NAFKAH DALAM PENDEKATAN INTERDISIPLINER Oleh : Nurnazli ∗ Abstraksi Kajian filosofis memandang bahwa timbulnya kewajiban nafkah tidak terlepas dari adanya perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Konsekuensi dari akad nikah menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dalam sebuah rumah tangga, dan perempuan sebagai orang yang dipimpin. Suami tidak hanya memiliki kewajiban untuk menafkahi istrinya, namun juga anak-anaknya dan orang-orang yang saling mewarisi dengan dirinya, sesuai dengan batas kemampuannya. Kadar nafkah tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi suami serta kebiasaan masyarakat setempat. Perspektif normatif telah menggariskan kewajiban suami terhadap istri dan anak-anak serta orang-orang yang ada dalam keluarga tersebut. Suami isteri merupakan mitra dan rekan kerja di tengah keluarga. Suami dan isteri mempunyai perannya masing-masing sesuai dengan statusnya. Islam menggariskan bahwa suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Keduanya ingin mencapai kebahagiaan duniawi dan ukhrawi dengan membentuk keluarga. Kata Kunci : Nafkah, Interdisipliner A. Pendahuluan Pembahasan yang berhubungan dengan nafkah merupakan kajian hukum keluarga (alahwal al-syakhshiyah). 1 Dalam hukum keluarga selalu ada konsekuensi timbal balik yaitu berupa hak dan kewajiban di antara orang-orang yang satu dengan orang yang lain dalam suatu keluarga sebagai akibat adanya hubungan perkawinan dan hubungan darah. Di antara hak dan kewajiban itu adalah ketika jalinan keluarga membutuhkan penghidupan guna menopang jalannya rumah tangga, yang disebut dengan nafkah. Bahasan tentang nafkah secara komprehensip telah banyak dibahas di dalam kitab-kitab fiqh maupun peraturan perundang-undangan. Mulai dari pengertian, siapa yang wajib dinafkahi, siapa yang berkewajiban menafkahi, berapa kadarnya, sampai kepada sanksi hukum yang diancamkan bagi siapa yang melalaikan kewajiban tersebut. Kelalaian untuk memberikan nafkah terhadap orang yang wajib dinafkahi akan berdampak buruk bagi pihak yang dinafkahi. Hukum nafkah yang diuraikan di dalam kitab-kitab fiqh selain dianggap mampu memberikan jaminan terhadap kebutuhan pihak-pihak yang berhak untuk dinafkahi, juga dianggap mampu mengantisipasi akibat negatif dari kemungkinan adanya pihak-pihak yang melalaikan tanggungjawabnya terkait dengan nafkah tersebut. Pada prinsipnya hukum nafkah merupakan akibat dari jalinan yang terkait dengan hukum perkawinan. Akad nikah yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk sebuah rumah tangga secara langsung berdampak terhadap kewajiban nafkah. Nafkah dalam konteks ini dipahami sebagai kewajiban laki-laki (suami, ayah dan anak laki-laki) memenuhi kebutuhan hidup kaum perempuan (isteri, anak perempuan dan ibu), yang mencakup kebutuhan makanan (math’am), pakaian (kiswah/malbas) dan tempat tinggal (sukna/maskan), serta kebutuhan penunjang lainnya selama masa penanggungan itu terjadi. Kajian tentang nafkah dapat ditelaah dari berbagai disiplin ilmu. Sudut pandang yang berbeda dalam mensikapi makna dan arti penting nafkah serta pihak yang wajib menafkahi dan dinafkahi sangat menarik untuk dianalisis, karena setiap disiplin ilmu tentu mempunyai ∗
1
Penulis adalah Dosen Tetap pada Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung
Al-Ahwal Al-Syakhsiyah atau hukum keluarga adalah hukum yang telah dilaksanakan di dunia Islam, bahkan telah menjadi hukum adat mereka. Sehingga kesadaran untuk menerapkan hukum keluarga di dunia Islam sangatlah tinggi, bukan saja di negara-negara Islam atau negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi di negara-negara sekuler di mana kaum muslimin menjadi penduduk yang minoritas pun, hukum keluarga Islam ini diterapkan dan ditaati oleh keluarga-keluarga muslim. Lihat Djazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: kencana, 2006), h. 169
