Journal of Governance, Juni 2017
Volume 2, No. 1
Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia Ahmad Solikhin Staf Pengajar FISIPOL Universitas Islam Darul ‘Ulum Lamongan
[email protected] Abstract: The role of political parties in Indonesia after the reform era is to become the main actor of democracy in mobilizing the political life of the nation and state. Unfortunately, the democratization process does not work well in the body of the political party itself. Political parties tend to be antithetical to democracy in government politics. Political decentralization and the authority of political parties are the most important elements in evaluating the working system of political parties. To date, the dynamics of party-party at the local level are still strongly dominated by the center. As a result politics in the region is a political derivation in Jakarta. Stakeholder party with decentralized authority will not create a democracy at the local level in political parties, because the party's internal democratic practices are highly centralized, clientelistic and oligarchic. The challenge must be answered if it wants to create a democracy within the internal political party. Particularly related to efforts to build decentralization of political party authority in determining candidate process in elections. By viewing the party as an organization of public legal entity which is one of the instruments of democracy, the political party should have started democratizing internally if it is not desirable to be abandoned by society and has the goal of improving Indonesian democracy. Keywords: Democracy, Political Party, Political Party Decentralisation
menyebut masa tersebut dengan masa
Pendahuluan reformasi
membawa
transisi di mana muncul setelah rezim
politik
Indonesia,
otoriter runtuh. Masa transisi ini
setelah lebih 30 tahun di bawah
merupakan sebuah masa yang krusial
bayang-bayang Orde Baru Indonesia
karena demokrasi menjadi hal yang
memulai
dipertaruhkan.
Masa perubahan
dengan
di
harapan
baru
Konsolidasi
menuju alam demokrasi. Masa ini
demokrasi
merupakan
suatu
ditandai dengan turunnya Soeharto
keniscayaan
bagi
masa
depan
dari kursi presiden pada pertengahan
demokrasi
sendiri.
Proses
tahun 1998. Dengan berakhirnya
konsolidasi
rezim Orde Baru tersebut kemudian
memang sebuah proses yang sulit
didesakkan
bahkan rumit. Bahkan mungkin perlu
untuk
konsolidasi
demokrasi. Para ilmuwan politik
itu
demokrasi
tersebut
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia
37
waktu lama untuk merajut sebuah
ini nampaknya akan berjalan lebih
jalan menuju demokrasi.
lama dari perkiraan sebelumnya,
Perubahan penting yang dialami
karena
lemahnya
komponen-
yang
menjamin
Indonesia dalam menjalankan proses
komponen
demokratisasi
terselenggaranya
adalah
munculnya
bisa
sistem
yang
berbagai macam partai politik. Di era
demokratis. Salah satu komponen
reformasi setelah dibukanya kran
tersebut adalah partai poiitik. Kurang
kebebasan mendirikan partai politik,
berfungsinya
nuansa politk bangsa sangat disesaki
institusionalisasi partai poiitik yang
oleh aktivitas partai politik. Berbagai
belum
motif
merupakan
pendirian
partai
potitik
maksimal
dalam
seperti : (1) partai hadir atas dasar
Permasalahan
keinginan
ditambah
yang
proses
di
Indonesia
permasalahan
mendasari kehadiran partai-partai itu,
orang-orang
serta
era
transisi ini
umum
demokrasi.
masih
dengan
harus
permasalahan
berkuasa, (2) motif ekonomi, orang
konsolidasi internal partai, sehingga
masih memimpikan bahwa partai
demokrasi yang diharapkan akan
potitik
mengeruk
semakin sulit dicapai. Permasalahan
keuntungan dan memperkaya diri,
konsolidasi internal partai banyak
keluarga, dan kelompok, (3) motif
terlihat
kekuasaan pragmatis dengan berbagai
konflik Internal yang berimplikasi
alasan, misalnya ideologi, gagasan,
langsung terhadap kekuatan partai
dan
politik secara institusi.
adalah
struktur
transaksional,
tempat
yang (5)
baru.
(4)
bargaining
dari
timbulnya
konflik-
Realitas politik pada era reformasi
position. Kondisi ini menyebabkan
menunjukkan
adanya
partai tidak lebih sebagai event
tingkat
organizer dari orang-orang yang haus
masyarakat terhadap partai politik
akan kekuasaan (Efriza, 2012 : 351-
secara massif. Hal ini dikarenakan
352).
partai
kepercayaan
politik
penurunan (kredibilitas)
tidak
mampu
Indonesia sampai saat ini masih
memainkan fungsinya secara optimal.
berada dalam tahap transisi menuju
Partai-partai politik tidak memiliki
konsolidasi demokrasi. Proses transisi
kemampuan
mengerahkan
dan
38 Journal of Governance, Juni 2017
Volume 2, No. 1
mewakili kepentingan warga negara
menjadi tidak tepat sasaran. Otoritas
maupun
pemerintah
menghubungkan
warga
pusat
yang
hampir
negara dengan pemerintah. Sehingga
mengatur segala urusan pemerintah
bukannya menjadi institusi yang
daerah,
mengantar
kepada
masyarakat di daerah tidak merata.
kehidupan yang lebih demokratis,
Ketika Reformasi datang, konsep
partai politik malah berubah menjadi
desentralisasi akhirnya disuarakan
sebuah institusi yang hanya mengejar
dan
kepentingan sendiri dan melupakan
Undang-Undang Otonomi Daerah.
hakikat keberadaannya dalam sistem
Lahirnya
politik. Proses institusionalisasi yang
mengubah
kurang baik, manajemen internal
menjadi
yang rendah dan kurang dikelola
menghasilkan harapan yang lebih
secara demokratis mengakibatkan
besar bagi percepatan pembangunan,
partai politik belum dapat menjadi
regenerasi
institusi
mampu
pengembangan sumberdaya manusia
menggerakkan kader secara massif
di daerah. Konsep baru ini juga
untuk menerima kedaulatan institusi
dengan cepat melahirkan elit politik
organisasi (Romli, 2012). Tentunya
lokal yang mampu bersaing dengan
praktik
elit
masyarakat
publik
ini
yang
hampir
menjangkiti
menjadikan
kemudian
kesejahteraan
dipertegas
dalam
Undang-Undang konsep
Otoda
sentralistik
desentralistik.
Hal
kepemimpinan
pusat,
misalnya
ini
dan
fenomena
sebagian besar partai di Indonesia
Jokowi. Meskipun belum mencapai
baik di tingkatan pusat maupun
kondisi
daerah.
desentralisasi yang saat ini diterapkan
Kita masih ingat betul bagaimana era
Orde
Baru
yang
bersikap
sentralistik,
yang
hanya
melihat
kondisi
lokal
dengan
kacamata
pemeritah pusat. Sentralisasi di era
sedang
yang “on
mewujudkan merata
ideal, the
setidaknya
track”
dalam
kesejahateraan
sesuai
dengan
yang
aspirasi
masyarakat lokal. Memasuki era Reformasi, kran
Orde Baru menghasilkan kebijakan
pendirian
Partai
Politik
dibuka
yang kebanyakan tidak sesuai dengan
selebar-lebarnya, sehingga di awal
aspirasi lokal sehingga kebijakan
Reformasi begitu banyak parpol baru
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia
berdiri, meskipun tiga partai (Golkar, PPP
dan
PDI
(Sekarang
39
Jika menilik sejarah Parpol di
PDI
Indonesia, pendirian Indische Partij
Perjuangan)) yang lahir sejak Orde
pada tanggal 25 Desember 1912 oleh
Baru masih eksis hingga hari ini. Dan
Douwes
kompetisi antar parpol yang terlihat
Dewantara,
lebih seimbang di era Reformasi.
