iii
MODEL KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERTANIAN PERKOTAAN BERKELANJUTAN (Studi Kasus: Wilayah DKI Jakarta)
SOSTENIS SAMPELILING
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
iv
v
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi;
Model Kebijakan
Pengembangan Pertanian Perkotaan Berkelanjutan (Studi Kasus: Wilayah DKI Jakarta) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, Juli 2012 Sostenis Sampeliling NRP: P062080141
vi
vii
ABSTRACT SOSTENIS SAMPELILING. 2012. Policy Model of Sustainable Urban Agriculture Development. Case Study: The DKI Jakarta Region. Under supervision of SANTUN R.P. SITORUS as a chairman, SITI NURISYAH and BAMBANG PRAMUDYA N. as members. Revitalization of agriculture is basically putting back the importance of agriculture in proportion and urban contexts. Considering the condition of agriculture in urban areas, especially areas of Jakarta and linkages with various environmental problems. It is expected that development of agriculture would not be sustainable. So it needs design action and formulation of comprehensive policy for sustainable development of urban agriculture. The study was aimed to analyze the sustainability of urban agriculture, to analyze the critical factors affecting the sustainability and policy of development urban agriculture. Analysis techniques used were MDS (multi-dimensional scaling) technique Rap-Ur-Agri (Rapid Appraisal for Urban Agriculture), an important factor with factor analysis level (leverage factor) and determination of sustainable agricultural development policy scenarios with a prospective analysis. Sustainability status of agricultural development on the condition of existing urban areas show an index value of 48.70% or less sustainable. Key factors for sustainability of urban agriculture are 4 (four) key factors, and attributes of stakeholders' needs are 4 (four) key factors. The light factors have been merged, so that it acquired six key factors that affect the development of urban agriculture systems. Scenarios of agricultural development policy of sustainable urban areas of Jakarta conducted with an integrative approach by improving the performance of atribute and six key factors: (1) yard size, (2) the development of commodity and environmentaly sound technology, (3) extension and agricultural institutions, (4) availability of urban land space, (5) cooperation among stakeholders, and (6) provision of agricultural incentives. MDS simulation results show that the pesimistic scenario with low improvement result sustainability index value 49.06%, moderate improvement scenario result sustainability index value 63.65% and optimistic scenario with the maximum improvement condition result sustainability index value at 76.85%. Development of policy direction consist of expansion of urban agriculture land and farm space, yards and fields/orchards, the development of environmentally friendly commodities and technology, social and institutional development of agriculture in the implementation strategy outlined. Keywords : policy model, urban agriculture, development and sustainable.
viii
ix
RINGKASAN SOSTENIS SAMPELILING. Model Kebijakan Pengembangan Pertanian Perkotaan Berkelanjutan (Studi Kasus: Wilayah DKI Jakarta). Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS sebagai Ketua, SITI NURISYAH dan BAMBANG PRAMUDYA N. sebagai anggota. Indonesia merupakan negara agraris, sehingga pembangunan sektor pertanian memegang peran penting dalam mensejahterakan masyarakat. Upaya revitalisasi pertanian pada dasarnya adalah ingin menempatkan kembali arti pentingnya sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, baik di pedesaan maupun di perkotaan. RUAF (Resource Centre on Urban Agriculture and Food Security) Foundation tahun 1996, FAO (Food and Agriculture Organization) tahun 2003 dan RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan) tahun 2005 memposisikan pentingnya sektor pertanian sebagai (a) salah satu sumber pasokan sistem pangan perkotaan dan alternatif ketahanan pangan untuk rumah tangga, (b) salah satu kegiatan produktif untuk memanfaatkan ruang terbuka perkotaan, (c) salah satu sumber pendapatan serta kesempatan kerja penduduk perkotaan dan (d) meningkatkan manajemen lingkungan di perkotaan. Pertanian perkotaan mempunyai peluang dan prospek untuk pengembangan usaha tani berbasis agribisnis dan berwawasan lingkungan. Pertanian perkotaan didefinisikan sebagai aspek kegiatan budidaya pertanian pangan dan non pangan di wilayah perkotaan yang dicirikan usaha tani lahan sempit, intensif atau moderen, akses informasi pasar dan teknologi terjamin dengan optimalisasi produksi, produktivitas lahan dan ruang, diterima secara sosial dan memberikan nilai tambah penghasilan masyarakat serta mendukung kualitas dan estetika lingkungan secara berkelanjutan. Konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor non-pertanian. Persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya fenomena ekonomi dan sosial yaitu; keterbatasan sumberdaya lahan, pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data BPS DKI Jakarta tahun 2010, sumberdaya lahan, ruang dan sumberdaya manusia masih terdapat peluang untuk dimanfaatkan, dikembangkan sebagai lahan usaha tani intensif atau moderen. Permasalahan di perkotaan khususnya DKI Jakarta dari aspek ekonomi, dimana konversi lahan sangat sulit dihindari antara lain karena rendahnya nilai tanah atau lahan dari hasil kegiatan pertanian dibandingkan dengan kegiatan sektor lain. Rasio land rent lahan pertanian adalah 1 : 500 untuk kawasan industri dan 1: 622 untuk kawasan perumahan (Nasoetion dan Winoto 1996). Jenis usaha tani, luas serta sebaran penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang sangat penting diketahui guna pengembangan yang tepat atau sesuai dengan kondisi lingkungan. Memperhatikan kondisi pertanian perkotaan wilayah DKI Jakarta maka penelitian ini bertujuan untuk: menganalisis kondisi pertanian perkotaan saat ini, menganalisis tingkat keberlanjutan pertanian perkotaan, menganalisis faktor-faktor kunci yang mempengaruhi keberlanjutan, menganalisis keberadaan kebijakan pertanian dan menyusun skenario kebijakan serta merumuskan model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan. Penelitian dilaksanakan di wilayah DKI Jakarta, dimulai bulan Januari 2010 sampai dengan Desember 2011. Penelitian merupakan studi kasus dengan
x
metode survei secara cepat dan partisipatif dengan pendekatan PRA (participatory rural appraisal). Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber antara lain dokumen statistik Jakarta dalam angka, dokumen perencanaan RTRW DKI Jakarta, laporan instansi terkait. Kondisi pengembangan komoditas pertanian perkotaan diperoleh dari hasil analisis pemetaan pewilayahan komoditas DKI Jakarta. Data primer diperoleh melalui pengamatan lapangan, wawancara dan mengisi kuesioner terhadap masyarakat kelompok tani (anggota gapoktan), aparat dilapangan di wilayah kecamatan dan kelurahan meliputi; Kecamatan Menteng di Jakarta Pusat, Jagakarsa di Jakarta Selatan, Cilincing di Jakarta Utara, Cipayung di Jakarta Timur dan Kembangan di Jakarta Barat. Dilakukan FGD (Focus Group Discussion) terhadap pakar dan stakeholders bidang pertanian, tokoh masyarakat, penyuluh lapangan, aparat pemerintah kota sebagai penyusun dan pelaksana kebijakan serta pihak terkait lainnya. Analisis indeks dan status keberlanjutan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta dilakukan menggunakan teknik ordinasi Rap-Ur-Agri (Rapid Appraisal for Urban Agriculture), yang merupakan modifikasi dari Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries) (Fisheries Center 2002). Analisis keberlanjutan dengan teknik Multi-dimensional Scalling (MDS) yang di validasi dengan Monte Carlo pada taraf kepercayaan 95% (Kavanagh dan Pitcher 2004). Analisis faktor-faktor penting dilakukan dengan analisis faktor pengungkit (leverage factor) dilanjutkan dengan analisis prospektif (Bourgeois dan Jesus 2004) dan skenario kebijakan dan strategi implementasi pengembangan pertanian berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa bentuk dan pola sistem pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta saat ini adalah sebagai berikut; pendayagunaan atau pemanfaatan lahan dan ruang terbatas seperti pekarangan, kebun spesifik dan ruang terbangun, pengembangan komoditas pangan dan non pangan ramah lingkungan pada kelompok yaitu jenis-jenis sayuran, tanaman hias, anggrek, tanaman buah tahunan dan varietas unggul padi di lahan sawah. Pengembangan usaha tani dengan sistem tanam langsung, sistem vertikultur, sistem pot atau polibek, sistem hidroponik dan sistem “babilonia” (tanaman memanjat dan menjalar pada bangunan). Hasil analisis MDS menunjukkan bahwa nilai indeks dan status keberlanjutan multidimensi pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta pada kondisi saat ini sebesar 48,70% atau tergolong kurang berkelanjutan. Indeks dan status keberlanjutan maing-masing dimensi adalah dimensi ekologi dengan indeks 46,00%, dimensi ekonomi dengan indeks 45,72%, dimensi sosial dengan indeks 48,83%, dimensi kelembagaan dengan indeks 49,78% semuanya tergolong kurang berkelanjutan dan hanya dimensi teknologi tergolong cukup berkelanjutan dengan nilai indeks 53,45%. Kondisi saat ini diperlukan intervensi dalam menaikkan status keberlanjutan pertanian di wilayah DKI Jakarta. Hasil analisis prospektif menunjukkan bahwa faktor kunci penentu keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan adalah; (1) luas pekarangan, (2) pengembangan komoditas dan teknologi pertanian ramah lingkungan, (3) penyuluhan dan kelembagaan pertanian, (4) perluasan lahan dan ruang usaha tani, (5) kerjasama antar stakeholders, dan (6) pemberian insentif dan kompensasi pertanian. Untuk meningkatkan nilai indeks keberlanjutan, maka dilakukan intervensi dengan skenario kebijakan yang disimulasikan melalui MDS yaitu skenario I (pesimis) dengan nilai indeks keberlanjutan 55,06%, skenario II
xi
(moderat) dengan nilai indeks keberlanjutan 63,65% dan skenario III (optimis) dengan nilai indeks keberlanjutan 76,85%. Hasil analisis isi keberadaan aturan yang ada menunjukkan bahwa kebijakan pengembangan pertanian perkotaan secara khusus belum tersedia, meskipun sudah ada aturan yang berlaku umum seperti undang-undang, peraturan menteri, peraturan daerah, tetapi belum berlaku efektif dan relatif belum mengakomodasi pertanian perkotaan secara keseluruhan. Hasil analisis menunjukkan bahwa keenam faktor kunci penentu keberlanjutan dapat dirumuskan sebagai model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan dalam bentuk fungsi PK = f ( p, k, l, r, s, i ). Pertanian perkotaan (PK) merupakan interaksi dan fungsi antara; luas pekarangan (p), pengembangan komoditas dan teknologi ramah lingkungan (k), penyuluhan dan kelembagaan pertanian (l), perluasan ruang usaha tani (r), kerjasama antar stakeholders (s), pemberian insentif dan kompensasi pertanian (i). Keenam faktor kunci tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap kinerja sistem pengembangan pertanian secara berkelanjutan. Arahan dan strategi implementasi kebijakan pengembangan pertanian perkotaan terdiri dari 3 yaitu; 1) pengembangan lahan atau ruang usaha tani di pekarangan, ruang terbangun dan kebun spesifik, 2) pengembangan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan teknologi ramah lingkungan, dan 3) sosial dan pengembangan kelembagaan pertanian terhadap kelembagaan penyuluhan dan petani, pemberdayaan masyarakat tani serta meningkatkan koordinasi dan kerja sama antar stakeholders. Kata
kunci: model kebijakan, pertanian perkotaan, pengembangan dan berkelanjutan.
xii
xiii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
xiv
xv
MODEL KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERTANIAN PERKOTAAN BERKELANJUTAN (Studi Kasus: Wilayah DKI Jakarta)
SOSTENIS SAMPELILING
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
xvi
xvi
Judul Disertasi
:
Model Kebijakan Pengembangan Pertanian Berkelanjutan (Studi Kasus: Wilayah DKI Jakarta)
Nama
:
NRP Program Studi
: :
Sostenis Sampeliling P062080141 Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL).
Perkotaan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Ketua
Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA Anggota
Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N, M.Eng Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S.
Dr. Ir. Dahrul Syah M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 17 Juli 2012
Tanggal Lulus :
xvii
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tertutup (Selasa, 29 Mei 2012): 1. Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, M.Sc. (Guru Besar Departemen AGH Fakultas Pertanian IPB Bogor) 2. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. (Guru Besar Departemen AGH Fakultas Pertanian IPB Bogor)
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Terbuka (Selasa, 17 Juli 2012): 1. Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M.Sc. (Guru Besar Departemen AGH Fakultas Pertanian IPB Bogor) 2. Prof. (R) Dr. Ir. Pantjar Simatupang, MS. (Staf Ahli Menteri Bidang Kebijakan Pembangunan Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia).
xviii
xix
KATA PENGANTAR Segala
puji
dan
syukur
penulis
panjatkan
kepada
Tuhan
atas
pertolonganNya, sehingga penulisan disertasi dengan judul ”Model Kebijakan Pengembangan Pertanian Perkotaan Berkelanjutan (Studi Kasus: Wilayah DKI Jakarta)” di bawah bimbingan dan arahan komisi pembimbing, telah dapat penulis selesaikan dengan baik dan disyahkan. Permasalahan lingkungan wilayah perkotaan semakin meningkat, terjadinya ketimpangan dalam pembangunan dan hiruk pikuk kehidupan di wilayah kota yang mengakibatkan persaingan dalam pemanfaatan lahan dan ruang pada berbagai kepentingan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penulis berkerinduan meneliti guna mencari solusi atau pemecahan masalah tersebut. Khususnya masalah lingkungan dengan inovasi pertanian perkotaan secara berkelanjutan. Atas tersusunnya disertasi ini, maka penulis secara khusus mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus selaku Ketua Komisi Pembimbing; Ibu Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA dan Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N, M.Eng selaku Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan dan arahannya sampai selelesainya studi. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. selaku Ketua Program Studi PSL, serta kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. selaku mantan Ketua program studi serta penguji luar komisi dan Bapak Dr. Ir. Widiatmaka, DEA selaku sekretaris program studi serta penguji luar komisi yang senantiasa memberikan dorongan semangat, motivasi dan masukannya untuk menyelesaikan studi dan disertasi ini. Juga kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, M.Sc. sebagai penguji luar komisi ujian prelim dan ujian tertutup tak lupa diucapkan terima kasih atas saran dan masukannya. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M.Sc. dan Bapak Prof. (R) Dr. Ir. Pantjar Simatupang, M.S. selaku penguji luar komisi ujian terbuka yang telah memberikan masukan untuk kesempurnaan disertasi ini. Kepada Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberi kesempatan penulis mengikuti pendidikan S3 di IPB, serta seluruh staf administrasi, pengajar atau dosen mata kuliah yang penulis ikuti tak lupa diucapkan terima kasih.
xx
Ucapan terima kasih kepada Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta dan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia yang telah memberi rekomendasi dan kesempatan mengikuti pendidikan program doktoral. Juga telah mendukung sebagian biaya penelitian dalam rangka penyusunan disertasi dan penyelesaian studi serta dukungannya atau fasilitator perjalanan studi banding, gradute student excursion program dan seminar ke luar negeri di beberapa kota negara Asean yang dapat menambah wawasan berpikir penulis terhadap pembangunan kota berwawasan lingkungan, khususnya bagaimana menginovasi pertanian secara umum di perkotaan. Ucapan terima kasih kepada pemerintah provinsi (Pemda) DKI Jakarta melalui Gubernur yang telah mendukung sebagian biaya pendidikan atau kuliah dan penelitian. Ucapan terima kasih kepada Kepala dan staf Dinas Kelautan dan Pertanian, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Pengeloaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD), Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jakarta dan instansi terkait di wilayah DKI Jakarta. Khususnya kepada penyuluh lapangan dan rekan-rekan staf fungsional BPTP Jakarta yang telah memberikan data dan informasi serta membantu penulis dalam proses penelitian diucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih kepada pihak keluarga, khususnya orang tua, istri, anak, pelayan/hamba Tuhan dan rekan-rekan sepelayanan dalam persekutuan serta kepada Gembala, Majelis, anggota Jemaat Gereja Kerapatan Injil Bangsa Indonesia (KIBAID) Jakarta dan Cibinong atas dukungan doa. Kepada rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana angkatan tahun 2008 yang telah memberi dorongan dan saling memotivasi untuk menyelesaikan studi tak lupa diucapkan terima kasih. Kepada semua pihak yang penulis tidak sebutkan dan telah mendukung atau berkontribusi berupa doa, moril, materi dan waktu dalam penyusunan disertasi sampai selesainya studi penulis diucapkan terima kasih. Yesus Kristus memberkati kita semuanya. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan masukan yang konstruktif sangat diharapkan. Kiranya disertasi ini bermanfaat bagi pembacanya, pembangunan perkotaan pada umumnya dan mewujudkan pertanian perkotaan berkelanjutan di Indonesia. Amin. Bogor, Juli 2012 Sostenis Sampeliling NRP: P062080141
xxi
RIWAYAT HIDUP Penulis (Sostenis Sampeliling) dilahirkan di Makale, Tana Toraja pada Tanggal 30 Oktober 1963, sebagai anak ke 8 dari orang tua ayah Benjamin Sampeliling (Alm) dengan ibu Maria S. Lintin (Alm). Penulis memiliki satu orang istri yang bernama dr. Meiliana Lindawaty Rambakila dan 3 orang anak yang bernama Meidyanto Narsali Sampeliling, Laura Linteni Lai’ Lisabamalora serta Victoria Lintenia Lai’ Lisabamalora. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada SD Negeri Rantelemo (1977) di Makale Tana Toraja, menyelesaikan pendidikan menengah pertama pada SMP Katolik (1980) di Makale Tana Toraja dan menyelesaikan pendidikan menengah atas pada SMA Katolik (1983) di Makale Tana Toraja. Menyelesaikan pendidikan tinggi (S1) pada Fakultas Pertanian Jurusan Budidaya Perikanan Universitas Hasanuddin (1988) dengan gelar Insinyur (Ir.) di Makassar Sulawesi Selatan. Pernah mengikuti kuliah program S1 bidang Theologi pada STT Jaffray Makassar Sulawesi Selatan (1991-1993).
Menyelesaikan
pendidikan
Pascasarjana
(S2)
pada
Program
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH) Universitas Hasanuddin (2002) dengan gelar Magister Sains (M.Si.) di Makassar Sulawesi Selatan. Penulis melanjutkan pendidikan Pascasarjana (S3) Program doktoral tahun 2008 pada Mayor Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor (IPB) di Bogor Jawa Barat. Tahun 2011 melanjutkan pendidikan Pascasarjana (S3) Program doktoral profesi bidang counseling (Ph.D(C)) pada STT “IKAT” (Institut Keguruan Alkitab dan Theologi) Jakarta. Selama pendidikan pernah mengikuti pelatihan, program studi, dan kunjungan luar negeri : 1) Peserta pelatihan metode THD untuk mewujudkan WBK (Wilayah Bebas Korupsi) oleh Inspektorat Jenderal Departemen Pertanian kerja sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Kuningan Jakarta Desember 2009. 2). Graduate Student Excursion (GSE) IPB to Thailand 2011 (Isu studi: Sustainable Agriculture in Thailand). 3). Graduate Student to International Seminar at Kasetsart University and Chulalongkorn University Thailand, Bangkok
February 2011 (pemakalah pendukung dengan topik: Model
Development Of Open Green Space: Vision Of Urban Agriculture Environmental
xxii
Perspective:Case Study DKI Jakarta Area). 4) Program studi banding ke luar negeri Nopember 2011 dengan Isu studi: Pembangunan Kota Berwawasan Lingkungan pada kota; Ho Chi Minh (Vietnam), Kuala Lumpur (Malaysia) dan Singapura serta dalam negeri yaitu kota Batam (Indonesia). Penulis bekerja di Kementerian Pertanian, mulai bertugas pada akhir tahun 1988 sebagai staf di Badan Pengendali Bimas Departemen Pertanian Republik Indonesia. Awal tahun 1989 ditugaskan ke Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Pertanian (Deptan) Provinsi Sulawesi Tengah dan awal tahun 1990-1991 di tugaskan ke Kabupaten Buol Toli-Toli dan awal tahun 1992-1997 di tugaskan lagi ke Kabupaten Poso sebagai Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS) dan merangkap sebagai Pejabat Kepala Seksi Bina Program pada Dinas Pertanian Kabupaten Dati II Poso (1995-1997). Tahun 1998-1999 bertugas kembali di Kanwil Deptan Provinsi Sulawesi Tengah. Awal tahun 2000-2003 bertugas di Kanwil Deptan Provinsi Sulawesi Selatan yang di tugaskan ke Kantor Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sul-Sel pada bidang Kelji (Kelompok Pengkaji) Sumberdaya dan Lingkungan. Awal tahun 2004 sampai sekarang bertugas pada Kelji Sumberdaya dan Lingkungan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) DKI Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia di Jakarta. Jabatan dan pangkat akhir penulis adalah sebagai Koordinator Kelji Sumberdaya dan Lingkungan BPTP Jakarta (2007-2010), Penyuluh Ahli Madya (2004-sekarang) dengan Pangkat: Pembina TK.I./ IV b (2010-sekarang). Karya ilmiah akhir yang dipublikasikan yang merupakan hasil penelitian dan bagian dari disertasi ini berjudul: “Kebijakan Pengembangan Pertanian Perkotaan Berkelanjutan,” akan dimuat dalam Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian Volume 10 Nomor 3 Tahun 2012. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Bogor, Juli 2012 Sostenis Sampeliling NRP: P062080141
xxiii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL....................................................................................................
xxv
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................
xxvii
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................................
xxix
I.
PENDAHULUAN............................................................................................ 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. 1.6.
1
Latar Belakang......................................................................................... Perumusan Masalah................................................................................. Tujuan Penelitian .................................................................................... Manfaat Penelitian .................................................................................. Kerangka Pemikiran................................................................................ Kebaruan (Novelty) Penelitian ................................................................
1 5 10 10 10 15
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................
17
2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5 2.6.
Pengertian dan Batasan Pertanian Perkotaan .......................................... Pengembangan Pertanian Perkotaan .................................... .................. Pertanian Berkelanjutan .......................................................................... Kebijakan Pengembangan Pertanian ...................................................... Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ................................................... Tinjauan Terhadap Hasil Penelitian Terdahulu ......................................
17 18 20 23 25 28
III. METODOLOGI................................................................................................
33
3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5
Tempat dan Waktu Penelitian.................................................................. Rancangan Penelitian............................................................................... Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data........................................ Teknik Analisis Data............................................................................... Definisi Istilah-Istilah Penting yang Digunakan Dalam Disertasi ..........
33 34 35 37 49
IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ...............................................
53
4.1. 4.2. 4.3. 4.4. 4.5. 4.6. 4.7.
Keberadaan Wilayah DKI Jakarta .......................................................... Geografi dan Topografi .......................................................................... Sosial dan Ekonomi ................................................................................ Tanah, Iklim dan Air................................................................................ Penggunaan dan Pemanfaatan Lahan ..................................................... Kondisi Lingkungan Hidup .................................................................... Infrastruktur dan Sarana Lainnya............................................................
53 53 54 59 62 67 68
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................
71
5.1. Analisis Kondisi Saat Ini Pertanian Perkotaan ....................................... 5.1.1. Analisis Kondisi Aspek Lingkungan ......................................... 5.1.2. Analisis Bentuk dan Pola Sistem Pengembangan Pertanian ..... 5.2. Analisis Status Keberlanjutan Pertanian Perkotaan ............................... 5.2.1. Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi ..................................... 5.2.2. Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi ...................................
71 71 84 85 86 88
xxiv
DAFTAR ISI (Lanjutan).
Halaman
5.2.3. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial ........................................ 5.2.4. Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan ............................ 5.2.5. Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi .................................. 5.2.6. Indeks Keberlanjutan Multidimensi .......................................... 5.2.7. Status Keberlanjutan Multidimensi Pertanian Perkotaan .......... 5.2.8. Faktor Pengungkit Keberlanjutan Pertanian Perkotaan ............. 5.2.9. Uji Validitas dan Uji Ketetapan MDS ....................................... 5.3. Analisis Produk Kebijakan Terkait Pertanian Perkotaan ........................ 5.3.1. Analisis Isi Produk Kebijakan ................................................... 5.3.2. Kondisi Implementasi Kebijakan .............................................. 5.4. Rumusan Model Kebijakan Pengembangan Pertanian Perkotaan Berkelanjutan .......................................................................................... 5.4.1. Faktor Kunci Penentu Keberlanjutan Pertanian Perkotaan ....... 5.4.2. Skenario Kebijakan Pengembangan Pertanian Perkotaan ......... 5.4.3. Arahan dan Strategi Implementasi Kebijakan Pengembangan Pertanian Perkotaan ................................................................... 5.4.4. Rumusan Model Kebijakan Pengembangan Pertanian Perkotaan ..................................................................................
90 92 94 96 97 99 99 101 101 104
VI. SIMPULAN DAN SARAN..............................................................................
121
6.1. Simpulan ................................................................................................. 6.2. Saran .......................................................................................................
121 122
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................
123
LAMPIRAN ............................................................................................................
131
106 107 110 113 116
xxv
DAFTAR TABEL Halaman 1. Peneliti, topik, metode, hasil penelitian dan pengkajian terdahulu .........
28
2. Tujuan, peubah, teknik analisis data dan keluaran yang diharapkan .....
35
3. Jenis data, sumber dan teknik pengumpulan data sekunder dan primer..
36
4. Kategori indeks keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-Insus Landmag.................... 5. Stakeholder dan kebutuhan pengembangan pertanian perkotaan............
39 43
6. Pengaruh langsung antar faktor dalam pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan ......................................................................... 7. Variabel-variabel kunci dan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang ........................................................................... 8. Jumlah wilayah kecamatan dan kelurahan serta luas wilayah provinsi DKI Jakarta ............................................................................................. 9. Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan per wilayah kota provinsi DKI Jakarta tahun 2010................................................................................... 10. Persentase penduduk menurut wilayah kota dan kab. administrasi provinsi DKI Jakarta .............................................................................. 11. Komposisi lapangan pekerjaan menurut jenis kelamin di DKI Jakarta ..
46 48 53 54 56 56
12. Neraca sumberdaya air permukaan provinsi DKI Jakarta.......................
60
13. Neraca sumberdaya air tanah provinsi DKI Jakarta ……………………
61
14. Jumlah konsumsi air berdasarkan kebutuhan per wilayah kota DKI Jakarta ..................................................................................................... 15. Inventarisasi sumberdaya lahan menurut klasifikasi penggunaan lahan wilayah DKI Jakarta ............................................................................... 16. Luas wilayah menurut penggunaan lahan utama di DKI Jakarta ............ 17. Perkembangan luas dan jenis lahan pertanian DKI Jakarta .................... 18. Tipe penggunaan, jenis tanaman dominan, luas garapan serta status pemilikan lahan petani di lokasi laboratorium agribisnis Meruya, Jakarta Barat ........................................................................................... 19. Kadar hara dalam media tanam beberapa tanaman hias di wilayah DKI Jakarta...................................................................................................... 20. Pengembangan komoditas pertanian per wilayah kota DKI Jakarta....... 21. Rerata struktur pendapatan bersih per tahun rumah tangga petani tanaman hias DKI Jakarta ....................................................................... 22. Rerata struktur pendapatan bersih per tahun rumah tangga petani tanaman hias DKI Jakarta ....................................................................... 23. Tingkat pendidikan petani responden di wilayah DKI Jakarta ...............
61 63 64 64
73 73 75 76 76 78
xxvi
DAFTAR TABEL (Lanjutan). 24. 25. 26. 27. 28. 29.
30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46.
Profesi pekerjaan petani responden di wilayah DKI Jakarta .................... Kondisi kelas kelompok tani per kecamatan di wilayah DKI Jakarta....... Data kelompok tani kecamatan lokasi sampel di wilayah DKI Jakarta..... Jumlah koperasi, P3A, PPL dan Juru pengairan di lokasi penelitian wilayah DKI Jakarta .................................................................................. Rekapitulasi keragaan penerapan teknologi usaha tani dari masingmasing komoditas di wilayah DKI Jakarta.............................................. Rekomendasi teknik konservasi tanah dan air pada masing-masing titik pengamatan di lokasi laboratorium agribisnis Meruya, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat ........................................................................ Persentase tingkat penerapan berbagai jenis teknologi pada usaha tani hortikultura di wilayah DKI Jakarta. ...................................................... Persentase tingkat penerapan teknologi pertanian organik di wilayah DKI Jakarta ............................................................................................... Bentuk dan pola sistem pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta ............................................................................................... Nilai indeks keberlanjutan multidimensi model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan ........................................................ Faktor pengungkit per-dimensi keberlanjutan pertanian perkotaan......... Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-Ur-Agri dan analisis Monte Carlo............................................................................................... Nilai Stress dan Nilai Determinasi (R2) hasil Rap-Ur-Agri....................... Hasil content analysis kebijakan pengembangan pertanian perkotaan ..... Tata guna lahan dan ruang di wilayah perkotaan ...................................... Jumlah (phn) dan jenis tanaman produktif yang dibudidayakan petani di wilayah DKI Jakarta. ................................................................................. Faktor pengungkit dimensi keberlanjutan dan faktor kunci kebutuhan stakeholders Pertanian perkotaan DKI Jakarta.......................................... Gabungan faktor kunci yang mempunyai pengaruh dominan terhadap pengembangan pertanian perkotaan DKI Jakarta ..................................... Uraian masing-masing skenario pengembangan pertanian perkotaan....... Skenario faktor kunci, skoring dan kemungkinan perubahan ke depan dalam pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan ........................ Nilai indeks keberlanjutan per dimensi berdasar skenario I , II dan III .... Peraturan perundangan terkait untuk peningkatan pendapatan atau penghasilan petani. .................................................................................... Arahan dan strategi implementasi kebijakan pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta .............................................................
Halaman 79 79 80 81 81
82 83 83 84 98 99 100 101 102 103 105 107 109 110 112 112 114 115
xxvii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Rumusan masalah pengembangan pertanian di perkotaan ........................
9
2. Kerangka pemikiran pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan
14
3. Peta lokasi penelitian (wilayah DKI Jakarta). .............................................
33
4. Tahapan analisis untuk mencapai tujuan penelitian ..................................
38
5. Posisi titik/nilai keberlanjutan pertanian perkotaan DKI Jakarta ..............
39
6. Ilustrasi diagram layang-layang indeks keberlanjutan ..............................
40
7. Diagram input-output model pengembangan pertanian perkotaan............
44
8. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam model yang dikaji ................................................................................................
47
9. Tahapan penyusunan model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan ............................................................................
49
10. Jumlah penduduk (ribu orang) menurut wilayah (a) dan piramida pertumbuhan berdasarkan umur (b) di provinsi DKI Jakarta....................
55
11. Kecendrungan jumlah dan persentase penduduk miskin selang tahun 2007-2010 di wilayah DKI Jakarta............................................................
56
O
12. Suhu udara ( C ) maksimum dan minimum dan rata-rata menurut stasiun pengamatan 2009 .......................................................................... 13. Peluang curah hujan terlampaui setiap tahunnya ......................................
59 60
14. Hasil budidaya, tangkapan dan produksi ikan (ton) (a) dan hasil tangkapan menurut tempat pelelangan (b) di DKI Jakarta .......................
66
15. Jumlah pemasukan daging hewan menurut asal dan jenisnya ..................
67
16. Indeks pencemar DAS Buaran, Cakung Drain dan Blencong wilayah Jakarta Utara .............................................................................................
69
17. Kondisi penggunaan/perkembangan luas (ha) lahan/tanah darat/kering di wilayah DKI Jakarta...............................................................................
72
18. Perbandingan kelas kelompok pada setiap wilayah kecamatan di wilayah DKI Jakarta ..................................................................................
80
19. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. .............................................
87
20. Hasil analisis leverage pada dimensi ekologi …………………………..
88
21. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi ............................................
89
22. Hasil analisis leverage pada dimensi ekonomi ........................................
90
23. Nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial .................................................
91
xxviii
DAFTAR GAMBAR (Lanjutan)
Halaman
24. Hasil analisis leverage dimensi sosial ......................................................
92
25. Nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan .....................................
93
26. Hasil analisis leverage atribut pada dimensi kelembagaan .......................
94
27. Nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi ...........................................
95
28. Hasil analisis leverage terhadap atribut pada dimensi teknologi ..............
96
29. Indeks keberlanjutan multi dimensi pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta ..............................................................................
97
30. Nilai indeks keberlanjutan pertanian perkotaan DKI Jakarta ....................
98
31. Faktor kunci keberlanjtan pengembangan pertanian perkotaan ................
108
32. Faktor kunci kebutuhan stakeholders pengembangan pertanian perkotaan ...................................................................................................
108
33. Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh dalam sistem pengembangan pertanian perkotaan...........................................................
109
34. Diagram layang status keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan pada tiga skenario kebijakan .....................................................................
113
35. Model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan di wilayah DKI Jakarta ..................................................................................
120
xxix
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Kondisi suhu udara rata-rata bulanan di wilayah DKI Jakarta...................
131
2. Kondisi curah hujan rata-rata bulanan di wilayah DKI Jakarta..................
131
3. Total luas wilayah kota dan Kab. Adaministrasi DKI Jakarta…………....
132
4. Luas panen dan rata-rata produksi tanaman pangan per tahun di wilayah kota DKI jakarta .........................................................................................
132
5. Luas panen dan produksi tanaman sayuran per tahun di wilayah kota DKI Jakarta.................................................................................................
133
6. Luas panen dan rata-rata produksi tanaman sayuran per wilayah kota di DKI jakarta.................................................................................................
133
7. Jenis pohon dan produksi tanaman tahunan buah per wilayah kota di DKI Jakarta ………………………………………………………………
134
8. Luas panen dan produksi tanaman tanaman obat per wilayah kota di DKI Jakarta. .......................................................................................................
135
9. Luas panen dan produksi tanaman tanaman hias per wilayah kota di DKI Jakarta.................................................................................................
135
10. Jenis pohon dan produksi tanaman tahunan buah per tahun di wilayah DKI Jakarta. ...............................................................................................
136
11. Peta tematik letak situ/waduk di wilayah kota DKI Jakarta.......................
137
12. Nama, luas dan volume situ/waduk/danau di wilayah kota DKI Jakarta.........................................................................................................
138
13. Sub kelas kesesuaian lahan beberapa komoditas tanaman hias di Kelurahan Meruya Utara dan Meruya Selatan Kecamatan Kembangan Jakarta Barat................................................................................................
139
14. Kemiringan, erosi aktual, teknik konservasi pada beberapa lahan lokasi laboratorium agribisnis Meruya, kecamatan Kembangan, Jakarta Barat ..
139
15. Hasil analisa laboratorium contoh tanah di beberapa wilayah Jakarta Barat kecamatan Kembangan Jakarta Barat.............................................
140
16. Hasil analisa pupuk wilayah Kecamatan Kembangan Jakarta Barat..........
142
17. Arahan pengembangan lahan dan input teknologi sistem usaha tani di wilayah kecamatan Cilincing Jakarta Utara.............................................. 18. Arahan pengembangan lahan dan input teknologi sistem usaha tani di wilayah kecamatan Kembangan Jakarta Barat..........................................
144
19. Analisis finansial usaha tani tanaman hias di wilayah kecamatan kembangan Jakarta Barat............................................................................
145 146
xxx
DAFTAR LAMPIRAN (Lanjutan).
Halaman
20. Analisis finansial usaha tani komoditas mangga di wilayah DKI Jakarta.........................................................................................................
147
21. Analisis finansial usaha tani mangga di wilayah DKI Jakarta....................
148
22. Analisis finansial usaha tani belimbing tahun 2007 di wilayah Jakarta Selatan.........................................................................................................
149
23. Analisis finansial usaha tani sayuran organik tahun 2007 di wilayah Jakarta Selatan. ..........................................................................................
149
24. Rata-rata dan analisis finansial usaha tani padi sawah di wilayah DKI Jakarta ........................................................................................................
150
25. Keberadaan kelompok tani wilayah kecamatan terpilih provinsi DKI Jakarta tahun 2010......................................................................................
151
26. Kondisi kelompok tani binaan dan jenis usaha tani kecamatan Kembangan Jakarta Barat...........................................................................
153
27. Keberadaan penerapan paket teknologi usaha tani belimbing di wilayah DKI Jakarta.................................................................................................
154
28. Rata-rata keberadaan penerapan paket teknologi usaha tani sayuran (kangkung/sawi/bayam) di wilayah DKI Jakarta………………..
154
29. Rata-rata keberadaan penerapan paket teknologi usaha tani Mangga, Jambu air dan Jambu biji di wilayah DKI Jakarta………..........................
154
30. Rata-rata keberadaan penerapan teknologi usaha tani padi sawah di Wilayah DKI Jakarta .................................................................................. 31 Hasil penilaian dan deskripsi bentuk dan pola pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta .............................................................. 32. Hasil penilaian (skoring) atribut per dimensi ekologi keberlanjutan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta...........................................
155
156 159
33. Hasil penilaian (skoring) atribut per dimensi ekonomi keberlanjutan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta...........................................
161
34. Hasil penilaian (skoring) atribut per dimensi sosial keberlanjutan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta...........................................
163
35. Hasil penilaian (skoring) atribut per dimensi kelembagaan keberlanjutan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta............................................
164
36. Hasil penilaian (skoring) atribut per dimensi teknologi keberlanjutan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta...........................................
166
37. Stakeholder dan kebutuhan/kepentingan terhadap sistem kebijakan pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta.....................
167
38. Gambar/foto dan metode inovasi pertanian di wilayah DKI Jakarta. ........
169
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris, sehingga pembangunan sektor pertanian memegang peran penting dalam mensejahterakan masyarakat. Salah satu upaya pemerintah dalam memperbaiki dan meningkatkan hasil pertanian adalah dicanangkannya revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan (RPPK) pada tahun 2005. Revitalisasi pertanian pada dasarnya adalah ingin menempatkan kembali arti pentingnya sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, dalam arti menyegarkan kembali vitalitas memberdayakan kemampuan dan meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan dengan tidak mengabaikan sektor lain. Indikator keberhasilan revitalisasi pertanian, antara lain: (1) perubahan pola pikir dan komitmen berupa dukungan stakeholders terkait tentang pentingnya sektor pertanian; (2) peningkatan pendapatan per kapita, penurunan jumlah penduduk miskin, kenaikan produk domestik bruto pertanian, dan peningkatan penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian 2005). Dukungan terhadap kegiatan sektor pertanian dapat terlihat pada UndangUndang (UU) No. 26/2007 tentang penataan ruang yang mendefinisikan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. RTH kota adalah bagian ruang terbuka (open spaces) wilayah perkotaan yang diisi tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung/tidak langsung sehingga menghasilkan kota yang aman, nyaman, sejahtera, dan indah. Berdasarkan UndangUndang No. 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH), lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan prilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan peri kehidupan, dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain. Undang-Undang No. 41/2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan, dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan. Undang-
2
Undang No. 12/1992 tentang sistem budidaya tanaman adalah sistem pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam nabati melalui upaya manusia yang dengan modal, teknologi dan sumberdaya lainnya menghasilkan barang guna memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik. Berdasarkan undang-undang tersebut, maka pembangunan pertanian pada dasarnya adalah suatu upaya untuk meningkatkan serta mensejahterakan kualitas hidup petani, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Upaya tersebut memerlukan adanya partisipasi petani dan masyarakat, sehingga peningkatan produksi komoditas pertanian dapat dicapai lebih efisien dan dinamis dengan diikuti pembagian surplus ekonomi antar pelaku secara adil. Sehubungan dengan hal ini, Kasryno dan Suryana (2002), mengidentifikasikan bahwa strategi pembangunan pertanian merupakan peningkatan kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia (human capital) masyarakat pertanian, meningkatkan penguasaan aset produktif pertanian, inovasi baru dan menata kembali kebijakan pembangunan ekonomi dan pengembangan kelembagaan pertanian dalam arti luas. Tantangan utama dalam pembangunan pertanian dewasa ini dihadapkan pada ketersediaan sumberdaya lahan yang semakin langka (lack of resources), khususnya di perkotaan, baik luasan maupun kualitasnya. Dalam sistem produksi pertanian, lahan merupakan faktor produksi terpenting. Namun demikian sumberdaya lahan tidak hanya penting bagi pertanian, tetapi juga sangat dibutuhkan untuk berbagai sektor non pertanian. Seiring dengan laju pertambahan penduduk sangat tinggi. Hal ini akan menjadi suatu permasalahan dalam pemenuhan kebutuhan pangan di wilayah perkotaan. Kecenderungan serupa juga terjadi di Indonesia dimana proporsi penduduk di perkotaan sebesar 36,5% pada tahun 2000, diproyeksikan akan meningkat menjadi 44,5% pada tahun 2010 dan 52,2% tahun 2020 (Ananta dan Arifin 1994). Hal ini mengindikasikan bahwa kemiskinan tidak lagi merupakan masalah yang mendominasi di daerah pedesaan, tetapi juga akan semakin meningkat di daerah perkotaan (urban) dan pinggiran perkotaan (periurban). Suatu studi yang dilakukan oleh Newland (1990) bahkan mengindikasikan bahwa 360 juta penduduk perkotaan, terutama di negara-negara berkembang, menderita kekurangan kalori yang kronis. Sejalan dengan perkembangan ini, maka berbagai lembaga internasional diantaranya FAO (2003) mulai memposisikan pertanian perkotaan sebagai; (a) salah
3
satu sumber pasokan sistem pangan perkotaan serta salah satu opsi ketahanan pangan untuk rumah tangga, (b) salah satu kegiatan produktif untuk memanfaatkan ruang terbuka perkotaan serta limbah perkotaan, dan (c) salah satu sumber pendapatan serta kesempatan kerja penduduk perkotaan. RUAF (Resource Centre On Urban Agriculture and Food Security) Foundation adalah jaringan internasional dari tujuh pusat sumberdaya regional dan satu pusat sumberdaya global dari pertanian perkotaan dan ketahanan pangan. Adapun misi dari RUAF adalah untuk berkontribusi pada pengurangan kemiskinan di perkotaan, menciptakan lapangan kerja, dan ketahanan pangan, memdorong tata pemerintahan kota yang partisipatif dalam meningkatkan manajemen lingkungan di perkotaan. Melibatkan secara aktif swasta dan pelaku pertanian serta stakeholders terkait di perkotaan (RUAF Foundation, 2005). Kondisi lingkungan hidup di perkotaan yang makin memburuk seperti pencemaran udara, peningkatan suhu, penurunan air tanah dan lain-lain, menyebabkan terganggunya keseimbangan ekologi. Sementara itu, resiko yang dihadapi mencakup (a) resiko lingkungan dan kesehatan yang timbul sebagai akibat kultur teknis atau budidaya yang kurang bijaksana, (b) kompetisi yang sangat ketat untuk memperoleh lahan, air, energi dan tenaga kerja, serta (c) penurunan kapasitas lingkungan dalam mengabsorbsi polusi (FAO 1999). Masalah pokok kehidupan masyarakat perkotaan metropolitan adalah bagaimana cara memenuhi kebutuhan pokok (pangan) dan menikmati kesejukan, kenyamanan oleh karena ketersediaan bahan dan udara segar di lingkungannya. Hal yang paling menyolok adalah pesatnya pertambahan penduduk, bertambahnya kendaraan bermotor, pembangunan perumahan dan industri lainnya yang menjadikan lahan pertanian semakin terbatas. Berdasarkan data BPS (2010), usia kota DKI Jakarta (485 tahun) merupakan usia yang tidak lagi muda untuk ukuran sebuah kota, banyak hal telah dialami DKI Jakarta sebagai ibukota negara. Kesemuanya ini mengakibatkan produktivitas lahan, pendapatan petani, ketersediaan serta sirkulasi oksigen (02) semakin menurun. Sebaliknya meningkatnya kadar karbon dioksida (CO2) serta bahan beracun lainnya di udara yang dapat mengancam pernapasan manusia di kota dan sekitarnya (BPLHD 2010). Kita ketahui bahwa oksigen merupakan hasil foto-sintesa tanaman yang merupakan ”kebutuhan vital” masyarakat
4
dalam menikmati hidup dan kehidupan di lingkungannya, sehingga pertanian perkotaan sangat dibutuhkan dalam pembangunan. Permasalahan lain yang cukup serius adalah banjir yang sepertinya menjadi rutinitas kota ini. Hal tersebut menjelaskan bahwa air hujan yang ”tumpah” mempunyai volume yang sangat besar. Wilayah DKI Jakarta sebagian besar sudah menjadi daerah terbangun (built up area) hal tersebut menjadikannya kedap terhadap air, sehingga air tidak dapat meresap kedalam tanah, dan air hujan yang jatuh ke bumi menjadi aliran permukaan (run off). Banjir adalah kenyataan pahit yang harus dirasakan oleh warga kota Jakarta, disaat sistem drainase kota ini tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Faktor lain adalah kebijakan tata ruang kota (RTRW) yang kurang mengakomodasi aspek ekologi. Keberadaan RTH seperti taman, jalur hijau, hutan kota dianggap tidak produktif dan tidak memiliki nilai ekonomis sehingga banyak yang dialih fungsikan peruntukannya untuk kegiatan yang lebih bernilai ekonomis, seperti: SPBU, kawasan perkantoran, pusat perdagangan/mall dan kawasan industri properti lainnya (BPLHD 2010). Keberadaan sumberdaya lahan, ruang dan sumberdaya manusia tersebut memberikan peluang untuk dimanfaatkan, dikembangkan sebagai lahan/ruang usahatani intensif atau moderen oleh masyarakat tani perkotaan yang sekaligus mendukung pengembangan ruang terbuka hijau di wilayah DKI Jakarta. Data informasi sumberdaya pertanian perkotaan sudah banyak sebagai dukungan terhadap penyusunan konsep dasar pengembangan pertanian berkelanjutan di wilayah DKI Jakarta. Informasi dan data secara detail dan aktual mengenai biofisik, penggunaan lahan dan ruang, sosial ekonomi, penerapan teknologi dan kebijakan wilayah, merupakan hal penting untuk merumuskan kebijakan pembangunan yang tepat dan secara khusus pengembangan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) di wilayah DKI Jakarta. Jenis usahatani, luas serta sebaran penggunaan lahan dan ruang yang ada sangat penting diketahui guna pengembangan yang tepat (Hikmatullah et al. 2001). Menurut Mattjik (2002) hasil evaluasi penggunaan lahan dan ruang dapat memberikan gambaran tentang penggunaan pada saat sekarang (present land use) dan sangat penting artinya karena menyangkut luasan areal, penyimpangan batasan penggunaan lahan, terjadinya tumpang tindih, dan sebagainya. Penataan tata ruang sesuai pendayagunaan sumberdaya lahan khususnya untuk pengembangan pertanian
5
perkotaan yang berkelanjutan akan mampu memberikan kontribusi menyeimbangkan dengan pembangunan non pertanian di kota metropolitan Jakarta. Pada gilirannya diharapkan terjadi keseimbangan, kesesuaian dan keselarasan antara pembangunan fisik dan pembangunan pertanian. Oleh karena itu, upaya-upaya pengendalian perlu segera dilakukan. Salah satu alternatif yang dapat memberikan dampak signifikan dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup di perkotaan adalah melalui program pembangunan dan pengelolaan pertanian perkotaan serta ruang terbuka hijau secara arif dan bijaksana oleh stakeholders. Perda DKI Jakarta No. 6/1999 tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) menargetkan melalui program Gubernur “hijau royo-royo” Jakarta. RTH makro 9.544 ha atau 13,94 % pada tahun 2010, jadi tidak relevan lagi, perlu revisi atau membuat perda baru. Berdasarkan undang-undang No. 26/2007 tentang penataan ruang, RTH kawasan perkotaan adalah sebesar 30% dari luas wilayah, dimana 20% merupakan RTH publik dan 10% merupakan RTH privat. Perkembangan dan pertumbuhan kota/perkotaan disertai dengan alih fungsi lahan yang pesat, telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang dapat menurunkan daya dukung lahan dalam menopang kehidupan masyarakat di kawasan perkotaan, sehingga perlu dilakukan upaya untuk menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan melalui penyediaan ruang terbuka hijau yang memadai dengan pengembangan kegiatan pertanian produktif. Berdasarkan masalah tersebut, maka diduga pemanfaatan lahan di wilayah DKI Jakarta tidak sesuai dengan daya dukungnya. Oleh karena itu perlu dikaji dan dianalisis kesesuaian pemanfaatan dengan pendekatan Zone Agro Ekosistem-AEZ yang didasarkan pada pertimbangan biofisik, sosial ekonomi, penerapan teknologi, kebijakan wilayah atau spesifik lokasi, sehingga tercipta sistem pengembangan sumberdaya lahan dan ruang wilayah perkotaan berkelanjutan (Sampeliling et al. 2008). Hasil ini dapat memberi dukungan terhadap perencanaan, pengendalian dampak pembangunan dan tambahan pendapatan masyarakat perkotaan.