pendekatan yang berbeda-beda. Lebih lanjut tulisan singkat ini akan membahas tentang konsep atau makna nafkah dan dasar pertimbangan mengapa nafkah diwajibkan bagi suami terhadap isteri dan ayah terhadap anak, serta bagaimana dampak yang ditimbulkan jika nafkah tidak dipenuhi oleh pihak yang mempunyai kewajiban terhadap nafkah. B. Pengertian Nafkah Secara Bahasa dan Istilah Ditinjau dari segi bahasa kata “nafkah” memiliki banyak pengertian. Secara etimologis, nafkah berasal dari bahasa Arab yang berasal dari suku kata anfaqa-yunfiqu-infaqan ( - ﻳﻨﻔﻖ- ﺍﻧﻔﻖ )ﺍﻧﻔﺎﻗﺎ, 2 yang diartikan dengan pembelanjaan. 3 Dalam tata bahasa Indonesia “nafkah” diartikan dengan pengeluaran. 4 Pendapat lain menyatakan bahwa nafkah berasal dari bentuk kata dasar/kata benda (masdar/noun) dari kata kerja “nafaqa” yang sering disepadankan pengertiannya dengan kata kerja zahaba, kharaja, nafada dan madhâ (ﻣﻀﻰ, ﻧﻔﺪ, ﺧﺮﺝ, )ﺫﻫﺐ5 P2F
P
P3 F
P4 F
P
P
P5F
Kata-kata tersebut memiliki kesamaan dalam segi pengertiannya, yaitu sama-sama menunjukkan keberpindahan suatu hal ke hal yang lain. Kata madha yang berarti berlalu atau lewat dan dzahaba yang berarti pergi, serta kharaja yang berarti keluar, sama-sama menunjuk pengertian perpindahan dari satu tempat/situasi ke tempat/situasi yang lain. Kata nafida yang berarti habis, juga menunjuk perpindahan dan perubahan sesuatu dari yang semula ada menjadi tidak ada. Dengan demikian, secara etimologis, nafaqa (dalam bentuk muta’addy anfaqa) berarti perbuatan memindahkan dan mengalihkan sesuatu. Selain itu kata nafkah ( )ﺍﻟﻨﻔﻘﺔjuga dapat diambil dari kata infak ( )ﺍﻹﻧﻔﺎﻕyang berarti pengeluaran, penghabisan (konsumtif) dan infak tidak digunakan kecuali untuk yang baik-baik. 6T
6T
6T
6T
Wahbah al Zuhaili, mengemukakan bahwa nafkah yang harus dipenuhi tersebut berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Sebagaimana dikutip di bawah ini : 6 F6
ﻫﻲ ﻛﻔﺎﻳﺔ ﻣﻦ ﻳﻤﻮﻧﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﺍﻟﻜﺴﻮﺓ ﻭﺍﻟﻤﺴﺎﻛﻨﻰ
“Yaitu mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa makan, pakaian, dan tempat tinggal” Menurut istilah nafkah adalah pengeluaran yang digunakan seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Atau dengan kata lain segala sesuatu yang dibutuhkan manusia yang berupa sandang (kiswah), pangan (tha’am) dan papan (maskan). Dengan demikian nafkah sebagai kata dasar/kata bendanya, akan berarti sesuatu yang dipindahkan/dialihkan dan dikeluarkan untuk suatu hal dan tujuan tertentu baik berupa sandang, pangan, mupun papan. Kata nafaqah/infaq hanya digunakan untuk pengertian positif. 7 Selain itu, pada beberapa kitab-kitab fiqh bahasan tentang nafkah selalu dikaitkan dengan bahasan tentang nikah, karena nafkah merupakan konsekuensi dari terjadinya akad nikah. Al Syarkawi 8 menyebutkan bahwa ukuran makanan tertentu yang diberikan (menjadi tanggungan) suami terhadap isterinya, pembantunya, orangtua, anak, budak dan binatang ternak sesuai dengan kebutuhannya. Dengan demikian makna nafkah dan siapa saja yang wajib dinafkahi menurut pendapat al Syarkawi sangat luas sekali, karena tidak saja nafkah terhadap isteri dan anak serta karib kerabat. 7F
8F
B. NAFKAH DALAM PERSPEKTIF FILOSOFIS Sebagian besar ulama sepakat bahwa hukum nafkah adalah wajib bagi suami terhadap isterinya atau ayah terhadap anaknya. Adapun sebagian besar mereka berhujjah pada dalil surat al Nisa’ ayat 34 yang artinya sebagai berikut :
2 3
Al Munjid fi al Lughat wa al I’lam, (Beirut: al-Syirkiyah, 1986), h. 828 Ahmad Warson Munawir, Kamus al Munawwir, (Yogyakarta: Pondok Peantren al Munawir, 1984), h.
