MODEL KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOTA TANGERANG SELATAN MENUJU KOTA BERKELANJUTAN POLICY MODEL OF SOUTH TANGERANG CITY DEVELOPMENT TOWARDS THE SUSTAINABLE CITY
Heri Apriyanto1,2, Eriyatno1, Ernan Rustiadi1, Ikhwanuddin Mawardi2 1
Sekolah Pascasarjana IPB, PS. Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Kampus IPB Baranangsiang, Bogor, 16144 2 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan 15413 Email:
[email protected] Tanggal diterima: 12 April 2015; Tanggal disetujui: 8 Juni 2015
ABSTRACT The increasing of population and economic growth in large cities must be accompanied by the increasing of activity. At a certain time, it will eventually lead to various urban problems, such as the imbalance between supply and demand of land, pollution, flooding, congestion, and community conflict. One of the efforts to tackle these problems is new city development. The new city development in Indonesia has become a major issue and it has been applied. But it has not fully shown encouraging results, because it just move the existing problems of the big cities to the new cities, both physical and socio-economic problems. South Tangerang City, where the new city is still oriented on economic development. This study purposed to develop a policy model of sustainable city development that harmonize economic, ecological, and social order to achieve sustainable city development. This study approach use a system dinamics. This is a methodology for managing complex feedback systems into account the time factor. From the simulation results of several scenarios, the selected scenario was to balance the sustainable development aspects and consider the real conditions.. Keywords: Model, new city, policy, sustainable city, system dynamics
ABSTRAK Peningkatan pertumbuhan penduduk dan ekonomi di kota-kota besar tentunya diiringi dengan peningkatan kegiatannya. Pada titik tertentu akhirnya akan menimbulkan berbagai masalah perkotaan, seperti ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan lahan, pencemaran, banjir, kemacetan, dan konflik masyarakat. Upaya mengatasi timbulnya permasalahan, salah satunya dengan pembangunan kota baru. Pembangunan kota baru di Indonesia telah menjadi isu utama dan sudah diterapkan. Namun yang terjadi perkembangan kota baru belum sepenuhnya menunjukkan hasil yang menggembirakan, karena yang terjadi adalah sebagian besar hanya memindahkan permasalahan yang ada dari kota-kota besar ke kota-kota baru, baik masalah fisik maupun sosial ekonomi. Sebagai salah satu contoh adalah Kota Tangerang Selatan, dimana kota ini masih berorientasi pada pengembangan aspek ekonomi saja. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun arahan kebijakan pengembangan kota berkelanjutan, suatu model kebijakan yang mengharmonisasikan tatanan ekonomi, tatanan ekologis, dan tatanan sosial untuk mewujudkan pengembangan kota yang berkelanjutan. Pendekatan yang digunakan adalah sistem dinamis. Sistem dinamis adalah suatu metodologi untuk mengelola sistem-sistem umpan balik yang kompleks dengan mempertimbangkan faktor waktu. Hasil simulasi dari beberapa skenario, maka terpilih skenario yang mengimbangkan antar aspek pembangunan berkelanjutan dan mempertimbangkan kondisi nyata di lapangan sebagai skenario prioritas. Kata Kunci : Model, kebijakan, kota baru, kota berkelanjutan, sistem dinamis
91
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.2, Juli 2015, hal 78-139
PENDAHULUAN Secara global, pada tahun 2014 populasi dunia yang tinggal di daerah perkotaan lebih banyak daripada yang tinggal di daerah pedesaan, yaitu sekitar 54%. Pada tahun 1950, sekitar 30% dari populasi dunia tinggal di perkotaan, dan pada tahun 2050 diproyeksikan sekitar 66% dari populasi dunia akan tinggal di kota (UNDESA 2014). Peningkatan jumlah penduduk selalu diiringi dengan peningkatan kegiatan perekonomian. Keterbatasan kapasitas daya dukung di banyak kota menjadi beban yang signifikan karena pesatnya urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi kota. Daya dukung wilayah yang terlampaui dalam pembangunan perkotaan akan berpotensi menimbulkan berbagai masalah perkotaan, seperti kemacetan, kekurangan perumahan, degradasi ekosistem, polusi udara dan air, kurangnya sarana sanitasi, dan kesenjangan sosial. Sumber daya alam di dalam dan sekitar kota-kota akan terkena eksternalitas dari proses pembangunan perkotaan (Heikkila and Xu 2013; Shi et al., 2013; Dizdaroglu et al., 2014).
Guna mengatasi permasalahan di kota-kota besar, maka pemerintah negara-negara berkembang berupaya untuk menyusun kebijakan baru. Salah satu kebijakannya adalah dengan pembangunan kota baru (new town). Pembangunan kota baru telah menjadi isu utama dalam kebijakan pengembangan wilayah di Indonesia pada akhir-akhir dekade ini, walau sesungguhnya pembangunan kota baru merupakan fenomena lama di negara ini. Kebijakan ini bertujuan untuk memecahkan permasalahan penumpukan kegiatan sosial ekonomi, manajemen urbanisasi, dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, serta upaya untuk menyeimbangkan sekaligus menciptakan keterpaduan antar wilayah perkotaan (Lutfi 2007; Siregar 2012). Pendapatpendapat tersebut memiliki persamaan tentang konsep sebuah kota baru, yaitu penciptaan suatu wilayah masyarakat baik secara fisik maupun non fisik dapat menunjang perikehidupan masyarakat kota secara mandiri, seimbang, serta harmonis. Namun yang terjadi saat ini perkembanganperkembangan kota-kota baru belum sepenuhnya menunjukkan hasil yang optimal, karena yang terjadi adalah sebagian besar hanya memindahkan permasalahan yang ada dari kota besar ke kota baru, baik masalah lingkungan maupun sosial ekonomi. Pembangunan kota-kota baru di Kota Tangerang Selatan (dahulu bagian wilayah dari Kabupaten Tangerang) dirintis dan dibangun secara terencana oleh pengembang besar (Bumi Serpong Damai, Bintaro Jaya, dan Alam Sutera) yang merupakan salah satu implementasi dari Instruksi Presiden No. 13 Tahun 1976 tentang Pengembangan
92
Wilayah Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi). Namun begitu juga muncul pusat-pusat pertumbuhan baru yang disebabkan oleh adanya suburbanisasi dari dampak perkembangan Kota Jakarta, terutama untuk daerah peri-urban Jakarta seperti Ciputat, Pamulang, dan Pondok Aren. Suburbanisasi yang terjadi cenderung menjadikan kawasan perkotaan menjadi kurang terstruktur dengan baik (urban sprawl). Kota-kota baru (dan pusat-pusat pertumbuhan baru) secara fisik sudah menyatu, tidak lagi merupakan spot-spot dikarenakan banyaknya permukiman-permukiman kecil yang berkembang diantara pusat-pusat pertumbuhan tersebut. Kota baru dan pusat pertumbuhan baru tersebut menjadi pilar utama terbentuknya Kota Tangerang Selatan sebagai Daerah Otonom Baru (DOB) pada tahun 2008.
