287/TH.U/SU.S1/2011
METODE DAN CORAK TAFSIR AL-BAIDHAWI (Studi Analisis Terhadap Tafsir Anwār al–Tanzil wa Asrār al-Ta’wil) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Ushuluddin
NINA KARLINA 10032005307
PROGRAM STRATA 1 JURUSAN TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU 2011
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul: “METODE DAN CORAK TAFSIR ALBAIDHAWI (Sebuah Analisis Terhadap Tafsir Anwār al-Tanzil wa Asrār alTa’wil)” Kajian tafsir terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Untuk menghasilkan pemahaman yang lebih utuh dan komprehensif tentunya diperlukan suatu metode atau cara tertentu dalam menafsirkan al-Quran. Sedangkan metode yang digunakan untuk menafsirkan al-Quran itu terbagi empat metode tahlili, ijmali, muqaran, dan metode maudhu’i. Sedangkan dilihat dari sumber pangambilan tafsirnya terbagi menjadi dua tafsir secara bi al-matsur dan tafsir secara bi al-ra’yi. Begitu pula warna corak tafsir secar garis besar dibagi menjadi llima corak ilmi, fiqhi, sufi, Falsafi, dan adabi wa ijtimai. Metode dan corak tafsir seorang mufassir sangat diwarnai oleh latar belakang dan basik keilmuan yang dikuasainya. Al-Baidhawi mufassir asal Iran dengan karya tafsirnya Tafsir Anwār al-Tanzil wa Asrār al-Ta’wil dengan karakteristik yang ia miliki dan basik keilmuan yang dikuasainya tentunya memberi warna tersendiri terhadap metode dan corak tafsirnya. Dalam kajian ini penulis ingin mengkaji tentang apa metode dan corak yang digunakan oleh al-Baidhawi dalam menafsirkan al-Qur’an, serta apa saja kelebihan dan kekurangan Tafsir Anwār al-Tanzil wa Asrār al-Ta’wil karya alBaidhawi ini dibanding dengan tafsir lainnya. Metode penelitian yang penulis pakai disini adalah library reasch yang bersifat deskriptif. Menjawab persoalan diatas penulis menemukan ternyata metode yang dipakai oleh al-Baidhawi dalam tafsir Tafsir Anwār al-Tanzil wa Asrār al-Ta’wil secara umum adalah memakai metode tahlili dan merupakan sebuah tafsir bi alra’yi dan bi al-ma’tsur. Sedangkan corak warna penafsirannya penuh dengan nuansa fiqhi dan ilmi. Beberapa kaedah yang digunakan al-Baidhawi dalam tafsirnya, pengambillan riwayat Israiliyat, penggunaan qiraah untuk menguatkan analisis penafsirannya, dan memaparkan asal kata saat menafsirkan al-Quran. Penafsiran yang ringkas dan penggunaan bahasa yang singkat namun indah merupakan kelebihan tafsir ini dan yang menjadi kekurangan tafsir ini adalah pencantuman hadits tanpa diteliti dan disebutkan kualitasnya terlebih dahulu, pengutipan sumber tafsir yang tidak disebutkan sumbernya serta ketergantungan al-Baidhawi pada kitab tafsir sebelumnya menjadi kelemahan tafsir ini.
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ............................................................................................... i LEMBARAN PENGESAHAN ........................................................................... ii KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii TRANSLITERASI .............................................................................................. v ABSTRAKSI ........................................................................................................ vii DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii BAB I : PENDAHULUAN .................................................................................. 1 A. Latar Belakang ..................................................................................... 1 B. Alasan Pemilihan Judul ........................................................................ 5 C. Penegasan Istilah .................................................................................. 5 D. Rumusan Masalah ................................................................................ 6 E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................................... 7 F. Tinjauan Kepustakaan............................................................................ 7 G. Metodologi Penelitian .......................................................................... 8 H. Sistematika Penulisan............................................................................. 9 BAB II : RIWAYAT HIDUP AL-BAIDHAWI ................................................. 11 A. Tempat Kelahiran dan Wafat serta Pendidikan al-Baidhawi ............... 11 B. Aktifitas Keilmuan dan Perjuangganya ............................................... 14 C. Pandangan Ulama Terhadap al-Baidhawi ............................................ 16 D. Karya-Karyanya ................................................................................... 17 BAB III : PENGENALAN TERHADAP TAFSIR AL-BAIDHAWI .............. 23 A. Metode dan Corak Tafsir...................................................................... 23 B. Metode Tafsir Al-Baidhawi.................................................................. 23 C. Corak Tafsir Al-Baidhawi .................................................................... 32 D. Pandangan Al-Baidhawi Terhadap Kisah Israiliyyat........................... 34 E. Pandangan Ulama terhadap Tafsir Al-Baidhawi .................................. 36 F. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Baidhawi................................... 39
iii
BAB IV : ANALISA TERHADAP METODE DAN CORAK TAFSIR ALBAIDHAWI ....................................................................................................... 42 A. Metode Tafsir Al-Baidhawi .............................................................. 42 B. Corak Tafsir Al-Baidhawi ................................................................. 52 C. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Baidhawi ............................... 54 BAB V : PENUTUP .......................................................................................... 59 A. Kesimpulan ....................................................................................... 59 B. Saran-saran ........................................................................................ 61 DAFTAR PUSTAKA BIOGRAFI PENULIS
iv
KATA PENGANTAR
ﱠﺣﻴ ِﻢ ِﺑِ ْﺴ ِﻢ اﻟﻠﱠ ِﻪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ اﻟﺮ Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt. karena dengan curahan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Shalawat dan salam disampaikan kepada junjungan alam Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana diketahui menyelesaikan sebuak karya ilmiah dalam hal ini adalah skripsi merupakan sesuatu yang tidak mudah. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu secara moril dan materil berupa sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi yang berjudul “METODE DAN CORAK TAFSIR ALBAIDHAWI (Studi Analisis Terhadap Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar alTa’wil)” Dalam penulisan skiripsi ini, secara khusus penulis ingin mengabadikan ucapan penghargaan dan terimakasih kepada : 1. Bapak Rektor Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Prof. Dr. H. M. Nazir, beserta jajarannya yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu di Universitas ini pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits 2. Ibunda Dr. Salmaini Yeli, S.Ag. selaku dekan fakultas Ushuluddin dan para pembantu Dekan I, II, III, yaitu bapak Drs. Ali Akbar, MIS, Alfizar dan Dr. Syamruddin Nst. M.Ag, ibu Yasni, kak Ros, bang Iman, bang Eri dan semuanya 3. Bapak H. Zailani, M.Ag. selaku ketua Jurusan Tafsir Hadits beserta sekretaris bapak Kaizal Bay, M.Ag. yang telah memberikan kemudahan kepada penulis dalam pengurusan yang berkaitan dengan study penulis. 4. Bapak Drs. Ali Akbar MIS dan Drs. Kaizal Bay, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang banyak memberi arahan sehingga selesailah skripsi yang penyusunan skripsi ini.
iii
5. Bapak Drs. Abu Bakar, M.Ag. selaku Pembimbing Akademik. Terimakasih atas nasehat, motivasi dan bimbingannya selama ini yang telah diberikan kepada penulis 6. Ibunda terkasih Ibu Ihah dan ayahanda tersayang bapak Solihin, kakanda Titin Martini, adinda Gian F.Muiz dan Chaikal Rahman, nenek Uminsah dan a Holis yang telah sangat membantu secara moril dan materil terselesaikannya skripsi ini. 7. Bapak-bapak dan ibu-ibu dosen yang telah mencurahkan segala ilmu pengetahuannya kepada penulis. Semoga ilmu yang telah bapak dan ibu berikan bermnafaat bagi penulis di dunia dan akhirat. Bapak Abdul Wahid M.Us, Bapak Khairunnas Jamal M.Ag, Ustz.Fikri Lc. MA, Ibu Khatimah M.Ag, Bpk.Adynata, Ibu Jani Arni M.Ag., Pak. Syuja’i Syarifandi Ma.Ag, Bang Alwizar M.Ag, dan Bapak Iskandar Arnel MA, yang telah sangat membantu secara langsung dan tidak langsung menyelesaikan skripsi penulis. 8. Kepada sahabat-sahabat saperjuangan yang telah banyak membantu secara moril dan materil Abdul Malik al-Munir, Atik Shalihah, Bustami, Elizawati Eni Satriah, Fadhli, Fithria Adae, Hanifah utamai Putri, Hasanal, Ilhamuddin, Irwani, Jamalia Idrus, Kamila Sari, Mazwin, May, Mia, M.Ihsan Siregar Misdi, M. Fakhrurazi Mukhlas, Nurasiah, kak Nurbasmalah, Rahmawati, Saleh Lubis, Sarwan, Sri Mahrani, Siti Rohania, Subhan, k.Viza, Yuli Gusmawati, Yuni Safitri, Zulkarnain, dan Zulfikar. 9. Kepada adik-adik dan kakak-kakak tersayang yang tidak mungkin disebutkan satu
per-satu
disini
yang selalu
memberi
dukungan
moril
ketika
menyelesaikan proses penyusunan. 10. Kepada semua pihak yang tidak disebutkan yang telah banyak membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadiri bahwa skripsi jauh mendekati sempurna, mengingat kemampuan dan pengetahuan penulis terbatas. Dengan segala kerendahan hati, penulis penulis mengharap saran dan kritik yang membangun bagi kesempurnaan
iv
skripsi ini. Penulis harapkan skripsi ini bermanfaat dan menjadi bahan bacaan yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Pekanbaru, 8 Juli 2011 Penulis
NINA KARLINA NIM: 10932005307
v
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Al-Quran adalah kitab suci yang berisi petunjuk hidup paling sempurna bagi seluruh manusia sepanjang zaman. Petunjuk yang ada didalamnya bisa diketahui dengan jalan menafsirkannya.
1
Menafsirkan al-Qur’an berarti
megungkapakan petunjuk, menyingkap kandungan-kandungan hukum, dan makna-makna yang terkandung di dalamnya.2 Penafsiran al-Qur’an yang sudah dimulai sejak zaman Nabi Saw. tersebut, terus berkembang seiring dengan perkembangan masa. Untuk menghasilkan pemahaman yang lebih utuh dan komprehensif tentunya diperlukan suatu metode atau cara tertentu dalam menafsirkan al-Qur’an. Metode tafsir (manhaj tafsir) adalah suatu cara yang teratur yang digunakan oleh seorang mufassir untuk mendapat pemahaman yang sesuai dengan apa yang dimaksud Allah Swt. di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Definisi ini memberi gambaran bahwa metode tafsir al-Qur’an tersebut berisi seperangkat kaidahkaidah dan aturan-aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan al-Qur’an.3 Dalam mengoperasikan tafsirnya mufassir menggunakan metode yang berbeda-beda, ada yang menafsirkan al-Qur’an secara rinci kata perkata, ayat per
1
‘Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, terj.Roshihan Anwar (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm. 13. 2 Muhammad Husain al-Dzahabi, Tafsir Wa al-Mufassirūn, Juz 1(Kairo: Dar al-Hadits, 2005), hlm. 18. 3 Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 175.
1
2
ayat, ada juga yang menafsirkan al-Qur’an secara garis besarnya saja tanpa terperinci, dan ada juga yang menafsirkan al-Qur’an berdasarkan suatu tema tertentu. Dilihat dari sudut sistematika penyusunan tafsirannya, Al-Farmawi membagi metode penafsiran yang digunakan oleh seorang mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an menjadi empat macam metode, yaitu metode tahlili (analisis) metode ijmali (global) metode muqaran (perbandingan), dan metode maudhui (tematik).4 Dalam proses penafsiran, seorang mufassir tak akan terlepas dari sumber pengambilan tafsirnya, yang dikelompokkan menjadi dua, yakni penafsiran bi alma’tsūr dan penafsiran bi al-ra’yi. Penafsiran bi al-ma’tsūr, adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pada al-Qur’an itu sendiri, penjelasan dari Nabi Saw., penjelasan atau perkataan sahabat melalui ijtihadnya, dan perkataan tabi’în. Penafsiran bi al-ra’yi (muncul belakangan setelah tafsir bi al-ma’tsūr), yakni penafsiran al-Qur’an yang bersumber pada pemahaman pribadi dan istinbat (penyimpulan) yang didasarkan pada akal semata.5 Ketika menggunakan sebuah metode dalam menafsirkan al-Qur’an, seorang mufassir tentu berpegang pada kaidah yang berlaku, dan penafsirannya ini sangat diwarnai oleh latar belakang, kecenderungan, serta disiplin ilmu yang ia kuasai. Kemampuan setiap mufassir dalam memahami lafal dan ungkapan ayat tidak sama. Hal ini menjadikan setiap penafsir memiliki karakteristik atau corak 4
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir al-Maudhu’i dan Cara Penerapannya, terj. Roshihan Anwar (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm.23. 5
Manna Khlmil al-Qaththān, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2007), hlm. 342.
3
tersendiri dalam menafsirkan al-Qur’an. Corak penafsiran sebuah tafsir sangat beragam, sehingga para peneliti atau para ulama mengelompokkan corak tafsir ini kedalam lima corak umum, corak tersebut adalah fiqhi, falsafi, ilmi dan adabi waijtim’ai.6 Contoh beberapa mufassir dengan metode (manhaj), sumber pengambilan tafsirnya (mashadir) dan coraknya (laun tafsir) tersendiri adalah Imam Zamakhsyari dengan tafsirnya al-Kasysyaf menggunakan metode tahlili, dan merupakan sebuah tafsir bi al-ra’yi, dengan corak tafsirnya yang lebih cenderung ke balāghah. Hal ini ia lakukan karena ia sangat menguasai masalah kebahasaan dalam bahasa Arab. Seperti itu juga Al-Thabari, tafsirnya Jam’ al-Bayan fi alTafsir al-Qur’an menggunakan metode tahlili karena menafsirkan ayat berdasarkan mushaf, menggunakan orientasi bi al-m’atsur dan juga bi al-ra’yi sekaligus. Atau juga lebih menekankan pada telaah qira’ah seperti halnya dalam tafsir milik al-Naisaburi dan al-Nasāfi yang lebih pakar dalam bidang qira’ah.7 Begitu pula mufassir lainnya, melakukan hal yang sama. Abdullah bin Umar al-Baidhāwi, adalah mufassir asal Iran yang wafat pada tahun 691 H, telah menafsirkan al-Qur’an dengan gayanya tersendiri. Dengan karakteristik dan kapasitas keilmuan yang dimilikinya ia berusaha memenuhi kebutuhan umat manusia akan penafsiran ayat al-Qur’an pada masa itu. Ia menyumbangkan sebuah tafsir yang tidak terlalu panjang, namun diyakininya adalah tafsir terbaik yang cocok dipelajari pada saat itu.