1548. 4
Diknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Edisi ke 3, h. 770 Al-Jâziriy, Al Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al Fikr, tt), Jilid IV, h. 260. Bandingkan juga dengan Abu al-Qasim al Husain bin Muhammad, Al Mufradat fi Gharib Al-Quran, h. 502 6 Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, Juz 10, Dar al Fikr bi Damsyiq, Suriah, 2002, hlm 7348 7 Lihat Abu Bakar Muhammad Syatha, I’anah al Thalibin, Juz 4, hal. 60 8 Al Syarkawi, Al Syarkawi ‘ala al Tahrir, al Thaba’ah al Nasyr wa al Tauzi, tt, hlm, 346 5
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencaricari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. Menurut para Fuqaha, ada tiga hal yang dikategorikan sebagai sebab timbulnya kewajiban nafkah pada diri seorang mukallaf terhadap seseorang, yaitu sebagai berikut : 9 1. Zaujiyyah, yaitu ikatan pernikahan yang sah. Konsekuensi lain dari ikatan perkawinan ini adalah nafkah bagi isteri yang ditalak bain hamil dan talak raj’i. Namun dalam talak bain hamil, kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah hanya membenarkan nafkah berupa tempat tinggal saja. 10 2. Qarabah, yaitu karena hubungan kekerabatan. Para fuqaha berbeda pendapat terkait dengan hubungan kekerabatan ini. Malikiyah berpendapat bahwa qarabah yang wajib nafkah hanya pada hubungan orang tua dan anak (walid wa walad). Syafi’iyah berpendapat bahwa hubungan kekarabatan tersebut adalah hubungan orangtua dan anak dan hubungan cucu dan kakek (ushul dan furu’). Sementara itu, Hanafiyah menganggap qarabah dalam konteks mahramiyah, tidak terbatas ushul dan furu’ saja, tetapi meliputi juga kerabat dalam garis menyamping (hawasyiy) dan dzawil arham. Adapun Hanabilah memahami bahwa qarabah dalam konteks hubungan waris faraidh dan asabah, yang terdiri dari ushul, furu’, hawasyiy dan dzawil arham yang berada pada jalur nasab. 11 Mengingat begitu luasnya cakupan qarabah sebagai objek nafkah, sehingga harus disesuaikan dengan kemampuan (isaar) pihak yang berkewajiban nafkah tadi. Jadi ketika seseorang memiliki keterbatasan materi (dalam artian hanya cukup untuk dirinya, isteri dan anak-anaknya saja), maka tidak dituntut tanggungjawabnya terhadap kerabat (furu’) tersebut. 3. Milk yaitu sebab kepemilikan atas sesuatu (dalam hal ini pemilik budak). Dalam konteks kekinian, sebab milk ini dapat dipahami dalam konteks yang luas, yaitu hubungan kepemilikan (kegiatan berorientasi tanggungan/ihtibas) seseorang terhadap sesuatu yang hidup, termasuk jasa pembantu, memelihara hewan, tumbuhan dan lain-lain. Al-Hafizh Ibnul Hajar Al-Asqalani, menguraikan bahwa, memberi nafkah kepada keluarga merupakan perkara yang wajib atas suami. Syariat menyebutnya sebagai sedekah, untuk menghindari anggapan bahwa para suami yang telah menunaikan kewajiban mereka (memberi nafkah) tidak akan mendapatkan balasan apa-apa. Mereka mengetahui balasan apa yang akan diberikan bagi orang yang bersedekah. Oleh karena itu, syariat memperkenalkan kepada mereka, bahwa nafkah kepada keluarga juga termasuk sedekah. Dengan demikian tidak boleh memberikan sedekah kepada selain keluarga mereka, sebelum tercukupi nafkah bagi keluarga yang wajib dinafkahi, sebagai pendorong untuk lebih mengutamakan sedekah yang wajib mereka keluarkan dari sedekah yang sunnah. 12 Menurut Satria Effendi, ayah wajib menafkahi anak kandungnya karena seorang anak membutuhkan pembelanjaan, sehingga di saat anak tidak sedang membutuhkan bantuan belanja, maka ayah tidak wajib membelanjainya. Persoalannya adalah apakah nafkah anak yang belum dibayarkan oleh ayah yang dalam keadaan berkelapangan dianggap sebagai utang yang harus dibayarnya kemudian hari. Menurut Wahbah al Zuhaili, kewajiban ini gugur jika si anak dalam keadaan kelapangan dan tidak membutuhkannya. Tetapi jika si anak tidak punya dana sendiri dan hidup dalam kesusahan, maka nafkah yang tidak dibayar oleh si ayah terhitung sebagai hutang.