Pengembangan Kota Tangerang Selatan khususnya pada aspek ekonomi sangat pesat pada saat ini, dengan sektor tersier sebagai sektor basis dan unggulan. Pengembangan aspek ekonomi yang pesat ini belum diimbangi oleh pengembangan aspek lainnya sehingga dampak negatif, baik gangguan terhadap aspek fisik, sosial, maupun ekonomi mulai terindikasi. Kurangnya pengendalian urban sprawl, integrasi sarana/prasarana yang kurang optimal, tumpang tindih kewenangan antara pemerintah kota dengan pengembang, menjadi faktor-faktor yang juga dapat mendorong kerentanan kota. Fenomena-fenomena permasalahan yang muncul antara lain: masalah persampahan, banjir/ genangan air, air bersih, kemacetan, perambahan kawasan lindung (resapan air, Ruang Terbuka Hijau (RTH), situ), kawasan kumuh, kesenjangan sosial, dan sebagainya. Berdasarkan hal-hal tersebut maka penelitian ini bertujuan menyusun model kebijakan pengembangan Kota Tangerang Selatan yang berkelanjutan, suatu kebijakan yang mengharmonisasikan tatanan ekonomi, tatanan ekologis, dan tatanan sosial untuk mewujudkan pengembangan kota yang berkelanjutan. Perancangan model kebijakan menggunakan pendekatan sistem (system thinking), yakni seperangkat kemampuan analisis sinergis untuk meningkatkan kemampuan mengidentifikasi dan memahami sistem, memprediksi perilaku, dan merancang modifikasi komponen dalam rangka untuk menghasilkan efek yang diinginkan (Arnold and Wade 2015). Metodologi yang digunakan adalah Sistem Dinamis.
Penelitian ini menyajikan suatu novelty perumusan model kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan. Kota bersifat dinamis
Model Kebijakan Pengembangan Kota Tangerang Selatan Menuju Kota Berkelanjutan Y Heri Apriyanto, Eriyatno, Ernan Rustiadi dan Ikhwanuddin Mawardi dan merupakan suatu sistem, yakni terdiri dari komponen-komponen yang berbeda-beda tetapi semuanya saling terkait, saling mempengaruhi, dan mempunyai tujuan yang sama. Hal ini menimbulkan suatu dinamika tertentu, disamping tentunya memiliki dampak terhadap ruang. Untuk itu pendekatan yang tepat adalah secara sistemik, dinamik, dan holistik dengan mempertimbangkan aspek pembangunan kota berkelanjutan. Fitriani dan Harris (2011) menyatakan sering kali proses perencanaan perkotaan yang ada tidak dapat mengantisipasi perkembangan kota tersebut secara efektif. KAJIAN PUSTAKA
Saat ini telah berkembang banyak paradigma tentang pembangunan. Salah satu diantaranya adalah konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep pembangunan berkelanjutan tersebut kemudian mulai diturunkan dan dikenalkan dalam perwujudannya di kota-kota sehingga menghasilkan konsep kota berkelanjutan (sustainable city). Paradigma ini muncul karena adanya ancaman di balik peningkatan jumlah penduduk dan ekonomi kota yang pesat.
Suatu kota akan memiliki sifat yang tidak berkelanjutan secara melekat, sehingga diperlukan strategi pengembangan kota dengan konsep kota ramah lingkungan, dan itu adalah cara yang paling efektif untuk mencapai pengembangan kota berkelanjutan (Dou et al., 2013). Pembangunan berkelanjutan sangat penting tidak hanya untuk meningkatkan kelayakan huni dari sebuah kota, tetapi juga untuk mempertahankan keberlangsungan ekosistem perkotaan dan jasa serta penyediaan SDA untuk kebutuhan manusia (Yigitcanlar et al., 2015; Yigitcanlar and Teriman 2015).
Kapasitas alam semakin mengalami penipisan dan sumber daya terbarukan yang terbatas, maka beban lingkungan yang dihasilkan suatu kota harus dibatasi. Namun demikian standar hidup sosial dan ekonomi tidak boleh dikorbankan hanya untuk mencapai kelestarian lingkungan. Harus tercapai keseimbangan triple bottom line (dimensi lingkungan, ekonomi, dan sosial) dengan tanpa kompromi (Mori and Christodoulou 2012). Namun begitu pencapaian berkelanjutan lingkungan tidak hanya tergantung pada modal infrastruktur ekonomi dan lingkungan namun juga pada orangorang dengan kemampuan untuk manajemen krisis dan perbaikan lingkungan (Diaz 2011). Kota berkelanjutan menunjukkan pemanfaatan modal ekonomi dan sosial secara maksimal di bawah
keterbatasan beban lingkungan dan dalam batas yang dapat diterima dari ketidakadilan ekonomi dan sosial. Jika sebuah kota saat ini tidak melebihi ambang batas keterbatasan lingkungan namun jika beban akumulasi diprediksi akan melebihi ambang batas pada masa depan, situasi saat ini harus dianggap sebagai tidak berkelanjutan (Handoh and Hidaka 2010).
Proses perencanaan kebijakan pembangunan kota berkelanjutan harus dapat merangkul keragaman sosial yang menjadi ciri khas penduduk di kota-kota pada saat ini, dan dimasukkannya aspek ekologi (Amando et al 2010). Sistem Dinamis merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk penilaian berkelanjutan, lebih memahami pembangunan berkelanjutan dalam periode perencanaan dan memprediksi kecenderungan masa depan (Xu 2011). Sistem Dinamis adalah metodologi dan teknik simulasi komputer yang kuat untuk merangkai, memahami, dan membahas masalah yang kompleks. Saat ini metoda ini sudah digunakan di seluruh sektor publik dan swasta untuk analisis kebijakan dan desain (Ŝpicar 2014) METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam pemodelan ini adalah Sistem Dinamis. Hubungan antar variabel disimulasikan dengan menggunakan perangkat lunak Powersim. Simulasi tersebut menghasilkan persamaan, causal loop diagram (CLD), diagram alir, tren data, dan grafik/tabel.
Tahapan untuk perancangan model (lihat Gambar 1) adalah sebagai berikut: (1) perumusan masalah untuk model; (2) pengeksplorasian pola perilaku (telling the stories) sistem pengembangan kota untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai pola perilaku elemen/komponen dalam sistem pengembangan perkotaan, dengan cara observasi lapangan/survei instansional dan eksplorasi data statistik; (3) pembatasan model dan penentuan variabel model dengan mempertimbangkan tujuan penyusunan model serta isu-isu spesifik lokal; (4) penyusunan struktur model dengan CLD dan diagram sistem dinamis model. Keterkaitan antar sub model secara umum dapat digambarkan keterkaitannya berdasarkan variabel utama dengan menggunakan CLD; (5) penvalidasian model melalui kegiatan pengujian terhadap CLD, pengujian terhadap struktur model, dan pengujian terhadap data historis; (6) penyusunan skenario dan simulasi model kebijakan untuk mengetahui arah perkembangan kota; dan (7) penentuan prioritas model kebijakan dari hasil simulasi dari alternatif skenario-skenario.
93
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.2, Juli 2015, hal 78-139
Penentuan skenario yang menjadi prioritas terbaik menggunakan pendekatan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE). MPE merupakan salah satu metode untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak.
