Gunawan, O.S.: Mikroba antagonis untuk pengendalian penyakit antraknos pada ... J. Hort. 16(2):151-155, 2006
Mikroba Antagonis untuk Pengendalian Penyakit Antraknos pada Cabai Merah Gunawan, O.S.
Balai Penelitian Tanaman Sayuran Jl. Tangkuban Parahu No 517, Lembang, Bandung 40391 Naskah diterima tanggal 25 April 2005 dan disetujui untuk diterbitkan tanggal 21 Pebruari 2006 ABSTRAK. Penelitian ini bertujuan mengetahui keampuhan formulasi biopestisida mikroba antagonis Pseudomonas fluorescens PfMBO 001 50 WP dan Bacillus subtilis BSBE 001 50 WP terhadap penyakit antraknos pada tanaman cabai merah. Penelitian dilakukan di kebun percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang dari bulan Juni 2003-Januari 2004, menggunakan rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan dan 8 perlakuan, yaitu PfMBO 001 50 WP 0,7 g/l, 0,35 g/l, 0,175 g/1, BSBE 001 50 WP 0,7 g/l, 0,35 g/l, 0,175 g/l, fungisida standar Bion 1/48 WP 2,0 g/l dan air sebagai kontrol. Interval waktu aplikasi 7 hari, dilakukan saat tanaman mulai berbuah (>50 hari setelah tanam) selama 4 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biopestisida PfMBO 001 50 WP dan BSBE 00150 WP tidak dapat menekan intensitas serangan penyakit antraknos pada buah cabai, setara dengan fungisida standar Bion-M 1/48 WP. Kedua jenis biopestisida tersebut mampu menghasilkan persentase bobot dan jumlah buah sehat yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan fungisida standar Bion-M 1/48 WP. Kata kunci: Colletrotrichum gloeosporioides; Capsicum annuum; Pengendalian ABSTRACT. Gunawan, O.S. 2006. The use of antagonistic microbes as biopesticides in controlling anthracnose disease on red pepper. The objective of this experiment was to determine the effect of biopesticides formulations on the growth and yield of pepper. The research was conducted in Indonesian Vegetable Research Institute in Lembang from June 2003 to January 2004, using a randomized block design. Each treatment was replicated 3 times. Eight treatments formulation were PfMBO 001 50 WP 0,7 g/l; 0,35 g/l; 0,175 g/l; BSBE 001 50 WP 0,7 g/l; 0,35 g/l; 0,175 g/l; standard fungicide Bion-M 1/48 WP 2 g /l and water as control (untreated). Biopesticides were applied at 7 days intervals, starting from fruit setting (>50 days after planting) for 4 months. Results of this experiment showed that the use of PfMBO 001 50WP and BSBE 001 50WP were not significantly suppresed antracnose disease on red pepper fruits and gave the same effect as Bion-M 1/48 WP fungicide. The yield obtained by using those biopesticides were not significantly different with Bion-M 1/48 WP fungicide treatment. Keywords: Colletrotrichum gloeoporioides; Capsicum annuum; Biopesticide; Control measure.
