan publik merupakan indikasi bagi buruknya kualitas demokrasi. Itu sebabnya demokrasi – entah langsung ataupun perwakilan – dikatakan menjadi semakin baik kualitasnya jika semakin substantif pada pelaksanaannya, bukan semata-mata mengutamakan prosedur. Dalam kaitan itu, identifikasi mengenai siapa demos merupakan hal yang sangat mendasar. Dari rumusan mengenai demos itulah aspek-aspek perbaikan partisipasi dapat ditentukan dan agregasi kepentingan publik melalui mekanisme perwakilan demokratis bisa berlangsung lebih baik. Semakin terbatas demos maka akan semakin terbatas kepentingan publik yang bisa dirumuskan. Dan semakin terbatas kepentingan publik, prosedur-prosedur demokrasi hanya akan menguntungkan sebagian anggota masyarakat. Sebagai sebuah tema kajian, keterwakilan sudah banyak menyedot perhatian para akademisi. Salah satu yang paling dikenal adalah karya Hanna Fenichel Pitkin yang berjudul The Concept of Representation. Pitkin memberikan definisi yang jelas terhadap keterwakilan, yaitu “to make present again.” On this definition, political representation is the activity of making citizens' voices,
22
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
opinions, and perspectives “present” in the public policy making processes. Ulasan Pitkin mengenai keterwakilan itu dirangkum oleh Tornquist dan Warouw: “.. .bahwa keterwakilan mengasumsikan adanya wakil, orang-orang yang diwakili, sesuatu yang diwakili dan sebuah konteks politiknya. Dinamika keterwakilan terutama menyangkut dengan otorisasi dan akuntabilitas, yang mengasumsikan adanya transparansi dan daya tanggap. Apa yang diketerwakilankan dapat bersifat substantif, deskriptif atau simbolik. Keterwakilan substantif adalah ketika wakil ‘bertindak untuk’ (acts for) mereka yang diwakili, seperti misalnya seorang pemimpin memperjuangkan kepentingan buruh. Keterwakilan deskriptif adalah ketika wakil ‘berdiri untuk’ (stands for) orang-orang yang secara objektif serupa. Misalnya, seorang perempuan mewakili perempuan dan seorang penduduk desa mewakili keseluruhan penduduk desanya. Jenis terakhir adalah keterwakilan simbolik yaitu ketika seorang aktor dianggap oleh mereka yang diwakili, juga, ‘berdiri untuk’ (stands for) mereka, tetapi kali ini dalam pengertian kesamaan kebudayaan dan identitas. Namun demikian keterwakilan simbolik bisa juga dipahami secara lebih luas, sebagaimana ditulis Bourdieu (Wacquant, 2005; Stokke, 2002) dan Anderson (1983), sebagai sesuatu yang mengonstruksi demos, kelompok-kelompok dan berbagai kepentingan yang diwakili dan menyatakan diri sebagai otoritas yang absah sebagai seorang wakil.” Berangkat dari kategorisasi keterwakilan Pitkin itu, Törnquist menawarkan sebuah pendekatan baru untuk memahami keterwakilan. Keterwakilan harus mencakup pula model-model partisipasi alternatif berupa partisipasi langsung warga yang melibatkan kelompok-kelompok kewargaan dan organisasi-organisasi masyarakat. Dalam kerangka yang ditawarkan Törnquist ini, model-model partisipasi alternatif dalam politik demokrasi bekerja atas dasar kesepakatankesepakatan dan cara-cara informal, misalnya perantaraan melalui tokoh-tokoh informal, kelompok lobi, dan LSM. Tetapi nampaknya konsep ini mengesampingkan globalisasi yang memiliki dampak yang signifikan. Di Indonesia, globalisasi menyebabkan perubahan-perubahan politik secara mendasar, yaitu dengan bercampur-baurnya kepentingan dan kewenangan aktor-aktor negara, bisnis dan masyarakat sipil di tingkat global, nasional, regional dan lokal. Akibatnya, proses-proses politik demokratis, baik untuk merumuskan dan menjalankan kepentingan publik, hingga fungsi kontrol media dalam survei publik didominasi oleh aktivitas berorientasi ekonomi-pasar yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan modal para aktor yang bermain di dalamnya. Yang terpinggirkan dari proses seperti itu adalah hak publik untuk berpartisipasi di dalam proses-proses perumusan kebijakan publik. Sehingga demokratisasi politik di Indonesia berkembang menjadi cenderung oligarkis. Terjadi dominasi elit ditingkat lokal yang tidak memberikan kontribusi positif terhadap kalangan akar rumput (grass root).Padahal prosedur-prosedur politik demokratis seharusnya menyangga satu pilar 23
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
terpenting demokrasi, yaitu pemenuhan kepentingan-kepentingan publik dan terbukanya akses partisipasi popular. Untuk memahami konsep keterwakilan yang ditawarkan oleh Pitkin dapat dilihat pada gambar 2.1 di bawah ini:
Gambar 2.1 Kerangka Terintegrasi Bagi Studi Keterwakilan Popular Demokratis (Sumber: Törnquist, Webster, Stokke (eds.), Rethinking Popular Representation (New York: Palgrave Macmillan, 2009), hal 11).
Dalam kajian ini bagi Nahdhatul Ulama (NU) pilihan strategi tersebut tentu dapat dilakukan semua mengingat modal ekonomi, sosial dan kultural yang dimiliki sebagai ormas keagamaan di Indonesia. Akan tetapi tentu bukan pilihan strategi tentunya berangkat dari sebuah peran yang dimiliki oleh NU dibidang politik demokrasi, peran tersebut adalah peran lembaga NU sebagai opinion leader. Lembaga keterwakilan alternatif bagi kepentingan yang tidak terwakili oleh ketiga lembaga aspirasi seperti; civil society, politic society dan informal leaders. Keterwakilan ini mencakup peran politik NU sebagai; a)
Fungsi Kultur Sosial (Social Culture). Untuk membangun kepercayaan diri kader NU, persamaan wacana dan komitmen kebangsaan dalam rangka memperkuat kelembagaan representrasi demokrasi
b) Fungsi Advokasi dan Literasi Politik (Advocacy and Politic Literacy). Untuk mengawal proses politik demokrasi dan membangun literasi politik anggota masyarakat c)
Fungsi Jejaring Sosial (Social Networking). Memperkuat modal ekonomi, modal kultural dan modal sosial NU untuk membangun fungsi kontrol demokrasi dan penyalur aspirasi masyarakat
24
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Untuk lebih jelasnya silahkan melihat gambar dibawah ini;
Bypassing democratic representation
OPINION LEADERS
Gambar 2.2 Kerangka Terintegrasi Peran NU Sebagai Opinion Leader Lembaga keterwakilan alternatif bagi kepentingan yang tidak terwakili (civil society, politic society dan informal leaders)
Sesuai dengan gambar di atas sebenarnya, peran NU dalam politik demokrasi berada pada lembaga civil society dan informal leader. Tetapi seiring tidak berjalannya fungsi keterwakilan karena adanya dominasi elit, maka perlu mengambil peran politik sebagai opinion leader. Peran tersebut mengambil fungsi untuk membentuk perwakilan aspirasi masyarakat yang tidak terwakili dengan menghilangkan hambatan-hambatan komunikasi politik seperti; dominasi elit, politik transaksional, kaderisasi organisasi yang lambat serta lemahnya penegakan hukum. Peran politik ini kemudian dikaitkan dengan fungsi sosial NU sebagaimana terdapat dalam khittah 1926. Keterkaitan antara khittah NU 1926 dengan peran politiknya diimplementasikan dalam peran politik sebagai opinion leader.
