MURABAHAH ANUITAS DAN PENERAPANNYA MENURUT STANDAR AKUNTANSI SYARIAH
Oleh: Marita Kusuma Wardani
[email protected] (Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Surakarta)
Abstract Praktek transaksi syariah yang dilakukan oleh perbankan syariah dalam menjalankan kegiatan operasionalnya memunculkan Akuntansi Syariah. Hal tersebut mendorong adanya popularitas dan pertumbuhan transaksi syariah di Indonesia yang diikuti dengan tuntutan akan adanya penyempurnaan dalam Standar Akuntansi agar pencatatan yang dilakukan dapat mencerminkan substansi transaksi yang dilakukan. Salah satu transaksi yang populer adalah transaksi dengan akad Murabahah sebagaimana diatur di dalam PSAK 102 Tentang Akuntansi Murabahah. Adanya persoalan tentang penerapan PSAK 102 yang tidak diaplikasikan secara penuh oleh Lembaga Keuangan Syariah, maka Ikatan Akuntan Indonesia mengeluarkan PSAK 102 revisi 2013 tentang Akuntansi Murabahah. Dikarenakan menganut konsep anuitas, maka PSAK 102 revisi 2013 harus dilekatkan dengan PSAK lain yang menerapkan metode anuitas. PSAK tersebut adalah PSAK 50, PSAK 55 dan juga PSAK 60. Penerapan PSAK 50, PSAK 55 dan PSAK 60 ini dilakukan untuk pembiayaan murabahah yang terkait dengan adanya ketentuan berkaitan dengan asset keuangan dalam kategori pinjaman yang diberikan dan juga piutang. Kata Kunci : Akuntansi Murabahah, Metode Anuitas, PSAK Syariah. A. Pendahuluan Berkembangnya perbankan syariah di berbagai negara, khususnya di Indonesia sebagai proses transformasi nilai-nilai Islam setidaknya dilatarbelakangi oleh beberapa hal, yaitu: (1) adanya keinginan masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan ekonomi termasuk transaksi perbankan yang sesuai dengan nilai dan prinsip syari’ah; (2) keunggulan sistem operasional dan produk perbankan syari’ah antara lain mengutamakan moralitas, keadilan, dan transparansi dalam kegiatan operasional perbankan syari’ah (Karim: 2002).
Semakin banyaknya kebutuhan akan layanan jasa perbankan yang berprinsip syariah dan dengan dikeluarkannya UU No. 10 Tahun 1998 serta dikeluarkannya Fatwa Bunga Bank Haram dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2003,banyak bank konvensional yang mendirikan biro-biro syariah maupun pendirian bank syariah itu sendiri. Hal tersebut menuntut pula adanya kesesuaian di dalam melakukan proses pencatatan transaksi yang dilakukan secara prinsip syariah. Kepatuhan syariah (shari’a compliance) saat ini menjadi isu penting bagi stakeholders bank syariah di Indonesia. Banyak kritikan tajam dari masyarakat tentang kepatuhan bank syariah terhadap prinsip-prinsip syariah, bahwa bank syariah di Indonesia saat ini kurang sesuai syariah. Kondisi tersebut boleh jadi sebagai dampak positif dari semakin masifnya sosialisasi tentang perbankan syariah ke masyarakat sehingga masyarakat mulai sadar dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang perbankan syariah. Kritikan tajam mulai muncul ketika masyarakat merasa bahwa terjadi perbedaan antara teori dan praktek. Laporan atau opini Dewan Pengawas Syariah yang selalu dilampirkan dalam laporan keuangan bank syariah seakan-akan belum mampu menjawab kritikan dan rasa penasaran masyarakat tentang sejauh mana praktek perbankan syariah di Indonesia saat ini apakah telah sesuai syariah? Sehingga informasi tentang kepatuhan syariah (shari’a compliance) seakan-akan menjadi misteri bagi masyarakat yang menyebabkan semakin runcing perdebatan tentang aspek kepatuhan syariah di bank syariah saat ini (Suprayogi, 2013). Untuk mengetahui apakah operasional bisnis dan transaksi bank syariah di Indonesia sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, maka kegiatan bank syariah dapat mengacu pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Syariah. Berdasarkan PSAK Syariah dijelaskan bahwa tujuan penyusunan laporan keuangan syariah yang dinyatakan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Syariah dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah paragraf 30 (a) menyebutkan bahwa tujuan lainnya dari laporan keuangan syariah adalah meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam semua transaksi dan kegiatan usaha entitas syariah.
