MURTAD DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP STATUS PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
Disusun Oleh : LILIS MUKHLISOH ( 204044103039 )
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 KATA PENGANTAR
ا ا ا Segala puji bagi Allah SWT, maha kuasa atas kehendaknya maha pengasih atas segala rizki yang ada di langit dan dibumi, maha penyayang terhadap seluruh makhlukNya, maha mengetahui dan mampu membolak-balikan hati hamba-Nya. Syukur alhamdulillah seiring waktu yang berlalu, seiring hari yang berganti, tak terasa penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, para keluarganya dan para sahabatnya. Walaupun jauh sekali dari sempurna karena masih banyak kekurangan dan kekeliruan, tetapi penulis telah berusaha dengan segala keterbatasannya dan semoga skripsi ini membawa berkah buat diri penulis dan manfaat untuk seluruh pembaca. Akhir desember penuh berkah dan rahmat penulis rasakan dalam penyelesaian skripsi ini atas izin Allah SWT, untuk itu kiranya perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih bagi orng-orang terdekat dan dari semua pihak yang banyak memberikan pengarahan, bimbingan dan dorongan kepada: 1.
Bapak H. M Amin Suma SH. MA. MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Bapak H. Djawahir Hejjaziey, SH., MA., dan Drs. H. A. Yani, M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris jurusan Ahwal Syakhsiyyah yang telah banyak memberikan motivasi kepada penulis. 3. Bapak Drs. Sirril Wafa M. Ag dan Bapak Kamarusdiana S.Ag., MH., selaku Dosen Pembimbing yang dengan sabar memberikan banyak petunjuk, arahan serta masukan kepada penulis sehingga terselasainya skripsi ini. 4. Seluruh Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama kepada Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., dan Bapak Dr. Jaenal Arifin, M.Ag., serta kepada seluruh karyawan dan staff perpustakaan yang telah memfasilitaskan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 5. Teristimewa untuk Abeh dan ibunda tercinta H. mursalum dan HJ. Mursidah yang memberikan limpahan kasih sayang sejak kecil sampai kini, menanamkan nilai dan pemahaman akidah sebagai rambu kehidupan, menempa karakter dengan sejuta semangat, mengirim doa tanpa henti dalam sujud di penghujung malam untuk penulis, terima kasih abeh ibu izinkan penulis membalas dengan keikhlasan doa kembali.
6.
Kakak-kakaku Bang Herman, Bang Puyoh Bang H. Jamal, Po HJ Titin, Po Pupeh, Po Yuli Po Tuti dan adiku Siroj dan Nida kalian penawar dahaga diantara kelelahan Oase diantara keputusasaan terima kasih atas dukungan dengan doa-doa kalian yang tulus.
7. Dan kepada kakakku Fakhri yang menjadikan bara dalam semangat penulis, menjadikan kalbu yang bisu dan ragu kearah tawadhu, kakaku kau seperti peluru tak kehabisan mesiu bagi penulis, doa yang kau panjatkan disetiap sujudmu untuk penulis sangat menenangkan, mudah-mudahan Allah yang akan membalasnya Terima kasih k,,, 8. Tak lupa pula kepada sahabatku K’Eti, Bunda, R-na, R-vin, Aie, Uma, Ucox, Arifin, Saiful, K’Rizqy yang selalu setia berada disampingku dan tidak pernah bosan untuk mendengarkan segala keluh kesahku serta teman-temanku seperjuangan Santi, Meri, Heli, Tina, Mba Yati, Hamzah, Sonif dan seluruh PA (A dan B) yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu Terima kasih sobat semoga persahabatan kita kan selamanya bermakna. Akhirnya kepada Allah jualah kita kembalikan semua, semoga atas kebaikan dan jasa-jasa kalian dibalas oleh Allah SWT Amin Amin Ya Rabbal Alamin.
Jakarta, Desember 2009 Penulis
DAFTAR ISI Kata Pengantar …………………………………………………………….
i
Daftar Isi ……………………………………………………………………
ii
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………………………….
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………….
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………
7
D. Kerangka Teori ……………………………………………...
8
E. Metode Penelitian …………………………………………....
10
F. Sistematika Penulisan ………………………………………..
11
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan dan Dasar-Dasar Perkawinan……….
13
B. Asas-Asas Dan Prinsip-Prinsip Perkawinan…………………
21
C. Syarat-Syarat Perkawinan……………………………………
29
MURTAD DAN STATUS HUKUMNYA TERHADAP PERKAWINAN A. Konsepsi Umum Tentang Murtad……………………………
36
B. Kedudukan Murtad Dalam Perkawinan………………………
40
C. konsepsi Islam tentang murtad dalam perkawinan…………...
48
D. Status Hukum Apabila Salah Satu Pasangan Murtad ………..
50
1. Menurut Fikih Islam ……………………………………..
50
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam ……………………….
BAB IV
MURTAD DAN AKIBATNYA HUKUMNYATERHADAP ANAK DAN HARTA BERSAMA
BAB V
54
i
A. Menurut Undang-Undang No.1 th 1974 …………………….
56
B. Menurut Kompilasi Hukum Islam ………………………….
66
PENUTUP A. Kesimpulan……………………………. …………………….
74
B. Saran …………………………………………………………
77
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN A.
LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan salah satu aktivitas individu. Aktivitas individu umumnya
akan terkait pada suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu yang bersangkutan, demikian juga dengan perkawinan. Perkawinan merupakan aktivitas dari suatu pasangan, maka sudah selayaknya mereka pun mempunyai tujuan tertentu. Tetapi karena perkawinan itu terdiri dari dua individu, maka ada kemungkinan bahwa tujuan mereka tidak sama. Bila hal tersebut terjadi, maka tujuan perkawinan itu harus dibulatkan agar terdapat suatu kesatuan dalam pencapaian tujuan tersebut. Apakah sebenarnya tujuan perkawinan? Perkawinan mempunyai tujuan antara lain membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Dengan demikian, maka sebenarnya tidak perlu diragukan lagi, apakah sebenarnya yang ingin dicapai dalam perkawinan itu. Namun karena keluarga atau rumah tangga itu berasal dari dua individu yang berbeda, maka dari dua individu itu mungkin terdapat tujuan yang berbeda, untuk itu perlu penyatuan tujuan perkawinan demi tercapainya keluarga yang sakinah. Tanpa adanya kesatuan tujuan antara suami dan isteri dalam keluarga dan kesadaran bahwa tujuan itu harus dicapai bersama-sama, maka dapat dibayangkan bahwa keluarga itu akan mudah mengalami hambatan-hambatan yang merupakan sumber permasalahan besar dalam keluarga, akhirnya dapat menuju keretakan keluarga yang berakibat lebih jauh sampai kepada perceraian. Tujuan adalah merupakan titik tujuan bersama yang akan 1
Undang-Undang Perkawinan TLN No. 3019. Pasal.1
Indonesia, Undang-Undang No. 1, LN No. 1 tahun 1974,
diusahakan untuk dicapai secara bersama-sama pula. Kebahagian yang merupakan salah satu tujuan dari perkawinan adalah sesuatu hal yang relatif dan subyektif.2 Relatif karena sesuatu hal yang pada suatu waktu dapat menimbulkan kebahagiaan, namun pada waktu yang lain mungkin tidak dapat menimbulkan lagi kebahagiaan. Subyektif oleh karena kebahagiaan bagi seseorang belum tentu kebahagiaan bagi orang lain. Tujuan perkawinan menurut Islam adalah menuruti perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.3 Hal ini senada dengan firman Allah yang berbunyi:4 #☯&' !" 5678 01&234 ()*, ./ A3B <34 @ =☺ ? ,;<2*< !9,: JK⌧ HI*4/ EF G CD (21 )اوم “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan
dijadikan-Nya
diantaramu
rasa
kasih
dan
sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur Undang-Undang tentang Perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974, dilengkapi dengan 2
Bimo Wagito, Bimbingan Dan Konseling Perkawinan. Ed. 1. Cet.1. Yogyakarta: Andi Offset, 2002., hal. 14. 3 Tujuan perkawinan pada umumnya bergantung pada masing-masing individu yang akan melakukannya, karena lebih bersifat subjektif. Tujuan umum yang hendak dicapai adalah memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan akhirat. Adapun tujuan pernikahan secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) melaksanakan libido seksualis; (2) memperoleh keturunan; (3) memperoleh keturunan yang saleh; (4) memperoleh kebahagiaan dan ketentraman; (5) mengikuti sunnah Nabi; (6) menjalankan perintah Allah; dan (7) untuk berdakwah. Lihat buku Slamet Abidin dan Aminuddin, Fikih Munakahat 1, cet.1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 12-18. 4 Q.S. ar-Rum/30 : 21
Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Intruksi Presiden No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan peraturan-peraturan lainnya mengenai perkawinan.5 Berkaitan perkawinan masih banyak persoalan yang perlu diteliti dan dilihat lebih jauh, persoalan yang ingin dituangkan penulis dalam penelitian ini adalah perkawinan yang sedang berlangsung tetapi salah satu pihak telah melakukan perbuatan murtad dan akibat hukumnya terhadap anak dan harta bersama. Perbuatan pindah agama menurut syara adalah keluar dari agama Islam, baik menjadi kafir atau tidak beragama sama sekali. Dalam ikatan perkawinan, murtadnya orang yang melakukan pindah agama salah satu pihak, baik atas kemauan sendiri maupun karena bujukan dari orang lain akan dapat mengakibatkan putusnya ikatan perkawinan dengan sendirinya, yang mana hal tersebut didasarkan atas pertimbangan keselamatan agama dari wanita yang beragama Islam dan dikhawatirkan anak-anaknya akan mengikuti agama bapaknya yang bukan Islam. Adapun hal-hal yang mendorong penulis menulis judul ini adalah berdasarkan prinsip Sayyid Sabiq dalam kitab fikih jilid II yaitu sebagai berikut:6 َََُْ َ!ِْ"ْ#ِ َ$ِْ%َ& َُِْ& ِ'َن رِدة أَيْ وَا- ِِ./ِ َُِْ& َ!0َ1 ْ2َ3َ َ ِْاذَا ارَْ اَوْجُ اَوْ اَوَُْ ا “Apabila suami istri murtad, maka putuslah hubungan perkawinan keduanya karena riddahnya salah seorang dari suami-istri itu adalah hal yang mewajibkan pisahnya mereka”. Hal ini juga dipertegas dalam surat al-baqarah ayat 221 yang berbunyi: 5
Kompilasi diambil dari kata “compilaare” yang mempunyai arti mengumpulkan bersama-sama, seperti mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan di mana-mana. Istilah ini kemudian dikembangkan menjadi “compilation” dalam bahasa Inggris atau “compilatie” dalam bahasa Belanda. 6 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Bandung: PT: Al-Ma’arif), h. 389.
@STU F⌧P3QR☺&0 (*, 5M WQJ\ Y=;Z[ W= X @ V 5M 9] * C=⌧P3QR[ @STU B^P3QR☺&0 (*,7 WQJ\ [ S_C7 @ (*, 9] * Ca3QR[ ( ?0<,0 Ag34 *_ Ccdef =
Karena mengikuti kehendak atau bujuk rayu dari suami atau isteri
2.
Karena adanya tekanan atau ancaman yang memaksanya untuk pindah agama
3.
Karena tertarik dengan jaran agama lain
4.
Karena belum mengetahui / mengerti akibat dari perbuatannya bahwa murtadnya itu akan berpengaruh dalam kehidupan rumah tangga Banyaknya kasus yang terjadi peralihan agama setelah pernikahan secara Islami,
membuat penulis berkeinginan meneliti lebih jauh apakah yang harus dilakukan terhadap persoalan ini dan akibat hukum apa saja yang ditimbulkan dari permasalahan tersebut? Oleh karena itu penulis tertarik untuk menuangkannya dalam skripsi yang berjudul “Murtad Dan Akibat Hukumnya Terhadap Status Perkawinan Dalam Perspektif Fikih Dan KHI”. B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH a) Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, penulis membatasi masalah sebagai berikut: 1. Status Hukum Perkawinan Apabila Salah Satu Pasangan Murtad Berdasarkan Fikih Dan Undang-Undang No 1 tahun 1974 ? 2. Akibat Hukum Yang Timbul Khususnya Terhadap Anak Dan Harta Bersama Apabila Salah Satu Pasangan Murtad Dalam Perspektif Undang-Undang No 1 tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam. b) Perumusan Masalah Baik dalam Al-Qur’an, Hadits maupun dalam Fikih, dengan tegas dinyatakan bahwa apabila salah satu pasangan suami istri murtad maka serta-merta perkawinan menjadi putus atau fasakh. Sedangkan menurut Undang-Undang No.1 Th. 1974
dijelaskan bahwa perceraian itu akan sah apabila dilakukan di depan pengadilan. Jadi, apabila salah satu murtad maka perkawinannya tetap sah sebelum diputuskan di Pengadilan Agama. Dari perbandingan di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana status hukum perkawinan apabila salah satu pasangan murtad berdasarkan fikih dan Undang-Undang No 1 tahun 1974?
2.
