UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
ISSN 1979 - 7168
MODEL IMPLEMENTASI DESTINATION MANAGEMENT ORGANIZATION (DMO) DI KOTA MAKASSAR, PROVINSI SULAWESI SELATAN Oleh; Ilham Junaid Politeknik Pariwisata Makassar, Jl. Gunung Rinjani, Tanjung Bunga, Makassar Email:
[email protected] Abstrak Pemerintah Indonesia (khususnya pemerintah pusat) telah mengadopsi konsep destination management organization (DMO) dalam mengembangkan destinasi di Indonesia. Karena itu, terdapat lima belas destinasi yang telah dikembangkan dengan konsep DMO. Terbatasnya eksplanasi atau informasi tentang bagaimana implementasi DMO dan siapa yang seharusnya memegang peran koordinasi dan memimpin dalam DMO menjadi alasan pentingnya tulisan ini. Tulisan ini mengusulkan model atau pendekatan dalam menerapkan DMO di Kota Makassar yang didasarkan pada review literatur dan pengetahuan serta pengalaman penulis tentang pelaksanaan kegiatan pariwisata di Kota Makassar. Pemerintah sebagai DMO, organisasi nirlaba sebagai DMO dan badan promosi pariwisata sebagai DMO adalah tiga pendekatan DMO yang diharapkan dapat diimplemantasikan di Kota Makassar. Tulisan ini menekankan bahwa keberhasilan DMO tergantung pada keinginan dari para stakeholder (khususnya pemerintah) untuk menerapkannya secara sungguh-sungguh, tidak hanya bersifat ungkapan semata. Meskipun terdapat kendala atau tantangan dalam penerapannya, usulan model di atas menjadi alternatif pengembangan pariwisata berdasarkan pendekatan DMO. Kata kunci: destination management organization (DMO), model DMO, manajemen destinasi, implementasi DMO
Abstract This article aims at proposing alternative models or approaches in implementing DMO in Makassar city based on review of literature as well as the writer’s experience and understanding about tourism establishment in Makassar city, Indonesia. Destination management organization has been adopted by the central government of Indonesia to develop destinations. Fifteen destinations in Indonesia have been developed based on the DMO concept. However, little explanation is available on how DMO should be implemented and who should do the DMO’ role in Indonesia in terms of leading and coordination role in tourism destination development. For this reason, three models including government institutions (the regional tourism board) as DMO, non-profit organization (new institution or board) as DMO and regional tourism promotion board as DMO are proposed as alternatives for DMO implementation. The paper also suggests that the success of DMO depends on the willingness of related stakeholders (particularly the government) in implementing such concept rather than just rhetorical statement. Keywords: destination management organization (DMO), DMO model, destination management, DMO implementation Jurnal Kepariwisataan, Volume 09, No. 02 Agustus 2015, Halaman 29-47
UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
PENDAHULUAN Pariwisata diyakini mampu menjadi pendorong pengembangan ekonomi sebuah negara dan masyarakat khususnya masyarakat yang mendiami suatu destinasi wisata (host community). Berbagai aktifitas atau bisnis di bidang pariwisata yang merupakan bagian tak terpisahkan dari aktifitas kunjungan wisatawan ke sebuah destinasi menjadi salah pendorong pentingnya mempromosikan sebuah wilayah atau daerah menjadi destinasi wisata yang layak dikunjungi. Tidak heran, jika negara-negara di dunia termasuk Indonesia bekerja semaksimal mungkin mempromosikan wilayah mereka sebagai destinasi wisata untuk dikunjungi oleh wisatawan asing. Pemerintah daerah di Indonesia juga memanfaatkan pariwisata sebagai salah satu aset penting untuk mendongkrak peningkatan perekonomian masyarakat dengan tidak hanya terfokus pada wisatawan asing tetapi menarik wisatawan lokal (domestik) untuk berkunjung ke daerah mereka. Melihat realitas manfaat ekonomis dari kegiatan pariwisata, pemerintah (baik pusat maupun daerah) di Indonesia telah menunjukkkan perannya sebagai aktor penting dalam pengembangan dan pengelolaan pariwisata. Peran itu dapat dilihat dari perhatian pemerintah dalam memberikan kepercayaan terhadap Kementerian Pariwisata dalam merencanakan, mengimplementasikan berbagai
ISSN 1979 - 7168
program ataupun pendekatan dalam mengembangkan destinasi wisata. Berbagai pendekatan yang berkaitan dengan pariwisata ataupun destinasi telah diadopsi untuk memastikan bahwa pariwisata yang sedang dikembangkan betul-betul memerhatikan prinsip-prinsip kepariwisataan dunia. Pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) misalnya, telah diterima dan ide-ide yang tertuang dalam pendekatan tersebut telah diambil oleh pemerintah dalam melaksanakan kegiatan pengembangan pariwisata. Pentingnya memelihara lingkungan, menciptakan lapangan kerja yang kreatif di bidang pariwisata serta memaksimalkan dampak positif pariwisata bagi masyarakat setempat (Altinay dan Hussain, 2005; Freytag dan Vietze, 2013; Goodwin, 2011; Ko, 2005; Page dan Connell, 2008) adalah hal yang tidak terlepaskan dari upaya pengembangan pariwisata oleh pemerintah. Dalam hal pengembangan destinasi, pemerintah telah mengadopsi suatu pendekatan ataupun strategi yang disebut dengan destinastion management organization (DMO). Hal ini dapat dilihat dari upaya pemerintah dalam mempromosikan 15 (lima belas) destinasi di Indonesia yang dikelola berdasarkan konsep DMO. Untuk wilayah Sulawesi, Toraja, Bunaken dan Wakatobi adalah tiga destinasi yang menjadi perhatian utama pemerintah pusat yang dikembangkan berdasarkan konsep tersebut.
