MILIK DEP. DIKBUD Tidak diperdagangkan
937 N
m y;
E
ANCACIT
UPACARA TRADISIONAL PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH
SSi^
LZl'-Ji'IZulEi I ?Ei ILiLl/^i
! I>Ai I LEEUb^ /A/_i J
c -
V->>-
UPACARA TRADISIONAL PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH
-fj
<*
MILIK DEP. DKBUD Tidak diperdagangkan
voei
X ; />1A/D.ENVÜ^
UPACARA TRADISIONAL PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH
TEAM PENELITI KONSULTAN
Drs. T. Syamsuddin
Pelaksana Ketua Sekretaris
Drs. T. A. Hasan Husin
Anggota
1. Drs. Mahmud Main 2. Muhammad Saidi, SH 3. Drs. Razali Umar.
E D I T O R
Drs. M. Isa Sulaiman
:
DRS. H. BAMBANG SUWONDO DRS. AHMAD YUNUS DRA. TATIEK KARTIKASARI.
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PUSAT PENELITIAN SEJARAH DAN BUDAYA PROYEK INVENTARISASI DAN DOKUMENTASI KEBUDAYAAN DAERAH 1981 / 1982
tol
Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah 1984,-
P R A K A T A Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (IDKD) Propinsi Daerah Istimewa Aceh berusaha, untuk menginventarisir dan mendokumentasikan 5 (lima) Aspek Kebudayaan Daerah setiap tahun. Hasil dari pada Inventarisasi dan Dokumentasi tersebut secara berangsur-angsur diterbitkan sesuai dengan dana yang tersedia. Tahun Anggaran 1984/1985 salah satu yang diterbitkan adalah Upacara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Buku ini memuat berbagai informasi yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat tempo dulu, yang telah berhasil diteliti oleh Tim yang dipercayakan untuk itu. Berhasilnya para anggota tim dalam melaksanakan tugasnya terutama mengumpulkan data-data hingga buku ini diterbitkan adalah berkat kerja sama dengan berbagai Instansi / Jawatan Pemerintah, Swasta dan tokoh-tokoh masyarakat serta informan pada umumnya. Disamping itu Pemerintah Daerah, Rektor Universitas Syiah Kuala, Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Kepala Bidang Permuseuman,Sejarah dan Kepurbakalaan juga telah memberi bantuan sepenuhnya, seyogianya kami ucapkan terima kasih. Kepada Penanggung Jawab Penelitian, Konsultan dan Anggota tim peneliti tak lupa kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih. Akhirnya penuh harapan kami, semoga penerbitan ini ada manfaatnya. Banda Aceh, 12 Nopember 1984 Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh P e m i m p i n , Drs. Alamsyah NIP.130343205 1
P E N G A N T A R Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menghasilkan beberapa macam naskah kebudayaan daerah diantaranya ialah : Upacara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Kami menyadari bahwa naskah ini belumlah merupakan suatu hasil penelitian yang mendalam, tetapi baru pada tahap pencatatan, yang diharapkan dapat disempurnakan pada waktu-waktu selanjutnya. Berhasil usaha ini berkat kerja sama yang baik antara Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional dengan Pimpinan dan Staf Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Pemerintah Daerah, Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Perguruan Tinggi, Leknas/LIPI dan tenaga ahli perorangan di daerah. Oleh karena itu dengan selesainya naskah ini, maka kepada semua pihak yang tersebut di atas kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih. Demikian pula kepada tim penulis naskah ini didaerah yang terdiri dari : Drs. T. Syamsuddin, Drs. T. A. Hasan Husin, Muhammad Saidi, SH, Drs. M. Isa Sulaiman, Drs. Razah Umar, dan tim penyempurnaan naskah di pusat yang terdiri dari : Drs. H.Bambang Suwondo, Drs. Ahmad Yunus, Dra. Tatiek Kartikasari. Harapan kami, terbitan ini ada manfaatnya.Jakarta,
Nopember 1984,-
Pemimpin Proyek,
Drs. Achinad Yunus NIP. II
KATA SAMBUTAN Seirama dengan Pembangunan Nasional secara menyeluruh, dalam Sektor Kebudayaan terus ditata dan dikembangkan salah satu upaya dalam menata dan mengembangkan Kebudayaan adalah Usaha Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Bagi suatu Daerah yang sedang berkecimpung dalam arena Pembangunan Nasional, data dan Pendokumentasian segala Aspek Kebudayaan Daerah perlu mendapat perhatian sebagai salah satu unsur untuk menentukan corak pembangunan Daerah dan sekaligus memperkokoh dan memperkaya Kebudayaan Nasional. Kegiatan Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah disalurkan melalui Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh dengan berbagai Aspek Penelitian. Salah satu Aspek hasil penelitian dan diterbitkan tahun ini adalah Upacara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh. 1981 / 1982. Meskipun dirasakan terdapat kekurangan-kekurangan, namun sajian dalam buku ini kiranya dapat memberikan informasi bahwa Propinsi Daerah Istimewa Aceh memiliki potensi budaya yang mempunyai arti tersendiri dalam keanekaragaman Kebudayaan Nasional. Usaha penerbitan buku ini, disamping sebagai pendokumentasian; luga dimaksudkan untuk merangsang kegairahan berkarya, dan menggali lebih jauh Nilai-nilai luhur Bangsa untuk diwariskan kepada Generasi penerus. Kepada semua pihak yang telah membantu usaha penerbitan ini, kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih. Banda Aceh, Nopember 1984 Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Kepala,
SEMADI SH NIP. 130428219 III
D A F T A R
ISI Halaman
PRAKATA KATA PENGANTAR
I II
KATA SAMBUTAN
III
DAFTAR ISI
IV
BAB I PENDAHULUAN
1
1. MASALAH PENELITIAN
1
2. TUJUAN PENELITIAN
3
3. RUANG LINGKUP PENELITIAN
4
4. PROSEDUR DAN PERTANGGUNGAN JAWAB PENELITIAN
5
BAB II I D E N T I F I K A S I A. MASYARAKAT LHONG CUT 1. 2. 3. B. 1. 2. 3.
Penduduk dan Lokasi Latar Belakang Historis Sistem Religi dan Alam Pikiran MASYARAKAT KAMPUANG PINANG Penduduk dan Lokasi Latar Belakang Historis Sistem Religi dan Alam Pikiran
8 8 9 10 13 13 18 19
C. MASYARAKAT KUTE ROBEL 1. Penduduk dan Lokasi 2. Latar Belakang Historis
21 21 24
3. Sistem Religi dan Alam Pikiran
26
IV
BAB III. DESKRIPSI UPACARA TRADISIONAL MASA KEHAMILAN, KELAHIRAN DAN BAYI, KANAK-KANAK DAN MASA MENJELANG DEWASA. A. MASYARAKAT LHONG CUT 1. Upacara Masa kehamilan
28 28
1.1.
Upacara Ba Bah Kayee
28
1.2.
Upacara Peugot Tangkai
30
1.3. 1.4.
Upacara Ba Bu Upacara Peuramin
33 34
2. Upacara Masa kelahiran dan Masa Bayi 2.1. Upacara Masa Kelahiran
35 36
2.1.1.
Upacara Koh Pusat
36
2.1.2. 2.1.3. 2.2. 2.2.1. 2.2.2. 2.2.3.
Upacara Upacara Upacara Upacara Upacara Upacara
38 39 39 40 41 42
2.2.4.
Upacara Ikat Ayon
44
2.2.5. 2.2.6.
Upacara Boh Nan Upacara Peutron Aneuk
45 46
2.2.7. 2.3.
Upacara Hakikah Upacara Masa Kanak - kanak
48 49
2.3.1.
Upacara Lhah Mik
50
2.3.2.
Upacara Sunat Aneuk Inong
50
2.4.
Upacara Masa Menjelang Dewasa
52
2.4.1.
Upacara Euntat Beut
52
2.4.2.
Upacara Peutamat Beut
54
2.4.3.
Upacara Sunat Aneuk Agam
55
Azan atau Qamat Tanom Adoe Masa Bayi Peucicap Cuko Ok Peutron Dapu
B. MASYARAKAT KAMPUANG PINANG
59
1. Upacara Masa Kehamilan
59
1.1.
Upacara Nasie Bidan
59
1.2. Upacara Pangidaman 2. Upacara Masa kelahiran dan Masa Bayi 2.1. Upacara Masa Kelahiran 2.1.1. Upacara Karek Pusek 2.1.2. Upacara Azan atau Qamat ( Iqamat ) 2.1.3. Upacara Mananam Kakak 2.2. Upacara Masa Bayi 2.2.1. Upacara Bascukua 2.2.2. Upacara Pasunting 2.2.3. Upacara Turun Ka Aie 2.2.4. Upacara Mambuai 2.2.5. Upacara Pacicop 2.2.6. Upacara Hakikah 2.3. Upacara Masa Kanak - kanak 2.3.1. Upacara Basunat 2.3.2. Upacara Maanta Mangaji 2.4. Upacara Masa Menjelang Dewasa 2.4.1. Upacara Basunat 2.4.2. Upacara Chatam
61 64 64 64 65 66 66 66 68 69 72 73 74 75 75 76 77 78 83
C. MASYARAKAT KUTE ROBEL
85
1. Upacara Masa Kehamilan 1.1. Upacara Serahen 1.2. Upacara Kunjungan 1.3. Upacara Tangkal Benang 2. Upacara Masa Kelahiran dan Masa Bayi 2.1. Upacara Masa Kelahiran 2.1.1. Upacara Potong Pusat
85 85 87 88 90 90 90
VI
2.1.2.
Upacara Azan atau Iqamat
91
2.1.3.
Upacara Tanam Tembuni
91
2.2.
Upacara Masa Budak
92
2.2.1. 2.2.2. 2.2.3. 2.2.4. 2.2.5. 2.2.6. 2.2.7. 2.3. 2.3.1. 2.3.2. 2.4. 2.4.1. 2.4.2. 2.4.3.
Upacara Cukur Rambut Upacara Cukur Rambut Upacara Pecicap Upacara Beri Nama Upacara Turun Tanah Upacara Hakikah Upacara Mandi 44 Upacara Masa Kanak - kanak Upacara Ulangan Upacara Menjelisen Ipak Upacara Masa Menjelang Dewasa Upacara Serahen Ku Tengku Upacara Chatam Upacara Menjelisen Win
93 95 97 97 98 100 101 102 103 104 105 105 107 108
BAB IV PENUTUP DAFTAR INDEKS CATATAN KAKI DAFTAR BACAAN
'.
Lampiran DAFTAR INFORMAN
110 113 116 117 118
PEDOMAN WAWANCARA PETA DAERAH ISTIMEWA ACEH
120
ooOoo
VII
BAB I PENDAHULUAN 1. MASALAH PENELITIAN Secara umum dapat dikatakan bahwa kebudayaan adalah warisan sosial yang hanya dapat dimiliki oleh warga masyarakat yang mendukungnya dengan jalan mempelajari. Didalamnya terdapat sejumlah norma-norma dan nilai-nilai kehidupan sebagai tatacara pergaulan. Norma-norma dan nilai-nilai kehidupan ini dapat dipelajari melalui jalur pendidikan, baik pendidikan formal, maupun pendidikan non formal. Melalui jalur pendidikan formal dapat dipersiapkan warga masyarakat yang menguasai ketrampilan hidup sehari-sehari, serta memiliki sikap dewasa. Dan melalui jalur pendidikan non formal dapat membina warga masyarakat dengan jalan pergaulan serta menghayati pengalaman bersama sesama warga masyarakat lainnya. Melalui ini warga masyarakat akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial budayanya. Disamping melalui jalur pendidikan formal dan non formal diatas, masih ada cara pembinaan sosial budaya terutama bagi masyarakat tradisional yaitu dengan cara upacara-upacara tradisional pula. Dengan cara ini dapat memperkokoh norma-norma dan nilai-nilai budaya yang telah berlaku turun-temurun. Penampilan sejumlah norma-norma dan nilai-nilai itu dapat terjadi melalui pemeragaan simbolis oleh para warga masyarakat yang mendukungnya. Dengan cara ini para warga masyarakat dapat mengembangkan perasaan aman, tidak kehilangan arah serta pegangan hidup dalam menentukan sikap dan tingkah lakunya seharihari. Dengan demikian rasa solidaritas antara sesama warga masyarakat semakin menjadi lebih tebal. Upacara tradisional merupakan tingkah laku resmi yang dibakukan untuk peristiwa-peristiwa yang tidak ditujukan kepada kegiatan teknis sehari-hari, akan tetapi mempunyai kaitan dengan kepercayaan adanya kekuatan diluar kemampuan manusian (gaib). Kekuatan gaib ini dapat berupa kekuatan super natural seperti roh, makhlukmakhluk halus dan kekuatan-kekuatan sakti. 1
Pada umumnya upacara-upacara tradisional merupakan rangkaian perangkat lambang yang bisa berupa benda atau materi, kegiatan fisik, hubungan-hubungan tertentu,kejadian-kejadian, isyarat-isyarat, dan bagian-bagian dari situasi tertentu yang dilakukan dalam upacara. Kesemuanya ini dapat dilihat dari ujud lahiriyah, penafsiran para ahli atau orang yang terlibat didalamnya, ataupun melalui penafsiran para pengamat. Dewasa ini di Indonesia, sedang giat-giatnya dilaksanakan pembangunan disegala bidang. Kegiatan ini memberi kemungkinan akan terjadi pergeseran nilai-nilai budaya masyarakat. Sehingga tidak mudah untuk mengujudkan pembinaan sosial budaya yang tunggal dan baku. Lagi pula masyarakat Indonesia mempunyai sifat majemuk dengan anekaragam latar belakang kebudayaan. Sementara perwujudan kebudayaan nasional yang tunggal dan baku belum berkembang sepenuhnya, maka dirasa perlu untuk menanam nilai-nilai budaya dan gagasan vital kepada anggota masyarakat, agar ia mendapat pegangan dan arah hidup yang lebih baik. Dengan demikian dirasa perlu memanfaatkan berbagai upacara tradisional yang mencerminkan nilai-nilai budaya serta gagasan vital yang luhur, bagi pembinaan sosial budaya masyarakat Indonesia ( 1, 1982, 2 0 - 21 ). Masyarakat Aceh yang menetap di bagian ujung Barat Indonesia, sedang mengalami pula pergeseran nilai-nilai budaya. Lebih-lebih lagi sekarang sedang dibangun beberapa proyek raksasa, tentu akan banyak membawa impact bagi sosial ekonomi masyarakat. Ditambah lagi sarana lembaga-lembaga pendidikan dari tahun ke tahun terus bertambah, jalur komunikasi semakin mantap, dan migrasi penduduk semakin pula terjadi, menyebabkan dapat mempercepat terjadi proses pergeseran nilai-nilai budaya masyarakat, termasuk nilai-nilai yang terkandung dalam upacara tradisional. Aneka ragam upacara tradisional yang dikembangkan dikalangan masyarakat Aceh, pada dasarnya dapat dibagi kedalam dua katagori. Katagori pertama merupakan upacara lintasan hidup (individual life cycle), dan katagori kedua merupakan upacara merawut (ritual of aflication ). Katagori yang pertama merupakan upacara yang diselenggarakan untuk menandakan peristiwa perkembangan fisik maupun sosial 2
seseorang mulai dari dalam kandungan sampai ia mengalami kematian. Katagori ini ditandai oleh perpindahan dari suatu fase kehidupan kepada fase lain atau dari satu status kelain status sosial. Perpindahan status pada upacara turun anak pertama, merupakan tonggak peralihan status sosial bagi banyak orang, bukan saja dalam lingkungan keluarga batin. Seorang ibu, dan seorang suami akan menjadi seorang bapak. Demikian juga orang tua suami-isteri, akan menjadi kakek dan nenek. Kelahiran anak dari keluarga yang mempunyai kedudukan sosial yang terhormat, akan mempunyai dampak sosial yang lebih luas lagi, karena menyangkut soal warisan kekayaan dan kedudukan sosial dalam masyarakat. Katagori yang kedua merupakan upacara yang bertujuan untuk menertibkan kembali keadaan yang dirasa terganggu dengan membuang biang keladinya sebagai penyebab ketidak beresan. Upacara ini sangat erat kaitannya dengan kepercayaan terhadap roh pelindung dan roh jahat, atau lain-lain kekuatan super natural. Upacara tulak bala (tolak bala) yang sering dilakukan oleh masyarakat Aceh di Kuala-kuala Krueng (kuala sungai) merupakan usaha preventif atau penawar bencana yang mungkin menimpa seseorang atau masyarakat. Upacara peulheuh kaoy (melepaskan nazar) sebagai upacara membina ketertiban dan kesejahteraan perorangan masyarakat yang bersifat penyembuhan sebagai usaha represif dan kuratif terhadap bencana yang menimpa. Penelitian ini ingin melihat upacara-upacara yang berkaitan dengan lintasan hidup perorangan (individual life cycle) saja. Upacara ini meliputi soal kelahiran, perkawinan, dan ke matian. Akan tetapi cakupan ini terasa sangat luas, maka pada kesempatan ini hanya dapat diteliti mengenai upacara-upacara yang berkaitan dengan masa kehamilan, masa kelahiran dan masa bayi, masa kanak-kanak, dan masa menjelang dewasa. 2. TUJUAN PENELITIAN. Tujuan dari pada penelitian upacara tradisional ini ialah : a. Agar Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional mempunyai informasi dan dokumentasi tentang upacara-upacara tradisional daerah b. Sementara perwujudan kebudayaan Nasional yang Tunggal dan baku belum berkembang sepenuhnya, maka dirasa perlu pem3
binaan berbagai upacara tradisional yang mencerminkan nilainilai budaya serta gagasan vital yang luhur dalam rangka membina sosial budaya masyarakat Indonesia. c. Mengingat banyak ragam upacara tradisional yang berkembang dalam masyarakat Aceh, maka perlu dengan cepat diinventarisasi terutama upacara yang berkaitan dengan lintasan kehidupan seseorang, dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. d. Untuk melihat sejauh mana telah terjadi pergeseran nilai-nilai budaya dalam upacara tradisional masyarakat Aceh. Karena diduga dari seperangkat ujud nilai-nilai upacara tradisional sudah mengalami pergeseran, bahkan musnah sama sekali, terutama akibat proses pembangunan yang sedang giat-giat dilaksanakan di Aceh dalam segala bidang. e. Dari hasil penelitian ini diharapkan kemungkinan dapat menentukan kebijaksanaan nasional untuk membina kesatuan kebudayaan dan memperkokoh sistem pertahanan nasional. 3. RUANG LINGKUP PENELITIAN. Sebagai landasan yang menjadi ruang lingkup penelitian tentang upacara tradisional daerah, adalah pembatasan tentang pengertian upacara tradisional. Yang dimaksud dengan upacara tradisional dalam penelitian ini ialah tingkah laku resmi yang dibukukan untuk peristiwa-peristiwa yang tidak ditujukan pada kegiatan-kegiatan teknis sehari-hari, akan tetapi mempunyai kaitan dengan kepercayaan akan adanya kekuatan diluar kemampuan manusia atau gaib. Ruang lingkup materi penelitian, meliputi semua upacara-upacara tradisional yang berkaitan dengan lintasan hidup perorangan (individual life cycle). Akan tetapi pada kesempatan ini penelitian hanya terbatas pada upacara tradisional tentang masa kehamilan, masa kelahiran dan masa bayi, masa kanak-kanak, dan masa menjelang dewasa. Ruang lingkup operasional penelitian ini meliputi tiga suku bangsa di Aceh yaitu suku bangsa Aceh, suku bangsa Aneuk Jamee, dan suku bangsa Gayo. Sedangkan suku bangsa Aceh lainnya tidak sempat diteliti pada kesempatan ini seperti suku bangsa Alas, suku bangsa Tamiang, suku bangsa Simeulu, suku bangsa Kluet, dan suku bangsa Singkil. 4
Adapun alasan yang mendorong pemilihan ketiga suku bangsa diatas adalah : a.
Ketiga suku bangsa itu belum pernah diteliti secara mendalam tentang upacara-upacara tradisional.
b. Ketiga suku bangsa itu terdapat pendukung yang besar, bila dibandingkan dengan suku-suku bangsa lain di Aceh. c. Pengaruh ketiga suku bangsa itu, dirasa sangat besar dikalangan masyarakat Aceh. Lokasi penelitian upacara tradisional yang dilakukan pada tiga suku bangsa tersebut diatas yaitu : a.
Untuk suku bangsa Aceh, dipilih gampong Lhong Cut, Kecamatan Darul Immarah, Kabupaten Aceh Besar.
b. Untuk suku bangsa Aneuk Jamee dipilih kampuangPinang, Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Selatan. c. Untuk suku bangsa Gayo, dipilih kampung Kute Robel, Kecamatan Linge Isaq, Kabupaten Aceh Tengah. Ketiga lokasi tersebut yaitu gampong Lhong Cut,kampuang Pinang, dan kampung Kute Robel, masing-masing mempunyai tipe tersendiri. Gampong Lhong Cut merupakan desa pinggiran kota dan tergolong kepada desa yang telah maju. Kampuang Pinang sebagai desa yang peralihan antara desa maju dan desa yang masih ketinggalan, dan terletak dipinggir jalan raya yang menghubungkan ibu kota Propinsi dengan ibu kota Kabupaten Aceh Selatan. Sedangkan Kampung Kute Robel merupakan sebuah desa yang terletak jauh ke pedalaman Kabupaten Aceh Tengah, dan tergolong desa yang belum maju.4. Prosedur Dan Pertanggungan Jawab Penelitian. Penelitian tentang upacara tradisional ini didahulu dengan masa persiapan, untuk membekali para peneliti, dengan penjelasan-penjelasan tentang pegangan kerja dan bentuk laporan yang diharapkan. Dalam masa persiapan ini dilakukan pula penelitian kepustakaan yang bersifat selektif, bertujuan untuk mengumpulkan data-data yang sesuai dengan kebutuhan, dan konsep-konsep yang berhu-
5
bungan dengan upacara tradisional. Pengumpulan data-data di lapangan dilaksanakan oleh suatu team, dengan cara pengamatan terlibat (participant observation), dan pengamatan langsung, melalui wawancara. Wawancara diadakan dengan tokoh-tokoh masyarakat, para cerdik pandai yang mempunyai pengetahuan tentang upacara tradisional, dan orang-orang yang terlibat langsung dengan upacara tradisional. Tentang foto-foto dan gambar-gambar dalam penelitian ini, tidak dapat diambil, karena para peneliti tidak menjumpai upacara-upacara yang dilangsungkan pada saat penelitian ini diadakan . Setelah para peneliti selesai mengumpulkan data-data di lapangan masing-masing peneliti mengklasifikasi data, untuk menyusun draf dan laporan akhir. Laporan akhir ini ditulis oleh salah seorang peneliti, dengan mendasarkan kepada deskriptif-analisis mengenai tata urutan serta isi upacara yang berlaku pada ketiga kelompok suku bangsa diatas. Waktu yang digunakan untuk penelitian ini dipergunakan selama 6 bulan. Kegiatannya berlangsung kedalam : a. b. c. d. e.
Masa persiapan selama 30 hari Masa pengumpulan data dilapangan selama 30 hari Masa klasifikasi data selama 30 hari Masa penyusunan draf selama 60 hari Masa penulisan laporan akhir selama 30 hari.
Sistematika penulisan laporan penelitian meliputi tentang nama upacara dan tahap-tahapnya, maksud penyelenggaraan, waktu penyelenggaraan, tempat penyelenggaraan, penyelenggara tehnis, pihak-pihak yang terlibat, persiapan dan perlengkapan, jalannya upacara, pantangan-pantangan, dan makna lambang-lambang yang terkandung dalam upacara. Penulisan laporan ini terdiri atas 5 bab. Bab pertama mengenai pendahuluan mengandung isi tentang masalah penelitian, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, dan pertanggungan jawab penelitian. Bab dua, tiga, dan bab empat mengenai informasi tentang masing-masing upacara tradisional, mulai dari masa kehamilan, sampai dengan masa menjelang dewasa pada ketiga suku bangsa diatas. Dan bab lima tentang penutup mengenai garis-garis besar 6
upacara dan komentar peneliti. Penelitian upacara tradisional ini dilaksanakan oleh satu team yang terdiri dari konsultan, penanggung jawab, sekretaris, dan beberapa anggota team. Team ini berasal dari tenaga-tenaga pengajar Universitas Syiah Kuala, dan tenaga dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Latar belakang tenaga peneliti ini terdiri dari berbagai disiplin ilmuilmu sosial seperti disiplin Antropologi, Sejarah, Civics Hukum, dan disiplin Ilmu Hukum. Organisasi Team penelitian ini terdiri dari : Konsultan Penanggung Jawab/Ketua
Drs. T. Syamsuddin
Pelaksana
Drs. T. A. Hasan Husin
Sekretaris
Drs. M. Isa Sulaiman
Anggota-Anggota
1. Drs. Mahmud Main 2. Drs. Razali Umar 3. M. Saidi, SH.-
-ooOoo-
mmmmmmmmmimB
BAB n IDENTIFIKASI A. MASYARAKAT LHONG CUT. 1. Penduduk dan Lokasi. Komunitas kecil dalam kesatuan hidup masyarakat pedesaan di Aceh disebut dengan gampông. Sebutan gampông, sama dengan sebutan desa pada masyarakat lain. Tiap gampông dipimpin oleh seorang keuchik. Gabungan beberapa gampông disebut dengan mukim, yang dipimpin oleh seorang kepala mukim. Dan gabungan beberapa mukim disebut dengan kecamatan, dipimpin oleh seorang camat. Gampông Lhong Cut berada dalam kemukiman Lam Ara, Kecamatan Darul Immarah, Kabupaten Aceh Besar. Gampông ini mempunyai areal seluas 2,5 KM2 dengan jumlah penduduk 679 orang terbagi kedalam 121 kepala keluarga. Sedangkan luas daerah kemukiman ada 8,5 KM2 dengan jumlah penduduk 5210 orang. Lhong Cut merupakan daerah gampông pinggiran kota, kirakira 5 KM dari kota Madya Banda Aceh, dan letak berdampingan dengan Lhong Raya. Jalan yang menghubungkan antara kota Madya dengan Lhong Cut hanya satu jalur saja, yang dapat dilalui dengan mobil. Jalan-jalan lain hanya dapat dilalui dengan sepeda motor dan jalan kaki. Perumahan penduduk merupakan gugusan kelompok antara perumahan penduduk Lhiong Cut dengan Lhong Raya, karena letak kedua perkampungan ini berbatasan. Sebelah Timur Lhong Cut terletak Lhong Raya. Kedua perkampungan ini dikelilingi oleh persawahan penduduk. Sawah-sawah tiap tahun sekali ditanami dengan tanaman padi. Sehabis musim panen sawah kembali diisi dengan tanaman sayur-sayuran. Penduduk gampông Lhong Cut sebagian besar bermata pencaharian dibidang pertanian, dan sebagian kecil sebagai buruh bangunan. Penduduk yang bermata pencaharian dibidang pertanian pada umumnya mereka sebagai tani sawah, dan tani cengkeh. Lokasi tempat penanaman cengkeh tersebar ke daerah-daerah pegunungan yang 8
^
agak jauh dari gampong Lhong Cut. Penduduk yang mempunyai mata pencaharian sebagai buruh terdiri dari anak-anak muda. Biasanya pagi hari mereka pergi ke kota Madya Banda Aceh untuk bekerja pada bangunan-bangunan, dan sore hari mereka pulang. Kadangkadang pada saat musim sawah mereka meninggalkan pekerjaan memburuh, lari kembali ke sawahnya masing-masing. Penduduk Lhong Cut sejumlah 679" orang itu, merupakan penduduk asli yang disebut dengan ureung Aceh. Di perkampungan ini tidak ada penduduk pendatang. Ini mungkin disebabkan tidak tersedia lapangan kerja bagi pendatang. Perkawinan sering terjadi antara orang dalam gampông sendiri, dan antara beberapa gampông yang berdekatan letaknya. Perkawinan keluar jarang sekali terjadi. 2. Latar Belakang Historis. Asal usul masyarakat Lhong Cut, sama dengan asal-usul masyarakat Aceh pada umumnya. Nama Aceh dalam sejarah Melayu disebut dengan Lam Muri atau Lambri (Lamiri) oleh Marco Polo, seorang saudagar Venesia yang singgah di Peureulak pada tahun 1292. Kemudian orang-orang Portugis menyebut Achem atau Achen (Acen), dan orang Belanda menyebut dengan Atchein atau Atsyiem (Atsyeh), sedangkan oleh orang Aceh sendiri menyebut dengan Aceh (2,1961,23). Masyarakat Lhong Cut sebagai bagian dari masyarakat Aceh Besar, menurut mithos yang berkembang, mereka berasal dari gampong rumoh dua plôh (Seumileuk) yang letaknya diatas Seulimeum antara Janthoë dengan Tangsée. Dari mereka inilah kemudian berkembang biak dan pindah ke daerah-daerah lain termasuk ke Lhong Cut. Menurut dugaan penyebaran mereka dalam rangka mencari daerah pertanian. Pada mulanya mereka ini mengelompok di Lhong Raya, kemudian terus menyebar ke Lhong Cut. Setelah itu kedua daerah ini merupakan daerah yang tertutup. Dari segi lokasi tidak banyak tertarik bagi pendatang. Arel persawahan hanya cukup untuk penduduk setempat. Lokasi tempat berternak sudah sempit, tempat penanaman tanaman lainnya tidak ada, ditambah lagi tanah yang kurang subur. Dalam perjalanan sejarah kebudayaan Aceh, dianggap sebagai 9
perpaduan antara kebudayaan Hindu dengan kebudayaan Islam. Penduduk Hindu purba dari daerah-daerah pesisir terus menelusuri ke daerah-daerah pedalaman. Di Aceh Besar mereka tinggal di Tanoh Abée, Panca dan Janthoe, sebagai petani, peternak kambing, kerbau dan lembu. Kemudian mereka ini berserak-serak dan menyesuaikan diri dengan penduduk setempat. Karena itu mereka mudah menjadi warga gampông, dan akhirnya mempunyai kewajiban dan hak yang sama dengan penduduk setempat. Perkembangan selanjutnya, dimana-mana terdapat tempat yang dipengaruhi oleh Hindu dengan mengembangkan kebudayaannya. Terbukti dari batu-batu bertulis pada kuburan seperti gampông Tanoh Abée. Di Indrapuri didirikan sebuah Candi untuk mengembangkan agama Budha, oleh khafilah-khafilah Hindu. Candi ini masih ada sampai sekarang. Menurut cerita daerah ini pernah diperintahi oleh seorang raja Hindu yang bernama Rawana. Kedatangan khafilah Hindu ke daerah ini kemudian mendapat tantangan dari penduduk setempat, sehingga terpaksa mereka menyingkir ke daerah Sumatera Barat. Dari sejarah asal-mula masuk Islam ke Indonesia, Aceh dianggap sebagai daerah yang pertama sekali berdiri kerajaan Islam yaitu di Pasai dan Peureulak sekitar abad ke 13 (3, 1957, 50-51 ). Dengan demikian pengaruh kebudayaan Islam di Aceh sangat besar, sehingga mendapat gelar Aceh sebagai seuramoe Mekkah (serambi Mekkah). Unsur-unsur syariat Islam sudah mengikat masyarakat, menjadi adatistiadat dalam kehidupan sehari-hari. Dari perpaduan antara unsur adat dengan unsur agama lahirlah semboyan Hukôm ngon adat,lagèe zat ngon sifeut (hukum dengan adat seperti zat dengan sifat),artinya kedua unsur itu tak dapat dipisah-pisahkan. Disamping itu perpaduan dengan unsur kebudayaan Hindu masih terjadi pula, antara lain tampak dalam mereka melakukan upacara-upacara tradisional. 3. Sistem Religi dan Alam Pikiran. Masyarakat Lhong Cut sebagai penganut agama Islam, taat menjalankan agamanya. Kenyataan ini terpola pada tingkah laku mereka. Pada waktu magrib dan subuh meulasah (langgar) Lhong Cut penuh dengan orang-orang yang bersembahyang, mulai dari anak-anak sampai pada orang-orang tua. Tempat-tempat pengajian untuk anak-anak terdapat di rumah-rumah dan langgar. Unsur 10
ketaatan ini mungkin disebabkan amat sering dilakukan peneranganpenerangan agama, apalagi daerah Lhong Cut merupakan daerah yang mendapat pengaruh aliran Islam Muhammadiyah. Walaupun masyarakat Lhong Cut sebagai masyarakat Islam yang taat, didalamnya masih terdapat sistem kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus dan gaib, kekuatan alam, dan kekuatan sakti. Sistem kepercayaan ini tergambar dalam alan pikiran mereka. Selain kepercayaan kepada malaikat, mereka percaya juga kepada iblis, jin, setan dan hantu sebagai makhluk yang tidak dapat dilihat oleh manusia, akan tetapi ia tetap ada. Makhluk halus ini dapat digolongkan kedalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah makhluk-makhluk halus yang dikutuk oleh Allah. Kelompok ini selalu menggoda dan mengganggu manusia supaya sesat dan binasa. Kelompok kedua adalah makhluk-makhluk halus yang selalu mengabdi diri kepada Allah, dan selalu menolong manusia. Masyarakat Lhong Cut menganut juga sistim kepercayaan kepada kekuatan alam. Mereka percaya pada kekuatan yang berhubungan dengan waktu. Seseorang yang hendak mengadakan pesta perkawinan, turun tanah bayi, dan lain-lain lagi akan mencari hari-hari bulan yang baik untuk itu. Biasanya Safar jarang sekali dilangsungkan perkawinan, karena bulan ini dianggap sebagai bulan panas, dan kurang baik. Seseorang yang hendak mencari rezeki, ia akan memilih hari-hari yang baik. Hari Jum'at sebagai hari yang terhormat bagi orang-orang Islam, akan tetapi sebagai hari yang tidak baik untuk mencari rezeki. Bunyi guruh yang datang dari arah lautan disebut dengan taga laut, menandakan ikan banyak, sebab ikan ditengah lautan akan lari ke pinggir pantai. Tanda buleun raja timoh (pelangi) yang keluar dari langit memberi makna akan datang musim kemarau. Sehubungan dengan kepercayaan kepada kekuatan alam, mereka percaya juga bahwa pada waktu tengah hari tidak boleh pergi ketempat-tempat tertentu seperti pergi ke sungai, tempat-tempat semak dan tempat-tempat angker. Pada saat senja hari dilarang pergi keluar rumah, terutama bagi anak-anak dan wanita hamil. Karena pada waktu-waktu tersebut diatas makhluk-makhluk halus merajalela berkeliaran dan mudah mengganggu manusia. Gejala alam yang berupa gempa bumi memberikan makna yang tersendiri. Bila gempa pada malam Jum'at menandakan akan terjadi malapetaka bagi masyarakat seperti panen tidak menjadi, wabah akan 11
datang melanda dan sebagainya. Gempa bumi atau petir yang terjadi tengah hari (tidak mendung dan hujan ) akan terjadi perubahan kekuasaan dalam kerajaan (negara), dan masih banyak lagi yang dapat dihubungkan dengan kekuatan-kekuatan alam. Kepercayaan kepada kekuatan sakti di kalangan masyarakat Lhong Cut erat sekali hubungannya dengan gejala alam, manusia, tumbuh-tumbuhan, binatang dan lain-lain yang berhubungan dengan kekuatan magis terhadap manusia. Tentang kekuatan gejala alam sudah dibahas diatas tadi seperti kepercayaan kepada gejala gempa bumi, buleun raja timoh, dan lain-lain lagi. Manusia sebagai makhluk Tuhan masing-masing mempunyai kelebihan-kelebihan. Seseorang yang bakal menjadi orang kaya, atau ahm mempunyai tanda-tanda tertentu pada tubuhnya. Tandatanda ini dapat dilihat oleh orang-orang yang alim (beragama). Disamping itu mereka juga percaya bahwa seseorang yang dikasihi oleh Tuhan mempunyai suatu kekuatan padanya. Orang-orang seperti ini disebut dengan ureung keuramat. Bila ureung keuramat meminta sesuatu pada orang lain tidak diberikan, maka orang itu akan mendapat bahaya atau harta bendanya hilang, kurang mendapat rezeki dan lain-lain lagi. Kuburan-kuburan tertentu mempunyai pula kekuatan keuramat seperti kuburan Syiah Kuala di Kuala Aceh yang ramai dikunjungi orang pada setiap hari Rabu untuk melepaskan kaôy ( nazar ). Kepercayaan kepada kekuatan sakti tumbuh-tumbuhan terdapat pula seperti kepercayaan kepada sakti induk padi ( biji-padi yang besar lagi keras). Siapa yang mendapat induk padi ini akan menjadi orang kaya, dan padinya selalu menjadi banyak. Orang yang mendapat awée sungsang ( ruas rotan bertolak belakang) akan menjadi kebal, dan tidak tembus ditusuk dengan ujung pisau. Seseorang akan mengalami juga kekebalan, bila ia memakai rantée bui ( rantai babi ) yang diperoleh dari babi hutan. Rantai babi ini berasal dari cacing yang sudah membatu dan berbentuk rantai. Rantai babi ini selalu disimpan oleh babi didalam mulutnya agar ia tidak tembus ditombak oleh manusia dan diterkam oleh harimau. Pada saat babi itu memakan makanan, saat itulah manusia merebut dari babi. Oleh karena itu disebut rantée bui Untuk tujuan yang sama mereka percaya kepada sejenis kutu hutan yang disebut dengan 12
i.