Colletrotrichum gloeosporioides dikenal sebagai penyakit antraknos pada buah cabai yang sangat
merugikan, karena buah yang terserang tidak dapat dipasarkan akibat ada bercak dan busuk. Kehilangan hasil buah cabai karena serangan antraknos mencapai 100% bila pengendaliannya kurang tepat. Biasanya kerusakan tinggi oleh serangan antraknos ini adalah terjadi pada musim hujan. (Suryaningsih dan Suhardi 1993), karena tanaman cabai tidak menghendaki curah hujan yang tinggi atau iklim basah. Pada keadaan tersebut tanaman cabai mudah terserang cendawan patogen. Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan cabai adalah 600–1.250 mm per tahun (Asandhi dan Suryadi 1984). Begitu juga hasil penelitian Kusandriani dan Sumarna (1993) yang mendapatkan bahwa kelembaban tanah untuk petumbuhaan cabai harus dipertahankan sekitar 60–89%. Hasil penelitian Sumarna dan
Kusandriani (1992) menunjukkan bahwa tanaman cabai membutuhkan air yang berbeda selama masa pertumbuhan vegetatif dan pertumbuhan generatif yaitu 200 ml tiap 2 hari selama masa pertumbuhan vegetatif dan 400 ml tiap 2 hari pada fase pertumbuhan generatif. Pada budidaya cabai dengan energi tambahan seperti pupuk dan masukan produksi lainnya secara berimbang sehingga tidak mengubah relung (niche) biologi, yang mengakibatkan patogen lebih berkembang secara dominan (Suhardi dan Suryaningsih 1990, Suryaningsih et al. 1996). Penggunaan pupuk anorganik yang berkadar tinggi (Urea, ZA, dan KCl) akan merusak tanaman bila diaplikasikan dekat akar tanaman yang berakibat akar tanaman menjadi lemah dan mudah terserang patogen (Hilman dan Suwandi 1992, Nurtika dan Hilman
151
J. Hort. Vol. 16 No. 2, 2006 1991, Nurtika dan Suwandi 1992). Penggunaan pupuk cair, waktu tanam yang tepat, pemulsaan, dan pengendalian OPT yang benar akan meningkatkan produktivitas cabai (Asandhi dan Suryadi 1984, Hilman dan Suwandi 1992, Sumarna dan Kusandriani 1992, Suhardi dan Suryaningsih 1990). Pengendalian penyakit antraknos pada cabai merah sampai saat ini menggunakan campuran fungisida sintetis dengan dosis yang tinggi dan interval penyemprotan yang relatif pendek (3-4 kali seminggu) sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan (Duriat 1994). Sehingga diperlukan perlindungan bagi konsumen cabai preferensi rumah tangga dan industri bentuk cabai awetan (kering dan bubuk) yang terus meningkat sepanjang tahun (Siswoputranto 1973; Soetiarso dan Majawisastra 1994; Soetiarso 1994). Pada saat ini Balitsa telah menemukan jenis bakteri antagonistik yang mampu mengendalikan bakteri dan cendawan patogen pada tanaman sayuran, yaitu bakteri Bacillus subtilis BSBE 001 50 WP dan Pseudomonas fluorescens PfMBO 001 50 WP dengan konsentrasi formulasi masing-masing 0,7 g/l yang mampu mengendalikan cendawan C. capsici ataupun C. gloeosporioides dan setara dengan fungisida sintetis Bion M 1/48 WP dengan dosis 2 g/l. Juga mampu mengurangi intensitas serangan penyakit antraknos pada cabai di bawah 3% (Gunawan 2005). Hasil penelitian kemangkusan B. subtilis terhadap penyakit antraknos memberikan harapan sebagai pengganti fungisida sintetik (Suryaningsih et al. 2003b). Penelitian ini bertujuan untuk menguji keefektifan dari mikroba antagonis PfMBO 001 50 WP dan BSBE 001 50 WP di lapangan. Diharapkan kedua mikroba tersebut sebagai biopestisida mampu mempertahankan keefektifannya yang setara dengan fungisida sintetis standar Bion M 1/48 WP.
Kiraly (1970 dalam Gunawan 2005). Media multiplikasi bakteri menggunakan Kings B, PDA dan NYDB. Benih cabai besar yang digunakan varietas Jetset (impor). Pupuk kandang domba (20 t/ha ), pupuk buatan NPK (15:15:15) dosis 1 t/ha, mulsa plastik hitam perak, insektisida serta bahan penolong ajir dan rafia. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 8 perlakuan diulang 3 kali. Perlakuan yang dicobakan adalah formulasi PfMBO 001 50 WP konsentrasi 0,7 g/l; 0,35 g/l; 0,175 g/l; formulasi BSBE 001 50 WP 0,7 g/l; 0,35 g/l; 0,175 g/l; fungisida standar Bion M 1/48 WP 2 g/l sebagai pembanding dan air sebagai kontrol.
