i
PENGGUNAAN KHAMIR ANTAGONIS UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA BUAH AVOKAD SELAMA PENYIMPANAN
YULI FITRIATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Penggunaan Khamir Antagonis untuk Pengendalian Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad Selama Penyimpanan” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2012
Yuli Fitriati NRP A352100184
iv
i
ABSTRACT YULI FITRIATI. The Use of Antagonistic Yeast for Anthracnose Disease Control in Avocado Fruit during Storage. Supervised by SURYO WIYONO and IVONE OLEY SUMARAUW Anthracnose caused by Colletotrichum gloeosporioides is an important disease in avocado fruit during storage. An effective, cheap, and safe control method is necessary as an alternative to subtitute the use of fungicides in postharvest disease control. This research aims 1) to get a yeast antagonist from avocados that are effective in controlling anthracnose disease on avocado fruit, 2) to identify effective yeast antagonists to control anthracnose disease on avocado fruit, and 3) to examine mechanism of action of yeast antagonists in controlling anthracnose disease on avocado fruit. Research started with isolation of C. gloeosporioides and yeast from avocado fruit, followed by bioassay in vivo, antibiosis test, and chitinolitic activity test. In vivo testing was done by dipping avocado fruit on yeast cell suspension to suppress the anthracnose disease in avocado fruits. The isolation of yeasts from avocado obtained 23 yeasts isolates. Based on bioassay in vivo, there were eight yeast isolates (A28, A32, A33, A34, A35, A36, A37, A38) that effectively inhibited anthracnose disease in avocado fruit at a concentration of 10 6 cells/ml and 10 7 cells/ml. However, only four isolates were chosen for further characterization based on morphological and molecular identification. Two species of yeast was identified, i.e Pichia anomala (isolates A33 and A37) and Candida intermedia (isolates A35 and A36). Key words: C. gloeosporioides, avocado, Pichia anomala, Candida intermedia.
ii
iii
RINGKASAN YULI FITRIATI. Penggunaan Khamir Antagonis untuk Pengendalian Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad Selama Penyimpanan. Dibimbing oleh SURYO WIYONO dan IVONE OLEY SUMARAUW Avokad (Persea americana Mill.) merupakan salah satu produk hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan potensi pasar yang baik serta merupakan komoditas target ekspor. Antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum gloeosporioides merupakan salah satu penyakit penting pada buah avokad selama penyimpanan. Perlakuan pascapanen penggunaan fungisida untuk mengendalikan penyakit pascapanen menimbulkan residu yang tidak dikehendaki oleh konsumen dan negara tujuan. Oleh karena itu, diperlukan metode pengendalian yang efektif, murah, dan aman. Salah satu agens pengendali hayati yang telah dilaporkan dapat mengendalikan beberapa patogen pada berbagai sayuran dan buah-buahan adalah khamir. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mendapatkan khamir antagonis dari buah avokad yang efektif untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad, 2) mengidentifikasi khamir antagonis untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad, dan 3) meneliti mekanisme kerja khamir antagonis dalam mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok Wilayah Kerja Bogor. Sampel buah diambil dari desa Limbangan Tengah, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Tahapan penelitian meliputi isolasi C. gloeosporioides dari buah avokad, dilanjutkan dengan pengujian in vivo khamir terhadap penyakit antraknosa pada buah avokad, uji antibiosis in vitro khamir terhadap C. gloeosporioides, uji kemampuan kitinolitik, dan identifikasi khamir. Cendawan C. gloeosporioides diisolasi dari buah avokad dengan menggunakan media Green Bean Agar (GBA) dan Potato Dextrose Agar (PDA). Isolat khamir diisolasi dari buah avokad dengan menggunakan media YGC dan YGCA. Hasil isolasi khamir dari buah avokad diperoleh 23 isolat khamir. Penyaringan in vivo khamir terhadap penyakit antraknosa pada buah avokad dilakukan untuk memperoleh khamir yang efektif mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad selama penyimpanan. Pengujian dilakukan dengan mencelupkan buah avokad pada suspensi sel khamir pada konsentrasi 106 sel/ml dan 107 sel/ml kemudian ditetesi 30 µl suspensi konidia C. gloeosporioides dengan konsentrasi 107 spora/ml. Pengamatan dilakukan dengan mengukur diameter penghambatan perkembangan cendawan C. gloeosporioides selama 7 hari pengamatan serta menghitung kejadian penyakit antraknosa pada buah avokad. Fungisida benomil dengan konsentrasi 5% digunakan sebagai fungisida pembanding dalam mengendalikan C. gloeosporioides pada buah avokad selama penyimpanan. Hasil penyaringan in vivo menunjukkan adanya delapan khamir yang efektif mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad selama penyimpanan pada konsentrasi 106 sel/ml dan 107 sel/ml yaitu isolat A28, A32, A33, A34, A35, A36, A37, dan A38 kemudian dikarakterisasi lebih lanjut.
iv
Uji in vitro dilakukan untuk mengetahui mekanisme kerja khamir dalam menghambat perkembangan C. gloeosporioides pada media PDA. Uji antibiosis dilakukan dengan menggoreskan sebanyak 1 lup inokulasi isolat khamir secara tegak lurus pada PDA dan menanam C. gloeosporioides pada sisi kanan dan kiri khamir dengan jarak 3 cm. Pengamatan dilakukan terhadap zona hambat khamir terhadap C. gloeosporioides selama 15 hari pengamatan. Hasil uji in vitro terhadap aktivitas antibiosis khamir terhadap C. gloeosporioides pada media PDA menunjukkan bahwa tidak ada khamir yang memberi zona hambatan. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme kerja dari keempat isolat khamir dalam menekan pertumbuhan cendawan C. gloeosporioides bukan merupakan antibiosis. Uji kemampuan kitinolitik dilakukan dengan menggoreskan dalam sebanyak 1 lup inokulasi isolat khamir secara tegak lurus pada media kitin agar 0.2%. Pengamatan dilakukan terhadap zona bening yang terbentuk di sekitar khamir. Hasil pengamatan uji kemampuan kitinolitik terhadap seluruh isolat khamir yang diisolasi dari buah avokad pada media kitin agar 0.2% hingga hari ketujuh tidak ditemukan adanya zona bening pada seluruh isolat. Hasil uji antibiosis dan kemampuan kitinolitik secara in vitro menunjukkan bahwa antibiosis dan produksi enzim kitinase bukan merupakan mekanisme kerja khamir dalam mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad selama penyimpanan. Karakterisasi khamir secara morfologi dan molekuler hanya dilakukan terhadap empat isolat khamir yaitu isolat A33, A35, A36, dan A37. Morfologi keempat isolat khamir pada media PDA terlihat koloni yang berwarna putih, permukaan koloni licin, bentuk tepi koloni halus, dan bentuk sel bulat. Namun, elevasi koloni isolat A33 dan A37 cembung sedangkan elevasi koloni isolat A36 dan A36 datar. Identifikasi secara molekuler dilakukan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan primer umum 18 S rDNA dengan forward primer ITS1 (5’TCC GTA GGT GAA CCT GCG G-3’) dan reverse primer ITS4 (5’-TCC TCC GCT TAT TGA TAT GC-3’). Hasil analisis BLAST terhadap isolat A33 dan A37 menunjukkan tingkat kesamaan sikuen nukleotida dengan Pichia anomala sedangkan hasil analisis BLAST terhadap isolat A35 dan A36 menunjukkan tingkat kesamaan sikuen nukleotida dengan Candida intermedia. Kata kunci : C. gloeosporioides, avokad, Pichia anomala, Candida intermedia.
v
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
vi
vii
PENGGUNAAN KHAMIR ANTAGONIS UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA BUAH AVOKAD SELAMA PENYIMPANAN
YULI FITRIATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Efi Toding Tondok, SP., M.Sc.
ix Judul Tesis : Nama NIM
Penggunaan Khamir Antagonis untuk Pengendalian Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad Selama Penyimpanan : Yuli Fitriati : A352100184
Disetujui Komisi Pembimbing
Ir. Ivone Oley Sumarauw, M.Si. Anggota
Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc.Agr. Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi Fitopatologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 24 April 2012
Tanggal Lulus:
x
xi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Penggunaan Khamir Antagonis untuk Pengendalian Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad Selama Penyimpanan”. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Fitopatologi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Agr.Sc dan Ibu Ir. Ivone Oley Sumarauw, M.Si sebagai komisi pembimbing yang dengan penuh kesabaran telah memberikan arahan, pengkayaan wawasan, saran, kritik serta dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Efi Toding Tondok, SP., M.Sc. sebagai penguji luar yang telah memberikan masukan dan saran untuk kesempurnaan tulisan ini, Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan beasiswa program khusus karantina, Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, Ibu Trisnasari, Jati Adiputra, rekan-rekan di Bidang Non Benih Tumbuhan Badan Karantina Pertanian, Mbak Ita di Laboratorium Klinik Tanaman IPB yang telah banyak membantu dan mendukung pelaksanaan kegiatan penelitian ini. Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sedalamdalamnya kepada orang tua tercinta Bapak Suparmin dan Ibu Widiastuti di Klaten, Bapak Paidjan dan Ibu Sutiyem di Yogyakarta serta adik-adikku (Nugraha, Danang, Rindha) yang banyak memberikan dukungan, dorongan, kasih sayang, do’a serta semangatnya kepada penulis selama ini. Teruntuk suami terkasih Arif Kurniawan juga ananda tersayang Anindha Naazih Ramadhani, ibu mengucapkan terima kasih banyak atas semua yang telah kalian berikan untuk ibu selama ini. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Aprida Cristin, Selamet, Ratih Rahayu, Erna Maryana, Dwi Wahidati Oktarima, Aulia Nusantara, Rahma Susila, Joni Hidayat, Nur Fitriawati, Sri Setiyawati, Nurul Dwi Handayani, Lulu Sugiharto, Catur Yogo Hendro dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas dukungan, persahabatan dan kerjasamanya selama ini. Semoga ini menjadi awal yang baik dan sukses selalu untuk kita semua. Semoga karya kecil ini dapat bermanfaat.
Bogor, April 2012
Yuli Fitriati
xii
xiii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 29 Juli 1980 dari Ayah Suparmin dan Ibu Widiastuti. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Penulis melanjutkan studi ke Universitas Gadjah Mada pada Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan pada tahun 1998 melalui seleksi Penyaringan Bibit Unggul Daerah (PBUD) dan mendapatkan gelar sarjana tahun 2002. Penulis bekerja di Badan Karantina Pertanian sejak tahun 2005 sebagai petugas fungsional Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT). Tahun 2005-2007 penulis ditugaskan di Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Tanjung Pandan dan mulai tahun 2008 penulis pidah tugas ke Badan Karantina Pertanian di Jakarta. Tahun 2010 penulis berkesempatan melanjutkan studi pada Program Studi Fitopatologi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Saat ini penulis telah menikah dengan Arif Kurniawan dan dikaruniai seorang putri bernama Anindha Naazih Ramadhani.
xiv
xv
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................
xvii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xix
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xxi
PENDAHULUAN ................................................................................ Latar Belakang .............................................................................. Tujuan Penelitian .......................................................................... Hipotesis ....................................................................................... Manfaat Penelitian ........................................................................
1 1 4 4 4
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... Arti Penting Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad ................... Gejala Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad ............................ Morfologi dan Daur Penyakit ........................................................ Pengendalian Penyakit Pascapanen ............................................... Penggunaan Khamir untuk Pengendalian Hayati Penyakit .............
5 5 6 7 10 11
BAHAN DAN METODE ...................................................................... Waktu dan Tempat ........................................................................ Bahan ........................................................................................... Metode ......................................................................................... Isolasi C. gloeosporioides dari Buah Avokad ......................... Isolasi Khamir dari Buah Avokad .......................................... Pengujian in Vivo Khamir terhadap Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad ......................................................................... Uji Antibiosis in Vitro Khamir terhadap C. gloeosporioides ... Uji Kemampuan Kitinolitik .................................................... Identifikasi Khamir ................................................................ Analisis Data .......................................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. Isolasi C. gloeosporioides dari Buah Avokad ................................ Isolasi Khamir dari Buah Avokad ................................................. Pengujian in Vivo Khamir terhadap Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad ................................................................................ Uji Antibiosis in Vitro Khamir terhadap C. gloeosporioides .......... Uji Kemampuan Kitinolitik ........................................................... Identifikasi Khamir .......................................................................
15 15 15 15 15 16
24 28 29 31
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. Kesimpulan ................................................................................... Saran ............................................................................................
39 39 39
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
41
LAMPIRAN ..........................................................................................
47
16 17 17 18 19 21 21 22
xvi
xvii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Kandungan komposisi zat gizi dalam 100 gram buah avokad segar
1
2
Kejadian penyakit antraknosa pada buah avokad yang diinokulasi C. gloeosporioides dan diberi perlakuan dengan khamir ................
24
Hasil uji in vivo terhadap diameter (Ø) bercak inokulasi C. gloeosporioides dan tingkat hambatan relatif (THR) khamir dalam menghambat perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad
25
4
Morfologi koloni dan bentuk sel khamir pada media PDA .............
32
5
Isolat khamir pada GenBank yang dibandingkan dengan empat isolat khamir yang diisolasi dari avokad ........................................