Jurnal Kepariwisataan, Volume 09, No. 02 Agustus 2015, Halaman 29-47
UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
Pemilihan wilayah-wilayah tersebut mungkin saja dilatarbelakangi oleh potensi pariwisata yang dimiliki serta kehadiran wisatawan asing yang berkunjung ke wilayah tersebut yang berarti wilayah tersebut telah terbukti mampu menarik wisatawan asing untuk berkunjung ke destinasi tersebut. Sebagai sebuah konsep yang telah diadopsi oleh pemerintah, DMO memerlukan penjabaran lebih jauh mengenai apa dan bagaimana seharusnya DMO diimplementasikan. Penentuan dan promosi kelima belas destinasi yang ada di Indonesia dalam kerangka DMO seakan-akan menunjukkan bahwa pengembangan pariwisata melalui konsep DMO difokuskan pada destinasi tersebut semata. Sementara, pengembangan destinasi wisata yang ideal adalah memaksimalkan setiap destinasi yang ada di sebuah negara melalui potensi yang dimiliki. Jika Toraja sebagai sebuah destinasi dikembangkan melalui konsep DMO, maka tidak ada alasan untuk menunda ataupun tidak mengimplementasikan konsep DMO di destinasi-destinasi lainnya yang ada di Indonesia termasuk kota Makassar provinsi Sulawesi Selatan. Pendekatan DMO untuk pengelolaan sebuah destinasi selayaknya didukung dengan kesepadanan antara konsep yang diadopsi dengan implementasi secara nyata. Jika merujuk pada defenisi yang diusulkan oleh Morrison, maka dua persyaratan untuk pengelolaan sebuah destinasi melalui konsep DMO yakni aspek legalitas (hukum) suatu badan atau organisasi destinasi serta
ISSN 1979 - 7168
keberlanjutan pendanaan dan aktifitas (sustainable funding and activities) (Morrison, 2015), maka dapat dikatakan bahwa konsep DMO yang diprogramkan ataupun dicanangkan belum sepenuhnya diimplementasikan secara nyata DMO menghendaki adanya suatu organisasi, badan atau lembaga yang berbadan hukum yang mampu memimpin, mengorganisir, mempromosikan dan lain-lain yang pada prinispnya bekerja untuk kepentingan pengembangan pariwisata. Kenyataannya, saat ini pemerintah melalui Dinas Pariwisata daerah masih mendominasi tugas pengorganisasian, pengembangan dan kegiatan pariwisata. Kota Makassar (dan mayoritas destinasi wisata di Indonesia) masih tergantung pada peran Dinas Pariwisata daerah. Pertanyaan yang mendasar dalam kaitannya dengan konsep DMO adalah apakah pemerintah daerah secara khusus Dinas Pariwisata daerah dapat dikatakan sebagai DMO? Apakah organisasi pariwisata yang ada di Makassar termasuk di Sulawesi Selatan (misalnya Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia atau PHRI, Badan Promosi Pariwisata Daerah, dan lain-lain) dapat dikatakan sebagai DMO? Bagaimana seharusnya DMO diimplementasikan dalam konteks Kota Makassar dan Sulawesi Selatan sebagai sebuah destinasi? Pertanyaan ini menuntun penulis dalam mengemukakan kerangka atau model konseptual yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam menerapkan konsep DMO di Kota Makassar.
Jurnal Kepariwisataan, Volume 09, No. 02 Agustus 2015, Halaman 29-47
UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
Tulisan ini merupakan hasil kajian penulis dalam menelaah literatur kepariwisataan serta didasarkan pada pengamatan terhadap kondisi faktual di Kota Makassar dan Sulawesi Selatan secara umum. Tulisan ini pula didasarkan pada pengalaman penulis dalam melihat bagaimana penerapan konsep DMO di negara-negara di dunia. Selanjutnya, kesuksesan pelaksanaan DMO mutlak menjadi perhatian dan jika memungkinkan, dapat diadopsi agar dapat menunjang keberhasilan pelaksanaan DMO di Indonesia. Terbatasnya eksplanasi tentang bagaimana seharusnya konsep DMO diimplementasikan menjadi pendorong perlunya publikasi konseptual yang memberikan pengetahuan ataupun informasi mengenai DMO itu sendiri. Sementara, jika dilihat dari peran aktif pemerintah dalam mendukung DMO itu sendiri, maka dibutuhkan pemikiran-pemikiran yang bersifat aplikatif yang tentunya merupakan hasil pemikiran yang didasarkan pada referensi ilmiah yang telah dipublikasikan oleh para ilmuwan di bidang pariwisata. Model tersebut selayaknya memerhatikan prinsip pariwisata berkelanjutan seperti yang dicitacitakan oleh para stakeholder pariwisata di Indonesia. Warren (2009) berpendapat bahwa konsep pengelolaan pariwisata seyogyanya menjadikan prinsip berkelanjutan sebagai dasar berfikir dan bertindak dan karenanya, jika DMO akan diimplementasikan, maka pengelolaan destinasi menghendaki keterlibatan
ISSN 1979 - 7168
stakeholder yang saling berkaitan satu sama lain. Destinasi Wisata dan Pentingnya Manajemen Destinasi Destinasi wisata diidentikkan dengan area atau wilayah geografis baik yang bersifat negara, kota, pulau ataupun suatu wilayah tertentu (Rukendi, Irasatayapitak dan Promsivapallop, tanpa tahun). Dalam konteks Indonesia, destinasi wisata dapat berupa suatu wilayah yang dibatasi oleh letak geografis dengan dibatasi oleh wilayah-wilayah lain yang mengatur lokasi ataupun cakupan wilayah tersebut. Melihat defenisi di atas, maka negara Indonesia sesungguhnya dapat dikatakan sebagai destinasi wisata. Demikian halnya dengan provinsi dan kabupaten atau kota yang membangun Indonesia merupakan destinasi wisata. Pulau-pulau yang ada di suatu wilayah juga merupakan destinasi wisata. Defenisi ini sejalan dengan Undang-undang pariwisata nomor 10 tahun 2009 Republik Indonesia yang menyatakan bahwa destinasi pariwisata (atau kawasan wisata) adalah “kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan” (UU No. 10 tahun 2009 pasal 1 ayat 6). Jadi, setiap wilayah yang dibatasi oleh wilayah administratif dan di dalamnya
Jurnal Kepariwisataan, Volume 09, No. 02 Agustus 2015, Halaman 29-47
UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
terdapat aktifitas kepariwisataan dapat menjadi sebuah destinasi pariwisata. Ciri yang menggambarkan sebuah area atau wilayah untuk menjadi destinasi wisata adalah jika suatu tempat mampu menawarkan produk wisata dan pelayanan dengan perpaduan ataupun kombinasi secara menyeluruh kepada pengunjung ataupun wisatawan (Buhalis, 2000; Hu dan Ritchie, 1993; Warren, 2009). Jika Cooper, dkk (1993) mengemukakan empat unsur (attractions, access, amenities, and ancillary services) yang harus ditawarkan oleh sebuah destinasi, maka Buhalis (2000) menambahkan dua hal penting (6A) yakni ketersediaan paket pariwisata (available packages) dan kegiatan (activities). Ketersediaan unsur-unsur tersebut menjadi prasyarat penting untuk menjadikan sebuah wilayah sebagai destinasi wisata yang unggul. Dalam hal ini, kegiatan pariwisata secara umum bertumpu dan terjadi di destinasi (Pike, 2004). Destinasi pariwisata sesungguhnya menjadi pilar adanya kegiatan pariwisata. Mengingat pariwisata adalah kegiatan yang bersifat multi-dimensi (Cooper dan Hall, 2008; Hall dan Page, 2006), maka pelibatan individuindividu ataupun kelompok menjadi hal yang tak terpisahkan dalam pengembangan pariwisata. Karena itu, koordinasi menjadi hal penting mengingat destinasi wisata akan dikelola oleh tidak hanya satu individu, melainkan ada hubungan yang terpisahkan antara satu sektor dengan sektor lainnya (Presenza, Sheehan dan Ritchie, 2004; Varghese,