Nahdhatul Ulama’ dan Gerakan Politik Islam Nahdhatul Ulama’ (NU) merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan Islam yang didirikan pada 16 Rajab 1344/ 31 Januari 1926 di Surabaya oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Abdul Wahab Hasbullah. Dalam pengertian harfiah NU berarti kebangkitan ulama. Berdasarkan statuten NU pertama 1930 dan AD/ART NU terakhir tahun 2004, jelas sekali bahwa NU adalah organisasi sosial keagamaan yang mengukuhkan dirinya menjadi pengawal tradisi Ahlus Sunnah Wal Jamaah bermadzhab empat yang diusahakan melalui berbagai ikhtiar di bidang agama, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Islam berdasarkan Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah dasar
25
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
gerakan keagamaan NU. Pemihakan tujuan NU pun sangat jelas, yakni fakir miskin, yatim piatu, petani, pedagang, dan pendidikan madrasah, masjid, musholla, serta pesantren. Tak satu poin pun dalam tujuan organisasi NU menyebutkan untuk merebut kekuasaan politik atau pembentukan partai politik. Berikut ini perjalanan sejarah NU jelang satu abad yang disusun dari berbagai sumber berdasarkan momen-momen politik di mana NU ambil bagian, baik secara aktif maupun pasif. No 1
2
3
4
5
6 7 8 9
10
11
12
Tabel 3.1 Peran NU Dalam Politik Demokrasi Indonesia Waktu Peristiwa 1914 Berdiri Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), organisasi pendidikan dan dakwah, cikal bakal organisasi NU, oleh pemuda Kyai Abdul Wahab Chasbullah dan Kyai Mas Mansur yang dibantu beberapa orang lainnya. Nahdlatul Wathan mendapat pengakuan badan hukum pada tahun 1916. 1918 Berdiri Tasywirul Afkar (Keterwakilan Gagasan-gagasan)-nama resmi organisasinya Suryo Sumirat Afdeling Tasywirul Afkar--di Surabaya oleh Kyai Ahmad Dahlan, pemimpin pesantren Kebondalem Surabaya bersama Kyai Mas Mansur, Kyai Abdul Wahab Chasbullah dan Mangun. Tujuan utamanya menyediakan tempat bagi anak-anak untuk mengaji dan belajar, kemudian menjadi "sayap" untuk membela kepentingan Islam tradisionalis. 1918 Atas restu KH. Hasyim Asy'ari didirikan usaha perdagangan dalam bentuk koperasi (syirkah al-‘inan) dengan nama Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Usahawan). Sebelum Januari 1926 Dibentuk Komite Hijaz, yang diketuai Hasan Dipo, dan wakil Saleh Sjamil, sekretaris Moehammad Shadiq Setijo dan wakil Abdul Halim, penasehat KH Abdul Wahab Chasbullah, KH. Masjhoeri, dan KH. Khalil. 30 Januari 1926 Kyai Abdul Wahab Chasbullah mengenai kemerdekaan Indonesia: "Tentu, itu syarat nomor satu, umat Islam menuju ke jalan itu, umat Islam tidak leluasa sebelum negara kita merdeka." "Ini bisa menghancurkan bangunan perang, kita jangan putus asa, kita harus yakin tercapai negeri merdeka." 31 Januari 1926 Rapat Komite Hijaz yang memutuskan pengiriman delegasi ke Mekah, dengan nama jam'iyyah Nahdlatoel-‘Oelama (NO). 1928 NU menetapkan anggaran dasarnya pada Muktamar tahun 1928. 6 Februari 1930 NU memperoleh pengakuan resmi dari Pemerintah Belanda. 1936 Pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, NU menetapkan bahwa Indonesia yang saat itu masih dikuasai Pemerintah Hindia Belanda adalah Daru Islamin (Negeri Islam). Pertimbangan NU bahwa masyarakat Islam di kawasan Nusantara dapat menjalankan agamanya dan melaksanakan hukum Islam tanpa terusik meskipun secara formal kekuasaan politik berada di tangan Hindia Belanda. Selain itu, dalam sejarahnya Indonesia pernah dikuasai sepenuhnya oleh Kerajaan Islam dan bagian terbesar penduduknya beragama Islam. 1937 NU bersatu dalam konfederasi MIAI (Majlis Islam A'laa Indonesia). Bagi NU, keterlibatannya ini merupakan langkah pertama menuju dunia politik dalam arti terbawa untuk menentukan posisi secara tegas terhadap penjajahan Belanda menjelang Perang Dunia II. 1939 Aktivis muda NU saat itu, Mahfudz Shiddiq dan Wahid Hasyim, sebagai wakil NU terlibat dalam GAPI (Gabungan Politik Indonesia) di MIAI. Selain itu, banyak aktivis NU terlibat dalam perjuangan nasional melawan penjajahan. Juni 1940 Pada Muktamar ke-15 NU (Muktamar terakhir masa pemerintahan kolonial Belanda), suatu rapat tertutup yang dihadiri oleh 11 ulama di bawah pimpinan KH. Mahfudz Shiddiq membicarakan calon Presiden pertama Indonesia mendatang. Para ulama memilih Soekarno dengan 10 suara dan 1 suara untuk Mohamad Hatta. Keputusan ini karena diambil pada saat
26
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
No
13
14
15
16
17
18
19
20
21 22
23
24
Waktu
Peristiwa berlangsungnya perdebatan seru mengenai Indonesia yang akan dijadikan negara Islam atau bukan. Soekarno tampak lebih sekular dan cenderung ke negara demokrasi ketimbang Mohamad Hatta yang memiliki citra lebih "santri". 1942 KH. Hasyim Asy'ari dijebloskan ke penjara beberapa bulan karena penolakannya terhadap penghormatan terhadap Kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan. 1943 MIAI dibubarkan dan diganti dengan Masyumi (Madjlis Sjuro Muslimin Indonesia) yang dipimpin Muhammadiyah dan NU dan menyatakan siap membantu kepentingan Jepang. Agustus 1944 KH. Hasyim Asy'ari diangkat sebagai Ketua Shumubu, Kantor Urusan Agama Islam buatan Jepang, dan NU pun mulai masuk ke dalam urusan pemerintah untuk pertama kalinya. Kemudian, diikuti pembukaan Kantor Urusan Agama di setiap Karisidenan yang menjangkau kehidupan desa. 1942-1945 Semasa pendudukan Jepang, aktivitas NU terpusat pada perjuangan membela Tanah Air, baik fisik maupun politik. Ini berarti NU sudah tidak lagi mengkhususkan diri pada urusan sosial kemasyarakatan keagamaan saja, melainkan juga melibatkan diri pada urusan politik perjuangan kemerdekaan. Dalam periode ini terlibat kyai generasi pertama NU, yakni KH. Hasyim Asy'ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. A. Wahid