MERAKIT KESEHATAN MENTAL MELALUI SIKAP ASERTIF
Padmi Dhyah Yulianti BimbinganKonseling FakultasIlmuPendidikan Universitas PGRI Semarang Jl. SidodadiTimur I No.24 Semarang
[email protected]
MA. Primaningrum Dian M BimbinganKonseling FakultasIlmuPendidikan Universitas PGRI Semarang Jl. SidodadiTimur I No.24 Semarang
[email protected]
Abstrak Dalam interaksi sosial dapat ditemui remaja yang memiliki sikap agresif, pasif dan asertif. Remaja yang memilih bersikap tidak asertif karena beberapa alasan seperti misalnya adanya perasaan segan, takut menyakiti, merasa bersalah ketika harus mengatakan tidak, dan ketakutan jika tidak disukai atau tidak diterima oleh lingkungan pergaulan. Ketika berperilaku non asertif, remaja sering menjadi korban dari lingkungan sosial. Sementara dengan berperilaku agresif, sebaliknya lingkungan sosial yang menjadi korban. Dengan demikian perilaku non asertif dan agresif kurang sehat bagi hubungan interpersonal seorang remaja. Ada berbagai macam faktor yang membuat seorang remaja tidak mampu bersikap asertif, salah satunya pengaruh jenis kelamin, budaya, tingkat sosial ekonomi, kepercayaan diri dan harga diri. Kemampuan remaja untuk bersikap asertif dapat dilatih dan diajarkan. Dalam bersikap asertif dibutuhkan harmonisasi antara pikiran, perasaan dan tindakan. Dengan bersikap asertif, diharapkan remaja akan merasa bahagia dan memiliki kesehatan mental yang baik. Ketika remaja memiliki dan mampu bersikap asertif, akan bebas dari penderitaan atau tekanan pikiran, perasaan dan perbuatan. Remaja yang asertif akan lebih bahagia karena mampu mengharmonisasikan atau menyelaraskan pikiran, perasaan dan sikapnya. Dengan mampu bersikap asertif berarti remaja memiliki kesehatan mental yang baik. Dalam kajian ilmiah ini dilakukan analisis dan review terhadap abstrak hasil penelitian serta buku referensi yang berkaitan dengan sikap asertif dan kesehatan mental. Kata kunci: kesehatan mental, sikap asertif,remaja Abstract In social interaction, a teenager can be aggressive, passive, and assertive. There are some reasons why teenagers choose not to be assertive. Among the reasons are that they hesitate , feel afraid of hurting other people, feel guilty whenever they have to say no, and feel afraid of being unlike or unaccepted by their social environment. When they do not behave assertively, teenagers often become victims of social environment. Meanwhile, when they behave aggressively, it is the social environment that becomes the victim. Therefore, nonassertive and aggressive behaviors are not healthy for interpersonal relationship of a teenager. There are some factors that make a teenager unable to be assertive. Some of them are influenced by sex, culture, social economy level, self confidence, and self respect. Teenagers’ ability to behave assertively can be trained and taught. To behave assertively, harmonization among mind, feeling, and action is needed. By behaving assertively, it is expected that teenagers will feel happy and have a good mental health. When a teenager has the ability to behave assertively, he will be free from suffering or pressure of his mind, feeling and attitude. An assertive teenager will be happier because he will be able to harmonize his mind, feeling, and attitude. When a teenager is able to behave assertively, it means that he has good mental health. In this scientific study, abstracts of research result as well as reference books related to assertiveness and mental health are analyzed and reviewed.