ISSN 1979 - 7168
2013). Koordinasi yang baik diantara para stakeholder memungkinkan sebuah destinasi wisata mengalami perkembangan baik dalam hal pemanfaatan pariwisata sebagai sumber pendapatan (income) bagi masyarakat dan sebagai jembatan untuk melestarikan sumber-sumber ataupun aset pariwisata. Negara-negara di dunia saat ini bersaing untuk menarik perhatian dunia dengan mengharapkan kunjungan wisatawan ke destinasidestinasi yang mereka tawarkan. Selain koordinasi yang baik sebagaimana dikemukakan di atas, destinasi wisata perlu berbenah dengan memerhatikan manajemen destinasi yang mampu memenangkan persaingan dalam mendatangkan wisatawan asing dan domestik. Di sinilah pentingnya pendekatan, strategi, langkah-langkah ataupun model pengembangan yang dapat mendorong destinasi wisata di Indonesia menjadi lebih unggul dan mendapatkan lebih banyak wisatawan. Manajemen Destinasi dan DMO Manajemen destinasi dapat diartikan sebagai upaya mengkoordinasikan dan mengintegrasikan aspek-aspek yang terkait dalam pengembangan sebuah destinasi. Morrison (2012) berpendapat bahwa manajemen destinasi ini dipandang sebagai pengintegrasian keseluruhan elemen yang termasuk dalam bauran destinasi (destination mix) dalam sebuah wilayah geografis berdasarkan perencanaan dan strategi yang telah
Jurnal Kepariwisataan, Volume 09, No. 02 Agustus 2015, Halaman 29-47
UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
ditetapkan. Bauran destinasi ini mencakup atraksi dan event, fasilitas, transportasi, infrastruktur dan sumbersumber hospitaliti (Mill dan Morrison, 2012). Prinsipnya, pencapaian tujuan pengembangan destinasi pariwisata menghendaki adanya koalisi ataupun kerjasama dari berbagai pihak baik mereka yang bernaung dalam sebuah organisasi maupun individu-individu (UNWTO, 2007). Manajemen destinasi dapat pula diartikan sebagai pengelolaan yang terintegrasi dengan seluruh proses agar kegiatan pariwisata yang di dalamnya melibatkan destinasi dan pengunjung dapat terlaksana dengan baik (Minguzzi, 2006; Pearce, 2015). Pelayanan yang ditawarkan oleh sebuah destinasi kepada wisatawan serta pemenuhan harapan wisatawan yang pada akhirnya memberikan kepuasan kepada wisatawan adalah salah satu target yang diharapkan dalam pengelolaan sebuah destinasi. Tentunya, pemenuhan ini adalah sesuatu yang tidak mudah mengingat banyak faktor atau unsur yang terkait dalam mensukseskan pelayanan kepada wisatawan melalui manajemen destinasi. Dalam hal ini, manajemen destinasi berarti memenej (managing) atau mengelola pelayanan yang diberikan kepada wisatawan dalam konteks sebuah destinasi wisata. Banyaknya individu, kelompok ataupun pihak yang terlibat dalam pengelolaan destinasi mengisyaratkan pentingnya menyatukan ataupun mengintegrasikan stakeholder tersebut dalam sebuah konsep yang salah satunya adalah destination
ISSN 1979 - 7168
management organization (DMO). DMO dapat diartikan sebagai sebuah institusi, lembaga ataupun organisasi yang memiliki tanggung jawab atau peran secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam mengkoordinasikan dan mengintegrasikan elemen-elemen destinasi yang diharapkan mampu bekerja dalam memasarkan (Morrison, 2012) sekaligus mengembangkan pariwisata (tata kelola) untuk mencapai pariwisata berkelanjutan. DMO merupakan organisasi tata kelola yang bertugas untuk mengkoordinnir dan mengembangkan pariwisata dalam konteks kewilayahan. Tugas koordinasi dan integrasi ini terangkum dalam enam peran utama suatu DMO yang mencakup kepemimpinan dan koordinasi (leadership and coordination), perencanaan dan penelitian (planning and research), pengembangan produk (product development), pemasaran dan promosi (marketing and promotion), kemitraan dan pengembangan tim (partnership and team-building), dan hubungan masyarakat (community relations) (Morrison, 2012). DMO dapat didefenisikan sebagai gabungan atau kerjasama (tata kelola) antara berbagai pihak baik itu organisasi, individu, kelompok ataupun pihak-pihak yang memiliki ketertarikan dalam pengembangan destinasi yang bekerja bersama untuk mencapai tujuan yang sama (Elbe, Hallen, dan Axelsson, 2009; Klimek, 2013; Presenza, Sheehan, dan Ritchie, 2004; Sheehan, Ritchie, dan Hudson, 2007; Varghese dan Paul, 2014) yakni
Jurnal Kepariwisataan, Volume 09, No. 02 Agustus 2015, Halaman 29-47
UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
tujuan pengembangan pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism). Jika dilihat dari jenis (tipe) ataupun tingkatan destination management organizations (DMO) di setiap wilayah di negara-negara di dunia, maka dapat dikatakan bahwa DMO sesungguhnya telah ada di dunia sejak sejak ratusan tahun yang lalu (Morrison, 2013). Tipe DMO yang ada tersebut merujuk pada tingkatan wilayah ataupun batasan geografis sebuah negara. Sebagai perbandingan dalam konteks Indonesia misalnya, jenis DMO di dunia dapat mengacu pada DMO pada level negara (country), DMO pada tingkat provinsi dan DMO pada tingkat kota/kabupaten. DMO ini tentunya disesuaikan dengan batasan wilayah suatu negara. Sejalan dengan implementasi DMO di negara-negara dunia, Morrison (2013) berpendapat bahwa kebanyakan DMO dijalankan oleh pemerintah. Namun demikian, pertanyaan yang mungkin muncul adalah apakah DMO harus dijalankan oleh pemerintah, swasta atau kombinasi antara keduanya (Morrison, 2013). Berkaitan dengan pertanyaan ini, Morrison (2013) telah mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan jika DMO dijalankan oleh pemerintah ataupun swasta sebagaimana uraian berikut. Sebagai pihak yang mendapatkan mandat dari masyarakat untuk menjalankan program kerja ataupun untuk mensejahterakan rakyat, pemerintah memiliki kekuatan dalam menyusun rencana strategis yang bersifat jangka panjang. Pengalaman
ISSN 1979 - 7168
yang dimiliki pemerintah memungkinkan DMO dapat dilaksanakan. Hal ini didukung pula dengan kesadaran akan destinasi wisata yang dimiliki para stafnya mengingat mereka memiliki tanggung jawab langsung karena berhubungan dengan tugas dan wewenang kerja (misalnya, di Kementerian Pariwisata atau Dinas Pariwisata). Kelebihan lainnya adalah pemerintah didukung dengan kemampuan mendapatkan pendanaan dalam menjalankan program kepariwisataan. Pendanaan yang dimiliki memungkinkan pemerintah bergerak dan menjalankan program kerja. Pemahaman staf pemerintah dalam pencarian pendanaan juga sangat membantu dalam mendukung pelaksanaan DMO. Dengan kapasitas pendanaan yang dimiliki, pemerintah memiliki kapasitas memberikan bantuan pendanaan terhadap usaha-usaha bidang pariwisata. Namun demikian, pemerintah dengan proses birokrasinya yang panjang dan mungkin berbelitbelit cenderung menjalankan program secara lambat. Menurut Morrison, politik dan seringnya terjadi perubahan staf pada posisi atau jabatan tertentu menjadi penghambat pelaksanaan DMO. Demikian pula bahwa pemerintah tidak terlalu terampil dalam kegiatan pemasaran. Menurut Morrison, pihak swasta juga memiliki kekuatan dalam menjalankan DMO. Pertama, pihak swasta sangat baik dalam menjalankan taktik atau strategi yang bersifat jangka pendek. Salah satu alasannya adalah bahwa pihak swasta cepat