1.2. Perumusan Masalah Pertanian perkotaan didefinisikan sebagai aktifitas atau kegiatan bidang pertanian yang dilakukan dalam kota (intraurban) dan pinggiran kota (periurban) untuk memproduksi/memelihara, mengolah dan mendistribusikan beragam produk
6
pangan dan non pangan, dengan memanfaatkan atau menggunakan kembali sumberdaya manusia dan material, produk serta jasa ke daerah perkotaan tersebut (Smith et al. 1996). Beberapa dimensi umumnya yang mendukung definisi tersebut adalah jenis aktivitas ekonomi, kategori produk pangan atau non pangan, karakteristik lokasi intraurban dan periurban, jenis aktivitas tersebut dilakukan, jenis sistem (skala) produksi dan produk destinasi. Definisi ini secara implisit juga memberikan gambaran menyangkut keterkaitan pertanian perkotaan dengan berbagai konsep pengembangan lainnya, misalnya pengembangan pertanian pedesaan, sistem pasokan pangan perkotaan, pengembangan perkotaan berkelanjutan, ketahanan pangan perkotaan dan pengelolaan lahan perkotaan. Permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan adalah karena adanya ketimpangan dalam pembangunan perkotaan yang tidak seimbang antara pembangunan ekonomi, fisik dan prasarana sumberdaya manusia dan ekologi baik terhadap sumberdaya pertanian dan ruang terbuka hijau khususnya RTH produktif di wilayah perkotaan. Kondisi pertanian perkotaan semakin menurun baik dari pertanian pangan dan non pangan seperti produksi, produktivitas lahan/ruang pertanian. Permasalahan pertanian perkotaan ini dapat dilihat dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan dan inovasi teknologi sebagai berikut; Aspek penguasaan lahan pertanian; Lahan sempit pertanian merupakan aset penting dalam menunjang pembangunan perkotaan berkelanjutan. Salah satu permasalahan pokok dalam pembangunan sektor pertanian adalah sempitnya ratarata penguasaan lahan petani, sehingga program yang dikembangkan belum sepenuhnya dapat berjalan seperti yang direncanakan. Pengembangan sistem agribisnis cenderung menuntut penguasaan lahan yang luas dan kurang akomodatif pada petani gurem dengan pemilikan kurang dari 0,30 ha. Upaya penyatuan usaha dalam bentuk koordinasi vertikal sebagaimana yang dikemukakan Simatupang (1995), umumnya belum ditindaklanjuti dalam kegiatan yang lebih riil. Apalagi bagi sebagian besar petani ketergantungan terhadap usahatani tertentu seperti padi masih sangat tinggi, dan pertimbangan rasa aman lebih mewarnai keputusan petani dibanding sesuatu yang berbau bisnis, sehingga laju konversi lahan tidak dapat di atasi. Menurut Irawan (2005), konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat
7
adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor non pertanian. Persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial, yaitu: (a) keterbatasan sumberdaya lahan, (b) pertumbuhan penduduk, dan (c) pertumbuhan ekonomi. Aspek ekonomi; Konversi lahan sangat sulit dihindari karena permasalahan faktor-faktor ekonomi yang tercermin dari rendahnya nilai tanah/lahan
untuk
kegiatan pertanian dibandingkan dengan kegiatan sektor lain. Rasio land rent lahan pertanian adalah 1:500 untuk kawasan industri dan 1:622 untuk kawasan perumahan (Nasoetion dan Winoto 1996). Menurut Sitorus et al. (2007) rasio land rent padipadi: sayuran adalah 1:14-46,7 untuk padi-padi:tanaman hias adalah 1:904,2 dan padi-padi:villa adalah 1:367. Menurut Adiyoga (2002), pengembangan usaha tani perkotaan sangat dipengaruhi tingkat harga dan lingkungannya, terutama harga output (konsumsi pangan) seperti fluktuasi harga sayuran dan pencemaran, sehingga usaha tani di perkotaan tidak dapat memberi pendapatan yang layak. Menurut laporan Diskeltan (2010), produktivitas lahan pertanian dari tahun ke tahun mengalami penurunan, disebabkan dengan berkembang pesatnya pengembang baik dibidang property maupun industri yang berskala besar pada lahan potensi pertanian. Hal ini diakibatkan oleh adanya nilai ekonomi jasa tanah yang tinggi di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Aspek sosial dan kelembagaan; Masalah ketersediaan pangan dan akses terhadap pangan juga akan dihadapi oleh sebagian penduduk yang tinggal di perkotaan, sebagai akibat dari (a) distribusi pendapatan masyarakat tidak merata, (b) tingkat kemiskinan yang cenderung meningkat, (c) semakin menurunnya ketersediaan lahan produktif, dan (d) sistem distribusi pangan yang tidak efisien (Permia 1983). Memperlihatkan motivasi dalam mempertahankan RTH dan pengelolaan pertanian relatif kurang, yang ditandai kondisi pengembangan pertanian dan RTH semakin sempit. Adanya undang-undang No. 26/2007 tentang penataan ruang, terlihat bahwa ketersediaan lahan peruntukan pertanian di wilayah perkotaan tidak ada lagi kecuali RTH produktif. Belum adanya undang-undang khusus mengenai pertanian perkotaan.
8
Sampai saat ini, kegiatan pertanian perkotaan masih dapat dikategorikan sebagai unregulated urban agriculture. Secara spesifik belum terdokumentasi peraturan yang ditujukan untuk melarang atau sebaliknya memberikan fasilitas kegiatan pertanian perkotaan, serta aturan hukum yang jelas serta kelembagaan yang masih sangat lemah. Kondisi aspek kualitas lingkungan; Kualitas tanah/lahan dan lingkungan memegang peranan penting dalam usahatani baik di pedesaan maupun di perkotaan. Masalah degradasi tanah Menurut Sitorus (2009), hilangnya atau berkurangnya kegunaan (utility) atau potensi kegunaan tanah, kehilangan atau perubahan kenampakan (features) tanah yang tidak dapat diganti. Menurut FAO (1993) dalam Sitorus (2009), degradasi tanah adalah proses yang menguraikan fenomena yang menyebabkan menurunnya kapasitas tanah untuk mendukung suatu kehidupan, khususnya dalam pengembangan pertanian. Menurut BPLHD (2010), hasil pemantauan kualitas udara wilayah DKI Jakarta menunjukkan terjadi penurunan dengan peningkatan debu/asap yang mengakibatkan penurunan dan sirkulasi oksigen (02) di udara. Hasil pemantauan kualitas air di beberapa titik pada sekitar lahan basah/sawah, menunjukkan dalam kondisi tercemar “ringan” dan “sedang” untuk kebutuhan pertanian lahan basah dan perikanan yang sumbernya dari limbah limbah industri dan rumah tangga yang dapat mencemari produk pertanian. Aspek ketersediaan lahan dan ruang; Berdasarkan data BPS (2010), kondisi lahan/ruang pertanian/kehutanan (RTH konservasi, lanskap/pertamanan, RTH produktif termasuk lahan sawah dan pekarangan pemukiman) masih memberikan peluang untuk pengembangannya. Keberadaan lahan pertanian/RTH baik lahan kering dominan berupa pekarangan, taman kota dan berem jalan umum, sedangkan khususnya lahan basah/sawah dominan di wilayah Jakarta Utara, Timur dan Barat. Untuk sumberdaya manusia masih terdapat 96.200 orang yang berstatus petani “pemilik” dan “penggarap” serta kelompok tani sekitar 478 dari total penduduk DKI Jakarta 8.381.968 jiwa (Diskeltan 2010). Keberadaan sumberdaya lahan, ruang dan sumberdaya manusia tersebut memberikan peluang untuk
9
dimanfaatkan, dikembangkan sebagai lahan usaha tani intesif atau moderen oleh masyarakat tani perkotaan. Memperhatikan keterkaitan berbagai permasalahan pertanian perkotaan tersebut, maka diduga terjadi pertanian perkotaan tidak berkelanjutan, sehingga perlu dirancang
dan
dirumuskan
model
kebijakan
yang
komprehensif
untuk
pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan. Mengetahui keberlanjutan (sustainability) pertanian perkotaan utamanya bagaimana meningkatkan daya hasil lahan dan ruang serta pendapatan masyarakat tani perkotaan. Perumusan masalah pertanian perkotaan secara diagram disajikan pada Gambar 1.
Sistem Pengembangan Pertanian Perkotaan
Pertanian Pangan
Pertanian Non Pangan
Konversi Lahan Tidak Terkendali (land rent)
Tanah dan Air Tercemar serta Polusi Meningkat
Pemanfaatan Lahan dan Ruang Belum Berkembang
Kelembagaan dan Kord. SDM Bidang Pertanian Lemah
Usaha dan Produksi Pertanian Menurun
Kualitas dan Estetika lingkungan Menurun
Produk Tercemar dan Tidak Bersaing
Kebijakan Pertanian Kurang Mendukung
Pertanian Perkotaan Tidak Berkelanjutan
Gambar 1. Rumusan masalah pengembangan pertanian di perkotaan. Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana kondisi eksisting dan kebijakan pengembangan pertanian perkotaan saat
10
ini, khususnya di wilayah DKI Jakarta? Secara spesifik pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi pertanian perkotaan saat ini? 2. Bagaimana status keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan saat ini? 3. Bagaimana kebijakan yang terkait dengan pertanian perkotaan selama ini? 4. Bagaimana rumusan model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah merumuskan model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan. Secara spesifik penelitian ini bertujuan: 1. Menganalisis kondisi pertanian perkotaan saat ini. 2. Menganalisis status keberlanjutan pertanian perkotaan. 3. Menganalisis produk-produk kebijakan yang terkait dengan pertanian perkotaan. 4. Merumuskan model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan.
1.4. Manfaat Penelitian 1. Sebagai masukan atau pedoman bagi para pengguna dalam pengembangan pertanian perkotaan. 2. Sebagai bahan kebijakan pemerintah pusat dan daerah (lintas sektoral), utamanya dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dalam pembangunan perkotaan berkelanjutan. 3. Sebagai bahan rekomendasi implementasi Pemda (instansi terkait) dalam perencanaan dan pengendalian dampak pembangunan di wilayah perkotaan. 4. Sebagai data bagi pengguna, penelitian lanjut dan pengembangan pertanian perkotaan serta referensi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
1.5. Kerangka Pemikiran Pengembangan pertanian perkotaan dapat dibatasi pada sebuah definisi yaitu aktivitas atau kegiatan bidang pertanian yang dilakukan dalam kawasan kota (intraurban) dan pinggiran kota (periurban) untuk memproduksi/memelihara, mengolah dan mendistribusikan beragan produk pangan dan non pangan, dengan memanfaatkan atau menggunakan kembali sumberdaya manusia dan material, produk serta jasa ke daerah perkotaan tersebut (Smith et al. 1996). Menurut
11
Sampeliling et al. (2007), pertanian perkotaan adalah segala aspek kegiatan pertanian di wilayah perkotaan yang dicirikan usaha tani lahan sempit, intensif, akses informasi pasar dan teknologi terjamin dengan optimalisasi produksi dan produktivitas lahan dan ruang secara lestari. Adiyoga et al. (2002), bahwa pertanian perkotaan mempunyai peluang dan prospek untuk pengembangan usaha tani berbasis agribisnis dan berkelanjutan. Menurut Deptan (2002), pembangunan sistem dan usaha agribisnis Indonesia dapat diwujudkan melalui perekonomian nasional yang sehat, berdaya saing berkerakyatan, desentralisasi dan berkelanjutan pada sub sistem agribisnis, agribisnis hulu, usaha tani, pengolahan, pemasaran dan sub sistem jasa dan penunjang. Keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan dapat ditempuh dengan berbagai inovasi seperti inovasi teknologi, inovasi kelembagaan dan inovasi sosialekonomi. Menurut Adiyoga et al. (2002), peluang yang dimiliki pertanian perkotaan dalam pengembangan adalah (a) tidak terlalu membutuhkan pengepakan, penyimpanan dan transportasi, (b) berpotensi menciptakan lapangan kerja serta sumber pendapatan, (c) memberikan aspek pangan yang lebih luas bagi konsumen miskin, (d) menjamin ketersediaan pangan yang lebih segar, dan (e) akses yang lebih luas
terhadap
pelayanan-pelayanan
menyangkut
pengelolaan
limbah
serta
kemungkinan daur ulang. Menurut Purnomohadi (2000), mengacu pada kondisi spesifik perkotaan, pengembangan atau perancangan model sistem produksi pertanian perkotaan paling tidak harus memperhatikan dua kriteria yaitu “hemat lahan” dan produk relatif bersih. Sistem produksi pertanian perkotaan mengimplikasikan suatu keharusan untuk mengidentifikasi ruang atau lahan yang masih bersifat underutilized dan memaksimalkan potensi untuk mengakomodasi aktivitas pertanian. Diversitas dari bermacam ruang dan pendekatan dapat memaksimalkan efisiensi skala mikro produksi pangan di daerah perkotaan. Sebagai syarat usaha pertanian perkotaan dan merupakan dukungan terhadap tata lingkungan dan peningkatan kualitas lingkungan perkotaan, sebagai berikut; (a) sesuai dengan tata ruang kota dan tata ruang wilayah, (b) tidak merusak keindahan atau estetika, (c) tidak menimbulkan dampak sosial akibat penggunaan lahan, (d) tidak mengganggu serapan air dan tidak menghambat aliran air baik selokan, sungai sebagai sarana pembuangan kelebihan air, (e) tidak menggunakan input kimiawi berlebih yang dapat mencemari air dan lingkungan serta
12
menghadapakan konsumen kepada resiko kesehatan, dan (f) tidak mengaplikasikan budidaya
pertanian yang dapat mendorong peningkatan erosi dan mempercepat
degradasi lingkungan. Menurut Sudirja (2008), pembangunan pertanian berkelanjutan berbasis sistem pertanian organik, karena pertanian organik merupakan salah satu teknologi alternatif yang memberikan berbagai hal positif, yang dapat diterapkan pada usaha tani produkproduk bernilai komersial tinggi dan tidak mengurangi produksi. Untuk menerapkan pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan, perlu dilakukan upaya: (1) sosialisasi pemasyarakatan mengenai pentingnya pertanian yang ramah lingkungan, (2) penggalakan konsumsi produk hasil pertanian organik, (3) diperlukan lebih banyak kajian/penelitian untuk mendapatkan saprotan orgnik. Usaha tani yang berorientasi pasar global perlu menekankan aspek kualitas, keamanan, kuantitas dan harga bersaing. Pengembangan pertanian perkotaan dengan model atau bentuk pertanian perkotaan di arahkan berbasis ruang dan masyarakat, pertanian organik serta sistem insentif, melalui model-model pertanian spesifik lokasi seperti; (1) pertanian intensif lahan sempit adalah pemanfaatan/mengoptimalkan lahan terbuka, baik lahan sawah, lahan terlantar atau tegalan dengan inovasi teknologi sebagai kebun komoditas, (2) RTH produktif adalah memanfaatkan/mengoptimalkan daya hasil pekarangan pemukiman baik komoditas pangan maupun komoditas non pangan, (3) pertanian kebun atap/bangunan adalah pengembangan komoditas sayuran dan tanaman hias pada atap/bangunan, (4) pertanian vertikultur adalah memelihara tanaman sistem media bersusun vertikal dan (5) pertanian hidroponik adalah memelihara tanaman sistem media aliran air. Menurut Barus dan Syukri (2008), pertanian hortikultura adalah ilmu dan seni bercocok tanam yang memerlukan pemeliharaan khusus, serta bercocok tanam tersebut dilakukan di kebun atau pekarangan. Secara umum budidaya hortikultura meliputi: tanaman sayuran (vegetable crops); tanaman buah (fruit crops); dan tanaman hias (ornamental crops). Menurut Sampeliling et al.
(2007), inovasi
teknologi komoditas pertanian tanaman hias yang banyak diusahakan petani di wilayah Jakarta Barat antara lain: adenium, aglonema, euphorbia, sikas, palm, tricolor, batavia, dan pride sumatra sebagai komoditas unggulan. Semua komoditas
13
tanaman hias ini diusahakan di lahan pekarangan pemukiman penduduk. Sebagian besar diusahakan sebagai tanaman pot sedangkan lahan hanya digunakan untuk membuat rak-rak tempat pot diletakkan dan sebagian lahan yang digunakan sebagai media tumbuh sementara. Sebagian besar petani tanaman hias ini mengembangkan tanaman
pot
sebagai
tempat
media
tumbuh
tanaman.
Pengembangannya
menggunakan lahan berem jalan toll dan tanah kapling yang masih kosong belum terbangun oleh pemiliknya. Sebagian lahan ada juga yang digunakan untuk menumbuhkan beberapa jenis tanaman tertentu seperti palm dan sikas. Keberlanjutan pertanian perkotaan sangat penting dalam hal; (1) integrasi pertanian perkotaan ke dalam kebijakan tata guna lahan dan ruang perkotaan seperti (a) penghapusan berbagai restriksi legal yang bersifat unsubstantiated, (b) intengrasi pertanian ke dalam perencanaan pengembangan perkotaan. (2) integrasi pertanian perkotaan ke dalam kebijakan ketahanan pangan dan kesehatan baik (a) akses pelaku pertanian perkotaan terhadap institusi penelitian, bantuan teknis dan pelayanan kredit, (b) perbaikan sistem pemasokan input dan distribusi produk, (c) peningkatan kepedulian atas resiko kesehatan akibat pertanian perkotaan, dan (3) integrasi pertanian perkotaan ke dalam kebijakan lingkungan, seperti (a) promosi penggunaan ulang limbah organik dan limbah air oleh petani perkotaan secara aman, (b) promosi metode usaha tani ramah lingkungan. Sehubungan dengan berbagai permasalahan dalam konteks pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan, sudah saatnya intervensi kebijakan fasilitasi dan kerangka kerja perencanaan pertanian perkotaan (termasuk legislasi, aspek normatif, dan finansial serta institusional proses) yang lebih serius. Instrumen kebijakan pertanian perkotaan harus dirancang berdasarkan integrasinya dengan beberapa kebijakan lain, misalnya: kebijakan tata guna lahan perkotaan, kebijakan ketahanan pangan serta kesehatan perkotaan, dan kebijakan lingkungan perkotaan. Tidak kalah pentingnya adalah pihak-pihak yang seharusnya mendapat manfaat dari legislasi perkotaan yaitu penduduk miskin perkotaan. Data informasi sumberdaya pertanian perkotaan secara detail sebagai dukungan terhadap penyusunan konsep dasar pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan, khususnya di wilayah DKI Jakarta belum tersedia. Informasi dan data detail dan aktual mengenai biofisik, penggunaan lahan dan ruang, sosial dan
14
kelembagaan, ekonomi, penerapan teknologi dan kebijakan wilayah, merupakan hal penting untuk menyusun model kebijakan dalam mendukung perencanaan dan aktualisasi pembangunan yang tepat dan secara khusus pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan (sustainable urban agriculture). Kerangka pemikiran pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan secara diagram (Gambar 2).
Aspek Ekologi Aspek Ekonomi
Sistem Pengembangan Pertanian Perkotaan
Aspek Sosial Aspek Kelembagaan Aspek Teknologi
Pertanian Pangan
Pertanian NonPangan
Eksisting SDA dan SDM
Eksisting Kelembagaan
Pertanian Ekonomi Tinggi dan Ramah Lingkungan
Pertanian Basis LahanRuang dan Teknologi
Pertanian Intensif Lahan Basah dan Kebun Spesifik
Pertanian Lahan Pekarangan
Pertanian Kebun Atap Bangunan
Model Kebijakan Pengembangan Pertanian Perkotaan Berkelanjutan
Eksisting Sosial dan Ekonomi
Pertanian Sistem Insentif/disinsentif
Pertanian Basis Ruang dan Media Tanam
Feed Back
Pertanian Perkotaan Berkelanjutan
Gambar 2. Kerangka pemikiran pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan
15
1.6. Kebaruan (Novelty) Penelitian Memperhatikan hasil-hasil penelitian atau kajian terdahulu dalam bentuk skripsi, tesis, disertasi, jurnal penelitian dan laporan penelitian dalam maupun luar negeri. Penelusuran hasil-hasil penelitian dan kajian yang dilakukan oleh lembaga penelitian dan pengembangan pada instansi pemerintah lainnya. Hasil penelusuran terhadap penelitian dan kajian sebelumnya dapat dilihat pada Sub Bab. 2.6. Tinjauan terhadap hasil penelitian terdahulu tertera pada Tabel 1. Hasil penelitian dan kajian terdahulu menunjukkan bahwa pertanian perkotaan secara umum masih terbatas pada penelitian dan kajian parsial terhadap komoditas, teknologi dan sumberdaya serta metodenya. Belum ada penelitian atau kajian yang komprehensif tentang pengembangan model kebijakan pertanian berkelanjutan di perkotaan. Hasil kajian pada khususnya di wilayah DKI Jakarta menunjukkan hal yang sama sebagai wilayah penelitian ini, sehingga diperoleh kebaruan (novelty) dari kegiatan dan hasil penelitian yaitu: 1. Faktor kunci penentu keberlanjutan adalah luas pekarangan, pengembangan komoditas dan teknologi ramah lingkungan, penyuluhan dan kelembagaan pertanian, perluasan ruang usaha tani, kerjasama antar stakheholders, pemberian insentif dan kompensasi pertanian yang merupakan fungsi interaksi dalam sistem pengembangan pertanian perkotaan. 2. Metode Rap.Ur-Agri (Rapid Apraisal for Urban Agriculture) yang dimodifikasi dari Rapfish dalam menyusun atribut-atribut pengembangan pertanian perkotaan secara komprehensif dengan menggunakan analisis multidimensi (aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan dan teknologi) meliputi analisis deskriptif kualitatif, kuantitatif dan analisis sistem untuk merumuskan model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan. 3. Kerangka model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan; adalah skenario dan arahan kebijakan yang dihasilkan sangat bermanfaat sebagai sistem penunjang keputusan bagi para perencana dan pengambil kebijakan dalam menentukan prioritas pembangunan wilayah perkotaan khususnya mewujudkan pertanian perkotaan berkelanjutan.
16
17
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Batasan Pertanian Perkotaan Terminologi pertanian perkotaan yang pada awalnya hanya digunakan oleh akademisi dan media, telah di adopsi oleh berbagai lembaga di bawah PBB, misalnya UNDP (Smith et al. 1996) dan FAO (FAO 1996; COAG/FAO 1999). Pertanian perkotaan didefinisikan sebagai aktifitas atau kegiatan bidang pertanian yang dilakukan dalam kota (intraurban) dan pinggiran kota (periurban) untuk memproduksi/memelihara, mengolah dan mendistribusikan beragam produk pangan dan non pangan, dengan memanfaatkan sumberdaya manusia dan material, produk serta jasa ke daerah perkotaan tersebut (Smith et al. 1996). Pertanian perkotaan adalah segala aspek kegiatan pertanian pangan dan non pangan di wilayah perkotaan yang dicirikan usaha tani lahan sempit, intensif, akses informasi pasar dan teknologi terjamin dengan optimalisasi produksi dan produktivitas lahan dan ruang secara lestari (Sampeliling et al. 2007). Inovasi teknologi pertanian adalah suatu pembaruan metode penerapan paket atau komponen teknologi sistem usaha tani dengan mempertimbangkan aspek kelestarian sumberdaya (Utomo 1989). Menurut Rustiadi et al. (2008) perencanaan suatu perkotaan seyogyanya tidak hanya dipenuhi oleh simbol-simbol kekuatan ekonomi saja, tetapi berisikan simbol-simbol kekuatan sosio-kultural dan pemerintahan. Disisi lain, keserasian antara simbol kegiatan masyarakat dengan simbol-simbol lingkungan termasuk unsur pertaniannya akan menciptakan suasana yang ”harmonis” serta ”nyaman” bagi warga perkotaan. Berdasarkan pengertian dan batasan di atas, maka pengembangan pertanian di wilayah perkotaan merupakan suatu sistem tersendiri. Jika dilihat dari sudut pandang pengelolaan sumberdaya alam, maka perkotaan merupakan suatu ekosistem yang “unik” karena terdapat beraneka ragam hayati dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik biofisik, sosial, fungsi-fungsi ekologi dan manusia itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut dan hasil penelitian ini, maka dapatlah didefinisikan atau diberi batasan sebagai berikut; pertanian perkotaan adalah “segala aspek kegiatan budidaya pertanian pangan dan non pangan di wilayah perkotaan yang dicirikan usaha tani lahan sempit, intensif, akses informasi pasar dan teknologi terjamin dengan optimalisasi produksi, produktivitas lahan dan ruang, diterima secara sosial dan memberikan nilai tambah penghasilan masyarakat serta mendukung lingkungan secara berkelanjutan”.
18
2.2. Pengembangan Pertanian Perkotaan Untuk keberhasilan rancangan, penanaman tanaman dan kelestariannya maka sifat dan ciri serta kriteria (a) arsitektural dan (b) hortikultural tanaman dan vegetasi yang sifatnya produksi pertanian harus menjadi bahan pertimbangan dalam menseleksi jenis tanaman yang akan dikembangkan. Jenis usaha tani, luas serta sebaran penggunaan lahan dan ruang yang ada sangat penting diketahui guna pengembangan yang tepat (Djaenuddin et al. 2003). Menurut Amien (1996), hasil evaluasi penggunaan lahan dan ruang dapat memberikan gambaran tentang penggunaan pada saat sekarang (present land use) dan sangat penting artinya karena menyangkut luasan areal, penyimpangan batasan penggunaan lahan, terjadinya tumpang tindih, dan sebagainya. Surono
(2004)
melaporkan,
terdapat
kecenderungan
pertumbuhan
permintaan produk organik di kota-kota besar di Indonesia hingga 10 % per tahun. Hal tersebut ditunjukkan oleh peningkatan jumlah supermarket, outlet, dan model pemasaran alternatif produk organik. Sementara itu, pemenuhan produk organik baru mencapai 0,5–2% dari total produk pertanian (Prawoto et al. 2005). Budidaya sayuran secara organik akan menghasilkan produk yang lebih berkualitas dan bernilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan hasil budidaya secara konvensional (BioCert 2006). Menurut Sastro et al. (2009), budidaya sayuran sistem hidroponik organik dipercaya merupakan salah satu terobosan yang dapat ditempuh guna meningkatkan kuantitas dan kualitas serta daya saing produk sayuran yang dihasilkan petani di DKI Jakarta. Sistem hidroponik diharapkan dapat mengatasi keterbatasan lahan pertanian yang ada, sedangkan sistem budidaya organik dipercaya dapat meningkatkan daya saing produk sayuran yang dihasilkan. Menurut Barus dan Syukri (2008), hortikultura adalah ilmu dan seni bercocok tanam yang memerlukan pemeliharaan khusus, serta bercocok tanam tersebut dilakukan di kebun atau pekarangan, baik di pedesaan dan perkotaan. Pekarangan yang disebut compound garden atau mixed garden, yang didenfinisikan sebagai sebidang tanah darat yang terletak langsung di sekeliling rumah dengan batas-batas yang jelas, serta umumnya ditanami berbagai jenis tanaman. Ilmu hortikultura mencakup aspek produksi dan penanganan pasca panen yaitu: teknologi perbanyakan, penanaman, pemeliharaan, serta pasca panen. Luas lahan pertanian
19
untuk lahan tanaman hortikultura di dunia adalah sangat kecil bila dibandingkan dengan luas lahan tanaman lain seperti serealia (biji-bijian) yaitu kurang dari 10%. Hal tersebut disebabkan oleh komoditas hortikultura yaitu: (1) lemahnya modal usaha, (2) rendahnya pengetahuan. (3) harga produk hortikultura sangat berfluktuasi, sehingga resiko besar, (4) umumnya prasarana transportasi kurang mendukung, dan (5) belum berkembangnya agroindustri yang memanfaatkan hasil tanaman hortikultura sebagai bahan baku. Pertanian perkotaan sebenarnya memiliki multi fungsi yang sebagian masyarakat sering dianggap biasa (taken for grated) (Sawio 1998). Multi fungsi pertanian perkotaan adalah (1) produksi pertanian (pangan dan non pangan), (2) pengelolaan ruang terbuka hijau, (3) produksi/konsumsi energi panas, (4) daur ulang CO2, (5) udara segar dan ketenangan (6) pandangan terbuka-amenity, (7) pendidikan, (8) peluang lapangan kerja, (9) pengelolaan air (kuantitas dan kualitas), (10) rekreasi, (11) daur ulang limbah padat dan cair, (12) urban planning reserve, dan (13) estetika perkotaan. Berdasarkan karakteristik potensi, peluang, resiko serta multifungsi pertanian perkotaan, maka alternatif model-model usaha (dalam konteks pertanian perkotaan) yang patut dipertimbangkan untuk kegiatan masyarakat (COAG/FAO 1999) adalah; (1) usaha produksi benih/bibit, (2) usaha penyemaian/nursery, (3) usaha penyewaan tanaman hias, (4) usaha pembuatan bonsai, (5) usaha bunga potong dan bunga pot, (6) usaha tanaman buah dalam pot, (7) usaha sayuran lahan sempit terbuka, (8) usaha sayuran dalam rumah kaca dan plastik, (9) usaha sayuran dalam media terbatas, (10) usaha sayuran semi hidroponik, (11) usaha sayuran hidroponik, (12) usaha sayuran organik, dan (13) usaha tanaman buah tahunan. Pengembangan tanaman penghijauan; hal ini dapat dilakukan pada lahan atau lokasi publik dan privat, seperti pembangunan hutan kota, pembangunan ruang hijau pertamanan kota, ruang hijau rekreasi kota, ruang hijau stadion olah raga, ruang jalur hijau (green belt) sungai dan jalan (Nurisyah 2005), ruang hijau taman hutan raya, ruang hijau hutan lindung, dan ruang hijau areal penggunaan lain di wilayah perkotaan. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengembalikan kondisi lingkungan perkotaan yang rusak adalah dengan pembangunan RTH yang mampu memperbaiki keseimbangan ekosistem perkotaan. Upaya ini bisa dilakukan dengan
20
cara membangun hutan dan taman-taman kota (lahan publik) dan di lahan privat yang produktif pertanian (pekarangan pada permukiman penduduk) yang memiliki beraneka ragam manfaat sebagai “identitas kota” dan nilai estetika. Pengembangan tanaman penghijauan dengan RTH produktif seperti pengembangan hortikultura tanaman tahunan dan tanaman musiman yang dapat memberikan nilai tambah kepada masyarakat perkotaan. Tanaman penghijauan ini merupakan penyerap gas karbon dioksida yang cukup penting. Kita ketahui, bahwa cahaya matahari akan dimanfaatkan oleh semua tumbuhan, baik hutan kota, hutan alami, tanaman pertanian dan lainnya dalam proses fotosintesis yang berfungsi untuk mengubah gas karbon dioksida dengan air menjadi karbohidrat (C6H12O6) dan oksigen (O2). Proses kimia pembentukan karbohidrat (C6H12O6) dan oksigen (O2) adalah 6CO2 + 6H2O + Energi dan klorofil menjadi C6H12O6 + 6O2. Proses fotosintesis sangat bermanfaat bagi manusia. Pada proses fotosintesis dapat menyerap gas yang bila konsentarasinya meningkat akan beracun bagi manusia dan hewan serta akan mengakibatkan efek rumah kaca. Di lain pihak proses fotosintesis menghasilkan gas oksigen yang sangat diperlukan oleh manusia dan hewan. 2.3. Pertanian Berkelanjutan Berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH), pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini, dan generasi masa depan. Konsep pertama pembangunan berkelanjutan dirumuskan dalam Brundtland Report yang merupakan hasil kongres Komisi Dunia Mengenai Lingkungan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa: “Pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan yang mewujudkan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mewujudkan kebutuhan mereka” (WCED 1987). Ada dua hal yang secara implisit menjadi perhatian dalam konsep Brundtland tersebut, yaitu Pertama, menyangkut pentingnya memperhatikan kendala sumberdaya alam dan lingkungan terhadap pola pembangunan dan konsumsi dan Kedua, menyangkut perhatian pada kesejahteraan (well being) generasi yang akan datang.
21
Konsep pertanian berwawasan lingkungan adalah agroekologi merupakan studi agroekosistem yang holistik, termasuk semua elemen lingkungan dan manusia. Fokusnya adalah pada bentuk, dinamika dan fungsi hubungan timbal balik antar unsur-unsur tersebut serta proses dimana seluruh elemen terlibat (Reijntjes et al. 1992). Perencanaan suatu perkotaan seyogyanya tidak hanya dipenuhi oleh simbolsimbol kekuatan ekonomi saja, tetapi berisikan simbol-simbol kekuatan sosiokultural, pemerintahan. Disisi lain, keserasian antara simbol kegiatan masyarakat dengan simbol-simbol lingkungan akan menciptakan suasana yang ”harmonis” serta ”nyaman” bagi warga perkotaan. Ekosistem perkotaan dapat dibagi menjadi empat ruang (compartment) secara berimbang, yaitu ruang sistem produksi, ruang sistem perlindungan, ruang sistem serbaguna dan ruang sistem industri perkotaan. Untuk implementasi konsep ruang tersebut diperlukan prosedur zonasi lanskap (Rustiadi et al. 2008). Menurut Munasinghe (1993), beberapa kalangan meringkas tujuan-tujuan pembangunan yang terbagi dalam tiga tujuan, yaitu tujuan ekonomi, sosial dan ekologi. Dari berbagai pendekatan, dapat disimpulkan tiga tujuan pembangunan, yaitu (1) produktivitas, efisiensi dan pertumbuhan (growth), (2) pemerataan keadilan dan keberimbangan (equity), dan (3) keberlanjutan (sustainability). Reijntjes et al. (1992), menyebutkan bahwa pertanian berkelanjutan harus memenuhi beberapa indikator antara lain; (1) mantap secara ekologis, bahwa kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan dari manusia, tanaman, hewan sampai organisme tanah ditingkatkan. Hal itu akan terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman, hewan dan masyarakat dipertahankan melalui proses biologi (regulasi sendiri). Sumberdaya lokal dipergunakan sedemikian rupa sehingga kehilangan unsur hara, biomassa dan energi bisa ditekan serendah mungkin serta mampu mencegah pencemaran. Tekanannya adalah pada penggunaan sumberdaya yang dapat diperbaharui. (2) berlanjut secara ekonomis, bahwa petani bisa cukup menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dan atau pendapatan sendiri serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan. Keberlanjutan ekonomis dapat diukur dari produk usaha tani yang langsung namun juga dalam hal fungsi melestarikan sumberdaya alam dan meminimalkan resiko. (3) adil, bahwa sumberdaya alam dan kekuasaan di
22
distribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin. Semua orang memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam pengembilan keputusan, baik di lapangan maupun di masyarakat. (4) manusiawi, bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan dan manusia) dihargai. Martabat dasar semua makhluk hidup dihormati dan hubungan serta institusi menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar, sperti kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama dan rasa sayang. Integritas budaya dan spritualitas masyarakat dijaga dan dipelihara. (5) luwes, bahwa masyarakat pedesan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usaha tani yang berlangsung terus seperti pertambahan jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar dan lain-lain. Hal ini meliputi bukan hanya pengembangan tekhnologi yang baru dan sesuai, namun juga inovasi dalam arti sosial dan budaya. Konsep pembangunan pertanian berkelanjutan mencakup 3 komponen utama yakni : (1) integritas lingkungan; (2) efisiensi ekonomi dan (3) keadilan kesejahteraan (Kay dan Alder 1999). Sistem pertanian berkelanjutan (SPB) terdiri atas praktek-praktek ekologi (kebutuhan lingkungan dan didasarkan atas prinsipprinsip ekologi), tanggung jawab sosial (pemberdayaan masyarakat, kesamaan sosial dan kesehatan, kesejahteraan penduduk) dan semangat ekonomi (ketahanan pangan, kelayakan ekonomi dan bernuansa teknologi). Pengertian dan pendekatan tersebut menunjukkan bahwa sistem pertanian berkelanjutan harus dapat memenuhi indikator dari berbagai aspek (Trupp 1996). Indikator sistem pertanian berkelanjutan adalah pendapatan masyarakat petani yang cukup tinggi, tidak menimbulkan kerusakan dan dapat dikembangkan dengan sumberdaya yang dimiliki petani. Sistem pertanian berkelanjutan akan terwujud, hanya apabila lahan digunakan untuk sistem pertanian yang tepat. Bila lahan tidak digunakan secara tepat, produktifitas akan cepat menurun dan ekosistem mengalami kerusakan. Penggunaan lahan yang tepat selain menjamin bahwa lahan memberikan mamfaat untuk pemakai saat ini, juga menjamin bahwa sumberdaya akan bermanfaat untuk generasi penerus di masa mendatang. Dengan mempertimbangkan keadaan agroekologi, penggunaan lahan berupa sistem produksi tanaman yang tepat dapat ditentukan (Puslittanak 1999).
23
Keberlanjutan sistem usaha tani bergantung pada 3 karakteristik utama, yaitu kemampuan untuk mengendalikan kehilangan tanah, efektifitas dalam meningkatkan pendapatan petani dan secara sosial agroteknologi yang digunakan harus dapat diterima dan dapat diterapkan (acceptable dan replicable) dengan sumberdaya yang ada, termasuk pengetahuan, keterampilan dan persepsi petani (Sinukaban 2007). Menurut Sabiham (2005), ciri utama penggunaan lahan berkelanjutan adalah berorientasi
jangka
panjang,
dapat
memenuhi
kebutuhan
saat
ini
tanpa
mengorbankan potensi untuk masa datang, pendapatan per kapita meningkat, kualitas lingkungan dapat dipertahankan atau bahkan dapat ditingkatkan, mempertahankan produktifitas dan kemampuan lahan serta mempertahankan lingkungan dari ancaman degradasi. Lanjut mengemukakan bahwa, pertanian berkelanjutan harus pula di indikasikan dengan tidak terjadinya kerusakan lingkungan. Kondisi ini memerlukan teknologi tepat guna, kebijakan dan pengelolaan sumberdaya yang sesuai dengan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah. 2.4. Kebijakan Pengembangan Pertanian Berdasarkan Undang-Undang No. 26/2007 tentang penataan ruang, dimana perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi, sedangkan wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan aspek fungsional. Namun dalam Undang-Undang No. 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH), lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan prilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan peri kehidupan, dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain. Oleh sebab itu penataan ruang (RTRW) disesuaikan pendayagunaan sumberdaya lahan aktual, khususnya untuk pengembangan RTH pertanian perkotaan, yang pada akhirnya memberikan “kontribusi” menyeimbangkan dengan pembangunan non pertanian, pada gilirannya diharapkan terjadi keseimbangan, kesesuaian dan keselarasan antara pembangunan fisik/sarana dan pembangunan pertanian.
24
Menurut Anderson (1984), kebijakan adalah kegiatan yang dipilih secara sengaja oleh aktor tertentu atau sekelompok aktor dalam mengatasi suatu masalah. Kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh lembaga pemerintah dan pejabatnya. Dari berbagai definisi kebijakan baik yang sederhana maupun yang kompleks oleh Djoko et al. (2003) menyimpulkan, kebijakan adalah cara atau tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah pembangunan tertentu atau untuk mencapai tujuan pembangunan tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi, perencanaan maupun implementasinya di lapangan dengan menggunakan instrumen tertentu. Di beberapa wilayah Jerman, pemerintah kota mengeluarkan regulasi yang mengharuskan bangunan industri baru memiliki atap hijau dari materi tanaman. Juga kota-kota Swiss yang mengharuskan konstruksi baru untuk merealokasi ruang terbuka hijau yang hilang akibat pembangunan konstruksi tersebut ke bagian atap bangunan baru (Braatz 1993). Sebagai contoh di Dar es Salaam, Tanzania merupakan salah satu kota yang memiliki legislasi paling lengkap mengenai pertanian perkotaan di Afrika (Sawio 1998). Partisipasi publik yang tinggi melalui survey multistakeholders dan lokakarya partisipatif ditempuh secara regular untuk menyusun prioritas perbaikan legislasi tersebut serta pelaksanaannya (enforcement) dilapangan. Dalam Undang-Undang No. 26/2007 tentang penataan ruang, bahwa ruang terbuka hijau (RTH) dipersyarakatkan 30% keberadaannya dari luas wilayah perkotaan, RTH adalah area memanjang jalur dan mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. ruang terbuka hijau di perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Dalam upaya mempertahankan sektor pertanian, baik sebagai fungsi produksi yang menghasilkan berbagai produk pertanian yang berkualitas, maupun fungsi lingkungan sebagai ruang terbuka hijau, maka Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta telah mencanangkan berbagai kebijakan. Kebijakan tersebut diantaranya
25
dituangkan dalam bentuk peraturan daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta No. 8/2004 tentang mutu dan keamanan komoditas hasil pertanian di Provinsi DKI Jakarta. Salah satu poin penting dari Perda tersebut adalah kebijakan pengembangan produksi sayuran bersih dan ramah lingkungan, diantaranya dengan menggunakan pendekatan teknologi hidroponik sebagai alat capaiannya. Pola pendekatan tersebut di atas, diharapkan akan dapat memenuhi kriteria spesifik pertanian perkotaan yang memiliki keterbatasan lahan, namun demikian efektif, produktif, bermutu, bernilai tambah tinggi, serta dapat meningkatkan ketersediaan pangan dan gizi masyarakat dalam jumlah yang cukup dengan harga terjangkau.
2.5. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model Sistem berarti susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya dengan kata lain bahwa sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri atas bagian-bagian, saling terkait satu sama lain yang berusaha untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks (Marimin 2004). Hartrisari (2007) mendefinisikan sistem sebagai kumpulan elemen-elemen yang saling terkait dan terorganisasi untuk mencapai tujuan. Selanjutnya Chechland (1981) sistem merupakan sekumpulan atau kombinasi elemen yang saling berkaitan membentuk sebuah kesatuan yang kompleks. Sistem terdiri atas: komponen, atribut dan hubungan yang dapat didefinisikan sebagai berikut: (1) komponen adalah merupakan bagian-bagian dari sistem yang terdiri atas input, proses dan output. Setiap komponen sistem mengansumsikan berbagai nilai untuk menggambarkan pernyataan sistem sebagai seperangkat aksi pengendalian atau lebih sebagai pembatasan. Sistem terbangun atas komponen-komponen, komponen tersebut dapat dipecah menjadi komponen yang lebih kecil. Bagian komponen yang lebih kecil tersebut disebut dengan subsistem, (2) atribut adalah sifat-sifat atau manifestasi yang dapat dilihat pada komponen sebuah sistem. Atribut tersebut mengkarakteristikkan parameter sebuah sistem, (3) hubungan merupakan keterkaitan di antara komponen dan atribut. Menurut Chechland (1981), ada beberapa persyaratan dalam berfikir sistem (system thinking), di antaranya adalah (1) holistik tidak parsial; system thinkers harus berfikir holistik tidak reduksionis; (2) Sibernetik (goal oriented); system thinkers harus mulai dengan berorientasi tujuan (goal oriented) tidak mulai dengan orientasi
26
masalah (problem oriented); (3) efektif; dalam ilmu sistem erat kaitannya dengan prinsip dasar manajemen, dimana suatu aktivitas yang mentransformasikan input menjadi output yang dikehendaki secara sistematis dan terorganisasi guna mencapai tingkat efektif dan efisien. Jadi dalam ilmu sistem, hasil harus efektif dibandingkan dengan efisien; ukurannya adalah cost effective bukan cost efficient. Akan tetapi akan lebih baik lagi apabila hasilnya efektif dan sekaligus juga efisien. Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis (Marimin 2004). Menurut Eriyatno (2003), karena pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru yang dikenal sebagai pendekatan sistem (system approach). Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Pendekatan ini semakin diperlukan karena permasalahan yang dihadapi saat ini tidak lagi sederhana dan dapat menggunakan peralatan yang menyangkut satu disiplin saja, tetapi memerlukan peralatan yang lebih kompehensif, yang dapat mengidentifikasi dan memahami berbagai aspek dari suatu permasalahan dan dapat mengarahkan pemecahan secara menyeluruh (Marimin 2004). Keunggulan pendekatan sistem antara lain: (1) pendekatan sistem diperlukan karena makin lama makin dirasakan interdependensinya dari berbagai bagian dalam mencapai tujuan sistem, (2) sangat penting untuk menonjolkan tujuan yang hendak dicapai dan tidak terikat pada prosedur koordinasi atau pengawasan dan pengendalian itu sendiri, (3) dalam banyak hal pendekatan manajemen tradisional seringkali mengarahkan pandangan pada cara-cara koordinasi dan kontrol yang tepat, seolah-olah inilah yang menjadi tujuan manajemen, padahal tindakan-tindakan koordinasi dan kontrol ini hanyalah suatu cara untuk mencapai tujuan, dan harus disesuaikan dengan lingkungan yang dihadapi, (4) konsep sistem terutama berguna sebagai cara berfikir dalam suatu kerangka analisa yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuannya.
27
Menurut Eriyatno dan Sofyar (2007), mengkaji kompleksitas dari suatu perihal di dunia nyata diperlukan suatu metodologi yang secara filosofis dapat memberikan pedoman guna bertindak (action oriented) untuk menyiapkan informasi yang relevan pada kebijakan yang harus ditetapkan (policy research). Metode yang bersifat reduksi seperti linearisasi, permodelan yang statis, dan pengurangan faktor, sangat tidak efektif dalam menelaah sistem yang kompleks Model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia riil atau nyata yang akan bertindak seperti sistem dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu. Menurut Eriyatno (2003), model merupakan suatu abstraksi dari realitas yang akan memperlihatkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta timbal balik atau hubungan sebab akibat. Suatu model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang dikaji. Biasanya model dibangun untuk tujuan peramalan (forecasting) dan evaluasi kebijakan, yaitu menyusun strategi perencanaan kebijakan dan memformulasikan kebijakan (Tasrif 2004). Perilaku dinamis dalam model dapat dikenali dari hasil simulasi model. Simulasi model terdiri atas beberapa tahap, yaitu penyusunan konsep, pembuatan model, simulasi dan validasi hasil simulasi. Model dapat dinyatakan baik bila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Pengelolaan sumberdaya alam memerlukan pengembangan konsep yang bersifat interdisiplin dan interaktif. Pendekatan berpikir sistem dapat memberikan informasi yang lebih baik bagi pengelola atau pemegang kebijakan untuk mempelajari kompleksitas. Metode berpikir sistem menyediakan pengetahuan tentang sebuah mekanisme untuk membantu pengelola sumberdaya dan pemegang kebijakan dalam mempelajari hubungan sebab dan akibat dari proses yang berlangsung, mengidentifikasi permasalahan utama dan mendefinisikan tujuan yang ingin dicapai (Gao dan Nakamori 2003). Menurut Costanza dan Ruth (1998), sistem sumberdaya alam bersifat kompleks dan dinamis. Berbagai perubahan berlangsung secara terus menerus dan sulit untuk di prediksi. Pendekatan yang kolaboratif lintas disiplin merupakan kekuatan untuk menciptakan hubungan antara ilmu pengetahuan sumberdaya alam, manajemen dan kebijakan.