9
Lihat misalnya, Al Jaziri, Op.Cit. jilid IV, h. 260 Wahbah Al Zuhailiy, Al Fiqh al Islamiy wa Adillatuhu. Jilid X, Dar al Fikr bi Damsyiq, Suriah, 2002, hlm 83 11 Wahbah al Zuhailiy. Ibid. hal. 83-84, dan Al Jaziriy, Op.Cit, 286. 12 Al-Hafizh Ibnul Hajar Al-Asqalani, Fathul Barri Syarah Shahih Bukhari, Bab 9, hlm 498. 10
Wahbah al Zuhaili dalam al Fiqh al Islami wa adillatuhu, menguraikan pendapat para fuqaha terkait dengan kewajiban dan kadar nafkah untuk isteri, sebagai berikut : 13 Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang menjadi alasan mengapa seorang suami diwajibkan menafkahi isterinya karena imbalan dari hak suami untuk membatasi kebebasan gerak gerik isteri, dan isteri memberikan loyalitasnya kepada ketentuan suami. Sejak akad nikah diucapkan, kebebasan isteri menjadi terbatas, isteri wajib secara sukarela menyerahkan dirinya untuk diperlakukan sebagai seorang isteri. Atas dasar ini maka isteri berhak mendapatkan nafkah dari suaminya. Oleh sebab itu hak nafkah tersebut menjadi gugur manakala isteri tidak loyal lagi terhadap suaminya. Nusyuz (keluar dari ketaatan) menjadi salah satu sebab gugurnya hak nafkah bagi isteri. 14 Sayid Sabiq dalam bukunya fiqh al Sunnah menyatakan bahwa “setiap orang yang dibatasi kewenangannya dan diambil manfaatnya oleh suatu pihak, maka nafkahnya harus dijamin oleh pihak yang membatasi dan mengambil manfaat itu”. Makna nafkah adalah mencukupi segala kebutuhan isteri yang mencakup makanan, tempat tinggal, pelayanan dan obat-obatan. Besarnya disesuaikan dengan kemampuan suami atau kesepakatan di antara keduanya. Apabila suami kikir, maka diperbolehkan mengambil secukupnya, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw, “ambillah sebanyak yang dapat mencukupimu dan anakanakmu secara baik”. (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim serta Abu Dawud. 15 Terkait dengan jumlah dan kadar nafkah, ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa kadar atau ukuran nafkah tidak ditetapkan oleh syara tetapi suami wajib memenuhi keperluan-keperluan istrinya seperti makanan, lauk-pauk, daging, sayur, buah-buahan dan keperluannya yang lazim, sesuai dengan tempat dan keadaan serta selera orangnya. Mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, berpendapat bahwa kewajiban suami menafkahi isterinya dikarenakan adanya hubungan timbal balik antara suami dan isteri. Hubungan suami isteri yang diikat dengan tali perkawinan yang sah, selain membawa konsekuensi isteri wajib bersedia menyerahkan diri kepada suami untuk diperlakukan sebagai isteri, juga mempunyai konsekuensi di mana pihak suami berkewajiban memberikan nafkah kepada isterinya. 16 Oleh sebab itu, apabila isteri berkewajiban mengurus rumah tangga, mengandung, melahirkan dan mengasuh anak-anaknya, maka suami berkewajiban mencari nafkah. Bentuk hubungan inilah yang disebut oleh mayoritas ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah sebagai hubungan kerja sama timbal balik. Namun Ulama Syafi’iyah berbeda pendapat mengenai kadar nafkah. Syafi’iyah menetapkan kadar nafkah tersebut dengan dasar ijtihad dan ukuran yang terdekat. Mereka beralasan dengan ayat al Qur’an surat at Thalaq ayat 7. Allah mewajibkan pemberian nafkah, namun tidak menetapkan jumlah kadarnya secara jelas. Bagi orang yang kaya (al musir) adalah 2 mud, bagi orang yang sedang atau menengah (al ausath) adalah 1.5 mud, dan bagi orang kurang mampu (al mu’sir) adalah 1 mud. M. Quraish Shihab 17 dalam tafsir al Mishbah mengatakan bahwa suami memberikan nafkah sesuai dengan kadar kemampuanya, istri tidak diperkenankan menuntut nafkah melebihi kemampuan suami atau melebihi apa yang dimiliki oleh suami. Karena dapat berakibat suami akan memaksakan diri untuk nafkah itu dengan mencari rizki yang tidak diridhai oleh Allah Swt. Tidak ada jumlah tertentu mengenai kadar nafkah, semuanya dikembalikan pada kondisi dan adat istiadat yang berlaku pada satu masyarakat (‘urf) yang tentu saja berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain serta waktu yang berbeda. C. NAFKAH DALAM PERSPEKTIF NORMATIF Menurut ketentuan hukum Islam, akad nikah yang sah menimbulkan hak dan kewajiban timbal balik antara suami isteri. Di antaranya, pihak isteri berhak untuk mendapatkan nafkah dari pihak suami yang menikahinya. Sebaliknya di atas pundak suami terletak kewajiban untuk