Hasyim, KH. M. Dahlan, KH. Masykur, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Zaenul Arifin, dll. Mei - Agustus 1945 KH. Wahid Hasyim, wakil dari NU, terlibat aktif dalam perumusan dasar negara Indonesia yang akan diproklamasikan, mulai dari penyusunan Piagam Jakarta hingga menjadi Pancasila seperti sekarang ini. 18 Agustus 1945 Menjelang sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), KH. Wahid Hasyim yang mewakili NU ikut menyepakati untuk menghapuskan tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya" dalam Piagam Jakarta, sehingga hanya menjadi "Ketuhan Yang Maha Esa." 22 Oktober 1945 Resolusi Jihad NU, yakni fatwa jihad melawan tentara sekutu InggrisBelanda dan NICA sebagai djihad fi sabilillah yang hukumnya fardlu ‘ain bagi orang yang berada dalam jarak radius 94 Km demi tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam. 7-8 November 1945 Muktamar Ummat Islam Islam Indonesia di Yogyakarta, yang melahirkan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Pada periode pertama, Majelis Syura Masyumi dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari. 3 Januari 1946 Departemen Agama dibentuk dan KH. Wahid Hasyim dari NU menjadi Menteri Agama. 26-29 Maret 1946 Muktamar ke-16 NU di Purwokerto menetapkan naskah Resolusi Jihad yang memutuskan wajib bagi warga NU untuk membela Negara Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945; menegaskan NU masuk sebagai istimewa Masyumi dan menyerukan kepada seluruh warga NU di semua tingkatan untuk tetap aktif mendukung tegaknya Partai Islam Masyumi. 25 Mei 1947 Muktamar ke-17 NU di Madiun menyetujui prakarsa KH. A. Wahid Hasyim untuk mendirikan "Biro Politik NU" yang bertugas mengadakan perundingan-perundingan dengan kelompok intelektual yang didominasi Masyumi dan guna menyelesaikan berbagai ketimpangan yang dirasakan sangat merugikan NU. 25 Juli 1947/7 Ramadlan Rais Akbar NU, KH. Hasyim Asy'ari berpulang ke rahmatullah. 1366 H 30 April - 3 Mei 1950 Muktamar ke-18 NU di Jakarta memutuskan NU keluar dari Partai Masyumi, tapi pelaksanaannya ditangguhkan, dan menetapkan KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai Rais Aam (bukan lagi Rais Akbar) PBNU, sekaligus menyetujui berdirinya Fatayat NU, organisasi pemudi/remaja puteri NU.
27
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
No 25 26 27
Waktu 1952 1952-1973 Juli 1953
28
1954
29
29 Maret 1954
30
1955
31
Mei 1959
32
Juli 1959
33
5 Juli 1959
34
5 Juli 1971
35
5 Januari 1973
36
1984
37
23 Juli 1998
38
20 Oktober 1999
39
Mei-Juli 2004
Peristiwa NU keluar dari Masyumi. NU menjadi organisasi partai politik. NU masuk dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo yang dipimpin PNI dan dikukung oleh PKI. Masyumi dan PSI menjadi oposisi. NU memperoleh jabatan Menteri Agama, Menteri Pertanian, dan Wakil Perdana Menteri. Dalam Muktamar ke-20 tahun 1954 di Surabaya, NU memutuskan untuk menerima dan memandang sah hasil Konferensi Alim Ulama di Cipanas tahun 1954 yang menetapkan bahwa Presiden RI (Ir. Soekarno) dan alat-alat negara adalah waliyyul amri ad-dlaruri bi asy-syawkah. KH. Abdul Wahab Chasbullah membenarkan pemberian gelar waliyyul amri ad-dlaruri bi asy-syawkah di depan Parlemen, dengan argumentasi bahwa menurut fikih perempuan Islam yang tidak memiliki wali nasab, perlu kawin di depan wali hakim supaya anaknya tidak menjadi anak zina. Karena itu, ditetapkan bahwa yang harus menjadi wali hakim pada masa ini ialah Kepala Negara kita. Dalam Pemilu 1955, NU menjadi partai terbesar ketiga memperoleh 45 kursi di Parlemen (18,4% suara), setelah PNI (22,3%) dan Masyumi (20,9%), dan di atas PKI (16,4%). Di tengah perdebatan negara Islam atau bukan, NU menerima "Kembali kepada UUD 1945" dengan syarat Piagam Jakarta diakui sebagai bagian dari UUD. Ketika Sidang Konstituante memilih tidak menerima Piagam Jakarta, NU berbalik menolak UUD 1945. KH. Idham Cholid, Ketua Tanfidhiyah PBNU, dan KH. Saefuddin Zuhri, Sekretaris PBNU, menyetujui Dekrit Presiden untuk "Kembali kepada UUD 1945" tetapi minta "agar Piagam Jakarta diakui kedudukannya sebagai yang menjiwai UUD 1945." Presiden Soekarno membubarkan Majelis Konstituante dan mendekritkan berlakunya UUD 1945 dengan pernyataan: "Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut." Pada Pemilu 1971, Partai NU menjadi partai terbesar kedua memperoleh 58 kursi DPR (18,68% suara) setelah Golongan Karya (Golkar) yang memperoleh 236 kursi DPR (62,82% suara), dan dua tingkat di atas PNI yang memperoleh 20 kursi (6,93% suara). KH. Dr. Idham Chalid, Ketua Umum PBNU, menandatangani Deklarasi Pembentukan Partai Persatuan Pembangunan (PPP); NU berfusi ke dalam PPP. Pada Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur, NU kembali ke Khittah 1926, tidak terlibat politik praktis, dan menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 adalah bentuk final perjuangan umat Islam. Karenanya, tidak diperlukan lagi bentuk negara apapun dalam negeri ini, meskipun Negara Islam atau Negara Syari'ah. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dideklarasikan oleh KH. Munasir Ali, KH. Ilyas Ruchiyat, KH. Abdurrahman Wahid, KH. A. Mustofa Bisri, KH. A. Muhith Muzadi. Pendirian PKB diinisiasi oleh Tim Lima yang dibentuk PBNU pada 3 Juni 1998, yakni KH. Ma'ruf Amin (Rais Suriyah/Koordinator Harian PBNU), dengan anggota KH. M. Dawam Anwar (Katib Aam PBNU), Dr. KH. Said Aqil Siradj, M.A. (Wakil Katib Aam PBNU), HM. Rozy Munir, S.E., M.Sc. (Ketua PBNU), dan Ahmad Bagdja (Sekretaris Jenderal PBNU). KH. Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PBNU (1984-1999), terpilih menjadi Presiden RI ke-4 (20 Oktober 1999-23 Juli 2001). KH. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU (1999-sekarang), menjadi calon Wakil Presiden mendampingi Ketua Umum DPP PDI-P Megawati
28
