Model Rantai Markov Waktu Kontinu untuk Epidemi Pertussis dengan Vaksin Tak Sempurna I Made Suarsana Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas MIPA, Universitas Pendidikan Ganesha Jalan Udayana Singaraja Kode Pos : 81116 Telepon : (0362)25072 Fax.(0362)25335
Abstrak: Pemodelan matematika dalam epidemiologi berkembang pesat semenjak model SIR diperkenalkan oleh W.O. Kermack dan A.G. McKendrick pada tahun 1927 (Brauer, 2001). Model matematika yang ada lebih banyak berupa model deterministik. Padahal segala sesuatu yang terjadi di alam mengandung ketidakpastian. Oleh karenanya dalam tulisan ini akan dikonstruksi model stokastik untuk epidemi pertussis dengan vaksin tak sempurna berupa model rantai markov waktu kontinu. Model dikonstruksi dengan menggunakan asumsi yang sama dengan model deterministik yang telah disusun sebelumnya (Suarsana, 2009). Kemudian perilaku kedua model dibandingkan dengan melakukan simulasi numerik untuk kondisi awal yang sama.
Kata Kunci : epidemi pertussis, rantai markov waktu kontinu, bifurkasi backward, bistabiliti
1.
PENDAHULUAN
Model dasar epidemiologi pertama kali diperkenalkan oleh W.O. Kermack dan A.G. McKendrick pada tahun 1927 yang dikenal dengan model SIR yang merupakan model deterministik dengan metode kompartemen (Brauer at al, 2001). Segera setelah itu, pemodelan matematika dalam epidemiologi berkembang pesat, namun model yang dikonstruksi lebih banyak merupakan model deterministik. Pada model deterministik, output bersifat unik untuk input yang sama, artinya tidak ada unsur ketakpastian, semuanya tertentu. Padahal segala sesuatu yang terjadi di alam mengandung unsur ketidakpastian. Oleh karenanya, pemodelan dalam epidemiologi perlu mempertimbangkan unsur ketidakpastian dengan mengkontruksinya dalam model stokastik. Salah satu model stokastik yang sering digunakan adalah model rantai markov waktu kontinu. Dalam tulisan ini dikonstruksi model rantai markov waktu kontinu untuk epidemi pertussis. Pertussis atau yang lebih dikenal dengan nama batuk rejan (whooping cough) pertama kali teridentifikasi pada abad ke-16. Pada tahun 1906, Bordet berhasil mengisolasi bakteri penyebabnya yang diberi nama Bordetella pertussis (Wikipedia, 2009). Laporan kasus pertussis turun lebih SEMNAS MIPA 2010
dari 99% sejak vaksin ditemukan pada tahun 1940-an yang dalam pemberiannya dikombinasikan dengan difteri dan tetanus (Chin, 2000). Perkembangan kasus pertussis beberapa tahun terakhir yang dikutip dari catatan WHO dapat dilihat pada grafik di bawah ini (WHO, 2008).
Gambar 1.
Banyak Kasus dan Persentase Pemenuhan Imunisasi Pertussis Secara Global antara Tahun 1980 s/d 2007
Kondisi di atas menunjukkan bahwa walaupun pemenuhan imunisasi dari tahun ke tahun terus meningkat, namun pertussis masih menjadi endemik dan sewaktu-waktu dapat memicu munculnya epidemi pada suatu wilayah. Belum punahnya pertussis sampai saat ini, di antaranya disebabkan karena belum ditemukannya vaksin
MAT - 1
sempurna yaitu vaksin yang dapat memberi kekebalan dengan tingkat kemanjuran 100%. Konstruksi model rantai markov waktu kontinu dalam tulisan ini menggunakan asumsi yang sama dengan model determistik untuk epidemi pertussis yang telah disusun oleh sebelumnya (Suarsana, 2009). Selanjutnya, perilaku kedua model dibandingkan melalui simulasi numerik untuk kondisi awal yang sama.
2.
KAJIAN PUSTAKA
Model Deterministik untuk Epidemi Pertussis dengan Vaksin Tak Sempurna Model deterministik pertussis dengan vaksin tak sempurna telah dikonstruksi sebelumnya. Model yang dikonstruksi mengadopsi model SIR W.O. Kermack dan A.G. McKendrick yaitu berupa model deterministik dengan metode kompartemen. Model disusun dengan 5 kompartemen dan diperoleh diagram skematik sebagai berikut.
Gambar 2.
Diagram Skematik Model Deterministik untuk Epidemi Pertussis dengan Vaksin Tak Sempurna
Berdasarkan diagram di atas, model deterministiknya dapat dirumuskan sebagai berikut.
SEMNAS MIPA 2010
dS I d ( N S ) S S R V dt N dE I I S V (d ) E dt N N dI E ( d ) I dt dR I (d ) R dt dV I S V ( d )V dt N
(1) dimana S (t ), E (t ), I (t ), R (t ) , dan V (t ) menyatakan banyaknya individu pada kelas rentan, kelas laten, kelas infektiv, kelas sembuh dan kelas tervaksin, yang merupakan fungsi terhadap waktu. Parameter-parameter yang digunakan diantaranya sebagai berikut. Tabel 1. Parameter Model Lambang Parameter Angka kematian d Tingkat penularan pertussis Tingkat perkembangan gejala klinis pertussis Angka vaksinasi Tingkat penurunan fungsi vaksin Tingkat kehilangan kekebalan Tingat penyembuhan pertussis
Satuan
Persatuan waktu
dengan d , , , , , , 0 . Parameter menyatakan tingkat ketidaksempurnaan vaksin. Parameter ini tak bersatuan dengan nilai (0,1) . Apabila nilai 0 berarti bahwa vaksin sangat manjur sehingga individu tervaksin tidak dapat terinfeksi. Banyaknya individu dalam populasi adalah konstan terhadap waktu, , adalah konstan N (t ) S (t ) E (t ) I (t ) R(t ) V (t ) sehingga S (t ) dapat dituliskan sebagai dengan S ( t ) N E (t ) I (t ) R ( t ) V (t ) N N (t ) dan sistem (1) dapat direduksi menjadi sistem dengan empat persamaan. Untuk memudahkan dalam analisis dilakukan penormalan sistem. Misalkan MAT - 2
s (t )
S (t ) E (t ) I (t ) R (t ) V (t ) , e (t ) , i (t ) , r (t ) , v (t ) N N N N N
dan
, , , , , d d d d d d serta td , maka didapatkan sistem yang tidak bergantung pada dimensi sebagai berikut.
de d di d dr d dv d
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan metode kajian pustaka dan penarikan simpulan dilakukan dengan analisis matematika baik secara analitik (solusi kesetimbangan) dan secara numerik (simulasi berbantuan komputer).
si vi (1 )e
4.
e (1 )i
Model Kontinu (2)
i (1 )r s vi (1 )v
Berdasarkan analisis solusi kesetimbangannya diperoleh titik tetap bebas penyakitnya e* , i * , r * , v* 0,0,0, dengan nilai 1 ambang parameternya yang selanjutnya disebut sebagai vaccinated reproduction 1 number adalah Rvac 1 1 1 (Wiggin, 1990). Titik tetap bebas penyakitnya akan stabil asimtotik jika Rvac 1
. Sebaliknya jika Rvac 1 solusi sistem menuju titik tetap endemiknya. Hal menarik pada model SEIRV ini adalah munculnya bifurkasi backward yaitu suatu kondisi dimana titik tetap bebas penyakit yang stabil berkoeksistensi dengan titik tetap endemiknya yang juga stabil (Garba at al, 2008). Daerah koeksistensinya dinamakan daerah bistabiliti yaitu pada interval R Rvac 1 dengan R adalah titik kritis dari d 0 terhadap Rvac dengan
d b 2 4 ac , 2
2
(1) 1 1 b 1 1 1 1
1 1 1 1 R 1
SEMNAS MIPA 2010
vac
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rantai
Markov
Waktu
Misalkan S (t ), E (t ), I (t ), R(t ) dan V (t ) adalah variable random diskrit yang masingmasing menyatakan banyak individu rentan, laten, infektif, sembuh dan individu tervaksin, masing-masing terhadap waktu t . Misalkan t menyatakan selang waktu yang sangat kecil sedemikian sehingga pada interval t , t t paling banyak muncul satu kejadian saja. Misalkan pula perubahan pada variabel random S , E , I , R ,V pada interval
t , t t
dinyatakan
dengan
S , E ,I , R,V .
Oleh karena N (t ) konstan terhadap waktu maka peluang transisi infinitesimalnya dapat dinyatakan sebagai berikut (Allen, 2003). PeluangS , E , I , R, V i , j, k , l , m | ( S , E , I , R,V ) I S N t ot dEt ot Et ot dIt ot It ot dRt ot Rt ot V I t ot N dVt ot Vt ot St ot
, i , j, k , l , m 1,1,0,0,0 , i , j, k , l , m 1,1,0,0,0 , i , j, k , l , m 0,1,1,0,0 , i , j, k , l , m 1,0,1,0,0 , i , j, k , l , m 0,0,1,1,0 , i , j, k , l , m 1,0,0, 1,0
(3)
, i , j, k , l , m 1,0,0, 1,0 , i , j, k , l , m 0,1,0,0,1 , i , j, k , l , m 1,0,0,0,1 , i , j, k , l , m 1,0,0,0,1 , i , j, k , l , m 1,0,0,0,1
Peluang tidak ada perubahan dalam populasi adalah
a (1 )(1 )
c
3.
.
PeluangS , E, I , R, V 0,0,0,0,0 | ( S , E , I , R,V )
adalah
sama
dengan
1 S V I d E I R V E I R V S t o t N
. Peluang kejadian lainnya sama dengan ot .
MAT - 3
dPe, i , r , v t i s 1 Pe 1, i , r , v t d e 1Pe 1, i , r , v t dt N e 1Pe 1, i 1, r , v t d i 1Pe , i 1, r , v t
Oleh karena N (t ) konstan terhadap waktu maka S (t ) dapat dinyatakan dalam kondisi variabel random lainnya sehingga peluang transisi infinitesimalnya dapat disederhanakan menjadi :
i 1Pe , i 1, r 1, v t (d )r 1Pe , i , r 1, v t i Pe 1, i , r , v 1 t d v 1Pe, i , r , v 1 t N N s v i s 1Pe, i , r , v 1 t d e i r v Pe ,i , r , v t e i r v s
v 1
Peluang E , I , R, V i, j, k , l | ( E , I , R,V ) I S N t ot dEt ot Et ot dIt ot It ot d Rt ot V I t ot N d Vt ot St ot
, i , j , k , l 1,0,0,0 , i , j , k , l 1,0,0,0 , i , j , k , l 1,1,0,0 , i , j , k , l 0,1,0,0 , i , j , k , l 0,1,1,0 , i , j , k , l 0,0,1,0
Persamaan diferensial kolmogorov maju (6) dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan diferensial matriks,
dp(t ) Qpt (7) dt Dimana pt pi (t ) adalah matriks dari peluang state dan Q q ji adalah matriks
, i , j , k , l 1,0,0,1 , i , j , k , l 0,0,0,1 , i , j , k , l 0,0,0,1
(4) Misalkan s, e, i, r , v menyatakan nilai dari
S , E , I , R ,V peluang
dan Peirv t adalah fungsi bersama, yaitu
Peirv t Peluang E (t ) e, I (t ) i, R (t ) r ,V (t ) v
maka Peirv t t adalah sama dengan:
generator. Penentuan matriks generator pada rantai markov multivariat tergantung pada bagaimana kita mengurutkan statenya. Untuk model epidemi SEIRV dengan ukuran populasi sebanyak N ada 1 state. ( N 1)( N 2)( N 3)( N 4) pasangan 4!
Untuk menentukan solusi dari persamaan (6) dilakukan langkah-langkah berikut. 1. Mendaftar dan mengurutkan
semua pasangan state yang mungkin, kemudian diberi indeks
i t N Pe 1,i ,r ,v t d e 1t
Pe ,i,r ,v t t Pe1,i ,r ,v t s 1
1,2,3,,
Pe 1,i1,r ,v t e 1t
.
Pe ,i 1,r ,v t d i 1t
2. Menentukan matriks generator
Pe ,i 1,r 1,v t i 1t Pe ,i ,r 1,v t ( d )r 1t i t N Pe ,i ,r ,v 1 t d v 1t
Pe 1,i,r ,v 1 t v 1
Pe,i ,r ,v 1 t s 1t N s vi Pe,i ,r ,v t d e i r v t e i r v s Pe ,i,r ,v t ot
Untuk t 0 , bentuk di atas dapat ditransformasi ke persamaan diferensial kolmogorov maju sebagai berikut.
(5)
Q berdasarkan peluang transisi infinitesimal yang diberikan. 3. Menentukan solusi persamaan (4.5) yaitu p(t ) eQt p(0) . Apabila solusi p (t ) dapat ditentukan maka peluang masing-masing pasangan state terhadap waktu juga dapat ditentukan, termasuk peluang kepunahan penyakit. Untuk menentukan lintasan sampel dari rantai markov waktu kontinu kita gunakan sifat dari distribusi waktu antarkejadian dan hubungannya dengan distribusi uniform. Misalkan T adalah variabel random waktu antarkejadian dan U adalah variabel random uniform pada interval 0,1 maka Ti
SEMNAS MIPA 2010
1 ( N 1)( N 2)( N 3)( N 4) 4!
ln(U ) N S V I d E I R V E I R V S
(8 )
MAT - 4
(6)
Komparasi Simulasi Numerik Model Deterministik dan Model Rantai Markov Waktu Kontinu Pada bagian ini akan dilakukan simulasi numerik dengan tujuan untuk membandingkan perilaku solusi dari model deterministik dengan model rantai markov. Oleh karena itu simulasi dilakukan untuk beberapa nilai parameter dan ukuran populasi N yang berbeda sedangkan parameter lainnya seperti yang tertera pada Tabel 2. Tabel 2 Nilai Parameter d 1 75 thn
1 2 .5 hari
1 7 hari
1 20 hari
1 5 thn
1 31 hari
1 21 hari
Gambar
4. Grafik deterministik untuk nilai 1000, dan
Solusi Model dan Stokastik 0.1 ,N = kondisi awal
S (0) 393, E (0) 0, I (0) 7, R (0) 0,V (0) 600
Perbedaan perilaku solusi model deterministik dengan rantai markov pada kondisi ini disebabkan transisi pada rantai markov dari satu state ke state lainnya bersifat acak, sehingga walaupun kondisi awal basin atraksi titik tetap bebas penyakit namun transisi acak memungkinkan state berpindah ke basin atraksi titik endemik.
5.
SIMPULAN & SARAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Model rantai markov waktu kontinu untuk epidemi pertussis dengan vaksin tak sempurna adalah Gambar 3.
Grafik Solusi Deterministik Stokastik
Model dan
Bila dibandingkan kedua grafik di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk ukuran populasi besar yaitu N = 1000 dan kondisi awal S(0) = 995, I(0) = 5,R(0) = 0, V (0) = 0, solusi kedua model memperlihatkan perilaku yang sama yaitu untuk nilai kedua model mencapai 0.08 kesetimbangan bebas penyakit serta untuk nilai 0,12 kedua model mencapai kesetimbangan endemik. Perhatikan bahwa 0.08 dan 0.12 keduanya berada di luar wilayah bistabiliti. Perilaku yang berbeda muncul ketika berada pada wilayah bistabiliti. Untuk ilustrasinya perhatikan gambar berikut.
SEMNAS MIPA 2010
i t N Pe1,i ,r ,v t d e 1t
Pe,i ,r ,v t t Pe1,i ,r ,v t s 1
Pe1,i1,r ,v t e 1t Pe,i 1,r ,v t d i 1t Pe,i 1,r 1,v t i 1t Pe,i , r 1,v t ( d )r 1t i t N Pe,i , r ,v1 t d v 1t
Pe1,i ,r ,v 1 t v 1
Pe,i, r ,v1 t s 1t N s v i Pe,i, r ,v t d e i r v t e i r v s Pe,i, r ,v t ot
MAT - 5
2. Pada kondisi yang sama, perilaku solusi kedua model dapat berbeda karena adanya bifurkasi backward. Tentunya masih banyak hal menarik yang dapat dikaji lebih lanjut terkait epidemi pertussis. Pengembangan model dengan memperhatikan struktur usia akan menarik mengingat karakteristik pertussis yang lebih banyak teridentifikasi pada anak-anak dan balita. Selain itu, faktor kematian pada individu terinfeksi perlu juga diperhatikan mengingat penyakit ini dapat berakibat fatal terutama bila menyerang bayi. DAFTAR PUSTAKA Allen, Linda J.S. 2003. An Introduction to Stochastic Process with Aplications to Biology. New Jersey : Pearson Prentice Hall. Brauer, Fred and Castillo, Carlos-Chavez. 2001. Mathematical Models in Population Biology and Epidemologi. New York: SpringerVerlag, Inc. Chin, J. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi 17. Jakarta: Indonesia Sehat 2010. Garba, S.M., dan Abu Bakar, R.M., 2008. Backward Bifurcation in Dengue Transmission Dybanics. Mathematics Bioscience. Suarsana, I Made. 2009. Model Dinamik untuk Epidemi Pertussis dengan Vaksin Tak Sempurna. Wahana Vol 6 No 12 Hal (97-112) Wiggins, S. 1990. An Introduction to Applied Nonlinier Dynamical System and Chaos. Spinger-Verlag, New York http://en.wikipedia.org/wiki/Pertussis
Wikipedia. Updated
2009. Pertussis. [Online]. : 27 Maret 2009.
http://en.wikipedia.org/wiki/Pertussis. Accessed : 30 Maret 2009 WHO. 2008. Indonesia Reported Case. Updated : 16 Desember 2008. http://www.who.int/vaccines/globalsum mary/immunization/countryprofile. Accessed : 31 Maret 2009
SEMNAS MIPA 2010
MAT - 6
EKSTENSI HARNACK DAN EKSTENSI CAUCHY INTERGRAL HENSTOCK-PETTIS PADA RUANG EUCLIDE R" Extension Harnack and Extension Cauchy Henstock-Pettis Integral on The Eucliden R" Hairur Rahman
SEMNAS MIPA 2010
MAT - 7
SEMNAS MIPA 2010
MAT - 8
SEMNAS MIPA 2010
MAT - 9
SEMNAS MIPA 2010
MAT - 10
SEMNAS MIPA 2010
MAT - 11
SEMNAS MIPA 2010
MAT - 12
SEMNAS MIPA 2010
MAT - 13
SEMNAS MIPA 2010
MAT - 14
PEMODELAN VARIAN VEHICLE ROUTING PROBLEM (VRP) PADA OPTIMALISASI DISTRIBUSI DAN ANALISA ALGORITMANYA Sapti Wahyuningsih Jurusan Matematika FMIPA UM
Abstrak Masalah distribusi adalah bagian dari permasalahan penyediaan barang atau jasa dari produsen (depot) ke konsumen (customer). Masalah pengangkutan dan pengiriman barang merupakan salah satu aspek penting dalam proses produksi. Vehicle Routing Problem (VRP) merupakan salah satu konsep pada teori graph yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan permasalahan optimalisasi untuk mencari sejumlah rute minimum yang berawal dan berakhir di depot. Permasalahan VRP memiliki banyak varian yang lebih menspesifikasikan permasalahan secara lebih nyata dalam penerapan kehidupan sehari-hari. Varian-varian VRP antara lain Vehicle Routing Problem with Time Window (VRPTW), Vehicle Routing Problem with Simultaneous Deliveries and Pickups (VRPSDP), dan Multiple Trip Vehicle Routing Problem (MTVRP). Permasalahan VRPTW merupakan kasus khusus VRP dengan penambahan kendala kapasitas dan waktu (time window). Vehicle Routing Problem with Pick-Ups and Deliveries (VRPPD) yang merupakan permasalahan VRP dengan penambahan kendala, dimana pada saat pengiriman barang disertai pula oleh pengambilan kemasan isi ulang/produk cacat oleh kendaraan pengangkut yang nantinya akan dikembalikan lagi ke depot. Permasalahan MTVRP adalah varian VRP dengan penambahan kendala kapasitas dan waktu dimana kendaraan dapat melayani satu rute atau lebih. Algoritma Insertion Heuristic dapat digunakan untuk menyelesaiakan VRP dan varianvariannya. Diberikan analisa algoritma untuk permasalahan tersebut. Kata Kunci: varian VRP, distribusi, algoritma.
Masalah pengangkutan dan pengiriman barang dari produsen ke konsumen merupakan salah satu aspek penting dalam proses produksi. Dalam proses produksi, masalah efektifitas dan efisiensi perlu diperhatikan karena hal ini bersangkutan dengan biaya produksi. Beberapa contoh nyata permasalahan pengangkutan dan pengiriman barang dalam kehidupan sehari-hari antara lain pengangkutan sampah, pengantaran bis sekolah, pengiriman barang pada perusahaan air minum, dan pengiriman barang agenagen elpiji. Permasalahan pengangkutan dan pengiriman barang dapat dimodelkan dalam suatu graph. Sisi pada graph merepresentasikan jalur antar konsumen dan titik-titik dalam graph sebagai produsen dan konsumen (Johnsonbaugh, 2001). Istilah produsen dalam graph dikenal dengan depot. Sedangkan istilah konsumen dalam graph dikenal dengan customer. Pada suatu kasus, depot harus dapat melayani customer yang tersebar di berbagai lokasi. Kondisi lokasi SEMNAS MIPA 2010
customer yang tersebar di seluruh wilayah, seringkali menyebabkan kendaraan harus menempuh perjalanan yang jauh dan tidak efisien.Secara lebih khusus permasalahan pengangkutan dan pengiriman barang dapat dikelompokkan sebagai permasalahan Vehicle Routing Problem (VRP) (Prana, 2008). Masalah VRP merupakan permasalahan untuk mencari sejumlah rute minimum dimana setiap customer dilayani tepat satu kali yang berawal dan berakhir di depot. Jumlah kendaraan dalam permasalahan ini diasumsikan selalu tersedia sejumlah rute yang terbentuk (Joubert J. W,. 2007). Terdapat beberapa macam pengembangan dari VRP dasar yang ada, yang merupakan varian-varian baru dari VRP. Varian-varian ini dikembangkan antara lain bertujuan untuk memodelkan aplikasi VRP dalam dunia nyata dengan lebih baik lagi sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Varian-varian dari VRP ini diperoleh dengan menerapkan batasanbatasan tambahan dari VRP dasar yang ada. MAT - 15
Vehicle Routing Problem with Time Window (VRPTW) merupakan varian dari VRP dengan memenuhi kendala jumlah permintaan tidak boleh melebihi kapasitas kendaraan dan total waktu, baik waktu tempuh maupun waktu pelayanan. Selain VRPTW, terdapat varian lain dari permasalahan VRP yaitu VRPPD (Vehicle Routing Problem with Pick-Ups and Deliveries) yang merupakan permasalahan VRP dengan penambahan kendala, dimana pada saat pengiriman barang disertai pula oleh pengambilan kemasan isi ulang/produk cacat oleh kendaraan pengangkut yang nantinya akan dikembalikan lagi ke depot (Cao, Erbao dan Lai, Chun-Mei). Pada VRPTW dan VRPSDP, kendaraan melayani tepat satu kali untuk satu rute yang terbentuk. Padahal pada kenyataannya, terdapat beberapa kasus yang menyebabkan kendaraan dalam suatu instansi atau perusahaan dapat beroperasi atau melayani lebih dari satu rute. Keadaan yang seperti ini dapat dirumuskan sebagai salah satu varian VRP yaitu MTVRP. Permasalahan MTVRP adalah varian VRP dengan penambahan kendala kapasitas dan waktu dimana kendaraan dapat melayani satu rute atau lebih (Olivera, 2004). 1. PEMODELAN MATEMATIKA UNTUK VRP DAN VARIANNYA Pemodelan matematika untuk VRP yang bertujuan untuk meminimumkan total jarak tempuh secara matematis sebagai berikut: Min c ij x ijk k K
x ijk
iV
jV
1, jika kendaraan k dijalankan dari titik i ke j, i j 0, untuk yang lain
Adapun batasan-batasan yang digunakan adalah : 1. Setiap customer hanya dikunjungi tepat satu kali dan hanya oleh satu kendaraan
x
k K
k ij
1 , j V /0
iV
2. Total permintaan dari setiap customer dalam satu rute tidak boleh melebihi kapasitas kendaraan
q x i
iV / 0
k ij
Q , k K
jV
SEMNAS MIPA 2010
3. Setiap kendaraan harus meninggalkan customer yang telah dikunjungi k ih
x x iV
k hj
0, h V /0, k K
jV
4. Setiap kendaraan yang meninggalkan depot harus kembali ke depot
x
k 0j
1, k K
x
k j0
1, k K
jV / 0
jV / 0
5. Nilai xijk 0,1, i V , j V , k K Permasalahan VRP bertujuan untuk menentukan suatu himpunan rute kendaraan dengan jarak minimum. Rute kendaraan pada VRP berawal dan berakhir pada satu depot dan setiap costumer tepat dikunjungi satu kali. Pemodelan VRPTW menyerupai dengan pemodelan VRP dengan penambahan bobot service time (st) dari permintaan pada titik dan bobot travel time (tij) pada sisi. Desain rute juga mempertimbangkan service time (sti) yaitu waktu pelayanan pada customer i dan travel time (tij) yaitu waktu yang harus ditempuh dari customer i ke j. Pada setiap rute akan didapat Ttotal yang merupakan total durasi waktu yang dibutuhkan (travel dan service time), dimana Ttotal tidak boleh melebihi Tlayanan (Time Window) yang ditetapkan. Pemodelan VRPSDP sebagai varian dari VRP dapat dimodelkan menyerupai VRP dengan n customer dilayani oleh kendaraan k, yang masing-masing mempunyai kapasitas Q. Setiap customer mempunyai permintaan pengiriman barang sejumlah di dan jumlah pengembalian barang sejumlah pi dengan i 1, 2,....,n . Setiap kendaraan berangkat dari depot dan kembali lagi ke depot. Sehingga solusi yang dihasilkan dari permasalahan VRPSDP adalah himpunan rute dimana tiap customer hanya dikunjungi satu kali dan total permintaan maupun pengembalian barang untuk setiap kendaraan tidak melebihi Q dengan total jarak tempuh yang minimum. Vehicle Routing Problem with Simultaneous Deliveries and Pick-ups (VRPSDP) didasarkan pada himpunan yang bersisi dari suatu graph G N , A dengan himpunan sisi A dan himpunan titik N, dimana satu titik mewakili sebuah depot dan MAT - 16
titik-titik yang lain mewakili beberapa customer. Pada teori graph, Wilson, Robin J. &Watkins, John J. 1990 Pada permasalahan VRP dan variannya, graph G dianggap sebagai peta yang menjelaskan kemungkinan jalur yang dapat dilewati dengan setiap titik mewakili depot dan customer. Setiap sisi pada graph menunjukkan jalan yang menghubungkan antar titik dan setiap bobot pada sisi mewakili jarak.
Contoh pemodelan dengan graph untuk menemukan rute minimum untuk melayani 6 customer. Setiap pelayanan yang dilakukan tidak boleh melanggar kendala kapasitas serta setiap rute berawal dan berakhir di depot. Bobot sisi pada graph menunjukkan jarak antara depot ke customer, sehingga dapat digambarkan dalam bentuk graph seperti pada gambar berikut : 2
1
55 76
65
115 165
80
3
110
112
124
0
53 68 138
155 167
124
145
170
4
32 78 60
6
2. ALGORITMA DAN ANALISANYA Metode insertion heuristic untuk VRP berawal dari membentuk suatu rute dengan nilai saving yang paling besar. Kemudian customer lain dipilih untuk disisipkan dengan syarat memenuhi kendala kapasitas, dengan memindahkan satu sisi dari rute yang telah ada dan terhubung dengan customer yang baru. Jika terdapat sisa customer yang belum masuk rute, prosedur awal dan penyisipan diulangi hingga seluruh customer dapat dilayani. Saat tidak ada customer dengan penyisipan yang feasible dapat ditemukan, metode tersebut memulai rute baru, sampai semua customer telah masuk rute. Metode Insertion Heuristic dikembangkan menjadi metode Nearest Insertion Heuristic yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan VRP dengan penambahan kendala waktu. Solusi yang dihasilkan dalam menyelesaikan
SEMNAS MIPA 2010
5
pemasalahan VRPTW dengan menggunakan metode Nearest Insertion Heuristic tersebut berupa beberapa cycle yang memuat semua titik pada graph. Metode Insertion Heuristic diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan VRPSDP, yaitu suatu permasalahan untuk menentukan rute dengan jarak tempuh yang minimum dengan penambahan kendala pada kapasitas kendaraan, yaitu dalam satu rute, total permintaan maupun pengembalian barang oleh customer tidak melebihi kapasitas kendaraan (Tanjung, dan Rusdiansyah, 2008). Metode Insertion Heurstic untuk VRPSDP merupakan kombinasi dari metode saving dan penyisipan yang didasarkan pada kapasitas residual (residual capacity) dengan modifikasi untuk mendapatan rute kendaraan dengan penggunaan kapasitas kendaraan secara efektif. Metode Insertion Heuristic terdiri dari 2 tahap. Tahap pertama MAT - 17
yaitu membentuk suatu rute kendaraan secara simultan dengan menemukan customer yang feasible dengan tahap penyisipan terkecil untuk menambahkannya pada rute PR k . Customer h yang terpilih dengan syarat memenuhi d i pi dan penggunaan kapasitas secara efektif. Suatu customer feasible dapat ditambahkan ke dalam rute kendaraan hanya jika kendala kapasitas tidak dilanggar. Pada Tahap II, hitung nilai penyisipan dari setiap customer h dengan d i pi . Pada setiap posisi yang mungkin dari tiaptiap rute parsial PR k , sisipkan customer yang terpilih pada posisi penyisipan terkecil. Suatu customer disisipkan ke dalam rute kendaraan hanya jika customer tersebut tidak melanggar kendala kapasitas. Metode insertion heuristic pada MTVRP memiliki dua tahapan penyelesaian, yaitu tahap inisialisasi dan tahap iterasi. Pada tahap inisialisasi dibentuk rute awal yang berawal dan berakhir di satu titik yang sama yaitu depot pada setiap kendaraan yang tersedia. Sedangkan tahap iterasi merupakan suatu tahap untuk melakukan penghitungan profitability, pengecekan feasibility, dan melakukan proses penyisipan customer yang tidak pada rute. Profitability adalah negative ekstra travel time yang diperlukan customer h untuk disisipkan diantara Metode Nearest Insertion Heuristic juga diterapkan pada permasalahan VRPTW. Permasalahan VRPTW adalah permasalahan untuk menentukan sejumlah rute minimum yang berawal dan berakhir di depot untuk sekumpulan kendaraan agar tiap customer dapat dilayani dengan memenuhi kendala yang ada seperti pada permasalahan VRP namun dengan penambahan kendala waktu. Sehingga langkah algoritma yang digunakan pun pada dasarnya sama, hanya pada saat pembentukan dan penyisipan rute, juga ditambahkan syarat yaitu selain harus memenuhi kendala kapasitas juga harus memenuhi kendala waktu. Pada MTVRP, metode insertion heuristic dimulai dengan pembentukan rute awal yang dipasangkan pada kendaraan yang tersedia. Kemudian dilanjutkan perluasan rute dengan pemilihan dan penyisipan titik sampai semua titik telah terpilih dan SEMNAS MIPA 2010
terbentuk sekumpulan rute yang terpasangkan dengan kendaraan. Pada langkah inilah setiap kendaraan dapat melewati satu rute atau lebih. Berdasarkan langkah metode nearest insertion heuristic pada VRP dan VRPTW serta langkah metode insertion heuristic pada MTVRP, terlihat bahwa permasalahan VRP dan VRPTW dapat ditelaah dengan menggunakan permasalahan MTVRP. Ini dikarenakan pada dasarnya ketiga permasalahan tersebut memiliki kesamaan yaitu adanya pemilihan sejumlah rute minimum dengan memperhatikan kendala kapasitas dan waktu. Pada VRPTW jumlah kendaraan tidak diketahui. Sedangkan pada MTVRP jumlah kendaraan yang tersedia harus diketahui. Sehingga sebelum menyelesaian VRPTW menjadi MTVRP dengan menggunakan metode insertion heuristic, dilakukan pengasumsian banyaknya kendaraan. Berdasarkan rangkaian analisa dapat disimpulkan bahwa metode insertion heuristic pada permasalahan MTVRP dengan metode nearest insertion heuristic pada VRP dan VRPTW memiliki kesamaan yaitu menyisipkan titik ke dalam rute yang telah terbentuk. Pemilihan dan penyisipan titik pada VRP dan VRPTW didasarkan pada jarak tempuh, sedangkan pada MTVRP didasarkan pada waktu tempuh kendaraan. Tetapi VRPTW dan MTVRP memiliki perbedaan dalam pengasumsian kendaraan. Pada VRPTW diasumsikan banyaknya kendaraan sama dengan banyaknya rute yang terbentuk. Sedangkan MTVRP jumlah kendaraan yang tersedia harus diketahui terlebih dahulu agar dapat dipasangkan dengan rute-rute yang terbentuk. Jadi permasalahan VRP dan VRPTW masih dapat diselesaikan dengan metode insertion heuristic pada MTVRP dengan pengasumsian jumlah kendaraan diawal penyelesaian. Berdasarkan langkah metode insertion heuristic pada VRPSDP dan MTVRP, terlihat bahwa metode yang digunakan pada penyelesaian permasalahan VRPSDP tidak sesuai dengan penyelesaian permasalahan MTVRP. Ini dikarenakan pada VRPSDP terdapat suatu penambahan permasalahan yang berpengaruh terhadap batasan kapasitas kendaraannya, yaitu adanya suatu keadaan dimana pada saat MAT - 18
pengiriman barang, dilakukan pula pengambilan kemasan isi ulang/produk cacat secara simultan pada setiap titik pada lintasan. Metode insertion heuristic pada VRPSDP diselesaikan dengan langkah awal menghitung selisih dari jumlah permintaan ( di ) dan pengembalian barang ( pi ) tiap customer untuk dijadikan patokan dalam pemilihan dan penyisipan titik customer saat perluasan rute dengan memenuhi kendala kapasitas. Dalam permasalahan MTVRP, batasan kapasitas hanya digunakan untuk sejumlah barang yang dikirim oleh kendaraan pada rute yang dilalui, sehingga harus memenuhi batasan:
q x i
i N / 0
k ij
Q , k V
j N
yang artinya total permintaan dari setiap customer dalam satu rute tidak boleh melebihi kapasitas kendaraan. Sedangkan dalam permasalahan VRPSDP, batasan kapasitas harus memenuhi sejumlah barang yang dikirim maupun yang akan diangkut nantinya oleh kendaraan pengantar pada rute tersebut, sehingga harus memenuhi batasan: k ij
Q, k V
k ij
Q , k V
q x i
i N / 0
DAFTAR RUJUKAN Cao, Erbao and Lai, Mingyong. Tanpa Tahun. An Improved Genetic Algorithm for the Vehicle Routing Problem with Simultaneous Delivery and Pick-up Service, (Online), (http://it.swufe.edu.cn/UploadFile/other/xsjl/sixw uhan/ Paper/ IM135.pdf, diakses 24 Januari 2009).
j N
p x i
i N / 0
(VRPSDP), dan Multiple Trip Vehicle Routing Problem (MTVRP). Pada pemodelan VRP dan variannya tersebut memperhatikan penembahan kendalanya. Dapat dikembangkan pemodelan dan analisa algoritma jenis VRP yang lain misalnya 1. Capacitated Vehicle Routing Problem (CVRP) setiap kendaraan memiliki kapasitas yang sama dengan satu komoditas 2. Multi Depot Vehicle Routing Problem (MDVRP) banyaknya depot yang melayani customer lebih dari satu, 3. Site-Dependent Vehicle Routing Problem (SDVRP), 4. Vehicle Routing Problem Backhlaus (VRPB) dan 5. Vehicle Routing Problem Pickup and Delivery (VRPPD) customer dapat menerima dan mengirim barang secara bersamaan.
j N
yang artinya total pengiriman dan pengambilan barang pada tiap customer dalam satu rute tidak boleh melebihi kapasitas kendaraan. Berdasarkan uraian analisa metode insertion heuristic yang digunakan dalam penyelesaian permasalahan MTVRP dengan permasalahan VRPSDP mempunyai persamaan dalam hal penyisipannya, yaitu sama-sama melakukan proses perluasan rute dengan penyisipan titik customer. Namun proses penyisipan yang dilakukan berbeda. Perbedaannya yaitu, pada permasalahan MTVRP, penyisipan titik customer didasarkan pada waktu tempuh. Sedangkan pada permasalahan VRPSDP, penyisipan titik customer didasarkan pada jumlah permintaan maupun pengembalian barang tiap customernya. 3. PENUTUP Telah dibahas VRP dan variannya yaitu Vehicle Routing Problem with Time Window (VRPTW), Vehicle Routing Problem with Simultaneous Deliveries and Pickups SEMNAS MIPA 2010
Johnsonbaugh, Richard. 2001. Discrete Mathemathics. Fifth Edition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Joubert J. W,. 2007. The Vehicle Routing Problem : Origins and Varians, (online), (http://upetd.up.ac.za/thesis/available/etd07202007-175138/.../02 chapter2.pdf, diakses 5 Februari 2010). Lai, Chun-Mei, Chen, Cheng-Che and Ma, YouNan. Tanpa Tahun. Vehicle Routing Problem with Simultaneously Deliveries and Pickups, (Online), (www.feu.edu.tw/2503/250306.pdf, diakses 24 Januari 2009). Olivera, Alvredo. 2004. Adaptive Memory Programming for The Vehicle Routing Problem with Multiple Trip, (online), (http://www.fing.edu.uy/inco/pedeciba/bibliote/ reptec/TR0411.pdf, diakses 11 Januari 2010). Prana, Raden. 2008. Aplikasi Kombinatorial pada Vehicle Routing Problem, (Online), (http://www.informatika.org/~rinaldi/Matdis/200 7-2008/Makalah/MakalahIF2153-0708-027.pdf, diakses 09 Januari 2009). Rosen, K. H. 1995. Discrete Mathematics and its Application. Third Edition. New York: McGrawHill, Inc.