Mangunkoesoemo
Namun seleksi alam dengan seiring
mula berdirinya parpol di Indonesia
waktu berjalan, menyisakan sedikit
yang saat itu dijadikan wahana politik
partai yang bisa bertahan. Sayangnya
demi menghimpun kesadaran rakyat
semangat
untuk mencapai tujuan nasional,
desentralisasi
di
era
Dekker,
Ki
Hadjar
dan
Tjipto
menjadi
Reformasi belum dianut oleh parpol-
yakni
parpol, meskipun masih lebih baik
Beberapa era telah berlalu, parpol
dibanding era Orde Baru. Sistem
berevolusi sesuai dengan zamannya,
parpol
sentralistik
di era Reformasi, partai politik
akhirnya membuat DPP (Dewan
nampaknya sudah mulai melupakan
Pimpinan/Pengurus Pusat) sebagai
tugasnya
pimpinan tertinggi partai menjadi
membangun kesadaran rakyat untuk
yang “paling didengar” atau bahkan
mencapai tujuan nasional. Saat ini,
“harus didengar dan dipatuhi”.
parpol lebih fokus dalam kompetisi
Masalahnya,
instruksi
politik untuk menjadi pemenang
partai dikeluarkan tanpa melalui
pemilu, pileg ataupun pilkada. Entah
mekanisme
yang
disadari apa tidak, sistem setralisasi
mendalam di internal parpol di tiap
yang masih dianut oleh parpol dapat
tingkatan. Seperti contoh dalam kasus
memicu konflik terbuka di internal
penetapan rekomendasi parpol untuk
parpol,
kandidat
maupun vertikal. Padahal Parpol
yang
pergantian
masih
terkadang
musyawarah
dalam Ketua
Pilkada
atau
Umum
DPW
(wilayah), pengurus DPD (daerah),
kemerdekaan
awal
dilahirkan
sebagai
baik
secara
untuk
Indonesia.
wahana
horizontal
melakukan
pendidikan politik bagi masyarakat.
atau Anggota DPRD yang bila tidak
Sejak paradigma baru diterapkan
dipatuhi oleh pengurus di daerah
dalam tatakelola penyelenggaraan
dapat berujung pada pemecatan.
kekuasaan pemerintahan daerah di
40 Journal of Governance, Juni 2017
Volume 2, No. 1
Indonesia, menyusul reformasi politik
yang sesunggunya ditingkat lokal
1998 yang telah mengakhiri sejarah
tidak benar-benar dicapai. (Agustino
rezim otoritarian dan dimulainya fase
dan Yusoff, 2010 : 5)
baru sejarah demokrasi, pelaksanaan
Di samping itu, dalam beberapa
otonomi daerah sejauh ini telah
aspek yang secara teoritik disarankan
menunjukkan
atau bahkan dianggap sebagai suatu
sejumlah
kemajuan
yang cukup berarti dalam banyak
keniscayaan
otonomi
aspek. Namun demikian kemajuan-
berdasarkan
substansi
kemajuan itu bukan berarti bahwa
dikandungnya, yakni desentralisasi,
pelaksanaan otonomi daerah tidak
implementasi otonomi daerah juga
menghadapi kendala dan masalah.
masih
Bersama
keberhasilan-
problematika yang belum tuntas.
keberhasilan itu, pelbagai distorsi
Salah satunya adalah menyangkut
juga
dengan
muncul
impementasi
menyisakan
desentralisasi
daerah yang
sejumlah
dalam
praktik
soal
otonomi
daerah.
kewenangan pada ranah partai politik sebagai
reformasi
menghambat
masyarakat sipil. Hingga sejauh ini,
menguatnya perpolitikan oleh elit
dinamika kepartaian di tingkat lokal
lokal
masih sangat didominasi oleh pusat.
di
tingkat
daerah
yang
paling
dan
Kekuasaan rezim orde baru sebelum telah
elemen
politik
menghasilkan dua hal penting dalam
Akibatnya
perpolitikan lokal. Pertama, kendali
merupakan derivasi politik di Jakarta.
politik di tingkat lokal dipimpin oleh
Lebih jauh lagi, bukan cuma politisi
elit yang merupakan kolaborasi dari
daerah bergantung pada dukungan
penguasa pusat dan lokal; dan kedua,
politisi
munculnya
di
politisi di daerah lebih dipengaruhi
reformasi,
"petunjuk" pimpinan partai di pusat
kolaborasi antara elit pusat dan lokal
daripada diwarnai aspirasi di daerah
pun
justru
(Baswedan, 2008). Demikian pula
posisi
halnya
daerah.
orang-orang
Setelah
menghilang,
semakin
masa
kuat
namun
menguatkan
politik
nasional,
di
penting
tetapi
menyangkut
daerah
perilaku
kewenangan
penguasa-penguasa lokal. Sehingga
(authority), menurut Undang-Undang
pemerintahan demokratis oleh rakyat
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia
41
2016 tentang pemilihan Gubernur,
pada ranah kehidupan kepartaian di
Bupati, dan Walikota pasal 42 point
Indonesia ? Saat ini, besar keinginan
(4a) dalam hal pendaftaran Pasangan
para elit lokal agar parpol dapat
Calon Gubernur, Bupati dan Walikota
menerapkan sistem desentralisasi.
tidak dilaksanakan oleh Pimpinan
Sehingga penentuan kebijakan partai
Partai Politik di tingkat Kabupaten,
politik di tingkatan lokal diharapkan
Kota atau Provinsi, tetapi pendaftaran
sesuai
pasangan calon yang telah disetujui
partai politik di daerah, yang lebih
oleh Partai Politik tingkat pusat dan
tahu banyak permasalahan lokal.
pendaftaran dilakukan oleh pimpinan
Bukan malah sebaliknya, kebijakan di
Partai Politik tingkat Pusat. Hal ini
daerah sesuai dengan selera elit pusat
menunjukkan bahwa Partai politik di
tanpa memperhatikan aspirasi elit
tingkat lokal, pada umumnya hanya
lokal. Bila dipaksakan, cara-cara
diberi kewenangan untuk melakukan
otoriter yang dilakukan elit pusat
proses
bakal
akan menjadi bencana bagi demokrasi
kendali
lokal yang mengharapkan parpol
penjaringan
kandidat;
para
sementara
keputusan
penetapan
kandidat
itu
tetap
para
bakal
dengan aspirasi
pengurus
bergerak sesuai dengan geopolitik.
merupakan
kewenangan pusat
Pemilu dan Partai Politik
Tulisan ini merupakan kajian
Dilihat
dari
sisi
pengalaman
mengenai isu partai politik sebagai
demokrasi penyelenggaraan Pemilu
salah satu elemen masyarakat sipil
di Indonesia, dapat dikatakan bahwa
dalam kerangka pelaksanaan otonomi
partai politik memiliki pengalaman
daerah
yang
di
Indonesia
perspektif
berdasakan
desentralisasi
cukup
dalam
proses
politik
demokratisasi. Pada pemilu 1955,
decentralisation
peserta pemilu terdiri dari empat
perspecitve) atau yang lazim disebut
kelompok besar yakni; (a) Kelompok
sebagai
kekuasaan
partai politik sebanyak 39 parpol, (b)
(devolution of power), dengan fokus
Kelompok Organisasi sebanyak 46,
permasalahan
(c) Kelompok Perorangan sebanyak
(political
devolusi
:
bagaimana
mewujudkan konsep desentralisasi
42 Journal of Governance, Juni 2017
59 dan (d) Kelompok Kumpulan Pemilih sebanyak 56. Ada dua hal penting yang dapat dipetik dari pengalaman pemilu 1955. Pertama, adanya partisipasi politik masyarakat yang begitu tinggi. Hal ini
Volume 2, No. 1
PSII 2,9 Parkindo 2,6 Partai 2,0 Katolik PSI 2,0 Lainnya 12,5 Total 100 Sumber: Rülland, 2001.
8 8 6 5 32 257
itu
Empat partai terpenting, yang
Indonesia
secara kolektif meraih 4/5 suara pada
sebagai sebuah solusi yang paling
tahun 1955 (lihat Tabel 1), telah
tepat terhadap semua persoalan yang
tumbuh dari basis aliran yang ada dan
dihadapi bangsa ketika itu. Kedua,
pada saat yang sama membentuk
empat
ulang
dikarenakan diyakini
pemilu
ketika
masyarakat
kelompok
besar
sebagai
dan
mempolitisasi
aliran
yang
tersebut (Feith, 1957: 31ff; Feith,
digambarkan di atas, menunjukan
1962: 125ff). PNI yang nasionalis
betapa keterbukaan politik ketika itu
merepresentasikan semua anggota
sangat besar, bahkan politik aliran
bukan priyayi Jawa dan mencari
berkembang bebas dan ikut bersaing
nafkah sebagai pegawai negara dan
secara sehat. Namun diakui, semua
pegawai negri atau sebagai klien
kontestan pemilu 1955 dari empat
mereka.
kontestan
pemilu
seperti
belum
PKI mungkin adalah partai yang
dirinya
terbaik pengorganisasiannya dengan
kesan
pengikutnya yang setia di kalangan
euphoria pada partisipasi politik
pekerja abangan di kota dan daerah
ketika itu juga cukup kuat (AlRasyid,
perdesaan. PKI sebagian besar terdiri
2010:47).
atas kader yang tidak sekuler dan
kelompok besar berhasil secara
tersebut,
mengkonsolidasi matang,
sehingga
Tabel 1: Hasil Pemilu untuk Parlemen Nasional (1955) Partai Politik PNI Masyumi NU PKI
Presentase 22,3 20,9 18,4 16,4
Jumlah Kursi 57 57 45 39
kurang
ideologis.
menyesuaikan revolusinya
Ia
retorika dengan
harus agenda
pandangan
keagamaan dari kebanyakan pengikut abangannya dari pedesaan di Jawa dan juga harus membangun hubungan
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia
patron-klien.