28
2.6. Tinjauan Terhadap Hasil Penelitian Terdahulu Hasil penelitian dan kajian terdahulu menunjukkan bahwa pertanian perkotaan secara umum masih terbatas pada penelitian dan kajian secara parsial terhadap komoditas, teknologi dan sumberdaya serta metodenya. Penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian dan kajian terdahulu yang merupakan rujukan dan membandingkan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Peneliti dan topik, metode, hasil penelitian/pengkajian terdahulu. No
Peneliti dan Topik
1.
Aminah et al. (2005). Kajian Teknologi Pengembangan Sampah Organik Kota. (Pupuk dan Media Tanam)
Metode Analisis
Hasil Penelitian/Kajian
Metode dan 1. Melalui proses pengomposan analisis adalah sampah organik dapat tereduksi dengan; sekitar 18–20%. Kondisi ini teknologi merupakan peluang bagi sektor pengomposan, pertanian untuk memanfaatkan teknologi hasil daur ulang sampah organik pembuatan kota sebagai sumber organik bagi pupuk dan tanaman atau pupuk organik dan media, dan media tanam. inovasi 2. Bahwa kandungan nilai hara pada teknologi kompos sampah kota masih efektivitas pupuk tergolong rendah, oleh karena itu dan media tanam. dalam pengembangannya harus melalui proses pengkayaan (enrichment) dengan sumber hara lain seperti cocopeat. 3. Uji efektivitas pupuk dan media kompos sampah kota terhadap tanaman dilakukan pada tanaman sayuran daun (sawi, kangkung dan selada). Media tanam kompos yang ditambahkan cocopeat dan batuan fosfat memberikan hasil terbaik pada pertumbuhan tanaman sawi pada komposisi kompos + cocopeat dengan perbandingan 3 : 1 + 5% batuan fosfat, sedangkan tanaman kangkung diperoleh hasil terbaik pada komposisi kompos + cocopeat dengan perbandingan 1 : 1 + 5% batuan fosfat dengan umur panen tidak lebih dari 25 hari.
29 Tabel 1. (Lanjutan) 2.
Bakrie et al. (2005). Pengembangan Model Kredit Agribisnis Usaha Mikro-Mandiri (KAUM-Mandiri) Untuk Kegiatan Agribisnis Itik Petelur di DKI Jakarta.
Metode analisis deskriptif kualitatif,
3.
Sugiartini et al. (2007). Kajian Teknologi Pemupukan dalam Pengelolaan Tanaman Belimbing di Jakarta Selatan.
Metode analisis dengan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 5 macam perlakuan
1. Hasil pengkajian ditetapkan jumlah dan kebutuhan terhadap pupuk Urea, KCl dan TSP sesuai rekomendasi. Hasil analisa tanah, menunjukkan bahwa status kesuburan tanah pada masing-masing lokasi pengkajian, rata-rata dalam kondisi rendah. 2. Hasil analisa tanah, dapat diinformasikan bahwa lokasi kegiatan disarankan untuk pemberian pupuk Urea berkisar 500 s/d 750 kg/ha/thn. Sedangkan Kebutuhan TSP dan KCl, berkisar antara 500 s/d 1000 kg/ha/thn. 3. Kebutuhan pupuk untuk perpohon adalah Urea dan TSP berkisar antara 1.12 - 3.15 kg/phn/thn, sedangkan kebutuhan KCl berkisar antara 2.25 3.68 kg/phn/thn. Dengan teknologi pengelolaan yang baik sesuai anjuran dapat meningkatkan produksi tanaman belimbing yang lebih tinggi sebesar 28,255 kg/pohon/tahun.
4.
Sulaiman et al. (2006). Analisis Kebijakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Lahan Sawah di Propinsi DKI Jakarta.
Metode analisis deskriptif kualitatif, dan analisis konten.
5.
Sampeliling et al. (2007). Kajian Sumberdaya dan Kesesuaian Pengembangan Pertanian Perkotaan Metode Analisis Zona Agro Ekosistem(AEZ)
Metode analisis EKL dengan “sistem matriks” dan macthing serta interpretasi.
1. Memperkecil peluang terjadinya konversi lahan pertanian (sawah) dan pengendaliannya serta lahan sawah eksisting dilindungi. 2. Revisi Perda tentang RTRW sesuai dengan Undang-undang berlaku. 3. Instrumen insentif dan disinsentif bagi pemilik lahan pertanian. 1. Peta arahan pengembangan komoditas pertanian Skala 1 : 10.000 pada wilayah Kecamatan Cilincing Jakarta Utara. 2. Kesesuaian lahan usaha tani rata-rata pada kategori S3, sehingga perlu input inovasi teknologi yang tepat guna berbasis agribisnis dan berwawasan lingkungan.
Analisis uji kelayakan, sekeksi (screening) menjadi anggota KAUMMANDIRI
1. Kelembagaan KAUM-Mamdiri merupakan modifikasi dari kelembagaan Karya Usaha Madiri (KUM) yang berperan sebagai ajang pendampingan penerapan teknologi. 2. Lembaga keuangan mikro dengan kegiatan sebagai saluran menerima dana, jasa pinjaman kredit serta tabungan kelompok dalam mengelolah usaha tani.
30 Tabel 1. (Lanjutan) 3. Usaha tani diarahkan pada komoditas varietas ciherang untuk padi sawah, sedangkan komoditas mangga, jambu air, itik petelur untuk dipekarangan penduduk, ikan mas di sawah dan kolam, kambing di tegalan, bakau api-api untuk konservasi mengrove pesisir, sayuran daun/buah di tegalan dan pekarangan rumah, tanaman perhutanan fisiografi berdaun rimbun dan lebar seperti cemara untuk jalur hijau jalan-jalan utama serta tanaman hias berdaun indah. 6.
Sampeliling et al. (2008). Kajian Mengenai Kesesuaian Pengembangan Sumberdaya Pertanian Perkotaan di DKI Jakarta
Metode analisis EKL dengan “sistem matriks” dan macthing serta interpretasi.
1. Peta arahan pengembangan komoditas pertanian Skala 1 : 10.000 pada wilayah Kecamatan Kermbangan Jakarta Barat. 2. Penerapan teknologi oleh para petani masih pada kategori sedang, untuk pengembangan tanaman hias, modal usaha dan unsur pembinaan. dilapangan masih relatif kurang. 3. Wilayah Kecamatan Kembangan Jakarta barat memiliki potensi lahan sistem pertanian pengembangan agribisnis tanaman hias, anggrek dan merupakan basis tanaman hias untuk wilayah DKI Jakarta.
Indrasti et al.(2007). Kajian Pemanfaatan Limbah Sayuran dan Buah-buahan Sebagai Pupuk Organik Cair dan Pakan Ternak.
Metode analisis deskriptif kualitatif.
1. Secara teknis dan finansial, limbah sayuran dan buah-buahan layak untuk dijadikan sebagai pupuk organik cair dan bahan padatan pakan ternak. 2. Teknologi pengolahan limbah sayuran dan buah-buahan tersebut dapat menjadi salah satu pilihan dalam mendukung program pengembangan pertanian organik, khususnya sayursayuran, dan pengembangan peternakan di DKI Jakarta
Sulaiman et al. (2007). Pengembangan Lembaga Pembiayaan dalam Mendukung Kegiatan Agribisnis Agribisnis Perkotaan di Provinsi DKI Jakarta
Metode analisis 1. Mayoritas petani (88,9%) menyatakan dengan deskriftif kelompok tani mempunyai peran kualitatif melalui dalam pengembangan usahanya. pengungkapan 2. Semua (100%) anggota kelompok tani keragaman, menyatakan membutuhkan permasalahan dan penambahan modal dari lembaga persepsi responden pembiayaan dalam upaya terhadap berbagai pengembangan usahanya. aspek yang dikaji. 3. Hampir semua (100%) anggota kelompok tani menyatakan setuju untuk mendirikan dan mengembangkan LKM-A.
(Agro Ekosistem Wilayah Kecamatan Kembangan)
7.
8.
Analisis ekonomi secara finansial guna indikator R/C ratio
31 Tabel 1. (Lanjutan) 9.
Bakrie et al. (2007). Upaya Peningkatan Produktivitas Usaha Tani Tanaman Hias Dalam Mendukung Agrowisata (Prima Tani Kecamatan Kembangan Jakarta Barat)
10. Suwandi et al. (2008). Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Sayuran Secara Hidroponik di DKI Jakarta.
Metode analisis dengan deskriftif kualitatif dan Baseline Survey dan pembinaan Gapoktan.
1. Kegiatan pembinaan tersebut meliputi pengaktifan kembali 3 kelompok tani lama (Srikandi, Euphorbia dan Villa Meruya), serta penguatan 3 kelompok tani yang baru dibentuk (Tunggal Mulia, Kompakta dan Mawar). 2. Dalam kegiatan pembuatan pupuk organik cair berasal dari limbah kandang kambing, maka telah berhasil dilakukan pengukuran jumlah urine dan feses dari kambing yang dipelihara di wilayah ini. Diperoleh hasil bahwa rataan jumlah urine yang diproduksi oleh kambing adalah 953,88 ml/ekor/hari, sedangkan jumlah feses segar yang dapat dihasilkan adalah sebanyak 359,7 g/ekor/hari.
Metode analisis dengan deskriftif kualitatif dan Analisis konten (Perda Nomor 8 Tahun 2004 dan Perda Nomor 1 Tahun 2008)
a. Pengembangan budidaya sayuran menggunakan sistem hidroponik, sebagaimana diinisiasi dengan pengembangan Hydroponic Center di Cilangkap dan Sukapura dapat dapat menjadi titik tolak pengembangan di tingkat masyarakat. (khususnya Perda Nomor 8 tahun 2004 dan Perda Nomor 1 tahun 2008). b. Manajemen budidaya meliputi sistem pembibitan, teknik budidaya, pemilihan komoditas, hingga penanganan panen dan pascapanen yang digunakanuntuk masyarakat, baik masyarakat tani maupun masyarakat umum di DKI Jakarta.
11.
Sastro et al. (2009). Peran Pupuk Limbah Cair Peternakan Sapi Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Sawi, Selada, dan Kangkung di Kec. Jagakarsa Jakarta Selatan
Metode analisis varian dan dilanjutkan menggunakan Uji Duncan Multiple Range Test pada taraf uji 5%
1. Persentasi pengaruh pemberian pupuk limbah cair peternakan sapi terhadap pengaruh pupuk NPK pada parameter pertumbuhan sawi, selada, dan kangkung berturut-turut mencapai 108, 100, dan 102%, sedangkan parameter hasil tanaman berturut-turut 95, 87, dan 61% 2. Pupuk limbah cair peternakan sapi dapat dijadikan pengganti pupuk NPK dalam sistem budidaya sawi, selada, dan kangkung secara organik dengan kualitas hasil panen serta harga yang kemungkinan lebih baik dibandingkan dengan sistem budidaya konvensional menggunakan pupuk kimia.
32 Tabel 1. (Lanjutan) 12.
13.
Bakrie et al. (2008). Implementasi Teknologi Perbanyakan Bibit, Pemupukan dan Pengendalian HPT pada Tanaman Hias Berdaun Indah di Kecamatan Kembangan Jakarta Barat
Metode analisis dengan deskriptif kualitatif dan Analisis finansial usaha tani.
Winarto et al. (2010). Aplikasi 2,4-D dan TDZ dalam Pembentukan dan Regenerasi Kalus pada Kultur Anther Anthurium
Metode penelitian laboratorium. Analisis dengan Rancangan acak lengkap pola faktorial dengan empat ulangan.
1. Jenis teknologi penyiraman telah diintroduksikan kepada petani tanaman hias, yaitu: a) teknik penyiraman dengan irigasi tetes yang ditujukan untuk tanaman dewasa dengan maksud untuk menghindari rusaknya bunga. b) penyiraman semprot menggunakan sprinkler untuk tanaman bibit. 2. Jumlah pendapatan dari petani tanaman hias di lokasi prima tani mengalami peningkatan setiap bulan mulai dari bulan Maret 2008 dan angka tertinggi tercapai pada bulan Juli 2008, akan tetapi mulai bulan Agustus sampai Oktober 2008 terjadi penurunan secara terus menerus. Namun demikian secara umum dampak dari dilaksankannya kegiatan Prima Tani di wilayah ini adalah terjadinya peningkatan pendapatan per bulan bagi petani tanaman hias, yaitu rata-rata sebesar 23,2%, dengan peningkatan terendah sebesar 11,7% (Rp 150.000,-) dan peningkatan pendapatan tertinggi sebesar 66,6% (Rp 500.000,-). 1. Kombinsi konsentrasi TDZ 2,4-D dan berpengaruh terhadap regenerasi kalus. 2. Konsentrasi TDZ 2,4-D 0,5 mg/l dan 2,0 mg/l sesuai untuk pembentukan kalus dengan potensi tumbuh anther mencapai 58%, 38% beregenerasi, dan rerata 2,3 anther membentuk kalus per perlakuan. 3. Konsentrasi TDZ 2,4-D 1,0 mg/l dan 0,5 mg/l merupakan kombinasi terbaik untuk meregenerasi kalus menjadi tunas dan menghasilkan 5,3 tunas per eksplan.
33
III. METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini adalah di wilayah DKI Jakarta. Penelitian dilaksanakan mulai Januari 2010 sampai dengan Desember 2011. Pemilihan wilayah DKI Jakarta karena merupakan ibukota negara yang merupakan perkotaan dengan tingkat kompleksitas tertinggi di Indonesia. Faktor ini menjadi penting mengingat dalam hal lahan terbuka perkotaan, masalah polusi dan pencemaran tanah dan air sama pentingnya dengan ketersediaan lahan kegiatan pertanian. Selain itu wilayah DKI Jakarta yang sebagian besar terdiri atas bangunan fisik, faktor estetika dan kenyamanan lingkungan menjadi determinan dalam keberhasilan pembangunan wilayah perkotaan. Dengan memilih lokasi DKI Jakarta, diharapkan konsep model kebijakan yang dihasilkan dapat diterapkan di wilayah perkotaan lain di Indonesia, meskipun tentunya masih memerlukan penyesuaian dari aspek ekologi dan sosial, ekonomi, kelembagaan dan teknologi spesifik lokasi. Peta tematik letak lokasi penelitian tertera pada Gambar 3.
Peta Tematik
Peta Tematik Wilayah DKI Jakarta Wilayah DKI Jakarta
Jakarta Utara
Jakarta Utara Jakarta Barat Jakarta Barat Jakarta Pusat Jakarta Pusat
Timur JakartaTimur
Jakarta Selatan Jakarta Selatan
Lokasi pewakil/ sampel: 1. Kec. Cipayung (Jaktim) 2. Kec. Cilincing (Jakut) 3. Kec. Jagakarsa (Jaksel) 4. Kec. Menteng (Jakpus) 5. Kec. Kembangan (Jakbar) Di Provinsi DKI Jakarta
= Lokasi pewakil Gambar 3. Peta tematik lokasi penelitian (wilayah DKI Jakarta).
34
3.2. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus dengan metode survei secara cepat dan partisipatif dengan pendekatan PRA (participatory rural appraisal) (Badan Litbang 2002). Cakupan penelitian bersifat makro yang dianalisis adalah sistem pertanian perkotaan pada tingkat provinsi di dalam 5 wilayah kota yang dapat merepresentasikan kondisi pertanian DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan sistem. Metode dengan pendekatan sistem terdiri atas tahapan proses, meliputi analisis, rekayasa model, implementasi rancangan, implementasi dan operasi sistem (Fauzi dan Anna 2005). Sistem penunjang keputusan/SPK (Decision Support System/DSS) sebagai suatu sistem interaktif berbasis komputer dapat membantu para pengambil keputusan dalam menggunakan data dan model untuk memecahkan persoalan yang bersifat tidak terstruktur. Cakupan kegiatan penelitian; Penelitian bersifat makro (tingkat agregasi provinsi atau regional). Secara garis besar penelitian mencakup 5 kegiatan utama yaitu: (1) data primer dan sekunder untuk menyusun model tersebut, (2) akuisisi data dan informasi kondisi saat ini wilayah terkait dengan pengembangan pertanian perkotaan, (3) penilaian indeks dan status keberlanjutan sistem pertanian perkotaan dan (4) menganalisis produk-produk kebijakan yang terkait dengan pengembangan pertanian dan implementasinya; (5) penyusunan model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan. Hubungan antara tujuan, peubah yang digunakan, metode analisis data dan keluaran yang diharapkan dalam penelitian terlihat pada Tabel 2. Cakupan Lokasi: Cakupan lokasi penelitian adalah wilayah DKI Jakarta. Pemilihan lokasi pengambilan sampel didasarkan pada keragaman karakteristik dan sebaran lahan/ruang dan potensi dominan pengembangan pertanian yang dapat merepresentasikan kondisi wilayah kota secara umum yang diwakili pada 5 wilayah kecamatan/kelurahan terpilih yakni Jakarta Selatan mengambil kecamatan Jagakarsa, Jakarta Timur mengambil kecamatan Cipayung, Jakarta Pusat mengambil kecamatan Menteng, Jakarta Utara mengambil kecamatan Cilincing dan Jakarta Barat mengambil kecamatan Kembangan. Penentuan lokasi secara purposive dan penentuan responden secara stratified random sampling terhadap responden petani kelompok komoditas tanaman hias, sayuran dan tanaman buah dan pedagang sarana
35
produksi serta petugas lapangan yang ditentukan secara acak pada setiap wilayah pengamatan, sehingga jumlah responden 85 orang, karena kondisi lokasi dan responden diasumsikan relatif homogen pada setiap wilayah. Tabel 2. Tujuan, peubah, teknik analisis data dan keluaran yang diharapkan. Tujuan
Teknik Analisis Data
Peubah
Keluaran yang diharapkan
(1) Menganalisis kondisi saat ini pertanian perkotaan.
Kondisi lahan dan ruang dan RTH produktif, jenis tanaman atau komoditas, air, saprodi, harga, tenaga kerja, total biaya, keuntungan, teknologi (paket dan komponen) sumber modal, kelembagaan, pemasaran, pendapatan dan pengeluaran RT, luasan, suhu, permasalahan dan peluang pengembangan dll.
Analisis deskriptif kualitatif dan Analisis Kesesuaian Lahan/ruang (EKL dan system Matriks)
Kondisi saat ini terhadap bentuk dan pola pengembangan pertanian.
(2) Menganalisis status keberlanjutan pertanian perkotaan
Analisis ordinasi RapUr-Agri. yang dimodifikasi dengan metode Multidimentio nal Scaling (MDS)
Nilai indeks dan status keberlanjutan setiap dimensi dan atribut sensitif.
Aspek ekologi, Aspek ekonomi, Aspek sosial, Aspek kelembagaan,
Aspek teknologi.
(3) Menganalisis produk-produk kebijakan yang terkait dengan pertanian.
Undang-Undang, Perda, Program yang terkait dengan pertanian perkotaan serta Implementasi dan permasalahannya.
Analisis Isi (Content Analysis)
Produk-produk kebijakan dan permasalahan implementasi yang terkait pertanian.
(4) Merumuskan model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan.
Faktor kunci penentu keberlanjutan pertanian perkotaan hasil MDS, judgemnt pakar dan FGD dengan stakeholders.
Analisis Prospektif.
Model, skenario dan arahan kebijakan pengembangan pertanian perkotaan.
3.3. Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan primer yang dipilah dalam 5 (lima) aspek, yaitu aspek ekologi, aspek ekonomi, aspek sosial, aspek kelembagaan, aspek teknologi dan persepsi pakar/stakeholders. Data primer
36
dikumpulkan melalui metode survei dengan teknik in-depth interview menggunakan kuesioner terstruktur. Pengumpulan pendapat pakar dilakukan melalui wawancara menggunakan daftar pertanyaan terhadap 7 responden dan brainstorming atau focus group discussion (FGD) dengan stakeholders. Secara ringkas jenis data, sumber dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis data, sumber dan teknik pengumpulan data sekunder dan primer Jenis data
Sumber data
Teknik Pengumpulan data
Aspek ekologi: luas lahan dan ruang, pekarangan, jenis tanaman dominan, pengembangan, iklim, potensi banjir, kondisi pengairan, kondisi, luas RTH produktif dll
Survei lapangan (klarifikasi data pemetaan komoditas pertanian DKI Jakarta oleh Sampeliling et.al. (2007) dan (2008) dan responden. BPS, Dinas/Instansi terkait, stasiun iklim, publikasi
Desk study, konsultasi (data series) Pengukuran, wawancara dengan kuesioner (PPL, petani dan petugas instansi terkait) dan pengamatan.
Aspek ekonomi: tata niaga pemasaran, harga/bibit, pemberian insentif, produksi, kontribusi pendapatan, modal usaha tani, kelayakan usaha tani, harga sarana produksi, harga produksi, keuntungan komoditas lain.
Survei lapangan dengan responden
Desk study, konsultasi (data series) Wawancara dengan kuesioner (petani, pedagang, PPL, dll) dan pengamatan
Aspek sosial: jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk, jumlah rumah tangga petani, tenaga kerja, pendidikan, penyuluhan, tingkat pengetahuan petani, penguasaan lahan/ ruang, partisipasi kaum ibu.
Survei lapangan dengan responden .
Aspek kelembagaan: kelembagaan tani, efektifitas penataan ruang, aturan pertanian, organisasi pertani kaum ibu, LSM bidang lingkungan, kelembagaan penyuluhan, aksesbilitas petani, peran instansi pemerintah, dll
Survei lapangan dengan responden.
Aspek teknologi: tingkat penerapan teknologi, paket dan komponen teknologi, sistem usaha tani introduksi ramah lingkungan, jenis teknologi, bibit unggul, teknologi pengolahan limbah organik, teknologi pemanfaatan ruang terbangun.
Survei lapangan dengan responden.
BPS, Dinas/ Instansi terkait, publikasi (laporan, jurnal)
BPS, Dinas/ Instansi terkait, publikasi (laporan, jurnal)
BPS, Dinas/ Instansi terkait, publikasi (laporan, jurnal)
BPS, Dinas/ Instansi terkait, publikasi (laporan dan jurnal)
Desk study, konsultasi (data series) dan Wawancara dengan kuesioner (petani, pedagang, PPL, dll). Desk study, konsultasi (data series) dan Wawancara kuesioner (petani, pedagang, PPL, dll).
Desk study, konsultasi (data series), Wawancara kuesioner (petani, pedagang, PPL, dll) dan pengamatan.
37 Tabel 3. (Lanjutan) Persepsi Pakar: terhadap aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, teknologi, pertanian organik dan sistem insentif dan kompensasi serta strategi yang perlu dilaksanakan dalam pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan
Pakar dan stakeholders
Wawancara dan FGD (focus group discussion) dengan mencatat data.
3.4. Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan dengan motode analisis dirinci berdasarkan tujuan dan keluaran yang diharapkan. Tahapan dan metode analisis untuk mencapai tujuan yang diharapkan dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. 3.4.1. Analisis Data Kondisi Saat Ini Analisis data kondisi saat ini dilakukan dengan analisis deskriptif kualitatif. Data yang diperoleh ditabulasi, kemudian disentesis. Analisis data biofisik dilakukan klarifikasi terhadap data pemetaan komoditas pertanian DKI Jakarta (Sampeliling et al. 2007 dan 2008). Analisis finansial usaha tani dan pendapatan rumah tangga terhadap tanaman hias, tanaman produktif tahunan dan sayuran dengan BC ratio atau BEP (Break Even Point) meliputi pendapatan petani selama satu periode tertentu dengan kategori penilaian pada nilai 1 (usaha menguntungkan), nilai = 1 (usaha impas) serta nilai 1 (usaha rugi). Kelayakan usaha tani dengan BEP (break even point) kategori TIP (titik impas produksi) dan TIH (titik impas harga) yang diperoleh petani (Kadariah 1988). Untuk mengetahui masalah penerapan teknologi sistem usaha tani oleh petani, maka dilakukan penilaian terhadap paket dan komponen teknologi pada setiap usahatani dengan nilai rata-rata pada kategori 0 35 65 100 % yaitu : (1) untuk nilai 0 – 35% (kurang), perlu kajian rakitan teknologi diperbaharui; (2) untuk nilai 35 – 65% (sedang), perlu kajian komponen teknologi dilengkapi, dan (3) untuk nilai 65 – 100% (baik), perlu pengembangan diseminasi (Sukatendel 1989; Sampeliling et al. 2002 dan Badan Litbang 2003). Analisis kesesuaian lahan dan komoditas introduksi dengan menggunakan kriteria pada evaluasi lahan komoditas pertanian (Puslitbangtanak 2003), dan dilanjutkan dengan analisis sistem matriks (Sampeliling et al. 2002).
38
Basis Pengetahuan Kebijakan Pemerintah Pendapat Pakar
Status Keberlanjutan Faktor Sensitif Yang Mempengaruhi Pertanian Perkotaan
Faktor Dominan Dari Pakar dan Basis Pengetahuan
Studi Pustaka, PRA; Survei Pakar
Gol yang ingin dicapai Tujuan Penelitian Analisis Keberlanjutan
Analisis Kebutuhan Stakeholder Formulasi Permasalahan
Faktor Dominan dari Stakeholder
Analisis Prospektif
Faktor Dominan dari Pakar dan Stakeholder
Analisis Kebijakan (Content Analysis)
Faktor Kunci Kebijakan Pengembangan Pertanian Perkotaan
(Content Analysis)
Model Kebijakan Pengembangan Pertanian Perkotaan Berkelanjutan
Validasi ValidasiModel Model
Tidak
Ya Ya
Implementasi Model Kebijakan
Gambar 4. Tahapan analisis untuk mencapai tujuan penelitian 3.4.2. Penilaian Indeks dan Status Keberlanjutan Analisis indeks dan status keberlanjutan kondisi saat ini pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta, menggunakan teknik ordinasi Rap-Ur-Agri (Rapid
39
Appraisal for Urban Agriculture), yaitu teknik yang dimodifikasi dari Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries) (Fisheries center 2002). Teknik ordinasi ini menentukan sesuatu pada urutan yang terukur dengan metode Multi Dimensional Scaling (MDS) terhadap pertanian perkotaan. MDS merupakan salah satu metode ”multivariate” yang dapat menangani data metrik (skala ordinal maupun nominal) dan teknik statistik yang mencoba melakukan transformasi multi dimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah (Fauzi dan Anna 2005). Dimensi tersebut adalah ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan dan teknologi yang masing-masing diwakili oleh atribut-atribut atau peubah keberlanjutan. Penentuan atribut pada setiap dimensi mengacu pada indikator keberlanjutan sistem pengembangan pertanian perkotaan (Dale dan Beyeler 2001). Atribut masing-masing dimensi serta kriteria baik dan buruk dengan skor menurut pendapat pakar dan stakeholder yang terkait dengan sistem yang dikaji. Untuk setiap atribut pada masing-masing dimensi diberikan skor yang mencerminkan kondisi keberlanjutan. Rentang skor ditentukan berdasarkan kriteria yang dapat ditemukan dari hasil pengamatan lapang dan data sekunder. Rentang skor berkisar 0-3, tergantung pada keadaan masing-masing atribut, yang diartikan mulai dari buruk sampai baik. Nilai buruk mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan bagi pengembangan, sebaliknya nilai baik mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan dalam analisis ini dikelompokkan ke dalam 4 kategori status keberlanjutan berdasarkan nilai indeks analisis Rap-Insus Landmag (Rapid Appraisal Sustainability Land Managemant) tertera pada Tabel 4. Tabel 4. Kategori indeks keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan berdasarkan nilai indeks analisis Rap-Insus Landmag Nilai Indeks Kategori Status keberlanjutan 00,00 – 25,00 Buruk Tidak berkelanjutan 25,01 – 50,00 Kurang Kurang berkelanjutan 50,01 – 75,00 Cukup Cukup berkelanjutan 75,01 – 100,00 Baik Sangat berkelanjutan Pada ruang atribut dua dimensi ini, sumbu x mewakili derajat keberlanjutan dari buruk sampai baik, sedangkan dimensi lainnya yaitu sumbu y mewakili faktorfaktor lainnya. Penilaian ini dapat diilustrasikan terlihat pada Gambar 5. Buruk 0%
Baik 25%
(unsustainable)
50%
75%
100 % (sustainable)
Keterangan : 50 % batas minimal tidak berkelanjutan
Gambar 5. Posisi titik nilai keberlanjutan pertanian perkotaan DKI Jakarta.
40
Analisis perbandingan keberlanjutan antar dimensi dilakukan, dimana nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi divisualisasikan dalam bentuk diagram layanglayang (kite diagram) terhadap aspek ekologi, aspek ekonomi, aspek kelembagaan, aspek sosial dan aspek teknologi yang digambarkan pada Gambar 6.
Ekologi
Ekonomi 100 80 60 40
Hukum dan Teknologi
Kelembagaan
Ekonomi Ekologi
20 0
Infrastruktur dan
Sosial
Kelembagaan Teknologi
Sosial
Gambar 6. Ilustrasi diagram layang-layang indeks keberlanjutan per dimensi. Pendekatan MDS dalam Rap-Ur-Agri memberikan hasil yang stabil yang telah dimodifikasi dibandingkan dengan metode multivariate analysis yang lain, seperti factor analysis. Dalam MDS, dua titik atau obyek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan. Sebaliknya, obyek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan. Teknik ordinasi atau penentuan jarak di dalam MDS didasarkan pada Eucledian Distance yang dalam ruang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut:
d
x
1
x2
2
y1 y 2
2
z1 z2
2
.......
Konfigurasi dari obyek atau titik di dalam MDS kemudian diproksimasi dengan meregresikan jarak Eucledian (dij) dari titik I ke titik j dengan titik asal (σij) sebagaimana persamaan berikut:
d ij ij Teknik yang digunakan untuk meregresikan persamaan di atas adalah Algoritma ALSCAL, dimana mengoptimalisasikan jarak kuadrat (square distance =
41
dijk) terhadap data kuadrat (titik asal = Oijk), yang dalam tiga dimensi (i, j, k) ditulis dalam formula yang disebut S-Stress sebagai berikut:
s
1 m
m
k 1
2 2 d ijk oijk i j 4 oijk i j
2
Dimana jarak kuadrat merupakan jarak Eucledian yang dibobot atau ditulis: d2
w x r
i
ka
x ja
2
ia
Goodness of fit dalam MDS dicerminkan dari besaran nilai S-Stress yang dihitung berdasarkan nilai S di atas dan R2 (Malhotra 2006). Nilai stress yang rendah menunjukkan good fit, Nilai S yang tinggi menunjukkan sebaliknya. Dalam pendekatan Rap-Fish, model yang baik ditunjukkan dengan nilai stress yang lebih kecil dari 0,25 atau S < 0,25 (Fauzi dan Anna 2005). Nilai R2 yang baik adalah yang nilainya mendekati 1. 3.4.3. Analisis produk-produk kebijakan dan implementasi Analisis
produk-produk
kebijakan
baik
undang-undang,
perturan,
keputusan dan program yang ada kaitan dengan pertanian perkotaan. Metodenya adalah menganalisis substansi atau isi kebijakan, bagaimana implementasi kebijakan dan bagaimana pengendalian kebijakan yang ada dan membandingkan model kebijakan yang dihasilkan dari penelitian tersebut dengan teknik analisis isi (content analysis). 3.4.4. Penyusunan Model Kebijakan Pengembangan Pertanian perkotaan Pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan di DKI Jakarta dilakukan dengan pendekatan sistem berdasarkan kondisi aktual (Adiyoga et al. 2002). Penyusunan model dengan pendekatan sistem pada dasarnya adalah penerapan dari sistem ilmiah dalam manajemen. Metodologi sistem menurut Marimin (2004) pada prinsipnya melalui enam tahapan analisis, meliputi: analisis kebutuhan, identifikasi sistem, formulasi masalah, pembentukan alternatif sistem, diterminasi dari realisasi fisik, sosial politik dan penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan. Hartrisari (2007), tahapan pendekatan sistem dimulai dari analisis kebutuhan, formulasi masalah, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi dan validasi dan implementasi sistem pengembangan pertanian perkotaan.
42
3.4.4.1. Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan merupakan permulaan pengkajian dari suatu sistem (Hartrisari 2007). Pada tahap ini diidentifikasi kebutuhan dari masing-masing pelaku sistem (stakeholders). Stakeholder dan kebutuhan pengembangan pertanian perkotaan terlihat pada Tabel 5. Langkah awal dalam analisis kebutuhan adalah mendata para stakeholder yang terkait dalam penyusunan model yang akan dikaji. Setelah stakeholder teridentifikasi, kemudian dianalisis kebutuhan masing-masing stakeholder dengan teknik Participatory Rural Appraisal (PRA) dan wawancara dengan para pakar untuk mendapatkan faktor dominan kebutuhan stakeholders pertanian perkotaan wilayah DKI Jakarta. 3.4.4.2. Formulasi Masalah Adanya keinginan dan kebutuhan yang berbeda-beda di antara peran stakeholder, akan menimbulkan conflict of interest dalam sistem. Secara umum kebutuhan yang saling kontradiktif dapat dikenali berdasarkan dua hal, yaitu kelangkaan sumberdaya (lack of resources) dan perbedaan kepentingan (conflict of interest). Kebutuhan yang sinergis bagi semua pelaku sistem tidak akan menimbulkan permasalahan
untuk
pencapaian
tujuan
sistem,
karena
semua
pelaku
menginginkan kebutuhan tersebut. Untuk mengidentifikasi kebutuhan stakeholder diperlukan analisis formulasi masalah model pengembangan pertanian perkotaan. Stakeholder dan kebutuhan pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta terlihat pada Tabel 5. 3.4.4.3. Identifikasi Sistem Sistem adalah gugus atau kumpulan dari komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu (Hartisari 2007). Tahap identifikasi sistem mencoba memahami mekanisme yang terjadi dalam sistem. Hal ini dimaksudkan untuk mengenali hubungan antara ”pernyataan kebutuhan” dengan ”pernyataan masalah” yang harus diselesaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah dengan menyusun diagram input-output menggambarkan hubungan antara output yang akan dihasilkan dengan input berdasarkan tahapan analisis kebutuhan dan formulasi permasalahan. Diagram input-output sering disebut diagram kotak gelap (black box), karena diagram ini tidak menjelaskan bagaimana proses yang
43
akan dialami input menjadi output yang diinginkan. Diagram input-output model pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan di wilayah DKI Jakarta terlihat pada Gambar 7. Tabel 5. Stakeholder dan kebutuhan pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta. No.
Stakeholder
Kebutuhan Penataan/estetika lingkungan hidup masyarakat tempat domisili. Menambah hasil masyarakat. Tersedianya sarana produksi yang memadai Tersedianya modal usaha tani Bencana ekologis minimalkan (penurunan muka tanah, kekeringan dan kebakaran) Produktivitas lahan dan ruang tinggi Pendapatan meningkat Kompensasi kehilangan hak-hak yang memadai Kelembagaan petani berjalan baik Pemasaran hasil lancar dengan harga terjamin Kondisi infrastruktur dan estetika baik Kearifan ekologi terjaga
1.
Masyarakat umum
2.
Masyarakat Petani
3.
Pemerintah Pusat dan daerah (BAPPEDA, Diskeltan, BPN, BLHD, Diskop, Diskes, Disnaker)
Penyusunan rencana tata ruang wilayah Kebijakan dan implementasi pertanian perkotaan Sarana dan prasarana dan fasilitas umum serta sosial memadai Konflik sosial dan politik tidak terjadi Pendapatan masyarakat dan PAD meningkat Penyerapan tenaga kerja Tidak terjadi degradasi lahan/ruang Mengurangi pencemaran lingkungan Menambah ruang terbuka hijau (RTH) Jaminan pemasaran hasil
4.
Lembaga Swadaya Masyarakat dan Pemerhati lingkungan hidup
Kontrol terhadap implementasi pembangunan serta umpan balik Tidak terjadi konflik sosial Kegiatan pertanian sesuai dengan peraturan Penyerapan tenaga kerja Tidak terjadi degradasi dan pencemaran lahan Kompensasi kehilangan hak-hak yang memadai
5.
Akademisi dan penelitian/ pengkajian
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Penelitian/pengkajian pertanian perkotaan terjamin
6.
Lembaga Keuangan
Profitabilitas usaha terjamin Pengembalian kredit tepat waktu
44 Tabel 5. (Lanjutan) 7.
Perusahaan Saprodi
Input Tak Terkontrol
Jumlah penduduk Kondisi/konversi lahan Kondisi iklim Jumlah industri Jumlah tranportasi Pertumbuhan penduduk
Tersedianya tenaga kerja terampil Kondisi sosial, politik dan keamanan kondusif Tersedianya pupuk organik Keuntungan layak dan berkelanjutan
Input Lingkungan
Kebijakan pemerintah Kondisi ekonomi global
Output Yang Diharapkan
Kelestarian lingkungan Menambah penghasilan RTH dapat dipertahankan
Model Pengembangan Pertanian Perkotaan Berkelanjutan Output Yang Tidak Diharapkan
Input Terkontrol
Luas lahan dan ruang usaha tani (pekarangan, dan kebun spesifik) Pengembangan komoditas dan teknologi ramah lingkungan (komod. ekon.penting dan tek.pertanian) Kelembagaan pertanian (kerjasama stakeholders, penyuluhan, kel.tani, keuangan dan insentif dan kompensasi).
Konflik Sosial Konversi lahan Pengembangan Teknologi Tidak Ramah Lingkungan
Manajemen Pengendalian
Gambar 7. Diagram input-output model pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta. 3.4.4.4. Pemodelan Sistem Pemodelan sistem merupakan perumusan masalah ke dalam bentuk pernyataan yang dapat mewakili sistem nyata. Formulasi model menghubungkan variabel-variabel yang telah ditentukan dalam bentuk kontekstual. Dalam permodelan, beberapa variabel yang berada di luar sistem dapat mempengaruhi kinerja sistem, sehingga dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan sebagai variabel model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan secara kualitatif. Tahapan-
45
tahapan analisis dalam merumuskan model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 9. 3.4.4.5. Validasi Model dan Uji Ketetapan MDS Uji validitas model dilakukan dengan analisis Monte Carlo pada taraf kepercayaan 95% (Kavanagh dan Pitcher 2004). Pengecekan secara dimensional (satuan ukuran) terhadap variabel-variabel model, meliputi leverage dan konstanta terhadap data sekunder, mengetahui ketepatan penggunaan metode integrasi dan time step yang dipilih, serta meminta stakeholder untuk mengevaluasi model yang dibuat. Validasi model merupakan suatu usaha untuk menyimpulkan apakah model sistem yang dibangun merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan (Eriyatno 2003). Uji statistik yang dipakai untuk mengukur penyimpangan antara output simulasi dengan data aktual, di antaranya: Mean Absolut Deviation (MAD), Mean Square Error (MSE), Mean Absolut Percentage Error (MAPE), dimana masingmasing uji statistik di atas mengukur keakuratan output simulasi, dengan kriteria ketepatan model adalah : MAPE < 5%
(sangat tepat), 5% < MAP < 10% (tepat)
dan MAPE > 10% (tidak tepat), Mean Percentage Error (MPE) dapat menentukan apakah metode peramalan mengandung bias (Hauke et al. 2001). 3.4.4.6. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas bertujuan melihat sensitivitas parameter, faktor dan hubungan antar faktor dalam model yang dikaji. Ada dua kategori analisis sensitivitas yang dibedakan dari intervensinya, yaitu intervensi fungsional dan intervensi struktural (Muhammadi et al. 2001).Kriteria yang dipakai untuk menilai performa sensitivitas dalam penelitian ini mengikuti kriteria seperti yang dikemukakan Maani dan Cavana (2000). Parameter dikatakan sensitif
bila
parameter diubah sebesar 10% dan dampaknya terhadap kinerja sistem dapat mencapai 5-14%, sangat sensitif (very sensitive) bila dampaknya terhadap kinerja model berkisar 15-34% dan sangat-sangat sensitif (highly sensitive) bila dampaknya terhadap kinerja model lebih besar dari 35%. Parameter yang memiliki sensitivitas tinggi merupakan parameter penting dalam menentukan skenario kebijakan pengembangan pertanian perkotaan.
46
3.4.5. Merumuskan Faktor Penentu Kebijakan Perumusan kebijakan dilakukan dengan analisis prospektif (Bourgeois dan Jesus 2004). Analisis prospektif digunakan untuk menentukan faktor-faktor penting dalam dalam pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan. Analisis prospektif tidak sama dengan peramalan karena analisis prospektif dapat memprediksi alternatif-alternatif yang akan terjadi dimasa yang akan datang baik bersifat positif (diinginkan) ataupun yang negatif (tidak diinginkan). Kegunaan analisis prospektif adalah mempersiapkan tindakan strategis yang perlu dilakukan dan melihat apakah perubahan dibutuhkan dimasa depan (Bourgoise, 2007). Analisis prospektif digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor dominan (faktor kunci) yang berpengaruh terhadap model sistem pengembangan pertanian perkotaan, baik faktor kunci yang diperoleh dari hasil analisis keberlanjutan (MDS), analisis kebutuhan stakeholder (need analysis) maupun faktor kunci dari hasil analisis gabungan antara hasil MDS dan need analysis. Untuk melihat pengaruh langsung antar faktor dalam sistem yang dilakukan pada tahap pertama analisis prospektif digunakan matriks tertera pada Tabel 6. Tabel 6. Pengaruh langsung antar faktor dalam pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan. Dari/Terhadap
Faktor A
B
C
D
E
F
G
H
A B C D E F G H Keterangan Skoring
: A – H = Faktor penting dalam sistem, : 0 = Tidak ada pengaruh 1 = Berpengaruh kecil 2 = Berpengaruh sedang 3 = Berpengaruh kuat
Setelah diperoleh faktor-faktor kunci dari Tabel 6, selanjutnya dilakukan analisis matrik pengaruh dan ketergantungan untuk melihat posisi setiap faktor dalam sistem menggunakan software analisis prospektif seperti pada Gambar 8. Masing-
47
masing kuadran dalam diagram mempunyai karakteristik faktor yang berbeda (Bourgeois dan Jesus 2004), sebagai berikut: o Kuadran pertama faktor penentu atau penggerak (driving variables): memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kuat namun ketergantungannya kurang kuat. Faktor-faktor pada kuadran ini merupakan faktor penentu atau penggerak yang termasuk ke dalam kategori faktor paling kuat dalam sistem pengembangan pertanian perkotaan. o Kuadran dua faktor penghubung (leverage variables): menunjukkan faktor yang mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan yang kuat antar faktor, faktorfaktor dalam kuadran ini sebagian dianggap sebagai faktor atau peubah yang kuat. o Kuadran tiga faktor terikat (output variables): mewakili faktor output, dimana pengaruhnya kecil tetapi ketergantungannya tinggi. o Kuadran empat faktor bebas (marginal variables): merupakan faktor marginal yang pengaruhnya kecil dan tingkat ketergantungannya juga rendah, sehingga faktor ini bersifat bebas dalam sistem.
Gambar 8. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam model sistem pengembangan pertanian perkotaan. Lebih lanjut Bourgeois (2007) bahwa terdapat dua tipe sebaran variabel dalam grafik pengaruh dan ketergantungan yaitu: (1) tipe sebaran yang cenderung mengumpul pada diagonal kuadran empat ke kuadran dua. Tipe ini menunjukkan bahwa sistem yang dibangun tidak stabil karena sebagian besar variabel yang dihasilkan termasuk variabel marginal atau leverage variable. Hal ini menyulitkan
48
dalam membangun skenario strategis untuk masa mendatang; (2) tipe sebaran yang mengumpul di kuadran satu ke kuadran tiga, sebagai indikasi bahwa sistem yang dibangun stabil karena memperlihatkan hubungan yang kuat, dimana variabel penggerak mengatur variabel output dengan kuat. Selain itu dengan tipe ini maka skenario strategis bisa dibangun lebih mudah dan efisien. Tahapan berikutnya dari analisis prospektif adalah analisis morfologis dengan tujuan untuk memperoleh domain kemungkinan masa depan agar skenario strategis yang diperoleh relevan. Tahapan ini dilakukan dengan mendefinisikan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa mendatang dari semua variabel kunci dari setiap dimensi keberlanjutan pertanian perkotaan. Kemudian dilanjutkan dengan identifikasi variabel-variabel kunci dan keadaan yang mungkin terjadi di masa depan tertera pada Tabel 7. Tabel 7. Variabel-variabel kunci dan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Faktor 1
Keadaan yang mungkin terjadi di masa mendatang 1A 1B 1C
2
2A
2B
2C
3
3A
3B
3C
....
....
....
....
n
nA
nB
Analisis
morfologis
diteruskan
dengan
nC analisis
konsistensi
untuk
mengurangi dimensi kombinasi variabel-variabel kunci dalam merumuskan skenario di masa yang akan datang melalui identifikasi saling ketidaksesuaian di antara keadaan-keadaan variabel kunci (incompatibility identification). Analisis prospektif adalah membangun skenario atas dasar faktor-faktor kunci di atas setelah dikurangi dengan keadaan yang peluangnya kecil untuk terjadi secara bersamaan (mutual incompatible state). Tahapan akhir dari analisis prospektif adalah membangun skenario strategi kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan. Skenario ini merupakan kombinasi dari beberapa keadaan variabel-variabel kunci yang mungkin terjadi di masa mendatang dikurangi dengan kombinasi keadaan yang tidak mungkin terjadi secara bersamaan. Secara umum skenario yang disusun atas 3
49
skenario berdasarkan kemungkinan atau perkiraan kemampuan intervensi kinerja sistem atau kemampuan pemangku kebijakan dalam intervensi yaitu skenario I (pesimis) adalah melakukan perbaikan minimal sesuai kemampuan saat ini pada atribut yang buruk dan kurang berkelanjutan, skenario II (moderat) adalah melakukan perbaikan kondisi sedang secara bertahap pada atribut kurang berkelanjutan dan atribut lainnya dan skenario III (optimis) adalah melakukan perbaikan pada semua atribut kondisi maksimal. 3.4.6. Merumuskan Model Kebijakan Pengembangan Pertanian Untuk membangun model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan dilakukan dengan menggabungkan hasil analisis MDS, leverage dan prospektif. Untuk merumuskan model kebijakan pengembangan dilakukan dengan tahapan-tahapan. Tahapan awal adalah mengkaji kondisi eksisting terhadap bentuk-bentuk dan pola, peluang dan permasalahan pengembangan pertanian perkotaan, dan selanjutnya dengan menganalisis indeks status keberlanjutan pertanian perkotaan, menganalisis atribut kunci berpengaruh, menyusun skenario, arahan dan strategi implementasi pengembangan pertanian perkotaan. Penyajian strategi pencapaian model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan bekelanjutan dilakukan dengan menggunakan diagram alir (flow chart) terlihat pada Gambar 9.
3.5. Definisi Istilah-Istilah Penting yang Digunakan dalam Disertasi Untuk mempertajam dan memudahkan pelaksanaan penelitian ini, maka dibuatlah definisi istilah-istilah penting yang digunakan dalam disertasi sebagai berikut : Wilayah perkotaan adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional kota (UU No. 26/2007). Sistem insentif dan kompensasi pertanian adalah adanya pembebasan pajak lahan dan penyediaan saprodi usaha tani secara bergulir atau sistem hibah. Analisis kesesuaian lahan dan ruang adalah metode penetapan suatu unit lahanruang berdasarkan pertimbangan kondisi biofisik, sosial ekonomi, terapan teknologi dan kebijakan wilayah atau lingkungan sesuai dengan peruntukannya (spesifik lokasi).