MAT - 19
Singer, Bilal. 2008. The Multiple Trip Vehicle Routing Problem, (online), (http://www.few.vu.nl/en/Images/werkstuksinger_tcm39-91434.doc, diakses 4 November 2009). Tanjung, Kristina N. E. dan Rusdiansyah, Ahmad. 2008. Algoritma Heuristik untuk Penyelesaian Asymmetrics Vehicle Routing Problem with Simultaneous Deliveries and PickUps (AVRPSDP), (Online), (http://mmt.its.ac.id /library/wp-content/uploads/2008/12/30prosiding-kristina-ok-print.pdf, diakses 09 Januari 2009).
SEMNAS MIPA 2010
MAT - 20
PEMODELAN RADIASI GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK PONSEL TERHADAP TUBUH MANUSIA 1)
Binti Isroul Fauziah1), Toto Nusantara2) Alumni 2010 Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang, 2) Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang
Abstrak Radiasi pada dasarnya adalah suatu cara perambatan energi dari sumber energi ke lingkungan tanpa membutuhkan perantara. Ponsel merupakan salah satu sumber radiasi karena ponsel dapat merambatkan gelombang elektromagnetik ke dalam tubuh manusia. Artikel ini mendeskripsikan radiasi gelombang elektromagnetik pada tubuh manusia dengan model matematika. Untuk mendeskripsikan model matematika yang diperoleh, digunakan metode numerik dengan metode elemen hingga dengan memanfaatkan software FlexPDE untuk analisis hasil proses radiasi. Kenaikan temperature dalam tubuh dipengaruhi oleh intensitas gelombang elektromagetik sebagai sumber radiasi dan sifat autocatalytic tubuh yang meningkatkan temperature akibat aktivitas kimiawi tubuh. Kata kunci: radiasi, elektromagnetik, ponsel, autocatalytic
1.
PENDAHULUAN
Makalah ini memaparkan hasil kajian tentang masalah radiasi gelombang elektromagnetik ponsel terhadap tubuh manusia khususnya pada otak sebagai materi yang terkena radiasi. Ada beberapa bagian otak yang dimodelkan memiliki sifat penyerapan panas yang berbeda, tergantung pada fungsi dari materi tersebut. Dahulu masyarakat mengenal dan memanfaatkan alat komunikasi tradisional seperti surat yang dikirimkan oleh burung merpati putih, kemudian berkembang dengan adanya jasa pos, dilanjutkan lagi dengan diciptakannya alat-alat canggih seperti telegram, faksimil, handy talkie, telepon, internet, dan lain sebagainya. Semua hal itu semata-mata dilakukan hanya untuk mempermudah fasilitas hidup. Oleh karena itu, penulis memfokuskan pembahasan pada telepon seluler atau biasa disebut ponsel. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia telepon adalah pesawat dengan listrik dan kawat, untuk bercakap-cakap antara dua orang yang berjauhan tempatnya. Sedangkan seluler berarti berbentuk sel atau dibagi dalam selsel atau bilik-bilik. Dari pengertian tersebut dapat digambarkan bentuk telepon itu yang berukuran kecil diibaratkan seperti sel sehingga praktis dan mudah dibawa kemanamana. Tidak jarang pula karena kepraktisannya banyak orang menyebutnya
SEMNAS MIPA 2010
dengan telepon genggam karena memang penggunaannya dengan digenggam. Perkembangan kecanggihan ponsel saat ini menggelitik para ahli untuk melihat seberapa jauh kemungkinan pengaruh adanya radiasi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh emiter ponsel terhadap tubuh manusia, khususnya bagian otak. Radiasi pada dasarnya adalah suatu cara perambatan energi dari sumber energi ke lingkungannya tanpa membutuhkan perantara. Beberapa proses radiasi misalnya perambatan panas, cahaya, dan gelombang radio. Ponsel merupakan salah satu sumber radiasi karena ponsel dapat merambatkan gelombang elektromagnetik ke dalam tubuh manusia.
MAT - 21
Gambar 1 Gambar Kepala dan Otak yang Terkena Radiasi Gelombang Elektromagnetik (http://www.docstoc.com) Radiasi gelombang elektromagnetik pada tubuh manusia tersebut dapat dipresentasikan ke dalam model matematika. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisis numerik dengan metode elemen hingga. Dalam kajian ini digunakan medan listrik yang berbentuk fungsi Gauss yaitu
2
2
E x, y exp x x0 y y 0 / 2
(Toto Nusantara), dimana (x0,y0) merupakan pusat radiasi gelombang elektromagnetik yaitu daerah sekitar telinga dengan pusat radiasi (x0,y0 ) = (0.375, 0.45) dan σ = 0.1. Walaupun permasalahan tentang pengaruh radiasi gelombang elektromagnetik terhadap tubuh manusia masih menjadi perdebatan para ahli radiasi, tetapi makalah ini hanya menunjukkan bagaimana efek radiasi gelombang elektromagnetik pada tubuh melalui simulasi numerik.
Organisasi makalah ini adalah sebagai berikut. Bagian kedua makalah akan mendeskripsikan materi sekitar kepala yang menjadi obyek kajian. Pada bagian ketiga diuraikan persamaan dasar untuk masalah radiasi gelombang elektromagnetik ponsel, bagian keempat akan diuraikan model matematika tentang radiasi gelombang elektromagnetik ponsel terhadap tubuh manusia. Selanjutnya pada bagian kelima akan diuraikan hasil-hasil numerik yang diperoleh. Kesimpulan disajikan pada bagian terakhir dari makalah ini. 2.
DESKRIPSI MATERI Geometri domain yang digunakan dalam penelitian ini merujuk dari makalah Toto Nusantara yaitu berupa materi 2D berbentuk kepala manusia yang digambarkan pada daerah satuan D yang dikonstruksi oleh 63 titik dengan beberapa bagian pada otak memiliki sifat difusivitas berbeda. Hal ini dikarenakan daya serap panas dari setiap materi berbeda, tergantung pada fungsi dari materi tersebut.
Lobus Parietalis
Lobus Frontalis
Lobus Oksipitalis Lobus Temporalis Serebelum
Gambar 2 Geometri Domain dengan Beberapa Bagian Memiliki Sifat Penyerapan Panas Berbeda Bagian terbesar dari domain yaitu bagian kepala memiliki parameter difusivitas 0 , sedangkan bagian-bagian lain yang lebih kecil, yaitu serebelum, lobus oksipitalis, lobus temporalis, lobus frontalis dan lobus parietalis memiliki nilai parameter difusivitas berturut-turut 1 , 2 , 3 , 4 , dan 5 . Dalam penelitian ini nilai-nilai parameter tersebut memenuhi hubungan 0 1 2 3 4 5 . Radiasi gelombang mikro pada daerah yang SEMNAS MIPA 2010
memiliki sifat difusivitas terkecil, akan memiliki efek pembentukan hospot yang cukup besar (Nusantara, 1996). Dengan kata lain radiasi gelombang mikro akan lebih mempengaruhi daerah yang sifat difusivitasnya paling kecil. 3.
PERSAMAAN DASAR
Menurut Toto Nusantara dkk, model pemanasan dengan microwave dijelaskan oleh persamaan berikut
MAT - 22
.
(1) Karena gelombang elektromagnetik pada ponsel dan gelombang pada microwave sejenis yaitu gelombang mikro, maka persamaan dasar dari model tentang radiasi gelombang elektromagnetik sama dengan model pemanasan dengan microwave. Pada persamaan tersebut menyatakan temperatur; menyatakan fungsi difusivitas dengan sifat > 0, >0 dan dalam penelitian ini menggunakan bentuk fungsi difusivitas , untuk suatu parameter positif dan ; adalah parameter positif yang terkait dengan intensitas medan listrik; adalah sumber pemanasan yang disebabkan oleh medan listrik; dan adalah ekspresi sumber pemanasan akibat reaksi kimia auto katalis dengan sifat > 0, > 0. Seperti yang diamati Smith (dalam makalah Chandra, dkk, 1996) sangat realistik untuk mengambil bentuk sebagai fungsi bertipe Arrhenius, yaitu suatu > 0. 4.
untuk
MODEL MATEMATIKA
Persamaan dasar dari model radiasi gelombang elektromagnetik adalah persamaan (1). Karena dalam pembahasan ini melibatkan energi listrik 2D, yaitu maka persamaan (1) ditulis kembali menjadi . (2) Dengan: , dengan
> 0,
>0 untuk suatu > 0, dengan > 0, > 0. Selanjutnya domain seperti yang dijelaskan pada subbab sebelumnya, yaitu D dengan syarat awal dan syarat batas sebagai berikut
pada , dimana domain D adalah materi 2D yang berbentuk kepala manusia yang dikonstruksi oleh 117 titik terhubung dengan SEMNAS MIPA 2010
beberapa bagian pada otak memiliki sifat difusivitas berbeda. Dari Gambar 2 pada bagian 3 terdapat 5 materi yang terdapat dalam domain D yaitu serebelum dikonstruksi oleh 20 titik yang terhubung, lobus oksipitalis dikonstruksi 26 titik yang terhubung, lobus temporalis dikonstruksi 35 titik yang terhubung, lobus frontalis dikonstruksi 51 titik yang terhubung dan lobus parietalis dikonstruksi 30 titik yang terhubung. 5.
HASIL-HASIL NUMERIK
Pembahasan ini adalah hasil simulasi yang tidak berkaitan dengan pengukuran fisis sesungguhnya, akan tetapi hanya menunjukkan analogi terhadap proses yang terjadi. Dimana pengambilan nilai setiap parameter khususnya berdasarkan pada fungsi dari masing-masing materi yang telah ditentukan. Dalam pembahasan ini juga akan dikaji beberapa kasus dengan nilai faktor amplitudo sifat difusivitas pada masing-masing daerah kepala, serebelum, lobus oksipitalis, lobus temporalis, lobus frontalis, dan lobus parietalis berturut-turut = 3, 0.6, 0.3, 0.1, 0.05, dan 0.025. Sedangkan = 0.005 untuk faktor eksponensial dalam sifat difusivitas material. Untuk besarnya intensitas medan listrik yaitu dan sifat auto catalytic pada material yaitu akan diberikan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Besar Nilai dari Faktor Luar dan Dalam yang Mempengaruhi Radiasi serta Fungsi Difusivitas yang akan Dikaji Faktor Luar ( 1 5
Faktor Dalam ( 5 1
Fungsi Difusivitas Kasus I
Kasus II
Pada Tabel 1 ada 2 faktor yang mempengaruhi radiasi gelombang elektromagnetik terhadap tubuh manusia khususnya otak yaitu faktor luar dan dalam. Dimana intensitas medan listrik dari gelombang elektromagnetik sebagai faktor luar dan sifat auto catalytic pada materi sebagai faktor dalam. Dari tabel tersebut nilai 1,2 dan 1,2 akan dikombinasikan MAT - 23
menjadi beberapa kasus dibawah ini dengan fungsi difusivitas yang berbeda yaitu dan . Adapun kasus-kasus yang akan dikaji antara lain: a. Kasus I, jika 1) = 1, =5 2) = 5, =1 b. Kasus II, jika 1) = 1, =5 2) = 5, =1 Dari kasus-kasus di atas akan dilihat bagaimana perbedaan dari kasus I dan II dimana masing-masing kasus terdapat kasus khusus sehingga dapat dilihat perubahan temperatur dari masing-masing materi jika beberapa faktor yang mempengaruhi memiliki nilai yang berbeda. Untuk keperluan sajian dalam pembahasan ini, dilakukan pengukuran dinamika pemanasan yang dilakukan pada titik-titik tertentu. Titik-titik pengukuran dipilih dalam masingmasing materi dengan sifat difusivitas yang berbeda.
a
SEMNAS MIPA 2010
Gambar 3 Posisi Pengukuran Temperatur pada Masingmasing Materi Selanjutnya pada masing-masing posisi tersebut akan dilacak perubahan temperatur setiap waktu pengukuran. Berikut adalah hasil dan analisis hasil numerik dari kasus-kasus yang dikaji: a. Kasus I, jika (konstan) Pada kasus ini, besar intensitas medan listrik dan sifat autocatalytic pada materi diberikan berturut-turut = 1, = 5 dan = 5, = 1 dengan fungsi difusivitas . Berikut ini adalah gambar-gambar hasil perhitungan numerik yang dipotret untuk beberapa waktu tertentu ketika proses pemanasan terjadi. Gambar 4 hasil pengukuran pada awal pemanasan memperlihatkan, ketika gelombang elektromagnetik mengenai materi terjadi proses pemanasan dari materi, temperatur pada masing-masing materi meningkat, dan khususnya untuk daerah yang terkena langsung gelombang elektromagnetik terjadi perubahan temperatur yang drastis.
b
MAT - 24
c Gambar 4. a. Kurva ketinggian pada awal pemanasan kasus 1 b. History pada titik-titik pengukuran kasus 1 c. Kurva ketinggian pada awal pemanasan kasus 2 d. History pada titik-titik pengukuran kasus 2 Sumber radiasi gelombang elektromagnetik terletak didekat daerah serebelum karena daerah tersebut paling dekat dengan telinga, sehingga perubahan temperatur yang drastis terjadi pada daerah serebelum. Yang membedakan antara kasus 1 dan kasus 2 adalah besarnya perubahan suhu pada setiap materi dan pada kasus 1 perubahan suhunya lebih tinggi dibangding kasus 2.
a
d
Memperhatikan proses pemanasan pada materi yang terjadi pada Gambar 4, pada daerah lobus parietalis mengalami pemanasan internal yang sangat dinamis karena daerah tersebut memiliki sifat difusivitas materi yang sangat rendah dari materi yang lain. Gambar berikut ini merupakan hasil perhitungan berikutnya pada saat t = 0.5.
b
c d Gambar 5. a. Kurva ketinggian pada saat t = 0.5 untuk kasus 1 b. History pada titik-titik pengukuran saat t = 0.5 untuk kasus 1 c. Kurva ketinggian pada saat t = 0.5 untuk kasus 2 d. History pada titik-titik pengukuran saat t = 0.5 untuk kasus 2 Dari Gambar 5 terlihat bahwa terjadi perubahan kenaikan suhu dari setiap materi baik untuk kasus 1 maupun kasus 2. Hasil akhir perhitungan dari proses radiasi gelombang
SEMNAS MIPA 2010
elektromagnetik disajikan pada Gambar 6. Pada hasil akhir perhitungan menunjukkan bahwa perubahan suhu pada kasus 1 lebih besar dibanding kasus 2. Berarti dapat disimpulkan
MAT - 25
bahwa untuk catalytic pada
sifat auto materi lebih
mempengaruhi perubahan temperatur dari pada intensitas energi listrik.
a
b Gambar 6 a. Hasil Akhir Perhitungan Numerik pada Saat t = 5 untuk kasus 1 b. Hasil Akhir Perhitungan Numerik pada Saat t = 5 untuk kasus 2 b.
Kasus II, jika Pada kasus ini, besar intensitas medan listrik dan sifat auto catalytic pada materi sama dengan kasus sebelumnya yaitu berturut-turut = 1, = 5 dan = 5, = 1 tetapi fungsi difusivitas yang digunakan adalah . Berikut ini adalah gambar-gambar hasil perhitungan numerik yang dipotret untuk beberapa waktu tertentu ketika proses pemanasan terjadi. Gambar 7 hasil pengukuran pada awal pemanasan memperlihatkan, ketika gelombang elektromagnetik mengenai materi terjadi proses pemanasan dari materi, temperatur pada masing-masing materi juga meningkat, dan khususnya untuk daerah yang terkena langsung gelombang
SEMNAS MIPA 2010
elektromagnetik terjadi perubahan temperatur yang drastis karena sumber radiasi gelombang elektromagnetik terletak didekat daerah serebelum dan daerah tersebut paling dekat dengan telinga, sehingga perubahan temperatur yang drastis terjadi pada daerah serebelum. Yang membedakan antara kasus 1 dan kasus 2 adalah besarnya perubahan suhu pada setiap materi dan pada kasus 1 perubahan suhunya lebih tinggi dibanding kasus 2. Memperhatikan proses pemanasan pada materi yang terjadi pada Gambar 7, pada daerah lobus parietalis mengalami pemanasan internal yang sangat dinamis karena daerah tersebut memiliki sifat difusivitas materi yang sangat rendah dari materi yang lain.
MAT - 26
a
b Gambar 7 a. Hasil perhitungan pada awal pemanasan untuk kasus 1 b. Hasil perhitungan pada awal pemanasan untuk kasus 2 Gambar berikut ini merupakan hasil perhitungan berikutnya pada saat t = 0.5.
a
b Gambar 8 a. Hasil perhitungan saat t = 0.5 untuk kasus 1
SEMNAS MIPA 2010
MAT - 27
b. Hasil perhitungan saat t = 0.5 untuk kasus 2 Dari Gambar 8 juga terlihat bahwa terjadi perubahan kenaikan suhu dari setiap materi baik untuk kasus 1 maupun kasus 2. Hasil akhir
perhitungan dari proses radiasi gelombang elektromagnetik disajikan pada Gambar 9 berikut
a
b Gambar 9 a. Hasil Akhir Perhitungan Numerik pada Saat t = 5 untuk kasus 1 b. Hasil Akhir Perhitungan Numerik pada Saat t = 5 untuk kasus 2 Pada hasil akhir perhitungan menunjukkan bahwa perubahan suhu pada kasus 1 lebih besar dibanding kasus 2. Pada kasus ini sifat auto catalytic pada materi juga lebih mempengaruhi perubahan temperatur dari pada intensitas energi listrik. Tetapi jika perubahan suhu pada kasus dibandingkan dengan kasus maka perubahan suhu pada kasus lebih besar. 6. KESIMPULAN Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari masalah pemodelan matematika tentang radiasi gelombang elektromagnetik ponsel pada tubuh manusia adalah 1. Model matematika tentang radiasi gelombang elektromagnetik ponsel terhadap tubuh manusia adalah SEMNAS MIPA 2010
. Dengan: , dengan
> 0,
>0 untuk suatu > 0, dengan > 0, > 0. Dan domain D dengan syarat awal dan syarat batas
pada , dimana domain D adalah materi 2D yang berbentuk kepala manusia yang dikonstruksi oleh 63 titik terhubung dengan beberapa bagian pada otak memiliki sifat difusivitas berbeda. 2. Dari beberapa kasus yang dikaji pada bagian kelima dapat disimpulkan bahwa MAT - 28
temperatur setiap materi akan semakin naik dari waktu ke waktu jika intensitas energi listrik dan nilai sifat auto catalytic pada materi semakin besar. Dari kedua faktor (intensitas energi listrik dan nilai sifat auto catalytic pada materi) yang mempengaruhi temperatur pada proses radiasi gelombang elektromagnetik ponsel yang lebih berpengaruh adalah sifat auto catalytic pada materi. Tetapi jika dilihat dari fungsi difusivitasnya, fungsi difusivitas yang tak konstan yaitu yang lebih mempengaruhi besar perubahan temperatur pada setiap materi khususnya materi yang dekat dengan sumber radiasi dan materi yang memiliki sifat difusivitas paling kecil. 7. REFERENSI
Chandra, D,dkk. 1996. On The Formation of Hotspot in Microwave Heating. Proc. Of ICDE’96, 245 – 255. Mahardika, I Putu, dkk. 2009. Efek Radiasi Gelombang Elektromagnetik Ponsel terhadap Kesehatan Manusia. (http://www.docstoc.com) diakses pada tanggal 2 Januari 2010. Nusantara, Toto. Tanpa Tahun. On The Moving Electric Field Dynamic in Microwave Heating. Makalah tidak diterbitkan. Malang: FMIPA UM. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Swamardika, I.B. Alit. 2009. Pengaruh Radiasi Gelombang Elektromagnetik terhadap Kesehatan Manusia. Bali: Fakultas Teknik Universitas Udayana.
SEMNAS MIPA 2010
MAT - 29
PERAMALAN DATA INDEKS HARGA SAHAM KOMPAS100 MENGGUNAKAN METODE ARFIMA (AUTOREGRESSIVE FRACTIONALLY INTEGRATED MOVING AVERAGE). Andini Eka Irlianti, Hendro Permadi Jurusan Matematika FMIPA UM
Abstrak Indeks harga saham adalah suatu indikator yang menunjukkan pergerakan harga saham. Pergerakan indeks menjadi indikator penting bagi para investor untuk menentukan apakah mereka akan menjual, atau membeli suatu atau beberapa saham. Dalam perdagangan saham sehari-hari, harga saham tidak dapat dipastikan karena selalu mengalami perubahan. Diperlukan metode peramalan untuk memprediksi harga saham pada masa yang akan datang untuk menghindari kerugian. Metode yang paling umum digunakan untuk memodelkan deret waktu (time series) adalah Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA). Metode ini mempunyai keterbatasan hanya dapat menjelaskan deret waktu jangka pendek (short memory), dan pemodelan dengan metode ARIMA hanya dapat menjamin kestasioneran data dengan nilai differencing (d) bernilai bilangan bulat. Untuk mengatasi kelemahan metode ARIMA tersebut, diperkenalkanlah metode Autoregressive Fractionally Integrated Moving Average (ARFIMA) yang merupakan pengembangan dari metode ARIMA. Metode ini dapat menjelaskan deret waktu jangka pendek dan jangka panjang sekaligus. Pada metode ini nilai differencing (d) tidak dibatasi pada nilai integer saja, akan tetapi juga riil. Pendugaan nilai d dilakukan dengan menggunakan Hurst Eksponen. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah Data indeks Harga Saham Kompas100. Data Kompas100 terindikasi memiliki ketergantungan jangka panjang yaitu data yang pengamatan yang jauh terpisah masing saling mempengaruhi. Indikasi tersebut diperoleh berdasarkan plot ACF dan plot periodogram data. Dari hasil penelitian diperoleh model yang sesuai untuk data indeks harga saham Kompas100 adalah ARFIMA (3,d,5) memiliki persamaan sebagai berikut: dimana dengan nilai AIC = 8.79941409 Kata kunci: ARFIMA, periodogram, Hurst Eksponen, saham Kompas100 Abstract Stock price index is an indicator that shows the movement of stock price. The Index movement is important for investor to make a decision whether they have to sell or buy some stock. In daily stock trading, stock price always change. The investor need forecasting methods to predict the stock price for the next period, so they will not suffer any loss. The most ordinary methods for time series is Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA). This method has limitation that it is only explain the short memory of time series, and can guarantee the stationarity by integer differencing only. Autoregressive Fractionally Integrated Moving Average (ARFIMA) is introduced to overcome that limitation. ARFIMA methods can explain both short memory and long memory time series. The value of differencing (d) not only restrict by integer, but also real number. Estimation of d use the Hurst Exponent. This research use the stock price indeks of Kompas100. It was indicated to have the long memory properties, it means that the far separated data still have influence each other. It based on ACF and periodogram data plot. And this research result show that the suitable ARFIMA model for Kompas100 stock price index data is ARFIMA (3,d,5) by the equation: Where with the value of AIC = 8.79941409 Keywords: ARFIMA, periodogram, Hurst Exponent, Kompas100 Stock
SEMNAS MIPA 2010
MAT - 30
1. PENDAHULUAN
II. KAJIAN PUSTAKA
Metode peramalan adalah suatu teknik untuk memperkirakan keadaan atau situasi di masa yang akan datang. Metode peramalan merupakan perangkat penting dalam manajerial, karena akan membantu dalam mengadakan pendekatan analisa terhadap tingkah laku data masa lalu, sehingga dapat memberikan cara pemikiran, pengerjaan dan pemecahan yang sistematis dan akan memberikan tingkat keyakinan yang lebih besar terhadap keputusan yang diambil. Indeks Kompas100 adalah merupakan suatu indeks saham dari 100 saham perusahaan publik yang diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta. Saham-saham yang termasuk dalam Kompas100 diperkirakan mewakili sekitar 70-80% dari total Rp 1.582 triliun nilai kapitalisasi pasar seluruh saham yang tercatat di BEJ, maka dengan demikian investor bisa melihat kecenderungan arah pergerakan indeks dengan mengamati pergerakan indeks Kompas100. Dalam perdagangan saham sehari-hari, harga saham tidak dapat dipastikan karena selalu mengalami perubahan baik berupa kenaikan maupun penurunan. Diperlukan metode peramalan untuk memprediksi harga saham pada masa yang akan datang untuk menghindari kerugian. Oleh karena itu, para pemain saham berlomba mencari metodemetode peramalan yang dapat memodelkan data sehingga dapat dijadikan acuan dalam pembelian saham. Metode yang paling umum digunakan untuk memodelkan deret waktu (time series) adalah Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA). Metode ini mempunyai keterbatasan hanya dapat menjelaskan deret waktu jangka pendek (short memory), dan pemodelan dengan metode ARIMA hanya dapat menjamin kestasioneran data dengan nilai differencing (d) bernilai bilangan bulat. Untuk mengatasi kelemahan metode ARIMA tersebut, pada tahun 1981, Hosking memperkenalkan metode Autoregressive Fractionally Integrated Moving Average (ARFIMA) yang merupakan pengembangan dari metode ARIMA. Metode ini dapat menjelaskan deret waktu jangka pendek dan jangka panjang sekaligus. Pada metode ini nilai differencing (d) tidak dibatasi pada nilai integer saja, akan tetapi juga riil.
2.1 Autoregressive Fractionally Integrated Moving Average (ARFIMA)
SEMNAS MIPA 2010
Model ARFIMA merupakan pengembangan dari model ARIMA yang mempunyai parameter d bernilai bilangan bulat. Pada data time series yang tidak stasioner dapat dimodelkan dengan ARIMA yang mempunyai nilai d bernilai bilangan bulat, yakni dilakukan differencing d untuk menjamin stasioneritas. Untuk menentukan nilai d pada model ARIMA dapat dilakukan dengan cara melakukan differencing atau pembedaan yang dapat menghilangkan ketidakstasioneran dan dapat menghilangkan trend linear pada data. Pemodelan ARFIMA dilakukan pada data nonstasioner dimana autokorelasi turun lambat yang mendekati linear atau turun secara hiperbolik. Penanganan data non stasioner ini dengan menggunakan model ARFIMA tidak dilakukan tahap differencing atau pembedaan dengan nilai d integer. Karena dengan transformasi (1 – B)d pada model ARFIMA dengan nilai d bernilai riil dapat menangani data non stasioner. Dengan transformasi tersebut dapat menangkap memori jangka panjang atau ketergantungan jangka panjang sehingga dapat menghilangkan ketidakstasioneran dan trend data. Misalkan Zt terdapat memori jangka panjang maka pemodelan yang terbaik adalah proses Fractional Integrated ARMA atau proses ARFIMA. Model ARFIMA (p, d, q) adalah
( B )(1 B ) d Z t ( B ) et dimana:
(B ) : Operator proses AR yang stasioner (B ) : Operator proses MA yang stasioner Zt et (1-B)d d
: data pengamatan ke-t : galat acak (white noise) : Operator pembeda : Tingkat pembeda agar proses menjadi stasioner d 1 , 1 2 2
(1-B)d adalah operator pembedaan fraksional yang didefinisikan sebagai
1 B d
1 dB
1 d (d 1) B 2 2
1 d ( d 1)( d 2) B 3 ... 6
MAT - 31
Asumsi-asumsi yang diberlakukan pada ARFIMA adalah: 1. (B ) mempunyai orde kurang dari atau sama dengan p. (B ) mempunyai orde kurang dari atau sama dengan q, akarakar (B ) dan (B ) diluar unit circle dan et~IIDN(0, 2 ) atau E(et)=0 dan E(
)= 2
2. 3. Akar-akar dari (B ) sederhana (Sowell, 1992a) Sifat - sifat dari model ARFIMA yaitu: Model umum dari proses ARFIMA (p,d,q) bentuknya sama dengan model umum pada proses ARIMA (p,d,q). Perbedaan di antara keduanya yaitu terletak pada nilai pembedanya, d. Proses ARIMA (p, d, q) nilai pembedanya selalu bilangan bulat (integer) sedangkan untuk proses ARFIMA (p, d, q) nilai pembedanya dapat berupa bilangan pecahan (non integer). (Sowell, 1992a) 2.2 Indeks Kompas 100 Indeks Kompas100 adalah merupakan suatu indeks saham dari 100 saham perusahaan publik yang diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta. Indeks Kompas100 secara resmi mulai diterbitkan oleh Bursa Efek Jakarta (BEJ) bekerjasama dengan koran Kompas pada hari Jumat tanggal 10 Agustus 2007. Saham-saham yang terpilih untuk dimasukkan dalam indeks Kompas100 ini selain memiliki likuiditas yang tinggi, serta nilai kapitalisasi pasar yang besar, juga merupakan saham-saham yang memiliki fundamental dan kinerja yang baik. Saham-saham yang termasuk dalam Kompas100 diperkirakan mewakili sekitar 70-80% dari total Rp 1.582 triliun nilai kapitalisasi pasar seluruh saham yang tercatat di BEJ, maka dengan demikian investor bisa melihat kecenderungan arah pergerakan indeks dengan mengamati pergerakan indeks Kompas100. Tujuan utama BEJ dalam penerbitan indeks Kompas100 ini antara lain guna penyebar luasan informasi pasar modal serta menggairahkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari keberadaan BEJ,
SEMNAS MIPA 2010
baik untuk investasi maupun mencari pendanaan bagi perusahaan dalam mengembangkan perekonomian nasional. Manfaat dari keberadaan indeks ini yakni membuat suatu acuan (benchmark) baru bagi investor untuk melihat ke arah mana pasar bergerak dan kinerja investasinya. (Wikipedia, 2007) III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Populasi dan Sampel Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data mingguan Indeks harga saham Kompas 100 periode 2008 hingga 2010 dan sampel yang digunakan adalah Indeks harga saham kompas 100 periode 20 oktober 2008 hingga 12 Februari 2010 3.2. Metode Analisis Data 1. Identifikasi Model 2. Tahap pendugaan Parameter 3. Tahap Uji Diagnostik Parameter (Uji Normal Residual dan White Noise) 4. Tahap Pemilihan model terbaik 5. Peramalan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Identifikasi Model Langkah awal yang dilakukan untuk mengidentifikasi data deret waktu adalah membuat plot data berdasarkan waktu (plot time series). Kemudian membuat plot ACF dan periodogram untuk mengetahui long memory atau ketergantungan jangka panjang pada data. Pola Data Plot Data Saham Kompas100 dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 1. Plot Data Deret waktu Indeks Harga Saham Kompas100
MAT - 32
Berdasarkan Gambar 1, data mingguan indeks harga saham Kompas100 periode 20 oktober 2008 hingga 12 februari 2010 cenderung mengalami peningkatan. 4.2. Identifikasi Ketergantungan Jangka Panjang Dalam pemodelan ARFIMA, indikasi adanya ketergantungan jangka panjang pada data dapat dilihat dari plot ACF dan periodogram dari data. Gambar 2 berikut merupakan plot ACF dan periodogram dari data indeks harga saham Kompas100.
data tersebut dapat dimodelkan dengan metode ARFIMA. Tidak seperti pada pemodelan dengan metode ARIMA yang mengatasi ketidakstasioneran terhadap ratarata dengan melakukan pembedaan (differencing) yang nilai d-nya berupa bilangan bulat, pada metode ARFIMA tahap differencing tidak dilakukan, ketidakstasioneran akan diatasi oleh nilai d yang berupa bilangan real antara -0.5 hingga 0.5. Penggunaan software OX akan sangat membantu dalam penetapan nilai d, software akan memilih nilai-nilai parameter yang membuat data stasioner terhadap rata-rata. 4.3. Pendugaan parameter Selanjutnya, akan dilakukan pendugaan model sementara. Perkiraan nilai parameter p dan q diperoleh berdasarkan plot ACF dan PACF data. Nilai parameter p dan q ditentukan berdasarkan lag yang keluar batas
(signifikan).
Gambar 2. Plot ACF Data Indeks Harga Saham Kompas100
Gambar 4. Plot PACF Data Indeks Harga Saham Kompas100 Gambar 3. Plot Periodogram Data Indeks Harga Saham Kompas100 Bentuk plot ACF data indeks harga saham yang turun secara hiperbolik atau turun lambat, menunjukkan indikasi adanya ketergantungan jangka panjang dalam data. Selain dari plot ACF, ketergantungan jangka panjang juga dapat dilihat dari plot periodogram, bila bentuk periodogram meningkat menuju nilai yang sangat besar tetapi berhingga untuk frekuensi yang mendekati nol, menunjukkan adanya ketergantungan jangka panjang dalam data. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, maka data indeks harga saham Kompas100 mempunyai ketergantungan jangka panjang. Informasi ini memberikan indikasi bahwa SEMNAS MIPA 2010
Pada plot ACF data indeks harga saham Kompas100, lag yang keluar batas (signifikan) adalah pada lag 1, 2, 3, 4, 5, 6. Sedangkan pada plot PACF, lag yang keluar batas adalah lag 1. Dari lag – lag yang keluar tersebut, nilai dan dikombinasikan sehingga membentuk model-model sementara yang mungkin, yaitu ARFIMA (p,q) 0 1 2 3 4 5 6
0
1
2
3
4
5
6
(1,0) (2,0) (3,0) (4,0) (5,0) (6,0)
(0,1) (1,1) (2,1) (3,1) (4,1) (5,1) (6,1)
(0,2) (1,2) (2,2) (3,2) (4,2) (5,2) (6,2)
(0,3) (1,3) (2,3) (3,3) (4,3) (5,3) (6,3)
(0,4) (1,4) (2,4) (3,4) (4,4) (5,4) (6,4)
(0,5) (1,5) (2,5) (3,5) (4,5) (5,5) (6,5)
(0,6) (1,6) (2,6) (3,6) (4,6) (5,6) (6,6)
MAT - 33
4.4. Pengujian Parameter Langkah selanjutnya adalah menguji parameter dari model-model yang sudah diperoleh. Uji Signifikansi parameter model dilakukan untuk membuktikan bahwa model tersebut cukup memadai. Dari 48 model ARFIMA yang dicobakan dengan software OX, diperoleh 25 model yang layak dengan parameter-parameter yang nyata. Parameter model dikatakan nyata (signifikan) apabila nilai untuk masing-masing dugaan parameter model lebih kecil dari tingkat kesalahan 4.5. Pemeriksaan Diagnostik Analisis dilanjutkan dengan uji asumsi residual white noise dan uji kenormalan residual. Untuk uji kenormalan residual dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, sedangkan Uji residual white noise dilakukan dengan menggunakan uji Portmanteau. Residual model dikatakan white noise dan berdistribusi normal jika nilai lebih besar dari tingkat kesalahan 4.6. Pemilihan Model Terbaik Langkah berikutnya adalah memilih model ARFIMA terbaik yang digunakan untuk data saham Kompas100 dengan cara membandingkan AIC. Model dengan AIC terkecil adalah model yang akan digunakan pada data. Tabel 1. AIC Model-model ARFIMA yang memenuhi asumsi residual Model ARFIMA (2,d,2) (2,d,3) (3,d,0) (3,d,1) (3,d,3) (3,d,5) (4,d,2) (4,d,4) (5,d,1) (5,d,5)
AIC 8.99355139 8.92925886 9.14290553 9.09181705 9.08185752 8.79941409 9.09360795 8.99735961 9.02064366 9.01086299
Dari model-model di atas, model yang memiliki AIC terkecil adalah model ARFIMA (3, d, 5) yang bernilai 8.79941409. Jadi, model yang memadai digunakan untuk data indeks harga saham SEMNAS MIPA 2010
Kompas100 adalah ARFIMA (3, d, 5). Model ARFIMA (3, d, 5) memiliki persamaan sebagai berikut: (1 - Φ3B3)(1 - B)dZt = (1 - Θ1B - Θ2B 2Θ3B3)et 1 2
dengan 1 B d 1 dB d (d 1) B 2 1 d ( d 1)( d 2) B 3 ... 6
dimana d=0.373583, Φ3 = 0.903795, Φ1= 0.469986, Φ 2 = 0.518533, Φ 3 = -0.497597, Indikasi model ARFIMA(3,d,5) adalah Autoregressive orde 3 menyatakan adanya ketergantungan pengamatan ke-t dengan 3 pengamatan sebelumnya sedangkan Moving Average orde 5 menyatakan adanya ketergantungan antara kesalahan acak pada indeks waktu t dengan 5 kesalahan acak sebelumnya. Pada model ARFIMA, orde dinyatakan secara kumulatif sesuai orde yang dianalisis. 4.7. Peramalan data Setelah ditemukan model yang sesuai dengan data, langkah terakhir adalah meramalkan data untuk beberapa periode ke depan. Untuk data indeks harga Saham Kompas100, akan diramalkan 5 periode mendatang. Tabel 2. Hasil Peramalan Periode 70 71 72 73 74
Zt 610.16 609.86 606.41 605.64 605.21
Data Terbaru 612.594 610.831 612.606 607.272 602.621
Dari tabel 2 di atas, dapat dilihat perbandingan data peramalan model ARFIMA (3,d,5) dengan data terbaru indeks harga Saham Kompas100. Dapat disimpulkan bahwa hasil peramalan relatif cukup baik.