Key words: mental health, assertiveness
PENDAHULUAN Remaja adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, remaja berkesempatan untuk mengembangkan segala potensi dalam diri masing-masing remaja. Sedangkan sebagai makhluk sosial, remaja dituntut untuk dapat berinteraksi secara sosial dengan lingkungan sekitarnya. Dalam proses interaksinya remaja menggunakan bahasa untuk mengungkapkan ide, pikiran, maupun perasannya. Dalam ranah hubungan sosial, pola komunikasi dan respon antara satu remaja dengan orang yang lain cederung berbeda, ada yang bersikap pasif, agresif maupun asertif. Tidak semua remaja mampu bersikap asertif karena adanya perasaan segan, takut menyakiti, merasa bersalah ketika harus mengatakan tidak, dan ketakutan jika tidak disukai atau tidak diterima oleh lingkungan sekitarnya. Sikap asertif ini penting dimiliki oleh individu khususnya remaja, hal ini karena bila remaja tidak memiliki keterampilan dalam bersikap asertif, maka disadari atau tidak, remaja akan kehilangan hak – haknya sebagai pribadi serta banyak dikendalikan oleh orang lain. Dengan memiliki sikap asertif remaja mampu membentengi diri dari berbagai macam permasalahan di sekitarnya seperti narkoba, seks bebas, tawuran dan lain sebagainya. Hanya saja, bersikap asertif tidak mudah dilakukan, karena sikap asertif ini bukan merupakan sikap yang diturunkan. Selain itu, tidak akan mudah dilakukan terutama ketika remaja berada di dalam lingkungan yang kurang mampu menunjang munculnya perilaku asertif, seperti lingkungan perokok ataupun pecandu narkoba. Namun demikian sikap asertif dapat dipelajari dan dilatihkan pada remaja. Hal ini sesuai pendapat yang disampaikan oleh Willis & Daisley (1995) bahwa asertif merupakan suatu bentuk perilaku dan bukan merupakan sifat kepribadian seseorang yang dibawa sejak lahir, sehingga dapat dipelajari meskipun pola kebiasaan seseorang mempengaruhi proses pembelajaran tersebut. Sikap asertif pada dasarnya adalah sikap tegas untuk menyampaikan apa yang dirasakan, dipikirkan seseorang kepada orang lain tanpa adanya unsur menyakiti. Perilaku asertif memiliki peran penting dalam perkembangan remaja. Dikarenakan ketika dimasa remaja, tidak dapat berperilaku asertif, maka dimasa yang akan datang memungkinkan munculnya rasa rendah diri dan menjadi pribadi yang tidak berani mengungkapkan perasaannya kepada orang lain. Hal ini dikarenakan, semua hal yang disampaikannya menjadi selalu tidak dipedulikan orang lain (Novianti dan Tjalla, 2005). Oleh karena itu, dengan berperilaku asertif berarti remaja mau menerima karakteristik diri, baik yang positif maupun negatif. Dengan berlaku asertif, remaja akan lebih mudah menerima keberadaan orang lain. Hasilnya remaja tidak merasa perlu mengalahkan lawan karena tidak merasa harus menang. Jadi ketika remaja mampu bersikap asertif, maka remaja tersebut akan bebas dari kecemasan atau tekanan pihak lain. Remaja yang asertif akan lebih bahagia karena mampu
mengharmonisasikan atau menyelaraskan pikiran, perasaan dan sikapnya. Dengan mampu bersikap asertif dan merasa bahagia, berarti remaja memiliki kesehatan mental yang baik.
METODE Literatur yang dipergunakan dalam studi ilmiah ini berkaitan dengan asertivitas dan kesehatan metal. Studi literatur dilakukan dengan cara menganalisis abstrak hasil penelitian, review jurnal dan buku referensi.