Akibat hukum apa yang timbul terhadap anak dan harta bersama apabila salah satu pasangan murtad dalam perspektif fikih dan Kompilasi
I TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN I. TUJUAN PENELITIAN Sehubungan dengan masalah-masalah yang telah dijelaskan di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui perbandingan antara hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Th. 1974 dalam menyikapi permasalahan perkawinan yang salah satu pasangan (suami atau isteri) murtad (keluar dari Agama Islam) dan untuk mengetahui akabat hukum yang timbul apabila salah satu pasangan murtad terhadap status perkawinan, anak dan harta bersama dalam perspektif fikih dan Kompilasi Hukum Islam ?
II. MANFAAT PENELITIAN Skripsi ini diharapkan memiliki dua manfaat : 1. Manfaat Praktis Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pembinaan, pembangunan dan pembaharuan hukum
Islam di Indonesia khususnya hukum-hukum yang mengatur tentang perkawinan.
2. Manfaat Teoritis Secara Teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memperkaya khazanah keilmuan di bidang hukum, di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya Fakultas Syari’ah dan Hukum. B. KERANGKA TEORI Dalam kehidupan di dunia yang indah ini, Allah SWT menciptakan makhlukmakhluk-Nya berpasang-pasangan agar hidup berdampingan, saling mencintai dan berkasih sayang untuk meneruskan keturunan. Manusia sebagai makhluk sosial yang beradab, menjadikan makna “hidup berdampingan” sebagai suami dan isteri dalam suatu perkawinan yang diikat oleh hukum, agar menjadi sah dan disertai dengan tanggung jawab. Seorang pria dan seorang wanita yang memasuki kehidupan suami dan isteri, berarti telah memasuki gerbang baru dalam kehidupannya untuk membentuk sebuah rumah tangga yang sakinah. Perkawinan adalah merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Namun jika ditanyakan apa yang di maksud dengan istilah tersebut, maka orang akan berpikir terlebih dahulu untuk memdapatkan formulasi, walaupun sebenarnya apa yang di maksud dengan istilah itu telah ada dalam pikiran dengan jelas.
Dalam agama, perkawinan dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara pasangan suami isteri atau saling minta menjadi pasangan hidup dengan mempergunakan nama Allah. Dalam tinjauan hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan, salah satu yang menyebabkan putusnya perkawinan adalah murtad.
Persoalan kemurtadan seseorang
dianggap sebagai suatu hal khusus dan penting jika dikaitan dengan perkawinan. Ada pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antara wanita muslimah dengan seorang laki-laki yang bukan Islam adalah tidak sah. Murtad mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan seseorang, terutama dalam hubungannya dengan masyarakat seperti perkawinan, hak waris dan hak-hak lainnya. Di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat larangan perkawinan yang mengakibatkan adanya pencegahan dan pembatalan perkawinan. Larangan perkawinan itu dijelaskan antara lain pada Pasal 8 butir f yaitu perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Kompilasi Hukum Islam juga menuangkan hal tersebut pada Pasal 40 yakni dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Untuk kasus murtad, banyak yang belum menyadari akan akibat yang ditimbulkan. Seperti yang sering terjadi, ikatan perkawinan beda agama (murtad salah satunya) masih terus dipertahankan, bahkan tidak sedikit yang terang-terangan mengakui bahwa perbuatannya itu tidak apa-ap C. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan menggunakan metode penelitian dan cara penulisan metode diskriptif-analisis. Metode diskriptif ini dilakukan untuk mendeskripsikan permasalahan murtad dalam perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum Islam, dan menggambarkan secara menyeluruh tentang Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan tersebut, dan metode analisis dilakukan untuk melakukan analisis tentang kasus murtad dalam perkawinan yang dilakukan menurut hukum Islam. 2. Teknis Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam Penelitian ini adalah library research untuk memperoleh data skunder yang terdiri dari bahan-bahan penelitian hukum. Bahanbahan hukum tersebut meliputi: a. Bahan Hukum Primer, yaitu: 1) Kitab Fikih ( Imam Mazhab ) 2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 3) Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 4) Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
b. Bahan Hukum Skunder 1) Buku-buku literatur hukum 2) Artikel dan makalah c. Bahan Hukum Tertier 1) Kamus 2) Ensiklopedi Adapun dalam teknis penulisan skripsi ini, penulis berpedoman kepada “buku pedoman skripsi , tesis dan disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” yang diterbitkan oleh PT Hikmah Syahid, Jakarta 2007.
D. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan dalam penelitian ini antara lain memuat beberapa bab dan sub-bab, yang meliputi point penting terhadap permasalahan yang ada, yaitu: Bab I
:
Pendahuluan, yang meliputi pembahasan mengenai latar belakang, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penelitian.
Bab II
:
Perkawinan Dan Permasalahannya, yang meliputi pembahasan mengenai pengertian dan dasar perkawinan, asas-asas dan prinsipprinsip perkawinan, dan syarat-syarat perkawinan.
Bab III
:
Murtad dan akibat hukumnya terhadap perkawinan, yang meliputi
pembahasan mengenai konsepsi umum tentang murtad, kedudukan murtad dalam perkawinan, konsepsi Islam tentang murtad dalam perkawinan, status hukum perkawinan apabila salah satu pasangan murtad menurt fikih dan kompilasi hukum Islam. Bab IV
:
Murtad dan akibat hukum terhadap anak dan harta bersama , menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum Islam
Bab V
:
Penutup, meliputi pembahasan kesimpulan dan saran.
BAB II PERKAWINAN DAN PERMASALAHANNYA
A. Pengertian dan Dasar Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Perkawinan merupakan peristiwa yang amat sacral dalam kehidupan seseorang. Sampai-sampai seseorang atau dalam hal ini pengantin terus berupaya mengabadikan upacara perkawinannya seunik mungkin, misalnya akad perkawinan yang di selenggarakan di depan ka”bah bahkan ada juga yang lebih ekstrim lagi yaitu upacara perkawinan yang di laksanakan di udara-udara mempelai di terjunkan dari pesawat dan ritual di lakukan di awan dengan bantuan parasut Perkawinan juga merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Namun jika ditanyakan apa yang di maksud dengan istilah tersebut, maka orang akan berpikir terlebih dahulu untuk mendapatkan formulasi, walaupun sebenarnya apa yang di maksud dengan istilah itu telah ada dalam pikiran dengan jelas. Sebelum memasuki masalah ini lebih dalam kiranya harus dipahami terlebih dahulu tentang pengertian perkawinan. Perkawinan menurut bahasa Arab berasal dari kata al- nikah, yang bermakna alwathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut al-dammu wa al-jam’u, atau ‘ibarat ‘an al-wathi’ wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong- menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. 7
7
13sinar baru algensindo, tahun 2000, Cet. 33) Sulaiman Rasjid, Fikih Islam, (Bandung: h. 374
Sesuai dengan firman Allah SWT, dalam surah al-Nisa yang berbunyi: \ \r0s 0 (*"00q v7w @S;8u i0t Z0 {M w.&\ 3jq ( x y? ( ٣ ء5رة ا%6) |;_*q (*_7
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil8, Maka (kawinilah) seorang saja9( Q.S an-Nisa ayat 3 )
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan sja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya. Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami isteri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Karena dari baiknya pergaulan si isteri dengan suaminya, kasih mengasihi, akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan saling tolong-menolong sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya. sejalan dengan 8
Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. 9 Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
sabda Rasulullah SAW: Dari Aisyah, “ nikahilah olehmu kaum wanita itu, maka sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta (rezeki) bagi kamu.”( HR. Hakim dan Abu daud). Dari semua penjelasan diatas, faedah yang terbesar dalam pernikahan ialah untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan, sebab seorang perempuan, apabila ia sudah menikah, maka nafkahnya (biaya hidupnya) wajib ditanggung oleh suaminya. Dan pernikahan juga berguna untuk memelihara kerukunan anak cucu (keturunan), sebab kalau tidak dengan nikah, tentulah anak tidak berketentuan siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang bertanggung jawab atasnya. Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, sebab kalau tidak ada pernikahan, tentu manusia akan menurutkan sifat kebinatangannya, dan dengan sifat ituakan timbul perselisihan, bencana dan permusuhan antara sesamanya. Demikianlah maksud pernikahan yang sejati didalam Islam. Singkatnya adalah untuk kemaslahatan dalam rumah tangga dan keturunan dan juga untuk kemaslahatan masyarakat. Oleh sebab itu, syariat Islam mengadakan beberapa peraturan untuk menjaga keselamatan pernikahan tersebut, tetapi sebelum menerangkan syarat-syarat dan rukunnya, begitu juga dengan prinsip-prinsip pernikahan, terlebih dahulu akan diuraikan tujuan pernikahan dalam anggapan yang berlaku atas kehendak manusia, karena telah banyak anggapan dari para pemuda baik dari zaman dahulu hungga sekarang, mereka ingin menikah karena beberapa sebab, diantaranya yaitu: 1. Karena mengharapkan harta benda 2. Karena mengharapkan kebangsawanannay 3. Karena ingin melihat kecantikannya
4. Karena agama dan budi pekertinya yang baik. Dari beberapa tujuan pernikahan yang telah disebutkan, sesungguhnya tujuan yang keempatlah yang paling diutamakan, karena agama dan budi pekerti inilah yang patut dan baik menjadi ukuran untuk pergaulan yang akan kekal, serta dapat menjadi dasar keturunan dan kemaslahatan rumah tangga serta semua keluarga. Sejalan sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa menikahi seorang perempuan karena agamanya, niscaya Allah akan mengaruniainya dengan harta. Jadi jelaslah bahwa hendaknya agama dan budi pekerti itulah yang menjadi pokok yang utama untuk pemilihan dalam pernikahan. Agar tidak terjadi suatu perceraian maka pertimbangkanlah terlebih dahulu dengan sedalam-dalamnya antara manfaat dan mudharatnya yang bakal terjadi dihari kemudian, sebelum mempertalikan suatu pernikahan10 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan definisi tentang perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2, yaitu: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah” Dalam Undang-Undang No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan, dalam pasal 1
menjelaskan perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagi dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.sedangkan dalam pasal 2 juga menjelaskan tentang perkawinan yang mana perkawinan itu akan sah apabila dilakukan menurut hukum
10
Rasjid, Fikih Islam, h. 378
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undanganan yang berlaku.11 Ikatan lahir batin yang di maksud dalam pasal tersebut mempunyai dua pengertian yang berbeda yakni, ikatan lahir dan ikatan batin. Ikatan lahir adalah merupakan ikatan yang kelihatan, ikatan formal sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada. Ikatan formal ini adalah nyata, baik yang mengikat dirinya, yaitu suami dan isteri, maupun orang lain yaitu masyarakat luas, sedangkan ikatan batin adalah ikatan yang tidak kelihatan secara langsung, merupakan ikatan psikologis yang mengikat suami dan isteri yaitu perasaan cinta dan tanpa paksaan Berdasarkan definisi yang telah tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, masih dapat diperinci dengan tiga bagian yaitu: 1. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. 2. Ikatan lahir batin itu ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia yang kekal dan sejahtera. 3. Ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan juga harus dilihat dari beberapa segi antara lain: 1. Perkawinan dari segi pelaksanaan a.
Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu.
11
Departemen Agama, Undang-undang perkawinan, (Bandung: Citra Umbara, 2007. h.2
b.
Cara
menguraikan
atau
memutuskan
ikatan
perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talak, kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya. 2. Perkawinan dari segi sosial. Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui oleh suatu penilaian yang umum, ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang belum nikah. 3. Perkawinan dari segi agama. Dalam agama, perkawinan dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara pasangan suami isteri atau saling minta menjadi pasangan hidup dengan mempergunakan nama Allah. Menurut pendapat penulis pengertian perkawinan yang diberikan para pakar menunjukkan ada dua sisi penting dari perkawinan, yang pertama perkawinan adalah pengesahan hubungan seksual, dan yang kedua perkawinan adalah sebuah perjanjian. 2. Dasar - Dasar Perkawinan Teori dasar perkawinan adalah berdasarkan teori “manusia sebagai makhluk sosial”, yang pada dasarnya manusia sangat membutuhkan manusia yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Manusia juga merupakan makhluk yang sempurna karena akal dan nuraninya, maka dalam pemenuhan kebutuhan terhadap manusia lain, manusia mengatur pemenuhan kebutuhan itu sesuai dengan kedudukannya sebagai manusia yang sempurna. Dasar-dasar perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, pasal 1-4 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1: perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 ayat 1: perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu. Dan ayat 2 berbunyi: tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 3 ayat 1: pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Dan ayat 2 berbunyi: pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pasal 4 ayat 1 berbunyi: dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Dan ayat (2) berbunyi: pengadilan dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila;
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 5 ayat 1 berbunyi: untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syaratsyarat sebagai berikut: a. Adanya persetujuan dari isteri-isteri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteriisteri dan anak-anak mereka c. Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Dan ayat (2) berbunyi: persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.12 Sedangkan yang menjadi dasar hukum perkawinan dalam hukum positif Indonesia dan masih berlaku sampai saat ini adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang No.22 tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak Dan Rujuk. b. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. c. Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. d. Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. e. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1990 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. f. Intruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam g. Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam h. Keputusan menteri pertahanan keamanan/panglima angkatan bersenjata No. KEP/01/1/1980 tentang peraturan perkawinan, perceraian dan rujuk anggota ABRI 12
Ibid, h. 3
i.