5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumya diperoleh kesimpulan bahwa Data Indeks Harga Saham Kompas100 periode 20 Oktober 2008 hingga 12 Februari 2010 memiliki indikasi ketergantungan jangka panjang yaitu data pengamatan yang jauh terpisah masih saling berhubungan. Model terbaik untuk indeks MAT - 34
harga saham Kompas100 adalah ARFIMA (3,d,5) dan memiliki persamaan: (1 - Φ3B3)(1 - B)dZt = (1 - Θ1B - Θ2B 2Θ3B3)et dimana d=0.373583, Φ3 = 0.903795, Φ1= 0.469986, Φ 2 = 0.518533, Φ 3 = -0.497597, Indikasi model ARFIMA(3,d,5) adalah Autoregressive orde 3 menyatakan adanya ketergantungan pengamatan ke-t dengan 3 pengamatan sebelumnya sedangkan Moving Average orde 5 menyatakan adanya ketergantungan antara kesalahan acak pada indeks waktu t dengan 5 kesalahan acak sebelumnya. Pada model ARFIMA, orde dinyatakan secara kumulatif sesuai orde yang dianalisis.
6. DAFTAR RUJUKAN Conover, W.J. 1980.Practical Nonparametric Statistic 2nd edition. New York: John Wiley and sons, Cryer, J.D. 1986. Time Series Analysis. Boston: PWS-KENT Publishing Company.
tidak tidak diterbitkan. Surabaya: Teknologi Sepuluh November
Institut
Makridakis,Spyros.,Steven C. Wheelwright., Victor,E.McGee.1999. Metode dan Aplikasi Peramalan oleh Untung Sus Andriyanto & Abdul Basith. Jakarta: Erlangga. Prafitia, Harnum Nisa. 2010. Long Memory pada Data Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD). Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November. Sowell, F., 1992. Maximum Likelihood Estimation of stationary Univariate Fractionally Integrated Time Series Model. Journal of econometrics. (online). (http://research.carniegiemellonuniversity.org/wp /1992/94-027.pdf, diakses tanggal 17 Maret 2009) Wei, William W.S. 1990. Time Series Analysis Univariate and Multivariate Methods. AddisonWesley publishing Company inc. Zickus, M., Leipus, R., and Kuietkus, K. (1999). Estimation of Long Range Dependence in windspeed time series data. Lithuania: Vilnius Universit
Darmawan, Gugum. 2005. Perbandingan Akurasi Penaksiran Parameter Pembeda pada Model ARFIMA. (Online). (http://pustaka.unpad.ac.id/archives/35641, diakses 17 Maret 2009) Doornik J.a. dan Ooms, M. 2006. A Package for Estimating and Simulating Arfima Models. (Online). (http://nuff.ox.ac.uk/economics/users/Doornik, diakses tanggal 17 Maret 2009) Faturrahmi, Emi. 2009. Perbandingan Metode Exact Maximum Likelihood dan Modified Profile Likelihood pada Pendugaan Parameter Model Autoregressive Fractionally Integrated Moving Average (ARFIMA).Skripsi tidak diterbitkan. Malang:Universitas Brawijaya Hanke, J.E., A.g. Reitsch, dan D.W. Wichern. 2003. Peramalan Bisnis. Edisi Ketujuh. Terjemahan Devy Anantanur. Jakarta: P.T.Prenhallindo. Indeks Harga Saham dan Obligasi. 2007. (Online). (http://www.idx.co.id/MainMenu/Education/Inde ksHargaSahamObligasi/tabid/195/lang/idID/Default.asp, diakses 17 Maret 2010) Indeks Kompas100. 2007. (Online). (http://id.wikipedia.org/wiki/indeksKompas100, diakses 17 Maret 2010) Irhamah. 2005. Perbandingan Metode-metode Pendugaan Parameter Model ARFIMA. Tesis
SEMNAS MIPA 2010
MAT - 35
PENGEMBANGAN STRATEGI PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING BERBASIS TIK DALAM MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP MATERI STATISTIKA TERAPAN Hendro Permadi Jurusan Matematika FMIPA UM Email :
[email protected]
Abstrak Mata kuliah Statistika Terapan merupakan mata kuliah wajib dengan bobot tiga SKS, dimana dalam kurikulum 2007 terjadi penggabungan mata kuliah Statistika Dasar dan Analisis Data. Dampak penggabungan dua mata kuliah ini beban mahasiswa tambah berat, sehingga dapat diprediksi bahwa mahasiswa akan kesulitan untuk memahami materi pada mata kuliah tersebut. Penelitian ini menitik beratkan pada bagaimana mengembangkan perangkat pembelajaran dengan menggunakan strategi pembelajaran inkuiri terbimbing berbasis TIK dalam upaya peningkatan pemahaman konsep pada materi Statistika Terapan Dari hasil analisis, nilai rata-rata tidak ada perbedaan yang signifikan antara metode pembelajaran inkuiri terbimbing berbantuan TIK (offering A) dengan metode pembelajaran inkuiri terbimbing (offering B), namun demikian variasi atau sebaran nilai pada kemampuan awal (pretes) nampak offering A lebih bervariasi dibanding dengan offering B. Dengan metode pembelajaran inkuiri terbimbing berbantuan TIK cenderung menurunkan variasi nilai pada offering A terutama pada materi peluang dan uji hipotesis, dengan nilai selang kepecayaan 95 % berada diantara (3,57 – 6,21) sedangkan offering B (9,26 – 16,49). Sedangkan pada materi uji hipotesis offering A (1,64 – 2,84) dan offering B (4,44 – 7,91). Hal ini menunjukkan tambahan bantuan TIK dapat memudahkan mahasiswa untuk lebih memahami materi yang lebih aplikatif. Kata kunci : Inkuiri Terbimbing Berbantuan TIK, Statistika Terapan. Abstract Applied Statistics has been compulsory subject with credits 3 as the 2007’s curriculum merged Basic Statistics and Data Analysis to Applied Statistics. This merging will be implied the students’ difficulty to understand the lesson considerably. This study focuses on the development of learning instruments using computer-assisted guided inquiry learning in order to improve the understanding the concepts of Applied Statistics material. The result of analyses starting from pretest up to the third meeting, the average score suggests no significant difference between computer-assisted guided inquiry learning (Offering A) with the guided inquiry learning (Offering B), however, offering A score variety or dispersion on the initial test (pretest) showed more variety than those from B. Computer-assisted guided inquiry learning method has tended to decrease score variety in offering A, especially on the probability and hypothesis test material. Within the value of confidence interval 95%, the standard deviation for probability material is between 3.57 – 6.21 and 9.26 – 16.49 for offering A and B consecutively, while the value of confidence interval 95%, the standard deviation in hypothesis test material are (1.64 – 2.84) and (4.44 – 7.91) for offering A and B consecutively. There facts show that the computer-assisted method facilitate the students in understanding more applicative material. Kata kunci : computer-assisted guided inquiry learning, Applied Statistics. 1. PENDAHULUAN
Mata kuliah Statistika Terapan merupakan mata kuliah wajib dengan bobot tiga SKS, dimana dalam kurikulum 2007 terjadi penggabungan mata kuliah Statistika Dasar dan Analisis Data menjadi Statistika SEMNAS MIPA 2010
Terapan. Dampak penggabungan dua mata kuliah ini beban mahasiswa tambah berat, sehingga dapat diprediksi dengan mudah bahwa mahasiswa akan kesulitan untuk memahami mata kuliah tersebut. Untuk itu dalam kegiatan pembelajaran Statistika
MAT - 36
Terapan, diperlukan upaya untuk mempermudah pemahaman konsep terhadap materi yang diajarkan disesuaikan dengan tingkat perkembangan mahasiswa. Untuk mencapai kondisi di atas, Bruner (1960; 1966) menyarankan dalam Statistika Terapan harus terjadi transfer konsep ilmiah dan sikap ilmiah melalui empat tahap proses berpikir, yaitu: (1) dihadapkan pada suatu problem yang menantang, (2) memunculkan hasrat ingin tahu, (3) mengecek ide-idenya terhadap fakta-fakta, dan (4) menarik kesimpulan yang didukung proses penemuan. Statistika Terapan harus diarahkan untuk membangun kemampuan berpikir dan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan yang disertai dengan sikap ilmiah. Kemampuan berpikir mahasiswa dapat membantu mahasiswa memperoleh pengetahuan yang dikonstruksi sendiri (Bybee, 2002). Arends (2004) menyebutkan pemerolehan pengetahuan dengan cara dibentuk dan dikonstruksi sendiri oleh mahasiswa adalah dilandasi filsafat konstruktivisme. Penelitian ini menitik beratkan pada bagaimana mengembangkan perangkat pembelajaran dengan menggunakan strategi pembelajaran inkuiri terbimbing berbasis TIK dalam upaya peningkatan pemahaman konsep pada materi Statistika Terapan Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sampel mahasiswa angkatan 2007 Tahun Akademik 2008/2009. Program Studi Pendidikan Matematika 2 kelas/ offering (dimana offering A dengan metode inkuiri terbimbing berbantuan TIK dan offering B dengan metode inkuiri terbimbing). Dimana masing-masing kelas diambil seluruh mahasiswaVariabel yang digunakan berupa, pemahaman konsep (nilai hasil evaluasi ujian I, ujian II (UTS) dan Ujian III (UAS). 2. KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pembelajaran Statistika Terapan Dengan Strategi Inkuiri Terbimbing Pembelajaran inkuiri dimulai ketika pembelajar dihadapkan pada pertanyaan untuk dijawab, kasus untuk dipecahkan atau diselesaikan atau pengamatan untuk dijelaskan (Hinman, R, 1998.). Jika metode ini diterapkan secara efektif, maka mahasiswa harus belajar untuk merumuskan SEMNAS MIPA 2010
pertanyaan atau permasalahan dengan baik, mengidentifikasi dan mengumpulkan bukti, menyajikan hasil secara sistematik, menganalisis dan menginterpretasikan hasil, menyimpulkan, serta mengevaluasi hasil kesimpulan. Carin dan Sund. (1985) menyatakan pembelajaran inkuiri meliputi metode pembelajaran seperti problem based learning, discovery learning, casebased instrucsion dan student research. Dalam pembelajaran inkuiri terdapat beberapa teknik yang digunakan, Slavin, R.E. (1994) membagi teknik inkuiri menjadi tiga, yaitu : 1) Structured inquiry yaitu teknik inkuiri dimana mahasiswa diberi permasalahan dan diberi petunjuk bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut; 2) Guided inquiry yaitu teknik inkuiri dimana mahasiswa harus menggunakan metode tertentu dalam penyelesaian masalah dan 3) Open inquiry, teknik inkuiri dimana mahasiswa harus merumuskan masalah serta penyelesaiannya secara mandiri. Berbeda dengan Oliver, Allen, dan Anderson, (2004) membagi teknik inkuiri kedalam dua kategori yaitu teacher inquiry dan learner inquiry, yakni pembelajaran dimana dosen/guru yang mengajukan pertanyaan, sedangkan learner inquiry mahasiswa yang mengajukan pertanyaan. Pembelajaran dengan pendekatan inkuiri dipandang lebih efektif dibandingkan dengan model pembelajaran tradisional. Calburn dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pembelajaran inkuiri lebih efektif dibandingkan dengan metode pembelajaran deduktif yang membantu mahasiswa memahami bagaimana seorang ilmuwan menjelaskan sebuah fenomena (Tuckman, Bruce, W. 1999). Calburn merekomendasikan dalam pembelajaran inkuiri, mahasiswa diberikan pertanyaan, yang mana mahasiswa dapat langsung menjawab melalui investigasi, yang membantu memastikan bahwa aktivitasnya mengarah pada penemuan sebuah konsep. Pembelajaran inkuiri dapat mengubah sebuah informasi menjadi pengetahuan yang lebih bermanfaat. Pembelajaran ini menekankan pada pengembangan keahlian serta kebiasaan berfikir atau habits of mind (Phillips dan Germann, 2002). Informasi yang didapatkan mahasiswa kadang kurang berguna secara kontekstual. Perencanaan MAT - 37
pembelajaran dan materi pengajaran memerlukan konteks yang relevan untuk pengetahuan baru bagi mahasiswa yang menuju pada sebuah pemahaman. Mahasiswa sering kesulitan untuk memahami hubungan antara aktivitas dalam suatu matakuliah tertentu, hal ini sering ditemukan pada metode pembelajaran yang tidak didasarkan pada kontekstual. 2.2. Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Keberhasilan dosen dalam melaksanakan proses pembelajaran ditentukan oleh banyak aspek, seperti pendidikan, keterampilan, pengetahuan, dan juga sikap. Artinya, kompeten dalam satu bidang saja tidaklah cukup sebagai garansi berhasilnya proses belajar mengajar. Keterampilan dan sikap juga memiliki peran penting dalam mengantarkan keberhasilan lulusan melalui proses belajar yang dilakukan. Sehubungan dengan itu totalitas kompetensi dosen menjadi prasyarat keberhasiln proses pembelajaran. Secara umum kompetensi dalam ranah kognitif memang tidak diragukan lagi, tetapi bagaimana pengetahuan itu disajikan dan disampaikan kepada peserta didik adalah persoalan lain. Penyajian dan penyampaian materi belajar memerlukan suatu keterampilan tertentu, yang dapat dicapai melalui proses yang panjang. Pembelajaran interaktif adalah pembelajaran yang melibatkan interaksi antara mahasiswa dengan mahasiswa, mahasiswa dengan dosen, mahasiswa dengan lingkungan atau mahasiswa dengan bahan pembelajaran lainnya. Interaksi adalah elemen subtansial dari suatu aktifitas pembelajaran. Interaksi, khususnya bagi mahasiswa, harus diciptakan dan diberi peluang peluang seluas-luasnya sehingga tujuan pembelajaran yang dikehendaki (khususnya oleh mahasiswa) dapat tercapai melalui suatu proses interaksi tertentu. Teknologi informasi telah menjadi kebutuhan masyarakat luas, tidak terkecuali dalam proses pembelajaran. Teknologi informasi telah mengubah laju percepatan akses informasi dan lebih dari itu secara paradigmatik telah mengubah praktik dunia pendidikan menuju ke interaksi yang lebih intensif dengan tidak terkendala oleh ruang SEMNAS MIPA 2010
dan waktu. Komputer telah menjadi cara atau media utama dalam pembelajaran dan hampir semua materi pelajaran yang disampaikan secara interaktif melalui alat ini di hampir sluruh level pendidikan. Dalam sistem pembelajaran ini interaksi pembelajaran dilangsungkan dalam suatu “magic box” dengan sistem dan prosedur yang memudahkan seseorang untuk mengakses informasi. Hal ini tidak mengherankan karena secara umum, teknologi ini memiliki karakteristik yang : bebas waktu, cukup diri, bercitra visual, selektif dan adaptif. Secara sederhana pembelajaran berbasis TIK dapat difahami sebagai suatu proses pembelajaran yang memanfaatkan teknologi informasi berupa komputer yang dilengkapi dengan sarana telekomunikasi (internet, intranet, ekstranet) dan multimedia (grafis, audio, video) sebagai media utama dalam penyampaian materi dan interaksi antara pengajar (guru/dosen) dan pembelajar (siswa/mahasiswa). Model pembelajaran berbasis TIK dengan menggunakan e-learning berakibat pada perubahan budaya belajar dalam kontek pembelajarannya. Setidaknya ada empat komponen penting dalam membangun budaya belajar dengan menggunakan model e-learning di kampus. Pertama, mahasiswa dituntut secara mandiri dalam belajar dengan berbagai pendekatan yang sesuai agar mahasiswa mampu mengarahkan, memotivasi, mengatur dirinya sendiri dalam pembelajaran. Kedua, dosen mampu mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan, memfasilitasi dalam pembelajaran, memahami belajar dan hal-hal yang dibutuhkan dalam pembelajaran. Ketiga, tersedianya infrastruktur yang memadai dan yang keempat, administrator yang kreatif serta penyiapan infrastruktur dalam memfasilitasi pembelajaran. 2.3. Pemahaman Konsep Dalam Pembelajaran Statistika Terapan Abad 21 disebut juga abad pengetahuan, maka pemahaman tentang ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu modal dasar bagi setiap manusia agar menjadi sumber daya yang berkualitas dan mampu bersaing pada persaingan bebas. Dalam pembelajaran, pemahaman terhadap
MAT - 38
suatu konsep atau prinsip merupakan modal dasar untuk penguasaan konsep atau prinsip selanjutnya. Maka dari itu pembelajaran sains yang baik adalah yang tidak sekedar menghafal konsep-konsep atau prinsipprinsip tetapi yang berusaha memahami. Seseorang dikatakan memahami apabila dia dapat menunjukkan unjuk kerja pemahaman tersebut pada level kemampuan yang lebih tinggi baik pada konteks yang sama maupun pada konteks yang berbeda. Blancard, A. (2001) menyatakan setiap mahasiswa memiliki perkembangan intelektual yang berbeda, maka setiap mahasiswa akan belajar menurut caranya sendiri. Belajar bukan hanya tahu jawaban pertanyaan/permasalahan tetapi perlu merefleksi tentang hal yang telah dipelajari. Refleksi dilakukan dengan cara mengkaji dan menilai tentang apa yang telah dipelajari dan bagaimana belajar tersebut telah terjadi.
apakah tindakan itu bisa diteruskan atau perlu dimodifikasi sebelum dilanjutkan. 3.3 Rancangan Pembuatan Software STATISTIKA TERAPAN Dalam penelitian ini akan dibuat software berupa sebagai media pembelajaran materi perkuliahan Statistika Terapan dan buku ajar Statistika Terapan. Sehingga hasil penelitian ini berupa : a. Bahan Ajar Statistika Terapan dapat diakses di internet b. Sofware berisi program visualisasi empriris materi Statistika Terapan. Tabel 1. Materi Praktikum Dalam Penelitian No Pokok Bahasan 1
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pengembangan Pembelajaran
Perangkat
Dalam penelitian ini akan dibuat lembar kegiatan mahasiswa (LKM), Lembar diskusi Mahasiswa (LDM), Rencana Pembelajaran (RP), dan Lembar Observasi Keterlaksanaan Rencana Pembelajaran STATISTIKA, dengan divalidasi kepada tim ahli sebelumnya. Adapun contoh LKM, LDM, RP dan lembar observasi diberikan dalam lampiran. 3.2 Rancangan dan Metode Pengajaran Rancangan pengajaran dan metode pengajaran yang akan dilaksanakan meliputi beberapa tahap. Tahap pertama, peneliti harus menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Rencana tindakan ini disusun atas dasar suatu landasan teori atau kerangka berpikir yang matang sehingga kelayakan pelaksanaannya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Kedua, peneliti melaksanakan rencana tindakan yang telah disusun itu dalam kegiatan pembelajaran. Ketiga, bersama dengan pelaksanaan tindakan itu dilakukanlah pemantauan dan evaluasi. Keempat, atas dasar hasil pemantauan dan evaluasi, kemudian peneliti melakukan refleksi untuk menetapkan SEMNAS MIPA 2010
2
3
Materi Praktikum
Sumber
Distribusi 1. Distribusi peluang Peluang Diskrit 2. Distribusi peluang kontinu Selang 1. Selang kepercayaan 1 kepercasampel untuk mean. yaan 2. Selang kepercayaan 2 sampel untuk mean. 3. Selang kepercayaan 1 sampel untuk proporsi. 4. Selang kepercayaan 2 sampel untuk proporsi. Uji 1. Uji Hipotesis 1 Hipotesis sampel untuk mean. 2. Uji Hipotesis 2 sampel untuk mean. 3. Uji Hipotesis 1 sampel untuk proporsi. 4. Uji Hiptesis 2 sampel untuk proporsi.
[Minitab Ronald walpolle] [Minitab Ronald walpolle]
[Minitab, Ronald walpolle]
3.4 Implementasi pada Perkuliahan Kegiatan ini dilakukan dalam bentuk perkuliahan pada kelas A dengan strategi pembelajaran inkuiri terbimbing berbasis TIK. Sedang pada perkuliahan offering B dilakukan dengan strategi pembelajaran inkuiri terbimbing. Pada strategi pembelajaran inkuiri terbimbing setiap selesai satu pokok bahasan dilaksanakan praktikum untuk visualisasi dari sebagian materi yang telah diberikan. Mahasiswa diminta untuk mengubah-ubah program MAT - 39
untuk simulasi contoh-contoh yang serupa. Sedang strategi pembelajaran inkuiri terbimbing berbasis TIK setiap selesai satu pokok bahasan dilaksanakan praktikum untuk visualisasi dari sebagian materi yang telah diberikan. Adapun perintah atau petunjuk dilakukan dengan cara mengakses internet pada blog hendropermadi_GoBlog ( www.Hendropermadi.wordpress.com ). Mahasiswa diminta untuk mengubah program untuk simulasi contoh-contoh yang serupa, hasil keluaran perubahan program tersebut di kaji atau didiskusikan dan ada tugas-tugas untuk mengakses internet yang berkaitan dengan materi tersebut. 3.5 Evaluasi Proses Pembelajaran Evaluasi proses pembelajaran pemahaman konsep, diperoleh dari hasil ujian, tugas-tugas, pembuatan makalah dengan materi yang diakses dari Internet pada www.Hendropermadi.wordpress.com komputer tentang penerapan statistika yang berkaitan dengan materi yang diajarkan. Proses evaluasi hasil pembelajaran untuk pemahaman konsep dilakukan dengan menggunakan data primer hasil proses pengamatan dari lembar kerja mahasiswa dan lembar diskusi mahasiswa demikian pula hasil nilai mata kuliah Statistika Terapan yang diperoleh dari hasil evaluasi nilai pretes, nilai Ujian I, ujian II ( UTS) dan Ujian III (UAS).
rata-rata 58,52 dan standart deviasi sebesar 8,00 pada offering A (metode inkuiri terbimbing berbantuan TIK) seperti pada Gambar 1, sedangkan offering B (metode inkuiri terbimbing) data mengikuti distribusi normal dengan nilai rata-rata 58.44 dan standart deviasi sebesar 2,47 (Gambar 2). Perbedaan nilai rata-rata dari kedua offering tersebut tampaknya tidak ada perbedaan, akan tetapi nilai standart deviasi dari kedua offering nampak ada perbedaan. Hasil uji homogenitas varian menunjukkan nilai p-value = 0,000 lebih kecil dari nilai α (0,05) dari levene’s test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan varian dari offering A (metode inkuiri terbimbing berbantuan TIK) dengan varian offering B (metode inkuiri terbimbing) seperti pada Gambar 3. Descriptive Statistics Variable: pretes kelas: 1 Anderson-Darling Normality Test A-Squared: P-Value:
45
53
57
61
65
69
95% Confidence Interval for Mu
58.5185 8.0066 64.1054 -1.7E-01 -1.31220 27
Minimum 1st Quartile Median 3rd Quartile Maximum
45.0000 50.0000 58.0000 66.0000 70.0000
95% Confidence Interval for Mu 55.3512 55
60
65
61.6858
95% Confidence Interval for Sigma 6.3053
10.9725
95% Confidence Interval for Median 95% Confidence Interval for Median
53.0000
64.0297
Gambar 1. Deskripsi dan Hasil uji Normalitas Nilai Pretes OFF A Descriptive Statistics Variable: pretes kelas: 2 Anderson-Darling Normality Test A-Squared: P-Value:
3.6 Analisis Data Data hasil proses pengamatan dari lembar kerja mahasiswa dan lembar diskusi mahasiswa dianalisis dengan menggunakan statistic deskriptif sedang untuk hasil nilai mata kuliah Statistika Terapan yang diperoleh dari hasil evaluasi nilai pretes, nilai Ujian I, ujian II ( UTS) dan Ujian III (UAS) dianalisis dengan uji t-student jika nilai pretes kedua offering tersebut sama, sedang jika nilai pretes kedua offering tidak sama maka dilakukan dengan Ancova (Montgomery D.C. 1991).
49
0.550 0.142
Mean StDev Variance Skewness Kurtosis N
45
49
53
57
61
65
0.647 0.081
Mean StDev Variance Skewness Kurtosis N
69
58.4400 2.4678 6.09 5.84E-03 -1.24901 25
Minimum 1st Quartile Median 3rd Quartile Maximum
95% Confidence Interval for Mu
55.0000 56.5000 58.0000 60.5000 62.0000
95% Confidence Interval for Mu 57.4213 57
58
59
60
59.4587
95% Confidence Interval for Sigma 1.9269
3.4331
95% Confidence Interval for Median 95% Confidence Interval for Median
57.0000
60.0000
Gambar 2. Deskripsi dan Hasil uji Normalitas Nilai Pretes OFF B uji homogenitas varian pretes 95% Confidence Intervals for Sigmas
Factor Levels 1
2 2
7
12
F-Test
Levene's Test
Test Statistic: 10.526
Test Statistic: 34.711
P-Value
: 0.000
P-Value
: 0.000
Boxplots of Raw Data
1
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
2
50
4.1 Hasil Pengujian Nilai Pretes Berdasarkan hasil uji normalitas terhadap data hasil pretes terlihat bahwa data mengikuti distribusi normal dengan nilai SEMNAS MIPA 2010
60
70
pretes
Gambar 3. Uji homogenitas varian Nilai Pretes dua offering
MAT - 40
Tabel 2.
Hasil uji t-student materi peluang
Off n
Rata- St SE T prata dev Mean hitung value 27 58,52 8,01 1.5 0,05 0,962 25 58,44 2,47 0,49
A B
Berdasarkan Tabel 2 hasil Uji t student menunjukkan tidak ada perbedaan nilai rata-rata pretes antara offering A (58,52) dengan offering B (58,44) dengan nilai p-value (0,962 > α (0,05)). Dengan demikian meskipun nilai rata-rata hasil pretes antara offering A dengan offering B tidak terdapat perbedaan tetapi terdapat perbedaan nilai varian keduanya, dimana nilai varian offering A lebih besar dibanding dengan varian offering B, dimana dengan selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering A (6,31 – 10,97) sedangkan selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering B (1,93 – 3,43). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemampuan mahasiswa offering B (kode 2) memiliki kemampuan hampir sama (merata) terhadap nilai pretes dibanding dengan offering A (kode 1) seperti terlihat pada Gambar 4.
deviasi dari kedua offering nampak ada perbedaan. Hasil uji homogenitas varian menunjukkan nilai p-value = 0,000 lebih kecil dari nilai α (0,05) dari levene’s test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan varian dari offering A dengan varian offering B (Gambar 7). \ Descriptive Statistics Variable: NILAI PELUAN KELAS: 1 Anderson-Darling Normality Test A-Squared: P-Value:
55
65
75
85
95
95% Confidence Interval for Mu
1.473 0.001
Mean StDev Variance Skewness Kurtosis N
82.7667 4.5335 20.5523 -1.38647 1.37359 27
Minimum 1st Quartile Median 3rd Quartile Maximum
71.0000 80.0000 84.0000 85.6000 88.2000
95% Confidence Interval for Mu 80.9733 81
83
85
84.5600
95% Confidence Interval for Sigma 3.5702
6.2128
95% Confidence Interval for Median 95% Confidence Interval for Median
82.6525
85.4059
Gambar.5. Deskripsi dan Hasil uji Normalitas Materi Peluang OFF A Descriptive Statistics Variable: NILAI PELUAN KELAS: 2 Anderson-Darling Normality Test A-Squared: P-Value:
55
65
75
85
95
95% Confidence Interval for Mu
0.450 0.254
Mean StDev Variance Skewness Kurtosis N
81.2280 11.8550 140.541 -5.6E-01 -4.7E-01 25
Minimum 1st Quartile Median 3rd Quartile Maximum
56.9000 72.9500 83.2000 91.3000 97.7000
95% Confidence Interval for Mu 76.3345 78
83
88
86.1215
95% Confidence Interval for Sigma 9.2567
16.4921
95% Confidence Interval for Median 95% Confidence Interval for Median
Boxplots of pretes by kelas
77.6972
87.7849
Gambar.6. Deskipsi dan Hasil uji Normalitas Materi Peluang OFF B
(means are indicated by solid circles)
70
pretes
60
UJI HOMOGENITAS VARIAN (NILAI PELUANG) 95% Confidence Intervals for Sigmas
Factor Levels
50
1
2 1
2
5
10
15
kelas
Gambar 4. Sebaran Nilai Pretes Offering
F-Test
Levene's Test
Test Statistic: 0.146
Test Statistic: 14.016
P-Value
Dua
: 0.000
P-Value
: 0.000
Boxplots of Raw Data
1
2
4.2 Hasil Pengujian Nilai Materi Peluang Berdasarkan hasil uji normalitas terhadap data hasil tugas-tugas dan ujian nilai materi peluang terlihat bahwa data tidak mengikuti distribusi normal dengan nilai rata-rata 82,77 dan standart deviasi sebesar 4,53 pada offering A (Gambar 5) sedangkan offering B data mengikuti distribusi normal dengan nilai rata-rata 81.22 dan standart deviasi sebesar 11,85 (Gambar 6). Perbedaan nilai rata-rata dari kedua offering tersebut tampaknya tidak begitu besar, akan tetapi nilai standart
SEMNAS MIPA 2010
60
70
80
90
100
NILAI PELUAN
Gambar 7. Uji homogenitas Varian Dua Offering Tabel 3.
Hasil uji t-student materi peluang
Off n A B
Rata- St SE T prata dev Mean hitung value 27 82,77 4,53 0.87 0,61 0,547 25 81,2 11,9 2,4
Berdasarkan Tabel 3 hasil Uji t student menunjukkan tidak ada perbedaan nilai rata-rata materi peluang antara offering
MAT - 41
A (82,77) dengan offering B (81,2) dengan nilai p-value (0,547 > α (0,05)). Dengan demikian meskipun nilai rata-rata hasil pemahaman materi peluang antara offering A dengan offering B tidak terdapat perbedaan tetapi terdapat perbedaan nilai varian keduanya, dimana nilai varian offering A lebih kecil dibanding dengan varian offering B, dimana dengan selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering A (3,57 – 6,21) sedangkan selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering B (9,26 – 16,49). Padahal hasil pretes offering A lebih bervariasi, dengan metode inkuiri terbimbing berbantuan TIK mahasiswa memiliki pemahaman terhadap materi peluang lebih merata dibanding dengan mahasiswa yang diajar dengan inkuiri terbimbing, dimana nilainya lebih bervariasi walaupun memiliki nilai rata-rata yang sama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemampuan mahasiswa offering A (kode 1) memiliki kemampuan hampir sama (merata) terhadap pemahaman materi peluang dibanding dengan offering B (kode 2) seperti terlihat pada Gambar 8 Boxplots of NILAI PE by KELAS (means are indicated by solid circles)
kecil dari nilai α (0,05) dari levene’s test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan varian dari offering A dengan varian offering B (Gambar 11). Descriptive Statistics Variable: D_NORMAL KELAS: 1 Anderson-Darling Normality Test A-Squared: P-Value:
42.5
47.5
52.5
57.5
62.5
67.5
72.5
95% Confidence Interval for Mu
0.548 0.143
Mean StDev Variance Skewness Kurtosis N
62.4815 8.6885 75.4900 -6.2E-01 -3.3E-01 27
Minimum 1st Quartile Median 3rd Quartile Maximum
42.0000 58.0000 62.0000 70.0000 73.0000
95% Confidence Interval for Mu 59.0444 60.0
62.5
65.0
67.5
65.9185
95% Confidence Interval for Sigma 6.8423
11.9070
95% Confidence Interval for Median 95% Confidence Interval for Median
58.9703
67.0890
Gambar 9. Deskripsi dan hasil uji normalitas materi dist. normal off A Descriptive Statistics Variable: D_NORMAL KELAS: 2 Anderson-Darling Normality Test A-Squared: P-Value:
42.5
47.5
52.5
57.5
62.5
67.5
72.5
95% Confidence Interval for Mu
2.432 0.000
Mean StDev Variance Skewness Kurtosis N
62.2600 5.2858 27.94 -1.83533 4.58009 25
Minimum 1st Quartile Median 3rd Quartile Maximum
47.0000 62.0000 62.0000 65.0000 70.0000
95% Confidence Interval for Mu 60.0781 60
61
62
63
64
65
64.4419
95% Confidence Interval for Sigma 4.1273
7.3534
95% Confidence Interval for Median 95% Confidence Interval for Median
62.0000
65.0000
Gambar 10. Deskripsi dan hasil uji normalitas materi dist. normal off B
100
UJI HOMOGENITAS VARIAN (NILAI DIST NORMAL) 90
NILAI PELUANG
95% Confidence Intervals for Sigmas
Factor Levels 1
80 2 4
70
5
60
6
7
8
10
11
12
13
F-Test
Levene's Test
Test Statistic: 2.702
Test Statistic: 10.044
P-Value 1
9
: 0.017
P-Value
: 0.003
2 Boxplots of Raw Data
KELAS 1
Gambar 8. Sebaran Nilai Materi Peluang Dua Offering 4.3 Hasil Pengujian Distribusi Normal
Nilai
Materi
Berdasarkan hasil uji normalitas terhadap data hasil tugas-tugas dan ujian nilai materi distribusi normal terlihat bahwa data mengikuti distribusi normal dengan nilai rata-rata 62,48 dan standart deviasi sebesar 8,68 pada offering A (Gambar 9) sedangkan offering B data tidak mengikuti distribusi normal dengan nilai rata-rata 62.26 dan standart deviasi sebesar 5,28 (Gambar 10). Tidak terdapat perbedaan nilai rata-rata dari kedua offering tersebut, akan tetapi nilai standart deviasi dari kedua offering nampak ada perbedaan. Hasil uji homogenitas varian menunjukkan nilai p-value = 0,003 lebih SEMNAS MIPA 2010
2
40
50
60
70
D_NORMAL
Gambar 11. Uji homogenitas Varian Dua Offering Tabel 4.