PSAK Syariah telah mengidentifikasi ada 12 ciri/karakteristik transaksi syariah dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah paragraf 27 yang harus tercermin dalam laporan keuangan syariah di bank syariah sebagai entitas syariah. Dari keduabelas ciri tersebut paling tidak ada tiga ciri yang bisa dianalisis langsung dalam laporan keuangan syariah oleh masyarakat (Suprayogi, 2013), yaitu: tidak mengandung unsur riba, tidak mengandung unsur gharar, tidak mengandung unsur haram, dan tidak menganut prinsip nilai waktu uang (time value of money). Praktek transaksi syariah yang dilakukan oleh perbankan syariah dalam menjalankan kegiatan operasionalnya memunculkan Akuntansi Syariah. Transaksi syariah merupakan transaksi yang didasari oleh nilai-nilai dalam Islam. Di Indonesia, perkembangan transaksi syariah didukung fakta bahwa selama krisis keuangan pada tahun 2008, perbankan syariah, sebagai pelaku utama transaksi syariah, tetap menunjukkan kinerja yang tangguh dengan mempertahankan non performing financing di bawah 5% (dari www.deloitte.com). Berdasarkan data statistik perbankan syariah yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia tahun 2007 s/d 2012, terdapat beberapa kegiatan transaksi syariah yang dilakukan oleh perbankan syariah antara lain: mudharabah, musyarakah,murabahah, istishna, dan ijarah. Komposisi pembiayaan pada bank umum syariah dan unit usaha syariah dapat dilihat pada Tabel 1, sebagai berikut: Tabel 1 Komposisi Pembiayaan Pada Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (Milyar Rupiah) Akad 2007 2008 2009 2010 2011 Mudharabah 5.578 6.205 6.597 8.631 10.229
2012 12.023
Musyarakah
4.406
7.411
10.412
14.624
18.960
27.667
Murabahah
16.533
22.486
26.321
37.508
56.365
88.004
Istishna Ijarah
351 516
369 765
423 1.305
347 2.341
326 3.839
376 7.345
Qardh
540
959
1.829
4.731
12.937
12.090
Total
27.994
38.195
46.886
68.181
102.655
147.505
Sumber Data: Statistik Perbankan Syariah-Bank Indonesia
Melihat data transaksi syariah yang disajikan dalam tabel 1 di atas dapat ditunjukkan bahwa salah satu skema pembiayaan yang mendominasi dalam penyaluran dana masyarakat adalah melalui akad Murabahah. Rahmawaty (2007: 193) menyatakan bahwa meskipun banyak kritik yang diarahkan kepada praktik murabahah di perbankan syariah, namun hal ini mengindikasikan bahwa produk murabahah direspon secara luas. Beberapa karakteristik berkaitan dengan konsep murabahah yang merupakan akad di bank syariah (Heykal, 2014) adalah: 1. Murabahah, yang dimaksudkan dengan murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam murabahah, pihak penjual harus memberitahukan harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. 2. Murabahah. Menurut fatwa dari Dewan Syariah Nasional, yang dimaksudkan dengan murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pihak pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih tinggi sebagai laba. 3. Sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Fatwa DSN MUI nomor 4 tahun 2000, ketentuan umum yang ada pada murabahah adalah sebagai berikut : a. Akad murabahah bebas riba; b. Barang yang diperdagangkan bukan barang yang diharamkan; c. Bank membiayai sebagian atau seluruh pembelian barang; d. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri dan juga pembelian ini harus bebas riba; e. Bank menjual barang kepada nasabah dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Secara penerapannya, praktek murabahah mengindikasikan adanya duplikasi kredit atau pinjaman dari bank konvensional dengan realisasi perhitungan marjinnya (keuntungan) mengacu ke bunga bank konvensional (Widodo. 2010:34). Sebagaimana yang ditegaskan dalam Fatwa N0. 84/DSN-MUI/XII/2012 yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 21 Desember 2012 mengenai metode pengakuan keuntungan tamwil bi al-murabahah. Fatwa tersebut menyatakan bahwa pengakuan keuntungan