piet jeut. Kutu ini membuat manusia menjadi kebal. Dan banyak lagi benda-benda yang dianggap mempunyai kekuatan sakti. B. MASYARAKAT KAMPUANG PINANG 1. Penduduk dan Lokasi Kampuang Pinang adalah sebuah kampung dari 28 buah kampung yang membentuk kecamatan Susoh, kabupaten Aceh Selatan. Kampung tersebut terletak sekitar 1 km di bagian pesisir, pada km 366, jalan raya yang menghubungkan kota Banda Aceh ibu kota propinsi Aceh dengan kota Tapaktuan ibu kota kabupaten Aceh Selatan. Ini berarti kampung itu terletak 377 km ke arah selatan ibu kota propinsi Aceh. Banda Aceh. Atau terletak 80 km ke arah barat dari ibu kota kabupaten Aceh Selatan, Tapaktuan. Jalan raya yang terletak 1 km pada bagian pedalaman kampuang pinang itu merupakan urat nadi yang menghubungkan kampuang tersebut dengan kampung-kampung lain di pantai barat Aceh. Kecuali jalan raya masih terdapat satu jalur hubungan lagi yang menghubungkan kampung tersebut dengan kawasan luar, yaitu Sinabang, Tapak tuan, Meulaboh, dan kota-kota lain di pantai barat Sumatera. Jalur dimaksud adalah jalur laut melalui pelabuhan Ujuang Saranggo, yang terletak hanya 1 km dibagian selatan kampung itu. Kampung Pinang terhampar di atas areal seluas 0,35 km 2 . Kawasan kampung tersebut berbatasan ke sebelah utara dengan kampuang Tapi suwak, kesebelah selatan dengan kampuang pulau air, kesebelah timur dengan kampuang Palak, dan ke sebelah barat dengan kampuang Rumah Panjang. Kawasan kampuang Pinang yang seluas 0,35 km2 itu tampaknya dibentuk oleh endapan lumpur yang berada di pinggir sungai Susoh. Karena itu tanah perkampungan adalah dataran rendah dan berawarawa. Sungai kecil yang bermuara ke lautan Hindia ini mempunyai arti penting bagi kehidupan kampung, yakni bagi tempat mencuci, mandi, dan pengairan (terutama sawah yang terdapat) di kampuang Padang Pawuh yaitu suatu kampuang yang terdapat di sebelah utaranya. Kawasan kampuang Pinang seluas 0,35 km itu pada tahun 1980 didiami oleh penduduk berjumlah 428 jiwa. Sedangkan kecamatan Susoh yang meliputi areal -seluas 32,44 km didiami oleh penduduk berjumlah 12.244 jiwa pada tahun yang sama. Bila 13
kita perbandingkan kepadatan penduduk kampuang Pinang dengan kepadatan penduduk per kecamatan ternyata penduduk kampuang Pinang lebih padat, yakni 1222,86 jiwa per km2 berbanding 377,44 jiwa per km2 Penduduk kampuang Pinang mempunyai pekerjaan aneka macam. Agak sukar mengklassifikasikan penduduknya berdasarkan susunan mata pencaharian, karena sering terjadi seseorang penduduk mengerjakan 2 mata pencaharian secara bergantian, seperti bertani dan juga menjadi buruh. Namun secara kasar dapat dikatagorikan sebagai berikut ; 16 orang petani penggarap, 6 orang petani pemilik, 2 orang nelayan, 5 orang buruh nelayan, 5 orang pedagang/jualan, 14 orang pegawai negeri, dan 7 orang buruh kasar. Hampir semua mata pencaharian itu dilakukan di luar kampung, yakni pada kampung-kampung yang bertetangga dengan kampuang Pinang.. Penduduk kampuang Pinang adalah kelompok masyarakat Aneuk Jamee. Mereka memiliki bahasa sendiri dalam berkomunikasi yang disebut dengan bahasa Jamee. Mereka ini sebenarnya adalah bagian dari kelompok masyarakat Aneuk Jamee yang mendiami beberapa perkampungan di kawasan pantai barat Aceh. Kelompok terkecil di kampuang Pinang seperti di kampuangkampuang Aneuk Jamee lainnya - disebut rumah tanggo (rumah tangga). Dalam kehidupan sosial sehari-hari, rumah tanggo dikepalai oleh ayah. Kadang kala diketemukan jua rumah tanggo yang dikepalai oleh ibu atau salah seorang anak lelaki tertua. Keadaan semacam itu terjadi apabila ada kasus perceraian atau sang ayah meninggal dunia. Ada 74 rumah tanggo yang terdapat di dalam kampuang Pinang. Kepala rumah tanggo lebih bertanggung jawab terhadap mata pencaharian. Sedangkan ibu lebih bertanggung jawab terhadap urusan pengasuhan anak, dan pekerjaan rumah tangga (mencuci, memasak, dan membersihkan rumah ). Masyarakat kampuang Pinang - seperti masyarakat Aneuk Jamee lainnya - menganut prinsip menetap uxorilokal ( 4,1972,103 ). Karena itu pasangan pengantin baru menetap atau berkediaman di rumah kerabat atau orang tua isterinya. Pasangan penganten baru itu masih tetap menjadi anggota rumah 14
tanggo mertua (ayah mempelai wanita). Keadaan demikian terus berlangsung hingga diadakan upacara paasieng pariuk (memisahkan dapur ). Bila sudah diadakan upacara paasieng pariuk, maka muncul pula rumah tanggo baru dengan penganten atau mempelai wanita sebagai kepala rumah tanggo* Kapan waktu upacara paasieng pariuk itu dilakukan tidak tentu. Tetapi yang lazim berlaku yakni setelah pasangan tersebut memperoleh anak seorang. Sungguhpun pasangan penganten baru itu sudah membentuk rumah tanggo sendiri tidak berarti ia telah meninggalkan rumah mertua (orang tua isteri). Karena hal demikian amat tergantung pada kehidupan ekonominya. Bila sudah mempunyai kemampuan, maka ia akan membangun rumah pada tanah yang diberikan oleh mertua. Tanah yang diberikan ada dalam bentuk pusaka (warisan menurut aturan hukum Islam), ataupun harto sako (yaitu tanah yang diwariskan khusus bagi anak perempuan). Tetapi tidak jarang pula, mereka akan tetap berkediaman di rumah tersebut karena si isteri adalah satu-satunya anak perempuan. Di samping rumah tanggo, masyarakat kampuang Pinang mengenal pula niniek mamak. Niniek mamak ini pada mulanya merupakan kesatuan saudara lelaki pihak ibu, atau sederjad berada di atas ego. Dalam kehidupan sosial sehari-hari, niniek mamak terikat secara moral untuk berpartisipasi pada setiap kegiatan atau upacara daur hidup ( kelahiran, perkawinan, kematian) yang dilakukan atau diselenggarakan oleh kamanakan (kemenakan) mereka . Tetapi dewasa ini tampaknya ada kecendrungan merekrut atau menarik para wali ( saudara ayan) ke dalam lingkaran niniek mamak. Keadaan demikian barangkali erat kaitannya dengan semakin mantapnya hukum Islam yang menempatkan wah pada suatu fungsi penting dalam hubungan dengan hukum. Wawasan kekerabatan yang lebih luas pada masyarakat kampuang Pinang seperti masyarakat Aneuk Jamee lainnya - yakni dusanak (famili). Dusanak yaitu anggota kerabat yang mempunyai hubungan darah atau seleluhur. Dalam kehidupan sosial sehari-hari, terutama pada upacara daur hidup mereka akan diberitahukan atau diundang untuk menghadirinya. Masyarakat kampuang Pinang - seperti masyarakat Aneuk Jamee lainnya - mengenal suatu sistem tutur keluarga dalam hubungan antar diri (inter personal-relationship). Dalam sistem tutur keluarga 15
itu meliputi suatu kerangka istilah kekerabatan yang menunjukkan seseorang dalam hubungan kekeluargaan. Di sini tercermin prinsip perbedaan jenis kelamin, umur, dan status dalam keluarga. Sistem tutur keluarga bukan saja menyangkut hubungan seseorang dengan kerabatnya, tetapi juga mencakup hubungan seseorang dengan kerabat isteri atau suaminya. Pada sistem tutur keluarga bentuk yang pertama, seseorang memanggil sebutan yang sederjat atau sederjat ke atas maupun dua derjat baik ke atas dan ke bawah dengan pelbagai macam sebutan.Seseorang menyebut abang terhadap kakak laki-laki,uning dan upo untuk kakak perempuan. Selanjutnya ia menyebut umak untuk ibu, dan ayah atau bapak untuk ayah. Ia menyebut mak tuwo untuk kakak ayah atau ibu, pak tuwo untuk abang ayah atau ibu. Ia menyebutkan mak teh atau mak lok dan pacuk antuk adik perempuan dan lelaki ayah atau ibu. Ia menyebut maknek untuk nenek dan nekyah untuk kakek. Sebaliknya seseorang menyebut atau memanggil anak untuk anaknya, dan kamanakan untuk kemenakan,yaitu anak saudaranya. Seterusnya ia akan menyebut cucu kepada cucunya. Sistem tutur keluarga dalam bentuk kedua yakni dalam hubungan seseorang dengan kerabat isteri atau suaminya dapat digambarkan sebagai berikut ; Seseorang menyebut tuan terhadap mertuanya baik lelaki maupun perempuan apabila ia tidak saling menyapa. Tetapi saling menyapa ia akan memanggil umak kepada mertua ibu dan bapak atau ayah kepada mertua lelaki. Sebaliknya mertua akan menyebut manantu terhadap suami atau isteri anaknya bila tidak saling berhadapan dan memanggil namanya langsung bila saling berhadapan. Seseorang akan menyebut ipa terhadap ipar yakni saudara suami atau isterinya bila tidak saling berhadapan, dan sebaliknya memanggil sesuai dengan sistem tutur keluarga bila saling berhadapan. Seseorang akan menyebut makyen terhadap seseorang lain yang saling semenda kepada keluarga yang sama bila tidak saling berhadapan. Demikian juga dalam hubungan perkawinan pihak orang tua mempelai pria akan menyebut bisan terhadap orang tua mempelai wanita. Di kampuang Pinang terdapat beberapa keluarga keturunan datuak (golongan bangsawan) dan sayiid (keturunan suku Quresy). Dewasa ini tidak terdapat suatu perbedaan yang tegas antara mereka 16
dengan penduduk lainnya. Tetapi sebelum zaman kemerdekaan mereka menduduki lapisan teratas dalam pelapisan sosial. Perbedaan antara mereka dengan penduduk lainnya pada waktu itu dinyatakan dalam pelbagai atribut yang dimilikinya, terutama bentuk dan sifat upacara yang mereka lakukan. Perbedaan yang nyata antara mereka dengan penduduk lainnya dewasa ini hanya tampak pada pemakaian gelar saja di muka nama mereka masing-masing. Pelapisan sosial yang terdapat dalam kampuang Pinang tampaknya masih berbentuk pelapisan sosial samar, yakni suatu bentuk pelapisan sosial yang belum begitu jelas tentang perbedaannya, atau dengan kata lain yang belum mapan (5 ibid, 174 - 177 ). Dalam pelapisan sosial seperti itu memberi sebutan-sebutan tertentu bagi seseorang yang mempertunjukkan indentitasnya seperti pegawai (pegawai negeri), patani (petani), panggaleh (penjaja), urang barado (hartawan), dan sebagainya. Bila dipandang dari derjat status sosial-ekonomi, masing-masing kelompok di atas dapat diklassifikasikan atas urang kayo atau urang barado (hartawan), urang bakacukupan (hidup layak), dan urang mikin ( orang miskin). Urang kayo atau urang barado adalah mereka yang sukses dalam mata pencaharian. Kesuksesan dan kehartawanannya bisa diperlihatkan dengan bangunan rumah yang bagus, alat perabot yang serba luks, kenderaan (paling tidak sepeda motor), dan perhiasan yang lumayan (terutama emas). Urang bakacukupan yaitu mereka mempunyai kehidupan yang wajar atau layak. Keadaan demikian dapat diamati pada benda-benda yang berada di bawah kwalitas di atas. Di samping itu, kebutuhan sandang-pangan mereka mencukupi. Urang mikin adalah mereka yang tidak berhasil dalam mata pencaharian. Di samping sandang-pangan yang tidak mencukupi, juga keadaan perumahan mereka yang reot. Pada waktu hari raya Iedul Fithri, mereka ini akan memperoleh bagian zakat fitrah. Struktur pimpinan masyarakat kampuang Pinang - seperti halnya dengan kampuang-kampuang lainnya pada masyarakat Aneuk Jameeterdiri atas keuchik, tuangku imam masjid, tuangku manasah, tuangku imam dayah, dan ketua pemuda. Keuchik adalah kepala kampung yang merupakan pucuk pimpinan pemerintahan kampung. Tuangku imam masjid adalah pejabat yang memimpin upacara keagamaan dalam kawasan kemesji dan pusako ( kampung Pinang, Rumah Panjang, Baharu, Kadai Susoh, dan Palak). Tuangku manasah adalah 17
pejabat yang memimpin upacara keagamaan (kecuali sembahyang Jumat) di manasah Baitul Qudus kampuang Pinang. Tuangku dayah adalah pejabat yang memimpin upacara keagamaan bagi kaum wanita di deyah kampuang Pinang. Ketua pemuda adalah pejabat yang menangani urusan kepemudaan, seperti olah raga, keamanan, dan pengerahan tenaga. 2. Latar Belakang Historis Amat sukar bagi kita untuk melukiskan sejarah pemukiman masyarakat kampuang Pinang secara utuh. Keadaan demikian berkaitan erat dengan langkanya sumber tertulis yang diperoleh. Tetapi berdasarkan tradisi lisan dan catatan tertulis mempertunjukkan bahwa penduduk kampuang Pinang pada mulanya berasal dari suku Barat Pariaman, Kubung, Minangkabau, dan Rao Pasaman (6,1888, 216). Mereka yang membangun pemukiman di kampuang Pinang merupakan bagian dari gelombang migrasi yang berlangsung di kawasan pantai barat Aceh, pada abad ke 17 yang lalu. Apa motif utama kepindahan mereka ke kawasan pantai barat belum diperoleh jawaban yang pasti. Namun bagaimanapun jua kepindahan mereka ke kawasan pantai barat Aceh itu berkaitan erat dengan faktor sosial, politik, dan ekonomi. Faktor lain yang tak kurang penting yaitu situasi geografis, yang mempertunjukkan bahwa kawasan itu merupakan kawasan Aceh yang relatif lebih dekat dengan kawasan Minangkabau. Para kolonis yang mendarat di pantai Susoh itu membuka arealareal pemukiman baru bagi tempat pemukiman dan pertanian. Dalam kerangka situasi demikian, kawasan kampuang Pinang dibuka menjadi kawasan perkebunan Pinang. Perkembang-biakan cakal-bakal pembangun kampung dan kemerosotan harga pinang dalam perniagaan dunia membawa akibat tertentu bagi kawasan perkebunan itu. Ini dapat dilihat dari perluasan areal tempat tinggal dan menghilangnya tumbuh-tumbuhan pinang karena pembangunan rumah penduduk. Tetapi setelah kawasan tersebut menjadi ramai lantas mereka menyebutkan nama kampungnya sebagai kampuang Pinang. Seperti kampung-kampung lainnya, di kampuang Pinang juga terbentuk struktur pemerintahan kampung. Tetapi secara administratif mereka berada di bawah kekuasaan datuak Rawo. Dalam perkembangan sejarahnya baik pada masa pemerintahan kesultanan 18
Aceh, kolonial Belanda, kolonial Jepang, dan kemerdekaan, kawasan tersebut secara administratif berada bagian dari kekuasaan Aceh. Karena itu pola pemerintahan kampuang di sana senantiasa mengikuti seperti pola pemerintahan gampÖng (kampung) di Aceh. Di kampuang Pinang - demikian kampuang-kampuang lain di pantai barat Aceh - para keturunan kolonis ini mengembangkan budaya yang mereka bawa, yang telah berakulturasi sedemikian rupa dengan budaya Aceh. Ciri nyata budaya mereka dari budaya suku Aceh di pantai barat terlihat pada bahasa yang mereka dukung, di samping pada beberapa unsur lainnya. Lalu mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai anak jamu dan bahasanya adalah bahasa jamu. Sedangkan penduduk Aceh di daerah itu menyebut mereka sebagai aneuk Jamee (tetamu), dan bahasanya sebagai bahasa Jamee (tamu). (7, 1978,1). 3. Sistem Religi dan Alam Pikiran. Penduduk kampuang Pinang - seperti halnya dengan masyarakat Aneuk Jamee lainnya - adalah pemeluk agama Islam. Sungguhpun mereka pemeluk agama Islam, tetapi tidak berarti bahwa tidak terdapat sisa-sisa kepercayaan lama yang masih melekat dalam kehidupan mereka. Hanya saja unsur-unsur kepercayaan lama itu sudah berbaur sedemikian rupa dengan kepercayaan yang terdapat dalam agama Islam. Keadaan demikian dinyatakan dalam kepercayaan mereka kepada makhluk-makhluk halus, kekuatan alam, dan kekuatan sakti. Makhluk halus yang dihayati oleh masyarakat kampuang Pinang terdiri atas, malaikat, iblis, setan, jin Islam, hantu, bujang hitam, dan buruang tujuah. Dari kesemua makhluk halus itu dapat dikelompokkan kepada 2 bagian, yaitu makhluk yang baik dan makhluk yang jahat. Makhluk yang baik terdiri atas malaikat dan jin Islam. Sedangkan makhluk yang jahat adalah kecuali yang dua tadi. Makhluk halus, malaikat dan jin Islam dipercayai sebagai makhluk yang senantiasa berbakti dan beribadat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kedua makhluk itu tidak pernah mengganggu manusia dengan perbuatan-perbuatan yang jahat. Mereka mempercayai bahwa kedua makhluk itu kerap kali menyamar sebagai orang alim bila bertemu dengan seseorang. 19
Makhluk halus yang jahat terdiri dari setan, iblis, hantu, bujang hitam, dan burung tujuh dilukiskan dengan citra yang menakutkan. Mereka dianggap mengganggu manusia dengan bermacam-macam kejahatan. Setan (syaithan ) dipercayai sebagai makhluk jahat yang berkeliaran dan gentayangan di permukaan bumi. Mereka mendiami tempat-tempat yang angker seperti di rawa-rawa, sungai, gunung, laut, dan tempat-tempat yang mengerikan. Pada setiap saat dan kesempatan ia melakukan kejahatan kepada manusia. Iblih (iblis) adalah kepada setan yang dulunya mengganggu nabi Adam. Hantu adalah makhluk halus yang menyamar sebagai manusia yang menakutkan. Di samping itu ada juga yang .beranggapan ia berasal dari perwujudan ruh manusia jahat yang meninggal. Ia biasanya beroperasi pada malam hari. Bujang Hitam adalah makhluk berbentuk manusia berkulit hitam yang menakutkan. Ia mendiami tempat-tempat tertentu seperti muara sungai dan rawa-rawa. Ia sering dipuja oleh orang-orang yang ingin mendalami ilmu hitam. Buruang Tujuah adalah makhluk halus yang dianggap sebagai penjelmaan dari roh tujuh orang putri yang meninggal karena bersalin. Mereka dipercayai bahwa senantiasa bakal mengganggu seseorang perempuan (terutama yang baru melahirkan anak pertama) yang bakal melahirkan. Kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus di atas membawa efek tertentu kepada kepercayaan kepada kekuatan alam dan kekuatan sakti. Masyarakat kampuang Pinang mempercayai kekuatankekuatan alam. Diantaranya dapat disebutkan kepercayaan pada hari atau waktu, pelangi, dan tempat-tempat tertentu. Dalam hubungan dengan hari atau waktu, mereka mempunyai konsepsi-konsepsi tertentu. Masyarakat kampuang Pinang mempercayai saat tengah hari adalah saat genting yang penuh bahaya ghaib. Oleh karena itu pada waktu demikian anak-anak tidak diperkenankan bermain atau mandi di kualo cangkua, pulau aje, dan di kualo puntung. Tempat-tempat tersebut pada saat itu dipercayai terdapat makhluk-makhluk halus yaitu setan. Bila anak-anak tidak mematuhi maka mereka akan tasapo (mendapat gangguan yang menimbulkan sakit ). Di samping waktu tengah hari juga waktu sedang caring manggalabuit ( cacing sedang berbunyi yaitu senja kala) dianggap sebagai saat yang tidak baik berkeliaran di luar rumah. Karena itulah para pemuja ilmu hitam biasanya memuja bujang hitam pada waktu senja kala. 20
Di samping waktu krisis, mereka juga mempercayai bahwa ada saat yang baik untuk melakukan pekerjaan tertentu. Saat tersebut yaitu pada saat matahari sedang naik, atau pagi hari. Mereka mempercayai ada hubungan keadaan matahari yang sedang naik dengan perilaku dan suasana serta masa depan manusia. Tempat-tempat yang mempunyai kekuatan gaaib dapat dikatagorikan kepada 2 bagian. Pertama, tempat-tempat suci keagamaan yang dianggap sebagai rumah Tuhan. Kedua, tempat-tempat angker yang diduga berdiam makhluk-makhluk jahat yaitu setan, iblih, buruang tujuah dsbnya. Tempat-tempat yang pertama yaitu dalam bentuk bangunan keagamaan, yakni masjid, manasah, dan deyah. Pada tempat tersebut, semua orang harus melakukan perbuatan baik. Tempat-tempat yang kedua yakni kualo cangkua,pulau aie dan kualo puntuang. Karena tempat-tempat itu dihuni oleh makhluk halus, maka orang tidak berani datang ke tempat tersebut pada waktu genting di atas. Masyarakat mempercayai bahwa ula mangeong (pelangi) juga berasal dari setan. Karena itu mereka melarang anak-anak menunjuk pelangi lantaran takut bakal cekok (bengkok) tangannya. Masyarakat kampuang Pinang juga mempercayai bahwa ada benda-benda tertentu yang mempunyai kekuatan sakti. Di antaranya dapat disebutkan benda-benda pusaka dan jumalang. Bendabenda pusaka yang dianggap mempunyai kekuatan sakti yaitu dalam bentuk rencong, keris, atau pedang. Benda-benda yang demikian tidak boleh diperjual-belikan oleh pewarisnya maupun untuk dibawa-bawa, karena dipercayai orang yang melakukan pekerjaan terlarang itu akan hangek atau paneh ( semacam kepanasan atau tidak tenteram jiwanya). Jumalang yaitu suatu kepercayaan bahwa benda-benda tertentu ( terutama tungkai kayu ) yang sudah lama terendam pada suatu tempat (umumnya rawa-rawa) telah didiami setan. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh mendekati benda tersebut untuk menghindari kena jumalang. C. MASYARAKAT KUTE ROBEL. 1. Penduduk dan Lokasi Sebutan kampung pada masyarakat Kute Robel adalah sama dengan sebutan gampông pada masyarakat Aceh umumnya atau 21
desa pada masyarakat lainnya. Tiap kampung dipimpin oleh seorang kecik ( kepala kampung ). Kute Robel adalah sebuah Kampung dari sejumlah 18 buah kampung yang ada di Kecamatan Linge-Isaq, Kabupaten Aceh Tengah. Kecamatan ini terletak jauh ke daerah pedalaman Aceh Tengah, kira-kira 30 KM dari kota Takengon. Dari 18 buah kampung yang ada di Kecamatan Linge—Isaq ini, termasuk kedalam 4 buah kemukiman. Tiap kemukiman dipimpin oleh seorang kepada Mukim. Dan Kampung Kute Robel adalah salah satu kampung yang berada dalam kemukiman Isaq. Jalan yang menghubungkan antara kota Takengon dengan LingeIsaq, merupakan jalan lama, sudah ada sejak masa pemerintahan Belanda dahulu. Rupanya inilah satu-satunya jalan yang dapat ditelusuri sampai keperbatasan Aceh Tenggara. Bahkan pada saat sekarang sudah dapat dilalui oleh mobil sampai ke kota Kuta Cane ibu kota Aceh Tenggara. Dahulu sesama zaman Proklamasi hingga sampai tahun 60 an Aceh Tenggara merupakan daerah Kewedanaan yang tunduk ke Kabupaten Aceh Tengah. Jalan-jalan yang menghubungkan antara kampung dengan kampung pada umumnya dapat dilalui dengan sepeda motor, dan ada pula yang sudah dapat dilalui oleh mobil. Akan tetapi sebagian masih ada kampung yang hanya dapat dilalui dengan jalan kaki saja, seperti dengan desa Linge sendiri sebagai desa asal di Kecamatan ini. Kampung Kute Robel terhampar diatas areal seluas kira-kira 1,20 KM2. Penduduknya berjumlah 164 jiwa, termasuk kedalam 38 buah kepala keluarga. Kampung ini sebagian dikelilingi oleh areal persawahan dan bukit-bukit. Dan sebagian lagi dibatasi oleh gunung yang tidak dapat dimanfaatkan oleh petani, karena tanahnya tidak subur. Letak perumahan penduduk mengelompok, ditempat yang agak tinggi dari areal persawahan. Daerah perkampungan ini dahulu merupakan kubu pertahanan Muslimin dari serangan Belanda. Karena itulah kampung ini diberi nama dengan Kuta ( daerah pertahanan). Pada masa penyerangan Belanda, rupanya di Kecamatan ini banyak tercatat sejarah antara lain dengan adanya peninggalanpeninggalan kubu pertahanan, yang kemudian terus dikukuh pada nama kampung masing-masing kubu pertahanan, seperti kampung Kute Rayang, kampung Kute Riyem, dan kampung Kute Keramil. Penduduk kampung Kute Robel adalah bahagian dari masyarakat 22
Gayo. Mereka bermata pencaharian hidup sebagai peternak hewan dan petani. Kecamatan Linge-Isaq terhampar diatas areal seluas 2.262.00 KM2, dengan jumlah penduduk 3.692 jiwa, jadi rata-rata 2 jiwa tiap 1 KM2. Daerah kecamatan ini merupakan daerah yang terluas, dengan penduduknya yang paling jarang, di Kabupaten Aceh Tengah. Penduduk yang bermata pencaharian hidup di bidang peternakan, biasanya memilih lokasi peternakan jauh dari kampung Kute Robel seperti ke kampung Owaq kira-kira 40 KM2 dari kampung Kute Robel. Pemilihan lokasi ini tentu dipengaruhi oleh areal yang luas dan mengizinkan untuk memelihara ternak. Umumnya mereka beternak kerbau, jarang sekali menternak sapi, kambing atau biribiri. Diantara 164 jiwa penduduk Kute Robel, ada dua orang yang tercatat sebagai pemelihara ternak besar-besaran menurut ukuran kampung itu. Ia sudah ada puluhan ekor kerbau. Sedangkan yang lainnya sebagai peternak kecil-kecilan. Petani sawah mempunyai areal persawahan di pinggiran-pinggiran kampung Kute Robel. Sebagian dari mereka ada juga yang mempunyai sawah jauh dari perkampungan. Status mata pencaharian dari mereka ini kebanyakan merangkap sebagai petani dan peternak. Letak sawah bertingkat-tingkat, mulai dari tempat yang tinggi sampai ketempat yang rendah. Air untuk mengairi sawah diperoleh dari gunung, dengan mudah diairi dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Penanaman padi dilakukan dalam setahun sekali. Selain dari mata pencaharian bertani dan berternak seperti diatas, boleh dikatakan tidak ada yang bermata pencaharian yang lain. Ini mungkin disebabkan keadaan tanah yang tidak mengizinkan, lebih-lebih untuk tani sayur-sayuran. Masyarakat Kute Robel yang berjumlah 164 jiwa, merupakan suatu ikatan sedere ( famili ) yang berhubungan darah. Ini suatu kemungkinan ditentukan oleh sejarah perpindahan mereka ketempat ini. Hampir semua dari mereka mengakui dari keturunan yang sama. Oleh sebab itu jarang terjadi perkawinan diantara mereka, karena mereka menganggap satu belah ( clen besar). Prinsip ini bagi masyarakat Kute Robel sama seperti masyarakat Gayo lainnya, adat melarang keras untuk kawin dalam belahnya, atau lebih tegas mereka menganut sistem exogam. Sistem ini yang membuat perkembangan penduduk yang pindah disebabkan perkawinan dengan 23
penduduk yang masuk karena perkawinan, merupakan perbandingan yang sama. Dalam kampung Kute Robel tidak terdapat suatu lembaga pendidikan baik menengah maupun tingkat Kecamatan terdapat sekolah dasar, dan sekolah menengah pertama. Tingkat sekolah menengah pertama ini baru didirikan sejak 2 tahun yang lalu, dan masih berstatus swasta. Pada saat sekarang sudah ada inisiatif untuk dinegerikan. Diantara mereka banyak yang tidak bersekolah. Kebanyakan penduduk yang berumur 20 tahun ke bawah rata-rata pernah dan tamat sekolah dasar. Dan penduduk yang berumur sekitar 21 tahun keatas kebanyakan tidak pernah sekolah. Tempat pengajian bagi anak-anak di Kampung Kute Robel ada dua buah, masing-masing di rumah tengku. Disamping itu ada pula yang mengaji di mersah (langgar ). 2. Latar Belakang Historis Latar belakang sejarah asal-usul masyarakat Kute Robel erat sekali hubungan dengan sejarah Kerajaan Linge dahulu. Sebagai penghormatan kepada kerajaan Linge, maka nama Kecamatan ini diberi nama dengan Linge-Isaq. Isaq adalah nama sebuah pemukiman sebagai ibu kota Kecamatan Linge-Isaq. Menurut mithos yang berkembang dikalangan masyarakat Kute Robel khususnya dan masyarakat Gayo umumnya, dahulu (tidak diketahui tahun) di Linge berkembang sebuah kerajaan yang disebut dengan Kerajaan Linge. Nama raja pertama yang memerintah kerajaan ini, masih simpang-siur. Ada yang menamakan dengan raja Genali, Kawe Tempat, dan ada pula yang memberi nama dengan raja Dewa Jadi. Nama-nama tersebut adalah julukan yang diberikan kepada raja pertama Kerajaan Linge. Menurut perkembangan mithos, raja pertama ini berasal dari kerajaan Rum ( Roma ). Dengan memakai apa raja ini pergi ke Linge, merekapun tidak mengetahui. Di Linge ia mempunyai anak 3 orang, dua orang laki-laki, dan seorang perempuan. Pada suatu hari raja berpesan pada keluarga dan rakyatnya "kalau saya meninggal, saya jangan di kuburkan". Kemudian setelah ia meninggal, keluarga raja dan rakyat memutuskan untuk menguburkan raja, karena orang yang meninggal wajib dikuburkan. Maka pelaksanaan penguburanpun dilakukan. Sesaat mau diangkat mayat, ternyata tubuh raja 24
sudah menghilang. Rupanya kehilangan mayat raja di Linge, ia muncul di ujung Aceh (Banda Aceh) dalam keadaan hidup. Maka timbullah semboyan bagi masyarakat Gayo "Linge adalah pangkal, dan Aceh adalah ujung", artinya orang-orang Aceh sekarang berasal dari Linge. Di Aceh atau Banda Aceh sekarang raja yang sudah hidup kembali ini, kawin dengan seorang perempuan, dan kemudian dapat melahirkan seorang putra. Pada suatu saat sewaktu isterinya mengandung raja pulang ke Linge dengan tiada memberitahukan pada isterinya. Beberapa saat sepeninggal raja, anak dalam kandungan isterinya lahir. Lama-kelamaan anak itupun besar dan ia meminta izin pada ibunya untuk mencari ayahnya. Kemudian ibunya berpesan sambil memberi sebentuk cincin, siapa yang dapat memakai cincin ini, itulah ayah kamu. Maka anak itupun berlalu mencari ayahnya. Tiba-tiba ia sampai ke sebuah daerah atas gunung ialah Linge namanya. Secara kebetulan ia memperlihatkan cincin yang dibawanya, sertamerta setelah dilihat oleh raja bahwa cincin itu adalah cincinnya, maka ia dan anaknya itu berpelukan dengan perasaan sedih dan gembira. Lama-kelamaan berkembanglah keturunan mereka di Linge. Orang-orang Linge sering menamakan dirinya dengan orang Lod, kemudian lebih dikenal lagi dengan orang Cik. Pada suatu waktu migrasi diantara mereka terjadi, sebagian pindah ke Senile, daerah kawasan Bukit. Maka timbullah semboyan "asal Linge, awal senile", artinya mereka berasal-usul dari Linge dan Serule, termasuk masyarakat Kute Robel. Akhirnya berkembanglah dua masyarakat adat dalam masyarakat Gayo, yaitu kelompok adat Cik dari Linge-Isaq, dan kelompok adat Bukit dari pesisir Danau Laut Tawar. ( 8,1980,13) Disamping mithos yang berkembang seperti diatas orang-orang Gayo berpendapat pula bahwa mereka berasal dari orang-orang Batak ( Batak 27 ) yang memeluk agama Islam, yang kemudian melarikan diri ke Gayo. Akan tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya bahwa orang-orang Batak sendiri berasal dari Gayo, kemudian mereka melarikan diri arah ke Selatan kemudian diberi nama Batak. Suatu pendapat lagi yang berkembang bahwa orang-orang gayo berasal dari pesisir Aceh Utara yang lari ke hilir sungai Peusangan, dan kemudian dinamakan dengan Gayo. Begitu jugalah sejarah asal-usul masyarakat Kute Robel sebagai bagian dari masyarakat gayo. 25
3. Sistim Religi dan Alam Pikiran. Penduduk kampung Kute Robel semuanya beragama Islam, serta sangat taat kepada agamanya. Sistem pemikiran beragama didalamnya berkembang dua aliran. Aliran pertama merupakan aliran pembaharu yang dibawa oleh Muhammadiyah. Kepada pendukung aliran ini sering disebut dengan orang Muhammadiyah. Dan aliran yang kedua merupakan aliran yang sudah lama berkembang. Diantara aliran ini, tidak terjadi pertentangan-pertentangan yang tajam. Ini merupakan salah satu dari keberhasilan missi pemerintah untuk menggalang persatuan dan kesatuan dalam hidup beragama kepada masyarakat. Pertentangan-pertentangan yang agak tajam pernah terjadi pada saat menjelang tahun 60 an dahulu. Ketaatan kepada agama, tampak dalam pola tingkah laku masyarakat. Pada saat-saat waktu sembahyang, mereka memenuhi mersah, atau mesjid, baik laki-laki maupun perempuan. Mulai dari anak-anak sampai kepada kakek-kakek. Biasanya untuk anak-anak sembahyang berbaris di shaf paling belakang. Pada bulan-bulan puasa semuanya berpuasa, kecuali anak-anak yang belum sanggup atau dibawah umur. Akan tetapi namun mereka sebagai masyarakat yang taat kepada agama, didalamnya masih berkembang sistem kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus dan gaib, kekuatan alam, dan kekuatan sakti. Makhluk-makhluk halus dan gaib terdiri dari malaikat, iblis, jin, setan.dan hantu.Menurut kepercayaan mereka makhluk halus dan gaib ini dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok.Kelompok pertama mempunyai tujuan baik, dan kelompok kedua mempunyai tujuan jahat. Kepada kelompok yang terakhir inilah yang sangat ditakuti oleh manusia, supaya kelompok yang terakhir ini jangan mengganggu manusia, maka manusia mencari penangkalnya. Dengan demikian timbullah mentera-mentera dan bermacam-macam obat yang diperankan oleh dukun-dukun kampung. Sejalan dengan itu timbul pula sistem pemujaan kepada makhluk-makhluk halus dan gaib tersebut. Kepercayaan kepada kekuatan alam, berkembang juga dalam alam pemikiran masyarakat Kute Robel. Mereka percaya kepada keadaan dalam waktu. Dari kepercayaan ini timbullah laranganlarangan seperti pada waktu tengah hari (mata hari seaang naik) dilarang pergi ke danau, sungai dan tempat-tempat yang semak. Pada saat senja hari tidak boleh berkeliaran di luar rumah, terutama 26
sekali bagi wanita hamil. Karena pada saat ini jin-jin jahat meraja lela mencari mangsanya. Di dalam danau atau sungai pada tempattempat tertentu ada balumbidi yang suka menelan manusia. Disamping kepercayaan seperti diatas, mereka juga percaya bahwa manusia berada juga dalam keadaan waktu yang baik. Seseorang yang hendak mencari rezeki lainnya selalu menunggu saat waktu yang baik. Seorang petani yang hendak turun ke sawah ia mencoba-coba membuat rumus perbintangan yang sesuai, agar sawah tidak kering, panen yang berlimpah ruah. Seseorang yang hendak mengantar anaknya ke suatu pengajian, ia akan memilih hari-hari yang baik untuk itu. Dan masih banyak lagi peristiwa yang selalu dihubungkan dengan keadaan dalam waktu. Kekuatan sakti berhubungan dengan tempat-tempat tertentu. Tempat-tempat ini menyangkut dengan kuburan-kuburan orang keramat, tempat-tempat angker dan mengerikan. Di Desa Linge sebagai tempat asal-usul orang-orang Kute Robel, ada sebuah sumur bekas kerajaan Linge dahulu. Sumur ini terletak diatas bukit. Suatu keanehan dari sumur ini, dimana airnya tidak mau kering-kering walaupun dalam keadaan musim kemarau yang panjang. Reaksi dari air sumur ini selalu memberi makna tertentu kepada masyarakat. Bila airnya dalam keadaan keruh, menandakan ada pembesar yang akan meninggal, atau jatuh dari jabatan. Ataupun ada pembesar yang akan mengunjungi daerah ini. Kepercayaan seperti diatas terjadi juga terhadap tempat-tempat ibadah agama, yang dianggap sebagai rumah Tuhan. Tempat-tempat tersebut harus dipelihara dengan tata cara tersendiri. Tidak boleh berbuat salah atau melakukan sesuatu didalamnya, pengunjung harus memakai pakaian yang sopan dan sebagainya. Kepercayaan pada kekuatan sakti kuburan-kuburan tertentu, sangat kuat pula dalam alam pemikiran masyarakat Kute Robel. Tentang kuburan-kuburan yang dianggap keramat ada 3 macam yaitu kuburan ulama, kuburan raja-raja, dan kuburan orang mati syahid (mati dalam perjuangan Belanda). Pengertian mati syahid bagi masyarakat Kute Robel selalu menghubungkan dengan peristiwa perlawanan terhadap penyerangan Belanda dahulu. Orang yang mati dalam peristiwa ini dianggap keramat. Maka didekat kuburan-kuburan ini tidak boleh berbuat salah atau terlalu ria gembira. 27
^
BAB
III
DESKRIPSI UPACARA TRADISIONAL MASA KEHAMILAN, KELAHIRAN DAN BAYI, KANAK - KANAK DAN MASA MENJELANG DEWASA
A. MASYARAKAT LHONG CUT. 1. UPACARA MASA KEHAMILAN. Masyarakat Lhong Cut menganut sistem menetap uxorilokal, yaitu sepasang suami-isteri yang baru kawin menetap di rumah pihak isteri. Pemisahan dengan kerabat isteri baru dilakukan setelah peumeukléh (pemisahan harta) seperti rumah, sawah, emas dan kebun kelapa. Bagi orang yang tidak mempunyai harta, diberikan berupa sebuah kamar dan beberapa batang kelapa saja. Sebutan kepada pengantin laki-laki adalah lintô barô, dan kepada pengantin perempuan disebut dengan dara barô. Sebutan ini sampai sebelum lahir anak pertama, kemudian sebutan mengalami perubahan dengan sebutan ayah sinyak untuk linto baro dan mak sinyak untuk dara barö. Sebutan sinyak adalah panggilan kepada bayi yang baru lahir. Upacara yang paling meriah dilakukan adalah upacara-upacara untuk aneuk phôn (anak pertama). Upacara untuk anak kedua dan seterusnya, tingkat kemeriahannya sudah berbeda. Akan tetapi tingkat kemeriahan ini sangat dipengaruhi pula oleh tingkat ekonomi dan status sosial seseorang. Selama masa kehamilan seseorang dara barô akan mengalami upacara ba boh kayêe (bawa buah-buahan), tangkai beuneung (ajimat), peuramin (bawa piknik), dan ba bu ( bawa nasi ). 1.1.
