3. PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA Ramlan Surbakti
Pada tulisan berikut ini akan diketengahkan jawaban atas empat pertanyaan berikut. Pertama, apakah partai politik sudah ada di Indonesia? Kedua, apa kelemahan mendasar partai politik di Indonesia? Ketiga, bagaimana tingkat pelembagaan partai politik di Indonesia? Dan keempat, bagaimana mengembangkan partai politik di Indonesia? Partai politik belum ada? Untuk menjawab pertanyaan pertama diperlukan parameter tentang apa itu partai politik. Parlai politik dapat dikatakan merupakan representation of ideas atau mencerminkan suatu preskripsi tentang negara dan masyarakat yang dicita-citakan dan karena itu hendak diperjuangkan. Ideologi, platform partai atau visi dan misi seperti inilah yang menjadi motivasi dan penggerak utama kegiatan partai politik. Partai politik juga merupakan pengorganisasian warga negara yang menjadi anggotanya untuk bersamasama memperjuangkan clan mewujudkan negara dan masyarakat yang dicita-citakan tersebut. Karena itu partai politik merupakan media atau sarana partisipasi warga negara dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik dan dalam penentuan siapa yang menjadi penyelenggara negara pada berbagai lembaga negara di pusat dan daerah. Berdasarkan prinsip bahwa keanggotaan partai politik terbuka bagi sernua warga negara, sehingga para anggotanya berasal dari berbagai unsur bangsa, maka partai politik dapat pula menjadi sarana integrasi nasional. Dengan menggunakan ideologi partai sebagai pelita penunjuk arah, para pengurus dan aktivis partai berupaya menampung dan mengagregasikan aspirasi anggota, simpatisan, dan rakyat pada umumnya menjadi alternatif kebijakan publik untuk diperjuangkan kedalam lembaga legislatif dan eksekutif. Karena itu ideologi suatu partai ataupun ideologi yang dianut politisi dapat dikhat pada pola dan arah kebijakan yang diperjuangkannya dalam pembuatan APBN/APBD, pada pernyataan politik yang dikemukakan untuk menanggapi persoalan yang dihadapi negara-bangsa, pada respon yang diberikan terhadap aspirasi yang diajukan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat, pada pola dan arah peraturan perundang-undangan yang diperjuangkannya, dan pada sosok dan profile orang-orang yang diusulkan atau dipilihnya untuk menduduki berbagai jabatan kenegaraan di pusat dan daerah. Untuk memperjuangkan cita-cita partai dan aspirasi rakyat yang diagregasikan berdasarkan cita-cita partai itu, partai politik mencari dan mempertahankan kekuasaan di lembaga legislatif dan eksekutif melalui
pemilihan umum dan cara lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Untuk mendukung hal ini, partai politlik melakukan kaderisasi dan rekrutmen politik pada satu pihak dan menggalang dukungan politik (suara) dan materil (dana dan sarana) dari anggota clan simpatisan. Apapun sistem pemilihan umum yang dianut, partai politik peserta pemilu berperan dalam proses pencalonan anggota yang akan mengisi jabatan legislatif, eksekutif, bahkan judikatif. Fungsi rekrutmen politik ini begitu penting tidak saja dari segi legitimasi kewenangan tetapi juga untuk menjamin kualitas kepeminpinan bangsa pada berbagai lembaga kenegaraan di pusat dan daerah. Agar orang-orang yang direkrut kedalam berbagai posisi kenegaraan itu memiliki kualitas kepeminpinan yang diperlukan untuk melaksanakan jabatan itu, partai politik melakukan kaderisasi kepeminpinan baik dalam visi dan misi (ideologi) perjuangan partai maupun dalam bidang substansi yang sesuai dengan tugas kenegaraan. Untuk mendapatkan dukungan dari rakyat pada pemilihan umum, partai politik menawarkan tidak saja calon-calon yang dinilai ahli untuk jabatan publik di legislatif dan eksekutif tetapi juga alternatif kebijakan (program) untuk merespon aspirasi dan tuntutan berbagai kelompok masyarakat. Karena itu walaupun partai politik bukan