13
Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, Jilid X, Dar al Fikr bi Damsyiq, Suriah, 2002, hlm
7349 14
Satria Effendi, h. 153. Al Syekh Said Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid 2, Dar al Fikr bi Damsyiq, Suriah, 1983, h. 149 16 Satria Effendi, Op. cit, h. 155. 17 M. Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al Qur’an, Volume 14, Lentera Hati, Jakarta, 2005, h. 303 15
menafkahi isteri dan anak-anaknya. Dalam surat al Baqarah ayat 233 dijelaskan yang artinya sebagai berikut : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. Dasar hukum nafkah dapat ditelusuri di dalam al Qur’an maupun Hadis Rasulullah SAW, di antaranya terdapat di dalam surat al Thalaq ayat 6 dan 7 yang artinya sebagai berikut : 6. Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. 7. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﺑﻮﺑﻜﺮﺑﻦ ﺍﺑﻰ ﺳﻴﺒﻬﻮﺍﺳﺤﺎﻕ ﺑﻦ ﺍﺑﺮﺍ ﻫﻴﻢ ﺟﻤﻴﻌﺎ ﻋﻦ ﺣﺘﻢ ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺣﺎﺗﻢ ﺑﻦ ﺍﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﺍﻟﻤﺪﻧﻲ ﻋﻦ ﺟﻌﻔﺮ ﻭﻟﻬﻦ ﻋﻠﻴﻜﻤﺎ ﺭﺯﻗﻬﻦ ﻭﻛﺴﻮﺗﻬﻦ ﺑﺎﻣﻌﺮﻭﻑ:ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﻋﻦ ﺍﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﻳﻦ ﻋﺒﺪ ﷲ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ 18 ()ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ F 18
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ishak bin Ibrahim yang semuanya dari Hatim, Abu Bakar berkata : “telah menceritakan kepada kami Hatim bin Ismail al Madani, dari Ja’far bin Muhammad dari Bapaknya dari Jabir bin Abdullah dari Nabi SAW; beliau bersabda :”…… mereka (isteri) berhak mendapatkan dari kamu sekalian, berupa makanan dan pakaian dengan cara yang baik (HR. Muslim). Dalam hadits yang lain Rasulullah menegaskan : ﺣﺪ ﺛﻨﺎ ﺍﺑﻮ ﻛﺮﻳﺐ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪﺓ ﺑﻦ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﻋﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﺑﻮ ﺳﻠﻤﺔ ﻋﻦ ﺍﺑﻰ ﻫﺮﻳﺮﻗﺎ ﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ (ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻛﻤﻞ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﺍﻳﻤﺎﻧﺎ ﺍﺣﺴﻨﻬﻢ ﺧﻠﻘﺎ ﻭﺧﻴﺎ ﺭﻛﻢ ﺧﻴﺎ ﺭﻛﻢ ﻟﻨﺴﺎﺋﻬﻢ ﺧﻠﻘﺎ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ “Menceritakan kepada kami Abu Kuraib, menceritakan kepada kami ‘Abdah bin Sulaiman dari Muhammad bin ‘amr, menceritakan kepada kami Abu Salamah dari Abu Hurairoh R.A berkata: Rasulullah SAW berkata: orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik di antara kamu adalah orang yang paling baik akhlaknya kepada istrinya”. (HR. Tirmidzi) Ahmad Mustafa al-Maragi dalam Kitab Tafsir Al-Maragi mengemukakan bahwa seorang ibu yang mengandung demi seorang ayah (suami) dan menyusui bayi juga demi seorang ayah, menyebabkan wajib bagi seorang suami memberikan nafkah secukupnya kepada istrinya berupa sandang dan pangan, agar ia dapat melaksanakan kewajibannya dalam menjaga dan memelihara bayinya. Hendaklah nafkah yang diberikan diukur sesuai dengan keadaan istrinya dan sesuai pula dengan tingkat kebutuhan hidup pada tempat dimana ia hidup. Jangan sekali-kali memberi
18
Al Nawawi, Imam Muhiddin, Shahih Muslim (Beirut : Darul Ma’rifah li al Thaba’ah wa al Nasyar wa al Tauzi’: 1999) juz 12, h. 413.
