ANALISIS HUKUM KLAUSUL PERJANJIAN KREDIT BANK DI BAWAH TANGAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENYELESAIAN UTANG DEBITUR YANG WANPRESTASI PADA BANK PERKREDITAN RAKYAT YEKTI INSAN SEMBADA BOYOYALI KABUPATEN BOYOLALI JAWA TENGAH
NASKAH PUBLIKASI
Oleh NURHAYATI RIKA DELIANA SITANGGANG 077011081/MKn
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Nurhayati Rika Deliana Sitanggang : Analisis Hukum Klausul Perjanjian Kredit Bank Di Bawah Tangan Dalam Hubungannya Dengan Penyelesaian Utang Debitur Yang Wanprestasi Pada Bank Perkreditan Rakyat Yekti Insan Sembada Boyoyali Kabupaten Boyolali Jawa Tengah, 2009
ANALISIS HUKUM KLAUSUL PERJANJIAN KREDIT BANK DI BAWAH TANGAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENYELESAIAN UTANG DEBITUR YANG WANPRESTASI PADA BANK PERKREDITAN RAKYAT YEKTI INSAN SEMBADA BOYOYALI KABUPATEN BOYOLALI JAWA TENGAH
NASKAH PUBLIKASI
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Magister Kenotariatan Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh NURHAYATI RIKA DELIANA SITANGGANG 077011081/MKn
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Telah Diuji Pada hari/tanggal : Kamis, 15 Oktober 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Anggota :
Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 1. Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS 2. Notaris Syahril Sofyan, SH, M.Kn 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, C.N, M.Hum 4. Notaris Hj. Chairani Bustami Jusuf, SH, SpN, M.Kn
ABSTRAK Perjanjian Kredit Bank dalam bentuk tertulis di bawah tangan dengan menggunakan jaminan hak tanggungan, dewasa ini, sering dilakukan dalam praktek pemberian kredit oleh pihak bank selaku kreditur kepada bank nasabah peminjam (debitur). Pada umumnya perjanjian kredit di bawah tangan dalam bentuk tertulis dengan menggunakan jaminan hak tanggungan telah ditentukan terlebih dahulu format dan bentuknya dalam suatu formulir permohonan kredit, dimana klausul dari perjanjian kredit tersebut cenderung lebih menguntungkan pihak bank (kreditur), nasabah peminjam (debitur) hanya mempunyai dua kemungkinan pilihan yaitu menyetujui atau menolak perjanjian kredit bank tersebut. Penelitian ini bersifat analisis deskriptif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma yang terdapat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai penelitian normatif yang berawal dari premis umum dan berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Pengumpulan data diperoleh dari bahan hukum primer yang terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hukum perjanjian kredit dalam bidang perbankan. Bahan hukum sekunder yang terdiri dari hasil-hasil penelitian, laporan-laporan artikel, hasilhasil seminar, pertemuan ilmiah, putusan Pengadilan Negeri Boyolali yang semuanya relevan dengan penelitian ini. Bahan hukum tertier yang terdiri dari Kamus Umum, Kamus Hukum, Majalah dan Jurnal Ilmiah. Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung dengan penelitian lapangan yang berupa wawancara langsung dengan pimpinan Bank Perkreditan Rakyat Yekti Insan Sembada dan juga para nasabah peminjam (debitur) yang dalam penelitian ini memiliki kapasitas sebagai informan dan narasumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terhadap perjanjian kredit bank dalam bentuk tertulis di bawah tangan dengan menggunakan jaminan hak tanggungan. Banyak terdapat penyimpangan baik dari segi prosedur hukum maupun administrasi bila merujuk pada peraturan perundang-undangan pemberian kredit dibidang perbankan. Di samping itu penyimpangan lainnya yang ditemukan adalah ketidakjelasan merumuskan tanggal pembayaran setiap bulan, cara angsuran pembayaran utang dan biaya administrasi penyimpangan lainnya yang ditemukan adalah tidak adanya tanda tangan saksi dan juga ketidakjelasan perbedaan antara peminjam dan penjamin serta siapa yang memberikan persetujuan pinjaman. Hal ini berdampak kepada ketidakpastian hukum dan lemahnya pembuktian bila terjadi masalah tunggakan (wanprestasi) pembayaran dikemudian hari. Pada praktek pelaksanaan pemberian kredit oleh Bank Perkreditan Rakyat Yekti Insan Sembada kepada para nasabah peminjam (debitur) ternyata menimbulkan masalah tunggakan (wanprestasi) pembayaran dikemudian hari, sehingga kreditur memilih menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Boyolali dalam penyelesaian hukum negara. Namun putusan Pengadilan Negeri Boyolali dalam kasus wanprestasi pembayaran tersebut ternyata hanya menerima gugatan penggugat untuk sebahagian saja dan menolak gugatan selebihnya yang diajukan akibat lemahnya dalil gugatan yang diajukan penggugat. Kata Kunci : Klausul Perjanjian Kredit, Wanprestasi, Hak Tanggungan.
i
ABSTRACT Bank underhanded credit agreement in written form using securities right insurance, recently is frequentlyused in extension of credit by the bank as a creditor to a custumer bank (debtor). Generally the form and contents of underhanded credit agreement in written form using securities right insurance had been determinedbefore as a credit application form, where the clauses in that credit agreement are tend to exceptionally beneficial the bank party (creditor).The customer (debtor) are only has two options that are agreed or disagreed that bank credit agreement. This research is analysis descriptive, by using juridical normative approach, that the research is refers to the norms of law that are found in valid law in regulation as normative foundation, begun from general premise and deliver to the specific concludion. Data is collected from primer law substances that consist of credit agreement rules. Secondary law substances consist of results of researches, reports, articled, seminary conclusions or other science discussions, Boyolali’s Court Decisions which relevant with this research. As supporting data, field research in form of interview with the manager of Bank Perkreditan Rakyat Yekti Insan Sembada and also with the debtors which in this research the capacity as information source. The result of research reveals that the underhanded credit agreement in written form using securities right insur and theance, has many of deviations in law procedures also administration if its refers to the regulation of exetension of credit of banking field. Another deviation that are found are about the unclearly in determine of payment detaline every months, process of paying installments of debt and the other administration deviation cost that is found that there are no witnesses sign unclearly difference between the borrower and guareantor and whose giving the loan approval. Those will affect to the uncertainly of law and the weak of authentication whenever the delinquent payments occur. In the practice the exetension of credit by PT. Bank Perkreditan Rakyat Yekti Insan Sembada to the debtor custumers finally lead to the delinquent payments problems, therefore the creditor uses the law path by submitted the suit to Boyolali Court of first instance. But the court of first instance decision in that case of delinquents payment only accept a part of the suit of plaintiff and rejected the rest of suit that was submitted because of the weakness of suit argumentation that was submitted by the plaintiff. Keywords : Credit Agreement Clause, Infraction, Securities Right
ii
KATA PENGANTAR Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayahNya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul “Analisis Hukum Klausul Perjanjian Kredit Bank Dalam Hubungannya Dengan Penyelesaian Utang Debitur Pada Bank Perkreditan Rakyat Yekti Insan Sembada Boyolali Kabupaten Boyolali Jawa Tengah”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pasca Sarjana di Universitas Sumatera Utara. Dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Pimpinan PT. Bank Perkreditan Rakyat Yekti Insan Sembada Boyolali, dan Ketua Pengadilan Negeri Boyolali yang telah memberikan tempat penelitian tesis bagi penulis, sehingga penulis dapat melaksanakan Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pasca Sarjana di Universitas Sumatera Utara. 2. Rektor Universitas Sumatera Utara yang dijabat oleh Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, D.TM, & H, Sp.A (K), atas kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Kenotariatan pada Sekolah Pasca Sarjana di Universitas Sumatera Utara. 3. Dekan Fakultas Hukum Program Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana di Sumatera Utara, yang dijabat oleh Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Kenotariatan pada Sekolah Pasca Sarjana di Universitas Sumatera Utara. 4. Ketua Program Magister Kenotariatan pada Sekolah Pasca Sarjana di Universitas Sumatera Utara yang dijabat oleh Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, S.H., M.S., C.N, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Kenotariatan pada Sekolah Pasca Sarjana di Universitas Sumatera Utara. 5. Sekretaris Program Magister Kenotariatan pada Sekolah Pasca Sarjana di Universitas Sumatera Utara, yang dijabat oleh Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M. Hum, C.N, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Kenotariatan pada Sekolah Pasca Sarjana di Universitas Sumatera Utara. 6. Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, S.H., M.S., C.N., selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, bimbingan, saran dan nasehat kepada penulis dalam penulisan tesis ini. 7. Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, bimbingan, saran dan nasehat kepada penulis dalam penulisan tesis ini. 8. Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, bimbingan, saran dan nasehat kepada penulis dalam penulisan tesis ini.
iii
9. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M. Hum., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan, kritikan yang membangun kepada penulis. 10. Notaris Hajjah Chairani Bustami Jusuf, S.H., S.pN, M.Kn., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan, serta kritikan yang membangun kepada penulis. 11. Ibu Fatimah, S.H., Mbak Sari, Mbak Winda, Mbak Lisa, Mbak Afni, Mas Adi, Mas Rizal, dan lain-lain, selaku Staf dan Pegawai Program Magister Kenotariatan pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis dalam penulisan tesis ini dari awal sehingga selesai. 12. Ibunda D. Boru Sitohang dan Ayahanda Dj. Sitanggang, penulis menghaturkan sembah, sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga yang telah bersusah payah melahirkan, membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran, ketulusan dan kasih sayang, serta memberikan doa restu, sehingga penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan Strata Dua (S-2) Program Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana di Universitas Sumatera Utara. 13. Mertuaku A. Tampubolon dan T. Boru Panjaitan dan semua ipar-iparku, penulis juga mengucapkan terima kasih tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah Strata Dua (S-2). 14. Rommel F. Tampubolon, S.H., Ayah dari anak-anakku Benny Ferdinandus Tampubolon, Valentino Lincholn Tampubolon, Angelina Ferron Tampubolon, penulis secara khusus menghaturkan terima kasih tak terhingga kepada yang dengan penuh kesabaran dan kasih sayangnya, serta doa, semangat dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah Strata Dua (S-2). 15. Buat semua Adek-adekku, penulis juga mengucapkan terima kasih yang dengan penuh kesabaran, kasih sayang, doa dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah Strata Dua (S-2). 16. Rekan-rekan serta kawan-kawanku yang namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selalu memberikan semangat, memberikan dorongan, bantuan pikiran serta mengingatkan penulis dikala lupa untuk menyelesaikan penulisan tesis ini dalam rangka menyelesaikan studi Strata Dua (S-2). Penulis berharap semoga semua bantuan, perhatian, kebaikan dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis mendapat rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan, dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.Amin. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama kepada pihak yang menggembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang Ilmu Kenotariatan. Medan, Oktober 2009 Penulis Nurhayati Rika Deliana Sitanggang iv
RIWAYAT HIDUP
I.
II.
Identitas Pribadi Nama Tempat/Tanggal Lahir Jenis Kelamin Status Agama Pekerjaan Alamat
Identitas Keluarga Nama Suami Nama Anak
Nama Orang Tua Nama Ayah Nama Ibu
III.
: Nurhayati Rika Deliana Sitanggang : P. Berandan, 8 November 1972 : Perempuan : Sudah Menikah : Katholik : Wiraswasta : Perumahan Griya Budi Luhur Jl. Budi Luhur Gg. Rukun No. 12 Sei Siskambing Medan
: Rommel Franciskus Tampubolon, SH : 1. Benny Ferdinandus Tampubolon 2. Valentino Lincholn Tampubolon 3. Angelina Ferron Tampubolon
: Djagunung Sitanggang : Diorni Boru Sitohang
Pendidikan 1. TK Perguruan Katholik Mariana Medan (1978-1979) 2. SD Perguruan Katholik Mariana Medan (1979-1985) 3. SMP Perguruan Katholik Mariana Medan (1985-1988) 4. SMA Santo Thomas 3 Medan (1988-1991) 5. S-1 Fakultas Hukum Universitas Katholik Medan (1991-1998) 6. S-2 Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pasca SarjanaUniversitas Sumatera Utara (2007-2009)
v
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ....................................................................................................... i ABSTRACT ...................................................................................................... ii KATA PENGANTAR...................................................................................... iii RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... v DAFTAR ISI ................................................................................................. vi BAB I : PENDAHULUAN ......................................................................... 1 A. Latar Belakang ....................................................................... 1 B. Permasalahan ......................................................................... 4 C. Tujuan Penelitian ................................................................... 4 D. Manfaat Penelitian .................................................................. 4 E. Keaslian Penelitian .................................................................. 5 F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ................................................. 5 1. Kerangka Teori................................................................... 5 2. Konsepsi ............................................................................ 12 G. Metode Penelitian ..................................................................... 14 1. Spesifikasi Penelitian ............................................................. 14 2. Lokasi Penelitian .................................................................... 14 3. Populasi Penelitian ................................................................. 15 4. Sample Penelitian ................................................................... 15 5. Sumber Data ........................................................................... 15 6. Alat Pengumpul Data .............................................................. 16 7. Analisis Data ........................................................................... 16 BAB II : KLAUSUL PERJANJIAN KREDIT BANK DI BAWAH TANGAN ................................................................... 16 A. Istilah Dan Pengertian Perikatan................................................... 16 B. Syarat-Syarat Perjanjian Pada Umumnya..................................... 17 C. Unsur-Unsur Perjanjian............................................................... 19 D. Objek Perikatan Dan Perjanjian.................................................. 20 E. Pengertian Wanprestasi Dan Akibat Hukumnya ......................... 20 F. Istilah Dan Pengertian Kredit ..................................................... 21 G. Pengertian Perjanjian Kredit Bank.............................................. 22 H. Jenis-Jenis Atau Bentuk-Bentuk Perjanjian Kredit Bank............ 24 1. Perjanjian Kredit Bank Di Bawah Tangan............................. 24 2. Perjanjian Kredit Bank Secara Otentik (Notaril).................... 25 I. Fungsi Perjanjian Kredit Bank...................................................... 25 J. Isi Dan Klausul Perjanjian Kredit Bank....................................... 26 BAB III : HUBUNGAN JAMINAN KREDIT BANK DENGAN HAK DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK DI BAWAH TANGAN 30 A. Pengertian Jaminan Kredit Bank................................................ 30 B. Fungsi Jaminan Kredit Bank ...................................................... 31
vi
C. Kegunaan Jaminan Kredit Bank................................................. D. Jenis-Jenis Jaminan Kredit Bank ............................................... E. Pengertian Hak Tanggungan ...................................................... F. Pengertian Surat Kuasa. .............................................................. G. Hubungan Jaminan Kredit denganHakTanggungan................... BAB IV : UPAYA YANG DILAKUKAN BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM PENYELESAIAN UTANG DEBITUR YANG WANPRESTASI............................................................... A. Akibat Hukum Klausul Perjanjian Kredit Di Bawah Tangan........................................................................ B. Upaya Hukum Yang Dilakukan Bank Perkreditan Rakyat Terhadap Perjanjian Kredit Bank Di Bawah Tangan Dalam Penyelesaian Utang Debitur Yang Wanprestasi.............. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... A. Kesimpulan .............................................................................. B. Saran.......................................................................................... DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
vii
31 31 32 34 35
36 36
37 39 39 40 42