Jurnal Kepariwisataan, Volume 09, No. 02 Agustus 2015, Halaman 29-47
UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
dalam membuat keputusan atau dalam menjalankan keputusan sehingga memungkinkan mereka bekerja dengan cepat. Keterampilan dan pengalaman para staf dalam menjalankan pemasaran ataupun penjualan menjadi kekuatan kedua pihak swasta dalam menjalankan DMO. Kekuatan ini menjadikan para staf di pihak swasta memanfaatkan peluang dengan baik sehingga dapat dikatakan bahwa pihak swasta bekerja dengan prinsip pendekatan bisnis. Ketiga, pihak swasta baik dalam menjalankan program pengembangan kemitraan. Namun demikian, Morrison menggaris bawahi bahwa pihak swasta lemah dalam merencanakan program perencanaan yang bersifat jangka panjang yang sesunguhnya dibutuhkan dalam mengelola destinasi pariwisata. Konsep DMO sesungguhnya adalah terdapatnya suatu organisasi, pihak ataupun institusi yang memiliki tanggung jawab khusus dalam menjalankan fungsi koordinasi dan integrasi untuk mewujudkan destinasi pariwisata yang unggul dan berkelanjutan (sustainable). Pemerintah, pihak swasta ataupun gabungan dari keduanya yang berfungsi sebagai DMO hanyalah sebagai siapa aktor yang menjalankan peran tersebut. Dalam hal ini, Indonesia dengan konsep pengembangan lima belas DMO yang ada masih mengisyaratkan pertanyaan siapa dan bagaimana tugas koordinasi dan integrasi ini dijalankan. Oleh karena itu, model DMO sangat dibutuhkan untuk mendukung
ISSN 1979 - 7168
implementasi DMO yang sesungguhnya di sebuah destinasi. Jika Toraja (Sulawesi Selatan) dikembangkan dengan konsep DMO misalnya, pertanyaan yang mungkin muncul adalah apakah pemerintah daerah (dalam hal ini Dinas Pariwisata daerah) dapat dikatakan sebagai DMO? Kenyataannya, konsep DMO diperkenalkan oleh pemerintah pusat dan disosialisasikan ke pemerintah daerah. Sementara, meskipun Dinas Pariwisata Daerah telah bekerja menjalankan fungsi manajemen destinasi serta koordinasi dengan pemerintah pusat, DMO nampaknya belum diimplementasikan secara nyata. Oganisasi nirlaba yang bekerja dengan memerhatikan dan menerapkan enam tugas pokok pengembangan destinasi sebagaimana diuraikan sebelumnya menunjukkan pentingnya model yang tepat untuk sebuah destinasi wisata. Kota Makassar sebagai salah satu tujuan wisata (destinasi pariwisata) melalui peran pemerintah kota (Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Makassar) tidak terlepas dari pentingnya menerapkan sebuah model atau pendekatan implementasi DMO. Mengingat pariwisata Kota Makassar memandang pariwisata berkelanjutan sebagai patokan dalam mengembangkan pariwisata, maka model DMO juga selayaknya memerhatikan prinsip sustainability tersebut. Klimek (2013) berpendapat bahwa peran DMO akan menjadi kompleks khususnya ketika sustainability menjadi target utama
Jurnal Kepariwisataan, Volume 09, No. 02 Agustus 2015, Halaman 29-47
UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
sebuah pengembangan destinasi. Karenanya, pendekatan ataupun model DMO selayaknya memerhatikan unsur pelestarian lingkungan dan sumbersumber pariwisata, meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif serta keseimbangan dalam hal pemanfaatan pariwisata (Ritchie dan Crouch, 2000; Vengesayi, 2003; Warren, 2009). Alternatif Model Dalam Implementasi DMO di Kota Makassar Untuk mengusulkan pendekatan ataupun model implementasi DMO di Kota Makassar, maka sangat peting mengidentifikasi organisasi-organisasi atau stakeholder yang terlibat dalam pengembangan dan pengelolaan pariwisata Makassar. Sebagai tahap awal, penulis mencatat beberapa organisasi atau kelompok yang dapat dikategorikan ataupun terlibat sebagai stakeholder pariwisata. Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atau tourism board of Makassar atau dapat disingkat dengan TBM adalah pihak yang paling berperan dalam implementasi DMO. TBM adalah perwakilan pemerintah pada tingkat kabupaten/kota dimana staf ataupun karyawan di dalamnya adalah pegawai negeri sipil disamping pegawai nonPNS. Selanjutnya, terdapat organisasi yang berkecimpung dalam industri pariwisata, misalnya perhimpunan hotel dan restoran Indonesia (PHRI) atau the association of hotel and restaurant of Indonesia atau penulis istilahkan dengan AHR. Organisasi
ISSN 1979 - 7168
bidang perjalanan wisata atau the association of the Indonesia tours and travel agencies atau disingkat ASITA juga tidak dapat dipisahkan dari pengembangan destinasi pariwisata. Untuk tujuan karya tulis ini, penulis menggunakan istilah ASITA. Terdapat juga badan promosi pariwisata atau tourism board for promotion atau dapat diistilahkan dengan TBP. Pengembangan pariwisata juga tidak terlepaskan dari masyarakat sebagai pelaku dan yang akan mendapatkan manfaat langsung dari kegiatan pariwisata. Untuk kategori masyarakat, penulis memberikan istilah community representative atau CR. Selanjutnya, terdapat organisasi non-pemerintah (non-government organization) yang memberikan perhatian terhadap pengembangan pariwisata Makassar secara khusus dan Indonesia secara umum. Penulis memberikan istilah NGO untuk organisasi-organisasi baik yang berkecimpung dalam kegiatan pariwisata maupun yang secara tidak langsung memiliki keterkaitan dengan pengelolaan dan pencapaian pariwisata berkelanjutan di Makassar. Para akademisi (academics) di perguruan tinggi, sekolah ataupun lembaga pendidikan baik mereka yang bekerja di bidang pariwisata maupun memiliki minat atau perhatian dalam pengembangan pariwisata perlu dilibatkan dalam pengelolaan DMO. Penulis memberikan istilah AC bagi mereka yang tergolong ke dalam kelompok akademisi ini. Selanjutnya, praktisi dan pemerhati pariwisata berperan penting dalam pengelolaan
Jurnal Kepariwisataan, Volume 09, No. 02 Agustus 2015, Halaman 29-47
UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
destinasi wisata. Karenanya, mereka yang terlibat dalam kelompok ini diistilahkan dengan tourism observer and practitioners atau disingkat dengan TOP. Istilah-isilah yang disebutkan di atas kemudian dijadikan acuan dalam mengusulkan model atau pendekatan dalam mengimplementasikan DMO di Kota Makassar.