satu~satunya yang dapat mengagregasikan kepentingan dari berbagai kalangan dalam masyarakat tetapi partai politikiah yang melakukan rekrutmen para peminpin kenegaraan di pusat dan daerah, partai politiklah yang menyeleksi dan menata pilihan-pilihan pada pemilihan umum (structuring electoral choices), partai politiklah yang mengorganisasi pemerintahan (walaupun kadarnya tergantung pada apakah menggunakan pemerintahan parlementer ataukah presidensial). Untuk mengorganisasi para warga negara yang menjadi anggotanya untuk mencapai citacita perjuangan partai, diperlukan sejumlah pengurus di berbagai tingkatan pemerintahan mulai dari ranting (desa/kelurahan), anak cabang (kecamatan), dan cabang sampai pada tingkat pusat. Karena posisi/jabatan pengurus yang tersedia terbatas sedangkan para anggota yang ingin menduduki jabatan itu sangat banyak, maka terjadilah persaingan dalam arena itu. Untuk mengisi jabatan daiam lembaga legislatif dan eksekutif, partai politik mempersiapkan para calon untuk ikut bersaing dalam pemilihan umum. Karena junilah posisi yang diperebutkan sedikit, sedangkan kader partai yang ingin menjadi calon sangat banyak, maka terjadi pula konflik dalam partai. Kedua hal ini dan berbagai isu yang harus diputuskan oleh suatu partai menyebabkan konflik tidak dapat dihindarkan. Sudah barang tentu yang dimaksudkan dengan konflik di sini dalam arti luas mulai dari perbedaan pendapat, perdebalan, dan persaingan sampai pada pertentangan kepentingan yang tidak berupa bentrokan pisik ataupun hujat-menghujat. Kesadaran bahwa partai politik merupakan lembaga konflik inilah yang tampaknya belum muncui sehingga pengurus partai politik tidak mengantisipasi hal itu dengan mekanisme pengaturan dan penyelesaian konflik. Karena masyarakat Indonesia pada umumnya dan pendukung suatu partai juga majemuk, maka aspirasi yang disampaikan kepada partai juga beragam, bahkan bertentangan satu sama lain. Petani menghendaki harga beras tinggi sedangkan orang kota menghendaki harga rendah, buruh menghendaki upah yang tinggi dan jaminan sosial yang memadai
sedangkan pengusaha menghendaki sebaliknya, dan sederetan contoh lain. Memadukan berbagai kepentingan yang beragam dan bertentangan tersebut menjadi alternatif kebijakan untuk diperjuangkan kedalam lembaga legislatif dan eksekutif itulah yang disebut fungsi agregasi kepentingan. Fungsi agregasi kepentingan seperti inilah yang menempatkan partai politik untuk berperan menyelesaikan konflik. Selain sebagai lembaga konflik clan yang menyelesaikan konflik, partai politik juga bertindak sebagai peserta konflik, yaitu ketika bersaing dengan partai politik lain dalam pemilihan umum ataupun ketika masing-masing fraksi sebagai alat partai melalui anggotanya di lembaga legislatif melaksanakan fungsi legislasi, anggaran, pengawasan, dan memilih atau mengajukan persetujuan terhadap satu atau lebih orang untuk menduduki jabatan publik. Apabila partai politik ingin berperan sebagai pihak yang dapat menyelesaikan konflik dalam masyarakat ataupun peserta konflik yang fair dalam pemilihan umum dan di dalam lembaga legislatif, maka partai politik seyogyanya juga mampu berperan sebagai lembaga konflik, yaitu mengatur dan menyelesaikan konflik secara internal melalui aturan main yang disepakati bersama dalam AD/ART. Aturan main seperti inilah yang nanti saya sebut sebagai demokrasi prosedural. Konflik internal yang begitu banyak dialami partai politik antara lain juga disebabkan oleh demokrasi prosedural yang belum dilembagakan. Begitu banyak konflik horizontal dan vertikal dalam masyarakat, termasuk yang berupa kekerasan, merupakan indikator ketidakberhasilan partai politik melaksanakan fungsi agregasi kepentingan alias menyelesaikan konflik dalam masyarakat. Dengan konseptualisasi partai politik seperti ini, apakah di Indonesia sudah ada partai politik yang memenuhi