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga perkreditan di Indonesia mempunyai fungsi sebagai salah satu sarana penunjang suksesnya pembangunan. Fungsi tersebut sesuai dengan rumusan alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa tujuan Negara Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan perdamaian dunia berdasarkan keadilan social. Tujuan ini menjadi sangat penting mengingat sudah menjadi cita-cita bangsa Indonesia sejak negara ini berdiri. Untuk mencapai tujuan memajukan kesejahteraan umum tersebut di atas. Pemerintah Indonesia memberikan kesempatan serta mendorong pihak swasta berperan serta untuk memajukan kesejahteraan umum. Pemerintah Indonesia menyadari pelaku usaha lebih banyak pengusaha kecil, dan menengah. Atas alasan itu pemerintah Indonesia memberikan perhatian dan dorongan kepada pengusaha kecil dan menengah untuk mendapatkan kemudahan modal melalui pemberian pinjaman lunak. Bahkan dalam beberapa kesempatan Presiden Republik Indonesia mengajak dan meminta kepada seluruh perbankan nasional, baik bank pemerintah, maupun bank swasta memberikan kemudahan pemberian pinjaman kepada pengusaha kecil.” 1 PT. BPR YIS sebagai salah satu lembaga penyalur kredit bagi debitur telah banyak memberikan pinjaman kepada debitur di Kabupaten Boyolali, yakni sejumlah Rp.9.768.000.000,- (sembilan milyar tujuh ratus enam puluh delapan juta rupiah), dan dari jumlah kredit macet sejumlah Rp.4.260.000.000,- (empat milyar dua ratus enam puluh juta rupiah).” 2 Berdasarkan data tersebut di atas ada peningkatan penyaluran kredit yang dicairkan PT. BPR YIS bila dibandingkan antara tahun 2006, tahun 2007 dan tahun 2008. Tahun 2006 kredit yang dicairkan sebesar Rp. 3.085.000.000 (tiga milyar delapan puluh lima juta rupiah) dengan 840 (delapan ratus empat puluh) debitur, tahun 2007 kredit yang dicairkan sebesar Rp. 3.258.000.000 (tiga milyar dua ratus lima puluh delapan juta rupiah) dengan 852 (delapan ratus lima puluh dua) debitur. Tahun 2008 kredit yang dicairkan sebesar Rp. 3.425.000.000 (tiga milyar empat ratus dua puluh lima juta rupiah) dengan 912 (sembilan ratus dua belas) debitur. Sedangkan jumlah kredit macet merupakan penggabungan dari penambahan kredit macet dari dari tahun ke tahun, bukan keadaan yang terjadi pada tahun 2006, 2007 dan tahun 2008. Jumlah kredit macet dari PT. BPR YIS dari tahun ke tahun makin bertambah, sedangkan penyelesaian yang berhasil relatif kecil. Data ini diambil dari 1
Http//www.presiden.sby.info/index.php/pidato/2005/12/08/135.html, diakses tanggal 4 September 2009. 2 Sumber Data Primer : Berdasarkan Arsip Keuangan Tentang Kredit dan Kredit Macet Tahun 2006, Tahun 2007 dan Tahun 2008, PT. Bank Perkreditan Rakyat Yekti Insan Sembada Boyolali, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
data primer adalah berupa hasil wawancara dan dihubungkan dengan data sekunder yaitu register perkara gugatan kredit bank yang ada di kantor PN Boyolali tahun 2006, 2007 dan 2008.” 3 Nilai pinjaman yang diberikan kepada pihak debitur nilainya relatif kecil yang antara Rp. 7.000.000,- (tujuh juta rupiah) sampai dengan Rp. 200.000.000,(dua ratus juta rupiah) dengan jangka kredit selama 12 bulan terhitung saat Surat Perjanjian Kredit ini ditanda tangani, besarnya bunga pinjaman sebesar 2.75 % dan denda tunggakan sebesar 4% (empat peresen) pertahun, dan sebagai agunan/jaminan kredit tersebut ditetapkan, yakni sebidang tanah pertanian beserta segala sesuatu yang ada di atasnya yang sekarang telah ada maupun yang dikemudian hari akan ada dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 877 luas kurang lebih 4000m2 yang terletak di Desa Jatiroyo, Kecamatan Jatiruyo, Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah serta harta benda/barang-barang yang telah ada maupun yang dikemudian hari akan ada yang berada di rumah peminjam/debitur. Apabila terjadi keterlambatan angsuran dengan tenggang waktu sampai 1 (satu) hari, maka peminjam/debitur dikenakan denda sebesar 0.25% dari kewajiban angsuran, pokok pinjaman dan bunga pinjaman bunga perhari keterlambatan. Apabila jangka waktu kredit telah berakhir, tetapi peminjam/debitur belum melunasinya, maka dikenakan denda tunggakan sebesar 4 % (empat persen) perbulan. Penentuan nilai pinjaman disesuaikan dengan jenis usaha yang dijalankan oleh debitur yang membutuhkan modal serta prospek usaha yang dijalankannya. Sebelum pemberian pinjaman dikabulkan terlebih dahulu pemohon kredit mengajukan permohonan kredit kepada Pimpinan PT. BPR YIS, kemudian permohonan tersebut diteliti dengan baik, apakah layak menerima pinjaman atau tidak, serta penelitian penyesuaian antara jaminan dengan nilai pinjaman yang dimohonkan. Setelah selesai penelitian permohonan pinjaman dilakukan diakhiri dengan penanda tanganan perjanjian kredit. Kebiasaan yang berlaku pada bank, perjanjian kredit tersebut sudah dibuat dalam bentuk baku. Blanko perjanjian kredit sudah dipersiapkan oleh pihak bank, kemudian pihak bank hanya mengisi identitas diri debitur, nilai pinjaman, jangka waktu kredit, besar bunga, jenis agunan, besarnya nilai denda atas keterlambatan angsuran, besarnya nilai denda apabila jangka waktu kredit berakhir dan pilihan domisili hukum jika terjadi perselisihan. Penanda tanganan perjanjian kredit yang dilakukan PT. BPR YIS dilakukan dengan dua cara. Cara pertama dilakukan di hadapan pihak debitur dan kreditur. Cara Kedua, dilakukan di hadapan pengurus koperasi simpan pinjam, setelah perjanjian kredit ditanda tangani berkas-berkas diserahkan pengurus koperasi simpan pinjam kepada bank. Atas perjanjian kredit yang ditanda-tangani di hadapan pengurus koperasi simpan pinjam, pihak debitur menyatakan tidak kenal dengan pihak bank dan pihak debitur hanya kenal dengan pihak koperasi simpan pinjam, serta debitur tidak meminjam uang dari pihak bank. Atas pernyataan debitur tersebut, pihak bank 3
Sumber Data Sekunder : Berdasarkan Arsip Perkara Kredit Bank Di Pengadilan Negeri Boyolali, Tahun 2006, Tahun 2007 dan Tahun 2008, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
menanggapinya bahwa perjanjian kredit dibuat dan ditanda-tangani di hadapan pengurus bank bukan di hadapan pengurus koperasi. Setelah perjanjian kredit ditanda-tangani, selanjutnya dibuat surat kuasa di bawah tangan. Dalam praktek PT. BPR YIS, perjanjian kredit hanya dibuat dalam bentuk tertulis di bawah tangan tanpa dibuat di hadapan Notaris atau tanpa di legalisasi di hadapan Notaris, padahal tanda tangan para pihak atau salah satu pihak hanya dibubuhi cap jempol. Tujuan dari pembuatan perjanjian kredit bank dalam bentuk tertulis di bawah tangan atau akta otentik untuk menjamin pembuktian adanya perjanjian, jika salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi), menjamin kepastian hukum baik bagi kreditur maupun debitur. Klausul perjanjian kredit yang dibuat oleh pihak bank dengan debitur tidak memenuhi klausul perjanjian seperti diuraikan di atas. Klausul perjanjian yang tidak tercantum antara lain: tenggang waktu pembayaran setiap bulan, mutasi keuangan debitur dan pembukuan bank, pembayaran biaya administrasi, provisi, klausul opeisbaarheid. Di samping itu dalam perjanjian kredit bank tersebut tidak dibedakan antara debitur, isteri/suami sebagai pihak yang memberi persetujuan atas kredit dan penjamin, semuanya dianggap sama sebagai pihak debitur. Praktek lainnya yang menyimpang dari kebiasaan yang berlaku dalam perbankan mengenai pengikatan jaminan utang berupa serifikat hak atas tanah serta benda-benda yang berkaitan dengan tanah hanya diikat dengan perjanjian kredit bank dan surat kuasa menjual yang dibuat di bawah tangan tanpa perjanjian hak tanggungan. Dalam surat kuasa menjual dirumuskan “dengan ini memberi kuasa khusus yang tidak dapat diubah dan ditarik kembali dan tidak menjadi batal karena sebabsebab yang tercantum dalam Pasal 1813 KUH Perdata yang menyebabkan surat kuasa berakhir, kepada Direktur PT. BPR YIS, sehingga dapat menimbulkan multi tafsir kewenangan dari Direktur PT. BPR YIS apakah sebagai pribadi atau bertindak untuk dan atas nama PT. BPR YIS. Perjanjian kuasa itu juga seolah-olah berupa pernyataan dari debitur bukan berupa perjanjian kuasa menjual. Adanya klausul perjanjian kredit, cara penandatanganan perjanjian kredit dan praktek pembuatan perjanjian kuasa menjual sebagaimana diuraikan di atas mempengaruhi peningkatan jumlah debitur yang wanprestasi. Di lain pihak, bank tidak dapat serta merta melakukan pelelangan atas jaminan yang diberikan oleh debitur, serta tidak tertutup kemungkinan pihak debitur akan mengajukan gugatan terhadap kreditur untuk membatalkan perjanjian kredit terutama terhadap perjanjian kredit yang ditanda tangani di hadapan perngurus koperasi simpan pinjam. Upaya terakhir yang dilakukan oleh pihak bank untuk mengembalikan pinjaman debitur yang wanprestasi dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Boyolali setelah terlebih dahulu dilakukan upaya mediasi (perdamaian), negosiasi atau addendum perjanjian kredit. Pengajuan gugatan ini ada yang dilakukan dengan menggabungkan beberapa debitur sebagai tergugat dan ada yang diajukan secara tunggal. Alasan bank mengajukan gugatan secara kumulatif adalah demi efektifnya pemeriksaan perkara, serta mewujudkan asas pemeriksaan perkara
dengan cepat dan biaya ringan.Terhadap gugatan yang diajukan secara gabungan (kumulatif) pengadilan menjatuhkan putusan dengan menyatakan gugatan tidak dapat diterima dengan pertimbangan tidak ada hubungan hukum antara tergugattergugat di mana seharusnya tergugat-tergugat harus digugat secara sendiri-sendiri. Terhadap gugatan yang diajukan terhadap seorang debitur, gugatan hanya dikabulkan untuk sebagian dengan alasan waktu penentuan wanprestasi serta besarnya bunga yang ditentukan pihak kreditur yang tidak sesuai dengan asas kepatutan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka peneliti merumuskan judul penelitian ini sebagai berikut : “Analisis Hukum Klausul Perjanjian Kredit Bank Di Bawah Tangan Dalam Hubungan Dengan Penyelesaian Utang Debitur Yang Wanprestasi Pada Bank Perkreditan Rakyat Yekti Insan Sembada Boyolali Kabupaten Boyolali Jawa Tengah.” B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Bagaimana klausul perjanjian kredit bank di bawah tangan yang dibuat pihak PT. BPR YIS dalam hubungannya dengan penyelesaian utang debitur yang wanprestasi ? 2. Bagaimana hubungan jaminan kredit bank dengan hak tanggungan dalam perjanjian kredit di bawah tangan ? 3. Bagaimana upaya yang dilakukan pihak PT. BPR YIS terhadap penyelesaian utang debitur yang wanprestasi ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan judul dan permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui secara jelas klausul perjanjian kredit bank yang dibuat pihak PT. BPR YIS dengan pihak debitur, apakah sudah dapat menjamin jika debitur wanprestasi. 2. Untuk mengetahui hubungan jaminan kredit bank yang dibuat di bawah tangan dengan hak tanggungan jika debitur wanprestasi. 3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh PT. BPR YIS dalam menyelesaikan utang debitur yang wanprestasi. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai manfaat baik secara praktik maupun secara teoretis, yakni : 1. Secara praktik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan perkreditan bank, khususnya PT. BPR YIS dalam membuat klausul perjanjian kredit dikemudian hari, sehingga dapat lebih menjamin perlindungan hukum bagi pihak perbankan apabila debitur wanprestasi, begitu juga dengan hak-hak debitur yang bermaksud untuk
meminjam uang dari pihak bank sebagai salah satu lembaga pembiayaan yang memberi kredit yang ada ditengah-tengah masyarakat sekarang ini. 2. Secara teoretis, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk sumbang saran untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnya serta perbankan dalam membuat perjanjian kredit bank terhadap debitur. E. Keaslian Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi yang telah ada disediakan oleh pihak citvitas akademika dan penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, penelitian ini dengan judul “Analisis Hukum Klausul Perjanjian Kredit Bank Di Bawah Tangan Dalam Hubungannya Dengan Penyelesaian Utang Debitur Yang Wanprestasi Pada Bank Perkreditan Rakyat Yekti Insan Sembada Boyolali Kabupaten Boyolali”, adalah asli dan belum pernah ada yang meneliti. Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara akademis. F. Kerangka Teori dan Konsepi 1. Kerangka Teori “Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghdapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak-benarannya.” 4 Hans Kellsen terkenal dengan teorinya yang disebut “Reine Rechtslehre” atau “The pure theory of law”. Teori Hans Kellsen merupakan “normwissenchafft ”, dan hanya mau melihat hukum sebagai kaedah yang dijadikan objek ilmu hukum. Beliau mengakui, bahwa hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor politis, sosiologis, filosofis dan seterusnya, akan tetapi yang dikehendaki adalah suatu teori yang murni mengenai hukum.” 5 Fungsi kerangka teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan menjelaskan gejala yang diamati, karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya adalah penelitian ini berusaha untuk memahami analisis hukum klausul perjanjian kredit bank di bawah tangan dalam hubungan dengan penyelesaian utang debitur yang wanprestasi pada bank, sehingga kaidah hukum atau sebagai isi kaedah hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.“ 6 Menurut Pasal 1 angka 2, angka 3, angka 4, Bab I Ketentuan Umum UURI No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UURI No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa yang dimaksud dengan Bank adalah “badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya 4
J.J.M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, 1996), hal. 203-216. 5 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, Universitas Indonesia Press, 2007), hal. 127-128. 6 Maria S. W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, (Yogyakarta, Gramedia, 1989), hal. 12.
kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka mningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Bank Umum adalah “bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.” Bank Perkreditan Rakyat adalah “bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatan usahanya tidak memberikan jasa dalam lalu-lintas pembayaran.” 7 Menurut Pasal 5 UU Perbankan 1992, bahwa jenis Bank terdiri dari : Bank Umum, dan Bank Perkreditan Rakyat.” 8 Berdasarkan uraian tersebut di atas, salah satu bentuk usaha dari pihak perbankan adalah memberikan kredit terhadap pihak debitur. Sebelum pihak bank memberikan kredit kepada pihak debitur haruslah memperhatikan asas kehati-hatian, karena dana pinjaman yang diberikan kepada pihak debitur bersumber dari dana masyarakat dalam bentuk simpanan berupa tabungan nasabah, deposito berjangka dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Tujuan dari azas kehati-hatian ini adalah agar pihak bank harus selalu dalam keadaan sehat, uang yang diberikan dalam bentuk pinjaman dapat kembali dengan cara angsuran pembayaran utang oleh pihak debitur. Menurut Muchdarsyah Sinungan, dalam bukunya berjudul “Manajemen Dana Bank”, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan : “Kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu yang akan disertai dengan suatu kontra-prestasi berupa bunga.” 9 Sebelum kredit diberikan kepada pihak debitur harus terlebih dahulu ada kesepakatan atau persetujuan antara pihak bank yang bertindak sebagai kreditur dengan pihak debitur. Kesepakatan atau persetujuan yang dimaksud di sini adalah hubungan hukum antara kedua-belah pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian kredit yang dibuat para pihak, di mana pihak bank berhak atas prestasi dan pihak debitur berkewajiban memenuhi prestasi. Kewajiban untuk memenuhi prestasi ada terletak
7
Himpunan Perundang-Undangan Republik Indonesia Tentang Perbankan dan Lembaga Penjamin Simpana (Bandung, CV. Nuansa Aulia, 2005), hal.72. 8 Ibid., hal. 1. 9 Muchdarsyah Sinungan, Manjemen Dana Bank, (Jakarta, Bumi Aksara, 1998), hal. 2.
pada pihak debitur, di mana jika pihak debitur tidak melaksanakan kewajibannya tersebut bukan karena keadaan memaksa, maka pihak debitur dianggap melakukan ingkar janji (wanprestasi).” 10 Menurut Purwahid Patrik, bahwa bentuk-bentuk dari wanprestasi ada 3 (tiga) macam, yaitu : debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, debitur terlambat dalam memenuhi prestasi, dan debitur berprestasi tidak sebagaimana mestinya.” 11 Bentukbentuk dari wanprestasi di atas merupakan alternatif, jika salah satu dari jenis wanprestasi tersebut dilakukan, maka pihak yang tidak melakukan dianggap telah wanprestasi. Seperti telah diuraikan di atas, salah satu fungsi dari perjanjian kredit adalah menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya, perjanjian pengikatan jaminan. Demikian juga terhadap kuasa menjual yang dibuat debitur dapat menjadi batal. Ingkar janji (wanprestasi) dalam hal ini membawa akibat bagi pihak yang ingkar janji, karena sejak saat terjadinya wanprestasi debitur berkewajiban mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat dari pada ingkar janji tersebut. Dalam hal debitur melakukan ingkar janji, maka pihak kreditur dapat menuntut : pemenuhan perikatan, pemenuhan perikatan dengan ganti rugi, ganti rugi, pembatalan persetujuan timbal balik, dan pembatalan dengan ganti rugi.” 12 Perikatan tersebut dapat dilakukan secara tertulis, namun untuk perjanjian kredit bank antara pihak bank dengan pihak debitur dibuat dalam bentuk tertulis karena sangat berpengaruh kepada perikatan jaminan utang yang akan diserahkan oleh pihak debitur kepada pihak bank. Tanpa adanya perjanjian atau perikatan yang dibuat dalam bentuk tertulis sebagai perjanjian pokok sangat mustahil dapat membuat perjanjian hak tanggungan sebagai perjanjian tambahan (Accessoir).” 13 Bunyi Pasal 1 angka 12 UU Perubahan 1998, bahwa salah satu dasar yang cukup jelas bagi bank mengenai keharusan adanya suatu perjanjian kredit adalah disebutkan 10
Cetak Biru, Bank Perkreditan Rakyat, (Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat, Bank Indonesia, 2006, Jakarta), hal. 7. 11 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Dan Dari Undang-Undang, (Bandung, CV. Mandar Maju, 1994), hal. 11. 12 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung, Bina Cipta, 1987), hal. 17-26. 13 Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Hukum Perikatan Dan Penjelasannya, (Bandung, PT. Alumni, 1993), hal. 3.
bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara pihak bank dengan pihak lain. Pencantuman kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam di dalam defenisi atau pengertian kredit sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 12 UU tersebut di atas mempunyai beberapa maksud, antara lain : a. Bahwa pembentuk undang-undang bermaksud untuk menegaskan bahwa hubungan kredit bank adalah hubungan kontraktual antara bank dengan nasabah debitur yang berbentuk pinjam-meminjam. Dengan demikian bagi hubungan kredit bank berlaku Buku Ketiga tentang Perikatan Pada Umumnya sebagaimana yang termaktub dalam KUH Perdata; b. Bahwa pembentuk undang-undang bermaksud untuk mengharuskan hubungan kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. Kalau semata-mata hanya dari bunyi ketentuan Pasal 1 angka 12 UU tersebut, maka sulit kiranya untuk menafsirkan bahwa ketentuan tersebut memang menghendaki agar pemberian kredit bank harus diberikan berdasarkan perjanjian tertulis. Namun Ketentuan UU tersebut harus dikaitkan dengan Instruksi Presedium Kabinet No. 15/ EK/ IN/ 10/ 1966 tanggal 3 Oktober 1966 jo. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I No. 2/ 539/ UPK/ Pemb., tanggal 8 Oktober 1966 dan Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I No. 2/ 649/ UPK/ Pemb., tanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presedium Kabinet Ampera No.10/ EK/ IN/ 2/ 1967 tanggal 6 Pebruari
1967, yang menentukan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk akad perjanjian kredit.” 14 Perjanjian kredit bank antara pihak bank dengan pihak debitur harus memenuhi syarat-syarat perjanjian sebagaimana termaktub dalam Pasal 1320 KUH Perdata Untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu : sepakat mereka mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.” 15 Perjanjian kredit yang dibuat antara bank dengan debitur merupakan undangundang bagi para pihak yang sesuai dengan asas kebebasan berkontrak, walaupun dalam kenyataannya isi dari perjanjian kredit tersebut sudah dalam keadaan baku yang dituangkan dalam bentuk formulir. Para pihak yang membuat perjanjian kredit harus patuh atas perjanjian yang dibuat dan disepakati di antara para pihak. Akta perjanjian kredit bank dapat dibuat di bawah tangan atau penanda-tanganannya (legalisasinya) dapat dilakukan di hadapan dan atau tanpa di hadapan Notaris, dan para pihak yang membuat perjanjian kredit tersebut harus patuh atas perjanjian yang disepakati. Perjanjian kredit yang dibuat antara pihak bank dengan pihak debitur harus dibuat secara jelas, mudah dipahami serta menguraikan secara lengkap hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak sehingga tidak menimbulkan perbedaan penafsiran atas klausul perjanjian kredit tersebut. Adanya perbedaan penafsiran di antara pihak dapat menimbulkan perselisihan di kemudian hari. Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia, meliputi ruang lingkup sebagai berikut : kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian, kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya, kebebasan untuk menentukan objek perjanjian, kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian, dan kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (Aanvullend Optional).” 16
14
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta, Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 180-181. 15 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta, Internusa, 1979), hal. 1. 16 Ibid, hal. 47.
Menurut Ch. Gatot Wardoyo, dalam tulisannya mengenai “Sekitar KlausulKlausul Perjanjian Kredit Bank”, perjanjan kredit mempunyai beberapa fungsi, antara lain : 1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan; 2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur; 3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.” 17 Mengenai akta perjanjian kredit di bawah tangan ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh Legal Officer, yaitu : 1. Kelemahan. Ada beberapa kelemahan dari akta perjanjian kredit di bawah tangan, yaitu antara lain : a. Bahwa apabila suatu saat nanti terjadi wanprestasi (ingkar janji) oleh debitur yang pada akhirnya akan diambil tindakan hukum melalui proses peradilan, maka apabila debitur yang bersangkutan menyangkal atau memungkiri tanda tangannya akan berakibat mentahnya kekuatan hukum perjanjian kredit yang dibuat tersebut; b. .Bahwa oleh karena perjanjian ini dibuat hanya oleh para pihak, di mana formulirnya telah disediakan oleh bank (Form Standart/ Baku), maka bukan tidak mungkin terdapat kekurangan data-data yang seharusnya dilengkapi untuk suatu kepentingan pengikatan kredit. 2. Arsip/ file surat asli. a. Pada dasarnya juga merupakan suatu kelemahan dari pada perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan, dalam arti bahwa apabila akta perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan (aslinya) tersebut hilang karena sebab apapun, maka bank tidak memiliki arsip/ file asli mengenai adanya perjanjian tersebut sebagai alat bukti. Hal ini akan membuat posisi bank akan menjadi lemah bila terjadi perselisihan. b. Isian Blanko Perjanjian. Dalam hal perjanjian kredit di bawah tangan, kemungkinan terjadinya seorang debitur mengingkari atau memungkiri isi perjanjian adalah sangat besar. Hal ini disebabkan dalam pembuatan akta perjanjian kredit, form/ blankonya telah disiapkan bank, sehingga dapat saja mengelak bahwa yang bersangkutan menanda-tangani blanko kosong yang berarti ia tidak tahu menahu tentang isi perjanjian tersebut.) 18 Bentuk perjanjian kredit bank secara tertulis di bawah tangan ataupun akta notaril harus selalu memperhatikan klausul dalam perjanjian kredit tersebut, karena perjanjian kredit bank yang tidak memuat klausul seperti pendapat sarjana di atas 17
Hasanuddin Rachman, Op.cit., hal. 152-153. Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, (Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 228. 18
akan mengandung kelemahan di kemudian hari yang tidak sesuai dengan tujuan dibuat perjanjian kredit bank tersebut. Tujuan di atas sesuai dengan pengertian kredit itu sendiri yang oleh O.P. Simorangkir, mengartikan kredit adalah “pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balasan prestasi (kontra-prestasi) akan terjadi pada waktu mendatang. Dewasa ini kehidupan ekonomi modern adalah prestasi uang, maka transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit yang menjadi pembahasan. Kredit berfungsi koperatif antara si pemberi kredit dan si penerima kredit atau antara kreditur dengan debitur. Mereka menarik keuntungan dan saling menanggung resiko. Singkatnya kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen-komponen kepercayaan, resiko dan pertukaran ekonomi di masa-masa mendatang.” 19 Dalam praktek, pihak debitur hanya dapat menawar besarnya bunga yang akan dibebankan sedangkan mengenai klausul yang lain pihak bank tidak bersedia untuk merubah. Begitu juga dengan perjanjian kuasa menjual yang dibuat kemudian dapat menjadi batal, sehingga prestasi dalam perjanjian kredit ini adalah suatu yang wajib harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan, karena prestasi merupakan isi dari pada perikatan. Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian, maka debitur dikatakan wanprestasi. Menurut Djaja S. Meliala, bahwa dengan berdasarkan Penjelasan Umum UURI No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan angka 3 menyatakan bahwa hak tanggungan merupakan lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat dengan ciri-ciri : 1 Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulukan kepada pemegangnya (droit de preference), Pasal 1 angka 1 UU Hak Tanggungan. 2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada (droit de suite), Pasal 7 UU Hak Tanggungan. 3. Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas, sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Memenuhi asas spesialitas (Pasal 11 angka 1 UU Hak Tanggungan) maksudnya ditentukan objeknya, besarnya nilai tanggungan dan identitas para pihak. Sedangkan memenuhi asas publisitas (Pasal UU Hak Tanggungan), berarti pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan., mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya (Pasal 6 jo. Pasal 26 UU Hak Tanggungan.” 20 Pemberian hak tanggungan didasarkan kepada suatu perjanjian, yang disebut dengan perjanjian hak tanggungan. Perjanjian hak tanggungan adalah merupakan perjanjian ikatan atau perjanjian tambahan (accessoir), artinya selalu dikaitkan dengan perjanjian pokok, yaitu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain. Di samping itu tujuan hak tanggungan adalah untuk menjamin utang-utang dari debitur 19
O. P. Simorangkir, Seluk Beluk Bank Komersil, (Cetakan Kelima, Jakarta, Aksara Persada, 1986), hal. 91. 20 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda Dan Hukum Perikatan, (Bandung , CV. Nuansa Aulia, 2007), hal. 53.
apabila di kemudian hari wanprestasi (ingkar janji) atas perjanjian kredit yang dibuatnya dengan kreditur/bank. Untuk hak tanggungan yang diikat dengan perjanjian hak tanggungan yang berbunyi irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa” dapat langsung dijual lelang, kemudian dihitung sesuai dengan jumlah utang dari debitur. Dan untuk hak tanggungan yang tidak diikat dengan perjanjian hak tanggungan hanya dapat dilelang setelah ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Menurut Hasanuddin Rahman, penyelesaian kredit bermasalah dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu : 1. Penyelesaian dengan negosiasi. Penyelesaian kredit bermasalah dengan negosiasi ini dapat dilakukan terhadap debitur yang usahanya masih berjalan meskipun tersendat-sendat, dapat membayar bunga meskipun kemampuannya telah melemah dan dapat dibayar angsurannya. Bahkan terhadap debitur yang usahanya sudah tidak berjalanpun dapat dilakukan penyelesaian dengan negosiasi. Semua usaha tersebut disebut dengan kredit yang diselamatkan. Adapun bentuk penyelamatan kredit dapat dilakukan dengan cara : a. Penjadwalan kembali (Rescheduling), yaitu perubahan syarat-syarat kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk masa tenggang waktu dan perubahan besarnya angsuran. a. Penataan kembali (Restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit yang menyangkut penambahan dana bank dan atau konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru, dan atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan. c. Persyaratan kembali (Resconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit. 2. Penyelesaian dengan litigasi. Pada prakteknya, penyelesaian dengan litigasi ini dilakukan dengan pengajuan gugatan/ eksekusi kepada lembaga : A. Pengadilan 1. Gugatan Biasa. Untuk mencapai suatu eksekusi atas putusan Hakim dalam proses gugatan biasa diperlukan 3 (tiga) tingkatan peradilan, yaitu: a. tingkat pertama/ pengadilan negeri; b. tingkat banding/ pengadilan tinggi; dan b. tingkat kasasi/ Mahkamah Agung. 2. Permohonan Eksekusi Grosse Akta. Permohonan eksekusi ini dilakukan atas dasar dan kekuatan grosse akta pengakuan utang dan grosse akta hak tanggungan. B. Panitia Urusan Piutang Negara. PUPN bertugas menyelesaikan piutang negara yang telah diserahkan kepadanya oleh instansi pemerintah atau badanbadan negara. Dengan demikian bagi bank milik negara penyelesaian kredit macetnya harus dilakukan melalui PUPN, di mana dengan adanya
penyerahan piutang kredit macet kepada badan tersebut secara hukum wewenang penguasaan atas hak-hak tagih dialihkan kepadanya.” 21 Dalam praktik penyelesaian kredit bermasalah yang oleh bank-bank dilakukan dengan 2 (dua) alternatif, yaitu (1). Negosiasi, dan (2). Litigasi. Namun tetap diakui bahwa kedua alternatif tersebut terlepas dari adanya bank-bank yang melakukan penagihan kredit macet dengan menggunakan jasa “debt collector”, yang dilakukan oleh orang atau badan yang tidak yang berwenang melakukan hal itu. 2. Konsepsi “Suatu kerangka konsep merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut. Kerangka konsepsionil dari peraturan perundangan-undangan, empiris, dimungkinkan untuk menyusun kerangka konsepsionil didasarkan atau diambil dari peraturan perundangan-undangan tertentu. Biasanya kerangka konsepsionil tersebut, sekaligus merumuskan defenisi-defenisi tertentu yang dapat dijadikan pedoman operasionil di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan konstruksi data.) 22 “Analisis adalah kajian yang lebih mendalam dan terarah atas isi perjanjian kredit bank di bawah tangan yang dibuat antara pihak bank dengan pihak debitur. Analisis kredit adalah proses pengolahan informasi dasar yang telah diperoleh menjadi informasi yang lengkap. Informasi yang lengkap terdiri dari beberapa faktor, di antaranya peluang dan ancaman yang akan mempengaruhi usaha serta kelancaran pembayaran kredit. Analisis kredit juga dilengkapi dengan evaluasi atas kebutuhan modal yang dibutuhkan nasabah.” 23 Akta otentik dalam Pasal 1868 KUH Perdata adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pengawaipengawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.” 24 Rumusan yang terdapat dalam UU Perbankan tersebut di atas mengenai perjanjian kredit dapat disimpulkan bahwa dasar dari perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam yang terdapat dalam Pasal 1754 KUH Perdata. Dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa “perjanjian pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabiskan karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakang ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.” 25
21
Hasanuddin Rachman, Loc.cit, hal. 136-140. Soerjono Soekanto, Loc.cit., hal. 137 23 Ade Arthesa, dan Edia Handiman, Bank Dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, (Bandung, PT. Indeks Kelompok Gramedia, 2006), hal. 170-178. 24 Ibid., hal. 475. 25 R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Cetakan Ketiga Puluh Enam, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 2005), hal. 451-452. 22
Perjanjian adalah “suatu peristiwa di mana dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal atau suatu perstujuan yang dibuat oleh kedua belah pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang termaktub dalam persetujuan itu.” 26 Perjanjian kredit adalah merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo) yang bersifat konsensuil, sedangkan perjanjian perjanjian utangpiutang merupakan pelaksanaan dari perjanjian pendahuluan dan perjanjian utangpiutang bersifat riil.” 27 Perjanjian kredit bank adalah perjanjian yang isinya telah disusun oleh bank secara sepihak dalam bentuk baku yang dituangkan ke dalam bentuk blanko/formulir mengenai jumlah pinjaman/kredit, jangka waktu kredit, tujuan kredit, bentuk kredit, batas izin tarik, besar bunga pinjaman, jaminan/agunan kredit, bunga/denda pinjaman, keterlambatan angsuran, dan memuat hubungan hukum antara bank dengan debitur. Perjanjian kredit bank di bawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat antara bank dengan debitur tanpa notaris. Lazimnya dalam penanda tanganan akta perjanjian kredit, saksi turut serta membubuhkan tanda tangannya karena saksi merupakan salah satu alat pembuktian dalam perkara perdata. Dan perjanjian kredit notariil (akta notaris) adalah akta/ perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau dihadapan notaris.” 28 Perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir, dan kelemahan dari perjanjian baku ini ialah mengenai sifat, karena ditentukan secara sepihak dan di dalamnya ditentukan sejumlah klausul yang membebaskan kredit dari kewajibannya (eksonerasi klausul). Setidak-tidaknya sementara peraturan tentang perjanjian baku ini belum diterbitkan, maka perjanjian baku ini perlu diawasi pemerintah.” 29 Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara pihak bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu dengan pemberian bunga.” 30 Klausul adalah isi perjanjian kredit bank yang dibuat di bawah tangan antara PT. BPR YIS Boyolali dengan pihak debitur. Pengusaha kecil adalah seseorang atau lebih melakukan suatu bidang usaha. Kreditur adalah PT. BPR YIS yang mempunyai
26
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indnesia, (Jakarta, Prenada Media, 2005), hal.
67. 27
Ibid., hal. 29. Hermansyah, Op.cit., hal. 31-33. 29 Mariam Darus Badrulzaman, Ibid., hal. .46. 30 Pasal 1 angka 11, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Perubahan Atas Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perbankan. 28
piutang karena perjanjian atau undang-undang. Debitur adalah seseorang atau beberapa orang yang melakukan usaha yang menerima pinjaman uang kepada bank. Penyelesaian utang adalah upaya yang dapat dilakukan oleh pihak kreditur untuk mengembalikan utangnya apabila debitur wanprestasi, dan wanprestasi adalah debitur membayar utangnya, membayar sebagian utangnya, debitur tidak membayar utangnya sesuai dengan isi perjanjian kredit dan tenggang waktu pembayaran utang. Putusan pengadilan adalah kesimpulan terakhir atau hadil terakhir terhadap pemeriksaan perkara, baik pada tingkat Pengadilan Negeri dan pada tingkat Pengadilan Tinggi yang belum dan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, maupun pada tingkat Kasasi yang sedang dan telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Metode penelitian merupakan cara kerja yang digunakan untuk mengumpulkan data dari objek yang menjadi sasaran dari penelitian.” 31 Dalam metode penelitian ini telah ditetapkan suatu spesifikasi penelitian dengan tujuan agar pelaksanaan penelitian benar-benar bersifat akurat dapat dipertanggung jawabkan. Spesifikasi penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif adalah “untuk menggambarkan dan menganalisa permasalahan yang dikemukakan.” 32 Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan (yurisprudensi). Hal ini sejalan dengan pendapat Ronald Dworkin yang menyebutkan metode penelitian hukum normatif juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisa, baik hukum sebagai law is it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is deceded by the judge through judicial process.” 33 Penelitian ini juga dilakukan dengan penelitian ke lapangan dengan mengadakan wawancara dan memberikan kusioner (pertanyaan) kepada debitur, bank selaku kreditur dan hakim. Dan penelitian ini dilakukan melalui pendekatan “yuridis normatif”, yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan tertulis atau bahan hukum lain.” 34
31
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum Suatu Pengantar, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 12. 32 Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurumetri, (Semarang, Ghalia Indonesia, 1998), hal. 11. 33 Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Perbandingan Hukum Makalah Disampaikan Pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum Dan Hasil Penelitian Hukum Dan Hasil Penulisan Penelitian Pada Makalah Akreditas Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tanggal 18 Februari 2003), hal. 1. 34 Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika, 1996), hal. 13.