50
Sistem Pengembangan Pertanian Perkotaan
Reference (Desk study)
Permasalahan Pengembangan Pertanian Perkotaan
Analisis Biofisik, Sosial, Ekonomi Perta. Perkotaan
Kebijakan Pengembangan Pertanian Perkotaan
Survei Lapangan
Penentuan Dimensi Keberlanjutan, atribut dan Skala
Identifikasi Kebutuhan Stakeholders
Analisis Keberlanjutan
Indeks Keberlanjutan Karaketeristik Sumberdaya Lahan dan ruang dan SDM Pert. Perkotaan
Skenario I
Status Keberlanjutan, dan Kebutuhan Stakeholders
Analisis Kebutuhan Stakeholder (Prospektif)
Faktor atau Atribut Sensitif
Faktor Dominan Berpengaruh
Faktor Kunci Penentu Keberlanjutan
Faktor Pengungkit atau Penentu Keberlanjutan
Skenario II
Kondisi Saat Ini (peluang dan kendala)
Skenario III
Skenario Kebijakan
Strategi Pengembangan
Arahan dan Strategi Implementasi Pengembangan
Model Kebijakan Pengembangan Pertanian Perkotaan Berkelanjutan
Model Kebijakan Pengembangan
Gambar 9. Tahapan penyusunan model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan. Komoditas usaha tani adalah jenis-jenis flora dan fauna atau komoditas yang diusahakan oleh para petani dan masyarakat yang dapat memberikan nilai ekonomi, baik usaha budidaya maupun penanganan pascapanen berupa hasil tanaman (hutan/hias), ikan, ternak dengan satuan produktivitas (ton/ha) dan produksi (ton) atau satuan disesuaikan dengan jenis komoditasnya.
51
Penggunaan lahan dan ruang adalah pemanfaatan fungsi tanah, ruang dan air untuk usaha tani sesuai dengan potensi sumberdaya pertanian dengan satuan hektar (ha), unit atau disesuaikan dengan daya dukung kondisi di wilayah. Usaha tani berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya pertanian yang berhasil dan memenuhi kebutuhan masyarakat secara berkesinambungan, mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan kelestarian sumberdaya alam agro ekosistem di wilayah (Reijntjes et al. 1992) Inovasi teknologi usaha tani adalah suatu pembaruan metode penerapan paket atau komponen teknologi sistem usaha tani dengan mempertimbangkan aspek kelestarian sumberdaya (Utomo 1989) Pertanian lahan sempit adalah lahan usaha tani sifatnya terbuka yakni lahan sawah, tegalan, lahan terlantar dan pekarangan di areal lahan sempit (< 0,5 atau 0,25 ha) (Simatupang 1995) RTH produktif adalah ruang terbuka hijau pengembangan tanaman produktif yang sifatnya tahunan. Sistem kebun atap bangunan adalah usaha tani yang dilakukan di atas atau di ruang konstruksi bangunan atau atap rumah terhadap komoditas pertanian jangka pendek dan menengah. Sistem vertikultur adalah usaha tani dengan pemanfaatan ruang vertikal secara lebih efisien lahan terhadap komoditas pertanian jangka pendek (Sampeliling 2007) Sistem hidroponik adalah usaha tani untuk memperoleh tanaman tumbuh
maksimal dengan seragam melalui penggunaan sirkulasi air dan nutrisi terkontrol terhadap komoditas pertanian jangka pendek. Sistem “babilonia” adalah usaha tani dengan pemanfaatan tempat atau media
tanam sebagai rambatan atau menjalar atau memanjat pada dinding bangunan atau pagar atau pancangan kayu, bambu dan besi pada komoditas tanaman merambat dan memanjat. Sistem tanam langsung adalah usaha tani yang dilakukan di lahan pekarangan,
berem jalan, taman dan sawah sesuai komoditasnya. Kebijakan adalah serangkaian keputusan yang diambil oleh seorang aktor atau kelompok aktor yang berkaitan dengan seleksi tujuan dan cara mencapai tujuan
52
tersebut dalam situasi tertentu, dimana keputusan tersebut berada dalam cakupan wewenang para pembuatnya. Lahan adalah bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi dan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976 diacu dalam Puslittanak, 2003). Pengembangan pertanian perkotaan adalah perluasan areal usaha tani dan optimalisasi daya hasil dengan inovasi teknologi moderen di wilayah perkotaan.
53
IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Keberadaan Wilayah DKI Jakarta Berdasarkan data BPS (2010), bahwa usia kota DKI Jakarta (484 tahun) merupakan usia yang tidak lagi muda untuk ukuran sebuah kota, banyak hal telah dialami sebagai ibukota negara. Provinsi DKI Jakarta, memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus berdasarkan Undang-undang No. 29/2007. Sebagai penyandang status khusus, dimana seluruh kebijakan mengenai pemerintahan maupun anggaran ditentukan pada tingkat provinsi karena lembaga legislatif hanya ada pada tingkat provinsi. Wilayah provinsi dibagi dalam 5 wilayah kota dan 1 kabupaten administrasi yaitu Kepulauan Seribu yang tertera pada Tabel 8. Tabel. 8. Jumlah wilayah kecamatan dan kelurahan serta luas wilayah provinsi DKI Jakarta. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Wilayah kota dan kabupaten Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Kep. Seribu (Daratan) Jumlah
Luas wilayah (km2 ) 141,27 188,03 48,13 129,54 146,66 8,70 662,33
Jumlah kecamatan 10 10 8 8 6 2 44
Jumlah kelurahan 65 65 44 56 31 6 267
Keterangan : SK Gubernur KDH DKI Jakarta No. 171 Tahun 2007. Sumber : BPS (2010).
4.2. Geografi dan Topografi Jakarta sebagai ibukota negara republik Indonesia yang berada di dataran rendah pantai Utara bagian Barat Pulau Jawa. Berdasarkan BPS (2010), bahwa kota Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata +7 meter diatas permukaan laut, terletak pada posisi 6°12′ Lintang Selatan dan 106°48′ Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, adalah berupa daratan seluas 662,33 km2 dan berupa lautan seluas 6.977,5 km2. Wilayah DKI memiliki tidak kurang dari 110 buah pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu, dan sekitar 27 buah sungai/saluran/kanal yang digunakan sebagai sumber air minum, usaha perikanan, pertanian dan usaha perkotaan lainnya. Berdasarkan bentang alam, maka di sebelah Utara membentang pantai dari Barat sampai ke Timur sepanjang ±35 km yang menjadi tempat
54
bermuaranya 9 buah sungai dan 2 buah kanal. Batas wilayah DKI Jakarta yakni di sebelah Selatan dan Timur berbatasan dengan provinsi Jawa Barat, sebelah Barat berbatasan dengan provinsi Banten, sedangkan di sebelah Utara berbatasan dengan laut Jawa. Wilayah DKI Jakarta bertopografi bentuk datar dan agak datar dengan kelerengan 0 – 2,5 %, 2,5 - 5 %, dan 5 - 7 %. Wilayah DKI Jakarta merupakan rendah dengan ketinggian tempat berkisar antara 0 - 2,5 - 5 - 7 m dpl. Sebagian besar (39.13%) mempunyai relief datar dengan lereng < 1 – 3 %.
4.3. Sosial dan Ekonomi 4.3.1. Kondisi Penduduk Kondisi penduduk DKI Jakarta mengalami pertambahan setiap waktu, menyebabkan tingkat kepadatan penduduk meningkat. Kondisi ini menjadikan kota sebagai yang terpadat di Indonesia. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000 dan tahun 2010 terjadi penambahan kepadatan penduduk dari 12.603 jiwa/ km2 pada tahun 2000 menjadi 14.476 jiwa/ km2 di tahun 2010, berarti penambahan kepadatan adalah sebesar 1.873 jiwa/km2. Data menunjukkan bahwa sebaran penduduk dan laju pertumbuhan meningkat setiap tahunnya. Laju pertumbuhan terlihat di wilayah kota Jakarta Timur, mengalami jumlah penduduk tertinggi namun laju pertumbuhannya rendah dapat dilihat pada Tabel 9 Tabel 9. Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan per wilayah kota dan kab. adm. di DKI Jakarta Tahun 2010. No.
Wilayah kota dan kab.adm
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Kep. Seribu (daratan) Jumlah
Jumlah penduduk (Jiwa) 2.057.080 2.687.027 898.883 2.278.825 1.645.312 21.071 9.588.198
Laju pertumbuhan (%) 1,43 1,36 0,27 1,81 1,49 2,02 8,38
Sumber : BPS (2010) Berdasarkan hasil sensus penduduk sementara 2010, maka jumlah penduduk dan perbandingan laki-laki dan perempuan wilayah propinsi DKI Jakarta
55
menunjukkan jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari penduduk laki-laki pada setiap wilayah kota. Keberadaan penduduk berdasarkan umur, dimana didominasi oleh umur 25 – 35 tahun yang mengindikasikan bahwa wilayah DKI didominasi oleh umur angkatan kerja yang produktif terlihat pada Gambar 10.
(a)
(b)
Gambar 10. Jumlah penduduk (ribu orang) menurut wilayah (a) dan piramida pertumbuhan berdasarkan umur (b) di provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan persentase keberadaan penduduk diantara wilayah kota memperlihatkan bahwa wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Barat mendominasi jumlah penduduk terbanyak yang disusul oleh Jakarta Selatan seperti pada Tabel 10. Data tersebut menunjukkan bahwa terjadi pergeseran penduduk seperti Jakarta Pusat jumlah penduduk berkurang, namun di wilayah Jakarta Barat terjadi pertambahan yang sangat signifikan. 4.3.2. Kondisi Sosial Kondisi sosial tentang permasalahan lapangan kerja dan masih terdapat masalah penduduk miskin, merupakan hal sangat penting untuk diperhatikan. Data menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2007 - 2010 telah menunjukkan penurunan. Kondisi tahun 2007 penduduk miskin di DKI Jakarta sebanyak 405,7 ribu jiwa dan pada tahun 2010 mengalami penurunan menjadi 312,2 ribu jiwa. Penurunan penduduk miskin tertinggi terjadi pada periode 2008-2009. Periode tersebut penduduk miskin turun sebanyak 56,4 ribu jiwa dan angka kemiskinan turun sebanyak 0,67 poin dapat dilihat pada Gambar 11.
56
Tabel 10. Persentase penduduk menurut wilayah kota dan kab. administrasi provinsi DKI Jakarta. No Wilayah kota dan kab. adm. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Kep. Seribu DKI Jakarta
1971 23,12 17,64 27,72 18,05 13,47 100,00
% terhadap penduduk 1980 1990 2000 24,38 23,14 21,37 22,48 25,07 28,01 19,08 13,07 10,65 19,00 22,12 22,78 15,06 16,39 17,01 0,21 100,00 100,00 100,00
2010 21,45 28,02 9,37 23,77 17,16 0,22 100,00
Sumber : BPS (2010).
Gambar 11. Kecenderungan jumlah dan persentase peduduk miskin selang tahun 2007 – 2010 di wilayah DKI Jakarta Komposisi penduduk usia 15-64 tahun yang bekerja menurut lapangan pekerjaan dan jenis kelamin pada setiap jenis pekerjaan, memperlihatkan bahwa tenaga kerja bidang pertanian sangat rendah terlihat pada Tabel 11. Tabel 11. Komposisi lapangan pekerjaan menurut jenis kelamin di DKI Jakarta No
Lapangan pekerjaan
1. 2. 3. 4. 5.
Pertanian Industri pengolahan Perdagangan, restoran & hotel Jasa-jasa Lainnya Jumlah
Sumber : BPS (2010).
Laki-laki 0,89 15,60 33,95 27,96 21,59 100,00
Perempuan ....... (%) ......... 0,19 17,18 41,34 36,45 4,84 100,00
Jumlah 0,63 16,19 36,69 31,11 15,38 100,00
57
Berdasarkan data BPS (2010) kondisi sosial bila dilihat dari lapangan pekerjaan dan tingkat pendidikan masyarakat di wilayah DKI Jakarta, maka didominasi oleh PNS baik di Pemda DKI maupun pada instansi pemerintah pusat. Kondisi sosial terhadap kesehatan masyarakat, memperlihatkan bahwa penduduk yang mengalami keluhan kesehatan selama 3 tahun terakhir, cenderung meningkat. Tahun 2007 sebanyak 32,16 %, naik menjadi 36,17 %, dan tahun 2009 sebesar 36,81 %. Keluhan kesehatan utama penduduk adalah penyakit batuk dan pilek serta ISPA (infeksi saluran pernapasan akut). Penyakit ini terutama diduga disebabkan oleh perubahan iklim dan cuaca, peningkatan partikel debu di udara yang cenderung tidak menentu. Selama ini Pemda DKI Jakarta terus melakukan upaya untuk menyusun tata ruang perkotaan yang tepat dan memikirkan bagaimana memberi ruang hidup, makanan, air bersih, pelayanan kesehatan, obat-obatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan dan prasarana transportasi serta berbagai kebutuhan lainnya kepada penduduk DKI Jakarta. Sementara upaya transmigrasi penduduk juga terus-menerus dilakukan. Pada tahun 2009 sebanyak 100 kk atau sekitar 369 jiwa diberangkatkan ke provinsi Kalimantan Selatan, Bengkulu, Sumatera Utara, dan Sulawesi Tenggara dengan alokasi berturut-turut 25 kk, 28 kk, 25 kk, dan 22 kk. 4.3.3. Kondisi Ekonomi Pertumbuhan ekonomi; Perekonomian DKI Jakarta pada tahun 2009 tumbuh sebesar 5,01%, angka ini lebih lambat bila dibandingkan dengan keadaan tahun 2008 yang tumbuh 6,22%. Sektor-sektor yang menunjukkan pertumbuhan tinggi pada periode tersebut adalah sektor pengangkutan dan komunikasi (15,63 %), sektor jasa (6,49 %), dan sektor bangunan (7,67 %) (BPS 2010). Sementara dari sisi pengeluaran pada tahun 2009, konsumsi rumah tangga masih mampu tumbuh 6,15 % dan konsumsi pemerintah bahkan terakselerasi hingga 10,24%. Seiring dengan membaiknya perekonomian global, perekonomian Jakarta dalam tahun 2010, menunjukkan kinerja ke arah yang positif. Semester I tahun 2010 perekonomian Jakarta kembali tumbuh 6,35%. Perekonomian yang bergerak lebih cepat ini dipicu oleh meningkatnya laju pertumbuhan komponen ekspor dan impor yang terakselerasi hingga 3,73% dan 4,09%. Dari sisi produksi pada semester I/2010 pertumbuhan tercepat dicapai oleh sektor pengangkutan dan komunikasi, yaitu sebesar 14,80%.
58
Setelah itu diikuti oleh sektor perdagangan, hotel, restoran yang tumbuh 6,95 % dan sektor jasa yang tumbuh 6,68 %. Struktur ekonomi lapangan usaha; Pada tahun 2008 PDRB atas dasar harga berlaku mencapai Rp.677,41 triliun dan pada tahun 2009 nilainya mencapai Rp.757,02 triliun. Sektor-sektor dengan kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB tahun 2009 adalah sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan (28,18%), sektor perdagangan, hotel dan restoran (20,62%), serta sektor industry pengolahan (15,65%). Dominasi ketiga sektor tersebut masih berlanjut hingga semester awal tahun 2010 dengan kontribusi 27,72% dari sector keuangan, real estate, dan jasa perusahaan, kemudian 20,72% dari sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta 15,76 % dari sektor industri pengolahan (BPS 2010). Perkembangan PDRB menurut komponen penggunaan; Berdasarkan data BPS 2010, ditinjau dari sisi penggunaan pada tahun 2009, sebanyak 55,37% PDRB DKI Jakarta digunakan untuk konsumsi rumah tangga, kemudian yang digunakan untuk pembentukan modal tetap bruto sebanyak 34,80 %, dan untuk konsumsi pemerintah sebanyak 8,19%. Pada awal semester pertama 2010, kontribusi konsumsi rumah tangga meningkat menjadi 56,85%, sedangkan komponen PMTB sedikit menurun menjadi 34,40%, dan konsumsi pemerintah sedikit bertambah menjadi 8,27 %. Perkembangan PDRB dan pendapatan regional per kapita; Berdasarkan BPS 2010, bahwa PDRB per kapita secara tidak langsung bisa dijadikan salah satu indikator untuk mengukur kemakmuran suatu wilayah. Angka yang dihasilkan disini sifatnya makro karena hanya tergantung dari nilai PDRB dan penduduk pertengahan tahun tanpa memperhitungkan kepemilikan dari nilai tambah setiap sektor ekonomi yang tercipta. Data pada tahun 2009 PDRB per kapita penduduk DKI Jakarta atas dasar harga berlaku naik sebesar 10,62% dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni dari sebesar Rp.74,20 juta menjadi Rp 82,08 juta. Namun demikian nilai PDRB per kapita riil DKI Jakarta adalah dengan melihat nilai PDRB per kapita berdasarkan harga konstan 2000, dimana nilainya meningkat dari Rp 38,74 juta pada tahun 2008 menjadi Rp 40,27 juta pada tahun 2009.
59
4.4. Tanah, Iklim dan Air Kondisi tanah yang terletak di bagian Barat-Utara pulau Jawa yang terliput peta geologi skala 1:100.000 lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu (Puslitbang Geologi 1992). Berdasarkan hasil interpretasi tersebut, daerah kajian dikelompokkan kedalam 3 Grup landform, yaitu: aluvial, marin, dan fluvio marin. Tanah tersebut berasal dari bahan tufa andesit dan diklasifikasikan kedalam Typic Udorthents (BBSDL 2006). Berdasarkan data BPS (2010) kota Jakarta dan pada umumnya wilayah di seluruh daerah di Indonesia mempunyai dua musim, yaitu musim kemarau dan penghujan. Pada bulan Juni sampai dengan September arus angin berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air, sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember sampai dengan Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudera Pasifik sehingga terjadi musim penghujan. Data pada tahun 2009 suhu udara yang diamati di empat stasiun pengamat tidak terlihat adanya perbedaan yang nyata walaupun suhu udara sangat tergantung pada tinggi rendahnya stasiun pengamat terhadap permukaan air laut. Suhu rata-rata tahunan mencapai 27OC dan iklim dipengaruhi oleh angin Muson. Tinggi curah hujan setiap tahun rata-rata 2.000 mm dengan maksimum curah hujan tertinggi pada bulan Januari, sedang temperatur bervariasi antara 23,42 OC (minimum) sampai 34,2OC (maksimum) terlihat pada Gambar 12. Secara umum kota Jakarta beriklim panas pada siang hari pada bulan September dan suhu minimum pada malam hari terjadi pada bulan Januari, Suhu maksimum tercatat di stasiun pengamat Pondok Betung, sedangkan kelembaban udara maksimum rata-rata di kota Jakarta sebesar 85,17% dan rata-rata minimum sebesar 64,58%.
Gambar 12. Suhu udara (OC ) maksimum/minimum dan rata-rata menurut stasiun pengamatan 2009.
60
Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari sebesar 547,9 mm, demikian juga hari hujan tertinggi yaitu selama 23 hari terjadi pada bulan Januari. Kota ini mengalir sekitar 13 (tiga belas) sungai baik alami maupun buatan. Sungai-sungai besar yang ada di kota Jakarta adalah sungai Ciliwung, sungai Moorkervart dan sungai Cipinang. Kondisi ini, pada bulan Januari-Februari, dimana sebagian wilayah di DKI Jakarta dilanda banjir. Peluang terjadinya banjir Jakarta secara periodik, dimana terjadi curah hujan tahunan terlampaui terlihat pada Gambar 13. PELUANG CURAH HUJAN TAHUNAN TERLAMPAUI 100%
Data Pengamatan Data Simulasi
90% 80%
Peluang Terlampaui
70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 1000
1200
1400
1600
1800
2000
2200
2400
2600
Curah Hujan Tahunan (mm)
Gambar 13. Peluang curah hujan terlampaui setiap tahunnya. Neraca sumberdaya air di wilayah DKI Jakarta (air permukaan dan air tanah) yang merupakan sumber atau cadangan air serta eksploitasi atau pemanfaatan terlihat pada Tabel 12 dan 13. Tabel 12. Neraca sumberdaya air permukaan provinsi DKI Jakarta. Aktiva Cadangan Sumber : 1. Mata air 2. Air sungai 3. Bendungan/ irigasi/waduk/dam
Jumlah Sumber: BPLHD (2010)
Pasiva Satuan m3
Rp
Eksploitasi
Satuan m3
132.105.240
Pemanfaatan : 1. Domestik 2. Industri
230.339.789
3. Pertanian
16.400.000
4. Lain-lain Degradasi sumberdaya air :
29.591.351
362.445.029
Jumlah
304.083.108 12.370.570
362.445.029
Rp
61
Tabel 13. Neraca sumberdaya air tanah provinsi DKI Jakarta. Aktiva
Pasiva Satuan
Cadangan
3
m
Sumber: 1. Air tanah dangkal/air tanah bebas 2. Air tanah dalam/semi tertekan/semi artesis 3. Air tanah sangat dlm/air tanah tertekan/ air tanah artesis
Rp
330.802.484 -
Satuan
Eksploitasi
m3
Pemanfaatan: 1. Domestik 2. Industri 3. Pertanian 4. Lain-lain
Rp
329.191.478 4.542.804 7.732.855
10.664.653
Degradasi sumberdaya air : Saldo akhir : Jumlah Sumber
341.467.137
Jumlah
341.467.137
: BPLHD (2010)
Sebagian besar penduduk provinsi DKI Jakarta sampai saat ini masih menggunakan air tanah sebagai sumber air bersih maupun air minum, hal ini disebabkan masih terbatasnya penyediaan air bersih disediakan oleh PD. PAM Jaya, sehingga air tanah merupakan alternatif untuk memenuhi kebutuhan manusia disamping air sungai dan situ. Kualitas air tanah di Provinsi DKI Jakarta umumnya tergantung pada kedalaman ”aquifer”-nya, kedalaman 40 meter, umumnya masih baik/memenuhi persyaratan air bersih yang ditetapkan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Jumlah konsumsi air berdasarkan kebutuhan tertera pada Tabel 14. Tabel 14. Jumlah konsumsi air berdasarkan kebutuhan per wilayah kota DKI Jakarta No
Wilayah
1
Jakarta Selatan
2
Jakarta Timur
3
Pertanian
Industri
Juta m3
Juta m3
Rumah tangga/ industri Juta m3
Konsumen lain Juta m3
Jumlah Juta m3
-
1.01
155.56
9.95
166.52
8.03
4.86
203.33
12.31
228.53
Jakarta Pusat
-
0.61
67.92
4.63
73.16
4
Jakarta Barat
3.89
5.43
172.40
10.56
192.28
5
Jakarta Utara
8.36
8.28
124.56
7.84
149.04
20.28
20.19
1.59 725.36
0.09 45.38
1.68 811.21
6
Kep. Seribu Jumlah Sumber : BPS (2010)
62
4.5. Penggunaan dan Pemanfaatan Lahan Lahan merupakan bagian dari bentang lahan dan ruang (landscape) yang meliputi lingkungan fisik, termasuk di dalamnya iklim, topografi/relief, hidrologi tanah dan keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Secara garis besar penggunaan lahan dapat dikelompokkan menjadi: ladang, tegalan, sawah, perkebunan, sarana perhubungan, hutan, industri, permukiman dan penggunaan lainnya. Pada umumnya, penetapan penggunaan lahan didasarkan pada karakteristik lahan dan daya dukung lingkungannya. Bentuk penggunaan lahan yang ada dapat dikaji melalui proses evaluasi sumber daya lahan, sehingga dapat diketahui potensi sumber daya lahan untuk berbagai penggunaannya. Pengelolaan lahan yang ramah lingkungan dan penyusunan tata ruang yang tepat, dapat mengurangi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan antara lain banjir, kekeringan dan longsor lahan. Sumberdaya lahan menurut penggunaannya diklasifikasikan menjadi 11 jenis, yaitu sarana permukima, pertanian lahan kering, pertanian lahan sawah, perkebunan, perikanan, perhubungan, areal berhutan, tanah kritis, padang, industri, pertambangan terbuka dan perairan. Lahan permukiman adalah tempat tinggal dan halaman sekitarnya dan tempat kegiatan penduduk serta fasilitas pelayanan jasa seperti perdagangan, perkantoran, perpasaran, peribadatan, pendidikan, olahraga, pemakaman dan taman. Ke 11 jenis klasifikasi penggunaan lahan tersebut, 4 jenis (perkebunan, tanah kritis, padang dan pertambangan terbuka) tidak ada di DKI Jakarta. Lahan perairan adalah lahan yang ditutupi berbagai jenis air permukaan seperti sungai, danau, waduk dan rawa. Menurut status pemilikan, maka penggunaan lahan digolongkan menjadi 6 jenis, yaitu tanah negara, hak pakai, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pengelolaan dan tanah milik. Berdasarkan inventarisasi sumberdaya lahan menurut klasifikasi penggunaan lahan di DKI Jakarta untuk tahun 2010 belum terinventarisir, tetapi pergeseran penggunaan lahan tidak akan terlalu jauh atau dengan kata lain hampir sama dengan keadaan tahun 2009. Adapun perkiraan penggunaan lahan sampai dengan tahun 2010 oleh tim SLHD. Inventarisasi sumberdaya lahan menurut klasifikasi penggunaan lahan tertera pada Tabel 15. Peranan lahan sebagai ruang untuk tempat tinggal, media atau tempat tumbuh tanaman atau wadah bahan galian/mineral menunjukkan bahwa lahan mempunyai
63
kedudukan yang sentral dalam menunjang keberhasilan pembangunan. Khusus di DKI Jakarta, tingginya nilai lahan sebagai akibat pertumbuhan sektor bisnis yang cukup pesat mengakibatkan terjadinya mutasi penggunaan lahan yang cukup berarti dari sektor yang kurang produktif seperti pertanian ke sektor-sektor lainnya yang lebih menguntungkan, seperti sarana permukiman, perdagangan, perkantoran, pariwisata dan lain-lain. Hal ini membawa permasalahan yang cukup kompleks sehingga peletakan perencanaan di bidang sumberdaya lahan sering mengalami pergeseran. Tabel 15. Inventarisasi sumberdaya lahan menurut klasifikasi penggunaan lahan wilayah DKI jakarta No 1. 2.
Klasifikasi penggunaan lahan Pemukiman penduduk dan lainnya Pertanian lahan kering Ladang Tegalan Kebun campuran 3. Pertanian lahan sawah Sawah irigasi Sawah tadah hujan 4. Perkebunan besar dan rakyat 5. Perikanan Tambak air payau Kolam air tawar 6. Perhubungan Lapangan udara Pelabuhan laut Jalanan Jalan dan jalur kereta api Terminal bis Perparkiran 7. Areal berhutan Hutan alami Hutan sejenis atau hutan kota 8. Tanah kritis dan tandus 9. Padang rumput, alang-alang dan semak belukar 10. Industri Kawasan Non-kawasan 11. Perairan Waduk atau rawa Sungai Floodway Jumlah Sumber : BPLHD (2010) Keterangan : Estimasi tim SLHD
Jumlah (ha) 61.993,00 1.135,00 25,00 949,00 161,00 1.215,00 1.184,00 31,00 237,00 93,00 144,00 5.542,30 177,27 541,45 4.164,92 595,09 57,12 6,45 809,00 232,78 571,82 4.213,23 825,34 3.387,89 1.147,19 390,99 532,50 223,70 66.233,00
64
4.5.1. Kondisi lahan dan hasil pertanian pangan Meskipun DKI Jakarta bukan daerah agraris, namun bidang pertanian masih dapat dijumpai di kota metropolitan ini. Berdasarkan Diskeltan (2010), masih terdapat lahan pertanian pada lahan basah dan kering, dimana perkembangannya semakin sempit/terbatas akibat lajunya konversi lahan menjadi area terbangun. Lahan sawah masih terdapat di wilayah Jakarta Timur, Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Perkembangannya lahan pertanian menurut klasifikasi penggunaan lahan wilayah DKI Jakarta tertera pada Tabel 16 dan 17. Tabel 16. Luas wilayah menurut penggunaan lahan utama di DKI Jakarta Luas lahan (ha) No
Wil.kota/kab.
1
Jakarta Selatan
Non pertanian 11,452.45
2
Jakarta Timur
17,118.09
325.00
3
Jakarta Pusat
4,667.42
-
4
Jakarta Barat
10,841.50
297.00
5
Jakarta Utara
13,165.72
593.00
-
200.00
877.00
14,835.72
6
Kep. Seribu
-
-
63.00
1.00
933.00
1,135.00
809.00
5,197.00
66,470.18
Jumlah
869.00
Hutan
Lainnya
Jumlah
-
Lahan kering 741.00
394.00
1,545.00
14,132.45
109.00
121.00
1,129.00
18,802.09
2.00
13.00
130.00
4,812.42
283.00
18.00
1,515.00
12,954.50
Sawah
58,114.18 1,215.00
Sumber : BPS (2010)
Luas lahan pertanian selama tahun 2010 relatif tidak mengalami perubahan yang berarti. Total luas lahan sawah masih terdapat seluas 1.180 ha terdiri dari lahan sawah irigasi dan tadah hujan. Lahan sawah tersebar di tiga wilayah kota, yaitu Jakarta Timur seluas 325 ha, Jakarta Barat 297 ha dan Jakarta Utara seluas 593 ha. Penanaman tanaman padi pada lahan sawah irigasi, sangat tergantung pada keberadaan air irigasi. Banyaknya air irigasi mempengaruhi jumlah musim tanam yang bisa dilakukan. Rata-rata persediaan air irigasi lahan sawah yang ada sebanyak dua kali musim tanam. Tabel 17. Perkembangan luas dan jenis lahan pertanian DKI Jakarta No 1 2
Jenis Lahan Basah/sawah Darat/kering Jumlah
2004 2.691 10.911 13.602
Sumber : Diskeltan (2010).
2005 2.516 10.054 12.570
Tahun (ha) 2006 2007 1.446 1.221 8.878 8.589 10.324 9.810
2008 1.152 8.461 9.614
2009 1.187 8.330 9.518
2010 1.180 8.364 9.544
65
Produksi tanaman padi tahun 2009 sebesar 11.013 ton dan ketela pohon 345 ton. Luas panen padi tercatat 1.974 ha dan ketela pohon 26 ha. Rata-rata produksi padi tahun 2009 naik menjadi 55,79 kw/ha dari 50,93 kw/ha tahun 2008 (Diskeltan 2010). Luas panen tanaman padi selama tahun 2010 diperkirakan mencapai 2.015 ha. Bila dilihat dari rata-rata, diperkirakan dalam 1 ha sawah yang ditanam padi memerlukan air untuk pengairan selama 1 kali musim tanam sebanyak 10.000 m 3 sehingga total air yang digunakan untuk pengairan sebanyak 20.150.000 m 3. Selama ini, air pengairan untuk Jakarta berasal dari irigasi waduk Serbaguna Jatiluhur. Melihat produksi tanaman pangan tahun 2010 meliputi padi diperkirakan mencapai 11.164 ton, jagung sebanyak 31 ton, ubi kayu sebanyak 290 ton dan kacang tanah sebanyak 10 ton. Produksi jauh dari cukup untuk mencukupi kebutuhan penduduk DKI Jakarta. Untuk memenuhi kebutuhan, maka pemerintah banyak mengimpor kebutuhan pangan dari daerah lain. Untuk produksi sayuran di DKI Jakarta yang paling banyak adalah kangkung. Selama tahun 2010 produksi kangkung diperkirakan mencapai 17.579 ton, sawi 12.441 ton dan bayam mencapai 5.607 ton. Untuk produksi buah yang paling banyak adalah belimbing, dan selama tahun 2010 produksinya diperkirakan mencapai 4.885 ton dan mangga mencapai 3.308 ton. Buah-buahan yang lain dalam satu tahun produksinya masih dibawah 800 ton. Pada tahun-tahun mendatang akan sulit bagi DKI Jakarta untuk meningkatkan produksi, baik tanaman pangan, sayur maupun buah. Untuk membandingkan produksi atau hasil pertanian pangan di wilayah DKI Jakarta dapat dilihat pada Lampiran 4,5,6,7 dan 8. Keterbatasan lahan pertanian merupakan penyebab utamanya. Pada saat ini permasalahan yang masih ada dilingkungan para petani adalah penggunaan bahan kimia seperti pupuk dan pestisida yang berlebihan yang dapat mencemari tanah, air, tanaman, sungai atau badan air. 4.5.2. Sub sektor perikanan
Secara geografis lebih dari setengah wilayah Jakarta terdiri dari lautan dengan luas 6.997,5 km2 dan wilayah pesisir Utara, sehingga sub sektor perikanan memiliki potensi secara ekonomi. Di wilayah pesisir Utara Jakarta, sebagian besar penduduknya hidup dari hasil penangkapan ikan. Pada tahun 2008 terjadi penurunan
66
produksi sebesar 1,15 % yaitu dari 146.240 ton di tahun 2007 menjadi 144.552 ton di tahun 2008. Akan tetapi pada tahun 2009 kembali mengalami peningkatan sebesar 0,98 % karena penangkapan ikan meningkat hingga 145.969 ton. Untuk budidaya ikan, baik budi daya laut, budi daya tambak, dan budi daya kolam selama 3 tahun cenderung meningkat. Peningkatan hasil budi daya laut tersebut dari 1.344 ton di tahun 2007 meningkat menjadi 1.902 ton pada tahun 2009, sedangkan budi daya tambak dari 1.751 ton menjadi 2.405 ton, dan budi daya tambak dari 2.682 ton menjadi 3.417 ton. Penurunan ini disebabkan oleh terjadinya konversi lahan tambak di pesisir dan kolam ikan di wilayah daratan menjadi area terbangun (BPS, 2010). Grafik hasil perikanan terlihat pada Gambar 14.
(a)
(b)
Gambar 14. Hasil budidaya, tangkapan dan produksi ikan (ton) (a) dan hasil tangkapan menurut tempat pelelangan (b) di DKI Jakarta 4.5.3. Sub sektor peternakan
Berdasarkan BPS (2010) bahwa ternak besar dan kecil maupun ternak hobi masih cukup banyak dipelihara di wilayah kota, walaupun lahan untuk pemeliharaannya makin sempit atau terbatas. Ternak sapi perah menempati lahan usaha seluas kurang lebih 4,67 ha, dengan sapi perah sejumlah 2.920 ekor. Jakarta Selatan dan Jakarta Timur merupakan wilayah yang masih cukup potensi dalam pemeliharaan sapi perah ini. Di Jakarta Selatan lahan usaha peternakan sapi perah yang tersedia mencakup sekitar 2,50 ha dan Jakarta Timur sekitar 2,05 ha, sisanya di Jakarta Pusat seluas 1,3 ha. Secara umum usaha ternak unggas tahun 2009 populasinya mengalami penurunan, seperti ayam ras turun 45,44%, sedangkan dan itik manila naik 7,88%. Usaha unggas ini menempati total lahan 2,02 ha. Kebutuhan akan daging yang terus meningkat menyebabkan produksi lokal yang mencapai 11,004 ribu ton belum
67
mencukupi, sehingga masih harus mengimpor sebanyak 87,11 ribu ton. Jumlah pemasukan daging hewan menurut asal dan jenisnya tertera pada Gambar 15.
Gambar 15. Jumlah pemasukan daging hewan menurut asal dan jenisnya. 4.5.4. Sub sektor perhutanan
Luas lahan untuk hutan lindung dan cagar alam di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2009 masih sekitar 1.454,30 ha, sementara luas kawasan hutan kota pada tahun 2009 ini masih tetap yaitu 578,82 ha (BPS, 2010) yang tersebar di lima wilayah kota. 4.6. Kondisi Lingkungan Hidup Status lingkungan hidup daerah provinsi DKI Jakarta tahun 2010 adalah suatu gambaran secara umum mengenai kondisi lingkungan dan sebuah jabaran dari segala aktifitas manusia atau masyarakat dalam mengelola lingkungan dan pengaruhnya pada permasalahan sosial, ekonomi dan kesehatan. Berdasarkan BPLHD (2010), bahwa kota Jakarta dengan jumlah dan kepadatan penduduk yang tinggi, keterbatasan lahan dan laju pembangunan yang tinggi, menyebabkan menurunnya daya dukung, fungsi dan kualitas lingkungan hidup kota yang juga memberi dampak serius pada kesehatan penduduk dan terdegradasinya lingkungan dan sumber daya alam. Pencemaran lingkungan yang menonjol diantaranya: (1) pencemaran air (sungai, waduk atau situ, pantai, teluk, laut dan air tanah) yang disebabkan oleh pembuangan limbah domestik dan limbah industri. (2) pencemaran udara yang disebabkan antara lain oleh sektor industri, transportasi dan aktivitas manusia sehari-hari. (3) pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh pengelolaan sampah dan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang belum optimal.
68
Menurut Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2009), bahwa kota Jakarta menghasilkan 28.286 m3 sampah per hari, sebanyak 55,37% adalah sampah organik. Sampah organik antara lain seperti sampah sisa makanan, daun pohon, bangkai hewan dan sebagainya. Sementara sampah anorganik mencapai 44,63% dan yang paling dominan adalah sampah kertas sebanyak 20,57% dan plastik sekitar 13,25%. Dari total sampah tersebut diatas hanya sekitar 85,99 % atau sekitar 24.322 m3 yang dapat terangkut per hari. Saat ini Jakarta hanya mempunyai 1 (satu) TPA, yaitu TPA Bantargebang yang letaknya di wilayah Bekasi, dan 1 (satu) PDUK (pusat daur ulang dan kompos) milik swasta. Kondisi ini sangat mempengaruhi kelancaran pengelolaan sampah di DKI Jakarta. Adapun isu utama lingkungan hidup yang terjadi di tahun 2010 tidak berbeda jauh dengan tahun 2009 walaupun sudah banyak dilakukan pembenahan secara signifikan dalam hal pengelolaan lingkungan di wilayah provinsi DKI Jakarta tetapi masalah banjir, pencemaran (situ, sungai, laut, udara), limbah padat dan cair, transportasi, selain itu dalam hal penulisannya juga memuat kebijakan pembangunan daerah berkelanjutan, yang meliputi kebijakan pembangunan lingkungan hidup, kebijakan tata ruang dan kebijakan sosial, ekonomi dan budaya.
4.7. Infrastruktur dan Sarana Lainnya 4.7.1. Kondisi rawa atau situ di wilayah DKI Jakarta
Kondisi alam wilayah kota Jakarta terdapat rawa/situ dengan total luas mencapai 390,90 ha (Lampiran 11). Luas situ atau rawa di Jakarta direncanakan akan mencapai luas 649,39 ha. Wilayah di sebelah Selatan dan Timur Jakarta cocok digunakan sebagai daerah resapan air, dengan iklimnya yang lebih sejuk sehingga ideal dikembangkan sebagai wilayah penduduk. Adapun wilayah Jakarta Barat masih tersedia cukup lahan untuk dikembangkan sebagai daerah perumahan. Kegiatan industri lebih banyak terdapat di Jakarta Utara dan Jakarta Timur sedangkan untuk kegiatan usaha dan perkantoran banyak terdapat di Jakarta Barat, Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. 4.7.2. Kondisi irigasi pengairan dan sungai
Berdasarkan BPLHD Jakarta (2009), hasil pemantauan di beberapa titik pengamatan Sungai Buaran (TPSB1 dan TPSB2) dan Cakung Drain (TPCD1 dan TPCD2) yang meliputi catchment area akhir/hilir adalah wilayah persawahan Jakarta
69
Timur (Cakung) dan Jakarta Utara (Rorotan). Titik pengamatan kali Blencong (TPB1 dan TPB2) meliputi catchment area akhir atau hilir adalah wilayah lahan basah kelurahan Marunda dan sebagian utara kelurahan Rorortan. Indeks pencemar DAS terlihat pada Gambar 16. 40
30 25
28
27
Agustus
B1
14
TP
CD 2 TP
CD 1 TP
2 SB TP
TP
SB
1
16
April
23
20
12
B2
34 30
TP
40 35 30 25 20 15 10 5 0
Nopember
Keterangan : 0 < IP < 1,0 = Kondisi baik. 1,0 < IP < 5,0 = Cemar ringan 5,0 < IP < 10 = Cemar Sedang. IP >10 Cemar Berat Gambar 16. Indeks pencemar DAS Buaran, Cakung Drain dan Blencong wilayah Jakarta Utara. Data di atas menunjukkan bahwa
sungai Buaran, Cakung Drain dan
Blencong pada status cemar berat dan sedang (indikator warna hitam dan kecoklatan), kecuali pada pemantauan bulan Nopember di bagian tengah dan hulu DAS dalam kondisi ringan. Diduga bahwa terjadinya pencemaran oleh hasil pembakaran kendaraan bermotor, oli bekas dan deterjen yang mengalir sepanjang waktu ke wilayah DAS. Kondisi ini perlu diwaspadai untuk kebutuhan air pertanian dan dapat dikategorikan tercemar sedang dan ringan untuk pertanian lahan basah. Mengamati karakter hidrologi wilayah lokasi kajian, maka sebagian besar merupakan rawa yang dipengaruhi oleh air pasang laut dan merupakan daerah hilir. Wilayah kajian terdapat saluran irigasi dari sungai Bekasi yang dibagi dengan beberapa saluran kuarter dalam hamparan lahan. Mencermati lokasi kajian merupakan wilayah pemukiman dan industri yang padat, maka kualitas airnya sangat dipengaruhi oleh limah industri dan rumah tangga. Di samping itu, air pasang laut sangat mempengaruhi kualitas air untuk budidaya pertanian. Kondisi saluran yang ada umumnya sudah terjadi pendangkalan dan perlu rehabilitasi agar berfungsi optimal. Melihat kenyataan dilapangan bahwa, kondisi debit air untuk pengairan
70
telah menurun dari rencana irigasi semula pada kondisi musim kering debit rendah (minimum) dan debit tinggi (maksimum) pada kondisi musim hujan yang sering mengakibatkan kebanjiran. Kondisi debit air sungai untuk irigasi dikategorikan tidak stabil lagi serta kondisi irigasi dan aliran yang mengalami kerusakan sedang dan ringan, sehingga yang menjadi permasalah utama untuk usaha tani lahan sawah perikanan budidaya. Kondisi volume ketersediaan air pada kondisi musim kemarau, tidak mencukupi lagi yang mengakibatkan pola dan jadwal tanam tidak teratur sebagai lahan sawah beririgasi teknis yang diharapkan 3 kali musim tanam per tahun.
71
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Kondisi Saat Ini Pertanian Perkotaan Pertanian perkotaan dapat diketahui melalui penelitian meliputi aspek sumberdaya lahan/ruang atau ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan dan teknologi pertanian pada kondisi saat ini. Berdasarkan data pewilayahan komoditas pertanian wilayah DKI Jakarta Tahun 2007/2008, dimana data tersebut merupakan dasar untuk melakukan verifikasi dan validasi terhadap data kondisi pertanian saat ini. Verifikasi dilakukan terhadap data yang telah mengalami perubahan pada aspek yang di kaji. Hasil analisis kondisi saat ini wilayah DKI Jakarta sebagai dasar dalam menyusun konsep
kebijakan
pengembangan
pertanian
perkotaan
berkelanjutan
mendapatkan bentuk dan pola penerapan pertanian atau sistem
dan
pengembangan
pertanian di wilayah perkotaan. 5.1.1. Analisis Kondisi Aspek Lingkungan 5.1.1.1. Aspek Ekologi Ketersediaan sumberdaya lahan dan ruang. Ketersediaan lahan dan ruang; Berdasarkan data statistik DKI tahun 2010, bahwa ketersediaan sumberdaya lahan dan ruang untuk pengembangan pertanian perkotaan khusunya lahan kering yaitu lahan pekarangan, lahan tegalan dan lahan lainnya mengalami penurunan luas. Memperhatikan perkembangan sumberdaya
lahan
dan
klasifikasi
penggunaan
serta
pemanfaatannya
memperlihatkan bahwa luas wilayah menurut penggunaan lahan utama di wilayah DKI Jakarta, dimana lahan untuk pertanian mengalami penurunan tiap tahunnya. Kondisi perkembangan luas lahan, pekarangan dan lainnya dapat dilihat pada Tabel 15, 16 dan 17. Data ini menunjukkan bahwa peluang pengembangan pertanian masih memberi harapan untuk ke arah lahan privat yakni lahan pekarangan. Kondisi lahan pekarangan pada tahun 2004 masih terdapat 8.331,0 ha. Seiring dengan berjalannya waktu dan animo masyarakat dalam pembangunan sektor lain, maka ketersediaan lahan sampai dengan tahun 2010 mengalami penurunan dan masih terdapat 6.910,0 ha (Gambar 17). Setelah diklarifikasi, maka rata-rata luas lokasi perumahan pemukiman penduduk umumnya memiliki lahan “luas pekarangan” berkisar dari kurang lebih 25, 50, 75, 100 dan 200 m2 per kk.
72
9000 8000
8331.0
8028.0
7726.0
7724.0
7721.0
7714.0 6910.0
7000 6000 5000
L. Pekarangan
4000
L. Tegalan
3000
L. Lainnya
2000 1000 0 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 17. Kondisi penggunaan dan perkembangan luas (ha) lahan kering di wilayah DKI Jakarta. Luas pekarangan ini sangat bervariasi yang didominasi oleh angka 25–50 m2 bahkan sebagian besar lokasi kavling rumah tidak mempunyai lahan pekarangan lagi, telah terbangun rumah dan kegiatan usaha industri lainnya. Hasil pengamatan dilapangan bahwa pekarangan telah dimanfaatkan sebagai usaha tani ternak itik petelur khusus di wilayah Jakarta Utara dan Timur, dan sebagian telah menjadi usaha tani sayuran dan mulai ditanami tanaman produktif seperti jenis tanaman mangga, tanaman hias, jambu air dan rambutan serta tanaman lainnya. Tipe penggunaan atau pemanfaatan lahan; Penggunaan lahan sangat tergantung pada jenis tanaman yang diusahakan petani. Sebagai contoh usaha tani tanaman hias yang bernilai ekonomi tinggi. Pengusahaan ini umumnya terletak di sekitar pekarangan, dengan luas lahan garapan bervariasi dan berkisar dari 0,05 ha sampai 1,00 ha. Status pemilikan lahan umumnya milik sendiri, namun ada juga yang sewa/HGU. Status pemilikan lahan ini akan sangat berpengaruh terhadap keputusan petani dalam mengelola atau praktek sistem usaha taninya terutama pengelolaan sistem usaha tani yang menyangkut aspek konservasi tanah dan air yang bersifat mengurangi lahan dan atau diperlukan biaya investasi yang cukup tinggi dalam aplikasinya. Contoh tipe penggunaan lahan, jenis tanaman dominan, luas lahan garapan serta status pemilikannya untuk masing-masing petani terlihat pada Tabel 18.
73
Tabel 18. Tipe penggunaan, jenis tanaman dominan, luas garapan serta status pemilikan lahan petani di lokasi laboratorium agribisnis Meruya, Jakarta Barat. Nama Petani Suhandi H. Mukri H. Buang Saman H. Melih
Penggunaan lahan Tanaman hias Tanaman hias Tanaman hias Tanaman hias Tanaman hias
Tanaman dominan Palm, Sicas, Adenium Adenium Adenium, Tricolour, Soka, Palm Aglonema, Tricolour, Batavia, Adenium, Kenanga, Palm, Cemara
Luas (ha) 0,50 0,05 0,50 0,08 0,40
Status pemilikan Milik Milik Milik Milik HGU
Sumber : Hasil survei (2010) Kondisi hara dan media tanam; Hasil analisis laboratorium beberapa contoh tanah di wilayah/lokasi lahan usaha tani tertera pada Tabel 19 dan Lampiran 15 dan 16. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa kandungan hara dalam beberapa media tanam masih belum memadai sehingga disarankan perlu perbaikan untuk media tanam tricolour kalau bisa perbandingan serbuk gergaji dapat dikurangi dan ada penambahan pupuk kandang. Kondisi hara pada media tanam dan pupuk sangat membantu dalam proses budidaya tanaman atau tanaman hias pada khususnya. Tabel 19. Kadar hara dalam media tanam beberapa tanaman hias di wilayah DKI Jakarta. Media tanam Palm Aglonema Adenium Soka Tricolor
CC/N P2O5 K2O Ca Mg pH Kadar organik air ............................................... % ................................................... 0,27 5,08 19 0,28 0,16 0,82 0,14 7,6 30 0,33 20,12 61 0,15 0,18 0,27 0,05 6,6 41 0,17 14,55 85 0,13 0,24 2,06 1,06 7,5 29 1,34 18,14 14 1,85 0,15 0,59 0,16 7,3 58 0,12 14,26 118 0,05 0,20 0,12 0,04 6,0 38
N-total
Sumber: Hasil survei dan analisis laboratorium BBSDL (2008).
