MODAL SOSIAL PARA PEDAGANG KAKI LIMA ETNIS JAWA STUDI DI DAERAH NAGOYA KOTA BATAM Padang Rihim Siregar1
Abstract It is interesting to study the ability to survive of the street hawker (PKL) of Javanese ethnic in Nagoya area of Batam City. Amidst the economic difficulty of our nation, the street hawker of Javanese ethnics in the area as economic middle class and lower seem to be stable and tough. What social capital do they have in supporting the business activity? It is the question intended to elaborate in the study by considering experts’ opinion on social capital, definition, argumentation and indication. Hanifan, Coleman, Putnam and Fukuyama define ’social capital’ as social interaction network on reciprocity basis and trust that enables people to coopeate in achieving their common objectives. The presence of such social interaction network assumes that individuals have interests and willingness to strive for their interests through mutual interaction of certain pattern. They behave so because the follow informal norms of mutual trust, honesty, and generous. It is a qualitative study that finds a significant correlation between the social capital and supporting its the business activity. There are three aspects of the social capital, which are structural, relational, and cognitive. In the structural aspect it is found that the structure between the members in the association is proven to be an important strength as the basis of the daily life of the street hawker of Javanese ethnics, the living pattern in the area where they live, the presence of partnership, familial ties and rural-urban social network that maintain their business spirit. In the relasional aspect it is found that the relationships between of the street hawker of Javanese ethnics, life pattern in area place of effort and residence, existence of partnership, social familiarity tying and network with origin area making spirit of life and enthusiasm in business they always awakes. Although met at the street hawker Pecel Lele of Javanese ethnics existence of relationship that is less harmonious between former with exits manager. However, between the managers at the street hawker Pecel Lele of Javanese ethnics tends to has harmonious relationship. In the cognitive aspect it is found that trust becomes a key factor of the social capital in its correlation with the physical and psychological balance as 1
Dosen Tetap pada Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji
94
Modal Sosial Para Pedagang Kaki Lima Etnis Jawa Studi di Daerah Nagoya Kota Batam
individuals. The argument is that the mutual trust of the people and their strong willingness to cooperate cause “transaction cost” and “control cost” to be low. Subsequently, it results in higher efficiency and productivity. Thus, the existing resources may be optimized to develop added values of their own people. Kew words: social capital, street hawker and Javanese ethnic.
A. Latar Belakang Kota Batam adalah daerah yang dikembangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai daerah industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata. Kota Batam yang selama ini menjadi primadona industri, menjadi daya tarik bagi kaum migran untuk mencari kerja atau mengisi formasi lapangan kerja. Salah satu masyarakat yang melakukan migrasi ke Kota Batam adalah masyarakat etnis Jawa yang berasal dari Pulau Jawa. Pada umumnya migran/pendatang etnis Jawa di Kota Batam termotivasi untuk mengejar formasi lapangan kerja di sektor formal, namun tidak semuanya memiliki keterampilan dan hanya berpendidikan rendah. Sebagian pendatang etnis Jawa yang tidak memperoleh kesempatan kerja di sektor formal berinisiatif memilih alternatif untuk bekerja di sektor informal, seperti menjadi pedagang kaki lima (PKL) di daerah Nagoya Kota Batam. Terdapat hal yang menarik dalam kehidupan para PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam. Para PKL etnis Jawa di daerah tersebut menjalankan usahanya dalam suasana kekompakan dan kebersamaan. Mereka membentuk paguyuban yang khusus beranggotakan para PKL etnis Jawa yang melakukan aktivitas usahanya di daerah Nagoya Kota Batam. Kekompakan atau kebersamaan yang terdapat diantara para PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam tersebut merupakan modal sosial. Modal sosial ini adalah salah satu bagian dari modal manusia (human capital) di samping modal-modal lainnya seperti kompeten-
si, motivasi, sikap kerja, dan budaya/etos kerja. Modal sosial ini sangat dirasakan pentingnya, karena dalam berusaha, pedagang tidak saja memiliki modal finansial (financial capital), tetapi juga memerlukan modal lain seperti modal teknologi (technological capital), maupun modal manusia (human capital).(Suryanto. 2009. Modal Sosial Pedagang Kaki Lima, http:/ /suryanto.blog.unair.ac.id/). Adanya modal sosial mempersatukan para PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam dalam segala suasana dan dalam menghadapi semua persoalan-persoalan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari di Kota Batam. Modal sosial yang terdapat diantara para PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam menjadikan mereka satu keluarga yang selalu saling membantu dan mendukung serta tempat berlindung, walaupun mereka berasal dari daerah yang berbeda di Pulau Jawa dan bahkan belum saling mengenal sebelumnya. Selain untuk keperluan di dalam kelompok sendiri, modal sosial juga dibutuhkan oleh para PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam untuk menghadapi masalah dari luar kelompoknya, yaitu lingkungan dan PKL yang bukan dari etnis Jawa serta dalam menghadapi kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang seringkali tidak berpihak pada PKL. Mengingat PKL adalah sektor informal yang tidak diinginkan dan memperburuk citra kota, sehingga pemerintah selalu mengeluarkan kebijakankebijakan dimana pada satu sisi merugikan PKL. Adanya modal sosial diantara para PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam, menghasilkan kekuatan bersama yang lebih
Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 93-106
besar sehingga mempunyai posisi tawar yang kuat untuk mengahadapi kebijakan pemerintah yang terkadang tidak menguntungkan. B. Permasalahan Penelitian Beranjak dari fenomena keberadaan pedagang kaki lima etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam sebagaimana diuraikan di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana bentuk modal sosial yang dimiliki para pedagang kaki lima etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam dalam mendukung kegiatan usahanya”. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk memahami modal sosial yang dimiliki para pedagang kaki lima etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam dalam mendukung kegiatan usahanya. C. Metode Penelitian Penelitian ini dikerjakan dengan menggunakan metode kualitatif, dan pendekatan fenomenologi. Sehubungan dengan pendekatan fenomenologi ini, peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi-situasi tertentu.(Moleong, 2007, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya, hlm 1718). Penelitian ini mengambil lokasi di daerah Nagoya Kecamatan Lubuk Baja Kota Batam Propinsi Kepulauan Riau. Unit analisis yang dipilih adalah para pedagang kaki lima etnis Jawa yang melakukan aktivitasnya di daerah Nagoya Kota Batam. Untuk memahami modal sosial yang dimiliki para PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam sebagaimana tujuan penelitian, dipilih 10 (sepuluh) informan kunci yang mewakili seluruh PKL etnis Jawa yang melakukan aktivitas usahanya di daerah Nagoya Kota Batam. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan, terdiri dari: pengamatan partisipatif dan wawancara. Dokumen-dokumen atau kepustakaan yang berhubungan dengan topik penelitian,
95 digunakan sebagai referensi yang melengkapi data-data empirik. Selanjutnya, data-data empirik yang ditemukan di lapangan dianalis dengan teknik analisis kualitatif dengan tahapantahapan: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. D. Tinjauan Pustaka Studi terhadap PKL sudah cukup banyak dilakukan. Namun studi yang mendalam tentang modal sosial PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam, menurut hemat penulis belum pernah dilakukan. Dalam laporannya kepada organisasi buruh sedunia/International Labour Office (ILO), Keith Hart mengajukan model dualisme terhadap kesempatan memperoleh pendapatan pada angkatan kerja perkotaan. Konsep informalitas diterapkan kepada bekerja sendiri (self employed). Informalitas seringkali merupakan sesuatu yang sinonim dengan kemiskinan. Sektor informal menunjukkan kepada cara perkotaan melakukan sesuatu dengan dicirikan: a) Mudah memasukinya dalam arti keahlian, modal, dan organisasi; b) Perusahaan milik keluarga; c) Beroperasi pada skala kecil; d) Intentif tenaga kerja dalam produksi dan menggunakan teknologi sederhana; dan e) Pasar yang tidak diatur dan berkompetitif. (Lee, Everret S, 2000. Teori Migrasi. Yogyakarta: Kependudukan UGM, hlm 158-159). Sobary dari Lembaga Riset Kebudayaan Nasional LIPI Jakarta pernah menulis artikel menarik tentang “Orang Jawa di Tanjungpinang”. Ia memotret tiga keluarga tukang ojek asal Klaten Jawa Tengah yang tinggal dalam satu atap di Tanjungpinang. Penelitian Sobary ini menghasilkan kesimpulan bahwa mobilitas geografis para tukang ojek ini cukup tinggi. Namun mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain secara terpaksa, yakni untuk memperoleh pekerjaan. Dengan demikian, apabila di kampung halaman mereka sendiri terdapat lapangan pekerjaan yang memadai, maka kemungkinan untuk berpindah-pindah dari satu
96
Modal Sosial Para Pedagang Kaki Lima Etnis Jawa Studi di Daerah Nagoya Kota Batam
kota ke kota lain cukup rendah. Sobary mengutip pendapat Oscar Lewis, “Mereka hanya mengetahui permasalahan-permasalahan mereka sendiri, kondisi kehidupan mereka sendiri, lingkungan sekitar sendiri, dan pandangan hidup mereka sendiri”. Sobary menambahkan bahwa kelas tukang ojek memperlihatkan sikap rendah diri di dalam pergaulan dengan orang-orang yang derajatnya lebih tinggi sebagaimana ciri pokok kelas masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kaitannya dengan modal sosial etnis Jawa, dikatakan oleh peneliti dari LIPI ini bahwa ketiga tukang ojek asal Klaten di Tanjungpinang tersebut sama-sama gigih dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup, sama-sama hidup hemat dan sama-sama tekun dalam bekerja untuk mengubah nasib. Ketiganya hidup rukun dan selalu bergotong-royong, sekalipun ketiganya sama-sama mengaku bahwa mereka baru kenal semenjak sampai di Tanjungpinang. Kesamaan daerah asal memberikan motivasi bahwa mereka berasal dari satu keluarga. Dengan demikian, disimpulkan oleh Sobary, bahwa unsur kedaerahan cukup berperan.(Sobary, Mohammad. 1986. “Orang Jawa di Tanjungpinang: Potret Tiga Keluarga Tukang Ojek”. Jurnal Masyarakat Indonesia, LIPI, Jakarta, hal 99-100). 1. Pengertian dan Batasan tentang Pedagang Kaki Lima Secara umum, pedagang dapat diartikan sebagai penyalur barang dan jasa-jasa perkotaan. (Lihat Michaelt dalam Kusnadi, 2000. Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press, hlm. 67). Pedagang kaki lima dengan demikian merupakan usaha kecil yang dilakukan oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah dan mempunyai modal yang terbatas. Dalam bidang ekonomi, pedagang kecil ini termasuk dalam sektor informal, dimana merupakan pekerjaan yang tidak tetap dan tidak terampil serta golongangolongan yang tidak terikat pada aturan hu-