Petunjuk teknis No. Pol: JUKNIS/01/III/1981 tentang perkawinan, perceraian dan rujuk bagi anggota POLRI.
B. Asas-Asas dan Prinsip-Prinsip Perkawinan 1. Asas-Asas Perkawinan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan pengembangan dari hukum perkawinan yang tertuang di dalam Undang-Undangnomor 1 tahu 1974. karena itu, ia tidak dapat lepas dari misi yang di emban oleh Undang-Undang Perkawinan tersebut; kendatipun cakupannya hanya terbatas bagi kepentingan ummat Islam. Karena kompilasi dalam banyak hal merupakan penjelasan Undang-Undang Perkawinan, maka asas-asas atau prinsip-prinsipnya di kemukakan dengan mengacu kepada Undang-Undang tersebut Ada enam asas yang prinsipil dalam Undang-Undang Perkawinan ini, antara lain yaitu: a) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. b) Dalam Undang-Undang ini di tegaskan bahwa suatu perkawinan adalah saha pabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan “harus dicatat “ menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
c) Undang-Undang ini menganut asas monogomi. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. d) Undang-Undang perkawinan ini menganut prinsip bahwa calon suami isteri harus telah masuk jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berpikir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. e) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian. f) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri.13 f.1 Asas yang pertama, membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sejalan dengan firman Allah ()*, ./ #☯&' !" ,;<2*< !9,: 5678 01&234 EF G CD A3B <34 @ =☺ ? JK⌧ HI*4/ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir(Q.S ar-Rum,ayat 21) 13
VI, h. 56
Ahmad Rafiq, Hukum Islam DI Indonesia. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), Cet.
f.2. Asas kedua, keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan pihak melaksanakan perkawinan, dan harus dicatat. f.3. Asas ketiga, asas monogami sejalan dengan surat an-nisa ayat 3 yang berbunyi: A3B (*~ &47 {M U}&\ 34 \r0s 0 (*"00q @? l&0 v7w @S;8u i0t Z0 \ {M w.&\ 3jq ( x y? F 0 |;_*q (*_7 {M A;2 CD @ Z☺ (**7 . Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[14], Maka (kawinilah) seorang saja[15], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(Q.S. an-Nisa, ayat 43)
f.4. Asas keempat juga sejalan dengan firman Allah surat al-Rum ayat 21, seperti telah dijelaskan terlebih dahulu. Karena tujuan perkawinan akan dapat lebih mudah dicapai apabila kedua mempelai telah masuka jiwa raganya. f.5. Asas kelima mempersulit terjadinya perceraian, hal ini didasarkan pada hadis yang berbunyi: ( (DآA واF& : داود وا% اGق ) روا0 ل ا? ا> ا0A اBC ا: م. ص9$ ا:1 1 : ا:1
14
Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. 15 Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
Artinya :”perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak (perceraian). (riwayat abu dawud, ibn majah, dan disahihkan oleh al-hakim).16 f.6. Asas keenam sejalan dengan firman Allah yang berbunyi: i0t Z0 A
**# #J0 g7 @A w157 hi0 56{q 0☺3 31*& (*!4⌧" i0☺3 WF! xF ,# !F300q @ @ hi0 ⌧ 0☺3 &l q/ Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka”. (Q.S. al-Nisa ayat 43) Pencatatan perkawinan juga merupakan salah satu asas dalam Undang-Undang Perkawinan, yang diatur pelaksanaannya dalam peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975, dan diikuti perumusan yang lebih rinci dalam kompilasi hukum Islam. Dibawah ini akan dikutip pasal-pasal yang mengatur pencatatan perkawinan. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menegaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanitasebagai suami isteridengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdsarkan ketuhanan Yang Maha Esa.Selanjutnya dalam pasal 2 diatur tentang keabsahan perkawinan, yaitu ayat (1).”perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Ayat (2) menyatakan” tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dalam versi kompilasi hukum Islam pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 5 dan 6. namun karena pencatatan perkawinan 16
168
Al-san’any, Terjemah Subul al-Salam , ( kairo: Dar Ihya al-Turas al-Araby, 1960, juz 3), h.
adalah merupakan syarat administratif, dibawah ini dikutip ketentuan keabsahan perkawinan. Pasal 2 : perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan atau akad yang sangat kuat atau mitsaqon galidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pasal 3 : perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah(tentram, cinta dan kasih sayang).17
2. Prinsip-prinsip Perkawinan Ada beberapa prinsip perkawinan menurut agama Islam, yang perlu diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti dalam hidup manusia melaksanakan tugasnya mengabdi pada Tuhan. Dan adapun prinsip-prinsip perkawinan dalam island itu adalah :18 1. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama. Sebagaimana dimuka telah dijelaskan bahwa perkawinan adalah sunnah Nabi, itu berarti bahwa melaksanakan perkawinan itu pada hakekatnya merupakan pelaksanaan dari ajaran agama. 2. Kerelaan dan persetujuan Sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang hendak melangsungkan
perkawinan
adalah
“Ikhtiyar”(tidak
dipaksa)
pihak
yang
melangsungkan perkawinan itu dirumuskan dengan kata-kata kerelaan calon isteri dan suami atau persetujuan mereka. 3. Perkawinan untuk selamanya
17
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Bandung: Citra Umbara, 2007 ),
18
Departemen Agama RI, Ilmu Fikih ( Jakarta: 1984/1985, Cet. Ke 2 ), h. 69
h.228
Tujuan perkawinan antara lain untuk dapat berketurunan dan untuk ketenangan, ketentraman dan cinta serta kasih saying, kesemuanya ini dapat dicapai hanya dengan prinsip bahwa perkawinan adalah untuk selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja. Itulah prinsip perkawinan dalam Islam yang harus atas dasar kerelaan hati dan sebelumnya yang bersangkutan telah melihat lebih dahulu sehingga nantinya tidak menyesal setelah melangsungkan perkawinan dan dengan melihat dan mengetahui lebih dahulu akan dapat mengekalkan persetujuan suami isteri. 4. Monogami dan Poligami Monogami artinya seorang kawin dengan satu isteri, sedang poligami artinya seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu isteri. Dan sebaliknya seorang wanita yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut” poliandri” Islam membolehkan kawin poligami, tetapi membatasi jumlahnya tidak lebih dari empat dan dengan syarat harus berlaku adil. 5. Suami sebagai penanggung jawab umum dalam rumah tangga Dalam hukum Islam, tidak selamanya wanita dan pria mempunyai hak dan kewajiban yang sama, adakalanya wanita lebih besar hak dan kewajibannya dari pria dan adakalanya pria lebih besar hak dan kewajibannya dari wanita. Apabila seorang wanita dan pria melakukan perkawinan maka masing-masing tetap membawa hak dan kewajibannya sebagai mukallaf, tetapi dalam perkawinan itu masingmasing merelakan sebagian haknya dan menaggung kewajiban baru, disamping mendapatkan hak-hak baru dari masing-masing pihak. Masing-masing harus merelakan hak, seperti hak kebebasan seperti sebelum berumah tangga, masing-masing mendapatkan hak seperti hak memenuhi kebutuhan biologisnya, hak mendapat warisan
satu dari yang lain bilasalah satu meninggal dunia. Demikian juga masing-masing mendapat kewajiban baru seperti, suami wajib melindungi isteri dan anak-anaknya, suami wajib memberikan nafkah. Dan wajib melayani keperluan suami sesuai dengan ketentuan yang ada. Sekalipun suami isteri masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang telah ditentukan, namun menurut ketentuan hukum Islam, suami mempunyai kedudukan lebih dari isteri, sesuai firman Allah dalam sutah an-Nisa ayat 34 yang berbunyi: i0t Z0 A
**# #J0 g7 @A w157 hi0 56{q 0☺3 31*& (*!4⌧" i0☺3 @ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka(Q.S an-Nisa ayat 34). Ketentuan kedudukan suami lebih tinggi dari isteri bukan berarti bahwa suami berkuasa atas isteri, kelebihan suami atas isteri dalam rumah tangga, karena suami adalah pemimpin rumah tangga. Sudah sewajarnyalah pemimpin mempunyai hak dan kewajiban yang lebih dari warga yang ada dalam rumah tangga, disamping pada umumnya laki-laki dikaruniai jasmani lebih kuat dan pada umumnya karena beban tanggung jawab nafkah keluarga ada ditangan suami. Dan apabila disesuaikan dengan landasan falsafah pancasila dan landasan UndangUndang Dasar 1945, sebagaimana Undang-Undang Perkawinan selain kompilasi harus mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 juga dituntut mampu menampung segala kenyataan yang hidup di dalam masyarakat dewasa ini. Atas dasar pemikiran diatas itulah, perkawinan yang diatur dalam kompilasi menentukan prinsip-prinsip perkawinan yang antisipatif terhadap perkembangan dan tuntutan zaman. Prinsip-prinsip perkawinan tersebut adalah : a) Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresipir dalam hukum adat b) Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat c) Bagi
orang-orang
Indonesia
asli
yang
beragama
Kristen
berlaku
Huwelijkosordonantie Cristen Indonesia d) Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan warga Negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan kitab Undang-Undang hukum perdata dengan sedikit perubahan e) Bagi orang-orang timur asing lainnya dan warga keturunan timur asing lainnya tersebut berlaku hukum adapt lainnya f) Bagi orang-orang eropa dan warga Negara Indonesia keturunan eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku kitab undang-undang hukum perdata.19 3. Syarat-Syarat Perkawinan Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena dengan perkawinan, dapat mengurangi maksiat penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina. Oleh karena itu, bagi mereka yang berkeinginan untuk menikah, sementara perbekalan belum siap, dianjurkan berpuasa. Dengan berpuasa, diharapkan dapat membentengi diri dari perbuatan tercela yang sangat keci, 19
Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h.55
yaitu perzinahan. Yang dinyatakan dalam hadits riwayat dari Abdullah ibn Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda :
DK& عM6 ا:& ب$5 ا اI3& ی: !لD#6 وF#1 > ا0H 9$ ا:1 د%35& : >$1 :1 وF FR م%P F#3R عOM5 یD :&"ج و# :P' واP$# BQ اFR وجM#R ءة$ا ( F#1 S"M& ) ء Artinya: ”wahai kaum muda, barang siapa diantara kamu menyiapkan bekal, nikahlah, karena sesungguhnya nikah dapat menjag penglihatan dan memelihara farji. Barangsiapa tidak mampu maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa dapat menjadi benteng ( muttafaq ‘alaih )20 Perkawinan merupakan wadah penyaluran kebutuhan bioligis manusia yang wajar, dan dalam ajaran Nabi, perkawinan ditradisikan menjadi sunnah beliau. Hadis riwayat dari Anas ibn Malik, bahwa Nabi SAW. Memuji Allah dan Anas melihatnya dan beliau bersabda: (F#1 S"M& ) 9& T#R 9M6 :1 UQ ر:R ء5 واوج اRم وا%H وام وا9#H ا:K Artinya: “Akan tetapi aku shalat, tidur, pusa, berbuka, dan aku menikahi perempuan. Maka barangsiapa membenci sunnahku, maka ia bukan termasuka golonganku (muttafaq ‘alaih)21
Karena itulah, perkawinan yang syarat nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan urumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahma, perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu, agar tujuan disyariatkannya perkawinan tercapai. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai syarat dan rukun perkawinan menurut hukum Islam, maka akan dijelaskan sebagai berikut: a. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya:
20 21
Al-san’any, Terjemah Subul al-Salam, h. 109 Ibid, h. 110
1)
Beragama Islam
2)
Laki-laki
3)
Jelas orangnya
4)
Dapat memberikan persetujuan
5)
Tidak terdapat halangan perkawinan
b. Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya: 1)
Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani
2)
Perempuan
3)
Jelas orangnya
4)
Dapat dimintai persetujuan
5)
Tidak terdapat halangan persetujuan
c. Wali nikah, syarat-syaratnya: 1)
Laki-laki
2)
Dewasa
3)
Mempunyai hak perwalian
4)
Tidak terdapat hak perwalian
d. Saksi nikah, syarat-syaratnya: 1) Minimal dua orang laki-laki 2)
Hadir dalam ijab qabul
3)
Dapat mengerti maksud akad
4)
Islam
5)
Dewasa
e. Ijab Qabul, syarat-syaratnya:
1)
Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2)
Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai
3)
Memakai kata-kata nikah, tazwij, atau terjemahan dari kata nikah atau tazwij
4)
Antara ijab dan qabul bersambungan
5)
Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
6)
Orang yang berkait dengan ijab dan qabul tidak sedang dalam ihram haji / umrah
7)
Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum orang, yaitu : calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.22 Sedangkan
dalam
Undang-Undang
Perkawinan
mengatur
syarat-syarat
perkawinan dalam bab II pasal 6 yang berisi sebagai berikut: 1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai 2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum memcapai umur 21 ( dua puluh satu ) tahun harus mendapat izin kedua orang tua 3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin diperolewh dari wali, orang yang memelihara atau
22
Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, h. 71-72
keluarga yang mempumyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah satu seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerahhukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2),(3) dan (4) pasal ini. 6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.23 Hukum Islam di Indonesia menentukan salah satu syarat-syarat perkawinan adalah persetujuan calon mempelai, yang tertera dalam pasal 6 ayat 1 kompilasi hukum Islam, persetujuan ini sangat penting agar masing-masing suami isteri memasuki gerbang perkawinan dan berumah tangga, benar-benar dapat dengan senang hati membagi tugas, hak dan kewajibannya secara profesional.dengan demikian, tujuan perkawinan dapat tercapai. Menurut hemat penulis, persetujuan calon mempelai merupakan hasil dari peminangan (khitbah). karena persetujuan, tidak mungkin-atau setidak-tidaknya sulitdilakukan apabila masing-masing calon tidak mengenal atau mengetahuinya.Dalam tahap awal, persetujuan dapat di ketahui melalui wali calon mempelai wanita, dan pada tahap akhir dilakukan petugas atau pegawai pencatat,sebelum akad nikah dilangsungkan. Dijelaskan dalam sabda Rasululullah SAW. riwayat dari Ibn’Abbas ra yang berbunyi : ( D#5& G ) روا%K6 & واذM5 K$ و وا:& 5" S' اUVا 23
Departemen Agama, Undang-Undang Perkawinan, h. 4
Artinya: Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan kepada gadis (parawan) dimintai persetujuannya, dan prsetujuannya jika di mintai,(gadis itu) diam (Riwayat muslim). Berdasarkan dari kutipan hadis di atas, kompilasi merumuskannya dalam pasal 16 ayat (2) :”Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti sela tidak ada penolakan yang tegas”. Sebagai pengukuhan adanya persetujuan calon mempelai pagawai pencatat menanyakan kepada mereka.sebagaimana diatur dalam pasal 17 Kompilasi Hukum Islam: (1)
Sebelum berlangsungnya perkawinan, pagawai pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.