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
No
Waktu
Peristiwa Sukarnoputri sebagai calon Presiden pada Pemilu 2004; dan KH. Ir. H. Shalahuddin Wahid, Ketua PBNU (1999-2004), sebagai calon Wakil Presiden mendampingi Jenderal (Purn.) H. Wiranto, SH sebagai calon Presiden pada Pemilu 2004. Sumber: http://www.fahmina.or.id dan data diolah
Dari tabel diatas tampak bahwa dari satu waktu ke waktu lain, perjalanan sejarah NU hampir selalu bersentuhan dengan politik, kekuasaan, negara, dan kebijakan publik, baik sebagai pelaku utama, pendukung, maupun hanya sekadar pengikut. Bentuk keorganisasiannya berubah-ubah secara dinamis mengikuti perkembangan politik pada masanya; dari organisasi sosial keagamaan menjadi organisasi politik, lalu kembali lagi menjadi organisasi sosial keagamaan, berubah lagi menjadi organisasi sosial keagamaan yang mendirikan partai politik. Berdasarkan perubahan-perubahan penting sikap politik NU dalam kehidupan politik Indonesia dapat dibagi periodesasi politik NU sebagai berikut: Tabel 3.2 Periodesasi Peran NU di Bidang Politik Periode Peristiwa 1926-1946 Periode pemerintah kolonial Belanda, yang dicirikan oleh sikap abstain NU terhadap politik. 1942-1945 Periode pendudukan Jepang, masa ketika kyai mulai terlibat dalam politik. 1945-1949 Perjuangan kemerdekaan merupakan periode di mana NU terlibat secara aktif dan radikal dalam politik. 1949-1959 Masa demokrasi parlementer adalah perubahan penting NU dari organisasi sosial keagamaan menjadi partai politik, tetapi gagal memberikan dampak yang sepadan dengan besar jumlah pendukungnya. 1959-1965 Pada masa demokrasi terpimpin Soekarno, NU menjadi penyangga rezim otoriter populis, yang menyebabkan sejumlah konflik internal. 1965-1966 Pada masa transisi yang keras, NU mendefinisikan ulang perannya dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan. 1967-1998 Selama masa Orde Baru Soeharto, NU untuk beberapa lama menampilkan diri sebagai kekuatan oposisi yang tegar, namun mengalami depolitisasi yang luar biasa. 1998-1999 Sejalan dengan pembukaan kran demokrasi, masa Orde Reformasi adalah masa transisi NU masuk kembali ke dalam negara, melalui pendirian partai politik PKB oleh elit PBNU. 1999-2001 Masa KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua Umum PBNU, menjadi Presiden; NU masuk ke dalam negara, menjadi pendukung utama pemerintah. 2001-2010 Masa perjuangan NU untuk masuk kembali ke dalam negara, ditandai dengan pencalonan KH. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU, menjadi calon Wakil Presiden, tetapi gagal. Namun sejumlah kader NU masuk ke dalam kabinet. Sumber: http://www.fahmina.or.id dan data diolah
Sebagai partai politik, NU di bawah kepemimpinan para kyai pesantren tradisional pernah tercatat sebagai satu-satunya partai Islam terbesar di Indonesia pada tahun 1960-an dan awal 1970an, mengalahkan Parmusi, PSII, dan Perti. Kenyataan sejarah tersebut menunjukkan bahwa NU tidak jumud, lentur, adaptif, dan menerima perubahan atas perkembangan sosial politik sepanjang sejarah. Gerakan politik NU adalah bagian dari responnya atas perkembangan sosial yang terjadi saat itu. Sejarah NU adalah sejarah bangsa Indonesia. Dengan gaya zig-zag-nya, NU tetap
29
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
setia dengan kebangsaan Indonesia, tak bergeser sedikitpun dari garis pertama berangkat. Nasionalisme NU tunggal hanya untuk Indonesia dengan seluruh darah daging kebudayaannya. Ketegasan ini tersimpul dari sejumlah keputusan keagamaan (bahstul masa'il) NU dari muktamar ke muktamar sebagai forum tertinggi organisasi NU. Mulai dari muktamar sebelum kemerdekaan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, tahun 1936 hingga muktamar terakhir 2004 di Solo Jawa Tengah, NU-dengan nalar fiqhnya yang sangat dominan--tidak mengubah sedikitpun Indonesia dari negara-bangsa yang multietnik, multiagama, dan multibahasa menjadi bentuk negara lain, termasuk negara Islam. Komitmen terhadap Pancasila dan UUD 1945 telah bulat dan menetapkannya sebagai bentuk final yang tidak perlu diubah. Peran NU Sebagai Opinion Leader di Bidang Politik Dalam konteks Nahdhatul Ulama, elit politik lokal Nahdhatul Ulama adalah para kiai/tokoh yang menjadi pemuka agama/panutan ditingkat lokal yang dapat dilihat dalam 3 kategori; 1) Pertama, kategori elit berdasarkan status ekonomi Elit NU dalam kategori ini dapat berasal dari semua kalangan dengan tingkat kemapanan finansial yang tinggi. Sebagai organisasi nirlaba, pengurusan NU memberi ruang terhadap kelompok tersebut khususnya dalam pendanaan organisasi. Dalam kategori ini elit NU yang dimaksud adalah pengusaha, politisi dan birokrat pemerintahan 2) Kedua kategori elit berdasarkan kegiatan fungsional; Elit NU dalam kategori ini terkait dengan jabatan kepengurusan NU disetiap tingkatan kepengurusan. Akses terhadap kekuasaan sering menjadi latar belakang seseorang untuk menjadi pengurus NU. Posisi struktural NU tidak jarang digunakan untuk mendapatkan sesuatu yang jauh dari kepentingan NU secara organisatoris. Hal ini dapat dilihat dari bentuk kegiatan seperti; penggalangan massa, pelibatan jajaran pengurus sebagai tim pemenangan dan lain sebagainya. Jauh dari komitmen awal politik NU yang lebih mengedepankan politik kultural (pendidikan politik) dalam rangka kontrol politik pemerintah. 3) Ketiga, elit berdasarkan kharisma yang diwakili oleh identitas kiai Basis NU yang berasal dari pesantren memberi kelas sosial yang tinggi bagi kiai sebagai pimpinan pesantren.Kelompok ini meliputi para ustad atau guru ngaji, da’i pengajian keliling hingga kiai yang memiliki pesantren dengan jumlah santri yang besar. Terjadinya dominasi elit NU di tingkatan lokal dapat dilihat dalam beberapa kategori persoalan yang ada pada tabel dibawah ini; No. 1.