Penelitian ini bersifat “deskriptif analisis”, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian lapangan.” 35 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada PT. PT. BPR YIS Boyolali, selanjutnya disebut dengan PT. BPR YIS Boyolali. Pemilihan lokasi penelitian pada PT. BPR YIS Boyolali dilakukan dengan pertimbangan, bahwa PT. BPR YIS Boyolali merupakan salah satu Bank Swasta yang ada di Mojosongo, Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah yang cukup banyak mengucurkan kredit kepada masyarakat.
3. Populasi Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah salah satu Bank Swasta yang ada di Mojosongo, Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah, yakni PT. BPR YIS Boyolali, nasabah debitor yang telah melakukan wanprestasi (ingkar janji) pada PT. BPR YIS Boyolali dan Ketua Pengadilan Negeri Boyolali selaku Hakim dalam memutuskan atas gugatan PT. BPR YIS Boyolali terhadap debitur yang telah wanprestasi. 4. Sampel Penelitian Pemilihan sample dipilih secara metode purposive sampling. Dan sebagai sample dalam penelitian dipilih 35 orang nasabah debitur bank dari jumlah 175 orang nasabah debitur tersebut yang kreditnya telah macet karena wanprestasi dengan memberikan pertanyaan yang telah disusun peneliti terlebih dahulu kepada Pimpinan PT. BPR YIS Boyolali berjumlah 1 (satu) orang, Para debitur yang meminjam uang kepada PT. BPR YIS Boyolali berjumlah 35 (tiga puluh lima) orang, dan Ketua Pengadilan Negeri Boyolali berjumlah 1 (satu) orang. 5. Sumber Data Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung dengan penelitian lapangan, sebagai berikut : A. Studi kepustakaan, yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi : 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni : a. Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945. b. KUH Perdata. c. UURI No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, LNRI No.31 Tahun 1992. d. UURI No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UURI No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, LNRI No. 182 Tahun1998. e. UURI No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, LNRI No. 42 Tahun 1996. f. UURI No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, LNRI No. 104 Tahun 1960. 35
Op.cit., hal. 63.
g. Peraturan Bank Indonesia Nomor : 8/26/PBI/2006 tanggal 8 Nopember 2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat, LNRI No. 87 Tahun 2006. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku ilmiah bersumber pada buku-buku yang berisi teori atau pendapat para ahli hukum, pidato yang berhubungan dengan penelitian ini. 3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan berupa kamus hukum, kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris, kamus bahasa Belanda dan artikel-artikel lainnya yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan hukum sekunder. B. Studi lapangan, yaitu untuk mendapatkan data yang terkait dengan klausul perjanjian kredit bank di bawah tangan dengan melakukan wawancara dengan memberikan pertanyaan yang telah disusun peneliti terlebih dahulu kepada para responden. 6. Alat Pengumpul Data Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian tesis ini adalah melalui, yaitu: 1. Studi dokumen atau kepustakaan yang terdiri dari : a. Bahan hukum primer yang meliputi segala jenis peraturan perundangundangan yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. b. Bahan hukum sekunder yang meliputi pendapat para ahli hukum yang bersumber pada buku-buku berisi teori atau pendapat para ahli hukum. c. Bahan hukum tertier yang meliputib kamus bahasa Indonesia, kamus hukum, kamus bahasa Inggris dan kamus bahasa Belanda. 2. Studi lapangan, yaitu berpedoman terhadap wawancara dengan narasumber (informan) yang berperan memberikan data sehubungan dengan perjanjian kredit bank di bawah tangan yang dibuat oleh bank dengan memberikan pertanyaan yang telah disusun peneliti terlebih dahulu kepada para responden. 7. Analisis Data Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam kategori-kategori dan satu uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisis data yang akan digunakan adalah analisis data secara kualitatif yang diolah dengan menggunakan metode deduktif dan kemudian ditarik kesimpulan dari pembahasan yang dilakukan. II. KLAUSUL PERJANJIAN KREDIT BANK DI BAWAH TANGAN A. Istilah Dan Pengertian Perikatan Berbagai kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-macam istilah untuk menterjemahkan “Verbintenis” dan “Overeenkomst”, yaitu : KUH Perdata, Subekti dan Tjitrosudibio menggunakan istilah “Perikatan” untuk “Verbintenis” dan “Persetujuan” untuk “Overeenkomst”. 36 36
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Loc.cit., hal. 291-204.
Dari uraian di atas ternyata bahwa untuk “Verbintenis”, dikenal dengan tiga istilah Indonesia, yaitu : Perikatan, Perutangan dan Perjanjian. Sedangkan untuk “Overeenkomst” dipakai dua istilah, yaitu : Perjanjian dan Persetujuan. Verbintenis berasal dari kata kerja “Verbinden” yang artinya mengikat. Jadi Verbintenis menunjuk kepada adanya “ikatan” atau “hubungan”. Hal ini sesuai dengan defenisi Verbintenis sebagai suatu hubungan hukum. Atas pertimbangan tersebut penulis cenderung memakai istilah “Perikatan”. Sedangkan “Overeenkomst” berasal dari kata kerja “Overeenkoments” yang artinya “setuju” atau “sepakat”. Jadi “Overeenkomst” mengandung kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang dianut oleh Burgerlijk Wetboek. Oleh karena itu, istilah terjemahannya harus dapat mencerminkan azas kata sepakat tersebut. Berlandaskan alasan tersebut penulis lebih menyetujui penggunaan istilah “Persetujuan.” 37 Perikatan menurut L.C. Hofmann adalah “Suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seseorang atau beberapa orang dari padanya (debitur atau para debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, berhak atas sikap yang demikian itu.” 38 Bila istilah tersebut di atas dihubungkan dengan istilah yang digunakan PT.BPR YIS menggunakan istilah perjanjian karena dalam setiap perjanjian yang dibuatnya menggunakan istilah perjanjian kredit, pihak bank bertindak sebagai kreditur dan peminjam bertindak sebagai debitur. Hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban dalam perikatan tersebut adalah antara kedua belah pihak yang berhak atas prestasi (pihak yang aktif) adalah bank atau orang yang berpiutang, sedangkan pihak debitur berkewajiban memenuhi prestasi (pihak yang pasif) adalah debitur, bank dan debitur inilah yang disebut dengan subjek perikatan. Dalam hukum perdata ditentukan bahwa pihak debitur orangnya harus selalu diketahui identitasnya oleh bank, karena bank tidak dapat menagih pemenuhan prestasi kepada yang tidak dikenal. sedangkan identitas pengurus bank tidak perlu debitur ketahui, sehingga penggantian kreditur dapat terjadi sepihak serta penggantian debitur hanya dapat terjadi dengan sepengetahuan dan persetujuan penggantian debitur. Kalau tidak dengan cara demikian ini nanti debiturnya justru tidak mampu melaksanakan kewajiban, sehingga menimbulkan kerugian. B. Syarat-Syarat Perjanjian Pada Umumnya Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan untuk “sahnya” suatu persetujuan diperlukan 4 (empat) syarat. Dalam bahasa asli sebenarnya tertulis untuk “adanya” (bestaanbaarheid) suatu perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata). Kata “adanya” perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata, oleh para sarjana dianggap kurang tepat, karena ada kalanya, sekalipun suatu perjajian tidak memenuhi salah satu dari keempat syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, tetapi tetap diterima sebagai “ada” sekalipun mengandung cacat dan karenanya sebagai “tidak sah” 37 38
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung, Bina Cipta, 1987), hal. 2. Ibid., hal. 3.
sehingga ada kemungkinan dibatalkan. Tidak sah di sini dimaksudkan : dapat dibatalkan. Adapun syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata, adalah : 1. Sepakat mereka mengikatkan dirinya. Menurut J. Satrio, mengatakan bahwa orang dikatakan telah memberikan persetujuan/sepakatnya (toestemming), kalau orang yang menghendaki apa yang disepakati. Kalau demikian, sepakat sebenarnya merupakan pertemuan antara kedua kehendak, di mana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain. Kalau diteliti lebih lanjut, maka yang namanya sepakat itu sebenarnya intinya adalah suatu penawaran yang diekseptir (diterima/disambut) oleh lawan janjinya. Unutuk tercapainya kesepakatan, maka tentu harus ada satu pihak yang menawarkan ada penawaran (aanbod) dan ada yang menerima penawaran tersebut akseptasi. Diterimanya/diakseptirnya penawaran kalau dipenuhi juga syarat-syarat essensialia yang lain akan menimbulkan perjanjian. Dengan demikian, maka yang namanya “kesepakatan” sebenarnya terdiri dari penawaran dan akseptasi (akseptasi penawaran) tersebut. Asal diingat, bahwa dalam perjanjian, masing-masing pihak bisa bertindak sebagai pihak yang memberikan penawaran maupun yang mengakseptir atau keduaduanya sekaligus.” 39 Kesepakatan terdiri dari penawaran dan akseptasi. Kesepakatan tercapai jika penawaran yang disampaikan salah satu pihak dapat diterima oleh pihak lainnya. Penawaran itu dapat muncul dari kedua belah pihak, baik pihak bank maupun dari pihak debitur. Dalam praktek perbankan penawaran ini pertama sekali muncul dari calon debitur yang meminta kepada pihak perbankan agar bersedia memberikan pinjaman kepada penawar dalam jumlah tertentu. Apabila pihak perbankan menerima penawaran (diakseptir), maka pihak perbankan menawarkan syaratsyarat tertentu agar dapat mengabulkan permintaan calon debitur, misalnya besarnya nilai bunga, jaminan pinjaman, waktu pengembalian, cara pembayaran dan lain-lain. Jika calon debitur menerima penawaran dari perbankan, maka telah terjadi kesepakatan. Penawaran dan akseptir tidak terlepas dari kedua belah pihak yang akan mengadakan perjanjian. Kehendak kedua belah pihak haruslah kehendak yang murni, bebas dan dinyatakan dalam suasana yang bebas. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Dengan demikian, dalam Pasal 1330 KUH Perdata, ditentukan bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian, adalah : orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, dan orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang; dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.” 40
39 40
J. Satrio, Op.cit., hal. 234. Ibid., hal. 31.
Dan terhadap ketidak cakapan seorang wanita bersuami, dengan adanya SEMARI No. 3 Tahun 1963, yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, maka status wanita bersuami diangkat dan dipersamakan dengan status pria beristeri, sehingga dalam hal seorang wanita bersuami akan melakukan suatu perbuatan hukum dan menghadap ke muka pengadilan, ia tidak perlu lagi minta izin dan bantuan dari suaminya.” 41 Dalam praktik perbankan, seorang isteri dapat mengajukan kredit ke bank dengan ketentuan ada persetujuan dari suaminya tidak lagi melulu seorang suami yang mengajukan kredit ke bank. Perjanjian yang dibuat orang yang tidak cakap tetap mengikat selama tidak dimintakan pembatalannya oleh orang yang tidak cakap atau wakilnya. Dan dalam praktik yang dilakukan oleh bank yang bertindak sebagai pihak kreditur adalah Direktur, sedangkan debitur pada umumnya terdiri dari suami dan isteri. Dengan demikian para pihak dianggap cakap melakukan perikatan perjanjian sepanjang dikemudian hari dapat dilakukan pembatalan perjanjian oleh debitur dengan alasan ketidak-cakapan untuk bertindak menurut hukum. 3. Suatu hal tertentu. “Suatu hal tertentu merupakan syarat ketiga untuk sahnya suatu perjanjian, yang dimaksud di sini adalah objek dari perjanjian itu sendiri. Pasal 1332 KUH Perdata merumuskan, hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian. Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya (Pasal 1333 KUH Perdata). Syarat a dan b disebut syarat subjektif, sedangkan syarat c dan d disebut syarat objektif. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak atau walinya atau curatornya dapat meminta supaya perjanjian dibatalkan melalui pengadilan. Apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum, artinya perjanjian sejak semula dianggap tidak pernah ada. 4. Suatu sebab yang halal. Syarat keempat ini undang-undang tidak ada merumuskan apa yang dimaksud dengan suatu sebab yang halal. Pembentuk undang-undang menganggap mungkin akan terjadinya suatu perjanjian tanpa adanya suatu sebab (vide Pasal 1335 KUH Perdata). Dengan menganggap mungkin adanya perjanjian tanpa sebab, berarti pembentuk undang-undang sudah mengenyampingkan setiap pemikiran yang tertuju ke arah sebab dalam pengertian Ilmu Alam.” 42 C. Unsur-Unsur Perjanjian Unsur-unsur yang ada dalam suatu perjanjian dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu :
41
Mgs. Edy Putra Tje’Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, (Cetakan Kedua, Yogyakarta, Liberty, 1989), hal. 21 42 Mgs. Edy Putra Tje’Aman, Op.cit., hal. 24-25.
1. Unsur Essensialia adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian, unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tak mungkin ada. Sebagai contoh, “sebab yang halal” merupakan unsur essensialia untuk adanya perjanjian. Dalam perjual-beli harga dan barang yang disepakati kdua belah pihak harus ada. 2. Unsur Naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh undang-undang diatur, tetapi yang oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. Di sini unsur tersebut oleh undang-undang diatur dengan hukum yang mengatur/menambah (regele/aanvullend recht), sebagai contoh, kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan (Pasal 1478 KUH Perdata) dan untuk menjamin/vrijwaren (Pasal 1491 KUH Perdata) dapat di simpangi atas kesepakatan kedua belah pihak. 3. Unsur Accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, undang-undang sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut. Sebagai contoh, di dalam perjanjian jual-beli, benda-benda pelengkap tertentu bisa dikecualikan.” 43 Unsur essensialia dalam perjanjian kredit bank di bawah tangan yang dibuat bank terhadap debitur adalah identitas para pihak yang mengadakan perjanjian beserta kedudukan masing-masing pihak, besarnya nilai pinjaman dan jaminan. Unsur naturalia meliputi, besarnya bunga, jangka waktu pinjaman. Unsur accidentalia meliputi, nilai denda apabila debitur terlambat membayar angsuran kredit kepada bank dalam tenggang waktu 1 (satu) minggu, besarnya denda apabila tenggang waktu perjanjian sudah berakhir namun utang pokok dan bunga belum dibayar. Hal ini merupakan hak pihak bank untuk melakukan pengawasan atas kegiatan usaha dari debitur. D. Objek Perikatan Dan Perjanjian Berdasarkan uraian tersebut di atas sudah jelas, bahwa objek perikatan hanya tiga, yaitu : memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Ketiga objek perikatan tersebut dapat tertuang dalam suatu perjanjian secara sekaligus, namun dapat juga hanya sebagian. Syarat untuk menentukan objek perjanjian tersebut harus diperkenankan oleh undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan secara jelas dan terang dapat ditentukan dan harus mungkin dapat dilakukan oleh manusia. Objek perjanjian adalah isi dari prestasi yang bersangkutan. Prestasi tersebut merupakan suatu perilaku (handeling) tertentu, bisa berupa memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kalau Pasal 1332 dan Pasal 1333 KUH Perdata berbicara tentang ”zaak” yang menjadi objek dari perjanjian, maka “zaak” di sana adalah objek prestasi perjanjian seperti tersebut di atas. Objek perjanjian kredit bank yang dibuat oleh pihak bank dengan debitur adalah penyerahan jaminan utang berupa sertifikat hak atas tanah dan bangunan serta bendabenda yang melekat pada tanah oleh debitur, pembayaran utang pokok beserta sejumlah bunga oleh debitur, tidak mengalihkan barang jaminan kepada pihak lain tanpa persetujuan dari bank. 43