kum, hidup serba susah dan semi kriminal pada batas-batas tertentu. Istilah PKL biasanya untuk menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil, tetapi akan menyesatkan bila disebut dengan “perusahaan” berskala kecil karena beberapa alasan, antara lain: a. Mereka yang terlibat dalam sektor ini pada umumnya miskin, berpendidikan rendah (kebanyakan para migran). Jelaslah bahwa mereka bukanlah kapitalis yang mencari investasi yang menguntungkan dan juga bukanlah pengusaha seperti yang dikenal pada umumnya. b. Cakrawala mereka nampaknya terbatas pada pengadaan kesempatan kerja dan menghasilkan pendapatan yang langsung bagi dirinya sendiri. c. PKL di kota terutama harus dipandang sebagai unit-unit berskala kecil yang terlibat dalam produksi dan distribusi barang-barang yang masih dalam suatu proses evaluasi daripada dianggap sebagai perusahaan yang berskala kecil dengan masukan-masukan (input) modal dan pengolahan yang besar. (Sethurahman, 1981. The Urban Informal Sector in Developing Countries; Employment, Poverty and Environment. Geneva: International Labour Office (ILO), hlm. 13). Selanjutnya menurut Evens & Korff, definisi PKL adalah bagian dari sektor informal kota yang mengembangkan aktivitas produksi barang dan jasa di luar kontrol pemerintah dan tidak terdaftar.(Mustafa, Ali Achsan, 2008. Model Transformasi Sosial Sektor Informal: Sejarah, Teori dan Praksis Pedagang Kaki Lima. Malang: Inspire, hlm 42). Adapun pengertian PKL sebagai bagian dari sektor informal dapat dijelaskan melalui ciri-ciri sebagai berikut: 1) Merupakan pedagang yang kadangkadang juga sekaligus berarti produsen. 2) Ada yang menetap pada lokasi tertentu,
Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 93-106
ada yang bergerak dari tempat yang satu ke tempat yang lain (menggunakan pikulan, kereta dorong, tempat atau stan yang tidak permanen serta bongkar pasang). 3) Menjajakan bahan makanan, minuman, barang-barang konsumsi lainnya yang tahan lama secara eceran. 4) Umumnya bermodal kecil, kadang hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan atau jerih payahnya. 5) Kualitas barang yang diperdagangkan relatif rendah dan biasanya tidak berstandar. 6) Usaha skala kecil bisa berupa family enterprise, dimana ibu dan anak-anak turut membantu dalam usaha tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. 7) Volume peredaran uang tidak seberapa besar, para pembeli umumnya merupakan pembeli yang berdaya beli rendah. 8) Dalam melaksanakan pekerjaannya ada yang secara penuh, sebagian lagi melaksanakan setelah kerja atau pada waktu senggang dan ada pula yang melaksanakan secara musiman. 9) Tawar menawar antara penjual dan pembeli merupakan relasi ciri yang khas pada usaha perdagangan kaki lima. 10) Barang yang dijual biasanya merupakan convenience goods jarang sekali specialty goods. 11) Dan seringkali berada dalam suasana psikologis tidak tenang, diliputi perasaan takut kalau tiba-tiba kegiatan mereka dihentikan oleh Tim Penertiban Umum (TIBUM) dan Satpol PP sebagai aparat pemerintah daerah.(Kartono, dkk dalam Mustafa, Ali Achsan, 2008. hlm 45-46). Dari batasan tentang pedagang kaki lima (PKL) sebagaimana dikemukakan beberapa ahli di atas, dapat dipahami bahwa PKL merupakan bagian dari kelompok usaha kecil yang bergerak di sektor informal. Secara khusus, PKL dapat diartikan sebagai distribusi
97 barang dan jasa yang belum memiliki ijin usaha dan biasanya berpindah-pindah, walaupun ada yang menetap. 2. Pengertian Modal Sosial Konsep modal sosial dikemukakan pertama kali oleh Hanifan di tahun 1916, di saat dia membicarakan tentang pusat komunitas yang terkait dengan sekolah di wilayah pedesaan. (Cohen & Prusak, 2001. In Good Company, Boston: Harvard Business School Press, page 311). Hanifan menggunakan istilah modal sosial untuk membicarakan faktor substansi dalam kehidupan masyarakat yang antara lain berupa niat baik (good will), rasa simpati, perasaan persahabatan, dan hubungan sosial yang membentuk sebuah unit sosial. Modal sosial ini adalah salah satu bagian dari modal manusia (human capital) disamping modal-modal lainnya seperti kompetensi, motivasi, sikap kerja, dan budaya/etos kerja. Modal sosial ini sangat dirasakan pentingnya, karena dalam berusaha, pedagang tidak saja memiliki modal finansial (financial capital), tetapi juga memerlukan modal lain seperti modal teknologi (technological capital), maupun modal manusia (human capital). Fukuyuma mendefinisikan bahwa modal sosial (social capital) sebagai norma informal yang dapat mendorong kerjasama antar anggota masyarakat.(Fukuyama, 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. Cambridge: Harvard University Press). Dari definisi ini, Fukuyama melihat bahwa aspek kerja sama (cooperation) menjadi unsur penting dalam berusaha. Untuk bekerjasama diperlukan kepercayaan antar anggota kelompok yang bekerjasama. Oleh karena itu kepercayaan atau (trust) menjadi syarat yang mutlak. Bagaimana orang bisa kerjasama bila tidak didasari oleh sifat ini. Coleman membuat definisi bahwa modal sosial dalam dua hal (1) sebagai struktur sosial, dan (2) yang memfasilitasi suatu tindakan oleh para pelakunya. (Coleman, 1990. Foun-
98
Modal Sosial Para Pedagang Kaki Lima Etnis Jawa Studi di Daerah Nagoya Kota Batam