Upacara Ba Boh Kayee
Menurut adat dara barô yang sudah hamil 3 bulan dikunjungi oleh mak tuan (mertua perempuan) dengan beberapa orang perempuan lain kerumah meulintei (menantu) untuk membawa boh kayêe (buah-buahan) orang-orang yang turut serta maktuan termasuk kawon (famili) yang terdiri dari perempuan-perempuan yang sudah 28
kawin. Banyak atau sedikit pengiring mak tuan menunjukkan tinggi derjat keluarga. Biasanya iringan untuk mengantar buah-buahan tidak sama banyaknya dengan iringan mengantar nasi. Pada masa umur kandungan 3 bulan umumnya wanita suka pajôh nicah (makan rujak) dan buah-buahan yang asam-asam. Pada masa ini disebut lethat peu hawa (banyak keinginan). Semua jenis buah-buahan ini dianggap juga sebagai keinginan anak dalam kandungan. Jika keinginan ini tidak dipenuhi, anak nanti menjadi rakus, atau sering meleleh air liurnya, karena keinginannya tidak tercapai waktu ia dalam kandungan. Jenis buah-buahan yang dibawa sangat tergantung pada keadaan musiman atau buah-buahan yang sedang bermusim pada saat upacara dilangsungkan. Biasanya buah-buahan ini terdiri dari sauh manila, durian, langsat, manggis, mangga, jeruk bali, tebu dan kelapa muda. Sebagian kecil golongan terpelajar, buah-buahan tersebut sudah diganti dengan buah-buahan kaleng yang dibeli di pasar Aceh sebagai produksi luar negeri. Semua jenis buahan tersebut diatas dipersiapkan oleh mak tuan. Setelah semua perlengkapan siap berangkatlah rombongan mak tuan menuju rumah dara barô. Sesudah rombongan sampai, mereka dipersilakan naik kerumah dan duduk di seuramoe keue (serambi muka). Dara barô pura-pura tidak tahu kedatangan mak tuan, ia duduk di seuramoe likôt (serambi belakang). Bisan (ibu dara barô) datang bersalaman dengan semua peserta rombongan. Kemudian ia pergi memberi tahukan pada dara* barô di seuramoe likôt tadi atas kedatangan mak tuan. Setelah diberi tahukan oleh ibunya, dara barô segera menjumpai mak tuan untuk bersalaman. Disini dapat dilihat tingkah laku dara barô lebih sopan. Seakan-akan penghormatan kepada mak tuan lebih dari ibunya sendiri. Dengan penuh rasa gembira dan terharu dara barô bersalaman. Pada saat ini ada dua macam perasaan yang ada pada dara baro pertama ia merasa gembira, karena anak dalam kandungannya sudah dijenguk oleh neneknya. Kedua ia merasa dalam keadaan krisis untuk menghadapi masa melahirkan. Karena pekerjaan melahirkan anak serupa dengan nyawöng di ujông ôk ( nyawa di ujung rambut ). Tingkah laku peserta upacara terpokus kepada dara barô, sekali29
kali terdengar kata bujukan diantara peserta kepada dara baro "bek malèe-malèe pajôh peu ngon hawa, dua uroe theuk kana peu peulalè" ( jangan malu-malu makan apa yang diinginkan, tidak lama lagi sudah melahirkan ). Dari kelakar para peserta upacara ini, mengandung makna bahwa kehadiran anak merupakan rahmat bagi ibu-bapak dan seluruh keluarga. Rombongan mak tuan yang duduk di seuramoe keue tadi, duduk berlingkaran diatas tikar. Buah-buahan yang dibawa tadi dalam sebuah katéng (wadah) diletakkan di tengah-tengah lingkaran rombongan. Ibu dara barô dan rombongan duduk pula disitu. Diantara mereka bangun seorang untuk mempersembahkan buah-buahan itu. Persembahan ini disambut oleh ibu dara barô atau orang yang diwakilkannya. Ibu dara barô berserta beberapa orang jiran membuka isi katéng itu untuk dibagi-bagikan kepada jiran sebagai pemberi tahukan bahwa anaknya sudah hamil. Kepada rombongan dan dara barô turut pula diberikan sambil acara minum bersama-sama. Selebihnya khusus disimpan untuk lintô barô dan buat dibikin nicah untuk dara barô nanti. Sebelum rombongan pulang, mak tuan mengadakan kompromi dengan bisan, tentang bidien yang akan merawat anaknya itu. Walaupun pemilihan bidien untuk anak pertama diusahakan oleh mak tuan, akan tetapi ia meminta persetujuan bisannya terlebih dahulu. Setelah ada kata kompromi, mak tuan mohon diri untuk pulang bersama rombongan. Dengan demikian selesailah upacara ba boh kayèe. 1.2.
Upacara Peugot Tangkai.
Menurut pandangan masyarakat Lhong Cut, wanita yang sedang hamil berada dalam keadaan krisis dan bahaya. Karena wanita dalam keadaan ini suka diganggu oleh makhluk-makhluk halus atau setansetan. Untuk menghindari ini akan dicarai usaha pencegahnya, pada dukun-dukun atau bidien. Ia membuat sejenis penangkis gangguan makhluk halus atau setan yang disebut dengan sinangkai atau tangkai ( ajimat ). Upacara peugot tangkai dilakukan sesudah upacara baboh kayèe atau pada bulan keempat umur kandungan. Kadang-kadang upacara ini dilaksanakan serentak dengan upacara ba boh kayèe (9, 1977, 30
122-125). Karena pada saat bulan-bulan tersebut diatas, anak dalam kandungan dianggap sudah berbentuk manusia. Maka dengan cepatcepat memerlukan perawatan dan perlindungan, supaya jangan terjadi bluding atau keguguran, diganggu oleh makhluk halus. Bluding, keguguran, dan anak yang lahir kurang bulan dianggap kena gangguan burông (kuntilanak). Kepercayaan yang berkembang dikalangan masyarakat Lhong Cut bahwa burông berasal dari roh wanita yang mati dalam keadaan hamil, atau wanita yang dibunuh karena memukah (berzina). Diantara semua burông yang paling ditakuti adalah burông Nek Rabi Tanjông, dari kampung Tanjông, dan burông dari Pocut Siti dari Tungkôb. Kedua burông ini suka mengganggu wanita hamil. Dahulu kedua wanita yang sudah menjadi burông ini dibunuh oleh suami gelap (10, Ibid). Masyarakat Lhong Cut beranggapan, manusia mempunyai 7 jiwa yang disebut dengan seumangat. Apabila salah satu seumangat hilang, maka badan lemah, bingung dan mudah diganggu oleh makhlukmakhluk halus. Dari anggapan inilah fungsi tangkai sangat memegang peranan. Bila seseorang sudah ada gejala seperti tadi, maka dukun atau bidien merajah ( membaca mentera) yang disebut dengan toung seumangat ( menjemput semangat) yang dianggapnya sudah hilang tadi. Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam upacara peugot tangkai ini, hanya terdiri dari bahan-bahan untuk membuat tangkai saja. Karena dalam upacara ini tidak diadakan acara makan-makan bersama. Bahan-bahan itu terdiri dari benang 7 warna,kemenyan putik jeruk purut 3 buah,dan sedikit kain putih.Bahan-bahan ini dirajah (dimentera) oleh bidien atau dukun, kemudian dibungkus dengan kain putih, lalu diikat dipinggang dara barô hamil itu. Selain bahan-bahan diatas, ada pula tangkai yang dibuat dari ayat al Qur'an. Ayat-ayat itu ditulis pada lembaran kertas kecil, kemudian digulung dan dibalut dengan kain putih. Tangkai semacam ini boleh juga dipakai di lengan sebelah kanan, atau dipinggang. Sebenarnya bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat tangkai tergantung pada bidien atau dukun yang membuatnya. Semua bahan-bahan yang dibutuhkan, dibawa oleh mak tuan. Bersamaan dengan bahan-bahan itu, mak tuan membawa juga bidien yang sudah disepakati bersama saat upacara ba boh kayee dahulu. 31
Bidien dipilih menurut keyakinan mereka dengan memperhatikan faktor tempat tinggal bidien untuk memudahkan menjemputnya, kala dara baro hendak melahirkan. Benang 7 warna yang dipakai, merupakan simbolis dari manusia yang terdiri atas 7 seumangat tadi. Tiap-tiap warna benang menjaga satu seumangat, supaya jangan hilang dari badan. Bahan-bahan lain sebagai alat yang ditakuti oleh makhluk halus. Ayat al Qur'an dianggap melindungi, tetap terhindar dari bahaya. Sikap ini merupakan sikap rohani magis ( 1 1 , 1954, 126 ). Sesudah selesai bidien membuat tangkai dan mengikat pada lengan atau pinggang dara barô, selanjutnya ia memberi petunjuk tentang pantangan-pantangan bagi lintô barô dan dara barô. Darabarô tidak boleh keluar rumah dikala senja hari, karena saat-saat ini makhluk halus berkeliaran. Ia tidak boleh pergi ketempat-tempat yang angker, karena tempat-tempat itu dihuni oleh makhluk halus. Lintô baro tidak boleh memotong ayam, agar kepala anaknya tidak lembek seperti kepala ayam. Dara barô dilarang duduk di ulee reunyeun (dimuka pintu) agar tidak mendapat kesukaran waktu melahirkan. Lintô barô dilarang pulang saat malam hari, supaya jangan diikuti oleh burông. Jika terpaksa pulang ia tidak boleh langsung naik ke rumah, melainkan harus berkeliling rumah dahulu 3 kali, atau duduk-duduk istirahat sebentar di meulasah sekitar 1 jam, agar burông kehilangan jejak. Lintô barô dan dara barô tidak boleh mencaci, kikir, dan melihat yang aneh-aneh supaya jangan dituruti oleh anaknya. Selain dari pantangan-pantangan ini, bidien juga memberi petunjukpetunjuk agar jangan berhubungan seks setelah umur kandungan 8 bulan. Larangan ini menyangkut tentang nilai moral. Bila hubungan seks masih berlangsung hingga saat kelahiran tiba, maka orang yang mendampingi saat kelahiran anak akan mengetahui dan akan dicemooh dengan agam bulo ( laki rakus ). Dilihat dari segi pantangan ini menunjukkan ada hubungan antara ibu dan bapak dengan anak dalam kandungan yang bersifat mistis. Pantangan-pantangan ini diwarisi secara turun-temurun. Bagi golongan terpelajar, pantangan ini sudah banyak diabaikan. Dari hasil suatu penelitian di Lhong raya menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan individu, semakin kurang kepercayaan kepada 32
pantangan ( 12, Opcit, 1977, 124). 1.3.
Upacara Babu.
Upacara babu ( mengantar nasi ) sering juga disebut dengan upacara mè bu. Menurut adat masyarakat Lhong Cut dara barô yang sudah hamil harus dikunjungi oleh mak tuan dengan membawa bu kulan, yaitu nasi yang dibungkus dengan daun pisang berbentuk piramid. Upacara ini dilangsungkan setelah selesai upacara tangkai, atau masa umur kandungan antara 7 bulan sampai dengan 8 bulan. Bahan-bahan persiapan terdiri dari bu kulah ( nasi bungkus), dan lauk-pauk yang terdiri dari lauk ikan, daging, ayam panggang, dan burung yang dipanggang. Bahan-bahan ini dimasukkan ke dalam dua buah katèng. Katèng pertama diisi dengan bu kulah, dan kateng kedua diisi dengan lauk-pauk. Bu leukat ( nasi ketan), dan kue-kue, masing-masing dimasukkan dalam sebuah talam (baki ). Selain dari bahan-bahan diatas, mak tuan menyediakan juga sirih setapak ( bahan-bahan sirih), pakaian sesalin (satu stel), dan uang ala kadarnya. Bahan-bahan ini akan diberikan kepada bidien, sebagai tanda penyerahan tanggung jawab untuk merawat dalam rangka kelahiran anak. Bahan-bahan pemberian ini disebut dengan peunulang. Semua bahan peunulang diisi dalam sebuah talam (baki). Daging burung yang dipanggang, khusus disediakan untuk dara barô supaya anak dalam kandungan menjadi cerdik dan lincah, seperti secerdik dan selincah burung yang dimakan. Jenis burung yang biasa dipilih adalah burung merpati. Tujuan yang umum dari upacara ini agar dara barô mendapat makan yang enak-enak, sebagai penghormatan dari mak tuan untuk menghadapi masa kelahiran. Karena pekerjaan melahirkan dianggap sebagai sabóng nyawong ( mempertarungkan nyawa), maka ia berada dalam keadaan krisis. Tiga hari sebelum berlangsung upacara, di rumah mak tuan tampak kesibukan-kesibukan. Ia memberitahukan kepada kawom ( famili ), dan jiran-jiran untuk bersama-sama memasak bahan-bahan persiapan dan untuk turut serta mengantar ke rumah melintei. Peserta dalam kegiatan ini terdiri dari orang-orang perempuan, sedangkan laki-laki tidak turut serta kecuali seorang pembantu untuk mengangkat bahan neumèe (bawaan). 33
Setelah siap semua bahan nemee, berangkatlah rombongan mak tuan menuju ke rumah melintei. Di rumah melintei sudah ditunggu oleh beberapa orang yang patut dalam kawomnya pula. Sesampainya rombongan di muka rumah, mereka dijemput oleh seorang utusan untuk mempersilakan naik ke rumah. Mereka langsung dibawa ke seuramoe keue ( serambi muka), dan pihak keluarga dara barô berada di seuramoe likot (serambi belakang). Tingkahlaku dara baro malu-malu kucing, sebagai tingkah laku wanita aceh terhadap mak tuan. Bahan-bahan yang dibawa tadi diberikan oleh salah seorang dari rombongan kepada salah seorang pihak dara barô. Lalu dibawa ke seuramoe likôt untuk diperlihatkan kepada pihak kawomnya. Kemudian bahan-bahan itu dibuka un + uk dimakan bersama-sama. Pihak rombongan diberi makan di seuramoe keue, dan pihak dara barô di seuramoe likôt. Setelah selesai acara makan rombongan, dara baro pergi menjumpai mak tuan serta rombongan untuk meminta mohon maaf dan doa restu dengan bersalaman, sambil bersujud pada mak tuan dan ibu kandung serta dengan seluruh peserta upacara. Tingkah laku ini sebagaimana sudah dijelaskan dalam upacara ba boh kayèe, bahwa ia sedang berada dalam keadaan krisis, dimana harus ditolong dengan doa bersama. Acara selanjutnya, mak tuan geu pulang melintei (menyerahkan) kepada bidien. Dalam penyerahan ini diiringi dengan ucapan "nyo udép maté aneuk lôn, lôn pulang lam jarou gâta" (hidup atau mati anak saya, saya serahkan dalam tangan bidien). Kemudian bidien mengucapkan "bak geutanyou useuha, umu bak Tuhan" (kita berusaha, umur berada pada Tuhan). Selanjutnya bahan-bahan peunulang diatas tadi diserahkan oleh mak tuan kepada bidien. Maka dengan demikian selesailah upacara ba bu. 1 .4.
Upacara Peu ramin
Upacara peuramin (bawa piknik) dara barô yang sudah hamil ke tempat-tempat rekreasi, merupakan kegiatan yang terdapat dalam golongan terpelajar di Lhong Cut. Kegiatan ini sebagai pengalihan dari upacara peugot sinangkai, yang sudah banyak mereka tinggalkan. Sejalan dengan pengalihan tersebut, kepercayaan untuk merawat 34
dara barô hamilpun beralih dari bidien kepada bidan Pukesmas. Kebiasaan ini yang terdapat dikalangan golongan terpelajar tampak sedang meluas di seluruh masyarakat Lhong Cut. Pada saatsaat waktu terluang, dara barô hamil dibawa oleh keluarganya seperti ke pantai lhoknya, Lampuuk, Ujung Batèe, dan Pante Cermin Ulèe Lhee. Biasanya aktifitas ini berada pada kedua belah pihak keluarga, sudah ada kata mufakat terlebih dahulu antara mak tuan dengan ibu kandungnya. Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam upacara ini, hanya berupa bahan-bahan untuk dimakan bersama. Bahan-bahan ini hampir serupa dengan bahan-bahan yang dibawa pada upacara ba bu, yaitu terdiri dari bu kulah, bermacam-macam lauk pauk, nicah, dan buah-buahan yang asam. Semua bahan-bahan ini dipersiapkan masing-masing oleh mak tuan dan ibu kandungnya. Masing-masing mereka mepersiapkan di rumahnya. Peserta dalam upacara ini hanya terbatas dalam keluarga pihak mak tuan dan keluarga pihak ibu kandungnya. Jumlah peserta terbatas pula, sejumlah isi satu mini bus, karena biasanya mereka pergi dengan mini bus. Setelah semua perlengkapan siap mereka bersama-sama menuju kepantai. Mulai saat ini dara barô menjadi perhatian peserta, ia duduk berdua dimuka bersama lintô baro. Peserta-peserta lain duduk dibelakang. Sekali-sekali terdengar kelakar yang ditujukan pada dara barô dan lintô barô, dalam rangka menghibur mereka. Sesudah sampai ke tempat yang dituju, acara yang pertama didahului dengan acara makan nicah dan buah-buahan. Acara yang terakhir dengan makan bu kulah bersama-sama. Pada saat ini kepada dara barô dan lintô barô, makanan dihidang khusus, kepada orangorang lainpun turut pula dibagi-bagikan kemudian mereka makan bersama-sama. Sehabis acara makan merekapun pulang kembali, kerumah masing-masing, maka dengan demikian selesailah acara peuramin. 2. Upacara Masa Kelahiran dan Masa Bayi. Upacara-upacara yang dilangsungkan sejak masa kelahiran hingga masa bayi, dapat dibagi kedalam dua tahap. Tahap pertama adalah upacara-upacara yang dilangsungkan pada masa kelahiran yaitu 35
upacara koh pusat (potong pusat), azan atau qamat, dan upacara tanom adoe (tanam placenta ). Tahap kedua adalah upacara-upacara yang dilangsungkan selama masa bayi (umur 44 hari) terdiri dari upacara manou peut plôh peut (mandi hari ke 44), peucicap (memberi rasa ), cukó ók (cukur rambut), peutron daou (turun dapur), boh nan (beri nama), peutrön atau peugilho tanoh (turun tanah), dan hakikah. 2. 1.
UPACARA MASA KELAHIRAN.
Upacara-upacara yang dilangsungkan pada masa kelahiran merupakan suatu kegiatan yang berantai, mulai dari upacara koh pusat sampai dengan upacara hakikah. 2.1.1. Upacara Koh Pusat Apabila dara barô hamil sudah merasa ada gejala-gejala untuk melahirkan, biasanya pada bulan ke 8 atau ke 9 anak dalam kandungan maka suami atau ibu kandungnya pergi menjemput bidien. Bidien memeriksa ureung sakèt (orang sakit) yaitu dara barô yang sedang hamil. Ia memeriksa pada bahagian perut di tekan dengan jarinya, apabila bidien menyatakan benar mau melahirkan, maka suami dara barô segera menjemput ibunya untuk mendampingi ureung sakèt. Bidien terlebih dahulu telah menyediakan alat - alat untuk menyambut anak yang lahir berupa benang terdiri dari dua macam yaitu benang 7 warna untuk anak laki-laki, jika yang lahir anak lakilaki. Dan benang 5 warna untuk anak perempuan, jika yang lahir anak perempuan. Dan teumèn ( sebilah buluh ) yang sudah di raut sebagai alat untuk memotong pusat. Ibu ureung sakèt menyediakan kunyit, dan sirih selengkapnya, dan mak tuan menyediakan ija tumpe ( kain bedung bayi ). Tempat untuk melahirkan biasanya di seuramoe likôt. Ureung sakèt berbaring diatas lantai yang dialasi dengan tikar. Peserta yang diperkenankan hanya yang mempunyai fungsi sebagai penolong. Suami dan keluarga lainnya menunggu di jurai dan di rambat ( di kamar tidur dan teras belakang ). Bidien terus melakukan tugasnya dengan membaca mentera-mentera dari bahasa Arab, dan diucapkan dengan perlahan-lahan, tidak kedengaran pada orang lain. 36
Apabüa situasi meularat ( sukar lahir ), bidien menggunakan ilmu kedukunan dengan seulusôh, yaitu air dalam sebuah gelas yang sudah dimentera oleh bidien, kemudian diminumkan kepada ureung saket. Air seulusoh ini dapat menambahkan tenaga untuk membuka pintu dan menjauhkan penghalang. Apabila usaha ini tidak berhasil bidien memanggil suaminya, supaya ureung sakèt meminta maaf, mungkin dahulu ia ada membuat kesalahan terhadap suaminya. Lalu ureung sakèt memuhon neu peumeuah lôn ( maafkan saya ) seraya suaminya menyahut dengan pakri ban badè, lage nyan keuh beu lahè (bagaimana badai, begitu jugalah kelahiranmu ). Sebagai tanda keikhlasan suami, ia melangkahi isterinya 3 kaü dari kiri ke kanan. Kemudian ia menghembus kening isterinya 7 kali dengan mengucapkan jak laju (lahir terus ). Tingkah laku suami sebagai simbol kekuatan untuk membuka pintu kelahiran, dan menghembus dikening merupakan daya pendorong yang bersifat magis untuk mempercepat kelahiran. Sebagaimana kebiasaan, kelahiran didahului oleh bayi, kemudian disusul oleh adoe ( placenta ). Pada saat inilah dilakukan pemotongan tali pusat yang menghubungkan bayi dengan adoe, oleh bidien. Penyebutan adoe kepada placenta, sesuai dengan sebutan adik, karena ia lahir setelah bayi. Jadi bayi dianggap kakak dari adoe. Cara memotong pusat ialah dengan mengikat kedua ujungnya dengan tali benang 7 warna bila laki-laki, atau tali benang 5 warna bila perempuan. Kemudian bidien mengambil teumèn, lalu memotongnya. Pusat bayi yang sudah dipotong dibubuhi dengan kunyit. Benang 7 warna melambangkan kekuatan seorang laki-laki, dan benang 5 warna melambangkan kekuatan wanita yang tidak sama dengan laki-laki. Kunyit yang mempunyai warna kuning sebagai sumber kemuliaan, dan dahulu merupakan lambang kebangsawanan. Dahulu bagi keluarga bangsawan ditaburi dengan serbuk emas pada pusat bayi. Selanjutnya bayi dimandikan dengan air yang agak hangat oleh bidien, lalu disembur dengan air ludah sirih, yang dianggap sebagai kekuatan sakti sebagai penolak gangguan setan dan juga sebagai ganti bedak serta jangan masuk angin. Bahan air ludah sirih ini terdiri dari sirih, pinang, kapur, gambir, jerengo dan cekur yang sudah dikunyah oleh bidien. Kemudian bayi dibedung dengan ija tumpe.
37
Setelah bayi selesai dibedung, lalu diserahkan kepada salah seorang yang terpandang dalam keluarganya untuk membaca azan atau qamat. Bila salah seorang yang terpandang itu tidak ada, bayi diserahkan pada ayah nek ( kakek), bila bayi itu laki, atau pada nek (nenek perempuan), bila bayi itu perempuan, untuk dibaca azan atau qamat. Pekerjaan bidien selanjutnya membersihkan ureung saket dari kotoran-kotoran darah dengan dimandikan air irisan jeruk purut. Kemudian diberikan obat minum, supaya kotoran-kotoran dalam perut habis keluar semua. Selain dari obat minum, ada juga obat yang ditempel pada perut, dan yang dimasukkan kedalam capok (vagina) ureung saket itu. Maka dengan demikian selesailah upacara pemotongan pusat, dan selanjutnya diteruskan dengan pembacaan azan atau qamat. 2.1.2. Upacara Azan atau Qamat. Upacara pembacaan azan atau qamat pada masyarakat Lhong Cut, adalah sama seperti masyarakat Aceh lainnya. Dalam upacara ini terkandung arti pengenalan terhadap agama ( Islam ) kepada bayi. Orang yang membaca azan atau qamat harus bersih badan, berudhuk, dan berpakaian rapi seperti orang hendak sembahyang. Kemudian bayi dipangku dengan menghadap ke kiblat, lalu azan atau qamat dibaca dengan suara yang nyaring dan merdu, agar bayi itu nanti nyaring dan merdu suaranya pula. Kalau bayi itu tidak menangis dan mendengar pembacaan tersebut, berarti ia akan mendengar nasihat-nasihat orang tua nanti, dan taat pula pada agama.. Selesai pembacaan azan dan qamat bayi diserahkan kembali pada bidien dan bidien menidurkan bayi itu disamping ibunya. Pemilihan orang yang membaca azan atau qamat mempunyai arti tertentu yang sangat berarti bagi anak nanti. Masyarakat Lhong Cut beranggapan, anak kelak meniru sifat dan kedudukan seperti orang yang membaca azan atau qamat tadi. Oleh karena itulah mereka cenderung memilih orang-orang yang terpandang untuk membaca azan atau qamat. Bila anak yang lahir itu seorang laki-laki, kepadanya akan dibaca azan oleh seorang laki-laki pula. Dan bila anak yang lahir itu perem38
puan, maka kepadanya akan dibaca qamat oleh seorang perempuan pula. 2.1.3. Upacara Tanom Adoe. Masyarakat Lhong Cut menyebut kepada placenta bayi dengan adoe. Setelah melahirkan, adoe itu harus ditanam kedalam tanah. Apabila dibuang sembarangan adoe itu akan diganggu oleh setan dan mengakibatkan bayi sakit perut, serta bermacam-macam lagi penyakit yang datang pada bayi. Penanaman adoe ini harus dilakukan, walaupun ureung sakèt itu melahirkan pada bidan Puskesmas. Adoe yang lahir bersama-sama bayi tadi dibersihkan oleh bidien, lalu dimasukkan dalam sebuah kanot (periuk) yang terbuat dari tanah liat. Kedalam kanot itu dibubuhi lagi dengan asam, garam dan abu dapur, supaya adoe cepat kering dan tidak membusuk. Sesudah dipersiapkan dalam kanot, berarti sudah siap untuk ditanam oleh bidien. Adoe dari bayi laki-laki ditanam di bawah seurayueng (cucuran atap), dan adoe dari bayi perempuan ditanam dibawah tangga. Tempat penanaman ini ada hubungan dengan fungsi anak laki-laki sebagai orang yang mencari makan, dan fungsi anak perempuan sebagai ratu rumah tangga. Adoe bayi tidak boleh ditanam jauh dari rumah. Ini mempunyai tujuan agar anak tidak suka meninggalkan kampung halaman kelak. Dari tujuan ini, mungkin sebagai salah satu faktor orang-orang Lhong Cut tidak ada yang pergi merantau keluar. Paling jauh mereka pergi sekitar Lhong Cut, karena ikatan perkawinan. Penanaman adoe mempunyai syarat-syarat tersendiri. Waktu menanam harus menghadap ke kiblat, periuk yang berisi adoe harus dilubangi dibawah, supaya tidak berair. Kalau berair ia akan gembung dan mengakibatkan pusat bayi tidak mau kering atau lama jatuh pusat. Periuk tidak boleh terlalu dalam ditanam. Karena terlalu dalam bayi akan lama dapat berbicara. 2.2.
UPACARA MASA BAYI.