Pada
tahun
1964,
43
Pada Pemilu selanjutnya karena
menurut perhitungan mereka sendiri,
kekurangmampuan
PKI mempunyai sekitar 2,5 juta
(sentralisasi
anggota partai (1954: 165.000) dan 16
misalnya,
juta dari anggota organisasi massa
naiknya pergerakan kedaerahan mulai
yang terkait (Mortimer, 1969). Santri
pada tahun 1956 dan seterusnya),
yang ortodoks terdiri dari modernis
meningkatnya
dan tradisionalis. Yang tradisionalis
meluasnya korupsi, polarisasi antara
di bawah NU terdiri dari ulama
sekuler dan Islamis dalam Badan
(akademisi agama) dan pengikutnya;
Konstituante,
yang modernis di bawah Masyumi
fundamental PKI terhadap demokrasi
terdiri
liberal, parlementarisme lambat laun
dari
cendekiawan
kota,
pedagang dan seniman dari luar pulau Jawa.
kelembagaan
yang yang
berlebihan, memungkinkan
pengaruh
dan
militer,
oposisi
kehilangan legitimasinya. Pada bulan Juli 1959, Sukarno
Pada pemilu bebas dan adil yang
memberlakukan kembali UUD 1945,
pertama di tahun 1955, terutama
yang memberikan kewenangan besar
dengan masa kampanyenya yang
pada dirinya sendiri sebagai presiden.
lama, identifikasi aliran menjadi kuat
Berbagai partai politik kehilangan
dan sering menjadi pemicu beberapa
sebagian besar pengaruhnya semasa
konflik bahkan di daerah pedesaan,
periode Demokrasi Terpimpin ini
sebagai contohnya pertikaian antara
(1959-65). Kabinet dan parlemen
pengikut PNI yang sekuler dengan
dipertahankan untuk menjadi alat
pengikut Masyumi yang saleh. Oleh
bagi Sukarno dan kepemimpinan
karena fragmentasi dan polarisasi
militer. Demokrasi Terpimpin ini
sistem partai yang sangat besar,
jatuh pada tahun 1965/66.
koalisi-koalisi biasanya sangat lemah
Sebaliknya pada pemilu 1971,
dan tidak tahan lama. NU dan PNI
proses fusi sudah dilakukan yang
atau Masyumi dan PSI biasanya
pada akhirnya mengkerucut menjadi
bekerjasama dalam koalisi-koalisi ini,
tiga
yang
Selanjutnya,
biasanya
mengikutsertakan PKI.
tidak
partai
peserta
pemilu.
pelaksanaan
pemilu
selama masa orde baru berjalan sesuai
44 Journal of Governance, Juni 2017
Volume 2, No. 1
rencana penguasa yakni setiap lima
relatif lengkap sampai ke tingkat
tahun sekali, dengan peserta pemilu
daerah (desa).
yang tidak pernah bertambah yakni
Para elit Orde Baru (1965/66-98)
dua partai ditambah Golkar. Namun
di bawah pimpinan Suharto, mulai
demikian sistem partai di Indonesia
untuk mendepolitisasi masyarakat,
tidak dapat dikatakan menggunakan
melakukan sentralisasi administrasi
sistem multi partai, walau ada dua
dan merampingkan sistem politik.
partai peserta tetap selama lima kali
Partai-partai
pemilu masa orde baru dan pula
pemilu ”basa-basi” diperkenalkan.
sebaliknya. Sedangkan pemilu selama
Pada tahun 1973, kendali politik
masa orde baru, lebih dilihat sebagai
diperkuat dengan penyederhanaan
formalitas
memberikan
sistem kepartaian yang memaksakan
legitimasi baru setiap lima tahun
penggabungan partai-partai yang ada
kepada kekuasaan Suharto. Tidak ada
menjadi hanya 3 partai (lihat Tabel 2).
proses persaingan yang fair diantara
Golkar, yang menjadi kendaraan
peserta pemilu, karena kemenangan
rejim, selalu mampu mendapatkan
hampir telah dipastikan sebelum
dua
pemilu berlangsung.
parlemen nasional, sedangkan PPP
untuk
pertiga
dipotong habis
kursi
dan
mayoritas
di
Dengan demikian, tidak ada proses
dan PDI hanya ada untuk mengisi
pembelajaran yang berarti bagi dua
fungsi adanya partai oposisi yang
partai untuk memperkuat dirinya
terkukung.
dalam persaingan setiap pemilihan umum. Secara struktural, kedua partai (PDI dan PPP) memiliki struktur yang Tabel 2: Hasil Pemilu Parlemen* 1971-1997 (%) 1971** 62,8 Golkar 27,1 PPP 10,1 PDI Sumber: Rüland 2001.
1977 62,1 29,3 8,6
1982 64,2 28,0 7,9
1987 73,2 16,0 10,9
1992 68,1 17,0 14,9
1997 74,5 22,4 3,1
Namun kendali penuh atas suatu
tidak pernah berhasil dilakukan, dan
masyarakat yang begitu beragam
ideologi Orde Baru terlalu dangkal
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia
pegawai
untuk mempengaruhi publik secara
korps
mendalam dan meluas. Sehingga
menguasai
nasionalisme sekuler yang sangat
potensi sampai ke tingkat daerah.
moderat yang direpresentasikan oleh
Termasuk
PDI dan kelompok muslim yang tidak
organisasinya
bergigi seperti direpresentasikan oleh
kokoh dan mantap dibandingkan
PPP ditoleransi. Di tengah krisis
partai lain yang sangat rapuh.
seluruh
negeri,
45
dapat
jaringan
memperkuat
dan
sistem
sehingga
semakin
finansial negara-negara Asia, era
Menurut William Liddle, dalam buku
Orde Baru jatuh, bukan karena
Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut
munculnya perlawanan partai politik,
Kekuasaan Politik (Jakarta, 1992) bahwa
melainkan bangkitnya demonstrasi
pemilu-pemilu Orde Baru bukanlah alat
mahasiswa dan juga hasil dari konflik
yang memadai untuk mengukur suara rakyat. Pemilu-pemilu itu dilakukan
dan tawar-menawar antar elit.
melalui
Pertanyaannya, apakah struktur tersebut dapat terkonsolidasi secara
sebuah
tersentralisasi
proses
pada
yang
tangan-tangan
birokrasi. Tangan-tangan itu tidak hanya
efektif untuk melaksanakan fungsi
mengatur hampir seluruh proses pemilu,
partai secara ideal sampai ke tingkat
namun
daerah?
pusat
merekayasa kemenangan bagi “partai
ada
pada
milik pemerintah”. Kompetisi ditekan
pemerintah.Sebaliknya,
Golkar
seminimal mungkin, dan keragaman
(bukan
dengan
pandangan tidak memperoleh tempat
Belum
kekuasaan
partai
tentu,
golkar),
ditopang oleh kekuatan militer dan Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama
pasca
Suharto
mundur.
juga
berkepentingan
untuk
yang memadai.
pemilu 1955 kembali muncul dengan wajah
yang
berbeda.
Pelaksanaan pemilu ditandai dengan
Perbedaannya, peserta pemilu pada
euphoria yang luar biasa setelah
pemilu 1999 hanya terdiri dari partai
puluhan tahun terkekang. Disain
politik, sedangkan pada pemilu 1955,
undang-undang
selain
terbuka
politiknya
terhadap
sangat
partai
politik
ada
tiga
partisipasi
kelompok lain sebagai kontestan
masyarakat, sehingga tidak heran
pemilu. Setidaknya ada persamaan
partai politik aliran yang muncul pada
yang dapat kita cermati. Pertama,
46 Journal of Governance, Juni 2017
Volume 2, No. 1
baik pemilu 1955 maupun pemilu
tercapai dan masyarakat kecewa.