6 7
Al-Farmawi, loc. cit. Roshihan, op. cit., hlm.151.
4
Tafsir karya Al-Baidhawi ini diberi nama Anwār al-Tanzîl wa Asrār alTa’wîil (Lampu-Lampu Wahyu dan Rahasia Interpretasi) atau lebih dikenal dengan Tafsir al-Baidhāwi, adalah tafsir yang berukuran menengah. Tafsir ini oleh sebagian
ulama dipercaya berisi ringkasan dari berbagai kitab tafsir
sebelumnya.8 Yakni ringkasan dari tafsir al-Kasysyaf karya Zamaksyari seorang mutazili dan Mafātih al-Ghaib karya Fakhr al-Din al-Razi yang merupakan seorang sunni yang fanatik dan cenderung antipati terhadap mutazilah.9 Tafsir Al-Baidhāwi inii menggunakan metode tahlili (analisis), dan tidak memiliki satu corak spesifik secara mutlak corak apa sebenarnya yang ia gunakan. Tafsir ini justru mencakup berbagai corak. Dilihat dari sumber tafsirnya al-Baidhāwi menafsirkan al-Qur’an dengan bahasa yang ringkas dan cerdas beliau memadukan pengambilan sumber tafsir pada riwayat-riwayat Nabi Saw. dan para sahabat dan juga menggunakan ijtihad untuk memperjelas analisisnya dan memperkuat argumentasinya 10 atau dengan kata lain menggunakan pendekatan bi al-ra’yi dan juga menggunakan pendekatan bi al-ma’tsūr sekaligus. Hal inilah yang menjadi karateristik tersendiri bagi tafsir al- Baidhāwi ini. Bertitik tolak dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan memaparkan dalam bentuk skripsi dengan judul: “METODE DAN CORAK
8
Qādhi Syihāb al-Din Ahmad, Hāsyiyah al-Syihāb ‘alā Tafsir al-Baidhāwi (Beirut: Dār al-Kitāb, 1997), hlm. ii. 9 Syaikh Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, terj. Moh. Chudlri Umar dan Moh.Matsna H.S, (Bandung: al-Maarif, 1987) hlm. 243. 10 Muhammad Husain al-Dzahābi, Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Dar al-Hadis), hlm. 255.
5
TAFSIR AL-BAIDHĀWI (Studi Analisis Terhadap Tafsir Anwār al–Tanzil wa Asrār al-Ta’wil)”.
B. Alasan Pemilihan Judul Adapun yang menjadikan alasan penulis mengangkat judul penelitian ini adalah : 1. Penulis merasa Tafsir al-Baidhāwi merupakan tafsir yang memiliki karateristik tersendiri yang mencoba memadukan penafsiran bi al-ma’tsūr dengan bi al- ra’yi secara sekaligus dalam tafsirnya. 2. Tafsir al-Baidhāwi merupakan salah satu kitab tafsir yang di dalamnya memuat berbagai disiplin ilmu, gramatika bahasa, fiqh, dan ushūl. 3. Tafsir ini mempunyai bentuk dan cara penafsiran tersendiri, yang sudah barang tentu mempunyai sumbangsih tersendiri dalam khazanah keilmuan Islam, khususnya dalam bidang tafsir. 4. Pembahasan ini sejalan dengan bidang keilmun penulis dalam jurusan Tafsir Hadits.
C. Penegasan Istilah Untuk menghindari kesalahan dalam memahami judul, maka penulis menegaskan beberapa istilah dari judul diatas sebagai berikut : 1. Metode
: Cara yang teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu
pekerjaan agar tercapai hasil yang baik seperti yang dikendaki, dilakukan dalam mengerjakan sesuatu.11
6
2. Corak
: Secara bahasa corak adalah warna. Sedangkan yang dimaksud
disini adalah corak tafsir (laun tafsir). 3. Tafsir
: Secara bahasa kata tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru-
tafsiran yang berarti keterangan atau uraian. 12 Sedangkan pengertian tafsir secara terminologi adalah ilmu mengenai cara mengucapkan kata-kata alQur’an serta cara mengungkapkan petunjuk kandungan-kandungan hukum dan makna-makna yang terkandung didalamnya. Atau ilmu untuk memahami al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., menjelaskan makna-maknanya, serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.13 Setelah penulis menjelaskan istilah-istilah diatas, maka yang dimaksud oleh penulis dengan “METODE DAN CORAK TAFSIR AL-BAIDHĀWI (Studi Analisis terhadap Tafsir Anwār al–Tanzil wa Asrār al-Ta’wil ”, adalah cara atau langkah dan corak yang digunakan al-Baidhāwi dalam menafsirkan alQur’an.
D. Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang diatas, masalah- masalah yang menjadi penelitian penulis adalah sebagai berikut : 1.
Apa metode dan corak yang digunakan oleh al-Baidhāwi dalam menulis tafsir Anwār al–Tanzil wa Asrār al-Ta’wil ?
2.
Apa saja kelebihan dan kekurangan Tafsir al-Bhaidāwi ?
11
JS. Badudu dan Sultan Mahmud Zein, Kamus Bahasa Indonesia (Pustaka Sinar Harapan,cet 1), hlm. 896. 12 Roshihan, op. cit.,hlm. 142. 13 Al-Qaththān, op. cit., hlm. 457.
7
E. Tujuan Dan Kegunaan Judul 1. Tujuan Penelitian a.
Untuk mengetahui metode dan corak yang digunakan oleh Baidhawi dalam dalam tafsir Anwār al-Tanzil Wa Asrār al-Ta’wil.
b.
Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan Tafsir al-Baidhāwi.
2. Kegunaan Penelitian a.
Sebagai kontribusi bagi pengembangan keilmuan Islam dalam bidang tafsir dan untuk mengembangkan wawasan keilmuan dan menambah kreatifitas penulis dalam bidang penelitian.
b.
Guna memenuhi salah satu persyaratan mencapai gelar Sarjana Ushuluddin pada Fakultas Ushuluddin.
F. Tinjauan Kepustakaan Berdasarkan pengetahuan penulis pembahasan secara terperinci mengenai metode tafsir Anwār al-Tanzil Wa Asrār al- Ta’wil karya al-Baidhāwi ini belum penulis temukan. Karena itu penulis mencoba membuat suatu pembahasan yang lebih kompleks dari buku yang telah ada mengenai pembahasan ini. Namun begitu tulisan berupa hāsyiyah (catatan pinggir atau komentar) pada kitab ini sangat banyak ditulis orang. Begitu pula tulisan yang berkaitan dengan al-Baidhāwi dan biografinya telah ada beberapa penulis yang membahasnya. Dari sekian banyak buku mengenai al-Baidhāwi dan tafsirnya, disini penulis hanya akan memaparkan empat buah buku saja yang berkaitan dengan hal itu. Yang pertama buku yang berjudul Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, karya Prof. Dr. Mani’ ‘Abd Halim Mahmud, yang
8
diterjemahkan oleh Faisal Saleh dan Syahdianor, buku ini membahas beberapa mufassir dan tafsirnya, pembahasan mengenai al-Baidhāwi disini mencakup profil, karya-karyanya dan tafsirnya, namun begitu pembahasannya terlalu singkat dan cenderung terlalu mengungkapkan sisi kelebihannya saja. Dengan bahasa terjemahan yang leterlek menjadikan buku ini sulit untuk dipahami secara jelas. Buku yang kedua adalah Hasyiyah al-Syihāb ‘alā Tafsir al-Baidhāwi karya al-Khufāji, karena merupakan sebuah hāsyiyah jadi yang banyak dipaparkan disini adalah penjelasan atau uraian al-Khufāji akan isi Tafsir al-Baidhāwi saja, sedikit sekali membahas atau menjelaskan secara langsung mengenai metode Tafsir alBaidhāwi maupun biografi al-Baidhāwi sendiri. Buku yang ketiga adalah Hāsyiah al-‘Allāmah Abiy al-Fadhl al-Qurasyiy al-Shiddiqiy al-Khati. Dalam kitab ini Abi al-Fadhl
menguraikan dan
menjelaskan pandangannya akan penafsiran al-Badhāwi, dengan kata lain buku ini berisi komentar-komentar Abi al-Fadhl akan Tafsir al-Bhaidhāwi, hanya seputar itu saja yang dibahas dalam buku ini. Buku yang terakhir yang saya paparkan disini adalah karya penomena alDzahābi, kitab Tafsir wa al-Mufassirūn. Buku ini membahas seluk beluk tafsir dan mufassirnya. Pembahasannya mengenai Tafsir al-Bhaidāwi seputar biografi singkat al-Badhawi, sekilas mengenai cara penafsiran dan contohnya. Dengan kata lain Informasi mengenai al-Baidhāwi dan tafsirnya juga masih sangat umum.
G. Metode Penelitian Metode penelitian yang dipakai adalah penelitian kepustakaa (Library Research) yang bersifat deskriftif. Karena itu, data-data yang akan dihimpun
9
merupakan data kepustakaan yang refresentatif dan relevan dengan dengan objek kajian. a. Sumber Data Objek kajian sekaligus sumber data primer dalam penelitian ini adalah kitab Tafsir Anwār al-Tanzil wa Asrār al-Ta’wil karya al-Baidhāwi. Kitab tersebut secara teori memiliki metode tertentu. Maka inilah nantinya yang akan dibuktikan secara empiris. Adapun sumber data sekunder adalah bukubuku lain, baik tafsir maupun literature lainnnya yang ada relevansinya dengan penelitian ini. b. Pengumpulan Data Langkah pertama dalam mengumpulkan data adalah mengutip data yang relevan dengan pembahasan yang di teliti dari berbagai buku sumber, baik dikutip secara langsung maupun tidak langsung, setelah data-data yang dikutip tersebut terkumpul kemudian diklasifikasikan menjadi data primer dan data sekunder. c. Analisis Data Setelah data terkumpul kemudian di analisis, dengan menggunakan metode komparatif dan disusun secara sistematis sehingga menjadi suatu paparan yang jelas. Kemudian dibuat kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang umum ke yang khusus, dengan kata lain disusun secara deduktif.
H. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pemahaman penulisan maka penulis kemukakan sistematika penelitian, yang terdiri dari lima bab:
10
Bab satu, merupakan pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, alasan pemilihan judul, penegasan istilah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan kepustakaan, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab dua, berupa riwayat hidup al-Baidhāwi, didalamnya meliputi tempat lahir, wafat, dan pendidikannya, mengenai aktifitas keilmuan dan perjuangannya, serta karya-karya al-Baidhāwi lainnya. Bab tiga, menjelaskan tentang metode penafsiran al-Baidhāwi, coraknya, pandangan al-Baidhāwi tentang Isrāiliyyāt, pandangan ulama terhadap Tafsir alBaidhāwi, serta kekurangan dan kelebihan Tafsir al-Baidhāwi. Bab keempat, adalah analisis terhadap metode dan corak tafsir al-Baidhāwi. Bab kelima, merupakan hasil kajian secara keseluruhan dalam bentuk kesimpulan dan saran.
BAB II RIWAYAT HIDUP AL-BAIDHĀWI
A. Tempat Kelahiran dan Wafat serta Pendidikan al-Baidhāwi Al-Baidhāwi merupakan seorang tokoh muslim Persia yang mempunyai reputasi tinggi karena berpengetahuan luas dan banyak memberikan sumbangsih
terhadap
perkembangan
kemajuan
dunia
Islam
dengan
menghasilkan berbagai karya dalam beragam bidang ilmu keagamaan. 1 Nama lengkap al-Baidhāwi adalah ‘Abd Allah bin ‘Umar bin Muhammad bin ‘Aliy Al-Baidhāwi al-Syafi’i Al-Syirazi.2 Tapi namanya lebih dikenal dengan al-Baidhāwi, dinisbatkan pada tempat kelahirannya desa alBaidha, dan juga sering dipanggil dengan sebutan al-Qadhi, dinisbatkan kepada profesi beliau sebagai qadhi (hakim agung) di kota Syiraz yang pernah dijabatnya selama beberapa tahun. 3 Al-Baidhāwi dilahirkan di sebuah tempat yang bernama Baidha, sebuah desa di Barat Daya Iran. Mengenai tahun kelahirannya tak ada satu pun sumber informasi yang penulis dapat mengenai hal ini. Yang jelas beliau hidup pada akhir abad ke-12 M dan meninggal pada tahun yang diperselisihkan juga, ada yang mengatakan beliau meninggal pada tahun 685 1
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 1 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hal.220. 2 Qādhi Syihāb al-Din Ahmad, Hāsyiyah al-Syihāb ‘alā Tafsir al-Baidhāwiy (Beirut: Dār al-Kitāb,1997), hal. ii. 3 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc.cit.
1
2
H (1286 M), ulama yang berpendapat tentang ini adalah Ibnu Katsir dan alSuyuti, sedangkan menurut al-Subki dan al-Nawawi4 al-Baidhāwi wafat pada tahun 691 H (1291 M).5 Ahli fiqih ini hidup dan dibesarkan dilingkungan penganut Sunni bermazhab Syafi’i, yang juga dikelilingi oleh penganut Syi’ah dan Mu’tazilah. Dan Al-Baidhāwi tumbuh menjadi penganut mazhab Syafi’i yang fanatik. Hal ini bisa dilihat pada setiap pemikirannya yang cenderung mentarjih mazhab Ahl Sunnah.6 Pendidikan al-Baidhāwi dimulai saat ia masih kecil, beliau banyak berguru kepada ayahnya Imam Abu al-Qasim ‘Umr bin Muhammad bin ‘Ali seorang hakim agung di Farsi di bawah atabag (Gelar pejabat militer Bani Saljuk) Abu Bakr bin Sa’d (613-658/1226-1260M).7 Dalam masalah pendidikan sesungguhnya al-Baidhāwi merupakan seorang penuntut ilmu yang giat, dan pelajar yang alim. Berbagai cabang ilmu keislaman dipelajarinya secara mendalam mulai dari ilmu fiqih dan ushul, mantiq, filsafat, kalam dan adab, serta ilmu-ilmu bahasa Arab dan sastra juga ilmu-ilmu syara dan hukum. Tak heran kalau al-Baidhāwi memiliki banyak predikat tidak hanya sebagai seorang faqqih, muhaddits, ataupun mufassir, tapi beliau juga merupakan seorang teolog dan ahli Ushul yang juga mahir di bidang debat dan etika berdiskusi.8
4
Keduanya merupakan ulama pengikut Imam al-Syafii. Al-Dzahabi, op.cit., hal. 254. 6 George C. Decasa, The Qur’anic Concept of Umma and its Function in Philippine Muslim Society (Georgiana: Editrice Pontificia University Gregoriana, 1999), hal. 221. 7 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc.cit. 8 Mani ‘Abd al-Halim, op.cit., hal.112. 5
3
a. Guru al-Baidhawi Diantara beberapa guru al-Baidhawi yang terkenal adalah sebagai berikut: 1. Beliau belajar dari ayahnya sendiri, Imam Abu al-Qasim ‘Umr bin Muhammad bin ‘Ali al-Baidhāwi (w. 675 H) seorang ahli fiqih penganut mazhab Syafi’i. Beliau banyak belajar pada ayahnya dalam masalah fiqih dan penganutan mazhab. 2. Beliau juga pernah belajar kepada seorang alim ulama Syaikh Syarif al-Din ‘Umr al-Busyakaniy al-Zakiy (w.680H), yang merupakan salah satu ulama besar didaerah itu. 3. Selama di Syiraz ia menuntut ilmu pada seorang guru yang bernama Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Kahtai al-Shufi sahabat al-Baidhāwi sendiri, beliau banyak belajar darinya tentang zuhud dan ibadah. Al-Kahtai banyak memberikan bimbingan dalam penulisan tafsir yang dibuatnya.9 b. Murid – Murid al-Baidhawi Al-Baidhawi memiliki banyak murid yang belajar padanya, muridnya yang terkenal diantarnya adalah sebagai berikut: 1. Syaikh Imam Fakhr al-Din Abu al-Mukaram Ahmad bin Hasan alHarirdi (w.746 H), beliau mensyarahkan kitab Manahij Fi Ushul Fiqh karya al-Baidhawi.