Hasil uji t-student materi distribusi normal
Off N A B
Rata- St SE T prata dev Mean hitung value 27 62,48 8,68 1.7 0,11 0,911 25 62,26 5,28 1,1
Berdasarkan Tabel 4 hasil Uji t student menunjukkan tidak ada perbedaan nilai rata-rata materi distribusi normal antara offering A (62,48) dengan offering B (62,26) dengan nilai p-value (0,911 > α (0,05)). Dengan demikian meskipun nilai rata-rata hasil pemahaman materi distribusi normal antara offering A dengan offering B
MAT - 42
tidak terdapat perbedaan tetapi terdapat perbedaan nilai varian keduanya, dimana nilai varian offering A lebih besar dibanding dengan varian offering B, dimana dengan selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering A (6,94 – 11,90) sedangkan selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering B (4,13 – 7,35). Padahal hasil uji materi sebelumnya yaitu materi peluang offering B lebih bervariasi, dengan metode inkuiri terbimbing mahasiswa memiliki pemahaman terhadap materi distribusi normal lebih merata dibanding dengan mahasiswa yang diajar dengan inkuiri terbimbing berbantuan TIK, dimana nilainya lebih bervariasi walaupun memiliki nilai rata-rata yang sama, hal ini menunjukkan materi distribusi normal perlu bimbingan yang lebih mendalam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemampuan mahasiswa offering B (kode 2) memiliki kemampuan hampir sama (merata) terhadap pemahaman materi distribusi normal dibanding dengan offering A (kode 1)
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan varian dari offering A dengan varian offering B (Gambar 15). Descriptive Statistics Variable: HIPOTESIS KELAS: 1 Anderson-Darling Normality Test A-Squared: P-Value:
60
65
70
75
80
85
1.062 0.007
Mean StDev Variance Skewness Kurtosis N
90
81.6444 2.0793 4.32333 0.822457 -1.5E-01 27
Minimum 1st Quartile Median 3rd Quartile Maximum
95% Confidence Interval for Mu
78.7000 80.0000 81.5000 83.0000 86.5000
95% Confidence Interval for Mu 80.8219 80
81
82
83
82.4670
95% Confidence Interval for Sigma 1.6375
2.8495
95% Confidence Interval for Median 95% Confidence Interval for Median
80.0000
83.0000
Gambar 13. Deskripsi dan uji normalitas materi uji hipotesis off A Descriptive Statistics Variable: HIPOTESIS KELAS: 2 Anderson-Darling Normality Test A-Squared: P-Value:
60
65
70
75
80
85
90
95% Confidence Interval for Mu
1.048 0.008
Mean StDev Variance Skewness Kurtosis N
80.9800 5.6890 32.365 -1.86827 5.92821 25
Minimum 1st Quartile Median 3rd Quartile Maximum
60.7000 77.7500 82.0000 84.0000 89.2000
95% Confidence Interval for Mu 78.6317 79
80
81
82
83
84
83.3283
95% Confidence Interval for Sigma 4.4422
7.9143
95% Confidence Interval for Median 95% Confidence Interval for Median
80.2000
83.6000
Gambar 14. Deskripsi dan uji normalitas materi uji hipotesis off B
Boxplots of D_NORMAL by KELAS (means are indicated by solid circles)
UJI HOMOGENITAS VARIAN (NILAI UJI HIPOTESIS) 95% Confidence Intervals for Sigmas
Factor Levels
70 1
D_NORMAL
2 60 1.5
2.5
50
3.5
4.5
5.5
6.5
7.5
8.5
F-Test
Levene's Test
Test Statistic: 0.134
Test Statistic: 5.258
P-Value
P-Value
: 0.000
: 0.026
Boxplots of Raw Data 40 1
2
1
KELAS 2
Gambar 12. Sebaran Nilai Materi distribusi normal Dua Offering 4.4 Hasil Pengujian Nilai Materi Uji Hipotesis Berdasarkan hasil uji normalitas terhadap data hasil tugas-tugas dan ujian nilai materi uji hipotesis terlihat bahwa data mengikuti distribusi normal dengan nilai rata-rata 81,64 dan standart deviasi sebesar 2,07 pada offering A (Gambar 13) sedangkan offering B data tidak mengikuti distribusi normal dengan nilai rata-rata 80.93 dan standart deviasi sebesar 5,68 (Gambar 14). Tidak terdapat perbedaan nilai rata-rata dari kedua offering tersebut, akan tetapi nilai standart deviasi dari kedua offering nampak ada perbedaan. Hasil uji homogenitas varian menunjukkan nilai p-value = 0,026 lebih kecil dari nilai α (0,05) dari levene’s test SEMNAS MIPA 2010
60
70
80
90
HIPOTESIS
Gambar 15. Hasil uji homogenitas varian dua offering Tabel 5.
Hasil uji t-student materi uji hipotesis
Off N A B
Rata- St SE T prata dev Mean hitung value 27 81,64 2,07 0.4 0,55 0,586 25 80,93 5,68 1,1
Berdasarkan Tabel 5 hasil Uji t student menunjukkan tidak ada perbedaan nilai rata-rata materi uji hipotesis antara offering A (81,64) dengan offering B (80,93) dengan nilai p-value (0,586 > α (0,05)). Dengan demikian meskipun nilai rata-rata hasil pemahaman materi uji hipotesis antara offering A dengan offering B tidak terdapat perbedaan tetapi terdapat perbedaan nilai varian keduanya, dimana
MAT - 43
nilai varian offering A lebih kecil dibanding dengan varian offering B, dimana dengan selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering A (1,64 – 2,84) sedangkan selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering B (4,44 – 7,91). Padahal hasil uji sebelumnya pada materi distribusi normal offering A lebih bervariasi, dengan metode inkuiri terbimbing berbantuan TIK mahasiswa memiliki pemahaman terhadap materi peluang lebih merata dibanding dengan mahasiswa yang diajar dengan inkuiri terbimbing, dimana nilainya lebih bervariasi walaupun memiliki nilai rata-rata yang sama. 5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mulai dari pretes sampai ketiga materi, dari nilai ratarata tidak ada perbadaan yang signifikan antara metode pembelajaran inkuiri terbimbing berbantuan TIK (offering A) dengan metode pembelajaran inkuiri terbimbing (offering B), namun demikian variasi atau sebaran nilai pada kampuan awal (pretes) nampak offering A lebih bervariasi dibanding dengan offering B. Dengan metode pembelajaran inkuiri terbimbing berbantuan TIK cenderung menurunkan variasi nilai pada offering A terutama pada materi peluang dan uji hipotesis, dengan nilai selang kepecayaan 95 % untuk standart deviasi materi peluang berada diantara (3,57 – 6,21) sedangkan selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering B (9,26 – 16,49). Sedangkan untuk materi uji hipotesis dengan selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering A (1,64 – 2,84), dan selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering B (4,44 – 7,91). Hal ini menunjukkan tambahan bantuan TIK dapat memudahkan mahasiswa untuk lebih memahami materi yang lebih aplikatif. Pada Materi yang memerlukan penurunan rumus yang detill atau teoritis pembelajaran dengan inkuiri terbimbing (offering B) memiliki sebaran nilai yang relatif lebih kecil dibanding dengan pembelajaran dengan inkuiri terbimbing berbantuan TIK (offering A) dan ditunjukkan dengan nilai selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering A (6,94 – 11,90) sedangkan SEMNAS MIPA 2010
selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering B (4,13 – 7,35). 5.2 Saran Untuk penelitian selanjutnya perlu dikaji metode pembelajaran inkuri terbimbing berbantuan TIK dibandingkan dengan metode pembelajaran lainnya. 6. DAFTAR PUSTAKA Arends, R.I. 2004. Learning to Teach. Sixth Edition. New York: Published by Mc Graw-Hill Companies, Inc., 1221 Avenue. Blanchard, A. 2001. Contextual Teaching and Learning. Copiright B.E.S.T. (http://www.horizonshelpr.org/contextual/ contextual.htm). Bruner, J.S. 1960. The Process of education. Cambridge, MA: Harvard University Press. Bybee, R.W. 2002. Learning Science and the Science of Learning. Science Educators’ Essay Collection. Arlington, Virginia: NSTA Press. Carin, A.A., dan R.B. Sund. 1985. Teaching Science Through Discovery. Fifth Edition, Colombus: Charles E. Merrill Publishing Company. A. Bell & Howell Company. Hinman, Richard, R. 1998. Content Science Inquiry. The Science Teacher 65 (7): 25-27. Montgomery D.C. 1991. Design and analysis of experiments. Third Edition. John Wiley & Sons. Canada. Oliver, M.H., Allen, D.D.’ dan Anderson, M. 2004. Inquiry-Guided Instruction. Journal of College Science Teaching (JCST). Vol. XXXIII (6): 20-24. Phillips, K.A. dan Germann, P.J. 2002. The Inquiry “I”: A too; for Learning Scientific Inquiry. The American Biology Teacher, Vol. 64 (7): 512-520. Slavin, R.E. 1994. Educational Psychology: Theory into Practice. Third Edition. Boston: Allyn and Bacon. Tuckman, Bruce, W. 1999. Conducting Educational Research. Fifth Edition. New York: Harcourt Brace Jovanowich, Inc.
MAT - 44
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK PADA MATAKULIAH PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBANTUAN KOMPUTER Mahmuddin Yunus Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang
Abstrak Untuk mewujudkan proses pembelajaran matematika yang lebih bermakna dengan hasil prestasi mahasiswa yang tinggi, dosen harus kreatif dan inovatif dalam mengembangkan strategi pembelajaran. Kegiatan pembelajaran dirancang sedemikian rupa untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antar mahasiswa, mahasiswa dengan dosen, lingkungan dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi dasar. Pengalaman belajar yang dimaksud dapat terwujud melalui penggunaan strategi pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada mahasiswa. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas proses belajar mahasiswa melalui model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning), serta membantu mahasiswa dalam mempelajari matakuliah Pembelajaran Matematika Berbantuan Komputer (PMBK) Metode penelitian ini dilakukan melalui dua siklus. Secara operasional prosedur penelitian yang diterapkan dalam dalam penelitian ini antara lain : (1) Merumuskan masalah, (2) Merancang kegiatan, (3) Mengkalkulasi, (4) Melaksanakan pekerjaan, (5) Mengevaluasi hasil. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa nilai rata-rata matakuliah PMBK adalah B+ (skala 3.25). Sedangkan dari produk yang dihasilkan oleh Mahasiswa setelah mengikuti matakuliah PMBK 80% mahasiswa dapat menyelesaikan tugas membuat media pembelajaran tepat waktu. Berdasarkan hasil penelitian dan data yang diperoleh, dapat ditarik kesimpulan bahwa model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning) dapat meningkatkan kualitas proses belajar mahasiswa serta dapat membantu mahasiswa dalam mempelajari materi PMBK Kata Kunci: Project Based Learning, PMBK
A. Pendahuluan
Untuk mewujudkan proses pembelajaran matematika yang lebih bermakna dengan hasil prestasi mahasiswa yang tinggi, dosen harus kreatif dan inovatif dalam mengembangkan strategi pembelajaran. Kegiatan pembelajaran dirancang sedemikian rupa untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antar mahasiswa, mahasiswa dengan dosen, lingkungan dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi dasar. Pengalaman belajar yang dimaksud dapat terwujud melalui penggunaan
SEMNAS MIPA 2010
strategi pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada mahasiswa. Model pembelajaran konstruktivis memberikan wacana tentang lingkungan belajar dalam konteks yang kaya (rich environment). Pengetahuan dan keterampilan yang kokoh dan bermakna guna (meaningful-use) dapat dikonstruk melalui tugas-tugas dan pekerjaan yang otentik (CORD, 2001, Hung & Wong, 2000; Myers & Botti, 2000; Marzano, 1992; Waras Kamdi, 2001). Keotentikan kegiatan kurikuler terdukung oleh proses kegiatan perencanaan (designing) atau investigasi yang openended, dengan hasil atau jawaban yang tidak
MAT - 45
ditetapkan sebelumnya oleh perspektif tertentu. Pembelajar dapat didorong dalam proses membangun pe-ngetahuan melalui pengalaman dunia nyata dan negosiasi kognitif antar personal yang berlangsung di dalam suasana kerja kolaboratif. Disinilah, kerja proyek dapat dilihat sebagai bentuk open-ended contextual activity-based learning dan merupakan bagian dari proses pembelajaran yang memberikan penekanan kuat pada pemecahan masalah sebagai suatu usaha kolaboratif (Richmond & Striley, 1996), yang dilakukan dalam proses pembelajaran dalam periode tertentu (Hung & Wong, 2000). Blumenfeld et.al. (1991) mendiskripsikan model belajar berbasis proyek (project-based learning) berpusat pada proses relative berjangka waktu, berfokus pada masalah, unit pembelajaran bermakna dengan mengintegrasikan konsep-konsep dari sejumlah komponen pengetahuan atau disiplin atau lapangan studi. Pendidikan berorientasi keca-kapan hidup, pembelajaran berbasis kompetensi dan proses pembelajaran yang diharapkan menghasilkan produk yang bernilai, menuntut lingkungan belajar yang kaya dan nyata (rich and natural environment), yang dapat memberikan pengalaman belajar dimensidimensi kompetensi secara integrative. Lingkungan belajar yang dimaksud ditandai oleh : 1. Situasi belajar, lingkungan, isi dan tugas-tugas yang relevan, realistik, otentik dan menyajikan kompleksitas alami “dunia nyata”; 2. Sumber-sumber data primer digunakan agar menjamin keotentikan dan kompleksitas dunia nyata; 3. Mengembangkan kecakapan hidup dan bukan reproduksi pengetahuan; 4. Pengembangan kecakapan ini berada di dalam konteks individual dan melalui negosiasi social, kolaborasi dan pengalaman; 5. Kompetensi sebelumnya, keyakinan dan sikap dipertimbangkan sebagai prasyarat; 6. Keterampilan pemecahan masalah, berpikir tingkat tinggi dan pemahaman mendalam ditekankan; 7. Mahasiswa diberi peluang untuk belajar secara apprenticeship dimana terdapat
SEMNAS MIPA 2010
penambahan kompleksitas tugas, pemerolehan pengetahuan dan keterampilan; 8. Kompleksitas pengetahuan dicerminkan oleh penekanan belajar pada keterhubungan konseptual dan belajar interdisipliner; 9. Belajar kooperatif dan kolaboratif diutamakan agar dapat mengekspos mahasiswa ke dalam pandangan-pandangan alternatif; dan 10. Pengukuran adalah otentik dan mennjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran. B. Kajian Pustaka
Pembelajaran Berbasis Proyek atau Belajar Berbasis Proyek adalah pendekatan pembelajaran yang merangkum sejumlah ide-ide pembelajaran, yang didukung oleh teori-teori dan penelitian substansial. Bagian ini mencoba mengetengahkan bahasan teoritik yang mendasari Pembelajaran Berbasis Proyek. Menurut Mayer (1992) dalam praktik pendidikan terutama setengah abad terakhir, telah terjadi pergeseran teori-teori belajar dari aliran teori belajar behavioristikke kognitif, dari kognitif ke konstruktif. Implikasi pergeseran pandangan terhadap belajar dan pembelajaran tersebut adalah munculnya pandangan bahwa kurikulum sebagai body of knowledge atau keterampilan-keterampilan yang ditransfer adalah naïf. Jika pandangan konstruktivis mengenai individu sebagai pengkonstruk pengetahuan mereka sendiri dapat diterima, maka mungkin lebih tepat memandang kurikulum sebagai serangkaian tugas dan strategi belajar. Oleh karena itu, perspektif kehidupan kelaspun menjadi berubah. Hakekat hubungan guru-siswa tidak lagi guru sebagai penjaja informasi dan siswa sebagai penerima informasi semata, tetapi guru lebih sebagai pembimbing dan pendamping berpikir kritis yang konstruktif. Lingkungan kelas dirancang untuk memberikan setting social yang mendukung konstruksi pengetahuan dan keterampilan (Driver & Leach, 1993). Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan model pembelajaran yang didukung oleh atau berpijak pada teori belajar konstruktivistik. Strategi pembelajaran yang menonjol dalam pembelajaran konstruktivistik antara lain adalah strategi belajar kolaboratif, mengutamakan aktivitas siswa dariMAT - 46
pada aktivitas guru, mengenai kegiatan laboratorium, pengalaman lapangan, studi kasus, pemecahan masalah, panel diskusi, diskusi, brainstrorming dan simulasi (Ajeyalemi, 1993). Beberapa dari strategi tersebut juga terdapat dalam Pembelajaran Berbasis Proyek, yaitu (a) strategi belajar kolaboratif, (b) mengutamakan aktivitas siswa daripada aktivitas guru, (c) mengenai kegiatan laboratorium, (d) pengalaman lapangan, (e) pemecahan masalah. Peranan guru yang utama adalah mengendalikan ide-ide dan interpretasi siswa dalam belajar dan memberikan alternative-alternatif melalui aplikasi, buktibukti dan argument-argumen. Dari berbagai karakteristiknya, Pembelajaran Berbasis Proyek didukung teoriteori belajar konstruktivistik. Dalam konteks pembaharuan di bidang teknologi pembelajaran, Pembelajaran Berbasis Proyek dapat dipandang sebagai pendekatan penciptaan lingkungan belajar yang dapat mendorong pebelajar mengkonstruk pengetahuan dan keterampilan melalui pengalaman langsung. Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek dibangun berdasarkan ide-ide pebelajar sebagai bentuk alternatif pemecahan masalah riil tertentu dan pebelajar mengalami proses belajar pemecahan masalah itu secara langsung. Menurut banyak literatur, konstruktivisme adalah teori belajar yang bersandar pada ide bahwa pebelajar mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri di dalam konteks pengalaman mereka sendiri (Brook & Brook, 1993,1999; Driver & Leach, 1993). Pembelajaran konstruktivistik berfokus pada kegiatan aktif pebelajar dalam memperoleh pengalaman langsung (“doing”), ketimbang pasif “menerima” pengetahuan. Dari perspektif konstruktivis, belajar bukanlah murni fenomena stimulusrespon sebagaimana dikonsepsikan para behavioris, akan tetapi belajar adalah proses yang memerlukan pengaturan diri sendiri (self-regulation) dan pembangunan struktur konseptual melalui refleksi dan abstraksi (von Glaserfeld, dalam Murphy, 1997). Kegiatan nyata yang dilakukan dalam proyek memberikan pengalaman belajar yang dapat membantu refleksi dan mendekatkan hubungan aktivitas dunia nyata dengan pengetahuan konseptual yang melatarinya yang diharapkan akan dapat berkembang lebih luas dan lebih mendalam SEMNAS MIPA 2010
(Barron, Schwartz, Vye, Moore, Petrosino, Zech, Bransford & The Cognition and Technology Group at Vanderbilt, 1998). Hal ini menunjukkan bahwa Pembelajaran Berbasis Proyek yang mendasarkan pada aktivitas dunia nyata, berpotensi memperluas dan memperdalam pengetahuan konseptual dan procedural (Gagne, 1985), yang pada khasanah lain disebut juga knowing that dan knowing how (Wilson, 1995). Knowing ‘that’ and ‘how’ is not sufficient without the disposition to ‘do’ (Kerka, 1997). Perluasan dan pendalaman pemahaman pengetahuan tersebut dapat diamati dengan mengukur peningkatan kecakapan akademiknya. Prinsip-prinsip Pembelajaran Berbasis Proyek juga dilandasi oleh teori belajar konstruktif. Menurut Simons (1996) belajar konstruktif harus dilakukan dengan menumbuhkan upaya siswa membangun representasi memori yang kompleks dan kaya, yang menunjukkan tingkat terhubungan yang kuat antara pengetahuan semantic, episodic, dan tindakan. Sebagaimana dinyatakan Simons (1996), representasi memori terbagi menjadi tiga jenis: representasi semantic, episodic dan tindakan. Representasi semantic mengacu pada konsep dan prinsip dengan karakteristik yang menyertainya, representasi episodic didasarkan pada pengalaman personal dan afektif dan representasi tindakan mengacu pada hal-hal yang dapat dilakukan dengan menggunakan informasi semantic dan episodic, misalnya penyelesaian jenis masalah tertentu dengan menggunakan pengetahuan tertentu. Idealnya, hubungan antar tiga jenis representasi pengetahuan tersebut kuat. Oleh karena itu, prinsip belajar konstruktif adalah menekankan usaha keras untuk menghasilkan keter-hubungan tiga jenis representasi pengetahuan tersebut. Prinsip belajar konstruktif tersebut juga mendasari Pembelajaran Berbasis Proyek. Bagian-bagian dari prinsip belajar konstruktif seperti belajar yang berorientasi pada diskoveri, kontekstual, berorientasi masalah dan motivasi social juga menjadi bagianbagian prinsip Pembelajaran Berbasis Proyek. Strategi belajar kolaboratif yang diposisikan amat penting dalam Pembelajaran Berbasis Proyek juga menjadi tekanan teoritik belajar konstruktif. Learning together with other learners can be a very powerful form of learning, in which learners MAT - 47
help each other’s construction processes (Simons, 1996:294). Strategi belajar kolaboratif tersebut juga dilandasi oleh teori Vygotsky tentang Zone of Proximal Development (ZPD). Vygotsky merekomendasikan adanya level atau zona, dimana siswa dapat lebih berhasil tetapi dengan bantuan partner yang lebih bisa atau berpengalaman. Vygotsky mendefinisikan ZPD sebagai “jarak antara tingkat perkembangan aktual seperti ditunjukkan oleh kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dengan tingkat perkembangan potensial seperti ditunjukkan oleh kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu (the distance between the actual development level as determined by independent problem-solving and the level of potential development as determined through problem-solving under adult guidance or in collaboration with more capable peers) (Gipps, 1994:24-25). Partner ini tidak mendekte apa yang harus dilakukan sejawat yang belajar padanya, akan tetapi mereka terlibat di dalam tindakan kolaboratif, demonstratif, modeling dan sejenisnya. Prinsip kontekstualisasi yang menjadi karakteristik penting dalam Pembelajaran Berbasis Proyek, diturunkan dari ide dasar teori belajar konstruktivistik. Para konstruktivis mengatakan bahwa belajar adalah proses aktif membangun realitas dari pengalaman belajar. Bagaimana pun, belajar tidak dapat terlepas dari apa yang sudah diketahui pebelajar dan konteks dimana hal itu dipelajari. Pada konstruktivis itu tidak menyangkal eksistensi (objektivitas) dunia nyata, akan tetapi dikatakannya bahwa makna apa yang kita bangun dari dunia nyata adalah indiosyncratic. Tidak ada dua orang yang membangun makna yang sama, karena kombinasi pengalaman dan pengetahuan sebelumnya akan menghasilkan interpretasi yang berbeda. Atas dasar keyakinan tersebut direkomendasikan bahwa pembelajaran perlu diletakkan dalam konteks yang kaya yang merefleksikan dunia nyata dan berhubungan erat dengan konteks dimana pengetahuan akan digunakan. Singkatnya, pembelajaran perlu otentik. Seperti telah diuraikan di bagian depan, Pembelajaran Berbasis Proyek adalah salah satu model pembelajaran tang berlatar dunia otentik. SEMNAS MIPA 2010
Jonassen (1991) dan Brown, Collins dan Duguid (1998) juga berpendapat bahwa belajar terjadi secara lebih efektif di dalam konteks dan bahwa konteks menjadi bagian penting dari basis pengetahuan yang berhubungan dengan proses belajar tersebut. Implikasinya di dalam pembelajaran adalah penciptaan lingkungan belajar riil, otentik dan relevan sebagai konteks belajar tertentu. Guru dan model pembelajaran yang diciptakannya berfokus pada pendekatan realistic yang memudahkan siswa belajar memecahkan masalah dunia nyata (Jonassen, 1991). Lingkungan belajar konstruktivistik yang dimaksud adalah: “a place where learners may work together and support each other as they use a variety of tools and information recources in their pursuit of learning goals and problem-solving activities (Wilson, 1995:27). Pembelajaran Berbasis Proyek juga merupakan pendekatan menciptakan lingkungan belajar yang realistic dan berfokus pada belajar memecahkan masalah-masalah yang terjadi di dunia nyata. Pembelajaran Berbasis Proyek juga didukung oleh teori belajar eksperiensial. Seperti dikatakan William James bahwa belajar yang paling baik adalah melalui aktivitas diri sendiri, pengalaman sensoris adalah dasar untuk belajar dan belajar yang efektif adalah holistic dan interdisipliner (dalam Moore, 1999). Prinsip-prinsip ini juga diterapkan dalam Pembelajaran Berbasis Proyek. Pebelajar mengendalikan belajarnya sendiri, mulai dari pengidentifikasian masalah yang akan dijadikan proyek sampai dengan mengevaluasi hasil proyek. Guru/dosen berperan sebagai pembimbing, fasilitator dan partner belajar. Tema proyek yang dipilih juga bersifat interdisipliner, karena mengandung unsur berbagai disiplin yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah dalam proyek yang dikerjakan itu. Apa yang dilakukan pebelajar dalam proses pembelajaran adalah pengalaman-pengalaman sensoris sebagai basis belajar. Ditegaskan oleh John Dewey bahwa pengalaman adalah elemen kunci dalam proses pembelajaran (Moore, 1999; Knoll, 2002). Dewey memandang belajar sebagai “process of making determinate the indeterminate experience”. Makna dari berbagai pengalaman adalah sebuah hubungan yang saling tergantung antara apa yang dibawa oleh pebelajar dalam MAT - 48
situasi belajar dan apa yang terjadi di dalam situasi itu. Berdasarkan pengetahuan yang diturunkan dari pengalaman sebelumnya, pada pengalaman baru orang membangun pengetahuan baru (Billet, 1996). Kerja proyek dapat dipandang sebagai proses belajar memantapkan pengalaman yang belum mantap, memperluas pengetahuan yang belum luas dan memperhalus pengetahuan yang belum halus sebagaimana juga dikatakan oleh Marzano (1992) bahwa belajar melalui pengalaman nyata (misalnya, investigasi dan pemecahan masalah-masalah nyata) dapat memperluas dan memperhalus pengetahuan. Berdasarkan teori-teori belajar konstruktivistik yang dirujuk diatas maka Pembelajaran Berbasis Proyek dapat disimpulkan memiliki kelebihan-kelebihan sebagai lingkungan belajar: (1) otentik-kontekstual (goal-directed activities) yang akan memperkuat hubungan antara aktivitas dan pengetahuan konseptual yang melatarinya; (2) mengedepankan otonomi pebelajar (selfregulation) dan guru/dosen sebagai pembimbing dan partner belajar yang akan mengembangkan kemampuan berpikir produktif; (3) belajar kolaboratif yang memberi peluang pebelajar saling membelajarkan yang akan meningkatkan pemahaman konseptual maupun kecakapan teknikal; (4) holistik dan interdisipliner; (5) realistik berorientasi pada belajar aktif memecahkan masalah riil yang memberi kontribusi pada pengembangan kecakapan peme-cahan masalah; dan (6) memberikan reinforcement intrinsic (umpan balik internal) yang dapat menajamkan kecakapan berpikir produktif. C. Rancangan Penelitian
Dalam project based learning pebelajar lebih didorong pada kegiatan desain: merumuskan job, merancang (designing), mengkalkulasi, melaksanakan pekerjaan, dan mengevaluasi hasil. Seperti didefinisikan oleh Buck Institute fo Education (1999), bahwa belajar berbasis proyek memiliki karakteristik: (a) pelajar membuat keputusan, dan membuat kerangka kerja, (b) terdapat masalah yang pemecahannya tidak ditentukan sebelumnya, (c) pebelajar merancang proses untuk mencapai hasil, (d) pebelajar bertanggungjawab untuk mendapatkan dan mengelola informasi yang dikumpulkan, (e) melakukan evaluasi secara SEMNAS MIPA 2010
kontinu, (f) pebelajar secara teratur melihat kembali apa yang mereka kerjakan, (g) hasil akhir berupa produk dan dievaluasi kualitasnya, dan (i) kelas memiliki atmosferyang memberi toleransi kesalahan dan perubahan. Secara operasional prosedur penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut: Siklus pertama Kegiatan yang dilakukan pada siklus pertama meliputi: a) Merumuskan masalah Pada tahap ini peneliti merumuskan tindakan berdasarkan tujuan penelitian. Masalah-masalah tersebut berkaitan dengan materi PMBK hasil akhir kegiatan berupa produk dan dievaluasi kualitasnya b) Merancang kegiatan (designing) Beberapa perangkat yang disiapkan dalam tahap ini adalah: bahan ajar, satuan acara pembelajaran (SAP), rencana pembelajaran (RP), skenario pembelajaran, tugastugas kelom-pok, kuis dan lembar observasi. c) Mengkalkulasi Peneliti membimbing mahasiswa untuk membuat kerangka kerja dalam menyelesaikan kegiatan yang akan dilakukan. d) Melaksanakan pekerjaan 1. Mahasiswa diberi penjelasan tentang pembelajaran berbasis proyek dan komponen-komponennya 2. Mahasiswa dibagi kedalam kelompokkelompok berdasarkan pertimbangan kemam-puan akademik dan jenis kelamin 3. Peneliti memberikan penjelasan tentang tujuan pembelajaran dan garis besar materi yang akan dipelajari 4. Mahasiswa ditugaskan untuk bergabung ke dalam kelompoknya masing-masing. 5. Peneliti memulai dengan memberikan masalah yang berhubungan dengan konsep yang telah dimiliki dan sebagai pengantar masuk pada konsep yang akan dipelajari 6. Menugaskan siswa melakukan kegiatan eksplorasi 7. Peneliti melakukan observasi dan membimbing kegiatan kelompok
MAT - 49
8. Setelah kegiatan kelompok selesai, dilanjutkan dengan diskusi kelas yang dipandu oleh peneliti untuk membahas hal-hal yang tidak/belum terselesaikan dalam kegiatan kelompok 9. Menugaskan mahasiswa untuk mengkaji masalah yang berhubungan dengan terapan yang dipelajari.. 10. Melakukan evaluasi dan memberikan yang dibuat mahasiswa
8. Validasi media pembelajaran atau modul praktikum oleh pakar matematika (pendidikan matematika) dan pakar media. Berdasarkan hasil validasi dilakukan revisi media pembelajaran atau modul praktikum. 9. Uji coba media pembelajaran atau modul praktikum oleh guru. Berdasarkan hasil validasi dilakukan revisi media pembelajaran atau modul praktikum.
e) Mengevaluasi hasil 1. Analisis hasil observasi mengenai: keaktifan siswa melakukan eksplorasi, partisipasi dalam kelompok, dan menerapkan konsep hasil kegiatan kelompok hasil kuis dan kaitannya dengan hasil kegiatan kelompok kualitas produk yang dibuat mahasiswa hasil-hasil yang diperoleh dan permasalahan yang muncul pada pelaksanaan tindakan dipakai sebagai dasar untuk melakukan perencanaan ulang pada siklus berikutnya 2. Analisis beberapa kekurangan/ kelemahan a-d.
E. Hasil Pengamatan
D. Pelaksanaan Tindakan
Kegiatan penelitian ini dapat dijelaskan langkah-langkahnya sebagai berikut: 2. Dilakukan pre test untuk mengetahui tingkat kemampuan mahasiswa terhadap penguasaan software komputer umumnya dan software pembelajaran matematika berbantuan kompute khususnya 3. Berdasarkan hasil pre test dilakukan pembagian kelompok 4. Dosen memberikan penjelasan tentang materi pembelajaran matematika berbantuan komputer 5. Mahasiswa survey ke sekolah, untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi khususnya dalam mempelajari matematika, sehingga bisa dijadikan pedoman dalam penyusunan proposal 6. Mahasiswa mengajukan proposal ke masing-masing sekolah berdasarkan survey yang sudah dilaksanakan tentang masalah yang dapat diatasi dengan pembelajaran matematika berbantuan komputer 7. Mahasiswa menyusun media pembelajaran atau modul praktikum berdasarkan proposal yang diajukan SEMNAS MIPA 2010
Kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan dengan model pembelajaran berbasis proyek membuat kelas menjadi aktif. Peneliti mengamati bahwa bila mahasiswa dicoba menulis perintah instruksi komputer tertentu yang belum diketahui, maka mereka akan mencoba secara aktif dengan mendiskusikan dalam kelompoknya. Keaktifan mahasiswa dalam diskusi pada awalnya memang sedikit tetapi bertambah setelah pertemuan kedua dan ketiga. Dalam kelompok yang terdiri dari 4 orang mahasiswa, minimal 2 orang telah aktif dan paling banyak 2 orang yang belum aktif. Belum aktif yang dimaksud adalah ketika diskusi kelompok siswa tersebut hanya mencatat hasil diskusi tetapi belum menyampaikan pertanyaan, idea atau pendapatnya kepada kelompok berkenaan dengan materi yang dibahas. Pada saat proses kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung peneliti melakukan pengamatan sebagai berikut: a) Mengamati jumlah mahasiswa yang bertanya b) Mengamati jumlah kelompok yang dapat menyelesaikan tugas tepat waktu c) Mengamati mahasiswa ketika melakukan diskusi, serta mencatat keterlibatan masing-masing mahasiswa dalam kelompok d) Mengamati hasil kerja mahasiswa dalam membuat produk dengan benar e) Menghitung rata-rata nilai mahasiswa F. Refleksi
Kegiatan pembelajaran pada siklus I, pada pertemuan pertama, tampak rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang telah disiapkan sebagian besar terlaksana tetapi mengalami hambatan pada bagaimana mengaktifkan mahasiswa. Tetapi pada pertemuan berikutnya, kegiatan pembelajaran MAT - 50
telah sesuai dengan RPP. Hanya saja pengelolaan waktu masih molor dari yang direncanakan karena mahasiswa belum dapat menyelesaikan kegiatan presentasi tepat waktu. Dalam kegiatan diskusi dan presentasi, belum semua anggota kelompok terlibat. Hal ini terjadi karena sebagian mahasiswa masih belum terbiasa mengeluarkan pendapat ketika diskusi dimana mereka malu bertanya, dan sebab lain adalah adanya dominasi anggota kelompok yang pintar. Keadaan ini telah diatasi oleh peneliti ketika mengunjungi kelompok lain sehingga tidak terjadi dominasi. G. Pembahasan
Proses pembelajaran pada siklus I berjalan dengan sangat baik walau pada tahap awal mahasiswa masih belum terbiasa menggunakan model pembelajaran berbasis proyek. Dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mahasiswa tidak hanya menerima tetapi telah mengajukan secara kritis. Keadaan ini sangat berbeda dengan pengajaran materi yang sama melalui ceramah dan diskusi, dimana mahasiswa hanya mencoba praktikum berdasarkan materi yang disampaikan oleh Dosen saja. Fase evaluasi pada siklus belajar selama siklus I belum dapat berjalan dengan baik karena pengajar masih terjebak oleh berlarut-larutnya diskusi dan presentasi yang dilaksanakan oleh masingmasing kelompok. Menurut pendapat mahasiswa, penggunaan metode pembelajaran ini ditanggapi sangat baik dimana mahasiswa yang menuliskan kesankesan mereka tentang pembelajaran yang dilakukan menyatakan bahwa mereka menyenangi metode ini karena dapat menerapkan materi yang diperoleh di sekolah-sekolah. Hambatan yang mereka rasakan adalah terbatasnya waktu sehingga tidak ada kesempatan untuk melakukan uji coba media atau modul produk mereka ke beberapa sekolah. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi perilaku positif pada mahasiswa terhadap pembelajaran dengan metode ini. Dari segi tim peneliti, hambatanhambatan yang dialami adalah sulitnya mengatur waktu sesuai dengan RPP. Penggunaan diskusi dan presentasi kelompok menyebabkan waktu belajar menjadi molor karena pertanyaanSEMNAS MIPA 2010
pertanyaan dan jawaban mahasiswa yang seringkali meluas walau masih pada kerangka materi tersebut. Peneliti kesulitan menghentikan pertanyaan mahasiswa karena menganggap bahwa pertanyaan tersebut penting dan berhubungan dengan materi. I. Daftar Rujukan
DEPDIKNAS, 2003, Kompetensi Dasar Bidang Studi Sains Untuk SLTP/MTS: Kurikulum 2004. Jakarta. DEPDIKNAS, 2003, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Ketentuan Umum, dan Standar Kompetensi Mata Pelajaran. Jakarta: Depdiknas. Helgeson S. L., 1998, Microcomputer in Science Classroom, ERIC Digest, ED309050. Morse R. H., 1991, Computer Uses in Secondary Science Educations, ERIC Digest, ED331489. Ajeyalemi, D.A. 1993. Teacher Strategies Used by Exemplary STS Teachers. What Research Says to the Science Teaching, VII. Washington D.C.: National Science Teachers Association. Barron, B.J., Schwartz, D.L., Vey, N.J., Moore, A., Petrosino, A., Zech, L., Bransford, J.D., & The Cognition and Technology Group at Vanderbilt. 1998. Doing with Understanding: Lessons form Research on Problemand Project- Based Learning. The Journal of the Learning Science, 7, 271-311. Billet, S. 1996. Towards a Model of WorkPlace Learning: The Learning Curriculum. Studies in Continuing Education, 18(1), 43-58. Blumenfeld, P.C., E. Soloway, R.W. Marx, J.S. Krajcik, M. Guzdial, and A. Palincsar. 1991. Motivating ProjectBased Learning: Sustaining the Doing. Supporting the Learning. Educational Psychologist, 26(3&4), 369-398.
MAT - 51
Brook, J.G., & Brook, M.G. 1993. The Case for Constructivist Classrooms. Verginia: ASCD. Brook, J.G., & Brook, M.G. 1999. The Constructivist Classrooms. The Courage to Be Constructivist. Readyroom, 57(3) November 1999. http://www.ascd.org/readyroom/edlea d/9911/brooks.html Brown, J.S., Collin, A., & Duguid, P. 1998. Situated Cognition and the Culture of Learning. Educational Reseacher, 18(1), 32-42. CORD, 2001. Contextual Learning Resource. http://www.cord.org/lev2.cfm/65. Driver, R., & Leach, J. 1993. A Constructivist View of Learning: Children’s Conceptions and the Nature of Science. What Research Says to the Science Teaching, VII. Washington, D.C..: National Science Teachers Association, 103-112.
Marzano, R.J. 1992. A Different Kind of Classroom: Teaching with Dimensions of Learning. Verginia: ASCD. Mayer, R.E. 1992. Cognition and Instruction: Their Historic Meeting Within Educational Psychology. Journal of Educational Psychology, 84(4), 405-412. Moore, D. 1999. Toward a Theory of WorkBased Learning. IEE Brief, 23 (January) [Online]. Myers, R.J., & Botti, J.A. 2000. Exploring the Environment: Problem-Based Learning in Action. http://www.cet.edu/research/conferen ce.html. Richmond, G., & Striley, J. 1996. Making Meaning in Classrooms: Social Processes in Small-Group Discourse and Scientific Knowledge Building. Journal of Research in Science Teaching, 33(8), 839-858.