nafkah yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau dirasakan berat oleh istrinya dalam melaksanakan kewajibannya, karena tidak mencukupi. 19 Berdasarkan ketentuan dasar hukum di atas dapat dipahami bahwa menafkahi isteri dan orang-orang yang ada di dalam tanggungan seorang suami atau laki-laki hukumnya wajib. Namun sumber hukum Islam di atas tidak menyebutkan secara rinci kadar atau besarnya nafkah yang harus dikeluarkan. Karena ayat al Qur’an hanya menjelaskan bahwa nafkah sesuai kemampuan suami, yang sifatnya tentu fleksibel. D. NAFKAH DALAM PERSPEKTIF YURIDIS Pengaturan tentang nafkah di dalam hukum positif menjadi kajian hukum keluarga. Hukum keluarga merupakan sebutan atau nama untuk seperangkat peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan keluarga, mulai dari perkawinan, hak dan kewajiban yang berhubungan dengan perkawinan, kelahiran anak, hak dan kewajiban yang berkaitan dengan perceraian, harta benda dalam perkawinan, hak dan kewajiban yang berhubungan dengan harta benda dalam perkawinan dan sebagainya. 20 Peraturan perundang-undangan yang mengatur nafkah suami atas isterinya, adalah Undang-Undang Perkawinan (UU Perkawinan) Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 30 sampai dengan pasal 34. Kompilasi Hukum Islam (KHI) 21 mengaturnya melalui pasal 77 sampai dengan pasal 84. Menurut Pasal 30 Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa “Suami dan isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.” Selanjutnya Pasal 34 Undang-Undang Perkawinan merumuskan sebagai berikut : (1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; (3) Jika suami isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Undang-Undang Perkawinan menyebutkan dengan tegas wujud kewajiban suami yang berupa nafkah kepada isteri dan anak. Pasal 34 ayat (1) dapat dimaknai suami wajib memberikan dan memenuhi semua kebutuhan hidup berumah tangga bagi isteri dan anak-anaknya. Sebagai timbal baliknya maka isteri juga wajib untuk mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Pasal 77 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menegaskan bahwa “suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat; suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, serta setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain; suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmi, rohani, maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya; suami isteri wajib memelihara kehormatan mereka; jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama”. Namun lebih lanjut, UU Perkawinan maupun KHI tidak mengatur secara tegas tentang sanksi materiil yang dapat dijatuhkan kepada suami yang tidak memenuhi kewajiban memberikan nafkah kepada isterinya. UU Perkawinan dan KHI hanya menyebutkan bahwa tidak dipenuhinya kewajiban oleh suami (juga isteri), baik karena kelalaian, kegagalan maupun karena keengganannya, dapat dijadikan alas an bagi isteri untuk menggugat cerai suaminya. Jadi sanksi bagi suami yang tidak memenuhi kewajiban kepada isteri dapat diputuskan perkawinannya. E. NAFKAH DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS
19
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Juz 1, Cetakan Kedua, CV. Toha Putra Semarang, Semarang, 1992, hlm .321 20 Mukhtar Zamzami, Pembaharuan Hukum Keluarga dalam Perspektif Politik Hukum Islam di Indonesia, Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan No 68 Februari 2009, PPHIM, hl,105. 21 Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan sebuah kompilasi hukum yang disusun berdasarkan kesepakatan para ulama Indonesia dalam bidang-bidang hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, yang didasarkan pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991.