KAJIAN TEORI Sikap Asertif Sikap merupakan cara pandang seseorang melihat “sesuatu” secara mental (dari dalam diri) yang mengarah pada perilaku yang khusus ditujukan pada orang lain, ide, objek maupun kelompok tertentu (Hutagalung, 2007). Adanya sikaplah yang membuat manusia untuk berbuat sesuatu. Hal ini senada dengan pendapat Faturochman (2006) yang menyebutkan bahwa sikap adalah organisasi yang relative menetap dari perasaan-perasaan, keyakinan dan kecnderungan untuk berperilaku pada orang lain, kelompok, ide atau obyek tertentu. Sedangkan asertif berasal dari kata assertive, berarti tegas dalam pernyataannya, pasti dalam mengekspresikan dirinya atau pendapatnya (Prabowo, 2000). Perilaku asertif adalah perilaku verbal dan nonverbal yang mengekspresikan penghargaan, hak, atau kepentigan baik pribadi maupun orang lain dan keterbukaan diri (Nursalim, 2013). Pendapat lain dari asertivitas dikemukakan oleh Kaplan dan Saddock ( 2005) bahwa perilaku asertif adalah suatu tindakan yang dilakukan sesuai dengan pilihan, mengungkapkan ekspresi secara jujur, nyaman, dan tanpa adanya kecemasan. Fensterheim dan Baer (2002) menjelaskan bahwa perilaku asertif adalah perilaku antar pribadi yang menyangkut emosi secara tepat, relatif terus terang dan tanpa perasaaan cemas terhadap orang lain serta mengandung tingkah laku penuh ketegasan dan percaya diri. Sumihardja (dalam Prabowo, 2000) menjelaskan perilaku asertif adalah memiliki
pengucapan verbal yang jelas, spesifik dan langsung, mampu
mengungkap pikiran, perasaan, dan pendapat kepada orang lain tanpa menyinggung perasaan orang lain, mampu menempatkan diri pada tingkat yang sesuai dan mampu mengolah kontrol yang sehat dan jujur. Sedangkan Rathus dan Nevid (1983) menyatakan bahwa asertif adalah tingkah laku yang menampilkan keberanian untuk secara jujur dan terbuka menyatakan kebutuhan, perasaan dan pikiranpikiran apa adanya, mempertahankan hak-hak pribadi serta menolak permintaan-permintaan yang tidak masuk akal dari figur otoritas dan standar-standar yang berlaku pada suatu kelompok. Lebih lanjut, Alberti & Emmons (2002) memberikan pengertian bahwa perilaku yang asertif mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia, yang memungkinkan seseorang untuk
bertindak menurut kepentingan diri sendiri, untuk membela diri sendiri tanpa kecemasan yang tidak semestinya, untuk mengungkapkan perasaan dengan jujur dan nyaman dan untuk menerapkan hak-hak pribadi tanpa menyangkali hak-hak orang lain. Berdasarkan dari pengertian asertif tersebut, dapat disimpulkan bahwa asertif adalah perilaku verbal dan non verbal untuk mengungkapkan pikiran, perasaan dan pendapat serta hak-hak yang dimiliki secara nyaman, jujur dan tanpa kecemasan kepada orang lain serta mengandung tingkah laku ketegasan dan percaya diri. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa sikap asertif merupakan cara pandang seseorang untuk dapat berperilaku secara nyaman, jujur dan memiliki percaya diri dalam mengungkapkan pendapat, ide dan perasaan terhadap orang lain, ataupun obyekobyek tertentu. Lebih lanjut, remaja yang diaktakan mampu memiliki sikap asertif memiliki beberapa ciri yang dapat dikenali secara umum. Fensterheim dan Baer (2002) menyebutkan bahwa ciri asertivitas antara lain: (1) bebas mengemukakan pikiran dan pendapat baik melalui kata – kata atau tindakan, (2) dapat berkomuikasi secara langsung dan terbuka, (3) mampu memulai, melanjutkan dan mengakhiri suatu pembicaraan dengan baik, (4) mampu menolak dan menyatakan ketidaksetujuan terhadap pendapat orang lain atau segala sesuatu yang tidak berasalasan dan cenderung bersifat negatif, (5) mampu mengajukan permintaan dan bantuan kepada orang lain ketika membutuhkan, (6) mampu menyatakan perasaan, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan dengan tepat, (7) memiliki sikap dan pandangan yang yang aktif terhadap kehidupan, (8) menerima keterbatasan yang ada di dalam dirinya dengan tetap berusaha untuk mencapai apa yang diinginkannya sebaik mungkin, sehingga baik berhasil maupun gagal ia akan tetap memiliki harga diri dan kepercayaan diri. Pendapat lain dikemukakan oleh Alberti dan Emmons (2002) yang mengidentifikasikan bahwa ada sebelas komponen perilaku