Gipps, C. 1994. What We Know about Effective Primary Teaching. Dalam Jill Bourne (Ed.), Thinking Through Primary Practice. London: The Open University.
Waras Kamdi, 2001. Pembelajaran Berbasis Proyek: Model Potensial untuk Peningkatan Mutu Pembelajaran. Jurnal Gentengkali, 3(11-12).
Hung, D.W., & Chen, D.T. 2000. Appropriating and Negotiating Knowledge. Educational Technology, 40(3), 29-32.
Wilson, B.G. 1995. Metaphors for Instruction: Why We Talk About Learning Environments. Educational Technology, September-Oktober, 2530.
Hung, D.W., & Wong, A.F.L. 2000. Activity Theory as a Framework fo Project Work in Learning Environments. Educational Technology, 40(2), 3337. Jonassen, D.H. 1991. Objectivism versus Constructivist: Do We Need a New Philosophical Paradigm? Educational Technology Research and Development, 39(3), 5-14. Knoll, M. 2002. The Project Method: Its Vocational Education Origin and International Development. Journal of Industrial Teacher Education, 34(3). Available on: http://scholar.lib.vt.edu/ejournals/JIT E/v34n3/Knoll.html.
SEMNAS MIPA 2010
MAT - 52
JALUR MENUJU BERPIKIR FORMAL DALAM MATEMATIKA Abdussakir Jurusan Matematika UIN Maliki Malang Abstrak: David Tall menyatakan bahwa terdapat tiga dunia berpikir matematika, yaitu dunia perwujudan, simbolis, dan formal. Pembelajaran matematika di sekolah menengah lebih menekankan pada dunia perwujudan dan simbolis, sedangkan di perguruan tinggi lebih menekankan pada dunia berpikir formal. Perubahan pola pembelajaran ini mengakibatkan terjadinya transisi berpikir pada mahasiswa matematika di tahun pertama perguruan tinggi. Untuk sampai pada dunia berpikir formal, hasil penelitian Pinto (1998) dan Weber (2003) menunjukkan terdapat tiga jalur yang dapat ditempuh mahasiswa, yaitu jalur alami, formal, dan prosedural. Tulisan ini mencoba menganalisis adanya kemungkinan jalur lain yang dapat ditempuh mahasiswa menuju berpikir formal.
Kata Kunci: dunia berpikir, perwujudan, simbolis, formal, jalur.
Pendahuluan Sebagian besar mahasiswa matematika di tahun pertama mengalami perubahan dalam proses berpikir sebagai akibat transisi dari matematika sekolah ke pembuktian formal dalam matematika murni di universitas. Matematika sekolah dapat dipandang sebagai kombinasi dari representasi visual, termasuk geometri dan grafik, bersama-sama dengan perhitungan dan manipulasi simbolis. Matematika murni di universitas bergeser menuju kerangka formal sistem aksiomatik dan bukti matematik. Transisi dalam berpikir dapat dirumuskan dalam kerangka tiga dunia matematika, yaitu (1) dunia perwujudan-konseptual, berdasarkan persepsi dan refleksi pada sifatsifat objek, pada awalnya terlihat dan dirasakan dalam dunia nyata tapi kemudian dibayangkan dalam pikiran, (2) dunia simbolis-proceptual, yang tumbuh keluar dari dunia perwujudan melalui tindakan (seperti menghitung) dan disimbolkan sebagai konsep masuk akal (seperti angka) yang berfungsi sebagai proses untuk berbuat dan konsep untuk berpikir (prosep), dan (3) dunia formal-aksiomatik, dari kerangka teoritik definisi konsep dan bukti matematika, yang membalik urutan SEMNAS MIPA 2010
konstruksi makna dari definisi yang didasarkan pada objek dikenal menuju konsep formal berdasarkan pada set-teoritik definisi (Tall, 2004:285, 2008a:5). Setiap “dunia” mempunyai urutan pengembangan sendiri dan bentuk-bentuk bukti sendiri yang dapat dipadukan untuk menghasilkan berbagai macam cara berpikir secara matematis (Tall, 2008a:5, Tall dan Mejia-Ramos, 2006:5). Dalam dunia perwujudan, mahasiswa mulai dengan percobaan fisik untuk menemukan kecocokan antar benda, deskripsi verbal menjadi definisi dan digunakan untuk mendukung konstruksi visual terhadap bukti verbal dan membangun teori dari definisi dan bukti. Dalam dunia simbolik, argumen dimulai dari perhitungan numerik yang spesifik dan berkembang menjadi bukti manipulasi simbolik. Dalam dunia formal, bentuk bukti yang diinginkan adalah deduksi formal, seperti teorema nilai tengah dibuktikan dengan aksioma kelengkapan (Tall dan Mejia-Ramos, 2006:5). Beberapa penelitian mengenai transisi menuju berpikir formal sudah dilakukan. Hasil penelitian Hong dkk (2009) menunjukkan bahwa guru matematika lebih cenderung pada dunia simbolis sedangkan dosen lebih cenderung pada dunia formal. Guru lebih cenderung pada gaya prosedural sedangkan dosen lebih cenderung pada gaya formal.
MAT - 53
Penelitian oleh Stewart & Ramos (2007, 2008) pada matakuliah aljabar linear menemukan berbagai cara mahasiswa menjelaskan konsep bebas linear, nilai eigen, dan vektor eigen. Mahasiswa menggunakan representasi perwujudan dan simbolis untuk menjelaskan konsep tersebut. Namun, demikian dalam penelitian ini tidak dijelaskan alasan mengapa mahasiswa menggunakan representasi perwujudan dan simbolis. Lebih lanjut dalam disertasinya, Sepideh Stewart (2008:247) menyarankan agar dilakukan penelitian mendalam mengenai bagaimana proses berpikir mahasiswa sehingga dapat mencapai berpikir formal. Penelitian Pinto (1998) menemukan dua jalur yang ditempuh mahasiswa dalam matakuliah analisis real, yaitu jalur alami dan jalur formal, untuk menuju berpikir formal. Jalur alami dibangun berdasarkan dunia perwujudan, simbolis atau gabungan keduanya dan membentuk jaringan dengan bayangan mental selama proses menerjemahkan bayangan mental menjadi bukti tertulis. Jalur formal menfokuskan pada teorema-teorema dan langkah logika yang diperlukan untuk mencapai kesimpulan yang diinginkan. Berdasarkan penelitian Pinto, Weber (2004) menambahkan satu jalur, yaitu jalur procedural, ketika melaksanakan penelitian pada matakuliah analisis real. Jalur prosedural menfokuskan langkah pembuktian sebagai hasil menghapal. Davil Tall (2008b:14-15) Menyatakan
“These transitions occur throughout the curriculum. Those that involve unhelpful met-befores include: (a)From counting to the whole number concept (b) From whole numbers to fractions (c)From whole numbers to signed numbers (d) From arithmetic to algebra (e)From powers to fractional and negative powers (f) From finite arithmetic to the limit concept (g) From description to deductive definition SEMNAS MIPA 2010
(h) At many other transitions, such as teaching the function concept in stages (linear, quadratic, trigonometric, logarithm, exponential, etc) builds limitations at each stage that stunt long-term growth. Research in many of these areas still needs to be done, so I invite you to do research into the effects of met-befores in transitions in the mathematical curriculum.” Pernyataan David Tall ini menjelaskan bahwa penelitian tentang dampak met-before dalam transisi berpikir juga sangat perlu dilakukan. Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah adakah kemungkinan jalur lain selain jalur natural, formal, dan procedural serta bagaimana peran metbefore pada saat seseorang menempuh suatu jalur tertentu. Set-Before dan Met-Before
David Tall (2008a) menggunakan istilah set-before untuk merujuk kepada struktur mental manusia yang dibawa sejak lahir, yang mungkin memerlukan sedikit waktu untuk matang saat otak manusia membuat koneksi pada awal kehidupan. Sebagai contoh, struktur visual otak memiliki sistem built-in untuk mengidentifikasi warna dan corak, untuk melihat perubahan dalam corak, mengidentifikasi sisi, mengkoordinasikan sisi untuk melihat benda-benda dan melacak gerakan mereka. Jadi anak lahir dengan sistem biologis untuk mengenali jumlah benda-benda (satu, dua, atau mungkin tiga) yang memberikan set-before untuk konsep “duaan” sebelum anak belajar menghitung. Lebih lanjut, Tall (2008a) menyatakan ada tiga set-before mendasar yang menyebabkan manusia berpikir secara matematis dengan cara tertentu. Ketiganya adalah:
1. 2.
pengenalan pola, persamaan dan perbedaan; pengulangan rangkaian tindakan sampai menjadi otomatis.
MAT - 54
3.
bahasa untuk menggambarkan dan memperbaiki cara kita berpikir tentang sesuatu;
Meskipun pengenalan dan pengulangan untuk berlatih kebiasaan-kebiasaan juga ditemukan pada spesies lain, kekuatan bahasa, dan penggunaan simbol-simbol yang terkait, memungkinkan manusia untuk fokus pada ide-ide penting, untuk menamai mereka dan berbicara tentang mereka untuk memperbaiki makna. Pengenalan pola adalah fasilitas penting untuk matematika, termasuk pola dalam bentuk dan bilangan. Pengulangan yang menjadi otomatis sangat penting untuk belajar prosedur. Namun, ada tingkat yang lebih tinggi yang tidak hanya melibatkan kemampuan untuk melakukan prosedur, tetapi juga untuk berpikir tentang hal ini sebagai suatu entitas. Dalam hal ini, simbol-simbol beroperasi secara dual, yakni sebagai proses dan konsep (prosep) yang memungkinkan manusia untuk berpikir fleksibel (Gray & Tall, 1994). Perkembangan pribadi didasarkan pada pengalaman yang telah ditemui sebelumnya. Pengalaman sebelumnya membentuk koneksi di otak yang mempengaruhi bagaimana memahami situasi baru. David Tall (2008a) mendefinisikan met-before sebagai fasilitas mental sekarang berdasarkan pengalaman spesifik individu sebelumnya. Suatu met-before ini kadangkadang konsisten dengan situasi baru dan kadang-kadang tidak konsisten. Kebanyakan kurikulum hanya berfokus pada perluasan pengalaman berdasarkan pada met-before positif, dan gagal untuk menjelaskan metbefore yang menyebabkan banyak peserta didik mengalami kesulitan mendalam. Tiga Dunia Matematika
Perkembangan individu dibangun atas tiga set-before mendasar yaitu pengakuan, pengulangan dan bahasa untuk mengkonstruksi tiga urutan perkembangan yang saling terkait dan saling terpadu untuk membangun pemikiran matematis secara penuh (Tall, 2004, 2006). Ini bukan untuk mengatakan bahwa ada korespondensi satusatu antara set-before dan urutan perkembangan. Pengakuan dan kategorisasi gambar serta bentuk mendukung pemikiran dalam geometri dan grafik, sedangkan pengulangan serangkaian tindakan yang SEMNAS MIPA 2010
disimbolkan sebagai konsep yang dapat dipikirkan mengarah pada aritmetika dan aljabar. Masing-masing proses konstruksi ini berkembang lebih lanjut melalui penggunaan bahasa untuk menggambarkan, mendefinisikan dan menyimpulkan hubungan, sampai pada tingkat tertinggi, bahasa digunakan sebagai dasar untuk matematika formal. Davidd Tall (2008a) selanjutnya menggambarkan cara berpikir ini ke dalam tiga dunia matematika yang berkembang dalam pengalaman duniawi dengan cara yang cukup berbeda. Tiga dunia matematika ini sebagai berikut.
1.
2.
3.
Dunia perwujudan-konseptual, berdasarkan persepsi dan refleksi pada sifat-sifat objek, pada awalnya terlihat dan dirasakan dalam dunia nyata tapi kemudian dibayangkan dalam pikiran; Dunia simbolis-proceptual yang tumbuh keluar dari dunia perwujudan melalui tindakan (seperti menghitung) dan disimbolkan sebagai konsep masuk akal (seperti angka) yang berfungsi sebagai proses untuk berbuat dan konsep untuk berpikir (prosep); Dunia formal-aksiomatik (berdasarkan definisi formal dan bukti), yang membalik urutan konstruksi makna dari definisi yang didasarkan pada objek dikenal menuju konsep formal berdasarkan pada set-teoritik definisi.
Perwujudan konseptual tidak hanya mengacu pada klaim yang lebih luas dari Lakoff (1987) bahwa semua pemikiran adalah perwujudan, tapi lebih khusus untuk representasi perseptual sesuatu. Secara konseptual, kita dapat mewujudkan figur geometris, seperti segitiga yang terdiri dari tiga segmen garis lurus; kita membayangkan segitiga seperti itu dan menjadikan suatu segitiga khusus yang bertindak sebagai prototipe untuk mewakili seluruh kelas segitiga. Kita "melihat" gambaran suatu grafik tertentu yang mewakili suatu fungsi spesifik atau generik. Proceptual simbolis mengacu pada penggunaan simbol-simbol yang muncul MAT - 55
dari skema aksi, seperti menghitung, yang menjadi konsep-konsep, seperti bilangan (Gray & Tall, 1994). Suatu simbol seperti 3 + 2 atau b2- 4ac mewakili proses yang harus dilakukan sekaligus konsep yang dihasilkan oleh proses tersebut. Aksiomatik formal mengacu pada formal Hilbert yang membawa kita melampaui operasi formal Piaget. Perbedaan utama dari perwujudan dan simbolis matematika dasar matematika adalah bahwa dalam matematika dasar, definisi muncul dari pengalaman dengan benda-benda yang sifatnya dijabarkan dan kemudian digunakan sebagai definisi. Dalam matematika formal, seperti ditulis dalam publikasi matematika, presentasi resmi mulai dari set-teori definisi dan menyimpulkan properti lainnya menggunakan bukti formal. Ketiga dunia tersebut dapat saling berinterkasi dan bekerja secara bersama. Meletakkan dua nama secara bersama, seperti perwujudan-konseptual aksiomatikformal adalah jelas tidak tepat sehingga diperlukan kompresi. Untuk tujuan ini, mengacu pada tiga dunia matematika, David Tall (2008a) hanya menyebut sebagai perwujudan, simbolis dan formal. Istilah ini tetap menggunakan makna untuk istilah yang telah ditetapkan. Dengan kompresi ini, maka memungkinkan untuk menggabungkan mereka dan memberikan nama seperti perwujudan formalis ketika berpikir formal didukung oleh perwujudan. Matematika sekolah berkembang dari perwujudan konsepsi tindakan fisik: bermain dengan bentuk, menempatkan mereka dalam koleksi, menunjuk dan menghitung, membagi, dan mengukur. Setelah operasi ini dilakukan dan menjadi rutinitas, mereka dapat disimbolkan sebagai bilangan dan digunakan secara dual sebagai operasi atau sebagai entitas mental. Saat fokus perhatian beralih dari perwujudan ke manipulasi simbol, berpikir matematika berubah dari perwujudan ke dunia simbolik (proseptual). Melalui matematika sekolah, perwujudan memberikan arti khusus dalam berbagai konteks, sementara simbolis dalam aritmetika dan aljabar menawarkan dunia mental daya komputasi. Kemudian transisi ke dunia aksiomatik formal didasarkan pada pengalaman perwujudan dan simbolis ini untuk SEMNAS MIPA 2010
merumuskan definisi formal dan untuk membuktikan teorema dengan menggunakan bukti matematis. Bukti formal yang tertulis adalah tahap akhir berpikir matematika. Hal ini didasarkan pada pengalaman teorema apa yang layak untuk membuktikan dan bagaimana mungkin pembuktian dilakukan, sering kali berkembang secara implicit dalam perwujudan dan pengalaman simbolik. Teori-teori formal yang didasarkan pada aksioma sering mengarah pada struktur teorema, yang mengungkapkan bahwa sistem aksiomatik (seperti ruang vektor) mempunyai perwujudan yang lebih rumit dan simbolis yang terkait -misalnya ruang vector berdimensi hingga adalah system koordinat dimensi-n. Dengan cara ini, kerangka teoretis menjadi lingkaran penuh, berkembang dari perwujudan dan simbolis ke formal, kembali lagi ke bentuk yang lebih canggih dari perwujudan dan simbolis yang, pada gilirannya, memberikan cara-cara baru pada matematika yang lebih rumit. Beberapa penelitian mengenai teori David Tall mengenai tiga dunia matematika telah dilakukan. Hasil penelitian Hong dkk (2009) menunjukkan bahwa guru matematika lebih cenderung pada dunia simbolis sedangkan dosen lebih cenderung pada dunia formal. Hal ini jelas akan memberikan pengaruh pada perubahan cara berpikir siswa ketika masuk ke perguruan tinggi. Penelitian Kristina Juter (2006) mengenai perkembangan konsep mahasiswa untuk topik limit fungsi menunjukkan bahwa semua mahasiswa belum mencapai berpikir formal. Penelitian oleh Stewart & Ramos (2007, 2008) pada matakuliah aljabar linear menemukan bahwa mahasiswa hanya sampai pada dunia perwujudan dan simbolis untuk menjelaskan konsep bebas linear, nilai eigen, dan vektor eigen. Lebih lanjut dalam disertasinya, Sepideh Stewart (2008:247) menyarankan agar dilakukan penelitian mendalam mengenai bagaimana mahasiswa dapat mencapai berpikir formal.
Dualitas Simbol: Proses dan Konsep
Ausubel dkk (1968) membedakan antara belajar bermakna dan belajar hapalan. Belajar yang menghasilkan skema pengetahuan yang kaya akan saling MAT - 56
keterkaitan antara entitas pengetahuan disebut belajar bermakna, dan belajar yang menghasilkan entitas pengetahuan yang terisolasi dari skema pengetahuan yang ada disebut belajar hapalan. Hiebert dan Lefevre (dalam Hiebert, 1986;6) membedakan antara pengetahuan procedural dan konseptual. Pengetahuan mengenai fakta dan prosedur oleh disebut pengetahuan procedural, sedangkan pengetahuan mengenai fakta dan konsep yang saling terkait satu sama lain disebut pengetahuan konseptual. Skemp (1987:166) membedakan antara pemahaman instrumental, pemahaman relasional, dan pemahaman formal/logis. Kemampuan untuk melakukan rumus-rumus atau prosedur-prosedur tanpa mengetahui mengapa rumus itu dapat berfungsi disebut pemahaman instrumental. Kemampuan untuk menghasilkan aturan atau prosedur khusus dari saling keterkaitan konsep matematika yang lebih umum disebut pemahaman relasional. Kemampuan untuk menghubungkan simbol-simbol dan notasi-notasi matematika (fakta) dengan konsep matematika dan kemampuan mengkombinasikan fakta dan konsep ke dalam jaringan penalaran logis disebut pemahaman formal atau pemahaman logis. Aspek prosedural matematika terfokus pada manipulasi rutin objek yang diwakili baik oleh benda konkret, kata-kata lisan, simbol tertulis, atau gambaran mental. Relatif mudah untuk melihat apakah prosedur tersebut dilakukan secara memadai, dan kinerja dalam tugas-tugas serupa sering diambil sebagai ukuran pencapaian dalam keterampilan ini. Pengetahuan konseptual di sisi lain lebih sulit untuk dinilai. Ini adalah pengetahuan yang kaya dalam hubungan (Gray & Tall, 1994:2). Pembedaan antara belajar procedural dan belajar konseptual ini sebenarnya tidak bersifat eksklusif. Prosedur-prosedur dapat memberikan kesempatan untuk bekerja dalam matematika dan saling keterkaitan konseptual dapat memberikan kesempatan untuk memikirkannya. Melalui belajar aritmetika, aljabar dan kalkulus, symbol dapat berperan penting untuk melakukan suatu prosedur (misalnya penjumlahan) sekaligus sebagai hasil dari prosedur itu (yakni jumlahnya). Jadi, symbol berfungsi
SEMNAS MIPA 2010
sebagai proses sekaligus sebagai konsep. Berikut ini beberapa contoh yang lain.
Simbol 3+4 -3
¾ 3 + 2x v = s/t sin A = sisi depan/sisi miring y = f(x) dy/dx f(x) dx
Proses Konsep Penjumlahan Jumlah Kurangi 3, 3 Negatif 3 langkah ke kiri Pembagian Pecahan Evaluasi Expresi Rasio Kecepatan Rasio Fungsi trigonometri trigonometri
Pemasangan Diferensiasi Integrasi
Fungsi Turunan Integral
Perkembangan umum dalam matematika dimulai dengan mendapatkan pengalaman dari suatu proses, pertama sebagai prosedur yang spesifik, mungkin kemudian dengan lebih banyak fleksibilitas dalam cara-cara alternatif yang lebih efektif atau dibatasi, dan akhirnya dipahami sebagai satu kesatuan. Simbol yang pertama kali membangkitkan suatu proses menjadi dilihat juga sebagai konsep yang dihasilkan. Penggunaan simbol sebagai poros antara proses dan konsep disebut procep. Ini memberikan kekuatan yang besar yang memungkinkan individu untuk melakukan matematika (sebagai proses) dan untuk berpikir tentang hal itu (sebagai suatu konsep) (Tall, 1996:2-3). Jalur Menuju Berpikir Formal
Ketika berhadapan dengan ide-ide matematika baru, individu bentindak dalam berbagai cara. Dalam aritmetika, siswa yang berhasil sudah memiliki struktur fleksibel yang saling mendukung penggunaan simbolis baik sebagai proses untuk mendapatkan hasil dan konsep untuk dipikirkan. Siswa yang tidak berhasil lebih menfokuskan pada ketepatan melakukan algoritma dan jarang sukses dengan masalah rutin. Saat perkembangan mereka terus berlanjut dalam matematika, perbedaan mulai berbeda bahkan lebih mencolok. Dalam menghadapi ide-ide baru, beberapa MAT - 57
siswa memiliki sedikit struktur kognitif untuk dikembangkan dan cenderung untuk mundur lebih jauh pada belajar hafalan. Beberapa siswa yang memiliki kekayaan pertumbuhan struktur kognitif mengembangkan pendekatan pribadi yang berbeda-beda. Salah satu metode kategorisasi pendekatan yang berbeda adalah dengan mengatakan "Apakah siswa membangun struktur yang dimiliki untuk memahami matematika baru, atau apakah pelajar mencoba untuk memahami matematika sebagai matematika itu sendiri?" Dengan kata lain, apakah siswa mensintesis pengalaman mereka untuk membangun ideide matematika baru atau menganalisis ideide matematika baru untuk membangun sistem itu sendiri yang mungkin dapat diintegrasikan dengan pengetahuan sebelumnya. Duffin & Simpson (1993) menyebut yang pertama sebagai siswa "alami" dan yang terakhir sebagai siswa "asing". David Tall (1997) menyebut yang pertama sebagai siswa “alami” dan yang kedua sebagai siswa “formal”. Siswa alami mencoba untuk memahami ide baru menggunakan pengetahuan saat ini, sedangkan siswa formal memberikan kesempatan pada pengetahuan baru untuk mengembangkan arti tersendiri tanpa merasa perlu untuk menghubungkannya dengan pengetahuan lainnya (Tall, 1997:11-12). Apa yang terjadi pada siswa alami dan formal ketika mereka menghadapi definisi dan deduksi pada matematika lanjut? Siswa alami harus menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dan berusaha menempatkan definisi sesuai fungsinya. Ini memerlukan sejumlah besar refleksi dan reorganisasi pengetahuan yang memuat banyak kelemahan. Sesungguhnya "pelajar alami" yang belum memahami peran definisi sebagai formalisasi konsep baru dan mendeduksi sifat-sifatnya, benar-benar "mengetahui" banyak sifat dan dibingungkan oleh seluruh masalah. Namun, yang lainnya bisa sukses dan ditandai dengan kemampuan memberikan arti definisi berdasarkan kekayaan pengalaman mereka. Di sisi lain, siswa formal adalah mereka yang berusaha untuk menggunakan definisi verbal sesuai fungsinya dan menggunakannya untuk mengekstrak makna. Sekali lagi, ada yang SEMNAS MIPA 2010
berhasil dan beberapa gagal (Tall, 1997:1112). Dikaitkan dengan transisi berpikir dari dunia perwujudan dan simbolis menuju dunia formal, Maria Pinto (1998) mengemukakan dua jalur yang ditempuh mahasiswa dalam matakuliah analisis real, yaitu jalur alami dan jalur formal. Jalur alami dibangun berdasarkan dunia perwujudan, simbolis atau gabungan keduanya dan membentuk jaringan dengan bayangan mental selama proses menerjemahkan bayangan mental menjadi bukti tertulis. Jalur formal menfokuskan pada teorema-teorema dan langkah logika yang diperlukan untuk mencapai kesimpulan yang diinginkan. Penelitian Pinto ini dilakukan pada materi analisis real khususnya topik limit barisan. Berangkat dari hasil penelitian Pinto, pertanyaan yang dapat diajukan untuk diteliti lebih lanjut adalah mengapa mahasiswa memilih jalur alami atau jalur formal. Pemilihan jalur oleh mahasiswa ini dapat ditinjau dari met-before mahasiswa. Pinto tidak memberikan penjelasan mengenai met-before mahasiswa terutama jika dikaitkan dengan metode pembelajaran yang dilakukan dosen untuk materi yang diteliti. Melengkapi penelitian Pinto, penelitian Weber (2003 dan 2004) memberikan penjelasan yang lebih detil. Weber tidak hanya ingin menjelaskan berbagai jalur yang ditempuh mahasiswa, tetapi juga melihat met-before mahasiswa berkaitan dengan gaya mengajar dosen pada matakuliah analisis real. Selian jalur alami dan formal, Weber menambahkan satu jalur baru, yaitu jalur procedural. Jalur prosedural menfokuskan langkah pembuktian sebagai hasil menghapal tanpa pembenaran secara formal. Data penelitian Weber juga menunjukkan bahwa mahasiswa dapat menggunakan berbagai jalur bergantung pada konteks materi yang mereka hadapi. Dari 6 mahasiswa yang diteliti, semua menggunakan jalur alami untuk pertanyaan tentang topologi. Perkuliahan topologi ini dilakukan dengan gaya semantik. Meskipun demikian, untuk pertanyaan tentang fungsi dan limit, hanya satu siswa yang menjawab secara alami. Respon yang lain, 4 formal dan 1 prosedural (untuk soal fungsi) serta 2 MAT - 58
formal dan 3 prosedural (untuk soal limit). Perkuliahan materi fungsi dilakukan dengan gaya logiko-struktural dan materi limit barisan dengan gaya procedural. David Tall (2008a) menggunakan istilah perwujudan untuk perwujudankonseptual, simbolis untuk simbolisproseptual, dan formal untuk formalaksiomatik. Penggunaan istilah ini dilakukan untuk menyederhanakan istilah ketika terjadi penggabungan antara dua dunia, misalnya formal dan simbolis, sehingga dapat disebut simbolis formal bukan simbolis-proseptual formal-aksiomatik. Penyederhanaan ini memberikan kemungkinan adanya penggabungan dua dunia atau lebih yang pada akhirnya dapat memberikan kemungkinan adanya penggabungan dua jalur atau lebih pada transisi berpikir mahasiswa.
Gambar 1. Perkembangan Kognitif melalui Tiga Dunia Matematika (David Tall, 2008a)
Berdasarkan Gambar 1, maka penulis dapat merinci bahwa terdapat minimal 4 (empat) jalur menuju pembuktian formal, (1) jalur melalui dunia perwujudan menuju pembuktian formal, (2) jalur melalui dunia simbolik menuju pembuktian formal, (3) jalur dari dunia perwujudan dan simbolik, dan akhirnya menuju pembuktian formal, dan (4) jalur dari dunia formal menuju pembuktian formal. Pinto (1998) menyebut jalur (1), (2), dan (3) dengan jalur natural, dan jalur (4) dengan jalur formal. Kompresi jalur (1), (2), dan (3) menjadi satu jalur masih perlu penghalusan. Jalur (1) dan jalur (2) tentunya akan melewati aktivitas mental yang sangat berbeda. Jalur (1) membangun bukti formal melalui manipulasi atau tindakan fisik seperti bermain dengan bentuk, menempatkan
SEMNAS MIPA 2010
mereka dalam koleksi, menunjuk dan menghitung, membagi, dan mengukur sedangkan jalur (2) membangun bukti formal melalui manipulasi simbol. Dengan demikian, penulis merasa masih diperlukan penghalusan dalam pengkategorian jalur natural. Pinto (1998:302-303) menyatakan bahwa
“From the analysis of data collected, and also on basis of our own experience learning mathematics, it is more likely that an individual builds mathematical knowledge constantly combining the two identified strategies of learning. It seems to be important to follow the development of students who present such a variation to the routes of learning which are already identified. In addition, there might be other strategies used by the learners when building their mathematical knowledge, which are worth to be known and understood. Penelitian Hahkiöniemi (2006:74-75) menemukan bahwa terdapat beberapa jalur yang ditempuh mahasiwa dalam memahami konsep turunan, yaitu jalur perwujudan, jalur simbolik, dan beberapa variasi gabungan dari dua jalur tersebut. Nampak disini, bahwa Hahkiöniemi (2006) tidak menyatakan jalur tersebut sebagai jalur natural menurut Pinto (1998), tetapi merincinya sebagai jalur tersendiri.
Observasi awal penulis menunjukkan bahwa ada mahasiswa yang menggunakan bentuk formal dan perwujudan ketika diminta menjawab pertanyaan tentang materi fungsi komposisi. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa masih ada jalur lain selain jalur alami, formal, dan procedural. Berdasarkan kajian teoritik dan gejala empirik yang ada, maka adanya jalur lain selain jalur natural, formal, dan procedural sangat dimungkinkan dan perlu diteliti lebih lanjut.
MAT - 59
Penutup Transisi berpikir dari matematika sekolah ke matematika formal di perguruan tinggi masih menyisakan banyak pertanyaan jika dikaitkan dengan jalur yang dilalui mahasiswa dari dunia perwujudan dan simbolis menuju dunia formal. Penelitian lebih lanjut masih dapat dilakukan untuk menjawab kemungkinan adanya jalur lain selain jalur alami, formal, dan procedural. Selain itu, dalam menempuh suatu jalur, penelitian tentang proses berpikir mahasiswa masih perlu dilakukan untuk melihat peran met-before. Apakah met-before berperan positif atau justru berperan negatif.
Referensi Duffin, J. M. & Simpson. A. P. 1993. Natural, Conflicting, and Alien. Journal of Mathematical Behavior, 12 4: 313–328. Gray, E. & Tall, D. O. 1994. Duality, Ambiguity and Flexibility: A Proceptual View of Simple Arithmetic. The Journal for Research in Mathematics Education, 26 (2):115–141. Hiebert, James. 1986. Conceptual and Procedural Knowledge: The Case of Mathematics. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher. Hahkiöniemi, M. 2006. Tools for Studying the Derivative. Unpublished PhD, Jyväskylä, Finland. Hong, YY., Kerr, S.. Klymchuk, S.. McHardy, J.. Murphy, P.. Spencer, S.. Thomas, M.. & Watson, P.. 2009. Modelling the Transition from Secondary to Tertiary Mathematics Education: Teacher and Lecturer Perspectives. Article from Group Research, Auckland University of Technology, New Zealand. Lakoff, G. 1987. Women, Fire and Dangerous Things. Chicago: Chicago University Press. SEMNAS MIPA 2010
Pinto, M. M. F. 1998. Students’ Understanding of Real Analysis. Unpublished PhD Thesis, University of Warwick. UK. Skemp, Richard R.. 1987. The Psychology of Learning Mathematics. New Jersey: Lawrence Earlbaum Associates. Stewart, S., & Thomas, M. O. J. 2007. Eigenvalues and Eigenvectors:Formal, Symbolic and Embodied Thinking. Dipresentasikan pada the 10th Conference of the Special Interest Group of the Mathematical Association of America on Research in Undergraduate Mathematics Education, San Diego, California, USA. Stewart, S., & Thomas, M. O. J. 2008. Linear Algebra Thinking: Embodied, Symbolic and Formal Aspects of Linear Independence. Dipresentasikan pada the 11th Conference of the Special Interest Group of the Mathematical Association of America on Research in Undergraduate Mathematics Education, San Diego, California, USA. Stewart, S.. 2008. Understanding Linear Algebra Concepts Through the Embodied, Symbolic and Formal Worlds of Mathematical Thinking. Unpublished PhD. Thesis, Department of Mathematics, The University of Auckland. New Zealand. Tall, D.O. 1996. Advanced Mathematical Thinking & The Computer. Proceedings of the 20th University Mathematics Teaching Conference, Shell Centre, Nottingham, Halaman: 18 Tall, D.O. 1997. From School to University: the Transition from Elementary to Advanced MAT - 60
Mathematics Thinking. Dipresentasikan pada the Australasian Bridging Conference in Mathematics di Auckland University, New Zealand, 13 Juli 1997. Tall, D. O. 2004. Thinking through Three Worlds of Mathematics. Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education. Bergen, Norway. Vol 4 Hal: 281-288. Tall, D. O. 2006. A Theory of Mathematical Growth through Embodiment, Symbolism and Proof. Annales de Didactique et de Sciences Cognitives, Irem de Strasbourg. 11, 195–215. Tall, D.O. 2008a. The Transition to Formal Thinking in Mathematics. Mathematics Education Research Journal, Vol. 20 No. 2 Hal: 5-24. Tall, D.O.. 2008b. The Historical & Individual Development of Mathematical Thinking: Ideas that are Set-Before and MetBefore. Plenary Presented at Colóquio de Histório e Tecnologia no Ensino Da Mathemática. UFRJ, Rio de Janeiro, Brazil, May 5th. Tall, D. O., & Mejia-Ramos, J. P. 2006. The Long-Term Cognitive Development of Different Types of Reasoning and Proof. Dipresentasikan pada the Conference on Explanation and Proof in Mathematics: Philosophical and Educational Perspectives di Universität Duisburg-Essen, Essen, Germany. Weber, K. 2003. A procedural route toward understanding the concept of proof. Proceedings of the Twenty-third Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics
SEMNAS MIPA 2010
Education, Honolulu, HI. Vol 4 Hal: 395 - 401 Weber, K. 2004. Traditional Instruction in Advanced Mathematics Courses: A Case Study of One Professor’s Lectures and Proofs in an Introductory Real Analysis Course. Journal of Mathematical Behavior 23 Halaman 115–133.