(2)
Bila ternyata perkawinan tidak di setujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.
(3)
Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
Sedangkan masalah penentuan umur dalam Undang-Undang Perkawinan maupun dalam kompilasi, memang bersifat ijtihadiyah, sebagai usaha pembaharuan pemikiran fikih yang lalu. Namu demikian, apabila dilacak referensi syar’i nya mempunyai landasan kuat. Misalnya isyarat Allah dalam surat al-Nisa ayat 9 yang berbunyi: (*P J * #Ki0 tl& (*7q# 0|7o ,= ?7D w31q\ Ki0 (*!4 lqq 31&2 . c_ _ ,M*# (**!4l& Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar( Q.S. an-Nisa ayat 9) Ayat tersebut memang bersifat umum, tidak secara langsung menunjukan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh pasangan usia muda atau dibawah ketentuan yang diatur
Undang-Undang No 1 tahun 1974, akan menghasilkan keturunan yang dikhawatirkan kesejahteraannya. Akan tetapi berdsarkan pengamatan berbagai pihak, rendahnya usia kawin, lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan tujuan perkawinan, yaitu terwujudnya ketentraman dalam rumah tangga berdasarkan kasih dan sayang. Tujuan ini tentu akan sulit terwujud, apabila masing-masimg mempelai belum masuk jiwa dan raganya. Kematanga dan integritas pribadi yang stabil akan sangat berpengaruh di dalam menyelesaikan setiap problem yang muncul dalam menghadapi lika-liku dan badai rumah tangga. Karena banyak kasus yang menunjukan banyaknya perceraian cenderung didominasi akibat perkawinan dalam usia muda. 24
24
Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, 76-78
BAB III MURTAD DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP PERKAWINAN
A. Konsepsi Umum Tentang Murtad Pada zaman modern ini, kebebasan adalah termasuk dalam Hak Asasi Manusia. Kebebasan dalam hal ini dapat diartikan lebih lanjut dalam persoalan agama, sehingga menimbulkan arti bahwa agama adalah hak azasi seseorang dalam menentukan dan memilihnya. Islam sebagai agama juga telah menerangkan bahwa: “Tidak ada paksaan dalam agama” Banyak kalangan yang menafsirkan bahwa ayat ini menyatakan tidak ada paksaan dalam memilih agama sehingga perbuatan murtad tidak dipersalahkan atau diperbolehkan. Penafsiran seperti ini sangat tidak beralasan karena menurut penulis ayat ini menerangkan bahwa benar tidak ada paksaan dalam beragama, namun jika seseorang telah memilih Islamsebagai agamanya, maka ada ikatan dan kewajiban yang harus ia lakukan dan taati dengan sepenuhnya, dan salah satunya adalah persoalan pelarangan pindah kepada agama lain (murtad) dan akibat hukumnya. Persoalan kemurtadan seseorang dianggap sebagai suatu hal khusus dan penting jika dikaitan dengan perkawinan. Ada kesepakatan umum bahwa ikatan perkawinan tidak dapat mengikat wanita muslimah dengan seorang laki-laki yang bukan Islam. Tetapi timbul kesukaran bila wanita itu menjadi murtad, sebagai salah satu cara untuk melepaskan diri dari suami yang tidak baik, yang kejam atau yang tidak mereka sukai. Melihat fenomena yang banyak terjadi, perlu kiranya dibahas mengenai persoalan murtad 36 dalam bab ini, yang akan diterang sejelasnya mengenai persoa
35
Murtad adalah suatu kata yang jika terjadi akan mengakibatkan terjadinya putus terhadap sebuah perkawinan, sebagaimana yang dituangkan dalam Undang-UndangNo.1 tahun 1974 tentang Perkawinan maupun di dalam Kompilasi Hukum Islam(KHI). Untuk memperluas pengetahuan mengenai konsepsi murtad dan hubungannya dengan perkawinan akan dibahas dalam bab ini. Murtad yang dimaksud dalam penulisan skripsi adalah peralihan agama atau perpindahan agama dari agama Islamkepada agama non-Islam. Namun peralihan atau perpindahan dari agama non-Islam kepada agama non-Islam lainya bukanlah dinamakan murtad karena mereka tetap dalam keadaan kafir dan perpindahan dari agama Islam ke agama lain sama dengan pindah dari kebenaran ke wadah yang tidak benar. Hal ini berdasarkan firman Allah Q.S. Ali Imran ayat 85 yang berbunyi: 0ZZ 2 F0 QJ⌧Y E ; J\.0 A3B *7 Z 56 9&4 q \ J &0 \ Artinya: Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. Murtad adalah merupakan dosa besar yang dapat menghapus amal-amal saleh sebelumnya Hukuman yang diancam oleh Allah sesuai dengan firman-Nya, dalam surat al-Baqarah ayat 217, yang berbunyi: , 2 , 2_J Ccdefeq ⌦Jq#5 *7 F☺2q 0l"?_0 A3B w17☺ F~3C ~ Ccdef ( ; J\.0
!03\ 012q 7 ( ?0<,0 Artinya: Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Dan hadist Nabi saw yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw bersabda: ( يW&M اG ) رواG%#M R F ل دی:& Artinya : “Barangsiapa menganti agamanya (Islamnya), maka bunuhlah ia”.( H,R. AtTirmidzi) Karena sesungguhnya Allah SWT mewajibkan kepada seluruh hamba-Nya untuk masuk kedalam dinul islam dan berpegang teguh dengannya,serta mewaspadai segala sesuatu yang akan menyimpangkan mereka dari din yang suci ini.dia mengutus nabiNya,Muhammad SAW, dengan amanat da`wah yang suci dan mulia.Allah juga telah mengingatkan hamba-Nya, barang siapa yang mengikuti seruan para rasul itu, maka dia telah mendapatkan hidayah ; dan siapa yang berpaling dari seruannya, maka ia telah tersesat. Di dalam kitabullah, dia mengingatkan manusia tentang perkara-perkara yang menjadi sebab “ riddah “ (murtad dari dinul islam ) dan perkara-perkara yang termasuk kemusyrikan dan kekefiran . beberapa ulama rahimahumullah selanjutnya menyebutkan periagatan-peringatan Allah itu dalam kitab-kitab mereka. Mereka mengingatkan bahwa sesungguhnya seorang muslim dapat di anggap murtad dari dinul islam di sebabkan beberapa hal yang bertentangan, sehingga menjadi halal darah dan hartanya. Di antara sekian banyak hal yang dapat membatalkan keislaman seseorang , syaikh Al imam Muhammad bin Abdul wahab, serta beberapa ulama lainnya menyebutkan sepuluh hal yang bertentangan yang paling berbahaya dan paling banyak di lakukan oleh ummat islam. Dengan mengharap keselamatan dan kesejahteraan dari-Nya, kami paparkan dengan ringkas sebagai berikut:
1.Mengadakan persekutuan dalam beribadah kepada Allah. dalam kaitan ini, Allah berfirman: 3 ⌧aQR J& 5M Ki0 <34 ☺ D
2 0 J& _4q i003 a3QR @ yi0 ; moop c_l7 ⌧to <6to Artinya : Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendakiNya. barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah tersesat sejauh-jauhnya. ¡J _4q i003 a3QR d"34 ( ¢qe =
petunjuk selain yang datang daru Nabi Muhammad lebih
sempurna dan lebih baik , menganggap suatu hukum atau undang - undang lainnya lebih baik di bandingkan syariat Rasulullah , serta lebih mengutamakan hukum thaghut di bandingkan ketetapan Rasulullah .
5 .Membenci sesuatu yang datangnya dari Rasulullah , meskipun di amalkannya . Dalam hal ini Allah berfirman : i0
(*7J⌧P
w1d"e3
CD
mp w1☺ ⌧¥ C eq hi0 ¤" Artinya : Yang demikian itu adalah Karena Sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Quran) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amalamal mereka.
6. Mengolok- olok sebagian dari Din yang di bawa Rasulullah, misalnya tentang pahala atau balasan yang akan di terima . Allah berfirman :
y¤¦ ☺ 6
i003 w.ZP
67#
3i*?
_7 UJ⌧⌧P _# (y?l 7 5M m3p mp @ wZ☺ 34 Artinya : “…Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?"Tidak usah kamu minta maaf, Karena kamu kafir sesudah beriman …” 7. Mengutamakan orang kafir serta memberikan pertolongan dan bantuan kepada orang musyrik lebih dari pada pertolongan dan bantuan yang di berikan kepada kaum muslimin .Allah berfirman , yang artinya : “…Barang siapa di antara kamu, mengambil mereka orang-orang musyrik menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang dzalim,’’( Al-maidah ayat 5 )
8.Berpaling dari dinullah, baik karena dia tidak mau mempelajarinya atau karena tidak mau mengamalkanny. Hal ini berdasarkan firman Allah yang berbunyi: F 0 3 J/P7D V☺ & 0d"34 @ i01Z §: w7w 3? mnnp *☺4 ., ^J]☺&0 \ Artinya: Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang Telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, Kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.( As- sajadah ayat 22 )
Dari contoh murtad yang ada dalam penjelasan di atas, dapat disimpulan terjadinya murtad disebabkan karena tiga sebab: 1. Perbuatan yang mengkafirkan, seperti sujud pada berhala, menyembah bulan, batu dan lain-lain. 2. Perkataan yang mengkafirkan, seperti menghina Allah atau rasul-Nya, begitu juga memaki salah seorang Nabi Allah. 3. Itikad (keyakinan) seperti mengitikadkan alam kekal, Allah baru, menghalalkan zina, menghalalkan minuman arak, begitu juga mengharamkan yang disepakati ulama akan halalnya. B. Kedudukan Murtad Dalam Perkawinan Murtad mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan seseorang, terutama dalam hubungannya dengan masyarakat seperti perkawinan, hak waris dan hak-hak lainnya. Di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat mengenai larangan perkawinan yang mengakibatkan adanya pencegahan dan pembatalan perkawinan. Larangan perkawinan itu dijelaskan antara lain pada Pasal 8 butir f yaitu
perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. 25 Kompilasi Hukum Islam juga menuangkan hal tersebut pada Pasal 40 yakni dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain. b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain. c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.26 Kemudian pada Pasal 44 diterangkan bahwa “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Di dalam Islam juga dikenal pernikahan yang tidak sah antara lain: 1. Pernikahan mut’ah, yaitu nikah yang tujuannya semata-mata untuk melepaskan hawa nafsu belaka, untuk bersenang-senang dan diadakan waktu tertentu; sebentar atau lama. Nikah mut’ah ini pernah dihalalkan oleh Rasulullah saw di zamannya, kemudian beliau mengharamkan untuk selamalamanya. 2. Pernikahan syiqhar, yaitu nikah tukar yaitu seorang laki-laki menikahkan seorang wanita yang di bawah perwaliannya dengan laki-laki lain, dengan perjanjian bahwa laki-laki lain itu menikahkan pula seorang wanita yang di bawah perwaliannya dengan laki-laki itu tanpa kesediaan membayar mahar.27 Contoh si A menikahkan dengan putrinya dengan si B dengan syarat si B
25
Departemen Agama, Undang-Undang Perkawinan, h. 6 Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, h. 241 27 Kamal Muchtar, Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974, Cet.