9
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc.cit.
4
2. Syaikh Kamal al-Din Abu al-Qasim ‘Umar bin Ilyas bin Yunus alMaraghi Abu al-Qasim al-Shufi (lahir 643 H dan wafat sekitar tahun 732 H ), beliau belajar dari al-Baidhawi tentang kitab AlManahij, al-Ghayahal-Qushwa dan kitab Thawali Anwar. 3. Syaikh Jamal al-Din Muhammad bin Abi Bakr Bin Muhammad alMaqra’i. 4. Syaikh Ruh al-Din bin Syaikh Jalal al-Din al-Thayar. 5. Qadhi Ruzain Ali bin Ruzaiha bin Muhammad al-Khanji (w.707H), beliau merupakan seorang ulama yang wara dan salih, beliau mensyrahkan kitab milik gurunya Al-Ghayah al-Qushwa. 6. Al-Qadhi Ruh al-Din Abu al-Ma’ali (w.753H), beliau juga mensyarahkan kitab Al-Ghayah al-Qushwa milik gurunya. 7. Taj al-Din al-Hanki.10
B. Aktifitas Keilmuan dan Perjuangannya Di tempat kelahirannya desa Baidha, al-Baidhāwi mulai bersentuhan dengan ilmu fiqih dan ushul, mantiq, filsafat, kalam dan adab, ilmu-ilmu bahasa Arab dan sastra serta ilmu-ilmu syara dan hukum.11 Al-Baidhāwi merupakan seorang ulama yang tidak antipati terhadap politik sesuai dengan prinsip mazhab Sunni dalam memandang masalah politik, hal ini terbukti dengan sikap beliau yang berkompromis dengan birokrat pada saat itu, bahkan beliau terlibat langsung dalam kegiatan politik, 10 11
http://ar.wikipedia.org/wiki/ ﻋﺒﺪ ﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ اﻟﺒﯿﻀﺎوي, diakses pada 20 Juni 2011. Ibid.
5
yakni beliau pernah menjabat sebagai hakim agung (qadhi) di daerah Syiraz selama beberapa tahun. Beliau juga merupakan seorang ulama di Azerbaijan, dan seorang guru besar di daerah itu.12 Dari tempat kelahirannya di Baidha al-Baidhāwi pindah ke kota Syiraz, dan menetap disana, karena keahliannya di bidang fiqh mengantarkan beliau mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang hakim agung disana. Beliau memegang jabatan sebagai hakim agung ini selama beberapa tahun. Selama di Syiraz al-Baidhāwi banyak bergaul dan belajar pada sahabatnya sendiri yaitu Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Kahtai alShufi. Al-Kahtai banyak membimbing dan membantunya dalam menjalankan aktifitas keilmuan beliau. Begitu pula dalam hal pekerjaan Syaikh al-Kahtai banyak memberi dukungan dan masukan, hal ini terbukti dengan pengunduran al-Baidhāwi dari jabatannya sebagai hakim setelah al-Kahtai memberi nasihat kepadanya untuk mundur dari jabatan itu. Di Syiraz, selama ia menjabat sebagai hakim selama beberapa tahun. Ia hidup dalam suasana politik yang tidak menentu. Sultan Abu Bakr yang memegang tampuk kekuasaan di Syiraz saat itu sangat lemah, tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk membangun tatanan masyarakat yang baik. Bukan hanya supermasi keadilan yang lemah, namun para elit yang berkuasa pun hidup dalam budaya yang boros. Intervensi penguasa terhadap peradilan pun demikian
12
kuatnya,
sehingga
banyak
fuqaha
yang mengkhawatirkan
Muhammad Ibnu Muhammad Abu Syuhbah, Al-Isrāiliyyat wa Al-Maudhu’at fi Kutub al-Tafsir cet.IV (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1408), hal.136.
6
kemungkinan diperintah untuk mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan syariat Islam. 13 Mungkin, karena pertimbangan inilah Syaikh Muhammad Al-Kahta’i yang memintanya keluar dari pemerintahan yang menyebabkan al-Baidhāwi mengundurkan diri dari jabatan hakim. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai hakim, al-Baidhāwi mengembara ke Tibriz hingga akhir hayatnya. Di kota inilah beliau banyak mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama dibidang ushul fiqh dan tafsir. Disini pula ia berhasil menulis salah satu karya monumentalnya berupa tafsir yang berjudul Anwār al-Tanzil Wa Asrār al-Ta’wil. Beliau menghabiskan masa hidup sampai wafatnya disana.14
C. Pandangan Ulama Terhadap al-Baidhāwi Reputasi al-Baidhāwi sebagai seorang faqqih, muhaddits, mufassir, ahli ushul dan juga seorang qadhi yang banyak menghasilkan berbagai karya tentunya menjadikan ia sebagi publik figur yang menuai banyak pujian bagi yang pro-terhadapnya dan tentunya banyak pula yang menilai dan cenderung negatif bagi yang kontra dengannya. Berikut penilaian beberapa tokoh ulama terhadap kepribadian alBaidhāwi, yang tidak terlepas dari karya yang ia hasilkan, tindak tanduknya sebagai seorang manusia dengan pengusaannya yang luas terhadap ilmu keislaman.
13 14
IAIN Syarif Hidayatullah, loc.cit. Al-Dzahabi, loc.cit.
7
1. Menurut Qadhi Syuhbah dalam thabaqatnya menyatakan bahwa alBaidhāwi merupakan seorang yang memiliki banyak hasil karya, seorang alim ulama guru besar di Azerbaijan dan seorang qadhi di Syiraz.15 2. Imam al-Subki mengatakan, bahwa al-Baidhāwi adalah seorang Imam yang jeli, ahli debat, seorang yang saleh dan juga ahli ibadah.16 3. Menurut Ibnu Habib, al-Baidhāwi merupakan seorang ulama yang banyak mendapatkan pujian dalam setiap karangannya, karena metode yang dipakai al-Baidhāwi dalam setiap karyanya menggunakan lafal yang mudah dimengerti serta menggunakan metode yang ringkas namun detail.17 4. Maulana al-Musyi mengungkapkan pujiannya kepada al-Baidhwi dengan menyatakan, “Para cendikiawan tidak datang dengan menyingkap cadar (qina) dari apa yang dibaca, tetapi al-Baidawi memiliki tangan yang putih berkailau tanpa cacat, karena ia menguasai medan kemahiran bicara. Maka tampaklah kemahirannya dalam berbagai ilmu yang seyogyanya ia dalam satu sisi menempati maqam pembuka topeng dari jalan-jalan keelokan isyarat dan keindahan istiarah.”18 5. Menurut Prof. Dr. Mani’ ‘Abd Halim dalam kitabnya Manhaj alMufassirîn, menyatakan bahwa al-Baidhāwi merupakan seorang ahli ibadah dan seorang yang zuhud dari kehidupan dunia fana.19
D. Karya-Karyanya Sebagai seorang ulama yang memiliki pengetahuan yang cukup luas, bukan hanya dalam bidang tafsir melainkan juga dalam bidang ushul fiqh, fiqh,
15
Mani Abd Halim Mahmud, op. cit., hal.112. Ibid. 17 Ibid 18 Ibid., hal.114. 19 ‘Abd Halim Mahmud, loc.cit. 16
8
teologi, nahwu, manthiq, dan sejarah. Karya-karya beliau pun meliputi bidang tersebut.20 Al-Baidhāwi menghasilkan banyak karya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Menurut penelitian penulis ada dua karakter khusus atau ciri-ciri tertentu yang terdapat dalam hampir setiap karyanya, diantaranya adalah sebagai berilut: 1. Hampir setiap karya al-Baidhāwi menggunakan bahasa yang ringkas dalam arti lain tidak menguraikan suatu maslah secara panjang lebar sehingga untuk mendapat pemahaman yang kompleks diperlukan penjelasan kembali yang lebih rinci, dan hal ini dilakukan oleh kebanyakan para ulama setelahnya dengan membuat catatan pinggir atau memberikan komentar akan hampir setiap karyanya. 2. Ciri khas lain dari setiap karyanya adalah hampir semuanya merupakan sebuah kutipan--ada juga yang menyebutkan sebagai ringkasan--dari berbagai kitab sebelumnya, sehingga sebagian ulama menyebutnya sebagai seorang penjiplak. Fakhr al-Dian al-Razi dan Zamaksyari merupakan ulama yang sering dikutip dalam kebanyakan karyanya. Tercatat beberapa karya al-Baidhawi sebagai berikut : a. Anwar al-Tanzil wa Asara al-Ta’wil Anwār al-Tanzil Wa Asrār al-Ta’wil merupaakan salah satu hasil karya cemerlang Al-Baidhāwi dalam bidang tafsir, beliau sendiri yang menamai tafsirnya dengan Anwār al-Tanzil Wa Asrār al-Ta'wil (Lampu
20
Ibid., hal.112.
9
Wahyu dan Cahaya Interpretasi). Hal ini tampak dari pernyataan beliau sendiri sebagaimana terdapat dalam pengantar tafsirnya. 21 Karyanya ini dianggap sebagi hasil karya yang paling baik dengan penggunaan bahasa yang sangat ringkas. Kemudian tafsir ini diterbitkan di Kairo tahun 1330, empat juz dalam dua jilid dan dikomentari oleh Khatib al-Kazaruni, dan Tafsir ini menjadi literatur wajib bagi mahsiswa al-Azhar tahun enam (semester V).22 b. Minhaj al-Wushul ila al-Ushul Salah satu karya terbaiknya adalah Minhaj wa Ushul dalam bidang Ushul Fiqh. Karangan ini diterbitkan di Bulak tahun 1316M dan dikomentari oleh Abd al-Rahman bin Hasan (w.771/1370M), kemudian diterbitkan pada catatan pinggir dalam kitab al-Takrir wa al-Takhbir karya Ibnu Amir Al-Hajj.23 Buku ini berupa matan, ringkasan berbagai masalah ushul fiqh. Para ahli ushul fiqh sangat memuji kedalaman isi dan keindahan susunan bahasa kitab tersebut, karena al-Baidhāwi telah berhasil menghimpun masalah-masalah fiqh dengan kata-kata yang pendek dan ringkas. Selain itu kitab ini juga dianggap sebgai sebuah kitab yang sulit difahami karena keringkasan bahasa yang digunakan. 24 Al-Minhaj adalah ringkasan dari kitab Al-Hasil karya Tajuddin Muhammad Ibnu Al-Hasan Al-Armawi (w.606H), sebuah buku yang 21
Nashr al-Din abi Said Abdullah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhāwi, Tafsir al-Baidhāwi (Bairut: Dar al- Fikr,), hal. 6. 22 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc.cit. 23 Ibid. 24 Ibid.
10
diringkas dari kitab al-Mansul karya Fakhruraddin al-Razi yang diambil dari empat buah kitab yang terkenal yaitu, kitab al-Mutamad karya Abu alHusain al-Basyri syarah dari kitab al-Amd (atau al-Ahd) karya Qadi Abdul Jabbar, keduanya dari kalangan Mutazilah, kitab al-Musthafa min Ilmi alUshul karya al-Ghazali dan kitab al-Burhan karya Imam al- Haramain keduanya dari kalangan Asy’ariyah.25 c. Tawali al-Anwar min Matali al-Anzar Al-Baidhāwi juga menghasilkan sebuah tulisan mengenai metafisika (teologi) yaitu kitab Tawali al-Anwar min Matali al-anzar. Karyanya ini dikomentari oleh Mahmud bin Abd Rahman al-Isfahani (w.749H/ 1346M) dan diterbitkan di Kairo tahun 1323 M.26 d. Syarah al-Mahshul fi Ushul Fiqh Berisi tentang penjelasan (syarahan) akan kitab al-Mahshul fi Ushul Fiqh karya al-Razi. e. Nizdam al-Tawarikh, Al-Baidhāwi juga menulis karangan dalam bahasa Persia, yaitu Nizdam al-Tawarikh, yang berisi tentang sejarah dunia dari masa Adam hingga tahun 674H/1275M. yang kemudian diperbaiki dan diberi komentar di Hindustan oleh Sayyid Mansur kemudian diterbitkan di Hyderabad tahun 1930M.27
25
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia Jilid 1 (Jakarta: Djambatan, 2002), hal.153-154. 26 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc.cit. 27 Ibid.
11
f.
Al-Mishbah Arwah fi al-Ushul al-Din Kitab ini berisi tentang ilmu kalam.
g.
Syarah al-Tanbih li Abi Ishak Fiqh Syafii Merupakan sebuah kitab fiqh yang berisi syarahan akan kitab alTanbih li Abi Ishak Fiqh Syafii. Kitab ini terdiri dari empat volume.
l.