BAHAN DAN METODE
a = Jumlah buah yang terserang atau produksi buah sehat
Penelitian dilakukan di kebun Balai Penelitian Tanaman Sayuran pada bulan Juni 2003 sampai bulan Januari 2004, menggunakan Biopestisida P. fluorescens PFMBO 001 50 WP dan B. subtilis BSBE 001 50 WP dengan kepadatan populasi isolat masing-masing adalah 3x1012 cfu/ml (metode 152
Masing-masing perlakuan menggunakan 100 tanaman cabai dengan jarak tanam 50x60 cm ditanam berpasangan (double row), dan jarak antarguludan bedengan 100 cm. Pupuk kandang dan buatan NPK keduanya diaplikasikan bersama-sama sebelum tanam. Sebelum ditutup plastik hitam perak, bedengan disiram air sampai meresap ke dalam tanah. Warna perak mulsa plastik diletakkan pada bagian luar guludan. Biopestisida diaplikasikan pertama kali sejak tanaman mulai berbuah (>50 hari), dengan interval waktu aplikasi 7 hari selama 4 bulan di lapangan. Pengamatan dilakukan terhadap 10 tanaman contoh per petak yang ditentukan secara sistematik bentuk U. Pengamatan dimulai sejak umur 4 minggu di lapangan dan diulang seminggu sekali, terhadap persentase jumlah buah sakit, sehat, dan bobot buah cabai yang sehat. Pengamatan terhadap persentase buah cabai yang terserang antraknos atau yang sehat menggunakan rumus
Keterangan: a = P=P Persentase buah sehat atau buah sakit bera + b x 100% dasarkan:
b = Jumlah buah yang sehat atau produksi buah sehat. Pengamatan terhadap kelainan fisik akibat perlakuan biopestisida yang dicobakan dilakukan dengan dilihat secara visual terhadap petumbuhan
Gunawan, O.S.: Mikroba antagonis untuk pengendalian penyakit antraknos pada ... tanaman (tinggi tanaman, luas kanopi, dan warna daun) dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman dengan perlakuan kontrol (air saja). Data dianalisis setelah seluruh hasil panen disatukan dan uji pembeda menggunakan DMRT 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase jumlah buah sakit Hasil analisis statistik perlakuan PfMBO 001 50 WP dan BSBE 001 50 WP dengan konsentrasi 0,7 g/ l menghasilkan jumlah buah sakit lebih Tabel 1. Jumlah buah cabai sakit setelah diberi perlakuan (Number of infected pepper fruits after treated)
rendah dan tidak berbeda nyata yaitu 42,70 dan 43,85%, tetapi berbeda nyata bila dibandingkan dengan kontrol (81,30%). Hal ini karena dalam perlakuan kontrol hanya menggunakan air saja sehingga tidak ada pertahanan tanaman terhadap penyakit antraknos. Namun demikian kedua perlakuan tersebut di atas masih tinggi jumlah buah cabai yang sakit bila dibandingkan dengan fungisida standar Bion M 1/48 WP (27,20%). Perlakuan biopestisida PfMBO 001 50 WP dan BSBE 001 50 WP lebih efektif bila dibandingkan dengan kontrol tetapi kurang seefektif bila dibandingkan dengan fungisida Bion M 1/48 WP. Hal ini karena kandungan biopestisidanya kurang cukup untuk mengendalikan penyakit antraknos, bila dibandingkan dengan fungisida Bion M 1/48 WP dengan dosis 2 g/l. Sedangkan perlakuan PfMBO 001 50 WP dan BSBE 001 50
WP dengan konsentrasi 0,35 g/l dan 0,175 g/l menunjukkan persentase jumlah buah cabai yang terserang cukup tinggi dan tidak berbeda nyata berkisar antara 56,10-67,54% dan 67,40-75,87%, tetapi kedua biopestisida konsentrasi 0,35 g/l dan 0,175 g/l berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan fungisida Bion M 1/48 WP (27,20%) dan dengan kontrol, yaitu 81,30%. Hal ini karena pada konsentrasi tersebut, kemungkinan besar populasi mikroba antagonisnya kurang optimum kandungan biopestisidanya (kurang kandungan zat antibiosisnya), seperti di antaranya kandungan Phenazine-1-carbokxylate di samping siderofor berupa pyoverdin, sehingga kurang efektif dalam mengendalikan penyakit antraknos pada buah cabai dibandingkan Bion M 1/48 WP dosis 2g/l. Sesuai pendapat Mulya (1997) bahwa jumlah populasi mikroba antagonis dalam media tumbuh sangat menentukan keefektifan bakteri, dalam menekan patogen. Bakteri antagonis P. fluorescens dan B. subtilis penghasil zat antibiosis maupun siderofor yang mampu menghambat jamur patogen melalui kompetisi