definisi dan ciri-ciri tersebut? Barangkali akan disebut sebagai penilaian ekstrim bila dikatakan belum ada partai politik yang hampir memenuhi rumusan tersebut tetapi juga akan terlalu jauh dari kenyataan bila dikatakan semua partai politik peserta pemilihan umum 1999 sudah memenuhi rumusan tersebut. Kelemahan internal dan eksternal Partai politik di Indonesia setidak-tidaknya mengandung tiga kelemahan utama, yaitu (1) ideologi partai yang tidak operasional sehingga tidak saja sukar mengidentifikasi pola dan arah kebijakan publik yang diperjuangkannya tetapi juga sukar membedakan partai yang satu dengan partai lain; (2) secara internal organisasi partai kurang dikelola secara demokratis sehingga partai politik lebih sebagai organisasi pengurus yang bertikai daripada suatu organisme yang hidup sebagai gerakan anggota; (3) secara eksternal kurang memiliki pola pertanggungjawaban yang jelas kepada publik. Uraian berikut ini merupakan penjabaran lebih lanjut ketiga kategori kelemahan partai politik tersebut. Menurut catatan terakhir [pada bulan Agustus 2002] terdapat 204 partai politik yang telah terdaftar sebagai badan publik di Departemen Kehakiman dan HAM. Sebagian dari partai ini mungkin hanya tinggal nama saja sedangkan pengurus dan anggotanya pindah ke partai lain. Bila ditinjau dari sejarah ideologi kepartaian di Indonesia sesungguhnya jumlah partai politik yang memiliki basis pendukung paling banyak antara 5 sampai 10 partai politik, yaitu partai-partai politik yang mempunyai basis ideologi keislaman dari
berbagai spektrum, ideologi nasionalisme dari berbagai spektrum, ideologi sosialisme dari berbagai spektrum, ideologi kekristenan dari berbagai spectrum, dan ideologi kedaerahan. Dari pengalaman Pemilu 1955 dan Pemilu 1999 juga dapat disimpulkan bahwa partai politik yang memiliki basis sosial yang kuat hanyalah lima partai politik. Bila demikian, mengapa jumlah partai politik begitu banyak dewasa ini? Salah satu faktor yang menjadi penyebab mengapa begitu banyak partai politik didirikan ialah kemunculan persepsi dan penilaian dari sebagian politisi bahwa partai politik yang sudah ada, khususnya yang telah memiliki kursi dalam jumlah memadai di DPR, tidak memiliki ideologi (platform partai) yang jelas. PDIP misalnya dianggap tidak mewakili ideologi nasionalisme-marhaen karena itu dibentuklah partai politik lain (lebih dari enam partai) yang diklaim lebih mencerminkan ideologi nasionalisme-marhaen. PBB dianggap tidak terlalu mencerminkan Masyumi sehingga dibentuklah sejumlah partai lain yang mengklaim diri penerus ideologi Masyumi. PKB dipersepsi tidak mewakili ‘ideologi’ Islam tradisional NU, karena itu didirikanlah sejumlah partai lain yang diklaim lebih mewakili ‘ideologi’ NU. Partai Golkar dipandang tidak lagi mengedepankan wawasan kebangsaan sehingga dibentuklah sejumlah partai lain yang berwawasan kebangsaan, dan lain sebagainya. Yang perlu dipertanyakan adalah apakah penilaian tentang ketidakjelasan ideologi partai politik ini benar? Karena ideologi partai (platform partai, visi dan misi partai) merupakan preskripsi suatu partai tentang negara dan masyarakat yang dianggap baik dan karena itu hendak diperjuangkan perwujudannya, maka apakah suatu partai politik, bahkan politisi, memiliki ideologi yang jelas atau tidak dapatlah dilihat bukan pada AD/ART dan pidato yang penuh retorika melainkan pada pola dan arah kebijakan publik yang diperjuangkannya, pada pernyataan politik yang dikeluarkan untuk merespon aspirasi berbagai kalangan masyarakat ataupun merespon permasalahan yang dihadapi bangsa, dan pada sikap dan posisi yang diambilnya dalam pembahasan peraturan perundangundangan di lembaga legislatif. Partai politik di Indonesia tampaknya belum dapat dibedakan secara jelas dari sejumlah indikator tersebut melainkan lebih dapat dibedakan dari sentiment kelompok saja. Partai