MAT - 61
SIFAT IDIOSINKRATIK DALAM MENGORGANISASI PENGETAHUAN: PENGARUH PANDANGAN AHLI PSIKOLOGI KOGNITIF DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Edy Bambang Irawan Jurusan Matematika FMIPA-UM
Abstracts Some learning theory from the view of learning mathematics psychologists show that the students possess of hierarchy of mathematical skills. Knowledge has the nature of hierarchy means that there are parts of knowledge or skill as a prerequisites and necessary to study the matter further. Mathematics hierarchy in learning theory based on two assumptions. First, the student could obtaining mathematics concepts from learning mathematics. Second, its obtained concepts depend on previous concepts. The consecuence of it are mathematics concepts considered as entity. Furthermore, the concecuence of existence of hierarchy in mathematics learning theory is there ability hierarchy which the student could placed in certain mathematics ability. Cognitive psichologist refused the asumptions in which mathematics concepts considered as entity and nothing unique mathematics ability hierarchy. The individual construction of concepts is personal and idiosincratic. The opinion from its cognitive psichologist influence mathematics instruction. Keywords: hierarchy of mathematics ability, idiosincratic, mathematics instruction
1. DUA ASUMSI DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN MATEMATIKA Beberapa teori belajar dari para pakar psikologi belajar matematika seperti: Piaget, Guilford, Gagne, dan pakar-pakar lain, memberikan kesan adanya hirarki kemampuan matematika bagi siswa. Pengetahuan yang bersifat hirarkis mempunyai arti bahwa terdapat bagian pengetahuan atau ketrampilan yang merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mempelajari bagian lebih lanjut. Adanya hirarki kemampuan matematika menunjukkan adanya kemampuan matematika yang berkembang dari kemampuan rendah menuju kemampuan yang lebih tinggi. Piaget telah mengembangkan tahap perkembangan intelek yang terdiri dari empat tahap perkembangan intelek, yaitu: sensory-motor, preoperational, concrete operational dan formal operational. Guilford mengenalkan 6 produk belajar dalam mengorganisasi informasi meliputi: units, classes, relations, systems, trasformations, dan implications. Gagne mengembangkan hirarki belajar pada problem solving dan pada belajar aturan. Dienes mengembangkan teori belajar yang SEMNAS MIPA 2010
mirip dengan teori perkembangan intelek Piaget. Dia mengenalkan enam tahap perkembangan dalam belajar konsep matematika, yaitu: freeplay, games, searching for communalities, representation, symbolization dan formalization (Bell, 1978, h. 98 – 147). Dengan adanya tahap-tahap perkembangan dari teori belajar yang dihasilkan oleh para pakar psikologi memberikan kesan adanya tahap-tahap kemampuan matematika yang dimiliki siswa dalam belajar matematika. Kesan adanya tahap-tahap kemampuan matematika siswa dapat diberikan contoh berikut. Misalnya dikatakan bahwa kemampuan matematika siswa pada tahap concrete operational lebih rendah dibandingkan dengan kemampuan siswa pada tahap formal oprational. Contoh lain misalnya, kemampuan matematika siswa yang belajar pada tahap formalisasi lebih tinggi dari pada kemampuan matematika siswa yang belajar pada tahap representasi. Adanya tahap-tahap kemampuan matematika yang berkembang dalam proses belajar matematika, dapat dikatakan adanya suatu hirarki kemampuan matematika bagi siswa. Apabila berpijak pada pandangan Ernest (1991, h. 239) adanya hirarki dalam
MAT - 62
teori belajar matematika berpijak pada dua asumsi. Pertama, dalam belajar matematika, suatu konsep (atau: ketrampilan) matematika yang dipelajari siswa setelah mengikuti pengalaman belajar tertentu sifatnya diperoleh. Sebelum mengikuti pengalaman belajar tertentu, siswa belum memperoleh konsep yang akan diberikan. Setelah mengikuti pengalaman belajar dikatakan siswa telah memperoleh konsep yang dipelajari dan siswa sudah memiliki konsep tersebut. Kedua, konsep matematika yang diperoleh dari hasil belajar tergantung pada konsep matematika yang diperoleh sebelumnya. Kedua pendapat tersebut didukung oleh Minsky (1986, dalam Clement & Sarama, 2007, 264). Kedua asumsi di atas membawa konsekuensi bahwa suatu konsep merupakan suatu entitas, mempunyai eksistensi real. Dalam pengertian ini, apabila seorang siswa dapat menyelesaikan masalah dengan menggunakan konsep segitiga, dikatakan bahwa siswa tersebut telah memiliki konsep segitiga dalam pikirannya. Eksistensi konsep segitiga telah dimiliki oleh siswa. Konsekuensi lebih lanjut dari adanya hirarki dalam teori belajar matematika adalah seorang siswa dapat dikatakan mempunyai kemampuan matematika tertentu dalam suatu hirarki kemampuan matematika. Dalam beberapa kurikulum pendidikan matematika, sering dijumpai tulisan-tulisan yang secara tersirat memandang bahwa suatu konsep merupakan entitas. Disamping itu dalam kurikulum pendidikan matematika juga tersirat adanya suatu hirarki kemampuan matematika bagi siswa yang belajar matematika. Berikut beberapa contoh tulisan dalam Kurikulum Pendidikan Dasar. (i). Salah satu hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan kegiatan pembelajaran adalah pengetahuan prasyarat harus dimiliki oleh siswa sebelum mempelajari materi yang akan datang. (ii). Tujuan pembelajaran matematika di SLTP adalah agar siswa memiliki pengetahuan matematika sebagai bekal untuk melanjutkan ke pendidikan menengah. (iii). Pada dasarnya silabus merupakan pedoman mengajar bagi guru yang
SEMNAS MIPA 2010
berisikan materi minimal yang perlu dipelajari oleh semua siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. (iv). Materi pengayaan dimaksudkan sebagai tambahan materi untuk siswa agar lebih cepat dalam belajar matematika bila dibandingkan dengan yang lain. Beberapa contoh di atas, tampak bahwa dari contoh pertama dan kedua menunjukkan adanya asumsi bahwa suatu konsep merupakan suatu entitas, sedangkan dari contoh ketiga dan keempat menunjukkan adanya asumsi bahwa terdapat suatu hirarki dalam kemampuan matematika. Dari adanya kedua asumsi tersebut, para pakar psikologi memberikan suatu kritik. Kritik tersebut terkait dengan adanya anggapan sifat entitas dari suatu konsep dan kritik yang terkait dengan adanya hirarki dalam kemampuan matematika.
2. SIFAT IDIOSINKRATIK DALAM MENGORGANISASI PENGETAHUAN 2.1. Pengorganisasian Matematika
Konsep
Kritik terhadap sifat entitas suatu konsep dan adanya hirarki kemampuan matematika memberikan pengaruh dalam pengorganisasian konsep matematika. Ruthven (dalam Ernest, 1991, h. 244) menolak pandangan bahwa kemampuan matematika bersifat hirarkis. Penolakan pandangan Ruthven tersebut berdasarkan argumentasi sosiologis dan psikologis. Argumentasi sosiologis yang dikemukakan adalah terdapat kaitan yang kuat antara latar belakang sosial dan kemajuan pendidikan dari semua jenis. Argumentasi psikologis yang menjadi dasar penolakan adalah psokologis Soviet yang menolak pengertian kemampuan tertentu, dan menghubungkan perkembangan psikologis dengan pengalaman yang terjadi secara sosial. Apabila berpijak pada pendapat Ruthven (dalam Ernest, 1991, h. 243) kemampuan siswa yang seringkali ditunjukkan dengan prestasi belajar, pada hakekatnya merupakan mathematics ability stereotyping. Dengan kata lain, kemampuan matematika yang ditunjukkan siswa sebagai hasil belajar merupakan suatu judment
MAT - 63
global dari kemampuan matematika siswa yang merupakan suatu summary dari bentuk stereotip. Vergnaud (dalam Ernest, 1991, h. 241) mengatakan bahwa hirarki kemampuan matematika tidak mengikuti pengorganisasian urutan menyeluruh seperti pada teori tahap-tahap perkembangan, namun merupakan urutan parsial. Situasi dan masalah yang dikuasai siswa secara progresif, prosedur dan representasi simbolik yang digunakan dari umur 2 atau 3 tahun sampai dewasa dideskrepsikan dengan skema urutan parsial, seseorang mendapatkan kompetensi tidak menyandarkan pada urutan yang satu satu dengan yang lain. Pakar-pakar psikologi kognitif lainnya, seperti Brower, 1989; Lave, 1988; Solomon, 1989; Walkerdue, 1988; Carreher, 1988; Evans, 1988; Novak, 1989 (dalam Ernest, 1991, h. 240-241) menolak adanya klaim bahwa pengorganisasian konsep matematika mengikuti suatu hirarki tertentu. Secara logika, matematika dipandang sebagai kumpulan konvensi untuk memanipulasi simbol (Glasersfeld, 1990, h. 44). Dari pandangan tersebut, kiranya mustahil hirarki tertentu bisa dibuat, karena setiap pakar akan membuat konvensi yang spesifik, yang tentunya saling berbeda. Dengan demikian, pengorganisasian pengetahuan matematika tidak dapat dimasukkan pada sebuah hirarki kemampuan matematika tertentu. 2.2. Sifat Idiosinkratik Kata idiosinkratik berasal dari kata idiosyncrasy yang berati cara berfikir atau perilaku seseorang yang bersifat khas (Hornby, 1974, h. 421). Pengertian sifat idiosinkratik dalam mengorganisasi suatu konsep kiranya dapat mengambil dari pendapat Ernest (1991, h. 241) atas keberatan utama terhadap pandangan bahwa suatu konsep bersifat ‘diperoleh’ oleh individu. Dengan memperhatikan pendapat tersebut, sifat idiosinkrtatik dalam mengorganisasi suatu konsep dapat dijelaskan sebagai berikut. (i) Suatu konsep terstruktur dalam pikiran anak secara komposit, secara pribadi tumbuh semakin luas sesuai konteks yang dihadapi anak. SEMNAS MIPA 2010
(ii). Suatu konsep dapat dimanifestasikan secara tidak langsung, karena struktur mental anak tidak dapat diamati secara langsung. Esensi dari manifestasi suatu konsep merupakan suatu anggapan (presumtive). (iii). Suatu konsep yang terstruktur pada individu-individu tidak dapat dikatakan identik. Para pakar psikologi kognitif mengarah pada pandangan bahwa pengorganisasian pengetahuan bersifat idiosinkratik (Ernest, 1991, h. 240), akibatnya pembentukan konsep-konsep matematika sebagai hasil belajar matematika bersifat idiosinkratik. Pandangan bahwa pengorganisasian pengetahuan bersifat idiosinkratik antara lain juga tersirat pada pandangan para pakar psikologi berikut. Vico (dalam Glasersfeld, 1990, h. 21) menuliskan slogan bahwa “the human mind can know what the human mind has made”. Menurut Novak (dalam Ernest, 1991, h. 241), kemampuan individu dalam mengorganisasikan pengetahuan dilakukan secara pribadi dan unik. Dengan demikian, apabila dikatakan bahwa individu yang berbeda memiliki konsep yang sama, konsep yang dimiliki oleh masing-masing individu tersebut bukanlah suatu entitas yang identik. Stigler dan Baranes (1989, dalam Nunes T, 1992, h. 558) mengatakan bahwa matematika merupakan kumpulan representasi simbolik yang dikonstruksi secara kultural dan kumpulan prosedur memanipulasi representasi tersebut. Anak memasukkan representasi dan prosedur dalam sistem kognitif, suatu proses yang terjadi dalam konteks yang dikonstruksi secara sosial. Brown (dalam Ernest, 1991, h. 240) mengemukakan bahwa suatu konsep tumbuh menurut luasnya penggunaan kontekstual, siswa yang menstruktur secara mental dari suatu konsep dilakukan secara kontekstual. 3. IMPLIKASI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA 3.1. Implikasi pandangan bahwa pengorganisasian pengetahuan siswa bersifat idiosinkratik Telah dijelaskan bahwa para pakar psikologi kognitif berpandangan bahwa MAT - 64
pengorganisasian pengetahuan siswa bersifat idiosinkratik. Para ahli psikologi menolak pandangan bahwa suatu konsep merupakan suatu entitas, yang dapat diperoleh, dan menolak pandangan bahwa konsep diperoleh secara langsung, dimiliki atau tidak dimiliki oleh siswa. Pandangan ini dapat mempunyai implikasi dalam pembelajaran matematika. Dalam penyusunan program pembelajaran matematika, menyusun deskripsi hasil belajar, maupun dalam interaksi guru dan murid, dipandang sebagai suatu hal yang lazim bahwa konsep dipandang sebagai suatu entitas yang dapat diperoleh secara langsung, dan dapat dimiliki oleh siswa. Apabila pandangan ilmuwan kognitif di atas dipahami secara sempit bagi para pendidik, akan membingungkan dalam kegiatan pembelajaran. Para pendidik akan mengahadapi dilema sebagai berikut. (i). Bagaimana bisa mengajarkan konsep lebih lanjut, apabila siswa tidak memiliki konsep sebelumnya? (ii). Apa yang terjadi apabila siswa tidak pernah bisa memperoleh konsep yang diajarkan? Dengan demikian, terdapat ungkapanungkapan yang memiliki makna cukup jelas bagi para pendidik di lapangan , namun dari pandangan psikologi kognitif perlu mendapatkan kritik. Ungkapan-ungkapan dimaksud dapat diberikan contoh sebagai berikut. (i). Siswa sudah memiliki konsep segitiga yang diberikan guru melalui demonstrasi dengan menggunakan alat peraga. (ii). Siswa memperoleh konsep jarak berdasarkan pengalaman sehari-hari dan hasil belajar di kelas.. Dengan berpijak pada pandangan ahli psikologi kognitif, kiranya contoh-contoh ungkapan di atas lebih sesuai bila dinyatakan sebagai berikut. (i). Siswa sudah dapat mengorganisasikan secara mental konsep segitiga yang diajarkan guru melalui demonstrasi dengan menggunakan alat peraga. (ii). Siswa mengkostruksi secara mental konsep jarak berdasarkan pengalaman sehari-hari dan hasil belajar di kelas.
SEMNAS MIPA 2010
3.2. Implikasi dari pandangan bahwa kemampuan matematika individu tidak mempunyai hirarki unik Pada bagian sebelumnya telah disebutkan bahwa para ahli psikolgi menolak pandangan bahwa kemampuan matematika individu mempunyai karakteristik unik. Implikasi pandangan ini bagi para pendidik di lapangan apabila dipahami secara sempit akan membingungkan dan menyulitkan dalam kegiatan pembelajaran. Para pendidik di lapangan akan mengalami dilema sebagai berikut. (i) Apakah tidak dapat dilakukan pengelompokan kemampuan anak didik berdasarkan kemampuan matematika rendah, sedang atau tinggi? (ii) Apakah kemampuan matematika siswa tidak dapat digambarkan pada suatu kurva? (iii) Apa yang bisa dikatakan kemampuan siswa A terhadap siswa B terhadap kemampuan matematikanya? Dengan demikian, terdapat ungkapanungkapan yang oleh para pendidik di lapangan merupakan ungkapan yang mempunyai makna jelas, bagi para ahli psikologi dipandang perlu mendapat kritik. Ungkapan-ungkapan yang dimaksud dapat diberikan contoh sebagai berikut. (i). Siswa yang mempunyai kemampuan menghitung tinggi, akan lebih cepat dalam menyelesaikan masalah menghitung dibandingkan siswa yang mempunyai kemampuan menghitung rendah. (ii). Ada kecenderungan bahwa gambaran kemampuan matematika siswa dalam suatu kelas membentuk model kurva normal. Pada contoh pertama tampak bahwa ungkapan ‘kemampuan menyelesaikan masalah menghitung yang lebih cepat’ dihubungkan dengan ‘kemampuan tinggi’. Ungkapan yang lebih cermat tentunya dengan berpijak pada pandangan ahli psikologi kognitif. Dalam hal ini, ungkapan ‘menyelesaikan masalah menghitung yang lebih cepat’ akan lebih cermat bila dihubungkan dengan ‘skor tinggi’. Demikian
MAT - 65
juga pada contoh kedua, tampak bahwa ungkapan ‘membentuk model kurva normal’ dihubungkan dengan ‘kemampuan matematika’, akan lebih cermat bila ungkapan tersebut dihubungkan dengan ‘skor tes matematika’. 4. PENUTUP Kreativitas guru yang terkait dengan kegiatan pembelajaran matematika seringkali diwujudkan dalam bentuk penyusunan program pembelajaran matematika, penyusunan bahan ajar matematika, maupun aplikasi perencanaan program pembelajaran dalam kegiatan di kelas. Dari contoh-contoh ungkapan yang disajikan pada kedua implikasi di atas ( subbab C.1 dan C.2) , diharapkan produk kreativitas tersebut dapat dibuat lebih cermat, sejauh mungkin tidak menimbulkan kritik yang tajam ditinjau dari pandangan ahli psikologi kognitif..
5. DAFTAR RUJUKAN Bell, F.H. 1978. Teaching and Learning Mathematics (in Secondary Schools). Iowa: Brown W.C. Ernest P. 1991. The Phylosophy of Mathematics Education. USA: Falmer Glasersfeld. 1990. An Exposition of Constructivism: Why Some Like It Radical. Journal for Research in Mathematics Education. Monograph. Vol.4 Nunes, T. 1992. Ethnomathematics and Everyday Cognition. Handbook of Research Mathematics Teaching and Learning. New-York. Secada W.G. 1991. The Challenges of a Changing World for Mathematics Education. Teaching and Learning Mathematics in 1990s. 1990 Yearbook. NCTM. Virginia Clement D.H. & Sarama J. 2007. Early Childhood Mathematics Learning. Second Handbook od Research on Mathemayics Teaching and Learning. NCTM. 2007.
SEMNAS MIPA 2010
MAT - 66
Proses Komunikasi Matematis dalam Bahasa Inggris Melalui Pembelajaran Think-Pair-Share (TPS) dan Asesmen Newman’s Prompt. Santi Irawati (
[email protected] ) Ety Tejo Dwi Cahyowati (
[email protected]) Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang
Abstrak. Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, pemerintah menetapkan kebijakan tentang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Untuk itu, perlu disiapkan calon guru yang profesional saat mengajar di SBI. Persiapan tersebut dapat melalui penerapan pembelajaran yang inovatif, pemanfaatan ICT, dan pembiasaan berkomunikasi dengan bahasa global yaitu bahasa Inggris. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan proses komunikasi matematis mahasiswa dalam bahasa Inggris melalui pembelajaran model Think-Pair-Share (TPS) dan asesmen Newman’s prompt. Penelitian ini merupakan suatu penelitian kualitatif dilengkapi dengan data kuantitatif yang melibatkan mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang semester I kelas bilingual tahun ajaran 2009/2010 sebanyak 22 orang. Kesimpulan yang didapat adalah (1) mahasiswa lebih intensif dalam berkomunikasi matematis dalam bahasa Inggris (2) masing-masing anggota kelompok terfasilitasi untuk mempresentasikan ide matematisnya dalam bahasa Inggris dan mahasiswa yang lain terfasilitasi untuk melakukan refleksi dalam bahasa Inggris.
Kata kunci: pembelajaran Think-Pair-Share, Newman’s Prompt.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan beberapa dosen pembina mata kuliah Kalkulus selama beberapa periode, banyak sekali mahasiswa (bahkan untuk jurusan Matematika) yang mengalami kesulitan mentransfer dasar pengetahuan yang telah mereka miliki di SMU dan menggunakannya untuk memahami konsep matematika di tingkat perguruan tinggi. Mahasiswa semester awal nampak sekali belum siap untuk memasuki jenjang berpikir secara deduktif. Dari penelitian yang dilakukan oleh Parta (2002), di UM terungkap bahwa sangat banyak kendala yang muncul dan saling terkait yaitu antara lain mahasiswa tidak mampu “membaca” buku teks, tidak mampu mengikuti alur formal dalam menyelesaikan soal, dan kemampuan abstraksi mahasiswa yang masih rendah. Dengan adanya temuan ini, perlu kiranya dilakukan perbaikan pelayanan
SEMNAS MIPA 2010
pembelajaran guna membantu mahasiswa di tahun pertama mereka yang tentunya belum dapat belajar secara mandiri. Konsep-konsep yang dipelajari pada Kalkulus I, yang ditempuh pada semester pertama tahun pertama perkuliahan, merupakan dasar pengetahuan untuk bidang disiplin ilmu lainnya, di mana materi perkuliahannya disajikan bervariasi dari hal-hal konkrit sampai pada beberapa konsep abstrak. Yuwono (2002) mengemukakan bahwa (1) Kalkulus sebagai bagian dari matematika mudah untuk menyeimbangkan porsi penalaran konseptual dengan ketrampilan proseduralnya, (2) Melalui matakuliah Kalkulus ini mahasiswa diberikan diberikan bekal sedini mungkin dengan proses penalaran yang sesungguhnya dari “bumi” matematika, dan (3) melalui penalaran yang “benar” secara matematika, diharapkan mahasiswa mampu bernalar secara benar
MAT - 67
pula dalam mempelajari matakuliah matematika di semester berikutnya. Dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, pemerintah menerbitkan kebijakan tentang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Berdasarkan artikel pada Edupedia (2008), tertulis bahwa SBI adalah sekolah yang menyiapkan peserta didik berdasarkan standar nasional pendidikan (SNP) Indonesia dan tarafnya internasional sehingga lulusan memiliki kemampuan daya saing internasional. Visi SBI adalah terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional. Visi tersebut memiliki implikasi bahwa penyiapan manusia bertaraf internasional memerlukan upaya - upaya yang dilakukan secara intensif dan terarah. Setiap SBI harus menggunakan bahasa komunikasi global, terutama bahasa Inggris dan menggunakan teknologi komunikasi informasi (information communication technology/ICT). Proses belajar - mengajar di SBI harus menggunakan bilingual, terutama untuk pelajaran matematika dan sains. SBI dikembangkan dengan 8 prinsip utama, yaitu:
1. Pengembangan SBI mengacu pada SNP + X. BI = SNP + X. Di mana SNP meliputi 8 standar SNP, yaitu, kompetensi lulusan, isi, proses, sarana dan prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, manajemen, pembiayaan, penilaian sedangkan X adalah nilai plus, yaitu, penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman melalui adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan, baik dari dalam maupun luar negeri yang telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional. 2. SBI dikembangkan berdasarkan atas kebutuhan dan prakarsa sekolah (demand driven and bottom up). 3. Kurikulum bertaraf internasional yang ditunjukkan oleh pengembangan isi yang mutakhir dan canggih dengan perkembangan ilmu pengetahuan global.
SEMNAS MIPA 2010
4.
5.
6.
7.
8.
SBI menerapkan manajeman berbasis sekolah (MBS) dengan tata kelola yang baik. SBI menerapkan proses belajar mengajar yang pro-perubahan dan inovatif. SBI menerapkan prinsip - prinsip kepemimpinan yang memiliki visi ke depan (visioner). SBI harus memiliki SDM yang professional, baik tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan. Penyelenggaraan SBI harus didukung oleh sarana dan prasarana yang lengkap, relevan, mutakhir, dan canggih seperti laptop di laboratorium, LCD, TV, dan media pendidikan penunjang lainnya.
Berdasarkan 8 prinsip pengembangan SBI tersebut, maka perlu disiapkan calon guru yang profesional pada saat mengajar di SBI. Persiapan tersebut dapat melalui penerapan pembelajaran yang inovatif, pemanfaatan ICT, dan pembiasaan berkomunikasi dengan bahasa global yaitu bahasa Inggris. Salah satu pembelajaran yang inovatif adalah pembelajaran kooperatif tipe ThinkPair- Share (TPS). Dengan menerapkan model pembelajaran TPS ini, mahasiswa diberi kesempatan untuk memikirkan solusi dari problem yang diberikan dan mendiskusikannya dengan pasangan dalam kelompoknya, serta mengkomunikasikan hasil diskusinya ke kelas. Karena model pembelajaran TPS memberi kesempatan mahasiswa berkomunikasi pada saat diskusi dengan pasangannya dan di depan kelas, maka dapat diharapkan mahasiswa lebih terbiasa menggunakan bahasa Inggris. Dengan berkomunikasi dalam bahasa Inggris di depan kelas, maka pembina matakuliah dapat mengukur kemampuan mahasiswa berkomunikasi secara matematis dalam bahasa Inggris. Salah satu instrumen yang mengukur kemampuan berkomunikasi secara matematis dalam bahasa Inggris adalah model Newman’s Prompt. Berdasarkan uraian tentang alternatif pembelajaran inovatif model TPS dan adanya instrumen MAT - 68
komunikasi matematis model Newman’s Prompt, maka peneliti menerapkan TPS dan asesmen model Newman’s Prompt pada topik limit di kelas bilingual. Topik limit dipilih karena konsep limit merupakan materi prasyarat penting untuk konsepkonsep berikutnya pada matakuliah Kalkulus I dan matakuliah selanjutnya. Di samping itu, topik limit mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan masalah matematika (misalnya garis singgung) maupun fisika (misalnya kecepatan sesaat). Pembelajaran Tinggi
Matematika
Perguruan
Tujuan pokok pengajaran matematika di sekolah ialah menanamkan daya nalar. Drost (2007) mengemukakan bahwa matematika merupakan ilmu paling murni, yang hanya didasarkan pada akal budi manusia. Misalnya, titik itulah besaran matematis, hanya pemikiran lepas dari setiap pengalaman. Langkah-langkah matematika hanya berarah satu, menempuh jalan lurus, tidak pernah menyimpang. Semua kesimpulan harus diuji oleh logika yang mutlak. Selain itu Drost (2007) mengatakan bahwa tujuan proses mengajar dan belajar di SMU adalah "kematangan masuk perguruan tinggi" karena baik menurut kodratnya maupun de facto SMU di Indonesia merupakan persiapan studi di perguruan tinggi. Kematangan itu tidak berarti tiap lulusan SMU harus sanggup dan mampu memulai setiap studi di perguruan tinggi. Kematangan itu tidak berarti bahwa tiap lulusan sudah menguasai semua pengetahuan dasar dari semua jurusan. Dengan kata lain, dengan kematangan ini, tiap lulusan SMU harus mampu dalam waktu cukup pendek, mengejar kekurangankekurangan yang masih dialami pada saat kuliah dimulai. Inti kematangan ini ialah kemampuan bernalar dan berbicara. Orang yang mampu berbicara dapat menyampaikan apa yang ada dengan apa adanya sedemikian rupa sehingga tiap pendengar tanpa ragu dapat menangkap isi hati dan memahami arti dari apa yang ingin disampaikan. Ini menuntut pengertian tentang apa yang mau dikomunikasikan pada si penutur. Dengan demikian orang yang meraih kematangan ini
SEMNAS MIPA 2010
penalarannya jelas, taat asas, konsekuen, dan kritis. Selanjutnya, hasil penalaran dapat disampaikan memakai bahasa yang jelas, taat asas, konsekuen, dan kritis. Usaha mengatasi problematika pembelajaran matematika antara lain dengan melakukan berbagai inovasi dalam pembelajaran matematika. Inovasi pembelajaran matematika yang paling menonjol adalah rekonstruksi pemahaman matematika (mathematical meaning reconstruction) melalui berbagai model pembelajaran dan sistem penilaian (Sudrajat, 2007). Trend model pembelajaran yang dikembangkan saat ini secara formal mengikuti rekomendasi dari NCTM (National Council of Teacher of Mathematics) di Amerika. Misalnya dalam wujud NCTM Standard for Curriculum and Evaluation, NCTM Standard for Instruction, dan NCTM Standard for Assessment. Bentuk konstruksi pemahaman matematika yang saat ini dikembangkan bahkan cenderung menjadi sebuah “gerakan” studi model pembelajaran matematika di antaranya: constructivism,
problem solving, problem posing, realistic mathematics education, openended approach, communication in mathematics, methacognitive model, cooperative learning, dan reinvention in mathematics. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan salah satu pembelajaran inovatif berbasis konstruktivistik. Esensi dari pembelajaran kooperatif adalah siswa belajar bersama dan berkolaborasi dalam kelompok yang beranggotakan dua sampai empat orang untuk menguasai materi ajar yang telah disampaikan oleh guru (Slavin, 1995). Berdasarkan esensi tersebut, maka terdapat lima elemen pokok yang mencirikan pembelajaran kooperatif. Kelima elemen pokok tersebut adalah: saling ketergantungan positif, tanggung jawab secara individu dan kelompok, interaksi face to face, keterampilan berhubungan dalam kelompok (interpersonal small-group MAT - 69
skills), proses bekerja dalam kelompok (group processing). Pada kenyataannya, tidak setiap pembelajaran yang menggunakan setting diskusi kelompok merupakan pembelajaran kooperatif. Sebagai ilustrasi, pada saat pelaksanaan open class Lesson Study di beberapa sekolah di Kabupaten Pasuruan seringkali disetting siswa belajar secara berkelompok. Selama proses diskusi kelompok, siswa yang berkemampuan tinggi cenderung mendominasi komunikasi dalam kelompok, sedangkan siswa yang berkemampuan rendah cenderung pasif dan sangat bergantung pada siswa yang berkemampuan tinggi. Keadaan tersebut tidaklah mencirikan pembelajaran kooperatif, karena tidak terdapat ketergantungan positif dan tanggung jawab individu dalam kelompok. Dalam pembelajaran kooperatif, diharapkan tercipta suasana masing-masing anggota kelompok bertanggungjawab terhadap keberhasilan kelompoknya. Timbulnya rasa tanggung jawab tersebut dapat disebabkan karena adanya skor perkembangan (pada STAD), atau reward pada tipe-tipe pembelajaran kooperatif selain STAD, atau karena mereka bekerja dalam kelompok kecil (secara berpasangan) pada pembelajaran kooperatif tipe Think-PairShare. Pembelajaran melalui Think-PairShare (TPS) merupakan suatu pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Hal tersebut disebabkan karena pada TPS siswa diminta belajar dan bekerja secara berpasangan. Adapun langkah-langkah pokok pembelajaran model TPS adalah sebagai berikut.
1.
2.
Guru atau dosen memberikan masalah dan meminta siswa atau mahasiswa secara individu untuk memikirkan (thinking) srategi penyelesaian masalah. Siswa atau mahasiswa bekerja secara berpasangan (pair) mendiskusikan strategi penyelesaian yang telah mereka pikirkan dan masalah secara rinci.
SEMNAS MIPA 2010
3.
Masing-masing kelompok menyajikan rincian penyelesaian masalah di depan kelas (share). Berdasarkan langkah-langkah pokok pembelajaran model TPS, maka mahasiswa dapat terfasilitasi untuk bertanggung jawab terhadap kelompoknya. Hal tersebut didukung dengan adanya tuntutan agar mahasiswa berpikir secara individu tentang strategi pemecahan masalah yang nantinya akan didiskusikan dengan pasangannya. Selain itu, karena dalam TPS mahasiswa bekerja secara berpasangan, maka akan timbul rasa malu kalau ia melepas tanggungjawabnya dalam memikirkan strategi pemecahan masalah. Kekuatan lain dari pembelajaran model TPS adalah dimungkinkannya interaksi yang intensif dalam kelompok. Mahasiswa secara otomatis berinteraksi dengan pasangannya dan teman lain di kelasnya pada saat presentasi. Oleh karena itu model pembelajaran TPS sesuai apabila diterapkan pada mahasiswa kelas bilingual, karena tanpa disadari mereka terfasilitasi untuk berinteraksi dalam bahasa Inggris lebih intensif. Di samping memfasilitasi mahasiswa untuk berinteraksi dalam bahasa Inggris, model pembelajaran TPS juga memudahkan pengajar dalam melakukan asesmen komunikasi matematis dalam bahasa Inggris. Asesmen Model Newman’s Prompt.
Newman (2000), pengajar dari Australia menyusun suatu instrumen yang mengukur kemampuan berkomunikasi secara matematis. Instrumen tersebut disusun menjadi lima tahapan untuk membantu menentukan dimanakah letak kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi pada siswa ketika menyelesaikan soal-soal uraian. Kelima tahapan tersebut meminta siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan berikut.
1. Please read the question to us. 2. Tell us what the question is asking you to do. 3. Tell us how you are going to find the answer. MAT - 70
4. Show us what to do to get the answer. 5. Now, write down your answer to the question. Penelitian ini akan mengkaji bagaimana proses komunikasi matematis dalam bahasa Inggris melalui Think-PairShare (TPS) dan Asesmen Model Newman’s Prompt. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan subyek penelitian mahasiswa pendidikan matematika semester I kelas bilingual angkatan 2009/2010 sebanyak 22 orang. Proses komunikasi matematis dalam bahasa Inggris diukur dengan menggunakan assmen Newman’s prompt yang meliputi 5 tahapan, yaitu: 1. Membaca pertanyaan dosen (Please read the question to us). 2. Menyatakan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan/dibuktikan (Tell us what the question is asking you to do). 3. Menyatakan strategi apa yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan (Tell us how you are going to find the answer). 4. Menunjukkan kepada kelas bagaimana menerapkan strategi yang digunakan untuk memperoleh jawaban (Show us what to do to get the answer). 5. Menuliskan rincian jawaban (Write down your answer to the question). Karena kerterbatasan waktu di kelas dan harapan agar tiap anggota kelompok mempunyai cukup waktu untuk memikirkan strategi penyelesaian sebelum masuk ke tahap Pair, maka tahapan Think dilakukan di luar perkuliahan. Selanjutnya, pada pelaksanaan pembelajaran dilakukan langkah-langkah: (1) Pembagian kelompok, (2) Penyusunan dan pembagian soal untuk tiap kelompok, (3) Pelaksanaan unjuk kerja (presentasi) tiap kelompok, (4) Pengamatan dan penilaian unjuk kerja tiap kelompok, (5) Pelaksanaan refleksi antar mahasiswa-dosen-mahasiswa, (6) Pelaksanaan unjuk kerja (presentasi)
SEMNAS MIPA 2010
untuk beberapa kelompok yang belum tuntas menjawab soal (revisi atau tugas tambahan) dan (7) Penilaian akhir tiap kelompok berdasarkan presentasi dan hasil tulisan yang telah direvisi. Hasil dan Pembahasan
Proses pelaksanaan unjuk kerja (presentasi) mahasiswa dilakukan dengan memberi tenggang waktu 2 minggu setelah pembagian soal agar mahasiswa mempunyai cukup waktu untuk berdiskusi di luar jam perkuliahan. Presentasi kelompok dilaksanakan secara acak, sehingga tiap kelompok diharapkan siap pada tiap kali perkuliahan. Setelah proses pengamatan dan refleksi antar mahasiswa-dosen-mahasiswa, dosen menyimpulkan perlu tidaknya kelompok yang tampil untuk melakukan revisi terhadap hasil tulisan yang mereka tampilkan. Kelompok yang melakukan revisi diwajibkan untuk tampil lagi mempresentasikan hasil revisi tulisan mereka. Setelah semua kelompok tuntas melakukan presentasi dan mengumpulkan hasil tulisan mereka, dosen bersama mahasiswa menarik kesimpulan secara global. Selanjutnya, dosen memberi tugas perluasan konsep yang tertuang dalam soalsoal yang diberikan sebagai tugas mandiri. Adapun hasil pengamatan yang dilakukan dosen terhadap hasil unjuk kerja tiap kelompok adalah sebgai berikut. 1. Tahap Membaca pertanyaan dosen (Please read the question to us). Setiap kelompok yang maju di depan kelas diminta untuk menulis soal (dalam bahasa Inggris) dan membacanya. Karena soal yang dibahas hanya berupa pernyataan dan bukan soal-soal cerita, semua kelompok tidak menemui kesulitan dalam membaca soal-soal yang diberikan. 2. Tahap Menyatakan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan/dibuktikan (Tell us what the question is asking you to do). Pada tahap ini, tiap kelompok diminta untuk menjelaskan makna soal dengan mengemukakan informasi apa saja yang diberikan dan apa yang ditanyakan dari suatu soal. Dengan demikian mereka diuji apakah memahami makna soal tersebut. Dari presentasi seluruh kelompok, hanya kelompok 10 yang mendapat giliran untuk maju pertama kali yang belum memahami aturan permainan dalam presentasi ini. MAT - 71
Setelah dijelaskan oleh dosen, maka kelompok lainnya tidak lagi mengalami kesulitan dalam pelaksanaan tahap ke dua ini. 3. Tahap Menyatakan strategi apa yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan (Tell us how you are going to find the answer). Pada tahap ini, setelah kelompok mengemukakan informasi apa saja yang diberikan dan apa yang ditanyakan dari suatu soal, mereka diminta untuk mengemukakan jawaban BENAR atau SALAH disertai penjelasan singkat bagaimana cara menjawabnya. Apabila mereka menyimpulkan bahwa soal tersebut BENAR, maka mereka hanya diminta untuk mengatakan akan memberikan bukti secara langsung atau tidak langsung. Apabila mereka menyimpulkan bahwa soal tersebut SALAH, maka mereka diminta menjawab akan memberikan suatu contoh penyangkal. Semua kelompok memahami apa maksudnya pada tahap ini, namun ada dua kelompok (Kelompok 7 dan 10) yang salah dalam menyimpulkan pernyataan pada soal yang diberikan, sehingga keliru dalam menjawab bagaimana prosesnya. 4. Tahap Menunjukkan kepada kelas bagaimana menerapkan strategi yang digunakan untuk memperoleh jawaban (Show us what to do to get the answer).
Untuk tahapan ini, tiap kelompok mulai menuliskan alasan pendukung untuk kesimpulan terhadap soal yang diberikan dan belum ada tuntutan untuk menuliskan jawaban secara rinci dan sistematis. Pada tahap ini, ada beberapa kelompok yang melakukan kesalahan berupa (a) Kesalahan dalam menjawab soal (Kelompok 4, 7 dan 10 ) (b) Kesalahan dalam memilih contoh penyangkal (Kelompok 2 dan 4) (c) Kesalahan dalam proses pembuktian, masalah yang akan dibuktikan digunakan di dalam proses pembuktiannya (Kelompok 10) 5.Tahap Menuliskan rincian jawaban Write down your answer to the question). SEMNAS MIPA 2010
Untuk tahapan ini, tiap kelompok diminta untuk menjelaskan jawaban yang mereka tulis di papan tulis dan menjawab pertanyaan yang diajukan kelompok lain maupun dosen. Pada tahap ini, masingmasing anggota kelompok telah membagi tugas untuk bergantian menjelaskan jawaban yang mereka tulis dan menjawab pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Dosen dan kelompok lain umumnya menanyakan maksud tulisan di papan (menuntut jawaban yang lebih rinci) ataupun memberikan pendapat lain. Pada tahap inilah, terlihat
jalannya proses Share dan interaksi antar mahasiswa-dosen-mahasiswa dalam berkomunikasi matematika. Pada tahap ini, ada beberapa kelompok yang melakukan kesalahan berupa (a).Kurang memperhatikan premis sebagai syarat untuk menggunakan kesimpulan yang akan dipakai dalam menjawab soal (Kelompok 10 belum tahu bahwa premis tidak dipenuhi pada teorema 6 namun tetap menggunakannya untuk kesimpulan tentang komposisi fungsi)
(b).Kesalahan dalam memilih contoh penyangkal (Kelompok 2, 4 dan 5). Kelompok 5 kurang jeli dalam menyelidiki limit fungsi sehingga keliru dalam menyimpulkan soal. Kelompok 4 juga masih melakukan kesalahan di dalam proses menuliskan jawaban mereka. Setelah mendapatkan saran-saran dari kelompok lain dan dosen, masingmasing kelompok diberi kesempatan untuk melakukan revisi dan diminta untuk maju lagi menjelaskan hasil revisi tersebut pada pertemuan berikutnya. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1. Mahasiswa lebih intensif dalam berkomunikasi matematis dalam bahasa Inggris. Adanya refleksi dan tuntutan untuk melakukan revisi dan presentasi berulang mengakibatkan mahasiswa lebih siap dalam menanggapi pertanyaan teman atau MAT - 72
dosen sehingga kemampuan berkomunikasi matematis mereka meningkat. 2. Masing-masing anggota kelompok terfasilitasi untuk mempresentasikan ide matematisnya dalam bahasa Inggris dan mahasiswa yang lain terfasilitasi untuk melakukan refleksi dalam bahasa Inggris. Pada umumnya pembelajaran di sekolah dasar dan menengah kurang memfasilitasi siswa dalam bekomunikasi matematis. Sedangkan untuk kelas bilingual, aspek komunikasi dalam bahasa Inggris berperan sangat penting. Oleh karena itu, berdasarkan uraian pada pembahasan dan kesimpulan, maka disarankan agar pembelajaran melalui TPS dapat ditindaklanjuti untuk topik lainnya di kelas bilingual untuk sekolah dasar dan menengah. Daftar Rujukan Ariyanto T., 2001. “Antusiasme Kurikulum Berbasis Kompetensi”. Dalam harian KOMPAS, 24 Desember 2001, hal. 10. Drost J., 2007. Matematika di sekolah.