Model Pertama, Pemerintah Sebagai DMO Di Indonesia, kegiatan pariwisata di destinasi wisata banyak didominasi oleh pemerintah baik kegiatan yang dikelola langsung oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah ataupun kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah (Junaid, 2014). Dominasi pemerintah ini tidak dapat dihindari mengingat Dinas Pariwisata Daerah diharapkan berperan aktif dalam memajukan pariwisata daerah. Karenanya, tidak heran jika berbagai program direncanakan dan dijalankan oleh pemerintah. Ketersediaan dana untuk menjalankan program di bidang pariwisata juga menjadi alasan peran pemerintah tersebut. Melalui pelaksanaan kegiatan berarti pemerintah mampu memberikan pertanggungjawaban pemanfaatan dana pengembangan pariwisata. Pemerintah memiliki pengalaman dalam merencanakan dan mengimplementasikan program kerja. Kemudahan memperoleh dana juga memberikan kesempatan yang besar bagi pemerintah untuk melaksanakan peran kepemimpinan (leading) dan
ISSN 1979 - 7168
koordinasi (coordinating) diantara banyak sektor. Dalam hal ini, pemerintah sangat potensial mengembangkan pariwisata melalui konsep DMO. Untuk menjalankan ini, ada banyak hal yang perlu menjadi pertimbangan agar peran DMO benarbenar dapat dijalankan. Langkah pertama yang perlu diperhatikan adalah bahwa Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (di Kota Makassar) perlu mengidentifikasi seluruh stakeholder yang ada di Kota Makassar tanpa mengabaikan stakeholder lainnya yang ada diAC Sulawesi Selatan atau Indonesia secara TOP umum. Selanjutnya, identifikasi stakeholder ini akan memudahkan Dinas Pariwisata untuk melakukan koordinasi dengan pihak yang terkait. Langkah kedua adalah melakukan koordinasi dengan stakeholder tersebut dengan langkah pertemuan untuk melibatkan mereka dalam suatu kerangka kerja yang disebut dengan DMO. Idealnya, suatu DMO mampu memberikan kesempatan kepada setiap stakeholder melalui keterwakilan setiap anggota organisasi atau kelompok masyarakat untuk duduk dan bekerja bersama pemerintah. Langkah kedua ini mungkin sedikit menyulitkan pemerintah mengingat mereka yang bekerja adalah pegawai pemerintah yang secara tertulis ditugaskan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi). Sementara, melibatkan perwakilan setiap kelompok masyarakat menjadi tugas berat karena berhubungan dengan bagaimana memosisikan mereka
Jurnal Kepariwisataan, Volume 09, No. 02 Agustus 2015, Halaman 29-47
A
T se D
CR
UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
dalam
struktur
kerja
ISSN 1979 - 7168
pemerintah
daerah.
Bagan 1. Pemerintah sebagai DMO Sumber : Ilham Junaid, 2015 Keterangan: TBM : Dinas pariwisata dan ekonomi kreatif kota Makassar (atau pemerintah daerah) NGO : organisasi non-pemerintah baik yang berkecimpung dalam kegiatan pariwisata, lingkungan maupun budaya TBP : Badan promosi pariwisata daerah AHR : Perhimpunan hotel dan restoran Indonesia (tingkat daerah) ASITA : Perhimpunan tours and travel Indonesia CR : Masyarakat atau perwakilan masyarakat AC : Akademisi (baik mereka yang bersentuhan langsung dengan pariwisata maupun akademisi lainnya) TOP : Praktisi dan pemerhati pariwisata
Langkah ketiga adalah mengimplementasikan program kerja dengan pelibatan atau keikutsertaan tujuh kelompok masyarakat sebagaimana ditunjukkan pada bagan 1. Pemerintah (TBM) memiliki peran memimpin dan mengkoordinasi sementara kelompok lain (NGO, TBP, ASITA, CR, TO, AC dan AHR) duduk bersama dengan pemerintah dan bekerja sesuai dengan rencana strategis yang telah disepakati bersama. Pemerintah sebagai DMO sesungguhnya dapat berjalan sesuai dengan konsep DMO mengingat pemerintah melalui Dinas Pariwisata daerah memiliki kekuatan hukum yang berarti prasyarat suatu DMO telah terpenuhi. Selanjutnya, kemudahan dalam memperoleh dana dalam menjalankan program-program DMO
juga menjadi kekuatan bagi pemerintah yang berarti DMO dapat berjalan karena didukung dengan pendanaan yang jelas. Akan tetapi, terdapat beberapa hal atau isu yang mungkin menjadi kendala dalam menjalankan model pemerintah sebagai DMO. Pertama, pemerintah (Dinas Pariwisata) harus siap mengakomodir anggota-anggota dari kelompok atau latar belakang yang berbeda. Dalam hal ini, mereka yang akan terlibat tidak hanya dilibatkan secara tertulis, tetapi mampu bekerja secara nyata bersama pemerintah. Kedua, penempatan karyawan atau staf di pemerintahan yang berubah-ubah menjadi kendala bagi penerapan DMO di suatu destinasi. Unsur politik nampaknya menyisakan kendala atau tantangan
Jurnal Kepariwisataan, Volume 09, No. 02 Agustus 2015, Halaman 29-47
UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