Tabel 3.3 Kategorisasi Dominasi Elit NU di Tingkatan Lokal Kategorisasi Potensi Permasalahan Faktor keturunan Keturunan memiliki fungsi Belum terbangun budaya yang dalam kepemimpin besar untuk ‘membuka pintu’ bangga jika mampu berprestasi atau
30
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
No.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Kategorisasi
Potensi Permasalahan dalam membangun hubungan sukses dengan pihak lain. berdasarkan kerja kerasnya sendiri dari bawah Basis kepemimpinan Legitimasi akan figur atau NU sebagai ormas keagamaan pada ideologi bukan identitas kelompok sebagai seringkali hanya mengandalkan latar pada figur kekuatan pemimpin belakang figur untuk memimpin organisasi (darah biru/pendiri NU atau tidak) Kondisi untuk Perseteruan, perselisihan, Terjadi dendam politik sehingga memperkuat pertikaian, bahkan pengurusan NU seringkali didasarkan gelombang regenerasi pemberontakan berlatar pada kesamaan politik ketua umum kepemimpinan belakang politik dan dengan meninggalkan semangat ideologis adalah bagian dari kebersamaan. Pengurus lama meski pendewasaan berpolitik potensial seringkali disingkirkan Pelibatan generasi Berpolitik dengan program, Penyiapan generasi muda dengan muda dalam visi, nilai, kebijakan, bisa memberi mereka karpet merah akan proses kaderisasi memenangkan pertarungan menciptakan anak muda yang kepemimpinan baru politik demokratis. apolitis, pragmatis, meskipun seolaholah berpolitik Kepentingan Ekonomi Semua aktivis politiklah untuk Posisi pengurus yang sebagian besar secara konsisten mengubah memiliki basis ekonomi yang belum kondisi itu. Politik harus mapan. Oleh sebab itu perilaku dijadikan sebagai sarana politik elit NU kerapkali mengarah memperjuangkan idealisme, pada bias bukan untuk cari makan, ekonomi pasar, transaksional dan cari harta, atau cari kekuasaan ditentukan pada penawaran tertinggi Karakter Building Perlu pemimpin yang Elit dan politisi NU seringkali hanya para Politisi muda berani, tegas, berani mengandalkan latar belakang figur melakukan terobosan, untuk memimpin. Hal ini termasuk dalam berinisiatif menyebabkan rendahnya membuat aturan. Pemimpin kepemimpinan dan kurangnya yang berani untuk mengambil character building yang membuat risiko. Sekarang kebanyakan kepentingan rakyat terlupakan. kita ini politisi, bukan negarawan Kesuksesan dalam Kredibilitas dan Rekrutmen yang didominasi senior, karir bisa dibangun profesionalitas dibutuhkan regenerasi tidak berjalan ilmiah, dengan pematangan untuk membangun karir dan sistem belum terkelola baik secara alami berorganisasi. Transparansi dan Transparansi dan akuntabilitas Keuangan organisasi berasal dari akuntabilitas organisasi membangun sumber yang belum organisasi keteladanan dan kekuatan dipertanggungjawbkan secara jelas. tawar organisasi Sehingga kerapkali ormas tidak terkecuali NU menjadi sasaran tempat pencucian uang
Konteks persoalan diatas tentu tidak bisa kita pisahkan begitu saja dari konflik elit NU ditingkatan lokal yang selama ini terjadi. Sehingga merupakan dampak peningkatan konflik elit ditingkatan lokal yang tepatnya berada di
pesantren sebagai pusat gerakan NU. Konflik elit
dibeberapa pesantren sebagai basis masa NU telah menyebabkan labelisasi sehingga menyebabkan adanya peristilahan merah, kuning, biru dan lain sebagainya sebagai pencerminan kecenderungan 31
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
tersebut kepada suatu partai politik. Belum lagi jika labelisasi itu berlaku pada beberapa keluarga yang merupakan pendiri pesantren, seringkali menjadikan konflik urat saraf yang diantara anggota keluarga atas dasar ketidaksamaan aliran politik yang dipilih. Belum lagi persoalan betapa mudahnya
pesantren menerima dana dari pemerintah atau partai politik dengan kompensasi
tertentu. Merupakan tolok ukur betapa rendahnya integritas dan kedewasaan politik para elit politik NU ditingkatan lokal, seiring dengan perilaku koruptif dan manipulatif yang mulai menjangkiti generasi mudanya. Aspek integritas dan kedewasaan berpolitik adalah hal dasar mengapa politik kontra produktif terhadap NU secara keorganisasian. Hal ini pula yang menyebabkan mengapa orang luar pesantren menganggap ada perbedaan mendasar antara kiai dulu dengan sekarang. Dalam kultur NU, para kiai selama ini dipandang dan ditempatkan sebagai sosok yang suci, pewaris ajaran nabi dan segala tindak tanduknya harus diikuti. Selama ini, kiai telah ditahbiskan sebagai pemegang otoritas moral, pembawa “pesan langit” dan label-label surgawi lainnya. Masyarakat pun mengamini hal itu dan menjadikan para kiai/ulama sebagai panutan dalam kehidupannya. Namun yang tidak banyak disadari oleh umat adalah kesamaan situasi. Pada saat masuk politik, para kiai itu sama dengan politikus dan manusia lainnya yang lekat dengan ambisi, vested of interest serta tidak lepas dari tarik menarik kepentingan duniawi serta hal-hal yang bersifat profan lainnya. Di sisi lain, sebagian besar pesantren masih bergulat dengan manajemen pengelolaan pesantren secara tradisional dan sangat kental dengan nuansa kekerabatan. Status kepemilikan pesantren rata-rata dimonopoli keluarga kiai yang menjadi episentrum dalam pesantren itu. Hubungan yang terjadi antara kiai dan santri dibangun dalam pola patron klien dan bersifat irasional. Kesetiaan dibangun atas dasar ikatan emosional, psikologis dan kadangkala imbas hutang budi yang bersifat ekonomis dari santri pada kiai. Pada saat terjadi perbedaan pendapat, khususnya dalam orientasi politik para santri cenderung mengeyampingkan pilihan pribadinya. Santri akan tunduk dan patuh pada apa yang menjadi pilihan politik kiainya meskipun para santri tidak pernah mengetahui hal-hal yang mendasari sikap politik kiainya. Sikap itu dimaknai sebagai bagian dari “taqlid” (kepatuhan tanpa reserve pada kiai). Perbedaan orientasi politik itu antara santri dan kiai akan muncul pada saat santri sudah lepas dari . Selama masih mengenyam pendidikan di pesantren, santri akan sangat sulit untuk dapat mengekspresikan sikap politiknya secara mandiri. Setidaknya NU telah mengeluarkan pedoman yang disebut sebagai Sembilan Pedoman Berpolitik Warga NU, yaitu: (1) Berpolitik bagi NU mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. (2) Politik bagi NU adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yakni terwujudnya masyarakat adil makmur lahir batin dan dilakukan sebagai 32