Al-Ghayah al-Quswa fi Dirasah al-Fatawa Syafii Al-Ghayah al-Quswa fi Dirasah al-Fatawa Syafii merupakan sebuah kitab yang membahas tentang fiqh. Buku ini dicetak dalam dua jilid dan diterbitkan oleh Dar-Reformasi.
m. Syarah Kifayah fi al-Nahw dan Al-Lubb fi Al-Nahw Merupakan sebuah karya al-Baidhāwi dalam bidang Nahwu (ilmu tata bahasa Arab) n. Al-Tahdzib wa Al-Akhlaq Merupakan salah satu karya al-Baidhāwi dalam bidang tasawuf. o. Al-Lubab fi Ilmi I’robi Adalah sebuah kitab tentang ilmu i’rob dan merupakan ringkasan kitab Kafiyah Ibnu Hajib. p. Tuhfatul Abrar fi Syarhil Mashabih Adalah kitab yang yang menjelaskan tentang hadits. h. Al-Mukhtashar al-Kafiyah i. Syarah Minhaj al-Wushul j. Al-Idhah fi al-Ushul al-Din. k. Syarah al-Muntakhab ushul Fiqh
12
l. Mirsyad al-Ifham ila Mabadi al-Kalam q. Kitab Al-Manthiq (manthiq), r. Al-Tazkirrah s. Al-Ghayah Quswah fil Fiqh t. . Muntahal Mana’ u. Risalah Fi Maudhuah28 Dari kitab-kitab diatas menurut al-Dzahabi hanya tiga karya al-Baidhāwi yang menjadi masterpice yaitu Anwār al-Tanzil Wa Asrār al-Ta’wil dalam bidang tafsir, Minhaj al-Wushul ila al-Ushul dalam bidang Ushul Fiqh, dan Tawali al-Anwar dalam bidang teologi.29
28 29
Mani Abd Halim Mahmud, op.cit., hal.113. Al-Dzahabi, op.cit., hal. 253.
BAB III METODE DAN CORAK TAFSIR AL-BAIDHĀWI
A. Metode Tafsir Al-Baidhāwi Tafsir Anwār al-Tanzil Wa Asrār al-Ta’wîl atau yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Baidhāwi merupakan sebuah karya al-Baidhāwi, yang diuraikan dengan bahasa ringkas namun mendalam dan cukup indah, dan menerima banyak komenatar dari para ulama.1 Kitab ini terdiri dari empat juz dalam dua jilid yang diterbitkan di Bairut pada tahun 2003, jilid satu terdiri dari surah al-Fatihah sampai dengan surat al-An’am, pada jilid dua berisi surat al-A’raf sampai dengan surat al-Nās. Kitab ini merupakan sebuah kitab tafsir yang menarik perhatian kaum cendikiawan untuk membuat catatan pinggir (hāsyiyah) terhadapnya.2 Ketika menuliskan sebuah karya ilmiah tidak terkecuali dalam menafsirkan al-Qur’an setiap pengarang tentu mempunyai metode dan kecenderungan tersendiri. Begitu juga halnya dengan al-Baidhāwi, dalam menafsirkan al-Qur’an beliau tidak bisa terlepas dari salah satu metode yang telah ditetapkan oleh ulama tafsir. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis mengambil pemahaman bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an alBaidhāwi menggunakan metode tahlili (analisis) dalam tafsirnya, dimana 1 2
Al-Dzahabi, op.cit., hal.254. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc.cit.
1
2
beliau menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai segi yang terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan secara berurutan sesuai dengan mushaf utsmani yakni dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nās. Sedangkan apabila ditinjau dari segi sumber, kitab Anwār al-Tanzil Wa Asrār al-Tawîl ini menggunakan pendekatan tafsir bi al-ma’tsūr dan bi alra’yi sekaligus. Yakni pengambilan sumber panafsirannya berasal dari ayat alQur’an itu sendiri, hadits Nabi saw, pendapat para sahabat dan tabi’în, serta tidak meninggalkan ra’yunya sendiri. Terkadang beliau menafsirkan al-Qur’an hanya dengan bersandar pada akal pikirannya sendiri dan memasukkan begitu saja kedalam tafsirnya.3 1. Menggunakan Pendekatan bi al-ma’tsūr Penggunaan tafsir bi al-ma’tsūr dalam kitab ini dapat dilihat melalui penafsiran al-Baidhāwi yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan ayat yang ada dalam al-Qur’an itu sendiri, terkadang al-Baidhāwi juga mengambil hadits Nabi Muhammad Saw., mengambil sumber periwayatan para sahabat serta tabi’în untuk menafsirkan suatu ayat atau surat tertentu. Al-Baidhāwi menyatakan bahwa beliau mengambil dua sumber sebagai bahan rujukan tafsirnya yang pertama mengambil pendapat para sahabat, tabi'în, dan para ‘ulama salaf, yang kedua beliau mengambil rujukan dari tafsir-tafsir sebelumya.4
3
Al-Dzahabi Jilid 1, op.cit., hal.254. Nashr al-Din Abi Said Abd Allah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhāwi Jilid 1, op.cit., hal. 6. 4
3
a. Menafsirkan Ayat Dengan Ayat Yaitu menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan menghubungkannya dengan ayat yang lain (munasabah ayat) yang ada kaitannya dengan ayat atau surat yang ditafsirkan. Metode ini dilakukan dengan cara menghubungkan kata dalam ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat lain dalam surat yang sama, atau mencari makna kandungan ayat yang sedang ditafsirkan dengan melihat pada ayat dan surat yang lain dari Al-Qur’an. Hal ini terbukti ketika al-Baidhāwi menafsirkan surat al-Baqarah ayat 67:
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya,”Allah memerintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi betina.”Mereka bertanya,”Apakah engakau akan menjadikan kami sneagi ejekan?”Dia (Musa) menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh.”5 Ketika al-Biadhawi menafsirkan ayat ( وإذ ﻗﺎل ﻣﻮﺳﻰ ﻟﻘﻮﻣﮫ إن ﷲ )ﯾﺄﻣﺮﻛﻢ أن ﺗﺬﺑﺤﻮا ﺑﻘﺮةbeliau menyatakan bahwa kisah dalam ayat ini ada
5
Al-Qur’an dan Terjemahannya, terbitan Al-Mizan Publishing House, cet.ke1,hal.11.(Semua ayat dalam tulisan ini berasal dari sumber yang sama).
4
munasabahnya dengan ayat sesudahnya yakni surat al-Baqarah ayat 72 ( )وإذ ﻗﺘﻠﺘﻢ ﻧﻔﺴﺎ ﻓﺎدارأﺗﻢ إﻟﺦyang menjadi awal kisah sapi betina. Hanya saja dalam penyusunan ayatnya Allah terlebih dahulu menempatkan ayat ( )وإذ ﻗﺎل ﻣﻮﺳﻰ ﻟﻘﻮﻣﮫ إن ﷲ ﯾﺄﻣﺮﻛﻢ أن ﺗﺬﺑﺤﻮا ﺑﻘﺮة.6 b.
Penafsiran Ayat Dengan Hadits Nabi Penggunaan hadits sebagai sumber penafsiran menjadi hal yang cukup penting dalam tafsir ini. Namun dalam penggunaan hadits sebagai sumber tafsirnya, al-Baidhāwi tidak menyeleksi kualitas hadits yang dipakai apakah hadits tersebut termasuk hadits shahîh, hadits hasan, atau hadits dhaif. Al-Baidhāwi tidak pula menyebutkan sanad haditsnya, sehingga beliau banyak memasukan hadits dhaif bahkan mursal dengan sanad yang tidak diketahui dalam tafsirnya.7 Contoh penafsiran al-Baidhāwi dengan hadits Nabi Saw.surat alMaidah ayat 51 :
ﯾﺄ ﯾﮭﺎ اﻟﺬﯾﻦ آﻣﻨﻮا ﻻﺗﺘﺨﺬوا اﻟﯿﮭﻮد واﻟﻨﺼﺮى أوﻟﯿﺎء ﺑﻌﻀﮭﻢ أوﻟﯿﺎء ﺑﻌﺾ وﻣﻦ ﯾﺘﻮﻟﮭﻢ ﻣﻨﻜﻢ ﻓﺈﻧﮫ ﻣﻨﮭﻢ إن ﷲ ﻻ ﯾﮭﺪى اﻟﻘﻮم اﻟﻈﻠﻤﯿﻦ (49 :)اﻟﻤﺎﺋﺪة “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orangorang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
6
hal.160.
7
Nash al-Din Abi Said Abdillah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhawi, op.cit., Hasbi al-Sidiqi, loc.cit.
5
Al-Baidhāwi mengemukakan bahwa arti kata
( )اوﻟﯿﺎءadalah
persahabatan, perlakuan baik serta mempekerjakan orang-orang yang tidak seagama yakni ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani) dengan alasan hadits Rasulullah Saw.( “ ) ﻻﺗﺘﺮاﻧﺎراھﻤﺎkedua api tidak saling melihat”8 dalam arti kedua golongan tersebut dengan orang-orang muslim tidak dapat saling berdekatan, bahkan harus selalu berjauhan sehingga bila salah satu pihak menyalakan api, api tersebut tidak terlihat oleh pihak lain karena jauhnya. 9 c. Penafsiran al-Baidhāwi Bersumber Qaūl Sahabat Pengambilan sumber penafsiran dari Qaūl sahabat ini digunakan apabila al-Baidhāwi tidak menemukan penjelasan suatu ayat dari ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits Nabi Saw. Contoh penafsirannya surat al-Anfal ayat 44:
“Dan ketika Allah menampakkan mereka kepada kamu sekalian, ketika kamu berjumpa dengan mereka berjumlah sedikit pada penglihatan matamu dan kamu ditampakkan-Nya berjumlah sedikit pada penglihatan mata mereka, Karena Allah hendak melakukan suatu urusan yang mesti
ﺑﻌﺚ رﺳﻮل ﷲ)ص( ﺳﺮﯾﺔ اﻟﻰ ﺧﺜﻌﻢ ﻓﺎﻋﺘﺼﻢ ﻧﺎس ﻣﻨﮭﻢ ﺑﺎﻟﺴﺠﻮد ﻓﺎﺳﺮع ﻓﯿﮭﻢ اﻟﻘﺘﻞ ﻓﺒﻠﻎ ذﻟﻚ اﻟﻨﺒﻲ )ص( ﻓﺎﻣﺮﻟﮭﻢ ﻻﺗﺘﺮاى ﻧﺎراھﻤﺎ: ﯾﺎ رﺳﻮل ﷲ"ﻟﻢ"ﻗﺎل:ﻗﺎﻟﻮا.ﺑﻨﺼﻒ اﻟﻌﻘﻞ )اي اﻟﺪﯾﺔ( وﻗﺎل اﻧﺎ ﺑﺮئ ﻣﻦ ﻛﻞ ﻣﺴﻠﻢ ﯾﻘﯿﻢ ﺑﯿﻦ اظﮭﺮاﻟﻤﺸﺮﻛﯿﻦ Menurut Rasyid Ridha hadits ini adalah hadits mursal, yakni suatu hadits yang dalam rangkaian sanadnya tidak disebutkan siapa sahabat yang menyampaikan dari Rasul Saw., sehingga diperselisihkan tentang keabsahannya untuk dijadikan hujjah (argumentasi), menurut Rasyid Ridha hadits tersebut dapat dijumpai dalam kitab Sunan Abu Daud, al-Tirmidzi, an-Nasai (Lihat Hasbi al-Shidiqi, Studi Kritis Terhadap Tafsir al-Manar (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994), hal.129-131. 9 Ibid. 8
6
dilaksanakan. dan hanyalah kepada Allahlah dikembalikan segala urusan.”
Al-Baidhāwi menjelaskan mengenai apa yang dimaksudkan Allah Swt. dalam kalimat ()ﻓﻲ أﻋﯾﻧﻛم ﻗﻠﯾﻼ, adalah pandangan orang muslim terhadap jumlah musuhnya yang lebih sedikit disbanding jumlah pasukan umat muslim, sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud kepada orang yang disebelahnya, tentang berapa jumlah orang kafir dalam pandangan mereka, orang yang disebahnya menjawab bahwa jumlah orang kafir tersebut 100 orang, dan menurut pandangan Ibnu Ma’sud orang kafir tersebut jumlahnya hanya 70 orang saja. Padahal yang sebanarnya jumlah orang kafir tersebut lebih dari itu.10 d. Penafsiran al-Baidhāwi Berdasarkan Qaūl Tabi’în Pegambilan sumber tafssir dari qaul tabi’in sebagai sumber tafsir dilakukan apabila al-Baidhāwi tidak menemukan penjelasan dari al-Quran, hadits Nabi Saw., dan pernyataan sahabat. Contoh penafsiran dari tabiin, surat al-Baqarah ayat 65
Dan Sesungguhnya Telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu kami berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kerayang hina". 10
Nashr al-Din abi Said Abdullah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi alBaidhāwi,op.cit., hal. 200.
7
Dalam menafsirkan kata ( ) ﻛﻮﻧﻮا ﻗﺮدة ﺧﺎﺳﺌﯿﻦal-Baidhawi mengutip perkataan tabiin yang bernama Mujahid yang mengatakan maksud dari firman Allah Swt. ( ) ﻛﻮﻧﻮا ﻗﺮدة ﺧﺎﺳﺌﯿﻦadalah bukan secara fisik mereka serta merta berubah menjadi seekor kera yang hina, melainkan sifat atau perwatakan mereka merubah menjadi seperti kera, keadaan hati mereka seperti prilaku kera, sebagaimana permisalan himar yang terdapat dalam surah al-Jumaah ( ) ﻛﻤﺜﻞ اﻟﺤﻤﺎر ﯾﺤﻤﻞ أﺳﻔﺎرا, kata ( )ﻛﻮﻧﻮاdisini bukan merupakan perintah “jadilah/berubahlah” tapi “menjadi/segera berubah” dan jadilah mereka seperti itu.11
2.
Penafsiran Al-Baidhāwi Dengan Unsur bi al-Ra’yi Al-Baidhawi memberikan keleluasaan pada akal pikirannya dalam melakukan penafsiran, ra’yu pribadinya tersebut beliau sisipkan secara mahir dan teliti serta disusun dengan kata yang ringkas untuk memperkuat análisis tafsirnya. Hal ini bisa terlihat dengan banyaknya argumen al-Baidhāwi
yang dikembangkan dalam menjelaskan ayat
banyak menggunakan dalil aqli (alasan rasional). Contoh Penafsirannya dengan bi al-ra’yi ini salah satunya terdapat pada surat an-Naml ayat 22:
11
Nashr al-Din abi Said Abdullah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhāwi, Tafsir al-Baidhāwi (Bairut: Dar al- Fikr,), hal. 6.
8
…..
“Maka tidak lama Kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku Telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.”