1999 dan 2004, masyarakat memiliki
Kedua, semua kontestan pemilu
keyakinan dan harapan yang sama
(partai politik) gagal melakukan
yakni pemilu merupakan pilihan yang
konsolidasi diri secara baik, sistem
tepat untuk menyelesaikan semua
kepartaian belum mantap bahkan
persoalan yang dihadapi bangsa.
sistem rekrutmen calon legislatifnya
Namun
masih amburadul.
harapan
tersebut
tidak
Tabel 3: Hasil Pemilu 1999 dan 2004* (DPR) Partai Politik
Golkar PDI-P PKB PPP PD PK (2004 : PKS) PAN PBB PBR PDS Partai Lainnya TNI*** Total
Jumlah Suara 1999 (%) 22.5 33.8 12.6 10. 7 1.4
Jumlah Kursi 1999 120 153 51 58 7
Jumlah Suara 2004 (%) 21.6 18.5 10.6 8.2 7.5 7. 3
Jumlah Kursi 2004** 127 109 52 58 56 45
7.1 1.9 -
34 13 26 38 500
6.4 2.6 2.4 2.1
53 11 14 13 12 550
Source: nanta/Arifin/Suryadinata 2005
Pada tingkat nasional, peserta
PKB, PAN, PD, dan PKS. Kedua,
pemilu 2009 berjumlah 38 partai
partai-partai baru berdiri dan lolos
politik. dari jumlah tersebut, secara
berdasarkan
katagoris
keikutsertaan dalam pemilu. Syarat
dapat
diklasifikasikan
syarat-syarat
sebagai berikut. Pertama, partai-
keikutsertaan
partai yang lolos electoral threshold
meliputi: (a) memiliki kepengurusan
sebesar 2% kursi DPR dalam pemilu
di 2/3 jumlah provinsi, dan memiliki
sebelumnya.
kepengurusan
Pada
katagori
ini,
dalam
di
pemilu
2/3
itu
jumlah
terdapat 7 partai yang lolos electoral
kabupaten/kota di provinsi yang
threshold yaitu Golkar, PDIP, PPP,
bersangkutan, (b) memiliki anggota
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia
47
sekurang-kurangnya 1.000 orang atau
partai dari peserta pemilu 2004 yang
1/1.000 dari jumlah penduduk pada
tidak lolos electoral threshold dan
setiap kepengurusan partai politik, (c)
tidak mendapatkan kursi di DPR,
sebagai bagian dari affirmative action
terdapat 4 partai dalam katagori ini,
gerakan perempuan, partai politik
yaitu
juga harus menyertakan sekurang-
Persatuan
kurangnya
keterwakilan
Indonesia, Partai Serikat Indonesia,
perempuan pada kepengurusan partai
dan Partai Buruh. Kelompok partai ini
politik tingkat pusat, (d) partai harus
dapat menjadi peserta pemilu 2009
mempunyai kantor tetap untuk setiap
karena gugatan mereka atas ketidak
level kepengurusan serta mengajukan
adilan dari pasal 316 huruf d
nama dan tanda gambar partai kepada
dikabulkan
KPU. Masuk dalam katagori ini
Konstitusi (MK). Atas putusan MK
terdapat 27 partai.
tersebut,
30%
Kelompok
partai
yang
pada
Partai
Merdeka, Nahdlatul
oleh
KPU
Partai Ummah
Mahkamah
tanpa
melakukan
verivikasi keabsahan syarat-syarat
pemilu 2004 mendapatkan kursi di
ikut
serta
dalam
pemilu
DPR tetapi perolehan kursinya tidak
mengesahkan mereka menjadi peserta
mencapai electoral threshold 2%.
pemilu 2009.
Terdapat 10 partai yang masuk dalam katagori ini. Terakhir, kelompok Tabel 4 : Hasil Pemilu 2009 (DPR) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Nama Partai Politik Partai Hati Nurani Rakyat Partai Gerakan Indonesia Raya Partai Keadilan Sejahtera Partai Amanat Nasional Partai Kebangkitan Bangsa Partai Golongan Karya Partai Persatuan Pembangunan 2009 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Partai Demokrat Partai Kebangkitan Nasional Ulama
Sumber : Diolah dari data KPU Indonesia
Jumlah Kursi 17 26 57 46 28 107 37 95 150 1
2009
48 Journal of Governance, Juni 2017
Pemilihan Umum tahun 2009
Volume 2, No. 1
proporsionalitas
nilai
kursi,
merupakan masa akhir elit lama,
pembentukan kepartaian yang efektif,
berseminya elit baru. Menyongsong
dan sebagainya, berusaha diatasi.
pemilu
Dengan demikian, tiap partai rata-rata
2009,
perubahan dengan
DPR
regulasi
melakukan yang
penyelenggaraan
terkait
berpotensi
kehilangan
atau
pemilu.
kelimpahan suara. Bagi partai yang
Perubahan itu dimaksudkan untuk
citranya baik atau membaik, ada
dapat menjawab persoalan-persoalan
peluang mendapat limpahan suara
mendasar yang muncul dalam pemilu
pemilih migran. Namun bagi partai
sebelumnya. Beberapa persolan yang
yang citranya rusak karena terkena
muncul
dalam
sistem
pemilu
kasus, akan berpotensi kehilangan
sebelumnya
diantaranya
berupa
minimal suaranya.
representasi
wakil
rakyat,
Tabel 5: Perolehan Suara Partai Politik Pada Pemilu 2014 No. Partai Politik Perolehan Prosentase Suara 8.402.812 6,72% 1. Partai Nasional Demokrat (Nasdem) 11.298.957 9,04% 2. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 8.480.204 6,79% 3. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 23.681.471 18,95% 4. Partai PDI-Perjuangan (PDI-P) 18.432.312 14,75% 5. Partai Golongan Karya (GOLKAR) 14.760.371 11,81% 6. Partai Gerindra 12.728.913 10,19% 7. Partai Demokrat 9.481.621 7,59% 8. Partai Amanat Nasional (PAN) 8.157.488 6,53% 9. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 6.579.498 5,26% 10. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 1.825.750* 1,46% 11. Partai Bulan Bintang (PBB) 1.143.094* 0,91% 12. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Jumlah 124.972.491 100,00% Sumber : Diolah dari data KPU Indonesia *(tidak lolos Parliamentary Threshold)
Dulu, Pemilu 1955 dipandang
Indonesia dalam kelompok negara
demokratis, tapi tujuh pemilu masa
yang terseret dalam gelombang-surut
Orde
demokratisasi
Baru
merupakan
suatu
ketiga
(the
third
kemunduran tragis sehingga pada
reverse
of
1990-an Huntington menempatkan
democratization). Pada 1998 keadaan
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia
49
berubah. Pemilu 1999 dan Pemilu
Indonesia pasca Soeharto. Pertama,
2004
bahwa
semenjak krisis ekonomi terjadi yang
bergerak
membawa Soeharto ”lengser” dari
menuju kematangan. Dalam Pemilu
kursi kekuasaannya hingga melewati
2009 dan 2014 saat ini ada keraguan,
beberapa
seolah tidak ada keyakinan bahwa
ekonomi
demokrasi akan bertumbuh dewasa.
menunjukkan kinerja yang membaik
memberi
demokrasi
kepastian
Indonesia
Bahkan,
seperti
yang
periode
kepemimpinan,
Indonesia
belum
bahkan masih berjalan dalam kondisi
dikhawatirkan Heru Nugroho (2002)
kritis.
yang mengutip istilah Sorensen,
pemerintahan
Indonesia
ancaman
terjadi sentimen positif dari pasar,
demokrasi beku (frozen democracy).
namun lambat laun perekonomian
Sorensen
nasional
mengalami
mengembangkan
indikator
yang
beroperasinya beku.
konsep
Pertama,
empat
Meskipun
pada
Megawati
secara
awal
berkuasa
umum
kembali
mendasari
melemah. Sektor industri, riil, jasa
demokrasi
dan
keuangan
yang
seharusnya
sempoyongannya
menjadi panglima dalam penyerapan
ekonomi baik di tingkat nasional
tenaga kerja pada kenyataannya justru
maupun lokal. Kedua, mandegnya
yang
proses
pembentukan
pemutusan hubungan kerja. Hingga
warga
(civil
masyarakat
society).
paling
banyak
melakukan
Ketiga,
pengangguran di tanah air mencapai
konsolidasi yang cenderung tidak
40 juta jiwa. Angka ini merupakan
pernah mencapai soliditas namun
angka pengangguran terbesar yang
cenderung
pernah ada di Indonesia. Sementara
semu,
dan
keempat,
penyelesaian masalah-masalah sosial-
sektor
politik-hukum
menyedot banyak tenaga kerja justru
warisan
rezim
informal
yang
mampu
(otoriter) terdahulu yang tidak pernah
hanya diperankan sebagai
tuntas.
pengaman ekonomi politik nasional.