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat. (3) Berpolitik bagi NU adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggungjawab untuk mencapai kemaslahatan bersama. (4) Berpolitik bagi NU dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (5) Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani, moral agama, konstitusional sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama. (6) Berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan dengan akhlaqul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunah wal jama’ah. (7) Berpolitik bagi NU dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama memecah belah persatuan. (8) Perbedaan pandangan diantara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’dan saling menghargai satu sama lain sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan NU. (9) Berpolitik bagi NU menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan. Sembilan pokok pedoman itu secara tekstual sangat normatif namun jika diikuti secara nyata dalam tataran praktik politik, perilaku politik warga NU akan menjadi sangat elegan. Tidak hanya dalam relasi di antara sesama politisi NU namun dengan komunitas politik non NU. Namun jika melihat realitas politik, pedoman itu hanya bermakna dalam tataran tekstual. Praktik politik dari warga NU justru terkesan mengabaikan dan bertolakbelakang dengan pedoman itu. Artinya, akar konflik dan awal mula permasalahan tidak terletak pada sistem nilai namun pada praktik dan perilaku politik. Dengan menggunakan teori elit dan hegemoni gramsci, perilaku politik elit NU ini dilatar belakangi oleh keinginan untuk mempertahankan status. Sehingga “taqlid” (kepatuhan tanpa reserve pada kiai) sering dikaitkan dengan hal tidak rasional seperti “keberkahan ilmu” sehingga memperkuat hegemoni kiai terhadap santri. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW terhadap para sahabatnya baik dalam konteks dakwah, politik dan kenegaraan. Mengajarkan kesetaraan dan tanggungjawab sosial, kemandirian berfikir, dan memiliki beragam perspektif adalah esensi dasar perilaku yang diajarkan oleh Islam. Musyawarah menjadi mekanisme kesejajaran para sahabat dengan Nabi Muhammad SAW dalam memandang permasalahan, meski sebenarnya perspektif ideal ada pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai penerima misi kenabian. Islam sebagai ajaran agama diterjemahkan dalam budaya masyarakat, pendidikan dan kolektifitas 33
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
sosial kemasyarakatan (ukhuwah ). Dalam hal ini sebenarnya telah ada penerapan peran opinion leader oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga Islam mengalami perkembangan dan memberi pengaruh luar biasa bagi peradaban dunia. Sebagai ormas keagamaan NU memiliki mandat yang sama sebagai penerus misi kenabian sehingga NU pun harus mampu memfungsikan peran yang dimaksud. Peran opinion leader adalah peran untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam prinsip melestarikan tradisi yang baik dimasa lalu dan mengambil tradisi yang baik dimasa sekarang sebagai upaya membangun tatanan masyarakat dan penyelenggaraan negara sesuai kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam menterjemahkan peran tersebut dalam konteks kelembagaan dan politik, NU membutuhkan kader-kader yang memiliki semangat dan tekad yang satu dan sama, serta diharapkan dapat memiliki kriteria yang menyangkut 4 (empat) hal pokok, yang meliputi; Pertama, memiliki kesadaran ideologis yang tinggi. Setiap kader NU harus memiliki pengertian dan kesadaran ideologi yang tinggi, yaitu ideologi yang hsrus diperjuangkan oleh NU. Tidak pernaha ada partai yang survive tanpa ideologi; tidak pernah ada bangsa yang bertahan tanpa ideologi, karena ideologilah yang memberikan cita-cita, memberikan arah, memberikan harapanharapan kehidupan masa depan bangsa. Lebih penting lagi bagi kita, ideologi adalah pondasi organisasi dan negara. Memberikan landasan, alasan tindakan dan perjuangan bangsa, dan bagi NU adalah final untuk menjadikan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai dasar perjuangan. Kedua, memiliki kesadaran politik yang tinggi. Setiap kader harus betul-betul mempunyai kesadaran dan pemahaman politik yang tinggi sebab akan dihadapinya setiap saat dan setiap hari. Dalam keseharian, politik adalah sebuah seni tentang kemungkinan-kemungkinan, seni dalam mengelola kemajemukan citacita, harapan, perbedaan dan kepentingan. Ia adalah seni dalam mengalokasikan sumber-sumber daya politik secara otoritatif (mandiri). Sehingga kader-kader NU tidak mudah untuk terprovokasi atau sekedar dimobilisasi untuk kepentingan elit politik. Dan terpenting adalah politik harus dapat dipakai sebagai wahana perjuangan merealisasikan nilai-nilai ideologi dalam komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, memiliki kesadaran berorganisasi yang tinggi Untuk mewujudkan kesadaran berorganisasi yang tinggi dibutuhkan pemahaman dan kesepakatan diri pada aturan main, kepatuhan, disiplin organisasi, militansi dalam perjuangan citacita organisasi, dan taat pula pada asas organisasi. Maksudnya, begitu kita menjadi kader NU, semua cita-cita pribadi harus tunduk pada cita-cita yang diperjuangkan NU. Bukan berarti perbedaan pendapat dan metode tidak diperbolehkan tetapi justru merupakan berkah dalam proses mengambil kebijakan dan keputusan. Keputusan yang diambil menjadi kewajiban kader NU untuk melaksanakan dan mengamankannya. Keempat, memiliki kesadaran lingkungan dan sosial yang tinggi. Kader NU harus memiliki kepekaan dan kesadaran lingkungan. Menghindari kesenjangan antara cita-cita NU dan tingkah laku sosial kader-kadernya dimasyarakat. Hal ini tidak hanya akan 34
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