Al-Baidhāwi mengemukakan, bahwa Nabi Sulaiman a.s. telah menyelesaikan bangunan
bait al-Maqdis, lalu bersiap-siap untuk
menunaikan ibdah haji. Setelah mngutip sebuah kisah Isrāiliyyāt tentang pengembaraan Nabi Sulaiman dari Makkah ke Sana’a tanpa mnyebutkan kualitas riwayat tersebut dan juga menafikannya beliau berkata, ”Barangkali diantara keajaiban kekuasaan Allah dan dikhususkan bagi hamba-hamba-Nya, terdapat perkara yang lebih besar dariny, yang menyebabkan orang-orang mengetahuikekuasaanNya akan mengagungkanNya dan sebaliknya, orang-orang yang mngingkarinya akan menolaknya.”
Ada beberapa kaidah yang digunakan oleh al-Baidhāwi ketika menafsirkan suatu ayat atau kata dalam al-Qur’an, diantaranya adalah penggunaan tata bahasa, qiraah, munasabah ayat, dan mengambil kisah Isrāiliyyāt. Kisah ini akan dijelaskan tersendiri pada pembahsan didepan. Beberapa kaidah yang dipergunakan al-Baidhāwi dalam tafsirnya : a. Mengelompokkan Surat Sebelum memberikan penafsiran terhadap suatu surat al-Baidhāwi terlebih dahulu memaparkan jenis suatu surat yang hendak ditafsirkan
9
apakah itu termasuk pada kelompok surat makkiyah atau madaniayah, kemudian al-Baidhāwi menyebutkan jumlah keseluruhan surat yang akan ditafsirkan tersebut.12
b. Penggunaan Tata Bahasa Pendekatan bahasa menjadi suatu yang urgen dalam setiap penafsirannya. Dalam hal ini, al-Baidhāwi menjelaskan kata-kata dan istilah yang kurang jelas, menjelaskan hubungan antara satu kata dengan kata yang lain, dan kadang-kadang menjelaskan posisi kata dalam struktur kalimat. Hal ini dilakukan Al-Baidhāwi untuk menguraikan maknanya. 13 c. Penggunan Qiraah Penggunaan Qiraah menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang dilakukan Al-Baidhāwi. Dalam hal Qiraat, al-Baidhāwi tidak hanya menggunakan Qiraah Sab’ah yang sering dianggap sebagai qiraah al-Ma’tsūrah (mutawatir) yaitu bacaan alQur’an yang disandarkan pada tujuh Imam: Ibnu Amir, Ibnu Katsir, Asim, Abu Amr, Hamzah, Nafi, dan al-Kisa’i, al-Baidhāwi juga menambahkan bacaan yang diperkenalkan oleh tokoh qiraah lain seperti Ya’qub alHadlrami, Abu Bakar, dan lainnya yang masuk dalam kategori sadzdzah.14
12
Nashr al-Din abi Said Abdullah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhāwi, op.cit., hal.175. 13 Nashr al-Din abi Said Abdullah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhāwi, op.cit.,hal.119. 14 Abduh Zulfikar Akha, Al-Qurán dan Qira’ah, (Jakarta: Pustaka al-Katsar, 1196), hlm. 131
10
d. Munasabah Ayat Munasabah Ayat adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antara ayat pada beberapa ayat, atau antara surah di dalam al-Qur’an. Dan hal ini sesuatu yang sering dipergunakan oleh alBaidhāwi.
B. Corak Penafsiran Al-Baidhāwi Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, al-Baidhāwi sebenarnya tidak memiliki kecenderungan khusus menggunakan satu corak yang spesifik secara muthlak, misalnya bercorak fiqhi saja, bercorak lughawi, adabi wa ijtimai, falsafi saja atau yang lainnya. Secara garis besar tafsir ini cenderungan mengandung tiga corak, corak fiqhi, ilmi, dan lughawi. 1. Mengandung corak Fiqhi Dikatakan mengandung corak fiqhi karena beberapa penafsirannya cenderung memperhatikan ayat–ayat hukum (ayat ahkam) yang terdapat dalam ayat al-Qur’an yang ditafsirkan dengan berdasar pada fiqh. 2. Mengandung Corak ‘Ilmi Tafsir ini mengandung corak ‘ilmi karena penafsiran didalamnya banyak memberi perhatian pada ayat-ayat kauniah (alam semesta) yang ada dalam al-Qur’an dan mengaitkannya dengan ilmu pengetahuan modern. Saat menjumpai ayat-ayat kauniyah al-Baidhāwi tak akan melewatkannya
11
begitu saja, beliu memberikan penjelasan yang panjang lebar mengenai ayat ini.15 Contohnya saat beliau menafsirkan surah al-Shafat ayat 10 : “Akan tetapi barangsiapa (di antara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan); Maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang.16
Dalam hal ini beliau memberikan penjelasan tentang apa yang disebut dengan syihāb (bola api) dalam ayat tersebut. Al-Baidhāwi menyebutkan bahwa bola api itu adalah uap yang menguap kemudian menyala. 3. Mengandung Corak Lughawi Pendekatan bahasa menjadi suatu yang urgen dalam setiap penafsirannya. Dalam hal ini, al-Baidhāwi menjelaskan kata-kata dan istilah yang kurang jelas, menjelaskan hubungan antara satu kata dengan kata yang lain, dan kadang-kadang menjelaskan posisi kata dalam struktur kalimat. Hal ini dilakukan Al-Baidhāwi untuk menguraikan maknanya. Contohnya saat beliau menafsirkan surat al-Shafat ayat 10 diatas:
“Akan tetapi barangsiapa (di antara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan); Maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang.17
15
Hal inilah yang menguatkan perkiraan al-Dzahabi bahwa dalam hal seperti ini alBaidhāwi terpengaruh oleh penafsiran Fakhr al-Din ar-Razy. Lihat Al-Dzahabi, op.cit., hal. 257. 16 Nashr al-Din abi Said Abdullah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhāwi, jilid 2,( Bairut:Dar al-Fikri, 2003) hal.3. 17 Ibid.
12
Al-Baidhawi menjelaskan kalimat ( ) dari segi nahwunya, sharafnya, dan cara membacanya. Beliau menjelaskan bahwa kalimat ( ) merupakan itstitsna, kata ( )dibaca khatif dengan difatahkan hutuf khanya, dan juga diikasrohkan huruf kha-nya. Al-Baidhawi mengartikan kata ( ) sebagai al-ihklaasu yang mempunyai arti perampasan, apa yang dirampas disini adalah perkataan malaikat yang dicuri dengar oleh syaitan.18
C. Pandangan Al-Baidhāwi Terhadap Kisah Isrāiliyyāt Di tinjau dari segi bahasa, Isrāiliyyāt bentuk jamak dari kata
اﺳﺮاﺋﻠﯿﺔ
yang mempunyai arti hamba Tuhan, nama lain dari Nabi Yakub as. 19 Secara istilah para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan Isrāiliyyāt ini Menurut Muhammad Husain al-Dzahabi :
ﻟﻔﻆ اﺳﺮاﺋﻠﯿﺔ وان ﻛﺎن ﯾﺪل ﺑﻈﺎ ھﺮھﺎﻋﻠﻰ ﻟﻮﻧﺎ اﻟﯿﮭﻮد ﻟﻠﺘﻔﺴﯿﺮ وﻣﺎﻛﺎن ﻟﺜﺎ ﻓﻨﺮﯾﺪ ﻣﺎ ﯾﻌﻢ,ﻗﻔﺔاﻟﯿﮭﻮد ﻣﻦ اﺛﺮظﮭﺮﻓﯿﮫ اﻻ اﻧﺎ ﻧﺮﯾﺪﻣﺎھﻮاوﺳﻊ ﻣﻦ ذﻟﻚ او اﺷﻤﻞ اﻟﻠﻮن اﻟﯿﮭﻮدي واﻟﻠﻮن اﻟﻨﺼﺮا ﻧﻲ ﻟﻠﺘﻔﺴﯿﺮ وﻣﺎ ﺗﺎ ﺛﺮ ﺑﮫ اﻟﺘﻔﺴﯿﺮ ﻣﻤﻦ اﻟﺜﻘﺎ ﻗﺘﯿﻦ 20
18
اﻟﯿﮭﻮ د ﯾﺔ واﻟﻨﺼﺮا ﻧﯿﺔ
Ibid. Roshihan Anwar, op. cit., hal. 21. 20 Roshihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Isrāiliyyāt dalam Tafsir al-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal.21. 19
13
“Walaupun makna lahir dari Isrāiliyyāt berarti pengaruh-pengaruh kebudayaan Yahudi terhadap penafsiran al-Qur’an, kami mendefinisikannnya lebih luas dari itu, yaitu pengaruh kebudayaan Yahudi dan Nasrani terhadap tafsir”
Menurut Sayyid Ahmad Khalill
وﻟﻤﻔﺮاده ﺑﮭﺎ اﻟﻤﺮوﯾﺎت ﻋﻦ اھﻞ اﻟﻜﺘﺎب ﺳﻮاء اﻛﺎن ﻣﺎ,ﺟﻤﻊ ﻣﻔﺮاده اﺳﺮاﺋﯿﻠﯿﺔ روي ﻣﻨﮭﺎ ﻣﻤﺎ ﯾﺘﻌﻠﻖ ﺑﺎدﯾﺎﻧﮭﻢ ام ﻻ ﺻﻠﺔ ﻟﮫ ﺑﮭﺬه اﻻدﯾﺎن واﻧﻤﺎروي ﻋﻨﻄﺮﯾﻘﮭﻢ اذان اﻏﻠﺐ اﻟﺮواة ﻟﮭﺬھﺎﻟﻤﺮوﯾﺎﺗﻜﺎﻧﻮا ﻣﻦ اﻟﯿﮭﻮد دﺧﻠﻮا ﻓﻰ اﻻﺳﻼم “Isrāiliyyāt adalah riwayat-riwayt yang beasal dari ahli kita, baik yang berhububga dengan agama mereka atau pun tidak ada hubungannya sama sekali. Penisbatan riwayat Israliyyat kepada orang –orang Yahudi karena pada umumnya para perowinya berasl dari kalangan mereka yang sudah masuk islam”21
Isrāiliyyāt berarti cerita yang bersumber dari Yahudi dan Nasrani yang masuk kedalam Islam dan khususnya masuk kedalam penafsir al-Qur’an dan Hadits. Cerita yang disampaikan berisi kisah-kisah terdahulu sebelum Islam datang yang isinya bisa sejalan dan juga tidak sejalan dengan Islam.22 Sebagian
mufassir
mengadopsi
kisah
Isrāiliyyāt
ini
dan
menjadikannya sebagai salah satu sumber tafsirnya. Isrāiliyyāt dalam tafsir
21 22
Ibid, hal. 23. Ibid.hal. 29.
14
al-Qur’an pada umumnya berasal dari tokoh-tokoh Yahudi dan Nasrani yang kemudian masuk Islam, baik dari kalangan sahabat maupun tabiin.23 Begitu pula halnya al-Baidhāwi, dalam tafsir Anwar al-Tanzil wa Asra al-Tawil ini, beliau juga mengambil kisah Isrāiliyyāt
sebagai salah satu
sumber tafsirnya. Namun al-Baidhāwi meminimalisir pengutipan ini. Ketika al-Baidhāwi
mengutip sebuah kisah
Isrāiliyyāt
dalam
tafsirnya,
ia
menyebutkannya dengan menggunakan istilah ruwiya (diriwaytkan) atau qila (dikatakan).24 Menurut al-Dzahabi penggunaan kedua istilah diatas mengisyartkan bahwa al-Biadhawi menganggap kualitas kisah-kisah Isrāiliyyāt
tersebut
lemah dan tidak bisa diterima oleh akal logika.25 Contoh penafsiran dengan sumber kisah Isrāiliyyāt ini salah satunya terdapat pada surat an-Naml ayat 22: …..
“Maka tidak lama Kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku Telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.”
Al-Baidhāwi mengemukakan,”Diriwayatkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. telah menyelesaikan bangunan bait al-Maqdis, lalu bersiap-siap untuk menunaikan ibdah haji. Setelah mengutip sebuah kisah Isrāiliyyāt tentang 23
Ibid. Al-Dzahabi, op.cit., hal.256. 25 Ibid. 24
15
pengembaraan Nabi Sulaiman a.s dari Makkah ke San’a tanpa mnyebutkan kualitas riwayat tersebut dan juga menafikannya beliau berkata, ”Barang kali diantara keajaiban kekuasaan Allah dan dikhususkan bagi hamba-hamba-Nya, terdapat perkara yang lebih besar darinya, yang menyebabkan orang-orang mengetahui kekuasaan-Nya akan mengagungkan-Nya dan sebaliknya, orang-orang yang mngingkari-Nya akan menolak-Nya.”26
D. Pandangan Ulama Terhadap Tafsir Al-Baidhāwi Tafsir al-Baidhāwi mendapat banyak perhatian dari beberapa ulama sesudahnya. Hal ini terbukti dengan banyaknya yang memberi catatan pinggir (hāsyiyah) dan komentar terhadap tafsir ini. Beberapa ulama memandang dan menilai Tafsir al-Baidhāwi ini merupakan sebuah tafsir yang berisi ringkasan dari berbagai kitab tafsir sebelumnya. Yaitu dari tafsir al-Kasysyaaf karya Zamaksyari yang berhubungan dengan i’rab, ma’ani dan bayan, dari Mafātih al-Ghaib karya Fakhr radin al-Razi yang berhubungan dengan filsafat, teolog dan ilmi, dari alRaghib al-Ashfihani dengan tafsirnya Jami’ al-Tafsir yang berhubungan dengan asal-usul dan pembentukan suatu kata. Selain dari penilaian diatas tafsir ini juga memperoleh beragam tanggapan dari berbagai kalangan ulama, sebagian memberikan penilaian yang cenderung memuji sementara itu sebagian lain memberikan kritikan dan penilaian yang cenderung negatif.
26
op.cit., hal.