Teknik ini digunakan untuk membantu individu pengambilan keputusan menggunakan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada tahapan proses.
Karakteristik kota
1. Perumusan Masalah
7. Penentuan prioritas kebijakan
2. Pengeksplorasian pola perilaku sistem
Dampak: Lingkungan, Sosial, Ekonomi
6. Penyusunan skenario dan simulasi kebijakan
3. Pembatasan dan penentuan variabel model
4. Penyusunan struktur model
5. Pengvalidasian model
Gambar 1. Tahapan penyusunan prioritas kebijakan Sumber : Djajadiningrat et al., 2000, modifikasi.
MPE digunakan untuk membandingkan beberapa alternatif (skenario) dengan menggunakan sejumlah kriteria yang ditentukan berdasarkan hasil diskusi dengan para pakar terkait. Formulasi perhitungan skor untuk setiap alternatif dapat dilihat pada Persamaan (1). m TNi =∑ (RK ij)TKK j j=1
(1)
dimana Tni adalah total nilai alternatif ke –i; RK ij adalah derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada pilihan keputusan i; TKKj adalah derajat kepentingan kriteria keputusan ke-j; TKKj>0; bulat; n adalah jumlah pilihan keputusan; dan m adalah jumlah kriteria keputusan HASIL DAN PEMBAHASAN
Perumusan masalah untuk model Pengembangan Kota Tangerang Selatan saat ini belum terdapat keseimbangan antara aspek-aspek pembangunan berkelanjutan. Aspek ekonomi lebih dominan dibandingkan dengan aspek lingkungan dan sosial. Model kebijakan ini bertujuan mengoptimalkan potensi ekonomi dengan dampak lingkungan rendah, meningkatkan kesejahteraan penduduknya dengan kota yang layak huni. Pengeksplorasian pola perilaku sistem kota
Secara umum Kota Tangerang Selatan terletak di bagian sebelah timur Provinsi Banten, dan berbatasan langsung dengan Ibukota Negara RI, yaitu Jakarta. Kota ini juga berfungsi sebagai daerah penyangga bagi ibukota negara, dan masuk
94
ke dalam konsep megapolitan Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur). Luas wilayahnya adalah 147,19 km2, dimana secara astronomis terletak pada 106o38’ – 106o47’ BT dan 06o13’30”- 06o22’30” LS. Wilayah penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Laju pertumbuhan ekonomi kota ini relatif tinggi, yakni sekitar 8% per tahun. Pertumbuhan ekonomi didominasi oleh sektor tertier yang menjadi sektor basis dan unggulan kota. Sektor tersier (pengangkutan dan komunikasi, perdagangan, hotel dan restoran, jasa-jasa dan bank, serta persewaan dan jasa perusahaan) memberikan kontribusinya lebih dari 70% dari struktur ekonomi kota. Sektor primer (pertanian, pertambangan dan penggalian) hanya kurang dari 1%, sisanya adalah sektor sekunder (industri pengolahan, listrik, gas, air bersih, dan konstruksi) (BPS 2013). Jumlah penduduk pada tahun 2012 sebanyak 1.405.170 jiwa sehingga rata-rata tingkat kepadatan penduduknya adalah sebesar 9.547 jiwa/km2. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduknya cukup tinggi, yakni sekitar 7% per tahun. Pendapatan masyarakatnya masih mengalami fluktuasi. Jumlah rumah tangga miskin kota ini mencapai 45.273 rumah tangga (tahun 2012) atau sekitar 12,7% dari seluruh rumah tangga yang ada (BPS 2013). Pertumbuhan kegiatan perekonomian maupun jumlah penduduknya tentunya membutuhkan dukungan sarana dasar dan infrastruktur, sehingga daya dukung lingkungan semakin mengalami tekanan. Kota semakin banyak kawasan komersial (perdagangan, jasa, dan industri) dan permukiman.
Model Kebijakan Pengembangan Kota Tangerang Selatan Menuju Kota Berkelanjutan Y Heri Apriyanto, Eriyatno, Ernan Rustiadi dan Ikhwanuddin Mawardi Infrastruktur semakin berkembang, namun belum diimbangi dengan pengintegrasian dan sinergitas.
Permasalahan kota yang timbul antara lain adanya titik-titik kemacetan, kawasan genangan/banjir
akibat berkurangnya kawasan retensi air (lahan terbangun semakin meluas), sampah yang belum tertangani, ketersediaan RTH masih jauh dari standar, pencemaran air sungai, dan kawasan lindung yang terokupasi.
ALAM SUTERA
BINTARO JAYA
New town
BSD
Urban sprawl
Gambar 2. Wilayah Kota Tangerang Selatan
Sumber : berbagai sumber peta, 2015, diolah.
Model dibangun bertujuan mendapatkan gambaran pola perilaku dan interaksi variabel-variabel dari aspek pembangunan berkelanjutan di perkotaan. Model ini untuk mengevaluasi dampak dari perkembangan kota saat ini dan kecenderungan di masa depan berdasarkan kebijakan yang ada dan intervensi kebijakannya. Batas sistem yang lebih besar biasanya melibatkan lebih banyak variabel, sementara batas sistem yang lebih kecil cenderung lebih rekapitulatif. Penentuan sistem batas yang wajar adalah tidak mengikuti aturan “lebih besar lebih baik”. Tetapi aturan yang dipakai adalah hanya faktor kunci yang digunakan (Wu et al., 2011).
Berdasarkan tujuan dibangunnya model maka ditentukan: (1) Variabel endogen (variabel yang nilainya ditentukan oleh interaksinya dalam model yang tercakup dalam diagram lingkar umpan balik), meliputi kapital, investasi, output, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), kebutuhan tenaga kerja, pengangguran, penduduk, migrasi, Pendapatan Asli Daerah (PAD), lahan permukiman, lahan komersial, kapasitas jalan, derajat kejenuhan jalan, kebutuhan lahan, sampah, limbah, koefisien runoff, indeks sampah, indeks limbah, indeks jalan, dan indeks RTH; (2) Variabel eksogen (variabel yang mempengaruhi variabel-variabel yang ada dalam model namun variabel eksogen itu sendiri tidak dipengaruhi oleh variabel yang ada di dalam
model) meliputi Incremental Capital Output Ratio (ICOR), laju investasi, elasitas tenaga kerja, laju pertumbuhan ekonomi, standar, luas wilayah, usia hidup, fertilitas, laju pertambahan kapasitas jalan, ratio dana, potensi bangkitan; dan (3) variabel di luar batas (variabel yang tidak diperhitungkan pengaruhnya terhadap dan dari variabel-variabel endogen dan eksogen namun sebenarnya masih mempunyai hubungan dengan sistem yang ada akan tetapi sengaja tidak dimasukkan dalam model atas dasar pertimbangan tertentu), seperti bencana alam, kejahatan, pajak, dan sebagainya. Penyusunan struktur model
Penyusunan struktur model dengan pembuatan CLD dan diagram alir model kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan. CLD menggambarkan perilaku pengembangan perkotaan yang didasarkan pada aspek inti, yaitu aspek ekonomi kota, sosial-budaya kota, dan lingkungan kota serta infrastruktur dan transportasi kota (Gambar 3). Pada aspek ekonomi untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi (yang diinginkan), dibutuhkan peningkatan investasi untuk mencapai target ekonomi tersebut (investasi yang diinginkan). Investasi yang terealisir menghasilkan kondisi ekonomi, kebutuhan infrastruktur dan bangkitan perjalanan. Peningkatan ini yang pada akhirnya akan berdampak perubahan kondisi lingkungan.