dations of Social Theory. Cambridge: Harvard University Press, pg 45-47). Dari definisi Colemen ini, terbangunnya suatu modal sosial hanya bisa dicapai bila orang-orang yang terlibat di dalamnya tergabung dalam suatu struktur sosial, semacam organisasi atau paguyuban. Dengan adanya paguyuban ini akan memfasilitasi (memudahkan) para anggotanya untuk mencapai sesuatu yang dicita-citakan bersama. Pada kesempatan lainnya, Putnam melihat modal sosial sebagai fitur kehidupan sosial. (Putnam, 1995. “Bowling Alone: America’s Declining Social Capital”. Dalam Journal of Democracy. Vol 6 No. 1 pg. 65-67). Fitur ini terdiri dari jejaring (networks), norma (norms) kepercayaan (trust) yang mampu menggerakkan partisipasi anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian modal sosial adalah sumber daya yang melekat dalam jaringan sosial dan digunakan oleh para pelakunya untuk mencapai tujuan tertentu. Modal sosial itu berupa jaringan sosial. Jaringan ini terstruktur, dan dari struktur tersebut terdapat unsur-unsur kepercayaan, dan norma yang mengatur di dalamnya. Dibangunnya jaringan sosial ini adalah untuk mencapai tujuan bersama-sama. Dengan memperhatikan keempat definisi yang dikembangkan oleh Hanifan, Coleman, Putnam, dan Fukuyama dapat disimpulkan bahwa “modal sosial” pada dasarnya adalah: “jaringan interaksi sosial yang muncul atas dasar norma-norma keikhlasan timbal balik dan saling percaya, yang memungkinkan orang-orang mau bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama”. Adanya jaringan interaksi sosial mengasumsikan bahwa individu-individu mempunyai kepentingan dan mau memperjuangkan kepentingan tersebut melalui interaksi timbal balik secara berpola dan teratur. Mereka berperilaku demikian karena masingmasing menganut nilai-nilai dan aturan-aturan tidak resmi tentang saling bicara jujur, saling percaya, dan bersikap ikhlas pada yang lain. Dengan begitu, mereka dapat memaju-
kan kepentingan masing-masing maupun kepentingan bersama dalam masyarakat secara keseluruhan. 3. Aspek-aspek Modal Sosial Bila dilihat dari sejumlah batasan pengertian di atas, maka aspek modal sosial ini tentunya akan menjadi modal dalam kesuksesan berusaha, tidak terkecuali bagi pedagang kaki lima (PKL). Dalam kenyataannya aspek modal sosial ini tak mudah dipisahkan, saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Adapun aspek modal sosial dimaksud, adalah: a. Aspek Struktural. Struktur sosial dibangun melalui organisasi baik formal maupun non-formal. Organisasi disusun karena diperlukan adanya pembagian tugas dan wewenang untuk para anggotanya. Tidak harus semua mengatur yang lain, sebab bila hal itu terjadi akan mengakibatkan pada kerancuan peran dan fungsi masing-masing anggota. Bentuk yang paling tepat dari struktur sosial ini sangat ditentukan oleh karakteristik anggota dan tujuan yang dicapai. Dalam dunia usaha (bisnis) ada model Paguyuban dan ada model Patembayan. Paguyuban dipilih bila struktur yang dibangun bersifat nonformal dan tidak terlalu mengikat. Struktur patembayan dipilih bila sekumpulan orang ingin dihadapkan pada proses kompetisi yang sangat tajam. Paguyuban menjadi bentuk yang tepat untuk membangun jaringan sosial. b. Aspek Relasional. Aspek relasi sosial terbentuk karena adanya interaksi diantara pemangku kepentingan. Dalam jaringan ini terjadi interaksi antar anggota dan antar kelompok. Interaksi antar anggota terjadi manakala adanya keinginan untuk saling membutuhkan antara satu dengan lainnya di dalam kelompok tersebut. Kesamaan tempat usaha, kesamaan bentuk usaha, kesamaan asal daerah, dan kesamaan lain yang dapat mempererat jaringan sosial ini. Dengan jaringan sosial yang mantap akan menghasilkan suatu nilai tambah yang berbentuk suatu
Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 93-106
nilai tawar (bargaining power). Jaringan sosial antar kelompok dapat terjadi apabila di dalam kelompok tersebut tidak ada memenuhi kebutuhan akan pasar dan juga kebutuhan para anggotanya. Jaringan komunikasi dan informasi akan dibutuhkan dalam jaringan sosial ini. c. Aspek Kognitif (norma sosial dan kepercayaan). Norma sosial dibangun karena apa yang dilakukan dalam kelompok masyarakat perlu diatur. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang dirugikan, semua merasakan adanya rasa keadilan. Rasa keadilan ini akan dicapai apabila norma yang dibangun ditaati bersama. Norma ini akan menjadi tumbuh dengan baik, bila setiap anggotanya menghormati dan menjalankan secara konsekuen. Perangkat penegak norma sosial sebagai kontrol sosial juga perlu diperhatikan. Karena itu sanksi juga bisa diberikan bila ada pelanggaran. Kepercayaan merupakan modal sosial dimana seseorang akan mampu membuat akses lebih jauh dalam usaha. Permodalan, perbankan, akses sosial, kelancaran komunikasi dan interaksi sesama anggota dalam jaringan sosial, merupakan hasil dari kepercayaan ini. Oleh karena itu membangun kepercayaan ini membutuhkan konsistensi usaha, ketepatan janji, dan pemahaman akan hak dan kewajiban sebagai bagian dari paguyuban ini. 4. Pengertian Etnis Jawa Orang Jawa dalam penelitian ini adalah orang yang asal bahasa ibunya bahasa Jawa, dan secara geografis merupakan penduduk asli pulau Jawa bagian tengah dan timur. Berdasarkan golongan sosial, orang Jawa dibagi menjadi: a. Wong cilik (orang kecil), terdiri dari para petani, pekerja serabutan, pedagang kecil dan mereka yang berpenghasilan rendah. b. Kaum priyayi, terdiri dari kelas pegawai dan orang-orang intelektual. c. Kaum ningrat yang gaya hidupnya tidak jauh berbeda dengan kelas priyayi. (Suseno,