Nashr al-Din abi Said Abdullah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhāwi,
16
Berikut beberapa tanggapan terhadap Tafsir Anwār al-Tanzil wa Asrār alTa’wilyang cenderung memuji: 1. Haji Khalifah dalam kitabnya Kasyf al-Dzunun menyatakan bahwa tafsir al-Baidwawi merupakan kitab yang sangat penting
dan kaya akan
penjelasan. Di tempat lain beliau juga menyatakan bahwa Tafsir aBaidawi merupakan rizki dari Allah Swt. yang diterima dengan baik oeh para pemuka agama “Kitab ini merupakan rizki dari Allah yang diterima dengan
baik
oleh
para
pemuka
agama
dan
ulama,
mereka
mengerumuninya untuk mengkaji dan membuat hasyiyah terhadapnya. Ada yang membuat hasyiyah secara lengkap, ada yang membuatnya untuk sebagian dari kitab tafsir tersebut.”27 2. Al-Kazaruni memberikan komentar dengan menyatakan bahwa kitab ini meliputi rangkuman pendapat banyak imam besar dan kejernihan para ulama dalam menafsirkan Al-Qur’an dan menguraikan maknanya, menjelaskan kata-katanya yang sulit. 3. Al-Dzahabi mengatakan bahwa tafsir al-Baidhāwi ini merupakan salah satu kitab induk diantara berbagai kitab tafsir, yang tidak selayaknya disepelekan oleh mereka yang ingin memahami firman Allah Swt. Dan menelaah rahasia-rahasia dan maknanya.28 4. Imam al-Sayuti berkata dalam kitab Hāsyiyahnya, bahwa al-Baidhāwi bagus dalam meringkas kitabnya ini. Ia mengemukakan segalanya dengan baik dan menyelesaikan masalah Mu’tazilah, ia campakkan dusta dan 27 28
Al-Dzahabi, op.cit.,hal.258. Ibid., hal. 259.
17
melenyapkan, ia tetapkan permasalahan-permasalahan penting dan mencapai keutuhan hingga kitab ini tampak seperti mutiara yang bersinar. Ia masyhur bagai tampaknya matahari di siang hari , para pendiam tidak memberi komentar, para pemuji merangkai kata dalam menuturkan keelokannya, orang-orang arif dapat mencicipi rasa kehalusannya, maka para ulama tekun mempelajari dan menelitinya mereka juga segera menyambutnya karena senang.29 Beberapa pandangan yang cenderung mengkritik dan terkesan memberi pandangan negatif antara lain : 1. Yusuf Rahman dalam tulisannya “Unsur Hermeneutika Tafsir al-Baidhāwi menyatakan bahwa sikap al-Baidhāwi yang tidak menyebutkan sumber dalam penafsirannya membuat kita menuduhnya sebagai seorang plagiatist.30 2. Sedangkan Quraisy Shihab melihat dari segi corak pembahasannya. Beliau menganggap bahwa tafsir Anwār al-Tanzil Wa Asrār al-Ta’wil karya AlBaidlawiy merupakan salah satu tafsir yang cara-cara yang mereka tempuh itu menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, yang tadinya difahami secara mudah, menjadi semacam disiplin ilmu yang sukar untuk dicerna. Hal ini dikarenakan kitab-kitab tafsir itu berisikan pembahasanpembahasan yang mendalam, namun gersang dari petunjuk-petunjuk yang menyentuh jiwa serta menalarkan akal.31
29
Ibid. http://pemikiran-tafsir-anwar-al-tanzil-wa.html diakses pada 21 Februari 2011 31 Ibid. 30
18
E. Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Al-Baidhāwi Sebuah karya pasti memiliki kekurangan dan kelebihan begitu pula tafsir al-Baidhāwi ini. Dibawah ini merupakan paparan tentang kelebihan yang terletak pada tafsir Anwar al-Tazil wa Asra al-Ta’wil karya al-Baidhāwi. Beberapa kelebihan yang dimiliki Tafsir al-Baidhāwi adalah sebagai berikut : 1. Kelebihan tafsir Al-Baidhāwi adalah terletak gaya bahasa yang dipakai alBaidhāwi menafsirkan ayat, penggunaan bahasa yang singkat dan praktis sehingga dapat dikonsumsi dengan mudah oleh semua kalangan pembaca. Selain itu tafsir ini juga bercorak ringkas karena kehati-hatian al-Biadhawi dalam memilih kata.32 Beliau tidak mencantumkan satu kata pun jika tanpa adanya pertimbangan. Sehungga banyak sekali kaum cendikiawan untuk menulis catatan pinggir (hāsyiyah) untuk menerangkan kepelikan-kepelikannya dan menguraikan rumusan-rumusannya terhadap tafsirnya. Hal ini membuktika bahwa penafsiran al-Baidhāwi mempunyai daya tarik sebagai kelebihannya sehingga banyak diminati. Karena itu banyak ditulis catatan pinggir. 33 2. Mengandung banyak ilmu pengetahuan didalamnya, mulai dari ilmu fiqh, gramatika bahasa, dan qiraat.
32 33
Ibid. Ibid.
19
Tafsir yang menuai banyak pujian dan banyak diminati oleh para cendikiawan ini pun tak luput dari berbagai kekurang bahkan tak sedikit kritikan dan pandangan negatif yang ditujukan pada tafsir ini. Berikut beberapa kekurang yang terdapat pada Tafsir Al-Baidhāwi in: 1. Salah satu kekurangannya terletak pada pengambilan atau pencantuman hadits sebagai sumber penafsiran yang tidak disebutkan terlebih dahulu sanadnya dan tidak dikemukan atau tidak diseleksi kualitasnya apakah hadits tersebut termasuk hadits shahîh, hadits hasan, dhaif atau pun hadits mursal.34 2. Kekurangan tafsir ini juga terletak pada beberapa penafsiran al-Baidhāwi yang cenderung mempunyai ketergantungan terhadap kitab tafsir sebelumnya yakni al-Kasyf karya Zamaksyari, Mafatih al-Ghaib karya Fakhr al-Din al-Razi, Jami al-Tafsir karya al-Raghib al-Ashfihani. 35 3. Kelebihan yang ada pada tafsir ini sekaligus menjadi kekurangan tafsir ini sendiri. Yaitu tafsir yang dianggap sangat ringkas dalam menggunakan suatu kata ini, tafsir yang seharusnnya mudah difahami menjadi sulit untuk dicerna,
sehingga
memerlukan
pemahaman yang mudah.
34 35
Al-Dzahabi, op.cit., hal. 257 Al-Dzahabi, loc.cit.
penafsiran
lagi
untuk
mendapat
20
BAB IV ANALISIS TERHADAP METODE DAN CORAK TAFSIR AL-BAIDHAWI
A. Metode Tafsir Al-Baidhāwi Dari paparan bab sebelumnya diketahui bahwa al-Baidhawi dalam tafsirnya Anwār al-Tanzil Wa Asrār al-Ta’wîl menggunakan metode tahlili, yakni beliau menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai segi yang terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan dimulai dari uaraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munasabah), secara berurutan sesuai dengan mushaf utsmani yakni dimulai dari surat al-Fātihah dan diakhiri dengan surat al-Nās. Namun patut dicatat, walaupun al-Baidhawi menggunakan metode tahlili dalam tafsirnya, beliau juga terkadang menggunakan metode muqaran untuk menjelaskan ayat yang ia tafsirkan. Al-Baidhawi mengemukakan dan membandingkan pandangan dari beberapa sekte Islam dalam menafsirkan ayat, terkadang beliau mengemukakan pendapat kaum mu’tazilah, khawarij, dan ahl sunnah, namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan ahl sunnah. Seperti halnya saat beliau menfasirkan surat al-Baqarah ayat 2-3:
(3) َﺼﻼَةَ وَ ِﻣﻤﱠﺎ رَ َز ْﻗﻨَﺎ ُھ ْﻢ ﯾُ ْﻨﻔِﻘُﻮن ﺐ َوﯾُﻘِﯿﻤُﻮنَ اﻟ ﱠ ِ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﯾُﺆْ ِﻣﻨُﻮنَ ﺑِﺎ ْﻟ َﻐ ْﯿ “Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka.”
1
2
Setelah memberikan penjelsan secukupnya mengenai ayat tersebut, alBaidhawi menemukakan makna kata “iman” dan “munafik” menurut pandangan ahli sunnah, mutazilah, dan khawarij, namun pada kahirnya beliau mentarjih pandangan ahl sunnah. Ditinjau dari segi pendekatannya atau dipandang dari sisi pengambilan sumber tafsirnya, menurut pengamatan dan penelitian penulis Tafsir AlBaidhawi ini menggunakan pendekatan tafsir bi al-ma’tsūr dan bi al-ra’yi sekaligus. Yakni pengambilan sumber panafsirannya berasal dari ayat alQur’an itu sendiri, hadits Nabi saw, pendapat para sahabat dan tabi’in, hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa contoh yang telah penulis sajikan dalam penyajian data pada bab tiga yang menunjukkan bahwa al-Biadhawi menggunakan ayat al-Qur’an sendiri, hadits Nabi Saw., pendapat sahabat, dan qaul tabiin dalam menafsirkan suatu ayat. Al-Baidhawi juga menggunakan ra’yu (pandangan akalnya) dan ijtihadnya yang sangat besar ketika menafsirkan al-Quran. Terkadang beliau bersandar pada akalnya semata tanpa mengambil dalil naqli serta tidak meninggalkan ra’yu atau ijtihadnya sendiri. Buktinya terlihat ketika alBaidhawi menafsirkan surat al-Naml ayat 22 :
3
“Maka tidak lama Kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku Telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.”
Al-Baidhāwi mengemukakan,”Diriwayatkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. telah menyelesaikan bangunan bait al-Maqdis, lalu bersiap-siap untuk menunaikan ibdah haji. Setelah mengutip sebuah kisah Isrāiliyyāt tentang pengembaraan Nabi Sulaiman dari Makkah ke Sana’a tanpa mnyebutkan kualitas riwayat tersebut dan juga menafikannya beliau berkata,”Barang kali diantara keajaiban kekuasaan Allah dan dikhususkan bagi hamba-hamba-Nya, terdapat perkara yang lebih besar darinya, yang menyebabkan orang-orang mengetahui kekuasaanNya akan mengagungkan-Nya dan sebaliknya, orang-orang yang mngingkari-Nya akan menolaknya.”
Mengenai penafsiran al-Baidhawi yang bersumber dari riwayat (ma’tsūr), sebagaimana pertanyataan al-Baidhawi sendiri dalam pembukaan tafsirnya Al-Baidhāwi bahwa beliau mengambil dua sumber sebagai bahan rujukan tafsirnya yang pertama mengambil pendapat para sahabat, tabiin, dan para ulama salaf, yang kedua beliau mengambil rujukan dari tafsir-tafsir sebelumya.1
1
Nashr al-Din Abi Said Abd Allah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhāwi Jilid 1, op.cit., hal. 6.
4
Sebagaimana dikutip Yusuf Rahman dari Winand Fell dalam karyanya Indices ad Beidhawi Commentarium in Coranum, sahabat yang paling sering dikutip oleh al-Baidhāwi adalah Ibnu Abbas, sementara dari Ibnu Mas’ud al-Baidhāwi mengutip sebanyak 14 kali, dari Ubay bin Kaab empat kali, dari ‘Abd Allah bin Zubair sebanyak epmat kali juga, dari Musa al-Asy’asi sebanyak dua kali dan dari Zaid bin Tsabit hanya satu kali saja. 2 Dari kalangan tabiin, al-Baidhāwi mengutip pada Mujahid r.a. sebanyak lima kali, al-Dahhak r.a. sebanyak tiga kali, dari Qatadah r.a. sebanyak tiga kali, dari Ikrimah r.a. sebanyak tiga kali, dan dari Abu al’Aliyah satu kali.3 Bahkan yang penulis temukan setelah meneliti kembali kedalam Tafsir al-Baidhawi ternyata pengutipan dari sahabat Ibnu Mas’ud r.a. lebih dari 14 kali, yakni penulis temukan pengutipan tersebut lebih dari 17 kali sedangkan Ibnu Abbas r.a. dikutip lebih dari 23 kali. Mengikuti pernyataan al-Baidhawi bahwa beliau mengambil sumber tafsirnya dengan mengutip dari beberapa tafsir sebelumnya, dalam hal ini penulis tidak menemukan nama tafsir yang beliau kutip. Alih-alih beliau hanya menyebutkan nama-nama teolog seperti Abu Hasan al-Asyari sebanyak dua kali, Al-Jubba’i sebanyak satu kali, dan nama-nama kelompok seperti Al-Barahim satu kali, al-Khawarij sebanyak lima kali, Mujbirah satu kali, Mujassimah satu kali, Muatillah dua kali, dan Mu’tazilah 35 kali. 4 2
http://zalmiadi.blogspot.com/2010/06/biografi-imam-al-Baidhāwi.html, diakses pada hari Rabu tanggal 20 April 2011. 3 Ibid. 4 Ibid
5
Padahal menurut beberapa peneliti mengatakan bahwa al-Baidhawi memiliki ketergantungan terhadap mufassir sebelumnya ketika menafsirkan ayat alQur’an. Dari penafsiran al-Baidhawi dapat dilihat bahwa ia banyak mengutip dari tafsir al-Kasysyaaf karya seorang mu’tazilah Zamaksyari hal-hal yang berhubungan dengan i’rab, ma’ani dan bayan, juga dari cara beliau memposisikan hadits sebagi sumber dalam tafsirnya, dari Mafātih al-Ghaib karya Fakhr al-Din al-Razi seorang teolog penganut madzhab ahl sunnah yang fanatik yang berhubungan dengan filsafat, teolog dan ilmi. Hal ini akan sangat nampak ketika al-Biadhawi selalu menguraikan lebih detail ketika menemukan ayat-ayat kauniah dalam tafsirnya, hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh al-Razi dalam tafsirnnya. Secara tidak langsung al-Baidhawi menghimpun dua kutipan dari dua pemikir yang berbeda aliran yakni dari Zamaksyari seorang mu’tazili dan dari Fakh al-Din al-Razi seorang sunni yang cederung antipasti terhadap mu’tazilah. Namun demikian al-Baidhawi merupakan seorang sunni yang taat sehingga beliau hanya mengutip dari al-Kasysyaf yang berhubungan dengan kaidah-kaidah kebahasaan saja, walau pun terkadang beliau mengungkapkan pendapat Zamaksyari dan sejalan dengannya dalam beberapa hal, tetapi beliau akan tetap mentarjih pendapat ahl sunnah. Selain dari dua mufassir diatas al-Baidhawi juga mengutip dari alRaghib al-Ashfihani denga tafsirnya Jami’ al-Tafsir yang berhubungan dengan asal-usul dan pembentukan suatu kata.