95
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.2, Juli 2015, hal 78-139
CAUSAL LOOP DIAGRAM Sub Model Ekonomi Kota
Sub Model Infrastruktur & Transportasi Kota
s
s
s
R Output
Infrastruktur Lahan komersial
s
Investasi
s
Transportasi Kapital
s
o
Pendapatan Masyarakat
Sub Model Sosial Kota
s s
s
s
s
B
o B
Kualitas lingkungan
s
Tenaga Kerja R
o
B
s s
o
o
Jumlah penduduk
s
s = kesamaan arah antara sebab akibat (+) o = perbedaan arah antara sebab dan akibat (-)
o
R R
Anggaran LH
s
RTH
s Sub Model Lingkungan Kota
B = balancing jika terjadi feedback loop negatif R = reinforcing jika terjadi feedback loop positif
Gambar 3. CLD model kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan
Sumber : Hasil Analisis, 2015.
Selanjutnya kondisi lingkungan ini akan memberikan feedback yang membatasi kondisi ekonomi yang terjadi. Skenario pertumbuhan ekonomi seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi daerah yang akan mendongkrak perekonomian yang terjadi (loop positif), akan tetapi pada aspek lahan, lingkungan dan sosial terdapat loop negatif yang akan membatasi/menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Skenario model kebijakan pengembangan kota yang berkelanjutan tidak hanya melihat pertumbuhan ekonomi tetapi perlu mengintegrasikan aspek lahan, aspek lingkungan dan aspek sosial kependudukan karena aspekaspek tersebut saling terintegrasi satu dengan yang lainnya.
Penyusunan diagram alir ini berdasarkan pengembangan dari CLD yang sudah disusun. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa model ini terbagi menjadi 4 sub model, yaitu (1) ekonomi kota, (2) infrastruktur dan transportasi kota, (3) sosial kota, dan (4) lingkungan kota. Penyusunan CLD dan diagram alir ini menggunakan bantuan software Powersim Studio. Gambaran simbol-simbol dan keterkaitan antar simbol (variabel) pada diagram alir model keseluruhan sistem disajikan pada Gambar 4. Pengvalidasian model
Validasi model dapat dilakukan melalui berbagai cara, namun penelitian ini hanya menggunakan 2 (dua) cara yaitu membandingkan struktur dasar model dengan struktur di dalam sistem nyata dan membandingkan pola perilaku hasil simulasi
96
dengan data statistik. Pertama, pengujian struktur model dilakukan dengan menganalisis konsistensi dari persamaan-persamaan dalam model. Hasil analisis menunjukkan persamaan-persamaan tersebut memiliki dimensi yang konsisten dengan parameter-parameter yang ada di dunia nyata.
Kedua, dengan membandingkan perilaku yang ditunjukkan model dengan Modus Referensi. Proses ini dengan menggunakan uji statistik untuk melihat penyimpangan antara output simulasi dengan data aktual. Uji statistik yang dilakukan, yaitu dengan perhitungan absolute means error (AME) yaitu penyimpangan antara nilai rata-rata data simulasi terhadap aktual; dan absolute variation error (AVE) yaitu penyimpangan nilai variasi data hasil simulasi terhadap data aktual. Batas penyimpangan yang masih dapat diterima adalah kurang dari 10%. Berdasarkan hasil uji statistik (AME dan AVE) pada beberapa variabel, yaitu jumlah penduduk, kapital, tenaga kerja, dan PDRB (Gambar 5) diketahui bahwa model ini mempunyai penyimpangan masih di bawah batas ambang diperbolehkan. Dengan demikian model ini dianggap valid dan dapat dipergunakan untuk mensimulasi perubahan fenomena dengan memasukkan parameter-parameter. Penyusunan skenario dan simulasi model
Model selanjutnya digunakan untuk melakukan simulasi berdasarkan beberapa alternatif skenario kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan. Skenario digunakan untuk menentukan kebijakan yang tepat. Skenarioskenario disusun dengan intervensi terhadap beberapa variabel dan parameter untuk mengetahui kecenderungan perilaku dalam sistem kota.
Model Kebijakan Pengembangan Kota Tangerang Selatan Menuju Kota Berkelanjutan Y Heri Apriyanto, Eriyatno, Ernan Rustiadi dan Ikhwanuddin Mawardi SUB MODEL EKONOMI KOTA Indeks kompos i t LH La ju i nves ta s i
efek LH
delay efek real efek LH
efek thd output realisasi tbhan investasi
persen depresiasi
depresiasi
Perta mba ha n i nves ta s i
Bangkitan Perjln Penddk
lhn permukiman
PAD
koef lhn permkm
Pendapatan daerah
Derajat kejenuhan jalan
waktu penyediaan
FD awal
O ydi
output
Potensi Bangkitan Penddk
Penduduk Final kebutuhan lhn mukim
lahan utk komersial Sumber lain
OFDR
output pts
Standar Kebutuhan mukim Gap
luas wilayah
Invest perst lhn komersial
init output
Total Perjalanan
bangkitan Perjalanan Industri
abs gap
rusun dlm lahan 1 ha
% PAD
Frak kapital_PAD ICOR
Maks luas lhn komersial
Potensi Bangkitan Industri
fraksi horisontal susun
Kapital kebth unit
delay investasi
SUB MODEL INFRASTRUKTUR & TRANSPORTASI KOTA
kbth lhn rusun waktu penyediaan koef luas lhn rusun pembgn jml unit komersial perthn
lahan komersil
kap jln
lhn pmkm terbgn cadangan lhn pmkm Penyiapan lahan init lhan permkm terbng
pertmbh cap jln
laju pertbh kap jln cadangan lhn komersial
PDRB
Penyiapan lahan komersial
Pertambahan PDRB
init lhn komersial Indeks jalan waktu penyediaan terbangun komersial
LPE
SUB MODEL SOSIAL KOTA
std RTH Komersial alokasi dana lingkungan
Pertambahan kebth TK
Pot Sampah Industri Penduduk Final
TK awal
Proporsi AK
Proporsi Penduduk Usia Kerja
Angkatan Tenaga Kerja
Rerata harapan Hidup
Penduduk
Fertilitas
Kelahiran Laju Migrasi Masuk
std rth pmk luas wilayah RO kawasan komersial
koef R kws komersial
RTH eksisting rasio RTH
biaya stn pengolahan sampah
luas wilayah
reduksi sampah pengembang
pengubah
kebutuhan luas RTH Kap Pengolahan Sampah Peningkatan awal pengolahanan sampah Sampah komersial Pot Sampah Dmst indeks RTH Ratio sampahTimbulan Sampah pengolahan Domestik Sampah Indeks sampah domestik Limbah Cair Industri
Total lhn bervegetasi
Timbulan Sampah komersial
Total runoff
Indeks Limbah
Laju Migrasi Keluar Ratio dana limbah Peningkatan pengolahanan limbah
tambahan migrasi
Serapan air
koef R RTH
Curah hujan
Ratio limbahTotal limbah pengolahan Limbah Cair Domestik init kap pengolahan Potensi Limbah limbah Domestik
Migrasi Keluar
Lhn vegetasi Total RO Kawasan RO kawasan permukiman
Total Sampah reduksi sampah oleh pddk
Pot Limbah Ind
Kematian
Migrasi Masuk
luas RTH Pmk luas RTH Komersial
ratio dana sampah
Tenaga Kerja berhenti laju berhenti Pengangguran
SUB MODEL LINGKUNGAN KOTA
Ratio dana LH
PDRB per Kapita Laju Pertumbuhan TK
Elastisitas TK
lhn komersial terbangun
R kawasan permukiman
biaya stn pengolahan limbah Indeks komposit LH
Gambar 4. Diagram sistem model kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan
Sumber : Hasil Analisis, 2015.