34
Mekanisme kerja P. anomala pada uji in vitro ...............................
36
3
6
xviii
xix
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Gejala penyakit antraknosa pada buah avokad: gejala awal (a dan b), gejala di penyimpanan (c) ........................................................
6
Massa konidia (a) dan miselium (b) C. gloeosporioides pada media PDA (perbesaran 10 x 40) .............................................................
8
Tubuh buah C. gloeosporioides di bawah mikroskop : aservulus (a), seta (b), konidia (c) dan miselium (d) pada perbesaran 10 x 40
8
C. gloeosporioides pada media PDA : biakan murni (a), konidia (berwarna kuning/oranye) dan miselium (berwarna putih) (b) .......
9
5
Siklus hidup C. gloeosporioides pada avokad (Kotzé 1978) ..........
10
6
Uji antibiosis in vitro khamir terhadap C. gloeosporioides ............
17
7
Uji kemampuan kitinolitik khamir pada media kitin agar 0.2% .....
18
8
Gejala awal serangan antraknosa pada buah avokad ......................
21
9
Morfologi C. gloeosporioides pada media PDA: biakan C. gloeosporioides (a), massa konidia (b dan c) .............................
21
10
Konidia C. gloeosporioides ...........................................................
22
11
Hasil inokulasi C. gloeosporioides pada buah avokad (4 hari setelah inokulasi: perlakuan benomil (a), tanpa perlakuan (b), perlakuan khamir isolat A12(c), perlakuan khamir isolat A31(d), perlakuan khamir isolat A33 (e), isolat A35 (f), isolat A36 (g), isolat A37 (h) ................................................................................
27
Hasil inokulasi C. gloeosporioides pada buah avokad (5 hari setelah inokulasi: perlakuan benomil (a), tanpa perlakuan (b), perlakuan khamir isolat A12(c), perlakuan khamir isolat A31(d), perlakuan khamir isolat A33 (e), isolat A35 (f), isolat A36 (g), isolat A37 (h) ................................................................................
28
Uji antibiosis in vitro khamir (a) terhadap C. gloeosporioides (b) pada media PDA ...........................................................................
29
Zona bening sebagai tanda aktivitas kitinolitik khamir tidak terlihat di sekitar khamir yang digoreskan pada bagian tengah media kitin agar 0.2% ......................................................................................
30
Morfologi koloni 4 isolat khamir pada media PDA: khamir isolat A33 (a), isolat A35 (b), isolat A36 (c), dan A37 (d) .......................
32
Morfologi sel 4 isolat khamir: isolat A33 (a), isolat A35 (b), isolat A36 (c), dan A37 (d) .......................................................................
33
Hasil PCR khamir isolat A33, A35, A36, dan A37 menggunakan primer ITS1 dan ITS4 ...................................................................
33
2 3 4
12
13 14
15 16 17
xx
xxi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
2 3
4
5
Analisis sidik ragam kejadian penyakit (KP) antraknosa pada buah avokad yang diinokulasi C. gloeosporioides dan diberi perlakuan dengan khamir ..............................................................................
49
Analisis sidik ragam hasil uji in vivo terhadap diameter (Ø) bercak inokulasi C. gloeosporioides pada buah avokad ............................
49
Analisis sidik ragam hasil uji in vivo terhadap tingkat hambatan relatif (THR) khamir dengan kerapatan 10 7 sel/ml untuk menghambat perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad pada hari ketujuh ...........................................................................
49
Analisis sidik ragam hasil uji in vivo terhadap tingkat hambatan relatif (THR) khamir dengan kerapatan 10 6 sel/ml untuk menghambat perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad pada hari ketujuh ...........................................................................
50
Komposisi media Martin Agar, Yeast Glucose Chloramphenicol Agar, Kitin Agar 0.2%, dan Green Bean Agar ..............................
50
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Avokad (Persea americana Mill.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi dan nilai gizi tinggi (Tabel 1) serta potensi pasar yang baik sebagai salah satu komoditas target ekspor.
Selain
dikonsumsi sebagai buah segar dan olahan, daging buah avokad juga dimanfaatkan sebagai bahan dasar kosmetik. Daun buah avokad yang masih muda juga dapat digunakan sebagai obat tradisional untuk obat batu ginjal dan rematik (Menegristek 2000).
Tabel 1 Kandungan komposisi zat gizi dalam 100 gram buah avokad segar No
Unsur Penyusun Daging Buah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Air Kalori Protein Lemak Karbohidrat Kalsium Fosfor Zat besi Vitamin C Vitamin B1 Vitamin A Serat
Kadar 84.30 85.00 0.90 6.50 7.70 10.00 20.00 0.90 13.00 0.05 180.00 1.40
g kalori g g g mg mg mg mg mg S.I g
Sumber : Menegristek 2000
Penyebab utama mutu buah avokad masih rendah adalah serangan penyakit yang terjadi pada saat prapanen sampai pascapanen. Dalam rangka menghadapi tantangan era perdagangan bebas melalui AFTA (Asean Free Trade Agreement), perlu
dilakukan
langkah-langkah
dalam
mengantisipasi
muncul
dan
berkembangnya penyakit sehingga mutu dapat lebih baik (Sugipriatini 2009). Busuk buah-buahan dan sayuran pascapanen menimbulkan kerugian yang nyata. Kehilangan pascapanen pada buah dan sayuran cukup tinggi, sekitar 10% sampai 40%, tergantung dari komoditas dan teknologi yang digunakan untuk pengemasan (Gholamnejad et al. 2009). Pembusukan buah dan sayuran yang
2 dipanen di negara maju akibat penanganan pascapanen diperkirakan mencapai 20%–25% . Kerugian pascapanen di negara-negara berkembang seringkali lebih tinggi karena penyimpanan dan fasilitas transportasi yang kurang memadai (Sharma et al.
2009).
Pengemasan yang kurang baik dapat menimbulkan
kontaminasi, misalnya: Aspergillus rot dan stem end rot (Prabawati et al. 1993). Busuk buah avokad pascapanen adalah masalah besar terutama pada buah yang akan diekspor. Cendawan penting yang terlibat dalam busuk buah avokad adalah Colletotrichum gloeosporioides yang menyebabkan penyakit antraknosa dengan gejala warna coklat pada buah dan termasuk penyakit yang bersifat laten. Meskipun buah sudah terinfeksi sebelum panen, infeksi laten oleh cendawan penyebab busuk buah menjadi aktif dan gejala akan muncul pada saat buah menjadi lembut. Pada kondisi yang sesuai untuk perkembangannya, kerusakan buah akibat penyakit antraknosa dapat mencapai 50% (Hashem & Alamri 2009). Perlakuan pascapanen terhadap buah-buahan dan sayuran pada umumnya dilakukan dengan pengelolaan lingkungan abiotik pada saat penyimpanan serta penggunaan fungisida (Sharma et al. 2009). Sampai saat ini, untuk mengurangi kerugian hasil akibat penyakit antraknosa banyak menggunakan fungisida sintetik sebagai cara perlindungan yang paling umum dijumpai. Akibat intensifnya penggunaan fungisida dilaporkan bahwa beberapa jenis patogen telah resisten terhadap fungisida dan tertinggalnya residu bahan kimia pada produk pertanian (Indratmi 2008). Fungisida sintetik seperti imazil, tiabendazol, pirimetanil, dan prokloraz adalah fungisida yang umum digunakan untuk mengendalikan patogen pascapanen (Hao et al. 2010). Residu pestisida pada buah dan sayuran merupakan perhatian utama bagi konsumen dan industri buah serta sayuran. Peningkatan kesehatan dan perhatian lingkungan mengenai limbah pestisida dan residunya pada produk segar, perkembangan strain patogen pascapanen yang resisten terhadap fungisida, pendaftaran kembali beberapa fungisida yang lebih efektif (Droby 2006; Robiglio et al. 2011), gagalnya ekspor produk pertanian ke beberapa negara akibat tingginya residu bahan kimia serta tingginya biaya yang diperlukan untuk pengedalian secara kimiawi telah mendorong untuk mengembangkan metode pengendalian yang lebih efektif dan aman terhadap manusia dan lingkungan
3 (Droby 2006). Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah residu pestisida adalah dengan pengendalian hayati yang telah banyak dikembangkan dan telah dilaporkan cukup efektif untuk mengendalikan penyakit pascapanen (Indratmi 2008; Kefialew & Ayalew 2009). Strategi umum pengendalian hayati adalah penggunaan mikroorganisme antagonis dalam pengendalian penyakit pascapanen dan prapanen.
Beberapa
pendekatan biologi termasuk penggunaan mikrooorganisme antagonis atau bahan alami, telah dikembangkan sebagai alternatif penggunaan fungisida sintetik untuk pengelolaan
penyakit
pascapanen
(Janisiewicz
&
Korsten
2002)
dan
mengendalikan pembusukan pada buah dan sayuran pascapanen (Ippolito & Nigro 2000).
Khamir dan bakteri
antagonis telah banyak dilaporkan secara alami
terdapat pada permukaan buah (Qin et al. 2004; Droby 2006; Sharma et al. 2009). Beberapa tahun terakhir ini, khamir telah digunakan sebagai agens pengendali hayati untuk mengendalikan cendawan (Wang et al. 2009). Khamir merupakan mikroorganisme yang potensial digunakan sebagai agens pengendali hayati karena mudah diperbanyak dan memiliki beberapa karakter yang dapat dimanipulasi untuk meningkatkan efisiensi penggunaanya (Robiglio et al. 2011). Khamir memiliki banyak sifat yang bermanfaat untuk pengendalian, antara lain tidak menghasilkan spora alergik atau mikotoksin, tidak menghasilkan antibiotik yang mungkin dihasilkan oleh bakteri antagonis (Droby & Chalutz 1994). Khamir
umumnya
memerlukan
nutrisi
yang
sederhana
dan
mampu
mengkolonisasi permukaan inang dalam kondisi kering pada waktu yang cukup lama seperti pestisida yang umum digunakan untuk perlakuan pascapanen. Selain itu, khamir dapat tumbuh cepat dan mudah menghasilkan sel dalam jumlah besar (Druvefors 2004).
Hasil studi juga menyatakan bahwa khamir juga tidak
berbahaya bagi konsumen, sel khamir juga mengandung vitamin, mineral, dan asam amino penting yang telah dimanfaatkan dalam makanan dan pakan (Hashem & Alamri 2009).
Khamir umumnya tidak menghasilkan spora alergik atau
mikotoksin (Droby & Chalutz 1994). Selain itu, beberapa spesies khamir dapat menunda pemasakan buah dengan menghambat produksi etilen (Droby et al. 1997).
Mekanisme kerja mikroorganisme antagonis berkaitan dengan sekresi
4 antibiotik, kompetisi ruang dan nutrisi, produksi enzim penghancur dinding sel (Qin et al. 2004). Perlakuan khamir tersebut lebih efektif dibandingkan dengan perlakuan konvensional dengan klorin (Chanchaichaovivat et al. 2007). Lima strain khamir (Pichia anomala Moh 93, P. anomala Moh 104, P. guilliermondii Moh 10, Lipomyces tetrasporus Y-115 dan Metschnikowia lunata Y-1209) juga telah diketahui dapat mengendalikan busuk diplodia pada jambu yang disebabkan oleh Botryodiplodia theobromae (Hashem & Alamri 2009). Khamir Aureobasidium pullulans dan Rhodotorula mucilaginosa yang diisolasi dari pir dapat menekan kejadian penyakit hingga 33% dan mengurangi pembusukan setelah 60 hari inkubasi akibat infeksi Penicillium expansum (Robiglio et al. 2011).
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mendapatkan khamir antagonis dari buah avokad yang efektif untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad, 2) mengidentifikasi khamir antagonis untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad, dan 3) meneliti mekanisme kerja khamir antagonis dalam mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad.
Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah 1) penggunaan khamir antagonis efektif menghambat perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad selama penyimpanan, 2) antibiosis dan kemampuan kitinolitik khamir berperan dalam pengendalian hayati.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat menemukan teknologi pengendalian hayati dengan khamir antagonis untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad selama penyimpanan.
5
TINJAUAN PUSTAKA Arti Penting Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad Antraknosa adalah penyakit utama pascapanen yang disebabkan oleh C. gloeosporioides yang menyerang buah-buahan di daerah tropis dan sub tropis (Capdeville 2007), salah satunya adalah buah avokad (Nelson 2008). Penyakit ini menyerang semua bagian tanaman, kecuali akar.
Bagian yang terinfeksi
berwarna cokelat karat, kemudian daun, bunga, buah/cabang tanaman yang terserang akan gugur (Rukmana 1997). Colletotrichum sp. adalah penyebab penyakit antraknosa dan memainkan peranan penting pada ekonomi subsistem pertanian di seluruh dunia. Patogen ini menginfeksi sejumlah tanaman mulai dari monokotil hingga tanaman dikotil. Meskipun infeksi antraknosa dapat terjadi pada semua stadia tanaman, namun stadia yang harus diwaspadai adalah terjadinya infeksi pada berbagai macam buah-buahan pascapanen (Dickman 1993). C. gloeosporioides merupakan bentuk anamorf dari Glomerella cingulata, sedangkan G. cingulata merupakan bentuk teleomorf dari cendawan patogen ini (CAB Internasional 2007). Patogen dapat menginfeksi buah dan batang avokad, mempunyai kisaran inang yang luas, merupakan patogen parasit fakultatif, mampu hidup sebagai saprofit pada bagian tanaman yang mati dan sisa-sisa tanaman sakit dan mengkolonisasi bagian tanaman avokad yang telah mati yang terkumpul di bawah tajuk tanaman atau berada di permukaan tanah.