murabahah dalam bisnis yang dilakukan oleh para pedagang (al-tujjar) boleh dilakukan secara proporsional (thariqah mubasyirah), yaitu telah dicantumkan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK No. 102) tentang Akuntansi Murabahah,
dan
anuitas
(thariqah
al-hisab
‘al-anazuliyyah/thariqah
tanaqushiyyah) selama sesuai dengan ‘urf (kebiasaan) yang berlaku di kalangan lembaga keuangan syariah. Menurut Widodo (2010: 44), dengan memperhatikan cara perhitungan imbalan dalam murabahah tersebut, tampak jelas bahwa metode perhitungan demikian telah mengalami pergeseran fondasi transaksi atau akad murabahah yang hakekatnya adalah jual-beli dengan objek barang menjadi utang-piutang dengan objek uang dengan wujud yang dinamakan pembiayaan. Oleh karena adanya popularitas dan pertumbuhan transaksi syariah di Indonesia menuntut adanya penyempurnaan dalam Standar Akuntansi agar pencatatan yang dilakukan dapat mencerminkan substansi transaksi yang dilakukan. Salah satu transaksi yang populer adalah transaksi dengan akad Murabahah. (Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2012, Bank Indonesia).
B. Murabahah Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 102 PSAK 102 mengenai Akuntansi Murabahah memberikan pengaturan mengenai pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi Murabahah baik bagi pihak penjual maupun pembeli. Berdasarkan PSAK 102 paragraf 5, pengertian dari Murabahah adalah akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya perolehan ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli. PSAK 102 menyatakan bahwa harga jual dalam akad Murabahah merupakan biaya perolehan ditambah marjin keuntungan yang disepakati antara penjual dan pembeli. Dalam praktiknya, pada transaksi Murabahah, Lembaga Keuangan Syariah (bertindak sebagai penjual) dapat menerima pendapatan diluar marjin keuntungan seperti biaya administrasi dan biaya lain yang dapat dikaitkan langsung dengan pembiayaan Murabahah., Selain menerima pendapatan tersebut, Lembaga Keuangan Syariah juga mungkin menanggung beban yang terkait langsung dengan pembiayaan
Murabahah, seperti biaya komisi, biaya survei, dan biaya lain. Perlakuan akuntansi yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah atas komponen beban tersebut beragam, sebagian mengakui secara langsung sebagai beban pada periode berjalan, sebagian yang lain mengakui sebagai beban selama masa/periode akad. Buletin teknis (Bultek) 5 diterbitkan oleh Dewan Standar Akuntansi Syariah (DSAS) dengan tujuan untuk menyeragamkan perlakuan akuntansi atas pendapatan serta biaya yang timbul dari transaksi Murabahah di luar biaya perolehan barang dan marjin keuntungan. Ketika timbul pendapatan dan biaya yang terkait langsung dengan transaksi Murabahah, maka Lembaga Keuangan Syariah (dalam hal ini bertindak sebagai penjual) mengakui seluruh pendapatan dan biaya tersebut selaras dengan pengakuan keuntungan Murabahah yang diatur dalam PSAK 102, seperti tabel 2, yaitu: Tabel 2. Pengakuan Keuntungan Murabahah Penyelesaian Transaksi
Risiko Piutang
Tunai atau Tangguh Tidak Melebihi Satu Tahun Ditangguhkan Kecil Lebih Dari Satu Tahun
Beban Pengelolaan dan Penagihan Piutang -
Pengakuan Keuntungan Murabahah Saat Penyerahan Barang
Kecil
Saat Penyerahan Barang
Relatif Besar Kecil
Kecil Relatif Besar
Relatif Besar Besar
Relatif Besar Besar
Proporsional dengan besaran kas yang berhasil ditagih dari Piutang Murabahah Saat seluruh Piutang Murabahah berhasil ditagih*
Sumber dari: www.deloitte.com *) metode ini jarang dipakai karena transaksi Murabahah tangguh kemungkinan besar tidak akan terjadi jika tidak terdapat kepastian yang memadai atas penagihan kas.