Penduduk 2.200.000
Aktual
2.000.000
Simulasi
Aktual
3,50E+12
Simulasi
3,00E+12
1.800.000 1.600.000
2,50E+12
1.400.000
Rp
Jiwa
Kapital
4,00E+12
2.400.000
1.200.000 1.000.000
2,00E+12 1,50E+12
800.000
1,00E+12
600.000
AME = 0,007 AVE = 0,099
400.000 200.000
AME = 0,089 AVE = 0,061
5,00E+11
-
0,00E+00 2008
2009
2010
2011
2012
2008
2009
Tahun
Tenaga Kerja
1.000.000
2011
2012
PDRB
9,00E+12
900.000
Aktual
8,00E+12
Aktual
800.000
Simulasi
7,00E+12
Simulasi
700.000
6,00E+12
Rp
600.000
Jiwa
2010
Tahun
500.000 400.000
5,00E+12 4,00E+12 3,00E+12
300.000 200.000
AME = 0,005 AVE = 0,089
100.000 -
2,00E+12
AME = 0,007 AVE = 0,061
1,00E+12 0,00E+00
2010
Sumber : Hasil Analisis, 2015.
2011
Tahun
2012
2013
2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
Gambar 5. Hasil validasi model secara uji statistik
97
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.2, Juli 2015, hal 78-139
Skenario-skenario dalam penelitian ini disusun didasarkan pada pertimbangan : pertumbuhan ekonomi kota didasarkan pada RPJMD Kota Tangerang Selatan; daya dukung lingkungan (RTH kawasan dan tutupan vegetasi) dan infrastruktur jalan didasarkan pada RTRW; anggaran pembangunan didasarkan pada data APBD. Kondisi yang ada dan peningkatan yang diharapkan pada masing-masing indikator juga sebagai bahan pertimbangan. Penelitian ini mempergunakan 5 (lima) skenario yaitu (lihat Tabel 1) :
Skenario 1 (Business as usual / BAU). Pada skenario diasumsikan bahwa tidak akan ada perubahan signifikan dalam parameter dan strukturnya, atau tidak ada perubahan besar dalam kebijakan, sehingga keadaan normal diperkirakan akan terus berubah. Skenario ini diasumsikan sebagai skenario referensi. Skenario 2 (kapital dan sosial). Pada skenario dilakukan intervensi terhadap beberapa parameter ekonomi dan sosial. Parameter yang diintervensi adalah laju pertumbuhan investasi, laju pertumbuhan ekonomi, dan laju pertambahan kapasitas jalan, serta laju migrasi masuk. Aspek ekonomi dan sosial merupakan aspek penting dalam membuat kecenderungan pengembangan suatu kota, karena sifatnya yang dinamis. Pada skenario ini parameter lingkungan tidak dilakukan intervensi, karena diasumsikan bahwa peningkatan kapital akan meningkatkan pula anggaran untuk pengelolaan lingkungan.
Skenario 3 (Lingkungan). Pada skenario ini dilakukan intervensi terhadap daya dukung lingkungan khususnya parameter ruang terbuka hijau (RTH) kawasan, tutupan lahan yang bervegetasi, dan anggaran untuk pengelolaan lingkungan. Hal yang dilakukan adalah meningkatan luasan RTH, lahan yang bervegetasi, dan anggaran khusus lingkungan. Skenario ini berfokus pada penguatan sistem lingkungan kota, tanpa adanya intervensi di bidang lainnya.
Skenario 4 (Moderat). Pada skenario ini dilakukan intervensi pada beberapa parameter ekonomi, sosial dan lingkungan. Namun besaran intervensi masih bersikap terbatas, yakni angka intervensi pada parameter-parameter tersebut masih di bawah angka-angka skenario 2 dan 3. Skenario moderat ini sudah mempertimbangkan ketiga aspek pembangunan berkelanjutan.
Skenario 5 (Optimis). Pada skenario ini dilakukan intervensi pada beberapa parameter ekonomi, sosial dan lingkungan dengan penguatan angkaangka intervensi. Skenario ini merupakan peningkatan dari skenario 4, namun besaran angka tetap mempertimbangkan angka-angka parameter pada Skenario 2 dan 3. Besaran intervensi pada skenario ini masih dibawah angka-angka tertinggi pada skenario 2 dan 3.
Tolok ukur perilaku variabel dalam sistem pengembangan perkotaan yang digunakan harus dapat menggambarkan aspek pembangunan berkelanjutan. Untuk itu beberapa indikator digunakan untuk menggambarkan kecenderungan arah perkembangan kota dan status kinerja kota baru berkelanjutan. Indikator-indikator yang digunakan adalah pendapatan asli daerah (PAD), pendapatan masyarakat (PDRB/kapita), tingkat kemacetan (derajat kejenuhan jalan), banjir (besarnya limpasan air permukaan atau runoff), dan kualitas lingkungan (indeks komposit lingkungan hidup). Indikator-indikator tersebut saling berkaitan sehingga menggambarkan keseluruhan fenomena yang ada pada sistem. Dengan demikian perkembangan kota di masa mendatang dapat digambarkan.
Berdasarkan hasil uji validasi sebelumnya yang menggunakan data tahun 2008-2012, menunjukkan bahwa model ini valid. Simulasi skenario ini digambarkan mulai tahun 2013 dan berakhir pada tahun 2033 (selama 20 tahun). Jangka waktu ini sesuai dengan rata-rata perencanaan berbagai aspek di Indonesia. Berdasarkan jangka waktu simulasi tersebut maka terlihat kecenderungan perubahan indikator berdasarkan skenario yang ada.
Tabel 1. Skenario-skenario model kebijakan pengembangan kota baru berkelanjutan
Variabel
Laju investasi Laju pertumbuhan ekonomi Laju pertambahan jalan Laju migrasi masuk Luasan RTH (kawasan permukiman dan komersial) Lahan bervegetasi Anggaran untuk LH dari pendapatan daerah
Sumber : Hasil Analisis, 2015.