99 Magnis, 1985. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia, hal 37). Sejarah menunjukkan bahwa kebudayaan Jawa dalam arti luas (civilization) telah bertahan selama ribuan tahun, berfungsi sebagai penunjuk atau pedoman bermasyarakat bagi manusia Jawa. Karena kebudayaan inilah manusia Jawa bertahan, dan mampu bergaul dengan suku bangsa-suku bangsa lain secara terhormat dari waktu ke waktu. E. Hasil Penelitian Analisis modal sosial para PKL etnis Jawa dalam penelitian ini diklasifikasikan ke dalam tiga aspek, yakni struktural, relasional, dan kognitif. a. Aspek Struktural Pola hubungan antar anggota jaringan dalam sebuah organisasi disebut aspek struktural. Untuk mengetahui bagaimana modal sosial yang terjadi dalam hal ini dapat dilihat dari konfigurasi, hirarki, dan sebagainya. 1. Modal Sosial Hubungan Struktural Hubungan struktural antara “atasan” dan “bawahan” merupakan modal sosial yang sangat potensial. Dalam kultur masyarakat Jawa, memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap orang yang dianggap di atasnya. Pembahasan tentang modal sosial hubungan struktural, diulas dari informan utama yakni Pak Sukmono. Kedudukan Pak Sukmono dalam paguyuban adalah sebagai Ketua Forum Komunikasi (Forkom) PKL yang membawahi paguyuban-paguyuban PKL etnis Jawa yang berada di daerah Nagoya Kota Batam. Sebagai representasi organisasi, Sukmono dihormati dan selalu dimintai pertimbangan jika ada anggotanya yang punya masalah, meski tidak semua masalah bisa diatasinya. Dalam bidang sosial, Sukmono bertindak menjadi wakil organisasi dalam negosiasi dengan pemerintah, diberi kesempatan untuk
100
Modal Sosial Para Pedagang Kaki Lima Etnis Jawa Studi di Daerah Nagoya Kota Batam
ada di depan dalam musyawarah-musyawarah, dan mendapat sejumlah hak ekonomis. Tentunya kedudukan sebagai ketua paguyuban ini bisa dikatakan sebagai sebuah modal sosial, karena tidak semua orang memiliki hak tersebut. Menurut Pak Sukmono, hubungan ketua paguyuban dan anggota dalam komunitas PKL etnis Jawa kadang dibutuhkan seperti seorang koordinator yang hanya mengkoordinir tanpa memiliki kekuasaan memutuskan, teman curhat, namun kadang juga dibutuhkan hubungan seperti ayah-anak yang melindungi dan mengarahkan. Kedua jenis hubungan ini merupakan kekuatan yang memungkinkannya bertindak lebih baik ketimbang anggota lain yang tidak aktif. Tidak jarang, modal sosial ini dengan mudah diterjemahkan menjadi keuntungan bisnis oleh Pak Sukmono. Peluang dan kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Sukmono, diperoleh dari legal rasional. Artinya ia dipilih oleh warganya berdasarkan kepentingan, bahwa Sukmono dianggap mampu mengartikulasikan kepentingan mereka kepada pihak lain yang menjadi mitra atau ‘lawan’ para PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam. Contoh lain tentang modal sosial hubungan struktural adalah hubungan juragan dengan karyawan yang terjadi pada PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam. Juragan menempati struktur yang lebih tinggi dibanding dengan karyawan. Juragan menikmati kehormatan struktural ini. Keterampilan komunikasi seorang juragan membawa pengaruh baik yang positif, produktif, dan edukatif pada semua karyawan. Rasa hormat dan kepercayaan karyawan pada kepemimpinan juragan membawa dampak sikap tanggung jawab dan usaha untuk terus belajar menjadi lebih profesional, sehingga lebih menguntungkan secara ekonomi maupun sosial. Hal ini menjadi modal sosial yang luar biasa bagi seorang juragan bisnis informal. Masyarakat etnis Jawa senantiasa mem-
pertahankan prinsip kerukunan, prinsip hormat dan etika keselarasan. Sehingga dalam interaksi konflik-konflik terbuka harus dicegah dan dalam setiap situasi semua fihak yang bertanggung jawab harus diakui melalui sikapsikap hormat yang tepat. Prinsip-prinsip ini dibawa setiap PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam dalam kehidupan sosialnya. 2. Hubungan dengan Paguyuban, Koperasi dan Pemerintah Keberadaan organisasi/paguyuban PKL etnis Jawa sangat diperlukan di daerah Nagoya Kota Batam, mengingat luasnya areal usaha dan banyaknya PKL yang mencari penghidupan di daerah tersebut. Organisasi tersebut sekaligus dilibatkan untuk ikut menciptakan ketertiban dan keamanan di daerah Nagoya. Selain itu, anggotanya sangat diuntungkan dengan keberadaan paguyuban ini. Solidaritas dan kekompakan antar anggota PKL etnis Jawa merupakan modal sosial yang mempermudah pemahaman dalam rangka mencari kesamaan visi dan membela kepentingan bersama. Apabila dalam melihat masalah dengan cara pandang berbeda atau bahkan ada kepentingan yang berbeda, maka konflik tidak akan selesai. Sumber modal PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam didapat dari pinjaman perorangan atau lembaga yang tidak resmi. Atau bersumber dari supplier yang memasok barang dagangan kepada PKLetnis Jawa tersebut. Sedangkan sumber dana yang berasal dari tabungan sendiri sangat sedikit. Ini berarti hanya sedikit dari mereka yang dapat menyisihkan hasil usahanya. Kondisi seperti ini mudah dipahami karena rendahnya tingkat keuntungan PKL etnis Jawa dan cara pengelolaan uangnyapun sangat sederhana, dan tidak terpisah dengan keuangan rumah tangga. Menurut catatan di pemerintah Kota Batam, perkembangan koperasi PKL ini belum menggembirakan. Terdapat 15 Koperasi PKL yang aktif di akhir tahun 2009. Modal sosial
Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 93-106
PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam akan semakin kuat seiring dengan penguatan paguyuban-paguyuban ini. b. Aspek Relasional Modal sosial yang bersifat relasional merujuk kepada sifat hubungan yang menentukan perilaku anggota jaringan. Setiap anggota paguyuban yang pandai menjaga hubungan akan mudah pula mendapatkan rasa hormat dan penghargaan, yang pada gilirannya menambah tinggi nilai modal sosial yang dimilikinya. 1. Hubungan Antar Pedagang Kaki Lima di Lingkungan Tempat Usaha. PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam sangat membantu kepentingan masyarakat dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja secara mandiri atau menjadi safety belt bagi tenaga kerja yang memasuki pasar kerja, selain untuk menyediakan kebutuhan masyarakat golongan menengah ke bawah. Dalam hal lokasi, antar PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam memiliki sistem yang telah berjalan dan disepakati mereka, bahwa pedagang baru tidak akan mengambil lokasi yang berdekatan dengan pedagang lain. Ia harus mengambil posisi dan segmen pasar tersendiri. PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam menyebar ke titik-titik yang lebih merata. Maka jarang dijumpai sekumpulan PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam yang memiliki produk jualan hampir sama yang lokasinya berdekatan. Dalam penelitian ini, khususnya pada PKL Pecel Lele etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam, dijumpai adanya hubungan yang kurang harmonis antara mantan anak buah/ karyawan dengan bekas juragannya. Antar juragan PKL Pecel Lele etnis Jawa cenderung memiliki hubungan yang harmonis. Selain itu, dijumpai dalam penelitian ini adalah upaya spesifikasi sejumlah PKL Pecel Lele etnis Jawa