asertif yaitu: kontak mata, jarak atau kontak fisik, ekspresi wajah, kefasihan, mendengarkan, isi, sikap tubuh, isyarat, nada, penetapan waktu dan pemikiran. Pendapat lain tentang aspek asertivitas dikemukakan oleh Bower dan Bower ( 2004) yaitu keterbukaan, ekspresif, kejujuran, dan pertahanan diri. Senada dengan pendapat Lange dan Jackubowski (1978) bahwa ciri-ciri individu yang berperilaku asertif mencakup lima hal, diantaranya (1). Menghormati hak-hak orang lain dan diri sendiri, yang berarti menghormati hak-hak yang dimiliki orang lain tetapi tidak berarti menyetujui ataupun menyerah dengan apa yang diinginkan orang lain; (2). Berani mengungkapkan pendapat secara langsung, yang berarti berani mengkomunikasikan segala perasaan, pikiran dan kebutuhan secara langsung dan jujur; (3). Bertindak jujur, yang berarti mampu mengekspresikan diri secara tepat agar dapat mengkomunikasikan perasaan, pendapat, ide ataupun pilihan sendiri tanpa merugikan diri sendiri dan orang lain; (4). Memperhatikan situasi dan kondisi, ketika bertindak asertif mampu memperhatikan lokasi, waktu, frekuensi, intensitas komunikasi dan kualitas hubungan yang sudah terbentuk; (5). Menyatakan dengan bahasa tubuh secara tepat,
dikarenakan yang terpenting dalam perilaku asertif bukanlah apa yang ingin dikatakan, melainkan bagaimana menyatakan pikiran, keinginan serta pendapat dengan tepat. Berdasarkan aspek asertivitas tersebut, dapat disimpulkan bahwa karakteristik perilaku asertif dibedakan menjadi dua yaitu secara verbal dan nonverbal. Verbal di antaranya yaitu mampu menyatakan pendapat, ide, gagasannya secara tegas dan jujur dan tidak mengabaikan orang lain, serta memberikan umpan balik terhadap orang yang bertanya. Sedangkan secara non verbal yaitu kontak mata, sikap tubuh, jarak atau kontak fisik, isyarat, ekspresi wajah, nada, penetapan waktu, mendengarkan, pemikiran dan isi. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi asertivitas seseorang, salah satunya seperti jenis kelamin misalnya. Pada laporan penelitian oleh Law dan Wilson (1979) menjelaskan bahwa pelajar laki – laki di Amerika cenderung lebih asertif dibandingkan dengan pelajar perempuan ditinjau dari kemampuan bertanya, berbicara dengan guru, serta berdiri untuk menyampaikan kebenaran tentang pelayanan yang buruk, sedangkan pada pelajar perempuan cenderung lebih asertif ketika membuat dan menerima kencan. Faktor lain yang mempengaruhi asertivitas antara lain budaya (Furnham, 1983; Zernitsky-Shurka,1987; Niikura), harga diri (Pratiwi, 2015; Hapsari dan Retaningsih, 2007) dan pola asuh orang tua (Baumrind dalam Dacey & Kenny, 1997, Marini, 2005). Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan asertivitas antara lain bermain peran (Hayati, 2005), diskusi (Kurniasih, 2013)maupun dengan pelatihan asertivitas (Townend, 2006, Weni Nur, 2012).
Remaja Masa remaja merupakan masa yang penting dalam tahap perkembangan. Hal ini dikarenakan remaja berada pada masa transisi antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Hurlock, 1995). Di satu sisi, remaja dituntut untuk belajar pola perilaku dan sikap baru demi mempersiapkan di masa dewasa, sedangkan disisi lainnya, remaja belum rela meninggalkan pola perilaku bersenang-senang di masa kanak-kanak. Sehingga hal tersebut menuntut remaja untuk melakukan penyesuaian diri dengan cepat, disertai dengan perubahan-perubahan yang harus dialaminya. Salah satunya perubahan dalam pola menjalin interaksi secara lebih matang, terutama dengan lawan jenis dan lingkungan sosialnya. Selain itu, seseorang yang dikatakan memasuki masa remaja memiliki beberapa ciri penting dalam dirinya. Hurlock (1995) menyebutkan salah satu ciri remaja adalah masa pencarian identitas diri. Dimana ciri ini menuntut remaja untuk melakukan penyesuaian diri terhadap standar kelompok, dibandingkan standar individualitas. Seperti cara berpakaian, cara berbicara, dan juga cara berperilaku dan bersikap. Sedangkan berkaitan dengan tugas perkembangan, lebih lanjut Hurlock (1995) menyatakan bahwa, salah satu tugas perkembangan yang tersulit bagi remaja sekaligus penting untuk dilakukan adalah berkaitan dengan penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh teman sebaya.