26
1), h.110
menikahkan putrinya dengannya, baik keduanya menyebutkan maharnya kepada pihak satunya atau tidak menyebutkan. 3. Pernikahan muhallil, yaitu nikah yang tujuannya untuk menghalalkan bekas isteri yang telah ditalak tiga kali bagi suami yang telah mentalaknya itu, sehingga mereka dapat nikah kembali. Menurut Islam seorang wanita ditalak tiga dan suaminya diharamkan rujuk kepadanya, kecuali bekas isteri telah nikah dengan laki-laki lain dengan perkawinan yang sebenarnya kemudian bercerai atau suami keduanya meninggal dunia dan telah habis masa iddahnya. Dari penggolongan ini timbul pertanyaan mengenai murtad, apakah mereka tidak termasuk musyrik ataukah masuk ke dalam golongan musyrik. Dalam permasalahan ini ada berbagai pandangan sehingga timbul perbedaan apakah hukum menikahi mereka: 1. Hukum menikahkan wanita muslim dengan laki-laki non muslim. Seluruh ulama sejak masa sahabat sampai abad modern ini dan insya Allah sampai hari kiamat sepakat bahwa wanita Islam haram hukumnya kawin dengan pria non-muslim. Pada surat al-Baqarah ayat 221 menunjukan keharamannya. Keharaman itu mutlak artinya wanita Islam secara mutlak haram menikah dengan laki-laki yang bukan beragama Islam baik itu laki-laki musyrik atau ahli kitab. 28 Tujuan larangan ini adalah agar tidak terjadi penguasaan hak oleh suami yang non muslim atas isterinya yang muslim. Dan ini juga untuk menjaga martabat perempuan muslim. Dan hal yang paling penting dikhawatirkan adalah sikap wanita yang lemah, 28
Teungku, Muhammad Hasbi, Hukum Antar Golongan, ( Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet. 1 ). h. 94
sehingga mudah terpengaruh oleh prilaku lelaki yang menjadi suaminya. Perintah ini ditujukan kepada para wali untuk tidak menikahkan wanita muslimah kepada laki-laki yang tergolong kafir musyrikin, keharaman ini tidak ada pembatasan atau pengikatnya. Dan apabila sempat terjadi pernikahan antara seorang lelaki non muslim dengan perempuan muslim, seluruh ulama sepakat menetapkan bahwa perkawinan itu harus dibatalkan, dan mereka harus dipisahkan , namun para ulama ini tidak menetapkan hukuman yang dijatuhkan kepada lelaki non muslim tersebut. 2. Hukum menikah pria muslim dengan wanita bukan Islam. a. Dengan wanita musyrikah Agama Islam melarang seorang pria muslim kawin dengan wanita musyrik, yaitu wanita yang menyekutukan Allah dengan yang lain seperti penyembah berhala, dewa-dewa atau ruh-ruh (animisme). Secara mutlak hukum perkawinan dengan wanita musyrik adalah haram. Sesuai dengan Q.s. alBaqarah ayat 221.yang berbunyi:
5M (*, F⌧P3QR☺&0 @STU V @ W= X Y=;Z[ WQJ\ C=⌧P3QR[ * 9] 5M (*,7 B^P3QR☺&0 @STU (*, @ S_C7 [ WQJ\ Ca3QR[ * 9] Ccdef *_ Ag34 ?0<,0 ( hi0 ()*_ Ag34 =
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.( Q. S. al-Baqarah ayat 221 )
b. Dengan wanita atheis Perkawinan seorang muslim dengan wanita atheis hukumnya haram. Hal ini berdasarkan mafhum dari surat al-Baqarah ayat 221. Seorang atheis sama sekali tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan demikian ia tidak mempunyai agama, tidak mempercayai hari akhir, kitab suci maupun nabi-nabi Allah. Apabila seorang muslim dilarang untuk menikahi wanita musyrikah penyembah berhala yang secara umum masih mengakui adanya Tuhan, maka sudah tentu mengawini wanita atheis lebih buruk keharamannya. c. Dengan wanita murtaddah Mengawini wanita murtad hukumya juga haram. Yusuf Al Qardhawi menyamakan wanita murtad dengan wanita musyrikah yang haram untuk dikawini. Seorang wanita yang murtad dari agama Islamdipandang tidak beragama sekalipun ia pindah kepada agama samawi. Sehingga menikah dengan wanita yang tidak beragama samawi tergolong musyrikat dan termasuk ke dalam larangan umum. [Q.S. al-Baqarah ayat 221].
Perbuatan murtad adalah dosa besar. Orang murtad tidak berhak mendapat bantuan apapun dari masyarakat Islam, tidak boleh melakukan perkawinan dengan mereka, baik baru berumah tangga maupun melanjutkannya. Dalam hukum Islam, seseorang yang murtad dijatuhi hukuman mati. Tentu setelah diberikan kesempatan untuk bertaubat, “Barangsiapa yang mengganti agamanya, bunuhlah ia”. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan Tirmidzi. Berarti wanita yang murtad seyogyanya dihukum mati menurut jumhur ulama, apabila hukum Islamditerapkan. Sementara Imam Hanafi berpendapat cukup dipenjara dan tidak perlu dibunuh. Seorang muslim tidak diperbolehkan mengawini golongan murtaddah ini karena pada hakikatnya mereka sudah tidak punya hak untuk hidup. Apabila murtadnya di tengah-tengah perkawinan maka perkawinannya menjadi fasakh (rusak). Ia harus diceraikan. Jadi apabila ada pasangan suami isteri muslim, salah satunya baik suami atau isteri keluar dari agama Islammenuju agama apapun atau sama sekali tidak beragama, maka perkawinannya menjadi batal.29 Berkaitan dengan pasangan suami isteri yang berpindah agama, ada beberapa hukum penting yang wajib menjadi perhatian: 1) Jika suami isteri keduanya kafir kemudian setelah bersetubuh, isteri masuk Islam sedang suaminya tetap kafir, maka nafkah isteri tidak gugur, sebab yang terhalang unutuk menikmati isteri adalah dari pihak suami padahal kalau suami mau menghilangkan halangan hukum dengan masuk Islam, ia dapat kembali menggauli isterinya, karena itulah nafkah isteri tidak gugur.30 2) Bila pasangan suami isteri kafir hanya satu yang masuk Islam maka: 29
Abdul, Mutaal, Perkawinan Campuran Menurut Hukum Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1988) h. 8 30
Sayyid, Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung, PT. al-Ma’arif, 1996, jilid VII), h. 78
a) Seorang suami yang memiliki isteri ahli kitab kemudian laki-laki tersebut masuk Islamsedang wanitanya tidak maka keduanya tetap pada pernikahannya. Hal ini karena dalam Islammenurut jumhur ulama seorang muslim boleh menikahi wanita ahli kitab. Pasangan suami isteri ini masih bisa melanjutkan rumah tangganya. b) Suami isteri kafir yang bukan ahli kitab kemudian salah satunya masuk Islammaka perkawinannya menjadi batal. Apabila salah satu
masuk
Islamsebelum masa idddah selesai maka bisa bersatu tanpa akad baru. Namun apabila yang satu lagi masuk Islamnya setelah selesai masa iddah, maka jumhur ulama keduanya boleh kembali dengan akad nikah yang baru. c) Bila wanita kafir dan bersuami laki-laki kafir yang keduanya bukan ahli kitab, kemudian sang wanita masuk Islamsebelum terjadinya hubungan badan, maka perkawinan mereka menjadi batal. d) Bila pasangan muslim salah satu suami atau isteri murtad bila masuk agama Yahudi atau Nasrani atau agama lainnya atau tidak beragama, maka keduanya harus dipisahkan karena perkawinannya batal, kecuali dia bertaubat masuk Islam kembali sebelum masa iddah, bila taubat setelah masa iddah maka adanya harus diulang lagi.31 Sehingga timbul pertanyaan bagaimanakah menikah dengan wanita dari golongan mereka? Jawaban dari pertanyaan ini adalah mengawini wanita dari golongan mereka adalah haram, meskipun yang mereka punyai kitab yang berisi kebaikan-kebaikan atau berisi kata-kata bijak dan mempunyai nabi yang diakui sebagai perintis agama tersebut,
31
Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama Dalam Syariat Islam. (Jakarta, PT. Khairil Bayan Tahun 2003, Cet. 1), h. 46-47
keberadaan mereka termasuk di dalam golongan musyrik karena di dalam al-Quran maupun sunnah yang menjelaskan keberadaan mereka, maka kembali kepada hukum umum, sebagaimana yang telah diterangkan oleh al-Quran bahwa orang kafir selain ahli kitab adalah musyrik. Persoalan perkawinan beda agama seringkali diremehkan dengan menggunakan taktik murtad. Dan biasanya untuk mengakali pihak keluarga atau catatan sipil, sang suami pura-pura masuk Islam. Orang tua akan merasa senang karena sang anak bisa menarik calon suaminya memeluk agama Islam, demikian pula dengan keluarganya. Hal demikian ini juga tidak selalu mulus karena belum tentu keluarga pasangan pria menerima murtadnya salah satu keluarga mereka. Setelah selesai menikah beberapa bulan atau tahun sang suami pindah ke agama semula. Perbuatan pindah agama sementara itu, apakah hanya untuk melegalisasi perkawinannya atau punya tujuan lain seperti kristenisasi, tidak akan berhasil andai kata sang isteri yang muslimah punya pendirian yang teguh. Telah diketahui bahwa ulama sepakat bahwa riddahnya atau murtadnya (keluar dari agama Islam) seseorang dari suami isteri menyebabkan putusnya ikatan perkawinan, tetapi mereka berbeda pendapat dalam menggolongkan apakah termasuk talak atau termasuk fasakh. Di Indonesia putusnya ikatan perkawinan karena riddahnya seseorang dari suami isteri termasuk fasakh dan dilakukan di depan Pengadilan Agama. “Pengadilan Agama hanya dapat menerima riddahnya seseorang jika orang itu menyatakan sendiri dengan tegas di depan Pengadilan Agama itu bahwa ia keluar dari agama Islam.”
C. Konsepsi IslamTentang Murtad Dalam Perkawinan
Bagi seorang muslim yang menjalani perkawinan yang tidak sah, masyarakat akan mengucilkan dirinya dan keluarganya. Masyarakat muslim saat ini, terutama di daerah perdesaan masih sangat sensitif kalau ada pasangan beda agama, apalagi jika pasangan muslim tersebut sampai pindah agama ikut suami atau isterinya. Masyarakat masih menganggap hal tersebut sebagai aib baginya. Kalaupun tidak mengucilkan mungkin masyarakat tidak akan mempergaulinya dengan baik. Para ulama sepakat bahwa bentuk kekufuran yang paling buruk adalah kemurtadan (ar-riddah), kufur setelah Islam adalah lebih buruk daripada kufur yang asli. Musuh Islam akan tetap berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengembalikan kekufuran kepada pada pemeluk Islam. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 217, yang berbunyi: “...mereka tidak henti-hentinya, memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Kemudian Allah menjelaskan balasan orang yang mengikuti musuh yang menyesatkan dari ajaran agama itu dengan firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 217 yang berbunyi: , 2 , 2_J @ Ccdefeq ⌦Jq#5 *7 F☺2q 0l"?_0 A3B w17☺ F~3C ~ Ccdef ( ; J\.0 mno£p
!03\ 012q 7 ( ?0<,0 Artinya : “barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” Kemurtadan dianggap sebagai pengkhianatan kepada Islam, karena di dalamnya terkandung desersi, pemihakan dari satu umat kepada umat yang lain. Ia serupa dengan
pengkhianatan terhadap negara, karena dia menggantikan kesetiaan kepada negera lain, kaum yang lain.32 Kemurtadan bukan sekadar terjadinya perubahan pemikiran, tetapi perubahan pemberian kesetiaan dan perlindungan, serta keanggotaan masyarakatnya kepada masyarakat yang lain yang bertentangan dan bermusuhan dengannya. Islam menerapkan sikap yang tegas dalam menghadapi kemurtadan, khususnya bila para pelaku menyatakan kemurtadan diri mereka, dan menjadi pembantu pihak lain untuk melakukan kemurtadan. Karena sesungguhnya mereka merupakan bahaya yang sangat serius terhadap identitas masyarakat dan menghancurkan dasar-dasar aqidahnya. Syaikh Islam, Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa usaha melakukan kerusakan di muka bumi dengan cara menyebarkan kekufuran dan keraguan terhadap agama Islam adalah lebih berat daripada melakukan kerusakan dengan cara mengambil harta benda dan menumpahkan darah.33 Penulis menjelaskan semua ini diakhir bab sebagai renungan tentang bahayanya murtad dan pengaruh yang akan diakibatkan oleh murtad, usaha untuk menekan angka murtad harus dilakukan sejak dini oleh para ulama dan generasi muda Islam. D. Status Hukum Apabila Salah Satu Pasangan Murtad 1. Menurut Fikih Islam Ikatan perkawinan yang kekal dan abadi sepanjang masa merupakan harapan dan cita-cita bagi setiap pasangan suami isteri, keabadian tersebut diwujudkan dalam bentuk keluarga yang harmonis, damai dan sejahtera.