101 dari kota tertentu. Tujuannya adalah agar memudahkan pembeli mengidentifikasi asal dan selera masakan yang dijual. Yang sangat kentara adalah para PKL asal Lamongan Jawa Timur, yang jelas sekali dalam mendesain spanduk dengan warna terang dan gambar menu yang berkualitas bagus. 2. Hubungan Antar Pedagang Kaki Lima di Lingkungan Tempat Tinggal. Jaringan hubungan sosial PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam merupakan sebuah sumberdaya yang dapat digunakan untuk harmonisasi dan pelaksanaan kegiatan sehari-hari. Setiap anggota jejaring dianggap memiliki “modal” imajiner yang memiliki kekuatan. Seorang anggota PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam yang sakit, ia akan dikunjungi dan mendapat bantuan dana sosial dari mekanisme kelompok itu yang telah diatur dan disepakati bersama. Sebagai contoh adalah keluarga Ny. Kuncoro asal Blitar Jawa Timur anggota paguyuban PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam. Mereka tinggal di kompleks kumuh pinggiran kota. Di sana tinggal sejumlah keluarga lain dengan nasib ekonomi yang hampir sama. Pada tahun 2009, ia terkena serangan kanker payudara yang ganas. Perlahan namun pasti, penyakit tersebut menggerogoti keuangannya, bahkan modal usaha pun terkuras. Namun masih ada yang membuatnya merasa bahagia adalah kunjungan dan bantuan dari tetangga dan sahabat sesama pedagang. Keluarga para PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam rata-rata memiliki etos dan semangat kerja yang tinggi. Mereka memiliki falsafah keteladanan kepada keluarganya bahwa kegetiran hidup yang semakin berat dapat dilalui bila mau bekerja keras, tabah dan sabar. Mereka adalah sosok yang tidak cepat menyerah, realistis dan penuh semangat. Meski beban kehidupan semakin berat, semua dilakoni tanpa banyak mengeluh. Bagi mereka, esok berpeluang memberi kehidupan
102
Modal Sosial Para Pedagang Kaki Lima Etnis Jawa Studi di Daerah Nagoya Kota Batam
lebih baik. Mereka sebenarnya orang-orang yang patuh, sehingga tidak mengeluh saat oknum-oknum tertentu mengutip iuran. 3. Pola-pola Kemitraan. Berbagai bentuk kemitraan, merupakan modal sosial bagi usaha PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam. PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam sesungguhnya dapat dijadikan sebagai mitra kerja bagi pemerintah untuk membangun kesejahteraan warganya. Baik sebagai mitra kerja dalam menertibkan preman, kebersihan kota, keindahan lokasi, maupun dalam peningkatan penerimaan retribusi atau pendapatan asli daerah (PAD). Bahkan lebih jauh dari itu, PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam dapat dijadikan sebagai mitra kerja pemerintah dalam mengurangi kemiskinan, dan mengurangi pengangguran. 4. Ikatan Kekeluargaan. Ikatan kekeluargaan adalah modal sosial yang tak ternilai harganya. Bagi seorang PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam, kedatangan jaringan keluarga baru ini dianggap sebagai rekrutmen tenaga kerja. Mereka juga diuntungkan, setidaknya untuk mendapatkan tenaga kerja yang jelas asal-usulnya, dapat dipercaya tentang kejujurannya serta dalam rangka membantu keluarga. Sedangkan keterampilan bekerja akan ditraining langsung di lapangan. Dalam keluarga Jawa memiliki penilaian cenderung negatif terhadap orang-orang lain etnis. Penilaian tersebut biasanya disebabkan oleh adanya ethnocentrism (etnosentrisme). Oleh karena itu, merekrut tenaga kerja dari anggota keluarga, atau dari sesama orang Jawa, bagi PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam akan lebih menjamin keyakinan dan kelangsungan usahanya. Komunalisme orang Jawa tidak hanya terletak pada kuatnya ikatan kekerabatan ataupun kesukuan, namun juga pada asal kampung halaman atau asal
daerah (lokasi). 5. Jaringan Sosial dengan Daerah Asal. Penelitian ini selanjutnya menemukan jaringan sosial desa (tempat asal-usul keluarga) dengan kota (tempat berusaha) masih terdapat simbiosis mutualisme. Selain pola rekrutmen, juga ditemukan banyak PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam terus berhubungan secara intensif dengan desa asal-usulnya, baik secara ekonomis maupun nonekonomis. Satu contoh adalah keluarga Bapak Wardi dari Klaten Jawa Tengah. Wardi merantau ke Batam sejak tahun 1999. Ia memiliki beberapa warung tenda bakmi yang salah satunya di selatan Hotel Bahari, Nagoya. Meski sudah memiliki rumah sendiri di Perumahan Nagoya Indah, Wardi tetap memiliki keinginan untuk suatu ketika pulang ke kampung halamannya di desa Gajihan, Jatinom, Klaten. Di sana ia sudah membangun rumah untuk masa pensiunnya. Pada saat penelitian ini dilangsungkan, Wardi bahkan sedang akan membantu pernikahan adik bungsunya di Klaten. Ilustrasi kehidupan keluarga Wardi dan usaha bakminya ini membuktikan adanya jaringan sosial desa-kota, yang menjadi salah satu contoh bentuk modal sosial para PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam.