Cendawan dapat
menyebabkan beberapa masalah selama musim buah (Nelson 2008). C. gloeosporioides menyerang avokad yang belum matang di kebun buah. Spora yang berkecambah membentuk apresorium dan menembus kutikula tetapi hifa yang telah mencapai subkutikula menjadi quiescent dan tidak berkembang sampai buah dipanen dan matang. Perubahan fisiologi yang signifikan terjadi pada buah yang dapat mengaktivasi patogen quiescent. Terdapat empat dugaan yang dapat menjelaskan mengapa buah yang belum matang lebih tahan terhadap serangan patogen: (i) kurangnya nutrisi yang diperlukan oleh patogen, (ii) adanya komponen anti cendawan, (iii) adanya induksi komponen anti cendawan, dan (iv) kurangnya faktor yang mengaktivasi patogenesitas cendawan . Ketahanan avokad
6 yang belum matang terhadap serangan C. gloeosporioides berkaitan dengan adanya komponen anti cendawan 1-acetoxy-2-hydroxy-4-oxoheneicosa-12,15diene (diene) pada perikarp buah yang belum matang (Beno-Moualem & Prusky 2000).
Gejala Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad Gejala serangan penyakit antraknosa dapat muncul di seluruh bagian tanaman yang terserang. Gejala serangan pada daun adalah terjadinya bercak coklat sampai ungu dan daun cepat rontok. Gejala pada cabang dan ranting adalah terjadinya kematian ujung ranting (die back), sedangkan pada bunga adalah terjadinya
perubahan
warna
bunga
menjadi
cokelat
tua
dan
mudah
rontok/berguguran (Rukmana 1997).
a
b
c
Gambar 1 Gejala penyakit antraknosa pada buah avokad: gejala awal (a dan b), gejala di penyimpanan (c) Serangan cendawan C. gloeosporioides pada buah menimbulkan gejala Bercak berwarna gelap, cekung, berbentuk bulat pada kulit buah (Gambar 1) yang meluas secara cepat dan menjadi lunak, menyebabkan pembusukan (Nelson 2008). Warna gelap/coklat akibat serangan C. gloeosporioides muncul karena cendawan tersebut menghasilkan enzim selulase yang dapat menghidrolisis selulosa kulit buah sehingga kulit buah terdisintegrasi dan lunak sehingga berubah warna menjadi coklat yang dapat meluas dan akhirnya membusuk.
Proses
pembusukan semakin cepat ketika buah mencapai kematangan puncak (Kotzé 1978; Ippolito & Nigro 2000)
7 Ciri khas dari penyakit ini adalah terbentuknya massa spora lengket. Bercak memiliki ukuran yang bervariasi dan dapat terjadi di setiap bagian buah avokad yang dapat berkembang dan berwarna salmon. Gejala dapat muncul secara cepat selama 1 atau 2 hari terutama dalam kondisi penyimpanan hangat dan lembab. Bercak berbentuk bulat, berwarna gelap ini biasanya muncul dalam infeksi laten pada kulit buah setelah panen dan pematangan buah. Ukuran diameter Bercak bervariasi tergantung kultivar avokad dan berkisar antara millimeter sampai sentimeter (Nelson 2008). Antraknosa dapat berkembang pada buah yang belum matang di pohon, menyertai luka yang disebabkan oleh serangga. Buah biasanya rontok karena serangan patogen sebelum pematangan buah. Gejala bercak pada cabai juga dapat terjadi pada avokad (CAB Internasional 2007).
Morfologi dan Daur Penyakit Cendawan C. gloeosporioides mempunyai miselium berwarna putih hingga keabu-abuan, memiliki konidia yang berbentuk oval dengan ujung tumpul atau membulat, hialin, bersel satu, tidak bersekat, terbentuk dalam aservulus, dan berukuran 9–15 x 3–7 µm. Massa konidia berwarna merah muda seperti warna salmon (Gambar 2) (Rubert 1992; Dickman 1993; Semangun 2000). Konidiofor berukuran 18 x 3 µm, berbentuk silinder, hialin atau agak kecoklatan. Aservulus dangkal dengan diameter 90–270 µm, memiliki seta dengan konidiofor yang sederhana, pendek, dan tegak (Gambar 3). Colletorichum mempunyai stroma yang terdiri dari massa miselium yang membentuk aservulus (seperti bantalan), bersepta dengan panjang antara 30–90 µm (Bailey & Jeger 1992). Aservulus berlilin dan hanya dihasilkan dalam jaringan yang terinfeksi.
Seta berwarna
coklat tua, panjang 60–160 µm, sering bersekat 1 atau 2 dan teratur di tepi aservulus (Semangun 2000).
8
b a
Gambar 2 Massa konidia (a) dan miselium (b) C. gloeosporioides pada media PDA (perbesaran 10 x 40)
Gambar 3 Tubuh buah C. gloeosporioides di bawah mikroskop : aservulus (a), seta (b), konidia (c) dan miselium (d) pada perbesaran 10 x 40 C. gloeosporioides merupakan cendawan yang umum terdapat di berbagai tanaman. Cendawan ini merupakan parasit lemah yang dapat menginfeksi dan berkembang pada jaringan yang telah menjadi lemah, khususnya karena proses penuaan. Cendawan ini dapat menginfeksi melalui luka atau lentisel. Konidium jamur dipencarkan oleh angin dan air hujan. Infeksi buah banyak terjadi dari konidium yang berasal dari bercak pada daun dan tangkai daun. Pada cuaca menguntungkan, cendawan membentuk konidium. Konidium dipencarkan oleh
9 percikan air hujan dan siraman karena terbentuk dalam massa spora yang lengket (CAB International 2007). Cendawan dapat diisolasi dari jaringan tanaman tropis yang tampak sehat dan berada baik di permukaan mikroflora maupun sebagai endofit (Gambar 4). Patogen ini menimbulkan serangan berat pada kondisi kelembaban dan suhu yang tinggi. Cendawan dapat tumbuhan pada suhu rendah 4 0C, tetapi optimum pada suhu 25–29 °C.
Perkecambahan spora, infeksi dan produksi askospora
memerlukan kelembaban relatif mendekati 100%, namun ekspresi penyakit akan muncul pada kondisi kering karena infeksi laten atau quiescent akan aktif pada jaringan yang rusak (CAB Internasional 2007).
a
b
Gambar 4 C. gloeosporioides pada media PDA : biakan murni (a), konidia (berwarna kuning/oranye) dan miselium (berwarna putih) (b) Kondisi iklim yang sesuai pada saat terjadinya infeksi sangat menentukan terjadinya epidemi penyakit.
Penyakit antraknosa ini dapat menimbulkan
kehilangan yang signifikan pada iklim hangat dan lembab (CAB Internasional 2007). Spora hanya dapat berkecambah bila ada air bebas, atau bila kelembaban nisbi udara tidak kurang dari 95%. Infeksi tidak akan terjadi bila kelembaban udara tidak kurang dari 96%. Spora tumbuh paling baik pada suhu 25–28 oC, sedang dibawah 5 oC dan di atas 40 oC spora tidak dapat berkecambah. Bailey dan Jeger (1992) menyatakan bahwa infeksi cendawan pada percobaan di rumah kaca dan laboratorium terjadi pada kelembaban lebih dari 96% pada suhu 26–31 oC (Semangun 2000).
10 askospora dilepaskan Askus dengan spora
askospora
konidia berkecambah askospora berkecambah konidia
peritesium telah matang dengan askus
aservulus infeksi
pembentukan peritesium
ranting daun buah pembentukan peritesium anteridium askogonium
Gambar 5 Siklus hidup C. gloeosporioides pada avokad (Kotzé 1978) Patogen bertahan di dalam biji, sampah, dan gulma inang, dan dipencarkan melalui percikan air, aliran air, serangga atau benda lain yang menyentuh cendawan. C. gloeosporioides menyebabkan penyakit pada bagian daun, bunga dan buah (Gambar 5). Pada jaringan tua, perkembangan penyakit lebih lambat, seringkali quiescent atau tinggal sebagai cendawan endofit yang tidak berbahaya hingga kondisi fisiologi memungkinkan untuk perkembangan cendawan (Rukmana 1997).
Pengendalian Penyakit Pascapanen Pembusukan buah-buahan dan sayuran pascapanen berasal dari infeksi yang terjadi baik antara pembungaan dan pematangan buah, atau selama penanganan panen, dan penyimpanan (Droby 2006). Infeksi dapat terjadi sebelum panen (preharvest) dan tetap bertahan sampai buah menjadi tua sampai pascapanen dan selama penyimpanan. Namun, sebagian besar infeksi terjadi melalui luka yang ditimbulkan permukaan komoditas pada saat panen, pascapanen dan pada penanganan selanjutnya.
Kerugian akibat infeksi ini dapat ditangani dengan
11 menggunakan fungisida yang diaplikasikan di lapangan atau setelah panen (Droby 2006). Selama dekade terakhir, pengendalian penyakit komoditas hortikultura semakin sulit dilakukan (Bautista-Bañosa et al. 2006). Fungisida sintetik adalah bahan utama yang digunakan untuk mengendalikan pembusukan pascapanen (Sharma et al. 2009). Residu pestisida pada buah-buahan dan sayuran menjadi perhatian utama konsumen dalam industri buah dan sayuran.
Peningkatan
kesehatan dan perhatian terhadap residu pestisida pada produk segar, perkembangan strain patogen yang tahan terhadap fungisida, dan pendaftaran kembali beberapa fungisida yang lebih efektif, telah mendorong pengembangan alternatif yang lebih aman terhadap kesehatan manusia dan lingkungan (Droby 2006). Saat ini banyak dilakukan alternatif pengendalian yang lebih aman dan aman terhadap lingkungan dalam mengendalikan pembusukan pascapanen (Sharma et al. 2009). Salah satu teknik pengendalian pascapanen yang saat ini sedang dikembangkan adalah pengendalian hayati. Strategi umum pengendalian hayati adalah penggunaan mikroorganisme
hidup
untuk mengendalikan
mikroorganisme yang lain (Druvefors 2004). Penggunaan agen pengendali hayati perlu mempertimbangkan keamanan pangan dan penerimaan masyarakat terhadap agens pengendali hayati.
Salah satu agen hayati yang digunakan untuk
pengendalian penyakit pascapanen adalah khamir dan pelapis produk untuk memperpanjang masa simpan buah. Pelapis digunakan untuk memperpanjang masa simpan produk segar dan melindungi kerusakan buah dari pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan, misalnya serangan mikroorganisme (Sugipriatini 2009).
Penggunaan Khamir untuk Pengendalian Hayati Penyakit Pada awal tahun 1990, berbagai mikrob antagonis dilaporkan dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai patogen pada beberapa buah. Salah satu mikrob antagonis tersebut adalah khamir (Druvefors 2004).
Khamir
merupakan kelompok mikroorganisme uniseluler termasuk dalam filum Ascomycota dan Basidiomycota. Beberapa khamir dan mikroorganisme lain telah
12 dilaporkan dapat menghambat patogen tanaman, khususnya patogen yang berada di dalam buah dan sayuran, serta beberapa produk komersial (Janisiewicz & Korsten, 2002). Jones dan Prusky (2002) melaporkan bahwa beberapa khamir antagonis juga telah dilaporkan efektif untuk menghambat patogen pascapanen pada beberapa buah-buahan dan dapat digunakan sebagai agens pengendali hayati cendawan pascapanen penyebab busuk pada buah apel, grey dan blue mold yang disebabkan oleh Botrytis cinerea dan Penicillium italicum, dan pada buah jeruk (McLaughlin et al. 1990). Secara khusus, kehadiran khamir secara alami pada buah-buahan dan sayuran berpotensi sebagai antagonis penyakit pascapanen (Droby 2006). Khamir (Pichia guilliermondii strain US-7 dan Hanseniaspora uvarum strain 138) diketahui dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai patogen penyebab pembusukan pada jeruk, buah pome, dan tomat (Chalutz & Wilson, 1990). Debaromyces hansenii dilaporkan dapat mengendalikan busuk buah jeruk pascapanen (Wisniewski et al. 1991) dan beberapa spesies Cryptococcus sp. dapat digunakan untuk mengendalikan pembusukan pascapanen pada buah apel dan pir (Roberts 1990). Keberadaan mikrob antagonis baik secara alami maupun buatan dapat dipertimbangkan sebagai alternatif penggunaan fungisida untuk mengendalikan penyakit pascapanen (Wisniewski & Wilson 1992). Keuntungan dari penggunaan khamir antagonis, dapat diisolasi dari alam, bersifat non patogenik terhadap tanaman dan binatang termasuk manusia, mudah dibiakkan, dan reproduksinya cepat (Payne & Bruce 2001).