Dari keempat indikator tersebut
Hal
ini
menunjukkan
katub
betapa
Heru Nugroho (2002), mencoba
rendahnya tanggung jawab negara
memaparkan
pada perekonomian rakyat.
beberapa
bukti
bagaimana kondisi sosial politik
50 Journal of Governance, Juni 2017
Kedua, dengan jatuhnya rezim Orde
Baru,
secara
bersamaan
sebenarnya
keberadaan
demikian
lemah
negara
Volume 2, No. 1
yang akan dilalui. Berbagai kasus hukum yang mengemuka ternyata hanya
diberlakukan
sebagai
dihadapan
komoditas politik untuk menekan
masyarakat. Sementara di sisi lain
pihak lawan, sama sekali tidak ada
terjadi
terhadap
komitmen dari para elit politik untuk
masyarakat. Hal ini ditandai dengan
menegakkan rule of law. Akibat
semakin
kehadiran
rapuhnya konsolidasi di tingkat elit,
organisasi-organisasi sosial maupun
maka integrasi sosial di tingkat akar
politik,
Swadaya
rumput juga terancam. Konflik yang
Masyarakat (LSM) yang kian hari
berbau agama, etnis, dan politik
kian marak melakukan pemberdayaan
masih menjadi bahaya laten yang
dan
sewaktu-waktu
penguatan
maraknya
dan
Lembaga
pendidikan
masyarakat.
politik
Namun
kepada
sayangnya,
siap
meledak
kembali.
menguatnya kekuatan masyarakat ini
Keempat, bangsa Indonesia masih
tidak dibarengi dengan perbaikan di
memiliki sejumlah masalah sosial-
aras negara. Akibatnya yang terjadi
politik-hukum yang tidak pernah
adalah social chaos. Orang tidak mau
tuntas. Masalah-masalah tersebut ada
lagi patuh kepada hukum karena
yang dibiarkan menggantung seperti
apparat
kasus peradilan terhadap mantan
pemerintah
mempunya
wibawa.
tidak
lagi
Masyarakat
Presiden
Soehartobeserta maupun
kroni-
terlanjur tidak percaya kepada apparat
kroninya,
penyelesaian
pemerintah karena perilaku mereka
kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi
yang cenderung korup.
Manusia (HAM) yang masuk kategori
Ketiga, konsolidasi sosial politik
ringan dan berat semasa Orde Baru
yang berjalan tersedat. Dari realitas
Soeharto berkuasa. Kesemua kasus di
politik yang ada dapat dilihat bahwa
atas apabila tidak segera diselesaikan
elit politik masih berjalan sesuai
oleh pemerintah di masa sekarang
dengan
agenda
maupun masa yang akan datang maka
masing.
Belum
politik ada
masingkesamaan
pandangan tentang route reformasi
yang
muncul
political
kemudian
distrust,
yang
adalah pada
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia
kendaraan
utama
51
gilirannya pasti akan mengancam
adalah
bagi
legitimasi pemerintah yang berkuasa
perwakilan politik; Kedua, partai
maupun demokrasi sebagai agenda
politik adalah mekanisme utama bagi
bersama. Kondisi ini pun tentu saja
penyelenggaraan
menjadi ancaman serius bagi transisi
Ketiga, partai politik adalah saluran
yang saat ini sedang berlangsung di
utama
Indonesia.
akuntabilitas demokrasi (Romli, 2008
pemerintahan;
untuk
memelihara
: 21 dan Netherland Institute for Problem Institusionalisme Partai
Multiparty Democrazy (NIMD), 2006
Politik di Indonesia
: 10 ).
Meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan
faktor
perlu
fungsi partai politik dapat dibedakan
dtperhitungkan serta diikutsertakan
menjadi dua (Efriza, 2012 : 226).
dalam proses politik negara, maka
Pertama, peran dan tugas internal
dibentuklah sebuah institusi yang
organisasi. Dalam hal ini organisasi
mampu merepresentasikan suara dari
partai politik memerankan peranan
masyarakat di satu pihak untuk
penting dalam pembinaan, edukasi,
dihubungkan dengan pemerintah di
pembekalan, kaderisasi, konsolidasi
pthak lain. Dewasa ini, partai politik
dan melanggengkan ideologi politik
menempati
yang
posisi
menunjang
yang
Secara garis besar, peran dan
vital
dalam
menjadi
latar
belakang
demokratisasi
pendirian partai politik. Kedua, fungsi
dengan
partai politik yang bersifat eksternal
organisasiorganisasi politik lainnya
organisasi. Di sini peran dan fungsi
yang terdapat dalam sebuah negara.
partai
Menurut catatan dari Netherland
masyarakat luas, bangsa, dan negara.
Institute for Multyparty Democrazy
Kehadiran parpol juga memiliki
(NIMD),
paling
tanggungjawab konstitusional, moral,
tidak terdapat tiga alasan sehingga
dan etika untuk membawa kondisi
partai
dan situasi masyarakat menjadi lebih
dibandingkan
mengungkapkan
politik
demokrasi
diperlukan
agar
dalam sebuah negara
berfungsi. Pertama, partai politik
baik.
politik
terkait
dengan
52 Journal of Governance, Juni 2017
Volume 2, No. 1
Berkenaan dengan perkembangan
of attitudes and culture). Proses
institusionalisasi yang dialami oleh
pelembagaan ini mengandung dua
partai politik pada era demokrasi
aspek, yaitu aspek internal-eksternal
modern, maka partai politik dituntut
dan aspek struktural-kultural. Bila
memiliki fungsi urgen yang perlu
kedua dimensi ini dipersilangkan,
dilaksanakan, yakni : (1) Komunikasi
maka akan tampak sebuah tabel
politik; (2) Perwakilan; (3) Konversi,
empat sel, yaitu; pertama, dimensi
artikulasi kepentingan dan agregasi;
kesisteman suatu partai (systemness)
(4) Pendidikan politik; (5) Integrasi
sebagai
(partisipasi politik, sosialisasi politik,
internal dengan struktural. Kedua,
dan mobilisasi politik); (6) Persuasi
dimensi identitas nilai suatu partai
dan represi; (7) Kaderisasi; (8)
(value
Rekrutmen politik; (9) Membuat
persilangan aspek internal dengan
pertimbangan, perumusan kebijakan,
kultural. Ketiga, dimensi otonomi
dan kontrol terhadap pemerintah; (10)
suatu
Mengkordinasi
keputusan
lembaga-lembaga
hasil
persilangan
infusion)
partai
aspek
sebagai
hasil
dalam
pembuatan
(decisional
autonomy)
pemerintah; (11) Alat pengontrol
sebagai
kepentingan pribadi politisi yang
eksternal-struktural.
duduk sebagai wakil rakyat maupun
dimensi pengetahuan atau citra publik
pejabat publik; dan (12) Fungsi
(reification) terhadap suatu partai
dukungan
politik sebagai persilangan aspek
(Supportive
function)
(Efriza, 2012 : 237-238). Institusionalisasi
hasil
persilangan
eksternal-kultural
partai
politik
adalah proses pemantapan partai
aspek
Keempat,
(Randal
and
Svasand, 2002).
Dimensi
kesisteman,
politik baik secara struktural dalam
systemness
rangka
mempolakan
perilaku,
sebagai proses pelaksanaan
maupun
secara
dalam
fungsi-fungsi partai politik,
kultural
memiliki
arti
mempolakan sikap dan budaya (the
yang
process by wich the party becomes
aturan, persyaratan, prosedur
established
dan
in
terms
of
both
integrated patterns on behavior and
dilakukan
mekanisme
menurut
yang
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia
disepakati
dalam
partai
politik.
keberadaan
Dimensi identitas nilai, value
tersebut.
infusion
partai
merupakan
politik
nilai
yang
didasarkan pada ideologi atau platform partai. Nilai inilah yang menjadi basis kesatuan bagi
para
anggota
dan
supporter untuk mendukung partai tersebut karena value infusion adalah representasi dari pola dan arah perjuangan partai politik.
decisional independensi
partai politik akan ditentukan oleh kemampuan partai untuk membuat keputusan secara otonom.