politik di Indonesia lebih terkesan sebagai organisasi pengurus yang sering bertikai daripada organismne yang hidup karena dinamika partai sebagai gerakan anggota. Walaupun Pasal UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik mewajibkan setiap partai politik untuk "mendaftar dan memelihara daftar anggotanya", tidak banyak partai politik yang melaksanakan amanat UU tersebut. Hal ini terjadi tidak saja karena banyak anggota rnasyarakat yang enggan mendaftarkan diri sebagai anggota partai tetapi juga karena partai politik sendiri tidak melakukan berbagai upaya yang membangkitkan minat menjadi anggota partai politik. Insentif menjadi anggota partai polilik, seperti ikut menentukan siapa yang menjadi pengurus partai, ikut menentukan siapa yang menjadi calon partai untuk pemilihan anggota dewan ataupun kepala pemerintahan pada tingkat nasional dan daerah, ikut menentukan kebijakan partai dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dan dapat menyalurkan aspirasi melalui partai politik, kurang dijamin secara memadai. Karena partai politik tidak memiliki jumlah anggota yang jelas, maka yang terjadi kebanyakan berupa klaim jumlah anggota atau jumlah pendukung.
Tidaklah mengherankan apabila banyak pihak mendirikan partai politik karena yang diperlukan hanyalah klaim jumlah saja. Karena itu dalam UU Partai Politik yang akan datang perlu ditetapkan persyaratan jumlah anggota baik sebagai persyaratan mendirikan partai politik maupun unluk ikut serta dalam pemilihan umum. Bagaimana mungkin dapat disebut sebagai partai politik sebagai kekuatan rakyat bila tidak memiliki anggota dalam jumlah yang memadai? Fenomena peningkatan jumlah partai politik juga terjadi karena perpecahan atau sempalan dari partai politik yang sudah ada. Perpecahan yang terjadi dalam partai politik belakangan ini, dapat dikatakan tidak ada yang menyangkut perbedaan ideologi ataupun karena perbedaan pola dan arah kebijakan yang hendak ditempuh. Perpecahan yang berakhir dengan pembentukan partai baru ini terutama disebabkan oleh persaingan mendapatkan kedudukan -- di dalam partai ataupun kedudukan di lembaga legislatif dan eksekutif yang mewakili partai politik -- yang tidak diatur melalui mekanisme yang terbuka, kompetitif dan fair. Demokrasi prosedural dalam tubuh partai politik tidak hanya belum melembaga/mempola tetapi juga belum dirumuskan secara rinci. Demokrasi prosedural yang saya maksudkan ialah semacam peraturan tata tertib di DPR/D ataupun AD/ART pada setiap organisasi politik. Setiap partai politik memang sudah memiliki AD/ART tetapi dirumuskan begitu umum sehingga tidak mampu menjadi aturan main untuk menyelesaikan konflik yang muncul dalam suatu partai. Manakala terjadi konflik dan AD/ART tidak mampu menjadi aturan main menyelesaikan konflik tersebut, maka kasusnya dibawa kepada massa pendukung masing-masing dan kepada ketua umum partai. Karena AD/ART tidak mampu menjadi aturan main, maka ketua umum partai harus membuat penafsiran dan kebijaksanaan. Salah satu factor yang mempengaruhi Ketua umum membuat penafsiran dan kebijaksanaan itu ialah dukungan massa. Pengambilan keputusan oleh kepeminpinan dominan ini selalu berakhir dengan ‘politik membelah bambu’, yaitu yang satu diangkat (dimenangkan) yang lain dipijak (dikalahkan). Pihak yang dikalahkan jelas tidak dapat menerima keputusan tersebut, dan karena tidak ada alternatif lain, mereka membentuk partai politik baru untuk memperjuangkan suatu visi yang diyakini. Hal lain yang masih berkaitan dengan demokrasi prosedural ialah mekanisme pemilihan pengurus, hubungan pengurus pusat dengan pengurus cabang, dan mekanisme penentuan calon partai untuk pemilihan anggota lembaga legislatif dan pemilihan kepala daerah. Ketiga hal ini selalu menjadi isu hangat dalam setiap partai, dan selalu menjadi sumber konflik internal dalam suatu partai. Dalam UU