terhadap unsur-unsur besi (Fe), karbon (C) dan mampu memproduksi antibiotik dan merangsang akumulasi fitoaleksin sehingga tanaman menjadi lebih resisten (Defago 1990 dalam Mulya 1997). Antibiosis yang dihasilkan oleh P. fluorescens yang menghambat jamur patogen di antaranya adalah Phenazine-1-carbokxylate di samping siderofor berupa pyoverdin. Senyawa-senyawa tersebut mampu mengkhelat unsur Fe menjadi bentuk senyawa yang kompleks sehingga patogen tidak dapat memanfaatkan Fe untuk perkembangannya karena Fe terbatas dalam lingkungannya. Dari hasil penelitian Djatnika (1998), P.fluorescens merupakan agen antagonistik yang mampu menekan cendawan Fusarium oxysporum pada tanaman gladiol. Begitu juga B. subtilis menghasilkan antibiosis berupa subtilin, bacilin subtenolin dan bacillomycin yang potensial menekan jamur patogen ( Breed et al. 1957 dalam Djatnika 1998). Hasil analisis statistik persentase bobot buah sehat pada perlakuan biopestisida P. fluorescens PfMBO 001 50 WP dan B. subtilis BSBE 001 50
153
J. Hort. Vol. 16 No. 2, 2006 Tabel 2. Pengaruh aplikasi mikroba antagonis terhadap persentase bobot dan jumlah buah cabai yang sehat (Effect of antagonistic microbes to persentage of wieght and number of healthy peppers)
WP pada konsentrasi 0,7 g/l tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan fungisida Bion 1/48 WP standar, yaitu masing-masing sebesar 63,70; 54,51; dan 63,37 dan menunjukkan persentase paling tinggi dari perlakuan konsentrasi lainnya. Perlakuan konsentrasi BSBE 001 50WP 0,35 g/l menunjukkan persentase bobot buah rendah dan tidak berbeda nyata dengan kontrol yaitu 39,00 dan 20,65%. Juga terhadap jumlah buah sehat, perlakuan PfM BO 001 50 WP 0,7g/l tidak berbeda nyata dengan BSBE 001 50WP 0,7g/l dan setara dengan fungisida standar Bion 1/47 WP pada panen akhir, yaitu masing- masing 56,79, 56,14 dan 63,37%. Data ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan PfMBO 001 50 WP konsentrasi formulasi 0,35 g/l, 0,175 g/l, ataupun BSBE 001 50 WP 0,35 g/l dan 0,175 g/l yaitu masing masing sebesar 43,86, 34,83, 31,40 dan 34,58% yang berbeda nyata dengan kontrol, yaitu (28,86%). Kedua jenis formulasi biopestisida dengan konsentrasi 0,7 g/l mempunyai kemampuan dalam menekan perkembangan spora patogen C. gloeosporioides pada buah cabai sehingga mampu menekan serangan (Tabel 2). Hal ini sesuai dengan pendapat Mulya (1997), bahwa jumlah populasi jasad antagonis yang terdapat dalam media tumbuh sangat menentukan keefektifan bakteri dalam menekan patogen. Pengaruh perlakuan mikroba antagonis terhadap tanaman cabai
154
Dilihat dari pertumbuhan tanaman secara menyeluruh, semua perlakuan yang dicobakan menunjukkan tinggi dan luas kanopi yang tidak berbeda nyata. Begitu juga dari perlakuan biopestisida PfMBO 001 50 WP dan BSBE 001 50 WP yang diaplikasikan melalui seluruh bagian tanaman tidak menimbulkan dampak yang negatif atau fitotoksis. Semua tanaman menunjukkan pertumbuhan daun yang normal dan berwarna hijau sama dengan tanaman kontrol, tidak mengalami kelainan fisik. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Biopestisida PfMBO 001 50 WP dan BSBE 001 50 WP dapat digunakan sebagai fungisida biologis untuk mengendalikan penyakit antraknos pada cabai walaupun tidak seefektif Bion M 1/48. 2. Aplikasi biopestisida PfMB0 001 50 WP dan BSBE 001 50 WP dengan konsentrasi formulasi 0,7 g/l efektif dan mampu menghasilkan persentase bobot dan jumlah buah sehat setara dengan penggunaan fungisida Bion-M 1/48 WP pada konsentrasi formulasi 2 g/l. PUSTAKA 1. Asandhi, A.A. dan Suryadi 1984. Penanaman cabai di
Gunawan, O.S.: Mikroba antagonis untuk pengendalian penyakit antraknos pada ... luar musim. Bul. Penel. Hort. 11(20):11-15. 2. Djatnika, I. 1998. Pengaruh Pseudomonas fluorescens Migula Terhadap Patogenisititas Fusarium oxysporum Schlecht Pada Tanaman Krisan. J. Hort. 8(1):10141020. 3. Duriat, A.S. 1994. Efikasi Fungisida terhadap Penyakit Antraknosa pada Buah Cabai (Capsicum annuum L.). Bul. Penel.Hort. 19(2):112-120. 4.