Upacara masa bayi bagi masyarakat Lhong Cut, merupakan sejumlah upacara-upacara yang dilangsungkan sejak umur bayi 7 hari sampai dengan umur 44 hari. Dahulu sejak umur 7 hari sampai 39
dengan umur 2 tahun. Anak yang masih dalam batas umur bayi di sebut dengan aneuk manyak. Upacara-upacara semasa aneuk manyak terdiri dari upacara peucicap ( memberi rasa ), cukô ok (cukur rambut), peutrön dapu (turun dapur ), ikat ayôn ( ikat ayunan ), boh nan ( beri nama), peutrön aneuk ( turun bayi ), hakikah, dan upacara lhah mik (menyapih ). 2.2.1. Upacara Peucicap. Upacara peucicap adalah upacara untuk memberi rasa kepada aneuk manyak. Rasa yang diberikan ini terdiri dari manisan lebah dan air buah-buahan. Bahan-bahan yang harus dipersiapkan dalam upacara ini terdiri dari manisan lebah, buah sauh, mangga, rambutan, nangka, dan tebu. Disamping itu diperlukan juga hati ayam, ikan, surat yasin, dan rencong. Ketiga bahan yang terakhir ini pada saat sekarang sudah jarang dilakukan. Semua bahan-bahan tersebut dipersiapkan oleh ibu ureung sakèt. Peserta-peserta dalam upacara ini turut semua kawom kedua belah pihak, keuchik. tengku meulasah ( imam menasah ). dan beberapa orang tetangga yang berdekatan. Biasanya kawom membawa uang dan peserta lainnya membawa apa yang ada kemudahan. Acara peucicap dilakukan oleh orang-orang alim ( beragama ). terpandang dan baik budi pekertinya. Ini mempunyai tujuan agar aneuk manyak itu akan alim, terpandang dan baik budi pekertinya. Karena menurut anggapan mereka anak akan meniru orang peucicap. Bila aneuk manyak yang di peucicap itu laki-laki ia akan dipeucicap oleh tengku agam ( tengku laki - laki ). dan bila perempuan oleh tengku inong ( tengku perempuan ). Sesaat waktu acara peucicap dimulai, orang yang peucicap itu memulai dengan "Bismillah dan diteruskan dengan beu mamèh lidah, panyang umu, mudah raseuki, di thaè lam kawom dan taat keu agama" ( Bismillah manislah lidah, panjang umur. mudah rezeki, terpandang dalam kawom, dan taat dalam agama ). Setelah ucapan itu selesai lalu diolesi manisan lebah dan air ( pati ) buah-buahan pada mulut aneuk manyak. Pati buah-buahan adalah air buah-buahan yang sudah diperas. Kemudian diambil ikan 40
diolesi pula dibibirnya. Bahan olesan yang terakhir ini sudah jarang dilakukan. Tujuan pengolesan manisan lebah dan pati buah-buahan, adalah untuk pemberian rasa kepada aneuk manyak sebagaimana sudah disebutkan diatas tadi. Dan tujuan memberi rasa ikan, agar anak nanti, tidak canggung hidup dalam masyarakat, dan rajin berkerja sebagaimana rajin seorang yang memancing ikan. Sesudah selesai acara pengolesan, lalu diambil hati ayam diletakkan diatas dada aneuk manyak, lalu dibalik-balik dengan membaca Bismillah Tujuan dari membalik-balik hati ayam ini, agar anak dalam bertindak dan berbuat selalu mendapat petunjuk. Harapan ini tampak bila seseorang anak yang melakukan pekerjaan yang salah, lalu dikatakan dengan " lagèe ureung nana dibalèk atèe manok " ( seperti orang yang tidak dipecicap dengan hati ayam ). Acara yang terakhir adalah acara memperlihatkan surat yasin dan rencong pada aneuk manyak. Acara ini bertujuan agar kelak nanti menjadi anak yang taat kepada agama, dan menjadi anak yang berani mempertahankan kebenaran, dan berani melawan kejahatan. Dengan selesainya acara yang terakhir ini, maka selesai pulalah acara peucicap aneuk manyak. 2.2.2, Upacara Cuko Ok Upacara cukô ôk adalah upacara cukur rambut aneuk manyak setelah berumur 1 bulan. Upacara ini bertujuan untuk membuang rambut kotor yang dibawa sejak lahir. Selain dari pada itu mempunyai pula tujuan agar rambut aneuk manyak tumbuh lebih subur lagi. Dalam upacara ini biasanya tidak disertai dengan kenduri. Kadang-kadang orang tuanya memanggil juga dua tiga orang untuk merayakan acara ini. Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam upacara ini terdiri dari ketan 1 talam ( satu baki ), ayam panggang 1 ekor, apam beras ( serabi ), dan kelapa muda yang sudah diukir bentuknya. Bahanbahan ini dipersiapkan oleh bapak aneuk manyak atau oleh nenek aneuk manyak. Pada hari pelaksanaan upacara hadir mak tuan dan ibunya sendiri, serta bidien sebagai orang yang mencukur rambut. Dalam pelaksanaan ini pihak peserta tidak membawa apa-apa. Sesudah sampai saat yang direncanakan acara cukur rambut 41
segera dimulai. Ibu menggendong anaknya, dan bidien mencukur rambut dengan sebilah pisau cukur. Permulaan sekali bidien mengucapkan Bismillah , lalu ia mulai memotong rambut sebelah ubun-ubun kepala anak, dan kemudian baru diteruskan keseluruh kepala. Rambut yang sudah dicukur itu dikumpul dan dimasukkan kedalam buah kelapa muda yang sudah diukir tadi. Kemudian kelapa muda itu ditanam di belakang rumah dekat pohon pisang. Tindakan ini mempunyai tujuan agar anak nanti dapat menghadapi segala permasalahan dengan kepala dingin ( sabar ), sebagaimana dinginnya pohon pisang. Bahan-bahan seperti ketan dan ayam panggang, akan dibagibagikan kepada tetangga, seoagai pemberitahuan bahwa aneuk manyak sudah diadakan cukur rambut. Dengan demikian maka selesailah upacara cukur rambut. 2.2.3. Upacara Peutron Dapu Upacara peutron dapu ( turun dapur ) dilakukan pada hari ke 44 umur aneuk manyak. Istilah peutron dapu mempunyai kaitan dengan cara perawatan tradisional terhadap ureung sakét sejak hari ke 2 atau ke 3 setelah melahirkan sampai dengan hari ke 44. Perawatan ini dilakukan dengan menyalai wanita yang melahirkan itu. Oleh karena itu pekerjaan ini disebut juga dengan madeung (menghangat badan ). Wanita yang madeung itu disebut dengan inöng duk dapu. Perkembangan sekarang pada masyarakat Lhong Cut, tentang acara madeung hampir punah sama sekali, karena sebagian mereka sudah memakai bidan Puskesmas. Bagi yang memakai bidien (bidan kampung) sudah banyak pula meninggalkan acara madeung ini. Hal ini mungkin disebabkan acara madeung banyak sekali pantanganpantangan dan prosesnya amat lama. Mereka yang sudah meninggalkan acara madeung, hanya merayakan upacara manou peut plôh peut ( mandi hari ke 44 ) saja. Tentang upacara yang terakhir ini, akan terungkap pada upacara peutron dapu, karena kedua macam rawatan ( perawatan oleh bidan dan bidien) akan diakhiri dengan manou peut plôh peut. Acara madeung atau duk dapu yang dilaksanakan sejak hari ke 2 atau ke 3 sampai dengan hari ke 44, mempunyai tujuan ureung saket 42
itu, kekar dan awet kembali sebagaimana sediakala. Disamping itu juga mempunyai tujuan agar tidak terlalu cepat untuk hamil selanjutnya. Karena dalam proses madeung ini selalu diberi obat-obatan dengan berbagai pantangan. Bahan-bahan persiapan pada masa duk dapu terdiri dari dapur yaitu tempat menghidupkan bara api, _ kayu api, berupa jenis makanan yang dapat dimakan selama masa duk dapu, dan obatobatan yang diperlukan. Jenis makanan ini terdiri dari karèng (ikan teri ), keumamah ( ikan kayu), garam, sunti, lada, dan kunyit. Selain dari makanan ini semuanya merupakan pantangan. Obat-obatan terdiri dari daun-daun kayu, dan aweuh peut plôh peut (sejenis jamu 44 macam). Jamu ini direbus untuk diminum airnya. Boh meutui ( jeruk ) diperas airnya untuk diteteskan kedalam lubang capôk ( vagina ), agar cepat kering dan kembali seperti orang yang belum pernah melahirkan. Saat pelaksanaan madeung, bara api dihidupkan terus-menerus sampai hari ke 44, disamping ureùng sakèt itu. Pada saat-saat tertentu ureung sakèt itu diangkat keatas salai yang dibawahnya api, sambil berselimut seluruh tubuh hingga ia keluar peluh. Pada saat tidur selalu diletakkan batu diatas perut yang besarnya segenggam dan sudah dipanaskan terlebih dahulu serta dibungkus dengan kain. Ini bertujuan agar perutnya tidak kendor. Pekerjaan ini selalu dibantu oleh bidien sampai dengan hari ke 44. Pada saat hampir dekat hari ke 44, ibu ureung sakèt sudah sibuk untuk menghadapi upacara peutron dapu. Ia memberitahukan kepada bisan dan beberapa orang tetangga. Pihak mak tuan menyediakan bahan-bahan untuk mandi ureung sakèt. Bahan-bahan itu terdiri dari jeruk purut dan bermacam-macam jenis bunga yang wangi. Begitu juga dengan bahan-bahan untuk peusijuk (tepung tawar) yang terdiri dari beras padi, kunyit, daun sidingin, rumput padi, tepung yang dicairkan dengan air. Acara peusijuk ini disebut dengan peusijuk ro darah ( keluar darah ) menantunya pada masa melahirkan. Sesudah saat tiba hari ke 44, bidien dengan dibantu oleh beberapa orang wanita tua membongkar dapur atau bara api untuk dibawa turun keluar rumah. Kemudian membawa ureung sakèt itu ke sumur untuk dimandikan dengan air yang sudah diramu 43
dengan bahan-bahan mandi seperti diatas tadi. Apam beras (serabi) yang sudah tersedia di lempar ke sekeliling sumur agar semua setan pergi kepada apam itu dan tidak mengganggu ureung sakèt yang sedang dimandikan itu. Pada saat hendak memandikan, bidien membaca Bismillah yang diikuti dengan doa meminta izin kepada nabi Chaidir yang menguasai air. Suatu kepercayaan pada masyarakat Lhong Cut bahwa nabi Chaidir menguasai laut, sungai, dan semua sumber air. Sesudah dimandikan, ureung sakèt itu kembali dibawa naik ke rumah. Pada saat ini mertua memberi bahan-bahan rah jarou ( cuci tangan ) bidien yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu oleh mak tuan. Bahan-bahan ini terdiri dari pakaian sesalin (satu stel), uang Rp. 1.000,- beras dua bambu ( satu liter ), padi segantang (empat liter ). Acara peusijuk ro darah dilakukan oleh mak tuan. Pada kedua belah tangan melintei dan bidien dipercikkan tepung yang telah dicampur dengan air, kemudian diambil sedikit ketan untuk disuapkan kedalam mulut melintei dan bidien. Ketan juga disunting ditelinga mereka. Selanjutnya di seupèk breuh padèe (ditabur beras padi) keatas melintei dan bidien. Dan akhirnya mak tuan bersalam dengan melintei dan bidien sambil memberikan bungong jarou (hadiah) kepada bidien. Dengan demikian selesailah upacara peutron dapu. 2.2.4. Upacara Ikat Ayôn. Upacara ikat ayôn adalah upacara mengikat tali ayunan aneuk manyak, agar ia tidak sering menangis dan tidak dihinggapi peunyakèt drou ataupeunyaket ateuh ( penyakit step ). Upacara mengikat ayunan ini dilakukan oleh bidien dengan membaca mentera supaya aneuk manyak tidak sering menangis. Oleh karena itu aktifitas ini hanya dilakukan oleh bidien saja. Bahan-bahan yang dibutuhkan terdiri dari kain merah, besi, tali ijuk yang dibalut dengan kain merah. Kain merah sebagai lambang keberanian, agar aneuk manyak kelak menjadi orang yang berani menghadapi segala bentuk tantangan. Tali ijuk dan besi mempunyai makna sebagai alat yang ditakuti oleh semua setan. Dengan demikian 44
setan tidak berani mengganggu aneuk manyak. Upacara ikat ayôn ini dilangsungkan pada hari ke 3 setelah selesai upacara peutron dapu. Tali yang sudah diikat oleh bidien tidak boleh dibongkar lagi. Pada tali itu diikat ayun yang terbuat dari rotan berbentuk sebuah biduk. Setelah ayun siap diikat oleh bidien lalu ia mengambil aneuk manyak itu dari ibunya untuk ditidurkan dalam ayunan. Sambil menidurkan aneuk manyak itu bidien mengucapkan nyanyian atau pantun dalam bahasa Aceh : Ala hai do ku dak idang, Bungong keumang dalam istana, Beureujang rayeuk Banta seudang, Beu èk ta prang musôh dum na. Artinya, ala hai dô ku dak idang, bunga mekar dalam istana, cepatlah besar Banta seudang ( nama orang ) mampu menyerang semua musuh. Aneuk manyak sambil mendengar alunan suara bidien itu, akhirnya ia tertidur. Kemudian nyanyian atau pantun khas Aceh itu ditutup dengan laila ha illallah, Muhammadarrasullullah ( tiada Tuhan melainkan Allah, Muhammad itu rasul Allah ). Bentuk dan irama pantun, merupakan bentuk dan irama yang turun-temurun mereka terima. Dari arti kiasan pantun diatas menunjukkan bahwa sejak anak dalam ayunan sudah diajar sebagai anak pemberani dan beragama. 2.2.5. Upacara Bon Nan. Upacara bôh nan ( beri nama ) dilangsungkan serentak dengan upacara peutron Aneuk dan upacara hakikah. Kadang-kadang orang yang menghadiri upacara ini menyebut saja upacara peutron aneuk, artinya sudah mencakup ke tiga macam upacara tersebut. Upacara ini dilangsungkan pada bulan kedua atau ketiga umur aneuk manyak. Setelah selesai upacara peutron dapu, ibu kandung uerung sakèt sibuk mempersiapkan bahan-bahan untuk menghadapi upacara-upacara selanjutnya. Karena kegiatan upacara-upacara tersebut dilakukan oleh ibunya, dan dilangsungkan di rumah orang tuanya pula. Bahanbahan persiapan ada kaitannya dengan bahan persiapan pada upacara peutron aneuk dan upacara hakikah. Maka macam-macam bahan tersebut akan tergambar pada kedua upacara berikut ini nanti. Begitu 45
juga dengan peserta-peserta dalam upacara ini. Pemberian nama secara tidak resmi sudah diberikan juga oleh bidien sewaktu pemotongan pusat. Kalau orang tuanya setuju dengan nama yang diberikan oleh bidien ini, maka pada hari upacara, nama itu akan dikukuhkan kembali oleh teungku. Dan apabila tidak setuju teungku akan mencari nama lain. Namanama ini diambil dari nama keturunan nabi Muhammad seperti Muhammad Ali, Fatimah, Aisyah, Yacob, Isa, Musa dan sebagainya. Saat berlangsung pemberian nama aneuk manyak itu dipangku oleh ibunya dihadapan teungku. Ia didampingi pula oleh suaminya. Lalu teungku bertanya pada kedua orang tuanya, hari apa aneuk manyak itu lahir, berapa hari bulan ( tanggal bulan Arab), dan bulan apa pula ( bulan Arab). Setelah teungku mengetahui, maka ia memilih sebuah nama yang tepat dan serasi dengan anak itu. Kalau ternyata nama yang diberikan oleh teungku itu tidak serasi seperti anak sering sakit-sakit, maka orang tuanya akan memberi nama yang lain. Pemberian nama lain ini disebut dengan balèk nan ( tukar nama ). Karena bila anak sakit terus-menerus pertamatama diduga bahwa namanya kurang serasi. Faktor pemberian nama di kalangan masyarakat Lhong Cut, merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan seorang anak. Bila dipanggil kepada seseorang anak yang bukan namanya, orang tua anak itu akan marah "aneuk kee ku boh nan ngon ku sie kamèng" ( saya memberi nama anak dengan menyembelih kambing) kalau pada saat upacara bôh nan menyembelih kambing. Artinya jangan sesuka hati memanggil nama anak orang. Karena pemberian nama itu harus melalui upacara. 2.2.6. Upacara Peutron Aneuk Upacara peutron aneuk ( turun tanah bayi ) merupakan upacara untuk menginjak tanah yang pertama bagi aneuk manyak. Oleh sebab itu kadang-kadang disebut juga dengan upacara peugilho tanoh ( menginjak tanah ). Pelaksanaan dilakukan serentak dengan upacara boh nan, dan hakikah. Tujuan lebih lanjut dari upacara ini merupakan simbolis untuk memperkenalkan lingkungan masyarakat kepada anak. 46
Sesudah selesai upacara peutron dapu, di rumah tempat lahir aneuk manyak itu sudah sibuk mempersiapkan bahan-bahan untuk menghadapi upacara peutron aneuk. Upacara ini merupakan upacara besar'diantara upacara-upacara lain semasa anak masih dalam umur bayi. Semua persiapan disediakan oleh pihak ibunya. Pihak ayahnya atau maktuan hanya datang pada saat upacara dilangsungkan. Persiapan yang diusahakan oleh pihak ibunya ialah semua kebutuhan pada hari itu, seperti beras, lauk-pauk, semua bumbu dan lainlain kebutuhan untuk dihidangkan kepada undangan. Pihak maktuan pada saat upacara biasanya membawa gelang emas bayi bila cucunya perempuan, dan cincin emas bila cucunya laki-laki. Jumlahnya menurut kemampuan dari neneknya itu. Selain dari itu pihak ibunya mempersiapkan payung kuning ( bagi bangsawan ), payung biasa ( bagi orang biasa ), kelapa parang, pedang, batang pisang dan batang tebu. Kedua bahan yang terakhir ini ditanam di halaman rumah. Pakaian untuk aneuk manyak warna kuning bagi keluarga bangsawan,dan pakaian biasa bagi bukan bangsawan.Akan tetapi pada saat sekarang perbedaan antara bangsawan dengan orang biasa tidak kentara lagi. Dalam upacara ini diundang seluruh kawom pihak ibunya dan seluruh kawom pihak ayahnya. Tidak ketinggalan puia diundang keuchik, teungku meulasah, jiran dan beberapa undangan lainnya, serta seluruh pemuda gampông sebagai tenaga pekerja. Karena kegiatan upacara ini merupakan kegiatan gampông. Banyak atau sedikitnya kawom yang datang menunjukkan derjat sosial keluarga. Pada upacara ini kawom akan membawa neumè (kado) untuk dipersembahkan kepada aneuk manyak yang dirun tanahkan. Dan undangan lain akan membawa apa yang ada kemudahan. Neume ini dianggap sebagai bahan yang berbalas-balasan, apabila ada upacara yang sama nanti. Pada saat upacara dilangsungkan aneuk manyak itu digendong oleh teungku yang sudah siap dengan pakaian yang necis. Bila anak laki-laki ia digendong oleh teungku agam (teungku laki-laki) dan bila anak perempuan ia digendong oleh teungku inong (teungku perempuan ). Seorang diantara peserta memayungkan anak dalam gendongan teungku dan teungku memegang pedang disebelah kanan, dengan perlahan-lahan menuju tangga. Sedangkan undangan lain datang mempersaksikan upacara itu. 47
Saat teungku yang menggendong aneuk manyak itu melangkahi anak tangga pertama, seorang lain berdiri dekat teungku, lalu membelah kelapa diatas payung tadi. Belahan kelapa itu, sebagian dilempar ke halaman sebelah kiri, dan sebagian lagi dilemparkan ke halaman sebelah kanan. Teungku terus turun ke halaman rumah dengan cepat, lalu ia mencencang pohon pisang dan pohon tebu yang sudah ditanam tadi dengan pedang. Untuk anak perempuan acara mencencang batang pisang dan tebu, tidak dilakukan. Kemudian teungku menurunkan aneuk manyak itu diatas tanah sejenak. Setelah itu ia menggendong lagi dan terus menuju ke meulasah dengan diikuti oleh rombongan. Mereka berkeliling meulasah, kemudian membasuhi muka aneuk manyak dengan air di meulasah. Dan seterusnya mereka pulang lagi ke rumah, serta menyerahkan aneuk manyak itu kepada ibunya. Dalam upacara ini banyak lambang-lambang atau simbolis yang mengandung makna-makna tertentu. Aneuk manyak harus diturunkan oleh seorang teungku atau orang alim, agar anak menjadi orang yang alim kelak, terpandang, dan berkedudukan dalam masyarakat sebagaimana halnya dengan teungku itu. Pakaian atau payung kuning melambangkan turunan bangsawan. Dahulu tidak sembarang orang dapat memakai warna itu, tetapi pada saat sekarang sudah banyak orang lain memakainya. Membelah kelapa diatas kepala mengandung makna supaya anak tidak takut pada suara petir. Dan mencencang pohon pisang dan pohon tebu merupakan gambaran seorang yang pergi berperang menghadapi musuh. Ini mempunyai tujuan agar anak berani menghadapi musuh di medang juang. Membawa anak ke meulasah dan membasuh mukanya, supaya ia rajin pergi ke meulasah. Rajin ini mempunyai dua makna. Makna yang pertama rajin menunaikan kewajiban agama, dan makna kedua ia ikut serta dalam masalahmasalah sosial. 2.2.7. Upacara Fakikah. Masyarakat Lhong Cut menganggap upacara bakikah merupakan adat yang bertautan dengan agama. Bagi orang-orang yang mempunyai kemampuan upacara ini dilangsungkan dengan memotong kerbau atau kambing. Dan bagi orang yang kurang mampu akan memotong kambing saja. Dalam pelaksanaan nampak upacara 48
ini agak besar, karena dilangsungkan serentak dengan upacara boh nan dan upacara peutrönaneuk. Upacara ini dilangsungkan di rumah tempat aneuk manyak itu lahir. Dahulu persiapan-persiapan dan perlengkapan upacara dipersiapkan oleh mak tuan. Pada saat sekarang semua persiapan hakikah itu dipersiapkan oleh ayah aneuk manyak itu sendiri. Kalau orang tuanya tidak mampu, maka upacara hakikah tidak dilangsungkan. Pihak sebelah ayah dan sebelah ibu, hanya datang menyertai pada saat berlangsung upacara. Hewan sembelihan adalah hewan jantan, tidak boleh betina. Bahan-bahan persiapan terdiri dari hewan jantan yang akan disembelih, kain putih setengah meter, minyak wangi dan sisir. Pada saat hewan hendak disembelih, muka hewan itu ditutup dengan kain putih, dibadannya diberi minyak wangi, dan bulu dikepalanya disisir. Masyarakat Lhong Cut sendiri tidak tahu tentang makna tingkah laku tradisional ini pada saat penyembelihan hewan hakikah tersebut. Tradisi ini telah mereka terima dari turun-temurun. Peserta-peserta lain dalam upacara ini, sama seperti pada upacara peutrön aneuk, karena upacara ini dilangsungkan serentak. Ada perbedaan, bila pada upacara peutrön aneuk disembelih hewan hakikah, maka daging hewan itu harus habis dimakan pada hari upacara itu. Kalau masih ada sisanya daging itu akan dibagi-bagikan kepada kawom dan jiran. Ini mempunyai anggapan bahwa daging hakikah lebih afdhal dihabiskan pada hari itu juga. Pada saat hendak dilangsungkan upacara, ayah aneuk manyak menyerahkan hewan sembelihan itu dan seluruh bahan keperluan kenduri pada teungku meulasah dan keuchik. Mereka akan memanggil seluruh pemuda gampöng sebagai tenaga pekerja dalam upacara. Kemudian hewan disembelihkan oleh teungku, lalu mereka masak bersama-sama dan mereka makan pula bersama-sama. Kepada undangan yang duduk dalam seung (tenda) dihidangkan pula makanan. Setelah semua undangan makan, maka selesailah upacara hakikah. 2.3.
UPACARA MASA KANAK-KANAK.
Seseorang anak yang masih berada dalam umur masa kanakkanak dikalangan masyarakat Lhong Cut disebut aneuk miet atau aneuk cut-cut ( anak yang kecil). Masa kanak-kanak ini dimulai 49
sejak 2 tahun umur anak sampai dengan umur 6 tahun. Selama masa umur tersebut tidak banyak upacara-upacara yang dilangsungkan terhadap seorang anak. Pada umur-umur tersebut diatas anak hanya mengalami upacara lhah mik ( menyapih ) dan sunat aneuk inong ( sunat anak perempuan ). 2.3.1. Upacara Lhah Mik. Upacara lhah mik ( sapih ) adalah upacara penyapihan agar aneuk miet tidak menyusui pada ibunya lagi. Masa lhah mik pada umumnya setelah aneuk miet berumur 2 tahun. Akan tetapi masa ini sangat relatif, tergantung kepada kondisi ibu anak. Bila ibu telah hamil lagi, maka aneuk miet segera disapih, meskipun belum sampai umur 2 tahun. Karena ada anggapan bahwa bila anak yang terus menyusui pada ibu hamil, ia akan sakit-sakit, sebab memakan darah saudara kandungnya. Dalam penyelenggaraannya penyapihan ini, tidak banyak orangorang yang terlibat. Peserta-pesertanya terdiri dari ibu, aneuk, saudara ibu dan bidien. Bidien ini baru terlibat bila ada kesulitan pada saat penyapihan. Tindakan ibu yang pertama terhadap anaknya ialah dengan mengasingkan tempat tidur. Anak diserahkan pada saudara ibu ( biasa lain rumah ). Tindakan ini biasanya cepat berhasil, karena sudah menjadi kebiasaan, pada saatsaat ia kesawah atau ketempat-tempat kerja lain, anak dititip pada saudara ibunya. Apabila tindakan seperti diatas belum berhasil, maka ibunya datang ke rumah bidien, untuk dirajah ( mentera ) agar anak tidak teringat pada susu ibu lagi. Dan apabila cara inipun belum berhasil juga, ia akan mencari daun-daunan yang pahit untuk menyapu patinya pada pentil payudara ibu. Dengan demikian akan terasa pahit pada anak, dan dengan sendirinya anak tidak mau lagi menyusu. 2.3.2. Upacara Sunat Aneuk Inong. Istilah sunat bagi masyarakat Lhong Cut, sering ditujukan kepada sunat anak laki-laki yang disebut dengan koh boh ( potong ujung zakar ). Ini bukan tidak berarti anak perempuan tidak ada sunat. Sebab sunat untuk anak perempuan seakan-akan dirahasiakan, tidak 50
diadakan upacara seperti upacara pada sunat anak laki-laki. Melihat kepada perbedaan-perbedaan dalam pelaksanaan dan saat dilangsungkan sunat untuk anak laki-laki dan anak perempuan, maka pada bagian ini, akan diuraikan sunat aneuk inong (sunat anak perempuan ) saja. Seseorang anak perempuan yang sudah pandai berjongkok menandakan ia sudah dapat disunatkan. Akan tetapi ukuran ini sangat relatif, karena ukuran pandai jongkok tergantung kepada kesehatan anak. Pandai berjongkok biasanya setelah lhah mik, kirakira berumur 2 tahun. Bahan-bahan dalam upacara sunat aneuk inong terdiri dari ketan kuning 1 piring, dan uang Rp. 500,-. Ketan kuning untuk dimakan bersama-sama setelah pelaksanaan sunat selesai, dan uang Rp. 500,— sebagai pemberian kepada mudiem ( tukang sunat ). Sesuai dengan tingkat upacara, maka peserta-pesertanya tidak banyak hanya terdiri dari ibu anak-anak, mudiem, dan kadang-kadang diikut sertakan neneknya. Sesudah sampai umur, anak dibawa oleh ibu dan neneknya kerumah mudiem. Seorang mudiem biasanya seorang bidien atau seorang perempuan tua lagi aum. Sesampainya di rumah mudiem, ia menyampaikan maksud dengan menyatakan "kamou trôh keu nou na hajat bacut " ( kami datang kemari untuk melepaskan hajat ). Mudiem mendengar ucapan tersebut, dan telah maklum maksud kedatangan mereka. Lalu ibunya menyerahkan ketan kuning yang dibawanya tadi. Anak yang akan disunat itu dipegang oleh neneknya, lalu mudiem mengambil pisau cukur untuk menggores ujong aneuk teit ( ujung kelentit ) anak hingga mengeluarkan sedikit darah. Setelah selesai koh aneuk teit ( potong kelentit ), lalu anak dimandikan dan diambil udhuknya ( air sembahyang ). Kemudian mudiem menyuruh pada anak tengadah kedua belah tangan keatas dengan menghadap ke kiblat, lalu mudiem mengucap dua kalimat syahadah yang diikuti oleh anak " Asyhadu alla ila ha illallah, waasyhadu anna Muhammadarrasullullah " ( aku naik saksi tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad rasul Allah ). Setelah upacara sunat, anak perempuan masih ada acara lagi yaitu chee geuhinyueng ( tindik telinga ). Acara ini tidak melalui 51
suatu upacara. Biasanya sesudah 3 hari setelah upacara peusunat. Acara ini juga dilakukan di rumah bidien. Alat penusuk telinga ini, dahulu dengan durou bak meutui (duri jeruk meutul ). Tetapi pada saat sekarang acara ini sudah banyak dilakukan pada bidan Puskesmas. 2.4
Upacara Masa Menjelang Dewasa.
Masa menjelang dewasa seseorang anak laki-laki disebut dengan aneuk muda, dan untuk anak perempuan disebut dengan aneuk dara. Masa ini berlangsung dari umur 7 tahun sampai dengan umur 14 tahun. Jadi masa peralihan antara masa aneuk miet kepada masa menjelang dewasa. Seseorang anak dalam masa usia menjelang dewasa, ada 3 macam upacara yang dilangsungkan. Upacara-upacara tersebut adalah upacara euntat beut ( antar mengaji ), upacara peutamat beut (tamat mengaji ), dan upacara meusunat ( sunat rasul ). 2.4.1
Upacara Euntat Beut.
Apabila anak sudah berumur 6 tahun atau 7 tahun, orang tuanya sudah merasa berkewajiban untuk mengantarkan anaknya pada pengajian. Dalam kalangan masyarakat Lhong Cut berkembang anggapan bahwa anak yang berumur 7 tahun sudah mempunyai kewajiban agama untuk menunaikan perintah-perintah dan menjauhkan larangan-larangan Tuhan. Untuk melaksanakan kewajiban tersebut, memerlukan pengetahuan tentang itu. Pengetahuan ini akan diperoleh melalui pengajian-pengajian. Maka orang tua anak merasa berkewajiban untuk memberikan pengajian kepada anak, kalau tidak ia akan berdosa. Dengan demikian anak akan diserahkan pada pengajian-pengajian. Orang yang mengajar mengaji disebut dengan teungku. Seorang anak akan menerima pengajaran mulai juz amma ( Qur'an kecil), sampai pada Qur'an besar. Setelah itu, kalau ingin untuk melanjutkan dapat diteruskan ke pesantren-pesantren. Dalam pengajian yang dilaksanakan di Lhong Cut, diutamakan kefasihan membaca menurut ciri khas bahasa Arab, arti dari ayat-ayat itu tidak dipelajari. Selain mempelajari membaca ayat-ayat diberikan juga pengetahuan tentang sembahyang. Pengetahuan ini diberikan dalam bentuk 52
syair dan nyanyian dengan irama khas Aceh, agar anak mudah menghafalnya. Disamping itu diberikan juga bagaimana menegakkan shalat mulai dari cara mengambil udhuk sampai dengan selesai sembahyang. Disamping mempelajari pengetahuan diatas, kepada anak diberikan juga pengetahuan tentang nilai-nilai kesopanan dan adatistiadat. Diantaranya sopan santun terhadap kedua orang tua, orang yang lebih tua dari padanya, orang yang sebaya, dan anak-anak kecil. Begitu juga terhadap nilai-nilai adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Di Lhong Cut tempat pengajian diadakan di meulasah dan di rumah-rumah teungku. Bagi aneuk-aneuk muda ada yang mengaji di meulasah dan ada juga di rumah-rumah teungku. Dan bagi aneukaneuk dara mengaji di rumah teungku. Masing-masing diajar oleh teungku agam, dan teungku inong. Pada masing-masing tempat pengajian paling sedikit ada 5 orang murid, dan paling banyak sampai 15 orang. Kepada teungku tidak diberikan imbalan jerih payah tertentu, melainkan menurut pertimbangan orangtua masing-masing murid. Bahan-bahan yang dibutuhkan pada saat upacara euntat beut, pada saat sekarang sudah berbeda dengan dahulu. Dahulu bahanbahan persiapan itu terdiri dari ketan kuning 1 piring, manok panggang ( ayam panggang ), pisang abin ( pisang susu ), bereuteh ( beruh ) boh manok reubôh ( telur ayam rebus ) 1 butir, ranub seuseupèh ( sirih sesepih ), dan ija putèh ( kain putih ) 6 hasta. Disamping itu juga dibawa alat perlengkapan mengaji seperti juz amma dan rihai ( rehal ). Pada saat sekarang tidak semua bahan-bahan tersebut diatas dilengkapi dalam upacara euntat beut. Mereka sering membawa bu leukat ngon u mirah ( ketan dan kelapa bergula merah ), beureuteh ( bertih ), dan juz amma. Bu leukat sebagai lambang ingatan, supaya melengket apa yang diajar oleh teungku, seperti sifat ketan yang melengket. U mirah supaya hatinya menjadi terang dan mudah mengerti. Dan beureuteh sebagai hati yang bersih. Sesudah sampai saat yang ditentukan kedua orang tua mengantar anak-anaknya ketempat pengajian. Waktu yang dianggap baik biasanya hari Rabu. Semua bahan-bahan tadi turut dibawa ke rumah teungku. Pada saat menyerahkan anak kepada teungku orang tuanya 53
mengucapkan "nyou lôn jôk aneuk Ion bak teungku, teungku peu beu^, bôh neu dhôt, bôh neu poh, pulang huköm drou neuh, me bèk capiek ngon buta " ( saya serahkan anak saya pada teungku, teungku ajarkan ia mengaji, walaupun teungku marahi, teungku pukul, terserah pada teungku, asal jangan cacad ). Ucapan diatas, diucapkan oleh orang tua anak sambil berjabat tangan dengan teungku, lalu teungku mengucapkan Alhamdulillah ( moga-moga Allah memberkahi ). Mulai saat ini anak sudah resmi menjadi murid teungku. Kemudian teungku mengambil beureuteh dan ketan masingmasing satu genggam untuk disuap kedalam mulut anak, dengan mengucapkan Bismillah Selebihnya akan dibagi-bagikan kepada murid-murid lain, atau kepada yang hadir saat euntat beut itu. Acara yang terakhir teurjgku menjelaskan waktu (jadwal) mengaji, karena disediakan waktu untuk mengaji malam, dan waktu untuk mengaji siang hari, supaya tidak mengganggu waktu belajar di sekolah. Anak dapat memilih antara kedua waktu itu. Selesai penyerahan ini, kedua orang tua anak pulang ke rumahnya, maka selesailah upacara euntat beut. 2.4.2. Upacara Peutamat Beut. Upacara peutamat beut ( tamat mengaji ) sering juga disebut dengan upacara chatam. Upacara ini dilakukan pada saat anak tammat membaca al Qur'an. Kadang-kadang upacara ini, bagi anak lakilaki dilakukan saat dilangsungkan upacara sunat, dan bagi anak perempuan dilakukan pada saat dilangsungkan upacara perkawinannya. Bila upacara ini dilangsungkan bukan pada saat anak sunat atau kawin, maka kegiatannya dilakukan di tempat anak mengaji. Cara peutamat beut untuk anak perempuan sama seperti anak laki-laki. Dahulu setelah pengajuan sampai pada juz tengah Qur'an diadakan upacara peusijuk Qur'an ( ditepung tawari ) dengan membawa bahanbahan beureuteh, ketan kuning, dan bahan-bahan tepung tawar. Pada saat sekarang upacara ini tidak diadakan lagi. Sesudah anak tammat Qur'an, ia memberitahukan kepada orang tuanya. Kemudian orang tuanya datang pada teungku untuk memberitahukan saat upacara tammat beut dilangsungkan. Sesudah ada kata mufakat dengan teungku, lalu orang tuanya menye54
diakan bahan-bahan persiapan yang terdiri dari ketan kuning, dan bahan tepung tawar, untuk ditepung tawari anak. Pada saat dilangsungkan upacara kedua orang tuanya datang menyaksikan dengan membawa bahan-bahan tadi. Orang-orang yang pandai mengaji diundang dan teman-temannya turut pula menyaksikan. Pada anak disuruh membaca ayat-ayat Qur'an, kemudian disambung pula oleh teman-temannya secara berganti-gantian Teungku menyimak semua bacaan-bacaan itu. Sesudah selesai acara baca Qur'an, anak disunat disunting dengan ketan oleh teungku, kemudian ditepung tawari. Kepada undangan dan peserta lainnya diberi makan ketan dan minum-minum bersama. Dahulu upacara peutamat beut dilakukan secara besar-besaran dengan memotong kambing atau lembu. Pada saat sekarang hal seperti itu tidak dilakukan lagi, kecuali ada kaoy ( nazar ). Masalah kaoy di Lhong Cut masih rawan. Masih ada anggapan kaoy merupakan jembatan untuk sampai kepada cita-cita. Kenyataan ini dapat dilihat dalam bentuk kaoy seperti " meunyo èk tamat beut, ku siei saboh leumo watèe peutamat" ( bila nanti tamat mengaji, akan saya sembelih satu lembu ). Atau ada juga yang meng-kaoy pada saat anak sakit yang krisis " meunyo pulen aneuk nyou, ku siei saboh leumo watée peutamat beut" ( kalau anak ini sembuh, saya sembelih seekor lembu saat menamatkan mengaji ). Demikianlah saat peutamat beut kadang-kadang dipengaruhi oleh situasi kaoy. Situasi ini akan menentukan tingkat kemeriahan upacara. 2.4.3. Upacara Sunat Aneuk Agam. Istilah meusunat ( sunat ) untuk anak laki-laki dikalangan masyarakat Lhong Cut disebut juga dengan koh boh ( potong kulit ujung zakar ). Seseorang anak yang belum sunat dianggap belum sah sebagai ummat Islam. Dari anggapan ini ada kecenderungan masyarakat untuk memisahkan antara anak-anak yang belum sunat dengan orang dewasa pada saat sembahyang berjemaah. Upacara peusunat aneuk agam ( menyunat anak laki ) dilakukan setelah anak berumur diantara 9 tahun sampai dengan 13 tahun. Pelaksanaan upacara biasanya dipilih pada saat hiah biang (habis panen ). Karena saat ini orang-orang tidak sibuk lagi dengan pekerjaan di sawah. Ditambah lagi pada saat ini persiapan beras dan 55
kebutuhan lain dalam upacara sudah ada kemudahan. Sunat bagi anak laki-laki selalu diadakan upacara walaupun kecil. Pelaksanaan upacara ini kadang-kadang dipengaruhi pula oleh kaoy. Bila orang tuanya ada meng-kaoy untuk anaknya, maka tingkat kemeriahan ditentukan oleh macam kaoy. Kadang-kadang ada juga orang tua anak menyelenggarakan upacara sunat anak serentak dengan upacara perkawinan kakaknya, dalam rangka menghemat biaya. Bagi golongan ureung kaya ( orang berada ) upacara meusunat dilangsungkan dengan memotong lembu atau kambing. Dan bagi ureung putôh ( orang miskin ) upacara meusunat dilangsungkan cukup dengan memotong ayam. Tingkat keterlibatan peserta-pesertanyapun berbeda. Dalam upacara tingkat memotong lembu atau kambing diundang seluruh kawom ( famili ) pihak ayah dan pihak ibu. Begitu juga keuchik, teungku meulasah, pemuda gampong, dan jiran. Apabila upacara hanya tingkat memotong ayam, cukup diundang teungku meulasah, keuchik dan dua atau tiga orang familinya untuk makan kenduri. Kedua belah pihak kawom tidak diundang, dan bagi mereka telah maklum. Persiapan bahan-bahan dalam upacara peusunat aneuk semuanya menjadi tanggung jawab orang tua anak. Nenek pihak ibu hanya turut menyertai saja upacara. Biasanya nenek pihak ayah akan membawa hadiah kepada cucunya sebentuk emas. Kedua belah pihak kawom kadang-kadang juga membawa sebentuk emas atau hadiah lainnya. Hadiah ini diberikan pada saat peusijuk aneuk, (tepung tawar ) yang disebut dengan teumeutuk ( hadiah ). Orang yang menyunat disebut dengan mudiem atau khalifah, biasanya orang-orang yang alim atau yang mempunyai pengetahuan agama. Pada saat sekarang masyarakat Lhong Cut, sudah banyak menyunatkan anak pada mantri rumah sakit. Mereka membawa anak ke rumah-rumah mantri yang terdekat. Sesudah selesai anak di bawa pulang kembali ke rumahnya. Tujuh hari sebelum upacara dilangsungkan orang tua anak memanggil keuchik, teungku meulasah, dan beberapa orang pemuda gampong, untuk menyerahkan seluruh pelaksanaan upacara. Pekerjaan ini disebut dengan pulang bout ( penyerahan pekerjaan ). Sejak saat ini pelaksanaan upacara sudah menjadi tanggung jawab gampong 56
( warga kampung ). Pemuda dikerahkan oleh keuchik dan teungku meulasah untuk mengerjakan seluruh pekerjaan dalam proses upacara. Orang tua-tua gampong hanya datang untuk memberi petunjukpetunjuk saja. Situasi di rumah aneuk meusunat, jauh sebelum dilangsungkan upacara sudah tampak kesibukan-kesibukan. Kira-kira dua hari lagi upacara akan dimulai, rumah sudah dihiasi dengan hiasan adat. Tiap-tiap bilèk ( kamar ) digantung tirée ( tirai) di dinding, dan diatas dekat pelafon digantung neulangèt ( langitlangit, yang terbuat dari jaitan kasab, merupakan kerajinan tangan masyarakat Aceh. Di halaman rumah sudah didirikan seung (tenda) tempat menerima tamu undangan, dan di belakang rumah dibuat dapur tempat pemuda-pemuda gampong memasak nasi dan daging. Daging yang dimasak di dapur belakang ini disebut dengan kuah diyub, yaitu daging yang dicampur dengan nangka serta bumbu khas Aceh. Pada hari upacara sejak pagi pemuda-pemuda gampong sudah mempersiapkan makanan, dan begitu juga wanita memasak untuk hidangan kepada undangan. Kira-kira pukul 10.00 pagi diadakan acara peusijuk aneuk meusunat. Acara peusijuk dilakukan oleh wah ( famili dekat ). Mereka memberi hadiah kepada anak yang disebut dengan teumeutuk. Orang tua anak selalu mengingat tentang benda teumeutuk itu untuk dibalas kemudian pada saat mereka mengadakan upacara. Anak yang bakal sunat sudah lengkap dengan pakaian adat dan duduk diatas pelaminan seperti orang yang hendak duduk sanding dalam perkawinan. Wali satu persatu datang peusijuk aneuk, masingmasing mereka teumeutuk sebentuk emas atau uang. Acara peusijuk diawali dengan seupeuk breuh padèe ( menaburkan beras padi ) keatas kepala anak, kemudian dengan peureutèk teupông (memercikan tepung ) pada kedua belah tangan dan kaki anak. Seterusnya diambil sedikit ketan untuk disunting ditelinga dan disuap ke mulut anak. Bahan-bahan peusijuk tersebut diatas mempunyai makna tertentu. Arti kata peusijuk sama dengan mendinginkan. Maka bahan-bahan untuk peusijuk itu mempunyai sifat dingin, seperti tepung yang dicampur dengan air, dan daun sidingin. Naleung sambôo sebagai alat untuk memercik tepung. Sedangkan ketan sebagai lambang keber57
katan. Memang hampir seluruh upacara-upacara memakai ketan. Setelah selesai semua upacara peusunat ini, anak tidak disunatkan pada hari itu, biasanya selang 2 hari baru dilakukan acara sunat. Mudiem sudah hadir sejak upacara dilangsungkan. Acara sunat ini dilangsungkan di rumah orang tua anak. Kalau upacara tidak dilangsungkan, maka acara sunat dilakukan di rumah mudiem. Kalau sunat dilakukan pada seorang mantri rumah sakit, maka sunat dilakukan di rumah mantri. Kadang-kadang acara sunat ini dilakukan serentak dengan kawan-kawannya. Acara didahului oleh siapa yang tertua diantara mereka sampai kepada yang termuda. Pada saat sunat dilaksanakan, anak disuruh berbaring diatas tikar dalam sebuah kamar yang khusus disediakan untuk itu. Orang-orang lain tidak diperkenankan masuk, lebih-lebih wanita. Mudiem sudah siap dengan bahan-bahannya seperti pisau, kain putih, panggang boh ( jepitan ujung zakar ) yang terbuat dari kayu, dan obat-obatan yang terdiri dari boh punteut yang sudah dibakar dan abunya dicampur dengan minyak makan. Atau obat-obatan ini ada juga dengan gambir yang sudah dibakar. Anak yang sudah berbaring diatas tikar tadi, lalu ujung zakarnya dipanggang oleh pembantu mudiem, dan mudiem mengambil pisau dengan membaca meurajah ( mentera ), lalu ia memotong ujung zakar Kemudian dibubuhi obat dan dibalut dengan kain putih. Sejak saat ini anak tidak boleh bergerak untuk menghindari pendarahan, biasanya sampai 7 hari. Kalau ia mau pergi buang air besar selalu memakai terompah ( sandal kayu ), supaya jangan terinjak èk manok ( taik ayam ). Karena kalau terinjak ia akan lama sembuh dan timbul rasa sakit. Selama anak belum sembuh dilarang minum air banyak supaya bekas tempat dipotong itu tidak mengembung. Makan tidak boleh sembarangan, kawan nasi terdiri dari kareung ( ikan teri ), keumamah ( ikan kayu ) dan buah-buahan asam seperti boh meutui ( jeruk mentul ). Masa pantangan ini berlangsung sampai ia sembuh. Sebelum sembuh mudiem selalu mengontrol keadaan anak.