[email protected]. Diakses 5 Desember 2007. Marpaung Y., 2002. “Pendidikan matematika realistik Indonesia perubahan paradigma dalam pembelajaran matematika disekolah” Jurnal MATEMATIKA, Thn. VIII Edisi Khusus Juli 2002. Malang: Universitas Negeri Malang. Newman A., 2000. Finding out why students make mistakes.
Sudrajat, 2007. ”Gerakan” pendekatan kontekstual (baca: CTL) dalam matematika sebuah kemajuan atau jalan ditempat? http://rbaryans.wordpress.com/2007/0 7/31/%e2%80%9cgerakan%e2%80%9 dpendekatan-kontekstual-bacactldalam-matematika-sebuahkemajuan-atau-jalandi- tempat/ Di akses 29 Jan 2008. Yuwono I., 2002. “Pembelajaran Kalkulus berbasis konstruktivisme dan pengaruhnya pada perolehan belajar mahasiswa jurusan pendidikan matematika” Malang: Hibah penelitian Due-Like. ---, Edupedia, 2008. Sekolah Bertaraf Internasional. http://setjen.diknas.go.id/.Diakses 1 Desember 2009. ---, http://en.wikipedia.org/wiki/Cooperative_lea rning.
http://www.curriculumsupport.education.ns w.gov.au/primary/mathematics/ numeracy/newman/index.htm. Diakses 30 Sept 2009 Parta, I.N. 2002. Upaya Meningkatkan Kualitas Proses belajar Mengajar Dalam Perkuliahan Kalkulus I Melalui Program Remidi. Laporan Penelitian. Malang: JICA Slavin, R. E., 1995. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice, second edition. Masachussets: Allyn&Bacon A Simon &Schuster Company.
SEMNAS MIPA 2010
MAT - 73
BAHAN AJAR CALCULUS 1 BERBAHASA INGGRIS BERACUAN KONSTRUKTIVISTIK - ICT UNTUK MEMFASILITASI BERPIKIR KRITIS MAHASISWA KELAS BILINGUAL Ety Tejo Dwi Cahyowati Santi Irawati Imam Supeno ABSTRAK: Penelitian ini dlakukan untuk menghasilkan bahan ajar Calculus 1 berbahasa Inggris beracuan konstruktivistik-ICT yang dapat mendorong munculnya berpikir kritis mahasiswa kelas bilingual. Penelitian dilaksanakan pada semester gasal 2010/2011 dengan subjek penelitian 24 mahasiswa kelas bilingual Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang meliputi kegiatan-kegiatan: Fase Investigasi Awal, Fase Desain dan Fase Realisasi (Konstruksi), Fase Tes, Evaluasi, dan Revisi. Hasil penelitian ini adalah bahan ajar Calculus 1 berbahasa Inggris yang beracuan konstruktivistik-ICT yang dapat mendorong munculnya berpikir kritis mahasiswa kelas bilingual. Kata kunci: bahan ajar, konstruktivistik, berpikir kritis
A. Pendahuluan Dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, pemerintah menerbitkan kebijakan tentang Sekolah Bertaraf Internasional. Kebijakan tersebut tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 50 ayat 3 yang menyebutkan: “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional” Pendidikan bertaraf internasional ini selanjutnya dikenal dengan istilah SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) yang diawali dengan merintis sekolah yang dikenal dengan istilah RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional). SBI dikembangkan dengan 8 prinsip utama (http://setjen.diknas.go.id/), di antaranya adalah SBI menerapkan proses belajar mengajar yang pro-perubahan dan inovatif dan SBI harus memiliki SDM yang profesional, baik tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan. Agar dapat memiliki tenaga pendidik yang profesional, maka LPTK diharapkan mampu memberikan fasilitas yang memadai kepada mahasiswa SEMNAS MIPA 2010
di antaranya dengan membuat kelas khusus bilingual. Oleh karena itu, proses belajar mengajar kepada mahasiswa kelas bilingual hendaknya berorientasi kepada proses belajar mengajar yang pro-perubahan dan inovatif di samping keharusan menggunakan bahasa Inggris yang secara bertahap berkembang dari semester ke semester. Salah satu fasilitas yang dapat memberikan pengalaman belajar yang inovatif adalah dengan menyusun bahan ajar yang mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis. Dengan berfikir kritis, maka pemahaman mahasiswa terhadap topik-topik Calculus I akan tajam dan kaya. Bahan ajar dapat diartikan sebagai bahan-bahan yang digunakan untuk mengajar (http://www.find-healtharticles.com/msh-teaching-materials.htm). Berdasarkan definisi tersebut, dapat diartikan bahwa bahan ajar tidak hanya berisi uraian materi atau topik pembelajaran tetapi di dalamnya juga memuat aktivitas – aktivitas pembelajaran. Karena mengajar tidak hanya sekedar penjejalan topik atau materi, maka perlu ditekankan di sini, bahwa bahan ajar tidak hanya sekedar tumpukan atau koleksi topik-topik atau materi ajar. Bahan ajar Calculus 1 yang disusun dengan urutan penyajian definisi atau teorema diikuti dengan contoh soal dan penyelesaian yang rinci kurang dapat MAT - 74
memfasilitasi mahasiswa untuk memperoleh pengalaman yang inovatif. Hal ini disebabkan karena mahasiswa hanya sekedar meniru apa yang ada di contoh sehingga sifat kritis mereka kurang terdorong untuk muncul. Di dalam menyusun bahan ajar perlu diperhatikan aspek-aspek belajar dari mahasiswa sehingga diperlukan penyusunan secara sistematis yang beracuan paradigma pembelajaran terkini yaitu konstruktivistik. Buku rujukan utama Calculus 1 sebagai bahan ajar dalam bentuk cetakan yang digunakan selama ini masih banyak memuat contoh-contoh dan penyelesian secara rinci. Oleh karena itu perlu disusun bahan ajar pelengkap yang sarat dengan aktivitas konstruktivistik yang dapat mendorong munculnya berfikir kritis mahasiswa. Visi SBI (http://setjen.diknas.go.id/) adalah terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional. Implikasi dari visi tersebut adalah perlunya dilakukan upaya - upaya secara intensif dan terarah tentang penyiapan manusia bertaraf internasional . Setiap SBI harus menggunakan bahasa komunikasi global, terutama bahasa Inggris dan menggunakan teknologi komunikasi informasi (information communication technology/ICT). Berdasarkan visi SBI, maka LPTK perlu memberikan pengalaman belajar dengan menggunakan ICT melalui pengemasan bahan ajar yang dilengkapi dengan aktivitas pemanfaatan ICT. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimana proses dan hasil pengembangan bahan ajar Calculus 1 berbahasa Inggris beracuan konstruktivistikICT yang dapat memfasilitasi berpikir kritis kelas bilingual?” Berdasarkan rumusan masaah tersebut dapat diketahui tujuan penelitian, yaitu untuk menghasilkan bahan ajar Calculus 1 berbahasa Inggris beracuan konstruktivistik-ICT yang dapat mendorong munculnya berpikir kritis mahasiswa kelas bilingual. Indikator munculnya berpikir kritis yang dimaksud pada penelitian ini adalah:
mempertahankan pendapat dengan memberikan alasan yang logis menerima atau menolak pendapat pihak lain dengan memberikan
SEMNAS MIPA 2010
alasan yang logis menunjukkan alasan yang logis pada langkah-langkah pembuktian teorema atau penyelesaian soal atau tugas
mengevaluasi pembuktian teorema atau penyelesaian tugas yang telah dilakukan membuat konjektur berdasarkan pengamatan, pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi menerapkan konsep berdasarkan pengamatan, pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi menganalisa, mensintesa, atau mengevaluasi informasi berdasarkan pengamatan, pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi mengevaluasi pembuktian teorema pihak lain Indikator tersebut di atas berdasarkan beberapa definisi berpikir kritisyang dikemukakan oleh beberapa ahli berikut. Mayer & Goodchild (dalam Huitt, 1998) menyatakan berpikir kritis sebagai “systematic process of understanding and evaluating arguments. An argument provides an assertion about the properties of some object or the relationship between two or more objects and evidence to support or refute the assertion”. Indikator munculnya berpikir kritis yang didasarkan pada definisi ini adalah mempertahankan pendapat dengan memberikan alasan yang logis;menerima pendapat pihak lain dengan memberikan alasan yang logis; tidak menerima pendapat pihak lain dengan memberikan alasan yang logis; membuat konjektur dengan mengaitkan beberapa peristiwa. Scriven dan Paul (Huitt, 1998) mendefinisikan berpikir kritis sebagai: ”the intellectually disciplined process of actively and skillfully conceptualizing, applying, analyzing, synthesizing, and/or evaluating information gathered from, or generated by, observation, experience, reflection, reasoning, or communication, as a guide to belief and action”. Berdasarkan definisi ini, maka indikator munculnya berpikir kritis MAT - 75
adalah membangun konsep dengan membuat konjektur berdasarkan pengamatan,pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi ; menerapkan konsep berdasarkan pengamatan,pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi; menganalisa,mensintesa, atau mengevaluasi informasi berdasarkan pengamatan,pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi Masih dalam Huitt,1988, Chanche menyebutkan bahwa berpikir kritis merupakan “the ability to analyze facts, generate and organize ideas, defend opinions, make comparisons, draw inferences, evaluate arguments and solve problems”. Indikator munculnya berpikir kritis yang didasarkan pada definisi ini adalah menganalisis fakta; menghasilkan dan menyusun ide; mempertahankan pendapat; membuat perbandingan; melukiskan dugaan atau kesimpulan, mengevaluasi argument; dan memecahkan masalah. Fisher dan Scriven (dalam Wikipedia) menuliskan berpikir kritis adalah skilled, active, interpretation and evaluation of observations, communications, information, and argumentation. Indikator munculnya berpikir kritis yang didasarkan pada definisi ini adalah terampil dan aktif melakukan observasi, komunikasi, atau beragumentasi; terampil dalam mengintepretasikan dan mengevaluasi informasi atau argumentasi. Tertulis dalam Wikipedia, Moore & Parker menyatakan berpikir kritis sebagai “the careful, deliberate determination of whether one should accept, reject, or suspend judgment about a claim and the degree o f confidence with which one accepts or rejects it”. Indikator munculnya berpikir kritis yang didasarkan pada definisi ini adalah memutuskan untuk menerima, menolak, atau menunda suatu pendapat dengan hati-hati dan cermat. Ennis R (2002) mendefinisikan: “Critical thinking is reasonable, reflective thinking that is focused on deciding what to believe and do”. Indikator munculnya berpikir kritis yang didasarkan pada definisi ini adalah memutuskan secara logis apakah sesuatu diterima ; berpikir refleksi dalam hal memutuskan apakah sesuatu dapat dipercaya SEMNAS MIPA 2010
atu dikerjakan. Johnson (terjemahan2007) berpikir kritis merupakan proses sistematis yang memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka sendiri Indikator munculnya berpikir kritis yang didasarkan pada definisi ini adalah merumuskan pendapat, menarik kesimpulan atau dugaan, mengevaluasi bukti,logika, atau pendapat orang lain;mengevaluasi bukti,logika, atau pendapat
B. Meode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dengan kerangka pelaksanaan seperti yang tercantum pada bagan 1 berikut.
MAT - 76
Bagan 1. Kerangka pelaksanaan penelitian
Keterangan: *) Bagan diadaptasi dari Disertasi Dr. Edy Bambamg Irawan **) Validasi protitipe bahan ajar meliputi aspek isi secara matematis, proses pedagogis, dan keterbacaan serta gramatikal linguistik. Pada ujicoba lapangan dan evaluasi diperlukan instrumen penelitian. Fase-fase pengembangan bahan ajar pada penelitian ini mengacu pada fase-fase pengembangan menurut Plomp (1997, h. 7) dengan melakukan beberapa modifikasi. Fase-fase pengembangan pada penelitian ini terdiri dari: (i) fase investigasi awal, (ii) fase desain, (iii) fase realisasi/konstruksi, dan (iv) fase pengujian, evaluasi dan revisi.
menjawab pertanyaan yang mengarah pada pengkonstruksian definisi atau teorema, membuat contoh soal sebagai kegiatan elaborasi, mengerjakan soal-soal yang memerlukan pemikiran kritis yang dapat dipilih dari soal-soal pada buku rujukan utama, dan memanfaatkan ICT. Berdasarkan analisis kebutuhan yang dilakukan pada fase investigasi awal, maka dirancang dan disusun bahan ajar dan instrumen penelitian sebagai implementasi fase desain dan realisasi. Pototipe bahan ajar yang dihasilkan adalah: Activity (constructing) – Definition / Theorem – Activity (elaborating) – Excercises. Kegiatan pada Activity (constructing) dapat berupa aktivitas investigasi dengan melakukan tugas-tugas seperti: membuat sketsa grafik, mengidentifikasi grafik, membuat konjektur, dan menarik kesimpulan. Proses investigasi dapat disisipi tugas untuk memanfaatkan ICT seperti aplikasi Graphmatica dan mengakses internet. 1.
If we have
, then
calculate the values of f(x) and fill them to the following table. You may to calculate the f(x) by using calculator or computer software. x
f(x)
-1.01
..................
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan Aktivitas fase investigasi awal meliputi observasi terhadap buku Calculus eighth edition oleh Varberg, Purcell , dan Rigdon sebagai rujukan utama perkuliahan Calculus 1. Hasil observasi menunjukkan bahwa kerangka umum penyajian materi meliputi: ilustrasi awal yang menuju konsep, definisi/teorema, contoh soal dan penyelesaian, sebagian bukti teorema, dan soal-soal yang berdagrasi dari soal mudah hingga soal yang sulit. Penyajian ilustrasi awal dan contoh soal serta penyelesaiannya kurang melibatkan mahasiswa dalam mengkonstruksi pengetahuan danmendorog munculnya berpikir kritis mahasiswa. Di samping itu, secara umum penyajian materi sangat kurang memanfaatkan teknologi komputer. Berdasarkan hasil observasi tersebut, peneliti merasa memerlukan bahan ajar yang meliputi aktivitas mahasiswa dalam hal memberikan contoh kasus atau SEMNAS MIPA 2010
-1.001
.................. -
..................
1,0001 .................. -1 ..................
Uraian berikut merupakan contoh bahan ajar yang berupa Activity (constructing)
Kegiatan pada Activity (elaborating) dapat berupa aktivitas investigasi dengan melakukan tugas-tugas seperti: mengeksplorasi sketsa grafik yang berkaitan dengan definisi atau teorema,
MAT - 77
2
membuktikan teorema, membuat konjektur, dan menarik kesimpulan.
3
Konjektur Pembuktian konjektur/teorema
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
2
4
3
4
2
2
3
3
2
3,6
3,2
3,8
3,6
3,6
4 4
Uraian berikut merupakan contoh bahan 4
Pemanfaatan ICT
2
ajar yang berupa Activity (elaborating). 5
Sketch a graph of f that has conditions:
1.
Komunikasi dalam Bahasa Inggris Rerata Total
does not exist Sketch a graph of f that has conditions:
2.
undefined and
Berdasarkan Tabel 1, tampak
is
bahwa aspek no 1 sampai dengan no. 3
does not exist
memiliki skor yang sangat tinggi (sangat
Give all possibilities of
3.
Sebagaiand implementasi
fase tes,
baik)
sedangkan
aspek
komunikasi
evaluasi dan revisi, maka dilakukan
dalam bahasa Inggris yang paling rendah
pengujian
(kurang baik). Hal tersebut dapat terjadi
terhadap
prototipe
yang
berupa validasi bahan ajar, instrumen,
karena
dan ujicoba lapangan. Validasi bahan
dikembangkan selalu memuat aktivitas
ajar meliputi tiga aspek validasi yang
identifikasi-eksplorasi-investigasi,
berbeda, yaitu aspek isi matematis, aspek
pemunculan konjektur, dan pembuktian
pedagogis, dan aspek linguistik. Hasil
konjektur/teorema.
validasi
aspek komunikasi sangat rendah karena
dievaluasi
dan
berdasarkan
prototipe
bahan
ajar
yang
Sedangkan
untuk
aspek linguistik, beberapa di antaranya
mahasiswa
perlu direvisi. Prototipe bahan ajar yang
mengkomunikasikan
sudah direvisi diujicobakan di kelas dan
bahasa
diobservasi oleh 6 observer mahasiswa
menggunakan
semester 5 kelas bilingual dan anggota
waktu presentasi kelas, karena dituntut
penelitian
coba
dosen pengajar. Pemanfatan ICT sangat
dilaksanakan untuk 6 kali pertemuan
rendah pada saat pembahasan topik yang
masing-masing 3 jam pertemuan. Hasil
cukup dengan diskusi manual saja.
yang
lainnya.
Uji
dalam
kerja
Indonesia. Bahasa
kelompok
idenya
dengan
Mereka Inggris
baru pada
observasi aktivitas ditunjukkan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Hasil observasi Aktivitas
Rerata Skor Observasi ke No.
1
Aspek
Identifikasi-eksplorasiinvestigasi
1
2
3
4
5
4
4
4
4
4
SEMNAS MIPA 2010
6 4
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa prototipe bahan ajar yang dikembangkan sudah beracuan konstruktivistik. Hal disebabkan karena bahan ajar yang disusun memuat aktivitasaktivitas yang menekankan pada pengkonstuksian pengetahuan bedasarkan pengalaman. Aktivitas-aktivitas tersebut sesuai dengan pengertian konstruktivistik berikut: ”Konstruktivistik merupakan teori belajar yang menekankan pada perumusan MAT - 78
3
3,4
atau pengkonstruksian pengetahuan dan pemahaman berdasarkan pengalaman” (Raskin.2002, Wikipedia, Savery & Duffy dalam Robin.2006, dan Megg.2009).
Hasil observasi berpikir kritis ditunjukkan pada Tabel 2 berikut.
munculnya dua indikator no. 3 dan no 5 dengan kriteria baik dan sangat baik. Munculnya
indikator-indikator
ini
disebabkan karena bahan ajar yang beracuan
Observasi ke No.
Hal tersebut tampak dengan selalu
Indikator 1
2
3
4
5
6
v
v
v
-
v
v
konstruktivistik
dapat
mendorong munculnya berpikir kritis.
Mahasiswa mempertahankan 1
pendapatnya dengan
C. Penutup
memberikan alasan
Bahan ajar
yang logis
Calculus 1 yang
Mahasiswa menerima
beracuan konstruktivistik yang dapat
atau menolak pendapat 2
v
pihak lain dengan
v
v
-
v
v
mendorong munculnya berpikir kritis
memberikan alasan yang logis
mahasiswa adalah bahan ajar dengan
Mahasiswa
spesifikasi sajian: Activity (constructing)
menunjukkan alasan yang logis pada 3
v
langkah-langkah
v
v
v
v
v
pembuktian teorema
– Definition / Theorem – Activity (elaborating) – Excercises. Oleh karena
atau penyelesaian soal
itu disarankan agar model sajian bahan
atau tugas Mahasiswa
ajar ini dikembangkan untuk matakuliah-
mengevaluasi 4
pembuktian teorema
-
v
v
-
v
v
atau penyelesaian
matakuliah
lain
yang
menghendaki
munculnya berpikir kritis mahasiswa.
tugas yang telah dilakukan Mahasiswa membuat
Daftar Rujukan
konjektur berdasarkan 5
pengamatan,
v
v
v
v
v
v
Departemen Pendidikan Nasional.2008.
pengalaman, refleksi,
Sekolah Bertaraf Internasional.
penalaran, atau komunikasi
http://setjen diknas.go.id, diakses 3
Mahasiswa
Februari 2010.
menerapkan konsep berdasarkan 6
v
pengamatan,
v
v
v
v
v
pengalaman, refleksi,
A
Super-
Streamlineed Conception of Critical
penalaran, atau komunikasi
Secara
Ennis,Robert.H.2002.
Thinking. keseluruhan
dapat
dikatakan bahwa prototipe bahan ajar yang dikembangkan sudah mendorong munculnya berpikir kritis mahasiswa.
http://www.criticalthinking.com /company/articles/critical-thinkingdefinition.jsp. diakses 19sept’10 Huitt, W. (1998). Critical thinking: An overview. Educational Psychology
SEMNAS MIPA 2010
MAT - 79
Interactive. Valdosta, GA: Valdosta
____________ Undang-undang
State University. Retrieved [date]
Republik Indonsia Nomor 20 Tahun
from
2003 tentang Sistem Pendidikan
http://www.edpsycinteractive.org/
Nasional pasal 50 ayat 3,
topics/ cogsys/critthnk.html.
http://www.bapsi.
[Revision of paper presented at the
undip.ac.id/id/images/Download/
Critical Thinking Conference
Dokumen/uu%20no.20%20thn%202
sponsored by Gordon College,
003%20sisdiknas.pdf. diakses 18
Barnesville, GA, March, 1993.]
Maret 2010
Irawan, Bambang E. 2007.
Wikipedia.Critical thinking. Jump to
Pengembangan Desain Pelatihan
:Navigation, search.diakses 18
Strategi Mengkaji Konsep Geometri
Maret 2010
bagi Calon Guru Matematika Sekolah Menengah. Disertasi. Johnson,Elaine B. Tanpa tahun. Contextual Teaching and Learning Menjadikan Kegiatan BelajarMengajar Mengasyikkan dan Bermakna.Terjemahan oleh Ibnu Setiawan. 2007. Bandung: Mizan Learning Centre Plomp, Tjeerd.1997.Educational and Training Systems Design.University of Twente Faculty of Educational Science and Technology Enschede The Netherlands. Varberg,dkk.2000.Calculus Eight Edition.Prentice-Hall,Inc.ISBN 0130811378 ___________.Teaching materials. Tanpa tahun. http://www.findhealth-articles.com/msh-teachingmaterials.htm. diakses 20 Februari 2010 SEMNAS MIPA 2010
MAT - 80
MEMPERBAIKI KESALAHAN KONSEP AKAR KUADRAT DAN HARGA MUTLAK UNTUK MAHASISWA MATEMATIKA TAHUN PERTAMA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF Dwiyana Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang e-mail :
[email protected]
Abstrak Mahasiswa baru merupakan mahasiswa yang mengalami transisi dari statusnya sebagai siswa menjadi mahasiswa. Pada masa transisi ini diperlukan kemampuan yang lebih banyak untuk menyesuaikan diri. Salah satu wujud menyesuaikan diri tersebut adalah penyesuaian dalam belajarnya. Kebiasaan belajar matematika di SMA saat ini lebih banyak bersifat mekanistik, sehingga lebih banyak menekankan pada keterampilan menggunakan rumus-rumus daripada memahami pengertian suatu konsep. Berdasarkan kebiasaan belajar matematika sewaktu di SMA, dimungkinkan terjadinya kesalahan konsep sewaktu menjadi mahasiswa, terutama mahasiswa baru. Oleh karena itu, perlu dilakukan pelacakan terhadap prakonsepsi mahasiswa sehingga dapat diketahui ada atau tidaknya kesalahan konsep tersebut. Jika ternyata terjadi kesalahan konsep matematika, maka perlu diadakan pembetulan/pelurusan terhadap pengertian konsep tersebut. Sehingga dengan terjadinya pelurusan pengertian itu berarti kesalahan konsep telah dapat diperbaiki. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan dengan tujuan untuk mengkaji model yang dikembangkan ini dapat meningkatkan kualitas pembelajaran bagi mahasiswa, sehingga dengan meningkatnya kualitas itu, akan diikuti peningkatan prestasi belajar mahasiswa. Upaya memperbaiki kualitas pembelajaran materi akar kuadrat dan harga mutlak, dalam penelitian ini dirancang menggunakan penelitian tindakan sehingga langkah-langkah penelitian mengikuti prosedur yang berlaku pada penelitian tindakan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kesalahan konsep yang dilakukan oleh mahasiswa dapat diperbaiki/diluruskan, sedangkan prestasi yang dicapai oleh mahasiswa ditunjukkan dengan rerata skor lebih dari 75. Kata kunci : Memperbaiki Kesalahan Konsep, Mahasiswa Tahun Pertama, Pembelajaran Kooperatif.
1. PENDAHULUAN Salah satu ciri keberhasilan belajar mahasiswa matematika adalah mereka dapat memahami konsep-konsep matematika dengan baik dan benar. Salah satu indikator dari keberhasilan mahasiswa itu adalah metode pembelajaran yang diberikan oleh dosen. Sampai saat ini metode pembelajaran yang digunakan oleh dosen umumnya menggunakan metode ekspositori. Dengan metode ini dosen tidak dapat mengetahui perkembangan belajar mahasiswanya secara individu, sehingga dosen belum bisa membedakan mahasiswa yang telah maju dan yang masih tertinggal. Mahasiswa baru merupakan mahasiswa yang mengalami transisi dari statusnya sebagai siswa menjadi mahasiswa. Pada masa transisi ini diperlukan
SEMNAS MIPA 2010
kemampuan yang lebih banyak untuk menyesuaikan diri. Salah satu wujud menyesuaikan diri tersebut adalah penyesuaian diri dalam belajarnya. Kebiasaan belajar matematika di SMA saat ini lebih banyak bersifat mekanistik, sehingga lebih banyak menekankan pada ketrampilan menggunakan rumus-rumus daripada memahami pengertian suatu konsep. Berdasarkan kebiasaan belajar matematika sewaktu di SMA, dimungkinkan terjadinya kesalahan konsep pada mahasiswa, terutama mahasiswa baru. Oleh karena itu, perlu dilakukan pelacakan terhadap prakonsepsi mahasiswa sehingga dapat diketahui ada atau tidaknya kesalahan konsep tersebut. Jika ternyata terjadi kesalahan konsep matematika, maka perlu diadakan perbaikan terhadap pengertian MAT - 81
konsep tersebut. Sehingga dengan terjadinya pelurusan pengertian itu berarti kesalahan konsep telah dapat diperbaiki. Pengamatan yang dilakukan penulis selama mengajar matematika, terutama untuk mahasiswa tahun pertama, sering ditemukan kesalahan konsep terhadap topik akar kuadrat dan harga mutlak. Kesalahan konsep ini meliputi pengertian akar kuadrat, konsep harga mutlak, fungsi harga mutlak, dan penyelesaian pertidaksamaan harga mutlak. Berbagai contoh tentang kesalahan konsep yang dilakukan oleh mahasiswa seperti (1)
16 = 4, yang seharusnya 16 = 4,
(2)
(5) 2 = -5, yang seharusnya
(5) 2
= 5, (3) x2 = 25 x = 5, yang seharusnya x2 = 25 x = 5, (4) x 2 = x – 2, untuk x 0, seharusnya
x 2 = x – 2, untuk x 2, (5)
x 4 > 2 x – 4 > 2, yang seharusnya x 4 > 2 x – 4 > 2
atau x – 4 < -2, (6) x < 3 x < 3, yang seharusnya x < 3 -3 < x < 3. Konsep yang benar tentang akar kuadrat dan harga mutlak ini sangat diperlukan, terutama dalam belajar kalkulus (bagian dari matematika matematika) yang juga harus dipelajari dan dipahami oleh mahasiswa matematika. Hal ini dikarenakan inti dari kalkulus adalah konsep turunan. Sedangkan pengertian turunan didasari oleh pengertian konsep limit, konsep limit didasari oleh pengertian konsep harga mutlak, dan konsep harga mutlak didasari oleh pemahaman terhadap konsep akar kuadrat. Oleh karena itu, jika memang benar terjadi kesalahan konsep terhadap topiktopik tersebut, maka perlu dilakukan perubahan konsepsi secara dini, sehingga kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa tidak akan berlanjut. Terdapat beberapa cara/strategi yang dapat digunakan untuk meluruskan kesalahan konsep tersebut. Salah satu dari cara/strategi itu adalah cara/strategi pembelajaran kooperatif. Belajar berstrategi koopeSEMNAS MIPA 2010
ratif merupakan pembelajaran yang menekankan pada penghargaan kerja kelompok. Pemahaman suatu konsep melalui strategi ini dilakukan dengan berbagai masalah dan pendapat antar sesama mahasiswa. Oleh karena itu, diharapkan dengan strategi ini kesalahan konsep yang dilakukan oleh mahasiswa dapat diperbaiki. Model pembelajaran kooperatif ini dirancang sedemikian rupa sehingga mahasiswa selalu aktif dalam kegiatan belajar mengajarnya, sedangkan pengajar hanya bertindak sebagai fasilitator saja. Dalam belajar kooperatif ini mahasiswa belajar bersama dengan teman, saling menyumbangkan pikiran dan bertanggung jawab atas pencapaian hasil belajar secara individu maupun kelompok. Mahasiswa belajar dan bekerjasama dalam kelompok kecil-kecil yang terdiri dari empat atau lima orang, sehingga diharapkan dengan kelompok kecil ini interaksi mahasiswa menjadi maksimal dan efektif. Jadi, di satu pihak masih banyaknya mahasiswa yang melakukan kesalahan dalam hal pemahaman terhadap konsep matematika, di pihak lain ditawarkan strategi pembelajaran yang mempunyai keunggulan dalam rangka mencapai keberhasilan mahasiswa. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis mengajukan judul tentang upaya memperbaiki kesalahan konsep akar kuadrat dan harga mutlak bagi mahasiswa matematika tahun pertama melalui belajar kooperatif. 1.1 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada pendahuluan di atas, rumusan masalah dari penelitian ini dikemukakan sebagai berikut. Bagaimanakah upaya untuk memperbaiki kesalahan konsep tentang akar kuadrat dan harga mutlak bagi mahasiswa matematika tahun pertama melalui belajar kooperatif? 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan yang diinginkan dalam penelitian tindakan ini adalah (a) Menerapkan model pembelajaran dengan strategi kooperatif untuk materi akar kuadrat dan harga mutlak. (b) Mengkaji apakah model pembelajaran yang digunakan ini dapat memperbaiki
MAT - 82
kesalahan konsep tentang akar kuadrat dan harga mutlak bagi mahasiswa jurusan Matematika. (c) Mengkaji apakah dengan model yang dikembangkan ini dapat meningkatkan kualitas pembelajaran bagi mahasiswa, sehingga dengan meningkatnya kualitas itu, akan diikuti peningkatan prestasi belajar mahasiswa. 1.3. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat memberi manfaat untuk (a) Pengembangan model pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan sekaligus meningkatkan prestasi belajar mahasiswa matematika, khususnya dalam hal memperbaiki kesalahan konsep untuk akar kuadrat dan harga mutlak, (b) Menambah pengetahuan dosen (pengajar) tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan metode mengajar. (c) Referensi model pembelajaran matakuliah di Jurusan Matematika, yang dapat dipertimbangkan untuk pengembangan pembelajaran lebih lanjut. 2. MODEL KOOPERATIF
PEMBELAJARAN
Slavin (1997) memberikan uraian tentang pembelajaran model kooperatif sebagai berikut: cooperative learning methods share the idea that students work together to learn and are responsible for one another’s learning as well as their own, sedangkan Newman (As’ari,2002), mendefinisikan pembelajaran model kooperatif sebagai berikut: cooperative learning is an approach that involves a small group of learners working together as a team to solve a problem, complete a task, or accomplish a common goal. Dari dua pernyataan di atas, tampak bahwa model belajar kooperatif memuat ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, mahasiswa dikelompok- kelompokkan menjadi beberapa kelompok. Kedua, kelompok-kelompok tersebut merupakan kelompok kecil. Ketiga, pebelajar di dalam kelompok tersebut belajar bersama (bukan sama-sama belajar). SEMNAS MIPA 2010
Keempat, masing-masing anggota kelompok bertanggung jawab terhadap keberhasilan teman anggotanya. Kelima, yang dipelajari bisa berupa masalah, tugas, atau hal-hal lain yang pada prinsipnya merupakan tujuan bersama dari anggota-anggota kelompok tersebut. Tidak semua belajar kelompok dapat disebut belajar kooperatif. Menurut Khairiree (2002) terdapat lima unsur pokok yang menentukan dalam pembelajaran kooperatif, yaitu (a) ketergantungan positif, artinya mahasiswa merasa bahwa mereka saling tergantung secara positif dan saling terikat antar sesama anggota kelompok, merasa tidak akan sukses jikalau temannya tidak sukses, (b) tanggung jawab perseorangan, artinya setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk mempelajari materi dan bertanggung jawab atas keberhasilan belajar kelompok, (c) interaksi yang saling mendukung secara tatap muka, artinya pebelajar bertatap muka antara satu dengan lainnya dan berinteraksi secara langsung, pebelajar saling berhadapan dan saling membantu dalam pencapaian tujuan belajar, dan sumbangan pemikiran dalam pemecahan masalah, (d) kemampuan bekerja sama, artinya mahasiswa dimotivasi menggunakan ketrampilan berinteraksi dalam kelompok, dan (e) pemrosesan kelompok, artinya mahasiswa memproses keefektifan kelompok dengan menjelaskan tindakan mana yang dapat menyumbangkan belajar dan mana yang tidak. Di dalam pembelajaran model kooperatif, anggota kelompok harus saling bergantung secara positif. Keberhasilan atau kegagalan kelompok adalah keberhasilan dan kegagalan setiap anggotanya. Masingmasing harus mengupayakan agar semua anggota kelompok berhasil mencapai tujuan yang diharapkan. Mereka tidak boleh membiarkan ada anggota kelompok yang gagal meskipun sebagian besar yang lainnya sudah berhasil. Keberhasilan kelompok ditentukan oleh sumbangan keberhasilan belajar masing-masing individu di dalam kelompok tersebut. Oleh karena itu, masing-masing anggota kelompok, secara individual harus bertanggung jawab terhadap keberhasilan dirinya untuk menjamin agar kelompoknya masuk dalam kategori berhasil.