Gunawan O. Setiani 2005. Uji efektivitas biopestisida sebagai pengendali biologi terhadap penyakit antraknos ( C.gloeoporioides ) pada cabai merah. J. Hort. 15(4):297–302.
5.
Hilman Y. dan Suwandi 1992. Pengaruh pemupukan nitrogen dan triple super phosphate pada tanaman cabai. Bul. Penel. Hort. 23(1):107-116.
6. Kusandriani, Y. dan A.Sumarna. 1993. Respon varietas cabai pada beberapa tingkat kelembaban tanah Bul. Penel. Hort. 25(1):1-8. 7. Mulya K. 1997. Penekanan Perkembangan Penyakit layu bakteri tomat oleh Pseudomonas fluorescens PfG 32. J. Hort.7(2):685-691. 8. Nurtika, N. dan Y.Hilman 1991. Pengaruh nitrogen dan dosis pupuk kalium terhadap pertumbuhan dan hasil cabai yang ditumpangsarikan dengan bawang merah. Bul. Penel. Hort. EK 20(1):135–139.
11. ______________, R. Sutarya, dan A.S.Duriat, 1996. Penyakit tanaman cabai merah dan pengendaliannya. Dalam Teknologi produksi cabai merah. Hlm. 64-84. 12. ______________, O. Setiani G., dan Widjaja W. Hadi-suganda 2003a. Pengaruh agen biologis terhadap antraknos dan bercak daun Cercospora Prosiding Seminar Mikoriza 2004. Hlm. 204- 213. 13. ________________________________________ ______ 2003b. Pendayagunaan kemangkusan Bacillus subtilis dan beberapa mikroba antagonis dalam pengendalian penyakit utama cabai dan bawang merah. Prosiding Kongres XVII dan seminar ilmiah PFI. Hlm. 104-110. 14. Suhardi dan E. Suryaningsih 1990. Skrining fungisida terhadap penyakit penting pada tanaman cabai. Bul. Penel. Hort. 18(2):123-129. 15. Sumarna, A. dan Y. Kusandriani. 1992. Pengaruh jumlah pemberian air terhadap pertumbuhan dan hasil cabai paprika. Bul. Penel. Hort.24(1):51-58. 16. Siswoputranto, L. D. 1973. Percobaan pengeringan cabai merah Bul.Penel.Hort. 1(2)5-12. 17. Soetiarso, T.A. 1994. Analisa usaha tani cabai merah di tingkat petani. Bul. Penel. Hort. 27(2):72-83. 18. ___________ dan R. Majawisastra, 1994. Preferensi konsumen rumah tangga terhadap kualitas cabai merah. Bul. Penel. Hort. 27(1):42-50.
9. _________ dan Suwandi 1992. Pengaruh sumber dan dosis pupuk fosfat pada tanaman cabai . Bul. Penel. Hort. 21(4):6–15. 10. Suryaningsih, E. dan Suhardi 1993. Pengaruh penggunaan fungisida untuk mengendalikan penyakit antraknosa (C. capsici dan C. gloeoporioides) pada cabai. Bul. Penel. Hort. 25(1):37-43.
155