Kondisi sumber dan pengairan pertanian; Berdasarkan data BPLHD DKI Jakarta dan indeks pencemar DAS terlihat pada Gambar 16, hasil pemantauan di beberapa titik pengamatan yang meliputi catchment area akhir/hilir menunjukkan wilayah persawahan di wilayah Jakarta Utara dan wilayah Jakarta Barat pada status cemar berat dan sedang (indikator warna hitam dan kecoklatan). Kondisi ini perlu diwaspadai untuk kebutuhan air pertanian dan dapat
74
dikategorikan tercemar sedang dan ringan untuk pertanian lahan basah. Kondisi pengairan untuk tanaman hortikultura baik tanaman produktif, sayuran dan tanaman hias masih mengandalkan air tanah (sumur artesis atau bor) yang perlu pengaturan dari pihak berwenang dalam pemanfaatannya. Berdasarkan hal tersebut, maka sumber daya air yang digunakan petani tanaman hias setempat adalah
sumur
dan
bak-bak
penampung
air.
Penggunaan
sungai
tidak
dipertimbangkan untuk irigasi, mengingat pertanaman tanaman hias lebih banyak menggunakan pot dan jarak sungai yang cukup jauh dinilai kurang ekonomis. Pembudidayaan tanaman hias dan sayuran di lokasi penelitian dilakukan secara individu maupun kelompok. Penyiraman tanaman pada umumnya dilakukan secara manual. Kedalaman sumur di lokasi bervariasi antara 11 – 18 meter pada musim kemarau dan sekitar 6 -7 meter pada musim hujan. Ada juga petani tanaman hias dan sayuran yang menggunakan sumur jet pump dengan kedalaman sekitar < 30 meter. Kenyataan dilapangan menunjukkan ketersediaan air untuk pengairan atau irigasi untuk pengembangan tanaman hias dan sayuran pada musim hujan sering mengakibatkan kebanjiran, sehingga petani mengalami kerugian usahatani. Kondisi musim kemarau, air tidak mencukupi, namun pengairan sistem jet pump untuk pengairan sangat menolong, bahkan sampai kepada kebutuhan air untuk rumah tangga. Kenyataan dilapangan menunjukkan kebutuhan air konsumsi sebagian besar petani dan masyarakat masih
mengandalkan air tanah dengan
menggunakan sistem pompa. Kesesuaian pengembangan komoditas. Berdasarkan data pewilayahan komoditas pertanian atau peta AEZ (zona agroecosystem) tahun 2007/2008 yang didasarkan pada hasil penilaian dan evaluasi kesesuaian lahan dan komoditas pertanian serta hasil verifikasi data sekarang ini, maka didapatkan komoditas prioritas yang dominan S1 dan S2 sedangkan komoditas alternatif adalah yang dominan kategori S3 untuk pengembangannya di wilayah DKI Jakarta. Hasil analisis dan tabulasi data, maka pewilayahan
komoditas
utama
atau
prioritas
dan
komoditas
alternatif
pengembangannya di masing-masing wilayah kota dapat dilihat pada Tabel 20.
75
Tabel 20. Pengembangan komoditas pertanian per wilayah kota DKI Jakarta. No.
Wilayah kota
1.
Jakarta Utara
2.
Jakarta Barat
3.
Jakarta Timur
4.
Jakarta Pusat
5.
Jakarta Selatan
Kesesuaian komoditas Prioritas Alternatif *) (Ciherang dan Fatmawati) (Mekongga dan Cigelis)*), Mangga dan Sawo. Nangka dan Sayuran Tanaman hias dan Sawo, Durian, Sayuran Anggrek, Mangga dan daun/buah dan Jambu Rambutan. air. *) (Ciherang, Fatmawati) . (Mekongga dan Mangga, Rambutan dan Cigelis)*), Sawo dan Jambu biji. Durian. Tanaman hias dan Sayuran daun atau buah Anggrek dan Mahkota dan Rambutan. dewa. Belimbing, Pepaya Mangga, Rambutan, Sayuran buah atau daun Pala dan Jambu biji. dan Mahkota dewa.
Keterangan: *) = Komoditas untuk lahan sawah.
Pengembangan komoditas pada setiap wilayah DKI Jakarta berbeda-beda sesuai dengan ketersediaan sumberdaya lingkungannya sebagai berikut; wilayah kota Jakarta Utara adalah intensifikasi lahan sawah, pengembangan tanaman buah produktif (mangga, sawo dan nangka); wilayah kota Jakarta Barat adalah pengembangan tanaman hias, anggrek, mangga dan rambutan; wilayah kota Jakarta Selatan adalah pengembangan tanaman belimbing, mangga makota dewa dan jenis sayuran; wilayah kota Jakarta Timur adalah intensifikasi lahan sawah dan tanaman rambutan, jambu air, jambu biji dan sayuran; dan wilayah kota Jakarta Pusat adalah tanaman hias dan anggrek dan mahkota dewa. Pengembangan tanaman komoditas pertanian diharapkan dapat di lakukan pada pekarangan rumah masyarakat. Adiyoga et al. (2002), pertanian perkotaan mempunyai peluang dan prospek untuk pengembangan usaha tani berbasis agribisnis dan berkelanjutan. Pengembangan tanaman di wilayah perkotaan seperti tanaman hortikultura buah-buahan, sayuran daun dan buah serta tanaman hias dengan harapan memberikan dampak positif baik terhadap penyediaan sirkulai oksigen, keindahan dan menambah penghasilan masyarakat tani. Komoditas pertanian tanaman hias yang banyak diusahakan antara lain: adenium, aglonema, euphorbia, sikas, palm, tricolor, batavia, dan pride sumatra sebagai komoditas unggulan dan anggrek “batavia”. Untuk jenis komoditas tanaman produktif yaitu tanaman mangga, jambu air, jambu biji, rambutan, belimbing, duku, durian dan sawo. Untuk jenis komoditas sayuran daun
76
dan buah adalah pepaya, bayam kangkung, kacang panjang, ketimun, sawi, tomat, cabe dan chesim. Pengembangan ini sesuai dengan ketersediaan dan kesesuaian lahan dan ruang di setiap wilayah kota DKI Jakarta. 5.1.1.2. Aspek Ekonomi Sruktur pendapatan rumah tangga; Pendapatan rumah tangga petani dapat terlihat pada contoh kasus usaha tani tanaman hias, dimana total pendapatan dari pekerjaan utama dan sampingan jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan dari usaha tani tanpa bantuan modal dari pihak pemerintah tertera pada Tabel 21. Tabel 21. Rerata struktur pendapatan bersih per tahun rumah tangga petani tanaman hias DKI Jakarta. Sumber pendapatan (Rp) 1. UT tanaman hias 2. Usaha industri RT 3. Berdagang 4. Menyewakan aset produktif 5. Pemberian transfer 6. Pendapatan dari pekerjaan utama dan sampingan kecuali usaha tanaman hias Jumlah pendapatan bersih RT/tahun
No
14.350.000 5.200.000 3.675.000 17.180.000
300.000-50.400.000 2.000.000-8.400.000 500.000-6.000.000 6.000.000-35.000.000
Standar deviasi (SD) 15.810.500 4.525.500 2.413.000 13.720.900
2.750.000 25.880.900
500.000-5.000.000 1.000.000-60.000.000
3.182.000 21.301.600
35.289.200
1.500.000-95.000.000
26.484.600
Rerata
Kisaran
Sumber : Sulaiman et al. (2007) Keterangan : Kasus petani non BPLM (Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat). Tabel 22. Rerata struktur pendapatan bersih per tahun rumah tangga petani tanaman hias DKI Jakarta. Sumber pendapatan (Rp) 1. UT tanaman hias 2. Berdagang 3. Pendapatan dari pekerjaan utama dan sampingan selain usaha tanaman hias Jumlah pendapatan bersih RT/tahun No
Rerata
Kisaran
34.311.00 3.889.100 12.000.900
500.000-84.000.000 500.000-6.000.000 1.000.000-24.000.000
35.166.700
10.500.000-69.000.000
Standar Deviasi (SD) 24.153.300 3.250.000 10.288.200
30.308.100
Sumber : Sulaiman et al (2007) Keterangan : Kasus petani memperoleh BPLM (Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat)
Untuk pengembangan usaha tani tanaman hias oleh petani, maka pemerintah telah memberi pinjaman lunak (BPLM) dalam meningkatkan modal kerja kepada
77
kelompok tani, sehingga curahan waktu lebih besar pada usaha tani. Keadaan ini dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga tertera pada Tabel 22. Data ini memberikan gambaran bahwa petani akan semakin termotivasi untuk dapat mengusahakan kegiatan pertanian dengan adanya cukup modal bagi pengembangan usaha taninya. Kondisi finansial usaha tani; Hasil analisis RC ratio menunjukkan besarnya tingkat efisiensi atau imbangan penerimaan yang diperoleh untuk setiap biaya atau korbanan yang dikeluarkan oleh petani. Untuk mengetahui kelayakan usaha tani dari suatu komoditas akibat suatu perubahan produksi dan harga dapat dilakukan melalui analisis titik impas produksi (TIP) dan titik impas harga (TIH). Nilai titik impas produksi dapat diketahui pada tingkat produksi berapa usaha tani tersebut mempunyai keuntungan = 0, sedangkan dari titik impas harga dapat diketahui pada tingkat harga berapa usaha tani berada pada kondisi menguntungkan >1. Sebagai contoh kasus yang dianalisis adalah usaha tani tanaman hias dapat dilihat pada Lampiran 19, menunjukkan RC ratio 2,05 yang berarti usaha tanaman hias sangat potensial dapat memberi nilai tambah penghasilan bagi petani di perkotaan, khususnya komoditas grup tanaman hias;
adenium,
aglonema, sikas,
palm,
euphorbia, tricolour, batavia, kenanga, cemara. Hasil perhitungan finansial usaha tani tanaman tahunan, dimana R/C ratio <1
menunjukkan
bahwa
umumnya
komoditas
ini
relatif
sudah
tidak
menguntungkan lagi. Hasil perhitungan finansial usaha tani dapat dilihat pada Lampiran 19, 20, 21, 22, 23 dan 24. Hasil analisis usaha tani komoditas mangga sistem “potinisasi” pada lahan pekarangan memperlihatkan bahwa usaha tani komoditas mangga masih layak diusahakan di perkotaan dengan nilai RC ratio 1,19, dengan catatan bahwa hasil penjualan bersama pot. Untuk komoditas tanaman belimbing RC ratio sebesar 1,85 berarti layak untuk dikembangkan dan dapat memberi keuntungan, dikarenakan tanaman ini berbuah sepanjang tahun. Umumnya sistem tanam langsung di pekarangan secara finansial relatif tidak menguntungkan lagi dengan nilai RC ratio 0,99, namun dari sisi lain dapat
78
berkontribusi positif terhadap lingkungan. Komoditas sayuran memperlihatkan nilai RC ratio 2,46 yang berarti layak di usahakan oleh para petani di lahan-lahan sempit dengan penerapan teknologi atau secara intensif. Sementara itu, usaha tani padi sawah pada varietas unggul (ciherang) dengan RC ratio = 0,99. menunjukkan bahwa usaha tani padi sawah sudah kurang menguntungkan pada lahan yang luasnya terbatas, sehingga banyak pemilik sawah mengalih fungsikan lahannya. Berdasarkan hasil perhitungan finansial usaha tani di wilayah DKI Jakarta memperlihatkan bahwa usaha tani komoditas hortikultura (tanaman tahunan produktif, tanaman hias dan anggrek dan sayuran) memiliki prospek untuk dikembangkan di perkotaan. Komoditas tersebut dapat memberi dampak positif terhadap tambahan penghasilan pelaku usaha tani dan secara tidak langsung berkontribusi positif terhadap kualitas lingkungan perkotaan. 5.1.1.3. Aspek Sosial Apabila dilihat dari jenis pekerjaan yang ditekuni oleh para penduduk yang bermukim di wilayah DKI Jakarta, maka mata pencaharian penduduk yang berusaha dibidang pertanian tergolong rendah hanya sebesar 0,63% bila dibandingkan dengan lapangan pekerjaan lainnya seperti tertera pada Tabel 23. Ditinjau dari aspek pendidikan responden petani di wilayah DKI Jakarta, dominan usahatani pada lahan kering, maka pendidikan pada umumnya masih relatif rendah sekitar 44,71% jenjang SD/SR yang umumnya telah mencapai umur 50 tahun ke atas, SLTP sekitar 31,76% dan SLTA sekitar 18,82% yang telah mencapai umur pemuda. Tingkat pendidikan responden tertera pada Tabel 23. Tabel 23. Tingkat pendidikan petani responden di wilayah DKI Jakarta. No
Pendidikan
1. 2. 3. 4.
SR/SD SLTP SLTA Universitas/PT. Jumlah
Jumlah Orang 38 27 16 4 85
% 44,71 31,76 18,82 4,71 100,00
Sumber : Hasil Survei (2011) Melihat profesi atau pekerjaan responden petani di wilayah DKI Jakarta pada dominan usaha tani pada lahan kering, menunjukkan bahwa pekerjaan utama
79
sebagai petani sekitar 32,94%, petani sebagai pekerjaan sampingan sekitar 36,47%, sebagai wiraswasta sekitar 16,47% dan PNS/ABRI sekitar 14,12% tertera pada Tabel 24. Tabel 24. Profesi atau pekerjaan petani responden di wilayah DKI Jakarta. No
Profesi/Pekerjaan
1. 2. 3. 4.
Petani (Utama) Petani (Sampingan) Wira swasta PNS/ABRI Jumlah
Sumber
Jumlah Orang 28 31 14 12 85
% 32,94 36,47 16,47 14,12 100,00
Keterangan Dominan penggarap lahan, pekarangan dan berem jalan sebagai tempat usaha tanaman hias.
: Hasil Survei (2011)
5.1.1.4. Aspek Kelembagaan Hasil tabulasi data dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa petani sangat antusias membentuk kelompok tani guna menyongsong dukungan dana untuk penguatan modal melalui lembaga keuangan, baik berupa fasilitas kredit dari perbankan dan dari pemerintah yang berupa dana bergulir di kelompok tani. Keberadaan dan kondisi kelas kelompok tani tertera pada Tabel 25 dan 26. Tabel 25. Kondisi kelas kelompok tani per kecamatan di wilayah DKI Jakarta. No 1. 2. 3. 4. 5.
Kecamatan Jagakarsa Cipayung Menteng Cilincing Kembangan Jumlah
Pemula 15 4 4 14 16 53
Kelas Kelompok Lanjut Madya 3 1 1 1 3 16 2 3 26 4
Keterangan Utama -
Rata-rata Kelompok baru terbentuk untuk tanaman hias dan sayuran Jumlah = 83 klota.
Sumber : Diskeltan (2010)
Perbandingan perkembangan kelas kelompok tani di setiap wilayah penelitian menunjukkan bahwa masih didominasi oleh kelas kelompok pemula dan lanjut dapat dilihat pada Tabel 25 dan Gambar 18. Data tersebut menunjukkan bahwa intensitas pembinaan relatif kurang yang disebabkan oleh pembina teknis di lapangan masih terbatas, bila dibandingkan dengan keberadaan kelompok tani dan luasnya wilayah binaan. Kondisi akhir tahun 2010 memperlihatkan jumlah tenaga
80
pembina bidang pertanian maupun sarana pendukung masih relatif kurang atau pada kondisi terbatas di wilayah DKI Jakarta.
20 15
Pemula Lanjut
10
Madya 5
Utama
0 Jagakarsa
Cipayung
Menteng
Cilincing
Kembangan
Gambar 18. Perbandingan kelas kelompok pada setiap wilayah kecamatan DKI Jakarta. Tabel 26. Data kelompok tani kecamatan lokasi sampel di wilayah DKI Jakarta. No. 1.
2.
3.
4.
5.
Jumlah Kelompok Tani
Jumlah Anggota
Jakarta Selatan : Jagakarsa*)
19
260
Tanaman buah, pasca panen, sayuran, tanaman toga, penangkar
Pemula, Lanjut
Jakarta Timur : Cipayung*)
6
75
Pasca panen, toga, sayuran dan tanaman hias
Pemula, Pra Pemula dan lanjut
Jakarta Pusat : Menteng*)
6
85
Pasca panen, tanaman hias, toga. dan sayuran
Pemula, Lanjut
Jakarta Utara : Cilincing*)
31
715
Padi, pasca panen, sayuran dan tanaman buah.
Pemula, Lanjut, Madya
Jakarta Barat : Kembangan*)
19
385
Pasca panen, tanaman hias, sayuran
Pemula, Lanjut dan Madya
Wil.Kota dan Kecamatan
Jenis Usaha
Kelas Kelompok
Sumber : Diskeltan (2010) Keterangan : *) = wilayah kecamatan sampel. Sarana pendukung dan kelembagaan tani merupakan suatu wadah dalam mengkoordinasikan kegiatan pertanian di wilayah. Pembentukan kelompok tani dan keberadaan penyuluh (PPL), Juru Pengairan sangat dibutuhkan sebagai pembina teknis dilapangan. Kondisi lapang memperlihatkan belum memadai atau kurang
81
keberadaanya utamanya tenaga teknis lapangan, fasilitas kinerja petugas serta wadah koordinasi. Upaya untuk meningkatkan kegiatan usaha tani di wilayah DKI Jakarta, maka diperlukan kebijakan tentang kelembagaan pertanian. Tabel 27. Jumlah koperasi, P3A, PPL dan Juru pengairan di lokasi penelitian wilayah DKI Jakarta. . No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jenis
Jumlah Kel.Tani PPL *) Juru – Pengairan *) KUD/Kios *) P3A *) BPP**) Penangkar Benih Padi
Kecamatan
Jagakarsa
Cipayung
Menteng
Cilincing
Kembangan
Total
19
6
7
32
19
83
2
1
1
1
1
5
-
-
1
-
1
1 -
-
1
1 1 -
1
2 1 2
-
-
-
2
-
3
Sumber : Hasil survei (2011) Keterangan : *) = Hanya yang bertugas dan berada di WKPP Kecamatan. **) = BPP (Balai Penyuluhan Pertanian), adanya 1-2 unit per wilayah kota.
5.1.1.5. Aspek Teknologi Berdasarkan hasil analisis kondisi penerapan teknologi baik paket maupun komponen teknologi oleh petani pada sistem usaha tani komoditas tertentu dapat dilihat pada Lampiran 27, 28, 29, 30 dan Tabel 28. Data tersebut memperlihatkan bahwa kondisi penerapan teknologi oleh petani dalam kondisi sedang dan mengarah ke kondisi baik. Tabel 28. Rekapitulasi keragaan penerapan teknologi usaha tani dari masing-masing komoditas di wilayah DKI Jakarta. No. 1. 2. 3. 4. 5.
Keragaan penerapan teknologi (%) Komoditas Usaha tani Kisaran komponen Rata-rata Kondisi Mangga dan Jambu air 41,65 – 57,77 46,50 Sedang Tanaman hias 49,55 – 75,45 67,45 Baik Sayuran 31,70 – 62,72 51,74 Sedang 45,65 – 67,77 56,50 Sedang Belimbing 41,70 – 62,72 55,72 Sedang Padi sawah
Sumber : Hasil survei (2011) Keterangan: Contoh jenis tanaman : Grup tanaman hias: Adenium, Aglonema, Anturium, Sikas, Palm, Euphorbia, Tricolor, Batavia, Kenanga, Cemara. Tanaman sayuran adalah sayuran daun (Sawi, Kangkung, Bayam, Chesim).
Hasil analisis penerapan teknologi khususnya belimbing, mangga dan jambu biji mencapai mencapai kondisi sedang. Data ini menunjukkan bahwa
82
komponen pemupukan, bibit tanaman dan komponen pengendalian hama utamanya lalat buah yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangannya. Kondisi pengembangan penerapan teknologi komoditas tanaman hias pada kondisi sudah baik, namun yang masih perlu diperhatikan adalah teknologi pembibitan. Sebaiknya petani diberikan pelatihan atau penyuluhan teknik budidaya pembibitan atau perbanyakan tanaman hias di wilayah khususnya petani tanaman hias di wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Pusat oleh instansi terkait. Pengelolaan sistem usaha tani tanaman hias dengan penerapan teknologi konservasi tanah dan air diperlukan biaya investasi
yang cukup tinggi dalam aplikasinya, sehingga
petani cenderung tidak menerapkan teknik konservasi tanah dan air. Salah satu contoh rekomendasi teknik konservasi pada pengembangan tanaman hias di wilayah Jakarta Barat tepatnya pada “laboratorium agribisnis Meruya” tertera pada Tabel 29. Masalah petani tanaman hias dalam implementasi paket teknologi adalah minimnya sumber modal usaha, sehingga diharapkan ada lembaga keuangan untuk menunjang modal usaha tani tanaman hias. Tabel 29. Rekomendasi teknik konservasi tanah dan air pada masing-masing titik pengamatan di lokasi laboratorium agribisnis Meruya, Kec. Kembangan, Jakarta Barat. Kode Penggunaan lahan Rekomendasi teknik konservasi tanah dan air UL-7 Tanaman hias Embung/bangunan penampungan air limbah atau air hujan, penataan bedengan tanaman searah kontur, penataan SPA. UL-8 Tanaman hias Pengaturan arah aliran air, perbaikan saluran teras. UL-9 Tanaman hias Penanaman tanaman penguat teras, SPA, BTA, penataan bedengan tanaman searah kontur, penataan SPA UL-10 Tanaman hias Pembuatan para-para untuk mengurangi evaporasi dari kolam penampungan air, penataan SPA. UL-11 Tanaman hias Perbaikan SPA dan BTA, penanaman rumput pada bagian yang terbuka.
Hasil pengamatan terhadap perkembangan penerapan jenis-jenis teknologi budidaya pertanian oleh petani pada sistem pot/polibek, sistem vertikultur, sistem hidroponik, sistem “babilonia” (panjatan dan menjalar pada bangunan) dan tanam langsung di pekarangan dan sawah umumnya pada kondisi sedang. Tabel 30 menunjukkan bahwa kondisi jenis dan penerapan teknologi sudah diketahui dan diterapkan pada umumnya, namun implementasi oleh petani masih relatif rendah.
83
Kondisi ini memberikan harapan atau peluang untuk dikembangkan secara intensif atau moderen oleh masyarakat perkotaan dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30. Persentase tingkat penerapan berbagai jenis teknologi pada sistem usaha tani di wilayah DKI Jakarta. Sayuran No. Jenis Teknologi daun dan buah 1. Sistem Pot/polibek. * 2. Sistem Hidroponik * 3. Sistem “Babilonia” 4. Sistem Vertikultur ** 5. Sistem Tanam Langsung *
Sistem usaha tani Tanaman Tanaman buah Hias/ Tahunan Anggrek * *** * * *** *
Tingkat penerapan (%) 30,00 8,50 7,50 19,00 35,00
Sumber : Hasil survei (2011) Berdasarkan
pengamatan
terhadap
tingkat
adopsi
dan
penerapan
pengembangan pertanian input organik tentang pupuk organik, media tanam, teknik pengomposan oleh masyarakat tani di wilayah DKI Jakarta. Kondisi adopsi dan penerapan teknologi pertanian input organik dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Persentase tingkat penerapan teknologi pertanian input organik di wilayah DKI Jakarta No. 1. 2. 3.
Jenis teknologi organik Pupuk Organik (Cair dan Padat) Teknik Pengomposan Media Tanam
Mengenal *****
Tingkat adopsi Mengaplikasi/ Mencoba melakukan **** ***
Tingkat penerapan (%) 55,00
***
**
*
10,00
****
***
**
35,00
Sumber : Hasil survei (2011) Berdasarkan data penerapan teknologi pertanian input organik, nampak bahwa jenis pupuk organik, baik dalam bentuk cair maupun padat, telah banyak di aplikasikan oleh petani. Teknik pengomposan masih rendah, karena petani mengharapkan pupuk dan media yang sudah jadi dari luar lokasi. Diperlukan suatu kebijakan untuk pemanfaatan sumberdaya lokal yaitu sampah organik kota dalam membuat dan memproduksi pupuk, media tanam organik di lokasi usaha tani secara mandiri.
84
5.1.2. Analisis Bentuk dan Pola Sistem Pengembangan Pertanian Hasil analisis sistem matriks dan deskripsi data pewilayahan komoditas pertanian DKI Jakarta tahun 2007/2008 diverifikasi dan divalidasi melalui pengamatan lapangan terhadap kondisi saat ini dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan dan teknologi. Hasil analisis, deskripsi dan Gambar inovasi dan pengembangan pertanian dapat dilihat pada Lampiran 31 dan 38. Berdasarkan data tersebut, maka diperoleh bentuk dan pola pengembangan pertanian saat ini di wilayah DKI Jakarta. Bentuk dan pola sistem pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta tertera pada Tabel 32. Tabel 32. Bentuk dan pola sistem pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta. No.
Bentuk dan pola pengembangan
1.
Sistem tanam langsung
2.
Sistem vertikultur
3.
Sistem pot dan polibek.
4.
Sistem hidroponik.
5.
Sistem “babilonia” dan atap bangunan
Jenis penggunaan dan pemanfaatan lahan dan ruang Pekarangan, lahan dan kebun spesifik, tegalan, berem jalan dan sawah Pekarangan dan teras rumah atau area terbangun. Pekarangan, teras rumah, atap rumah dan area terbangun lainnya. Pekarangan dan teras rumah atau area terbangun Pada bangunan, pagar dan media panjatan.
Pengembangan kelompok komoditas Jenis tanaman produktif tahunan, hias, sayuran dan tanaman obat-obatan keluarga (toga). Jenis sayuran dan tanaman hias dan anggrek serta tanaman toga. Jenis sayuran dan tanaman hias dan anggrek, tanaman buah tahunan dan toga. Jenis sayuran daun dan buah.
Jenis tanaman hias yang sifatnya memanjat, tanaman rempah yang memanjat.
Berdasarkan Tabel 32, bentuk-bentuk pengembangan pertanian di wilayah DKI Jakarta adalah sebagai berikut: (1). Sistem tanam langsung di lahan pekarangan, tegalan, sawah dan kebun spesifik. Penanaman langsung pada jenis tanaman produktif tahunan, tanaman hias, padi di sawah, tanaman sayuran dan tanaman obat-obatan keluarga (toga). Toga adalah cara memelihara jenis tanaman obat-obatan di pekarangan seperti tanaman kumis kucing, jahe, sere, kunyit dan lainnya yang dapat digunakan sebagai obat, bahkan ada yang sebagai bumbu dapur
85
(pengobatan tidak langsung). (2) Sistem vertikultur adalah suatu pemeliharaan tanaman secara vertikal atau tersusun keatas dengan menggunakan media tanam dan rangkaian konstruksi dari talang air, kayu atau papan dan bambu untuk memelihara tanaman sayuran (bayam, sawi, chesim, kangkung dan selada) dan jenis tanaman lainnya. (3). Sistem pot adalah cara pemeliharaan tanaman dalam pot atau polibek seperti “tabulampot” (tanaman buah dalam pot) dengan media tanam yang diletakkan di berbagai tempat seperti teras rumah, atap-atap rumah dan lainnya. Sistem ini telah berkembang di masyarakat untuk berbagai jenis tanaman yaitu jenis sayuran, tanaman hias dan anggrek, tanaman buah tahunan seperti mangga, belimbing, rambutan, jambu, dan sawo. (4) Sistem hidroponik adalah metode pemeliharaan tanaman dengan sistem aliran air seperti pada usaha tani sayuran daun atau buah di pekarangan atau di area terbangun dengan media tanah dan pemupukan organik seperti tanaman terong, tomat, sawi, cabe dan jenis lainnya. Menurut Sastro et al. (2009), budidaya sayuran sistem hidroponik input organik merupakan salah satu terobosan yang dapat ditempuh guna meningkatkan kuantitas dan kualitas serta daya saing produk sayuran yang dihasilkan petani di DKI Jakarta. (5). Sistem “babilonia” (rambatan atau panjat atau jalar) adalah cara menanam tanaman menjalar atau merambat atau memanjat pada media bangunan atau kayu dan lainnya dengan tujuan keindahan dan kesejukan lingkungan, baik berupa tanaman hias, anggrek, jenis tanaman rempah dan tanaman lainnya.
5.2. Analisis Status Keberlanjutan Pertanian Perkotaan Sumberdaya lahan dan ruang di perkotaan dapat memberi peluang pemanfaatan secara ekologis, ekonomis, maupun sosial dan budaya. Tingginya aktivitas perkotaan telah mendorong semakin tingginya perubahan penggunaan dan pemanfaatan lahan menjadi ruang terbangun untuk kegiatan pemukiman, industri dan berbagai kepentingan. Akibat lain adalah tingginya tingkat polusi udara, banjir atau turunnya kualitas lingkungan. Kondisi lingkungan perkotaan perlu dilakukan analisis daya dukung melalui penilaian status keberlanjutannya, secara khusus pengembangan pertanian perkotaan sebagai salah satu solusi terhadap masalah perkotaan. Penilaian status keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan dilakukan melalui analisis keberlanjutan masing-masing dimensi terhadap atribut-atribut
86
penyusunnya dengan metode multidimensional scaling (MDS) menggunakan Rap.Ur-Agri (Rapid Appraisal for Urban Agriculture) yang merupakan modifikasi dari Rapfish (A Rapid Appraisal Technique for Fisheries). Tingkat
keberlanjutan
pengembangan
pertanian
perkotaan
diduga
berdasarkan hasil analisis terhadap lima dimensi yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan dan teknologi. Kelima dimensi tersebut dievaluasi dan ditetapkan atribut-atribut penyusunnya. Berdasarkan survei dalam penetapan atribut dimensi keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan diperoleh 54 atribut yaitu dimensi ekologi sebanyak 11 atribut, dimensi ekonomi 13 atribut, dimensi sosial 10 atribut, dimensi kelembagaan 11 atribut, dan dimensi teknologi 9 atribut. Keberadaan atribut penyusunnya dan hasil skoring setiap dimensi dapat dilihat pada Lampiran 32, 33, 34, 35 dan 36. Berdasarkan data pada kondisi saat ini, maka setiap atribut pada masing-masing dimensi dinilai dan dianalisis untuk menentukan nilai indeks keberlanjutannya. Indeks keberlanjutan gabungan antar dimensi ditentukan melalui proses pembobotan terhadap masing-masing dimensi. Pembobotan dilakukan oleh stakeholders berdasarkan pada scientific judgement. 5.2.1. Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Secara ekologi multi fungsi pertanian perkotaan adalah dapat sebagai pengendali banjir dengan adanya aktifitas pertanian lahan sawah, draenase lancar dengan adanya pengelolaan pengairan dan irigasi pertanian. Multi fungsi lainnya adalah dapat menambah ruang terbuka hijau produktif melalui program penanaman tanaman produktif seperti mangga, belimbing dan tanaman lainnya. Pertanian perkotaan memiliki peranan sangat penting secara ekologis, selain sebagai sumber pendapatan atau penghasilan tambahan masyarakat perkotaan, pada sisi lain pertanian perkotaan berperan sebagai penghasil “oksigen” dan penyerap karbon dioksida untuk mereduksi polusi udara di perkotaan. Ketersediaan lahan pertanian yang bersifat langka, sering menimbulkan konflik dalam pemanfaatannya dan usaha pertanian seringkali ditempatkan pada pilihan yang terakhir. Berdasarkan Lampiran 32 hasil penilaian dan skoring atribut dimensi ekologi berdasarkan analisis Rap.Ur-Agri DKI Jakarta terhadap 11 atribut dan simulasi MDS, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 46,00% (nilai ini berada pada
kisaran
25,01-50,00%)
berarti
kurang
berkelanjutan.
Nilai
indeks
87
keberlanjutan ini menunjukkan buruknya kondisi lingkungan perkotaan ditinjau dari segi ekologi. Kemampuan sumberdaya lahan pertanian perkotaan untuk mendukung aktivitas pertanian di wilayah tersebut rendah. Bilamana daya dukung sumberdaya lahan ini dibiarkan maka akan berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi lainnya, sehingga pengembangan pertanian perkotaan semakin tidak berkelanjutan. Hasil analisis keberlanjutan dimensi ekologi tertera pada Gambar 19. RAP.UR-AGRI Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
46.00 0
BAD
0
GOOD
20
40
60
80
100
120
-20
-40 DOWN -60 Ecology Sustainability
Real Ecology
References
Anchors
Gambar 19. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Berdasarkan analisis leverage terhadap atribut dimensi ekologi diperoleh 4 atribut yang sensitif terhadap tingkat keberlanjutan yaitu;
(1) luas pekarangan
(RMS=2,45), (2) jenis tanaman dominan dalam pengembangannya (RMS=2,28), (3) perluasan
RTH
produktif
(RMS=1,71),
(4)
kondisi
pengairan
pertanian
(RMS=1,42). Perubahan terhadap ke-4 leverage factor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Hasil analisis leverage dimensi ekologi dapat dilihat pada Gambar 20. Atribut dimensi ekologi yang paling sensitif atau faktor penting adalah luas pekarangan, menunjukkan bahwa lahan utama yang potensi untuk pengembangan pertanian di wilayah perkotaan adalah pekarangan – pekarangan rumah di pemukiman
penduduk.
Pekarangan
rumah
merupakan
target
program
88
pengembangan RTH khususnya RTH produktif berbasis pertanian di wilayah DKI Jakarta. Atribut sensitif lainnya adalah jenis tanaman, menunjukkan bahwa jenis komoditas pertanian perlu diperhatikan dalam pengembangannya. Kondisi pengairan juga sensitif, karena kondisi pengairan untuk pertanian kurang baik yang memberikan dampak negatif pada usaha tani lahan sawah. Leverage of Attributes
0.89
Potensi Banjir Kondisi Pengairan
1.42 0.21
Variabilitas Iklim
Attribute
Estetika/Penataan Lingkungan
0.04
Kondisi Udara
0.15
Kondisi Pencemaran Limbah B3
0.17 2.28
Jenis Tanaman Dominan 0.25
Laju Konversi Lahan Pertanian
2.45
Luas Pekarangan 0.00
Luas Lahan Pertanian
1.71
Luas RTH Produktif 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 20. Hasil analisis leverage pada dimensi ekologi. 5.2.2. Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Secara ekonomi, khususnya finansial usaha tani di perkotaan memiliki peranan sangat penting, sebagai sumber pendapatan petani dan tambahan penghasilan bagi masyarakat perkotaan. Kondisi demikian memberikan tingginya tekanan masyarakat terhadap sumberdaya lahan dan ruang dan pada akhirnya menyebabkan lahan pertanian semakin sempit dan terbatas yang akhirnya pendapatan masyarakat dari kegiatan budidaya pertanian semakin rendah. Atribut yang dianalisis dimensi ekonomi pada pengembangan pertanian perkotaan
89
sebanyak 13 atribut. Berdasarkan hasil analisis Rap.Ur-Agri DKI Jakarta dan simulasi MDS diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 45,72% dengan status kurang berkelanjutan. Hal ini berarti bahwa secara ekonomi, pertanian perkotaan secara umum kurang memberikan dukungan terhadap pendapatan masyarakat petani perkotaan. Hasil analisis keberlanjutan dimensi ekonomi tertera pada Gambar 21. RAP.UR-AGRI Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
45.72 0
GOOD
BAD
0
20
40
60
80
100
120
-20
-40 DOWN -60 Economic Sustainability Real Economic
References
Anchors
Gambar 21. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi. Berdasarkan hasil analisis leverage, diperoleh 5 (lima) atribut yang perubahannya berpengaruh sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan ekonomi, yaitu (1) pemberian insentif dan kompensasi (RMS=0,87), (2) kontribusi pendapatan usaha tani (RMS=0,60), (3) kemampuan modal kelompok tani (RMS=0,59). (4) perluasan area usaha tani (RMS=0,55) (5) tata niaga dan pemasaran (RMS=0,50). Hasil analisis berdasarkan leverage dimensi ekonomi tertera pada Gambar 22. Atribut sangat sensitif adalah pemberian insentif terhadap pengembangan pertanian, karena kegiatan usaha tani di perkotaan semakin tidak menguntungkan.
90
Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa kontribusi pendapatan rumah tangga dari usaha tani sangat rendah, sehingga diperlukan sistem insentif dan kompensasi bagi petani pemilik lahan di wilayah DKI Jakarta. Leverage of Attributes 0.55
Perluasan Area UT
0.50
Tataniaga Pemasaran
0.03
Harga Bibit
0.12
PDRB Pertanian
0.87
Pemberian Insentif
0.59
Attribute
Modal Kel.Tani
0.15
Ketersediaan/biaya Pupuk Organik
0.60
Kontribusi Pendapatan UT Harga Komoditas UT Kota
0.18
Jumlah Tenaga Sektor pertanian
0.18 0.09
Peningkatan Produksi
0.07
Kelayakan Usahatani
0.39
Produktivitas Tanaman 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 22. Hasil analisis leverage pada dimensi ekonomi. 5.2.3. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Secara sosial pengembangan pertanian yang berbasis lahan mengalami kendala yang sangat berat, karena lahan di perkotaan memiliki berbagai kepentingan dibandingkan dengan sumberdaya lain. Hasil analisis Rap.Ur-Agri DKI Jakarta terhadap 10 atribut dimensi sosial dengan simulasi MDS, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 48,83% (berada pada kisaran nilai 25,01-50,00 %) berarti kurang berkelanjutan. Hal ini menunjukkan bahwa secara sosial, pertanian perkotaan kurang memberikan dukungan terhadap pengembangan pertanian secara berkelanjutan, sehingga diperlukan inovasi pertanian atau penerapan teknologi moderen pada ruang atau lahan terbangun yang dapat diterima
91
secara sosial oleh masyarakat perkotaan. Hasil analisis keberlanjutan dimensi sosial tertera pada Gambar 23. RAP.Ur-Agri- Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
0
GOOD
BAD
0
20
40
60
80
100
120
48.83 -20
-40 DOWN -60
Social Sustainability Real social
References
Anchors
Gambar 23. Nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 5 (lima) atribut yang sensitif terhadap indeks keberlanjutan sosial, yaitu (1) pertumbuhan penduduk (RMS=7,40), (2) tekanan penduduk terhadap lahan dan ruang pertanian (RMA=7,23), (3) intensitas penyuluhan pertanian (RMS=6,85), (4) tingkat partisipasi kaum ibu dalam kegiatan pertanian (RMS=6,07), (5) tingkat pengetahuan pertanian petani (RMS=5,47). Hasil analisis berdasarkan leverage dimensi sosial tertera pada Gambar 24. Hasil analisis leverage menunjukkan bahwa atribut sensitif adalah bagai mana mengatasi pertumbuhan penduduk. Data penduduk DKI Jakarta mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tidak kalah pentingnya adalah lahan/ruang pengembangan pertanian semakin sempit atau terbatas yang ditunjukkan oleh atribut tekanan penduduk terhadap lahan dan ruang di perkotaan. Atribut sensitif lainnya adalah bagaimana intensitas penyuluhan pertanian dan partisipasi kaum ibu dalam kegiatan pertanian yang ditunjukkan oleh kelompok wanita tani (KWT) di DKI Jakarta. Penyuluhan pembangunan pertanian, perkebunan, perikanan dan
92
kehutanan didukung oleh keberadaan organisasi yang menangani urusan ini dan didukung oleh SDM berkualitas dan secara kuantitas mampu melayani kegiatan penyuluhan.
Kegiatan
penyuluhan
pembangunan
berupaya
menguatkan
kelembagaan dan pemberdayaan kelompok tani melalui pemberian dorongan dan fasilitasi pembentukan kelompok tani, penguatan maupun penyebarluasan informasi dan teknologi pertanian serta informasi pembangunan lainnya. Atribut sensitif lainnya adalah bagaimana meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan pertanian para petani di perkotaan. Untuk itu perlu peningkatan intensitas penyuluhan pertanian di lapangan kepada petani, serta penambahan kuantitas dan kualitas pembina petani. Leverage of Attributes
2.93
Aksesbilitas Modal dan pembinaan petani
1.46
Jumlah Tanggunangan RT Tingkat Partisipasi Kaum Ibu dalam Keg., Pertanian
6.07 1.65
Attribute
Penduduk bekerja sektor pertanian
7.23
Tekanan Penduduk Terhadap Lahan
7.40
Pertumbuhan penduduk
6.85
Intesitas penyuluhan pertanian
5.47
Tingkat Pengetahuan Pertanian Petani
1.38
Pendidikan Formal KK Tani
1.93
Jumlah Rumah Tangga Petani 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 24. Hasil analisis leverage dimensi sosial.
93
5.2.4. Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Pengelolaan lahan dan ruang di perkotaan dilakukan oleh berbagai stakeholders dengan berbagai kepentingan dan pengaruh yang dimiliki terhadap interaksi antar pelaku. Hasil analisis Rap.Ur-Agri DKI Jakarta terhadap 11 atribut dimensi kelembagaan dan simulasi MDS diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 49,78% (berada pada kisaran 25,01-50,00%) berarti kurang berkelanjutan. Hal ini berarti bahwa secara kelembagaan, pertanian perkotaan kurang memberikan dukungan terhadap pengembangan pertanian secara berkelanjutan. Hasil analisis keberlanjutan dimensi kelembagaan tertera pada Gambar 25. RAP.UR-AGRI Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
49.78 0
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100
120
-20
-40 DOWN -60 Institutional Sustainability Real Institutional
References
Anchors
Gambar 25. Nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 4 (empat) atribut yang sensitif terhadap indeks keberlanjutan kelembagaan yaitu; (1) Kelembagaan penyuluhan (RMS=4,19), (2) Organisasi pertanian bagi kaum ibu (RMS=4,08), (3) Keberadaan otoritas pengendalian lingkungan (RMS=3,24), (4) Aturan pertanian perkotaan (RMS=3,17). Hasil analisis leverage dimensi kelembagaan tertera pada Gambar 26.
94
Atribut sensitif atau faktor penting pada dimensi kelembagaan adalah kelembagaan penyuluhan. Faktor kelembangaan sangat berperan dalam penyediaan input bagi kegiatan pertanian berupa penyediaan sarana produksi pertanian diantaranya bibit unggul, pupuk organik, pestisida, maupun peralatan pertanian serta pembinaan petani perkotaan. Hasil analisis menunjukkan bahwa peranan kaum ibu juga sangat penting dalam pengembangan usaha tani, khususnya di lahan pekarangan, namun perlu ditingkatkan kinerjanya baik teknologi maupun organisasi kelompoknya. Leverage of Attributes
0.76
Peran Instansi Pemerintah Bidang Pertanian Aksesbilitas Petani ke teknologi dan informasi pertanian
0.44
Keberadaan Otoritas Pengendalian Lingkungan
3.22 1.40
Pedagang Sarana Produksi
4.08
Attribute
Organisasi Pertanian Kaum Ibu Keberadaan otoritas Pengendalian Konversi Lahan
1.54 4.19
Kelembagaan Penyuluhan
1.71
LSM Bidang Lingkungan
3.17
Aturan Pertanian Perkotaan
1.41
Efektivitas Penataan Ruang
0.56
Kelembagaan Tani 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 26. Hasil analisis leverage atribut pada dimensi kelembagaan. 5.2.5. Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi Hasil analisis Rap.Ur-Agri DKI Jakarta terhadap 9 atribut dimensi teknologi dan simulasi MDS diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 53,45% (berada pada kisaran nilai 50,01-75,00%) berarti cukup berkelanjutan. Hal ini menunjukkan bahwa secara teknologi pertanian perkotaan cukup memberikan dukungan terhadap pengembangan pertanian secara berkelanjutan. Hasil analisis keberlanjutan dimensi teknologi tertera pada Gambar 27. Berdasarkan hasil analisis
95
leverage diperoleh 3 (tiga) atribut yang sensitif terhadap indeks keberlanjutan teknologi yaitu (1) pemanfaatan teknologi ramah lingkungan (RMS=2,65), (2) jenis inovasi
teknologi
(RMS=1,87), (3)
teknologi
pengairan pertanian
(RMS=2,24). Hasil analisis berdasarkan leverage dimensi teknologi tertera pada Gambar 28. Atribut sensitif atau faktor penting adalah pemanfaatan dan penerapan teknologi ramah lingkungan antara lain bagaimana memanfaatkan sumberdaya lokal (sampah organik kota) di wilayah DKI Jakarta untuk media tanam, pupuk organik dalam upaya pengembangan pertanian organik perkotaan. RAP.Ur-Agri Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20 53.45 0
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100
120
-20
-40 DOWN -60 Technology Sustainability Real Technology
References
Anchors
Gambar 27. Nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi. Jenis penerapan teknologi pertanian yang dominan di wilayah DKI Jakarta adalah teknologi sistem hidroponik, vertikultur, pot dan polibek serta teknologi rambatan pada area-area terbangun (teras dan atap rumah). Kondisi ini menunjukkan bahwa keberadaan inovasi teknologi pertanian sudah cukup banyak, tetapi untuk implementasinya masih relatif kurang berkembang. Pengembangan paket dan komponen teknologi sangat ditentukan oleh pelaku pertanian, baik dari pengetahuan maupun ketrampilan masyarakatnya. Atribut lainnya yang sensitif adalah teknologi pengairan pertanian. Kondisi pengairan untuk kebutuhan pertanian sangat terbatas dan dalam kategori tercemar sedang. Untuk itu perlu
96
pengaturan pengairan dan sumber air termasuk air tanah untuk pengairan tanaman hias dan tanaman tahunan pada lahan pekarangan dan usaha tani lainnya. Leverage of Attributes
1.04
Tingkat Penerapan teknologi
0.54
Teknologi Pembibitan Pertanian
1.87
Teknologi Pengairan pertanian
Attribute
Teknologi pemanfaatan Ruang terbangun untuk pertanian
0.82
2.65
Pemanfaatan teknologi ramah lingkungan
0.82
Teknologi Pengolahan limbah organik
1.87
Jenis Inivasi Teknologi
0.49
Penggunaan bibit Unggul
1.04
Manajemen Usahatani 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 28. Hasil analisis leverage terhadap atribut pada dimensi teknologi. 5.2.6. Indeks Keberlanjutan Multidimensi Hasil analisis Rap.Ur-Agri dengan simulasi MDS, maka kondisi saat ini pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk masing-masing dimensi menurut kategori Rap.Insus Landmag (Rapid Appraisal Index Sustainability of Land Management) sebagai berikut : a. Dimensi ekologi sebesar 46,00% (indeks berada di antara nilai 25,0150,00%) berarti kurang berkelanjutan. b. Dimensi ekonomi sebesar 45,72% (indeks berada di antara nilai 25,0150,00%) berarti kurang berkelanjutan. c. Dimensi sosial sebesar 48,83% (indeks berada di antara nilai 25,01- 50,00%) berarti kurang berkelanjutan. d. Dimensi kelembagaan sebesar 49,78% (indeks berada di antara nilai 25,0150,00%) berarti kurang berkelanjutan.
97
e. Dimensi teknologi sebesar 53,45% (indeks berada di antara nilai 50,0175,00%) berarti cukup berkelanjutan. Nilai indeks ke 5 dimensi menunjukkan bahwa dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan tergolong kurang berkelanjutan, sehingga diperlukan intervensi atau perbaikan kinerja atribut. Dimensi teknologi sudah pada kategori cukup berkelanjutan, namun perlu ditingkatkan menjadi berkelanjutan. 5.2.7. Status Keberlanjutan Multidimensi Pertanian perkotaan Hasil analisis menunjukkan nilai indeks keberlanjutan masing-masing dimensi, hanya dimensi teknologi yang cukup berkelanjutan, namun masih mendekat pada angka kurang berkelanjutan. Data ini menunjukkan bahwa perlu intervensi terhadap kinerja masing-masing atribut setiap dimensi dalam mewujudkan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan, khususnya di wilayah DKI Jakarta. Hasil analisis Rap.Ur-Agri simulasi MDS pengembangan pertanian perkotaan dalam bentuk diagram layang tertera pada Gambar 29.