98
1 Business as usual /BAU 6% 8% 5% 5% 10% 20% 30%
2 Kapital dan sosial 12% 10% 10% 2,5% 10% 20% 30%
Skenario 3
4
5
Lingkungan
Moderat
Optimis
6% 8% 5% 5% 30% 40% 60%
9% 9% 7,5% 3,75% 20% 25% 45%
10% 10% 10% 2,5% 25% 30% 50%
Model Kebijakan Pengembangan Kota Tangerang Selatan Menuju Kota Berkelanjutan Y Heri Apriyanto, Eriyatno, Ernan Rustiadi dan Ikhwanuddin Mawardi Hasil Simulasi Model Hasil simulasi dengan menggunakan skenarioskenario yang telah disusun sebelumnya, menunjukkan adanya kecenderungan pengembangan sub sistem ekonomi kota, infrastruktur dan transportasi kota, sosial kota, dan lingkungan kota yang berbeda-beda. Guna mempermudah analisis maka hasil simulasi suatu indikator ditampilkan bersama dari semua skenario. Hasil simulasi berupa diagram perbandingan dapat dilihat pada Gambar 6 A sd. 6D. Indeks komposit lingkungan hidup dapat dilihat pada Tabel 2.
Simulasi semua skenario terhadap perubahan PAD Kota Tangerang Selatan menunjukkan peningkatan PAD (lihat Gambar 6A). Namun yang berbeda adalah besaran atau perubahan PAD pada setiap tahunnya. Skenario 2 (kapital dan sosial) menghasilkan perkembangan nilai PAD yang paling tinggi. Hal ini wajar karena pada skenario 2 ini berorientasi terhadap peningkatan kapital kota ini. Dari hasil simulasi ini dapat dijelaskan bahwa peningkatan laju pertumbuhan investasi dan ekonomi akan meningkatkan kapital, yang selanjutnya akan berdampak pada peningkatan PAD. Pendapatan Asli Daerah
A
Tekanan terhadap lingkungan menjadikan beban terhadap laju peningkatan kapital. Perbaikan lingkungan yang belum optimal melalui peningkatan daya dukung lahan, kurang mampu mendukung peningkatan PAD. Hal ini juga karena tidak dimbangi dengan peningkatan alokasi anggaran untuk pengelolaan lingkungan (Skenario 3/ Lingkungan). Perbaikan lingkungan berjalan lebih lambat, sehingga akan mempengaruhi peningkatan kapital, yang pada akhirnya akan menghambat laju peningkatan PAD nya. Hal ini juga terjadi pada Skenario 1 (BAU), dimana tidak ada perubahan atau intervensi ke parameter-parameter yang ada sehingga peningkatan PAD nya berjalan lambat.
Pola perilaku dari variabel pada simulasi PDRB/kapita menunjukkan pola yang hampir sama dengan simulasi PAD (lihat Gambar 6B). Intervensi terhadap parameter aspek ekonomi dan sosial sangat berdampak secara signifikan terhadap peningkatan PDRB/kapita. Indikator ini dipengaruhi oleh besarnya PDRB dan jumlah penduduk. PDRB dipengaruhi oleh peningkatan laju ekonomi, sedangkan peningkatan jumlah penduduk agak dikurangi oleh intervensi penurunan jumlah penduduk yang masuk.
C
Derajat Kejenuhan Jalan
1.800.000
1,50
1.600.000
1,30
1.400.000
Baik <== Besaran ==> Buruk
Buruk <== JutaRupiah ==> Baik
1,40
1.200.000 1.000.000 800.000 600.000 400.000
1,00 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20
200.000
0,10 0,00
0 2013
BAU
2018
Kapital dan Sosial
B
2023
Tahun Lingkungan
2028
Moderat
2013
2033
BAU
Optimis
2018
Kapital dan Sosial
D
PDRB/Kapita 22.500.000
2023 Tahun
Lingkungan
2028
Moderat
2033
Optimis
Limpasan Air Permukaan 70.000
Baik <==Debit air (m3/tahun) ==> Buruk
20.000.000
Buruk <==Rupiah ==> Baik
1,20 1,10
17.500.000 15.000.000 12.500.000 10.000.000 7.500.000 5.000.000 2.500.000 0
60.000
50.000 40.000 30.000
20.000 10.000 0
2013
BAU
2018
Kapital dan Sosial
2023
Tahun Lingkungan
2028
Moderat
2033
Optimis
2013
BAU
2018
Kapital dan Sosial
2023 Tahun
Lingkungan
2028
Moderat
2033
Optimis
Gambar 6. Hasil simulasi model dari skenario-skenario yang berbeda
Sumber : Hasil Analisis, 2015.
99
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.2, Juli 2015, hal 78-139
Skenario optimis sedikit mampu mengimbangi perkembangan skenario kapital-sosial. Sedangkan skenario-skenario lain (1 dan 3) perkembangan tingkat pendapatan masyarakatnya relatif lambat karena fokus dari kedua skenario, khususnya skenario 3 adalah pengelolaan lingkungan (indikator ekonomi dan sosial mengikut nilai-nilai skenario BAU). Simulasi terhadap skenario 4 (moderat) menunjukkan nilai PDRB/kapitanya terletak di antara hasil tertinggi dan terendah. Jika dilihat secara lebih rinci, maka intervensi yang dilakukan pada skenario 4 ini cukup ideal karena penambahan PDRB/kapita nya tidak terlalu tinggi maupun tidak terlalu rendah. Derajat kejenuhan (degree of saturation/DS) jalan adalah rasio arus lalu lintas terhadap kapasitas pada ruas jalan. Rasio ini sangat tergantung pada jumlah bangkitan perjalanan, yaitu jumlah perjalanan orang dan atau kendaraan yang keluar masuk suatu kawasan yang dibangkitkan oleh kegiatan yang ada dalam kawasan tersebut (volume lalu lintas) dan kapasitas jalan. Berdasarkan pengertian tersebut maka DS ini dipengaruhi kapasitas jalan yang ada dan bangkitan perjalanan dari sejumlah kawasan, seperti dari kawasan komersial dan permukiman. Parameter investasi dan penduduk mempengaruhi volume lalu lintas yang ada, sedangkan kapasitas jalan dipengaruhi kapasitas jalan eksisting dan rencana penambahan kapasitas jalan.
Guna mengurangi DS, maka peningkatan kapasitas jalan melalui penambahan kapasitas jalan sangat berpengaruh. Sedangkan bangkitan perjalanan khususnya perorangan, salah satu upaya untuk menahan agar bangkitan perjalanan tidak meningkat secara tajam, perlu dilakukan tindakan pada kebajakan pengendalian jumlah penduduk. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 6C dimana skenario yang parameter laju penambahan kapasitas jalan dan laju migrasi masuk diintervensi secara positif, maka hasil simulasinya akan menunjukkan hasil yang lebih baik. Hal tersebut ditunjukkan hasil simulasi skenario kapital dan sosial (2) dan optimis (5) dimana terjadi penurunan DS yang lebih signifikan. Tingkat kejenuhan jalan mulai mencair (relatif tidak macet lagi). Untuk skenario moderat (3) terjadi penurunan DS, namun dalam jumlah kurang signifikan. Intervensi terhadap penambahan kapasitas jalan masih relatif sedikit angkanya. Hasil simulasi skenario BAU (1) dan lingkungan (2) terdapat kecenderungan terjadi peningkatan DS (tingkat kemacetan bertambah), dimana hal ini disebabkan tidak ada intervensi pada parameter yang terkait dengan ini.