Rendahnya
decisional menunjukkan
dalam
nilai
autonomy
pembuatan
bahwa keputusan
partai
di
merupakan
transaksi kepentingan antara elite
partai
dengan
kepentingan aktor lain yang berada di luar partai. Dimensi yang terakhir atau citra
publik,
merupakan
Penilaian
publik partai
terhadap
atas politik
proses
institusionalisasi partai politik di Indonesia masih begitu rendah. Hal ini diukur dari empat dimensi yakni dimensi systemness, value infusion, decisional autonomy dan reification. Dari
dimensi
systemness,
partai
politik di Indonesia masih belum memiliki kesatuan yang erat di dalam tubuh internal partai. Sedangkan dari dimensi value infusion, partai politik
Dimensi autonomy,
pengetahuan
53
reification kedalaman
masih
belum
menginternalisasi menjadi
ciri
mampu
nilai-nilai
partai
yang
yang dapat
membawa manfaat jangka panjang. Sebagian besar partai di Indonesia masih terfokus untuk mendapatkan popularitas dan keberhasilan secara instan, sehingga pengabaian pada penumbuhan ideologi dan platform jangka
panjang
tersebut sebagai
membuat
menjual produk
partai
pragmatisme politik
kepada
masyarakat. Dari dimensi decisional autonomy,
pembuatan
keputusan
partai politik biasanya sarat dengan hasil negosiasi lingkaran elite politik
54 Journal of Governance, Juni 2017
Volume 2, No. 1
di level pusat dan bukan ditentukan
diposisikan sebagai individu yang
oleh suara dan kepentingan para
nilai gunanya ditentukan dari suara
pendukungnya. Dan yang terakhir,
yang
dari dimensi reification, partai politik
pemilihan (Angulo, 2012). Dalam
baru
citra
posisi dan peran seperti itu, partai
partainya kepada masyarakat melalui
bukannya bertindak sebagai corong
serangkaian
simbol-simbol
aspirasi dan kepentingan rakyat,
kepartaian saja misalnya warna atau
tetapi justru menggunakan rakyat
gambar partai, bukan pada visi misi
sebagai alat dalam memperjuangkan
yang dibawa oleh partai tersebut
nilai dan kepentingan pribadi partai.
(Angulo, 2010).
Singkatnya, partai menjadikan rakyat
mampu
menanamkan
Keberadaan
mereka
berikan
dalam
institusionalisasi
sebagai sumber daya pasif untuk
partai politik begitu penting dalam
membangun kekuatan partai dalam
konteks
kompetisi politik.
kenegaraan,
hal
disebabkan
karena partai
berperan
sebagai
ini politik
Keberlanjutan partai politik di
komponen
Indonesia pun hanya mengandalkan
pendukung bagi terwujudnya sistem
pada
demokrasi yang sehat. Rendahnya
pemimpin
institusionalisasi
menyebabkan
Kepemimpinan merupakan pokok
perpolitikan
yang sangat penting di dalam partai,
Indonesia yang kekuasaannya tidak
namun mendasarkan keberlanjutan
berputar di sekeliling masyarakatnya
hidup partai pada tokoh tunggal si
melainkan ke segelintir elite politik.
pemimpin
Secara
kontraproduktif
timpangnya
sistem
mikro,
gambaran
sistem
kharisma
atau
dalam
pamor
meraih
saja,
si
massa.
secara melemahkan
kepartaian di Indonesia diwarnai
kapabilitas partai politik tersebut
dengan begitu dominannya peran
secara
pemimpin politik dalam menentukan
seharunsya
keberhasilan partai di arena politik
pada
negara. Hal ini dikarenakan partai
muda. Upaya ini dapat dilihat sebagai
politik tidak berbasis pada grassroots
representasi
sehingga
dalam
masyarakat
hanya
internal.
Partai
melakukan
politik kaderisasi
pemimpin-pemimpin
kesungguhan
membangun
yang
partai
pemimpin
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia
sehingga
pada
nantinya
partai
Berdasarkan
Undang-Undang
tersebut mampu menciptakan produk
Nomor
pemimpin
Proses
pemilihan wali kota, bupati, dan
melahirkan kepemimpinan seperti ini
gubernur dilakukan oleh DPRD, tapi
tentunya
menghentikan
penentu utama siapa yang bakal
fenomena munculnya aktor politik
menjadi kepala daerah pada waktu itu
dadakan
adalah menteri dalam negeri, Golkar,
yang
baik.
akan
demi
meningkatkan
popularitas dan voting level partai.
5
55
Tahun
1974,
proses
TNI, dan tentu saja atas restu presiden. Nuansa sentralisme sangat
Sentralisasi Partai Politik dalam
terasa pada waktu itu. Demokratisasi
Pilkada
menunjukkan
Sejak memasuki era reformasi dan
sedikit perbaikan setelah, dalam
pasca-perubahan UUD 1945, regulasi
Undang-Undang Nomor 22 Tahun
tentang pilkada merupakan salah satu
1999 tentang Pemerintahan Daerah,
peraturan yang paling sering diubah.
DPRD memiliki peran utama dalam
Dinamika regulasinya pada awalnya
menentukan siapa yang menjadi
digulirkan
penguatan
kepala daerah. Tapi kasus di berbagai
desentralisasi.
daerah menghadirkan distorsi antara
Berawal dari Undang-Undang Nomor
keinginan elite politik dan anggota
5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
DPRD di satu pihak yang berhadapan
Pemerintahan di Daerah yang sangat
dengan masyarakat bawah mengenai
sentralistik sampai Undang-Undang
calon kepala daerah. Bahkan, isu
Nomor 24 Tahun 2014 tentang
adanya
Pemerintah Daerah yang fenomenal
pelaksanaan pilkada oleh DPRD ini.
karena baru berusia dua tahun telah
Asumsi dan temuan terkait dengan
mengalami
hal
untuk
demokratisasi
dan
perubahan
dua
kali,
politik
tersebutlah
uang
mewarnai
yang
kemudian
terjadinya
perubahan
melalui Undang-Undang Nomor 8
mendorong
Tahun 2015 dan Undang-Undang
metode
Nomor
Ini
daerah. Yang semula dipilih oleh
krusialnya
DPRD diubah menjadi dipilih oleh
16
membuktikan
Tahun betapa
pemilihan kepala daerah.
2016.
rakyat.
dalam
pemilihan
kepala
56 Journal of Governance, Juni 2017
Pergumulan
untuk
Demikian halnya untuk pasangan
mencari solusi atas keruwetan tata
calon gubernur dan wakil gubernur,
cara pilkada yang terdikotomi antara
harus ada surat keputusan tentang
dipilih oleh DPRD dan rakyat itu
persetujuan dari partai politik pusat
diselingi
yang
atas calon yang diusulkan oleh
penting.
pengurus tingkat provinsi. Artinya,
sesungguhnya
pemikiran
Volume 2, No. 1
perdebatan tidak
Perdebatan tersebut,
antara lain,
persetujuan,
yang
dalam
adalah apakah pilkada itu rezim
politiknya
pemerintah daerah ataukah rezim
ketua
pemilu? Bagaimana dengan calon
mutlak untuk dapat mendaftarkan diri
independen? Bagaimana hubungan
sebagai
antara kepala daerah dan wakil kepala
ataupun wali kota. (Lihat Pasal 42
daerah? Apa kedudukan inkumben
ayat 5 dan 6 Undang-Undang Nomor
dalam pilkada serta perlu izin atau
10 Tahun 2016)
cutikah jika inkumben mencalonkan diri lagi ?
partai,
rekomendasi
merupakan
calon
gubernur,
syarat
bupati,
Pilihan sistem pemerintah daerah adalah desentralisasi, yang berfokus
Perdebatan itu sungguh tak ada pengaruhnya
menjadi
bahasa
terhadap
pada penyerahan kekuasaan dari
hasil
pemerintah pusat kepada daerah. Jika
pemilihan kepala daerah. Sebab, ada
pemerintah pusat sudah menyerahkan
satu hal yang dilupakan, yakni masih
urusan-urusannya
kuatnya cengkeraman partai politik
seolah-olah masalah desentralisasi
terhadap kader-kader partai di daerah.
telah
Sentralisme dalam diri partai politik
penyelenggaraan
itu dapat dilihat pada persyaratan
daerah itu semestinya masyarakat
pendaftaran pasangan calon bupati
daerah
dan pasangan calon wali kota yang
memadai untuk berkontribusi atas
dilengkapi dengan surat keputusan
keberhasilan
pengurus partai politik tingkat pusat
pemerintah daerahnya.
selesai.
kepada
Padahal,
daerah,
dalam
pemerintahan
mendapatkan
porsi
yang
penyelenggaraan
tentang persetujuan atas calon yang
Namun dengan sentralisasi sistem
diusulkan oleh pengurus partai di
pencalonan kepala daerah dalam
provinsi.
tubuh partai politik ini sesungguhnya
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia
sistem pemerintahan desentralisasi
awal
belum ada. Sebab, pemimpin partai
dijalankannya UU Nomor 22 Tahun
politik di tingkat pusat masih sangat
1999, kemudian diperbarui dengan
menentukan siapa yang bisa menjadi
UU 32 Nomor 2004, dan terakhir
calon-calon kepala daerah. Hal itu
dengan UU Nomor 23 Tahun 2014
yang lepas dari perhatian kita semua.
tentang
Sentralisasi
tetap
tampaknya memang tidak bisa serta
diabadikan untuk menentukan siapa
merta mampu mewujudkan prinsip-
yang akan menjadi kepala daerah.