Ekologi 100 80 60
46.00
40
Teknologi
53.45
20
Ekonomi
45.72
0
49.78 Kelembagaan
48.83 Sosial
Gambar 29. Indeks keberlanjutan multi dimensi pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta. Berdasarkan pendapat beberapa pakar terkait, diperoleh bahwa bobot tertimbang untuk masing-masing dimensi adalah dimensi ekologi 27,56%, ekonomi 17,76%, sosial 14,29%, kelembagaan 18,10%, dan dimensi teknologi 22,29%. Nilai indeks keberlanjutan multidimensi model kebijakan pengembangan
pertanian perkotaan tertera pada Tabel 33.
98
Tabel 33. Nilai indeks keberlanjutan multidimensi model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan. No. 1. 2. 3. 4. 5.
Dimensi keberlanjutan Ekologi Ekonomi Sosial Kelembagaan Teknologi Multidimensi
Nilai indeks keberlanjutan 46,00 45,72 48,83 49,78 53,45 243,78
Nilai bobot tertimbang (%) 27,56 17,76 14,29 18,10 22,29 100,00
Nilai indeks hasil pembobotan 12,68 8,12 6,98 9,01 11,91 48,70
Berdasarkan hasil pembobotan dari kelima dimensi, ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi, diperoleh nilai indeks keberlanjutan multidimensi sebesar 48,70% (terletak diantara nilai 25,01%-50,00%) berarti kurang berkelanjutan. Nilai ini menunjukkan bahwa pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta perlu intervensi dalam meningkatkan kinerja atribut untuk menaikkan status keberlanjutan pertanian perkotaan. Nilai indeks keberlanjutan multidimensi berdasarkan hasil pembobotan dalam diagram layang tertera pada Gambar 30. RAP UR-AGRI Ordination
60 UP
Other Distingishing Features
40
20
0 0
Real Ur-Agri
♦
BAD 20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
53,41 48,70 -20
-40 DOWN -60
Urban Agriculture Sustainability
Gambar 30. Nilai indeks keberlanjutan multidimensi pertanian perkotaan DKI Jakarta.
99
5.2.8. Faktor Pengungkit Keberlanjutan Pertanian Perkotaan Hasil penentuan atribut diperoleh 54 atribut dari kelima dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan dan teknologi. Hasil penilaian skoring atribut setiap dimensi dapat dilihat pada Lampiran 32, 33, 34, 35 dan 36. Hasil analisis MDS (leverage) diperoleh 21 atribut yang berperan sebagai faktor pengungkit (leverage factor) terhadap masing-masing dimensi secara parsial. Sebagai faktor pengungkit adalah ke-21 atribut yang perlu ditingkatkan kualitasnya, sehingga nilai indeks keberlanjutan ke depan menjadi lebih baik. Sebagai faktor pengungkit maka faktorfaktor ini berperan secara sensitif terhadap peningkatan atau penurunan nilai indeks keberlanjutan pertanian perkotaan. Hasil analisis leverage faktor pengungkit sebagai atribut sensitif pada tiap dimensi tertera pada Tabel 34. Tabel 34. Faktor pengungkit per-dimensi keberlanjutan pertanian perkotaan. No.
Dimensi
1
Ekologi (4)
2
Ekonomi (5)
3
Sosial (5)
4
Kelembagaan (4)
5
Teknologi (3)
Faktor Pengungkit (leverage factor) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Luas pekarangan Jenis tanaman dominan Luas RTH Produktif Kondisi pengairan Pemberian insentif dan kompensasi Kontribusi pendapatan usaha tani. Modal kelompok tani Perluasan area usaha tani Tata niaga dan pemasaran Laju pertumbuhan penduduk Tekanan penduduk terhadap lahan dan ruang Intensitas pembinaan petani Tingkat partisipasi kaum ibu Tingkat Pendik.dan ketramp. pertanian petani Kelembagaan penyuluhan Organisasi pertanian kaum ibu Keberadaan otoritas pengend.dan perlindungan lingkungan Aturan pertanian perkotaan Pemanfaatan teknologi ramah lingkungan Jenis inovasi dan penerapan teknologi Teknologi pengairan pertanian
RMS 2,45 2,28 1,71 1,42 0,87 0,60 0,59 0,55 0,50 7,40 7,23 6,85 6,07 5,47 4,19 4,02 3,22 3,17 2,65 1,87 1,87
5.2.9. Uji Validitas dan Uji Ketepatan MDS Uji validitas dengan analisis Monte Carlo; Memperhatikan hasil analisis Monte Carlo dan analisis MDS pada taraf kepercayaan 95% diperoleh bahwa nilai indeks keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaaan menunjukkan selisih nilai kedua hasil analisis tersebut sangat kecil (1,16%). Hal ini berarti bahwa
100
model analisis MDS yang dihasilkan memadai untuk menduga nilai indeks keberlanjutan pertanian perkotaan. Perbedaan nilai yang sangat kecil ini menunjukkan bahwa kesalahan dalam proses analisis kecil kemungkinannya. Kesalahan yang disebabkan pemberian skoring pada setiap atribut, variasi pemberian skoring yang bersifat multidimensi karena adanya opini yang berbeda relatif kecil, proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang relatif stabil, dan kesalahan dalam melakukan input data dan data yang hilang dapat dihindari (Fauzi et al. 2005). Analisis Monte Carlo juga dapat digunakan sebagai metode simulasi untuk mengevaluasi dampak kesalahan acak/galat (random error) dalam analisis statistik yang dilakukan terhadap seluruh dimensi (Kavanagh dan Pitcher 2004). Hasil analisis MDS dan Monte Carlo tertera pada Tabel 35. Uji ketepatan analisis MDS (goodness of fit) pada analisis Rap-Ur-Agri diperoleh koefisien determinasi (R2) antara 94,78% - 95,36 % atau lebih besar dari 80% atau mendekati 100% berarti model pendugaan indeks keberlanjutan sangat baik dan memadai digunakan (Kavanagh 2001). Nilai stress antara 0,13–0,14 menunjukkan bahwa setiap atribut cukup akurat dan dapat dipertanggung jawabkan. Tabel 35. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-Ur-Agri dan analisis Monte Carlo. Dimensi
MDS
Ekologi Ekonomi Sosial Kelembagaan Teknologi
46,00 45,72 48,83 49,78 53,45
Nilai indeks keberlanjutan (%) Monte Carlo Perbedaan Perbedaan (MC) (MDS-MC) (MDS-MC)% 42,55 3,45 7,50 45,78 0,06 0,13 49,17 0,34 0,70 49,56 0,22 0,44 53,63 0,18 0,34
Nilai koefisien determinasi ini mendekati atau lebih besar dari nilai 95% dan nilai stress lebih kecil dari 25% sehingga model analisis MDS yang diperoleh memiliki ketepatan yang tinggi (goodness of fit) untuk menilai indeks keberlanjutan pertanian perkotaan. Nilai stress dan koefisien determinasi hasil analisis Rap-Ur-Agri tertera pada Tabel 36.
101
Tabel 36. Nilai Stress dan Nilai Determinasi (R2) hasil Rap-Ur-Agri. No
Parameter
1.
Nilai indeks
2.
Nilai stress 2
3.
Nilai R
4.
Jumlah iterasi
Dimensi ekologi 46,00
Dimensi ekonomi 45,72
Dimensi sosial 48,83
Dimensi kelembagaan 49,78
Dimensi teknologi 53,45
0,14
0,14
0,13
0,13
0,14
95,09
94,78
94,98
95,36
94,98
2
2
2
2
5
5.3. Analisis Produk Kebijakan Terkait Pertanian Perkotaan Pembangunan pertanian di perkotaan mempunyai permasalahan yang semakin rumit di masa yang akan datang, sehingga perlu dirancang suatu model kebijakan pengembangan yang mempertimbangkan semua komponen sumberdaya yang terdapat pada ekosistem perkotaan. Kebijakan pengembangan pertanian perkotaan juga dihadapkan pada ketersediaan lahan dan ruang sempit atau terbatas. Namun demikian jika dilihat dari sudut pandang lingkungan, maka lahan dan ruang di perkotaan merupakan hal penting menjadi potensi pengembangan pertanian berkelanjutan. 5.3.1. Analisis Isi Produk Kebijakan Hasil content analysis terhadap kebijakan yang ada terkait pertanian memberikan gambaran atau dukungan secara implisit tentang pengembangan pertanian perkotaan. Hasil analisis tertera pada Tabel 37 dan 38. Berdasarkan data yang didasarkan pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat, maka pengembangan pertanian di perkotaan memiliki peluang untuk dikembangkan. Beberapa aturan perundangan sebagai landasan hukum pertanian perkotaan antara lain : (1) UU No. 26 tahun 2007 tentang tata ruang, (2) UU No. 32 tahun 2009 tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, (3) UU No. 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan (4) UU No. 12 Tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman. Keempat aturan perundangan tersebut dalam implementasinya belum terlaksana sebagai mana mestinya, khususnya di wilayah perkotaan karena memiliki masalah yang sangat kompleks. Undang-undang yang ada belum dapat mengakomodasi baik subtansi, implementasi dan pengendalian secara keseluruhan tentang pengembangan pertanian berkelanjutan di perkotaan.
102
Tabel 37. Hasil content analysis kebijakan pengembangan pertanian perkotaan. No.
Peraturan
Substansi
Implementasi
Pengendalian
1.
UU No. 41 Th 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Perlindungan lahan dan pengembangan usaha pertanian berkelanjutan
Perlindungan dan pengembangan lahan pertanian dan pemanfaatan secara terkendali.
Stop konversi lahan pertanian. Optimalisasi daya hasil lahan pertanian
2
UU No. 26 Th 2007 tentang Penataan Ruang
Pengembangan areal RTH didasarkan dan sesuai dengan tata ruang
Pengembangan pertanian sesuai dengan karakteristik biofisik, ekonomi dan sosial budaya masyarakat serta peruntukan ruang
Persyaratkan ketersediaan RTH 30% bagi pengembang atau properti
3
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup
Ruang terbuka hijau (RTH) perkotaan.
Pengembangan Pengembangan komoditas pertanian komoditas pertanian sebagai dukungan RTH ramah lingkungan dan pengendalian lingkungan pekotaan
4
UU No. 12 Tahun Pengembangan 1992 tentang Sistem dan pemanfaatan Budidaya Tananam sumberdaya alam nabati
Meningkatkan penganekaragaman tanaman dan proses kegiatan produksi sampai pasca panen.
Pengembangan kawasan budidaya pertanian yang terakomodasi dalam RTRW.
5.
Perda DKI No.6 Rencana Ruang Tahun 1999 tentang Terbuka Hijau di Rencana Tata Ruang, DKI Jakarta dengan target 13,94% pada tahun 2010
Hasil RTH DKI tahun 2010 sebesar 9,45%. Program RTH produktif dengan komoditas pengembangan tanaman hortikultura.
Menyusun RTRW DKI Jakarta sesuai amanat UU No. 26 Thn 2007 tentang Tata Ruang
6.
Perda DKI No.1 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007 - 2012
Program pembangunan pertanian melalui Diskeltan DKI Jakarta
Pembagunan pertanian melalui pengembangan tanaman hias, tanaman buah dan sayuran di wilayah DKI Jakarta
Meningkatkan populasi tanaman (RTH Produktif), insentif dan kompensasi lahan milik.
7.
Perda DKI No.8 Tahun 2004 tentang Pengendalian dan pengawasan komoditas pertanian
Program ketahanan dan perlindungan pangan daerah
Program peningkatan Tingkatkan produksi dan ketahanan pengawasan produk pangan dan pangan di wilayah perlindungan hasil pangan daerah
8.
SK Gubernur No. 2359 tentang pelestarian tanaman langka.
Penetapan jenis Pengembangan tanaman langka di komoditi pertanian wilayah DKI tanaman langka. Jakarta
Pengembangan kebun spesifik (kebun bibit) di wilayah sebagai plasma nutfah.
103
Peraturan perundangan tentang pertanian perkotaan sangat diperlukan sebagai landasan bagi pemegang kebijakan (pemerintah) dalam melakukan penataan ruang dan pengembangan pertanian. Sebagai tindak lanjutnya adalah perda sebagai implementasi di tingkat daerah (propinsi dan kabupaten/kota). Pengembangan pertanian perkotaan mempunyai
permasalahan kompleks yang
semakin rumit di masa yang akan datang. Untuk itu, diperlukan aturan model pengembangan dan kebijakan khusus pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan di Indonesia pada umumnya dan DKI Jakarta pada khususnya. Tabel 38. Tata guna lahan/ruang di wilayah perkotaan. Komponen
Deskripsi
Keterangan
Tata Ruang (RTRW)
(a) Luas RTH kota 30% dari luas wilayah kota. (b) Luas RTH publik/konservasi diusahakan 20 % dari RTH kota. (c) Luas RTH privat diusahakan 10 % dari RTH kota.
Berpedoman pada UU RI. No. 26 tahun 2007 tentang tata ruang.
RPJM /Pengembang an RTH Produktif
Penetapan program/ rencana kerja pembangunan pertanian antara lain : (a) Pembagian bibit pohon kepada masyarakat yang ada pekarangan. (b) Pemberian saprodi ke petani (c) Pembinaan/penyuluhan teknis pertanian
Berpedoman pada Perda DKI Jakarta No. 1 tahun 2008. tentang rencana pembangunan jangka menengah daerah
Tata guna atau pemanfaatan lahan/ruang perkotaan
Ekologi :
Berpedoman pada UU RI No.32 tahun 2009 tentang Pengeloaan dan perlindungan lingkungan hidup
Menjaga kelestarian fungsi ekosistem secara keseluruhan dengan upaya menjaga produktivitas lahan dengan pengelolaan tata lahan dan air Ekonomi : (a) Skala swadaya masyarakat di pekarangan. (b) Menjalin kemitraan lokal dengan masyarakat setempat melalui perbankan dan koperasi (c) Membangun lembaga keuangan mikro pelaku usaha pertanian
Pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup.
Sosial : (a) Penyerapan tenaga kerja dan usaha lokal sebesar 10 % di perkotaan. (b) Pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan dan usaha rumah tangga.
Berpedoman pada UU RI No.16 Tahun 2006 tentang sistem penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan
Peraturan-peraturan menteri pertanian dan menteri keuangan.
104
5.3.2. Kondisi Implementasi Kebijakan Terbitnya Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang penataan ruang mengisyaratkan ruang terbuka hijau (RTH) untuk sebuah kota dengan ketentuan minimal 30% dari luas keseluruhan wilayah kota. Hal tersebut memberi peluang dan tantangan untuk memperluas pengembangan pertanian di perkotaan, sehingga perlu upaya untuk pencapaian RTH pada wilayah lahan publik dan privat dalam pengembangan pertanian perkotaan khususnya RTH produktif. Adanya undangundang ini diharapkan Pemda melakukan revisi Perda DKI No. 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah atau RTRW yang baru sebagai tindak lanjut dari aturan
yang ada yang diharapkan dapat mengakomodasi tentang keberadaan pertanian perkotaan. Kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda); Keberadaan sumberdaya lahan dan lingkungan khususnya wilayah DKI Jakarta dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang diakibatkan oleh pertambahan jumlah penduduk dan animo masyarakat dalam melakukan kegiatan dalam berbagai bidang usaha, sehingga Pemda DKI telah berupaya dengan Perda No. 6 Tahun 1999 tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) dengan program Gubernur “hijau royo-royo” dengan meningkatkan ruang terbuka hijau pada RTH produktif. Program pengembangan tanaman produktif telah mulai digalakkan dengan kegiatan penanaman tanaman produktif di pekarangan penduduk dengan dasar Perda DKI No.1 tahun 2008 tentang rencana pembangunan jangka menengah daerah tahun 2007 – 2012 yang dijabarkan dalam bentuk program kegiatan. Selain program pengembangan tanaman buah produktif juga ada program kegiatan pembinaan pengembangan agribisnis tanaman hias dan sayuran, namun belum cukup memadai dalam perkembangannya di wilayah DKI Jakarta. Program kegiatan melalui Dinas Kelautan dan Pertanian adalah dengan pemberian bibit tanaman produktif sebanyak 2 pohon per kk untuk dipelihara di lahan pekarangan dengan ukuran bibit 1 m sampai dengan 1,5 m tinggi tanaman dan 2 pohon lebih bagi organisasi/instansi kantor. Pemberian bibit pohon tersebut di dominasi tanaman mangga, rambutan, durian, jambu air dan belimbing. Hasil evaluasi terhadap program pengembangan/penyebaran jumlah tanaman produktif yang dibudidayakan di pekarangan oleh petani dan di perkantoran mulai tahun 2005
105
sampai dengan 2009 pada setiap wilayah kota DKI Jakarta tertera pada Tabel 39. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan program kegiatan ini sangat baik, namun dalam penerapannya oleh petani pelaksana masih jauh dari yang diharapkan, karena keterbatasan anggaran, tenaga dan pembinaan serta pengawasan dalam proses pemeliharaan. Tabel 39 Jumlah (phn) dan jenis tanaman produktif yang dibudidayakan petani di wilayah DKI Jakarta. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Jenis tanaman Belimbing (Averhoa balimbi) Durian (Durio zibethinus) Jambu air (Eugenis aqua) Jambu biji (Psydium guajava) Jambu jamaica (Eugenis sp) Jambu bol (Eugenis sp) Mangga (Mangifera spp) Matoa (Pometia sp) Melinjo (Gnetum gnemon) Nangka (Arthocarpus sp) Rambutan (Nephelium sp) Sawo duren (Manilkara sp) Sawo kecik (Manilkara kauki) Jumlah
Jakbar 480
Jakpus 57
Jaksel 1.592
Jaktim 1.590
Jakut Jumlah 133 3.852
150
0
967
1.193
0
2.310
325
42
673
3.306
355
4.701
361
25
276
771
93
1.526
4
26
275
1.084
0
1.389
316
0
648
1.317
0
2.281
1.0482
2.623
9.741
20.661
1.410
44.917
0 0
0 0
25 0
0 100
0 0
25 100
214
0
138
137
0
489
613
366
4.626
10.553
22
16.180
100
0
40
160
0
300
100
0
50
100
0
250
13.145
3.139
19.051
40.972
2.013
28.320
Sumber: DKP Propinsi DKI Jakarta (2010) Tabel 39 menunjukkan terdapat 13 jenis tanaman yang dikembangkan di 5 wilayah kota DKI Jakarta. Tabel 39 di atas menunjukkan bahwa jumlah jenis tanaman yang disalurkan ke masyarakat didominasi tanaman mangga sekitar 57,35%, tanaman rambutan sekitar 20,60% dan tanaman belimbing sekitar 15,45%. Pengembangan ini perlu mengacu pada kesesuaian pewilayahan komoditas pertanian. Berdasarkan peta AEZ (zona agroecosystem) (2007/2008), pewilayahan komoditas utama/dominan inovasi teknologi pertanian dalam pengembangan RTH
106
produktif di DKI Jakarta adalah sebagai berikut; wilayah kota Jakarta Utara adalah intensifikasi lahan sawah, pengembangan tanaman hortikultura produktif (mangga, sawo dan nangka); wilayah kota Jakarta Barat adalah pengembangan tanaman hias dan anggrek; wilayah kota Jakarta Selatan adalah pengembangan tanaman hortikultura (belimbing, pepaya, mangga dan jenis sayuran); wilayah kota Jakarta Timur adalah intensifikasi lahan sawah dan tanaman hortikultura (jambu air, biji dan sayuran); dan wilayah kota Jakarta Pusat adalah tanaman hias dan anggrek (Sampeliling et al. 2008). Dalam hal ini perlu selektif dalam pemilihan komoditas yang dapat memberi nilai tambah penghasilan bagi masyarakat tani kota dan memberi kontribusi positif terhadap lingkungan perkotaan. Melihat kondisi wilayah DKI Jakarta saat ini, masih terdapat peluang untuk pengembangan RTH produktif dengan mempertahankan lahan sawah bagi petani pemilik di wilayah Jakarta Utara, Jakarta Timur dan Jakarta Barat dengan peningkatan produksi lahan sawah dengan merujuk pada Perda No. 6 tahun 1999 dan program P2BN Kementerian Pertanian. Program kegiatan adalah dengan dukungan saprodi setiap musim tanam untuk meningkatkan produksi padi atau beras di setiap daerah, namun belum berkesinambungan, dimana sangat tergantung pada anggaran pembangunan. Lahan sawah yang masih ada harus dipertahankan dan perlu kebijakan khusus tentang pemanfaatannya agar dapat dipertahankan keberadaannya di wilayah DKI Jakarta. 5.4. Rumusan Model Berkelanjutan
Kebijakan
Pengembangan Pertanian Perkotaan
Penyusunan model kebijakan serta strategi pengembangan pertanian dilakukan dengan menggunakan analisis prospektif. Analisis ini digunakan untuk mendapatkan skenario kebijakan pengembangan pertanian perkotaan di masa yang akan datang. Hal ini dilakukan dengan cara menentukan faktor kunci atau penentu yang berpengaruh terhadap kinerja sistem. Untuk mendapatkan faktor kunci dalam menyusun model dilakukan dengan tahapan yaitu : (1) menentukan faktor kunci yang diperoleh dari atribut-atribut yang sensitif mempengaruhi indeks keberlanjutan pertanian perkotaan kondisi saat ini; (2) mengidentifikasi faktor kunci di masa depan yang diperoleh dari analisis kebutuhan (need analysis) dari semua pihak yang berkepentingan (stakeholders); (3) melakukan kombinasi tahap satu dan dua untuk
107
memperoleh faktor dominan gabungan antara kondisi saat ini dan analisis kebutuhan (need analysis) stakeholders. 5.4.1. Faktor Kunci Penentu Keberlanjutan Pertanian Perkotaan Faktor kunci penentu keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan dilakukan dengan mengidentifikasi atribut sensitif atau penting pada setiap dimensi keberlanjutan. Hasil analisis leverage diperoleh 21 faktor pengungkit sensitif. Mengidentifikasi faktor kunci dengan menggunakan analisis prospektif terhadap 21 faktor pengungkit keberlanjutan. Hasil analisis faktor kebutuhan stakeholders dapat dilihat pada Lampiran 35 dan di peroleh 9 faktor dominan tertera pada Tabel 40. Perubahan terhadap faktor pengungkit ini akan berpengaruh sensitif terhadap perubahan indeks keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan. Tabel 40. Faktor pengungkit dimensi keberlanjutan dan faktor dominan kebutuhan stakeholders pertanian perkotaan DKI Jakarta. No.
Dimensi
1. Ekologi (4)
1. 2. 3. 4. 2. Ekonomi (5) 5. 6. 7. 8. 9. 3. Sosial (5) 10. 11. 12. 13. 14. 4. Kelembagaan 15. (4) 16. 17. 18. 5. Teknologi (3)
Faktor dominan kebutuhan Stakeholders Luas pekarangan 1. Perluasan lahan dan ruang Jenis tanaman dominan usaha tani. Luas RTH Produktif 2. Jenis-jenis tanaman Kondisi pengairan hortikultura. Pemberian insentif dan kompensasi 3. Penguatan modal usaha Kontribusi pendapatan usaha tani tani. Modal kelompok tani Perluasan area usaha tani Tata niaga dan pemasaran Laju pertumbuhan penduduk 4. Penyuluhan dan Tekanan penduduk terhadap lahan kelembagaan pertanian. dan ruang. 5. Kerjasama antar Intensitas pembinaan petani stakeholders sektor terkait. Tingkat partisipasi kaum ibu. Tingkat pendik.dan ketramp. pertanian petani Kelembagaan penyuluhan 6. Jaminan pasar oleh Organisasi pertanian kaum ibu pemerintah. Otoritas pengend.dan perlind. 7. Penguatan kelembagaan Lingkungan tani. Aturan pertanian perkotaan 8. Jaminan dan kompensasi kehilangan hak-hak. Pemanfaatan teknologi ramah 9. Pengembangan komoditas lingkungan dan teknologi ramah Jenis penerapan teknologi lingkungan budidaya Teknologi pengairan Faktor pengungkit keberlanjutan
19. 20. 21.
108
Hasil analisis prospektif faktor pengungkit keberlanjutan diperoleh 4 faktor kunci yaitu luas RTH produktif, pemberian insentif dan kompensasi pertanian, luas pekarangan dan intensitas pembinaan petani yang dapat dilihat pada Gambar 31.
I II
IV
III
Gambar 31. Faktor kunci keberlanjtan pengembangan pertanian perkotaan Hasil analisis prospektif kebutuhan stakeholders diperoleh 4 faktor kunci yaitu kerjasama antar stakeholders, penyuluhan dan kelembagaan pertanian, perluasan ruang usaha tani, pengembangan komoditas dan teknologi
pertanian ramah
lingkungan yang dapat dilihat pada Gambar 32.
I II
IV
III
Gambar 32 Faktor kunci kebutuhan stakeholders pengembangan pertanian perkotaan.
109
Dengan demikian terdapat 8 faktor kunci dari dimensi keberlanjutan dan kebutuhan stakeholders tertera pada Tabel 41. Tabel 41. Gabungan faktor kunci yang pengaruh dominan terhadap pengembangan pertanian perkotaan DKI Jakarta. No. A.
B.
Deskripsi Faktor Kunci Dimensi Keberlanjutan 1. Luas RTH produktif 2. Pemberian insentif dan kompensasi pertanian 3. Luas pekarangan 4. Intensitas pembinaan petani Faktor Kunci Kebutuhan Stakeholders 1. Kerjasama antar stakeholders 2. Penyuluhan dan kelembagaan pertanian 3. Perluasan ruang usaha tani 4. Pengembangan komoditas dan teknologi pertanian ramah lingkungan.
Selanjutnya dilakukan analisis prospektif terhadap 8 faktor kunci gabungan dengan mengidentifikasi tingkat ketergantungan faktor dan tingkat pengaruhnya terhadap sistem yang dikaji dalam pengembangan pertanian perkotaan dengan metode analisis prospektif (Bourgeois dan Jesus, 2004). Hasil analisis prospektif gabungan antara tingkat kepentingan faktor perpengaruh tertera pada Gambar 33.
I II
IV
III
Gambar 33. Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh dalam sistem pengembangan pertanian perkotaan.
110
Hasil analisis prospektif menunjukkan terdapat 6 atribut sebagai faktor kunci penentu keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan yaitu; (1) luas pekarangan, (2) pengembangan komoditas dan teknologi pertanian ramah lingkungan, (3) penyuluhan dan kelembagaan pertanian, (4) perluasan ruang usaha tani, (5) kerjasama antar stakeholders, dan (6) pemberian insentif dan kompensasi pertanian. Enam faktor kunci tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap kinerja sistem pengembangan pertanian perkotaan keberlanjutan di wilayah DKI Jakarta. 5.4.2. Skenario Kebijakan Pengembangan Pertanian Perkotaan Kondisi eksisting pengembangan pertanian DKI Jakarta tergolong kurang berkelanjutan, sehingga perlu intervensi perbaikan kinerja atribut sebagai upaya mewujutkan keberlanjutan pertanian di perkotaan. Penyusunan skenario kebijakan didasarkan pada kemungkinan terjadi ke depan dengan berbagai tingkat intervensi perbaikan kinerja atribut setiap dimensi dari kondisi buruk, kurang, cukup menjadi berkelanjutan. Berdasarkan faktor kunci penentu keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan pada skenario I (pesimis), skenario II (moderat) dan skenario III (optimis) tertera pada Tabel 42. Tabel 42. Uraian masing-masing skenario pengembangan pertanian perkotaan. Skenario
Uraian (Keterangan)
I
Mempertahankan kondisi pengembangan pertanian perkotaan dengan cara mempertahankan skoring pada dimensi yang status keberlanjutan cukup berkelanjutan dan dilakukan intervensi atau perbaikan pada beberapa atribut tidak berkelanjutan dan beberapa atribut kurang berkelanjutan kondisi rendah berdasarkan kemampuan yang ada.
(Pesimis)
II (Moderat)
III (Optimis)
Mempertahankan kondisi pengembangan pertanian perkotaan dengan cara mempertahankan skoring pada dimensi yang status keberlanjutan yang baik dan melakukan perbaikan pada peningkatan skoring pada beberapa atribut tidak berkelanjutan dan atribut kurang berkelanjutan pada kondisi sedang. Mempertahankan kondisi pengembangan pertanian perkotaan dengan cara mempertahankan skoring pada dimensi yang status keberlanjutan yang baik dan melakukan perbaikan pada peningkatan skoring pada atribut tidak berkelanjutan dan atribut kurang berkelanjutan dan cukup berkelanjutan pada kondisi maksimal.
111
Intervensi sebagai langka perbaikan dilakukan dalam upaya meningkatkan nilai skor terhadap faktor kunci tersebut. Selanjutnya faktor pengungkit pada masing-masing
dimensi
keberlanjutan
dilakukan
perbaikan,
kemudian
disimulasikan melalui analisis MDS untuk menilai kembali peningkatan indeks keberlanjutannya. Sebagai contoh simulasi dengan meningkatkan skor atau kinerja sistem pengembangan pertanian perkotaan dapat dilihat pada Tabel 43. Hasil analisis simulasi MDS, maka nilai indeks keberlanjutan setiap skenario dapat dilihat pada Tabel 44. Skenario I (pesimis) merupakan skenario kebijakan berdasarkan sedikit perbaikan karena keterbatasan baik anggaran, tenaga dan lainnya untuk melakukan perbaikan saat ini. Perbaikan ini dengan simulasi MDS, menunjukkan ada peningkatkan nilai indeks keberlanjutan menjadi <55,06% yang masih tergolong kurang berkelanjutan. Skenario II (moderat) yaitu dengan intervensi atau diadakan perbaikan bertahap dalam jangka waktu tahunan sampai 5-10 tahun ke depan dapat meningkatkan indeks keberlanjutan menjadi 63,65% atau tergolong cukup berkelanjutan. Skenario III (optimis) yaitu dengan melakukan intervensi atau dilakukan perbaikan bertahap dalam jangka waktu 15 tahun sampai 25 tahun ke depan pada kondisi maksimal, sehingga diperoleh peningkatan indeks keberlanjutan menjadi 76,85% atau tergolong berkelanjutan. Berdasarkan hasil analisis dan data (Tabel 44) dan kondisi saat ini bahwa kesesuaian pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta adalah intervensi dengan perbaikan secara bertahap adalah skenario II (moderat). Hal ini sangat dibatasi oleh pertumbuhan penduduk dan ibu kota sebagai kota jasa dan lahan yang sangat sempit untuk usaha tani.
menunjukkan
bahwa pengembangan
pertanian perkotaan dengan tujuan utama adalah ekologi atau lingkungan dibandingkan dengan ekonomi dan lainnya. Inovasi pertanian di perkotaan adalah dengan tujuan utama adalah untuk perbaikan lingkungan yang dapat diikuti oleh pertumbuhan ekonomi atau tambahan penghasilan bagi para pelaku pertanian di perkotaan secara berkelanjutan.
112
Tabel 43. Skenario faktor kunci, skoring dan kemungkinan perubahan ke depan dalam pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan. No Faktor Kunci 1.
Luas pekarangan (p);
2.
Pengembangan komoditas, teknologi ramah lingkungan (k);
3.
Penyuluhan dan kelembagaan pertanian (l);
4.
Perluasan lahandan ruang UT. (r);
5.
Kerjasama antar stakeholders (s);
6.
Pemberian insentif dan kompensasi (i);
Keadaan yang mungkin terjadi di masa depan I (Pesimis) II (Moderat) III (Optimis) Rata-rata luas Rata-rata luas Rata-rata luas pekarangan = 10 % pekarangan10 < 20 pekarangan 20< 30 % dari luas kavling % dari luas kavling dari luas kavling rumah (1) rumah (2) rumah (3) 3-5 phn/kk atau >5-8 phn/kk atau > 8 phn/kk atau jenis jenis tanaman jenis tanaman tanaman produktif produktif dan produktif dan dan penerapan penerapan teknologi penerapan teknologi teknologi yang yang dikembangkan yang dikembangkan dikembangkan (3) (1) (2) 25 – 50 % petani >50 – 75% petani > 75% mendapatkan mendapatkan petani mendapatkan penyuluhan/ penyuluhan/ penyuluhan/ pembinaan petugas pembinaan petugas pembinaan petugas secara berkala. (1) secara berkala. (2) secara berkala. (3) Mempertahan Mempertahan Mempertahan dan kondisi lahan saat kondisi lahan saat mengoptmalkan lahan ini sebagai lahan ini sebagai lahan dan ruang terbagun pertanian (1) pertanian dan ruang dengan inovasi mengoptimalkan teknologi moderen. daya hasil (2) (3) Peran instansi Peran instansi terkait Peran instansi terkait terkait dengan dengan program dengan program program pengembangan pengembangan pengembangan pertanian perkotaan pertanian perkotaan pertanian perkotaan (berperan dan relatif (berperan dan relatif (berperan dan relatif cukup efektif (2) sangat efektif (3) kurang efektif ( 1) Insentif saprodi Insentif saprodi Insentif saprodi dan usaha tani (1) usaha tani dan pajak pajak tanah dan tanah pekarangan (2) restribusi hasil pertanian (3)
Tabel 44. Nilai indeks keberlanjutan per dimensi dan multi dimensi berdasar skenario kebijakan I , II dan III. No
1. 2. 3. 4. 5.
Dimensi
Ekologi Ekonomi Sosial Kelembagaan Teknologi Indeks Status
Kondisi Saat Ini 46,00 45,72 48,83 49,78 53,45 48,70 Kurang berkelanjutan
Tingkat Keberlanjutan (%) Skenario I Skenario II (Pesimis) (Moderat) 55,52 63.56 51,45 61.77 54,65 63.35 54,66 63.45 56,05 70.65 55,06 63,65 Kurang Cukup berkelanjutan berkelanjutan
Skenario III (Optimis) 78.65 75.68 73.45 76.75 87.58 76,85 Sangat berkelanjutan
113
Status keberlanjutan dari 3 skenario digambarkan dalam diagram layang dapat dilihat pada Gambar 34. Ekologi 100 80
55.52
60 40
Teknologi
56.05
Ekonomi
51.45
20 0
54.66
54.65
Kelembagaan
Sosial
Skenario Moderat
Skenario Pesimis
Skenario Optimis
Gambar 34. Diagram layang status keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan pada tiga skenario kebijakan. 5.4.3. Arahan dan Strategi Implementasi Kebijakan Pengembangan Pertanian Perkotaan Berdasarkan hasil analisis bahwa pertanian perkotaan adalah interaksi dan fungsi faktor luas pekarangan, pengembangan komoditas dan teknologi pertanian ramah lingkungan, penyuluhan dan kelembagaan pertanian, perluasan lahan/ruang usaha tani, kerjasama antar stakeholders, dan pemberian insentif dan kompensasi. Keberadaan instrumen kebijakan sebagai landasan hukum untuk peningkatan pendapatan petani di perkotaan relatif masih kurang efektif dan belum memadai. Peraturan perundangan terkait untuk peningkatan pendapatan atau penghasilan petani secara umum dapat dilihat pada Tabel 45.
114
Tabel 45. Peraturan perundangan terkait untuk peningkatan pendapatan atau penghasilan petani. Peraturan 1. Peraturan Menteri Pertanian No. 41/Permentan/OT.140/5/2007 2. Peraturan Menteri Pertanian No. 46/Permentan/OT.140/5/2007 3. Peraturan Menteri Pertanian No. 57/Permentan/KU.430/7/2007 4. Peraturan Menteri Pertanian No. 72/Permentan/OT.140/11/2007 5. Inpres No. 1 Tahun 2008 6. Peraturan Menteri Pertanian No.12/Permentan/OT.140/2/2008 7. Peraturan Menteri Pertanian No.16/Permentan/OT.140/2/2008
Tentang Pedoman umum penyaluran bantuan langsung masyarakat untuk keringanan investasi pertanian (BLM-KIP). Pedoman umum skim pelayanan pembiayaan pertanian (SP-3) TA. 2007 Pedoman pelaksanaan kredit ketahanan pangan dan energi. Pedoman umum bantuan langsung benih. unggul TA. 2007 Kebijakan perberasan. Pedoman penyaluran bantuan sosial kepada petani tahun anggaran 2008. Pedoman umum pengembangan usaha agribisnis perdesaan/perkotaan (PUAP).
Berdasarkan hasil focus group discussion (FGD) dan wawancara mendalam terhadap pakar dan stakeholders tentang faktor-faktor penentu, skenario dan aturan yang sudah ada, maka diperoleh opsi dan strategi implementasi kebijakan di wilayah DKI Jakarta. Hasil tabulasi data menunjukkan bahwa sebagai langkah arahan kebijakan, strategi implementasi dan pengendalian pegembangan pertanian dapat dilihat pada Tabel 46. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka pemerintah perlu segera menetapkan lahan/ruang pertanian pangan berkelanjutan di perkotaan sesuai dengan amanat UU No. 41 Tahun 2009. Sebagai langkah awal, rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi DKI Jakarta yang akan ditetapkan berdasarkan peraturan daerah (Perda) yang diimplementasikan secara konsisten oleh pemangku kebijakan. Kawasan peruntukan pertanian harus ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan dan non pangan berkelanjutan dengan mematuhi ketentuan pelarangan alih fungsi lahan sawah dan kebun spesifik yang masih ada ke non pertanian sesuai arahan peraturan zonasi untuk kawasan budidaya pertanian di perkotaan. Mendasari hal ini, maka perlu regulasi mengenai kebijakan khusus dalam bentuk undang-undang tentang pertanian perkotaan. Aturan ini dapat menjadi payung hukum pembangunan pertanian dan eksisnya kegiatan usaha tani perkotaan di Indonesia pada umumnya dan wilayah DKI Jakarta pada khususnya.
115
Arahan
kebijakan
pengembangan
pertanian
perkotaan
meliputi;
pengembangan lahan dan ruang usaha tani di pekarangan, area terbangun dan kebun spesifik, pengembangan komoditas dan teknologi ramah lingkungan, sosial dan pengembangan kelembagaan pertanian. Arahan kebijakan dan strategi implementasi kebijakan pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta tertera pada Tabel 46. Tabel 46. Arahan kebijakan dan strategi implementasi kebijakan pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta. No 1.
Arahan Strategi Kebijakan Kebijakan Pengembangan I. Luas lahan pekarangan lahan dan (1) Mempertahankan ruang usaha pekarangan ada. tani; (2) Memperluas ruang dengan pekarangan dan sistem vertikal. lahan kebun (3) Penghematan pemanfaatan spesifik. lahan untuk non pertanian dengan sistem rumah susun. II. Lahan dan kebun spesifik; (1) Mempertahankan lahan sawah dan kebun spesifik komoditas yang ada. (2) Pengembang menyediakan RTH produktif.
2.
Pengembangan (1) Pengembangan komoditas komoditas dan yang mempunyai nilai teknologi ramah ekonomi tinggi dan lingkungan. produktif pada kawasan rumah. (2) Pengembangan pertanian input organik dan teknologi ramah lingkungan.
3.
Pengembangan kelembagaan pertanian
(1) Memperkuat kelembagaan penyuluhan dan kelembagaan pertanian. (2) Pemberdayaan masyarakat dengan pola kemitraan tani dan insentif dan kompensasi pertanian. (3) Meningkatkan koordinasi, kemitraan kerja sama dan terpadu antara stakeholders.
Implementasi dan Pengendalian Optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan dan memberikan disinsentif bagi yang menelantarkan (”lahan tidur”) pekarangan.
Optimalisasi pemanfaatan dan hasil lahan sawah dengan sistem insentif dan kompensasi. Mengisyaratkan pengembang 30% untuk lahan RTH. Implementasi model kawasan rumah pangan lestari (MKRPL) adalah pemanfaatan pekarangan yang diwujudkan dalam satu kawasan (perumahan, RT dan lainnya) dengan penerapan intensifikasi pertanian lahan dan ruang sekitar rumah. Menambah tenaga pembina teknis dan sarana penyuluhan pertanian. Pemberian insentif saprodi dan pembebasan pajak lahan atau tanah milik pertanian. Menjalin hubungan kerjasama pola kemitraan antar stakeholders.
116
5.4.4. Rumusan Model Kebijakan Pengembangan Pertanian Perkotaan Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kondisi wilayah perkotaan sudah merupakan agroecosystem tersendiri yang berbeda secara nyata dengan pertanian di pedesaan, sehingga keberadaan instrumen kebijakan sebagai landasan hukum juga berbeda yang disesuaikan dengan kondisi perkotaan itu sendiri. Eksistensi keberadaan lahan dan ruang untuk inovasi pertanian di perkotaan memegang peranan sangat penting dalam sistem produksi pertanian dan kualitas lingkungan. Pengembangan lahan dan ruang untuk pertanian perkotaan merupakan determinan utama keberadaan luas pekarangan, kebun spesifik dan ruang terbangun untuk kegiatan pertanian produktif. Menjaga eksistensi lahan dan ruang tidak hanya untuk keberlanjutan sistem produksi hasil pertanian dan kualitas lingkungan, tetapi usaha tani perkotaan memberikan lapangan kerja dan menjadi sumber tambahan penghasilan masyarakat serta menjadi penyangga kestabilan ekonomi dalam keadaan kritis dan berkaitan langsung dengan upaya penanggulangan kemiskinan (poverty alleviation) serta lingkungan lestari. Berdasarkan hasil analisis terhadap kondisi saat ini dan faktor kunci penentu keberlanjutan,
maka
dirumuskan
model
kebijakan
pertanian
perkotaan
berkelanjutan di wilayah DKI Jakarta sebagai berikut; 1) bentuk dan pola sistem pengembangan pertanian perkotaan, 2) keberlanjutan multidimensi aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan dan teknologi, 3) atribut sensitif dan faktor kunci penentu keberlanjutan, 4) skenario dan arahan kebijakan. Rumusan model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan terhadap penentu keberlanjutan pertanian sebagai berikut; dimana pertanian perkotaan (PK) adalah merupakan fungsi dari faktor dominan penentu keberlanjutan yaitu; luas pekarangan (p), komoditas dan teknologi ramah lingkungan (k), penyuluhan dan kelembagaan pertanian (l), perluasan ruang usaha tani (r), kerjasama antar stakeholders (s), dan pemberian insentif dan kompensasi pertanian (i). Pendekatan integratif faktor penentu dalam hubungan fungsi; PK = f ( p, k, l, r, s, i ), yang menjadi pertimbangan penentuan kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan. Keenam faktor kunci penentu keberlanjutan pertanian perkotaan dapat dideskripsikan sebagai berikut;
117
1. Luas pekarangan (p); Upaya untuk memperluas pekarangan sampai dengan <30% dari luas kavling rumah tinggal dan perkantoran serta fasilitas umum lainnya. Melihat kondisi saat ini di wilayah DKI Jakarta, dimana rata-rata luas pekarangan <10% dari luas kavling rumah, maka upaya memperluas pekarangan dapat dilakukan dengan sistem horisontal dan vertikal. Untuk memperluas pekarangan, maka perlu kebijakan khusus bagi pengembang yaitu mengisyaratkan ketersediaan RTH 30% dan rata-rata luas pekarangan 10 < 20 % dari luas kavling rumah secara bertahap.
“Menurut Purnomohadi (2000), mengacu pada kondisi spesifik perkotaan, pengembangan atau perancangan model sistem produksi pertanian perkotaan paling tidak harus memperhatikan dua kriteria yaitu “hemat lahan” dan produk relatif bersih. Sebagai contoh; di beberapa wilayah Jerman, pemerintah kota mengeluarkan regulasi yang mengharuskan bangunan industri baru memiliki atap hijau dari materi tanaman. Juga kota-kota Swiss yang mengharuskan konstruksi baru untuk merealokasi ruang terbuka hijau yang hilang akibat pembangunan konstruksi tersebut ke bagian atap bangunan baru (Baatz, 1993)”. 2. Komoditas dan teknologi pertanian ramah lingkungan (k); Untuk meningkatkan daya hasil lahan pekarangan dan kebun spesifik, maka perlu kebijakan penanaman selektif pada komoditas bernilai ekonomi tinggi yang disesuaikan dengan kondisi lahan/lingkungan. Meningkatkan program insentif berupa bibit tanaman menjadi >5-8 phn/kk dari kondisi saat ini untuk jenis tanaman
produktif dengan penerapan teknologi intensif. Upaya peningkatan
kegiatan penanaman, yang pada gilirannya masyarakat perkotaan dapat memperbanyak sendiri populasi tanaman di lingkungannya. Jenis komoditas yang dikembangkan adalah tanaman hias, tanaman produktif tahunan seperti rambutan, mangga, jambu, sawo, belimbing, melinjo. Pemanfaatan pekarangan dapat diintervensi dengan penerapan teknologi ramah lingkungan yaitu pertanian input organik sistem vertikultur, sistem pot atau polibek dan sistem hidroponik pada komoditas tanaman buah, sayuran dan tanaman hias di sekitar rumah penduduk atau halaman rumah, kantor, di atas bangunan dan sarana lainnya. Pengembangan dan implementasi model kawasan rumah pangan lestari (MKRPL) di wilayah perkotaan dengan pengembangan komoditas pangan dan non pangan disekitar rumah.
3. Penyuluhan dan kelembagaan pertanian (l); Upaya meningkatkan kinerja penyuluhan dan kelembagaan pertanian dengan harapan bahwa para petani lebih
118
intensif atau secara berkala dan berkesinambungan mendapatkan pembinaan teknis dan fungsi kelembagaan efektif. Perlu kebijakan khusus penambahan tenaga pertanian perkotaan khususnya tenaga pembina dilapangan baik penyuluh dan tenaga teknis lainnya sesuai kebutuhan wilayah dan keberadaan masyarakat tani di perkotaan serta satuan administrasinya seperti kantor Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) secara umum (pertanian pangan, perikanan-kelautan, peternakan dan kehutanan). Upaya memperkuat kelembagaan tani di wilayah pola kemitraan pelaku pertanian perkotaan. Pemberdayaan pelaku pertanian dengan insentif atau kompensasi bagi petani kurang mampu dan daya hasil usahanya relatif rendah, seperti halnya pada usaha tani padi sawah.
4. Perluasan lahan dan ruang usaha tani (r); perluasan lahan dan ruang usaha tani pada kebun spesifik komoditas merupakan suatu hal yang sangat penting keberadaannya. Juga pemanfaatan ruang terbangun seperti di atap-atap rumah dilakukan kegiatan usaha tani. Khususnya kota DKI Jakarta yang masih memiliki lahan sawah dan tegalan dalam kategori lahan sempit atau terbatas untuk pengembangan pertanian, maka perlu kebijakan khusus untuk penggunaan atau pemanfaatannya atau mengoptimalkan daya hasil usaha tani yang dapat digambarkan melalui penataan ruang. Kebijakan penghematan lahan untuk non pertanian dengan sistem rumah susun. Pengembangan RTH produktif pertanian di lahan pekarangan. Penggunaan atau pemanfaatan lahan sawah secara optimal serta mempertahankan dengan kebijakan khusus dan tegalan atau lahan terlantar di Jakarta didasari oleh philosophy konsep pemanfaatan lahan dan ruang untuk pertanian berwawasan lingkungan. ”Konsep pertanian berwawasan lingkungan adalah agroekologi merupakan studi agroekosistem yang holistik, termasuk semua elemen lingkungan dan manusia. Impelentasi pembangunan ini dapat diwujudkan dengan inovasi teknologi yang sesuai dengan daya dukung sumberdaya lahan/lingkungannya (Badan Litbang, 2003). Konsep perencanaan suatu perkotaan dalam penggunaan lahan seyogyanya tidak hanya dipenuhi oleh simbol-simbol kekuatan ekonomi saja, tetapi berisikan simbol-simbol kekuatan sosio-kultural, pemerintahan. Disisi lain, keserasian antara simbol kegiatan masyarakat dengan simbol-simbol lingkungan akan menciptakan suasana yang ”harmonis” serta ”nyaman” bagi warga perkotaan. Ekosistem perkotaan dapat dibagi menjadi empat ruang (compartment) secara berimbang, yaitu ruang sistem produksi, ruang sistem perlindungan, ruang sistem serbaguna dan ruang sistem industri perkotaan.
119
Untuk implementasi konsep ruang tersebut diperlukan prosedur zonasi lanskap yang tepat (Rustiadi et al. 2008)”.