100
Limpasan air permukaaan (runoff) ditentukan oleh besarnya curah hujan (aspek alami) dan tutupan lahan (aspek buatan). Dengan demikian intervensi terhadap parameter aspek buatan tentunya akan berpengaruh terhadap besarnya limpasan air permukaan tersebut. Pengaruh dapat bersifat negatif (nilai limpasan air permukaan bertambah besar), jika tutupan lahan beralih fungsi dari yang tidak terbangun menjadi lahan terbangun. Tingkat impermeabilitas lahan terhadap air hujan semakin tinggi sehingga semakin banyak air hujan yang menjadi air limpasan. Alih fungsi lahan terjadi karena adanya kebutuhan akan ruang bagi penduduk dan kegiatan ekonomi dengan adanya peningkatan kapital. Upaya untuk menahan peningkatan limpasan air permukaan ini adalah memperluas lahan yang bervegetasi dan mengurangi peningkatan lahan terbangun. Deskripsi tentang kecenderungan peningkatan limpasan air permukaan untuk simulasi skenario optimis (5) dan lingkungan (3) menunjukkan bahwa peningkatan limpasan air permukaannya relatif lebih rendah dibandingkan dengan skenario lainnya (lihat Gambar 6D). Hal ini dikarenakan adanya intervensi pada peningkatan luasan parameter lahan yang bervegetasi. Semakin luas lahan yang bervegetasi dan pengembangan kawasan (komersial dan permukiman) yang terkendali, maka peningkatan limpasan air permukaannya akan semakin terkendali yang akan mengurangi banjir.
Indeks komposit lingkungan hidup ini merupakan agregat dari aspek persampahan, limbah, RTH dan derajat kejenuhan jalan. Aspekaspek ini tidak terlepas dari pengaruh aspek ekonomi, sosial maupun lingkungan. Kondisi kualitas lingkungan perkotaan merupakan dampak peningkatan investasi, jumlah penduduk, kapasitas jalan, anggaran untuk lingkungan hidup, RTH, dan sebagainya. Terjadi umpan balik, dimana kondisi kualitas lingkungan akan mempengaruhi sistem perkotaan, antara seperti jumlah investasi yang masuk dan migrasi masuk ke kota ini. Berdasarkan perhitungan statistik, ditentukan klasifikasi komposit indeks, yaitu jika indeksnya >9,33 maka termasuk dalam kategori lingkungan hidup yang baik, jika <6,26 maka termasuk kategori buruk. Sedangkan antara 6,26 – 9,33 termasuk kategori cukup. Berdasarkan hasil simulasi untuk mengetahui perkembangan dan kecenderungan indeks komposit lingkungan hidup (lihat Tabel 2 10) maka peningkatan indeks yang paling baik adalah skenario optimis (5), disusul dengan oleh skenario kapital dan sosial (2) dan skenario moderat (4).
Model Kebijakan Pengembangan Kota Tangerang Selatan Menuju Kota Berkelanjutan Y Heri Apriyanto, Eriyatno, Ernan Rustiadi dan Ikhwanuddin Mawardi Tabel 2. Hasil Indeks Komposit LH Tahun
BAU
Kapital & Sosial 5 7 7 7 7
Skenario Lingkungan 6 6 6 6 6
Moderat 6 7 7 7 7
Opti -mis 6 8 8 8 8
2013 5 2018 5 2023 5 2028 5 2033 5 Keterangan: − Indeks komposit < 6,26: kondisi lingkungan buruk; − Indeks komposit 6,26- 9,33 : sedang − Indeks komposit >9,33 : kondisi lingkungan baik Sumber : Hasil Analisis, 2015.
Skenario (2) mengalami kenaikan kategori dari kategori buruk menjadi cukup. Sedangkan Skenario BAU (1) dan Skenario Lingkungan (3) tidak mengalami perubahan, yaitu tetap berada pada klasifikasi buruk. Hal ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan indeks komposit lingkungan hidup tidak hanya mengandalkan program-progam lingkungan saja, tetapi juga harus memperhatikan aspek lainnya. Peningkatan ekonomi akan meningkatan anggaran untuk pengelolaan lingkungan hidup, kemudian pengendalian peningkatan jumlah penduduk akan mengurangi tekanan terhadap lingkungan. Gabungan intervensi terhadap parameter ekonomi, sosial, dan lingkungan akan menghasilkan kecenderungan perkembangan yang lebih baik dibandingkan dengan hanya mengintervensi parameter-parameter pada masingmasing aspek secara terpisah. Penentuan prioritas model kebijakan
Penentuan prioritas skenario terbaik dilakukan dengan menggunakan pendekatan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE). Penilaian masing-masing variabel berdasarkan data/diagram hasil simulasi dari masing-masing skenario yang dilakukan. Dengan memperhatikan data dan diagram maka dapat ditentukan prioritas skenario model kebijakan yang terbaik. Pendekatan MPE ini diawali dengan menentukan tujuan dari pemodelan ini, yaitu menentukan
prioritas skenario model kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan. Alternatif skenarionya ada 5 (lima) yaitu skenario BAU, Kapital dan Sosial, Lingkungan, Moderat, dan Optimis; sedangkan yang menjadi kriteria adalah PAD, PDRB/kapita, derajat kejenuhan jalan, total limpasan air permukaan, dan indeks komposit lingkungan hidup.
Hasil pengolahan data yang merupakan output dari simulasi masing-masing skenario pada setiap kriteria, kemudian dirangkingkan dari sangat baik sampai dengan sangat buruk. Hasil sangat baik pada setiap kriteria diberikan nilai 5, baik diberikan nilai 4, cukup diberikan nilai 3, dan buruk diberikan nilai 2, serta terakhir sangat buruk diberikan nilai 1. Berdasarkan data dan diagram pada Gambar 6A sampai dengan 6D dan Tabel 2 ditentukan klasifikasi masing-masing skenario pada setiap kriteria.
Bobot setiap kriteria didasarkan pada pertimbangan tingkat kepentingan terhadap tujuan. Berdasarkan hasil diskusi pakar dan review dari berbagai referensi maka selanjutnya masingmasing indikator diberikan bobot terhadap tujuan (bobot 1/tidak penting sampai dengan bobot 5/ sangat penting). Hasil pembobotan tersebut adalah PDRB/kapita dan Indeks Komposit Lingkungan Hidup masuk kategori penting (bobot 4) terhadap tujuan, sedangkan kriteria lainnya masuk kategori cukup penting (bobot 3). Hasil penentuan prioritas dengan menggunakan pendekatan MPE melalui Persamaan 1. Hasil penjumlahan nilai alternatif dari setiap skenario dijadikan nilai akhir dari alternatif tersebut. Skenario dengan nilai tertinggi dijadikan prioritas skenario (Tabel 3). Berdasarkan hasil perbandingan maka Skenario Optimis merupakan prioritas skenario kebijakan pengembangan kota berkelanjutan yang terbaik diantara skenario lainnya. Hal tersebut menunjukkan pengembangan kota harus melibatkan semua aspek pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial, dan lingkungan), menganut keseimbangan, dan terintegrasi.