bagi kesuksesan DMO mengingat DMO membutuhkan individu yang bekerja secara continue tanpa diganggu oleh perubahan struktur kerja atau perubahan staf atau pejabat. Ketiga, birokrasi yang sulit dan berbelit-belit perlu segera diatasi dengan sistem kerja yang cepat, tepat dan terarah tanpa dibatasi oleh sekatsekat birokrasi. Meskipun pemerintah telah menjalankan peran dan fungsi pengembangan pariwisata, konsep pemerintah sebagai DMO merupakan langkah baru dalam mengembangkan destinasi wisata. Kendala-kendala di atas dapat diatasi jika ada komitmen dari pemerintah untuk benar-benar bekerja dalam kerangka konsep DMO. Kecenderungan dominasi pemerintah akan teratasi dengan konsep pemerintah sebagai DMO. Pengambilan keputusan misalnya, pemerintah harus bersinergi dengan organisasi non-pemerintah, perwakilan masyarakat, industri pariwisata, dan kelompok masyarakat lainnya sehingga langkah-langkah pengembangan destinasi betul-betul merupakan harapan dan untuk kepentingan masyarakat. Model Kedua, Organisasi Nirlaba (NGO atau Organisasi Baru) Sebagai DMO Pemerintah dituntut untuk berinovasi dalam menerapkan strategi pengembangan destinasi wisata (Mei, Arcodia, dan Ruhanen, 2013; Varra, Buzzigoli, dan Loro, 2012). Akan tetapi, pengembangan destinasi wisata tidak semata-mata harus
ISSN 1979 - 7168
mengandalkan inovasi pemerintah. Strategi pengembangan destinasi wisata yang dijalankan oleh pemerintah perlu dibarengi dengan keikutsertaan organisasi nonpemerintah. Kehadiran organisasi nonpemerintah yang bersifat nirlaba sangat penting dalam mendukung pengembangan destinasi. Jika perlu, suatu organisasi yang bergerak di bidang pengembangan destinasi wisata perlu didirikan dan didukung demi tercapainya tujuan pengembangan destinasi wisata yang kompetitif. Konsep DMO dapat diterapkan dengan pendekatan ataupun model organisasi nirlaba sebagai DMO (lihat bagan 2). Jika dilihat dari kenyataan di Kota Makassar, telah ada organisasi atau kelompok-kelompok yang bekerja di bidang pengembangan pariwisata. PHRI misalnya, difokuskan pada perhimpunan para pengusaha, pemerhati, maupun praktisi di bidang restoran dan perhotelan yang bekerja bersama untuk peningkatan industri pariwisata dan pariwisata secara umum. Namun demikian, organisasi ini belum dapat dikatakan sebagai DMO mengingat fungsi leading untuk pariwisata secara menyeluruh dan coordinating di bidang pariwisata belum diimplementasikan secara nyata. Idealnya, DMO menghendaki peran maksimal dari suatu organisasi yang betul-betul menjalankan tugas DMO misalnya, perencanaan dan penelitian, pengembangan produk, dll. Organisasi nirlaba (baru) sebagai DMO dapat diterapkan dengan memerhatikan beberapa aspek. Pertama, pemerintah sebagai pihak
Jurnal Kepariwisataan, Volume 09, No. 02 Agustus 2015, Halaman 29-47
UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
pertama dan utama dalam pengembangan destinasi wisata perlu mencanangkan atau mengusulkan suatu organisasi nirlaba yang secara khusus bergerak dalam pengembangan destinasi wisata. Ide pembentukan institusi atau organisasi ini dapat juga berasal dari masyarakat, praktisi ataupun pemerhati pariwisata. Upaya pembentukan lembaga ini perlu didukung dengan kemudahan pemberian izin atau status hukum yang memberikan kemudahan atau kekuatan untuk menjalankan kegiatan atau program kerja. Organisasi pariwisata Makassar (Makassar tourism organization) ataupun pariwisata Makassar misalnya, dapat bekerja atau berfungsi sebagai branding pariwisata Makassar sekaligus sebagai organisasi DMO. Selanjutnya, tugas-tugas DMO akan dijalankan dengan koordinasi dengan kelompok-kelompok lain atau organisasi pariwisata yang ada di Makassar. Langkah kedua adalah pemerintah ataupun mereka yang mengusulkan sebagai lembaga DMO perlu berkoordinasi dengan pihak terkait perihal prinsip kerja dan bagaimana organisasi tersebut akan dijalankan ke depan. Hal yang terpenting dari koordinasi ini adalah memastikan bahwa mereka yang
ISSN 1979 - 7168
terlibat di dalam organisasi ini adalah gabungan atau perwakilan dari setiap unsur-unsur organisasi dan kelompok yang ada di masyarakat. Pemerintah sebagai salah satu unsur penting pengembangan destinasi wisata juga akan menjadi penentu keberlanjutan DMO oleh organisasi tersebut. Tahap ketiga adalah memastikan bahwa organisasi DMO ini dapat berjalan sesuai dengan fungsinya khususnya yang berkaitan dengan keberlanjutan pendanaan DMO. Bentuk DMO seperti ini memiliki kekuatan, kelebihan dan kelemahan bahkan tantangan dalam implementasinya. Pertama, wewenang pemerintah dalam pelaksanaan kegiatan pariwisata perlu dibenahi mengingat DMO ini akan berperan sebagai leading dan coordinating. Selama ini, fungsi leading dan coordinating masih dijalankan oleh pemerintah sedangkan kelompokkelompok masyarakat hanya menerima program pariwisata yang ditawarkan dan dijalankan oleh pemerintah. Dalam hal ini, pembagian wewenang harus jelas antara DMO dan pemerintah. Masalah ini mungkin masih menjadi kendala mengingat harus ada perubahan yang drastis ketika DMO tipe ini akan diterapkan.