6
Mengenai penggunaa hadits Nabi Saw. dalam tafsirnya, pengutipan hadits dilakukan hampir mirip dengan apa yang terdapat dalam tafsir alKasyaf milik Zamaksyari, yakni hadits tidak diteliti dan dijelaskan terlebih dahulu mengenai kualitasnya apakah termasuk hadits shahih, hasan dhaif, dan juga tidak disebutkan sanad hadits tersebut sehingga sehingga alBaidhawi memasukkan begitu saja hadits mursal. Yakni hadits yang dalam rangkaian sanadnya tidak diketahui siapanya, al-Baidhawi menggunakan hadits mursal dibawah ini ketika menafsirkan surat al-Maidah ayat 5, sebagaiman yang dilakukan oleh Zamaksyari ketika menafsirkan ayat yang sama. ﺑﻌﺚ رﺳﻮل ﷲ)ص( ﺳﺮﯾﺔ اﻟﻰ ﺧﺜﻌﻢ ﻓﺎﻋﺘﺼﻢ ﻧﺎس ﻣﻨﮭﻢ ﺑﺎﻟﺴﺠﻮد ﻓﺎﺳﺮع ﻓﯿﮭﻢ اﻟﻘﺘﻞ ﻓﺒﻠﻎ ذﻟﻚ اﻟﻨﺒﻲ ﯾﺎ:ﻗﺎﻟﻮا.)ص( ﻓﺎﻣﺮﻟﮭﻢ ﺑﻨﺼﻒ اﻟﻌﻘﻞ )اي اﻟﺪﯾﺔ( وﻗﺎل اﻧﺎ ﺑﺮئ ﻣﻦ ﻛﻞ ﻣﺴﻠﻢ ﯾﻘﯿﻢ ﺑﯿﻦ اظﮭﺮاﻟﻤﺸﺮﻛﯿﻦ ﻻﺗﺘﺮاى ﻧﺎراھﻤﺎ:رﺳﻮل ﷲ"ﻟﻢ"ﻗﺎل “Rasulullah Saw. mengutus satu pasukan (bersenjata) ke daerah (keluarga/kabilah) Khats’am, maka beberapa orang dari mereka berlindung dengan sujud namun anggota pasukan tersebut dengan segera membunuh mereka, hal mana diketahui oleh Nabi Saw.. Maka beliau memerintahkan untuk (membayar kepada keluarga) mereka (yang terbunuh) setengah daru diat sambil bersabda : Aku berlepas diri dari setiap Muslim yang bertempat tinggal di tengah-tengah kaum musyrikin” 5
5
Hasbi al-Shidiqi, Studi Kritis Terhadap Tafsir al-Manar (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994), hal.129-131.
7
Al-Baidhāwi mengemukakan bahwa arti kata ( ) اوﻟﯿﺎءadalah persahabatan, perlakuan baik serta serta mempekerjakan orang-orang yang tidak seagama yakni ahlul bait (Yahudi dan Nasrani) dengan alasan hadits Rasulullah Saw. ( ﻻﺗﺘﺮاﻧﺎراھﻤﺎkedua api tidak saling melihat) dalam arti kedua golongan tersebut dengan orang-orang muslim tidak dapat saling berdekatan, bahkan harus selalu berjauhansehingga bila salah satu pihak menyalakan api, api tersebut tidak terlihat oleh pihak lain karena jauhnya. Berikut beberapa contoh ayat yang yang terdapat dalam Tafsir alBaidhawi yang dapat membuktikan bahwa al-Baidhawi menggunakan corak bi al-ma’tsur dalam tafsirnya. a. Menafsirkan Ayat Dengan Ayat Hal ini bisa dibuktikan ketika al-Baidhawi menafsirkan ayat-ayat berikutdengan:
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya,”Allah memrintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi betina.”Mereka bertanya,”Apakah engakau akan menjadikan kami sneagi ejekan?”Dia
8
(Musa) menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh.” Ketika al-Biadhawi menafsirkan ayat ( وإذ ﻗﺎل ﻣﻮﺳﻰ ﻟﻘﻮﻣﮫ إن ﷲ )ﯾﺄﻣﺮﻛﻢ أن ﺗﺬﺑﺤﻮا ﺑﻘﺮةbeliau menyatakan bahwa kisah dalam ayat ini ada munasabahnya dengan ayat sesudahnya yakni surat al-Baqarah ayat 72 ( )وإذ ﻗﺘﻠﺘﻢ ﻧﻔﺴﺎ ﻓﺎدارأﺗﻢ إﻟﺦyang menjadi awal kisah sapi betina. Hanya saja dalam penyusunan ayatnya Allah terlebih dahulu menempatkan ayat ( )وإذ ﻗﺎل ﻣﻮﺳﻰ ﻟﻘﻮﻣﮫ إن ﷲ ﯾﺄﻣﺮﻛﻢ أن ﺗﺬﺑﺤﻮا ﺑﻘﺮة.6
b.
Penafsiran Ayat Dengan Hadits Nabi Contoh penafsiran al-Baidhāwi dengan hadits Nabi Saw. surat alMaidah ayat 51 : ﯾﺄ ﯾﮭﺎ اﻟﺬﯾﻦ آﻣﻨﻮا ﻻﺗﺘﺨﺬوا ا ﻟﯿﮭﻮد واﻟﻨﺼﺮى أوﻟﯿﺎء ﺑﻌﻀﮭﻢ أوﻟﯿﺎء ﺑﻌﺾ وﻣﻦ ﯾﺘﻮﻟﮭﻢ ﻣﻨﻜﻢ ﻓﺈﻧﮫ (49 :ﻣﻨﮭﻢ إن ﷲ ﻻ ﯾﮭﺪى اﻟﻘﻮم اﻟﻈﻠﻤﯿﻦ )اﻟﻤﺎﺋﺪة “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orangorang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Al-Baidhāwi mengemukakan bahwa arti kata
( )اوﻟﯿﺎءadalah
persahabatan, perlakuan baik serta mempekerjakan orang-orang yang tidak seagama yakni ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani) dengan alasan hadits 6
hal.160.
Nash al-Din Abi Said Abdillah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhawi, op.cit.,
9
Rasulullah Saw.( “ ) ﻻﺗﺘﺮاﻧﺎراھﻤﺎkedua api tidak saling melihat”7 dalam arti kedua golongan tersebut dengan orang-orang muslim tidak dapat saling berdekatan, bahkan harus selalu berjauhan sehingga bila salah satu pihak menyalakan api, api tersebut tidak terlihat oleh pihak lain karena jauhnya. 8
c.
Penafsiran al-Baidhāwi Bersumber Qaul Sahabat Contoh penafsirannya surat al-Anfal ayat 44:
“Dan ketika Allah menampakkan mereka kepada kamu sekalian, ketika kamu berjumpa dengan mereka berjumlah sedikit pada penglihatan matamu
dan
kamu
ditampakkan-Nya
berjumlah
sedikit
pada
penglihatan mata mereka, Karena Allah hendak melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan. dan hanyalah kepada Allahlah dikembalikan segala urusan.”
ﺑﻌﺚ رﺳﻮل ﷲ)ص( ﺳﺮﯾﺔ اﻟﻰ ﺧﺜﻌﻢ ﻓﺎﻋﺘﺼﻢ ﻧﺎس ﻣﻨﮭﻢ ﺑﺎﻟﺴﺠﻮد ﻓﺎﺳﺮع ﻓﯿﮭﻢ اﻟﻘﺘﻞ ﻓﺒﻠﻎ ذﻟﻚ اﻟﻨﺒﻲ )ص( ﻓﺎﻣﺮﻟﮭﻢ ﻻﺗﺘﺮاى ﻧﺎراھﻤﺎ: ﯾﺎ رﺳﻮل ﷲ"ﻟﻢ"ﻗﺎل:ﻗﺎﻟﻮا.ﺑﻨﺼﻒ اﻟﻌﻘﻞ )اي اﻟﺪﯾﺔ( وﻗﺎل اﻧﺎ ﺑﺮئ ﻣﻦ ﻛﻞ ﻣﺴﻠﻢ ﯾﻘﯿﻢ ﺑﯿﻦ اظﮭﺮاﻟﻤﺸﺮﻛﯿﻦ Menurut Rasyid Ridha hadits ini adalah hadits mursal, yakni suatu hadits yang dalam rangkaian sanadnya tidak disebutkan siapa sahabat yang menyampaikan dari Rasul Saw., sehingga diperselisihkan tentang keabsahannya untuk dijadikan hujjah (argumentasi), menurut Rasyid Ridha hadits tersebut dapat dijumpai dalam kitab Sunan Abu Daud, al-Tirmidzi, an-Nasai (Lihat Hasbi al-Shidiqi, Studi Kritis Terhadap Tafsir al-Manar (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994), hal.129-131. 8 Ibid. 7
10
Al-Baidhāwi menjelaskan mengenai apa yang dimaksudkan Allah Swt. dalam kalimat ()ﻓﻲ أﻋﯾﻧﻛم ﻗﻠﯾﻼ, adalah pandangan orang muslim terhadap jumlah musuhnya yang lebih sedikit disbanding jumlah pasukan umat muslim, sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud kepada orang yang disebelahnya, tentang berapa jumlah orang kafir dalam pandangan mereka, orang yang disebahnya menjawab bahwa jumlah orang kafir tersebut 100 orang, dan menurut pandangan Ibnu Ma’sud orang kafir tersebut jumlahnya hanya 70 orang saja. Padahal yang sebanarnya jumlah orang kafir tersebut lebih dari itu.9 d. Penafsiran al-Baidhāwi Berdasarkan Qaul Tabi’in Contoh penafsiran dari tabiin, surat al-Baqarah ayat 65
Dan Sesungguhnya Telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu kami berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kerayang hina".
Dalam menafsirkan kata ( ) ﻛﻮﻧﻮا ﻗﺮدة ﺧﺎﺳﺌﯿﻦal-Baidhawi mengutip perkataan tabiin yang bernama Mujahid yang mengatakan maksud dari firman Allah Swt. ( ) ﻛﻮﻧﻮا ﻗﺮدة ﺧﺎﺳﺌﯿﻦadalah bukan secara fisik mereka 9
hal. 200.
Nashr al-Din abi Said Abdullah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhāwi,op.cit.,
11
serta merta berubah menjadi seekor kera yang hina, melainkan sifat atau perwatakan mereka merubah menjadi seperti kera, keadaan hati mereka seperti prilaku kera, sebagaimana permisalan himar yang terdapat dalam surah al-Jumaah ( ) ﻛﻤﺜﻞ اﻟﺤﻤﺎر ﯾﺤﻤﻞ أﺳﻔﺎرا, kata ( )ﻛﻮﻧﻮاdisini bukan merupakan perintah “jadilah/berubahlah” tapi “menjadi/segera berubah” dan jadilah mereka seperti itu.10
Walaupun imam al-Baidhāwi ini menggunakan pendekatan bi al-ma’tsūr dan bi al-ra’yi sekaligus dalam tafsirnya, namun pada hakikatnya tafsir ini merupakan sebuah tafsir bi al-ray’i yang maqbul (diterima),11 hal ini terjadi karena al-Baidhāwi lebih cenderung menggunakan dalil dalil aqliyah (alasan rasional) dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dibanding dengan penggunaan bi al-ma’tsūr yang lebih sedikit jumlahnya Ada beberapa kaidah yang digunakan oleh al-Baidhāwi ketika menafsirkan suatu ayat atau kata dalam al-Qur’an, diantaranya adalah penggunaan tata bahasa, qiraah, munasabah ayat, dan mengambil kisah Isrāiliyat. Kisah ini akan dijelaskan tersendiri pada pembahasan didepan.
B. Corak Penafsiran Al-Baidhāwi Tafsir al-Baidhawi merupakan sebuah tafsir memiliki ragam corak. Dengan kata lain tafsir ini memiliki ragam warna penafsiran. Mulai dari corak 10
Nashr al-Din abi Said Abdullah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhāwi, Tafsir al-Baidhāwi (Bairut: Dar al- Fikr,), hal. 6. 11
Muhammad Quraish Shihab dkk, Sejarah dan Ulum al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hal.178.
12
fiqhi, ilmi dan lughawi. Hal ini terjadi karena pemilik tafsir merupakan seorang yang arif dalam berbagai ilmu agama. Basik keilmuan dan latar historis beliau yang menguasai berbagai ragam ilmu menjadikan tafsir yang disusunnya ini kaya akan beragam corak. Kearifannya dalam bidang fiqh menjadikan tafsir ini penuh dengan nuansa fiqih. Dikatakan menggunkan corak fiqhi karena beberapa penafsirannya lebih cenderung memfokuskan pada ayat–ayat hukum (ayat ahkam) yang terdapat dalam ayat al-Qur’an yang ditafsirkan dengan berdasar pada fiqh. Dalam keragaman mazhab fiqih, alBaidhāwi cenderung menganut mazhab al-Syafi’i dan cenderung mentarjih pemikiran mazhab ini dalam kebanyakan ayatnnya. Hal ini bisa dilihat ketika al-Baidhawi menafsirkan surat al-Nisa ayat 29 :
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan
13
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Mengenai ayat tentang praktik mewarisi istri ini, Al-Baidhāwi mengemukakan bahwa jika salah seorang mereka meninggal dunia dan memiliki usbah atau kerabat baik saudara laki-laki sekandung atau anak paman, maka si kerabat ini melemparkan bajunya kepada istri almarhum sambil berkata, “Saya lebih berhak mendapatkannya,” kemudian membawa janda yang ditinggal mati itu kerumahnya. Dia bisa mempertahankannya untuk dirinya sendiri atau menikahkannya dengan orang lain. Dia mengambil mahar si wanita apakah wanita itu rela atau tidak rela, jika mau dia bisa mencegah mantan istri keluarganya yang almarhum itu untuk untuk menikah agar dia mendapatkan warisan untuk peninggalan suaminya.12 Begitu pula kenapa tafsir ini mengandung corak ilmi karena didalamnya banyak memberi perhatian penafsiran ayat-ayat kauniah (alam semesta) yang ada dalam al-Qur’an dan mengaitkannya dengan ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang. Saat
menjumpai
ayat-ayat
kauniyah
al-Baidhāwi
tidak
akan
melewatkannya begitu saja, beliau memberikan penjelasan yang panjang lebar mengenai ayat ini. Hal ini mempunyai kesamaan dengan Fakhr al-Din al-Razi 12
Nashr al-Din abi Said Abdullah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhāwi, op.cit., hal. 75.