Tabel 3. Penentuan prioritas skenario model kebijakan pengembangan kota baru berkelanjutan dengan MPE
Skenario BAU Kapital dan Sosial Lingkungan Moderate Optimis Bobot
PAD 2 5 2 3 4 3
PDRB/ kapita 2 5 2 3 4 4
Kriteria Derajat kejenuhan jalan 2 4 2 3 4 3
Nilai Keputusan Total runoff 2 3 4 1 5 3
Indeks Komposit LH 2 4 3 4 5 4
Nilai
Prioritas
56 1.097 177 392 1.134
5 2 4 3 1
Sumber : Hasil Analisis, 2015.
101
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.2, Juli 2015, hal 78-139
Arahan Kebijakan Agar tujuan dari skenario optimis dapat tercapai maka direkomendasikan beberapa arahan kebijakan dan program-program implementasinya yang bersifat prioritas. Rekomendasi tersebut adalah: - peningkatan investasi dengan penyiapan lahan dan infrastruktur; dan pelayanan perijinan yang cepat dan daring.
- peningkatan PAD dengan peningkatan hasil pajak dengan perhitungan potensi, penyuluhan dan pelayanan dan peningkatan restribusi
- peningkatan dan pengintegrasian infrastruktur dengan peningkatan kapasitas jalan dan pengintegrasian jalan lingkungan dan jalan kota - peningkatan kualitas lingkungan dengan peningkatan pengelolaan sampah (anggaran) dan kesadaran/partisipasi masyarakat
- peningkatan RTH dengan mewajibkan para pengembang menyediakan taman-taman secara proposional. KESIMPULAN
Kota adalah sebuah entitas sosial ekonomi dengan faktor keberlangsungannya terdiri dari lingkungan alam, buatan, dan sosial ekonomi yang saling terkait dan mempengaruhi. Model kebijakan pengembangan kota akan lebih efektif dan efisien dengan pendekatan sistem. Model kebijakan pengembangan kota ini telah mempertimbangkan keseimbangan antara peningkatan ekonomi kota, kesejahteraan masyarakat kota, dan kota yang layak huni. Berdasarkan simulasi model maka Kota Tangerang Selatan belum menjadi kota yang berkelanjutan. Perkembangan ekonomi dan pendapatan masyarakatnya melambat, sedangkan kualitas lingkungan tetap buruk (skenario BAU).
Kota Tangerang Selatan untuk menjadi kota yang berkelanjutan, maka kebijakan pengembangannya harus menitikberatkan pada keseimbangan rencana pengembangan aspek lingkungan, sosial, dan ekonominya. Pemerintah kota didukung pihak swasta dan masyarakatnya perlu mengimplementasikan program-program pembangunan prioritas, seperti peningkatan investasi, kapasitas jalan peningkatan luasan RTH, kawasan bervegetasi, dan anggaran untuk pengelolaan lingkungan. Skenario pengembangannya menggunakan skenario optimis, dimana skenario ini telah menyeimbangkan antar elemen pembangunan berkelanjutan dan
102
mempertimbangkan kondisi di lapangan. UCAPAN TERIMA KASIH
Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi; Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi; dan Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kemudahan dan dukungan terhadap pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Amando, M.P. et al. 2010. Public Participation in Sustainable Urban Planning. International Journal of Social Sciences 5 (2) : 102-108. Arnold, R.D. and Wade, J.P. 2015. a Definition of Systems Thinking: a Systems Approach. Procedia Computer Science 44 : 669 – 678. BPS. 2013. Kota Tangerang Selatan dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan. Diaz, RA. 2011. Planning for Sustainable Development: Strategic Alignment in Peruvian Regions and Cities. Futures 43 : 908–918. Dizdaroglu, D., Yigitcanlar, T. and Les, AD. 2012. A Micro-Level Indexing Model for Assessing Urban Ecosystem Sustainability. Smart and Sustainable Built Environment 1 (3) : 291315. Djajadiningrat, HM., Noviandi, N., Apriyanto, H. 2000. Penyusunan Model Simulasi untuk Pemantauan dan Evaluasi terhadap Perubahan Lingkungan Pedesaan di Botabek. Proseding Seminar Riset Unggulan Terpadu. Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Jakarta. Dou, X., Li, S. and Wang, J. 2013. Ecological Strategy of City Sustainable Development. APCBEE Procedia 5 : 429 – 434. Fitriani, R, and Harris, M. 2011. The Extent of Sprawl in the Fringe of Jakarta Metropolitan Area from the Perspective of Externalities. Proceeding 55th Annual Australian Agricultural and Resource Economics Society Conference. Melbourne. Handoh, I. and Hidaka, T. 2010. On the Timescales of Sustainability and Futurability. Futures 42 : 743-748. Heikkila, E. and Xu, Y. 2013. Seven Prototypical Chinese Cities. Urban Studies 51 : 827-847. Lutfi, 2007. Pengembangan Wilayah sebagai Konsep Kota Baru. Jurnal SMARTek 5 (1) : 30 – 39. Mori, K. and Christodoulou, A. 2012. Review of Sustainability Indices and Indicators: Towards a New City Sustainability Index (CSI). Environmental Impact Assessment Review 32 : 94-106. Shi, Y., Wang, H., and Yin, C. 2013. Evaluation Method
Model Kebijakan Pengembangan Kota Tangerang Selatan Menuju Kota Berkelanjutan Y Heri Apriyanto, Eriyatno, Ernan Rustiadi dan Ikhwanuddin Mawardi of Urban Land Population Carrying Capacity Based on Gisda Case of Shanghai, China. Computers. Environment and Urban Systems 39 : 27-38. Siregar, M.J. 2012. Kebijakan Pembangunan Kota Baru di Indonesia: Antara Fasilitasi Bisnis dan Pelayanan Publik. Nalars 11 (2) : 125-142. Špicar, R. 2014. System Dynamics Archetypes in Capacity Planning. Procedia Engineering 69 : 1350 – 1355. UNDESA. 2014. World Urbanization Prospects The 2014 Revision. New York : United NationDepartment of Economic and Social Affairs. Wu, Y., Zhang, X. and Shen, L. 2011. The Impact of Urbanization Policy on Land Use Change: a Scenario Analysis. Cities 28 : 147–159 Xu, Z. 2011. Application of System Dynamics Model and GIS in Sustainability Assessment of Urban Residential Development. Proceedings. The 29th International Conference of the System Dynamics Society. Washington DC. Yigitcanlar, T. and Teriman, S. 2015. Rethinking Sustainable Urban Development: Towards an Integrated Planning and Development Process. Int. J. Environ. Sci. Technol 12 : 341– 352. Yigitcanlar, T., Dur, F. and Dizdaroglu, D. 2015. Towards Prosperous Sustainable Cities: a Multiscalar Urban Sustainability Assessment Approach. Habitat International 45 (1) : 3646.
103