Khamir juga
memiliki banyak kegunaan, biasanya tidak menghasilkan spora alergik atau mikotoksin seperti cendawan miselial. Sel khamir juga mengandung vitamin, mineral, dan asam amino penting yang telah dimanfaatkan dalam makanan dan pakan (Hashem & Alamri 2009). Mekanisme agens pengendali hayati dalam mengendalikan patogen taget belum banyak diketahui (Janisiewicz & Korsten 2002). Khamir Debaryomyces sp. efektif menghambat perkembangan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. gloeosporioides. Debaryomyces sp. kerusakan hifa dan konidia patogen C. gloeosporioides. Penghambatan patogen C. gloeosporioides oleh Debaryomyces sp. terjadi melalui mekanisme kompetisi dan parasitisme (Indratmi 2008). Kompetisi nutrisi diduga sebagai mode of action beberapa agens pengendali
13 hayati, seperti P. guilliermondii dalam mengendalikan Penicillium digitatum (Droby et al. 1989), Candida guilliermondii, Cryptococcus laurentii dan Metschnikowia
pulcherima
dalam
mengendalikan
Botrytis
cinerea
dan
Penicillium expansum (Vero et al. 2002). Penggunaan khamir menunda pemasakan buah saat penyimpanan. Konsentrasi suspensi khamir yang digunakan di laboratorium umumnya 107 cfu/ml.
Suspensi sel khamir pada konsentrasi 10 6 sampai 107 cfu/ml efektif
menghambat perkembangan penyakit (Droby et al. 1997). Strain tertentu dari khamir Saccharomyces cerevisiae dilaporkan dapat memproduksi toksin yang dapat membunuh strain lain dalam spesies yang sama. Beberapa toksin yang dihasilkan oleh khamir juga dilaporkan memiliki pengaruh terhadap spesies khamir lain termasuk bakteri dan cendawan (Izgu & Altinbay 1997).
Droby et al. (1991) membuktikan bahwa P. guilliermondii dapat
menstimulasi produksi etilen pada anggur. Etilen pada jeruk dapat menstimulasi produksi fitoaleksin (Rodov et al. 1994). Aureobasidium pullulans dan Candida saitoana diketahui dapat menginduksi ß-1,3-glukanase, kitinase dan peroksidase pada apel (Ippolito et al. 2000).
Hal ini dapat menstimulasi mekanisme
pertahanan suatu tanaman (Druvefors 2004). Saat ini terdapat tiga khamir yang dikomersialkan sebagai produk pengendali hayati dan telah dipasarkan untuk mengendalikan pembusukan pada buah.
Aspire® (Ecogen, Inc., Langhorne, Pa) dengan bahan dasar khamir
Candida oleophila digunakan untuk mengendalikan penyakit pascapanen pada buah pome serta jeruk dengan cara penyemprotan atau pencelupan (Janisiewicz & Korsten 2002), dan telah digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1996. Produk komersial Yield Plus® dengan Cryptococcus albidus sebagai bahan aktifnya dipasarkan di Afrika Selatan pada tahun 1997 dan digunakan untuk pengendalian hayati Botrytis sp., Penicillium sp. dan Mucor sp. pada buah apel dan pir dan masih diteliti kemungkinannya untuk digunakan pada komoditas lain. Produk terbaru Shemer® yang diregistrasi di Israel dengan bahan dasar khamir Metschnikowia
fructicola (Kurtzman & Droby 2001) diketahui efektif
mengendalikan patogen pada anggur, stroberi dan ubi jalar (Druvefors 2004).
15
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Tanjung Priok Wilayah Kerja Bogor, mulai bulan Oktober 2011 sampai Februari 2012.
Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah isolat C. gloeosporioides dan isolat khamir hasil isolasi dari buah avokad, buah avokad lokal dari Garut, akuades steril, media Potato Dextrose Agar (PDA), Martin Agar (MA), Yeast Glucose Chloramphenicol (YGC), Yeast Glucose Chloramphenicol Agar (YGCA), Kitin Agar 0.2%, Green Bean Agar (GBA), Potato Dextrose Broth (PDB), alkohol 70%, fungisida benomil, dan primer umum 18S rDNA dengan forward primer ITS1 (5’-TCC GTA GGT GAA CCT GCG G-3’) dan reverse primer ITS4 (5’-TCC TCC GCT TAT TGA TAT GC-3’).
Metode Isolasi C. gloeosporioides dari Buah Avokad Isolasi C. gloeosporioides dilakukan dengan metode penanaman jaringan buah avokad yang bergejala antraknosa pada media GBA dan PDA. Buah avokad dari lapangan dicuci dengan air steril. Buah yang bergejala dipotong pada bagian antara yang sehat dan sakit, kemudian dipotong kecil-kecil dan direndam dalam klorox (NaOCl) 1% selama 2 menit, selanjutnya dicuci dengan air steril dan ditanam pada media PDA secara aseptik. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang (27 0C –30 0C) hingga koloni cendawan tumbuh pada media. Pemurnian isolat C. gloeosporioides dilakukan dengan mengambil kultur C. gloeosporioides dan dibiakkan lagi dalam media GBA hingga diperoleh kultur murni.
Isolat yang sudah murni disimpan dan diremajakan kembali dalam
medium PDA sebelum digunakan untuk percobaan.
16
Isolasi Khamir dari Buah Avokad Isolasi khamir dilakukan dengan metode pencucian dan pengkayaan. Metode pencucian dilakukan dengan merendam buah avokad dalam air steril sebanyak dua kali berat buah kemudian digoyang dengan kecepatan 120 rpm selama 24 jam. Air rendaman buah avokad kemudian diencerkan dengan seri pengenceran 10 -1, 10-2, 10 -3, 10-4, dan 10-5 kemudian disebar pada media Martin Agar. Khamir yang tumbuh kemudian dimurnikan dengan mengambil koloni tunggal khamir dan menggoreskannya pada media PDA yang telah ditambah Streptomycin 2%. Isolat yang telah murni disiapkan untuk perlakuan selanjutnya. Metode pengkayaan dilakukan dengan mengambil daging buah avokad yang telah matang sebanyak 10 g, kemudian dimasukkan dalam 90 ml media YGC dan digoyang dengan kecepatan 140 rpm selama 72 jam. Bagian bawah diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan dalam 9 ml air steril dan diencerkan berseri mulai 10 -1, 10-2, 10-3, 10 -4, 10-5. Setiap pengenceran diambil 0.1 ml dan diratakan pada media YGCA kemudian diinkubasi selama 48 jam. Pemurnian khamir dilakukan dengan mengambil koloni tunggal khamir pada media YGCA dan disimpan pada media PDA miring.
Pengujian in Vivo Khamir terhadap Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad Pengujian dilakukan dengan modifikasi teknik pelukaan (Korsten et al. 2005). Buah avokad disterilkan dengan natrium hipoklorit (NaOCl) 1% selama 2 menit kemudian dicuci 2 kali dengan akuades steril dan dikeringanginkan. Buah avokad yang telah disterilkan dicelupkan dalam suspensi khamir pada konsentrasi 10 6 sel/ml dan 107 sel/ml yang telah ditambah 1% Tween 20 dan dikeringanginkan.
Inokulasi cendawan C. gloeosporioides konsentrasi 10 7
konidia/ml dilakukan dengan meneteskan 30 µl suspensi C. gloeosporioides tersebut pada buah dengan 3 (tiga) titik inokulasi pada bagian ujung, tengah dan pangkal buah avokad. Sebagai pembanding, buah avokad yang telah disterilkan dicelupkan dalam larutan fungisida benomil 0.5% dan dikeringanginkan kemudian diinokulasi C. gloeosporioides 10 7 konidia/ml dengan meneteskan 30 µl suspensi
17
C. gloeosporioides tersebut pada buah dengan 3 (tiga) titik inokulasi pada bagian ujung, tengah dan pangkal buah. Seluruh perlakuan diulang tiga kali. Kejadian penyakit diamati dan dihitung setiap hari selama 7 hari pengamatan dengan rumus sebagai berikut :
KP =
KP
=
Kejadian penyakit
=
Jumlah titik inokulasi yang menunjukkan gejala sakit
=
Jumlah titik inokulasi yang diamati
Uji Antibiosis in Vitro Khamir terhadap C. gloeosporioides Khamir digoreskan pada media PDA tepat di tengah petridish (Ø 9 mm) secara tegak lurus sebanyak 1 lup inokulasi. Biakan murni C. gloeosporioides berumur 14 hari yang diambil dengan bor gabus (Ø 5 mm), diletakkan pada sisi kanan dan kiri goresan khamir dengan jarak + 3 cm kemudian diinkubasikan pada suhu kamar. Pengamatan dilakukan dengan mengukur lebar zona hambat khamir terhadap C. gloeosporioides setiap hari sampai hari ke-15 inkubasi (Gambar 6).
3 cm
Isolat khamir
Ukur dan hitung lebar zona hambat khamir terhadap pertumbuhan patogen (r1 + r2)
Digoreskan transversal sebanyak 1 lup inokulasi
Letakkan biakan murni C. gloeosporioides Gambar 6 Uji antibiosis in vitro khamir terhadap C. gloeosporioides
Uji Kemampuan Kitinolitik Khamir berumur 3–5 hari digoreskan pada media kitin agar 0.2 % secara tegak lurus sebanyak 1 lup inokulasi tepat di tengah petridish (Ø 9 mm) dan
18
diinkubasikan pada suhu ruang. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 7 hari terhadap zona bening yang terbentuk pada tepi koloni khamir (Gambar 7).
Isolat khamir
Media kitin agar 0.2%
Khamir digoreskan secara tegak lurus sebanyak 1 lup inokulasi
Pengamatan zona bening yang terbentuk pada tepi koloni khamir setiap hari selama 7 hari pengamatan
Gambar 7 Uji kemampuan kitinolitik khamir pada media kitin agar 0.2% Identifikasi Khamir Empat isolat khamir yang dipilih diidentifikasi secara morfologi dan molekuler dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan primer umum 18S rDNA dengan forward primer ITS1 (5’-TCC GTA GGT GAA CCT GCG G3’) dan reverse primer ITS4 (5’-TCC TCC GCT TAT TGA TAT GC-3’) (Mirhendi et al. 2007). a). Ekstraksi DNA khamir Biakan khamir pada media PDB diambil sebanyak 1 ml, disentrifugasi dengan kecepatan 15.000 x g selama 5 menit kemudian ditambah bufer Harju sebanyak 200 µl dan divortex selama 1 menit. Setelah itu, didinginkan dalam es selama 2 menit kemudian diinkubasi pada suhu 95 0C selama 1 menit dan didinginkan kembali dalam es selama 2 menit kemudian diinkubasi pada suhu 95
0
C selama 1 menit.
Selanjutnya divortex selama 30 detik,
ditambahkankloroform sebanyak 200 µl dan divortex selama 2 menit kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 15.000 x g selama 5 menit, ambil supernatan kemudian tambahkan 400 µl etanol dingin dan diinkubasi dalam suhu -20 0C selama 30 menit. Setelah itu, sentrifugasi dengan kecepatan 15.000 x g selama 8 menit. Pelet kemudian diambil dan ditambah dengan 500 µl etanol dingin kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 15.000 x g selama 8 menit. Pelet yang terbentuk diambil dan disuspensikan dalam 30 µl ddH2O (nuclease free water) (Harju et al. 2004).
19
b). Polymerase Chain Reaction (PCR) Sebanyak 2 µl larutan DNA diamplifikasi dengan volume reaksi 25 µl yang terdiri atas 12.5 µl master mix (Qiagen), 1 µl forward primer (ITS1), 1 µl reverse primer (ITS4), dan 8.5 µl dH2O. Amplifikasi menggunakan primer 18S rDNA yaitu pasangan forward primer ITS1 (5’-TCC GTA GGT GAA CCT GCG G-3’) dan reverse primer ITS4 (5’-TCC TCC GCT TAT TGA TAT GC-3’). Amplifikasi dilakukan dengan mesin PCR Fast Thermal Cycler Gene Amp PCR System 9800 (PE Applied Biosystems, Norwalk, USA) dengan siklus denaturasi awal 95 0C selama 5 menit, denaturasi 95 0C selama 45 detik, annealing 55 0C selama 30 detik dan extension 72 0C selama 1 menit 30 detik. Langkah ke 2–4 diulang sebanyak 35 siklus dan final extension 72 0
C selama 7 menit. Elektroforesis dilakukan dalam 1.5% w/v gel agarose
(TopVision, Frementas) dengan marker GeneRuler 50 bp DNA Ladder (Fermentas) dan diwarnai dengan ethidium bromide. Hasil PCR disikuen di PT First Base Genetica Science menggunakan pasangan primer ITS1 dan ITS4.
Analisis homologi nukleotida khamir
menggunakan BLAST (Blast Local Alignment Search Tool) pada situs National Center for Biotechnology Information (NCBI) di www.blast.ncbi.nlm.nih.gov. Analisis Data Seluruh pengujian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan Minitab 16. Pengaruh perlakuan dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (Fisher’s test) dengan tingkat kepercayaan 95%.
21
HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi C. gloeosporioides dari Buah Avokad Isolasi C. gloeosporioides diambil dari bagian buah yang menunjukkan gejala antraknosa (Gambar 8). Hasil isolasi cendawan dari buah avokad pada media PDA, diperoleh kultur cendawan C. gloeosporioides dengan ciri-ciri morfologi miselium berwarna putih hingga putih keabu-abuan, massa konidia kebasah-basahan berwarna seperti warna ikan salmon (Gambar 9).