Hal ini dikarenakan, sebagain besar waktu dihabiskan di luar rumah, bersama dengan teman-teman sebaya segai satu kelompok. Remaja berkelompok dengan tujuan untuk menyamakan identitas diri mereka. Remaja melakukan hal yang serupa dengan anggota kelompok yang lain, seperti memiliki barang-barang yang sama, bepergian kemanapun selalu bersama. Oleh karena itu, jika kelompok remaja tersebut baik, maka akan berkembang ke arah yang baik pula. Sebaliknya jika kelompok tersebut buruk, remaja justru akan kehilangan jati diri dan cenderung melakukan hal-hal yang menyimpang (Anjar & Satiningsih, 2013). Hal ini dimungkinkan, karena sebagian besar remaja mengambil keputusan dalam situasi stress yang mengandung banyak faktor keterbatasan waktu dan pelibatan emosi, yang akhirnya berdampak pada tidak kuasa dan tidak pernah bisa menolak ajakan dari teman sebaya, meskipun merugikan diri sendiri (Mann, Harmoni & Power dalam Santrock, 2003). Oleh karena itu, remaja membutuhkan kemampuan untuk dapat berperilaku asertif, tujuannya adalah agar supaya terhindar dari berbagai pengaruh yang dapat merugikan diri sendiri. Ketika berperilaku secara asertif inilah, memungkinkaa remaja untuk dapat mengekspresikan emosi, keinginan, perasaan dan pikiran mereka. Sehingga tidak mudah dipengaruhi dan dapat mencapai tujuan dan membentuk hubungan yang baik dengan orang lain (Herzberger, Chan & Katz, dalam Fung Lan Young, 2010).
Kesehatan Mental Dalam Undang-undang No 23 tahun 1992. Pasal 1 ayat1 yang mengatur tentang kesehatan, menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Lebih lanjut dalam Undangundang No 23 tahun 1992 pasal 24, 25, 26 dan 27 menyebutkan bahwa kesehatan jiwa mental health adalah suatu kondisi mental yang sejahtera yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif sebagai bagian yang utuh dari kualitas hidup seseorang dengan memperhatikan semua segi kehidupan manusia. Schneiders (dalam Semiun, 2006) mengatakan bahwa ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mengembangkan dan menerapkan seperangkat prinsip yang praktis dan bertujuan untuk mencapai dan memelihara kesejahteraan psikologis manusia dan mencegah gangguan mental serta ketidakmampuan menyesuaikan diri. Di sisi lain, ketika menyebutkan apakah individu tersebut memiliki kesehatan secara mental atau tidak, merupakan suatu hal yang cukup sulit ditafsirkan. Schneiders (dalam Semiun, 2006) menyebutkan beberapa kriteria yang dapat diuraikan dalam menilai kesehatan mental seseorang, diantaranya (a). Efisiensi mental; (b). Pengendalian dan integrasi pikiran dan tingkah laku; (c). Integrasi motif-motif serta pengendalian konflik dan frustasi; (d). perasaan-perasaan dan emosi-
emosi yang positif dan sehat; (e). ketenangan pikiran; (f). sikap-sikap yang sehat; (g). konsep diri yang sehat. Sedangkan ciri – ciri tingkah laku sehat atau normal menurut Warga (dalam Siswanto, 2006) adalah bertingkah laku menurut norma – norma sosial yang diakui, mampu megelola emosi, mampu mengaktualkan potensi yag dimiliki, dapat mengikuti kebiasaan sosial, dapat mengenali resiko dari setiap perbuatan dan kemampuan tersebut digunakan untuk menuntun tingkah lakunya, mampu menunda keinginan sesaat untuk mencapai tujuan jangka panjang, mampu belajar dari pengalaman serta biasanya gembira. Pendapat lain dari Herber dan Runyon (dalam Siswanto, 2006) bahwa ciri – ciri individu yang bisa dikelompokkan sebagai normal adalah sebagai berikut: a) mampu menerima diri apa adanya , memiliki identitas diri yang jelas, mampu menilai kelebihan dan kekurangan diri secara realistik,b) memiliki pandangan yang realistik terhadap diri sendiri dan dunia sekitar yag meliputi diri sendiri maupun segala sesuatunya, c) kepribadiannya menyatu dan harmonis, bebas dari konflik batin yag mengakibatkan ketidak mampuan dan memiliki toleransi baik terhadap stress, d) mengembangkan ketrampilan mendasar berkaitan degan aspek fisik, intelekstual, emosional, dan sosial untuk dapat melakukan kopig terhadap masalah kehidupa, e) memiliki ketetapan diri yang kuat, bertanggung jawab dan penentuan diri serta memiliki kebebasan yang cukup terhadap pengaruh sosial, f) mengembangkan kecenderungan ke arah peningkatan kematangan, pengembangan potensi dan pemeuhan diri sebagai seorang pribadi, g) kemampuan untuk membentuk dan memelihara relasi interpersonal yang intim, h) tidak terlalu kaku untuk mencapai kesempurnaan tetapi membuat tujuan hidup yang realistik dan masih di dalam kemampuan individu.