J. Satrio, Loc.cit., hal. 67-68.
E. Pengertian Wanprestasi Dan Akibat Hukumnya Menurut M. Yahya Harahap, berpendapat adapun pengertian yang umum tentang “Wanprestasi adalah plaksanaan kewajiban yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Kalau begitu seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi, apabila debitur melakukan pelaksanaan prestasi.” 44 Wanprestasi memang dapat terjadi dengan sendirinya tetapi kadang-kadang tidak. Banyak perikatan/perjanjian yang tidak dengan ketentuan waktu pemenuhan prestasinya memang dapat segera ditagih. Ini diperlukan tenggang waktu yang layak dan ini diperbolehkan dalam praktek. Tenggang waktu dapat beberapa jam, dapat pula satu hari bahkan lebih, maka dari itu dalam perjanjian-perjanjian yang tidak ditentukan waktunya wanprestasi tidak terjadi demi hukum, karena tidak ada kepastian kapan debitur betul-betul wanprestasi dalam melunasi angsuran kredit ke bank. Hal ini diatur dalam Pasal 1236 dan Pasal 1243 KUH Perdata. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1236 dan Pasal 1243 KUH Perdata, dalam hal debitur lalai untuk memenuhi kewajiban perikatannya, bank berhak untuk menuntut penggantian kerugian berupa ongkos-ongkos, kerugian dan bunga. Akibat hukum seperti ini akan menimpa debitur, baik dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu. Selanjutnya dalam Pasal 1237 KUH Perdata merumuskan, sejak debitur lalai, maka resiko atas objek perikatan menjadi tanggungan debitur. Untuk perjanjian yang timbal balik, maka berdasarkan Pasal 1266 KUH Perdata, debitur berhak untuk menuntut pembatalan perjanjian dengan atau tanpa disertai dengan tuntutan ganti rugi. Dalam praktek sebelum gugatan ganti rugi diajukan oleh pihak yang dirugikan terlebih dahulu dilakukan teguran (sommasi) kepada debitur atas wanprestasi yang dilakukan debitur. Tuntutan ganti rugi tersebut biasanya diperhitungkan ke dalam sejumlah uang untuk dibayarkan, baik berupa ganti rugi pokok, bunga dan ongkos-ongkos, bahkan ada yang meminta ganti rugi immateriil yang juga diperhitungkan dengan uang. F. Istilah Dan Pengertian Kredit Kata kredit berasal dari bahasa Latin, yaitu “credere”, yang diterjemahkan sebagai “kepercayaan” atau “credo” yang berarti “percaya”. Kredit dalam bahasa Inggris disebut dengan “trust” dan “faith”. Karena tidak akan mungkin adanya pemberian pinjaman tanpa adanya kepercayaan di sana dan kepercayaan itu adalah sesuatu yang mahal harganya. Mungkin dikalangan perbankan dikenal istilah adalah sangat tidak sulit bagi bank untuk menyalurkan atau merealisasikan pemberian suatu pinjaman (loan), tetapi sangat sulit bagi bank untuk dapat menarik kembali dana tersebut atau dibutuhkan seni (cara) untuk menarik kembali dana tersebut.” 45 Menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 11 UU Perbankan 1998, “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, 44
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung, PT. Alumni, 1982), hal. 60. Irham Fahmi, Analisis Kredit Dan Fraud, Pendekatan Kualitatif Dan Kuantitatif, (Bandung, PT. Alumni, 2008), hal. 4. 45
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu teretntu dengan pemberian bunga.” 46 Dalam perjanjian kredit bank unsur-unsur kredit selalu terkandung unsurunsur essensialia, sebagai berikut : a. Kepercayaan, bahwa berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap permohonan kredit, bank yang yakin kredit yang akan diberikan itu dapat dikembalikan sesuai dengan persyaratan yang disepakati bersama. b. Agunan, bahwa setiap kredit yang akan diberikan selalu disertai barang yang berfungsi sebagai jaminan bahwa kredit yang akan diterima oleh debitur pasti akan dilunasi dan ini meningkatkan kepercayaan pihak bank. c. Jangka waktu, bahwa pengembalian kredit didasarkan pada jangka waktu tertentu yang layak, setelah jangka waktu berakhir kredit dilunasi. d. Resiko, bahwa jangka waktu pengembalian kredit mengandung resiko terhalang atau terlambat atau macetnya pelunasan kredit, baik disengaja atau tidak disengaja resiko ini menjadi beban bagi bank. e. Bunga bank, bahwa setiap pemberian kredit selalu disertai imbalan jasa berupa bunga yang wajib dibayar oleh calon debitur dan ini merupakan keuntungan yang diterima oleh bank. f. Kesepakatan, bahwa semua persyaratan pemberian kredit dan prosedur pengembalian kredit serta akibat hukumnya adalah hasil kesepakatan dan dituangkan dalam akta perjanjian yang disebut kontrak kredit.” 47 Dalam praktek bahwa kepada debitur dibebankan kewajiban membayar bunga kredit dan biaya administrasi. Besar kecilnya bunga kredit bergantung pada besar kecilnya bunga simpanan. Keuntungan usaha bank diperoleh dari selisih bunga kredit yang diterima dari debitur dengan bunga simpanan yang diberikan kepada penyimpan. G. Pengertian Perjanjian Kredit Bank Dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata dari berbagai jenis perjanjian tidak terdapat ketentuan tentang perjanjian kredit bank, bahkan dalam UU Perbankan Tahun 1967 sendiri tidak mengenal istilah perjanjian kredit bank. Istilah perjanjian kredit bank ditemukan dalam Instruksi Pemerintah, yang ditujukan kepada masyarakat bank. Diinstruksikan bahwa dalam memberikan kredit bentuk apapun, bank-bank wajib menggunakan “akad perjanjian kredit”. Instruksi demikian dimuat dalam Instruksi Presedium Kabinet No. 15/ EKA/ 10/ 1966 jo. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit 1 No. 2/ 539/UPK/ Pemb/ 1966 dan Surat Edaran Bank
46
Himpunan Peraturan Perundangan-Undangan Lima Undang-Undang Moneter Dan Perbankan, (Bandung, Fokus Media, 2009), hal. 68. 47 Abdulkadir Muhammad, dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 59.
Negara Indonesia No. 2/ 643/ UPK/ Pemb/ 1966 tentang Pedoman Kebijaksanaan Di Bidang Perkreditan.” 48 Menurut Marhainis Abdul Hay, bahwa ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian kredit bank identik dengan perjanjian pinjam-mengganti, menentukan bahwa perjanjian pinjam-mengganti adalah : “persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barangbarang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.” 49 R. Wirjono Prodjodikoro, dalam buku berjudul “Pokok-Pokok Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu”, berpendapat ketentuan pada Pasal 1754 KUH Perdata ditafsirkan sebagai persetujuan yang bersifat “riil”. Hal ini dapat dimaklumi, oleh karena pasal tersebut tidak menyebutkan bahwa pihak pertama “mengikatkan diri untuk memberikan” suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabiskan, melainkan pihak pertama “memberikan” suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian.” 50 Pendapat Marhainis Abdul Hay bila dihubungkan dengan pendapat R. Wirjono Prodjodikoro, atas pasal tersebut di atas, maka sebagai konsekuensi logis berarti perjanjian kredit bank adalah bersifat riil. Berbeda dengan pendapat Mariam Darus Badrulzaman, berpendapat bahwa perjanjian kredit bank adalah “perjanjian pendahuluan” (voorovereenkomst) dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil pemufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensual (pacta de contrahendo) obligatoir, yang dikuasai oleh UU Perbankan Indonesia dan Bagian Umum KUH Perdata. Dan “penyerahan uangnya “sendiri, adalah bersifat riil, serta pada saat penyerahan uang dilakukan, barulah berlaku ketentuan yang dituangkan dalam model perjanjian kredit pada kedua belah pihak.” 51 Perjanjian standard seperti yang dipraktikkan oleh perbankan mengandung kelemahan bila ditinjau dari Pasal 1320 KUH Perdata, karena di sana tidak ada kebebasan dari calon debitur untuk tidak menyetujui isi yang dalam blanko/formulir perjanjian kredit bank tersebut, sedangkan untuk pihak bank membawa keuntungan, karena tidak direpotkan untuk membuat konsep perjanjian setiap ada calon nasabah untuk mengajukan kredit dan memberikan kemudahan kepada pihak perbankan untuk menggoreksi kesalahan konsep perjanjian kredit dikemudian hari. Perjanjian kredit telah lahir pada saat dilakukannya penanda tanganan perjanjian kredit, sedang pihak pemohon belum menerima kreditnya, maka hal ini adalah suatu kejanggalan, suatu ketidak-adilan yang nyata. Sebab bila perjanjian 48
Mgs. Edy Putra Tje’Aman, Op.cit., hal. 30. Marhainis Abdul Hay, Hukum Perjanjian Di Indonesia, (Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 1979), hal. 147. 50 Wirjono Prodjodikoro, Pokok-Pokok Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, (Bandung, Sumur, 1981), hal. 137. 51 Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., hal. 28. 49
kredit telah lahir sejak penanda-tanganan perjanjian kredit, berarti perjanjian pinjamannyapun telah lahir, sedangkan pada saat itu pemohon belum menerima kreditnya yang berarti pula belum mempunyai utang. Hal ini adalah bertentangan dengan sifat accesoir dari perjanjian jaminan. “Terlepas dari pendapat tersebut di atas, ditanda-tanganinya perjanjian kredit tidak langsung membawa konsekuensi sudah ada penyerahan uang, pihak bank sebagai kreditur tidak akan memberikan uang sebagaimana tertuang dalam perjanjian kredit sebelum adanya pengikatan jaminan utang. Klausul ini juga biasanya dituangkan dalam perjanjian kredit. Namun dalam praktek perbankan biasanya penanda-tanganan kredit bersama-sama dilakukan dengan penanda-tanganan hak tanggungan.” 52 Dalam penelitian yang dilakukan pada bank, ternyata ada dua cara yang digunakan bank dalam penanda tanganan perjanjian kredit tersebut, yaitu : 1. Ada secara langsung datang ke kantor bank untuk memohon kredit dengan membawa permohonannya beserta surat-surat lainnya mengenai identitas diri para pemohon dan surat-surat yang berhubungan dengan agunan/jaminan; 2. Pihak bank bekerjasama dengan pihak koperasi, pihak koperasi mencari calon debitur, kemudian pihak koperasi bertindak seolah-olah sebagai kreditur (bank) dengan menyerahkan blanko/formulir surat perjanjian untuk ditanda-tangani calon debitur, beserta surat-surat yang berhubungan dengan agunan/jaminan. Pada cara kedua ini calon debitur mnegetahui bahwa debitur meminjam uang dari koperasi bukan dari bank.” 53 Ciri-ciri dari penyalah-gunaan keadaan tersebut di atas adalah pada waktu menutup perjanjian salah satu pihak ada dalam keadaan terjepit, baik karena adanya keadaan ekonomis yang menekan, kesulitan keuangan yang mendesak atau adanya hubungan atasan bawahan, perjanjian tersebut mengandung hubungan yang timpang dalam kewajiban yang timbal-balik antara pihak (prestasi yang tak seimbang), dan kerugian yang sangat besar bagi salah satu pihak.” 54 Pelaksanaan perjanjian kredit bank dengan cara kedua seperti dijelaskan di atas bertentangan dengan syarat-syarat perjanjian sebagaimna yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, khususnya pada syarat kedua, yakni adanya kesepakatan di antara para pihak. Karena untuk cara kedua seperti peneliti uraikan di atas, pihak bank membantahnya, disebabkan bahwa pihak bank tidak pernah melakukan hal seperti itu. Para debitur menyatakan sebaliknya dengan menyatakan para pengurus koperasi yang melakukan perbuatan penanda-tanganan perjanjian kredit dan berperan terlaksananya perjanjian kredit itu sudah dihukum pengadilan karena telah terbukti melakukan penipuan. Dalam hal ini untuk mengetahui adanya tipu muslihat tersebut dapat dilihat dari adanya pihak yang memberikan gambaran yang tidak benar 52
Mgs. Edy Putra Tje’Aman, Loc.cit., hal.35. Hasil Wawancara terhadap Katijan (Katijan Bin Kastorejo), Karso Dikromo (Karso Dikromo Bin Hirosemito), Sunarmi, Tukinem, Suparmi, Paitun, dan Nyonya Paitun, Boyolali, pada tanggal 15 Juli 2009. 54 J. Satrio, Op.cit.,hal. 317-318. 53
mengenai ciri objek perjanjian, sehingga pihak yang lain tergerak hatinya untuk membuat perjanjian. Di sini ada akibat dari penipuan, di mana orang ditipu menjadi tersesat atau keliru. H. Jenis-Jenis Atau Bentuk-Bentuk Perjanjian Kredit Bank 1. Perjanjin Kredit Bank Di Bawah Tangan Menurut H. Budi Untung, dalam bukunya berjudul “Kredit Perbankan Di Indonesia”, mengatakan bahwa secara yuridis formal ada 2 (dua) jenis perjanjian kredit/pengikatan kredit yang digunakan bank dalam memberikan kreditnya pada debitur, yaitu : 1. Perjanjian/pengikatan kredit di bawah tangan atau akta di bawah tangan. Yang dimaksud dengan akta di bawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat hanya di antara bank dan debitur tanpa notaris. Lazimnya penanda tanganan akta perjanjian kredit, saksi tidak turut serta membubuhkan tanda tangannya karena saksi merupakan salah satu alat pembuktian dalam perkara perdata di pengadilan. 2. Perjanjian/pengikatan kredit yang dibuat oleh dan di hadapan notaris (akta notariil) atau akta otentik. Yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit bank notariil (otentik) adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau di hadapan notaris.” 55 Bentuk perjanjian kredit bank di bawah tangan yang dibuat oleh bank adalah dalam bentuk tertulis yang dituangkan dalam blanko/formulir yang telah dipersiapkan oleh bank sendiri. Namun kelemahan dari perjanjian kredit bank tersebut tidak ada tanda tangan dari saksi, perjanjian tersebut hanya ditanda tangani oleh Pimpinan dan Staff Bank itu sendiri dan debitur, dan di samping itu, apabila yang meminjam suaminya atau sebaliknya, tidak nampak dalam perjanjian kredit tersebut siapa peminjam dan siapa yang memberikan persetujuan atas pinjaman yang dilakukan. Bentuk perjanjian kredit bank yang dibuat di bawah tangan seharusnya ada tanda tangan saksi karena tidak tertutup kemungkinan ada sengketa di kemudian hari. Saksi yang menanda-tangani perjanjian kredit bank tersebut akan dapat dijadikan saksi apabila terjadi sengketa dikemudian hari. Perjanjian kredit bank yang dibuat tertulis di bawah tnagan tanpa ada saksi kemungkinan besar dapat disangkal oleh para pihak yang membuat perjanjian kredit bank khususnya pihak debitur. Penyangkalan ini sudah disampaikan atas gugatan yang diajukan bank, di mana debitur menyatakan dia tidak pernah meminjam dari PT. BPR YIS. 2. Perjanjian Kredit Bank Secara Otentik (Notaril) Perjanjian kredit secara otentik (notaril) adalah “perjanjin kredit oleh bank kepda nasabahnya yang hanya dibuat oleh suatu atau dihadapan Notaris”. Mengenai defenisi akta otentik dapat dilihat pada Pasal 1868 KUH Perdata.” 56
55 56
H. Budi Untung, Ibid., hal. 31. Hasanuddin Rahman, Op.cit., hal. 156.
Dalam praktik yang sering dilakukan bank, baik itu bank pemerintah maupun bank swasta dalam pembuatan perjanjian kredit bank yang sering dipergunakan adalah akta/perjanjian kredit bank di bawah tangan, alasannya adalah untuk mempercepat proses kredit yang diajukan oleh debitur kepada bank dalam menambah modal usaha yang diusahakan oleh debitur. Untuk itu dalam pembuatan perjanjian kredit bank yang dibuat bank haruslah memperhatikan fungsi dari pada perjanjian kredit bank itu dibuat. I. Fungsi Perjanjian Kredit Bank Menurut Rachmadi Usman, dalam bukunya berjudul “Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia”, bahwa perjanjian kredit bank mempunyai beberapa fungsi, antara lain : perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan, dan perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.” 57 Dalam perjanjian kredit dicantumkan segala hak dan kewajiban masingmasing pihak, misalnya hal yang menyangkut tentang syarat-syarat pelaksanaan kredit, syarat pembayaran kembali, pengikatan jaminan, jumlah dan lamanya kredit itu, seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa setiap pemberian kredit harus dituangkan dalam perjanjian kredit bank secara tertulis. Perjanjian kredit yang memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum bertujuan melindungi kepentingan bank dan sekaligus pihak debitur. Perjanjian kredit yang memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum memuat jumlah kredit, jangka waktu pembayaran, tata cara pembayaran termasuk besarnya bunga dan waktu penyetoran utang setiap bulannya. Sebaliknya jika perjanjian kredit tersebut tidak memiliki keabsahan hukum dan persyaratan hukum walaupun dibuat secara tertulis bahkan berupa akta otentik akan dapat merugikan bank itu sendiri. Demikianlah garis besar isi dari pada surat permohonan kredit atau daftar isian tersebut di atas, di mana masing-masing bank mempunyai bentuk dan caranya sendiri, akan tetapi bagaimanapun juga jawaban-jawaban yang tertulis di dalam daftar isian tersebut merupakan bahan pertimbangan bagi bank untuk menerima atau menolak permohonan kredit tersebut. J. Isi Dan Klausul Perjanjian Kredit Bank Prototype suatu perjanjian kredit/ pengakuan utang pada dasarnya harus memenuhi minimal 6 (enam) syarat, yaitu: jumlah utang, besarnya bunga, waktu pelunasan, cara-cara pembayaran, klausul opeisbaarheid, dan barang jaminan.” 58 Pembayaran bunga, administrasi, provisi dan denda (bila ada), kecuali pembayaran bunga, maka pembayaran biaya administrasi dan provisi harus dibayar di muka oleh pihak debitur. Sedangkan denda harus dibayar oleh pihak debitur bila 57
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 273. 58 Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Di Indonesia, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 159.