Ketentuan bagi nasabah (dalam hal ini bertindak sebagai pembeli), biaya transaksi yang timbul dari transaksi Murabahah diakui sebagai bagian dari biaya perolehan aset, sesuai dengan ketentuan di PSAK 16 Aset Tetap paragraf 16.
C. Murabahah Anuitas Menurut Standar Akuntansi Syariah Berdasarkan Fatwa N0. 84/DSN-MUI/XII/2012 yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 21 Desember 2012 mengenai metode pengakuan keuntungan tamwil bi al-murabahah yang menyatakan bahwa pengakuan keuntungan murabahah dalam bisnis yang dilakukan oleh para pedagang (al-tujjar) boleh dilakukan secara proporsional (thariqah mubasyirah) dan anuitas (thariqah al-hisab ‘al-anazuliyyah/thariqah tanaqushiyyah) selama sesuai dengan ‘urf (kebiasaan) yang berlaku di kalangan lembaga keuangan syariah, selanjutnya fatwa yang dikeluarkan oleh DSN MUI mengundang reaksi Dewan Standar Akuntansi Syariah Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk mengeluarkan Buletin Teknis No. 9 pada tanggal 16 Januari 2013. Buletin teknis ini menjelaskan bahwa fatwa mengenai metode anuitas yang dikeluarkan DSN MUI disebabkan karena pembiayaan murabahah yang keuntungannya diakui secara anuitas menurut substansinya dikategorikan sebagai kegiatan pembiayaan (financing). Akuntansi untuk pembiayaan Murabahah yang substansinya dikategorikan sebagai kegiatan pembiayaan mengacu pada PSAK 50 (Revisi 2010) Instrumen Keuangan: Penyajian, PSAK 55 (Revisi 2011) Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran, serta PSAK 60 Instrumen Keuangan: Pengungkapan. Termasuk dalam pengaturan pada PSAK tersebut adalah akuntansi penurunan nilai, pengungkapan risiko secara kualitatif dan kuantitatif yang timbul dari pembiayaan Murabahah. Fakta yang ada membuktikan bahwa bank syariah di Indonesia banyak menerapkan konsep murabahah dalam bentuk pembiayaan murabahah, atau tamwil bil murabahah. Karena itulah ketika DSAS IAI mengeluarkan PSAK 102 tentang murabahah dimana dalam PSAK tersebut merujuk pada pengertian murabahah secara umum dan diterima dalam konsep fiqh muamalah, maka PSAK 102 tersebut menjadi banyak tidak diaplikasikan secara penuh oleh perbankan syariah (Heykal, 2014).