PEMBAHASAN Ketika memasuki usia remaja, pada dasarnya seorang individu dituntut untuk mengadakan suatu interaksi sosial yang baik dengan lingkungan sekitar. Remaja yang mampu menjalin relasi secara sehat, dapat dikatakan sebagai remaja yang mampu memiliki kesehatan mental yang baik. Hal ini dikarenakan remaja tersebut mampu mengungkapkan apa yang dipikirkan, dirasakan dan diinginkan tanpa menyinggung perasaan orang lain. Sehingga hal tersebut menunjukkan bahwa remaja tersebut mampu memiliki perilaku asertivitas. Hanya saja, sebagian remaja yang belum mampu menemukan identitas dirinya sendiri, terkadang mengambil keputusan dalam keadaan stress, sehingga cenderung mengikuti apapun yang menjadi standar kelompok yang diikutinya, meskipun standar tersebut bersifat merugikan, bahkan sama sekali bertolakbelakang dengan diri sendiri. Kecenderungan tersebut berasal dari ketidak percayaan diri yang dimiliki, adanya perasaan tidak enak untuk menolak dikarenakan takut tidak punya teman, serta kurangnya kemampuan untuk berkata jujur tanpa menyinggung perasaan orang lain. Sehingga ketika muncul perilaku yang tidak asertif, menyebabkan remaja tersebut menjadi stress
dan tidak bahagia. Oleh karena itu, agar remaja memiliki kesehatan mental yang baik, seperti berani mengatakan tidak untuk hal yang menyimpang, berani berkata jujur terhadap perasaan dan pikirannya, serta mampu mengenali kelebihan dan kelemahan diri, remaja perlu dipersiapkan secara matang untuk memiliki ketahanan dalam menghadapi segala macam tantangan. Hal tersebut diperlukan, agar dapat menjadi generasi yang berkualitas dimasa depan, baik secara fisik maupun mental (Indarjo, 2009). Sikap asertif meskipun bukan merupakan sifat bawaan, namun pada dasarnya dapat dipelajari. Remaja harus memiliki sikap asertif karena tututan perkembangan sosialnya. Remaja yang asertif merupakan seorang remaja yang sehat mental, hal ini dapat dipahami karena remaja tersebut bebas tekanan dari pihak lain dan tidak merasa cemas, sehingga memunculkan perasaan bahagia, yang pada akhirnya dapat menunjang kualitas hidup remaja di masa depan. Pendapat tersebut sejalan dengan Salter (dalam Kaplan, 2006) yang menjelaskan bahwa asertivitas membawa kebebasan untuk bertindak, merasa dan berpikir secara spontan dan merupakan kondisi yang diperlukan untuk kesehatan mental yang baik. Pendapat senada dikemukakan oleh Hardcastle, Powers & Wenocur (2004) bahwa asertivitas direkomendasikan sebagai cara mengurangi kecemasan, depresi dan meningkatkan kesehatan mental.
KESIMPULAN Berpijak bahwa keasertifan merupakan suatu keterampilan yang dapat dipelajari. Remaja harus memiliki sikap asertif karena tuntutan perkembangan sosialnya. Remaja yang asertif merupakan seorang remaja yang sehat mental, hal ini dapat dipahami karena remaja tersebut bebas tekanan dari pihak lain dan tidak merasa cemas, sehingga memunculkan perasaan bahagia, yang pada akhirnya dapat menunjang kualitas hidup remaja di masa depan. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi asertivitas seseorang antara lain jenis kelamin, harga diri, kepercayaan diri, pola asuh, kebudayaan, status sosial ekonomi dan usia. Beberapa upaya yang dapat dilakukan remaja untuk dapat meningkatkan sikap asertif antara lain dengan pelatihan, bermain peran maupun diskusi kelompok.