terdapat tunggakan angsuran atupun bunga, klausul opeisbaarheid, yaitu klausul yang memuat hal-hal mengenai hilangnya kewenangan bertindak atau kehilangan hak-haknya pihak debitur untuk mengurus harta kekayaannya, barang jaminan serta kelalaian debitur untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam perjanjian kredit atau pengakuan utang, sehingga pihak debitur harus membayar secara seketika dan sekaligus lunas. Klausul tersebut antara lain : debitur tidak membayar kewajibannya sebagaimana mestinya, debitur/ atau pemilik jaminan pailit, debitur/ atau pemilik jaminan meninggal dunia, harta kekayaan debitur/ atau pemilik jaminan dilakukan sitaan atau surcance Van Betaling, dan debitur/atau pemiik jaminan ditaruh di bawah pengampuan (Onder Cuaratele Gesteld). Jaminan yang diserahkan oleh pihak debitur beserta kuasa yang menyertainya dan persyaratan penilaian jaminan, pembayaran pajak dan asuransi atas barang jaminan tersebut, syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh debitur dan termasuk hak untuk pengawasan atau pembinaan kredit oleh bank, dan biaya akta dan biaya penagihan utang yang juga harus dibayar oleh pihak debitur.” 59 Dalam praktiknya, bentuk dan isi perjanjian kredit /pengakuan utang yang ada saat ini berbeda-beda antara satu bank dengan bank lainnya. Setelah klausul perjanjian kredit tersebut diperbandingkan dengan teori dan praktek perbankan ada klausulklausul perjanjian kredit yang tidak dicantumkan dalam perjanjian kredit bank pada PT. BPR YIS, antara lain : waktu pembayaran utang setiap bulan. Dalam perjanjian kredit yang dibuat bank hanya diuraikan dalam Pasal 2, jangka waktu kredit selama ….bulan, terhitung saat surat perjanjian kredit ini ditanda tangani. Seharusnya dalam perjanjian kredit tersebut dicantumkan waktu angsuran pembayaran pokok pinjaman dan bunga setiap bulan jika pembayaran dilakukan setiap bulan, dengan demikian dapat diketahui sejak kapan debitur wanprestasi dan tidak menimbulkan multitafsir sejak kapan debitur melakukan wanprestasi. Mutasi keuangan debitur pembukuan oleh bank. Dari mutasi keuangan dan pembukuan bank ini dapatlah diketahui berapa besar jumlah yang terutang oleh
59
Ibid., hal. 160-161.
debitur. Untuk itu mutasi keuangan dan pembukuan bank tersebut, yang berbentuk rekening koran diberikan salinannya setiap bulan oleh bank kepada debitur yang bersangkutan. Mengenai hal ini tidak diatur dalam perjanjian kredit yang dibuat oleh bank. Pembayaran bunga, administrasi, provisi dan denda (bila ada). Kecuali pembayaran bunga, maka pembayaran biaya administrasi dan provisi debitur harus dibayar dimuka oleh debitur. Sedangkan denda harus dibayar oleh debitur bila terdapat tunggakan angsuran ataupun bunga. Dalam perjanjian kredit yang dibuat oleh bank perkreditan rakyat hanya diatur besarnya bunga perbulan/menurut/anuitet, sedangkan mengenai provisi dan biaya administrasi tidak diatur sama sekali. Klausul opeisbaarheid, yaitu klausul yang memuat hal-hal mengenai hilangnya kewenangan bertindak atau kehilangan hak bagi debitur untuk mengurus harta kekayaannya, barang jaminan serta kelalaian debitur untuk memenuhi ketentuanketentuan dalam perjanjian kredit/pengakuan utang, sehingga debitur harus membayar secara seketika dan sekaligus lunas. Klausul tersebut, antara lain : debitur tidak membayar kewajiban secara sebagaimana mestinya; debitur/pemilik jaminan pailit,
atau debitur/pemilik
debitur/pemilik
jaminan
jaminan
meninggal
dilakukan dunia;
penyitaan;
surcance
van
harta
kekayaan
betalling;
atau
debitur/pemilik jaminan ditaruh di bawah pengampuan (order curatrele gestald). Dalam praktek hal ini tidak ada diatur dalam perjanjian kredit yang dibuat oleh bank. Jaminan yang diserahkan oleh debitur beserta kuasa-kuasa yang menyertainya dan prsyaratan penilaian jaminan, pembayaran pajak dan asuransi atas barang jaminan tersebut.
Biaya akta dan biaya penagihan utang yang juga harus dibayar oleh debitur. Dalam praktek hal ini tidak ada diatur dalam perjanjian kredit yang dibuat oleh bank. Klausul Representation and Warranties, yaitu klausul-klausul yang berisi pernyataan-pernyataan hal-hal tertentu nasabah debitur mengenai fakta-fakta yang menyangkut status hukum, keadaan keuangan dan harta kekayaan nasabah debitur pada waktu kredit diberikan, yaitu yang menjadi asumsi-asumsi bagi bank dalam mengambil keputusan untuk memberikan kredit tersebut. Klausul ini tidak diatur sama sekali dalam perjanjian kredit. Klausul tentang Condition Precedent, yaitu klausul tentang syarat-syarat tangguh yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh nasabah debitur sebelum bank berkewajiban untuk menyediakan dana bagi kredit tersebut. Klausul ini tidak diatur sama sekali dalam perjanjian kredit. Klausul tentang Affirmatif Covenants, yaitu klausul yang berisi janji-janji nasabah debitur untuk melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian kredit berlaku. Klausul ini juga tidak diatur sama sekali dalam perjanjian kredit. Klausul tentang Financial Covenants,
yaitu
klausul
yang
berisi
janji-janji
nasabah
debitur
umtuk
menyampaikan laporan keuangannya kepada bank dan memelihara posisi keuangannya pada minimal taraf tertentu. Hal ini tidak ada diatur dalam praktek. Klausul tentang tindakan yang dapat diambil oleh bank dalam rangka pengawasan, pengamanan, penyelamatan dan penyelesaian kredit. Mengenai hal ini hanya diatur dalam Pasal 8 perjanjian kredit yang dibuat bank dengan rumusan, jika peminjam/debitur dari sebab apapun juga tidak dapat memenuhi salah satu ataupun lebih dari kewajibannya yang timbul perjanjian kredit ini, maka pihak bank dapat
melakukan tindakan yang dianggap perlu diantaranya menjual dengan perantaraan kantor lelang atau barang-barang yang diserahkan sebagai agunan/jaminan seperti tersebut dalam angka 5 dalam perjanjian kredit ini dan apabila ternyata hasil dari penjualan barang-barang tersebut tidak mencukupi, maka peminjam/debitur berkewajiban menyerahkan barang-barang lain yang menjadi miliknya kepada pihak bank sampai pihak peminjam/debitur memenuhi seluruh kewajibannya. Surat permintaan/permohonan kredit tersebut harus mencantumkan tentang alasan mengajukan permohonan kredit, jumlah kredit yang diperlukan, kesanggupan untuk membayar kembali utangnya sesuai dengan rencana yang ditetapkan, jaminan yang disediakan dan keterangan-keterangan lain yang dianggap perlu. Walaupun semua keterangan sudah dipenuhi, akan tetapi hal itu masih dianggap kurang lengkap, sehingga pihak bank biasanya menyediakan formulir permohonan kredit yang harus diisi oleh pihak yang membutuhkan kredit. Biasanya daftar isian ini memuat hal-hal yang menyangkut tentang kondisi si pemohon, untuk dijadikan bahan pertimbangan oleh bank, umumnya daftar isian tersebut memuat pertanyaan-pertanyaan, sebagai berikut status hukum si pemohon kredit, kedudukan dan kekuasaan si pemohon kredit, apabila ia mewakili badan hukum, bergerak dalam bidang apa usahanya, berapa omzet penjualannya, berapa modal yang tertanam, berapa jumlah kredit yang akan diminta, berapa jangka waktu kredit yang akan direncanakan, dan bagaimana bentuk dan nilai pengikatan jaminan.” 60
60
Ibid, hal. 10
Surat permohonan kredit atau daftar isian merupakan dokumen/data pertama bagi bank untuk melangkah lebih jauh lagi, maka pihak bank meminta kepada pemohon kredit agar melengkapi lampiran-lampiran yang diperlukan, seperti akta otentik, surat jaminan, referensi, neraca laba rugi perusahaan yang bersangkutan, feasibility study dan sebagainya. Sehingga lampiran-lampiran tersebut merupakan bagian mutlak dan tidak dapat dipisahkan dari perumusan permohonan kredit. Apabila semua keterangan/datanya telah lengkap, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data tersebut dan melakukan penilaian secara umum yang kemudian dilanjutkan dengan acara memeriksa langsung (insection on the spot) ke perusahaan debitur, sesudah semua acara dapat diselesaikan, maka langkah berikutnya adalah melaksanakan pemberian kredit serta pengaturan administrasi. Hal tersebut diperlukan karena di dalam setiap pemberian kredit harus dibuat suatu perjanjian tertulis antar pihak bank dengan si pemohon kredit, perjanjian kredit itu biasanya disebut dengan “perjanjian kredit”/akad kredit.” 61 Blanko/formulir perjanjian kredit bank di bawah tangan yang dibuat oleh PT. BPR YIS tidak ada membedakan peminjam/debitur dengan suami/isteri sebagai pihak yang memberi persetujuan atas pinjaman. Demikan juga tidak ada dicantumkan pihak penjamin, semuanya sebagai pihak peminjam/debitur. Padahal peranan dan tanggung jawab serta kewajiban antara peminjam dengan suami/isteri yang memberi persetujuan atas pinjaman tersebut dan penjamin sangatlah berbeda. Kewajiban dari debitur adalah membayar utang pokok, bunga dan denda atau kewajiban-kewajiban lainnya, sedangkan peranan dan tanggung jawab serta kewajiban suami/isteri yang memberi persetujuan adalah tidak adanya keberatan dari suami/isteri atas pinjaman yang dilakukan debitur dan apabila dikemudian hari ada penyitaan atas harta gono-gini yang dilelang atau disita untuk membayar utang debitur yang wanprestasi, suami/isteri yang memberi persetujuan atas pinjaman itu tidak boleh mengajukan keberatan. 61
Eugenia Liliawati Muljono dan Amin Widjaja Tunggal, Op.cit., hal. 11
Penjamin tidak berkewajiban untuk membayar utang, bunga dan denda dari debitur. Penjamin tidak dapat menuntut pihak perbankan atas barang jaminan yang diserahkannya apabila debitur yang dijaminnya tidak membayar utang, bunga dan denda serta jika kreditur menjual barang jaminan yang diserahkannya melalui lelang. Pihak penjamin hanya dapat menuntut debitur yang dijaminnya untuk mengganti barang jaminan utang yang dijual kreditur melalui lelang di kemudian hari. Harta-harta penjamin yang lain tidak dapat disita atau dilelang kreditur untuk melunasi utang debitur yang dijaminnya kecuali yang secara tegas diperjanjikan sebagai jaminan utang debitur. Dalam perjanjian kredit dicantumkan segala hak dan kewajiban masingmasing pihak, misalnya hal yang menyangkut tentang syarat-syarat pelaksanaan kredit, syarat pembayaran kembali, pengikatan jaminan, jumlah dan lamanya kredit itu, seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa setiap pemberian kredit harus dituangkan dalam perjanjian kredit bank secara tertulis. Perjanjian kredit yang memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum bertujuan melindungi kepentingan bank dan sekaligus pihak debitur. Perjanjian kredit yang memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum memuat jumlah kredit, jangka waktu pembayaran, tata cara pembayaran termasuk besarnya bunga dan waktu penyetoran utang setiap bulannya. Sebaliknya jika perjanjian kredit tersebut tidak memiliki keabsahan hukum dan persyaratan hukum walaupun dibuat secara tertulis bahkan berupa akta otentik akan dapat merugikan bank itu sendiri. Misalnya suatu perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan, tidak ditanda tangani oleh saksi-saksi, akan dapat disangkal pihak debitur keberadaan dari perjanjian kredit tersebut. Adanya klausul perjanjian kredit yang mengandung ketidak adilan yang dapat merugikan debitur dapat juga menjadi alasan dari pengadilan untuk membatalkan suatu perjanjian kredit. Dengan demikian isi perjanjian kredit bank yang telah disepakati dan disetujui oleh pihak debitur dan pihak bank harus dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit yang dibuat oleh bank secara tertulis di bawah tangan yang dituangkan dalam bentuk formulir/blanko. Filosofi suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak apabila dikemudian hari terjadi permasalahan di antara para pihak, sebagai alat bukti yang kuat dan kepastian administrasi. Perjanjian kredit yang telah dibuat tersebut menjadi dasar untuk menuntut pihak yang telah mengingkari perjanjian kredit tersebut. III. HUBUNGAN JAMINAN KREDIT BANK DENGAN HAK DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK DI BAWAH TANGAN A. Pengertian Jaminan Kredit Bank UU Perbankan 1998 melalui Pasal 8 dan Penjelasannya membedakan pengertian antara agunan dan jaminan. Dalam UU Perbankan 1967 tidak ada dikenal dengan istilah “agunan” yang ada istilah “jaminan”. UU Perbankan 1998 memberi pengertian yang tidak sama dengan istilah “jaminan”, dengan menurut UU Perbankan 1967. Arti “jaminan”menurut UU Perbankan 1967 diberi istilah “agunan”, sedangkan “jaminan” menurut UU Perbankan 1998 diberi arti sebagai
“kenyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan yang dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam KUH Perdata memang tidak secara tegas merumuskan tentang apa yang dimaksud dengan “jaminan” itu, namun demikian dari ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata dapat diketahui arti dari jaminan tersebut. Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata merumuskan, bahwa jaminan adalah “segala kebendaan si berutang (debitur), baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi jaminan suatu segala perikatan pribadi debitur tersebut”, dan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata tersebut mengandung asas bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap utangnya, tanggung jawab yang mana berupa penyediaan kekayaannya, baik benda bergerak maupun benda tak bergerak, jika perlu dijual untuk melunasi utang-utangnya. B. Fungsi Jaminan Kredit Bank Berdasarkan pada pengertian jaminan kredit bank di atas, maka dapat dikemukakan bahwa fungsi utama dari jaminan kredit bank adalah untuk menyakinkan bank bahwa debitur mempunyai kemampuan untuk membayar/melunasi kredit yang diberikan padanya sesuai dengan perjanjian kredit yang telah disepakati bersama.” 62 Menurut Thomas Suyatno, dalam bukunya berjudul “Dasar-Dasar Perkreditan”, mengatakan bahwa jaminan kredit bank berfungsi adalah untuk menjamin pelunasan utang debitur cidera janji, pailit. Jaminan kredit bank akan memberikan jaminan kepastian hukum kepada perbankan bahwa kreditnya akan tetap/kembali dengan cara eksekusi mengeksekusi jaminan kredit perbankannya.” 63 C. Kegunaan Jaminan Kredit Bank Berdasarkan pengertian jaminan kredit bank di atas, maka kegunaan jaminan kredit bank, adalah untuk memberikan hak dan kekuasaaan kepada bank untuk pelunasan dari agunan apabila debitur melakukan cidera janji, yaitu untuk membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian, menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicengah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil, memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, khususnya mengenai pembayaran kembali, sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar debitur dan/atau pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang dijaminkan kepada bank. 64 D. Jenis-Jenis Jaminan Kredit Bank
62
Ibid., hal. 70. Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Perkreditan, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 88. 64 Rahmadi Usman, Op.cit., h. 286. 63
Jenis-jenis jaminan kredit bank secara umum dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian besar, antara lain : jaminan Perseorangan (Persoonlijke Zekerheid/ Personal Quaranty), yaitu jaminan seorang pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban dari debitur. Dalam pengertian lain dikatakan bahwa jaminan perseorangan adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang/kreditur dengan seorang pihak ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berutang/debitur. Jaminan perseorangan dapat dilakukan di luar (tanpa pengetahuan si debitur) tersebut. Dalam pinjaman perseorangan selalu dimaksudkan bahwa untuk pemenuhan kewajiban-kewajiban si berutang yang dijamin pemenuhan seluruhnya atau sampai suatu bagian (jumlah) tertentu, harta benda si penanggung/penjamin dapat disita dan dillelang menurut ketentuanketentuan perihal pelaksanaan (eksekusi) putusan-putusan pengadilan, dan jaminanan kebendaan (Zakerlijke Zakerheid) adalah merupakan suatu tindakan berupa suatu penjaminan yang dilakukan oleh kreditur/bank terhadap debiturnya, atau antara kreditur/bank dengan penjamin yang menjamin dipenuhinya kewajibankewajibannya dari si berutang/debitur. Pemberian jaminan kebendaan selalu berupa menyendirikan suatu bagian dari kekayaan sesorang, si pemberi jaminan dan menyediakannya guna pemenuhan (pembayaran) kewajiban/utang dari seorang debitur. Kekayaan tersebut dapat berupa kekayaan si debitur sendiri atau kekayaan seorang pihak ketiga. Penyendirian atau penyediaan secara khusus itu diperuntukkan bagi keuntungan seorang kreditur tertentu yang telah memintanya, karena bila tidak ada penyendirian atau penyediaan khusus itu, bagian dari kekayaan tadi, seperti halnya dengan seluruh kekayaan si debitur dijadikan jaminan untuk pembayaran atau kedudukan istimewa terhadap kreditur lainnya.” 65 E. Pengertian Hak Tanggungan Pengertian dari pada hak tanggungan itu sendiri dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 1 UU Hak Tanggungan 1996, bahwa yang dimaksud dengan hak tanggungan hak atas tanah beserta benda-benda yang terkait dengan tanah memberi defenisi Hak Tanggungan sebagai hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagimana dimaksud dalam UUPA berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu yang memberi kedudukan yang diutamakan kepada bank tertentu kreditur-kreditur lain. Hak Tanggungan adalah identik dengan hak jaminan yang bilamanadibebankan atas tanah Hak Milik, tanah Hak Guna Bangunan, tanah Hak Guna Usaha, tanah Hak Pakai memberi kedudukan utama kepada kreditur-kreditur yang akan menggeser kreditur lain dalam hal si berutang (debitur) wanprestasi dalam pembayaran utangnya, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pemegang hak Tanggungan lebih preferent terhadap krediturkreditur lainnya. Sebagai suatu lembaga hak jaminan yang kuat Hak Tanggungan mempunyai 4 (empat) ciri pokok, yakni memberikan kedudukan diutamakan
65
Gunawan Widjaja, dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 81.