AHR TBM TBP Organisasi Pariwisata (new organization) sebagai Jurnal Kepariwisataan, VolumeDMO 09, No. 02 Agustus 2015, Halaman 29-47
ASITA AC TOP CR
UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
ISSN 1979 - 7168
Bagan 2 : Organisasi baru atau nirlaba sebagai DMO Sumber : Ilham Junaid, 2015 Keterangan: TBM : Dinas pariwisata dan ekonomi kreatif kota Makassar (atau pemerintah daerah) NGO : organisasi non-pemerintah baik yang berkecimpung dalam kegiatan pariwisata, lingkungan maupun budaya TBP : Badan promosi pariwisata daerah AHR : Perhimpunan hotel dan restoran Indonesia (tingkat daerah) ASITA : Perhimpunan tours and travel Indonesia CR : Masyarakat atau perwakilan masyarakat AC : Akademisi (baik mereka yang bersentuhan langsung dengan pariwisata maupun akademisi lainnya) TOP : Praktisi dan pemerhati pariwisata
Kedua, model DMO ini akan menuntut pengelola atau anggotaanggotanya untuk bekerja secara maksimal mendapatkan dana untuk menjalankan program atau aktifitas pariwisata. Sebagai persyaratan utama, suatu DMO harus memiliki sumber dana yang jelas serta bersifat berkelanjutan (sustainable) yang mampu mendukung keberlangsungan DMO. Ketiga, DMO ini harus memastikan bahwa keseluruhan aspek yang menjadi peran DMO di sebuah detsinasi harus mampu dilaksanakan. Mengingat banyaknya tugas yang harus dijalankan tersebut, maka pelaksanaan DMO dengan model ini harus direncanakan dan dilaksanakan secara matang. Model ini dapat
menjadi alternatif penerapan DMO di Kota Makassar sepanjang didukung oleh pemerintah dan kesiapan setiap kelompok untuk terlibat bersama dalam sebuah wadah organisasi DMO. Model Ketiga, Organisasi yang ada (Exisiting Organization, atau TBP) Sebagai DMO Di Sulawesi Selatan dan Kota Makassar secara khusus, badan pariwisata daerah telah dibentuk oleh pemerintah daerah sebagai bentuk dukungan dan upaya pemerintah memaksimalkan promosi pariwisat daerah (Kota Makassar). Dalam konteks DMO, badan promosi pariwisata daerah (tourism promotion board) atau TBP dapat menjadi
Jurnal Kepariwisataan, Volume 09, No. 02 Agustus 2015, Halaman 29-47
UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
alternatif model implementasi DMO di suatu daerah (lihat bagan 3). Hal ini didasarkan pada realita bahwa tujuan utama dari organisasi ini adalah untuk memaksimalkan pengembangan pariwisata daerah melalui upaya promosi yang dilakukan bersama dengan pemerintah, masyarakat dan TBP itu sendiri. Untuk menerapkan model ini, perlu memerhatikan beberapa hal sesuai yang diuraikan berikut ini. Pertama, DMO terkadang dikaitkan dengan istilah destination marketing organization (DMO). Istilah marketing dan management menjadi pembeda pada kedua istilah ini meskipun istilah DMO digunakan bersama-sama. Namun demikian, salah satu tujuan mendasar dari DMO adalah fungsi pemasaran atau promosi (Esu dan Ebitu, 2010) yang memungkinkan sebuah destinasi dikenal dan pada akhirnya berdampak pada peningkatan kunjungan wisatawan. Oleh karena itu, TBP dapat bekerja sebagai DMO dengan tetap memegang prinsip leading dan coordinating untuk pelaksanaan kegiatan pariwisata. Kedua, TBP harus mendapat dukungan dari berbagai stakeholder pariwisata dengan paying atau dasar hukum pendirian yang jelas (DMO) dan kejelasan peran atau posisi pemerintah dan TBP itu sendiri sebagai DMO. Hal ini penting mengingat marketing bukan sematamata tugas DMO melainkan
TBM
ISSN 1979 - 7168
melaksanakan tugas-tugas atau peran DMO di sebuah destinasi. Untuk mencapai hal ini, mereka yang terlibat di dalam keanggotaan TBP perlu berbenah dengan pemahaman arti dan makna DMO itu sendiri. TBP tidak semata-mata hanya dalam konteks pemasaran atau promosi semata, tetapi bekerja sebagai DMO. Model ini pula masih menyisakan kekuatan dan tantangan dalam implementasi DMO. Meyakinkan pemerintah akan kemampuan TBP sebagai DMO nampaknya perlu dibuktikan dengan program atau kegiatan yang telah dijalankan selama ini. Keanggotaan yang variatif juga perlu dibuktikan dengan mengikutsertakan berbagai kelompok yang beragam. Kemampuan menjalankan organisasi dalam hal pendanaan juga perlu dibuktikan mengingat DMO mengharapkan adanya keberlanjutan pendanaan kegiatan. Sebagai suatu organisasi mandiri, TBP mungkin tidak terpengaruh oleh situasi politik yang dapat mengganggu keberlanjutan suatu DMO. Karenanya, penggantian staf atau karyawan yang ada di organisasi pemerintahan tidak akan mengganggu keberlanjutan TBP sebagai DMO. TBP bisa menjadi alternatif model DMO jika pemerintah mendukung tidak hanya dalam bentuk tertulis tetapi bekerja bersama untuk mewujudkan TBP sebagai DMO.
AC
Organisasi yangHalaman ada sebagai Jurnal Kepariwisataan, Volume 09, No. 02 Agustus 2015, 29-47 DMO Contoh, TBP sebagai DMO AHR
ASITA
TOP
CR
UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
ISSN 1979 - 7168
Bagan 3: TBP sebagai DMO Sumber: Ilham Junaid, 2015 Keterangan TBM : Dinas pariwisata dan ekonomi kreatif kota Makassar (atau pemerintah daerah) NGO : organisasi non-pemerintah baik yang berkecimpung dalam kegiatan pariwisata, lingkungan maupun budaya TBP : Badan promosi pariwisata daerah AHR : Perhimpunan hotel dan restoran Indonesia (tingkat daerah) ASITA : Perhimpunan tours and travel Indonesia CR : Masyarakat atau perwakilan masyarakat AC : Akademisi (baik mereka yang bersentuhan langsung dengan pariwisata maupun akademisi lainnya) TOP : Praktisi dan pemerhati pariwisata
KESIMPULAN Tujuan dari pemanfaatan suatu wilayah dengan aset alam dan budayanya sebagai destinasi wisata adalah menarik wisatawan berkunjung ke sebuah destinasi yang pada akhirnya akan berdampak positif pada peningkatan perekonomian masyarakatnya atau kesejahteraan rakyatnya serta pelestarian aset-aset wisata dengan meminimalisir dampakdampak negatif pariwisata. Untuk mencapai tujuan ini, dibutuhkan kerjasama yang baik dan sinergis diantara para kelompok masyarakat atau organisasi yang bekerja bersama dalam konsep destination management organization (DMO).