Berdasarkan persoalan tentang penerapan PSAK 102 yang tidak diaplikasikan secara penuh oleh Lembaga Keuangan Syariah, maka Ikatan Akuntan Indonesia mengeluarkan kembali PSAK 102 tahun 2013 tentang Akuntansi Murabahah. PSAK ini digunakan untuk pembiayaan murabahah yang terkait dengan adanya ketentuan berkaitan dengan aset keuangan dalam kategori pinjaman yang diberikan dan juga piutang. Karena PSAK tersebut menganut konsep anuitas, maka PSAK 102 tahun 2013 harus dihubungkan dengan PSAK lain yang menerapkan metode anuitas. PSAK tersebut adalah PSAK 50, 55 dan juga PSAK 60. Meskipun demikian perlu adanya penyesuaian yang harus dilakukan terhadap PSAK 50, 55, dan 60 dikarenakan di dalam gabungan PSAK tersebut terdapat elemen yang belum sesuai dengan karakteristik syariah. Beberapa penyesuaian tersebut (Heykal, 2014), dijelaskan sebagai berikut: 1. Istilah Effective Interest Rate menjadi rate of return; 2. Effective Rate of Return merupakan alokasi keuntungan murabahah yang tidak sama dengan rate of return dalam bank konvensional; 3. Ketika masa akad murabahah selesai tidak ada tambahan keuntungan murabahah karena keuntungan murabahah bersifat tetap; 4. Tidak ada off market interest rate.
D. Pembahasan Dalam kasus pembiayaan murabahah, Suprayogi (2013) mengidentifikasi apakah dalam bank syariah terdapat unsur time value of money dapat dilihat dalam catatan atas laporan keuangan tentang metode akuntansi yang digunakan dalam pengakuan pendapatan margin murabahah. Berdasarkan PSAK Syariah 102 tentang Akuntansi Murabahah paragraph 23 samapai dengan 25 menyebutkan bahwa pengakuan pendapatan margin murabahah yang diperkenankan adalah secara proporsional. Berdasarkan prakteknya saat ini masih banyak bank syariah yang menggunakan metode anuitas dalam pengakuan pendapatan margin murabahah. Metode anuitas akan menguntungkan bagi bank syariah karena margin murabahah diakui diawal lebih besar dan akan menurun terus sampai pada angsuran terakhir. Sehingga jika metode anuitas masih digunakan dalam pengakuan pendapatan
margin murabahah maka bank syariah masih memegang prinsip-prinsip time value of money. Adanya ketidaksesuaian praktek dan pencatatan transaksi syariah khususnya pembiayaan murabahah, maka Dewan Standart Akuntansi Syariah mengeluarkan Pernyataan Standar Akuntansi Syariah (PSAK) 102 tahun 2013 yang mengatur tentang Akuntansi Murabahah dengan metode anuitas dalam menentukan marjin (keuntungan) murabahah. Perbedaan penerapan PSAK 102 dengan PSAK 102 tahun 2013 dapat dijelaskan (DSAS-IAI: 2013), sebagai berikut: a. PSAK 102 Tahun 2013 1. Lembaga Keuangan Syariah sebagai posisi penjual yang tidak memiliki risiko yang signifikan terkait dengan kepemilikan persediaan untuk transaksi murabahah merupakan penjual yang melaksanakan transaksi pembiayaan murabahah akan menggunakan PSAK 50,55 dan 60. PSAK 50: Instrumen Keuangan: Penyajian, PSAK 55: Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengungkapan, dan PSAK 60: Instrumen Keuangan: Pengungkapan yang terkait asset keuangan dalam kategori pinjaman yang diberikan dan piutang, yang dalam penerapannya disesuaikan dengan prinsip, karakteristik, dan istilah transaksi syariah. 2. Transaksi pembiayaan murabahah berbasis jual beli. 3. Pengakuan pendapatan Murabahah mengenai tingkat imbal hasil efektif yang ditentukan berdasarkan arus kas masa depan harus mengikuti PSAK 50,55 dan 60. 4. Pada awal penerapan PSAK 50,55 dan 60, entitas menentukan penurunan asset keuangan dari transaksi murabahah berdasarkan kondisi pada saat itu. Selisih antara penurunan nilai tersebut dengan penurunan nilai yang ditentukan berdasarkan kebijakan akuntansi sebelumnya diakui langsung ke saldo laba awal. Sementara jika penentuan penurunan nilai tersebut tidak dilakukan pada awal penerapan PSAK 50,55 dan 60, maka entitas memisahkan penurunan nilai yang berasal dari periode berjalan yang diakui di laba rugi dan periode sebelumnya yang diakui langsung ke saldo laba.