Menurut perspektif sosiologis, lahirnya kewajiban nafkah seorang suami kepada isteri atau seorang ayah terhadap anak, tidak terlepas dari status dan peranannya. Status dan peranan merupakan unsur-unsur dalam struktur sosial yang memiliki arti penting bagi sistem sosial. Dengan demikian nafkah sebagai tanggungjawab suami kepada isterinya harus dipenuhi dengan sempurna sesuai dengan kadar kemampuannya. Dalam sebuah keluarga, suami berstatus sebagai kepala keluarga. Sebagai kepala keluarga tentunya suami memiliki peran yang diharapkan oleh pihak lain (isteri dan anggota keluarga). Peran utama suami adalah sebagai pencari nafkah, bertanggungjawab penuh terhadap kebutuhan sandang, pangan dan papan bagi anggota keluarga. Namun dalam kehidupan masyarakat dewasa ini, seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan pola pikir serta keadaan yang semakin modern yang lebih memberikan ruang gerak untuk isteri (perempuan) beremansipasi. Sehingga tak ayal bila isteri juga bisa bekerja untuk mencari nafkah. Ini merupakan salah satu bentuk perubahan sistem sosial yang terjadi di masyarakat dewasa ini yang harus diikuti dengan bagaimana melihat dan mencermati itu semua dengan kapasitas yang sesuai dengan keadaan sekarang. 22 Terkait dengan fenomena di atas maka tinjauan Hukum Islam secara sosiologis dapat dilihat pada pengaruh hukum Islam pada perubahan masyarakat muslim, atau sebaliknya pengaruh masyarakat muslim terhadap perkembangan hukum Islam. 23 Dengan demikian perubahan sistem sosial kemasyarakatan juga membawa pengaruh perubahan pola pencari nafkah. perubahan peran karena akses pendidikan telah terbuka untuk perempuan, tetapi norma yang menyertai perubahan tersebut kurang adaptatif dan perlu untuk dirumuskan. F. NAFKAH DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGIS Nafkah merupakan salah satu dari sekian banyak faktor yang menjadi penguat pondasi keluarga. Terpenuhinya nafkah dalam suatu rumah tangga baik lahir maupun batin, akan menyebabkan lahir dan tumbuhnya rasa kasih sayang di antara suami dan isteri serta anggota keluarga lainnya. Tidak sedikit rumah tangga yang hancur dikarenakan fenomena nafkah yang tidak mencukupi. Perceraian akan membawa dampak bagi anggota keluarga yang lain terlebih terhadap anak-anak yang dilahirkan dari sebuah perkawinan. Hal ini dapat dilihat pada tingginya angka perceraian yang terjadi di Indonesia disebabkan karena permasalahan nafkah, atau gugatan cerai sebab nafkah yang kurang memenuhi. Menurut pandangan para psikolog, kerugian akibat dari kehancuran rumah tangga tidak hanya berdampak pada suami-istri dan anak-anak, tapi juga berpengaruh pada masyarakat dan generasi-generasi mendatang. Dengan demikian kemitraan suami isteri di dalam mengelola sumberdaya keluarga baik keuangan keluarga maupun dalam pengambilan keputusan serta kerjasama dalam perencanaan kehidupan keluarga sangan berpengaruh bagi kelangsungan perkawinan. G. NAFKAH DALAM PERSPEKTIF EKONOMIS Faktor ekonomi merupakan masalah yang sangat menentukan dalam kelangsungan rumah tangga. Karena keterbatasan ekonomi bisa berujung pada masalah yang lebih besar lagi, misalnya perceraian, bunuh diri, dan lain-lain. Sebagian besar keluarga yang hidup kekurangan berawal dari kemalasan individual (terutama kepala keluarga) maupun seluruh anggota keluarganya, Pada prinsipnya ini dapat diatasi dengan kesadaran seluruh anggota keluarga paling tidak kepala keluarga untuk dapat lebih berusaha dalam mencari nafkah untuk penghidupannya yang lebih layak. Selain itu, ada juga yang berawal dari keterbatasan fisik maupun mental individu yang dulunya menjadi tumpuan keluarga. Masalah yang seperti ini biasanya dapat diatasi dengan kesadaran dari anggota keluarga lainnya untuk mengubah strata sosial. Jika kepala keluarga yang mengalami keterbatasan tadi, mungkin sang istri bisa mengganti kedudukan suami dalam 22
Haifa A. Jawad, Otensitas Hak-Hak Perempuan –Perspektif Islam atas kesetaraan Gender, alih bahasa Amin Hidayat Noor dkk, Fajar Pustaka, Yogyakarta, 2002, h. 162 23
Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam, UII press Indonesia, Yogyakarta, 2003, h. 3