32
Yusuf al-Qardhawy, Fiqh Prioritas; Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Quran Dan AsSunnah [Fi Fiqhil Aulawiyat, Dirosah Jadiidah Fii Dhou’il Qur’an was Sunnah], diterjemah oleh Bahruddin F, cet.3 (Jakarta: Robbani Press, 2002), hal. 188. 33 Ibid, h. 189
Oleh karena iti antara suami isteri perlu saling saling membantu dan melengkapi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan bagi keluarganya, baik kebahagiaan spiritual maupun material. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Usaha untuk mempersukar perceraian itu hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan dengan disertai alasan-alasan tertentu sebagaimana yang telah diterapkan oleh Undang-Undang Perkawinan tersebut. Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikianlah bunyi pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. dari bunyi pasal tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa sahnya suatu perkawinan semata-mata didasarkan pada ketentuan hukum agama dari yang bersangkutan. Jadi, apabila ada perkawinan yang menyimpang dari norma-norma agama yang dipandang sebagai sesuatu yang menyalahi hukum agama. Perkawinan itu juga harus dicatatkan pada pegawai pencatat nikah. Perkawinan yang demikian itulah yang dianggap sah, baik oleh hukum agama maupun oleh hukum Negara. Di atas telah dijelaskan bahwa suatu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing dan kepercayaannya. Ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa suatu perkawinan menjadi fasakh (batal) apabila ada suatu kejadian, yaitu kejadian
yang mana menurut hukum agamanya dan kepercayaannya dapat menghilangkan keabsahan perkawinan tersebut. Menurut pandangan para ahli hukum fikih Islam, bahwa apabila dalam suatu perkawinan, salah satu pihak dari suami atau isteri berpindah agama/murtad, yaitu keluar dari agama Islam kepada agama selain agama Islam, maka perkawinannya menjadi fasakh (batal) dan keduanya harus segera dipisahkan. perpindahan agama/murtadnya salah satu pihak dari suami isteri merupakan suatu kejadian yang dapat mengakibatkan batal/putusnya ikatan perkawinan demi hukum yaitu hukum Islam.Karena suatu perkawinan dapat menjadi fasakh karena disebabkan oleh 2 hal yaitu: 1. Apabila salah seorang dari suami-isteri murtad dari Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya fasakh/batal, disebabkan kemurtadan yang terjadi belakangan ini. 2. Apabila suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi isteri tetap dalam kekafirannya, maka akadnya fasakh.34 Apabila suami atau istri murtad dari Islam, maka keduanya harus dipisahkan (diceraikan). Karena murtad adalah salah satu sebab keduanya harus dipisahkan berdasarkan
kesepakatan
para
ahli
fikih.
Akan tetapi, para ahli fikih berbeda pendapat dalam hal waktu, kapan dia harus dicerai, dan hukum batalnya akad nikah keduanya. Ada tiga pendapat yang populer dalamhalini,yaitu. PendapatPertama Akad nikah menjadi batal seketika itu juga, baik sebelum atau sesudah bersetubuh. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan salah satu dari dua riwayat yang ada 34
Sayid Sabiq, Fikih Sunnah. ( Bandung, PT. al-Ma’arif, jilid VIII, 1980, Cet. 1) h, 133
dari Ahmad. Pendapat ini diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, Umar bin Abdul Aziz, Ats-Tsauri,
Abu
Nur
dan
Ibnu
Al-Mundzir.
PendapatKedua. Apabila murtadnya sebelum melakukan persetubuhan, maka pernikahan tersebut batal seketika itu juga. Namun apabila murtadnya setelah melakukan persetubuhan, maka pembatalan pernikahannya ditangguhkan hingga masa iddahnya habis. Jika orang yang murtad itu kembali masuk Islam sebelum masa iddahnya habis, maka dia tetap pada status pernikahannya. Dan jika dia masuk Islam setelah masa iddahnya habis, maka antara keduanya telah dinyatakan cerai sejak dia murtad. Pendapat ini dianut oleh madzhab Syafi’iyah [4] dan Hanabaliyah dalam sebuah riwayat yang masyhur dari mereka
[5].
PendapatKetiga Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya,Ibnul Qayyim, apabila salah seorang dari pasangan suami-istri murtad, maka pernikahannya harus dibekukan. Apabila dia kembali masuk Islam, maka pernikahannya sah lagi, baik dia masuk Islam sebelum bersetubuh atau setelahnya, baik dia masuk Islam sebelum masa iddahnya habis atau sesudah masa iddahnya habis.35 Akan tetapi Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak mengatur bentuk-bentuk dan tata cara perceraian yang dikarenakan perpindahan agama/murtad dalam suatu perkawinan. Dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 38 hanya menggolongkan secara umum mengenai putusnya perkawinan kepada 3 golongan, yaitu: 35
http://www.almanhaj.or.id/content/2287/slash/0Apr 8, '08 4:30 AM
1. karena kematian 2. karena perceraian 3. karena putusan pengadilan Dan dalam pasal 39 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974, berbunyi: 1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami-isteri itu tidak akan dpat hidup rukun sebagai suami isteri Adapun perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain e. Salah satu pihak cacat badan atau penyakit dengan akibat-akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri. f. Antara suami dan isteri terus menerus menjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Berdasarkan pasal 38 dan 39 Undang-Undang No 1 tahun 1974, suatu perkawinan baru dapat putus, apabila pengadilan telah memutuskan melalui sidang pengadilan dengan disertai alasan-alasan yang diatur dalam pasal 19 PP No.9 tahun 1975, kecuali putusnya perkawinan karena kematian, karena tanpa diputuskan oleh pengadilan, perkawinan itu telah putus dengan sendiri akibat adanya kematian tesebut. Jadi, apabila salah seorang dari suami isteri keluar dari agama Islam(murtad), dan kemurtadan itu belum atau tidak diajukan ke pengadilan, dan pengadilan belum memutuskannya, maka perkawinan mereka masih dianggap sah dan berlaku. Berbeda halnya menurut hukum agama, maka perkawinan mereka tetap dianggap tidak sah. Dalam hal ini penulis berpendapat, apabila dalam rumah tangga mereka tidak ada pertengkaran ataupun perselisihan yang disebabkan karena peralihan agama yang terjadi oleh salah satu pihak, maka perkawinan mereka tetap fasakh dan harus segera diputuskan. 2. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Jika ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam, masalah mengenai perpindahan agama ini dilihat dari pasal 4 mengenai keabsahan perkawinan yang berbunyi :”perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam, sesuai dengan bunyi pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974. ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa suatu perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan keagamaan/kerohanian, oleh karena itu, setiap perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan. Perpindahan agama/murtad menurut kompilasi Hukum Islam merupakan suatu kejadian yang dapat menghilangkan keabsahan perkawinan, karena hal tersebut sangat
bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, yaitu adanya larangan perkawinan antara orang muslim dengan orang kafir. Ketentuan ini juga di perkuat dalam pasal 40 huruf c yang berbunyi: ”dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita karena keadaan tertentu, diantaranya seorang wanita yang tidak beragama Islam.”dan pada pasal 44 yang berbunyi:”seorang wanita dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.” Dilihat dari ketentuan bunyi pasal-pasal diatas dapat ditarik istinbath hukum bahwa, setiap perkawinan yang dilakkan bertentangan dengan hukum Islam adalah tidak sah. Begitu pula, apabila dihubungkan dengan masalah kemurtadan yang dilakukan oleh suami/isteri dalam perkawinan, hal tersebut dapat menyebabkan putus/fasakhnya ikatan perkawinan mereka. Dan dalam pasal 115 Kompilasi Hukum Islam:” perceraian hanya dapat dilakukan didepan siding pengadilan agama, setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” Menurut penulis, kata-kata “dapat” mengandung arti bahwa perceraian iti dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu, padahal seharusnya pasal tersebut tidak perlu menggunakan kata “dapat”, melainkan secara otomatis perceraian terjadi karena alasan-alasan tertentu. Dan adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perceraian diatur di dalam pasal 116 yang berbunyi: perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan seperti tersebut di bawah ini: a.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c.
Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e.
Salah satu pihak cacat badan atau penyakit dengan akibat-akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
f.
Antara suami dan isteri terus menerus menjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g.
Suami melanggar taklik talak.
h.
Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Berdasarkan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam, suatu perkawinan baru putus,
apabila pengadilan telah memutuskan melalui sidang pengadilan dengan disertai alasanalasan yang diatur dalam pasal 116 kompilasi hukum Islam, kecuali putusnya perkawinan karena kematian, karena tanpa diputuskan oleh pengadilan , perkawinan itu telah putus dengan sendirinya akibat kematian tersebut. Sedangkan berdasarkan pasal 116 huruf h Kompilasi Hukum diatas, bahwa perpindahan agama/murtad yang dilakukan oleh suami atau isteri dalam suatu perkawinan dapat dijadikan satu alasan untuk memfasakhkan perkawinan dengan mengajukan permohonan cerai ke pengadilan agama, maka hakim berhak untuk memfasidkan perkawinan dengan berdasarkan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Akan tetapi, apabila peralihan agama dalam suatu perkawinan, tetapi dalam hubungan perkawinan mereka tidak menimbulkan perselisihan dan pertengkaran, dengan kata lain rumah tangga mereka tetap dalam keadaan rukun dan damai, dan mereka tetap mempertahankan perkawinannya, maka para ulama sepakat bahwa perkawinan mereka tetap tidak sah, dikarenakan dalam pandangan hukum Islam hubungan yang dilakukan oleh orang muslim dan orang kafir adalah tidak halal dan hukumnya haram. Keharaman perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki bukan Islam ini berdasarkan pertimbangan kemudharatan. Hal ini dikarenakan setelah perkawinan wanita tersebut terikat kepada suaminya dan dibawah kekuasaannya.36
BAB IV MURTAD DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP ANAK DAN HARTA BERSAMA
A. Menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974) 36
Rahmat, Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung, PT. Pustaka Setia, 2000), h. 132
1.
Terhadap Status Anak Seorang anak dikatakan sah atau tidak, tergantung kepada sah atau tidaknya suatu
perkawinan yang menyebabkan lahirnya anak itu, dan tergantung juga kepada sah atau tidaknya perkawinan tersebut. Dalam hal ini diartikan bahwa perkawinanlah yang akan menentukan status anak sah atau tidak, jika suatu perkawinan itu sah, baik menurut hukum agama maupun Negara, maka anak yang akan dilahirkan mempunyai status anak sah, akan tetapi, apabila perkawinan dari kedua orang tuanya itu tidak sah, maka anak yang akan dilahirkannya sudah pasti akan mempunyai status anak yang tidak sah. Masalah kedudukan anak ini diatur dalam pasal 2 Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974, yang berbunyi :”anak yang sah, adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Dan dalam pasal 43 ayat 1 Undang-Undang No 1 tahun 1974, menjelaskan : Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan
ibunya dan keluarga ibunya. pasal 44, ayat 1 dan 2 Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan juga menetapkan: 1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan isterinya bilamana ia 56 dapat membuktikan bahwa isterinya yang telah berzina dan anak itu akibat dari pada perbuatan zina tersebut. 2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah atau tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Bersadasarkan pasal 42 Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974, bahwa anak dikatakan sah apabila ia lahir dari perkawinan yang sah. Apabila perkawinan (rumah tangga) yang di dalamnya telah terjadi kemurtadan pada salah satu pihak menurut pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 1 tahun 1974, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding pengadilan, begitu juga dengan kemurtadan yang terjadi pada salah satu pihak dan belum diajukan ke pengadilan, maka perkawinan (rumah tangga) tersebut
tetap dianggap
sah dan berlaku
karena pengadilan belum
memutuskannya. Karena perkawinan itu masih dianggap sah menurut Undang-Undang No 1 tahu 1974, maka, hubungan mereka juga tetap dianggap sah dan bukan sebagai perbuatan zina, begitu juga dengan anak-anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan tersebut adalah sah hukumnya. Dan karena anak tersebut dianggap sah, maka konsekwensinya adalah sebagai berikut: 1. Anak tetap bernasab kepada bapak dan ibu. 2. Anak mewarisi bapak dan ibu. 3. Bila anak itu perempuan, maka bapak berhak menjadi wali dalam perkawinannya. 2. Terhadap Status Harta Bersama Setelah secara resmi hakim memutuskan perceraian di antara keduanya yang diakibatkan oleh adanya peralihan agama/murtad yang dapat menyebabkan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus di antara keduanya, maka akibat putusnya perkawinan ini dalam hal harta kekayaan harus diadakan pembagian, terutama terhadap
kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan yang lebih dikenal dengan harta bersama. Sebelumnya ada beberapa macam harta, yang lazim dikenal di Indonesia antara lain: 1. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan oleh para pihak karena usaha mereka masing-masing, harta jenis ini adalah hak dan dikuasai oleh masing-masing pihak (suami atau isteri). Dan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 35 ayat 2, semua itu tetap di bawah penguasaan masing-masing. 2. Harta yang pada saat mereka menikah diberikan kepada kedua mempelai itu, mungkin berupa modal usaha, atau perabot rumah tangga ataupun rumah tempat tinggal mereka suami isteri. Dan apabila terjadi perceraian maka harta ini kembali kepada orang tua (keluarga) yang memberikan semula. 3. Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung karena hibah atau warisan dari orang tua mereka atau keluarga terdekat. 4. Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan berlangsung atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka dan disebut harta pencaharian. Harta ini menjadi harta bersama menurut UndangUndang No. 1 tahun 1974 pasal 35 ayat 1, yang menyatakan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 37 Tentang harta jenis pertama, kedua dan ketiga tidak menjadi persoalan lagi karena sudah pasti statusnya dikuasai masing-masing pihak(jenis pertama). Dan jenis kedua
37
M. Idris Ramulyo, hukum perkawinan , kewarisan, hikum acara peradilan agama dan zakat menurut hukum Islam. (Jakarta: PT. Sinar Grafika , tahun 1995, Cet. 1) h. 28
kembali kepada asal dari mana datangnya harta semula itu. Sedangkan jenis ketiga harta tetap dikuasai kepala waris atau penguasa yang bersangkutan. Yang menjadi masalah sekarang ini adalah, harta jenis keempat yakni harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, dan untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas menurut hukum Islam akan dikemukakan tentang harta bersama. Tentang ini dijelaskan dalam
Undang-Undang No 1 tahun 1974 pasal 35
dinyatakan bahwa: harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, ini berarti terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak saat tanggal terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan tersebut putus. Dengan begitu harta apa saja yang diperoleh terhitung sejak saat dilangsungkan akad nikah, sampai saat perkawinan tersebut putus baik oleh karena salah satu meninggal atau karena perceraian, maka seluruh harta-harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama.38 sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Dengan demikian, dalam hukum Islam suami maupun isteri berhak dan berwenang atas harta dan kekuasaan masing-masing. Suami tidak berhak atas harta isterinya karena kekuasaan isteri terhadap hartanya tetap dan tidak berkurang disebabkan perkawinan, karena itu sang suami tidak boleh mempergunakan harta isteri untuk membelanjai rumah tangga kecuali dengan izin sang isteri, bahkan harta kepunyaan istri yang dipergunakan untuk membelanjai rumah tangga, menjadi utang suami dan suami wajib membayar kepada isterinya kecuali apabila isteri mau membebaskannya.