(preferent) kepada krediturnya, selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek itu berada (droit de suite), dan mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Pengertian hak tanggungan di atas, menunjukkan bahwa pada prinsipnya hak tanggungan adalah hak yang dibebankan pada hak atas tanah beserta benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah. Benda-benda lain tersebut berupa, bangunan, tanaman dan hasil karya (seperti lukisan) yang melekat secara tetap pada bangunan. Keberadaan UUHT ini mempunyai konsekuensi yuridis terhadap sistem hukum perdata yang berkaitan dengan pemberian kredit. Dalam ketentuan Pasal 29 UU Hak Tanggungan dinyatakan bahwa dengan berlakunya undang-undang ini, ketentuan mengenai Creditverband sebagaimana tersebut diatur dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staatsblad 1909-586 Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 jo. Staatsblad 1937-191 dan ketentuan mengenai hipotik sebagaimana tersebut dalam Buku II KUH Perdata Indonesia sepanjang mengenai Pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.” 66 Di samping itu, hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi yang berarti bahwa hak tanggungan membebani secara utuh objeknya dan setiap bagian dari padanya. Pelunasan sebagian dengan yang dijamin tidak membebaskan sebagian objek hak tanggungan dan beban hak tanggungan tetapi hak tanggungan tetap membebani seluruh objeknya untuk sisa utang yang belum dilunasi. Agar hal ini dapat berlaku harus diperjanjikan dalam APHT, akan tetapi dalam praktik hal ini tidak ada dibuat oleh debitur. Perjanjian kredit bank merupakan perjanjian pokok dan di samping perjanjian pokok ada perjanjian accesoir (perjanjian tambahan), yakni perjanjian jaminan utang atau perjanjian hak tanggungan. Dalam perjanjian kredit bank yang dibuat oleh bank, jaminan utang yang hanya diikat dengan perjanjian kredit. Hal ini dapat dilihat dari rumusan Pasal 5 perjanjian kredit bank di bawah tangan yang dibuat pihak bank, sebagai agunan/jaminan kredit tersebut ditetapkan. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan “ SKMHT ”. Elemen dari defenisi dari pada Hak Tanggungan, sebagimana dimaksud dalam Pasal angka 1 UU Hak Tanggungan, UU Hak Tanggungan adalah hak jaminan. UU ini adalah realisasi dari Pasal 51 UUPA jo. Pasal 1131 KUH Perdata tentang Jaminan Umum, objek UU Hak Tanggungan ini adalah hak atas tanah. Ketentuan ini juga merupakan realisasi dari Pasal 25, Pasal 33, Pasal 39 dan Pasal 51 UUPA yang mengatakan bahwa objek hak tanggungan adalah hak atas tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain (bangunan, tanaman) yang melekat (tertanam) sebagai satu kesatuan dengan tanah. Dari kenyataan UU ini melihat bahwa kebutuhan menuntut untuk diterapkannya asas perlekatan yang tidak dikenal dalam hukum adat. Tanah yang diatasnya tertancap bangunan menaikkan nilai tanah. Dunia bisnis menghendaki agar asas perlekatan itu diakomodir oleh UU Hak Tanggungan, karena kreditur akan memperoleh jaminan yang tinggi harganya seimbang dengan 66
Boedi Harsono, Masalah Hipotik Dan Creditverband, (Yogyakarta, Kertas Kerja Pada Seminar Hipotik Dan Lembaga Jaminan Lainnya Di Yogyakarta, 1977), hal. 83-84.
besar jumlah kredit yang akan diberikan kepada debitur, dibandingkan jika dijaminkan hanya tanahnya saja, untuk pelunasan utang tertentu. Tujuan hak tanggungan tidak hanya sekedar melunasi utang yang timbul dari perjanjian pinjam uang, akan tetapi kewajiban memenuhi suatu perikatan. Hal ini mengacu kepada Pasal 3 UU Hak Tanggungan berdasarkan perjanjian lain dari perjanjian pinjam uang. Konsep ini juga dianut oleh KUH Perdata, dan kreditur mempunyai kedudukan utama (Penjelasan Umum Angka 4 UU Hak Tanggungan). Maksudnya jika debitur wanprestasi, kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan dengan hak mendahulu dari pada kreditur yang lain.) 67
Demikian juga bank meminta jaminan utang atas kredit yang dipinjam debitur, misalnya sertifikat hak atas tanah dan bangunan. Penyebab permintaan jaminan utang ini berupa sertifikat hak atas tanah dan bangunan ini karena kekhwatiran dari kreditur di kemudian hari debitur wanprestasi, sehingga jaminan itu akan dapat dijual melalui lelang. Pengikatan hak tanggungan ini harus juga didahului dengan perjanjian kredit yang berfungsi sebagai perjanjian pokok, kemudian diikuti dengan perjanjian hak tanggungan sebagai perjanjian accesoir. Proses pembebanan hak tanggungan dilakukan dengan 2 (dua) tahapan kegiatan, yaitu : tahap pemberian hak tanggungan, dalam tahap ini menurut ketentuan Pasal 10 UU Hak Tanggungan disebutkan, bahwa pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan. Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan tahap pendaftaran, bahwa menurut Pasal 13 UU Hak Tanggungan pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penanda-tanganan APHT, PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkat lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Pendaftaran hak tanggungan dilakukan di Kantor Pertanahan setempat dengan membuat Buku Tanah Hak Tanggungan dan mencatatkannya dalam Buku Tanah Hak Atas Tanah yang menjadi objek hak tanggungan, serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Jika tanah tersebut yang dijadikan sebagai objek jaminan belum sertifikat, maka tanah tersebut wajib terlebih dahulu disertifikasi. Selanjutnya, menurut Pasal 14 UU Hak Tanggungan, bahwa sebagai tanda bukti hak adanya hak tanggungan kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak atas tanggungan. Sertifikat tersebut memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.” Dengan demikian dalam sertifikat hak
67
Mariam Darus Badrulzaman, Loc.cit., hal. 15-17.
tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial dan sebagai pengganti grosse acte hyphotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.” 68 F. Pengertian Surat Kuasa Pemberian kuasa diatur dalam ketentuan Pasal 1792 KUH Perdata yang merumuskan, “pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1793 KUH Perdata dirumuskan, bahwa kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan di bawah tangan, bahwa dalam sepucuk surat ataupun dengan tulisan. Penerimaan kuasa dapat juga pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh si penerima kuasa.” 69 Surat kuasa yang dibuat oleh debitur kepada PT. BPR YIS juga mengandung kekurangan, antara lain : surat kuasa ditanda-tangani oleh penerima kuasa atas nama pribadi. Ini dapat dilihat dari rumusan blanko surat kuasa, dengan ini memberi kuasa khusus yang tidak dapat diubah atau ditarik kembali dan tidak menjadi batal dan tidak berakhir karena seba-sebab yang tercantum dalam ketentuan pada Pasal 1813 KUH Perdata yang menyebabkan suatu kuasa berakhir, kepada : Direktur PT. BPR YIS yang berkedudukan di Mojosongo-Boyolali. Klausul ini mengandung kelemahan karena kuasa tersebut diberikan kepada pribadi, seharusnya rumusan tersebut, memberikan kepada bertindak untuk dan atas nama PT. BPR YIS. Blanko Surat Kuasa ini tidak jelas diuraikan siapa yang memberi kuasa dan siapa yang memberi persetujuan. Sudah tentu yang memberi kuasa adalah debitur, sedangkan yang memberi persetujuan suami/isteri debitur. Demikian juga tidak ada diuraikan persetujuan dari penjamin tetapi semuanya disama-ratakan. Surat kuasa tersebut ada yang disetujui dengan hanya membubuhkan cap jempol tanpa ada legalisir dari Pejabat yang berwenang. Padahal seharusnya perjanjian yang disetujui dengan cap jempol harus dilegalisir Pejabat yang berwenang misalnya, Camat, Bupati,dan Notaris. Surat Kuasa ini hanya tersirat merupakan Surat Kuasa Menjual bukan SKMHT, karena debitur tidak dapat menjual sendiri barang-barang jaminan tersebut tanpa perantaraan Kantor Leleng Negara. Penjualan barang-barang agunan/jaminan tanpa melalui KLN atau menjual dengan lelang oleh undang-undang dan dinyatakan penjualan tersebut batal. G. Hubungan Jaminan Kredit dengan Hak Tanggungan. Dalam praktik di PT. BPR YIS hubungan jaminan kredit bank dengan hak tanggungan yaitu berupa sebidang tanah pertanian beserta segala sesuatu yang ada di atasnya yang sekarang telah ada maupun yang dikemudian hari akan ada dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 877 luas kurang lebih 4000m2 yang terletak di Desa Jatiroyo, Kecamatan Jatiruyo, Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah serta harta benda/barang-barang yang telah ada maupun yang dikemudian hari akan ada yang berada di rumah peminjam/debitur. Benda-benda lain tersebut berupa 68 69
Hermansyah, Op.cit., hal. 30-31. R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.cit., hal. 404-405
bangunan, tanaman dan hasil karya seperti lukisan yang melekat secara tetap pada bangunan serta harta benda/barang-barang yang telah ada maupun yang dikemudian hari akan ada yang berada di rumah peminjam/debitur, juga diikat dengan SKMHT yang dibuat di bawah tangan. Bentuk dan isi SKMHT telah diseragamkan dengan blanko SKMHT yang dibuat/dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), sebagaimana diatur dengan Peraturan Menteri Agraria/KBPN Nomor 3 Tahun 1996 tentang “Bentuk SKMHT, APHT, Buku Tanah Hak Tanggungan dan Sertifikat Hak Tanggungan. Pasal 15 angka 1 UU HT telah diatur mengenai cara, bentuk dan isi tentang pemberian kuasa membebankan hak tanggungan, dan pada pasal ini menentukan bahwa SKMHT wajib dibuat dengan “Akta Notaris atau Akta PPAT”. Bunyi ketentuan pasal tersebut sama sekali tidak ada dasar untuk menyimpulkan, bahwa kata “wajib” di sana harus ditafsirkan tidak boleh disimpangi. “Bagi sahnya suatu SKMHT selain dari harus dibuat dengan Akta Notaris atau kta PPAT, menurut Pasal angka 1 UU Hak Tanggungan harus pula dipenuhi pernyataan SKMHT, yang dibuat itu memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada membebankan hak tanggungan, tidak memuat kuasa substitusi, dan mencantumkan secara jelas objek hak tanggungan, jumlah utang dan mana serta identitas krditurnya, nama identitas debitur apabila debitur bukan pemberi hak tanggungan.”: 70 Kelemahan SKMHT yang dibuat oleh bank dalam praktiknya, adalah sebagai berikut surat kuasa tersebut dibuat di bawah tangan yang bertentangan dengan Pasal 10 angka 2 jo. Pasal 17 UUHT yang mengharuskan dibuat dengan akta PPAT, klausul dari surat kuasa bertentangan dengan Pasal 11 UUHT, penanda-tanganan surat kuasa ada yang hanya membubuhkan cap jempol, SKMHT tersebut tidak dilanjutkan dengan APHT sampai debitur dinyatakan wanprestasi, dan APHT tidak ada sehingga tidak ada pendaftaran Hak Tanggungan. Dengan demikian akibat kelemahan-kelemahan tersebut, SKMHT yang dibuat bank sejak semula dinyatakan tidak pernah ada atau batal demi hukum. Apabila dihubungkan dengan SKMHT dengan perjanjian kredit yang notabene juga kemungkinan besar dapat dibatalkan pengadilan karena ada unsur kesesatan, kekeliruan, paksaan, dan penipuan serta penyalah-gunaan keadaan. Hal ini bertentangan dengan hukum dan bertentangan dengan isi dari pada Pasal 1320 KUH Perdata, maka surat kuasa tersebut batal demi hukum. IV.UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM PENYELESAIAN UTANG DEBITUR YANG WANPRESTASI A. Akibat Hukum Klausul Perjanjian Kredit Bank Prosedur pembuatan suatu perjanjian kredit sangat mempengaruhi sah atau tidak perjanjian kredit tersebut. Apabila prosedur pembuatannya menyimpang dari 70
Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1996.
kepatutan dan kebiasaan serta ketentuan yang berlaku dapat juga mengakibatkan batal atau dibatalkannya suatu perjanjian kredit walaupun dibuat dalam bentuk tertulis. Pasal 1338 angka 1 KUH Perdata menentukan, setiap persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Ini berarti setiap persetujuan mengikat para pihak dari perkataan “setiap” dalam pasal di atas dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak.” 71 Pengadilan sering menolak sebagian tuntutan dari bunga dengan pertimbangan adanya ketidak seimbangan keadaan atau kedudukan dari kreditur dengan debitur untuk menentukan bunga dan denda sehingga besarnya bunga selalu diperhitungkan dengan kepatutan dan kepantasan bahkan ada hakim menentukan besarnya bunga dengan bunga moratium sebesar 6 % (enam persen) per tahun. “Untuk prosedur perjanjian yang kedua besar kemungkinan akan dibatalkan oleh pengadilan atau dinyatakan batal demi hukum. Pendapat ini didasarkan pada adanya penipuan atau penyesatan oleh pihak bank pada saat penandatanganan perjanjian kredit. Apabila perjanjian kredit tersebut dinyatakan batal, sudah barang tentu penyerahan sertifikat tanah sebagaimana jaminan utang dan SKMHT yang dibuat di bawah tangan juga dapat dibatalkan atau batal demi hukum karena merupakan perjanjian accesoir dari perjanjian kredit yang sudah terlebih dahulu dinyatakan batal. Pembatalan itu sendiri dapat dilakukan oleh debitur melalui gugatan di pengadilan. Akibat dari semuanya itu tetap berujung dapat merugikan pihak bank selaku kreditur. ” 72 Dengan demikian perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan mengandung kelemahan di mana salah satu pihak khususnya kreditur dapat menyangkal tanda tangan yang tertera dalam perjanjian kredit. Apalagi perjanjian kredit tersebut hanya dibubuhi cap jempol. Penyangkalan tanda dan atau cap jempol dalam perjanjian kredit tersebut mengakibatkan kreditur wajib membuktikan tanda tangan dan atau cap jempol tersebut adalah tanda tangan atau cap jempol dari debitur/penjamin. Tujuan suatu perjanjian kredit harus dibuat dalam bentuk tertulis adalah perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya misalnya perjanjian pengikatan jaminan, sebagai alat bukti surat dikemudian hari jika terjadi perselisihan, dan sebagai alat monitoring dan tertib administrasi keuangan perbankan. B. Upaya Hukum Yang Dilakukan Bank Perkreditan Rakyat Terhadap Perjanjian Kredit Bank Di Bawah Tangan Dalam Penyelesaian Utang Debitur Yang Wanprestasi Upaya terakhir yang dilakukan PT. BPR YIS terhadap perjanjian kredit bank di bawah tangan dalam penyelesaian utang debitur yang wanprestasi dalam melunasi utangnya, bunga dan denda hanya melalui gugatan di PN Boyolali setelah 71
Loc.cit., hal. 64. Hasil Wawancara terhadap Teguh Raharjo, Direktur PT. Bank Perkreditan Rakyat Yekti Insan Sembada, (Boyolali, pada tanggal 15 Juli 2009). 72
sebelumnya telah dilakukan upaya mediasi/perdamaian dan negosiasi atau addendum perjanjian kredit. Pengajuan gugatan melalui pengadilan sesuai dengan rumusan penutup perjanjian kredit dengan klausul “Demikianlah Surat Perjanjian Kredit ini dibuat dan ditanda tangani, bermaterai cukup. Bilamana terjadi perselisihan akan diselesaikan musyawarah dan bila tidak dapat dicapai penyelesaian secara adil, maka kedua belah pihak memilih yang tetap dan umum di Kantor Panitera Pengadilan Negeri Boyolali.” 73 Berdasarkan Putusan Perkara Perdata terhadap debitur wanprestasi No. 8/PDT.G/2007/PN.Bi. tanggal 16 April 2008, Putusan Perkara Perdata No. 10/Pdt.G/2008/PN.Bi tertanggal 4 September 2008 dan Putusan Perkara Perdata Nomor : 11/Pdt.G/2008/PN.Bi.tanggal 14 Agustus 2008, dapat disimpulkan bahwa putusan itu juga merugikan PT. BPR YIS karena dinyatakan mengabulkan eksepsi tergugat, menyatakan gugatan penggugat rekonpensi/tergugat konpensi tidak dapat diterima, dan dalam rekonpensi menghukum pengugat konpensi/tergugat rekonpensi untuk membayar biaya perkara. Eksepsinya adalah suatu rangkaian yang tidak menyangkut pokok perkara. Suatu eksepsi (tangkisan) disusun dan diajukan berdasarkan gugatan yang dibuat oleh penggugat dengan mencari kelemahan-kelemahannya atau hal-hal lain di luar gugatan yang ada hubungannya dengan gugatan dimaksud yang menjadi alasan menolak atau tidak diterimanya gugatan tersebut. Dalam eksepsi ini dibagi atas 2 (dua) bagian, yaitu eksepsi absolut dan eksepsi relatif. Dalam eksepsi absolut harus menyangkut kompetensi absolut pengadilan, yakni kompetensi absolut dari pengadilan adalah menyangkut kewenangan dari jenis pengadilan apa untuk memeriksa perkara tersebut, apakah wewenang Pengadilan Negeri, Pengadilan Militer, Pengadilan Agama (Islam) atau Pengadilan Tata Usaha Negara. Dan masalah kompetensi absolut itu diatur dalam Pasal 134 HIR/Pasal 160 RBG dan dapat diajukan setiap saat selama perkara masih berjalan. Dalam hal ini Pengadilan Negeri berwenang mengadili sengketa ini karena sengketa yang terjadi berkenaan dengan pengingkaran. 74 Dalam hal ada pemililhan domisili, kepada para pihak tetap terbuka pilihan untuk memilih Pengadilan Negeri yang disepakati, atau memilih Pengadilan Negeri di tempat mana tergugat bertempat tinggal (actor sequitum forum rei) kesepakatan atas domisili pilihan yang digariskan Pasal 118 angka 4 HIR tidak menyingkirkan secara mutlak patokan kompetensi relatif yang diatur Pasal 118 angka 1 HIR kepada pihak yang bertindak dan mengambil inisitif sebagai penggugat, UU memberi kebebasan di antara kompetensi relatif berdasarkan domisili atau tempat tinggal tergugat. 73
Surat Perjanjian Kredit Nomor : KRD/6467/BPR.YIS/XII/2005, tanggal 12 Desember 2005, antara PT. Bank Perkreditan Rakyat Yekti Insan Sembada (Kreditur) dengan Warmi dan Paimin (Debitur). 74 Darwin Prinst, Strategi Menyusun dan Menagani Gugatan Perdata, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 179.