memperburuk citra NU dan membuat masyarakat menjauh dari NU tetapi juga pengingkaran terhadap prinsip dasar Islam. Kesalehan spiritual harus senada dengan kesalehan sosial, seperti halnya Nabi Muhammad SAW yang sebelum misi kenabiannya telah memiliki legitimasi sosial atas perilaku sosialnya dalam masyarakat. Disini pendidikan nilai terhadap kader NU menjadi hal yang sangat penting. Pertama, nilai tentang kepercayaan diri kader NU. Sebagai kaum tradisional NU tidak boleh seketika antipati dengan modernitas, tetapi yang harus dilakukan adalah membangun modernitas tersebut dalam nilai-nilai baik tradisonalisme. Sebab kenyataan hidup telah membelajarkan kita bahwa sesuatu yang paling mahal dalam modernitas adalah tradisionalisme itu sendiri. Jepang dan Korea Selatan adalah bukti bahwa tradisionalisme dapat bersanding dengan arus modernitas. Modernitas yang dibangun tanpa kesetiaan terhadap tradisonalisme hanya akan membuat suatu bangsa kehilangan akar budayanya yang merupakan identitasnya sendiri sebagai bangsa. Kedua, nilai kebersamaan sebagai bagian dari institusi NU. Institusi ormas keagamaan seperti NU, seharusnya dibangun diatas keteraturan sistem yang disepakati bersama dengan konstitusi dan ideologi sebagai bingkai nilai yang menyatukannya. Menjadi orang NU berarti menjadi bagian dari keteraturan sistem yang ada. Tetapi dalam perjalanannya hubungan individu dan organisasi NU lebih cenderung bersifat individual dan subyektif sehingga sering fluktuatif dan rawan konflik. Ketiga, nilai sebagai pengikut. Selain kader NU dididik dan mendidik dirinya untuk menjadi pemimpin yang baik, maka penting baginya untuk belajar menjadi pengikut yang baik. Sebab salah satu syarat paling penting untuk bisa menjadi pemimpin yang baik adalah mampu menjadi pengikut yang baik. Tidak akan ada pemimpin yang baik tanpa pernah menjadi pengikut yang baik. Sejarah telah membuktikannya. Keempat, nilai dari sebuah disiplin. Tidak ada bangsa yang besar tanpa disiplin. Bercermin pada pengalaman bangsa-bangsa lain, saya berkeyakinan bahwa pernyataan ini adalah aksioma yang tidak terbantahkan. Disiplin sebagai nilai berarti kepatuhan pada sistem dan aturan main organisasi. Dengan nilai disiplin, NU tidak hanya akan berjalan baik secara organisasi tetapi juga mendorong berjalannya sebuah sistem sosial yang baik dimasyarakat. Kelima, nilai demokrasi dan kepemimpinan. Untuk membangun politik demokrasi NU harus mempelajari dan mempraktekkan salah satu nilai fundamental dari demokrasi sebagai sebuah proses sosial politik. Nilai yang dimaksud adalah kesediaan untuk mendengar. Nilai yang sama adalah juga nilai hakiki dalam kepemimpinan. Demokrasi tidak dimulai dari perbedaan pendapat dan kesediaan untuk menerima perbedaan pendapat. Untuk sampai pada tingkat ini, pertama-tama orang harus punya kesediaan untuk mendengar. Tidak akan pernah terlahir pemimpin yang demokratis kecuali ada kesediaan untuk mendengar. Setelah kriteria kader dan pendidikan nilai tersebut, maka untuk melaksanakan peran politiknya sebagai opinion leader, NU harus mampu memaksimalkan 3 (tiga) fungsi dasar; fungsi 35
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
kultur sosial (social culture), fungsi advokasi dan literasi politik (advocacy and politic literacy) dan fungsi jejaring sosial (social networking). Ketiga fungsi ini bukanlah hal yang baru bagi NU tetapi lebih merupakan revitalisasi terhadap fungsionalitas kelembagaan NU yang sudah ada. Sehingga ketiga fungsi ini harus ditopang oleh pilar-pilar keorganisasian NU sebagai ormas keagamaan. Disini bukan berarti NU melembagakan dirinya sebagai lembaga politik, tetapi lebih menegaskan kembali fungsinya sebagai ormas keagamaan yang berfungsi sebagai penegak nilai dalam masyarakat. Tetapi dengan kesadaran bahwa perjuangan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah harus dibangun dalam dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Membangun tatanan masyarakat sebagai pondasi, sekaligus membangun penyelenggaraan pemerintahan sesuai nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Fungsi yang dibangun dalam tiga fungsi (1) fungsi kultur sosial (2) fungsi advokasi dan literasi politik, (3) fungsi jejaring sosial yang kemudian diterjemahkan sebagai peran politik NU merupakan kesatuan yang utuh. Fungsi-fungsi tersebut merupakan suatu rangkaian yang saling terkait satu dengan yang lain. Bekerjanya salah satu fungsi perlu didukung oleh fungsi lain sehingga peran politik nyata terjadi. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar dibawah ini ;
Apresiasi prestasi kader Kultur Organisasi yang Terbuka
Kemandirian Pesantren
Periodeisasi dan sistem kaderisasi yang ketat
Revitalisasi Peran Pesantren
Gerakan Moral NU Diversifikasi Tema Diskursus Ilmiah Peningkatan Capacity Building Kader
Transparansi Organisasi
Membangun Media Belajar Kader NU
Mekanisme Kontrol Organisasi Simpul Komunikasi Kader NU Ruang public Alternatif Standarisasi Mutu Pesantren
Membangun Lembaga Survey Kebijakan Publik Kemitraan dan Kerjasama Strategis Kekuatan Basis Ekonomi
Gambar 3.2 Peran NU di Bidang Politik Sebagai Opinion Leader
Lebih lanjut, apabila dikaitkan dengan keberadaan khittah NU 1926 maka peran politik NU tidak bisa untuk berdiri sendiri. Peran ini harus didukung pula oleh fungsi sosial NU seperti; pendidikan (maarif), kesejahteraan sosial (mabarrot), penyebaran agama (dakwah) dan perekonomian (muamalat). Politik bagi NU tidak sekedar berkenaan dengan kekuasaan belaka tetapi juga esensi ideologi Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dianutnya. Adapun prinsip-prinsip yang
36
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
digunakan dalam peran politnya adalah sikap tawasuth (tengah), I’tidal (lurus), hindari fatharruf (ekstimitas), dan sikap tasamuh (toleran). Keterkaitan antara fungsi sosial dan peran politik NU, dapat dengan jelas dilihat pada gambar dibawah ini;
Gambar 3.3 Peran NU Sebagai Opinion Leader di Bidang Politik dan Khittah NU 1926
Dalam gambar tersebut dapat dilihat bahwa peran politik NU dibangun bersama fungsi sosialnya. Keberadaan setiap komponen menjadi sangat penting dan vital, sehingga bangunan ini akan roboh disaat salah satu komponen tidak ada. Pelaksanaan peran politik dengan meninggalkan fungsi sosial NU tidak hanya mengingkari khittah 1926 tetapi juga membuat rapuhnya bangunan peran politik NU itu sendiri. Dengan demikian fungsi sosial NU adalah merupakan landasan atau pondasi keorganisasian NU sebagai ormas keagamaan sedangkan peran NU dalam politik lebih merupakan upaya untuk melindungi tatanan sosial kemasyarakatan yang dibangun berdasarkan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Sesuai dengan peran sosialnya maka dalam pelaksanaan peran NU sebagai opinion leader di bidang politik lebih difokuskan pada pelembagaan perilaku politik berdasarkan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Perilaku politik yang dimaksud adalah tindakan-tindakan politik yang disebabkan cara pandang warga NU terhadap sistem politik dalam rangka mempengaruhi kebijakan politik (pemerintah). Sesuai khittah 1926, nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah menjadi cara pandang NU pada segala hal, tidak terkecuali dalam bidang politik. Dengan demikian, pelembagaan perilaku politik NU berarti juga membangun konsep budaya politik NU berdasarkan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Budaya politik masyarakat idealnya tetap sebagai pola orientasi dan sikap yang mampu berkontribusi melalui tindakan-tindakan konstruktif dalam sistem politik. Pemilihan umum yang damai, pilkada yang tidak bergejolak dan semakin berkurangnya konflik politik di masyarakat, menjadi ciri bahwa budaya politik semakin membaik. Kondisi tersebut akan berdampak secara positif dalam proses pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintahan yang terpilih. Namun