5. Kerjasama antar stakeholders (s); Peningkatan koordinasi, kerja sama dan keterpaduan dalam implementasi program kegiatan sesuai dengan tupoksi instansi masing-masing, akan meningkat perannya bila ada aturan pertanian perkotaan sebagai dasar pedoman kegiatan bagi stakeholders dalam upanya pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan. Pola pengembangan pertanian perkotaan yang dilakukan dapat dikelompokkan dalam 2 bentuk yakni berbentuk kerjasama dan swadaya oleh masyarakat perkotaan dan bentuk pola-pola kemitraan kegiatan pertanian di wilayah DKI Jakarta. Upaya meningkatkan peran instansi terkait secara efektif dengan program terpadu yang dikoordinasikan oleh Bappeda sebagai koordinator pembangunan wilayah.
6. Pemberian insentif dan kompensasi pertanian (i); Berdasarkan kondisi usaha tani di wilayah DKI Jakarta pada lahan dan ruang terbatas, baik di pekarangan untuk tanaman RTH produktif kategori kurang menguntungkan, sehingga sebagian besar masyarakat berkeinginan untuk mendapatkan insentif berupa pemberian saprodi setiap dan pembebasan pajak tanah atau lahan usaha tani dan kompensasi hasil usaha tani yang tidak menguntungkan lagi. Kenyataan dilapangan sudah ada kebijakan berupa program kegiatan dinas pertanian dalam menyediakan bibit tanaman produktif, saprodi pada usaha tani sawah, tetapi masih mengalami banyak keterbatasan. Sehubungan dengan kondisi lapangan dan kebutuhan
petani,
maka
diperlukan
suatu
kebijakan
pemberian
insentif/kompensasi saprodi dan pembebasan pajak tanah pertanian lahan milik di wilayah perkotaan. Menurut Nasoetion dan Winoto (1996) konversi lahan sangat sulit dihindari karena permasalahan faktor-faktor ekonomi yang tercermin dari rendahnya nilai tanah/lahan untuk kegiatan pertanian dibandingkan dengan kegiatan sektor lain. Rasio land rent lahan pertanian adalah 1:500 untuk kawasan industri dan 1:622 untuk kawasan perumahan, sehingga perlu upaya untuk mempertahankan keberadaan lahan pertanian di perkotaan dengan memberi insentif dan kompensasi terhadap hasil petani.
120
Adapun penggambaran model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 35.
Pertanian Perkotaan
Aspek Sumberdaya Lahan/ruang/SDM : Ekologi Ekonomi Sosial Kelembagaan Teknologi
Kebijakan (peraturan perundang-undangan) yang ada sekarang
Status Keberlanjutan Pertanian Perkotaan
Model: PK = f ( p, k. l, r, s. i. )
G = f (a, p, s, t, i, m) Luas Pekarangan (p)
Pengembangan komoditas dan teknologi ramah lingkungan (k)
Penyuluhan dan kelembagaan pertanian (l)
Perluasan ruang usaha tani (r)
Skenario Kebijakan Pengembangan Pertanian Perkotaan
Pengembangan lahan dan ruang usaha tani; pekarangan, ruang terbangun dan lahan kebun spesifik
Kerjasama antar stakeholders (s)
Pemberian insentif dan kompensasi pertanian (i)
Arahan dan Strategi Implementasi Pengembangan Pertanian Perkotaan
Pengembangan komoditas pangan dan non pangan dan penerapan teknologi ramah lingkungan
Pengembangan kelembagaan dan pola kemitraan pertanian
Arahan Kebijakan Pengembangan Pertanian Perkotaan Berkelanjutan
Gambar 35. Model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan di wilayah DKI Jakarta.
121
VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan 1. Bentuk dan pola sistem pengembangan pertanian perkotaan di DKI Jakarta saat ini adalah pendayagunaan atau pemanfaatan lahan dan ruang terbatas di pekarangan, kebun spesifik dan ruang terbangun dengan pengembangan komoditas pangan dan non pangan yaitu jenis-jenis sayuran, tanaman hias, anggrek, tanaman buah tahunan dan padi varietas unggul di lahan sawah. Pengembangan pertanian dilakukan dengan sistem tanam langsung, sistem vertikultur, sistem pot atau polibek, sistem hidroponik dan sistem “babilonia”. 2. Status keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta pada kondisi saat ini menunjukkan nilai indeks sebesar 48,70% tergolong kurang berkelanjutan. Status keberlanjutan masing-masing dimensi adalah: dimensi ekologi dengan indeks 46,00%, dimensi ekonomi dengan indeks 45,72%, dimensi sosial dengan indeks 48,83%, dimensi kelembagaan dengan indeks 49,78%, semuanya tergolong kurang berkelanjutan, hanya dimensi teknologi yang tergolong cukup berkelanjutan dengan indeks 53,45%. 3. Faktor kunci penentu keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan adalah; luas pekarangan, pengembangan komoditas dan teknologi pertanian ramah lingkungan, penyuluhan dan kelembagaan pertanian, perluasan lahan dan ruang usaha tani, kerjasama antar stakeholders, pemberian insentif dan kompensasi pertanian. Keenam faktor kunci tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap kinerja sistem pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan di wilayah DKI Jakarta. 4. Ada tiga skenario kebijakan dalam upaya meningkatkan indeks keberlanjutan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta yaitu skenario I (pesimis) dengan nilai indeks keberlanjutan 55,06%, skenario II (moderat) dengan nilai indeks keberlanjutan 63,65% dan skenario III (optimis) dengan nilai indeks keberlanjutan 76,85%. Arahan dan strategi kebijakan adalah pengembangan ruang usaha tani, pengembangan komoditas dan teknologi ramah lingkungan, sosial dan pengembangan kelembagaan pertanian.
122
5. Model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan adalah interaksi antara fungsi luas pekarangan (p), pengembangan komoditas dan teknologi ramah lingkungan (k), penyuluhan dan kelembagaan pertanian (l), perluasan ruang usaha tani (r), kerjasama antar stakeholders dan pemberian insentif dan kompensasi pertanian (i) yang dirumuskan sebagai pertanian perkotaan (PK) = f ( p, k, l, r, s ,i ). dengan skenario pesimis, moderat, optimis yang diwujudkan dalam bentuk arahan dan strategi implementasi kebijakan pengembangan pertanian perkotaan secara berkelanjutan. Untuk meningkatkan status keberlanjutan wilayah DKI, skenario yang diperoleh adalah skenario II (moderat) dengan perbaikan secara bertahap.
6.2. Saran 1. Untuk meningkatkan status keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan disarankan perlu intervensi yang kuat dari pemerintah DKI Jakarta dan stakeholders lainnya dalam memperbaiki kinerja atribut sensitif dan faktor kunci penentu keberlanjutan utamanya pada dimensi ekologi, ekonomi, kelembagaan dan sosial. 2. Keberadaan kebijakan terkait pengembangan pertanian yang ada baik berupa undang-undang, peraturan menteri, peraturan daerah maupun implementasinya relatif belum mengakomodasi pengembangan pertanian perkotaan, sehingga diperlukan aturan khusus tentang pertanian perkotaan berkelanjutan baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan perundangan turunannya. 3. Perlu dukungan kerja sama antar stakeholder terkait dalam mengelola sumberdaya lahan dan ruang di perkotaan secara berkesinambungan. Dibutuhkan
komitmen
dan
konsistensi
pemangku
mengimplementasi kebijakan inovasi pertanian di perkotaan.
kebijakan
dalam
123
DAFTAR PUSTAKA Adiyoga W. 2002. Kajian Prospek Pengembangan Pertanian Perkotaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Adiyoga W., B. Bakrie, dan A. H. Purnomo. 2002. Prospek dan Persepsi Pengembangan Pertanian Perkotaan di Wilayah DKI Jakarta. Prosiding Pemanfaatan Teknologi Dalam Upaya Memantapkan Pertanian Perkotaan. Puslitbang Sosek Pertanian. Hal. 18-26. Amien, I. 1996. Kesesuaian Tanaman dan Penilaian Sistem Pertanian Berkelanjutan Dengan Sistem Pakar. Puslittanak Pertanian. Bogor. Aminah, S., S. Sampeliling, O.T. Pakpahan, P. I. Lestari, E. Sugiartini, Suwandi, J. Sudrajat, Winarto. 2005 Kajian Teknologi Pengembangan Sampah Organik Kota. (Pupuk dan Media Tanam). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Ananta A. and E.N. Arifin. 1994. Projection of Indonesian Population Labor Force, 195-2025. Demographic Institute, Departement of Economics, University of Indonesia. Jakarta Anderson J.E. 1984. Public Policy- Making. Ed ke-3 New York: Holt, Rinehart and Winston- CBS College. [Badan Litbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2002. Pemahaman Pedesaan Secara Partisipatif Menunjang Kegiatan Usaha Tani Terpadu (Panduan Teknis). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. [Badan Litbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2003. Agrotek: Informasi Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Bakrie, B., B.V. Lotulung, A. Zaenab, S. Sampeliling, R. Indrasti dan Sugiarto. 2005. Pengembangan Model Kredit Agribisnis Usaha Mikro-Mandiri (KAUMMandiri) Untuk Menunjang Kegiatan Agribisnis Itik Petelur di Propinsi DKI Jakarta. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Bakrie, B., H. Wijayanti, U. Astuti, R. Indrasti, S. Sampeliling, dan Nurmalinda. 2007. Peningkatan Produktivitas Usaha Tani Tanaman Hias Dalam Mendukung Agrowisata (Prima Tani Kecamatan Kembangan Kotamadya Jakarta Barat). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Bakrie, B., Waryat, H. Wijayanti, T. Ramdhan, S. Sampeliling, U. Astuti, dan Nurmalinda. 2008. Implementasi Teknologi Perbanyakan Bibit, Pemupukan dan Pengendalian HPT Pada Tanaman Hias Berdaun Indah Di Kecamatan Kembangan Jakarta Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Barus A. dan Syukri. 2008. Agroteknologi Tanaman Buah-buahan. USU Press. Medan. BioCert, 2006. Newsletter” Trust In Organic”. www.biocert.or.id. Edisi Nov-Des.
124
Bourgeois R. and F. Jesus. 2004. Participatory Prospective Analysis, Exploring and Anticipating Challenges with Stakeholders. Center for Alleviation of Poverty through Secondery Crops Development in Asia and The Pacific and French Agricultural Research Center for International Development. Monograph 46 : 1 – 29. Bourgeois R. 2007. Analisis Prospektif. Bahan Lokakarya Training of Trainer. ICASEPS. Bogor. [BPLHD] Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Propinsi DKI Jakarta, 2010. Laporan Pemantauan Kualitas Air Tanah, Sungai dan Udara. BPLHD. Jakarta [BPS] Badan Pusat Statistik Propinsi DKI Jakarta, 2010. DKI Jakarta Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi DKI Jakarta. Braatz, S. 1993. Urban Forestry in Developing Countries. Proceedings of the 6th National Urban Forestry Converence. Miniapolis, Minnesota, September 1418, 1993. pp.85-88. Chechland, P.B. 1981. Systems Thinking. Systems Practices. Wiley Chichester. [COAG/FAO] Committee on Agriculture, Food and Agriculture Organization of the United Nations, 1999. Urban and Periurban Agriculture. COAG/99/10. Presented at 15th Session of the COAG, FAO, Rome, 25-29 January 1999. Costanza R. and M. Ruth, 1998. Using Dynamic Modeling to Scope Enviromental Problems and Building Consensus. Enviromental Manajement (22) 2: 183195. Dale, V. H., and S. C. Beyeler. 2001. Challenges in The Development and Use of Ecological Indicators. Ecological Indicators I. [DepPU] Departemen Pekerjaan Umum RI. 2007. Undang Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Departemen Pekerjaan Umum RI. Jakarta. [Deptan] Departemen Pertanian RI. 1992. Undang-undang No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman. Sekjen Deptan RI. Jakarta. [Deptan] Departemen Pertanian RI. 2002. Pengembangan Agribisnis Berkelanjutan. Sekjen Deptan RI. Jakarta. [Deptan] Departemen Pertanian RI. 2009. Undang-undang No.41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Sekjen Deptan RI. Jakarta. [Diskeltan] Dinas Kelautan dan Pertanian Propinsi DKI Jakarta. 2010. Laporan Tahunan Pemda DKI. Jakarta. Djaenudin, D, H. Marwan, dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Versi 3. 2000. Balai Penelitian Tanah, Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor. Djoko, T., Sunaryo, D. Sukarjito dan M. Sirait. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan Dalam Pengembangan Agroforestry. World Agroforestry Center (ICRAF) Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid Satu IPB Press. Bogor.147 hal.
125
Eriyatno dan F. Sofyar. 2007. Riset Kebijakan; Metode Penelitian Untuk Pascasarjana. Bogor; IPB Press. [FAO] Food and Agriculture Organisation, 1996. Agro-Ecological Zoning Guidelines. FAO Soil Bulletin 73. Rome. [FAO] Food and Agriculture Organisation, 1999. Urban Agriculture: An oxymoron? In: The State of Food and Agriculture Rome: FAO, pp.43-57. [FAO] Food and Agriculture Organisation, 2003. Trade Reform and Food SecurityConseptualizing the Linkages. Fauzi A dan S Anna, 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Untuk Analisis Kebijakan. Penerbit Gramedia Pustaka. Jakarta. Fisheries Centre, 2002. Rapfish Project. http:/fisheries.com/project/rapfish.htm Gao. F., and Y. Nakamori, 2003. Critical System Thinking as a Way to Manage Knowledge. System Dynamics Review 20 (1) 3-19. Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik. Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. SEAMEO BIOTROP. Bogor. Hauke, J.E., D.W. Wicharn, and A.Y. Reitch. 2001. Business Forecasting. Practises – Hall. Inc. New Jersey. Hikmatullah, N. Suharta dan A. Mulyani. 2001. Petunjuk Teknis Metodologi Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian skala 1: 50.000 Melalui Analisis Terrain. Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor. Indrasti, R., Y.Sastro, B.Bakrie, I.P. Lestari, G.B. Soedarsono, E. Sugiartini, A.Saenab, dan Winarto, 2007. Kajian Pemanfaatan Limbah Sayuran dan Buah-buahan Sebagai Pupuk Organik Cair dan Pakan Ternak. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 23 (1) 1 – 18. Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek. Analisa Ekonomis. Ed. Ke-2. LPFE UI, Jakarta. Kasryno, F. and A. Suryana. 2002. "Long Term Planning for Agricultural Development Related to Provert Alleviation in Rural Areas". In Pasandaran, E. et al. Proverty Alleviation With Sustainable Agricultural and Rural Development in Indonesia. Proceeding of National Seminar and Workshop. Bogor, January 7th- 10th, 1992. pp. 60-76. Kavanagh P. and T. Pitcher 2004. Implementing Micrososf Excell Software for Rapfish: A Technigue for The Rapid Appraisal of Fisheries Status. University of British Colombia. Fisheries Centre Research Reports 12 (2) 75 pages. Canada. Kay R. and J. Alder 1999. Coastal Planning and Management. London : E & FN Spon An Imprint of Rutledge. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Jakarta.
126
Kementrian Lingkungan Hidup. 2009. Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI. Jakarta. Maani, K.E. and R.Y. Cavana, 2000. System Thinking and Modeling Understanding Change and Complexity. Pearson Education New Zealand Limited. Aucckland. Malhotra, N. K. 2006. Riset Pemasaran: Pendekatan Terapan. PT Indeks Gramedia. Jakarta. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo. Jakarta. Mattjik, A.A, 2002. Kebutuhan Pengembangan Pertanian Perkotaan. Prosiding. Puslitbang Sosek Pertanian. Bogor. Muhammadi, E. Aminullah dan B, Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamik: Lingkungan hidup sosial, ekonomi, manajemen. UMJ Press. Jakarta. Munasinghe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Environment Paper No. 3. Washington DC. Nasoetion, L.B. dan J. Winoto. 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Prosiding Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air Hal: 64-82. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation Newland, K.1990. City Limits: Emerging Constraint on Urban Growth. Worlwatch Paper No. 38, Worldwatch Intitute, Washington.D.C. Nurisjah S. 2005. Penilaian Masyarakat Terhadap Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan. Kasus Kota Bogor. Pascasarjana IPB. Bogor. [Pemda] Pemerintah Daerah DKI Jakarta. 1999. Perda DKI No, 6/1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta. Permia, E.M. 1983. Implication of Urbanization for Food Policy Analysis in Asian Countries. Unpublished Paper. Resource Systems Institute. East-West Center, Honolulu, Hawaii. USA. Prawoto, A., I. Surono, dan D. Setyorini. 2005. Panduan Budidaya Tanaman Pangan Organik. Board of Indonesian Organic Certificatio. Jakarta. Purnomohadi, N.2000. Jakarta: Urban Agriculture as an alternative strategy to face the economic crisis. Paper presented at the International Workshop on Growing Cities Growing Food: Urban Agriculture on the Policy Agenda. October 11-15, 1999. Havana. Cuba. [Puslitbangtanak] Pusat Penelitian dan PengembanganTanah dan Agroklimat, 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian (Metode automatic land evaluation system). Puslitbangtanak. Bogor. Reijntjes, C., B. Haverkort dan W. Bayer. 1992. Pertanian Masa Depan Pengantar Pertanian Berkelanjutan Dengan Input Luar Rendah. Terjemahan. Penerbit Kanisius ILEIA. Yogyakarta.
127
[RUAF] Resource Centre on Urban Agriculture and Food Security Foundation, 2005. Mission of RUAF. http:/ruaf foundation.com/ruaf.htm. Rustiadi E., S. Saefulhakim, D.R. Panuju, 2008. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bahan Ajar. Pascasarjana. Crestpent Press. P4W_LPPM IPB Bogor. Sampeliling S. 2007a. Agro Inovasi Teknologi Pertanian di Perkotaan (Kasus: Vertikulktur dan Jamu Ayam). Prosiding Pemamfaatan Hasil IPTEK Terapan Sebagai Peningkatan Kemampuan Petani Melalui Penyuluhan Pertanian. STP. Bogor. Hal.109-116. Sampeliling S. 2007b. Teknologi Pengembangan Sampah Organik Kota. Prosiding Pemamfaatan Hasil IPTEK Terapan Sebagai Peningkatan Kemampuan Petani Melalui Penyuluhan Pertanian. STP. Bogor. Hal. 68-71. Sampeliling S., 2011. Model Development of Open Green Space: Vision of Urban Agriculture Environmental Perspective. (Case Study: DKI Jakarta Area). Paper Presented at the International Seminar at Kasetsart University in Thailand. Bangkok. February 11, 2011 Sampeliling S., Idaryani dan M. P. Sirappa. 2002. Evaluasi Penerapan Teknologi Mendukung Pertanian Berkelanjutan di Wilayah DAS Saddang Hulu Tana Toraja. Prosiding Memacu Pembangunan Agribisnis Melalui Optimalisasi Sumberdaya Lahan Dan Penerapan Teknologi Spesifik Lokasi. Puslittanak. Bogor. Hal. 692 – 700. Sampeliling S., Suwandi, Y. Sastro, B. Bakrie, B. V. Lotulung, R. L. Side, H. Supriyadi, C. Tapakresno, dan D. Setiabudi. 2007. Kajian Sumberdaya dan Kesesuaian Pengembangan Pertanian Perkotaan Metode Analisis Zona Agro Ekosistem-AEZ wilayah DKI Jakarta. (Agro Ekosistem Cilincing Jakarta Utara) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian DKI Jakarta. Sampeliling S., Suwandi, Y. Sastro, B. Bakrie, B. V. Lotulung, H. Supriyadi, C.Tapakresno, dan M.Nur. 2008. Kajian Sumberdaya dan Kesesuaian Pengembangan Pertanian Perkotaan Metode Analisis Zona Agro EkosistemAEZ wilayah DKI Jakarta. (Agro Ekosistem Kembangan Jakarta Barat) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian DKI Jakarta. Sampeliling S., Y. Sastro, R. Indrasti dan Suwandi. 2008. Arahan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Berwawasan Lingkungan di Perkotaan. Prosiding Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian Hal. 199-214. Sastro Y., Suwandi, F. Suleman, I. P. Lestari, A. Putra, R. Sudolar dan Winarto. 2007. Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri di Jagakarsa Mendukung Agrowisata Jakarta Selatan (Primatani Jakarta Selatan). BPTP Jakarta. Sastro Y., Ikrarwati, E. Sugiartini, R. Indrasti, A. Feronika, S. Sampeliling dan M. Nur. 2009. Pengkajian Pupuk Organik Pengganti Pupuk Kimia Hingga Seratus Persen Pada Hidroponik Tomat, Selada, Sawi, Bayam Dan Kangkung. BPTP Jakarta. Sastro, Y., I.P. Lestari, dan Suwandi. 2010. Peran Pupuk Limbah Cair Peternakan Sapi Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Sawi, Selada dan Kangkung. Jurnal Hortikultura. 20 (1) : 45-51
128
Sawio, C. 1998. Managing Urban Agriculture in Dar es Salaam. Cities Feeding People Report 20. Ottawa. IDRC. Simatupang, P. 1995. Industrialisasi Pertanian Sebagai Strategi Agribisnis dan Pembangunan Pertanian dalam Era Globalisasi. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Sinukaban N. 2007. Conservation Farming System For Sustainable Development in Java, Indonesia. Dalam: Soil and Water Conservation in Sustainable Development. Ed ke-1. Bogor : Direktorat Jendral RPLS. Hal: 120-130. Sitorus, S.R.P., Sehani dan D.R. Panuju. 2007. Analisis Hirarki Desa Serta Land Rent Tipe Penggunaan Lahan Pada Suatu Toposekuens di Kabupaten Karanganyar. Prosiding. Solusi Miskelola Tanah dan Air Untuk Memaksimalkan Kesejahteraan Rakyat.UPN Veteran Yogyakarta Press. Hal: 992-1003. Sitorus, S.R.P. 2009. Kualitas, Degradasi dan Rehabilitasi Lahan. Edisi Ketiga. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Sitorus, S.R.P. 2001. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan, Jurusan Tanah Faperta IPB. Bogor Smith, J., A. Ratta and J. Nasr.1996. Urban Agriculture: Food, Jobs and Sustainable Cities. Publication Series for Habitat II, Vol.I. New York: United Nations Development Programme (UNDP). Sudirja R. 2008, Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sistem Pertanian Organik Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor. Sugiartini, E. I.P. Lestari, S. Sampeliling, dan H. Soebagio 2007. Kajian Teknologi Pengelolaan Tanaman Belimbing di Jakarta Selatan. Prosiding Inovasi Teknologi Mendukung Peningkatan Produksi Pangan Pada Lahan Marginal Untuk Kesejateraan Masyarakat Tani. Hal. 449-454. Sukatendel, 1989. Tata Hubungan Fungsi Penelitian, Penyuluhan dan Rekayasa Teknologi. Prosiding Temu Tugas Penelitian, Penyuluhan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Sulaiman, F., B. Bakrie, S.Aminah, R. La Side, Waryat, O.T. Pakpahan, Suwandi B.V.Lotulung, B. Wiryono, Sugiarto dan K. Heriswanto. 2007. Pengembangan Lembaga Pembiayaan dalam Mendukung Kegiatan Agribisnis Perkotaan di Provinsi DKI Jakarta. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Sulaiman, F., Y. Sastro, R. Indrasti, O.T. Pakpahan, A. Zaenab, Suwandi, dan S. Sampeliling. 2006. Analisis Kebijakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Lahan Sawah di Propinsi DKI Jakarta. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Surono I., 2004. Pertanian Organik Indonesia. Jurnal Berita Bumi. Edisi Juli 2004.
129
Suwandi, Y. Sastro, I. Herawati, Ikrarwati, R. Indrasti, dan U. Astuti. 2008. Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Sayuran Secara Hidroponik Di DKI Jakarta. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Tasrif, M. 2004. Model Simulasi Untuk Analisis Kebijakan. Pendekatan Metodologi System Dinamics. Kelompok Penelitian dan Pengembangan Energi. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Trupp L.A. 1996. New Patnerships for Sustainable Agriculture. World Institute, New York. Utomo, W.H. 1989. Konservasi Tanah di Indonesia. Suatu Rekaman Analisa. Rajawali Press, Jakarta Winarto, B., N.A.Mattjik, A. Purwito, dan B. Marwoto. 2010. Aplikasi 2,4-D dan TDZ Dalam Pembentukan dan Regenerasi Kalus Pada Kultur Anther Anthurium. Jurnal Hortikultura. 20 (1) : 1-17. [WCED] World Commission on Environment and Development.1987. Our Common Future. Oxford University Press. New York.
130
131
Lampiran 1. Kondisi suhu udara rata-rata bulanan di wilayah DKI Jakarta. Suhu udara rata-rata bulanan (0c) No
Wil.Kota Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Total
1 2 3 4 5
Jan
Feb
Mar
Apr
27.1
27.8
-
-
28.4
-
27.2
-
-
-
-
-
-
-
-
27.4
28.1
28.6
29.7
29.3
28.5
27.6
27.6
-
28.8
28.5
28.6
29.9 88.4
29.9 116.1
27.7 26.2 109.8 109.7
Sumber Keterangan
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nop
Des
26.8
-
27.5
-
-
-
-
-
-
28.3
28.7
27.9
27.9
28.4
27.7
-
27.3
28.7
27.1
-
27.4
26.9
28.3 56.8
28.6 28.9 111.4 86.3
28.0 109.8 27.9
28.5 27.8 111.8 82.4
: Badan meteorologi, klimatologi dan geofisika Jakarta 2010 : - (tidak terdata)
Lampiran 2. Kondisi curah hujan rata-rata bulanan di wilayah DKI Jakarta. Curah hujan rata-rata bulanan (mm) No 1 2 3 4 5
Wil. Kota Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Total Sumber Keterangan
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
264
170
-
-
196
-
302 -
-
-
-
-
-
-
-
Okt
Nop
Des
449
-
226
-
-
-
-
-
377
223
246
27
88
134
250 151
256
381
143
124
442
140
-
73
31
-
239 11
127
-
164
96
572 1,655
358 891
246
21 121
21 336
173 307
86 67 877 229
195 1,027 381
-
Sep
: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Jakarta 2010 : - (tidak terdata)
138 155 671 375
132
Lampiran. 3. Total luas wilayah kota dan Kabupaten Adaministrasi DKI Jakarta. Kabupaten/ Kota Adm.
Luas Area (km2)
Kep. Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta
Banyaknya Kecamatan
8,70 141,27 188,03 48,13 129,54 146,66 662,33
Banyaknya Kelurahan
2 10 10 8 8 6 44
6 65 65 44 56 31 267
Sumber : DKI Jakarta dalam angka 2010
Lampiran 4. Luas panen dan rata-rata produksi tanaman pangan per tahun di wilayah kota DKI Jakarta. Jenis Tanaman I
II
III
2005
2006
2007
2008
2009
Luas Panen (ha) 1. Padi Sawah 2. Jagung 3. Ketela Pohon 4. Kacang Tanah
2 668 37 791 18
1 323 36 66 26
1 544 20 39 18
1640 20 39 17
1 974 16 32 9
Produksi (ton) 1. Padi Sawah 2. Jagung 3. Ketela Pohon 4. Kacang Tanah
13 335 67 791 18
6 197 66 804 26
8 002 39 628 18
8 352 39 454 17
11 013 32 305 9
Rata-rata Produksi 1. Padi Sawah 2. Jagung 3. Ketela Pohon 4. Kacang Tanah
49,98 18,11 116,32 10,00
46,84 18,33 114,86 10,00
51,83 19,50 116,30 10,00
90,93 19,50 116,41 10,00
55,79 20,02 117,37 9,97
Sumber : DKI Jakarta dalam angka 2010
133
Lampiran 5. Luas panen dan produksi tanaman sayuran per tahun di wilayah kota DKI Jakarta. Jenis Tanaman I
II
2005
2006
2007
2008
2009
Luas panen (ha) 1. Bayam 2. Kangkung 3. Kacang Panjang 4. Ketimun 5. Terung 6. Sawi 7. Cabe 8. Tomat
1 113 1 506 59 58 18 886 9 18
1 344 1 752 59 48 43 844 7 26
1 165 1 694 78 59 14 696 2 -
858 1 136 20 14 5 591 2 -
1 014 1 284 19 16 10 824 -
Produksi (kwt) 1. Bayam 2. Kangkung 3. Kacang Panjang 4. Ketimun 5. Terung 6. Sawi 7. Cabe 8. Tomat
3 649 11 250 341 386 163 5 493 32 81
5 149 11 472 391 395 303 4 682 31 124
4 543 9 891 444 422 77 3 703 4 -
3 403 9 492 105 98 54 3 611 -
5 074 13 477 103 169 95 9 615 -
Sumber : DKI Jakarta dalam angka 2010
Lampiran 6. Luas panen dan rata-rata produksi tanaman sayuran per wilayah kota di DKI Jakarta. Jenis Tanaman I
II
Jakarta Selatan
Jakarta Timur
Kota Adm Jakarta Pusat
Jakarta Barat
Jakarta Utara
Jumlah
Luas Panen (ha) 1. Bayam 2. Kangkung 3. Kacang Panjang 4. Ketimun 5. Terung 6. Sawi
10 17 8 3 5 -
297 428 5 4 317
3 3 3
589 634 6 9 5 395
115 202 0 109
1 014 1 284 19 10 10 824
Produksi (Kwt) 1. Bayam 2. Kangkung 3. Kacang Panjang 4. Ketimun 5. Terung 6. Sawi
46 91 30 37 25 -
1 409 2 444 17 15 2 188
16 25 24
3 019 9 293 56 117 70 6 860
584 1 624 543
5 074 13 477 103 169 95 9 615
Sumber : DKI Jakarta dalam angka 2010
134
Lampiran 7. Jenis pohon dan produksi tanaman tahunan buah per wilayah kota di DKI Jakarta.
Jenis Tanaman
I.
II.
Jakarta Selatan Jenis Pohon yang menghasilkan 1. Alpokat 90 2. Mangga 14 400 3. Rambutan 10 995 4. Duku 1 243 5. Jeruk 155 6. Durian 2 489 7. Jambu Biji 4 205 8. Jambu Air 2 190 9. Sawo 1 913 10. Pepaya 11 748 11. Pisang 9 810 12. Salak 400 13. Belimbing 63 675 14. Nangka 4 349 15. Sirsak 327 16. Sukun 1292 Produksi (Kwt) 1. Alpokat 2. Mangga 3. Rambutan 4. Duku 5. Jeruk 6. Durian 7. Jambu Biji 8. Jambu Air 9. Sawo 10. Pepaya 11. Pisang 12. Salak 13. Belimbing 14. Nangka 15. Sirsak 16. Sukun
Kota Adm Jakarta Jakarta Timur Pusat
Jakarta Barat
Jakarta Utara
Jumlah
210 7 777 13 150 905 6 375 5 529 1 250 3 087 26 265 3 010 18 270 4 425 -
20 1 067 90 66 444 7 123 105 456 107 5 -
19 12 174 89 30 3 842 10 285 200 7 726 6 663 1 143 -
11 954 5 378 2 522 3 471 1 405 4 570 214 305 241
350 36 372 24 324 1 243 185 3 394 19 866 20 970 3 373 15 436 38 311 3 410 93 634 10 238 637 1 533
217 4 515 2 366 318 2 744 1 543 785 1 595 4 948 190 8 184 1 733 -
11 336 8 15 56 2 27 9 150 30 1 1
4 7 598 83 35 1 461 1 688 65 1 712 2 234 341 -
10 7 400 2 138 1 157 4 347 683 2 369 232 199 213
484 27 830 6 154 825 107 2 876 7 951 4 868 2 532 6 921 10 302 284 47 719 4 417 311 803
242 7 981 3 697 825 72 2 558 1 593 424 1 676 4 951 3 950 94 34 782 2 081 111 589
Sumber : DKI Jakarta dalam angka 2010
135
Lampiran 8. Luas panen dan produksi tanaman obat per wilayah kota di DKI Jakarta. Jenis Tanaman I.
II.
Luas Panen (m2) 1. Jahe 2. Lengkuas 3. Kencur 4. Kunyit 5. Lempuyang 6. Temulawak 7. Temuireng 8. Kejibeling Produksi (kg) 1. Jahe 2. Lengkuas 3. Kencur 4. Kunyit 5. Lempuyang 6. Temulawak 7. Temuireng 8. Kejibeling
Jakarta Selatan
Kota Adm Jakarta Jakarta Timur Pusat
Jakarta Barat
Jakarta Utara
Jumlah
4 640 2 113 2 458 3 150 480 680 556 243
7 095 635 285 1 445 737 22 1 020
9 8 6 1 20
-
104 30 36 38 1 90
11 848 2786 2 785 4 639 480 1 418 579 1 373
13 400 6 065 5 099 7 486 993 1 158 1 155 382
10 992 1 888 703 2 325 1 155 33 1 358
18 13 9 12 153 151 226
-
113 32 38 43 1 110
24 523 7 998 5 849 9 866 993 2 467 1339 2 076
Sumber : DKI Jakarta dalam angka 2010 Lampiran 9. Luas panen dan produksi tanaman tanaman hias per wilayah kota di DKI Jakarta. Jenis Tanaman I.
II.
Luas Panen (m2) 1. Anggrek 2. Kuping gajah 3. Pisang-pisangan 4. Mawar 5. Dracaena 6. Melati 7. Palem Produksi (tangkai) 1. Anggrek 2. Kuping gajah 3. Pisang-pisangan 4. Mawar 5. Dracaena 6. Melati 7. Palem
Jakarta Selatan
Kota Adm Jakarta Jakarta Timur Pusat
Jakarta Barat
Jakarta Utara
Jumlah
43 939 11 859 16 518 5 030 3 988 4 573 8 752
74 467 9 990 4 018 5 858 2 026 2 982 3 501
54 9 24 42 5 27 -
12 558 195 2 134 3 911 506 3 240 3 631
217 24 126 150
131 235 22 077 22 820 14 841 6 525 10 822 16 034
352 792 46 913 71 607 10 825 12 099 8 147 8 755
773 377 19 831 10 143 10 365 2 146 4 608 3 501
527 27 24 184 35 64 -
129 318 495 19 900 16 047 1 763 8 148 3 631
2 033 114 1 192 174
1 258 047 67 380 100 866 37 421 16 043 20 967 16 061
Sumber : DKI Jakarta dalam angka 2010
136
Lampiran 10. Jenis pohon dan produksi tanaman tahunan buah per tahun di wilayah DKI Jakarta. I
II
Jenis Tanaman Jenis Pohon yang menghasilkan (pohon) 1. Alpokat 2. Mangga 3. Rambutan 4. Duku 5. Jeruk 6. Durian 7. Jambu Biji 8. Jambu Air 9. Sawo 10. Pepaya 11. Pisang 12. Salak 13. Belimbing 14. Nangka 15. Sirsak 16. Sukun Produksi (Kwt) 1. Alpokat 2. Mangga 3. Rambutan 4. Duku 5. Jeruk 6. Durian 7. Jambu Biji 8. Jambu Air 9. Sawo 10. Pepaya 11. Pisang 12. Salak 13. Belimbing 14. Nangka 15. Sirsak 16. Sukun
2005
2006
2007
2008
2009
201 17.262 14.750 6.150 151 1.229 17 325 13.750 1.510 10.345 29.581 5.150 61.250 7 350 120 406
196 10.680 16.487 500 225 1.040 13 710 17.560 1.800 11.781 27.673 5.060 42.186 5 151 373 392
426 28 567 16 035 4 200 0 1 800 16 601 20 852 2 605 9 599 33 926 5 825 54 125 5 706 325 895
869 60 604 25 335 1 200 110 2 845 19 138 27 358 2 882 16 811 44 950 36 989 88 993 6 786 495 1 319
439 35 418 24 324 1 243 185 3 394 14 488 18 448 3 370 14 956 36 906 3 410 89 064 10 024 332 1 292
424 15.316 5.980 2.034 8 2.580 11.550 14.400 1.118 16.780 10.781 1 670 41.990 12.340 430 1.330
350 12.955 11.464 150 92 983 16.609 10.724 1.945 11.140 11.213 586 39.018 8.702 530 435
468 18 165 11 444 606 0 666 8 351 10 589 1 713 8 482 10 407 860 32 263 7 019 141 413
493 26 911 6 946 600 32 1 291 5 920 5 591 1 654 5 075 16 954 720 33 633 3 680 219 560
484 27 830 6 154 825 107 2 876 7 951 4 868 2 532 6 921 10 302 284 47 719 4 417 311 803
Sumber : DKI Jakarta dalam angka 2010
137
Lampiran 11. Peta tematik letak situ atau waduk di wilayah kota DKI Jakarta. LOKASI PENGAMBILAN SAMPLE KUALITAS AIR SITU/WADUK TAHUN 2010 Situ Sunter Barat
Situ Pluit
Situ Sunter II Situ Teluk Gong Situ Sunter I Situ Tomang Barat
Situ Kramat/ Sunter Hulu
Situ Ria-Rio Situ Bahagia
Situ Lembang Situ Melati
Situ Senayan
Situ Rawa Badung Situ Ragunan Situ Kalibata
Situ Elok
Situ Kelapa Dua Wetan Situ Babakan
Situ Areman
Situ Kramat/Sunter Hulu
Sumber : BPLHD DKI Jakarta 2010
138
Lampiran 12. Nama, luas dan volume situ atau waduk di wilayah kota DKI Jakarta. No 1
2
3
4
5
Nama danau/waduk/situ/embung Jakarta Selatan 1 Situ Kalibata 2 Situ Ragunan 3 Situ Babakan 4 Situ Sigura-gura 5 Situ Kantor Walikota Jaksel Jakarta Timur 1 Situ Rawa Pendongkelan 2 Situ Ria Rio 3 Situ Tipar/Arman 4 Situ Kelapa Dua Wetan 5 Situ Skuadron 6 Situ Taman Mini 7 Situ Rawa Dongkal 8 Situ Rawa Bandung 9 Situ Sunter Hulu 10 Situ Bea Cukai 11 Situ Elok 12 Situ Rawa Rorotan Jakarta Pusat 1 Situ Taman Ria 2 Situ Lembang 3 Waduk Melati 4 Menara Jakarta 5 Pademangan 6 Situ Manggala Wanabakti Jakarta Barat 1 Waduk Cakra Buana Lestari 2 Waduk Bojong Indah 3 Waduk Tomang Barat 4 Waduk Jelambar Wijaya Kusuma 5 Waduk Slipi Hankam I 6 Waduk Pondok Badung 7 Waduk Rawa Kepa 8 Waduk Grogol 9 Empang Bahagia 10 IPAK Duri Kosambi Jakarta Utara 1 Waduk Pantai Indah Kapuk Utara 2 Waduk Pantai Indah Kapuk Selatan 3 Waduk Sunter I 4 Waduk Sunter II 5 Situ Teluk Gong 6 Situ Pademangan 7 Waduk Pluit 8 Waduk Rawa Kendal
Sumber : BPLHD DKI Jakarta 2010.
Luas (ha)
Volume (m3)
6.00 10.00 27.00 1.00 0.50
120,000 200,000 540,000 10,000 75,000
3.50 5.00 14.00 8.00 1.00 5.00 9.00 3.00 2.50 2.00 1.20 1.50
87,500 100,000 280,000 192,000 25,000 100,000 270,000 60,000 62,500 40,000 24,000 15,000
6.00 0.40 3.50 4.00 4.50 0.80
150,000 7,200 87,500 60,000 90,000 8,000
0.20 2.00 6.00 2.50 1.00 0.09 0.50 3.00 4.00 2.00
3,000 40,000 150,000 50,000 20,000 900 10,000 75,000 80,000 40,000
3.00 3.00 27.40 29.00 0.75 4.50 85.00 18.00
60,000 60,000 822,000 725,000 15,000 90,000 2,550,000 360,000
139
Lampiran 13. Sub kelas kesesuaian lahan beberapa komoditas tanaman hias di Kelurahan Meruya Utara dan Meruya Selatan KecamatanKembangan Jakarta Barat Kode2 Adenium UL-1 S2tc UL-2 S2tc UL-3 S2tc UL-4 S2tc UL-5 S2tc
Euporbia Aglonm Anturium S2tc S3tc S3tc S2tc S3tc S3tc S2tc S3tc S3tc S2tc S3tc S3tc S2tc S3tc S3tc
Tricolor Batavia Sikas S1 S1 S2nr S1 S1 S2nr S1 S1 S2nr S1 S1 S2nr S1 S1 S2nr
Palm S2nr S2nr S2nr S2nr S2nr
Kenanga S2tc S2tc S2tc S2tc S2tc
Cemara S2nr S2nr S2nr S2nr S2nr
Keterangan: S1= Sangat sesuai, S2 = Cukup sesuai, S3 = Sesuai marjinal, N = Tidak sesuai nr = nutrisi hara , tc = temperatur udara Sumber: BBSDL Pertanian Bogor 2009. Lampiran 14. Kemiringan, erosi aktual, teknik konservasi pada beberapa lahan lokasi laboratorium agribisnis Meruya, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat. Kode
Penggunaan lahan Tanaman hias
Kemiringan (%) 3–8 (berombak)
Erosi aktual Erosi lembar
Tanaman hias Tanaman hias
0 – 3 (datar)
Erosi lembar Erosi lembar
UL-10
Tanaman hias
0 – 3 (datar)
UL-11
Tanaman hias
UL- 7
UL- 8 UL- 9
3–8 (berombak)
Erosi lembar
8 – 12 Erosi (bergelomban lembar g)
Sumber: BBSDL Pertanian Bogor 2009.
Teknik konservasi existing Penanaman tanaman hias secara rapat, bedengan tanaman searah lereng Teras bangku datar pada lahan > miring Penanaman tana man hias secara rapat, teras bangku datar (tanpa SPA, BTA) Bedengan tanaman sejajar kontur, penanaman tanaman secara rapat, tanggul dari karung berisi pasir, kolam penampungan air Bedengan tanaman sejajar kontur, penanaman tanaman secara rapat, parit resapan air antara bedengan
Persepsi / alasan petani Usaha supaya tanah dan air dapat digunakan lama Supaya air tidak keluar dari areal Supaya air dan tanah tidak hanyut Supaya air jangan keluar dari areal pertanaman dan hanya merembes di dalam areal Supaya tanah tidak hanyut oleh air hujan atau aliran air
140
Lampiran 15. Hasil analisa laboratorium contoh tanah di beberapa wilayah Jakarta Barat Kecamatan Kembangan Jakarta Barat.
141
Lampiran 15 (lanjutan)
142
Lampiran 16. Hasil analisa pupuk wilayah Kecamatan Kembangan Jakarta Barat
143
Lampiran 16 (lanjutan)
144
Lampiran 17. Arahan pengembangan lahan dan input teknologi sistem usaha tani di wilayah Kecamatan Cilincing Jakarta Utara. No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Lahan UT Lahan kolam
Kesesuaian Komoditas Prioritas Alternatif - ikan Mas - Ikan lele - Ikan nila
Input Teknologi Sistem UT
Luas (ha) 5,0
* Komponen teknologi padat tebar ikan * Komponen teknologi pemupukan kolam dan pakan tambahan * Perbaikan kualitas air. Lahan - Varietas - Mekongga * Komponen teknologi 768 *) sawah Ciherang, - Cigelis pemupukan berimbang/ fatmawati. efektif dan pupuk organik. * Komponen teknologi - Batang - Punggur , benih/pengolahan tanah hari (rawa) indra giri * Perbaikan tata air dan inovasi (rawa) teknologi sistem surjan. - Ikan Mas + * Komponen teknologi panen padi - Ikan nila dan prosesing (Mina * Komponen teknologi padat padi) tebar ikan dan jarak tanam -Tiktok/padi - Integrasi padi (Mina-padi). /ikan. tiktok+ikan * Manajemen budidaya + padi terpadu Lahan - Mangga - Jambu biji * Komponen teknologi bibit 252 pekara- - Sawo - Jambu air pemupukan (Pupuk Organik ngan + * Komponen teknologi tegalan - Sayuran - Integrasi Pascapanen/Prosesing sayuran * Paket teknologi hidroponik dan vertikultur. Lahan - Itik petelur - I.Mojosari * Komponen teknologi pakan 19 pekara(MA) * Perkandangan ngan - Kambing -Kambing * Bibit unggul dan (EtawaKacang * Pakan tambahan tegalan PE) * Sistem managemen budidaya Lahan - Cemara - Jati Putih * Pembibitan 122 berem - Tanaman - - Tanaman * Konrol pemeliharaan jalan Hias hias berdaun * Penataan (landscup) dan indah * Pemupukan efektif. taman * Penanaman beris atau sikzag. Lahan - Bakau Api- - Nipa * Teknik penanaman 225 pesisir api (Hutan * Pembibitan bakau + tamagrowisata * Teknik konservasi baris atau bak*) pantai) sikzag (tanam campuran) Total kesesuaian lahan usahatani. 1.391 Total pemukiman/bangunan dan lainnya. 2.613,96 Sumber : Sampeliling et al. (2007) Keterangan : *) Sebagian besar telah dikuasai pengembang. UT = Usaha tani.
% 0,36
55,21
18,12
1,37
8,77
16,17
34,73 65,27
145
Lampiran 18. Arahan pengembangan lahan dan input teknologi sistem usaha tani di wilayah
Kecamatan Kembangan Jakarta Barat. No 1.
Kesesuaian Komoditas Prioritas Alternatif Lahan - Mangga - Jambu pekarangan - Jambu air biji pemukiman - Jambuair - Sayuran - Nangka - Integrasi sayuran Lahan UT
Input Teknologi Sistem UT
* Komponen teknologi bibit pemupukan (Pupuk Organik/kompos) * Penanaman beris atau sikzag * Paket teknologi hidroponik dan vertikultur * +Tanaman hias komersil 2. Lahan - Kambing - Kambing * Komponen teknologi pakan pekara(perah) Kacang * Perkandangan ngan/ - Ternak -Tan.Pakan * Bibit unggul tegalan hias * Sistem managemen budidaya 3. Lahan - Cemara - Jati Putih * Pembibitan berem jalan - Tanaman - Tanaman * Kontrol pemeliharaan dan taman Hias hias * Penataan (landscup) kota berdaun * Pemupukan efektif. indah * Penanaman baris atau sikzag. Total kesesuaian lahan usahatani / RTH aktual (sisanya bangunan + jalan) 7. Total Luas wilayah Kembangan (dari total luas wilayah DKI Jakarta)
Luas (Ha) 565
22,98
12,5
0,51
355
14,44
921,5 2.458,70
37,50 3,95%
%
Sumber : Sampeliling at al. (2008) Keterangan: Komoditas tanaman hias; Adenium, Aglonema, Anturium, Sikas, Palm, Euphorbia, Tricolor, Batavia, Kenanga dan Cemara.
146
Lampiran 19. Analisis finansial usaha tani tanaman hias di wilayah kecamatan Kembangan Jakarta Barat. Komponen A. Penerimaan B. Biaya Produksi 1. Bibit 2. Pupuk (kg)+obat-obatan a. Urea b. SP-36 c. KCl d. ZA 3. Pupuk oranik/kompos 4. Tenaga Kerja (HOK) e. Pemeliharaan/kontrol f. Pascapanen/pemasaran C. Biaya lain-lain D. Total Biaya E. Keuntungan F. RC Ratio G. TIP (Produksi) (Rp/phn) H. TIH (Harga) (Rp/phn)
Uraian/wilayah*) Fisik(pohon) Nilai (Rp) 5.000 10.250.500 500
400.000
100 50 50 50 100
135.000 100.000 95.000 92.000 200.000
14 23
500.000 800.000 500.000 5.150.500 4.500.000 2,05 5.967 2.885
Sumber : Hasil survei 2010 (data diolah) Keterangan : *) Khusus untuk lahan usaha tani tanaman hias di Kelurahan Kembangan. Grup tanaman hias: Adenium, Aglonema, Sikas, Palm, Euphorbia, Tricolor, Batavia, Kenanga, Cemara. (harga bervariasi dan hitungan dalam periode 3 bulan usaha tani)
147
Lampiran 20. Analisis finansial usaha tani komoditas mangga di wilayah DKI Jakarta. Komponen** A. Penerimaan B. Biaya Produksi 1. Bibit (pohon) 1x 2. Pupuk (kg) a. Urea b. pupuk organik (kg) c. ZA d. KCL 3. Tenaga Kerja (HOK) a. Pemeliharaan b. Pascapanen C. Biaya lain-lain D. Total Biaya E. Keuntungan F. RC Ratio G. TIP (Produksi) (kg/thn) H. TIH (Harga) (Rp/kg)
Uraian * Fisik 1.572 kg/tahun
Nilai (Rp) 4.800.500
20 5.000 -
400.000 1.900.000 -
95
2.800.000 450.000 75.000 4.878.370 7.930 1,19 2.795 4.880
Sumber : Hasil survei 2010 (data diolah) *) Khusus untuk pekarangan sistem pot. **) Perhitungan RC ratio pada umur tanaman berbuah normal (3-5 tahun). Kondisi rata-rata 2 – 3 pohon dalam 10 KK dan penjualan bersama pot.