SK
B. MASYARAKAT KAMPUANG PINANG. 1. UPACARA MASA KEHAMILAN. Masyarakat kampuang Pinang menyebut masa kehamilan dengan sebutan menganduang ( mengandung ) atau gadang paruit (gendut). Selama masa tersebut mereka menyelenggarakan dua bentuk upacara, yaitu upacara nasiebidan ( nasi bidan ), dan upacara pengindaman ( ngidam ). 1.1.
Upacara Nasie Bidan.
Upacara nasie bidan dilangsungkan pada saat seseorang wanita hamil memasuki masa kandungan 6 atau 7 bulan. Maksud dan tujuan upacara ini yaitu untuk menyerahkan tanggung jawab perawatan wanita yang sedang hamil kepada seseorang bidan ( baik bidan kampung maupun bidan Puskesmas ) pada waktu ia melahirkan nanti. Dengan dilakukan upacara itu maka bidan terikat secara adat dengan pasiennya wanita hamil tersebut. Seperti sudah disebutkan bahwa upacara nasie bidan biasanya diselenggarakan pada waktu seseorang wanita hamil memasuki usia hamil 6 atau 7 bulan. Upacara ini biasanya dilangsungkan pada siang hari. Dan mengambil tempat di tempat wanita hamil itu tinggal, yakni di rumah orang tuanya apabila ia masih menetap di rumah orang tuanya ataupun dimamahnya sendiri apabila suaminya sudah membangun rumah. Kemeriahan dan kesemarakan upacara berkaitan erat dengan status sosial ekonomi orang bersangkutan. Apabila ia tergolong dalam kelompok urang barado atau urang kayo ( orang berada atau kaya), upacara dilangsungkan dengan penyembelihan kambing. Tetapi bila status ekonominya kurang mampu, maka akan diselenggarakan secara sederhana yakni dengan penyembelihan ayam saja. Bila seseorang wanita sedang mengalami hamil anak jolong (anak pertama ), maka segala bahan keperluan bagi penyelenggaraan upacara nasie bidan ditanggung oleh orang tua mempelai laki. Tetapi bila wanita itu sedang hamil anak kedua dan seterusnya,maka segala bahan tersebut ditanggung oleh mereka sendiri. Keadaan "demikian mempunyai kaitan historis dengan masa lampau, di mana seseorang 59
lelaki yang baru memasuki jenjang perkawinan umumnya belum mempunyai kehidupan ekonomi yang mandiri. Karena kehidupan ekonomi yang belum mandiri, maka pasangan mempelai baru itu secara ekonomis masih berada di bawah naungan kedua orang tuanya ( baik mempelai wanita maupun mempelai pria ). Situasi demikian terus berlangsung hingga ia membentuk rumah tanggo (rumah tangga ) baru sesudah upacara paasieng pariuk ( pemisahan dapur ). Upacara nasie bidan seseorang wanita hamil anak jolong mengikuti tahap-tahap berikut ; upacara maanta alat-alat (mengantarkan alat atau bahan ), kanduri ( pesta selamatan ), dan mambarie nasi bidan ( memberi nasi bidan ). Upacara maanta alat-alat atau bahan-bahan, yakni upacara mengantarkan alat-alat perlengkapan bagi keperluan upacara nasie bidan yang dilakukan oleh orang tua mempelai pria ke rumah besannya yaitu orang tua mempelai wanita. Alat perlengkapan yang bakal diantar itu terdiri pelbagai macam. Tentang jumlah bahan perlengkapan yang diberikan amat tergantung dengan status sosial ekonomi keluarga yang bersangkutan. Sebab bentuk dan sifat upacara nasie bidan akan mempengaruhi terhadap upacara turun kaaie nanti ( turun ke air ). Masyarakat kampuang Pinang mengenal konsepsi batanggo naiek bajanjang turun ( bertangga naik, berjenjang turun ). Implikasi dari konsepsi demikian, maka apabila pada upacara nasie bidan disembelih kambing konsekwensinya pada upacara turun ke air harus menyembelih kerbau atau sapi. Alat kelengkapan yang umumnya diantarkan ke rumah mempelai wanita yaitu, beras sekitar 8 - 1 6 bambu ( 1 bambu = 2 liter ), beras pulut atau ketan barang 2 - 4 bambu, kelapa, minyak kelapa atau minyak goreng, cabai, garam, sirih, kambing atau ayam, dan sebagainya. Alat kelengkapan tersebut diantarkan oleh beberapa orang tua atau anak-anak ke rumah manantunya ( mempelai wanita ) untuk diserahkan. Setelah alat kelengkapan itu diterima, maka pihak orang tua mempelai wanita memanggil ninik mamak dari mempelai wanita untuk merundingkan bagi menetapkan waktu dan mengatur kanduri nasie bidan. Hasil rundingan tersebut nanti diberitahukan kepada besannya yaitu orang tua mempelai laki baik melalui utusan maupun melalui menantunya. 60
Hasil rundingan itu bukan saja disampaikan kepada orang tua mempelai lelaki, tetapi juga kepada para dusanak (famili), dan urang Ungka ( jiran tetangga ). Bila upacara itu dilakukan dengan penyembelihan kambing, maka akan diberitahukan juga kepada keuchik untuk menyerahkan tanggung jawab upacara. Tetapi bila diselenggarakan secara sederhana biasanya kandurinya agak terbatas. Sehari menjelang kanduri nasie bidan sudah terasa kesibukan dirumah orang yang bersangkutan, terutama dalam hubungan gilingmenggiling rempah-rempah. Keesokannya baru berdatangan ibuibu baik dari kalangan dusanak maupun urang Ungka untuk membantu masak-memasak. Menjelang tengah hari maka berdatangan pula lelaki untuk menyantap masakan yang sudah dihidangkan oleh tuan rumah. Setelah jamuan makan selesai, maka beraUh pula kegiatan upacara yakni upacara pamulang (memulangkan) wanita yang sedang hamil kepada bidan. Tanggung jawab upacara ini tersandang pada bahu ibu mempelai lelaki. Kadangkala ia mewakili kepada salah seorang wanita tua dikampuang tersebut untuk menyerahkan tanggung jawab perawatan menantunya itu kepada bidan yang bersangkutan. Pada waktu upacara pemulang berlangsung.orang-orang yang hadir terbatas yaitu keluarga kedua pihak, wanita yang sedang hamil, dan bidan. Berbarengan dengan upacara pemulang tersebut kepada bidan diberikan pula sehidangan nasi beserta lauk-pauknya, dan nasie pulut ( nasi pulut ). Di kampuang Pinang nasi pulut yang diberikan adalah nasi pulut biasa pakai santan kelapa. Sedangkan di daerah Aneuk Jamee lainnya seperti di Samadua yaitu nasie puluet kunyik ( pulut yang diberi berkunyit). Selesai mambari nasie bidan itu maka berakhirlah upacara kandurie nasie bidan. 1.2.
Upacara Pangidaman.
Upacara pangidaman diselenggarakan sekitar sebulan setelah berlangsung upacara kanduri nasie bidan. Upacara ini khusus berlaku terhadap seseorang wanita hamil anak jolong. Maksud dan tujuan upacara pangidaman yaitu untuk memenuhi selera wanita hamil yang sedang ngidam. Bukankah pada waktu hamil, wanita mempunyai keinginan dan selera yang aneka macam ? Mereka mem61
percayai bahwa keinginan dan selera aneka macam itu mempunyai kaitan erat dengan sang jabang bayi yang sedang dikandungnya. Karena itu keinginan dan selera sang ibu yang sedang mengalami masa kritis itu sebaiknya dipenuhi agar tidak mempengaruhi sang bayi kelak. Salah satu contohnya yakni seorang bayi yang suka maleleh aie Uua ( meleleh air liur ) adalah lantaran ada sesuatu keinginan ibunya sewaktu mengandung tidak terpenuhi dahulu. KecuaU itu, upacara pengidaman itu juga bermaksud untuk menghibur dan menggembirakan sang wanita hamil berat, yang sedang mengalami masa gundah - gulana menanti kemungkinan yang bakal terjadi sewaktu melahirkan nanti. Seperti halnya dengan upacara kanduri nasie bidan, upacara pangidaman juga berlangsung pada pagi hari. Dan bertempat di rumah wanita yang sedang hamil, atau rumah orang tuanya. Segala alat kelengkapan bagi keperluan upacara pengidaman ini ditanggung oleh orang tua mempelai lelaki. Tindakan demikian dilakukan karena ada semacam anggapan bahwa secara adat orang tuanya bertanggung jawab atas segala upacara yang menyangkut kehidupan anaknya hingga ia memperoleh anak seorang. Seperti sudah dikatakan bahwa situasi demikian timbul akibat dari faktor historis, dimana para pasangan yang baru membangun rumah tangga umumnya belum mempunyai kehidupan ekonomi yang mandiri. Sehari sebelum berlangsung upacara pengidaman biasanya sudah terasa kesibukan di rumah orang tua mempelai lelaki. Kesibukan tersebut yakni dalam hubungan mempersiapkan hidangan makanan dan kue-kue bagi bahan keperluan upacara pengidaman. Bila masakan sudah cukup dan tersedia, maka masakan yang terdiri pelbagai macam penganan itu dibawa untuk diantarkan ke rumah mempelai wanita yang sedang hamil. Orang yang membawa dan mengantar makanan itu terdiri atas beberapa orang perempuan yang sudah berkeluarga. Makanan tersebut dijinjing atau dijunjung ke rumah mempelai wanita yang hamil itu. Makanan atau penganan yang dibawa dan diantarkan itu terdiri atas pelbagai macam : Diantaranya sebagai berikut ; 1 cambuang ( cambung ) kolak, kue lapieh ( kue lapis ), lapek ( lepat ), katupek ( ketupat ), buah ubi, senacah ( rujak ) satu stoples, kanjie ( bubur) nasie 2 rantang, nasie minyak ( nasi yang sudah berlauk-pauk) sekitar 30 bungkus, dan nasie sunggu ( nasi biasa ) 1 panci. 62
Seperti sudah dikatakan, makanan dan penganan ini diantarkan oleh beberapa orang perempuan yang sudah berkeluarga ke rumah wanita yang sedang hamil. Para pengantar umumnya terdiri dari famili dekat atau tetangganya. Sewaktu tiba di rumah mempelai wanita yang hamil mereka disambut dan dipersilakan duduk oleh tuan rumah. Lalu mereka disuguhi dengan makanan ringan oleh tuan rumah. Setelah makan dan berbincang-bincang, tampil salah seorang dari rombongan pengantar menyerahkan secara formal segala makanan dan penganan yang mereka bawa kepada tuan rumah. Selesai menyerahkan makanan dan penganan itu merekapun meminta izin untuk kembali pulang. Dengan demikian berakhirlah upacara pengidaman. Apabila upacara nasie bidan dan upacara pengidaman (terutama pada wanita hamil anak jolong ) sudah dilangsungkan, berarti selesailah upacara adat yang berlaku terhadap seseorang wanita hamil. Namun demikian karena adanya konsepsi tentang peri-hubungan antara sang ibu dengan sang jabang bayi yang bakal melahirkan, maka masyarakat kampuang Pinang mengenal pula beberapa pantangan yang harus ditaati atau dipatuhi oleh seseorang wanita yang sedang hamil. Pantangan-pantangan tersebut terdiri dari ; tak boleh turun ke luar rumah sewaktu hujen paneh ( hujan panas ), tak boleh ke luar rumah sewaktu cacieng manggala buat ( senja kala ), tak boleh turun sewaktu bulen ditangkok garu ( gerhana ), tak boleh dibawa pulang lauk tengah malam ( ikan tengah malam), tak boleh mencacie dan maupek ( mencaci dan membusuk-busukkan orang ) dan tak boleh manyambalieh ayam ( menyembelih ayam), dan tak boleh banyak batandang ( bertandang ). Bila dilihat dari segi pengamalan pantang, maka pantangan tersebut ada yang hanya berlaku pada sang wanita hamil dan ada pula yang tertuju kepada sang suami saja. Pantangan yang tertuju kepada wanita hamil adalah pantang turun keluar rumah pada waktu hujan panas supaya ia jangan marampot (demam karena gangguan setan), demikian juga pada waktu cacieng tangah manggalabuit (senja kala), dan bulan ditangkok garu ( gerhana ). Sedangkan jangan batandang dimaksudkan agar anaknya kelak tidak memiliki sifat suka bertandang. Di samping itu barangkali dimaksudkan agar ibu yang hamil jangan mengalami sakit melahirkan di rumah orang. Bila kasus seperti itu terjadi tentu menyusahkan keluarganya. Jangan mancaci 63
(mencaci) dan maupek (mengupat) dimaksudkan agar anaknya kelak tidak memiliki sifat yang tak terpuji itu. Di samping itu, mereka mempercayai juga bahwa seseorang ibu hamil yang menjelek-jelekkan dan mencaci seseorang baik yang berkenaan watak dan cacat fisik seseorang, maka watak dan cacat fisik seseorang itu akan turun ke bayi yang dikandungnya. Pantangan yang tertuju bagi suami yakni jangan membawa ikan pada waktu malam dan jangan membelih ayam. Yang pertama dimaksudkan untuk jangan merepotkan isterinya yang sedang hamil untuk memasak ikan di waktu malam hari. Sedangkan yang kedua dimaksudkan agar bayi kandungan isterinya itu tidak lembek atau terkulai lehernya seperti leher ayam kena sembelih sewaktu melahirkan. 2. Upacara Masa Kelahiran dan Masa Bayi. Upacara masa kelahiran dan masa bayi yang sering dilangsungkan dalam kalangan masyarakat kampuang Pinang, dapat dibagi kedalam dua tahap, yaitu tahap masa kelahiran, dan tahap masa bayi. Tiaptiap tahap ini dapat pula dibagi kedalam beberapa macam upacara. 2.1.
Upacara Masa Kelahiran.
Upacara masa kelahiran bayi, terdapat tiga macam kegiatan upacara yaitu upacara Karek Pusek, upacara azan atau iqamat, dan upacara mananom kakak ( placenta ). 2.1.1. Upacara Karek Pusek. Pada waktu seseorang wanita hamil yang sudah cukup bulan atau biasanya 8 atau 9 bulan bagi yang normal, sudah merasakan ada gejala-gejala untuk melahirkan, ia segera memberitahukan kepada suaminya ataupun orang lain. Kemudian dengan cepat suami memanggil bidan untuk memeriksa dan merawat isterinya. Bila wanita tersebut hamil untuk anak jolong ( anak pertama), ia akan menjemput ibunya untuk mendampingi menantu yang bakal melahirkan itu. Sedangkan ibu dari wanita hamil itu sudah lama menunggu-nunggu kelahiran cucunya. Biasanya ia tidak meninggalkan lagi anaknya yang hamil itu, apabila sudah cukup bulan. Setelah bayi lahir demikian juga urinya, lalu dilakukan pemotongan tali pusat yang menghubungkan pusat bayi itu dengan urinya. Pemo64
^=*a^sças>^?-^;s^-«^
tongan tali pusat dilakukan oleh bidan. Bila bidan tersebut adalah bidan Puskesmas, pemotongannya dilakukan dengan memakai gunting. Dan bila bidan tersebut adalah bidan kampuang dilakukan dengan menggunakan sambilue ( kulit buluh yang sudah diraut). Bidan yang melakukan karek pusek ( potong pusat ) diberi imbalan oleh suami atau ibunya ( terutama pada anak jolong ) sebanyak Rp. 600,—. Pemberian uang karek pusek sebanyak Rp. 600,- itu merupakan kelanjutan tradisi yang sudah berkembang sejak zaman Belanda. Pada zaman Belanda atau sebelum kemerdekaan uang yang diberikan berjumlah sebanyak 6 kupang. Tujuan pemberian uang karek pusek itu barangkali sebagai pernyataan terima kasih kepada bidan yang sudah bersusah payah merawat kelahiran bayi. Hal demikian disebabkan tidak ada tarif tertentu tentang biaya perawatan kelahiran. Kebanyakan balas jasa yang diberikan kepada bidan dalam bentuk benda. Tarif khusus perawatan bidan hanya berlaku pada bidan Puskesmas. Obat-obat yang dipergunakan oleh bidan kampung untuk merawat bayi dan ibu bayi terdiri dari rempah-rempah. Rempah-rempah ini dengan mudah dapat dicari oleh suami atau orang tua dari wanita yang melahirkan itu. Bidan hanya memberi petunjuk tentang obatobat atau rempah-rempah yang akan dicari. Setelah rempah-rempah itu diperoleh, maka bidan akan meramu untuk menjadi obat, dan kemudian mengoles keseluruh tubuh wanita yang melahirkan. Di samping itu dipergunakan juga untuk minum. 2.1.2. Upacara Azan atau Iqamat Sebagai pemeluk agama Islam, masyarakat kampuang Pinang menyelenggarakan juga upacara azan atau iqamat untuk bayi yang baru lahir. Bila bayi itu laki-laki, maka dilakukan pembacaan azan oleh seseorang laki-laki. Sebaliknya bila bayi itu perempuan maka dilakukan pembacaan iqamat oleh seorang perempuan. Pembacaan azan atau iqamat ini bertujuan anak nanti bakal menjadi manusia muslim yang taat kepada agama. Pembacaan azan atau iqamat biasanya dilakukan oleh seseorang yang ahm atau tuangku. Tetapi tidak jarang pula dilakukan oleh salah seorang anggota keluarga yang telah dewasa. Orang yang bakal membaca azan atau iqamat harus mengambil wudhuk terlebih dahulu, berpakaian rapi seperti orang sembahyang. Kemudian ia menggen65
dong bayi itu dengan menghadap ke kiblat, lalu ia terus membaca azan atau iqamat. Dengan demikian maka selesailah upacara pembacaan azan atau iqamat. 2.1.3. Upacara Mananam -Kakak. Setelah dilakukan upacara karek pusek, lalu bidan membersihkan bayi dari kotoran-kotoran darah. Tali pusat yang menghubungkan antara bayi dengan kakak ( placenta ) sudah dipotong sejak anak itu baru lahir tadi. Kakak dimasukkkan kedalam sebuah tempat yang disebut kambuat ( supit pandan ). Kakak yang sudah dimasukkan kedalam kambuat itu dibubuhi dengan bermacam-macam rempah yaitu cakua ( halia ), jarango ( kencur ), kunyik bole ( kunyit segar ), garom ( garam ) abu dapur, dan sirih yang sudah di kunyah. Penanaman kakak dilakukan oleh wanita yang melahirkan itu sendiri. Akan tetapi bagi wanita yang melahirkan untuk anak jolong penanaman kakak akan dilakukan oleh ibu suami atau mertuanya. Saat penanaman dilakukan pada waktu pagi hari. Perawatan yang demikian baik terhadap kakak mempunyai makna tertentu. Masyarakat kampuang Pinang ada suatu kepercayaan bahwa bila kakak tidak dibersihkan dan dibubuhi dengan rempahrempah sewaktu ditanam, maka akan menimbulkan efek bagi bayi. Efek tersebut kelihatan seperti pusat bayi mengembung, lama kering ( jatuh pusat ), atau sering keras pada pusat. Penanaman kakak harus dalam, supaya jangan dimakan oleh anjing atau binatang buas lainnya. Kecuali itu juga mempunyai tujuan agar tidak mengeluarkan bau yang busuk. Setelah selesai penanaman, maka selesailah upacara menanam kakak ini. 2 . 2.
UPACARA MASA BAYI
Upacara- upacara yang dilangsungkan oleh masyarakat kampuang Pinang terhadap anak yang masih dalam masa bayi adalah upacara bacukua, pasunting, turun ka aie, mambuai, pacicop, dan upacara hakikah. 2.2.1. Upacara Bascukua. Masyarakat kampuang Pinang mengenal upacara bascukua (men66
cukur) atau mancukua rambuit ( mencukur rambut ). Upacara bascukua adalah suatu upacara mencukur rambut seseorang bayi yang baru lahir. Upacara tersebut diselenggarakan pada pagi hari, 2 atau 3 minggu setelah ia lahir. Tujuan upacara itu adalah untuk membuang rambut bayi yang dibawa lahir, karena dianggap sebagai rambut kotor. Di samping itu upacara bascukuan dianggap sebagai sunnah nabi, yang mereka percayai bahwa nabi Muhammad juga bercukur. Kecuali itu bascukua dimaksudkan juga agar rambut bayi itu akan tumbuh menjadi lebat dan hitam. Alat kelengkapan yang dipergunakan bagi dalam pelaksanaan upacara ini adalah sebagai berikut ; sakin ( pisau cukur ), karambie puyuh ( sejenis kelapa yang kulitnya berwarna hijau ), dan alat tapuang tawa ( tepung tawar ) yang terdiri dari daun sisajuak, daun loden, rumpuat sambo, atau daun kala maupun daun pinang, telur ayam, dan ketan kuning. Karambie puyuh yang bakal dipergunakan tidak boleh dijatuhkan sewaktu dipetik, melainkan dibawa turun oleh tukang panjat kelapa sehingga sampai ke pangkal batang. Karambie puyuh tersebut mempunyai makna agar sang bayi kelak mempunyai hati yang bulat. Sedangkan alat kelengkapan tapuang tawa agar sang bayi hidup dalam suasana tentram raharja seperti yang dilambangkan oleh dedaunan yang mempunyai sifat dingin itu. Semua alat kelengkapan di atas hampir boleh dikatakan bisa diperoleh tanpa mengeluarkan uang. Sebab dedaunan maupun bahan-bahan yang lain diketemukan disekitar kampung. Untuk memperoleh alat kelengkapan itu cukup dengan pergi memetiknya. Bila alat kelengkapan itu sudah tersedia maka dipanggillah seseorang lelaki atau perempuan dewasa yang sudah lazim melakukan pekerjaan itu. Tukang cukur terlebih dahulu membaca bismillah dan ayat Al Ikhlas. Lalu ia mengambil berkas dedaunan yang terdapat di dalam daluang ( dulang atau wadah ) yang tersedia. Di dalam wadah itu terdapat alat tapuang tawa yang terdiri dari semangkok air tawar, telur ayam, dan dedaunan seperti disebut di atas. Dengan menggunakan berkas dedaunan ia mengambil air dan memercikkan kepada bayi yang sudah diberi berpakaian bagus. Kemudian ia mengambil sedikit ketan kuning untuk dibubuhi pada belakang daun 67
telinga bayi. Setelah tapuang tawa ( tepung tawar ) selesai barulah tukang cukur itu membubuhi air sabun wangi.supaya mudah mencukur. Rambut bayi yang dicukur dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam buah karambie puyuh, yang sudah terlebih dahulu dikorek tempurungnya. Rambut bayi yang di dalam buah kelapa itu kemudian dibuang ke bawah pokok pisang. Tindakan ini dimaksudkan supaya jiwa anak tersebut menjadi "dingin" seperti pokok pisang. Di samping itu barangkah dimaksudkan bagi kesehatan lingkungan agar rambut itu tidak dibawa terbang oleh angin. Sedangkan pokok pisang umumnya berada agak jauh dari rumah dan tempat pembuangan sampah. Tukang cukua yang mencukur rambut biasanya diberikan sedekah. Sedekah merupakan semacam balas jasa yang diberikan oleh ayah bayi tersebut secara sukarela. Karena sifatnya sukarela, maka jumlahnya tidak tentu. Tetapi pada zaman sebelum kemerdekaan sedekah yang lazim diberikan adalah sebanyak satu kopang-Belanda. Dengan selesainya bacukua, maka selesailah upacara tersebut. 2.2.2. Upacara Pasunting Masyarakat kampuang Pinang mengenal pasuntiang. Pasuntiang adalah upacara menyunting terhadap seseorang bayi oleh pamakyen ( ipar yang sama-sama semenda ) dari ibu yang melahirkan. Upacara ini dilakukan oleh para pamakyen pada hari-hari sebelum menjelang upacara turun ka aie. Bila sang ibu yang melahirkan mempunyai beberapa orang makyen, karena suaminya mempunyai banyak saudara, maka upacara itu berlangsung beberapa kali. Upacara pasuntiang mempunyai tujuan sebagai pernyataan kegembiraan akan kelahiran bayi saudaranya, yang berarti mempertambah anggota kerabat baru. Di samping itu upacara ini juga merupakan salah satu sarana bagi mempererat jalinan hubungan kekeluargaan dari mereka (terutama antara : ibu yang melahirkan dan ibu yang melakukan pasuntiang) yang sama-sama semenda kepada suatu keluarga. Upacara pasuntiang itu biasanya dilakukan pada pagi hari. Sehari sebelum upacara pasuntiang, pamakyen yang bakal melakukan upacara tersebut menyediakan nasie pulut ( ketan ) dan makan68
^S5äS=§Sa50^5
makanan. Keesokan paginya nasie pulut dan makanan yang sudah dihidangkan itu ia bawa bersama beberapa orang wanita dewasa menuju ke rumah wanita yang sedang melahirkan. Di samping hidangan tersebut ia juga membawa oleh-oleh dalam bentuk kain atau pakaian bagi bayi bersangkutan. Sesampainya di rumah ibu yang melahirkan, ia dipersilakan masuk keruangan ibu dan bayi berbaring. Setelah disuguhi makanan dan berbincang-bincang, maka dilakukan upacara pasuntiang terhadap bayi. Tata cara pasuntiang yaitu dengan panapuang tawa dan melekatkan pulut ketan pada bagian belakang telinga bayi. Berikutnya mereka menyerahkan oleh-oleh yang mereka bawa kepada ibu bayi. Selesai menyerahkan oleh-oleh itu, ia beserta rombongan minta pamit untuk kembali kerumahnya masing-masing. Dengan demikian berakhirlah upacara pasuntiang. 2.2.3. Upacara Turun Ka Aie Masyarakat kampuang Pinang mengenal upacara turun ka aie (turun ke air). Upacara turun ke air yakni suatu upacara untuk membawa anak ke luar batas pekarangan rumah, yang umumnya ke manasah ( langgar lelaki ) atau masjid ( mesjid ). Upacara turun ka aie ini dilangsungkan pada pagi hari, yaitu sewaktu bayi itu genap berusia 40 hari. Upacara turun ka aie mempunyai maksud sebagai tanda syukuran akan kedatangan bayi. Di samping itu upacara ini juga bermaksud untuk memperluas wawasan alam lingkungan anak yang tadinya terbatas pada rumahnya saja, kemudian diperluas kepada lingkungan kampung atau tetangga. Perluasan wawasan ini barangkali sejajar dengan pertumbuhan fisik dan rohani si bayi. Kecuali tujuan-tujuan yang sudah disebutkan upacara turun ka aie mempunyai arti penting dalam hubungan seksual antara ibu dan ayah. Hal demikian mempunyai kaitan erat dengan konsepsi masyarakat bersangkutan yang menganggap masa 40 hari setelah melahirkan merupakan masa kotor bagi si ibu. Justeru itu tidak diperkenankan berhubungan seksual dalam masa tersebut. Upacara turun ka aie diselenggarakan oleh ayah bayi bersangkutan. Tetapi bila bayi tersebut adalah anak jolong, maka alat kelengkapan bagi keperluan upacara hampir sebagian besar ditanggung oleh orang tuanya. Seperti sudah dikatakan tindakan demikian berkaitan erat dengan faktor historis, dimana anak lelaki atau mem69
pelai lelaki yang baru memperoleh anak umumnya belum mempunyai kehidupan ekonomi yang mandiri. Mengenai bentuk dan sifat upacara berkaitan erat dengan faktor atau derjat sosial keluarga yang bersangkutan. Umumnya upacara turun ka aie dilakukan dengan penyembelihan seekor kambing, atau biri-biri. Tetapi bagi keluarga urang barado atau urang kayo kadangkala diselenggarakan dengan pemotongan kerbau. Bila upacara turun ka aie berlangsung terhadap anak-anak berikutnya setelah anak jolong kadangkala dilakukan secara sederhana, yaitu dengan penyembelihan ayam. Beberapa hari menjelang bayi berusia 40 hari untuk anak jolong, orang tua mempelai lelaki mempersiapkan alat kelengkapan yang diperlukan untuk penyelenggaraan upacara turun ka aie. Alat kelengkapan tersebut terdiri atas ; seekor kambing atau biri-biri, 8 — 10 bambu beras, 2-4 bambu beras ketan, kelapa, minyak kelapa atau minyak goreng, sirih, garam, dan rempah-rempah masakan. Alat kelengkapan itu dibawa oleh beberapa orang lelaki untuk diantarkan kerumah besannya. Setelah alat kelengkapan itu diterima, orang tua ibu yang melahirkan atau besannya mengundang para niniek mamak untuk merundingkan dan mengatur tata cara upacara turun ka aie. Hasil rundingan tersebut disampaikan kepada para dusanak dan keuchik, serta para jiran tetangga untuk datang merayakan upacara atau selamatan yang akan diselenggarakan. Sehari menjelang upacara turun ka aie sudah terasa keramaian dan kesibukan di rumah ibu melahirkan dengan kegiatan masakmemasak, menggiling bumbu makanan, dan mempersiapkan tempat bagi para undangan. Kegiatan tersebut semakin terasa keesokan harinya tak kala dilakukan pemotongan kambing. Para undangan dipersilakan naik duduk di atas rumah. Sedangkan panitia memasak berada di dapur atau dibawah rumah. Sementara menunggu jamuan dihidangkan diselenggarakan pembacaan marhaban ( syair kelahiran nabi Muhammad dalam bahasa Arab ) oleh group pembaca marhaban di atas rumah. Kadangkala dilakukan juga pembacaan ayat-ayat kitab suci Al Our'an di bawah pimpinan tuangku manasah. Selesai pembacaan Al Qur'an atau marhaban itu, para tamu disuguhi makan dan makanan ringan. Tak kala pembacaan marhaban dan Al Qur'an sedang berlangsung 70
--«SïSaSa^O
dirumah, sang bayi yang bakal turun ka aie digendong oleh perempuan dewasa untuk di bawa turun dari rumah. Bayi tersebut sudah terlebih dahulu diberi berpakaian bagus. Sewaktu turun dari tangga rumah bayi itu ditepung-tawari oleh seorang orang tua. Lalu dengan diiringi oleh beberapa perempuan dan anak-anak bayi itu digendong menuju ke manasah Baitul Qudus, ataupun ke mesjid pusako. Para pembawa dan pengiringnya itu umumnya para kerabatnya. Sesampai di manasah Baitul Qudus atau mesjid pusako bayi itu dioleskan air bak atau air sumur bangunan itu. Selama dalam perjalanan baik pergi maupun pulang bayi itu senantiasa diberi berpayung. Maksudnya tidak lain adalah untuk menghindari bayi dari sengatan terik matahari ataupun untuk menghindari jangan ditimpa hujan. Keadaan demikian bisa dipahami bila diingat bahwa bayi tersebut masih mempunyai kondisi fisik yang lemah dan baru pertama kali keluar dari lingkungan rumah. Konon ceritera pada zaman yang lampau, bayi yang diupacara untuk ke air umumnya dibawa ke sumur ke sungai. Tetapi sejalan dengan semakin mantap dan berakar Islam dalam kehidupan masyarakat maka objek turun ka aie tidak lagi di bawa ke sumur atau ke sungai, melainkan ketempat-tempat ibadat yaitu manasah, deyah, atau mesjid. Tujuan di bawa ke tempat tersebut mempunyai maksud dalam rangka proses sosialisasi anak dengan kehidupan keagamaan dan kehidupan kemasyarakatan, karena bangunan tersebut adalah pusat kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan kampung. Mengingat demikian, para bayi di kampuang Pinang umumnya dibawa ke manasah Baitul Qudus, deyah kampuang Pinang, ataupun ke mesjid pusako di kampuang Kadai Susoh. Apabila upacara turun ka aie yang sedang berlangsung adalah terhadap anak jolong, maka mertua pihak lelaki akan membawa salin lapeh di dapua ( satu stel pakaian untuk bersalin). Salin lapeh di dapua yang bakal diberikan bagi menantunya itu terdiri atas satu potong kain panjang padukung ( kain panjang untuk menggendong bayi), satu helai kain ( kain sarung ), satu helai baju, satu helai salendang ( selendang). Salin lapeh di dapua itu dibawa oleh mertua pihak lelaki itu sebagai oleh-oleh untuk diserahkan kepada manantunya ( menantunya ) pada waktu upacara turun ka aie berlangsung. Para kerabat atau tetamu yang datang kerumah tempat berlangsungnya upacara turun ka aie juga membawa pambawok ( oleh-oleh). 7!