konteks mencari nafkah. 24 Hubungan yang seimbang antara suami dan istri dapat menciptakan rasa saling mencintai, menghormati, ketergantungan, menghargai dan berkomitmen dalam menjalankan fungsi-fungsi keluarga untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga lahir dan batin. H. PENUTUP Kajian filosofis memandang bahwa timbulnya kewajiban nafkah tidak terlepas dari adanya perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Konsekuensi dari akad nikah menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dalam sebuah rumah tangga, dan perempuan sebagai orang yang dipimpin. Suami tidak hanya memiliki kewajiban untuk menafkahi istrinya, namun juga anak-anaknya dan orang-orang yang saling mewarisi dengan dirinya, sesuai dengan batas kemampuannya. Kadar nafkah tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi suami serta kebiasaan masyarakat setempat. Perspektif normatif telah menggariskan kewajiban suami terhadap istri dan anak-anak serta orang-orang yang ada dalam keluarga tersebut. Suami isteri merupakan mitra dan rekan kerja di tengah keluarga. Suami dan isteri mempunyai perannya masing-masing sesuai dengan statusnya. Islam menggariskan bahwa suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Keduanya ingin mencapai kebahagiaan duniawi dan ukhrawi dengan membentuk keluarga. Secara yuridis formal hak dan kewajiban suami isteri dalam rumah tangga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan pelaksana lainnya. Kemudian khusus untuk mereka yang beragama Islam juga dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengaturnya melalui pasal 77 sampai dengan pasal 84. Perspektif sosiologis dan psikhologis memandang nafkah merupakan wujud tanggungjawab suami terhadap anggota keluarganya. Suami sebagai tulang punggung keluarga berkewajiban memenuhi kebutuhan anggota keluarganya. Seiring perubahan sistem sosial, isteri dapat membantu suami dalam menopang kebutuhan rumah tangga. Oleh sebab itu, mereka tidak memandang rumah tangga sebagai ajang kompetisi dan tempat untuk mencari keunggulan, tapi basis untuk bekerjasama dan membangun solidaritas demi meningkatkan nilai-nilai spiritualitas dan mengembangkan potensi-potensi kemanusiaan. Demikian pula dalam tataran ekonomis, nafkah memainkan peran yang sangat penting, karena tidak terpenuhinya nafkah akan berdampak negatif terhadap kehidupan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA Al Jaziriy, Al Fiqh ‘ala al Madzahib al Arba’ah. Jilid IV, Dar al Fikr, Beirut, tt Al Munjid fi al Lughat wa al I’lam, al Syirkiyah, Beirut, 1986 Al Husain bin Muhammad, Abu al Qasim, Al Mufradat fi Gharib Al Quran, tt A. Jawad, Haifa, Otensitas Hak-Hak Perempuan –Perspektif Islam atas kesetaraan Gender, alih bahasa Amin Hidayat Noor dkk, Fajar Pustaka, Yogyakarta, 2002, hlm. 162 Al Syarkawi, Al Syarkawi ‘ala al Tahrir, al Thaba’ah al Nasyr wa al Tauzi, tt. Al Zuhaili, Wahbah, al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, Juz 10, Dar al Fikr bi Damsyiq, Suriah, 2002, Al Maraghi, Ahmad Mustafa, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Juz 1, Cetakan Kedua, CV. Toha Putra Semarang, Semarang, 1992. Diknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke 3, Balai Pustaka, Jakarta, 2002. Djazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian, Perkembangan, dan penerapan Hukum Islam, (Jakarta: kencana, 2006), hlm. 169 Ibnu Hajar al-Asqalani, Al-Hafizh, Fathul Barri Syarah Shahih Bukhari. 24
http://anggunfsualangi.blogspot.com/2011, diakses tanggal 25 Oktober 2013
Imam Muhiddin, Al Nawawi, Shahih Muslim, Juz 12, Darul Ma’rifah li al Thaba’ah wa al Nasyar wa al Tauzi’, Beirut, 1999. Munawir, Ahmad Warson, Kamus al Munawwir, Pondok Peantren al Munawir, Yogyakarta,1984. Muhammad Syatha, Abu Bakar, I’anah al Thalibin, Juz 4. Satria Effendi, Analisis Yurisprudensi Tentang Gugatan Nafkah, Mimbar Hukum, No 44 Th 1999, Al Hikmah dan DITBINBAPERTA, Jakarta.
3T
Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid 2, Dar al Fikr bi Damsyiq, Suriah, 1983. Shihab, M. Quraish, Tafsir al Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al Qur’an, Volume 14, Lentera Hati, Jakarta, 2005. Tebba, Sudirman, Sosiologi Hukum Islam, UII press Indonesia, Yogyakarta, 2003. Zamzami, Mukhtar, Pembaharuan Hukum Keluarga dalam Perspektif Politik Hukum Islam di Indonesia, Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan No 68 Februari 2009. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991. Tentang Kompilasi Hukum Islam http://anggunfsualangi.blogspot.com/2011 3T