38
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradila Agama, ( t.t : P.T. Pustaka Kartini, 1990, Cet. 1 ) h. 299
Dalam hal pembagian harta kekayaan, maka menurut ketentuan yang ada dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 pasal 35 yang berbunyi: Pasal 35 ayat (1) harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Pasal 35 ayat (2) harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36 ayat (1) mengenai harta bersama suami dan isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Pasal 36 ayat (2) mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Mengenai harta warisan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Asas hukum yang diatur dalam ketentuan pasal 35 ayat 2 tersebut merupakan asas teori hukum yang diatur dalam syariat hukum Islam, dimana isteri tetap memegang kekayaan sebagai subyek hukum atas segala miliknya sendiri. Menguasai hasil pencaharian yang diperolehnya dari jerih payah yang dilakukannya, berhak menerima hibah dan warisan selama perkawinannya berlangsung, dan dengan sendirinya menjadi hak dan berada di bawah penguasaannya sendiri.39 Hal ini mengandung arti bahwa hanya harta benda yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan yang menjadi milik bersama yang harus dibagi menurut hukumnya masing-masing, sedangkan harta kekayaan isteri yang berasal dari harta bawaan dan harta yang diperoleh sebagai hadiah atau wasiat tetap menjadi milik si isteri dan dikuasai penuh olehnya. Begitu pula sebaliknya dengan harta kekayaan suami. 39
Ibid, h. 300.
Dan apabila pasal 35 ayat 2 dihubungkan dengan pasal 36, terdapat perbedaan antara harta bawaan dan pusaka warisan yang diperoleh salah satu pihak dan harta yang diperoleh karena hibah atau berdasar usaha sendiri pada pihak lain, yaitu: 1. Mengenai harta bawaan dan harta warisan yang diperoleh dalam perkawinan: terhadap kedua harta inilah yang dimaksud oleh pasal 36 ayat 2, masing-masing berhak dan berkuasa penuh menurut hukum atas harta-harta tersebut. 2. Akan tetapi mengenai hibah dan hadiah atau hasil jerih payah masing-masing termasuk pada kategori pasal 35 ayat 2, yaitu berada dibawah pengawasannya masing-masing, tetapi penguasaannya tidak mutlak sepenuhnya seperti berlaku terhadap harta bawaan dan warisan. Jadi pengawasan ada di pihak-pihak tapi bagaimana dan kemanfaatannya tidak sepenuhnya ditentukan oleh pemiliknya. Dalam hal pembagian harta, semata-mata didasarkan kepada perceraian. Seperti yang terdapat dalam pasal 37 bahwa: bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.” Jadi apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan harus dibagi dua bersama suami dan isteri. Mengenai hukum pembagiannya, maka Undang-Undang memberi jalan : 1. Dilakukan berdasarkan hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian. 2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jka hukum tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan.
3. Atau hukum-hukum lainnya.40 Berdasarkan pasal 37 mengenai pembagian harta bersama ini didasarkan atas adanya perceraian dan tidak memandang adanya perbedaan agama. Yang disebabkan karena berpindah agama/murtadnya salah seorang suami-isteri dalam suatu perkawinan. Jadi perbedaan agama bukanlah suatu penghalang dalam hal pembagian harta. Asal saja di antara suami isteri itu telah resmi bercerai dan atas dasar keputusan hakim dalam siding pengadilan. Harta bawaan seseorang, baik suami atau isteri yang diperoleh sewaktu masih dalam keadaan Islam yakni sebelum diantaranya murtad/beralih agama, baik harta itu diperoleh sebagai hadiah atau warisan dari orang tuanya, maka berarti anak-anaknya dapat mewarisi harta bawaan orang tuanya yang didapatkan sebelum orang tuanya murtad. Lain halnya dengan harta yang diperoleh setelah orang tuanya murtad, menurut pandangan hukum Islam maka anak-anaknya atau ahli warisnya yang lain tidak dapat menjadi ahli waris dari harta orang yang telah murtad/beralih agama itu.41 Jadi tidak dapat dilakukan pembagian warisan karena perbedaan agama. Dasarnya adalah dalam terjemahan hadis Nabi saw yang berbunyi: Dari Usamah bin Yazid, bahwa Rasulullah bersabda:”Tidak mewarisi orang muslim terhadap orang kafir, dan tidak mewarisi orang kafir terhadap orang muslim.”42 Dengan demikian, apabila suami isteri yang murtad itu mengajukan permohonan ke pengadilan agama untuk diadakan pembagian warisan terhadap harta mereka, maka pengadilan agama menolak pengajuan tersebut. Dengan alasan bahwa pengadilan agama 40
Ibid, h. 308 T.M. Hasbi ash-Siddieqy. Fiqhul Mawaris. Hukum Waris Dalam Syariat Islam, (Jakarta Bulan-Bintang, 1973) h. 62 42 Imam Muslim, Shahi Muslim, vol II, diterjemahkan oleh Mahmud Matraji, (Beirut: Daar elFiqri, 1993) h. 273 41
tidak berhak dalam hal ini, karena mereka berbeda agama. Dan masalah perbedaan agama yang disebabkan karena peralihan perpindahan agama/murtad adalah menjadi penghalang dalam hal waris-mewaris.
B. Menurut Kompilasi Hukum Islam 1. Terhadap Status Anak Salah satu tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan yang sah, baik menurut hukum Negara maupun hukum agama, dimana ikatan perkawinan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum perkawinan yang berlaku, terlebih lagi dengan ketentuan hukum Islam yang sangat menentukan keabsahan suatu perkawinan, dan dengan sendirinya anak yang dilahirkannya akan sah pula. Perpindahan agama/murtad
akan dapat
mempengaruhi keabsahan suatu
perkawinan, demikian pula anak yang dilahirkannya akan mempunyai pengaruh yang sangat kuat sekali, maka dalam pembahasan ini status anak itu dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu: 1.
Anak yang dilahirkan sewaktu Islam, anak ini adalah anak muslim. Menurut kesepakatan para fuqoha.
2. Anak yang dikandung sewaktu Islam dan dilahirkan setelah murtad, maka hukumnya adalah sama dengan anak yang dilahirkan sewaktu Islam, karena dia telah dibuahi sewaktu Islam.
3.Anak yang dikandung dan dilahirkannya setelah murtad, maka anak itu hukumnya adalah kafir, karena dia dilahirkan di antara kedua orang tuanya yang kafir, tidak ada pendapat lain dalam masalah ini.43 Oleh karena itu, apabila salah satu pihak yang beragama Islam tetap mengikuti pihak lain yang telah murtad dan hidup sebagai suami-isteri, maka perkawinan (rumah tangga) mereka sudah tidak sah lagi (haram) menurut hukum Islamdan hubungan mereka adalah suatu perzinahan. Dan dalam kompilasi hukum Islam, masalah kedudukan anak ini diatur dalam pasal 99 yang berbunyi: a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah b. Hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Berdasarkan bunyi pasal tersebut diatas, maka sah atau tidaknya anak itu sangat ditentukan oleh keabsahan perkawinan dari kedua ibu bapaknya. Hal ini mengandung arti bahwa apabila seorang anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang di dalamnya terdapat hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, maka menurut undang-undang, anak tersebut hanya mempunyai nasab dengan ibunya saja. Perpindahan agama adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi nasab dari seorang anak, apabila kedua suami-isteri itu tetap melakukan hubungan badan layaknya suami isteri setelah adanya peralihan agama dari salah satu pihak tanpa mengindahkan ketentuan hukum perkawinan yang melarang ikatan perkawinan mereka. Hal ini dijelaskan dalam kompilasi hukum Islam pasal 100 yang berbunyi:” anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai nasab dengan ibunya dan keluarga 43
Hasbi, Hukum Antar Golongan, h. 80
ibunya. Dan dalam pasal 101 juga menjelaskan:” seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, maka dapat meneguhkan pengingkaran dengan li’an. Sedangkan dalam pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, menegaskan bahwa: anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah pula”. Maka apabila perkawinan (rumah tangga) yang di dalamnya telah terjadi kemurtadan pada salah satu pihak, maka menurut pasal 40 huruf c dan pasal 44 yang melarang adanya perkawinan antar agama, perkawinan tersebut harus dibatalkan/difasakhkan oleh hakim dalam sidang agama. Dan dari penjelasan-penjelasan diatas, karena perkawinan tersebut tidak sah atau telah difasakhkan menurut ketentuan hukum Islam, maka anak-anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan tersebut adalah haram/tidak sah, sehingga akibatnya adalah sebagai berikut: 1. Anak tersebut hanya bernasab kepada ibunya saja. 2. Anak hanya mewarisi dari ibunya saja. 3. Bila anak itu perempuan, maka bapak tidak berhak menjadi wali dalam perkawinannya.
2.
Terhadap Status Harta Bersama Salah satu akibat hukum yang di timbulkan dari perceraian antara suami-isteri yang
diakibatkan oleh adanya peralihan agama/murtad, adalah dalam harta kekayaan harus diadakan pembagian, terutama terhadap harta kekayaan yang diperoleh selama berlangsungya perkawinan yang lebih dikenal dengan harta bersama. Tetapi pada
dasarnya harta suami dan isteri tepisah, baik harta bawaannya masing-masing atau harta yang diperoleh oleh salah seorang suami isteri atas usahanya sendiri-sendiri maupun harta yang diperoleh dari salah seorang mereka karena hadiah atau hibah atau warisan sesudah mereka terikat dalam hubungan perkawinan.44 Sebagai dasar atas pendirian tersebut, dapat dipergunakan dalil yang berbunyi :”bagi laki-laki ada harta kekayaan perolehan dari hasil usahanya sendiri dan bagi wanita ada harta kekayaan perolehan dari hasil usahanya sendiri( Q.S. an-Nisa ayat 32). Sebelum memasuki penjelasannya, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu tentang pengertian harta bersama, satatus harta bersama, serta macam-macam wujud harta bersama. Dalam pasal 85 kompilasi hukum Islam menjelaskan adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami isteri. Dan dalam pasal 86 ayat (1) menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan. Ayat (2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Jadi, mengenai harta kekayaan atas usaha sendiri-sendiri, sebelum perkawinan dan harta yang berasal bukan dari usaha salah seorang dari mereka atau bukan dari usaha mereka berdua, tetapi berasal dari pemberian atau warisan atau lainnya yang khusus untuk mereka masing-masing, baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun yang diperoleh sesudah mereka berada dalam ikatan perkawinan. Apabila terjadi perceraian antara suami dan isteri maka dalam hal pembagian harta kekayaan, menurut ketentuan
44
Ramulyo, hukum perkawinan , kewarisan, hukum acara peradilan agama dan zakat menurut hukum Islam, h. 30
hukum Islam harta kekayaan isteri tetap menjadi milik isteri dan harta kekayaan suami menjadi milik suami dan dikuasai penuh olehnya. Dan apabila selama perkawinan berlangsung diperoleh harta kekayaan, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa, maka ini disebut dengan harta syirkah, yakni harta bersama yang menjadi milik bersama dari suami dan isteri. Dengan demikian telah dibuka kemungkinan syirkah atau pekongsian atas harta kekayaan suami isteri itu secara resmi dan menurut cara-cara tertentu. Dalam hal ini harta kekayaan bersatu karena syirkah seakan-akan merupakan harta kekayaan tambahan karena usaha bersama suami isteri selama perkawinan menjadi milik bersama, karena itu apabila kelak perjanjian perkawinan itu terputus karena perceraian atau talak maka harta syirkah tersebut dibagi antara suami isteri menurut pertimbangan sejauh mana usaha mereka suami/isteri turut berusaha dalam syirkah. 45 Dengan berdasarkan alasan bahwa pada umumnya sumai isteri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja membanting tulang berusaha sekedar untuk mendapatkan nafkah hidup keluarga seharihari dan sekedar harta simpanan untuk masa tua mereka. Kompilasi hukum Islam juga menjelaskan tentang macam-macam harta bersama, yang tertuang dalam pasal 91 ayat (1) , (2), (3) dan (4) yang masing-masing berbunyi : 1. Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 diatas dapat berupa benda wujud atau tidak berwujud. 2. Berbunyi harta bersama yang berwujud dapat meliput benda tidak bergerak dan surat-surat berharga. 3. Harta bersama yang berwujud dapat berupa hak dan kewajiban.