c. Aspek Kognitif Aspek kognitif mengacu kepada berbagai sumberdaya yang menyediakan simbol komunikasi, cara interpretasi, dan sistem artian yang dipakai bersama oleh anggota jaringan. 1. Trust Sebagai Modal Sosial Kognitif. Modal sosial kognitif yang sangat utama dalam sebuah pergaulan sosial di masyarakat PKL adalah rasa saling percaya. Apalagi dalam komunitas perantauan Jawa di daerah Nagoya Kota Batam. Itulah salah satu sebabnya mengapa para perantau ini memilih tinggal dalam komunitas yang memiliki banyak kesamaan identitas, seperti kesamaan suku,
Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 93-106
budaya, tingkat ekonomi, jenis usaha dan keahlian. Semakin tinggi derajat homogenitas, semakin tinggi pula tingkat kepercayaan atau trust yang terbangun sebagai modal sosial bersama-sama. Paling tidak, terdapat lima fungsi penting kepercayaan dalam hubungan-hubungan sosial-kemasyarakatan PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam, yakni: a. Fungsi integrasi sosial. Artinya proses sosial asosiatif dimana kepercayaan publik menjadi dasar terjalinnya hubungan-hubungan antar anggota tanpa dilatarbelakangi rasa saling curiga. Selanjutnya, semangat kerjasama akan mendorong integrasi sosial yang tinggi. b. Fungsi ketertiban sosial. Kepercayaan publik berfungsi sebagai inducing behavior setiap individu, yang ikut menciptakan suasana kedamaian dan meredam kemungkinan timbulnya kekacauan sosial. Dengan demikian, kepercayaan membantu menciptakan tatanan sosial yang teratur, tertib dan beradab. c. Fungsi pemelihara kohesivitas sosial. Kepercayaan publik membantu merekatkan setiap komponen sosial yang hidup dalam sebuah komunitas menjadi kesatuan yang tidak tercerai-berai. d. Fungsi praktis. Kepercayaan publik membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja pribadi dan lembaga sosial. Pekerjaan menjadi lebih sederhana itu dapat mengurangi biaya-biaya transaksi yang bisa jadi akan sangat mahal sekiranya pola hubungan sosial dibentuk atas dasar moralitas ketidakpercayaan. e. Kepercayaan meningkatkan sikap positif individu. Sikap ini akan mendorong keyakinan orang dalam mengambil keputusan. Sikap positif akan menularkan energi positif secara psikologis. Dalam waktu yang sama, orang lain juga akan berkeyakinan sama atas tindakan sosial tersebut, sehingga tindakan itu mendapatkan legitimasi
103 kolektif. 2. Agama Meningkatkan Trust Building. Tidak bisa dipungkiri, kehidupan beragama merupakan modal sosial penting, juga bagi para PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam. Kehidupan yang agamis diakui lebih menjanjikan kesejahteraan lahir batin dibanding kehidupan ateis. Agama (apapun) menjadikan setiap pemeluknya sebuah kekuatan spiritual dan religi yang mampu mengangkat beban berat kehidupan menjadi ringan. Nilainilai ibadah, keikhlasan, amal dan keadilan Tuhan menjadi penyeimbang tatanan sosial yang mungkin tidak berpihak kepada mereka. Nilai-nilai keagamaan juga menjadi landasan tumbuhnya rasa saling percaya dan ikhlas dalam kegiatan sosial ekonomi sehari-hari. Artinya, para pemeluk agama mempunyai modal sosial yang merupakan kekuatan rohani yang tersembunyi namun nyata dalam aplikasi kehidupan. Dalam hubungan sosial dan struktur sosial, para PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam berpegang teguh kepada agama mereka, memiliki trust sebagai modal sosial religius. Kehidupan beragama para PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam telah menanamkan dan menumbuhkan kepercayaan pada beragam aras. Pada aras individu, di sini kepercayaan terbentuk bila seseorang dapat memenuhi janji yang diharapkan orang lain. Artinya, kepercayaan merupakan bagian tak terpisahkan dari moralitas dan adab yang secara berkesinambungan akan dibaca sebagai track record seseorang. Track record ini merupakan modal sosial yang tak ternilai harganya. F. Penutup a. Kesimpulan Di tengah kesulitan ekonomi di tanah air, para pedagang kaki lima (PKL) etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam sebagai kelas ekonomi menengah ke bawah tampak lebih
104
Modal Sosial Para Pedagang Kaki Lima Etnis Jawa Studi di Daerah Nagoya Kota Batam
tegar dan stabil. Kemampuan bertahan hidup para PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam menarik untuk diteliti. Bagaimana bentuk modal sosial yang dimiliki para PKL etnis Jawa di daerah Nagoya Kota Batam, dalam mendukung kegiatan usahanya? Demikianlah pertanyaan penelitian yang dikaji dalam tulisan ini. Dengan melihat pandangan dan gagasan para ahli mengenai modal sosial, definisi dan aspek-aspeknya, penelitian ini menemukan ada hubungan erat antara modal sosial dengan kegiatan usaha mereka. Modal sosial yang mereka miliki mendukung kegiatan usaha terutama dalam hal bertahan terhadap berbagai goncangan krisis. Terdapat tiga aspek modal sosial, yakni struktural, relasional dan kognitif. Dalam aspek struktural, penelitian ini menemukan hubungan struktural antar anggota dengan paguyuban ternyata merupakan kekuatan yang penting sebagai basis kehidupan sehari-hari para PKL etnis Jawa. Setiap PKL etnis Jawa terhubung secara struktural dengan paguyuban, pemerintah dan organisasi lain. Hubungan ini memberi manfaat secara sosial dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari maupun kegiatan usaha. Apalagi bagi PKL etnis Jawa yang sejak asal-usulnya masih lekat dengan strata sosial yang dibentuk oleh tata krama dan kebahasaan. Dalam aspek relasional, penelitian ini menemukan hubungan antar PKL etnis Jawa, pola kehidupan di lingkungan tempat usaha dan tempat tinggal, adanya kemitraan, ikatan kekeluargaan dan jaringan sosial dengan daerah asal yang membuat semangat hidup dan gairah bisnis mereka terus terjaga. Walaupun dijumpai pada PKL Pecel Lele etnis Jawa adanya hubungan yang kurang harmonis antara mantan anak buah/karyawan dengan bekas juragannya. Akan tetapi, antar juragan PKL Pecel Lele etnis Jawa cenderung memiliki hubungan yang harmonis. Dalam aspek kognitif, kepercayaan atau trust menjadi faktor kunci sebagai modal sosial
dalam hubungannya dengan keseimbangan jasmani rohani, kehidupan lahir batin setiap individu. Argumennya, rasa saling percaya antar warga masyarakat dan kemauan untuk bekerjasama menyebabkan “biaya transaksi” dan “biaya kontrol” menjadi rendah, dan hasilnya adalah kehidupan yang lebih efisien dan produktif. Dengan demikian, sumber daya yang ada, dapat dioptimalkan untuk melakukan kegiatan yang membangun nilai tambah bagi kehidupan masyarakatnya.