Gambar 8 Gejala awal serangan antraknosa pada buah avokad
b
a Gambar 9
c
Morfologi C. gloeosporioides pada media PDA: biakan C. gloeosporioides (a), massa konidia (b dan c)
Selain itu, ujung konidia membulat, hialin, bersel satu, memiliki seta pendek dan konidiofor yang tegak. Menurut CAB Internasional (2007), ukuran konidia C. gloeosporioides dalam media buatan sangat bervariasi. Dalam media PDA, konidia berukuran 6–9 x 1–4 µm (Gambar 10). Ukuran ini lebih kecil apabila
22 dibandingkan dengan ukuran konidia C. gloeosporioides yang diambil langsung dari buah avokad yang terserang antraknosa dari lapangan yang dapat mencapai 10–15 x 5–7 µm. Hal ini mungkin terjadi karena perbedaan nutrisi yang tersedia secara alami pada inang dan ketersediaan nutrisi yang ada pada media buatan. Seta berwarna coklat tua dan berada di tepi aservulus.
Gambar 10 Konidia C. gloeosporioides Isolasi Khamir dari Buah Avokad Hasil isolasi khamir dari tiga sampel buah avokad dengan menggunakan media YGC diperoleh 23 isolat khamir yang memiliki koloni berbeda pada media YGCA.
Seluruh isolat khamir ini selanjutnya diuji kemampuannya dalam
menekan kejadian penyakit antraknosa pada buah avokad dan menunjukkan tingkat hambatan relatif tinggi terhadap perkembangan C. gloeosporioides pada buah avokad. Penggunaan media YGC dilakukan untuk pengkayaan khamir yang ada dalam buahsehingga lebih banyak khamir yang dapat diisolasi dari buah avokad. Strategi yang efektif untuk mencegah penyakit pascapanen yang disebabkan oleh keberadaan cendawan patogen di lingkungan tersebut dilakukan dengan memilih dan menggunakan mikroorganisme antagonis yang diisolasi dari lingkungan yang sama dimana buah disimpan. Hal ini disebabkan karena adanya keterbatasan kemampuan suatu agens pengendali hayati untuk pascapanen untuk beradaptasi dengan kondisi buah dan lingkungan penyimpanan (Robiglio et al.
23 2011).
Berdasarkan hal tersebut, maka khamir diisolasi secara langsung dari
buah avokad untuk mendapatkan khamir antagonis sudah beradaptasi dengan kondisi buah dan lingkungan sehingga diperoleh khamir yang efektif mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad. Beberapa strain khamir menunjukkan aktivitas antagonis yang kuat terhadap cendawan di lapangan dan penyimpanan. Khamir memiliki potensi besar untuk digunakan sebagai agen pengendali hayati terhadap cendawan penyebab penyakit tumbuhan, khususnya dalam menghambat cendawan penyebab busuk buah pascapanen, karena khamir adalah kompetitor yang baik dalam mendapatkan ruang dan nutrisi. khamir
bekerja
Saat ini, terdapat tantangan untuk mengetahui bagaimana di
lingkungan pertanian,
atau
menemukan
bagaimana
mikroorganisme ini dapat membantu dalam proses produksi, serta mengetahui perannya menjaga keseimbangan ekosistem dalam mengurangi penggunaan fungisida (Rosa-Magri et al. 2011). Khamir memiliki sifat untuk dapat digunakan sebagai alternatif fungisida sintetik. Selain tidak memproduksi mikotoksin atau spora alergik, pada umumnya khamir tidak bersifat patogenik terhadap manusia dan binatang dan beberapa spesies khamir mampu hidup dengan jumlah air dan oksigen yang rendah (Coda et al. 2011). Sampai saat ini kerugian hasil akibat penyakit antraknosa diatasi dengan menggunakan fungisida sintetik sebagai cara perlindungan tanaman yang paling umum dijumpai, baik sebagai tindakan preventif maupun kuratif.
Akibat
intensifnya penggunaaan fungisida dilaporkan beberapa jenis patogen telah resisten tehadap benomil, kuintozen, dan blastisidins, serta terdapatnya residu bahan kimia pada hasil pertanian (Indratmi 2008). Kecenderungan dunia saat ini mulai beralih terhadap pengurangan residu pestisida pada buah dan sayuran. Dengan adanya kecenderungan ini, maka upaya pengendalian secara fisik dan biologi diteliti sebagai suatu alternatif pengendalian yang lebih aman daripada menggunakan
fungisida.
Penggunaan mikroorganisme
antagonis untuk
pengendalian penyakit pascapanen mendapatkan perhatian khusus dan diteliti lebih jauh (Droby 2006) serta telah berhasil digunakan untuk mengendalian penyakit baik sebelum panen maupun pascapanen (Janisiewicz & Korsten 2002).
24 Pengujian in Vivo Khamir terhadap Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad Pengujian in vivo dilakukan untuk mengetahui kemampuan khamir hasil isolasi dari buah avokad dalam menekan kejadian penyakit antraknosa pada buah avokad yang diinokulasi dengan C. gloeosporioides. Selain itu, pengujian in vivo dilakukan untuk mengetahui tingkat hambatan relatif khamir terhadap perkembangan C. gloeosporioides pada buah avokad.
Tabel 2
Kejadian penyakit antraknosa pada buah avokad yang diinokulasi C. gloeosporioides dan diberi perlakuan dengan khamir
Isolat Khamir A11 A12 A13 A14 A15 A16 A17 A21 A22 A23 A24 A25 A26 A27 A28 A31 A32 A33 A34 A35 A36 A37 A38 Fungisida Benomil *)
Kejadian Penyakit (KP) Antraknosa pada Konsentrasi Khamir **) 106 sel/ml *) 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 89.00 ab 33.33 cd 22.33 cd 78.00 abc 0.00 d 11.00 d 44.33 bcd 22.33 cd 44.33 bcd 0.00 d 0.00 d 11.00 d 33.33 cd 33.33 cd 22.33 cd 11.00 d 0.00 d
10 7 sel/ml *) 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 89.00 ab 100.00 a 89.00 ab 55.33 abc 43.33 bcd 22.00 cd 66.67 abc 89.00 ab 33.33 cd 22.33 cd 66.67 abc 33.33 cd 0.00 d 0.00 d 0.00 d 0.00 d 0.00 d 33.33 cd 0.00 d
Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda **) nyata; Kejadian penyakit (KP) ditentukan pada 7 HSI
25 Tabel 2 menunjukkan bahwa pada konsentrasi sel khamir 106 sel/ml, terdapat 14 isolat khamir yang efektif mengurangi kejadian penyakit antraknosa pada buah avokad yang diinokulasi C. gloeosporioides, yaitu isolat A22, A23, A25, A26. A27, A28, A31, A32, A33, A34, A35, A36, A37, A38.
Hasil
pengamatan kejadian penyakit antraknosa pada buah yang dicelupkan dalam suspensi khamir 107 sel/ml menunjukkan terdapat 11 isolat khamir yang efektif mengurangi kejadian penyakit antraknosa pada buah avokad yang diinokulasi C. gloeosporioides, yaitu isolat A23, A24, A27, A28, A32, A33, A34, A35, A36, A37, A38. Tabel 3
Hasil uji in vivo terhadap diameter (Ø) bercak inokulasi C. gloeosporioides dan tingkat hambatan relatif (THR) khamir dalam menghambat perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad Konsentrasi Khamir
Perlakuan
106 sel/ml
Ø bercak (cm) THR (%) A11 2.05 abc 13.45 ef A12 1.51 bcd 21.36 def A13 1.97 abc 5.32 ef A14 2.51 a 0.00 f A15 2.21 ab 5.60 ef A16 1.82 bc 12.46 ef A17 2.08 abc 9.24 ef A21 1.57 bc 24.28 cdef 0.54 ef 77.17 ab A22 A23 0.39 ef 83.47 ab A24 1.21 cde 24.42 cdef A25 0.00 f 100.00 a A26 0.02 f 95.76 ab A27 0.65 def 49.80 bcde A28 0.38 ef 66.67 abcd A31 0.52 ef 73.07 ab A32 0.00 f 100.00 a A33 0.00 f 100.00 a A34 0.13 f 92.75 ab A35 0.48 ef 66.67 abcd A36 0.34 ef 69.40 abc A37 0.13 f 75.76 ab A38 0.08 f 95.83 ab Tanpa perlakuan 1.50 bc 0.00 f Fungisida Benomil 0.00 f 100.00 a
107 sel/ml Ø bercak (cm) 1.80 abcd 1.74 abcd 1.71 abcde 2.40 a 1.78 abcd 1.35 bcdef 1.09 ab 1.87 abc 0.84 efghij 1.17 cdefg 0.09 ij 1.08 cdefgh 0.75 fghij 0.00 j 0.11 ij 0.97 defghi 0.44 ghij 0.44 ghij 0.00 j 0.00 j 0.00 j 0.00 j 0.26 hij 1.71 abcde 0.00 j
THR (%) 14.29 defg 19.03 defg 3.94 fg 0.00 g 8.82 efg 29.63 defg 0.00 g 14.78 defg 51.35 bcd 44.54 bcdef 94.41 a 35.43 defg 48.29 bcde 100.00 a 94.20 a 39.78 cdefg 81.51 ab 81.51 ab 100.00 a 83.51 ab 100.00 a 100.00 a 80.02 abc 0.00 g 100.00 a
Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
26 Hasil pengukuran terhadap THR khamir terhadap perkembangan penyakit antraknosa pada uji in vivo diketahui bahwa pada konsentrasi sel khamir 10 6 sel/ml, terdapat 13 isolat khamir yang memiliki THR tidak berbeda nyata dengan fungisida yaitu A33, A32, A25, A38, A26, A34, A23, A22, A37, A31, A36, A35, dan A28 dengan nilai THR sebesar 66.67 % sampai 100%. Hasil pengukuran THR terhadap isolat khamir pada konsentrasi 107 sel/ml, terdapat 10 isolat khamir yang memiliki THR tidak berbeda nyata dengan fungisida yaitu isolat A37, A36, A34, A27, A24, A28, A35, A33, A32, dan A38 dengan nilai THR sebesar 80.02% sampai 100% (Tabel 3). Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan bahwa 8 (delapan) isolat khamir hasil isolasi dari buah avokad efektif dalam menekan kejadian penyakit antraknosa pada buah avokad dan memberikan tingkat hambatan relatif yang tidak berbeda nyata dengan fungisida benomil. Delapan isolat khamir yang berpotensi untuk dapat digunakan sebagai agens pengendali hayati C. gloeosporioides di penyimpanan adalah isolat A28, A32, A33, A34, A35, A36, A37 dan A38. Namun, hanya 4 isolat yang dikarakterisasi lebih lanjut yaitu isolat A33, A35, A36 dan A37. Khamir sesuai digunakan sebagai agens pengendali hayati penyakit pascapanen pada buah dan sayuran karena cepat mengkolonisasi dan bertahan pada permukaan buah dalam waktu yang cukup lama pada berbagai kondisi, mampu berkompetisi penggunaan nutrisi dengan patogen (Jones & Prusky 2002). Selain itu, kebutuhan nutrisi khamir sederhana, dapat tumbuh cepat dengan menghasilkan sel dalam jumlah besar (Druvefors 2004), tidak menghasilkan spora alergik atau mikotoksin, serta menghasilkan vitamin, mineral, dan asam nukleat penting yang digunakan dalam makanan (Hashem & Alamri 2009).
Aspek
psikososial juga merupakan salah satu pertimbangan pemilihan khamir sebagai agens pengendali hayati pada komoditas pascapanen. Pada umumnya masyarakat yang merasa lebih aman apabila suatu komoditas diberi perlakuan dengan khamir daripada dengan menggunakan bakteri atau virus.
Selain itu, khamir juga
memiliki kemampuan hidup yang sangat baik dalam lingkungan penyimpanan karena khamir menghasilkan spora sebagai struktur tahan.
27 Salah satu faktor yang menentukan daya saing suatu produk dalam perdagangan bebas yaitu adanya jaminan mutu dan keamanan (safety) pangan bagi konsumen dalam
mengkonsumsi/menggunakan produk yang bersangkutan
(Mentan 2008). Selain itu, dengan ditetapkannya batas maksimum residu produk pertanian khususnya benomil pada avokad sebesar 0.5 mg/kg (Menkes & Mentan 1996) serta peningkatan kesehatan dan perhatian lingkungan mengenai limbah pestisida dan residunya pada produk segar mendorong pengembangan metode pengendalian yang lebih efektif dan aman terhadap manusia dan lingkungan (Droby 2006). Keberadaan mikroba filoplan memberikan peranan terhadap besarnya kejadian timbulnya infeksi oleh patogen tanaman. Tanaman dengan populasi mikroba filosfer yang rendah diduga lebih rentan terhadap serangan patogen. Tanaman dengan komplek populasi mikroba filosfer yang tinggi diduga dapat lebih tahan atau terlindungi dari serangan patogen. Hal ini disebabkan karena mikroba filosfer epifit maupun endofit memberikan barier alami terhadap serangan patogen. Selain itu diantara mikroba tersebut sangat mungkin bertindak sebagai kompetitor ataupun bersifat antagonis terhadap patogen sehingga menguntungkan tanaman (Indratmi 2008).