45
Ibid, h. 31
4. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.46 Harta bersama inilah yang menurut ketentuan pasal 97 harus diadakan pembagian harta seperdua antara suami an isteri, apabila terjadi perceraian hidup diantara keduanya. Dan mengenai harta kekayaan masing-masing adalah dibawah kekuasaan masingmasing, sebagaimana yang terdapat dalam kompilasi hukum Islam pasal 87 1. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaannya masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. 2. Suami dan isteri mempunnyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, shadaqoh atau lainnya. Dari pengertian pasal tersebut diatas, telah jelas bahwa kedudukan harta masingmasing suami dan isteri, terpisah dari harta bersama. Harta pribadi dari suami dan isteri meliputi hibah, wasiat dan pemberian yang dikhususkan untuknya. Dalam masalah harta masing-masing suami isteri tidak berhak dan tidak berwenang untuk menguasai antara satu dan lainnya. Dan harta bawaan seseorang, baik suami atau isteri itu diperoleh sewaktu masih dalam keadaan Islam, yakni sebelum dia murtad/beralih agama dari agama Islam kepada agama selain Islam, baik itu harta diperoleh sebagai hadiah atau warisan menjadi pusaka bagi para ahli warisnya, maka berarti anak-anaknya dapat mewarisi harta bawaan orang tuanya yang didapatkan sebelum orang tuanya murtad. Akan tetapi, apabila harta tersebut diperoleh setelah orang tuanya murtad dan secara resmi perkawinan kedua orang tuanya 46
Abd. Manan, Pokok-pokok hukum perdata, h. 75-76
telah di fasidkan oleh hakim pengadilan, maka menurut pandangan hukum Islam terhadap harta yang dimiliki oleh salah seorang suami isteri yang murtad, maka anak-anaknya atau ahli warisnya yang lain tidak dapat menjadi ahli waris dari harta orang yang telah murtad. Jadi tidak dapat dilakukan pembagian warisan karena perbedaan agama. Dasarnya adalah dalam terjemahan hadis Nabi saw yang berbunyi: ( F#1 S"M& ) D#5 اR K یث اY وR K اD#5 یث اY : م !ل. ص9$ یی ان ا: & 6 ا:1
Artinya : “Dari Usamah bin Yazid, bahwa Rasulullah bersabda:”Tidak mewarisi orang muslim terhadap orang kafir, dan tidak mewarisi orang kafir terhadap orang muslim.”47 Dengan demikian, apabila suami isteri yang murtad itu mengajukan permohonan ke pengadilan agama untuk diadakan pembagian warisan terhadap harta mereka, maka pengadilan agama menolak pengajuan tersebut. Dengan alasan bahwa pengadilan agama tidak berhak dalam hal ini, karena mereka berbeda agama. Dan masalah perbedaan agama yang disebabkan karena peralihan agama/murtad adalah menjadi penghalang dalam hal waris-mewarisi.
47
Shahih Muslim, h. 273
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Berdasarkan dari uarain pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Terhadap satus perkawinan a. Menurut pandangan para ahli hukum fikih Islam, bahwa apabila dalam suatu perkawinan, salah satu pihak dari suami atau isteri berpindah agama/murtad, yaitu keluar dari agama Islam kepada agama selain agama Islam, maka perkawinannya menjadi fasakh (batal) dan keduanya harus segera dipisahkan. perpindahan agama/murtadnya salah satu pihak dari suami isteri merupakan suatu kejadian yang dapat mengakibatkan batal/putusnya ikatan perkawinan demi hukum yaitu hukum Islam. b.
Sedangkan dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 Berdasarkan pasal 38 dan 39 Undang-Undang No 1 tahu 1974, suatu perkawinan baru dapat putus, apabila pengadilan telah memutuskan melalui sidang pengadilan dengan disertai alasanalasan yang diatur dalam pasal 19 PP No.9 tahun 1975, Jadi, apabila salah seorang dari suami isteri keluar dari agama Islam(murtad), dan kemurtadan itu belum atau tidak diajukan ke pengadilan, dan pengadilan belum memutuskannya, maka perkawinan mereka masih dianggap sah dan berlaku. Berbeda halnya menurut hukum agama, maka perkawinan mereka tetap dianggap tidak sah.
2. Terhadap Status Anak dan Harta Bersama
59
1.Terhadap Status Anak a. Menurut kompilasi hukum Islam apabila perkawinannya (rumah tangga) yang didalamnya telah terjadi kemurtadan, maka perkawinannya itu tidak sah atau telah difasakhkan menurut hukum Islam. Jadi, anak-anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan tersebut adalah haram/tidak sah, sehingga akibatnya adalah sebagai berikut: Anak tersebut hanya bernasab kepada ibunya saja, Anak hanya mewarisi dari ibunya saja, dan bila anak itu perempuan, maka bapak tidak berhak menjadi walinya. b. Sedangkan menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974, Apabila perkawinan (rumah tangga) yang di dalamnya telah terjadi kemurtadan pada salah satu pihak, tetapi perceraiannya itu belum diputuskan di depan sidang pengadilan, maka perkawinan (rumah tangga) tersebut tetap dianggap sah dan berlaku karena pengadilan belum memutuskannya. Karena perkawinan itu masih dianggap sah maka hubungan mereka juga tetap dianggap sah, begitu juga dengan anak-anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan tersebut adalah sah hukumnya. karena anak tersebut dianggap sah, maka konsekwensinya adalah sebagai berikut: Anak tetap bernasab kepada bapak dan ibu, Anak mewarisi bapak dan ibu dan Bila anak itu perempuan, maka bapak berhak menjadi wali dalam perkawinannya, karena dalam Islam wali termasuk salah satu dalam rukun nikah, keterangannya adalah sabda nabi yang berbunyi: ( ء5 اY ا3 ارG ) رواZ[ ' KR اذن وC 2AK ای ا&اة Artinya: “barang siapa diantara perempuan yang menikah tidak dengan izin walinya, maka pernikahannya batal ( Riwayat empat ahli hadis, kecuali nasa’i)
Dan hadis lain juga menjelaskan (9 ! واارF& : اG ) روا5" وج ااةYوج ااة ااة وY Artinya: “ janganlah perempuan menikahkan perempuan yang lain, dan janganlah pula seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri” ( Riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni)
Dan yang dianggap sah untuk menjadi wali mempelai perempuan adalah menurut susunan yang akan diuraikandi bawah ini, karena wali-wali itu memang telah diketahui oleh orang yang ada pada masa turunnya yata yang berbunyi:” janganlah kamu menghalangi mereka menikah”( Al-Baqarah ayat 232). Maka Islam menetapkan wali yang bisa menikahkan perempuan adalah sebagai berikut: 1) Bapak 2) Kakek dari bapak 3) Saudara laki-laki sekandung 4) Saudara laki-laki sebapak 5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung 6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak 7) Paman sekandung 8) Paman sebapak 9) Anak laki-laki dari paman sekandung 10) Anak laki-laki dari paman sebapak 2.Terhadap Status Harta Bersama
Pengadilan agama tidak berhak dalam penanganan kasus yang satu ini karena adanya perbedaan agama yang disebabkan peralihan agama, dan diantara mereka juga ada penghalang dalam hal waris-mewaris. Jadi, diantara mereka tidak berhak untuk mendapatkan waris. B. SARAN Kasus murtad merupakan fenomena yang banyak terjadi, baik itu diputuskan melalui perceraian dan tidak sedikit yang terus menjalaninya seperti perkawinan beda agama. berdasarkan uraian yang menghasilkan keharaman terhadap pernikahan yang salah satu pihak dalam keadaan murtad, perlu diatur lebih jelas dalam Undang-Undang Perkawinan bahwa murtad merupakan salah satu hal yang termasuk dalam perkawinan yang dibatalkan. Dan Tata cara pembatalannya, adalah pengajuan oleh orang yang terikat dalam perkawinan, dapat juga diajukan oleh keluarga yang terikat dalam perkawinan dan petugas pengawas perkawinan dan orang yang berkepentingan dalam kasus perkawinan seperti ini. Menurut penulis Undang-Undang No 1 tahun 1974 Perlu mengatur bentuk-bentuk dan tata cara perceraian yang dikarenakan perpindahan agama/murtad dalam suatu perkawinan, karena dalam Undang-Undang ini hanya menggolongkan secara umum mengenai putusnya perkawinan kepada 3 golongan, yaitu: karena kematian, karena perceraian, dan karena putusan pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqih Munakahat 1. Bandung: Pustaka Setia, Cet.1, Tahun 1999. Al-Qardhawy, Yusuf, Fiqh Prioritas; Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Quran Dan As-Sunnah [Fi Fiqhil Aulawiyat, Dirosah Jadiidah Fii Dhou’il Qur’an was Sunnah], diterjemah oleh Bahruddin F, cet.3 (Jakarta: Robbani Press, 2002), Al-San’any, Terjemah Subul al-Salam , Kairo: Dar Ihya al-Turas al-Araby, juz 3, 1960. Ash-Siddieqy, T.M. Hasbi. Fiqhul Mawaris. Hukum Waris Dalam Syariat Islam, Jakarta: Bulan-Bintang, 1973. Departemen Agama RI, Ilmu Fikih, Jakarta: 1984/1985, Cet. Ke 2. ____________, Al-Qur’an dan Tarjamah ____________, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Citra Umbara, 2007 ____________, Undang-Undang Perkawinan, Bandung: Citra Umbara, 2007.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi. 3, cet. 1, Jakarta: Balai Pustaka, 2001. Hadrianto, Budi, Perkawinan Beda Agama Dalam Syariat Islam. Jakarta: PT. Khairil Bayan, Cet. 1, tahun 2003. Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: PT. Pustaka Setia, 2000. Harahap, Yahya M, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradila Agama, t.t : P.T. Pustaka Kartini, Cet. 1, tahun 1990. Indonesia, Penjelasan Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. PP No. 9 tahun 1975. Manan, Abd., Pokok-pokok hukum perdata, Muchtar, Kamal, Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. 1 tahun 1974. Muhammad, Hasbi Teungku, Hukum Antar Golongan, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, Cet. 1 tahun 2001. Muslim, Imam, Muslim, Shahih, vol II, diterjemahkan oleh Mahmud Matraji, Beirut: Daar el-Fiqri, 1993.
Mutaal, Abdul, Perkawinan Campuran Menurut Hukum Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988. Rafiq, Ahmad, Hukum Islam DI Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cet. VI, 2003. Ramulyo, M. Idris, Hukum Perkawinan, Kewarisan, Hikum Acara Peradilan Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta: PT. Sinar Grafika, Cet. 1 tahun 1995. Rasjid, Sulaiman, Fikih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, Cet. 33, tahun 2000 Sabiq, Sayid Fikih Sunnah, Bandung: PT. al-Ma’arif, jilid VIII, Cet. 1 tahun 1980. _______, Fiqh Sunnah Jilid II, Bandung: PT: Al-Ma’arif _______, Fiqh Sunnah, Bandung: PT. al-Ma’arif, jilid VII, tahun 1996. Sabiq, Sayid, Fikih Sunnah 9 [al-Fiqh al-Sunnah], diterjemahan oleh Kahar Mansur, (Jakarta: Kalam Mulya, 1990)
Sukarja, Ahmad, Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Islam dalam Buku Pertama Problematika Hukum Islam Kontemporer. ed. Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ. cet. 4. Jakarta: LSIK, 2002. Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI-Press, Cet.5, 1986. Wagito, Bimo, Bimbingan Dan Konseling Perkawinan, Yogyakarta: Andi Offset Ed. 1. Cet.1, 2002.