b. Saran Modal sosial PKL, bersama-sama dengan berbagai bentuk modal ekonomi lainnya seperti uang, modal fisikal seperti tanah dan mesinmesin, keterampilan dan kemampuan atau human capital, serta modal lingkunganekologis perlu diberdayakan. Pemberdayaan itu dilakukan dengan beberapa langkah. Pertama, meningkatkan modal sosial kognitif yakni dengan edukasi soal aturan hukum dan kesadaran keagamaan. Dalam konteks ini, jangan ada sikap rancu dan premanisme. Jika kebijakannya ambigu, di satu sisi dibubarkan, di sisi lain diminta setoran, maka selama itu PKL akan ada. Penderitaan PKL adalah wajah kebobrokan oknum aparat keamanan dan ketertiban negara. Dalam edukasi dan pembinaan keagamaan, sebaiknya dilakukan kerjasama dengan organisasi keagamaan yang dekat dengan wilayah tersebut. Kedua, PKL harus diorganisir dalam paguyuban-paguyuban. Paguyuban merupakan modal sosial relasional yang menjadi kekuatan sosial baru bagi PKL. Kepentingan diorganisir adalah agar keanggotaannya terkontrol dan tidak terjadi hukum rimba. Kritik yang pantas didengar adalah, pengorganisasian itu lebih untuk kepentingan memungut retribusi dibandingkan pembinaan. Ketiga, di setiap wilayah perlu didirikan koperasi sebagai lembaga yang menaungi para anggota PKL yang telah diorganisir itu.
Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 93-106
Naungan ini merupakan modal sosial yang sangat penting melindungi kepentingan dan kesejahteraan PKL. Keempat, PKL diarahkan ke lokasi yang tepat dan tidak mengganggu ketertiban umum, bahkan dapat diberdayakan menjadi duta pariwisata kota. PKL yang dilokalisir di daerah tertentu, dengan keunikannya yang khas, akan bisa menjadi primadona pariwisata. Pelaku PKL sendiri akan bangga dan merasa diakui oleh warga kota serta pemerintah, sehingga dengan sendirinya akan berbenah menjadi lebih baik dalam kualitas layanan. Hal ini bukan saja merupakan modal sosial PKL, melainkan juga modal sosial sebuah kota yang akan menjadi salah satu brand image yang positif bagi kota itu. Kelima, edukasi dan pembinaan secara terus-menerus harus diarahkan untuk menaikkelaskan kelas PKL dan meningkatkan modal sosial mereka. Berbagai pelatihan bidang administrasi dan akses ke perbankan harus dilakukan. Pemerintah dan lembaga terkait penting untuk proaktif mendata dan mem-
105 bimbing para anggota paguyuban PKL agar mampu mengelola usaha dengan baik, mandiri dan terus berkembang. Keenam, tanggung jawab kemitraan pemerintah Kota Batam sangat diperlukan. Pemkot Batam harus melihat PKL sebagai mitra, aset ekonomi, warga negara dengan kelas yang sejajar, dan menghindari tindakan represif semaksimal mungkin. Memandang PKL sebagai pengganggu ketertiban adalah cara pandang yang angkuh, ambigu dan di balik itu adalah pemerasan. Pemkot menganjurkan dan memberi tempat para PKL di lokasi yang strategis dan memang selama ini banyak pembeli yang datang. Komitmen itu harus dibangun oleh kelompok PKL yang diorganisir. Sehingga merekalah yang menjaga agar lokasi usahanya tetap bersih dan tertib secara mandiri. Selama ini, penolakan pemindahan yang dilakukan PKL karena lokasi yang ditawarkan selalu bermasalah. Ini soal moralitas kepemimpinan. Pemerintah, LSM dan warga masyarakat harus berpihak kepada masyarakat secara luas.
106
Modal Sosial Para Pedagang Kaki Lima Etnis Jawa Studi di Daerah Nagoya Kota Batam
Daftar Pustaka
Cohen, D. & Prusak, L, 2001, In Good Company, Boston: Harvard Business School Press. Coleman, James.S, 1990, Foundations of Social Theory, Cambridge: Harvard University Press. Fukuyama, Francis, 1995, Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, London: Hamish Hamilton. Kusnadi, 2000, Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press. Lee, Everret, 2000, Teori Migrasi, Yogyakarta: Kependudukan UGM. Moleong, Lexy, 2007, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Rosda Karya. Mustafa, Ali Achsan, 2008, Model Transformasi Sosial Sektor Informal: Sejarah, Teori dan Praksis Pedagang Kaki Lima, Malang,
Inspire. Putnam, Robert, 1995, “Bowling Alone: America’s Declining Social Capital”, Dalam Journal of Democracy, Vol 6 No. 1. Sethuraman, 1981, The Urban Informal Sector in Developing Countries; Employment, Poverty and Environment, Geneva: International Labour Office (ILO). Sobary, Mohamad, 1986, “Orang Jawa di Tanjung Pinang: Potret Tiga Keluarga Tukang Ojek, Jakarta: Jurnal Masyarakat Indonesia, No. 1 Tahun 1986. Jakarta: LIPI. Suseno, Magnis, 1985, Etika Jawa, Jakarta, Gramedia. ONLINE Suryanto. 2009. Modal Sosial Pedagang Kaki Lima, http://suryanto.blog.unair.ac.id/