Jeffries dan Koomen (1992)
menyatakan bahwa metode pengendalian dengan mikroorganisme antagonis terhadap Colletotrichum sp. bertujuan untuk mengurangi sejumlah infeksi awal.
a
b
c
d
e
f
g
h
Gambar 11 Hasil inokulasi C. gloeosporioides pada buah avokad (4 hari setelah inokulasi: perlakuan benomil (a), tanpa perlakuan (b), perlakuan khamir isolat A12(c), perlakuan khamir isolat A31(d), perlakuan khamir isolat A33 (e), isolat A35 (f), isolat A36 (g), isolat A37 (h)
28
a
b
c
d
e
f
g
h
Gambar 12 Hasil inokulasi C. gloeosporioides pada buah avokad (5 hari setelah inokulasi: perlakuan benomil (a), tanpa perlakuan (b), perlakuan khamir isolat A12(c), perlakuan khamir isolat A31(d), perlakuan khamir isolat A33 (e), isolat A35 (f), isolat A36 (g), isolat A37 (h) Gambar 11 dan 12 menunjukkan perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad yang diinokulasi C. gloeosporioides pada konsentrasi 10 7 konidia/ml.
Perkembangan bercak antraknosa pada buah avokad yang diberi
perlakuan dengan fungisida benomil tidak terlihat pada titik inokulasi C. gloeosporioides, sedangkan pada buah avokad yang tidak diberi perlakuan terlihat muncul bercak yang menandai perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad pada titik inokulasi. Bercak antraknosa juga tidak terlihat pada buah avokad yang diberi perlakuan dengan khamir A33, A35, A36, dan A37, sedangkan pada buah avokad yang diberi perlakuan dengan khamir lainnya tampak bergejala dan ditumbuhi konidia cendawan C. gloeosporioides pada titik inokulasi. Hal ini menunjukkan bahwa keempat isolat khamir tersebut efektif dalam menghambat perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad.
Uji Antibiosis in Vitro Khamir terhadap C. gloeosporioides Pengamatan hasil uji antibiosis secara in vitro menunjukkan bahwa hingga hari ke-15 tidak terjadi aktivitas antibiosis khamir terhadap C. gloeosporioides. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya zona hambatan khamir terhadap perkembangan C. gloeosporioides pada media PDA (Gambar 13). Keadaan ini membuktikan bahwa mekanisme kerja dari keempat isolat khamir dalam menekan pertumbuhan cendawan C. gloeosporioides bukan merupakan antibiosis.
29
b
b a
Gambar 13 Uji antibiosis in vitro khamir (a) terhadap C. gloeosporioides (b) pada media PDA Sebagian potensi pengendalian yang dikembangkan mengarah pada penentuan mekanisme antagonisme antara agens pengendali hayati dengan patogen target. Mekanisme penghambatan ini penting diketahui karena berkaitan dengan efektivitas dan efisiensi penerapan agens pengendali hayati selanjutnya. Kejadian antagonisme dapat terjadi karena adanya kontak langsung antara agens pengendali biologi dengan patogen, maupun antara zat/senyawa yang dihasilkan oleh agens pengendali hayati berupa metabolit sekunder antimikroba dengan patogen (Indratmi 2008). Tingginya efisiensi khamir sebagai agens pengendali hayati karena daya adaptasi khamir yang tinggi pada berbagai lingkungan serta kondisi nutrisi yang berbeda, kemampuannya tumbuh pada suhu yang rendah, dan kemampuannya untuk menutup luka (Robiglio et al. 2011).
Uji Kemampuan Kitinolitik Hasil uji kemampuan kitinolitik khamir selama tujuh hari pengamatan menunjukkan bahwa seluruh isolat khamir hasil isolasi dari buah avokad tidak melakukan aktivitas kitinolitik. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya zona bening di sekitar isolat khamir yang digoreskan secara tegak lurus pada media kitin agar 0.2% sebagai tanda terjadinya aktivitas khamir menguraikan kitin (Gambar 14).
30 Kitin merupakan unsur penting penyusun dinding sel cendawan. Pemanfaatan mikroba kitinolitik sebagai agens pengendali hayati merupakan salah satu cara pengendalian hayati yang efektif untuk cendawan patogen tanaman karena mekanisme pengendaliannya tidak tergantung pada ras patogen dan tidak merangsang timbulnya resistensi. Kitinase yang terdapat pada bakteri, serangga, virus, tumbuhan, dan hewan memainkan peran penting dalam fisiologi dan ekologi (Ohno et al. 2001).
Gambar 14 Zona bening sebagai tanda aktivitas kitinolitik khamir tidak terlihat di sekitar khamir yang digoreskan pada bagian tengah media kitin agar 0.2% Kitinase yang diproduksi mikrob dapat menghidrolisis struktur kitin yang merupakan senyawa utama penyusun dinding sel tabung kecambah konidia dan miselia, sehingga cendawan tidak mampu melakukan infeksi. Oleh karena itu, salah satu penyakit yang berpotensi untuk dikendalikan dengan mikrob kitinolitik adalah penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. gloeosporioides (El-Katany et al. 2000). Ujung hifa merupakan bagian yang rentan terhadap aktivitas litik mikroba kitinolitik. Enzim kitinase mampu menghidrolisis kitin menjadi derivate kitin. Pengendalian hayati cendawan dengan menggunakan mikroorganisme kitinolitik didasarkan pada kemampuannya menghasilkan kitinase dan β-1,3-glucanase yang dapat melisis sel cendawan (El-Katany et al. 2000). Hasil uji antibiosis secara in vitro dan kemampuan kitinolitik menunjukkan bahwa antibiosis dan produksi enzim kitinase bukan merupakan mekanisme kerja
31 khamir dalam mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad selama penyimpanan. Selain produksi kitinase, terdapat beberapa mekanisme khamir dalam menghambat patogen (El Gaouth et al. 2003) yaitu dengan menghasilkan sekresi yang menghambat patogen (Guetsky et al. 2002), mampu melekat pada dinding sel cendawan, aktivitas peroksidase (El Gaouth et al. 2003), kompetisi ruang dan nutrisi serta induksi ketahanan (Guetsky et al. 2002; El Gaouth et al. 2003). Mekanisme penghambatan cendawan sangat bervariasi tergantung pada spesies khamir, sifat cendawan target, dan parameter fisik sistem pengendali hayati (Coda et al. 2011). Candida guilliermondii (strain US 7 dan strain 101) serta Candida oleophila (strain I-182) pada uji in vitro dengan menggunakan media PDA diketahui dapat menghambat pertumbuhan hifa Botrytis cinerea dengan menempel kuat pada hifa cendawan. Selain itu, C. guilliermondii strain US 7 juga dilaporkan memiliki mekanisme kompetisi nutrisi dalam mengendalikan green mold pada jeruk (Saligkarias et al. 2002). Zhang et al. (2011) menyatakan bahwa Pichia guilliermondii strain M8 dengan konsentrasi 10 8 sel/ml dan 109 sel/ml diketahui dapat menghambat perkecambahan spora B. cinerea dan menghambat perkembangan penyakit grey mold secara in vitro pada media jus apel dan secara in vivo pada buah apel. Sel P. guilliermondii strain M8 diketahui menempel kuat pada hifa dan spora B. cinerea, memproduksi enzim hidrolisis, termasuk β-1,3-glukanase dan kitinase. Perlakuan dengan P. guilliermondii strain M8 pada konsentrasi 108 sel/ml secara signifikan dapat mengurangi grey mold dan menginduksi ketahanan inang serta mampu berkompetisi dengan B. cinerea dalam menggunakan nitrogen dan sumber karbon.
Identifikasi Khamir Identifikasi khamir dilakukan dengan melihat morfologi khamir dan secara molekuler. Identifikasi secara morfologi dapat dilakukan dengan melihat bentuk tepi koloni khamir, permukaan koloni, elevasi koloni, dan warna koloni pada media PDA (Tabel 4 dan Gambar 15) serta melihat bentuk sel khamir (Gambar 16).
32 Tabel 4 Morfologi koloni dan bentuk sel khamir pada media PDA Biakan khamir A33 A35 A36 A37
Bentuk tepi koloni Halus Halus Halus Halus
Elevasi koloni
Bentuk sel
Cembung Datar Datar Cembung
Bulat Bulat Bulat Bulat
Warna koloni
Permukaan koloni
Putih Putih Putih Putih
Licin Licin Licin Licin
a
b
c
d
Gambar 15 Morfologi koloni 4 isolat khamir pada media PDA: khamir isolat A33 (a), isolat A35 (b), isolat A36 (c), dan A37 (d)
33
a
b
c
d
Gambar 16 Morfologi sel 4 isolat khamir: isolat A33 (a), isolat A35 (b), isolat A36 (c), dan A37 (d)
Gambar 17 Hasil PCR khamir isolat A33, A35, A36, dan A37 menggunakan primer ITS1 dan ITS4 Hasil elektroforesis produk PCR yang dilanjutkan dengan visualisasi menggunakan Gel Doc menunjukkan bahwa dengan primer umum untuk cendawan, keempat DNA khamir isolat A33, A35, A36 dan A37 dapat teramplifikasi dan tervisualisasi (Gambar 17). Hasil analisis BLAST terhadap isolat A33 dan A37 menunjukkan tingkat kesamaan sikuen nukleotida dengan Wickerhamomyces anomalus (Pichia anomala), sedangkan hasil analisis BLAST
34 terhadap isolat A35 dan A36 menunjukkan tingkat kesamaan sikuen nukleotida dengan Candida intermedia (Tabel 5).
Tabel 5 Isolat khamir pada GenBank yang dibandingkan dengan empat isolat khamir yang diisolasi dari avokad No
Isolat
Kode Aksesi
Deskripsi
1
A33
EU380207.1
Pichia anomala
2
A35
HQ693784.1
Candida intermedia
3
A36
HQ693784.1
Candida intermedia
4
A37
EU380207.1
Pichia anomala
Identitas Aksesor** Maks. 99% Wang et al. (2009)* 100% Jensen dan Arendrup (2011)* 100% Jensen dan Arendrup (2011)* 99% Wang et al. (2009)*
**Aksesor merupakan peneliti yang mendaftarkan sikuen isolat khamir hasil penelitiannya pada GenBank; * dipublikasikan pada jurnal.
Pichia anomala (sinonim Wickerhamomyces anomalus) termasuk dalam kelompok Ascomycetes, bersifat heterotalik, membentuk satu sampai empat askospora berbentuk hatshaped.
Khamir ini pada umumnya ditemukan
berasosiasi dengan makanan, pakan, buah dan bahan tanaman yang mulai membusuk (Druvefors 2004). P. anomala dapat tumbuh pada kondisi anaerob pada suhu antara 3 ºC sampai 37 ºC, dengan pH antara 2.0 sampai 12.4 (Fredlund et al. 2004) Beberapa studi mengindikasikan bahwa beberapa spesies khamir, termasuk P.
anomala
merupakan
agens
pengendali
hayati
yang
efektif
untuk
mengendalikan berbagai macam cendawan patogen dengan berbagai mekanisme (Tabel 6). Beberapa patogen yang dilaporkan dapat dikendalikan oleh P. anomala antara lain Botrytis cinerea, Aspergillus candidus, Penicillium roqueforti dan cendawan patogen lain serta cendawan penyebab pembusukan kayu (Druvefors et al. 2005), cendawan penyebab penyakit pascapanen pada buah, sayuran dan bijibiji sereal (Petersson & Schnürer 1995).
P. anomala adalah khamir yang
termasuk dalam kelompok Ascomycetes yang ditemukan secara alami berada pada makanan, biji-biji sereal dan memiliki kemampuan menghambat beberapa cendawan (Fredlund 2004) pada berbagai kondisi lingkungan.
Aktivitas
35 antifungal P. anomala dipengaruhi oleh kecepatan respon terhadap perubahan kondisi lingkungan (ketersediaan oksigen dan gula) dan pelepasan metabolit antifungal, misalnya etanol dan etil asetat (Fredlund et al. 2004). P. anomala juga dikenal sebagai agens pengendali hayati terhadap kapang pada biji-bijian yang disimpan pada kondisi kedap (Druvefors et al. 2002). Pada tahun 1993, Björnberg dan Schnürer menyatakan bahwa P.anomala pada dosis tertentu secara in vivo dapat menghambat Aspergillus candidus dan Penicillium roqueforti. Baik panjang hifa maupun jumlah koloni per unitnya dapat dikurangi. Selanjutnya Petersson dan Schnürer (1995) menemukan bahwa P.anomala dapat menghambat pertumbuhan P. roqueforti pada biji gandum yang disimpan pada tabung semi kedap.
Selain itu, khamir diketahui efektif
mengendalikan beberapa cendawan target pada lingkungan yang berbeda-beda. P. anomala diklasifikasikan sebagai organisme yang aman dan belum ada laporan yang menyatakan bahwa khamir ini menghasilkan mikotoksin yang berbahaya atau memproduksi spora alergik.