MAT - 83
Di dalam proses belajar bersama tersebut, antar anggota kelompok harus terjadi proses tatap muka dimana yang satu belajar dari yang lain. Kelebihan anggota yang lain harus ditularkan dengan memberikan bantuan secara tatap muka dalam kelompok kecil kepada anggota yang lainnya yang masih lemah. Di dalam pembelajaran model kooperatif ini tidak dibenarkan belajar secara sendiri-sendiri, apalagi tentang hal-hal yang berbeda, walaupun dilakukan dalam tempat yang sama dan pada waktu yang sama pula. Komunikasi antar anggota harus terus menerus terjadi, ini untuk mengetahui sejauh mana tujuan belajar bersama telah dicapai dan tindakan apa yang harus dilakukan jika ada anggota yang masih belum mencapai tujuan. Cara-cara berkomunikasi juga harus diperhatikan agar suasana belajar menjadi kondusif untuk mencapai tujaun yang telah ditetapkan. Keberhasilan belajar dari kelompokkelompok tersebut sangat menentukan tercapainya tujuan belajar. Oleh karena itu, perlu dilakukan proses evaluasi kelompok dan evaluasi ini bisa dilakukan setelah beberapa kali kerja kelompok. 3. METODE Metode dan prosedur dalam penelitian ini dilakukan melalui tahap-tahap (1) rancangan penelitian, (2) prosedur tindakan, dan (3) tahap pelaksanaan. Rancangan yang diterapkan berupa rancangan penelitian tindakan, sehingga langkah-langkah penelitian ini mengikuti prinsip dasar yang berlaku pada penelitian tindakan. Kemmis dan Mc Taggart (1988) berpandangan bahwa penelitian tindakan merupakan seperangkat aktivitas yang dilakukan peneliti secara siklus spiral. Aktivitas perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi terhadap suatu gejala tidak berlangsung linear, tetapi berulang. Tiap selesai satu siklus selalu akan dilanjutkan untuk siklus berikutnya. Dalam penelitian ini kegiatan penelitian dimulai dari refleksi awal untuk melakukan kegiatan pendahuluan tentang kondisi objektif yang terjadi di lapangan sampai dengan pemberian refleksi setiap tahapan.Setelah itu dilakukan kegiatan perencanaan, pelaksanaan tindakan,
SEMNAS MIPA 2010
pemantauan dan refleksi, yang mungkin diikuti perencanaan ulang. 4. PROSEDUR PENELITIAN Terdapat dua tahap dalam penelitian ini, yaitu tahap pra tindakan dan tahap pelaksanaan tindakan, yang rinciannya sebagai berikut. Kegiatan pra tindakan a. Menentukan subjek penelitian Subjek diteliti dalam penelitian adalah mahasiswa jurusan matematika tahun pertama angkatan tahun 2010/2011 yang berjumlah 29 siswa. Penentuan subjek ini didasarkan atas pertimbangan bahwa mahasiswa semester satu tahun pertama merupakan mahasiswa yang mengalami transisi dari sekolah menengah ke perguruan tinggi. b. Menentukan waktu penelitian dan tindakan Waktu yang diperlukan dalam tindakan di kelas dilakukan pada selang waktu September sampai dengan Oktober 2010, waktu tindakan ini disesuaikan dengan subtansi kajian akar kuadrat dan harga mutlak yang tersaji pada silabus jurusan metematika. Dari rentangan waktu itu telah dilaksanakan kegiatan selama enam pertemuan, setiap pertemuan dilakukan selama 100 menit. Pelaksanaan Tindakan Kelas Seperti yang dikemukakan di atas bahwa pelaksanaan tindakan kelas yang dilakukan menggunakan model siklus, dengan setiap siklus meliputi 4 tahapan. Seperti yang dikemukakan oleh Kemmis dan McTaggart terdapat empat tahapan dalam penelitian tindakan, yaitu (1) tahap perencanaan, (2) tahap pelaksanaan, (3) tahap observasi, dan (4) tahap refleksi. Dalam pembelajaran akar kuadrat dan harga mutlak dalam penelitian ini dilakukan dua siklus pembelajaran. 5. HASIL PENELITIAN Hasil-hasil yang diperoleh dari penelitian ini dijabarkan sebagai berikut. a. Mahasiswa dapat menyatakan kembali pengertian akar kuadrat dengan benar. b. Mahasiswa dapat menyatakan kembali pengertian harga multak (|x|) dengan benar. MAT - 84
c. Mahasiswa dapat menyatakan ekivalensi pertidaksamaan harga mutlak dengan benar. d. Mahasiswa dapat menyatakan pertidaksamaan tanpa nilai mutlak yang ekivalen dengan |x| < |y| dengan benar.
Pengajar menunjukkan definisi harga mutlak seperti berikut ini.
6. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Mahasiswa secara umum memahami mengerti dan memahami arti definisi di atas, namun begitu dihadapkan kepada masalah |x – 1|, mereka menjawab seperti berikut ini,
Pada bagian ini akan diuraikan berturut-turut kegiatan yang dilakukan siklus satu sampai dengan akhir siklus dua. Pada siklus pertama dilakukan pembelajaran tentang kuadrat dan akar kuadrat. Materi ini sebenarnya telah dikenal oleh mahasiswa sejak di SMP, bahkan di sekolah dasar, sehingga dalam hal ini sebenarnya dosen hanya mengingatkan kembali saja terhadap materi kuadrat dan akar kuadrat. Namun. Dijumpai saat pembelajaran, beberapa mahasiswa (kelompok 7 dan kelompok 8) salah mengartikan pengertian akar kuadrat. Pertanyaan dari pengajar, bagaimana kalau √(-4)2, kelompok 7 menjawab -4, demikian juga kelompok 8 menjawab -4. Dari jawaban ini, pengajar mengalihkan pertanyaan kepada kelompok lain (kelompok 1) untuk dijawab; dan jawaban dari kelompok lain menjawab dengan “4 pak”. Selanjutnya, ditanya pengajar kenapa 4, kelompok 1 kurang tepat dalam memberi jawaban. Dengan jawaban seperti ini, pengajar member kesempatan kepada semua kelompok untuk membaca kembali dengan benar di buku tentang akar kuadrat. Kesimpulan dari diskusi tentang akar kuadrat ini ialah √ x2 = |x|. Untuk lebih memahami arti akar kuadrat, kepada kelompok diberikan permasalahan untuk didiskusikan dan hasilnya dipresentasikan. Pada siklus kedua, dilakukan pembelajaran tentang harga mutlak dan fungsi harga mutlak. Dalam apersepsinya, pengajar menyampaikan sepintas tentang harga mutlak, yang dilanjutkan dengan fungsi harga mutlak. Kesalahan terpenting yang dilakukan mahasiswa saat berdiskusi tentang harga mutlak dan fungsui harga mutlak adalah mengartikan definisi harga mutlak yang belum benar. Padahal sebenarnya secara tidak langsung harga mutlak ini telah disinggung ketika mendiskusikan tentang akar kuadrat.
SEMNAS MIPA 2010
x, x ≥ 0 |x| =
….. (a) x, x ≤ 0.
x, x ≥ 0 |x – 1| =
….. (b) -x, x ≤ 0.
Dengan jawaban seperti ini, pengajar mencari tahu kenapa mereka menjawab seperti yang disajikan di atas. Atas dasar jawaban ini, pengajar mengingatkan kembali kepada mahasiswa arti harga mutlak, dengan memfokuskan kepada variabel x. Harga mutlak x, persaratannya x lebih dari atau sama dengan nol, dan x kurang dari nol. Tetapi jika fokus variabel kepada x – 1, tentu harga mutlak x – 1 memiliki perserata x – 1 lebih dari atau sama dengan nol, dan x – 1 kurang dari nol. Dengan begitu jawab yang benar untuk |x – 1| dituliskan seperti berikut ini. x - 1, (x – 1) ≥ 0 |x – 1| =
….. (c) -(x – 1), (x – 1) ≤ 0.
Harga mutlak di atas ini dapat dituliskan sebagai, x - 1, x ≥ 1 |x – 1| =
….. (d) x + 1, x < 1.
Dengan memahami jawaban di atas ini, mahasiswa dapat mengetahui dan membedakan antara (b) dan (d). Untuk pemahaman lebih lanjut, dengan cara belajar kooperatif, mahasiswa diberi permasalahanpermasalahan terkait dengan harga mutlak agar mereka benar-benar mengerti konsep harga mutlak. Inilah hal yang penting dalam mengoreksi kesalahan mahasiswa terkait dengan akar kuadrat dan harga mutlak. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan terhadap konsep akar kuadrat dan harga MAT - 85
mutlak sudah semestinya diperbaiki karena materi ini merupakan prasarat untuk belajar matematika lebih lanjut, khususnya belajar materi limit fungsi dan turunan. 7. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Berdasarkan uraian yang disajikan secara singkat di atas, maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan berbagai hal sebagai berikut (a) pembelajaran materi akar kuadrat dan harga mutlak perlu memperhatikan prasarat-prasarat dalam pembelajarannya, (b) berbagai kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa dalam belajar akar kuadrat dan harga mutlak seperti mencari √ (-4)2, menentukan |x–1| telah dapat diluruskan/diperbaiki, (c) pembelajaran dengan strategi kooperatif dapat berjalan dengan baik, terlihat kadar kooperatifnya yang tinggi, yaitu dari hasil analisis lembar observasi kegiatan diskusi kelompok.
Slavin, R.E. 1995. Cooperative Theory, Research, and Boston,MA:Allyn and Bacon.
Learning: Practice.
Slavin, R.E. 1997. Educational Psychology. Boston, MA: Allyn and Bacon. Soedarsono, F. 1997. Pedoman Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas Bagian Kedua, Rencana, Desain, dan Implementasinya. IKIP Yogyakarta: Dirjen Dikti. Suherman, E.2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, JICA Jurusan Pendidikan Matematika. FMIPA. UPI. Sumarno, 1997. Pedoman Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas Bagian Ketiga Pemantauan dan Evaluasi. IKIP Yogyakarta: Dirjen Dikti.
7.2. Saran Saran yang perlu peneliti sampaikan dalam laporan penelitian ini ialah (a) pembelajaran ini dilakukan di satu offering saja, sehingga simpulan dari penelitian belum bisa digeneralisasi, oleh karena itu perlu ada tindak lanjut berupa penelitian serupa untuk offering yang lain, (b) materi dalam penelitian ini terbatas pada akar kuadrat dan harga mutlak, oleh karena itu untuk akan lebih baik bila dilakukan penelitian serupa dengan materi diperluas, (c) mudah-mudahan hasil ini dapat digunakan untuk acuan penelitian selanjutnya.
DAFTAR RUJUKAN As’ari, A. 2002. Cooperative Learning Untuk Meningkatkan Mutu Pembelajaran Matematika. Makalah Disampaikan pada Workshop Piloting Jurusan Matemaika FMIPA Universitas Negeri Malang. Kemmis, S and Taggart, Robbin. 1988. The Action Research Planner. Victoria:Deakin University. Khairiree, K. 2002. Cooperative Learning. Penang, Malaysia: SEAMEO RECSAM. Purcell, E. 1984. Calculus with Analityc Geometry. Prentice-Hall, Inc.
SEMNAS MIPA 2010
MAT - 86
Reciprocal Teaching Berbantuan Komputer dalam Pembelajaran Matematika
Abd. Qohar Jurusan Matematika, FMIPA Universitas Negeri Malang Email :
[email protected] Abstrak: Komputer bisa dimanfaatkan dalam pembelajaran matematika, diantaranya dengan mendesain pembelajaran berbantuan komputer yang menarik siswa untuk belajar serta meningkatkan pemahaman dan komunikasi matematis siswa. Dalam tulisan ini akan dibahas tentang reciprocal teaching berbantuan komputer dalam pembelajaran matematika untuk mengembangkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa. Pembahasan meliputi pendapat-pendapat para ahli tentang reciprocal teaching dan penggunaan komputer dalam pembelajaran khususnya pembelajaran matematika. Untuk lebih memperjelas permasalahan, disajikan juga contoh bahan teks untuk pembelajaran matematika. Hal penting yang harus diperhatikan dalam merancang pembelajaran matematika dengan pendekatan reciprocal teaching berbantuan komputer adalah adanya desain pembelajaran yang memberikan kesempatan bagi siswa melakukan aktivitas pembelajaran yang optimal, meningkatkan kemampuan-kemampuan matematisnya, serta bisa menumbuhkan sikap positif siswa terhadap matematika. Kata kunci : reciprocal teaching, pembelajaran berbantuan komputer, pembelajaran matematika
Pendahuluan
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dinyatakan bahwa pembelajaran di sekolah perlu diberikan berbagai model maupun metode agar tujuan pembelajaran bisa tercapai. Hal ini menunjukkan bahwa guru harus menguasai dan bisa menerapkan berbagai model dan metode pembelajaran agar tujuan pembelajaran tersebut bisa tercapai. Dengan menerapkan berbagai model dan metode pembelajaran maka berbagai type belajar siswa akan bisa terakomodasi sehingga pembelajaran di kelas menjadi lebih optimal dan tujuan pembelajaran bisa lebih mudah untuk dicapai. Salah satu model pembelajaran yang bisa digunakan sebagai alternatif adalah reciprocal teaching. Reciprocal teaching merupakan salah satu model pendekatan pembelajaran di mana siswa dilatih untuk memahami suatu naskah dan menjelaskannya pada teman sebaya, sehingga para ahli banyak yang menyebut reciprocal teaching ini sebagai peer practice (latihan dengan teman sebaya). Palinscar (1986) menyatakan bahwa reciprocal teaching adalah suatu kegiatan belajar yang meliputi membaca bahan ajar yang SEMNAS MIPA 2010
disediakan, menyimpulkan, membuat pertanyaan, menjelaskan kembali dan menyusun prediksi. Pembelajaran ini dilakukan secara kooperatif di mana salah satu anggota kelompok berperan sebagai pemimpin pembelajaran dan dilakukan secara bergantian. Salah seorang siswa yang bertugas sebagai pemimpin tersebut memimpin teman-teman dalam kelompoknya dalam melaksanakan tahaptahap reciprocal teaching. Sedangkan guru berperan sebagai fasilitator yang memberi kemudahan, dan pembimbing yang melakukan scaffolding. Dalam KTSP tersebut juga disebutkan perlunya penggunaan teknologi untuk mendukung pembelajaran. Perkembangan teknologi, dalam hal ini teknologi komputer, merupakan sesuatu yang bisa dimanfaatkan dalam proses pembelajaran. Saat ini komputer merupakan suatu bentuk teknologi yang mampu menjadikan alat tersebut sebagai penyaji informasi dan komunikasi yang lebih produktif, efektif, efisien, menarik dan memungkinkan terjadinya hubungan atau komunikasi tanpa batas. Dalam pembelajaran matematika, kelebihankelebihan tersebut bisa dimanfaatkan MAT - 87
sehingga bisa mendukung proses pembelajaran. Untuk membantu pemahaman siswa dalam mempelajari suatu materi pelajaran, maka dapat dirancang suatu pembelajaran berbantuan komputer yang menarik dan efisien. Perangkat lunak komputer mempunyai kelebihan dibandingkan dengan buku, misalnya bisa menampilkan materi secara interaktif. Penyajian materi dengan komputer mencakup teks, gambar diam, suara, gambar bergerak. Banyak hal yang bisa disimulasikan atau ditampilkan di komputer. Selain itu perangkat lunak dapat digunakan sebagai sarana belajar mandiri. Hal tersebut akan memberikan banyak manfaat ke siswa karena siswa bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas terhadap suatu materi. Disamping itu juga bisa menimbulkan keingintahuan untuk mempelajari hal baru yang lebih menarik, dan mengurangi ketergantungan terhadap guru. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka dalam makalah ini akan dijelaskan tentang model pembelajaran reciprocal teaching berbantuan komputer dan penerapannya dalam pembelajaran matematika. Pembahasan meliputi faktorfaktor yang perlu diperhatikan dalam model pembejaran tersebut dan penerapannya dalam pembelajaran matematika. Di samping itu, contoh bahan ajar untuk pembelajaran matematika dengan model tersebut juga diberikan dalam makalah ini. Reciprocal Teaching Palincsar & Brown (1984) menyatakan bahwa strategi reciprocal teaching adalah pendekatan konstruktivis yang didasarkan pada prinsip-prinsip membuat pertanyaan, mengajarkan keterampilan metakognitif melalui pengajaran, dan pemodelan oleh guru untuk meningkatkan keterampilan membaca dan pemahaman pada siswa yang berkemampuan rendah. Reciprocal teaching adalah prosedur pengajaran yang dirancang untuk mengajarkan kepada siswa tentang strategi-strategi kognitif serta untuk membantu siswa memahami bacaan dengan baik. Dalam kamus on line Wikipedia juga dinyatakan bahwa Reciprocal Teaching merupakan salah satu model pembelajaran yang berbasis konstruktivisme (Wikipedia, 2008). SEMNAS MIPA 2010
Menurut Palinscar (1986) reciprocal teaching bisa disusun dengan menggunakan empat strategi yang bisa diterapkan secara fleksibel yaitu menyimpulkan (summarization), membuat pertanyaan (question generation), klarifikasi (clarification), dan memprediksi (prediction). Dalam implementasinya, guru harus mempersiapkan bahan teks yang berisi materi pokok bahasan yang akan diajarkan. Foster & Rotoloni (2008) menyatakan bahwa bahan ajar yang dipersiapkan oleh guru harus efektif dan mudah diimplementasikan oleh siswa, tidak boleh terlalu mudah atau terlalu sulit. Dilihat dari karakteristitik pembelajaran yang ada pada reciprocal teaching, maka konstruktivisme sosial Vigotsky lebih sesuai untuk diterapkan. Teori konstruktivisme sosial menyatakan bahwa proses sosial dan individual mempunyai peran sentral dalam pembelajaran matematika (Ernest, 1994). Dalam konstruktivisme sosial tersebut, aspek individu dan aspek kelompok, aspek sosial serta aspek psikologis siswa mendapat perhatian secara komprehensif dalam pembelajaran. Dalam reciprocal teaching guru berperan sebagai fasilitator yang melakukan bimbingan secara bertahap atau scaffolding. Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan oleh guru ataupun siswa kepada siswa lainnya untuk belajar dan menyelesaikan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, penguraian masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, pemberian contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri. Scaffolding perlu diberikan agar siswa atau kelompok siswa yang lambat dalam memahami suatu materi bisa mengikuti pembelajaran secara lancar dan tidak tertinggal dengan kelompok yang lain. Scaffolding juga bermanfaat untuk meluruskan pemahaman jika ada kelompok yang masih ragu maupun salah dalam memahami konsep. Dengan adanya scaffolding, kemampuan aktual siswa yaitu kemampuan yang mampu dicapai oleh siswa dengan belajar sendiri dapat berkembang lebih tinggi dan lebih baik sehingga dicapai kemampuan potensialnya. Dengan demikian MAT - 88
scaffolding mampu membantu siswa mengembangkan kemampuan aktualnya menjadi kemampuan potensialnya (Rosyid & Ibrahim, 2007). Dalam reciprocal teaching siswa diajarkan untuk membuat pertanyaanpertanyaan dari bahan bacaan yang sudah dibacanya. Dengan membuat pertanyaanpertanyaan siswa bisa lebih memahami metakognisinya, siswa menjadi lebih tahu tentang hal-hal yang dimengertinya dan halhal yang tidak dimengertinya. Selanjutnya siswa dilatih untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang sudah diajukan oleh teman dalam dalam kelompoknya. Dengan menjawab pertanyaan yang diajukan, siswa akan menjadi lebih paham tentang apa yang sudah diketahuinya dan terjadi pertukaran pendapat antar kelompok, sehingga siswa yang mempunyai pemahaman yang kurang benar akan bisa diluruskan. Setelah selesai menjawab dan menjelaskan pertanyaanpertanyaan dalam kelompok, siswa juga dituntut untuk memprediksi pertanyaanpertanyaan lanjutan. Salah satu pilar pendidikan yang ditetapkan oleh UNESCO adalah learning to live together. Model belajar matematika secara kooperatif seperti yang dilaksanakan pada reciprocal teaching sangat mendukung salah satu pilar pendidikan yang ditetapkan oleh UNESCO tersebut. Dengan melaksanakan reciprocal teaching, siswa akan berlatih untuk belajar secara berkelompok, menghargai pendapat orang lain, serta bisa saling bertukar pendapat antar sesama teman dalam kelompok maupun dalam kelas. Siswa yang melakukan belajar kelompok akan mendapatkan kemampuan dan pengalaman yang dapat menanamkan kesadaran dalam diri para siswa bahwa mereka bersatu dalam satu upaya bersama, bahwa mereka akan berhasil atau gagal sebagai sebah tim. Kemampuankemampuan ini akan sangat bermanfaat bagi siswa sebagai bekal dalam studi selanjutnya dan dalam hidup bermasyarakat. Reciprocal teaching yang merupakan pembelajaran berbasis konstruktivisme memberikan peluang kepada siswa untuk mengeksplorasi secara bebas namun terarah terhadap ide-ide matematika. Siswa secara bebas juga bisa bertanya kepada pemimpin kelompok tentang hal-hal yang tidak SEMNAS MIPA 2010
dipahaminya tanpa ragu-ragu atau malu. Jika ada perbedaan pendapat, dan menemui jalan buntu guru bisa membantunya dengan scaffolding. Suasana pembelajaran dengan ciri-ciri tersebut sangat dimungkinkan untuk mengarahkan kepada siswa agar menyukai pembelajaran matematika yang pada gilirannya siswa akan punya sikap positif terhadap matematika. Hal inilah yang merupakan salah satu aspek yang mendorong peneliti agar dalam penelitian ini diterapkan reciprocal teaching, di samping aspek-aspek yang sudah dijelaskan sebelumnya. Pembelajaran Matematika Berbantuan Komputer
Pengembangan teknologi komputer dalam pembelajaran matematika merupakan hal yang penting. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) tahun 2000 memasukkan prinsip teknologi ke dalam salah satu prinsip yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika, disamping 5 prinsip yang lain. Ada 3 hal yang membuat prinsip pemanfaatan teknologi itu penting yaitu : (1) teknologi bisa meningkatkan kualitas pembelajaran matematika, (2) teknologi bisa mendukung pembelajaran secara lebih efektif dan (3) teknologi bisa memberi pengaruh tentang materi matematika yang diajarkan (NCTM 2000). Namun demikian teknologi tidak bisa digunakan untuk mengganti secara total peran guru dalam pembelajaran matematika. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kariadinata (2006), ditemukan bahwa pembelajaran matematika berbantuan komputer interaktif yang dilakukan tanpa adanya bimbingan guru memberikan hasil yang lebih jelek dibandingkan dengan pembelajaran yang dilakukan secara konvensional (tanpa bantuan komputer). Penggunaan komputer dalam pembelajaran matematika sudah bayak diteliti oleh para ahli dan menunjukkan hasil yang dapat meningkatkan kemampuan matematika siswa. Hal tersebut sebagaimana telah diteliti oleh Frid (2002), yang menemukan bahwa pembelajaran dengan kelas menggunakan komputer yang disertai adanya tatap muka dengan guru, maka pembelajaran bisa dilakukan dengan hasil yang baik, namun jika tanpa tatap muka, MAT - 89
maka komunikasi dan refleksinya menjadi sangat kurang sehingga hasilnya kurang baik. Neo (2007) menyatakan bahwa penggunaan komputer untuk pemecahan masalah dalam pembelajaran meningkatkan hasil belajar dan memperbaiki pemahaman materi. Para siswa sangat termotivasi untuk melaksanakan pembelajaran dan melihat hasil-hasil mereka yang akhir. Mereka juga banyak terlibat dalam aktivitas pembelajaran konstruktivis, di mana guru bertindak sebagai suatu fasilitator dan konsultan, memandu para siswa dalam memecahkan permasalahan mereka. Para siswa mampu bekerja sama untuk membuat keputusankeputusan, untuk melengkapi tugas kelompok mereka. Penerapan komputer untuk pembelajaran matematika di sekolah perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran dengan multimedia tersebut. Edwards (2005) menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan komputer, yaitu :
1. Pengetahuan pendidik tentang penggunaan komputer. Pengetahuan pendidik tentang penggunaan komputer merupakan faktor yang sangat penting dalam pembelajaran matematika menggunakan komputer. Hal ini dikarenakan, dengan kemampuan yang memadai, pendidik bisa mengarahkan siswa agar bisa melakukan aktifitas pembelajaran dengan optimal. Kemampuan pendidik yang kurang, bisa mengakibatkan kurang optimalnya pembelajaran dengan multimedia komputer interaktif tersebut. 2. Pemilihan perangkat lunak yang sesuai dengan materi pelajaran dan perkembangan siswa. Perangkat lunak yang sesuai dengan materi pelajaran dan perkembangan siswa juga merupakan faktor yang sangat penting dalam pembelajaran matematika menggunakan multimedia komputer interaktif. Perangkat lunak yang baik, mudah digunakan (user friendly), materi yang lengkap akan mendukung tercapainya tujuan pembelajaran.
SEMNAS MIPA 2010
3. Kemudahan akses pada sumbersumber belajar terkini berbasis teknologi informasi. Kemudahan akses pada sumbersumber belajar terkini berbasis teknologi informasi termasuk faktor yang penting pula. Dengan adanya kemudahan untuk mengakses sumber belajar matematika berbasis teknologi informasi maka adanya perkembangan dan isu terahir dari pembelajaran matematika akan bisa langsung diserap dan dimanfaatkan oleh siswa. 4. Lokasi dan pengaturan komputer di dalam kelas. Faktor yang termasuk penting adalah lokasi dan pengaturan komputer dikelas. Dengan pengaturan dan setting tata letak komputer yang bagus diharapkan siswa merasa senang dan enjoy dalam melaksanakan pembelajaran dikelas. Jika pengaturanya monoton, dikhawatirkan siswa akan cepat bosan melaksanakan pembelajaran dengan multimedia komputer interaktif tersebut. Faktor pengetahuan pendidik tentang penggunaan komputer multimedia juga diungkapkan oleh Donald (1998). Dalam penelitianya Donald menemukan bahwa kebanyakan guru matematika di negara bagian Virginia Amerika Serikat masih kurang professional dalam hal menerapkan pembelajaran matematika menggunakan komputer, sehingga para pendidik tersebut perlu diberi pelatihan tentang penerapan komputer dalam pembelajaran matematika. Hal tersebut juga didukung oleh pendapat Lynch (2006), yang merekomendasikan bahwa penggunaan teknologi komputer dalam pembelajaran matematika diperlukan transformasi dan inovasi pembelajaran, sehingga implementasinya bisa memberikan hasil yang optimal dan memberikan pengaruh yang positif pada pembelajaran matematika. Reciprocal Teaching Berbantuan Komputer dalam Pembelajaran Matematika
Reciprocal teaching berbantuan komputer merupakan model pembelajaran reciprocal teaching dengan menggunakan bantuan komputer dalam tahap-tahap pembelajarannya. Penggunaan bantuan MAT - 90
komputer dalam tahap-tahap pembelajaran bisa dilakukan secara fleksibel, misalnya bisa dilakukan pada tahap membaca bahan ajar, menyimpulkan, membuat pertanyaan, klarifikasi, ataupun memprediksi. Guru harus dapat memilih tahap mana yang perlu dengan bantuan komputer dan tahap mana yang tidak perlu, jangan sampai bantuan komputer tersebut malah menghambat pembelajaran. Pembelajaran matematika dengan pendekatan reciprocal teaching berbantuan komputer bisa digunakan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan matematis, antara lain pemahaman matematis dan komunikasi matematis. Hal ini bisa dilihat dari karakteristik dan tahaptahap yang harus dilakukan dalam reciprocal teaching berbantuan komputer. Berikut ini akan dijelaskan langkah-langkah dalam pembelajaran dan potensinya untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan matematis tersebut. Langkah awal reciprocal teaching berbantuan komputer adalah membaca bahan teks materi matematika. Langkah ini mengarahkan siswa untuk memahami bahan bacaan. Bagi siswa yang lebih pandai akan lebih mudah untuk memahami teks dan bisa berperan sebagai pemimpin dalam kelompok, walaupun pada akhirnya semua anggota diusahakan agar mendapat giliran sebagai pemimpin kelompok. Sedangkan siswa yang lain atau yang kurang pandai bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau prediksi sehingga bisa mendapat klarifikasi atau penjelasan agar menjadi lebih paham. Klarifikasi merupakan salah satu unsur pemahaman, dan salah satu tahap reciprocal teaching berbantuan komputer adalah klarifikasi. Tugas memberikan klarifikasi dan penjelasan kepada teman sebaya akan memotivasi siswa untuk lebih memahami materi tersebut. Dengan adanya tahap klarifikasi ini kemampuan pemahaman matematis siswa diharapkan bisa meningkat. Kemampuan komunikasi matematis dapat dikembangkan dalam reciprocal teaching berbantuan komputer. Hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa reciprocal teaching merupakan pembelajaran kooperatif. Dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 siswa melakukan tahap-tahap yang ditentukan dalam reciprocal teaching. SEMNAS MIPA 2010
Dalam diskusi kelompok ini kemampuan komunikasi siswa bisa ditingkatkan. Within (Saragih, 2007) mengemukakan bahwa kemampuan komunikasi menjadi penting ketika diskusi antar siswa dilakukan, di mana siswa diharapkan mampu menyatakan, menjelaskan, mengambarkan, mendengar, menanyakan dan bekerja sama sehingga dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang matematika. Aspek-aspek kemampuan komunikasi matematis bisa ditingkatkan dengan adanya karakteristik dari tahap-tahap yang harus dilakukan dalam reciprocal teaching berbantuan komputer. Aspek membaca dalam komunikasi matematis bisa ditingkatkan dengan adanya tahap membaca teks yang dilakukan sebelum proses pembuatan kesimpulan. Salah satu ciri reciprocal teaching adalah adanya bahan teks yang harus dipersiapkan guru sebelum proses pembelajaran dimulai. Dalam konteks pembelajaran matematika, guru harus menyiapkan bahan teks yang berisi materimateri matematika yang menjadi pokok bahasan dalam pembelajaran. Bahan teks ini harus dibaca oleh semua siswa dalam kelompok, sehingga dalam tahap ini kemampuan siswa dalam membaca bisa ditingkatkan. Siswa tidak hanya sekedar membaca teks, namun juga dituntut untuk memahami teks tersebut sehingga pemahamannya bisa digunakan untuk melakukan tahap-tahap pembelajaran berikutnya. Aspek menulis dalam komunikasi matematis bisa ditingkatkan dengan adanya tahap-tahap pembuatan kesimpulan, pembuatan pertanyaan dan prediksi. Pemahaman matematis siswa yang didapatkan pada saat membaca teks maupun pada tahap klarifikasi, siswa diberi tugas untuk membuat kesimpulan. Tugas ini bisa meningkatkan kemampuan siswa dalam hal menuliskan ide-ide matematisnya. Tahap pembuatan pertanyaan akan membuat siswa bisa menuangkan hal-hal yang belum diketahui maupun yang perlu penjelasan lebih detail untuk dituangkan dalam bentuk tulisan. Tahap prediksi memperkirakan materi atau masalah matematis lanjutan yang bisa digali oleh siswa, masalah-masalah ini dituangkan dalam bentuk tulisan sehingga
MAT - 91
bisa meningkatkan kemampuan menulis bagi siswa. Sedangkan aspek diskusi dalam komunikasi matematis bisa ditingkatkan dengan adanya proses klarifikasi dalam reciprocal teaching berbantuan komputer. Bagi siswa yang bertugas sebagai pemimpin kelompok, tahapan ini sangat bermanfaat untuk mengasah kemampuan berbicara, memberikan penjelasan, serta memahami pendapat siswa lain. Bagi siswa yang sedang tidak bertugas sebagai pemimpin kelompok, bisa mengungkapkan pendapat-pendapatnya, menanyakan hal-hal yang tidak jelas, serta menambah penjelasan yang sudah diberikan.
Aspek mendengar dalam komunikasi matematis bisa ditingkatkan dengan adanya proses klarifikasi. Siswa yang bertugas sebagai pemimpin kelompok, selain bermanfaat untuk mengasah kemampuan berbicara, tahapan ini juga bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan mendengarkan pendapat siswa lain yang ingin mengungkapkan pendapatnya. Sedangkan bagi siswa yang tidak bertugas sebagai pemimpin kelompok, dengan mendengar klarifikasi dari pemimpin kelompok, akan meningkatkan kemampuan mendengar. Contoh Bahan Teks dalam Reciprocal Teaching Berbantuan Komputer
Perhatikan gambar berikut :
Y
y
y=2x 3 0
y=3
2 x
0
1
x (i)
(ii)
y
y
y = 2x - 4 0 -2 (iii)
x y = -2
0 -4
2
(iv)
Gambar 1 . Berbagai gambar grafik garis lurus
SEMNAS MIPA 2010
MAT - 92
Dari gambar-gambar diatas, tampak beberapa garis lurus dengan berbagai bentuk persamaanya. Pada Gambar 1. (i) tampak garis lurus dengan persamaan y = 3, sejajar dengan sumbu ......dan melewati titik (...., ....). pada Gambar 1. (ii) tampak garis lurus dengan persamaan y = 2x, melewati titik (....,....) dan titik (...., ....). Pada Gambar 1. (iii) tampak garis lurus dengan persamaan y = -2, sejajar dengan sumbu ......dan melewati titik (....., ....). pada gambar 1. (iv) tampak garis lurus dengan persamaan y = 2x-4, melewati titik (....,....) dan titik (...., ....). Persamaan-persamaan y = 3 dan y = -2 merupakan persamaan-persamaan garis lurus (linear) dan mempunyai variabel sebanyak ........buah, dan disebut dengan persamaan garis lurus ........variabel. Sedangkan persamaan-persamaan y = 2x dan y = 2x – 4 merupakan persamaanpersamaan garis lurus dengan variabel sebanyak ...... buah, dan disebut dengan persamaan garis lurus ........variabel. Perhatikan bahwa variabel-variabel dari persamaan garis lurus berpangkat .............dan tidak terdapat perkalian antar 2 variabel. Setelah siswa membaca bahan text tersebut, dilanjutkan dengan melakukan tahap-tahap reciprocal teaching berbantuan komputer secara berkelompok 3-4 siswa. Dalam setiap kelompok minimal disediakan 1 unit komputer yang sudah dilengkapi perangkat lunak yang mendukung materi pembelajaran, dalam hal ini adalah Graphmatica, perhatikan Gambar 2. Perangkat lunak ini dipilih karena mudah digunakan, sehingga bisa meminimalkan dampak yang diakibatkan oleh ketidakmahiran siswa dalam penggunaan komputer dalam belajar matematika.
Gambar 2. Contoh Tampilan Graphmatica dengan Grafik y=2x dan y= 2x - 4 Dalam reciprocal teaching berbantuan komputer pada materi ini, komputer berfungsi sebagai alat untuk bereksplorasi bagi siswa terutama untuk tahap klarifikasi atau penjelasan untuk meningkatkan pemahaman konsep-konsep matematika. Pemahaman-pemahaman konsep mendasar dalam pembelajaran harus tetap diberikan oleh guru pada tahap refleksi, hal ini juga berfungsi untuk menghindari salah konsep bagi siswa. Penutup
Perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat saat ini bisa dimanfaatkan dalam pembelajaran matematika. Pembelajaran matematika dengan pendekatan Reciprocal Teaching berbantuan komputer merupakan salah satu alternatif pembelajaran matematika berbantuan komputer yang bisa diterapkan. Pembelajaran matematika berbantuan komputer tersebut harus didesain agar siswa bisa melakukan aktifitas konstruktivis seluas-luasnya, jangan sampai keberadaan komputer menjadi beban tersendiri yang menyulitkan siswa dalam belajar matematika. Pemahaman matematis dan komunikasi matematis siswa bisa ditingkatkan melalui pembelajaran dengan pendekatan reciprocal teaching berbantuan komputer. Dengan adanya bantuan komputer, siswa bisa lebih leluasa melakukan eksplorasi sehingga bisa meningkatkan pemahaman matematis dan komunikasi matematisnya.
Referensi
SEMNAS MIPA 2010
MAT - 93
Donald, J. B.(1998). “Technology in Mathematics
Education”.
Dissertation,
Virginia
Doctor
Polytechnic
Institute and State University. Edwards, S.(2005). “Identifying the factors that influence computer use in the early childhood classroom”. Australasian Journal of Educational Technology, 21(2), 192-210. Ernest, P. (1994). Constructing Mathematical Knowledge: Epistemology and Mathematics Education. London: The Falmer Press. Foster, E. & Rotoloni, B.(2008). Reciprocal Teaching, From Emerging Perspec-tives on Learning, Teaching and Technology. [On Line]. Tersedia di: http://projects.coe.uga.edu/epltt/i ndex.php?title=Review_of_Recip rocal _Teaching [29 April 2008] Frid, S. (2002). “Engaging Primary Students in Working Mathematically within a Virtual Enrichment Program”. Mathematics Education Research Journal, Vol. 14, No. 1, 60-79. Lynch J. (2006). “Assessing Effects of Technology Usage on Mathematics Learning”. Mathematics Education Research Journal. Vol. 18, No. 3, 29–43. NCTM (2000). Principles and Standards for School Mathematics, Reston, Virginia. Neo, M. et al. (2007). “A constructivist approach to learning an
SEMNAS MIPA 2010
interactive multimedia course: Malaysian students' perspectives”. Australasian Journal of Educational Technology, 23(4), 470-489. Palinscar, A.(1986). Strategies for Reading Comprehension Reciprocal Teaching. [online]. Tersedia di : http://curry.edschool.virginia.edu /go/readquest/ strat/rt.html [29 April 2008] Palinscar, A. & Brown, A. (1984). Reciprocal Teaching in Comprehension-Fostering and Comprehension-Monitoring Activities Cognition and Instruction. [online] Tersedia di: http://teams.lacoe.edu/documenta tion/classroom/patti/2-3/teacher/ resources/reciprocal.html [29 April 2008] Rosyid, D. M. & Ibrahim,I. (2007). Reciprocal Teaching Sebagai Strategi. [online]. Tersedia: http://kpicenter.web.id/neo/conte nt/view/17/1.html [29 April 2008] Saragih, S. (2007). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis dan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi S3 UPI.: Tidak Diterbitkan. Wikipedia(2008). Constructivism_(learning_theory ). [online] Tersedia : http://en.wikipedia.org/wiki/Cons tructivism_(learning_theory).htm [29 April 2008]
MAT - 94
SEMNAS MIPA 2010
MAT - 95