prinsip
dikritik,
Sudah
2000
ini
dengan
Pemerintahan
devolusi
Daerah,
politik
secara
desentralisasi
komprehensif pada lokus kepartaian
dilakukan sepenuhnya. Oleh sebab
dalam kerangka pelaksanaan otonomi
itu, perlu penguatan kepada partai
daerah.
politik di daerah agar mempunyai
desentralisasi
kekuatan untuk menentukan siapa
dipetakan Smith masih akan sukar
yang pantas memimpin daerahnya.
dicapai manakala kebijakan itu tidak
Ini
ditopang oleh ikhtiar lain yang
bisa
saatnya
tapi
tahun
57
diselenggarakan
lewat
konvensi di daerah atau pimpinan partai
politik
di
daerah
Tujuan
dan
manfaat
politik
seperti
kompatibel. Terkait
hal
ini
penulis
bermusyawarah untuk menentukan
menawarkan dua jalan keluar dari
siapa kader partainya yang akan
problematika ketergantungan partai
dijagokan dalam pilkada. Hal itu
politik di daerah terhadap pusat
perlu agar desentralisasi berjalan
hirarkisnya
seiring dengan kekuasaan partai
mengakibatkan partai politik belum
politik yang diserahkan juga kepada
mampu memberi kontribusi yang
pemimpin di daerah.
berarti
pada
kerangka Menimbang
Desentralisasi
bagi
Partai Politik
di
Jakarta
aspek
yang
politik
pelaksanaan
dari
otonomi
daerah. Pertama, melalui pengaturan yang
lebih
assertif
mengenai
Kebijakan desentralisasi politik
desentralisasi politik dan kewenangan
(devolution of power) yang secara
partai politik yang dituangkan di
normatif sudah diberlakukan sejak
dalam UU Partai Politik dan Pemilu.
58 Journal of Governance, Juni 2017
Kedua,
melalui
Volume 2, No. 1
pemisahan
politik, serta agregasi dan artikulasi
pelaksanaan kegiatan Pemilu antara
kepentingan konstituen di daerah.
Pemilu Nasional dengan Pemilu
Misalnya dalam konteks pengajuan
Lokal.
bakal calon Kepala Daerah/Wakil
Sejauh
ini
berbagai
klausul
pengaturan hubungan internal hirarki di tubuh partai politik cenderung
Kepala Daerah sebagaimana sudah dijelaskan di muka tadi. Jalan keluar yang kedua adalah
bercorak patron-client dan bersifat
melalui
memperkokoh dominasi pusat atas
jadwal kegiatan pelaksanaan Pemilu,
daerah. Model pengaturan seperti ini
sebuah gagasan yang saat ini sedang
jelas tidak memberi ruang yang
berproses secara dinamis. Artinya
lapang bagi partai politik di daerah
Pemilu dilaksanakan dengan dua
untuk
kategori
berkiprah
sesuai
dengan
pemisahan
dan
kategori
dua
jadwal
dan
yang
tuntutan reformasi dan kebutuhan
berbeda. Yaitu Pemilu nasional untuk
memberdayakan entitas politik lokal
memilih
di hadapan dominasi kepolitikan
parlemen nasional; dan Pemilu lokal
nasional.
aktor-aktor
untuk memilih Kepala Daerah/Wakil
politik lokal, gagasan-gagasan politik
Kepala Daerah dan anggota legislatif
cerdas di daerah, bahkan juga aspirasi
daerah. Pemisahan ini sekurang-
dan kepentingan konstituen di daerah
sekurangnya akan memberikan tujuh
menjadi sangat bergantung pada
potensi manfaat (Baswedan, 2008).
Akibatnya
“niyat baik” (jika itu ada) pusat.
Presiden
Pertama,
dan
dengan
anggota
pemisahan
Dengan pengaturan hubungan yang
pemilu, rakyat pemilih bisa dengan
memberi lebih luas dan assertif
jelas membedakan politik daerah dan
kekuasaan dan kewenangan kepada
politik nasional. Dan pemisahan
partai
lokal,
jadwal pemilu itu membuat pemilu di
diharapkan partai politik di daerah
daerah menjadi lebih merdeka dari
dapat
pengaruh
politik
lebih
perannya,
di
tingkat
leluasa
baik
memainkan
sebagai
politik
Jakarta.
sarana
Kemandirian ini akan membuat isu
komunikasi dan partisipasi politik,
Jakarta-centris jadi tidak salable di
maupun sebagai sarana rekrutimen
tingkat daerah.
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia
Kedua,
politisi
daerah
akan
kesulitan untuk sekadar membonceng
59
berjalan 40 tahun, tetapi afiliasi partai dari rakyat pemilih tidak berubah.
nama politisi nasional dan politisi
Kelima, kesadaran korelasi antara
"dipaksa" responsif pada isu daerah
proses politik dan isu keseharian ini
bila ingin survive dalam politik
akan membuat perseteruan ideologis
daerah.
yang abstrak harus diterjemahkan jadi
Ketiga, implikasi institusional dari
kompetisi ideologis yang praktis.
perubahan ini adalah partai politik
Dengan
dipaksa serius membangun organisasi
ideologi/aliran tetap bisa eksis tetapi
dan agenda politiknya di tingkat
penerjemahan praktis dari ideologi itu
daerah.
agar relevan dengan isu keseharian
Keempat, terangkatnya isu daerah
demikian
meski
rakyat jadi lebih penting.
dalam arena politik itu, merangsang
Keenam, kompetisi ideologis yang
rakyat untuk menyadari korelasi isu
praktis itu pada gilirannya akan
keseharian
membuat
yang relevan dengan
proses
politik
proses politik. Kesadaran rakyat
transaksional
pemilih tentang korelasi antara proses
Artinya, rakyat pemilih bukan cuma
politik dan isu keseharian ini bisa
memberikan suara dukungan pada
menjadi
yang
politisi tetapi juga menuntut imbalan
politik
dalam bentuk kepedulian politisi
Karena
terhadap kepentingan dan aspirasi
kuatnya politik aliran di Indonesia
rakyat pemilihnya. Ketujuh, dengan
membuat rakyat pemilih cenderung
proses politik yang transaksional ini
tak peduli terhadap performance
maka kepentingan dan hajat hidup
politisinya. Sebuah studi tentang
rakyat
perilaku pemilih yang dilakukan
diperhatikan, sebab para politisi sadar
Dwight King menunjukkan, hasil
bahwa
Pemilu 1955 dan Pemilu 1999
transaksional,
memiliki kesamaan polarisasi pemilih
"menghukum" politisi/partai politik
(King, 2000). Artinya, waktu telah
dengan memilih politisi/partai politik
breakthrough
mencerdaskan Indonesia.
dalam
Mengapa
?
lain.
di
dalam
tingkat
dalam
arti
jadi
daerah
proses rakyat
positif.
akan
yang bisa
60 Journal of Governance, Juni 2017
Di sisi lain supremasi eksekutif lokal
akan
berdampak
Volume 2, No. 1
Dengan
hilangnya
kekuatan
pada
otonom parpol di tingkat lokal dalam
pelemahan kekuatan partai politik
bekerja dengan masyarakat -demi
secara internal. Tidak berdayanya
membangun kekuatan bersama- maka
parpol di tingkat lokal ditandai
dapat
dengan pemilihan legislatif daerah
penumbuhan parpol di tingkat lokal di
yang merupakan wujud transaksi
Indonesia tidak ubahnya sebagai
antar sumber daya elite nasional dan
rangkaian sistem franchise (Angulo,
massa elite lokal. Dengan demikian,
2012).
peran parpol di tingkat lokal dalam
mengadopsi secara serupa segala hal
konteks politik nasional hanya dilihat
yang distandarisasi oleh parpol di
sebagai basis dukungan terhadap
tingkat pusat dan bahkan pemimpin
parpol di tingkat pusat. Artinya,
parpol di tingkat lokal tersebut
jumlah massa dan vote yang mampu
dengan
dihimpun oleh parpol di tingkat lokal
dipengaruhi
merupakan sumber kekuatan bagi
parpol di tingkat pusat. Secara
parpol di tingkat pusat. Hal ini tentu
berjangka, maka hal ini berkontribusi
saja
dalam pelemahan institusionalisasi
menyalahi
pemberlakuan
esensi
sistem
dari
multipartai
dalam kerangka kerja desentralisasi karena
idealnya
dianalogikan
Parpol
begitu dan
di
tingkat
mudah diperintah
bahwa
lokal
dapat oleh
parpol di tingkat lokal. Sebagai contoh, demi meraih
pembangunan
dukungan massa, pemilihan calon
kekuatan parpol di tingkat lokal
parpol di tingkat lokal yang akan
dibentuk
dengan
berkompetisi dalam Pilkada tidak
Penisbian
didasarkan pada kapabilitas tiap bakal
dengan
calon yang telah mendaftar melalui
melanggengkan
DPW melainkan berdasarkan survey
sistem "money politic" karena hanya
popularitas. Pemilihan calon tersebut
dengan
kompensasi
juga akan sangat kental dengan
uang maka masyarakat akan tertarik
campur tangan kepentingan parpol di
untuk memilih partai politik yang
tingkat pusat. Krisis kepemimpinan
miskin citra tersebut.
parpol di tingkat lokal seperti ini
melalui
masyarakat hubungan
lokal. partai
masyarakat
kerja
akan
politik
menawarkan
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia
berakibat
destruktif.