DAFTAR PUSTAKA Alberti, R & Emmons, M. (2002). Your perfect right, hidup lebih bahagia dengan menggunakan hak. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Anjar, Dyah S dan Satiningsih. 2013. Hubungan antara Parenting Style Orangtua dengan Perilaku Asertif pada Remaja. Jurnal Penelitian Psikologi. Volume 1, No.2(1-6). ejournal.unesa.ac.id (diunduh pada tanggal 22 Maret 2016). Dacey, J., & Kenny, M. (1997). Adolescent development (2nd ed.). USA: Brown & Benchmark pub.
Florian, V. & Zernitsky-Shurka, E. (1987). The effect of culture and gender on self-reported assertive behavior. International Journalof Psychology, 22, 83–95. Fung Lan Young. (2010). A Study On The Assertiveness and Academic Procrastination of English and Communication Students at A Private University. American Journal of Scientific Research, 62-72 (Issue9). Furnham, A. (1979). Assertiveness in three cultures: Multidimensionality and cultural differences. Journal of Clinical Psychology, 35, 522–527. Furnham, A. (1983). Social difficulty in three cultures. International Journal of Psychology, 18, 215– 228. Hayati, Nur. Strategi peningkatan perilaku asertif anak usia dini melalui pembelajaran bermain peran. www.staf.uny.ac.id/sites/defaulat/files/ Artikel%20Seminar%20Asertif.pdf. diunduh 20 maret 2016 Hurlock, Elizabeth B. 1995. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta : Erlangga. Indarjo, Sofwan. 2009. Kesehatan Jiwa Remaja. Jurnal Kesehatan Masyarakat KEMAS 5 (1) (2009) 48-57. http://journal.unnes.ac.id/index.php/kemas (diunduh pada 22 Maret 2016) Jackman, Ann.2005. How to negotiate. Terjemahan oleh Chefira Inda. Jakarta: Erlangga. Kurniasih, 2013. Teknik Diskusi Buzz group Untukmeningkatkan perilaku Asertif Antar Sebaya Peserta Didik. http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/counsilium/article/view/5042/diunduh 23 maret 2016 Liza Marini dan Elvi Andriani. 2005.Perbedaan Asertivitas Remaja di tinjau dari pola asuh orag tua. Volume 1.Nomor 2.Desember 2005 Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran USU: Medan Novianti, Made Christina dan Tjalla, Awaluddin. 2005. Perilaku Asertif pada Remaja Awal. Psikologia Vol.1 No.2 Desember 2005. http://ejournal.narotama.ac.id/files/14898d01%200kk.doc (diunduh pada tanggal 22 Maret 2016) Nursalim, Mochamad. 2013. Strategi & Intervensi Konseling. Jakarta: Akademia Permata Santrock. (2002). Live-Span Development (Edisi Kelima). Jakarta : Erlangga _______. (2003). Adolescence (Edisi Keenam). Jakarta : Erlangga. Semiun, Y. (2006 a). Kesehatan Mental 1. Yogyakarta : Penerbit Kanisius _________. (2006 b). Kesehatan Mental 2. Yogyakarta : Penerbit Kanisius Siswanto. (2006). Kesehatan Mental. Yogyakarta : Andi Offset Townend, Annie.1991. Developing Assertiveness. Routledge. London
Twenge, J. M. (2001). Changes in women’s assertiveness in response to status and roles: A crosstemporal meta-analysis, 1931–1993. Journal of Personality and Social Psychology, 81, 133– 145. Weni Nur, Samsi. 2012. Peningkatan Perilaku Asertif Terhadap Perilaku Negatif Berpacaran melalui Pelatihan Asertivitas pada Siswa Kelas X Pemasaran 1 Di SMK Negeri 1 Depok. Eprints.uny.ac.id/9575.diunduh 20 maret 2016 Yoshioka, M. (2000). Substantive differences in the assertiveness of low-income African, Hispanic, and Caucasian women. Journalof Psychology, 134, 243–247.