Pambawok lelaki biasanya dalam bentuk benda seperti gula. Sedangkan kaum wanita biasanya membawa aneka macam pakaian bagi bayi bersangkutan. Pambawok semacam itu nanti akan dibalas oleh orang tua bayi itu bila tetangga dan kerabatnya melangsungkan upacara yang serupa. 2.2.4. Upacara Mambuai Mambuai yaitu upacara pertama kali membuaikan anak dengan buaian. Masyarakat kampuang Pinang menyelenggarakan upacara mambuai ini umumnya bersamaan dengan upacara turun ka aie, yaitu setelah anak di bawa turun dari rumah. Tetapi kadang kala pernah juga diselenggarakan pada waktu jauh sebelum upacara turun ka aie berlangsung. Baik bersamaan dengan upacara turun ka aie maupun jauh sebelum upacara turun ka aie, upacara mambuai ini berlangsung pada waktu pagi hari yaitu tatkala mata hari sedang naik (sekitar pukul 9 - 1 1 WIB ). Maksud dilangsungkan pada waktu itu, karena adanya anggapan bayi tersebut akan panjang umur sejalan dengan gerakan matahari. Kecuali itu, pagi hari adalah waktu yang panjang dan luang bagi masyarakat kampuang untuk mengerjakan sesuatu. Upacara mambuai ini dimaksudkan untuk membiasakan anak atau bayi tidur dalam buaian. Dengan demikian tentu akan mengurangi kesibukan sang ibu untuk menidurkan anaknya, sehingga ia dapat istirahat maupun mengerjakan pekerjaan lain. Upacara membuai biasanya dilakukan oleh seseorang wanita tua. Buaiyan bayi terdiri dari sehelai kain panjang, yang kedua ujungnya diikatkan kepada tiang rumah ataupun tempat tidur. Setelah kain panjang diikat dan bantal alas tidur dibuat, lalu bayi yang sudah diberi berpakaian bagus itu dimasukkan secara pelan-pelan ke dalam buaian tersebut. Di bawah bayi itu ditaruh benda-benda tajam seperti gunting umpamanya. Ini dimaksudkan untuk menakuti setan yang bakal mengganggunya bila ia ditinggalkan oleh ibunya. Pengayunan buaian dilakukan dengan ucapan Bismillah dan pembacaan ayat Al Ikhlas. Pembacaan tersebut dimaksudkan untuk memperoleh keberkatan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Di samping itu dimaksudkan sebagai bagian dari proses sosialisasi. Lalu secara pelan-pelan buaian itu ditarik sehingga bayi tidur nyenyak. Setelah 72
upacara itu berlangsung, maka untuk fase berikutnya bayi itu akan dinina-bobokkan melalui buaian. 2.2.5. Upacara Pacicop Masyarakat kampuang Pinang mengenal suatu bentuk upacara yang disebut pacicop. Upacara yang bertujuan untuk supaya bayi bisa mengecap dan merasakan makanan dilakukan melalui dua macam bentuk. Pertama upacara pacicop yang dilakukan oleh orang tua bayi, dan kedua upacara pacicop yang dilakukan oleh pihak kerabat terhadap sang bayi. Upacara pacicop dalam bentuk pertama, yaitu yang dilakukan oleh orang tuanya umumnya diselenggarakan bersamaan dengan waktu upacara turun ka aie. Sedangkan upacara pacicop dalam bentuk kedua yaitu yang dilakukan oleh kerabatnya umumnya dilakukan pada bulan-bulan setelah turun ka aie, yakni tatkala bayi tersebut dibawa berkunjung ke rumah kerabatnya oleh ibunya. Pacicop pada bentuk pertama mempunyai makna agar bayi itu kelak tidak tamak dan loba sewaktu bertamu ke rumah orang tatkala dewasa. Hal demikian tercermin pada ungkapan yang berkembang terhadap seseorang anak. Masyarakat kampuang Pinang sering menyindir terhadap seseorang anak yang loba bila bertamu di rumah orang dengan ucapan tidak panah dipacicop (belum pernah dilakukan upacara pacicop ). Di samping itu upacara pacicop juga mempunyai maksud untuk memperkenalkan anak dengan makanan selain dari susu dan pisang. Alat kelengkapan bagi upacara pacicop dimasukkan ke dalam suatu wadah yang disebut daluang ( dulang ). Alat kelengkapan itu terdiri dari kalang ayom ( kalang dan hati ayam ), sipuluit (nasi pulut ), kue-kue, kalanyo ( minyak wangi ), dan sisir. Upacara pacicop diselenggarakan oleh seseorang perempuan dewasa dan nenek dari sang bayi. Prosedurnya mengikuti fase-fase berikut ; Pertama kali ia mengambil sipuluit sedikit dan melikatkan pada bagian belakang kedua daun telinga bayi, yang disebut dengan pasuntiang. Kemudian ia mengambil sedikit daging kalang ayam yang terasa manis dan lezat itu untuk dioleskan pada bibir bayi tersebut. Tentu saja mulut bayi akan komat-kamit dan menelan olesan yang terasa lezat itu. Seperti halnya dengan upacara-upacara 73
yang lain, upacara ini juga dimulai dengan mengucapkan bismillah. Pacicop dalam bentuk kedua umumnya dilakukan oleh pihak kerabat bayi yang berada satu derjat atau dua derjat diatasnya baik dipihak ayah maupun dipihak ibu. Mereka terdiri maklot atau etek (bibi), manek ( nenek ) dan sebagainya. Pacicop dalam bentuk ini dilakukan pada waktu bayi dibawa berkunjung kerumah kerabatnya itu. Bukan seperti pacicop dalam bentuk pertama, pacicop dalam bentuk kedua berlangsung secara tidak formal. Alat kelengkapan yang biasa dipergunakan umumnya terdiri dari gulo (gula), garom ( garam ), dan bareh kunyik ( beras yang sudah diberi warna oleh kunyit ). Gulo mempunyai makna supaya ia bermulut manis yakni perkataannya memikat sewaktu dewasa. Garam mempunyai makna supaya ia bermulut asin, yakni perkataannya akan didengar oleh orang lain. Bareh kunyit berarti lambang kesuburan. Bila bayi tersebut adalah bayi lelaki, maka umumnya bahan pacicop yang dipergunakan adalah garom dan gulo. Sebaliknya bila bayi tersebut perempuan, maka bahan yang dipergunakan umumnya gulo atau bareh kunik. Tatacara pacicop itu yakni dengan memoleskan gulo atau garom sedikit kepada kedua bibir bayi sewaktu ia dibawa berkunjung oleh ibunya dirumah kerabatnya itu. Gulo atau garom diperoleh dari tempat persediaan dirumah yaitu kaco arai ( stoples ). Sewaktu gulo yang manis atau garom yang asin terasa oleh bayi tentu saja mulutnya akan komat-kamit menelan rasa manis atau rasa asin dari benda tersebut. Sedangkan bareh kunyik umumnya dilakukan dengan menaburkan diatas kepala sang bayi. Pekerjaan pacicop bentuk kedua ini juga dilakukan dengan mengucapkan bismillah. 2.2.6. Upacara Hakikah. Sebagai pemeluk agama Islam, masyarakat kampuang Pinang mengenal juga upacara hakikah ( akekah ). Dalam upacara ini sering disembelih kambing atau biri-biri. Upacara ini ditujukan kepada bayi yang baru lahir yaitu pada umur bayi 7 hari, atau ada juga yang dilakukan setelah upacara Pacicop.
74
Tujuan diadakan upacara hakikah adalah untuk memenuhi sunnah rasul, Disamping itu mempunyai pula tujuan sebagai pernyataan gembira dalam rangka kelahiran anak, dan dalam rangka ini pula dapat menjamu semua dusanak, dan tetangga yang berdekatan. Bahan-bahan persiapan dalam upacara semuanya dipersiapkan oleh orang tua anak itu sendiri. Bahan-bahan itu adalah, kambing atau biri-biri, beras, kelapa dan lain-lain rempah dapur. Pada hari dilangsungkan upacara, hadir para undangan seperti dusanak, tuangku imam, kepala kampuang, dan tetangga-tetangga yang berdekatan. Kambing yang akan disembelihkan itu diserahkan pada tuangku imam dan kecik. Kemudian mereka baru menyembelihkan dan memasakkannya bersama-sama untuk dimakan bersama-sama pula. Setelah makan bersama, acara dilanjutkan dengan pembacaan doa selamat, maka berakhirlah upacara hakikah. 2.3.
Upacara Masa Kanak-Kanak
Masyarakat kampuang Pinang menyebut masa kanak-kanak dengan masa paja-paja. Masa ini berlangsung sejak anak berumur 3 tahun hingga tammat sekolah Dasar. Selama anak berada dalam masa paja-paja, ia mengalami dua upacara basunat dan upacara maan ta mangaji. 2.3.1. Upacara Basunat Sungguhpun acara basunat berlaku terhadap anak laki-laki dan perempuan,te tapi kenyataannya masyarakat kampung Pinang membedakan upacara basunat untuk anak laki-laki dengan anak perempuan. Pada anak laki-laki upacara basunat secara terbuka, sedangkan pada anak perempuan dilakukan secara tertutup. Pelaksanaan seperti ini berkaitan erat dengan persoalan etika dan moral. Karena seakanakan basunat untuk anak perempuan timbul rasa malu. Oleh karena ada perbedaan, maka pada bagian ini akan diuraikan basunat padusie ( sunat perempuan ) saja. Sedangkan basunat laki-laki ( sunat anak laki-laki ) akan diungkapkan pada masa anak menjelang dewasa. Seperti sudah dikatakan, masyarakat kampuang Pinang juga mengenal basunat ( khitan ) bagi anak perempuan. Tetapi bukan sebagai anak lelaki, pelaksanaan basunat bagi anak perempuan dilakukan secara rahasia dan tertutup. Karena itu tidak pernah 75
_—
diadakan upacara atau selamatan seperti di kalangan anak lelaki. Basunat bagi anak perempuan umumnya dilaksanakan oleh bidang kampung. Tetapi kadangkala dilakukan juga oleh salah seorang wanita tua. jPelaksanaan basunat itu juga umumnya dilakukan pada pagi hari. Umumnya dilakukan secara berombongan, yakni bukan seorang diri. Tempat pelaksanaan basunat biasanya mengambil tempat pada salah satu rumah peserta basunat. Beberapa hari sebelum basunat berlangsung, pihak keluarga anak yang bakal basunat memberitahukan kepada bidan untuk menyediakan waktu bagi pelaksanaan basunat. Pada pagi hari yang telah ditentukan, para anak-anak yang bakal basunat dan bidanpun berada di rumah bersangkutan. Sebelum basunat berlangsung, bidan dijaniu dengan makanan ringan. Kemudian baru dilaksanakan basunat satu-persatu. Seperti anak lelaki, anak yang bakal disunat juga membaca kalimah syahadah sebelum kulit ujung kelentitnya dikupas atau digores sedikit. Pengupasan dan penggoresan itu dilakukan dengan pisau atau sembilue. Setelah pengupasan dilakukan maka berakhirlah basunat. Bukan seperti anak lelaki, anak perempuan basunat bisa berpakaian dan bekerja seperti biasa. Hal ini disebabkan, karena luka yang dialami tidak begitu serius. 2.3.2. Upacara Maanta Mengaji Upacara maanta mangaji dilakukan terhadap anak lelaki maupun perempuan. Upacara itu dimaksudkan untuk mengantarkan anak tersebut kepada tuangku mangaji ( orang alim yang membuka kursus membaca Al Qur'an ) baik yang bertugas di manasah Baitul Qudus, maupun yang membuka usaha pribadi dirumahnya. Tuangku mangaji ini umumnya juga tuangku manasah ataupun tuangku deyah. Kapan upacara maanta mangaji ini dilakukan tidak ada suatu ketentuan yang pasti. Tetapi umumnya upacara itu dilakukan pada saat anak berumur sekitar 4 - 6 tahun, yakni tatkala ia sudah bisa menjaga dirinya sendiri bila tidak berada dibawah pengawasan orang tuanya. Hal demikian tentu bisa dimengerti mengingat pada saat itu anak-anak sudah mulai meninggalkan rumah untuk bergaul dengan teman sebaya sepengajian. Upacara maanta mangaji dilakukan dengan upacara sederhana. Pihak orang tua seseorang anak yang bakal diantara mangaji memasak 76
sipuluit ( nasi pulut ). Nasi pulut yang sudah masak dimasukkan kedalam suatu piring dan diberi intie karambie ( inti yang terdiri dari kelapa kukur, yang sudah diberi bergula ). Upacara maanta mangaji dilangsungkan pada waktu sesudah sembahyang magrib. Sebab pengajian dilakukan sesudah magrib. Pemilihan waktu tersebut karena pada siang hari, tuangku mangaji sibuk dengan tugas pokoknya baik sebagai petani, pedagang, buruh, ataupun pegawai negeri. Disamping itu waktu siang hari terutama pagi hari, anak-anak sudah pergi bersekolah. Jadi waktu sesudah sembahyang magrib menjelang sembahyang Isya adalah waktu yang ideal bagi pelaksanaan pengajian di kampuang Pinang. Sesudah sembahyang maghrib, si anak yang bakal diantar mengaji diberi berpakaian oleh orang tuanya. Kalau anak lelaki, ia mengenakan kain sarung dan memakai baju serta songkok ( kopiah ). Sebaliknya kalau anak perempuan, ia mengenakan kain sarung dan memakai baju serta kain tutup kapalo ( selendang ). Lalu ia dibawa oleh ayahnya ke tempat tuangku mangaji. Ia membawa sipuluit dan kitab juz amma ( bagian dari kitab Al Quran yang berisikan petunjukpetunjuk bagaimana membaca kitab Al Qur'an) dan kitab Al Qur'an. Sewaktu sampai di manasah ataupun di rumah tuangku mangaji lantas mereka dipersilakan masuk oleh tuangku mangaji. Setelah berbincang-bincang sebentar, lalu ayah anak bersangkutan menyerahkan anaknya kepada tuangku mangaji untuk dididik sehingga bisa membaca kitab suci Al Qur'an. Bersama dengan penyerahan itu, diserahkan pula sipuluit yang dibawa di dalam piring kepada tuangku mangaji. Dengan diterima sebagai anggota pengajian, maka ia memperoleh perlakuan yang sama seperti anak-anak lain yang menjadi anggota pengajian. Perlakuan tersebut diantaranya yakni kewajiban membayar uang ripei minyak ( uang pembeli minyak lampu ) menurut jumlah yang ditentukan pada setiap bulan. Kecuali pelajaran tentang pembacaan kitab suci Al Qur'an, ia juga memperoleh pengajaran tentang dasar-dasar rukun Islam. Selesai penyerahan kepada tuangku mangaji, ayah anak bersangkutan minta pamit untuk pulang. 2.4.
Upacara Masa Menjelang Dewasa.
Masyarakat kampuang Pinang mengenal masa menjelang dewasa ini dengan sebutan masa paja gadang atau anak gadang ( anak beran77
jak besar ). Masa tersebut berlangsung sejak anak-anak berusia tamat SD hingga sekolah lanjutan atas. Dengan kata lain masa ini merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dengan masa pemuda. Hampir seperti pada masa kanak-kanak, masyarakat kampuang Pinang tidak mengenal banyak upacara pada priode ini. Upacara yang lazim diselenggarakan pada periode ini yakni basunat (khitan), dan khatam ( selamatan tamat membaca Al Qur'an ). 2.4.1. Upacara Basunat. Basunat bagi anak laki-laki adalah pemotongan ujung kulit zokor. Masyarakat kampuang Pinang menganggap basunat itu sebagai sunnah Rasul. Sungguhpun basunat itu bukan rukun Islam, tetapi ada kecenderungan seolah-olah belum sempurna keislaman seseorang bila belum basunat. Keadaan demikian terlihat pada sembahyang berjamaah, di mana anak-anak yang belum basunat disuruh berdiri di barisan belakang yang terpisah dari orang dewasa. Dalam kehidupan sehari-hari ada suatu pantang bagi seseorang anak (terutama lelaki ) yang belum basunat. Pantangan itu yakni tidak dibenarkan makan kalang ayam. Mereka mempercayai bila anak tersebut makan kalang ayam, maka daging zakarnya akan menebal dan liat seperti kalang ayam sehingga menimbulkan rasa sakit sewaktu basunat. Kecuali sunnah agama, basunat juga mempunyai nilai kesehatan yakni agar zakar senantiasa bersih dari kotoran yang melekat di belakang kulit ujungnya. Waktu pelaksanaan basunat bagi anak lelaki umumnya dilaksanakan bersamaan dengan waktu liburan sekolah atau liburan kwartal. Pemilihan waktu tersebut untuk menghindari agar tidak terganggu hari sekolah, karena ia harus istirahat beberapa hari dirumah untuk menanti sembuh. Basunat bagi anak lelaki selalu diselenggarakan dengan upacara selamatan. Mengenai bentuk dan sifat upacara selamatan itu tentu saja amat berkaitan erat dengan kondisi sosial-ekonomi orang tua anak bersangkutan. Karena itu sering juga diketemukan orang yang tidak tergolong urang kayo atau urang kayo akan mengadakan upacara selamatan basunat itu dengan cara menompangkan pada upacara daur hidup lain ( terutama perkawinan ) yang berlangsung dilingkungan keluarga. Tindakan demikian diambil dalam hubungan penghematan biaya. 78
Bagi kelompok urang kayo atau urang barado, upacara selamatan basunat dilakukan secara khusus, yaitu dengan menyembelih kambing bahkan menyembelih kerbau. Penyelenggara upacara tersebut adalah oleh orang tuanya sendiri. Beberapa hari menjelang upacara basunat, orang tua dari anak yang bakal basunat biasanya merundingkan tentang tatacara selamatan dengan para niniek mamak. Musyawarah itu membicarakan waktu upacara dan juga pelaksanaan upacara. Hasil musyawarah akan disampaikan kepada dusanak, tetangga kampung, dan kepada urang tuwo kampuang ( orang tua kampung ), yaitu keuchik, tuangku manasah, dan pejabat kampung lainnya. Utusan yang menyampaikan pemberitahuan dan sekaligus undangan itu adalah orang tua anak bersangkutan ataupun salah seorang anggota niniek mamak. Upacara selamatan berlangsung pada pagi hari. Pemilihan waktu tersebut karena pada waktu pagi merupakan waktu yang panjang bagi penduduk kampung. Disamping itu pihak pelaksana kenduri akan mudah memperoleh ikan, karena para penjaja ikan umumnya bergerak pada pagi hari. Oleh sebab itu ikannya masih segar. Kecuali itu pemilihan waktu pagi juga mempunyai makna agar anak kelak panjang umur. Sikap demikian berkaitan erat dengan konsepsi pola hubungan alam semesta dengan kehidupan manusia. Sehari menjelang upacara basunat berlangsung sudah terasa kesibukan dirumah keluarga yang bersangkutan. Kesibukan tersebut meliputi kegiatan merias rumah dengan kegiatan menggiling dan membuat bumbu masakan. Kegiatan merias yakni merias rumah dengan memasang tabie ( kain tabir ), langik-langik ( kain langitlangit ), dan tilam batampuak ( kasur yang bersulam emas) ataupun tampek basandiang ( pelaminan ). Pokoknya rumah itu dirias seolaholah mirip peralatan upacara perkawinan. Keesokan paginya berdatangan para dusanak, tetangga, maupun undangan. Para undangan biasanya dipersilakan masuk duduk diruangan tamu. Sedangkan para dusanak dan tetangga umumnya menjadi panitia baik sebagai pelayan, pekerja tukang masak, maupun pencuci piring. Pada hari itu juga disembelih kambing dan masak nasi puluit. Para undangan umumnya membawa oleh-oleh. Oleholeh tersebut ada dalam bentuk benda seperti gula, ataupun dalam bentuk uang. 79
Pada pagi hari itu diselenggarakan upacara mandi bapucuak. Upacara mandi bapucuak yakni suatu upacara memandikan anakanak yang bakal basunat dengan seember air yang sudah diberi ramuan dedaunan. Ramuan dedaunan itu terdiri dari mayang pinang ( pelepah tangkai bunga pinang ) dan pucuak karambie ( daun pucuk kelapa ), serta bunga-bungaan yang mengandung rasa wangi. Upacara ini dimaksudkan untuk mengambil keberkatan disamping untuk membersihkan dirinya. Pengertian membersihkan diri disini lebih mengandung pengertian psikologis daripada hiegines. Upacara mandi bapucuak biasanya mengambil tempat pada bagian belakang rumah ataupun pada bagian rumah yang berlantai semen. Ini dimaksudkan agar air bekas mandi itu tidak menimbulkan becek. Anak yang bakal basunat itu lalu dibawa ke tempat ember anyang tersedia tadi. Tentu saja ia telah terlebih dahulu menanggalkan pakaiannya. Lalu ia didudukkan pada sisi ember. Salah seorang dari orang tua mengambil air segayung. Dengan mengucapkan Bismillah ia mencucurkan air tersebut ke tubuh anak yang bersangkutan. Kadang kala sambil upacara pemandian dilaksanakan salah seorang lelaki memukul canang bertalu-talu untuk menambah semaraknya suasana. Sewaktu upacara mandi bapucuak berlangsung sering terjadi tukang mandi itu menyiram atau memercikkan air kepada orangorang yang berkeliling menyaksikan upacara tersebut. Penyiraman dan pemercikan air terhadap orang-orang yang berada disekeliling bermaksud untuk memancing keruhnya suasana. Orang-orang yang kena percikan air pada bajunya akan memekik-mekik sehingga menimbulkan ketawa ger-geran. Tidak jarang terjadi ada diantara orang yang terkena percikan air itu adalah orang yang latah. Akibatnya ia mengambil gayung dan memercikkan pula air tersebut kepada orang yang memercikkan air kepadanya ataupun kepada orang lain yang berada di sekitar itu. Bila terjadi keadaan demikian, maka suasanapun menjadi riuh dan hiruk-pikuk oleh gelak ketawa menyaksikan orang-orang yang sudah basah kuyup bajunya. Bila dipandang dari sudut itu, upacara mandi bapucuak tampaknya merupakan salah satu sarana membangkitkan suasana meriah dan semarak upacara masunat. Sebab, disamping bertujuan untuk membersihkan diri anak-anak yang bakal basunat, ia juga sering berubah 80
<ç^sa<^?
berkembang menjadi alat pemancing kegembiraan melalui cara saling memercik air tersebut. Anak yang sudah selesai menjalani mandi bapucuak tersebut bersalin pakaian. Ia mengenakan baju baru, kain sarung, dan peci yang diberi berias ukiran sekelilingnya. Dengan demikian ia kelihatan sebagai seseorang anak yang bakal pergi menunaikan sembahyang. Pengenaan pakaian seperti orang mau bersembahyang itu berkaitan erat dengan konsepsi bahwa basunat merupakan suatu proses untuk melangkah menjadi anggota muslim yang sempurna. Apabila ia sudah selesai mengenakan pakaian, maka ia dituntun untuk duduk diatas kasua pandak ( kasur tempat duduk yang bersulam emas ) atau ditempat pelaminan, dalam ruangan tamu. Sering pula terjadi anak tersebut dipersandingkan pula dengan anak yang lain, apabila basunat itu dilakukan secara berkelompok. Pemuliaan terhadap diri mereka ini juga mempunyai maksud untuk menghibur jiwa anak yang bakal basunat supaya jangan merasa takut dan gelisah mengenang dan menghadapi basunat. Anak yang bakal basunat tersebut terus duduk atau bersanding diatas tempat pelaminan atau kasua pandak disaksikan oleh para tamu. Keadaan demikian tetap terus berlangsung hingga tamu makan dan pamit untuk kembali pulang. Diantara para tamu terdapat mudin ( tukang khitan ) yang mendapat pelayanan khusus. Mudin adalah seseorang yang melakukan pekerjaan mengkhitankan seseorang anak lelaki. Dewasa ini terdapat kecendrungan pada masyarakat kampuang Pinang mempergunakan tenaga juru-rawat baik yang terdapat di Puskesmas Biang Pidie maupun di Puskesmas Susoh sebagai tukang khitan, disamping mudin kampuang yang terdapat didaerah itu. Mudin atau juru rawat yang bakal mengkhitankan anak tersebut merupakan salah seorang undangan penting pada upacara itu. Setelah mendapat jamuan makan ia disuguhi hidangan nasie puluit. Ia juga melakukan upacara pasuntiang, yakni melekatkan sedikit pulut dibagian belakang kedua daun telinga anak yang bakal dikhitan. Selesai jamuan makan yang disuguhi pada para undangan dan mudin maka berakhirlah upacara kanduri atau selamatan untuk upacara basunat. Para tetamu semuanya minta pamit untuk kembali kerumahnya masing-masing pada tuan rumah. Suasana dan kedaan H\
rumah mulai menyepi kembali menunggu pelaksanaan khitan yang umumnya berlangsung keesokan pagi harinya. Pada pagi hari berikutnya dilaksanakan pengkhitanan terhadap anak tersebut. Pelaksanaan khitan yang berlangsung dirumah anak yang bersangkutan hanya dihadiri terbatas oleh kerabat dekat saja. Apabila tukang khitan itu adalah perawat maka anak itu akan memperoleh suntikan kebas untuk mengurangi rasa sakit sewaktu bagian luar daging ujung zakar atau penis dipotong. Setelah dipotong,maka kulit ujung zakar yang dipotong dijahit dan diperban. Pendek kata ia akan dirawat menurut petunjuk medis. Tetapi bila tukang khitan itu adalah mudin, ia mempergunakan tata cara khitan tradisional. Mudin kampung mempergunakan samilue (kulit luar buluh ) sebagai alat pemotong. Dalam pelaksanaan pekerjaan, ia dibantu oleh beberapa orang untuk memegang tangan dan kaki anak bersangkutan sewaktu pelaksanaan khitan. Anak yang bakal dikhitan itu dibaringkan diatas lantai yang beralaskan daun pisang atau tikar. Ini dimaksudkan agar darah yang mencucur nanti tidak mengotori kasur. Anak tersebut ditidurkan dalam posisi terlentang dengan kedua tangan dan kedua kakinya dipegang oleh beberapa orang. Lalu mudin melipat ujung zakar atau penis anak tersebut dan dijepit dengan bambu hampir mirip seperti memanggang ikan. Dengan mempergunakan sambilue yang tajam bagaikan mata silet itu ia memotong ujung zakar yang sudah dijepit tadi. Kemudian jepitan dibuka, dan pada ujung zakar yang luka bekas kena potong diberi air asam dan abu dapur. Dengan demikian selesailah pelaksanaan khitan. Anak yang sudah berkhitan terpaksa berbaring beberapa hari menunggu sembuh dari sakit. Tetapi sering juga terjadi anak-anak yang dikhitan oleh mudin kampung diberi suntik peniscilin oleh jururawat untuk mempercepat sembuh. Patut dicatat bahwa anak-anak yang bakal dikhitan senantiasa dieja untuk mengucapkan kalimah syahadah, Aakni Asyhadu al Laila ha illallah, Wa Asyhadu anna Muhammadurrasullullah (Aku naik saksi tiada Tuhan selain Allah ) oleh mudin maupun jururawat. Ucapan tersebut biasanya diucapkan pada saat menjelang ujung zakar itu dipotong. Lalu dengan mengucapkan bismillah mudin atau jururawat memotong ujung zakar dengan mempergunakan sembilui atau gunting. Keharusan mengucap kalimah syahadah berkaitan erat dengan 82
konsepsi masyarakat mengenai basunat. Seperti sudah disebutkan bahwa anggapan yang menyatakan basunat merupakan tanda kesempurnaan seseorang muslim menimbulkan keharusan untuk mengucap kalimah syahadah menjelang pemotongan ujung zakar. Keadaan demikian bisa dimengerti bila dihubungkan dengan rukun Islam, yang menunjukkan mengucap dua kalimah syahadah merupakan rukun pertama dari lima rukun Islam ( mengucap dua kalimah syahadah, shalat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, zakat, dan menunaikan haji bila berkesanggupan ). 2.4.2. Upacara Chatam. Masyarakat kampuang Pinang mengenal suatu upacara penamatan membaca kitab Al Qur'an yang disebut khatam. Upacara khatam dilaksanakan terhadap seseorang anak baik lelaki maupun perempuan yang sudah menamatkan pembacaan kitab suci Al Qur'an. Upacara tersebut bermaksud untuk memperoleh keberkatan dari Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa si anak itu sudah berhasil menamatkan kitab suci Al Qur'an. Disamping itu, upacara ini juga mempunyai makna sebagai tanda berterima kasih kepada tuangku mengaji yang telah membimbing dan menuntun anak berhasil dapat menamatkan pembacaan kitab suci Al Qur'an. Upacara khatam biasanya berlangsung pada malam hari. Pemiuhan waktu tersebut karena jadwal pelaksanaan mengaji berlangsung pada malam hari. Kapan waktu yang persis bagi pelaksanaan upacara khatam tidak ada suatu ketentuan yang pasti. Keadaan demikian berkaitan erat dengan perkembangan ketrampilan masing-masing anak yang berbeda secara individual. Pada umumnya masyarakat kampuang Pinang melaksanakan upacara khatam secara sederhana. Maksudnya pihak keluarga anak yang tamat membaca kitab suci Al Qur'an hanya membawa satu piring nasi pulut kerumah tuangku mangaji sebagai tanda upacara khatam. Tetapi bagi kalangan urang kayo atau urang barado sering juga melakukan secara individual dirumahnya. Upacara khatam dalam bentuk terakhir biasanya dilaksanakan dengan jamuan makan kepada para dusanak dan tetangga sebagai tanda syukuran. Tentu saja pada malam upacara itu, ia akan mengundang tuangku mangaji sebagai tanda menyatakan terima kasih. Acara 'Khatam dalam bentuk yang pertama dilaksanakan juga 83
oleh orang tua anak yang telah menamatkan pembacaan kitab suci Al Qur'an. Tetapi kadangkala dilakukan oleh beberapa orang apabila ada beberapa orang anak yang menamatkan pembacaan kitab suci Al Qur'an. Pada sore hari menjelang pelaksanaan khatam, pihak keluarga anak yang bakal dikhatamkan memasak nasi pulut barang beberapa liter. Nasi yang sudah masak ditanak dimasukkan kedalam piring untuk dihidangkan. Pada puncak hidang nasi pulut ditaruh inti, yang terbuat dari kelapa bergula. Pada malam upacara khatam, anak yang bakal dikhatam mengenakan pakaian rapi dan bagus. Kalau anak lelaki, ia mengenakan kain sarung, baju dan peci. Dan kalau anak perempuan ia mengenakan pakaian biasa, kain sarung, dan selendang. Anak yang sudah mengenakan pakaian membawa nasi pulut ke rumah tuangku mangaji atau manasah. Kadangkala orang tuanya ikut juga datang bersama. Nasi pulut yang dihidangkan tersebut diserahkan kepada tuangku mangaji. Malam pelaksanaan upacara khatam merupakan malam gembira bagi kelompok pengajian. Anak-anak yang melaksanakan khatam disuruh membaca beberapa ayat Al Qur'an yang disaksikan oleh teman-temannya dan para hadirin. Kemudian dilakukan upacara tepung tawar oleh tuangku mangaji terhadap anak yang bersangkutan. Lalu tuangku mangaji mengambil sedikit nasi pulut didalam hidangan untuk diselipkan pada kedua daun teliganya untuk pasuntiang. Semua kegiatan tersebut dimulai dengan membaca bismillah. Setelah penepung tawar dan pasuntiang berakhir,lalu tuangku mangaji membagi-bagikan sebagian hidangan nasi pulut kepada anggota kelompok mengaji dan para hadirin. Dengan demikian berakhirlah upacara khatam, dan anak yang bersangkutan secara resmi lepas dari bimbingan tuangku mangaji.
84
C. MASYARAKAT KUTE ROBEL. 1. UPACARA MASA KEHAMILAN 1.1.
Upacara Serahèn.
Seseorang wanita yang sedang hamil dalam kalangan masyarakat Kute Robel disebut dengan wan perèlen. Seorang wan perelen akan menghadapi dengan sejumlah upacara-upacara sejak umur kandungannya 2 bulan. Upacara yang pertama sekali dilangsungkan disebut upacara serahen ( menyerahkan). Karena tujuan upacara ini mempunyai makna penyerahan wan perelen kepada seorang bidan ( dukun beranak ), oleh keluarganya untuk merawat kesehatan masa menjelang kelahiran bayi. Maka sejak saat serahen, seorang bidan memangku tanggung jawab terhadap kesehatan wan perelen dan bayi yang dikandungnya. Pemilihan seorang bidan yang merawat wan perelen bukan berdasarkan atas kekerabatan, akan tetapi menurut keyakinan dari keluarga wan perehen itu, dengan memperhatikan faktor jauh atau dekat tempat tinggal bidan dengan wan perelen. Ini untuk memudahkan menjemputnya, bila wan perelen hendak melahirkan. Upacara serahen ini biasa dilakukan pada saat matahari sedang naik (pagi hari ). Saat ini dipergunakan supaya wan perelen mudah untuk melahirkan, tidak mendapat rintangan-rintangan sesuai dengan lahirnya matahari tiada yang menghalaginya. Tentang tempat kegiatan ini dilangsungkan, biasanya bagi masyarakat Kute Robel ditentukan oleh bentuk perkawinan yang dilangsungkan dahulu oleh suami-isteri sebagai calon ibu-bapak bayi. Dalam bentuk perkawinan ango atau juelen, dimana pihak suami seakan-akan membeli wanita yang bakal jadi isterinya, maka kegiatan seraben dilaksanakan dirumah mertua dari wan perelan. Karena pihak isteri secara adat sudah masuk kedalam belah ( clen besar) suami, atau berlaku sistem virilokal. Dalam bentuk perkawinan angkap ( kebalikan dari ango ), kegiatan serahen dilakukan oleh belah isteri atau dirumah isteri. Karena dalam bentuk perkawinan ini suami menjadi belah isteri, atau berlaku sistim uxorilokal. Dan dalam bentuk perkawinan kusso-kini, kegiatan upacara serahen dilaksanakan dimana wan perelen itu menetap. Karena dalam bentuk perkawinan ini memberi kesempatan kepada suami-isteri untuk 85
memilih tempat menetap mereka, atau berlaku sistem bilokal. Upacara serahen bagi masyarakat Kute Robel dilaksanakan dalam bentuk yang sangat sederhana. Peserta-pesertanya tidak meluas, hanya terdiri atas keluarga kedua belah pihak yaitu ibu, bibi, dan beberapa orang tua lainnya. Suatu kebiasaan mereka yang terlibat dalam upacara ini adalah orang-orang perempuan yang sudah kawin. Dalam upacara ini kepada peserta-pesertanya diberi makan ala kadarnya. Bentuk tingkat kemeriahan upacara, hanya cukup dengan memotong seekor ayam, jarang sekali tingkat memotong kambing. Kegiatan pelaksanaan upacara tidak menggambarkan status sosial yang berbeda. Kenyataan ini tergambar dari jenis dan macam bahan uang diserahkan kepada bidan. Bahan-bahan tersebut umumnya sama yaitu terdiri dari satu batang jarum, satu bambu beras ( dua liter ), kunyit, sirih, pinang, kulit kayu manis, dan uang Rp. 600,-. Bahan-bahan serahen ini tidak pula berbeda antara pemberian kepada hamil untuk anak pertama dengan hamil untuk anak kedua dan seterusnya. Tentang jumlah yang diberikanpun tidak menggambarkan status yang berbeda-beda. Bahan-bahan ini diberikan disamping untuk dipergunakan oleh bidan itu sendiri, sudah merupakan pula adat turun-temurun sebagai lambang penyerahan tanggung jawab kepada bidan selama masa kehamilan. Bahan-bahan persiapan upacara ini dipersiapkan orang tua mereka yang ditentukan oleh bentuk perkawinan, terutama bagi wanita hamil pertama. Dalam bentuk perkawinan ango atau juelon semua bahan-bahan serahen ditanggung oleh mertua dari wan perelen itu, sebab ia sudah menjadi tanggung jawab dan sudah masuk belah suami. Pihak belah isteri hanya datang pada saat upacara dilangsungkan, sebagai tanda penyambutan tentang kehamilan anaknya. Dalam bentuk perkawinan angkap semma bahan bahan-bahan serahen itu ditanggung oleh orang tua wan perelen, sebab pihak suami sudah menjadi belah isteri dan tanggung jawab belahnya. Pihak keluarga suami hanya datang pada saat upacara dilangsungkan, sebagai penghormatan bahwa menantunya sudah hamil. Sedangkan dalam bentuk perkawinan kusso-kini, semua bahan-bahan serahen ditanggung oleh orang tua mereka dimana mereka bertempat tinggal. Karena dalam bentuk perkawinan ini, bagi suami-isteri bebas memilih tempat menetap mereka. Akan tetapi pada masa sekarang ketentuan adat 86
seperti diatas sudah agak renggang, sudah ada upacara serahen uang bahan-bahannya ditanggung secara bersama-sama antara keluarga pihak isteri. Disamping itu ada pula yang ditanggung sendiri oleh suami. Bagi wan perelen yang hamil untuk anak kedua dan seterusnya aktifitas penyediaan bahan-bahan serahen, hampir semua dilakukan oleh suami mereka masing-masing. Akan tetapi aktifitas ini masih mengikut sertakan juga orangtua mereka kedua belah pihak. Keikut sertaan orang tua mereka ini, sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Bila seorang suami dianggap mampu, maka kedua belah pihak dari orang tua mereka tidak ikut dalam menyediakan bahanbahan serahen. Tetapi mereka selalu terikat dalam kegiatan upacara untuk memeriahkannya. Setelah selesai acara makan bersama dalam upacara, semua bahan-bahan serahen itu diserahkan kepada bidan oleh orang tua mereka dengan ucapan " Kuserahen anakku ini pada ibu bidan, buge-buge we dan rembugee wan selamat dan naru umure ijeroh Tuhen" ( Kuserahkan anak saya ini pada bidan, semoga ia dan bayinya dalam keadaan selamat dan panjang umur diberi Tuhan ). Dari ungkapan tradisional diatas, tampak bahwa peranan bidan sangat penting, karena bidan menangani peristiwa kelahiran sejak dari pre-dan post-natal cara yang terdiri dari perawatan kesehatan maupun upacara-upacara demi menjaga kesehatan (13,1972,19. ). Kepercayaan dan kebiasaan yang dilakukan dalam perawatan maupun dalam upacara-upacara, merupakan bagian dari pada kesehatan bayi dan ibu bayi. 1.2.
Upacara Kunjungan.