Peran DMO itu sendiri adalah untuk memimpin dan mengkoordinir kegiatan-kegiatan kepariwisataan. Dengan kata lain, DMO itu sendiri harus bekerja mengembangkan dan mengelola kemitraan agar kegiatankegiatan kepariwisatan tersebut berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Mengembangkan destinasi wisata dengan konsep DMO berarti memberikan kesempatan atau peluang kepada DMO itu sendiri untuk bekerja dan bergerak sebagai pemimpin dalam pengembangan destinasi. Jika DMO akan diterapkan di sebuah destinasi, maka dibutuhkan model atau pendekatan yang diharapkan mampu diterapkan secara
Jurnal Kepariwisataan, Volume 09, No. 02 Agustus 2015, Halaman 29-47
UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
nyata. Tulisan ini mengusulkan tiga alternatif model dalam menerapkan DMO di Kota Makassar dengan memerhatikan eksistensi organisasi di bidang pariwisata serta melihat realita pengelolaan pariwisata di Kota Makassar. Usulan model ini menjadi bermanfaat (useful) jika konsep DMO dipahami secara menyeluruh (comprehensive) dan didukung oleh penentu kebijakan (misalnya pemerintah) serta keinginan untuk menerapkannya secara nyata. Meskipun terdapat kendala ataupun tantangan dalam menerapkannya, DMO dapat menjadi pilihan bagi pengembangan sebuah destinasi. Jika pemerintah telah mengembangkan Toraja berdasarkan konsep DMO, maka destinasi lainnya juga seyogyanya dapat dikembangkan dengan konsep DMO.
DAFTAR PUSTAKA Altinay, Mehmet dan Hussain, Kashif. 2005. Sustainable tourism development: a case study of North Cyprus. International Journal of Contemporary Hospitality Management. Vol. 17. No. 3: 272-280. Buhalis, Dimitrios. 2000. Marketing the competitive destination in the future. Tourism Management Vol. 21 No.1: 97-116. Cooper, Chris., dkk. 1993. Tourism: Principle and Practice. Harlow: Longman Scientific & Technical. Cooper, Chris., dan Hall, C. Michael. 2008. Contemporary tourism: an
ISSN 1979 - 7168
international approach. Oxford: Elsevier. Elbe, J., dkk. 2009. The destinationmanagement organisation and the integrative destination-marketing process. International Journal of Tourism Research. Vol. 11: 283296. Esu, Bassey, B. dan Ebitu, Ezekial. 2010. Promoting an emerging tourism destination. Global Journal of Management and Business Research. Vol. 10. No. 1: 21-28. Freytag, Andreas dan Vietze, Christoph. 2013. Can nature promote development? The role of sustainable tourism for economic growth. Journal of Environmental Economics and Policy. Vol. 2. No. 1: 16-44. Goodwin, Harold. 2011. Tourism and poverty reduction. Annals of Tourism Research. Vol. 38. No. 1: 339-340. Hall, C. Michael., dan Page, Stephen. J. 2006. The geography of tourism and recreation. London: Routledge. Hu, Y. dan Ritchie, Brent, J.R. 1993. Measuring destination attractiveness: A contextual approach. Journal of Travel Research. Vol. 32 No. 3: 25-34. Junaid, Ilham. 2014. Opportunities and challenges of cultural heritage tourism: socio-economic politics of sustainable tourism in South Sulawesi province, Indonesia. Geography, Tourism and Environmental Planning. Disertasi. Hamilton: The University of Waikato.
UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
Klimek, Katarzyna, 2013. Destination management organisations and their shift to sustainable tourism development. European Journal of Tourism, Hospitality and Recreation Vol. 4 No. 2: 27-47. Ko, Tae. Gyou. 2005. Development of a tourism sustainability assessment procedure: a conceptual approach. Tourism Management. Vol. 26: 431-445. Mei, Xiang Ying., Arcodia, Charles., dan Ruhanen, Lisa. 2013. The national government as the facilitator of tourism innovation: evidence from Norway. Current Issues in Tourism. Mill, R. C. dan Morrison, Alastair. M. 2012. The tourism system. Dubuque: Kendall/Hunt Publishing. Minguzzi, Antonio. 2006. Destination competitiveness and the role of destination management organization (DMO): An Italian perspective. Dalam Lazzeretti, L dan Petrillo, C.S (editor). Tourism local systems and networking. (hlm 197-208). New York: Elsevier. Morrison, Alastair, M. 2015. Workshop curriculum on destination management di STP Bandung. Bandung: Workshop kurikulum DMO, Bandung: 1923 Oktober 2015 Morrison, Alastair, M. 2013. Marketing and managing tourism destinations. New York: Routledge. Morrison, Alastair, M. 2012. Destination management and destination marketing: The
ISSN 1979 - 7168
Platform for Excellence in tourism destinations. Page, Stephen. dan Connell, Joanne. 2008. Sustainable tourism. New York: Routledge. Pearce, Douglas, G. 2015. Destination management in New Zealand: Structures and functions. Journal of Destination Marketing & Management. Vol. 4: 1-12. Pike, Stephen. 2004. Destination marketing organisations. Oxford: Elsevier. Presenza, Angelo., Sheehan, Lorn., Ritchie, Brent, J.R. 2004. Towards a model of the roles and activities of destination management organizations; Survey of destination management organisations. World Tourism Organization. Presiden Republik Indonesia, UndangUndang Republik Indonesia nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan Ritchie, Brent, J. R. dan Crouch, Geofrey. I. 2000. The competitive destination: A sustainability perspective. Tourism Management. Vol. 21 No. 1: 1-7. Rukendi, Cecep., Tirasatayapitak, Aree., Promsivapallop, Pornpisanu., tanpa tahun. Destination management of urban cultural heritage tourism from stakeholders’ perspectives: A case study of Jakarta old town, Indonesia. Sheehan, Lorn., Ritchie, Brent, J.R., dan Hudson, S. 2007. The destination promotion triad: understanding asymmetric stakeholder interdependencies
UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
among the city, hotels and DMO. Journal of Travel Research. Vol. 46: 64-74. UNWTO, 2007. A practical guide totourism destination management, Madrid: UNWTO. Varghese, Bindi. dan Paul. Neha, I. J. 2014. A literature review on destination management organization (DMO). ZENITH International Journal of Multidisciplinary Research. Vol. 4. No. 12: 82-88. Varghese, Bindi. 2013. Intervention of destination management organization’s in tourist destinations for branding, image building and competitiveness – a conducive model for Karnataka. International Journal of
ISSN 1979 - 7168
Investment and Management. Vol. 2. No. 3: 50-56. Varra, Lucia, Buzzigoli, Chiara dan Loro, Roberto. 2012. Innovation in destination management: social dialogue, knowledge management processes and servant leadership in the tourism destination observatories. Procedia - Social and Behavioral Sciences, Vol. 4: 375-385. Vengesayi, Sebastian. 2003. A conceptual model of tourism destination competitiveness and attractiveness. ANZMAC 2003 Conference Proceedings. Warren, Sue. 2009. Tourism: a strategic approach integrated destination management.