14
dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib ketika menjumpai ayat yang sama, kecenderungan al-Baidhawi mengutip dari tafsir Mafatih al-Ghaib dalam tafsirnya merupakan salah satu penyebab kenapa tafsir al-Baidhawi memberi perhatian lebih pada ayat-ayat kauniyah (alam semesta) dan menyebabkan tafsir ini masuk dalam kategori tafsir yang mengandung corak ilmi, selain mungkin karena al-Baidhawi tertarik pada bidang ini. Contohnya saat beliau menafsirkan surah al-Shafat ayat 10, dalam hal ini beliau memberikan penjelasan tentang apa yang disebut dengan syihab (bola api) dalam ayat tersebut. Al-Baidhāwi menyebutkan bahwa bola api itu adalah uap yang menguap kemudian menyala. . C. Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Al-Baidhāwi Sebuah karya pasti memiliki kekurangan dan kelebihan didalamnya, begitu pula tafsir al-Baidhāwi ini. Menurut penulis tafsir al-Baidhawi ini merupakan sebuh tafsir yang cukup dibicarakan dan diperhatikan oleh para ulama tafsir. Pembicaraan ini meliputi sekitar isi tafsir yang dianggap hanya sebuah ringkasan dari berbagai kitab tafsir sebelumnya. Jadi sangat wajar kalau ada beberapa pihak yang memandang sebelah mata atau memandang rendah akan tafsir ini. Keluar dari anggapan itu sebenarnya tafsir ini merupakan sebuah tafsir yang memiliki banyak sisi menarik dibanding tafsir lainnya. Tafsir yang dibuat oleh seorang faqqih, ahli bahasa, pendebat ulung, penganut taat ahl sunnah bemazhab Syafii yang hidup dilingkungan masyarakat penganut
15
mu’tazilah, dan juga telah abnyak menghasilkan berbagai karya dalam bidangbidang tersebut, tentunya menjadikan tafsir ini memilki beragam sisi yang menarik Pada bab penyajian data menulis mencantumkan beberapa poin yang menurut penulis merupakan sisi-sisi kelebihan yang terdapat dalam tafsir alBaidhawi ini. Yang menjadi poin kelebihan-kelebihan tafsir ini dibanding dengan tafsir lainnya adalah terletak dalam gaya bahasa atau penggunaan bahasa yang singkat, praktis namun padat, dan juga tafsir ini mengandung berbagai macam ilmu pengetahuan didalamnya mulai dari ilmu fiqh, bahasa, dan quraat. Penggunaan gaya bahasa yang singkat dan praktis menjadikan tafsir ini mudah dikonsumsi dengan mudah oleh semua kalangan pembaca. Jika dibanding tafsir yang lain yang menggunakan bahasa yang panjang lebar dan berbelit-belit sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk membacanya. Al-Baidhawi telah sangat hati-hati dalam memilih kata, beliau tidak mencantumkan satu kata pun jika tanpa adanya pertimbangan, wajar saja kalau tafsir ini bercorak ringkas. Bahasa yang singkat dan praktis yang al-Baidhawi guanakan ini ternyata telah banyak menuai perhatian dari berbagai ulama peminat tafsir, mereka sangat berminat untuk menguraikan kembali penafsiran al-Biadhawi yang singkat tersebut. Banyak sekali kaum cendikiawan kaum yang menuliskan catatan pinggir (hasyiyah) untuk menerangkan uraian-uraian dan rumusan-rumusannya yang dianggapa terlalu terlalu ringkas dalam tafsir ini.
16
Dibeberapa Universitas, tafsir ini menjadi sumber rujukan yang diwajibkan, salah satunya di Universitas Al-Azhar, Mesir tafsir ini mejadi literatur yang wajib dipelajari oleh mahasisiwa fakultas Ushuluddin semester V. Hal ini membuktikan bahwa penafsiran al-Baidhāwi mempunyai daya tarik sebagai kelebihannya sehingga banyak diminati oleh berbagai kalangan. 13 Tafsir yang menuai banyak pujian dan banyak diminati oleh para cendikiawan ini pun tak luput dari berbagai kekurang bahkan tak sedikit kritikan dan pandangan negatif yang ditujukan pada tafsir ini. Nilai-nilai kekurangan yang terdapat dalam tafsir ini telah penulis paparkan juga pada bab sebelumnnya, yaitu kekurngannya terletak pada pencantuman sumber kutipan yang tidak dijelaskan sumbernya, pengambilan hadits sebagi sumber yang tidak disebutkan terlebih dahulu sanad dan kualitas hadisnya, ketergantungan al-Baidhawi pada mufassir sebelumnya dan juga penggunaan bahasa yang terlalu ringkas sehingga menjadikan tafsir ini susah dipahami. Kenapa penulis mengambil poin-poin tersebut sebagai sisi kekurangan dari tafsir ini, karena al-Baidhawi menggunakan porsi hadits yang cukup banyak bagi sumber penafsirannya, seharusnya al-Baidhawi menghilangkan keragu-raguan pembaca dengan mencantumkan suatu informasi yang tidak diragukan lagi kevalidannya. Al-Baidhawi tidak tidak meyeleksi hadits terlebih dahulu sebelum memuatkan dalam tafsirnya apakah hadits tersebut termasuk hadits shahih, hadits hasan, dhaif atau pun hadits mursal, beliau tidak juga meyebutkan rangkaian sanad haditsnya.
13
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc.cit
17
Menurut penulis hal ini diakibatkan karena al-Baidahwi memiliki ketergantungan
dan
kecenderungan
melakukan
apa
yang
dilakukan
Zamaksyari dalam tafsirnya al-Kasyaf ketika menyikapi hadits Nabi Saw. sebagai sumber tafsirnya. Penulis juga memasukkan pengutipan sumber tafsir yang tidak disebutkan secara jelas sumbernya kedalam poin “kekurang tafsir” alBaidhawi ini, karena dari hasil pengamatan penulis dari berbagai literatur serta dari isi tafsir al-Baidhawi yang penulis teliti memang banyak sekali redaksi atau pemikiran al-Baidhawi yang dipengaruhi bahkan dikutip secara langsung dan tidak langsung dari beberapa kitab tafsir sebelumnya seperti halnya ketika ia mengutip pernyataan Fahkr al-Din al-Razi dari tafsirnya atau mengutip perkataan Zamaksyari dalam tafsirnya. Hal ini menjadikannya dituduh sebagai plagiator yang tidak mempertanggungkanjawabkan karyanya. Walaupun mungkin pada saat itu hal seperti itu sah-sah saja, namun dalam beberapa hal al-Baidhawi juga mencantumkan sumber atau nama yang dikutipnnya, seperti halnya saat ia mengutip pernyataan sahabat, tabiin, dan beberapa ulama salaf lainnya. Poin ketiga penulis anggap sebagai kelebihan yang ada pada tafsir ini penulis kategorikan pula sebagai kekurangan tafsir ini. Yaitu tafsir yang dianggap sangat ringkas dalam menafsirkan ayat ini, menjadikan tasfir ini yang tujuan supaya mudah dipahami bagi sebagian kalangan menjadi sebaliknya, sulit dicerna,
Bagi sebagian kalangan.awalnya tafsir yang
18
seharusnnya mudah dipahami menjadi sulit untuk dicerna, dan memerlukan penafsiran lagi untuk mendapat pemahaman yang mudah.
BAB V KESIMPULAN
A. Kesimpulan Dari pemaparan skripsi pada bab-bab sebelumnya ada beberapa hal yang dapat penulis simpulkan, yaitu sebagai berikut : 1. Tafsir Anwar al-tanzil wa Asrar al-Ta’wil milik al-Badhawi ini menggunakan metode tahlili. Serta menggunakan pendekatan bi alMa’tsur dan bi al’Ra’yi sekaligus . 2. Secara garis besar tafsir ini diwarnai oleh dua corak penafsiran yaitu corak fiqhi dan ilmi. Tafsir ini memiliki beberapa kaidah yang digunakan dalam menafsirkan ayat yaitu terlebih dahulu mengelompokkan surat yang akan ditafsirkan, menggunakan tata bahasa, menggunakan qiraah, dan menggunakan munasabat ayat serta mengambil sumber dari kisah Israiliyat. 3. Tafsir ini mempunyai beberapa kelebihan diantaranya adalah penggunaan bahasa yang dipakai oleh al-Baidhawi singkat namun padat, tafsir ini juga mengandung berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti ilmu fiqih, qiraah, dan gramatika bahasa. Tafsir ini juga mempunyai beberapa kekurang diantaranya adalah pengambilan
sumber
kutipan
yang tidak
disebutkan
sumbernya,
pencantuman hadits sebagai sumber tafsir yang tidak diseleksi terlebih dahulu kualitasnya dan juga tidak disebutkan susunan sanadnya, alBaidhawi sang pengarang tafsir juga banyak mengutip pada kitab tafsir
1
2
sebelumnya. Yaitu pada tafsir Mafātih al-Ghaib karya al-Razi seorang sunni dalam hal-hal yang berhubungan dengan kalam dan pengambilan hukum, dari tafsir al-Kasysyaf karya Zamaksyari seorang mu’tazili mengutip beberapa hal yang berhubungan dengan bayan, maani, dan i’rab, dan dari Tafsir Jami’ al-Tafsir karya al-Raghib al-Ashfihani yang berhubungan dengn pembentukan asal usul kata dan juga tafsir ini menggunaka bahasa yang terlalu ringkas sehingga bagi kebanyakan golongan tafsir ini menjadi sebuah bacaan yang sulit untuk di cerna.
B. Saran-Saran Setelah penulis meneliti tentang metode dan corak Tafsir al-Baidhāwi penulis menyarankan kepada siapa saja untuk mengkaji perkembangan tafsir al-Qur’an lebih mendalam lagi dari pada penelitian yang penulis lakukan. Tafsir al-Baidhawi merupakan sebuah tafsir yang menggunakan bahasa yang indah namun agak susah untuk dipahami. Tafsir ini mengandung berbagai disiplin ilmu yang akan akan sangat berguna untuk menambah wawasan keilmuan bagi siapa saja yang mengkajinya. Metode penulisan merupakan sebuah hal yang penting dalam sebuah tulisan. Begitu pula dalam hal metode tafsir seiring perkembangan zaman pertumbuhan ilmu tafsir termasuk kajian yang selalu berkembang, metode tafsir yang selalu diikuti dengan corak tafsir dibaratkan sebuah undangundang atau sebuah pedoman yang harus dimiliki oleh setiap mufassir ketika menyusun sebuah tafsir.
3
Tentunya Tafsir al-Baidhawi dengan metode dan corak yang dimiliknya bisa menjadi sebuah rujukan bagi para peminat dan pengapresiais perkembangan ilmu tafsir. Dengan segenap kemampuan yang yang penulis curahkan untuk meneliti metode dan corak tafsir al-Baidhawi ini, penulis merasa penelitian penulis ini jauh medekati sempurna. Oleh karena itu kepada intelektualis mahasisiwa khususnya Fakultas ushuluddin jurusan tafsir hadits supaya meneruskan dan melakukan penelitian yang lebih kompleks dan komprehensif tentang metode dan corak tafsir terhadap berbagai karya mufassir yang agung baik itu dari kalangan klasik maupun kontemporer karena memberi manfaat, faedah yang sangat banyak bagi meningkatkan kualitas intelektual kepahaman yang mendalam akan metode dan corak sebuah penafsiran.
4
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Qadi Syihab al-Din. Hasyiyah al-Syihab ‘ala Tafsir al-Baidhawiy. Beirut: Daar al-Kitab Ilmiyah, 1997. Anwar, Roshihan. Imu Tafsir.Bandung: Pustaka Setia,2005. ______________, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir. Bandung: Pustaka Setia, 1999. Arnel, Iskandar. Referensi-Referensi. Pekanbaru: Taqwa Press, 2010. Badudu, JS. dan Sultan Mahmud Zein. Kamus Bahasa Indonesi. Pustaka Sinar Harapan,cet 1. Baidhawi, Imam. Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta'wil. Beirut: Dar alShakir.________ Al-Banna, Gamal. Evolusi Tafsir Dari Jaman Klasik Hingga Jaman Modern terj.Novriantoni Kahar, Jakarta: Qisthi Press, 2004. Al-Banna, Hasan. Tafsir al-Banna terj.Makhrus Ali, t.t: Pustaka Progressif, 1999. Al-Dzahabi, Muhammad Husain. Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo: Dar al-Hadits, 2005. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam,Jilid 1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997. Decasa, George C., The Qur’anic Concept of Umma and its Function in Philippine Muslim Society, Georgiana: Editrice Pontificia University Gregoriana, 1999. Djunarto, Totok dan Bambang Suprijadi, Menulis Artikel dan Karya Ilmiah, Bandung:Remaja Rosdakarya,2003. Al-Farnawy,‘Abd Hayy. Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya. terj.Roshihan Anwar. Bandung: Pustaka Setia, 2002. Glasse, Cyril. Ensiklopedi Islam (Ringkas), terj. Ghufran A. Ma’adi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Hartono, Metodologi Penelitian, Pekanbaru: Zanafa Pulishing, 2011. http://desyahid.blogspot.com/2010/01/pemikiran-tafsir-anwar-al-tanzilwa.html,diakses pada tanggal 3 April 2011.
http://pemikiran-tafsir-anwar-al-tanzil-wa.html diakses pada 21 Februari 2011. IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2002. Khaeruman, Badri. Memahami Pesan al-Qur’an Kajian Tekstual dan Kontekstual. Bandung: Pustaka Setia, 2004. Al-Najdiy, Abu Zahra, Al-Quran dan Rahasia Angka-Angka,terj. Agus Effendi, Bandung:Pustaka Hidayah, 2001. Qardhawi, Yusuf. Berinteraksi Dengan al-Qur’an.terj.’Abd al-Hayyie al-Kattani. Jakarta: Gema Insani Press, 1999. Al-Qaththan, Manna’. Mabahits fi Ulum al-Qu’an. Kairo: Maktabah Wahbah, 2007. Al-Razi, Fakhr al-Din. Tafsir Mafatih al-Ghaib. Beirut: Dar al-Fikr.Cet I, 2005. Al-Shalih, Subhi. Mabahits fi Ulum al-Qu’an.Beirut: Dar al-‘Ilm Li al-Malayin, 1985. Al-Sidiqi, Hasbi. Studi Kritis Tafsir al-Manar Karya M.Abduh dan Rasyid Ridha, Jakarta:Pustaka Hidayah, 1994. Shihab, Muhammad Quraish dkk, Sejarah dan Ulum al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999. ------------------, Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan Pustaka, 2009. -----------------, Mukjizat Al-Qur’an Ditinjaudari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib, Bandung: Mizan, 2007. Shihab, Umar. Kontekstualitas al-Qur’a, Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum Dalam al-Qur’an. Jakarta: Penamadani, 2005. Al-Suyuthi, Jalal al-Din. Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an.Kairo: Dar al-Salam,2008. Al-Shabuni, AL-Tibyan fi Ulum al-Quran, terj.Moh. Chudlri Umar dan Moh.Matsna H.S, Bandung: Al-Maarif, 1987. Syuhbah, Muhammad Ibnu Muhammad Abu, Al-Israiliyyat wa Al-Maudhu’at fi Kutub al-Tafsir cet.IV, Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1408.
Wahid, Marzuki, Studi Al-Qur’an Kontemporer Persfektif Islam dan Barat, Bandung: Pustaka Setia, 2005. Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993. Al-Zanzani, Abu Abdullah, Wawasan Baru Tarikh al-Quran, Bandung: Mizan, 1986.