Kelanjutan dari upacara serahen diatas tadi, akan disambung dengan upacara kunjungan wan perelen dengan beberapa wanita tua lainnya kerumah bidan. Kunjungan ini biasanya dilakukan pada hari ketujuh, keempat belas, atau hari kedua puluh satu setelah selesai upacara serahen. Tentang penggunaan saat-saat waktu ini tidak mempunyai tujuan yang jelas. Para pemuka adat yang turut diwawancara tidak dapat memberi makna tentang penggunaan waktu ini, hanya menuruti kebiasaan saja. Bahan-bahan kunjungan yang dibawa kerumah bidan ada-bereteh 87
( padi gongseng ), pisang, telur, dan ketan satu piring disertai dengan uang menurut yang ada kemudahan. Bahan-bahan kunjungan ini sebagai tanda untuk meminta tangkal benang ( ajimat ) pada bidan, supaya jangan mudah diganggu oleh makhluk-makhluk halus atau setan. Bahan-bahan ini diberikan kepada bidan oleh seseorang orang tua yang turut mengunjungi kerumah bidan bersama dengan wan perelen. Dalam kegiatan ini biasanya tidak disertai orang laki-laki. Selama masa kehamilan, banyak pantangan-pantangan yang harus dilakukan oleh suami-isteri. Pantangan-pantangan ini akan dinasehati oleh bidan kepada suami-isteri. Pantangan bagi suami tidak boleh berbuat salah, seperti mencuri, menyembelih ayam berdakwa dan mencemooh orang lain seperti mentertawakan orang yang cacat, mengupat dan lain-lain lagi. Pantangan bagi isteri (wanita hamil ) adalah jangan kerja keras, jangan terkejut, tidak boleh melihat yang aneh-aneh, tidak boleh keluar rumah waktu senja, karena pada saat ini makhluk-makhluk halus meraja lela dan mudah menyambut manusia. Selain itu masih ada pantangan-pantangan lain yaitu semua pantangan bagi suami seperti tersebut diatas. Pantangan-pantangan seperti diatas tadi diamalkan oleh suamiisteri. Kecenderungan ini dilandasi oleh konsepsi bahwa bayi yang dalam kandungan seorang ibu itu merupakan bagian dari fisik ibubapaknya. Apa yang orang tuanya rasakan, akan dirasakan pula olah bayi dalam kandungan. Konsekuwensi kepada orang yang melanggar konsepsi ini ada tiga akibat yang dialami oleh bayi. Akibat pertama bila ayah-ibu bayi banyak berbuat dosa, maka bayi itu akan turut berdosa pula. Akibat kedua anak akan menuruti jejak orang tuanya, bila orang tuanya suka mencuri, maka anaknya akan mencuri. Dan akibat ketiga, tubuh bayi akan mengalami seperti orang yang pernah dicaci oleh orang tuanya, atau seperti apa yang dilihat tentang yang aneh-aneh oleh orang tuanya. Setelah selesai upacara kunjungan dirumah bidan ini dengan acara serahen bahan-bahan kunjungan kepada bidan, dan sekedar acara minum-minum, maka rombongan wan perelen pulang kerumahnya. Dengan demikian selesailah upacara kunjungan ini. 1.3.
Upacara Tangkal Benang. Upacara tangkal benang disebut juga dengan upacara pemberian 88
ajimat kepada wan perelen oleh bidan. Ajimat ini berguna supaya jangan terjadi pendarahan ( bluding ). Menurut pandangan mereka pendarahan itu terjadi disebabkan ada gangguan dari makhlukmakhluk halus atau setan. Dengan adanya ajimat yang dipakai, semua makhluk halus atau setan itu akan takut mengganggunya. Pelaksanaan upacara ini dilangsungkan dirumah wan perelen. Bahan-bahan untuk membuat ajimat, terdiri atas benang warna 4 ( putih ), kuning, merah, dan hijau ), putik delima, putik jeruk purut, jeranggu, kencur, kunyit, ujung jarum, dan ranting bambu kuning. Semua bahan-bahan ini dipotong kecil-kecil serta ditusuk dengan benang seperti manik, kemudian diikat dipinggang wan perelen. Semua jenis bahan-bahan ini ditakuti oleh makhluk-makhluk halus atau,setan, karena disamping sifatnya, bahan-bahan ini sudah pula dimenterakan oleh bidan. Selama ajimat ini dipakai, wan perelen harus memelihara dari beberapa pantangan. Pantangan-pantangan itu adalah berupa larangan membawa ajimat bila wan perelen pergi ketempat orang meninggal, ajimat harus dibuka atau jangan dibawa. Sewaktu hendak melahirkan ajimat harus dibuka. Apabila larangan ini dilanggar maka akan menimbulkan konsekuensi yaitu ajimat akan hilang keampuhan, bila dibawa ketempat orang meninggal dan anak terhalang untuk lahir, bila tidak dibuka pada saat hendak melahirkan. Dalam proses upacara tangkal benang ini, tidak banyak orangorang yang terlihat didalamnya, Mereka yang terlibat adalah suami, dalam hal penyediaan bahan-bahannya, mertua yang perempuan atau ibunya sebagai orang yang mendampingi wan perelen selama berlangsung upacara ini. Dan bidan sebagai orang yang membuat ajimat. Setelah ajimat itu selesai dibuatnya, segera diikat dipinggang wan perelen oleh bidan. Setelah selesai semua tugas bidan dalam rangka membuat ajimat, orang tua atau mertua wan perelen memberikan apa yang ada kemudahan kepada bidan sebagai tanda terima kasih. Pemberian ini tidak ditentukan jumlah. Kadang-kadang cukup dengan memberikan uang ala kadarnya atau beras satu bambu ataupun sesisir pisang. Dengan demikian selesailah acara upacara tangkal benang ini.
89
2. Upacara Masa Kelahiran dan Masa Bayi. Upacara masa kelahiran dan masa bayi yang sering dilangsungkan dalam kalangan masyarakat Kute Robel dapat dibagi kedalam dua masa, yaitu masa kelahiran dan masa bayi. Tiap-tiap masa ini dapat pula dibagi kedalam beberapa upacara. 2.1.
Upacara Masa Kelahiran.
Upacara-upacara masa kelahiran bayi ada tiga macam upacara yaitu upacara potong pusat bayi, azan atau iqamat, dan upacara menanam tembunin ( placenta ). 2.1.1. Upacara Potong Pusat Dalam kalangan masyarakat Kute Robel menyebut kepada seorang bayi dengan sebutan budak. Masa dalam kandungan seorang budak biasanya 8 atau 9 bulan bagi yang normal. Apabila seseorang wan perelen sudah merasa sakit-sakit perutnya atau ada gejala-gejala lain untuk melahirkan, maka suami segera memanggil bidan. Setelah bidan memeriksa dan menyatakan betul akan melahirkan, maka suaminya terus memanggil mertua dan ibunya untuk mendampingi isterinya. Dalam proses kelahiran didahului oleh kelahiran budak kemudian disusul oleh tembuni ( placenta ). Pada saat itulah diadakan pemotongan pusat ( colostrum ) yang menghubungkan antara budak dengan tembuni. Pemotongan ini dilakukan oleh bidan dengan memakai alat sebilah sembilu ( kulit buluh ) yang sudah diraut. Setelah itu budak dimandikan oleh bidan dalam sebuah baskom yang telah tersedia. Sesudah budak itu bersih, bidan membubuhi kunyit yang telah dicampur dengan garam pada pusat budak.Kemudian dibedung ( dibungkus ) badan budak dengan kain bedung, lalu diberikan pada anan ( nenek perempuan ) dari budak itu. Tugas bidan selanjutnya adalah membersihkan ibu budak dari kotorankotoran darah. Kemudian diberi obat yang terdiri dari rempahrempah, yang dibuat dari daun-daunan. Rempah obat ini dipergunakan untuk bahagian badan, kepala, perut, kemaluan (fagina) dan obat-obat yang diminum. Dengan demikian maka selesailah upacara pemotongan pusat budak.
90
2.1.2. Upacara Azan atau Iqamat. Sebagaimana masyarakat Aceh lainnya sebagai pemeluk agama Islam, pada acara kelahiran sering diadakan pembacaan azan atau iqamat, maka pada masyarakat Kute Robel dilangsungkan pula acara itu. Acara ini dilaksanakan bermaksud agar budak itu kelak menjadi manusia yang saleh dan taat kepada agama. Harapan ini ada pada setiap orang tua anak, yang terjelma dari perkataan-perkataan seperti anak tidak mendengar azan ", yaitu suatu perkataan yang dilemparkan kepada seseorang anak yang membantah terhadap larangan-larangan dari orang tuanya. Pembacaan azan khusus ditujukan untuk anak laki-laki, dan pembacaan iqamat khusus untuk anak perempuan. Apabila budak yang lahir itu seorang anak laki-laki, maka azan akan dibaca oleh datu ( munyang ) laki-laki. Dan apabila budak yang lahir itu perempuan, maka iqamat akan dibaca oleh datu perempuan. Apabila datu dari budak itu tidak ada lagi atau tidak sempat hadir pada acara kelahiran, maka pembacaan azan atau iqamat akan dilaksanakan oleh awan ( kakek ) untuk budak laki-laki, dan oleh anan ( nenek) untuk budak perempuan. Sarat-sarat yang harus dilalui oleh pembaca azan atau iqamat, terutama harus bersih badan, berudhuk, dan berpakaian rapi. Kemudian budak itu dipangku dengan menghadap ke kiblat, lalu pembacaan azan atau iqamat dilakukan. Setelah selesai, maka budak itu diserahkan kepada ibunya untuk disusui. Maka dengan demikian selesailah upacara pembacaan azan atau iqamat. 2.1.3. Upacara Tanam Tembuni. Masyarakat Kute Robel menyebut kepada placenta bayi dengan tembuni. Tembuni yang sudah dipisahkan dari budak harus ditanam kedalam tanah, tidak boleh dibuang dimana-mana. Karena menurut anggapan mereka tembuni itu terus ada hubungan dengan budak, sebagaimana hubungannya kala ia masih dalam kandungan. Hubungan ini dihubungkan dengan pertumbuhan budak, lama kering pusat, bengkak pusat, lamban atau cepat berbicara dan sebagainya. Tembuni yang lahir bersama-sama budak tadi dibersihkan oleh bidan, lalu dimasukan kedalam sebuah tape (supit ). Kadang-kadang pekerjaan ini dilaksanakan juga oleh ibu dari wanita yang melahirkan 91
itu. Hal ini baru dilaksanakan, bila bidan berhalangan. Tembuni yang sudah dimasukan kedalam tape itu, dibubuhi pula dengan potonganpotongan jeruk purut, bunga-bunga, dan percikan wangi-wangian. Tindakan ini mempunyai tujuan agar budak nanti suka kepada wangi-wangian, bersih dan tidak kotor. Setelah tembuni dipersiapkan dalam tape, maka bidan atau ibu dari wanita yang melahirkan itu menanam tembuni ke dalam tanah. Penanaman ini tidak boleh terlalu dalam, dan tidak boleh pula terlalu dangkal. Bila tembuni itu ditanam terlalu dalam, mengakibatkan anak lama pandai berbicara. Dan apabila tembuni itu ditanam terlalu dangkal, akan mudah dikorek oleh anjing atau tikus. Diatas tanah harus dihidupkan api supaya tidak mudah diganggu oleh anjing atau tikus tadi, dan disamping itu mempunyai pula tujuan, agar budak dirumah tidak membengkak pusat, dan pusat cepat kering. Setelah ibu budak dibersihkan tadi, bidan mengurut badannya dengan minyak supaya semua otot-otot badan menjadi kendor, dan air susu ibu menjadi lancar. Sedangkan ibu budak tetap berbaring ditempat tidurnya, tidak boleh meninggalkan rumah selama 44 hari. Ia sering ditemani oleh bidan atau ibunya, Selama ia berbaring ditempat tidur itu dirawat dengan pemberian obat-obatan disertai dengan pantangan-pantangan. Pantangan untuk orang yang melahirkan bagi masyarakat Kute Robel sama dengan masyarakat Aceh lainnya. Pantangan ini terdiri dari ketan, pisang, daging kerbau, telur dan daging bebek, dan semua buah-buahan. Semua jenis-jenis tersebut ini dilarang makan selama 44 hari. Bidan selama minggu pertama kelahiran budak terus-menerus mendampinginya, mengurus kesehatan budak dan ibu budak. Setelah selesai semua upacara ini, kepada bidan diserahkan beras satu bambu, dan uang Rp. 6 0 0 , - atau menurut ada kemudahan. Pemberian ini sebagai tanda terima kasih kepada bidan pada masa kelahiran. Memang jumlah pemberian ini tidak mempunyai ketentuan tentang berapa jumlahnya. Akan tetapi pemberian ini sudah merupakan adat yang turun-temurun. Dengan diakhiri oleh pemberian kepada bidan ini, maka selesailah upacara tanam tembuni. 2.2.
Upacara Masa Budak.
Upacara masa budak bagi masyarakat Kute Robel mempunyai makna serentetan upacara yang dilangsungkan sejak budak berumur 92
7 hari sampai dengan umur 44 hari. Dilihat dari segi waktu pelaksanaan, maka upacara ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama terdiri dari upacara turun mani ( turun mandi ), cukur rambut, pecicap ( memberi rasa ), beri nama, turun tanah, dan hakikah. Tahap kedua adalah upacara mandi 44 ( 44 hari umur bayi ). Pelaksanaan upacara-upacara pada tahap pertama, biasanya dilakukan serentak atau berantai. Oleh karena itu kadang-kadang untuk upacara-upacara tersebut disebut saja dengan upacara turun mani. Ini menunjukkan bahwa dari semua upacara-upacara yang dilaksanakan pada tahap pertama ini, upacara turun manilah yang menjadi upacara yang paling meriah dari upacara-upacara lainnya. Tingkat kemeriahaan upacara ini dipengaruhi oleh status ekonomi dan status sosial keluarga. Bagi orang-orang yang berada, upacara tahap pertama ini ( turun mani ) dirayakan dengan memotong kerbau dan kambing. Dalam upacara diundang semua kerabat belah suami dan belah isteri. Bagitu juga dengan jiran semuanya. Bagi orang-orang yang mempunyai status sosial dalam masyarakat seperti tengku mersah dan kecik, mereka juga merayakan upacara-upacara ini dengan memotong kerbau atau kambing. Undangan dalam upacara ini sama pula seperti upacara yang dilakukan oleh orang-orang berada tadi. Bagi orang-orang yang mempunyai status ekonomi yang lemah, upacara turun mani biasanya dimeriahkan dengan memotong beberapa ekor ayam saja. Undangannyapun hanya beberapa orang jiran yang patut saja. Biasanya mereka melakukan upacara turun mani, cukur rambut, peciciap, beri nama, dan turun tanah, secara serentak atau pada hari yang bersamaan. Sedangkan upacara hahikah tidak mereka lakukan. Upacara tahap kedua yang dilakukan pada masa budak, hanya berupa acara mandi 44 saja. Upacara ini sebenarnya merupakan upacara yang dilangsungkan untuk memandikan ibu budak, supaya bersih dari kotoran-kotoran. 2.2.1. Upacara Turun Mani Upacara turun mani adalah upacara yang dilangsungkan untuk memandikan budak dan ibu budak pada hari ke 7 umur budak, walaupun pada hari ke 7 itu budak belum jatuh pusatnya. Tujuan 93
dari upacara ini supaya ibu budak dan budak berada dalam keadaan bersih dalam rangka menghadapi upacara-upacara selanjutnya. Tempat pelaksanaannya dimulai dirumah budak sampai ke sungai. Akan tetapi pada saat sekarang sudah banyak melangsungkan upacara ini hanya dirumah saja, terutama bagi yang bertempat tinggal jauh dari sungai. Bahan-bahan persiapan dalam upacara turun mani terdiri dari oros opat, ( beras 4 warna ), pinang. Daun pisang tadi dijadikan sebagai alas tempat duduk ibu budak atau tempat berdiri budak. Beras 4 warna, pinang, dan sirih sebagai bahan yang diramukan dengan air untuk dimandikan kepada budak dan ibu budak. Menurut anggapan mereka bahan-bahan ini merupakan persembahan kepada nabi Yullah Yati, sebagai pembersih manusia dari kotor besar dan kotor kecil, sebab nabi Yullah Yati adalah yang menguasai air. Semua bahan-bahan untuk kebutuhan mandi dalam upacara dipersiapkan oleh orang tua dari wanita yang melahirkan itu. Dirumah biasanya sudah sibuk tiga hari sebelum upacara berlangsung. Selain mempersiapkan bahan-bahan makanan untuk acara makan bersama. Kesibukan ini semakin tampak, karena upacara bersambung terus dengan upacara berikutnya. Dalam upacara turun mandi terlibat belah pihak isteri dan belah pihak suami. Bila suami - isteri dahulu melakukan kawin ango atau juelen, maka belah pihak suami menjadi tenaga inti dalam kelangsungan upacara. Dan bila terjadi dalam bentuk perkawinan angkap, maka belah pihak isteri menjadi tenaga inti. Tetanggatetangga yang berdekatan, imam mersah ( iman menasah ) dan beberapa orang yang patut turut pula diundang. Setelah selesai semua persiapan, dimulailah acara turun mani. Acara ini dimulai pada saat pagi hari. Budak digendong oleh seseorang yang telah mengenakan pakaian adat, terus langsung dibawa ke sungai. Ibu budak menyusul dibelakang dengan didampingi oleh bidan dan beberapa orang lainnya. Orang-orang lain yang turut serta mengantar ini biasanya orang-orang tua. Mereka menyertai rombongan sambil membawa baskom yang berisi ramuan mandi. Setelah sampai di sungai baskom yang berisi ramuan tadi dicampur dengan air dan diremas-remas.Budak yang digendong oleh 94
seseorang tadi disambut oleh bidan dan langsung dimandikan. Sesudah siap budak, bidan memandikan pula ibu budak. Sebelum bidan melakukan tugas ini terlihat mulutnya kumat-kamit dengan membaca : Ya Allah, ya Rabbi, ya Tuhanku keta ini letertip sopanku urum oros opat, selensum opat. Keta ini kerna nabi Yullah Yati, keta ini kesi kotek ijerohkan kesiberet iringenen, seleput isamungen, ilanjuten umure, imudahen rezeki, igipen ari bele, berkat doa nabi olah Yati, berkat doa nabi olah Yacob, dan berkat doa nabi kedemat. Arti dari ungkapan itu ialah ( Ya Allah , ya Rabbi, ya Tuhanku, inilah kesopananku dengan beras opat ( empat warna ), empat selensum ( empat sepih sirih ). Ini karena nabi Yullah Yati, kalau yang kotor dibersihkan, yang berat diringankan, yang pendek disambungkan, dipanjangkan umurnya, dimudahkan rezekinya, dan dijauhkan dari mara bahaya. Ini berkat doa nabi Yullah Yati, berkat doa nabi Yullah Yacob, dan berkat doa nabi kedemat ). Setelah acara mandi di sungai, budak kembali digendong oleh seseorang yang memakai pakaian adat tadi. Kemudian bersamasama pulang kerumah, budak dikasih kembali kepada ibunya. Pada saat ini bidan memberi nasihat-nasihat kepada kedua orang tua budak, agar dapat memelihara budaknya dengan baik, memberi pendidikan dunia dan akhirat ( agama-umum). Maka dengan demikian selesailah upacara turun mani budak. 2.2.2. Upacara Cukur Rambut Upacara cukur rambut ialah upacara mencukur rambut budak setelah selesai turun mani atau pada umur budak 7 hari. Biasanya upacara ini dilangsungkan pada hari turun mani. Pencukuran rambut budak ini bertujuan untuk membuang rambut kotor ( yang dibawa dari lahir ), karena rambut ini dianggap kotor, dan tidak baik pertumbuhannya. Pelaksanaannya biasa dilakukan oleh orang yang sudah biasa. Disini memerlukan ketrampilan, tidak terikat dengan status bidan. Akan tetapi dalam kegiatannya bidan ikut serta. Bila bidan berhalangan datang, orang tua budak harus meminta izin dari bidan terlebih dahulu. Alat yang dipergunakan adalah pisau cukur. Bahan-bahan persiapan yang diperlukan dalam upacara terdiri 95
atas dua macam ramuan. Satu macam ramuan diisi didalam dulang ( dalung ), dan satu macam lagi diisi didalam baskom. Isi dalung terdiri atas 1 bambu beras, pinang, sirih, jarum, kunyit, kol ( batok beras ), are ( bambu beras ), sisir, cermin, keramil ( kepala) dan belati ( gamcip ). Dan isi baskom terdiri dari jeruk purut, bedak beras, batang teguh ( rumput ) dan abu deni ( abu dari kain yang sudah diputar ). Dalam penyediaan bahan-bahan ini menjadi tanggung jawab ibu atau mertua dari wanita yang melahirkan itu. Atau ditentukan oleh sistem menetap suami-isteri. Ketentuan ini sama dengan ketentuan yang telah disebutkan tadi. Sebelum acara ini dimulai, biasanya tiga hari sebelum pelaksanaan, semua kerabat pihak ibu dan ayah budak sudah diberitahukan. Dan begitu juga dengan tetangga yang berdekatan, imam mersah, kecik dan beberapa orang yang patut. Tepat pada hari pelaksanaan upacara, mereka ini datang dengan membawa apa yang ada kemudahan. Kadang-kadang ada yang membawa beras, uang atau lain-lainnya. Kerabat pihak ayah atau ibu budak biasanya membawa uang. Tepat pada saat acara dimulai, budak digendong oleh seseorang dan tukang cukur langsung mencukurkan rambut. Pencukuran rambut ini ada yang dicukur semua sampai budak itu botak, dan ada pula yang hanya menggunting beberapa rambut saja sebagai sarat adat. Ini tergantung pada kemauan dari orang tua budak. Para hadirin duduk mengelilingi budak sambil menyaksikannya. Setelah selesai rambut budak itu dicukur, maka bahan yang telah tersedia dalam baskom tadi seperti jeruk purut, beras atau tepung beras dan abu deni, dilumiri pada kepala budak, agar kepala dingin dan tumbuh rambut dengan subur. Sedangkan bahan-bahan yang tersedia dalam dulang tadi dipergunakan sebagai lambang upacara adat. Beras, pinang, sirih, jarum, kunyit, batok beras, dan bambu beras sebagai lambang perlengkapan rumah tangga. Sisir dan cermin sebagai lambang kecantikan. Dan kelapa akan dibelah diatas kepala budak, supaya ia tidak takut kepada suara petir. Setelah selesai acara cukur rambut, upacara ini akan dilanjutkan dengan upacara pecicap ( memberi rasa ) pada budak, apabila upacara pecicap ini dilangsungkan pada hari bersamaan dengan cukur rambut. Dan apabila upacara pecicap tidak dilaksanakan 96
bersamaan dengan upacara cukur rambut, maka acara selanjutnya diteruskan dengan acara makan bersama-sama. Dalam acara makan ini tingkat kemeriahannya ditentukan oleh ada atau tidak ada upacara selanjutnya. Bila upacara tidak dilanjutkan, maka tingkat kemeriahannya ditandai dengan memotong ayam. Dan apabila akan ada dilangsungkan upacara lanjutan, maka tingkat kemeriahannya cukup dengan minum-minum saja. 2.2.3. Upacara Pecicap. Upacara pecicap adalah upacara pemberian rasa kepada budak. Rasa yang diberikan itu terdiri dari manisan lebah dan nasi yang telah digiling halus ( airnya saja ). Makanan ini dioles pada bibir budak. Acara pengolesan ini biasanya didahului oleh datu perempuan atau awam dari budak. Ketentuan ini sebagai adat penghormatan kepada seseorang yang lebih tua dalam kerabatnya. Ini tidak terikat dengan kerabat pihak ayah atau ibu, melainkan didahului oleh orang yang lebih terpandang dalam kerabatnya. Apabila datu atau awam tidak ada, maka acara pecicap akan didahului oleh orang yang dianggap terpandang dari semua peserta upacara. Ini mempunyai tujuan agar budak itu kelak menjadi orang terpandang pula. Upacara pecicap ini dilaksanakan pada hari cukur rambut atau setelah selesai cukur rambut. Acara pertama yang dilakukan oleh datu atau awam tadi adalah melengketkan pulut kuning di kedua belah telinga budak, kemudian baru dioles manisan lebah atau air makanan pada bibir budak. Bahan-bahan untuk pecicap tidak berbeda antara anak laki-laki dengan anak perempuan, begitu juga dalam pelaksanaannya. Setelah datu atau awan mendahului acara, kemudian dilanjutkan oleh beberapa orang lainnya yang dianggap dapat memberi berkah pada budak. Tentunya orang-orang ini merupakan orang-orang yang terpandang juga. Dengan demikian maka selesailah acara pecicap. 2.2.4. Upacara Beri nama Upacara beri nama budak biasanya merupakan kelanjutan dari upacara pecicap. Waktu pelaksanaan bersamaan dengan waktu upacara pecicap. Upacara ini dilangsungkan dirumah tempat budak itu dilahirkan. Tujuan diadakan upacara, agar nama yang diberikan pada budak mendapat berkah dari Tuhan, serta sesuai dengan fisik 97
dan wataknya. Karena nama yang diberikan tidak sesuai, maka budak itu akan mengalami sakit-sakitan. Bahan-bahan persiapan dalam upacara ini ialah santan, gula, dan air nasi. Ketiga macam bahan ini diberikan kepada budak supaya budak itu didalam masyarakat kelak akan manis seperti gula, lemak seperti santan, dan enak seperti nasi. Atau dengan sebutan lain supaya ia dapat diterima dalam masyarakat dengan baik. Pemberian nama kepada seseorang budak biasanya oleh seorang imam atau orang yang alim dalam agama. Pemberi nama menulis sejumlah nama-nama pada kertas, kemudian kertas itu digulung dengan baik. Biasanya nama-nama tersebut semuanya yang berasal dari nama-nama Arab. Kemudian nama-nama tersebut ditarik salah satu oleh ibu atau ayah dari budak itu. Kadang-kadang nama-nama yang sudah ditulis itu tidak digulung seperti diatas, secara terbuka ibu atau ayah budak dapat memilih nama yang ia sukai. Dalam pemiuhan nama itu ada pula yang terpilih nama yang tidak sesuai dengan fisik atau watak anak. Akibat dari pemilihan nama uang tidak sesuai ini, budak akan mengalami sakit-sakitan. Sejauh mana pengetahuan seseorang tentang pemilihan nama-nama ini, tidak mendapat gambaran yang jelas. Kalau kemudian budak itu mengalami sakit-sakitan, maka orang tuanya segera mengganti nama anaknya, tetapi tidak lagi melalui prosedur upacara. Setelah selesai pemilihan nama,imam atau salah seorang pemberi nama tadi mengumumkan nama budak itu kepada hadirin, yang telah lama menunggu-nunggu. Mereka duduk tertib diatas tikar dengan mengelilingi budak yang dipangku oleh ibunya yang perempuan. Kemudian upacara ini akan diakhiri dengan acara minum-minum bersama, maka selesailah acara pemberian nama budak, dan acara ini akan dilanjutkan dengan upacara turun tanah bayi. 2.2.5. Upacara Turun Tanah. Upacara turun tanah ialah upacara untuk memperkenalkan kepada bayi mengijak tanah. Sebenarnya tujuan yang lebih lanjut dari upacara ini, supaya seorang anak dapat memperluaskan horizon pemikiran dari lingkungan keluarga ke lingkungan masyarakat luas. Kenyataan ini didukung oleh tindakan orang tua anak dengan membawa turun budak dari rumah sampai ke mersah Bahan-bahan per98
siapan yang dipergunakan dalam upacara ini ialah sama dengan bahan-bahan persiapan pada waktu cukur rambut. Karena upacara ini merupakan kelanjutan dari upacara cukur rambut. Bahan-bahan persiapan tersebut terdiri atas 1 bambu beras, pinang, sirih, jarum, kunyit, kol ( batok beras ), are ( bambu beras ), sisir, cermin, dan keramu" ( kelapa ). Bahan-bahan ini diisi didalam sebuah dulang. Bahan-bahan lain terdiri pula dari jeruk purut, bedak beras, belati dan daun-teguh. Bahan-bahan ini diisi dalam sebuah baskom. Isi bahan dalam baskom untuk ramuan mandi budak, dan isi bahan dari dulang untuk diberikan pada bidan. Semua bahan-bahan persiapan itu merupakan tanggung jawab kedua belah pihak. Apabila upacara turun tanah dilangsungkan pada hari turun mani atau cukur rambut, maka bahan-bahan persiapan ini cukup dipersiapkan untuk turun mani saja. Atau diadakan acara mandi budak dan ibu budak hanya satu kali saja. Dengan demikian persiapan bahan-bahan itu tidak terjadi berantai untuk setiap upacara. Setelah bahan-bahan tersebut siap, maka budak dibawa gendong kesungai untuk dimandikan. Sesampai disungai budak dikasih berdiri diatas ujung daun pisang sambil dipegang oleh bidan. Dan seseorang lain membelah kelapa diatas kepala budak. Pembelahan kelapa ini mempunyai tujuan, agar budak tidak takut pada suara petir. Selesai budak dimandikan, terus dibawa pulang kerumah untuk diadakan acara turun tanah. Orang-orang yang terlibat dalam upacara ini serupa pula dengan upacara turun mani yaitu pihak belah ibu dan pihak belah ayah dari budak. Disamping itu turut pula diundang imam mersah, kecik, tetangga dekat dan beberapa orang yang patut lainnya. Mereka ini membawa apa yang ada kemudahan untuk diberikan kepada budak melalui orang tuanya. Sebelum budak diturun tanahkan terlebih dahulu imam berserta peserta upacara membaca doa untuk selamatan agar budak panjang umur, mudah rezeki, serta beriman dan beragama. Kemudian budak dipangku oleh seorang datu atau munyang dan terus dilekatkan ketan kuning dikedua telinga. Manisan lebah dioles dibibir dengan mengucapkan Bismillah , mudahlah rezeki, panjang umur, taat dan beriman serta berguna bagi agama. Kemudian budak itu dipangku bergantian oleh semua peserta upacara dengan mengucapkan ucapan yang sama, sehingga selesai.
99
Selanjutnya budak itu dibawa turun melalui tangga oleh seseorang, biasanya famili dari ayah atau ibu budak. Orang ini siap dengan pakaian adat dihiasi dengan wangi-wangian agar budak kelak suka pada yang bagus-bagus dan yang wangi-wangi, serta setia kepada adat. Bila budak itu wanita, maka yang menggendong wanita pula, dan bila budak laki-laki, maka yang menggendongnyapun laki-laki pula. Pemilihan seorang famili yang menggendong budak, biasanya tertuju pada seseorang yan diangaap baik budi pekertinya. Hal ini tergambar bila seorang budak nanti, tidak baik budi pekertinya sering diajukan dengan ucapan yang sinis siapa yang peci cap dan menurunkan anak ini. Ucapan ini menunjukkan seakanakan orang yang pecicap dan menurunkan tidak baik budi pekertinya. Budak yang sudah digendong tadi terus diturun tanahkan, dan kemudian terus menuju ke mersah atau langgar dan akhirnya mereka pulang kembali menuju rumah. Sesampainya dirumah budak itu diserahkan pada ibunya. Rombongan yang membawa budak tadi terdiri dari famili pihak ayah dan ibu, laki-laki maupun perempuan. Selanjutnya kepada orang yang menggendong budak tadi diberi uang hadiah sekitar Rp. 5 0 0 , - atau Rp. 1000,- Maka selesailah upacara turun tanah budak. Upacara ini akan dilanjutkan dengan upacara turun tanah budak. Upacara ini akan dilanjutkan dengan upacara hakikah dan makan bersama. 2.2.6. Upacara Hakikah Masyarakat Kute Robel semuanya menganut agama Islam, mereka mengenal pula upacara hakikah sebagaimana masyarakat Islam lainnya. Upacara hakikah ini dilangsungkan pada hari turun tanah budak. Tujuan pelaksanaan upacara ini selain dari tujuan keagamaan, mereka berpendapat bahwa hewan yang disembelihkan itu, akan menjadi hewan tanggapan budak dihari akhirat nanti. Dengan anggapan ini upacara hakikah dikalangan masyarakat Kute Robel amat sering dilakukan, terutama bagi orang yang berkemampuan. Bagi orang-orang yang mempunyai kesanggupan, upacara ini dimeriah dengan sembelihan kerbau atau lembu, (tetapi ternak lembu jarang dipelihara disana ). Bagi orang-orang yang mempunyai ekonomi sedang, cukup dengan menyembelih biasanya hewan jantan. Hewan ini akan menjadi jamuan segenap sedere (famili ) dan 100
undangan lain yang turut memeriahkan upacara. Dan daging hewan yang lebih akan diberikan kepada sedere dekat untuk dibawa pulang. Peserta dalam upacara ini terdiri dari belah pihak ibu, dan belah pihak ayah. Selain itu turut pula diundang imam mersah, kecik, dan beberapa undangan lain yang patut. Pada acara hakikah ini biasanya belah kedua belah pihak tadi semuanya datang memeriahkannya, bila berhalangan untuk datang mereka akan memberitahukan terlebih dahulu. Kalau tidak demikian maka ia akan dikucilkan dalam belahnya. Hewan yang akan disembelihkan itu diserahkan pada kecik dan imam mersah. Kemudian dengan memanggil tetangga-tetangga dekat, hewan itu disembelihkan dan selanjutnya dimasakkan bersama-sama untuk dimakan. Penyembelihan hewan hakikah ini agak berbeda dengan penyembelihan hewan biasa. Sebelum leher hewan dipotong, 4 orang berdiri merentangkan kain putih diatas hewan, kemudian baru dipotong lehernya. Akan tetapi pada saat sekarang hal yang demikian sudah jarang dilakukan. Pada saat penyembelihan hewan biasa. Selesai makan kenduri, imam melanjutkan dengan membaca doa selamatan, supaya upacara hakikah itu diberkahi oleh Tuhan, dan dipanjangkan umur budak, serta menjadi anak yang shalih, taat kepada agama. Maka dengan demikian selesailah upacara hakikah. 2.2.7. Upacara Mandi 44 Upacara mandi empat puluh empat adalah upacara yang dilangsungkan setelah umur budak 44 hari. Kegiatan yang terjadi dalam upacara ini, dimana bidan memandikan kembali budak dan ibu budak seperti halnya pada hari turun mani dahulu. Bahan-bahan yang dipergunakan sama pula dengan bahan-bahan pada upacara turun mani. Begitu juga dengan orang yang mempersiapkannya, dan pelaksanaannya. Selain dari tujuan untuk membersihkan budak dan ibu budak, upacara ini mempunyai tujuan dalam hubungan seksuil antara ibu budak dengan ayah budak. Selama umur bayi 44 hari hubungan seksuil sama sekali dilarang. Larangan ini terdapat dari segi agama maupun dari segi adat. Apalagi selama umur budak 44 hari itu, ibu budak selalu ditemani oleh bidan atau ibunya ditempat tidur, se'dang101
kan suaminya tidur didalam bilik ( kamar ) lain. Setelah umur budak 44 hari pantangan hubungan seksuil antara ibu dan ayah budak menjadi bebas. Orang yang menemani tidur sudah pulang masing-masing ketempatnya. Menurut anggapan mereka, disamping larangan-larangan diatas, bila hubungan seksuil dilangsungkan sebelum bayi berumur 44 hari, maka sangat memungkinkan lahir anak berikutnya yang amat rapat. Pada hari yang ke 44 ini, orang tua dari ibu budak akan memberikan jerih payah bidan sebagai pemberian tahap yang terakhir. Pemberian ini disebut dengan cuci tangan bidan. Bahan-bahan yang diberikan kepada bidan terdiri dari beras, kain sarung dan uang. Tentang jumlahnya tidak mempunyai keturunan tertentu. Jumlah pemberian biasanya lebih besar dari yang sudah-sudah. Setelah selesai upacara ini hubungan antara orang tua budak dengan bidan masih tampak dalam suasana akrab. Hal ini tampak pada saat-saat budak atau ibu budak kurang sehat, mereka selalu dibawa kerumah bidan untuk mendapat pengobatan. 2.3.
Upacara Masa Kanak-Kanak.
Seseorang yang masih dalam masa kanak-kanak, dalam kalangan masyarakat Kute Robel disebut dengan anak. Masa kanak-kanak ini berlangsung sejak umur anak 44 hari, sampai dengan umur 6 atau 7 tahun. Masa umur sejauh ini merupakan masa yang cukup lama untuk mendewasakan seorang anak. Akan tetapi masa umur selama itu sedikit sekali upacara-upacara yang dilakukan oleh masyarakat Kute Robel untuk seseorang anak, bila dibandingkan dengan masa budak. Selama anak berada dalam masa umur diatas, ia akan mengalami dua macam upacara. Upacara-upacara tersebut ialah upacara ulangan ( penyapihan ) dan upacara menjelisen ( sunat rasul ). Dilihat dari segi batas umur pada masa anak-anak ini, maka upacara menjelisen bagi anak laki-laki tidak termasuk dalam batas umur diatas atau batas umur anak-anak. Dengan demikian upacara menjelisen bagi anak laki-laki akan diungkapkan pada bagian berikut tulisan ini. Pada bagian ini ( masa anak-anak ) akan diungkapkan saja menjelisen untuk anak perempuan.