b. PSAK 102 1. Lembaga Keuangan Syariah sebagai posisi penjual memiliki risiko yang terkait dengan kepemilikan persediaan antara lain: (a) Risiko perubahan harga persediaan; (b) Keuasangan dan kerusakan persediaan; (c) Biaya pemeliharaan dan penyimpanan persediaan; (d) Risiko pembatalan pesanan pembelian secara sepihak. 2. Murabahah yang merupakan jual beli (penggunaan akad jual beli). 3. Pengakuan pendapatan Murabahah diatur berbasis risk and reward. 4. Tidak dilakukan pengaturan tentang cadangan penurunan nilai.
Berikut ini contoh simulasi atas transaksi murabahah dengan penerapan PSAK 102 dan PSAK 102 revisi 2013 (PSAK 102: 2013), adalah: Kasus Transaksi: Pada akhir tahun 20X0 Bank Syariah “Z” melakukan transaksi murabahah secara tangguh dengan nasabah. Biaya perolehan persediaan murabahah adalah Rp. 100,-, margin murabahah Rp. 50,- dan angsuran Rp. 30,- per tahun selama lima tahun. Penerapan PSAK 102 Mengacu pada PSAK 102 paragraf 23(b)(ii) yaitu keuntungan murabahah diakui secara proporsional. Angsuran dan pengakuan pendapatan murabahah dalam kasus transaksi di atas dapat dihitung dan dicatat dalam jurnal sebagai berikut: Tabel 3. Perhitungan Angsuran dan Pengakuan Pendapatan Murabahah Tahun
Angsuran
Pendapatan
(Rp)
Murabahah (Rp)
20X1
30
10
20
20X2
30
10
20
20X3
30
10
20
20X4
30
10
20
20X5
30
10
20
50
100
TOTAL
Pokok (Rp)
Tabel 4. Jurnal Tahun Rekening 20X0 Piutang Murabahah Persediaan Margin Murabahah Tangguhan 20X1 Kas Piutang Murabahah Margin Murabahah Tangguhan Pendapatan Murabahah 20X2 Kas Piutang Murabahah Margin Murabahah Tangguhan Pendapatan Murabahah 20X3 Kas Piutang Murabahah Margin Murabahah Tangguhan Pendapatan Murabahah 20X4 Kas Piutang Murabahah Margin Murabahah Tangguhan Pendapatan Murabahah 20X5 Kas Piutang Murabahah Margin Murabahah Tangguhan Pendapatan Murabahah
Debit 150
Kredit 100 50
30 30 10 10 30 30 10 10 30 30 10 10 30 30 10 10 30 30 10 10
Penerapan PSAK 102 Revisi 2013 Transaksi murabahah yang tidak memenuhi kriteria untuk menerapkan PSAK 102, maka akan menerapkan PSAK 50, 55, dan 60. Berdasarkan arus kas masuk dari angsuran dan arus kas keluar untuk pembelian persediaan murabahah diperoleh tingkat imbal hasil efektif (effective rate of return) sebesar 15,24%. Angsuran dan pengakuan pendapatan murabahah dalam kasus transaksi tersebut dapat dihitung dan dicatat dalam jurnal sebagai berikut:
Tabel 5. Perhitungan Angsuran dan Pengakuan Pendapatan Murabahah Tahun
Angsuran
Pendapatan
(Rp)
Murabahah (Rp)
20X1
30
15,24
14,76
20X2
30
12,99
17,01
20X3
30
10,40
19,60
20X4
30
7,41
22,59
20X5
30
3,97
26,03
50
100
TOTAL
Pokok (Rp)
Tabel 6. Jurnal Tahun Rekening 20X0 Piutang Murabahah Persediaan Margin Murabahah Tangguhan 20X1 Kas Piutang Murabahah Margin Murabahah Tangguhan Pendapatan Murabahah 20X2 Kas Piutang Murabahah Margin Murabahah Tangguhan Pendapatan Murabahah 20X3 Kas Piutang Murabahah Margin Murabahah Tangguhan Pendapatan Murabahah 20X4 Kas Piutang Murabahah Margin Murabahah Tangguhan Pendapatan Murabahah 20X5 Kas Piutang Murabahah Margin Murabahah Tangguhan Pendapatan Murabahah