61
Jika
sipil sehingga akan tercipta tuntutan-
keberlanjutan parpol di tingkat lokal
tuntutan kepada partai politik untuk
hanya didasarkan pada popularitas si
membuat program dan platform yang
pemimpin maka secara internal partai
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
tidak ubahnya sebagai mesin yang
(Angulo, 2012).
arah dan gerakannya akan sangat bergantung
pada
keinginan
pemimpin
tersebut.
si
Pemimpin
Kesimpulan Desentralisasi
politik
dan
popular yang kapabilitasnya rendah
kewenangan partai politik menjadi
tentu akan mempengaruhi kualitas
elemen
governance di tingkat lokal dan
mengevaluasi sistem kerja partai
secara signifikan dapat menciptakan
politik tersebut. Hingga sejauh ini,
hambatan-hambatan
dinamika kepartaian di tingkat lokal
dalam
konsolidasi demokrasi.
paling
penting
dalam
masih sangat didominasi oleh pusat.
Berbagai permasalahan demokrasi
Akibatnya
politik
di
daerah
dan desentralisasi di Indonesia akan
merupakan derivasi politik di Jakarta.
mengakibatkan
Kepengurusan
rendahnya
institusionalisasi
partai
partai
dengan
politik.
kewenangan yang desentralistik tidak
Terkait permasalahan ini Angulo
akan menciptakan sebuah demokrasi
(2012) memberikan solusi yang dapat
di tingkat lokal pada partai politik,
digunakan
karena praktik demokrasi internal
untuk
meningkatkan
institusionalisasi partai, antara lain:
partai
meningkatkan
klientelistik
akuntabilitas
yang
sangat
sentralistik,
serta
oligarkis.
horizontal; mentransformasikan DPD
Desentralisasi
kekuasaan
sebagai cabang partai di tingkat lokal
kewenangan dalam lingkup atau
yang mampu menjadi corong bagi
lokus politik kepartaian. Hubungan
aspirasi dan kepentingan daerah;
hirarki kepartaian masih bercorak
memisahkan
pemilihan
legislatif
patron-client
legislatif
nasional;
memperkokoh dominasi pusat atas
meningkatkan otonomi fiskal daerah;
daerah. Akibatnya partai politik di
lokal
dengan
meningkatkan kekuatan masyarakat
dan
dan
bersifat
62 Journal of Governance, Juni 2017
Volume 2, No. 1
daerah memiliki ketergantungan akut
mampu
memberikan
kontribusi,
terhadap pusat.
bukan hanya pada aspek penguatan
Gejala dependensi akut itu tentu
demokrasi, tetapi juga berkontrbusi
saja memberi pengaruh negatif bukan
pada aspek perwujudan tatakelola
saja terhadap situasi internal partai,
kekuasaan lokal yang lebih equal,
tetapi juga terhadap aspirasi dan
partisipatif, akuntabel dan responsif
kepentingan politik konstituen partai
sebagaimana
di daerah. Salah satu fenomena massif
Smith.
dibayangkan
oleh
dampak ketergantungan ini adalah menyangkut soal pencalonan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam
DAFTAR PUSTAKA Alfian. 1983. Pemilihan Umum dan
setiap kali perhelatan Pemilukada
Prospek
Demokrasi
di
digelar, dimana para calon yang
Indonesia,” dalam Demokrasi
muncul
dan Proses Politik, Jakarta:
seringkali
lebih
merepresentasikan kepentingan pusat
LP3ES.
hirarki partai daripada aspirasi dan kepentingan konstituen di daerah.
AlRasyid, M. Harun. 2010. Ancaman
Terkait problematika ini, penulis menawarkan
dua
jalan
keluar.
Politik dan Pemilu. Kedua melalui melalui
pemisahan
kategori
dan
dalam
Pemilu
dalam
Jurnal
September 2010.
lebih assertif mengenai desentralisasi
yang dituangkan di dalam UU Partai
Partai
Kybernan, Vol. 1, No. 2
Pertama melalui pengaturan yang
politik dan kewenangan partai politik
Oligarki
Ananta,
A.,
Arifin,
Suryadinata, Emerging
E. L.
N., 2005.
Democracy
in
Indonesia; Singapore.
jadual pelaksanaan kegiatan Pemilu, menjadi Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal.Dengan
dua
pilihan
jalan
Angulo, Joan Richart. 2010, dalam Seminar
kebijakan
keluar itu diharapkan nantinya partai
internasional (policy forum)
politik di daerah akan lebih leluasa
dengan tajuk "Desentralisasi
“berkreasi” secara politik sehingga
dan
Sistem
Kepartaian"
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia
63
yang diselenggarakan pada tanggal 10 Agustus 2010
Jurnal IDEA International. 2008. "Penilaian Demokratisasi di
bertempat di Ruang Seminar
lndonesia.pdf, disampaikan
MAP UGM.
pada forum untuk Reformasi Baswedan,
Anies
R.,
2008.
“Memerdekakan
Arena
Politik
dalam
Daerah”,
Demokratis. Kindleberger, Charles P., Maniacs, Panics, and Crashes. 1996. A
aniesbaswedan.blogspot.co
History of Financial Crises,
m, 14 Agustus 2008. Diakses
(New York : Johan Wiley &
pada 20:41 WIB, tanggal 25
Sons, Inc., edisi 3).
Maret 2016. Brian C, Smith. 2012. Desentralisasi, Dimensi
Teritorial Suatu
Negara, Terjemahan Tim
King,
D.Y.
2003.
Half-Hearted
Reform.
Electoral
Institutions and the Struggle for Democracy in Indonesia;
MIPI, Jakarta MIPI.
Westport, Connecticut and Efriza.
2012. Political Explore: Sebuah Kajian ilmu Politik, Bandung: Alfabeta.
London. The emergence of the Cartel Party; di dalam: Party Politics; 1(1); hal 5-28.
Haris, Syamsuddin (ed). 2007. Partai dan Parlemen Lokal Era Transisi
Demokrasi
di
Indonesia. Jakarta ; LIPI.
Kurniawan,
Syarif.
2008.
“Desentralisasi Otonomi Perspektif
Daerah
Dan Dalam
State-Society
Relation”, Jurnal Poelitik, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2008.
Cahyadi.
Kepemimpinan Politik Lokal (Telaah undang-undang no 23
Hidayat,
Robi
tahun
2014
pemerintahan
tentang daerah),
dalam Proceeding Seminar Nasional "UU Pemda: Solusi atau Masalah Yang Baru?" Bandar Lampung, 30 April 2015.
64 Journal of Governance, Juni 2017
Volume 2, No. 1
Liddle, R.W.(2003): New Patterns of Islamic
Politics
Democracies, Party Politic,
in
Vol
8,
No.
1,
Sage
Democratic Indonesia; di
Publication, London, Hal 5-
dalam:
29.
Asia
Program;
no.110; Woodrow Wilson International
Center
Romli,
Lili.
2008.
"Masalah
for
Kelembagaan Partai Politik
Scholars; Washington, D.C.;
di Indonesia Pasca-Orde
hal 4-13.
Baru". Jumal Polrtika. Vol 6 Tahun 2008
Mortimer, R. (1969): The Downfall of Indonesian Communism; di dalam: Miliband, R. / Saville,
J.(eds.):
The
Socialist Register; London; hal 189-217.
dalam John Markoff. 2002.
Dunia.
CCSS:
Demokrasi Pustaka
Pelajar. Randal, Vicky and Lars Svasand. 2002.
Pemilihan Umum Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah
dalam
Rangka
Penyelenggaraan
Nugroho, Heru (kata pengantar)
Gelombang
Sutisna, Agus. 2011. Analisis Konflik
Party
Institusionalization in New
Pemerintah Daerah Kota Cilegon Tahun 2010, Tesis, Jakarta : SPs Universitas Satyagama.