tentang Partai Politik dikemukakan bahwa kedaulatan partai terletak pada tangan anggota. Karena anggota partai hanyalah para pengurus dan aktivis partai saja, sedangkan anggota pada tingkat ‘akar rumput’, cenderung dilibatkan hanya sebagai massa penggembira dan pendukung fanatik, maka pengambilan keputusan cenderung dibuat oleh para pengurus. Penentuan calon partai untuk ikut pemilihan anggota DPR/D ataupun pemilihan kepala daerah misalnya masih didominasi oleh sekelompok kecil pengurus. Tidaklah mengherankan bila lebih dari 50% anggota DPR sekarang berasal dari wilayah JABOTABEK, dan sebagian besar anggota DPRD provinsi juga berasal dari ibukota provinsi tersebut. Dewasa ini telah muncul tuntutan di berbagai daerah agar dalam UU Pemilu dibuat ketentuan yang tidak hanya
membuat persyaratan domisili bagi calon yang mewakili suatu daerah tetapi juga calon setiap partai harus dipilih oleh anggota partai di daerah yang bersangkutan. UU tentang pemerintahan daerah telah memberikan kewenangan yang sangat luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan daerah sendiri dalam bidang dan jenis kewenangan yang diberikan kepada daerah ybs. Akan tetapi hubungan pengurus pusat dan pengurus cabang justeru masih sangat sentralistik, bahkan bagi banyak partai yang dimaksud dengan pengurus pusat hanyalah ketua umum, sehingga tidaklah mengherankan bila cabang-cabang partai politik di daerah tidak saja kurang memiliki basis lokal tetapi juga mengalami kebingungan harus mengikuti suara partai ataukah suara pengurus. Kalau UU Parpol membuka kemungkinan mendirikan partai lokal, bukan tidak mungkin jumlah partai lokal juga akan sangat banyak sekali karena pengurus pusat partai dinilai lebih mengutamakan kepentingan orang-orang pusat daripada orang-orang daerah. Karena itu dalam partai politik juga harus dilakukan desentralisasi dalam sejumlah bidang kegiatan partai. Mengelola partai politik jelas memerlukan dana yang besar baik untuk membiayai kegiatan partai sehari-hari maupun terutama untuk keperluan kampanye pemilihan umum. Karena itu partai politik niscaya harus mencari dana baik dari iuran anggota maupun kontribusi para simpatisan. Tidaklah mengeherankan bila partai politik acapkah juga disebut sebagai sarana mencari dana. Akan tetapi partai politik dinilai tidak memiliki akuntabilitas publik yang jelas. Partai politik sebagai sarana mencari dana sudah barang tentu tidak berlaku bagi semua partai politik karena bila tidak memiliki kursi dalam jumlah yang memadai dalam DPR/D tentu tidak memiliki sarana untuk mempengaruhi pihak lain. Baik UU tentang Parpol maupun UU Pemilu sudah mengatur jenis, asal/sumber, dan jumlah penerimaan dana. Sebagai badan publik partai politik diwajibkan oleh UU Parpol untuk melaporkan penerimaan dan penggunaan dana setiap akhir tahun kepada Mahkamah Agung. Kita perlu menanyakan kepada Mahkamah Agung partai politik apa sajakah yang sudah melaporkan daftar penerimaan dan laporan keuangannya kepada Mahkamah Agung, dan kalau sudah ada, apakah MA sudah menunjuk akuntan publik untuk mengaudit daftar penerimaan dan laporan partai torsebut. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh sejumlah media ternyata hanya dua partai politik yang sudah menyampaikan laporan keuangannya kepada Mahkamah Agung tetapi itupun untuk tahun anggaran 2000. Dengan kasatmata masyarakat mengetahui pelaksanaan sejumlah kegiatan partai yang jelas menghabiskan anggaran yang besar tetapi sumber dana partai politik peserta pemilu tidak transparan. Akibatnya publik tidak dapat mengetahui apakah yang dilakukan oleh suatu partai politik di lembaga legislatif dan eksekutif berhubungan langsung ataukah tidak dengan kepentingan penyumbang dana terbesar bagi partai tersebut. Konsekuensinya, juga tidak akan diketahui apakah yang rnemegang kedaulatan partai itu para pengurus ataukah penyandang dana?