P. anomala mampu hidup pada
kondisi anaerobik pada berbagai nutrisi dan hanya sedikit yang menginduksi fermentasi alkohol meskipun jumlah glukosanya tinggi. Namun, mekanisme kerja P. anomala dalam menghambat patogen tanaman belum diketahui (Fredlund 2004). Spesies yang termasuk dalam genus Pichia (P. guilliermondii, P. angusta, dan P. anomala) dikenal sangat baik dalam mengendalikan cendawan patogen pascapanen dengan menurunkan sporulasi cendawan patogen serta memproduksi mikotoksin (Coda et al. 2011). Wang et al. (2009) menyatakan bahwa P. anomala strain 0732-1 merupakan agens yang potensial untuk digunakan sebagai pengendali hayati bacterial fruit blotch yang disebabkan oleh Acidovorax avenae subsp. citrulli pada melon hami. Penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa P. anomala juga dapat menekan pertumbuhan miselium dan sporulasi Penicillium spp. dan Aspergillus spp. pada biji-biji sereal yang disimpan dalam kondisi kedap (Petersson & Schnürer 1995). Friel et al. (2007) melaporkan bahwa produksi β-1,3-glukanase oleh P. anomala strain K memainkan peran penting dalam menekan Botrytis cinerea penyebab grey mold disease dan dilaporkan dapat mendegradasi dinding sel cendawan (Jijakli & Lepoivre 1998). Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa P. anomala
36 strain DBVPG 3003 menghasilkan sekresi toksin yang disebut sebagai Pikt, yang memiliki aktivitas anticendawan untuk melawan khamir penyebab busuk Brettanomyces sp. dan Dekkera sp. (De Ingeniis et al. 2008). P. anomala strain 0732-1 dapat memproduksi substansi anti bakteri (anti bacterial substances/ABS) yang efektif menekan pertumbuhan A. avenae subsp. citrulli pada media King’s B.
Produksi ABS oleh khamir strain 0732-1 dapat digunakan untuk
mengendalikan hawar bibit pada melon hami yang disebabkan A. avenae subsp. citrulli serta sebagai perlakuan benih untuk mengurangi kejadian dan keparahan penyakit (Wang et al. 2009). Penambahan gula dalam formulasi P. anomala yang dikomersialkan dilaporkan dapat meningkatkan viabilitas dan kinerja khamir sebagai agen pengendali hayati (Druvefors et al. 2005).
Tabel 6 Mekanisme kerja P. anomala pada uji in vitro Cendawan Target Aspergillus flavus dan
Mekanisme Kerja Toksin/racun pembunuh
A. fumigatus
Toksin/racun pembunuh
A. nidulans
Toksin/racun pembunuh Toksin/racun pembunuh
A. niger
A. parasiticus Aurebasidium pullulans Botrytis cinerea Penicillium camembertii Penicillium notatum Rhizopus solani *)
Toksin/racun pembunuh Toksin/racun pembunuh Enzim penghancur dinding sel*) Toksin/racun pembunuh Toksin/racun pembunuh Toksin/racun pembunuh
pengujian in vitro, pada anggur, dan apel.
Referensi Polonelli et al. (1987); Petersson dan Schnürer (1995) Polonelli et al. (1987); Petersson dan Schnürer (1995) Polonelli et al. (1987) Polonelli et al. (1987); Björnberg dan Schnürer (1993) Polonelli et al. (1987) Polonelli et al. (1987) Petersson dan Schnürer (1995) Polonelli et al. (1987) Polonelli dan Morace (1986) Walker et al. (1995)
37 Candida
intermedia
diketahui
dapat
menghambat
pertumbuhan
Colletotrichum graminicola dan Colletotrichum sublineolum penyebab penyakit antraknosa pada sorghum dan jagung. Hasil uji antagonis C. intermedia yang diisolasi dari rizosfer tanaman tebu terhadap C. graminicola menunjukkan bahwa C. intermedia
mampu menekan pertumbuhan cendawan patogen dengan
memberikan reaksi antagonisme sebesar 45.9% sampai 48.9% sedangkan hasil uji antagonis C. intermedia terhadap C. sublineolum menunjukkan bahwa C. intermedia mampu menekan pertumbuhan cendawan patogen dengan memberikan reaksi antagonisme sebesar 47.7% sampai 48.9%. Namun, sampai saat ini belum ada informasi mekanisme kerja C. intermedia dalam menekan pertumbuhan cendawan patogen (Rosa-Magri et al. 2011).
38
39
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penelitian ini menghasilkan delapan isolat khamir yang efektif sebagai agens pengendali hayati C. gloeosporioides, yaitu isolat A28, A32, A33, A34, A35, A36, A37 dan A38. Hanya empat isolat yang dikarakterisasi lebih lanjut secara morfologi dan molekuler yaitu isolat A33, A35, A36, dan A37. Hasil identifikasi molekuler terhadap isolat A33 dan A37 diketahui bahwa isolat tersebut adalah Pichia anomala yang mampu memberikan tingkat hambatan relatif terhadap perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad dalam uji in vivo sebesar 75.76–100% pada konsentrasi 106–107 sel/ml.
Hasil identifikasi
molekuler terhadap isolat A35 dan A36 diketahui bahwa isolat tersebut adalah Candida intermedia yang mampu memberikan tingkat hambatan relatif terhadap perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad dalam uji in vivo sebesar 66.67–100% pada konsentrasi 106–107 sel/ml.
Saran Mekanisme kerja khamir dalam mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad belum diketahui. penelitian
Oleh karena itu, perlu adanya serangkaian
lanjutan untuk mengetahui mekanisme
mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad.
kerja
khamir
dalam
41
DAFTAR PUSTAKA Agrios GN. 1997. Plant Pathology. 4 nd ed. New York (US): Academic Press. Bailey JA, Jeger J. 1992. Colletotrichum : Biology, Pathology, and Control. London (UK): The British Society For Plant Pathology. Bautista-Bañosa S, Hernández-Lauzardoa AN, Vallea MGV, Hernández-Ló peza M, Barkab EA, Bosquez-Molinac E, Wilsond CL. 2006. Chitosan as a potential natural compound to control pre and postharvest diseases of horticultural commodities. Crop Prot. 25:108–118. Beno-Moualem D, Prusky D. 2000. Early events during quiescent infection development by Colletotrichum gloeosporioides in unripe avocado fruits. Phytopathology. 90:553-559. Björnberg A, Schnürer J. 1993. Inhibition of the growth of grain-storage molds in vitro by the yeast Pichia anomala (Hansen) Kurtzman. Can J Microbiol. 39:623-628. [CABI] CAB International. 2007. Crop Protection Compendium (CD-Rom). Wallingford (UK): CABI. 2nd CD-Rom dengan penuntun di dalamnya. Chalutz E, Wilson CL. 1990. Postharvest biocontrol of green and blue mold and sour rot of citrus fruit by Debaryomyces hansenii. Plant Dis. 74:134–137. Chanchaichaovivat A, Ruenwongsa P, Panijpan B. 2007. Screening and identification of khamir strain from fruits and vegetables: Potential for biological control of postharvest chilli anthrachnose (Colletotrichum capsici). Biol Control. 42:326-335. Coda R, Cassone A, Rizzello CG, Nionelli L, Cardinali G, Gobbetti M. 2011. Antifungal Activity of Wickerhamomyces anomalus and Lactobacillus plantarum sourdough fermentation: identification of novel compounds and long-term effect during storage of wheat bread. Appl Environ Microbiol. [internet]. 77(10):3484-3492. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3126437/. DOI: 10.1128/AEM.02669-10. De Capdeville G, Souza Jr MT, Santos JPR, de Paula Miranda S, Caetano AR, Torres FAG. 2007. Selection and testing of epiphytic yeasts to control anthracnose in post-harvest of papaya fruit. Sci Hort. 111:179–185. De Ingeniis J, Raffaelli N, Ciani M, Manazzu I. 2008. Pichia anomala DBVPG 3003 secretesa ubiquitin-like protein that has antimicrobial activity. Appl Environ Microbiol. 75(4):1129-1134. Tersedia pada : http://aem.asm.org/content/early/2008/12/29/AEM.01837-08.short. DOI: 10.1128/AEM.01837-08. Dickman MB. 1993. Collettotrichum gloeosporioides. [internet]. [diunduh 2012 Apr 15]. Tersedia pada: http://www.extento.hawaii.edu/kbase/crop/Type/ c_gloeo.htm.
42 Droby S, Chalutz E, Wilson CL, Wisniewski M. 1989. Characterization of the biocontrol activity of Debaryomyces hansenii in the control of Penicillium digitatum on grapefruit. Can J Microbiol. 35:794-800. Droby S, Chalutz E, Wilson CL. 1991. Antagonistic microorganisms as biological control agents of postharvest diseases of fruits and vegetables. Postharvest News and Information. 2:169-173. Droby S, Chalutz E. 1994. Mode of action of biocontrol agents of postharvest disease. Di dalam: Wilson CL, Wisniewski ME, editor. Biological control of postharvest disease of fruit and vegetables theory and practice. Boca Raton (US): CRC Press. hlm 63-75. Droby S, Wisniewski ME, Cohen L, Weiss B, Touitou D, Eilam Y, Chalutz E. 1997. Influence of CaCl2 on Penicillium digitatum, grapefruit peel tissue, and biocontrol activity of Pichia guilliermondii. Phytopathology. 87:310315. Droby S. 2006. Biological control of postharvest disease of fruit and vegetables: difficulties and challenges. Phytopathology. Pol. 39:105–117. Druvefors U, Jonsson N, Boysen ME, Schnürer J. 2002. Efficacy of the biocontrol yeast Pichia anomala during long-term storage of moist feed grainunder different oxygen and carbon dioxide regimens. FEMS Yeast Res. 2:389-394. Druvefors UÄ, Passoth V, Schnürer J. 2005. Nutrient Effects on Biocontrol of Penicillium roqueforti by Pichia anomala J121 during Airtight Storage of Wheat. Appl Environ Microbiol. 71(4):1865-1869. Tersedia pada: http://aem.asm.org/content/71/4/1865.full. DOI: 10.1128/AEM.71.4.18651869.2005. Druvefors U, Jonsson N, Boysen ME, Schnürer J. 2002. Efficacy of the biocontrol yeast Pichia anomala during long-term storage of moist feed grain under different oxygen and carbon dioxide regimens. FEMS Yeast Res. 2:389-394. Druvefors UÄ. 2004. Yeast Biocontrol of Grain Spoilage Moulds: Mode of Action of Pichia anomala [Disertasi]. Uppsala (IN): Acta Universitatis Agriculturae Sueciae. El Ghaouth A, Wilson CL, Wisniewski M. 2003. Control of postharvest decay of apple fruit with Candida saitoana and induction of defense responses. Phytopathology. 93:344-348. El-Katatny MH, Somitch W, Robra KH, El-Katatny MS, Gubitz GM. 2000. Production of chitinase and β-1,3-glucanase by Trichoderma harzianum for control of the phytopathogenic fungus Sclerotium rolfsii. Food Technol Biotechnol. 38:173-180. Fredlund E, Blank LM, Schnürer J, Sauer U, Passoth V. 2004. Oxygen and glucose dependent regulation of central carbon metabolism in Pichia anomala. Appl Environ Microbiol. 7 (10) : 5905-5911. Tersedia pada : http://aem.asm.org/content/70/10/5905. DOI : 10.1128/AEM.70.10.59055911.2004
43 Fredlund E. 2004. Central Carbon Metabolism in the Biocontrol Yeast Pichia anomala: Influence of Oxygen Limitation [Doctoral thesis]. Uppsala (IN): Swedish University of Agricultural Sciences. Friel D, Pessoa NMG, Vandenbol M, Jijakli MH. 2007. Separate and combined disruptions of two exo-β-1,3-glucanase genes decrease the efficiency of Pichia anomala (strain K) biocontrol against Botrytis cinerea on apple. Molecular-Mocrobe Interaction. 20:371-379. Gholamnejad J, Etebarian HR, Sahebani N. 2009. Biological control of apple blue mold with Candida. Afr J Food Sci. 4(1):001-007. Guetsky R, Shtienberg D, Elad Y, Fischer E, Dinoor A. 2002. Improving biological control by combining biocontrol agents each with several mechanisms of disease suppression. Phytopathology. 92:976-985. Hashem M, Alamri S. 2009. The biocontrol of postharvest disease (Botryodiplodia theobromae) of guava (Psidium guajava L.) by the application of yeast strains. Postharvest Biol Technol. 53:123–130. Hao W, Zhong G, Hu M, Luo J, Weng Q, Rizwan-ul-Haq M. 2010. Control of citrus postharvest green and blue mold and sour rot by tea saponin combined with imazalil and prokloraz. Postharvest Biol Technol. 56:39-43. Harju S, Fedosyuk H, Peterson KR. 2004. Rapid isolation of yeast genomic DNA: Bust n' Grab. BMC Biotechnol [internet]. [Diunduh 2012 Feb 2]. Tersedia pada: protocol-online.org/prot/Protocols/Quick-and-Easy-Isolation-ofGenomic-DNA-from-Yeast-3451.html Indratmi D. 2008. Mekanisme penghambatan Colletotrichum gloeosporioides patogen penyakit antraknosa pada cabai dengan khamir Debaryomyces sp. Draft Publikasi Penelitian Pengembangan Ipteks. Malang (ID): Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Malang. Ippolito A, Nigro F. 2000. Impact of postharvest of biological control agents on postharvest disease of fresh fruit and vegetables. Crop Prot. 19:715-723 Ippolito A, El Ghaouth A, Wilson CL, Wisniewski M. 2000. Control of postharvest decay of apple fruit by Aureobasidium pullulans and induction of defense responses. Postharvest Biol Technol. 19:265-272. Izgu F, Altinbay D. 1997. Killer toxins of certain yeast strains have potential growth inhibitory activity on gram-positive pathogenic bacteria. Microbios. 89:15-22. Janisiewicz WJ, Korsten L. 2002. Biological control of postharvest disease of fruits. Annu Rev Phytopathology. 40:11-441. Jeffries P, Koomen I. 1992. Strategies and Prospects for Biological Control of Diseases Caused by Colletotrichum. Di dalam: Bailey JA, Jeger MJ, editor. Colletotrichum: Biology, Pathology and Control. Wallingford (UK): Commonwealth Mycological Institute. hlm 337–357. Jensen RH, Arendrup MC. 2011. Candida palmioleophila: Characterization of a Previously Overlooked Pathogen and Its Unique Susceptibility Profile in Comparison with Five Related Species. J Clin Microbiol. 49(2):549-556.