37
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
fenomena yang sering terjadi, sebagai misal pasca pemilu 2004 atau 2009 atau pilkada sepanjang tahun 2006 sampai 2010 ini, menunjukkan bahwa setelah memenangkan pemilu atau pilkada dan berhasil menjadi pemimpin, mereka lupa diri dan bahkan mereka tidak lagi perduli pada rakyat. Sudah dipastikan tidak ada sosok yang mampu menjadi panutan masyarakat. Padahal untuk membangun budaya politik dibutuhkan keteladanan sikap dari para elite politik, pejabat negara dan tokoh-tokoh yang duduk pada lembaga tinggi maupun lembaga publik di tingkat daerah. Proses membangun kualitas keteladanan para pelaku politik tersebut tidak bisa berlangsung secara instan, karena harus terpolakan dan tersistematisasikan secara baik. Hal inilah yang kemudian mendorong NU untuk menuntut adanya moralitas berpolitik bagi para kadernya. Sebuah kecenderungan untuk menyesuaikan budaya politik dengan tatanan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Penutup Peran politik NU sebagai opinion leader, tersebut dibangun dalam tiga fungsi, fungsi kultur sosial, fungsi advokasi dan literasi politik, serta fungsi jejaring sosial. Fungsi-fungsi tersebut merupakan suatu rangkaian yang saling terkait satu dengan yang lain. Bekerjanya salah satu fungsi perlu didukung oleh fungsi lain sehingga peran politik nyata terjadi. Pelaksanaan peran politik NU tidak boleh meninggalkan fungsi sosialnya sebagai ormas keagamaan di Indonesia. Meninggalkan pelaksanaan fungsi sosial NU tidak hanya mengingkari khittah 1926 tetapi juga membuat rapuhnya bangunan peran politik NU itu sendiri. Dengan demikian fungsi sosial NU adalah merupakan landasan atau pondasi keorganisasian NU sebagai ormas keagamaan sedangkan peran NU dalam politik lebih merupakan upaya untuk melindungi tatanan sosial kemasyarakatan yang dibangun berdasarkan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Sekaligus untuk membangun mekanisme kontrol organisasi NU terhadap perilaku politik kadernya disemua tingkatan. Dalam rangka membangun tatanan sosial kemasyarakatan dan politik demokrasi Indonesia yang yang dibangun berdasarkan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. 2010. Apatisme Politik. http://nasional.kompas.com/read/2010/08/03/08525794/Apatisme.Politik diakses pada 10 Desember 2012 Adian, Donny Gahral. 2012. Opini, Rakyat dan Demokrasi. Anam, Choirul. 2002. Sembilan Pedoman Berpolitik Warga NU. Surabaya, Bisma Satu Printing Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik-Edisi Revisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
38
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Clarke, Paul Barry and Joe Foweraker (eds.). 2001. Encyclopedia of Democratic Thought. London: Routledge Dhofier, Zamakhsyari. 1984. Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta; LP3ES. Gramsci, Antonio, 2001. Catatan-Catatan Politik. Pustaka Prometehea. Surabaya Hadiz, Vedi R and Richard Robison. 2004. Reorganising Power in Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets. London: Routledge Curzon Harriss, Stokke, Törnquist (eds.). 2004. Politicising Democracy: The New Local Politics of Democratisation (New York: Palgrave Macmillan Hendarto, Heru, 1993, Mengenal Kosep Hegemoni Gramsci: dalam Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Gramedia, Jakarta Lane, R. E.1962. Political Ideology. Why the American Common Man Believes What He Does, New York, The Free Press. Lawrence & Wishart. 1973. Karl Marx: Economic and Philosophic Manuscripts 1844. L & W Press. London Nas, Jayadi. 2007. Konflik Elit Di Sulawesi Selatan Analisis Pemerintahan dan Politik Lokal. Yayasan Massaile bekerjasama dengan Lembaga Penerbitan Unhas (Lephas), Jakarta Nurullah, Ahmad. 2011. Memperkuat Politik Warga. http://www.jurnas.com/halaman/10/2011-1021/186249 diakses pada 10 Desember 2012 Osborne and Ted Gaebler, 1992. Reinventing Government:How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. New York: Penguin Books Ltd. Pitkin, H. F., 1967. The Concept of Representation. Berkeley: University of California Press Priyono, A.E., Willy Purna Samadhi dan Olle Törnquist (eds.). 2007. Making Democracy Meaningful: Problems and Options in Indonesia. Jakarta-Yogyakarta: Demos and PCD Press Priyono dkk. 2009. Re-Politisasi Gerakan Sipil Menuju Demokratisasi Substansial. Jakarta: Demos, tidak dipublikasikan Richard C. Box. 1998. Citizen Governance: Leading American Communities into 21st Century, Sage Publication, California Ricard Robinson and Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganising Power In Indonesia: The Politics of Oligarchy in an age of Markets. Bulletin of Indonesian Economic Studies. Australian National University. Australia Robert Van Niel. 1984. Munculnya Elite Modern Indonesia, Pustaka Jaya, Jakarta, Saidin Ernas. 2011. Bias Politik Pesantren: Dari Pragmatisme-Transaksional Hingga Resistensi Sosial. Jurnal Studi Pemerintahan Vol.2 Nomor 1 Februari 2011. UMY Press. Yogyakarta 39
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Samadhi, Willy Purna dan Nicolaas Warouw (eds.). 2009. Demokrasi di Atas Pasir. Yogyakarta: PCD Press Sendjaja, S. Djuarsa. 1994. Teori Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka Susilo, Hari. 2012. Berebut Suara Nahdhatul Ulama. Artikel Kompas 10 Desember 2012 ________,
Perjalanan
Politik
NU
Jelang
Seabad:
Selayang
Pandang,http://www.fahmina.or.id/penerbitan/buku/829-jelang-seabad-politik-nusumbangan.html?start=1 UN, 2004. What is good governance. Economic and Social Commission for Asia and the Pacific, http://www.unescap.org/sites/default/files/good-governance.pdf
40