102
2.3.1. Upacara Ulangan Upacara ulangan disebut juga dengan upacara penyapihan. Yaitu saat menghentikan anak menyusui susu ibunya. Dalam upacara ini tidak banyak terlibat orang-orang lain. Biasanya yang turut terlibat ialah anak, ibu, dan kalau perlu seorang bidan untuk memberikan obat yang digosok pada susu ibu. Persiapannya sangat sederhana, yaitu dengan memakai obat yang pahit untuk digosok pada susu ibu. Oleh karena itu acara penyapihan sebenarnya bukan suatu upacara yang dilangsung dengan meriah, akan tetapi merupakan suatu proses yang dilalui oleh seorang anak. Saat diadakan ulangan ini biasanya pada saat umur anak 2 atau 3 tahun. Kadang-kadang saat ulangan ini ditentukan juga oleh kehamilan berikutnya. Bila seorang ibu yang sedang menyusui anaknya, tiba-tiba ia merasa sudah hamil lagi, maka ia dengan segera diadakan ulangan terhadap anaknya, walaupun anak itu belum sampai umur 2 tahun. Tindakan dengan tiba-tiba dari ibu ini harus dilakukan, sebab menurut anggapan yang berkembang dikalangan masyarakat Kute Robel kalau seorang yang sedang hamil terus menyusui anaknya, maka anak itu akan mengalami sakit-sakitan. Pada saat dilakukan ulangan baik karena anak telah cukup umur, maupun karena ibunya sudah hamil lagi, seorang ibu mencari obatobat yang pahit seperti daun kates yang diperas lalu digosok patinya pada pentil susu ibu. Sewaktu anak itu menyusui lagi ia terasa akan pahit, dan lama kelamaan ia akan meninggalkan susu ibu itu. Kalau tindakan ini tidak berhasil, maka ibu akan menyapih anaknya dengan cara bercerita. Ibu selalu memberi bayangan pada anak bahwa seorang anak yang menyusui adalah jelek, jorok, dan sebagainya. Ada juga cara lain yang ditempuh dengan membujuk anak yang sedang menyusui itu supaya ia jangan menyusui lagi. Setelah anak betul-betul sudah lupa pada susu ibunya, maka selesailah acara penyapihan. Susu buatan jarang sekali diberikan kepada anak dikalangan Masyarakat Kute Robel. Hal ini disebabkan pandangan dari segi ekonomis dan pemanfaatan waktu. Dari segi waktu penghidangan susu buatan kepada anak agak lebih lama bila dibandingkan dengan penyuguhan susu ibu sendiri.
103
2.3.2. Upacara Menjelisen Ipak Pada masyarakat Kute Robel disebut untuk anak perempuan dengan ipak dan untuk anak laki-laki dengan win. Dilihat dari segi masa umur, dan bahan-bahan yang dipergunakan dalam upacara menjelisen ( sunat rasul ), terdapat perbedaan antara menjelisen untuk anak perempuan dengan menjelisen untuk anak laki-laki. Maka untuk membedakan nama kedua upacara ini, peneliti memberi istilah dengan menjelisen ipak untuk anak perempuan, dan menjelisen win untuk anak laki-laki, sebenarnya kedua istilah ini lebih dikenal dengan istilah menjelisen saja. Bagi anak perempuan upacara menjelisen dilangsungkan diantara usia 3 sampai dengan 8 bulan, atau setelah tumbuh gigi 4 biji. Jadi masih dalam tahap penyusuan ibu. Sesuai dengan tahap umur anak pada bagian ini, maka peneliti hanya menggambarkan menjelisen ipak saja, sedangkan menjelisen win, akan diungkapkan pada bagian depan dari tulisan ini. Bahan-bahan persiapan yang digunakan untuk menjelisen ipak terdiri dari 1 yard kain putih, uang ala kadar, dan satu piring ketan kuning. Kain putih dan uang sebagai persembahan kepada mudim. disamping untuk memenuhi keperluan adat. orang yang menyunatkan anak ini disebut dengan mudim, biasanya orang yang alim terhadap agama. Ketan kuning tadi dibagi-bagikan kepada anakanak lain. Mudim yang melaksanakan menjelisen ipak adalah seorang perempuan. Seorang anak perempuan yang hendak menjelisen, biasanya dibawa oleh anan bersama-sama ibunya kerumah mudim. Bersamanya turut pula dibawa bahan-bahan persiapan seperti diatas tadi. untuk dipersembahkan kepada mudim. Anan atau ibunya memegang anak itu, dan mudim mereles (memotong) bahagian ujung kelentit pada vagina anak perempuan. Pemotongan ini dilakukan hanya sekedar keluar darah pada ujung kelentit tadi. Alat yang dipakai oleh mudim untuk memotong kelentit tadi ialah sebilah pisau yang tajam. Setelah selesai pemotongan ini, anak, ibu dan anan segera pulang kerumahnya. Maka dengan demikian selesailah upacara untuk menjelisen ipak. Bagi masyarakat Kute Robel masih dikenal satu acara lagi untuk anak perempuan yaitu puruk kemiring ( tindik telinga ). Akan tetapi acara ini dilaksanakan tidak melalui suatu upacara. Pelaksanaan 104
putuk kemiring ini dilakukan pada saat anak berumur 6 bulan. 2.4.
Upacara Masa Menjelang Dewasa.
Masa menjelang dewasa seseorang anak bagi masyarakat Kute Robel, masih disebut dengan masa anak-anak. Dari segi sebutan ini tidak ada perbedaan antara anak-anak yang berumur sejak 44 hari sampai dengan umur 6 atau 7 tahun, dengan anak-anak yang berumur 7 tahun dapat disebut dengan remaja. Dengan demikian pada masa anak-anak berumur 44 hari sampai dengan 6 atau 7 tahun dapat disebut dengan umur anak-anak tahap pertama. Dan umur 7 tahun sapai dengan 14 tahun dapat disebut dengan umur anak-anak tahap kedua. Umur anak-anak tahap kedua ini merupakan masa peralihan antara masa tahap I sampai dengan masa menjelang dewasa (14 tahun ). Seorang anak dalam masa usia ini, ada tiga macam upacara yang dilangsungkan. Upacara-upacara itu adalah upacara serahen ku tengku ( menyerahkan pada tengku ), upacara chatam, dan upacara menjelelisen ( sunat rasul ). 2.4.1. Upacara Serahen Ku Tengku. Upacara serahen ku tengku sering juga disebut dengan upacara serahen ku guru ( menyerahkan pada guru mengaji ). Artinya anak diserahkan pada guru agama untuk diajar menjagi. Masa penyerahan pada tengku ini biasanya dilakukan pada masa umur anak 6 tahun atau 7 tahun. Tindakan penuerahan ini dilakukan oleh orang tua anak. Dalam pengajian mengajar membaca Qur'an, tauhid dan aqidah-aqidah. Bahan-bahan persiapan untuk upacara ini semuanya dipersiapkan oleh orang tua anak. Bahan-bahan ini terdiri dari satu bambu beras, sirih, pinang, bereteh, pulut dan uang dibungkus dengan kain putih. Semua bahan-bahan ini dimasukkan dalam sebuah talam ( tapese ) yang dibungkus dengan kain putih pula. Upacara ini dilangsungkan dirumah tengku pada malam hari. Bagi anak wanita upacara dilangsungkan dirumah tengku wanita, karena yang mengajarnya seorang wanita. Bagi anak laki-laki. Akan tetapi bagi anak laki-laki sering juga pengajian diadakan di mersah, dengan demikian upacara 105
serehen ku tengku berlangsung di mersah pula. Tempat pengajian antara anak laki-laki dengan anak wanita terpisah atau biasanya lain rumah. Tempat-tempat pengajian yang khusus dibuat tersendiri untuk itu belum ada di Kampung Kute Robel. Setelah semua bahan-bahan itu dipersiapkan dirumah anak masing-masing, maka berangkatlah ia bersama dengan orang tuanya menuju rumah tengku atau mersah dimana tempat pengajian itu diadakan. Saat waktu keberangkatan ini biasanya setelah selesai sembahyang magrib, pada hari-hari yang tertentu seperti hari malam Senin, malam Selasa, dan malam Rabu. Pada hari-hari ini merupakan hari yang baik menurut pandangan mereka. Kebaikan ini dihubungkan dengan kesuksesan anak dalam pengajian. Selain dari hari-hari ini dianggap kurang baik, atau anak tidak sukses. Sesampainya anak dan orang tuanya dirumah atau mersah tempat pengajian, orang tua anak langsung menyerahkan anaknya kepada tengku. Pada saat penyerahan ini sering diiringi dengan ucapan-ucapan antara lain "Ini anak kuserahen ku tengku iyejer tengku ilmu, dan kuserahen bulet kutengku, ijeroh koteke ku serahen ku tengku asal ente rayoh ku deret " ( ini anak saya serahkan pada tengku, diajar tengku ilmu (agama), dan saya serahkan pada tengku, asal jangan keluar darah ). Dari ucapan orang tua anak pada seorang tengku, tampak tanggung jawab keagamaan seorang tengku sangat menentukan dalam proses mendewasakan anak. Kepada tengku diberi wewenang semua tindakan terhadap anaknya, asal tidak mengeluarkan darah. Pembagian wewenang ini kepada tengku sangat dominan, kadang-kadang orang tua anak sendiri tidak seberapa memperhatikan kegiatan pengajian anaknya. Bahkan berbulan-bulan orang tuanya tidak pernah mengontrol anaknya itu. Seorang tengku sering tidak memperoleh imbalan dalam melakukan tugasnya itu. Kadang kala muridmurid membawa juga apa yang ada kemudahan. Akan tetapi tidak ditentukan jumlahnya. Setelah selesai tradisi penuerahan seperti diatas, tengku dengan mengucapkan Bismillah mengambil bereteh segenggam dan ketan segenggam langsung menyuap mulut anak. Bereteh dan ketan yang lebih akan dibagi-bagikan kepada semua murid mengaji yang datang. Sedangkan bahan-bahan lain akan dipergunakan untuk tengku. Apabila dalam proses pengajian anak tidak berkembang, 106
-KR-iÄ
atau pindah mengaji ketempat lain, maka proses upacara seperti diatas tidak diulang lagi. Dengan selesainya pembagian ketan untuk dimakan bersama, maka selesailah upacara serahen ku tengku. 2.4.2. Upacara Chatam. Upacara chatam dilakukan pada saat anak tamat Qur'an, baik untuk anak perempuan. Upacara ini bertujuan sebagai meminta berkah pada Tuhan atas keberhasilan anak. Disamping itu juga mempunyai makna sebagai tanda terima kasih kepada tengku atas bimbingannya terhadap anak. Upacara chatam ini berlangsung dirumah orangtua dirumah tengku pada malam harinya. Pelaksanaan dirumah orang tuanya baru dilaksanakan kalau ada nazar dari orang tuanya. Pelaksanaan dirumah orang tuanya ini sudah tentu dilakukan dengan acara makan bersama, dan terlibat kerabat pihak ayah dan pihak ibu. Sedangkan upacara dirumah tengku dilakukan apabila upacara ini dilangsungkan dalam bentuk yang sangat sederhana. Bahan-bahan dalam upacara ini terdiri dari bereteh dan sepiring ketan kuning. Tingkat kemeriahan upacara yang dilangsung dirumah orang tuanya ada juga yang memotong kambing, bila ada mahar. Bereteh dan ketan kuning ditaruh masing-masing dalam sebuah piring tadi, ditaruh inti yang terbuat dari kelapa bergula. Dengan demikian bahan-bahan ini sudah siap untuk dihidangkan. Anak yang bakal dichatam sudah siap pula dengan memakai peci, kain sarung dan baju kemeja bagi anak laki-laki , dan baju kebaya bagi anak perempuan. Kalau acara upacara chatam berlangsung dirumah tengku, orang tuanya ikut mengantar dan turut menyaksikannya. Proses kegaitan upacara selanjutnya dimulai dengan membaca al Qur'an oleh anak yang dimulai dari ayah al fatihah, dan diteruskan lagi dengan beberapa ayat lainnya. Kelangsungan acara ini turut disaksikan oleh teman-temannya, disamping tengku dengan tekun menuimak pembacaan tersebut. Setelah selesai lalu tengku mengambil bereteh untuk disuap kedalam mulut anak. Kemudian diambil pula ketan lalu ditaruh dikedua telinga anak. Bereteh dan ketan yang lebih, dibagi-bagikan kepada kawannya yang sepengajian. Dengan demikian selesailah upacara chatam.
107
^
2.4.3. Upacara Menjelisen Win Seperti telah dilukiskan pada bagian depan dari tulisan ini, bahwa untuk membedakan antara sunat rasul anak perempuan dengan anak laki-laki, maka pada bagian ini akan diungkapkan saja sunat rasul untuk anak laki-laki yang disebut dengan istilah menjelisen win. Upacara menjelisen win adalah upacara yang diadakan untuk mereles (memotong) kulit luar dari ujung zakar anak laki-laki. Menurut anggapan masyarakat Kute Robel pemotongan ini sudah merupakan kewajiban bagi ummat Islam. Bila belum diadakan pemotongan, berarti belum sah seseorang digolongkan kedalam kelompok ummat Islam. Biasanya upacara ini dilangsungkan pada saat anak berumur 7 tahun. Pelaksanaan upacara ini dilakukan dengan cua cara. Cara pertama dirayakan bersama-sama seluruh ahli famili. Cara ini disebut dengan kerja ' atur. Kegiatannya tergambar dalam semboyan "perang berpangkal, kerje bersukut " ( perang ada sebab-musabab, pesta ada famili ). Cara yang kedua dilakukan dengan diam-diam. Cara ini disebut dengan usuhan. Pelaksanaan dilakukan dengan cara diamdiam ini disebabkan oleh orang tua anak yang tidak mempunyai kecukupan untuk melangsungkan upacara. Semua kerabat tidak diberitahukan. Orang tua anak langsung memanggil mudim untuk menjelisen anaknya. Berikut ini akan digambarkan upacara menjelisen win dalam bentuk kerja atur saja. Beberapa hari sebelum diadakan upacara menjelisen, orang tua anak sudah sibuk merundingkan tatacara pelaksanaan dengan sedere (familinya). Perundingan dalam keluarga semacam ini disebut dengan pakat sedere. Hasil pakat sedere akan disampaikan kepada seluruh kuru ( clen kecil ), tetangga berdekatan, imam mersah, kecik, dan beberapa orang lain yang patut. Penyampaian ini merupakan undangan untuk datang pada saat upacara. Rumah yang mengadakan upacara ini sudah dihiasi dengan kain tabir yang memakai ulen-ulen ( ukiran bulan-bulanan ). Tingkat kemeriahaan upacara ini sudah diputuskan dalam paket sedere. Bagi orang yang berkemampuan akan memotong kerbau atau kambing. Dan bagi orang yang berkemampuan, hanya memotong ayam saja. Dahulu anak yang akan mengadakan menjelisen ini pada saat upacara, ia duduk diatas kepala kerbau yang akan 108
dipotong, serta diarak keliling bersama-sama. Pada malamnya diadakan tari-tarian dengan tari didong dan tari guel. Tentang jumlah undangan dalam upacara disesuaikan dengan tingkat kemeriahannya. Kepada para undangan diberikan makan dan minum, setelah itu mereka minta pamit untuk pulang dengan memberikan uang kepada anak yang menjelisen tadi melalui orang tuanya. Ada pula benda biasanya diberikan sebelum jamuan makan dilaksanakan. Upacara ini biasanya dilakukan pada pagi hari sampai dengan malam. Pada saat pagi hari sibuk dengan undangan yang terdiri dari kuru, tetangga, dan beberapa orang yang patut lainnya. Pada waktu malam upacara dimeriahkan oleh anak-anak muda atau kawan sepermainan dari anak yang akan menjelisen tadi. Sebelum anak disunatkan ia dimandikan terlebih dahulu dengan air yang dicampur dengan jeruk purut. Setelah mandi anak terus masuk kedalam sebuah bilik ( kamar ) yang sudah ditunggu oleh mudim didalamnya. Kemudian mudim sambil berzikir-zikir akan mereles ( memotong ) ujung kulit zakar itu. Tindakan ini bertujuan supaya jangan terasa sakit pada anak. Kemudian baru dipotong setelah dipotong mudim memberi obat dengan abu daun nangka dan kemenyan, pada bekas kena potong, lalu dibungkus dengan kain putih. Selama belum sembuh, anak terus memakai kain sarung, tidak boleh memakai celana karena sakit kena zakar bekas dipotong tadi. Dan selama belum sembuh tidak boleh keluar rumah, dengan mentaati pantangan-pantangan. Biasanya yang menjadi pantangan adalah makan berupa buah-buahan, minum terlalu banyak, dan segala jenis ikan yang gatal, serta semua jenis telur. Sembuh dari bekas kena potong ini biasanya sampai 15 hari. Maka dengan demikian selesailah upacara berjelisen ini.
ooOoo
109
BAB
IV
PENUTUP Penelitian tentang upacara tradisional daerah, Daerah Istimewa Aceh, dilakukan pada tiga buah kampung. Masing-masing kampung mempunyai tipe masyarakat tersendiri. Kampung Lhong Cut termasuk tipe masyarakat yang sudah maju, pembinaan norma-norma dan nilai-nilai kehidupan terjadi melalui jalur pendidikan, baik secara formal maupun non formal. Melalui jalur pendidikan formal, para warga masyarakat dapat mempersiapkan diri sebagai warga masyarakat yang menguasai ketrampilan hidup sehari-hari serta memiliki sikap dewasa. Diluar lembaga-lembaga pendidikan formal masyarakat Lhong Cut dapat pula membina norma-norma dan nilai-nilai sosial dengan jalan proses sosialisasi melalui pergaulan dan menghayati pergaulan bersama warga masyarakat lainnya. Sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kehidupan sosial budayanya. Urgensi pembinaan norma-norma dan nilai-nilai sosial melalui upacara-upacara tradisional sudah amat menipis. Ini bukan berarti mereka tidak melakukan lagi upacara-upacara tradisional. Upacaraupacara tradisional mereka lakukan karena telah turun-temurun mereka terima. Kepercayaan kepada kekuatan super natural sudah semakin berkurang. Maka pergeseran nilai-nilai budayapun semakin terjadi. Kampuang Pinang termasuk tipe masyarakat yang sedang mengalami peralihan antara masyarakat yang belum maju kepada masyarakat yang maju. Sebagai tipe peralihan, maka jalur pembinaan norma-norma dan nilai-nilai sosial dapat terjadi melalui jalur pendidikan formal, non formal, dan melalui upacara-upacara tradisional. Ketiga jalur pembinaan ini, masih sama-sama mempunyai peranan yang dominan. Upacara-upacara tradisional masih berfungsi sebagai pengokoh norma-norma dan nilai-nilai budaya yang telah mereka terima turun-temurun. Kampung Kute Robel, masyarakatnya mempunyai tipe yang masih ketinggalan dari kemajuan, maka pembinaan norma-norma dan nilai-nilai sosial dapat terjadi melalui pendidikan non formal, dan melalui upacara-upacara tradisional. Ini bukan berarti tidak 110
terjadi pembinaan melalui pendidikan formal. Melalui pendidikan non formal dapat terbina dengan jalan pergaulan antara sesama mereka sendiri. Melalui upacara-upacara tradisional mereka dapat menampilkan norma-norma dan nilai-nilai budaya dengan peragaan secara simbolis sebagai bagian yang integral dan komunikatif dalam kehidupan kulturalnya. Pada masyarakat ini tampak dominasi pembinaan norma-norma dan nilai-nilai melalui upacara tradisional. Sejalan dengan pergeseran nilai-nilai budaya yang dialami oleh masyarakat Lhong Cut, timbul pula norma-norma dan nilai-nilai baru sebagai pengatur tingkah laku mereka. Pembudayaan norma-norma dan nilai-nilai baru itu, semula terdapat pada golongan terpelajar, seperti pada upacara peuramin ( bawa piknik ) wanita yang sedang hamil. Kemudian terus meluas dalam masyarakat, dan akhirnya diakui sebagai tingkah laku yang telah membudaya dalam masyarakat. Ketiga kelompok masyarakat dalam penelitian ini mengenal beberapa fase perkembangan anak seperti fase dalam kandungan, fase kelahiran dan bayi, fase anak-anak, fase menjelang dewasa dan seterusnya. Tiap-tiap fase ini mereka menyelenggarakan berbagai macam upacara. Pengalihan dari suatu fase kepada fase yang lain, selalu ditandai oleh perkembangan fisik anak dan dilangsungkan upacara. Sesungguhpun mereka melakukan upacara pada setiap fase perkembangan anak, tidak berarti semua upacara mempunyai bentuk, sifat dan skala yang sama. Ini tergantung kepada status sosial ekonomi, dan status anak. Upacara untuk anak pertama berbeda dengan upacara untuk anak kedua dan seterusnya. Perbedaan ini terletak pada tingkat kemeriahan upacara. Ketiga kelompok masyarakat ini tidak membedakan upacara antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Perbedaan hanya tampak pada upacara sunat anak perempuan dengan sunat anak laki-laki. Sunat untuk anak perempuan pada ketiga kelompok masyarakat ini, seakan-akan dirahasiakan. Sebab menyangkut tentang nilai-nilai moral, seakan-akan malu kalau diketahui oleh orang lain, walaupun setiap wanita mengalami masa sunat. Dilihat dari segi keagamaan dan adat-istiadat, ketiga kelompok masyarakat ini, masih mencampur-baurkan antara unsur syarak 111
dalam hukum agama dengan unsur adat-istiadat. Kedua unsur ini masih tampak dalam setiap upacara, yang lahir melalui lambanglambang, ucapan-ucapan dan tingkah laku-tingkah laku mereka. Dalam setiap upacara selalu ada nasi ketan kuning, yang menyangkut berbagai macam makna, sesuai dengan maksud dan tujuan upacara. Sebagai fakta dasar yang terdapat pada nasi ketan kuning ini, merupakan lambang kemuliaan, dan pembuka acara dalam upacara. Kalau nasi ketan kuning ini belum disertai, maka acaraacara selanjutnya akan tertunda.
-ooOoo-
112
DAFTAR INDEKS Awee sungsang 12 Ayah sinyak 28 Aneuk phon 28 Agam bulo 32 Azan atau iqamat 36,64 Adoe 37,39 Air ludah sirih 37 Ayah nek 38 Aneuk manyak 40 Aneuk cut-cut 49 Aneuk muda 52 Aneuk dara 52 Anak jamu 19 Aneuk jamee 19 Anak jolong 59 Anak gadang 77 Anak paja 77 Angkap 85 Ajimat 89 Awan 91 Anan 91 Ango 85 Buleun raja timoh 11 Ba boh kayee 28 Ba bu 33 Bisan 16,29 Burong 31 Benang 7 Warna 31,36 Benang 5 Warna 36 Bu kulah 33 Bahan neume 33 Boh nan 36,40,45 Balek nan 46
113
Bilek 57 Bidien 17,20 Bahasa jamee 19 Buruang tujuah 20 Bacukua 66 Basunat padisie 75 Basanding 79 Belah 23 Bukit 25, 5 Batak 25, Balum bidi 27 Bilokal-86 Budak 90 Cukook 36,40,41 Capok 38.43 Chatam 54 Cekok 21 Dara baro 28 Durian 29 Dirajah 31 Dusanak 15,61 Datuk 16 Deyah 21 Datu 91 Didong 109 Gampong 5,8 Geupulang melintei 34 Gadang paruit 59 Hukom 10 Hakikah 40,45 Hafto sako 15 Induk padi 12 Ija tumpe 36
Ikatayon 40,44 Inong duk dapu 42 Jurai 36 Jumalang 21 Kuala krueng 3 Kampuang 5 Kampung 5 Kaoy 12 Kawom 28 Kateng 30 Känot 39 Kohboh 50,55 Karek pusek 64, Khatam 78 Kecik 22 Kuta 22 Kawe tempat 24 Kerajaan Linge 24 Kusso - kini 85 Kunjungan 87 Linto baro 28 Lethat peu hawa 18 Lhahmik 40,50 Luah biang 55 Lod -25 Mukim 8 Meulasah 10 Mak tuan 28 Melintei 28 Memukah 31 Meurajah 31,58 Me bu 33 Manou peut ploh peut 36,42 Marampot 63 Madeung 42 Mudiem 51,56,81 Meusunat 55 Mak tuwo 16 Mak lok 16
Mak nek 16,74 Manantu 16 Masjid 21 Manasah 21 Manganduang 59 Mananam kakak 64 Mancukua rambuit 67 Marhaban 70 Mak tek 74 Maanta mangaji 75 Mandi bapucuk 80 Mersah 24,94 Mati syahid 27 Menjelisen 104 Menjelisen win 108 Mereles 108 Peuleuh kaoy 3 Piet jeut 13 Peuramin 28 Pajoh nicah 29 Peunulang 33 Peutrondapu 36,40,42 Peugilho tanoh 36,46 Peutron aneuk 40,46 Pamulang 61 Peu ci cap 36 Peusijuk ro darah 43 Peunyaket drou 44 Peusijuk 54 Peutamat beut 54 Peusunat aneuk agam 55 Pulang bout 56 Peusijuk aneuk 56 Paasing pariuk 15 Panggaleh 17 Panakyen 68 Putuk kemiring 104 Rawana 10 Rantee bui 12 114
Teungku 52 Teumentuk 56 Tirée 57 Tasapo 20 Tapuang tawa 68 Turun ka aie 69 Tembuni 90 Tape 91 Turun mani 93 Ureung Aceh 9 Ureung keuramat 12 Uxorilokal 28,14,85 Ulee reunyeun 32 Ureung putoh 56 Ureung kaya 56 Uning, upo 16 Urang barado 17,59 Urang kayo 17,59 Urang bakacukupan 17 Ula mangeong 21 Urang lingka 61 Virilokal 85 Wan perelen 85
Rambat 36 Rah jarou 44 Rumah tanggo 14 Seuramoe Mekkah 10 Syiah Kuala 12 Seuramoe keue 29,30,34 Seuramoe likot 29,34 Sinangkai 30 Seumangat 31 Sirih setapak 33 Sabong nyawong 33 Seulusoh 37 Seurayueng 39 Seung 49,57 Sayiid 16 Sambilu 65 Sistem exogam 23 Serule 25 Serahen 85 Sedere 100 Serahen ku tengku 105.106 Toung seumangat 31 Tanom adoe 36 Teumen 28 Teungku agam 40,47 Teungku inong 40,47 Tulak bala 14 Taga laut 11 Tangkai beuneung 28
-00O00
115
CATATAN KAKI
1. IDKD, Pola Penelitian Kerangka Laporan dan Petunjuk Pelaksanaan, 1981 / 1982. 2. H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Pustaka Iskandar, Muda Medan, 1961. 3. Brian Harrison, South East Asia, A Short History, Mac Millan, London, 1957 4. Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, PT.Dian Rakyat, Jakarta, 1972. 5. Koentjaraningrat, Ibid. 6. K.F.H. Van Langen, Atjeh's Westkust, Ej Brill, Leiden, 1888 7. M. Isa Sulaiman, Adat dan Upacara Perkawinan di Daerah Adatistiadat Aneuk Jamee, PDIA, Banda Aceh, 1978 8. T. A. Hasan Husin, Sistem Gotong-royong Dalam Masyarakat Gayo di Aceh Tengah, PDIA, Banda Aceh, 1980. 9. Chalidjah Hasan, Kelahiran dan Pengasuhan Anak di Pedesaan Aceh Besar, Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh, Alfian (Ed), LP3ES, Jakarta, 1977 10. Chalidjah Hasan, Ibid. H . H . Th. Fisches, Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia, Pembangunan, Jakarta, 1954 12. Chalidjah Hasan, Opcip, 1977 13. Subagyo Purwodirdjo, Peranan Dukun Bayi Dalam Program Keluarga Berencana, BKKBN, Dep. Kes. R.I., Perkumpulan KB. Indonesia, Fak. Ilmu-ilmu Sosial, dan Fak. Kesehatan Masyarakat Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, 1972.
ooOoo 116
DAFTAR BACAAN Benedict, Ruth, Pola-Pola Kebudayaan, Pustaka Rakyat Jakarta, 1962 Chalijah Hasan, Kelahiran dan Pengasuhan Anak Di Pedesaan Aceh Besar, Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh, Alfian (ed), LP3ES, Jakarta, 1977 Harrison, Brian, South East Asia, A Short History, Mac Millian, London, 1957 Hasan Husin, T.A., Sistem Gotong-Royong Dalam Masyarakat Gayo Di Aceh Tengah, PDIA, Banda Aceh, 1980 Iskandar, Dr. Teuku, De Hikayat Atjeh, S. Graven Hage, Martinus Nijhoff, 1958 Isa Sulaiman. M, Adat dan Upacara Perkawinan di Daerah Adatistiadat Aneuk Jamee, PDIA, Banda Aceh, 1978 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dan Rakyat, Jakarta 1974. Langen, K.F.H., Atjeh's Westkust, E. J. Brill, Leiden, 1988 Muhammad Husin, Adat Atjeh, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1970 Muhammad Said, Atjeh Sepanjang Abad, Pengarang sendiri, Medan, 1961 Purwodirdjo, Subagyo, Peranan Dukun Bayi Dalam Program Keluarga Berencana, BKKBN, Dep.Kes. RI, Perkumpulan KB. Indonesia, Fak. Ilmu-ilmu Sosial dan Fak. Kesehatan Masyarakat Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, 1972 Siegel, James T, The Rop of God, University of California Press, Berkeley and Los Angeles, 1969 Zainuddin, H.M., Tarich Atjeh dan Nusantara, Iskandar Muda, Medan, 1961
ooOoo 117
Lampiran I DAFTAR INFORMAN Suku Bangsa Aœh, Gampong Lhong Cut Ansari Abbas
Lahir di Kecamatan Darul Immarah, umur 32 tahun, pekerjaan Penerangan pendidikan SMP.
Makda
Lahir di desa Lhong Cut, umur 50 tahun, pekerjaan bidien, pendidikan tidak ada.
Muchtar Hasan
Lahir di desa Lhong Cut, umur 45 tahun, pekerjaan Kepala Kampung Lhong Cut, Pendidikan SD.
Nyak Wa Zainabon
Lahir di desa Lhong Cut, umur 58 tahun, Pekerjaan guru mengaji, pendidikan Pesantren.
Nyak Mu Putri
Lahir di desa Lhong Raya, umur 54 tahun, pekerjaan juru mandi mayat pendidikan tidak ada.
Teuku Umar
Lahir di Kecamatan Darul Immarah, umur 42 tahun, pekerjaan Camat, pendidikan SMA.
Tengku Gam Syarbani
Lahir di desa Lhong Cut, umur 60 tahun, pekerjaan bekas Kepala desa Lhong Cut, pendidikan Pesantren.
II. Suku Bangsa Aneuk Jamee, Kampuang Pinang Cut Gadi
Lahir Kampuang Pinang, umur 70 tahun, pekerjaan pemuka masyarakat, pendidikan Vervolkschol.
Muhammad Thaib
Lahir Kampuang Pinang, umur 65 tahun, pekerjaan Kepala desa Kampuang Pinang, Pendidikan Vervolkschol.
118
Sayid Ali Hasyem
Syarifah Ami Hasyem
Lahir Kampuang Pinang, Umur 50 tahun, pekerjaan Guru, guru mengaji, pendidikan PGA 4 tahun. Lahir Kampuang Pinang, umur 60 tahun, pekerjaan pensiunan guru MIN, pendidikan Sekolah Agama.
III. Suku Bangsa Gay o, Kampung Kute Robel. Adji
A. Manaf
Haji Tamat
Inan Segah
Lakat Aman Darimah Teungku Ashalluddin
Lahir di desa Isaq, umur 50 tahun, pekerjaan Kepala SMP, pendidikan SGB. Lahir di Kecamatan Isaq, umur 51 tahun, pekerjaan Kepala SD, pendidikan SGB. Lahir Kute Robel, umur 50 tahun pekerjaan peternak, pendidikan tingkat SD, Pesantren. Lahir Kute Robel, umur 80 tahun Pekerjaan bidan kampung, pendidikan tidak ada. Lahir Kute Robel, umur 35 tahun pekerjaan tani, pendidikan tingkat SD. Lahir di Isaq, Umur 67 tahun, pekerjaan peternak, pendidikan Pesantren.
-ooOoo
119
Lampiran : II PEDOMAN WAWANCARA
I.
Masa Kehamilan 1. Apa konsepsi masyarakat selama masa hamil ?
bersangkutan
tentang fase-fase
2. Apa pantangan bagi ibu/bapak dari anak yang sedang berada dalam kandungan ? 3. Berapa kali diadakan upacara selama masa hamil ? Kapan ? Dan apa nama masing-masing upacara ? 4. Apa tujuan, maksud dan makna dari upacara-upacara itu ? 5. Kapan dan dimana dilangsungkan upacara itu ? 6. Siapa saja yang terlibat dalam upacara itu ? Dan siapa yang memimpinnya ? 7. Bagaimana persiapan penyelenggaraan upacara itu ? 8. Bagaimana proses jalannya upacara itu ? 9. Benda-Benda atau lambang-lambang apa yang dipergunakan dalam upacara itu ? 10. Apakah ada perbedaan antara kehamilan anak yang pertama dan kehamilan anak yang kesekian kalinya didalam pelaksanaan upacara ? 11. Apakah ada perbedaan pelaksanaan upacara diantara para warga masyarakat yang berbeda derjat sosialnya ? II. Masa Kelahiran 1. Apa pantangan atau anjuran pada sepasang suami isteri yang melahirkan anak ? 2. Berapa kali diadakan upacara sejak bayi lahir hingga berumur sekitar 40 hari ? kapan ? Dan apa nama masing-masing upacara itu ? 3. Apa tujuan maksud dan makna dari upacara-upacara itu ? 4. Kapan dan dimana dilangsungkan upacara itu ? 120
5. Siapa saja yang terlihat dalam upacara itu ? Dan siapa yang memimpinnya ? 6. Bagaiama persiapan penyelenggaraan itu ? 7. Bagaimana proses jalannya upacara itu ? 8. Benda-benda atau lambang-lambang apa saja yang dipergunakan dalam upacara itu ? 9. Apakah ada perbedaan antara upacara pada kelahiran anak pertama dan anak kesekian kalinya ? 10. Apakah ada perbedaan upacara antara anak perempuan dengan anak lelaki ataupun anak tunggal ? 11. Apakah ada perbedaan pelaksanaan upacara antara anak para warga yang berbeda derjat sosialnya ? 12. Bagaimana status sosial sepasang suami isteri yang sudah memperoleh anak ? baik dengan kerabat maupun dengan warga kampungnya ? III. Masa Anak - anak 1. Apa konsepsi masyarakat bersangkutan dengan fase-fase perkembangan anak dari masa bayi hingga berusia sekitar 18 tahun ? 2. Upacara apa saja yang diselenggarakan terhadap anak tatkala terjadi perubahan dari fase ke fase yang lain ? 3. Apa tujuan, maksud dan makna dari setiap upacara itu ? 4. Kapan dan dimana diselenggarakan upacara itu ? 5. Siapa saja yang terlibat dalam upacara itu ? Dan pemimpinnya ? 6. Bagaimana persiapan proses penyelenggaraan upacara itu ? 7. Bagaimana proses dan jalannya upacara itu ? 8. Benda-benda dan lambag-lambang apa saja yang dipergunakan dalam upacara itu ? 9. Apakah ada perbedaan upacara yang dilakukan anak pertama, tunggal, atau anak kesekian kalinya ? 10. Bagaimana perbedaan upacara terhadap anak perempuan dengan anak lelaki ? 121
11. Apakah ada perbedaan upacara antara para warga yang berbeda derjad sosialnya ? 12. Apa ada pantangan selama pelaksanaan upacara ? 13. Bagaimana status anak, dan orang tua anak bersangkutan dalam kaitan dengan kerabat dan warga kampungnya ? IV. Masa Menjelang Dewasa 1. Apa konsepsi masyarakat tentang fase menjelang dewasa bagi anak lelaki maupun anak perempuan ? 2. Apa pantangan bagi anak yang mengalami masa dewasa ? 3. Apa upacara yang dilaksanakan terhadap anak yang menjelang dewasa ? 4. Apa tujuan, maksud dan makna upacara itu ? 5. Kapan dan dimana diselenggarakan upacara itu ? 6. Siapa saja terlibat dalam upacara itu ? 7. Bagaimana persiapan penyelenggaraan upacara itu ? 8. Bagaimana proses jalannya upacara itu ? 9. Benda-benda dan lambang-lambang apa saja yang dipergunakan dalam upacara itu ? 10. Apakah ada perbedaan upacara antara anak pertama, tunggal dengan anak kesekian kalinya ? 11. Apakah ada perbedaan upacara terhadap anak lelaki dengan anak perempuan ? 12. Apakah ada perbedaan pelaksanaan upacara antara para warga yang berbeda derjad sosialnya ? 13. Bagaimana status sosial anak tersebut dengan kerabat dan warga kampungnya ?
ooOoo
122
DAERAH ISTIMEWA ACEH
Sk/U<4
I : 2.30O.O0O
I
CZ/VÓ
y
#?}r