Kumulasi gugatan (semen voeging) adalah penggabungan beberapa masalah dalam 1 (satu) gugatan, baik menyangkut subjek maupun objek. Dalam praktik, sering pula disebut kumulasi terlarang. Oleh karena itu, masalah kumulasi perlu diperhatikan demi keberhasilan gugatan. Sedangkan kumulasi objektif adalah beberapa objek digabung dalam 1 (satu )gugatan. Masalah-masalah yang dapat digabungkan demikian hanyalah yang ada hubungan satu dengan lainnya, sedangkan masalah yang tidak ada hubungan satu dengan yang lain harus digugat sendiri, tidak dapat dikabulkan dalam satu surat gugatan. Dan kumulasi subjektif adalah beberapa orang/badan hukum (subjek hukum) disatukan (digabungkan) dalam satu golongan. Untuk mengajukan gugatan secara kumulasi subjektif, haruslah ada satu keterkaitan erat mengenai masalah hukum yang dihadapi oleh para penggugat. Pembuatan grosse akta tidak pernah dilakukan debitur, sehingga jaminan utang berupa sebidang tanah pertanian dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah tidak dapat secara langsung dijual, akan tetapi melalui Kantor Lelang Negara, setelah terlebih dahulu ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Untuk melaksanakan eksekusi terhadap agunan/jaminan kredit, maka pihak pemohon eksekusi terlebih dahulu membayar biaya eksekusi. Selain biaya itu dibayar, barulah eksekusi dapat dilaksanakan. Eksekusi itu pelaksanaannya dapat dibagi menjadi lelang eksekusi dan eksekusi memulihkan keadaan. Dan terhadap penjualan barang yang disita dialakukan untuk membayar sejumlah nilai tertentu sesuai putusan pengadilan kepada pemohon eksekusi yang pelaksanaannya dilakukan dengan perantaraan kantor lelang atau menurut keadaan sesuai pertimbangan ketua pengadilan (Pasal 200 HIR, Pasal 215 Rbg). Penjualan barang bergerak dilakukan dengan tertulis dengan terlebih dahulu mengumumkannya kepada khalayak ramai dengan tawaran tertinggi sebagai pemenang. Untuk itu pihak yang kalah perkara berhak menunjukkan barang yang akan dijual lelang itu. Setelah hasil barang dijual dilelang sama dengan jumlah tersebut dalam putusan pengadilan ditambah ongkos menjalankan putusan, maka penjualan itu dihentikan, sedangkan sisanya dikembalikan kepada pihak yang kalah perkara. Penjualan barang-barang tidak bergerak terlebih dahulu harus diumumkan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) surat kabar yang terkait ditempat itu, sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari sebelum hari pelelangan itu dilaksanakan. Sebagai bukti pembelian, Kantor Lelang memberi surat keterangan kepada pembeli. Dalam hal yang kalah tidak mau meninggalkan barang tidak bergerak itu, maka KPN membuat surat perintah atau kalau perlu dengan bantuan Polisi untuk menggosongkan barang tidak bergerak tersebut. V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Klausul perjanjian kredit bank di bawah tangan yang dibuat oleh bank tidak secara jelas merumuskan tanggal pembayaran setiap bulan, cara angsuran pembayaran utang, dan biaya administrasi. Perjanjian kredit bank tersebut dibuat
2.
3.
B. 3.
dalam bentuk tertulis di bawah tangan, ditanda tangani para pihak dengan tidak ada saksi, tidak dilegalisasi dan ada pihak yang hanya membubuhkan cap jempol yang dianggap sebagai tanda tangan, tidak dibedakan antara peminjam (debitur) dengan penjamin serta pihak yang memberi persetujuan atas pinjaman debitur (misalnya suami/isteri), semuanya disamakan, sehingga dapat terjadi salah persepsi dalam menentukan pihak yang berkewajiban untuk membayar utang kepada kreditur serta pihak kreditur tidak melakukan penelitian. Perjanjian kredit bank dalam bentuk tertulis di bawah tangan dengan jaminan kredit bank adalah sertifikat tanah beserta benda-benda yang ada kaitannya dengan tanah tersebut yang dilakukan oleh PT. BPR YIS terhadap nasabah peminjam (debitur) adalah bertentangan Pasal 10 angka 2 juncto Pasal 17 UU Hak Tanggungan yang mengharuskan debitur membuat SKMHT terlebih dahulu di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu (Notaris/PPAT) melalui suatu akta otentik, dan baru kemudian dibuat APHT oleh pejabat yang berwenng untuk itu (Notaris/PPAT). SKMHT dan APHT yang dibuat oleh PT. BPR YIS adalah telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku dan akibat hukumnya adalah perjanjian kredit bank tersebut dapat batal atau dibatalkan demi hukum. Dan SKMHT tidak wajib APHT karena jumlah kreditnya kecil, SKMHT mana tidak berakhir sebagai SKMHT biasanya tetapi terus berjalan sampai kredit harus dibayar oleh debitur kepada PT. BPR YIS. Upaya yang dilakukan PT. BPR YIS untuk menuntut pemenuhan prestasi debitur yang wanprestasi dalam melaksanakan kewajiban pembayaran utang berikut bunga yang tertunggak melalui cara mediasi/perdamaian , negosiasi, penjadwalan ulang pembayaran utang dengan membuat addendum perjanjian kredit gagal mencapai sasaran yang diharapkan, karena dalam addendum perjanjian kredit bank tidak ada dirumuskan mengenai denda, sehingga upaya hukum litigasi ditempuh melalui PN Boyolali dilakukan dengan 2 (dua) cara yakni : pertama gugatan diajukan kepada salah satu debitur dan atau digabungkan dengan beberapa debitur yang ada kaitannya dengan perjanjian kredit bank, kedua ditujukan ke beberapa debitur secara sekaligus walaupun tidak ada hubungan hukum di antara debitur yang digugat dan objek gugatannya. Namun, karena lemahnya bukti-bukti yang dimiliki oleh PT. BPR YIS, maka gugatan yang diajukan ke PN Boyolali tersebut hanya memperoleh putusan mengabulkan sebagian dari gugatan yang diajukan dan menolak gugatan selebihnya. Saran Disarankan kepada PT. BPR YIS dalam membuat klausul perjanjian kredit bank harus secara tegas mengatur waktu pembayaran utang setiap bulan, jumlah utang yang harus dibayar setiap bulan, cara angsuran pembayaran utang, dan biaya administrasi, dibedakan antara peminjam (debitur) dengan penjamin, serta pihak yang memberi persetujuan atas pinjaman debitur (misalnya suami/isteri), sehingga tidak terjadi salah persepsi dalam menentukan pihak yang berkewajiban untuk membayar utang yang dipinjam dari kreditur.
2. Disarankan dalam pembuatan SKMHT harus dibuat dan ditanda tangani di hadapan Notaris/PPAT bukan dibuat di bawah tangan dan harus ditanda tangani oleh para pihak, saksi dari kedua belah pihak, serta harus dibedakan peminjam penjamin dan sebelum penanda tanganan perjanjian kredit bank dilakukan terlebih dahulu harus dilakukan survey terhadap debitur untuk mengetahui watak, kemampuan modal, agunan, prospek usaha dari debitur. 3. Disarankan dalam upaya hukum yang dilakukan pihak PT. BPR YIS untuk memaksa debitur yang wanprestasi membayar utang, bunga dan denda lebih mengutamakan penjadwalan ulang pembayaran utang dengan membuat adendum perjanjian kredit serta membuat syarat-syarat yang lebih ringan bagi debitur, bila perlu denda diringankan, sehingga lebih menguntungkan karena dapat memperoleh pengembalian dana yang lebih besar, sehingga apabila di kemudian hari debitur ingkar janji dapat langsung dilakukan penjualan lelang atas jaminan kredit debitur. Dan kepada PT. BPR YIS harus lebih menjaga dan mematuhi Prinsip Aturan Perbankan yang telah diatur oleh UU Perbankan 1992 yang telah dirubah dalam UU Perbankan 1998 dalam hal membantu Pemerintah untuk menyelenggarakan dan membantu ekonomi lemah dalam penyaluran kredit kepada masyarakat terutama kepada pengusaha kecil, serta kepada PN Boyolali harus lebih berhati-hati dalam memeriksa isi gugatan, baik terhadap objek yang disengketakan maupun domisili yang tetap dan umum dalam menyelesaikan gugatan perkara terhadap debitur yang wanprestasi dalam melunasi kredit, karena dalam hukum positif tidak ada mengatur mengenai penggabungan gugatan, karena gugatan satu terhadap gugatan lainnya belum tentu ada hubungan yang erat dan belum tentu ada hubungan hukum.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku Abdulkadir, Muhammad, dan Murniati Rilda, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan, Bandung, PT. Citra Adita Bakti, 2000. ___, Hukum Perjanjian, Bandung, PT. Alumni, 1980. Arthesa, Ade, dan Handiman Edia, Bank Dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, Bandung, PT. Indeks Kelompok Gramedia, 2006. Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian Hukum, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007. Asikin, Zainal, Pokok-Pokok Hukum Perbankan Di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Badrulzaman, Darus, Mariam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dan Penjelasannya, Bandung, PT. Alumni, 1993. _______, Perjanjian Kredit Bank, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1991. _______, Aneka Hukum Bisnis, Yogyakarta, Andi, 2000. Cetak Biru, Bank Perkreditan Rakyat, Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat Bank Indonesia, 2006. Gandaprawira, D., Perkembangan Hukum Perkreditan Nasional Dan Internasional, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1992. Fuady, Munir, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1999. _______, Hukum Perbankan Modern, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1999. Fahmi, Irham, Analisis Kredit dan Fraud Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, Bandung, PT. Alumni, 2008. Hermansyah, Hukum Perbankan Di Indonesia, Jakarta, Prenada Media, 2005. Harsono, Boedi, Masalah Hipotik Dan Creditverband, Yogyakarta, Kertas Kerja Pada Seminar Hipotik Dan Lembaga Jaminan Lainnya, 1977. Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung, PT. Alumni, 1982. _______, Hukum Acara Perdata, Jakarta, PT. Sinar Grafika , 2007. Ichsan, Achmad, Hukum Perdata I B, Jakarta, Pembimbing Masa, Tanpa Tahun Penerbitan. Kamello, Tan, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Dibutuhkan Sejarah, Perkembangan, dan Pelaksanaannya dalam Praktik Bank dan Pengadilan, Bandung, PT. Alumni, 2006. Lubis, M., Solly, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Bandung, CV. Mandar Maju, 1994. Mansjurdin, Nurdin, Permasalahan Utama Perbankan Swasta Nsional Dewasa Ini Dan Upaya-Upaya Penanggulangannya (Makalah), Jakarta, 1994. Marhainis, Hay, Abdul, Hukum Perjanjian Di Indonesia, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 1979. Muljono, Liliawati, Eugenia, dan Tunggal, Widjaja, Amin, Eksekusi Grosse Akta Hipotik Oleh Bank, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1996.
Miru, Ahmad, Hukum Kontrak Dan Perncangan Kontrak, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Muhammad, Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2006. Meliala, S., Djaja, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda Dan Hukum Perikatan, Bandung, CV. Mandar Maju, 2007. Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah Disampaikan Pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum Dan Hasil Penulisan Penelitian Hukum pada Makalah Akreditasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, tanggal 18 Pebruari, 2003. Pratiknyo, Hartono, Soerjo, Kredit Perbankan di Indonesia, Yogyakarta, Mustika Wikasa, 2000. Prodjodikoro, R., Wirjono, Azas-azas Hukum Perjanjian, Bandung, PT. Alumni, 1980. Rahman, Hasanuddin, Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1995. Satrio, J., Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku I, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1995. __, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku I, Bandung, PT. CitraAditya Bakti, Cetakan Kedua, 2001. _______, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku II, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. _______, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Bandung, PT. Alumni, 1993. Saliman, R., Abdul, Hermansyah, dan Jalis, Ahmad, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori Dan Contoh Kasus, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, Edisi Kedua, Cetakan Ketiga, 2007. Setiawan, R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta, Cetakan Keempat, 1987. Setijoprojo, Bambang dan Arie, Sundari, Aspek Hukum dalam Penanganan Kredit Macet (Artikel), Majalah Pengembangan Perbankan, Edisi Mei-Juni,1994. Simorangkir, O.P., Seluk Beluk Bank Komersil, Jakarta, PT. Aksara Persada Indonesia, 1986. Sinungan Muchdarsyah, Manajemen Dana Bank, Jakarta, Bumi Aksara, 1989. Sjahdeini, Sutan, Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta, Institut Bankir Indonesia, 1993. ____, Peranan Jaminan Dan Agunan Kredit Menurut Undang-Undang Perbankan 1992, Makalah Disajikan Pada Seminar Eksitensi Agunan Dan Permasalahannya Dalam Perbankan, Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Surabaya, 1993. ____, Memadaikah Perlindungan Yang Diberikan Oleh Hukum Kepada Nasabah Penyimpan Dana, Orasi Ilmiah Dalam Rangka Memperingati Dies Natalis XL/ Lustrum VIII, Universitas Airlangga Surabaya, Surabaya, 1994.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia, 2007. Soekanto, Soerjono, dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Rajawali Press, 2007. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jakarta, Dian Rakyat, Jilid Pertama, Bagian Pertama, Cetakan Keenam, 1977. Supramono, Gatot, Perbankan Dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta, Djambatan, 1995. Sutan, Thomas, Dasar-Dasar Perkreditan, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995. Syahrani, Ridwan, Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Bandung, PT. Alumni, 1985. Subekti, R., Aneka Perjanjian, Bandung, PT. Alumni, 1982. Subekti, R., dan Tjitrosudibio, R., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, Cetakan Ketga Puluh Enam, 2005. ___,Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Dan Undang-Undang Kepailitan, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 1987. Sutarno, Apek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung, Apabeta, 2005. Suryabrata, Samadi, Metodologi Penelitian, Jakarta, PT. Raja Grafindo, 1998. Suryodiningrat, R., M., Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Bandung, Tarsito, 1978. S., W., Maria, Pedoman Pembuktian Usulan Penelitian, Yogyakarta, Gramedia, 1989. The’Aman, Putra, Edy, Mgs., Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Yogyakarta, Liberty, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, 1989. Untung, Budi, H., Kredit Perbankan Di Indnesia, Yogyakarta, Andi, Edisi Kedua, 2005. Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Pertama, 2001. Waluyo, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Sinar Grafika, 1986. Wardoyo, Ch. Gatot, Sekitar Klausul-Klausul Perjanjian Kredit Bank, Bank dan Manajemen, Nopember-Desember, 1992. Wuisman, J., J., M., dengan Penyunting Huisman, M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta,1996. Widjaja, Gunawan, dan Yani, Ahmad, Jaminan Fidusia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2007. B. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1992.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 182 Tahun 1998. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/26/PBI/2006 tanggal 8 Nopember 2006, tentang Bank Perkreditan Rakyat, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2006. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia Tentang Perbankan dan Lembaga Penjamin Simpanan, Tim Redaksi Nuansa Aulia, Bandung, CV. Nuansa Aulia, Cetakan Pertama, 2005. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Lima Undang-Undang Moneter Dan Perbankan, Bandung, Fokus Media, 2009 C. Internet http://presiden.sby.info/index.php/2005/12/08/135.html, yang diakses tanggal 4 September 2009.