Debit 150
Kredit 100 50
30 30 15,24 15,24 30 30 12,99 12,99 30 30 10,40 10,40 30 30 7,41 7,41 30 30 3,97 3,97
E. Kesimpulan Pengakuan keuntungan murabahah secara proporsional dan metode anuitas sebagaimana yang diatur dalam Fatwa N0. 84/DSN-MUI/XII/2012 memunculkan pendapat bahwa kedua metode tersebut seharusnya diatur dalam PSAK 102. Namun secara penerapannya PSAK 102 memiliki konsep akuntansi yang berbeda dengan metode anuitas. PSAK 102 menggunakan konsep jual beli yang tidak memisahkannya menjadi transaksi jual beli dan transaksi pembiayaan. Sementara metode anuitas dalam murabahah merupakan konsep pembiayaan berbasis jual beli. Kedua konsep tersebut tidak dapat digabungkan karena akan menghasilkan informasi keuangan yang berbeda secara signifikan. Sehingga transaksi murabahah dengan metode anuitas yang diakui sebagai pembiayaan berbasis jual beli penerapannya harus menggunakan PSAK 50, PSAK 55, dan PSAK 60 dengan keharusan memperhatikan karakteristik transaksi syariah secara umum dan transaksi murabahah secara khusus seperti yang diatur di dalam PSAK 102 Revisi 2013 Tentang Akuntansi Murabahah.
DAFTAR PUSTAKA Bank Indonesia, “Statistik Perbankan Indonesia”, dari http://www.bi.go.id/web/ Statistik/Statistik+Perbankan/Statistik+Perbankan+Indonesia. Dewan Syariah Nasional. ”Fatwa Dewan Syariah Nasional Metode Pengakuan Keuntungan Tanwil Bi Al-Murabahah Di Lembaga Keuangan Syariah”, Fatwa N0. 84/DSN-MUI/XII/2012, Jakarta, 2012. Deloitte, “Murabahah Anuitas Perspektif Baru Lembaga Keuangan Syariah”, dari www.deloitte.com DSAK IAI. 2007.”Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 102 tentang Akuntansi Murabahah”. Jakarta: IAI. DSAK IAI. 2013.”Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 102 (2013) tentang Akuntansi Murabahah”. Jakarta: IAI DSAS-IAI. 2013.” Revisi http://akuntanonline.com
PSAK
102
Akuntansi
Murabahah”,
dari
Heykal, Mohamad. 2014. “PSAK 102 ( Revisi 2013 ) Tentang Murabahah”, dari http://accounting.binus.ac.id. Ikatan Akuntan Indonesia, “Buletin Teknis 9 Penerapan Metode Anuitas Dalam Murabahah”, dari http://www.iaiglobal.or.id. Karim, Adiwarman. 2002. Ekonomi Mikro Islam: The International Institute of Islamic Thouht Indonesia (IIITI). Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2012, Bank Indonesia, dari www.bi.go.id. Rahmawaty, Anita. "Ekonomi Syariah : Tinjauan Kritis Produk Murabahah Dalam Perbankan Syari‟ah Di Indonesia", Jurnal Ekonomi Islam La Riba Vol. 1 No. 2, Jakarta, 2007. Suprayogi, Noven, “ Menyingkap Shari’a Compliance Bank Syariah Dari Laporan Keuangan”, Majalah Sharing Edisi Januari 2013, dari http://noven-suprayogifeb.web.unair.ac.id. Widodo, Sugeng. "Seluk Beluk Jual Beli Murabahah Perspektif Aplikatif", Asgard Chapter, Yogyakarta 2010.