44 Jijakli HM, Lepoivre P. 1998. Characterization of an Exo-ß-1,3-Glucanase produced by Pichia anomala strain K, antagonist of Botrytis cinera on apples. Phytopathology. 88:335-343. Jones RW, Prusky D. 2002. Expression of an antifungal peptide in Saccharomyces: a new approach for biological control of the postharvest disease caused by Colletotrichum coccodes. Phytopathology. 92:33-37. Kefialew Y, Ayalew A. 2009. Postharvest biological control of anthracnose (Colletotrichum gloeosporioides) on mango (Mangifera indica). Postharvest Biol Technol. 50:8–11. Korsten L, De Jager ES, De Villiers EE, Lourens A, Kotzé JM, Wehner FC. 1995. Evaluation of bacterial epiphytes isolated from avocado and fruit surfaces for biocontrol of avocado postharvest disease. Plant Dis. 79:11491156. Korsten L, De Jager ES, De Villiers EE, Lourens A, Kotzé JM, Wehner FC. 1995. Evaluation of bacterial epiphytes isolated from avocado leaf and fruit suface for biocontrol of avocado postharvest disease. Plant Dis. 79:1149-1156. Kotzé JM. 1978. Anthracnose of avocados. South African Avocado Growers’ Association Research Report for 1978 2: 45-47. South Africa (ZA): Department of Microbiology and Plant Pathology, University of Pretoria. Kurtzman CP, Droby S. 2001. Metschnikowia fructicola, a new ascosporic yeast with potential for biocontrol of postharvest fruit rots. Syst Appl Microbiol. 24:395-399. McLaughlin RJ, Wisniewski ME, Wilson CL, Chalutz E. 1990. Effect of inoculum concentration and salt solutions on biological control of postharvest diseases of apple with Candida sp. Phytopathology. 80:456-461. [Menegristek] Menteri Negara Riset dan Teknologi Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. 2000. Alpukat/Avokad (Persea americana Mill/Persea gratissima Gaerth). Jakarta (ID): Menegristek. [Menkes & Mentan] Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian. 1996. Keputusan Bersama Menteri Kesehatan Nomor 881/MENKES/SKB/VIII/1996 dan Menteri Pertanian Nomor 711/Kpts/TP.270/8/1996 tentang Batas Maksimum Residu Pestisida Pada Hasil Pertanian. Jakarta (ID): Menkes dan Mentan. [Mentan] Kementerian Pertanian. 2008. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 35/Permentan/OT.140/7/2008 tentang Persyaratan dan Penerapan Cara Pengolahan Hasil Pertanian Asal Tumbuhan yang Baik (Good Manufacturing Practices). Jakarta (ID): Mentan. Mirhendi H, Diba K, Rezaei A, Jalalizand N, Hosseinpur L, Khodadadi H. 2007. Colony-PCR is a rapid and sensitive method for DNA amplification in yeasts. Iranian J Publ Health. 36(1):40-44 Nelson . 2008. Anthracnose of avocado. Plant Dis. [Diunduh 2011 Apr 26]; PD58. Tersedia pada: http://www.ctahr.hawaii.edu/oc/freepubs/pdf/PD-58.pdf
45 Ohno T, Armand S, Hatta T, Nikaidou N, Henrissat B, Mitsoumi M,Watanabe T. 1996. A modular family 19 chitinase found in the prokaryotic organism Streptomyces griseus HUT 6037. JJ Bacteriol. 178 :5065-5070. Payne C, Bruce A. 2001. The Yeast Debaryomyces hansenii as a Short-Term Biological Control Agent against Fungal Spoilage of Sawn Pinus sylvestris Timber. Biol Control. 22:22–28. Petersson S, Schnürer J. 1995. Biocontrol of mold growth in high-moisture wheat stored airtight condition by Pichia anomala, Pichia guilliermondii, and Saccharomyces cerevisiae. Appl Environ Microbiol. 61(3):1027-1032. Prabawati S, Murtiningsih, Yulianingsih. 1993. Pengaruh ketuaan dan perlakuan seteleh panen terhadap penampakan dan perkembangan busuk pangkal batang (stem end rot) buah mangga arumanis. Hortikultura. 3(3):34-46. Polonelli L, Morace G. 1986. Reevaluation of the yeast killer phenomenon. J Clin Microbiol. 24(5):866-869. Polonelli L, Dettori G, Cattel C, Morace G. 1987. Biotyping of micelial fungus cultures by the killer system. Eur J Epidemiol. 3:237-42. Roberts RG. 1990. Postharvest biological control of gray mold of apple by Cryptococcus laurentii. Phytopathology. 80:526-530. Robiglio A, Sosa MC, Lutz MC, Lopes CA, Sangorr´ın MP. 2011. Yeast biocontrol of fungal spoilage of pears stored at low temperature. Int J Food Microbiol. [internet]. 147(3): 211-216. Tersedia pada : www.elsevier.com. DOI: 10.1016/j.ijfoodmicro.2011.04.007. Rodov V, Ben-Yehoshua S, Fang D, D'hallewin G, Castia T. 1994. Accumulation of phytoalexins scoparone and scopoletin in citrus fruits subjected to various postharvest treatments. Acta Horticulturae, Natural Phenols in Plant Resistance. 381:517-523. Rosa-Magri MM, Tauk-Tornisielo SM, Ceccato-Antonini SR. 2011. Bioprospection of yeast as biocontrol agent against phytopathogenic molds. Braz Arch Biol Technol. 54(1):1-5 Rubert BS. 1992. Diagnosis Plant Diseases. Tuscon Arizona (US): The University Of Arazona Press. Rukmana . 1997. Budidaya Alpukat. Yogyakarta (ID): Kanisius. Saligkarias ID, Gravanis FT, Epton HAS. 2002. Biological control of Botrytis cinerea on tomato plants by the use of epiphytic yeasts Candida guilliermondii strains 101 and US 7 and Candida oleophila strain I-182: II. a study on mode of action. Biol Control. 25:151–161. Semangun H. 2000. Penyakit-Penyakit Penting Tanaman Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Sharma RR, Singh D, Singh R. 2009. Biological control of postharvest diseases of fruits and vegetables by microbial antagonists: a review. Biol Control. 50:205–221.
46 Sugipriatini. 2009. Potensi penggunaan khamir dan kitosan untuk pengendalian busuk buah Lasiodiplodia theobromae (Pat) Griffon&Maubl. (Syn. Botryodiplodia theobromae) pada buah mangga selama penyimpanan [Tesis]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Qin G, Tian S, Xu Y. 2004. Biocontrol of postharvest diseases on sweet cherries by four antagonistic khamirs in different storage conditions. Postharvest Biol Technol. 31:51–58. Vero S, Mondino P, Burgueno J, Soubes M, Wisniewski M. 2002. Characterization of biocontrol activity of two yeast strains from Uruguay against blue mold of apple. Postharvest Biol Technol. 26:91-98. Walker GM, McLeod AH, Hodgson VJ. 1995. Interactions between killer yeasts and pathogenic fungi. FEMS Microbiol Letters. 127:213-222. Wang X, Li G, Jiang D, Huang HC. 2009. Screening of plant epiphytic yeasts for biocontrol of bacterial fruit blotch (Acidovorax avenae subsp. citrulli) of hami melom. J Biocontrol. 50:164-171. Wisniewski M, Biles C, Droby S, McLaughlin R, Wilson C, Chalutz E. 1991. Mode of action of the postharvest biocontrol yeast, Pichia guilliermondii: Characterization of attachment to Botrytis cinerea. Psychol Mol Plant Pathol. 39:245-258. Wisniewski ME, Wilson CL. 1992. Biological control of postharvest diseases of fruits and vegetables. HortScience. 27:94-98. Zhang D, Spadaro D, Garibaldi A, Gullino ML. 2011. Potential biocontrol activity of a strain of Pichia guilliermondii against grey mold of apples and its possible modes of action. Biol Control. 57:193–201.
47
LAMPIRAN
48
49 Lampiran 1
Sumber keragaman Perlakuan
Analisis sidik ragam kejadian penyakit (KP) antraknosa pada buah avokad yang diinokulasi C. gloeosporioides dan diberi perlakuan dengan khamir Derajat bebas 24
Jumlah kuadrat 113427
Kuadrat tengah 4726
Error
50
45238
905
Total
74
158665
S = 30.08
R-Sq = 71.49%
Fhitung
P
5.22
0.000
R-Sq(adj) = 57.80%
Lampiran 2 Analisis sidik ragam hasil uji in vivo terhadap diameter (Ø) bercak inokulasi C. gloeosporioides pada buah avokad Derajat bebas 24
Jumlah kuadrat 52.889
Kuadrat tengah 2.204
Error
50
14.328
0.287
Total
74
67.217
Sumber keragaman Perlakuan
Fhitung
P
7.69
0.000
S = 0.5353 R-Sq = 78.68% R-Sq(adj) = 68.45%
Lampiran 3 Analisis sidik ragam hasil uji in vivo terhadap tingkat hambatan relatif (THR) khamir dengan kerapatan 107 sel/ml untuk menghambat perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad pada hari ketujuh Sumber keragaman Perlakuan
Derajat bebas 23
Jumlah kuadrat 98530
Kuadrat tengah 4284
Error
48
30409
634
Total
71
128938
S = 25.17 R-Sq = 76.42% R-Sq(adj) = 65.12%
Fhitung
P
6.76
0.000
50 Lampiran 4
Sumber keragaman Perlakuan
Analisis sidik ragam hasil uji in vivo terhadap tingkat hambatan relatif (THR) khamir dengan kerapatan 106 sel/ml untuk menghambat perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad pada hari ketujuh Derajat bebas 23
Jumlah kuadrat 95756
Kuadrat tengah 4163
Error
48
39986
833
Total
71
135742
Fhitung
P
5.00
0.000
S = 28.86 R-Sq = 70.54% R-Sq(adj) = 56.43%
Lampiran 5
Komposisi media Martin Agar, Yeast Glucose Chloramphenicol Agar, Kitin Agar 0.2%, dan Green Bean Agar
Media Martin Agar/Peptone Dextrose Rose Bengal Agar (Martin 1950) Agar 20 g KH2PO4 1 g MgSO4.7H2O 0,5 g Pepton 5 g Dektrosa 10 g Rose bengal (1%) 3,3 ml Air destilata 1000 ml Streptomycin 30 mg Semua bahan kecuali rose bengal dan streptomycin dilarutkan dalam air destilata. Campuran tersebut dipanaskan perlahan dan diaduk sampai mendidih lalu diautoklaf pada tekanan 1 atm dan suhu 1210C selama 15 menit. Setelah tidak terlalu panas (40 0C) ditambahkan rose bengal dan streptomycin. Media Yeast Glucose Chloramphenicol Agar Glucose 20 g Yeast ekstrak 5 g Chloramphenicol 0.1 g Agar *) 15 g Air destilata 1000 ml Semua bahan dilarutkan dalam air destilata, kemudian campuran tersebut dipanaskan perlahan dan diaduk sampai mendidih lalu diautoklaf pada tekanan 1 atm dan suhu 1210C selama 15 menit. *) pada media Yeast Glucose Chloramphenicol tidak ditambahkan agar
51 Media Kitin Agar 0.2% Kitin koloid 2 g Agar 20 g Air destilata 1000 ml Kitin koloid dilarutkan dalam air destilata kemudian masukkan agar ke dalam larutan kitin koloid. Campuran tersebut dipanaskan perlahan dan diaduk sampai mendidih lalu diautoklaf pada tekanan 1 atm dan suhu 1210C selama 15 menit. Media Green Bean Agar Agar 15 g Buncis 250 g Air destilata 1000 ml Buncis direbus dengan 500 ml air destilata sampai lunak kemudian diblender dan disaring hingga menjadi ekstrak buncis. Tambahkan air destilata pada ekstrak buncis hingga volume 1000 ml kemudian tambahkan agar. Campuran tersebut dipanaskan perlahan dan diaduk sampai mendidih lalu diautoklaf pada tekanan 1 atm dan suhu 1210C selama 15 menit.