148
Lampiran 21. Analisis finansial usaha tani mangga di wilayah DKI Jakarta Komponen** A. Penerimaan B. Biaya Produksi 1. Bibit (pohon) 1x 2. Pupuk (kg) a. Urea b. pupuk organic (kg) c. ZA d. KCL 3. Tenaga Kerja (HOK) a. Pemeliharaan b. Pascapanen C. Biaya lain-lain D. Total Biaya E. Keuntungan F. RC Ratio G. TIP (Produksi) (kg/thn) H. TIH (Harga) (Rp/kg)
Uraian* Fisik 1.172 kg/tahun
Nilai (Rp) 5.302.000
20 4.000 -
500.000 1.800.000 -
85
2.800.000 450.000 75.000 5.908.375 -6735 0,99 4.785 2.590
Sumber : Hasil survei 2010 (data diolah) Keterangan: *) Khusus untuk lahan pekarangan sistem ”tanam langsung”. **) Perhitungan RC ratio pada umur tanaman berbuah normal (4-6 tahun), kondisi rata-rata 2 pohon/10 kk (hasil buah 3 tahun).
149
Lampiran 22. Analisis finansial usaha tani belimbing di wilayah Jakarta Selatan. Uraian A. Komponen biaya 1. Upah tenaga kerja 2. Bahan : - Pupuk kandang - NPK 15:15:15 - Gandasil - Metalik - Densis - Atonik - Kertas Karbon Jumlah Biaya B. Hasil panen C. Keuntungan D. RC ratio
Biaya (Rp) 18.000.000 3.750.000 1.500.000 255.000 120.000 450.000 750.000 1.500.000 26.350.00 49.000.000 22.650.000 1,86
Sumber: Sugiartini et al. (2007) Keterangan : Tanaman produktif berumur 10 tahun sebanyak 10 pohon.
Lampiran 23. Analisis finansial usaha tani sayuran organik tahun 2007 di wilayah Jakarta Selatan. Uraian A. Komponen biaya 1. Upah tenaga kerja 2. Bahan : - Pupuk kandang - Melaleuca - Benih kangkung - Benih bayam - Benih sawi Jumlah Biaya B. Hasil panen C. Keuntungan D. RC ratio
Biaya (Rp) 350.000 45.000 105.000 70.000 70.000 640.000 1.575.000 935.000 2,46
Sumber: Sastro et al. (2007) Keterangan : Luas lahan 100 m2 dan tenaga kerja dalam keluarga dan tidak diperhitungkan.
150
Lampiran 24. Rata-rata dan analisis finansial usaha tani padi sawah di wilayah DKI Jakarta Komponen/ha A. Penerimaan B. Biaya Produksi 1. Benih (kg) 2. Pupuk (kg) a. Urea b. SP-36 c. KCl d. ZA e. Pemupukan organik 3. Pestisda (Liter) 4. Tenaga Kerja (HOK) a. Pengolahan Tanah b. Persemaian c. Penanaman d. Pemupukan e. Penyiangan f. Penyemprotan g. Pascapanen C. Biaya lain-lain D. Total Biaya E. Keuntungan F. RC Ratio G. TIP Produksi (kg/ha) H. TIH Harga (Rp/kg) Sumber : Hasil survei 2010 (data diolah)
Uraian Fisik 4500 kg 40 100 50 50 50 300 1 15,23 (1 ha) 14 14 8 15 2,57 = (1 ltr) 5 -
Nilai (Rp) 8,100,000 67.500 135.000 100.000 95.000 92.000 750.000 80.000 500.000 600.000 600.000 200.000 500.000 90.000 675.000 500.000 8.168.165 -68.165 0,99 8.797,5 2.574
151
Lampiran 25.
No.
I.
II.
III.
IV.
Keberadaan kelompok tani wilayah kecamatan terpilih di DKI Jakarta tahun 2010.
Kecamatan / Kelurahan
Nama Kelompok Tani
Alamat/ Domisili
Jenis Usaha
Jumlah Anggota
Kelas Kelompok
Kota Administrasi Jakarta Selatan : Kec. Jagakarsa 1. Cipedak Bina Setia 2. Ciepdak Nusa Indah 3. Ciganjur Setuju Jaya 4. Ciganjur Wijaya Kusuma 5. Ciganjur Sadar Bersama 6. Ciganjur Alam Segar 7. Ciganjur Tani Jaya 8. Srengseng Sawah Setu Lestari 9. Srengseng Sawah Lembah Lestari 10. Srengseng Sawah Ayu Lestari 11. Srengseng Sawah Nuansa Lestari 12. Srengseng Sawah Situ Pulo 13. Jagakarsa Berkah 14. Jagakarsa Gandaria 15. Lenteng Agung Wijaya Kusuma 16. Tanjung Barat Muara Sejahtera 17. Tanjung Barat Durian 18. Tanjung Barat Mangga Sari 19. Tanjng Barat Cendrawasih
RW 05 RW 01 RW 02 RW 03 RW 05 RW 02 RW 04 RW 08 RW 08 RW 08 RW 08 RW 08 RW 05 RW 02 RW 07 RW 03 RW 05 RW 01 RW 02
Tan. Buah Pasca Panen Pasca Panen Pasca Panen Panangkar Tan. Buah Sayuran Tan. Buah Tan. Buah Pasca Panen Tan. Hias Tan. Buah Tan. Buah Tan. Buah Tan. Toga Tan. Buah Pasca Panen Pasca Panen Tan. Buah
10 25 10 10 10 15 10 20 10 20 10 10 10 15 15 15 20 15 10
Pemula Lanjut Pemula Lanjut Lanjut Pemula Pemula Pemula Pemula Madya Pemula Pemula Pemula Pemula Pemula Pemula Pemula Lanjut Pemula
Kota Administrasi Jakarta Timur : Kec. Cipayung 1. Lubang Buaya Cendrawasih 2. Pondong Rangon Delima 3. Bambu Apus Tani Jaya 4. Bambu Apus Usaha Maju 5. Bambu Apus Sakti Pinang 6. Setu Jaya Setu Jaya
RT 03/ 01 RT 02/ 02 RT 11/ 01 Bb. Petung RT 03/ 04 RT 06/ 05
Pasca Panen Pasca Panen Sayuran Buah, Sayuran Tan.Hias, Olahan Padi
15 10 15 15 10 10
Pemula Pemula Pra Pemula Pemula Pra Pemula Pemula
Kota Administrasi Jakarta Pusat : Kec. Menteng 1. Pegangsaan Miana 2. Pegangsaan Hidayah 3. Pegangsaan Delima 4. Menteng Mawar 5. Menteng Kultura 6. Kebun Sirih Raflesia
RW. 05 RW. 07 RW. 04/06 RW. 03 RW. 06 RW. 04
Pasca Panen Pasca Panen Pasca Panen Tan. Hias Tanaman Hias Bonsai & Toga
10 10 15 15 20 15
Pemula Lanjut Pemula Pemula Lanjut Lanjut
Kota Administrasi Jakarta Utara Kec. Cilincing 1. Rorotan Subur Abadi 2. Rorotan Cempaka 3. Rorotan Makmur Jaya 4. Rorotan Bangkit Jaya 5. Rorotan Malaka Jaya 6. Rorotan Mekar Sari 7. Rorotan Krg. Tengah Jaya 8. Rorotan Harapan Jaya 9. Rorotan Teguh Karya
RT. 02/ 06 RW. 01 RT. 09/ 06 RT. 01/ 08 RT. 01 /05 RT. 01/ 06 RT. 06/ 08 RT. 03/ 09 RT. 04/ 07
Padi Pasca Panen Padi Padi Padi Pasca Panen Padi Padi Padi
25 27 45 33 25 20 40 26 42
Pemula Lanjut Lanjut Lanjut Lanjut Lanjut Madya Lanjut Lanjut
152 Lampiran 25. (Lanjutan) No.
Kecamatan / Kelurahan 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
V.
Rorotan Rorotan Rorotan Rorotan Rorotan Rorotan Rorotan Rorotan Rorotan Sukapura Sukapura Sukapura Kalibaru Kalibaru Kalibaru Semper Timur Semper Timur Semper Timur Semper Barat Marunda Marunda Cilincing
Nama Kelompok Tani Karya Siaga Suka jaya Bulag Jaya Mekar Jaya Karya Siaga Banyubiru Melati Indah Kembang Sepatu Anggrek Wira Karya Baru Wira Karya Suka Karya Ky. Baru Anyelir Wijaya Kusuma Bougenville Candi P. Jaya Purnama Beringin Putri Semper Barat Sugi Mukti Setia Kawan Sejahtera
Kota Administrasi Jakarta Barat : Kec. Kembangan 1. Kembangan Utara U.D. Suka Maju 2. Kembangan Utara Flamboyan 3. Kembangan Utara Berkembang 4. Kembangan Utara Aster 5. Kemb. Selatan Suka Maju 6. Kemb. Selatan Kembangan Indah 7. Kemb. Selatan Suku Indah 8. Meruya Utara Pehong 9. Meruya Utara Evorbia 10. Meruya Utara Srikandi 11. Meruya Selatan Villa Meruya 12. Meruya Selatan Cahaya 13. Meruya Selatan Bunga Melar 14. Meruya Selatan Menara Indah 15. Serengseng Buditia 16. Serengseng Nuri 17. Serengseng Asoka 18. Joglo Mawar 19. Joglo Harapan Maju
Alamat/ Domisili RT. 06/ 07 RT. 09/ 10 RT. 03/ 06 RT. 08/ 08 RT. 08/ 07 RT. 05/ 04 RT. 01/ 06 RT. 04/ 06 RT. 02/ 06 Komp BC RT. 01/ 07 RT. 06/ 06 RT. 01/ 13 RT. 01/ 13 RT. 01/ 15 RT. 06/ 02 RT. 09/ 02 RT. 07/ 02 RT. 04/ 03 RT. 04/ 04 RT. 03/ 04 RT. 009
Pasca Panen Padi Padi Padi Padi Padi Pasca panen Pasca Panen Pasca Panen Pasca Panen Pasca Panen Pasca Panen Pasca Panen Pasca Panen Pasca Panen Pasca Panen Pasca Panen Pasca Panen Pasca Panen Padi Padi Pasca Panen
RW. 01 RW. 06 RW. 01 RW. 01 RW. 03 RW. 01 RW. 010 RW. 011 RW. 04 RW. 10 RW. 06 RW. 03 RW. 01 RW. 05 RW. 02 RW. 06 RW. 06 RW. 02 RW. 06
Krp. Singkong Tan. Hias Sayuran Pasca Panen Pasca Panen Pasca Panen Pekarangan Terpadu Tan. Hias Tan. Hias Tan. Hias Pekarangan Sayuran Pasca Panen Tan. Hias Pasca Panen Tan. Hias Pasca Panen Tan. Hias
Jenis Usaha
Jumlah Anggota 30 22 25 35 25 27 20 20 20 12 20 20 20 20 20 16 20 20 20 22 20 20
Sumber : Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta 2010 (Data diolah)
20 15 20 20 20 20 20 20 20 27 23 20 20 20 20 20 20 20 20
Kelas Kelompok Lanjut Lanjut Lanjut Lanjut Lanjut Pemula Pemula Pemula Pemula Pemula Lanjut Lanjut Pemula Pemula Pemula Pemula Lanjut Pemula Lanjut Pemula Pemula Pemula
Pemula Pemula Pemula Pemula Pemula Pemula Pemula Pemula Pemula Lanjut Pemula Pemula Pemula Pemula Pemula Pemula Pemula Pemula Pemula
153
Lampiran 26. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kondisi kelompok tani binaan dan jenis usaha tani kecamatan Kembangan Jakarta Barat.
Wilayah Kelurahan Kembangan Utara (Rw.01) Kembangan Utara (Rw.06) Kembangan Utara (Rw.01) Kembangan Utara (Rw.01) Kembangan Selatan (Rw.3) Kembangan Selatan (Rw.1) Meruya Utara (Rw.10) Meruya Utara (Rw.11) Meruya Utara (Rw.04) Meruya Utara (Rw.01) Meruya Selatan (Rw.06) Meruya Selatan (Rw.03) Meruya Selatan (Rw.01) Meruya Selatan (Rw.06) Srengseng (Rw.02) Srengseng (Rw.06) Srengseng (Rw.08) Joglo (Rw.02) Joglo (Rw.06)
Nama Kelompok Suka Maju
Ketua Kelompok
Jenis Usahatani
Hasanudin
Pasca panen
Flamboyan
Madinah
Tanaman
Berkembang
Duha
Tanaman
Aster
Masanah
Tanaman
Suka Maju
Artiningsih
Tanaman
Kembangan Indah
Ny.Gayar
Tanaman Hias
Soka Indah
Saman
Tanaman Hias
Pihong
Ny.Madyah
Pasca Panen
Evorbia
Hi.Mukri
Tanaman Hias
Srikandi
Hi.Suhandi
Tanaman Hias
Villa Meruya
Hi.Buang M.
Tanaman Hias
Cahaya
Tisna
Pasca Panen
Bunga Mekar
Lebar
Tanaman Sayuran
Menarah Indah
Ny.Rini
Pasca Panen
Buadita Nuri Asoka Mawar Harapan Maju
Ny.Nurbaini Ny.Tati Oji SH Ny.Musanah Murkasan
Pasca Panen Pasca Panen Tanaman Hias Pasca Panen Tanaman Hias
Sumber : Buku Laporan BPP Kembangan 2009
154
Lampiran 27 . Keberadaan penerapan paket teknologi usaha tani belimbing di wilayah DKI Jakarta. . No
Komponen Teknologi
1. 2. 3. 4. 6. 7. 8.
Pengolahan Tanah/lahan Penggunaan Bibit Penanaman Pemupukan Pengendalian Hama Pemangkasan Panen dan Prosessing Rata-rata
Penerapan Teknologi (%) Kisaran Rataan 50,00 – 65,00 53,50 45,00 – 55,60 58,56 55,00 – 66,45 65,50 45,55 – 66.50 66,95 45,30 – 50,00 35,00 43,30 – 50,00 45,50 50,00 – 65,00 60,50 45.65 – 67.77 56.50
Keterangan/Rataan Belum sempurna Varietas ? --Lalat buah ? Belum sempurna -Sedang
Sumber : Hasil survei dan analisis data 2010 Lampiran 28. Rata-rata keberadaan penerapan paket teknologi usaha tani sayuran (kangkung/sawi/bayam) di wilayah DKI Jakarta. No
Komponen Teknologi
1. 2. 3. 4.
Pengolahan Tanah Penggunaan Benih Penanaman Pemupukan - Urea - Pupuk Kandang/organik Pembiwilan Pengendalian Hama Pascapanen Rata-rata
6. 7. 8.
Penerapan Teknologi (%) Kisaran Rataan 33,30 – 50,00 48,86 20,00 – 50,00 40,00 53,30 - 68,56 61,10 33,30 – 50,00 21,20 25,00 – 55,44 42,12 30,00 – 66,66 53,30 30,00 – 35,54 33,30 14,00 – 50,00 29,73 31,70 – 62,72 51,74
Keterangan/Rataan sedang Benih umum ? Pola tanam Rekomendasi ? 100 kg/ha 90 kg/ha sedang Insektisida nabati ? Kurang baik Sedang
Sumber : Hasil survei dan analisis data 2010
Lampiran 29 . Rata-rata keberadaan penerapan paket teknologi usaha tani Mangga, Jambu air dan Jambu biji di wilayah DKI Jakarta. No
Komponen Teknologi
1. 2. 3. 4. 6. 7. 8.
Pengolahan Tanah/lahan Penggunaan Bibit Penanaman Pemupukan Pengendalian Hama Pemangkasan Panen dan Prosessing Rata-rata
Penerapan Teknologi (%) Kisaran Rataan 50,00 – 65,00 52,50 40,00 – 50,66 58,56 50,00 – 66,45 55,50 35,55 – 56.50 46,90 33,30 – 50,00 30,00 33,30 – 50,00 30,00 25,00 – 35,00 30,50 41.65 – 57.77 46.50
Sumber : Hasil survei dan analisis data 2010
Keterangan/Rataan Belum sempurna Varietas ? Jarak tanam ? Pupuk kandang ? Lalat buah ? Belum sempurna Kurang baik ? Sedang
155
Lampiran 30. Rata-rata keberadaan penerapan teknologi usaha tani padi sawah di Wilayah DKI Jakarta.
No
Komponen Teknologi
Penerapan Teknologi (%) Kisaran Rataan 33,30 – 50,00 38,86 20,00 – 50,00 40,00
1. 2.
Pengolahan Tanah Penggunaan Benih
3. 4.
53,30 – 75,60
61,10
5.
Penanaman Pemupukan - Urea - SP – 36 - ZA/KCL - Pupuk Organik ? Pengairan
33,30 – 50,00 35,00 – 65,44 30,00 – 60,60 20,00 – 50,00 50,00 – 70,55
41,20 42,12 40,16 20,00 66,60
6.
Pengendalian Gulma
50,00 – 76,66
67,30
7. 8.
Pengendalian Hama Pascapanen Rata-rata
40,00 – 65,54 14,00 – 50,00 41,70 – 62,72
53,30 29,73 55,72
Sumber : Hasil survei dan analisis data 2010
Keterangan/Rataan Bajak dan Traktor Benih belum semua berlabel ? Tanam pindah ? Rekomendasi Pupuk ? 100 kg/ha 90 kg/ha 50 kg/ha ? 50 kg/ha ? Tadah Hujan / Keberlanjutan Pengairan ? Penyiangan belum sempurna ? sedang Kurang Baik Sedang
156
Lampiran Wilayah No. 1.
2.
Dimensi Ekologi
Ekonomi
31. Hasil penilaian dan deskripsi bentuk dan pola pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta. Jakarta Pusat
Jakarta Timur
Jakarta Barat
Jakarta Utara
Jakarta Selatan
Ketersediaan sumberdaya lahan/ruang Rata-rata luas pekarangan 25,50,75 m2. Luas pekarangan rata-rata di bawah 10% dari luas kavling. Kesesuaian pengembangan komoditas yaitu tanaman hias/anggrek, mahkota dewa dan mangga. RTH Produktif kurang. Konversi lahan rendah. Popolasi tanaman kategori rendah. Kepemilikan modal seadang.
Ketersediaan sumberdaya lahan rata-rata luas pekarangan 25,50,70,100 m2 dan sawah. Kesesuaian pengembangan komoditas yaitu varietas Ciherang, Fatmawati,
Ketersediaan sumberdaya lahan rata-rata luas pekarangan 25,50,75 m2. dan sawah. Kesesuaian pengembangan komoditas yaitu
Ketersediaan sumberdaya lahan ratarata luas pekarangan 25,50,75 m2 dansawah. Kesesuaian pengembanga n komoditas yaitu varietas Ciherang, Fatmawati,
Ketersediaan sumberdaya lahan/ruang Rata-rata luas pekarangan 25,50,75 m2. Kesesuaian pengembang an komoditas yaitu belimbing,
R/C ratio; mangga sistem tanam langsung 0,99. Insentif saprodi rendah. Usaha tani tanaman hias. Produksi tanaman rendah. Modal petani relatif rendah.
R/C ratio; mangga sistem tanam langsung 0,99. Insentif saprodi usaha tani padi sawah sedang. Mangga sistem tanam langsung 0,95. Produksi tanaman sedang. Modal petani relatif rendah.
Mekongga, Cigelis, tanaman buah mangga, rambutan, jambu biji, pisang, belimbing, sayuran bayam, kangkung dan sawi. Konversi lahan tinggi. Popolasi tanaman kategori sedang. Perluasan usaha tani kategori sedang .
tanaman hias /anggrek, mangga, belimbing, jambu air, dan sayuran bayam, kangkung dan sawi. Luas pekarangan rata-rata di bawah 10-15% dari luas kavling. Konversi lahan tinggi. Popolasi tanaman kategori sedang. Perluasan usaha tani kategori sedang. R/C ratio tanaman hias 2,05. Mangga sistem tanam langsung 0,99. Insentif saprodi usaha tani padi sawah sedang. Mangga sistem tanam langsung 0,95. Tataniaga dan
Mekongga, Cigelis, tanaman buah jambu biji, belimbing, sayuran bayam, kangkung dan sawi. Konversi lahan ti Popolasi tanaman kategori rendah . Perluasan usaha tani kategori cukup. R/C ratio; mangga sistem tanam langsung 0,99. Insentif saprodi usaha tani padi sawah sedang. Mangga sistem tanam langsung 0,95.
pepaya, mangga, rambutan, mahkota dewa, pala, dan sayuran. Luas pekarangan rata-rata di bawah 1020% dari luas kavling. Popolasi tanaman kategori sedang. Perluasan usaha tani kategori rendah. R/C ratio; belimbing 1,86. Sayuran organik 2,46.. Belimbing sistem tanam langsung 1,86. Produksi tanaman
157 Lampiran 31. (Lanjutan) Tataniaga dan pemasaran cukup baik. Perluasan usaha tani kategori rendah.
Tataniaga dan pemasaran cukup baik. Perluasan usaha tani kategori sedang.
pemasaran cukup baik. Perluasan usaha tani kategori cukup.
3.
Sosial
Jumlah rumah tangga petani <10%. Tingkat partisipasi KWT rendah. Akses modal sedang. Intensitas pembinaan sekitar 2550% Rata-rata pendidikan formal petani 30% SD/SMP. Pekerjaan sebagai petani rata-rata 1020%, lainnya sebagai sampingan saja. Rata-rata jumlah tanggungan keluarga petani 3-4 orang. Petani berpendidikan latar belakang pertanian 0%.
Jumlah rumah tangga petani 10-20% Tingkat partisipasi KWT sedang. Akses modal sedang. Intensitas pembinaan sekitar 25-50% Rata-rata pendidikan formal petani 40% SD/SMP. Pekerjaan sebagai petani rata-rata 2035%, lainnya sebagai sampingan saja. Rata-rata jumlah tanggungan keluarga petani 2-3 orang. Petani berpendidikan latar belakang pertanian 2% (SPMA).
Jumlah rumah tangga petani 10-20% Tingkat partisipasi KWT sedang Aksessibilitas modal tinggi. Intensitas pembinaan sekitar 2550%. Rata-rata Rata-rata pendidikan formal petani 30% SD/SMP. Pekerjaan sebagai petani rata-rata 2030%, lainnya sebagai sampingan saja. Rata-rata jumlah tanggungan keluarga petani 3-4 orang. Petani berpendidikan latar belakang pertanian 0%rang.
4.
Kelembagaan
Jumlah kelompok tani dan gapoktan sedikit. Kinerja lembaga penyuluhan kriteria tersedia tapi relatif kurang
Jumlah kelompok tani dan gapoktan agak banyak. Kinerja lembaga penyuluhan kriteria tersedia tapi relatif kurang efektif. Keberadaan
Kelompok tani dan gapoktan banyak. Kinerja lembaga penyuluhan kriteria tersedia tapi relatif kurang efektif.
Tataniaga dan pemasaran kurang. Perluasan usaha tani kategori sedang.
sedang. Tataniaga dan pemasaran cukup baik Perluasan usaha tani kategori sedang. Jumlah Jumlah rumah tangga rumah petani 10tangga 20% .Tingkat petani 10partisipasi 20% KWT rendah. .Tingkat Aksessibilitas partisipasi modal KWT tinggi sedang. Aksessibilit Intensitas as modal pembinaan sedang.. sekitar 30Intensitas 60%. Ratapembinaan rata sekitar 25pendidikan 50%. Rataformal petani rata 35% pendidikan SD/SMP. formal Pekerjaan petani 45% sebagai SD/SMP. petani rataPekerjaan rata sekitar sebagai 30%, lainnya petani ratasebagai rata 25%, sampingan lainnya saja. Ratasebagai rata jumlah sampingan tanggungan saja Ratakeluarga rata jumlah petani 4-5 tanggungan orang. keluarga petani 3-4 orang. Kelompok Kelompok tani dan tani dan gapoktan gapoktan banyak. cukup Kinerja banyak. lembaga Kinerja penyuluhan lembaga kriteria penyuluhan tersedia tapi kriteria relatif kurang tersedia tapi
158 Lampiran 31. (Lanjutan)
5.
Teknologi
efektif. Keberadaan LSM Lingkungan kriteria ada, tapi relatif kurang efektif. Kelembagaan sarana produksi dengan kriteria tersedia relatif cukup efektif. Keberadaan aturan tentang pertanian perkotaan secara khusus belum tersedia. Aksesbilitas petani ke sumber teknologi pada kondisi relatif rendah. Peran pemerintah, relatif masih kondisi kurang efektif.
LSM Lingkungan kriteria ada, tapi relatif kurang efektif . Kelembagaan sarana produksi dengan kriteria tersedia relatif cukup efektif. Keberadaan aturan tentang pertanian perkotaan secara khusus belum tersedia. Aksesbilitas petani ke sumber teknologi pada kondisi relatif rendah. Peran pemerintah, relatif masih kondisi kurang efektif. Sebagian besar lahan sawah dikuasai pengembang.
Keberadaan LSM Lingkungan kriteria ada, tapi relatif kurang efektif Kelembagaan sarana produksi dengan kriteria tersedia relatif cukup efektif. Keberadaan aturan tentang pertanian perkotaan secara khusus belum tersedia. Aksesbilitas petani ke sumber teknologi pada kondisi relatif sedang. Peran pemerintah, relatif masih kondisi cukup efektif. Sebagian besar lahan sawah dikuasai pengembang.
Sistem pengembangan teknologi; hidroponik, pot/polibek dan vertikultur. Kondisi penerapan teknologi: usaha tani tanaman hias dan sayuran kondisi sedang.
Sistem pengembangan teknologi; pot/ polibek dan vertikultur. Kondisi penerapan teknologi: usaha tani mangga sistem tanam langsung kondisi sedang, sayuran kondisi sedang, rambutan kondisi sedang, padi sawah kondisi sedang.
Sistem pengembangan teknologi; pot/ polibek dan vertikultur. Kondisi penerapan teknologi: usaha tani padi sawah kondisi kurang, usaha tani tanaman hias kondisi cukup baik.
Sumber: Hasil survei dan analisis data 2010/2011.
efektif. Keberadaan LSM Lingkungan kriteria ada, tapi relatif kurang efektif. Kelembagaan sarana produksi dengan kriteria tersedia relatif cukup efektif. Aksesbilitas petani ke sumber teknologi pada kondisi relatif sedang. Peran pemerintah, relatif masih kondisi kurang agak efektif. Sebagian besar lahan sawah dikuasai pengembang. Sistem pengembanga n teknologi; pot/polibek dan vertikultur. Kondisi penerapan teknologi: usaha tani mangga kondisi kurang, usaha tani padi sawah kondisi kurang.
relatif cukup efektif. Keberadaan LSM Lingkungan kriteria ada, tapi relatif kurang efektif. Kelembagaa n sarana produksi dengan kriteria tersedia relatif cukup efektif. Aksesbilitas petani ke sumber teknologi pada kondisi relatif tinggi. Peran pemerintah, relatif masih kondisi sedang. Sistem pengemban gan teknologi; hidroponik, pot/polibek dan vertikultur. Kondisi penerapan teknologi: usaha tani belimbing kondisi sedang, sayuran kondisi baik.
159
Lampiran 32. Hasil penilaian (skoring) atribut dimensi ekologi keberlanjutan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta. No
Atribut atau faktor
1
Luas RTH produktif: Didasarkan atas ketersediaan dan potensi lahan untuk pengembangan kebun dan pekarangan tanaman hortikultura (BPS 2010, Diperta DKI, 2010) Luas pekarangan: Didasarkan atas ketersediaan dan luasan pekarangan rumah dari kavling rumah penduduk.
2
3
4.
5.
6.
7.
8.
Laju konversi lahan: Didasarkan atas laju perubahan penggunaan lahan untuk non pertanian dan trent produksi pertanian di wilayah DKI Jakarta Kondisi Pencemaran Limbah B3: Didasarkan atas kriteria hasil pengukuran BPLHD terhadap wilayah perairan di wilayah DKI Jakarta Penataan lingkungan atau estetika: Didasarkan atas kondisi penataan tanaman pemukiman/rumah penduduk Luas lahan dan ruang usaha tani: Didasarkan atas perkembangan pemanfaatan area terbangun dalam kegiatan usaha tani pada komoditas hortikultura di wilayah DKI Jakarta.
Kondisi suhu udara: Didasarkan atas rata-rata suhu bulanan dan tahunan di wilayah DKI Jakarta
Var. Iklim/CH: Didasarkan atas kondisi variabilitas iklim/curah hujan rataan tahunan dan bualanan5 tahun terakhir.
Status Baik Buruk 3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
Kriteria 0 = tidak tersedia 1 = kurang tersedia; 2 = sedikit tersedia; 3 = cukup tersedia 0 = tidak berpekarangan 1 = rata-rata luas pekarangan <10% 2 = rata-rata luas pekarang <20%; 3 = rata-rata luas pekarangan < 30 %. 0 = sangat tinggi 1 = tinggi; 2 = sedang 3.= rendah 0 = kondisi buruk; 1 = kurang sedang; 2 = cukup baik; 3 = sangat baik 0 = buruk; 1 = kurang baik; 2 = cukup baik; 3 = sangat baik 0 = belum melakukan 1 = melakukan kodisi rendah; <10 % 2 = melakukan kondisi sedang 20=30% 3 = melakukan kondisi tinggi. >30% 0 = dibawa suhu normal; 1 = suhu normal cenderung menurun 2= suhu normal cenderung meningkat; 3 = berada pada suhu normal 0 = CH rendah 1 = CH sedang 2 = CH tinggi 3 = CH terlampaui
Ratarata Skor 1
1
1
1
1
2
2
1
160 Lampiran 32. (Lanjutan) 9.
10.
11.
Kondisi pengairan: Didasarkan atas ketersediaan sumber dan debit air irigasi dan air tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman di wilayah DKI Jakarta Potensi banjir: Didasarkan atas frekuensi dan intensitas kejadian banjir (curah hujan terlampaui) yang mengganggu pertumbuhan tanaman. Jenis tanaman dominan: Didasarkan atas perkembangan populasi dan kesesuaian variabilitas jenis tanaman hortikultura yang diusahakan petani di wilayah DKI Jakarta. Kebijakan pemda pengembangan RTH produktif.
Catatan : Hasil skoring kondisi 2010/2011
3
0
3
0
3
0
0 = tidak mendukung 1 = kurang mendukung 2 = cukup mendukung 3 = sangat mendukung 0 = meningkat pesat; 1 = cenderung meningkat; 2 = cenderung menurun; 3 = gangguan rendah 0 = populasi dan hanya jenis tanaman tertentu; 1 = 2-3 populasi dan jenis tanaman hortikultura; 2 = 3-5 populasi dan jenis tanaman hortikultura; 3 = >5 populasi dan jenis tanaman hortikultura;
2
1
1
161
Lampiran 33. Hasil penilaian (skoring) atribut dimensi ekonomi keberlanjutan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta. No
Atribut atau faktor
Status Baik Buruk
1.
Pemberian insentif dan kompensasi pertanian: Didasarkan atas permintaan masyarakat tani atas pemberian saprodi dan pembebasan pajak bumi/lahan/ruang (tanah) untuk lahan milik usaha pertanian perkotaan.
3
0
2.
Produktivitas tanaman: Didasarkan atas perkembangan produktivitas tanaman hortikultura 5 tahun terakhir
3
0
3.
Peningkatan produksi: Didasarkan atas perkembangan total produksi tanaman hortikultura 5 tahun terakhir
3
0
4.
Kontribusi pendapatan usaha tani: Didasarkan atas pendapatan dari usaha tani keluarga petani dan pendapatan non usaha tani. Harga dan bibit: Didasarkan atas pengeluaran biaya sarana produksi usaha tani buah-buahan tahun 2010
3
0
3
0
6.
Kelayakan usaha tani: Didasarkan atas perbandingan input output usaha tanaman hortikultura (sayuran, tanaman hias dan tanaman produktif tahunan)
3
0
7.
Jumlah tenaga kerja: Didasarkan atas tingkat ketersediaan tenaga kerja sektor pertanian.
3
0
8.
Ketersediaan biaya pupuk organik: Didasarkan atas tingkat ketersediaan sarana produksi pupuk organik di tingkat petani secara tepat
3
0
5.
Kriteria 0 = tanpa insentif; 1 = insentif saprodi UT. 2 = insentif saprodi dan pajak tanah. 3 = insentif saprodi dan pajak tanah dan restribusi hasil pertanian. 0 = menurun pesat; 1= cenderung menurun 2 = relatif tetap 3 = terus meningkat 0 = menurun pesat; 1 = cenderung menurun 2 = relatif tetap 3 = terus meningkat 0 = sangat rendah 1 = relatif rendah 2 = relatif tinggi 3 = sangat tinggi 0 = sangat tinggi; 1 = relatif tinggi 2 = relatif rendah 3 = rendah 0 = tidak menguntungkan; 1 = kurang menguntungkan 2 = cukup menguntungkan 3 = keuntungan tinggi 0 = tidak tersedia; 1 = kurang tersedia 2 = relatif tersedia 3 = cukup tersedia 0 = tidak tersedia/mahal; 1 = tersedia/agak mahal 2 = tersedia/relatif murah 3 = cukup tersedia/murah
Ratarata skor 1
2
1
1
1
1
1
1
162 Lampiran 33.(Lanjutan) 9.
Modal kelompok tani: Didasarkan atas ketersediaan modal petani umumnya
3
0
0 = tidak tersedia; 1 = kurang tersedia 2 = relatif tersedia 3 = cukup tersedia
1
10.
Tataniaga pemasaran: Didasarkan atas kelancaran dan ketepatan/ketersediaan terminal agribisnis di wilayah DKI Jakarta.
3
0
1
11.
Perluasan lahan UT: Didasarkan atas rata-rata jumlah luasan lahan dan penguasaan per jenis tanaman setiap rumah tangga tanaman hotikultura. PDRB Pertanian: Didasarkan atas besar PDRB terhadap setiap sektor wilayah DKI Jakarta
3
0
3
0
Harga komoditas UT: Didasarkan atas rata-rata penjualan hasil usahatani komoditas hortikultura.
3
0
0 = tidak lancar/tersedia; 1 = kurang lancar/tersedia 2 = relatif lancar/tersedia 3 = cukup lancar/tersedia 0 = <10 pohon; 1 = 10-30 pohon; 2 = 31-50 pohon; 3 = >50 pohon 0 = sangat rendah 1 = relatif rendah 2 = relatif tinggi 3 = sangat tinggi 0 = sangat rendah 1 = relatif rendah 2 = relatif tinggi 3 = sangat tinggi
12.
13.
Catatan : Hasil skoring kondisi 2010/2011
1
1
1
163
Lampiran 34. Hasil penilaian (skoring) atribut dimensi sosial keberlanjutan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta. No 1.
2.
Atribut atau faktor Jumlah rumah tangga petani: Didasarkan atas jumlah KK rumah tangga yang sebagai pekerjaan pokok petani terhadap jumlah KK yang bergerak di UT Pendidikan formal KK tani: Didasarkan atas persentase rata-rata pendidikan formal KK petani tahun 2010
3.
Tingkat pengetahuan pertanian petani: Didasarkan atas rata-rata pendidikan formal bidang pertanian tahun 2010
4.
Intesitas pembinaan petani: Didasarkan atas perkiraan jumlah rumah tangga petani yang aktif secara berkala mengikuti/mendapatkan penyuluhan pertanian dari penyuluh. Pertumbuhan penduduk: Didasarkan atas laju pertumbuhan penduduk per tahun di DKI 5 tahun terakhir
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Penduduk bekerja sektor pertanian: Didasarkan atas keberadaan petani sebagai mata pencarian atau pekerjaan utama. Jumlah tanggungan RT: Didasarkan atas tanggungan KK sebagai anggota keluarga petani Tekanan penduduk terhadap lahan: Didasarkan pada pertumbuhan penduduk dan industri serta pemukiman di wilayah DKI. Tingkat partisipasi kaum ibu dalam keg.pertanian: Didasarkan pada pertumbuhan kelompok dan kegiatan wanita tani di wilayah DKI Jakarta. Aksesbilitas modal dan pembinaan petani: Didasarkan pada banyaknya kelompok dalam berminat melakukan pinjaman ke sumber modal
Catatan : Hasil skoring kondisi 2010/2011
Status Baik Buruk 3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
2
0
3
0
3
0
3
0
Kriteria 0 = <10% 1 = 10 – 20% 2 = 21-30% 3 = 31 – 40% 0 = tidak tamat SD 1 = SD/sederajat 2 = SLTP/sederajat 3 = SLTA/sederajat ke atas 0 = tidak tamat sekolah pertanian 1 = tamat SPMA/sederajat 2 = sarjana pertanian/sederajat 3 = pascasarjana pertanian /sederajat 0 = <25% petani 1 = 25-<50% petani 2=50-75% petani aktif 3= > 75 % petani aktif 0 = 1,5% 1 = 1- 1,5% 2 = 0,5-<1% 3 = <0,5% 0 = <25% petani 1 = 25-<50% petani 2 = 50-75% petani 3 = >75% petani 0 = 1 – 2 orang 1 = 3 – 4 orang 2 = 5- 6 orang 0 = sangat rendah 1 = relatif rendah 2 = relatif tinggi 3 = sangat tinggi 0 = sangat rendah 1 = relatif rendah 2 = relatif tinggi 3 = sangat tinggi 0 = sangat rendah 1 = relatif rendah 2 = sedang 3 = relatif tinggi
Ratarata skor 1
2
0
1
0
1
1
2
2
2
164
Lampiran 35. Hasil penilaian (skoring) atribut dimensi kelembagaan keberlanjutan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta. No
Atribut atau faktor
1.
Kelembagaan penyuluhan: Didasarkan atas ketersediaan dan efektivitas kelembagaan penyuluhan dalam memenuhi kebutuhan/pelayanan ke petani di DKI.
2.
Organisasi kaum ibu bidang kegiatan pertanian: Didasarkan atas kinerja keberadaan kelompok wanita tani (KWT) di DKI Jakarta
3.
Keberadaan otoritas pengendalian konversi lahan: Didasarkan atas ketersediaan lembaga dan efektivitas dalam pengendalian konversi lahan selain di wilayah DKI
4.
Keberadaan otoritas pengendalian lingkungan: Didasarkan atas ketersediaan dan efektivitas instiusi pengelolaan dan pengendalian lingkungan.
5.
Kelembagaan tani: Didasarkan atas ketersediaan dan efektivitas kelembagaan petani Kelompok tani dan Gapoktan di DKI Jakarta LSM bidang lingkungan: Didasarkan atas keberadaan dan efektivitas advokasi dan pengendalian di wilayah DKI Jakarta
6.
Status Baik Buruk 3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
Kriteria 0 = tidak tersedia 1 = tersedia tetapi tidak efektif 2 = tersedia kurang efektif 3 = tersedia cukup efektif 0 = belum ada kelompok khusus 1 = ada kelompok dan kurang efektif 2 = ada kelompok dan cukup efektif 3 = ada kelompok sangat efektif 0 = tidak tersedia 1 = tersedia kurang efektif 2 = tersedia relatif cukup efektif 3 = tersedia sangat efektif 0 = tidak tersedia 1 = tersedia tidak efektif 2 = tersedia kurang efektif 3 = tersedia cukup efektif 0 = tidak ada 1= ada kurang efektif 2 = ada cukup efektif 3 = ada sangat efektif 0 = tidak ada 1 = ada dan kurang efektif 2 = ada dan cukup efektif 3 = ada dan sangat efektif
Ratarata skor 2
1
2
2
2
1
165 Lampiran 35. (Lanjutan) 7.
Kelembagaan sarana produksi/ pedagang: Didasarkan atas ketersediaan dan efektivitas kelembagaan saprodi tanaman hortikultura di wilayah DKI
8.
Efektifitas penataan ruang: Ketersediaan dan dukungan RTRW terhadap kepastian peruntukan ruang untuk fungsi budidaya tanaman.
9.
Aturan pertanian perkotaan: Didasarkan atas ketersediaan Undang khusus, Perda atau Instruksi Gubernur yang memberikan dukungan keberlanjutan sistem budidaya pertanian khususnya untuk RTH produktif di perkotaan Peran instansi pemerintah: Didasarkan atas program dan implementasi kebijakan pertanian terhadap insentif dan kegiatan pembinaan/penyuluhan instansi terkait lainnya.
10.
11.
Aksesibilitas petani ke teknologi: Didasarkan atas persentase kelompoktani yang mempunyai akses yang baik terhadap pelayanan sumber informasi (BPTP Jakarta dan lainnya)
Catatan : Hasil skoring kondisi 2010/2011
3
0
3
0
2
0
3
0
3
0
0 = tidak tersedia 1 = tersedia kurang efektif 2 = tersedia cukup efektif 3 = tersedia sangat efektif 0 = Tidak tersedia 1 = Tersedia kurang mendukung 2 = tersedia cukup mendukung 3 = tersedia sangat mendukung 0 = tidak tersedia 1 = tersedia kurang mendukung 2 = tersedia cukup mendukung 3 = Tersedia/ada 0 = tidak peran 1 = berperan dan kurang efektif 2 = berperan relatif cukup efektif 3 = peran sangat efektif 0 = <25%; 1 = 25 – 50% 2 = >50-75% 3 = >75%.
2
1
0
1
1
166
Lampiran 36. Hasil penilaian (skoring) atribut dimensi teknologi keberlanjutan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta. No 1.
2.
3.
Atribut atau faktor Tingkat penerapan teknologi: Didasarkan atas tingkat penerapan teknologi budidaya tanaman buahbuahan dan tanaman hias. Jenis inovasi teknologi budidaya: Didasarkan atas ketersediaan bahan teknologi budidaya komoditas hortikultura (sistem pot/polibek, vertikultur, hidroponik dll.) di wilayah perkotaan Teknologi pengelolaan limbah organik: Didasarkan atas ketersediaan teknologi pengolahan limbah di wilayah perkotaan
4.
Teknologi pengairan pertanian: Didasarkan atas kondisi dan luas jangkauan jaringan irigasi teknis mendukung usaha tani hortikultura
5.
Manajemen budidaya tanaman: Didasarkan atas cara pengelolaan usahatani komoditas hortikultura pada umumnya petani di DKI Jakarta
6.
Penggunaan bibit unggul: Didasarkan atas persentase petani menggunakan bibit unggul bermutu dan bersertifikat
7.
Teknologi pemanfaatan ruang terbangun: Didasarkan pada ketersediaan ruang-ruang terbangun untuk inovasi teknologi pertanian. Pemamfaatan teknologi ramah lingkungan: Didasarkan pada ketersediaan pupuk dan media organik sebagai media tumbuh tanaman hortikultura. Teknologi pembibitan: Didasarkan pada ketersediaan pembibitan tanaman hortikultura di wilayah DKI Jakarta.
8.
9.
Catatan : Hasil skoring kondisi 2010/2011
Status Baik Buruk 3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
Kriteria 0 = Rendah 1 = Sedang 2 = Cukup 3 = Tinggi 0 = Tidak tersedia 1 = Kurang tersedia 2 = Cukup tersedia 3 = Sangat tersedia
0 = Tidak tersedia 1 = Kurang tersedia 2 = relatif Cukup tersedia 3 = cukup tersedia 0 = Tidak mendukung 1= Kurang mendukung 2 = Cukup mendukung 3 = Sangat mendukung 0 = tidak baik 1 = kurang baik 2 = relatif cukup baik 3 = cukup baik 0 = <25%; 1 = 25 – 50% 2 = >50-75% 3 = >75%. 0 = Tidak tersedia 1 = Kurang tersedia 2 = Cukup tersedia 3 = Sangat tersedia 0 = Tidak tersedia 1 = Kurang tersedia 2 = Cukup tersedia 3 = Sangat tersedia 0 = Tidak tersedia 1 = Kurang tersedia 2 = Cukup tersedia 3 = Sangat tersedia
Rata-rata skor 2
1
2
1
2
2
2
1
2
167
Lampiran 37. Stakeholder dan kebutuhan atau kepentingan terhadap sistem kebijakan pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta. No 1.
Stakeholder Masyarakat umum
Kebutuhan atau kepentingan terhadap sistem
2.
Masyarakat petani
3.
4.
5.
6. 7.
Pemerintah Pusat dan Daerah (BAPPEDA, Diskeltan, BPN, BLHD, Diskop, Diskes, Disnaker). Lembaga Swadaya Masyarakat dan Pemerhati lingkungan hidup
Akademisi dan penelitian/ pengkajian Lembaga Keuangan Perusahaan Saprodi
Pengembangan komoditas yang ramah lingkungan, estetika atau kualitas lingkungan baik. Ketersediaan aturan dan teknologi Jaminan/kompensasi kehilangan hak-hak yang memadai. Kerjasama antar stakeholders sektor terkait Konflik lingkungan diminimalkan. Ketersediaan lahan dan ruang, lahan usaha tani meningkat Peningkatan pembinaan kepada petani; Jaminan pasar dari pemerintah Penguatan kelembagaan tani, pembinaan meningkat Ketersediaan aturan dan teknologi Jaminan konvensasi kehilangan hak-hak yang memadai; Kerjasama antar stakeholders sektor terkait Ketersediaan lahan untuk meningkatkan RTH/ RTRW lebih baik. Jaminan pasar dari pemerintah, harga stabil menguntungkan bagi pelaku usaha tani Penguatan kelembagaan tani, Jaminan kompensasi kehilangan hak-hak yang memadai; Kerjasama antar stakeholders sektor terkait. Pengembangan komoditas yang ramah lingkungan, Peningkatan pembinaan kepada petani, Penguatan kelembagaan tani, layanan lancar Ketersediaan aturan dan teknologi, estetika terpenuhi Jaminan kompensasi kehilangan hak-hak yang memadai, Kerjasama antar stakeholders sektor terkait. Ketersediaan aturan dan teknologi hasil riset. Jaminan kompensasi kehilangan hak-hak yang memadai, hasil riset. Kerjasama antar stakeholders sektor terkait. Penguatan modal usaha tani, usaha meningkat. Kredit usaha tani. Penguatan modal usaha tani dan peningkatan hasil petani.
Sumber : Data primer (data diolah, 2010)
168
169
Lampiran 38. Gambar/foto dan metode inovasi pertanian di wilayah DKI Jakarta. Pemanfaatan lahan/kebun spesifik dan pekarangan Kembangan Jakarta Barat
Teknologi sistem kebun spesifik bibit tanaman hias di Kembangan Jakarta Barat
Lahan Sawah di Jakarta Utara, Barat dan Timur
Gambar inovasi pertanian sistem tanam lansung di pekarangan, kebun dan sawah. Teknologi sistem vertikutur sayuran di teras rumah
Gambar inovasi pertanian sistem vertikultur di ruang terbangun.
170
171 Lampiran 38 (Lanjutan).
Teknologi sistem potinisasi tanaman hias di teras dan halaman rumah
Gambar inovasi pertanian sistem pot/polibek di ruang terbangun dan pekarangan Teknologi sistem hidroponik sayuran Jenis Tomat
Teknologi sistem hidroponik sayuran
Gambar inovasi pertanian sistem hiroponik di teras rumah
Gambar inovasi pertanian sistem babilonia/rambatan di media/ruang bangunan