Tingkat pelembagaan Cara lain untuk mengidentifikasi kelemahan partai politik di Indonesia adalah melakukan asesmen terhadap tingkat pelembagaan yang telah berlangsung dalam suatu partai politik. Yang dimaksud dengan pelembagaan partai pofitik ialah proses pemantapan partai politik baik secara struktural dalam rangka mempolakan perilaku maupun secara kultural dalam mempolakan sikap atau budaya (the process by wich the pary becomes established in terms of both integrated patters on behavior and of attitudes and culture). Proses pelembagaan ini mengandung dua aspek, yaitu aspek internal-eksternal, dan aspek struktural-kultural. Bila kedua dimensi ini dipersilangkan, maka akan tampak sebuah tabel empat sel, yaitu (1) derajad kesisteman (systemness) suatu partai sebagai hasil persilangan aspek internal dengan struktural, (2) derajad identitas nilai (value infusion) suatu partai sebagai hasil persilangan aspek internal dengan kultural, (3) derajad otonomi suatu partai dalam pembuatan keputusan (decisional autonomy) sebagai hasil persilangan aspek eksternal dengan struktural, dan (4) derajad pengetahuan atau citra publik (reification) terhadap suatu partai politik sebagai persilangan aspek eksternal dengan kultural.1 Dimensi Kepartaian Struktural Kultural
Internal Kesisteman Identitas Nilai
Eksternal Otonomi Keputusan Citra pada Publik
Kesisteman dalam partai politik Yang dimaksudkan dengan kesisteman adalah proses pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik, termasuk penyelesaian konflik, dilakukan menurut aturan, persyaratan, prosedur, dan mekanisrne yang disepakati dan ditetapkan dalam AD/ART partai politik. Derajad kesisteman suatu partai bervariasi menurut: (a) asal-usul partai politik, yaitu apakah dibentuk dari atas, dari bawah, atau dari atas yang disambut dari bawah; (b) siapakah yang lebih menentukan dalam partai: seorang peminpin partai yang disegani ataukah pelaksanaan kedaulatan anggota menurut prosedur dan mekanisme yang ditetapkan oleh organisasi sebagai suatu kesatuan; (c) siapakah yang menentukan dalam pembuatan keputusan: faksi-faksi dalam partai ataukah partai secara keseluruhan; dan (d) bagaimana partai memelihara hubungan dengan anggota dan simpatisan, yaitu apakah dengan klientelisme (pertukaran dukungan dengan pemberian materi) ataukah menurut konstitusi partai (AD/ART). Titik terlemah partai politik di Indonesia adalah belum ada kesisteman dalarn suatu partai. Kebanyakan partai politik, termasuk partai politik yang telah memenuhi ketentuan electoral threshold, memiliki derajad kesisteman yang rendah karena keempat indikator tersebut, tetapi terutama karena peran peminpin partai lebih dominan daripada kedaulatan anggota (b) dan kepentingan faksi, kelompok dan golongan lebih dominan daripada kepentingan partai sebagai organisasi. Peminpin yang dominan dalam suatu partai politik tidaklah dengan sendirinya buruk. Peran peminpin dominan akan menimbulkan akibat 1
Sumber: Vicky Randall dan Lars Svasand, dalam jurnal Party Politics, Vol. 8, no 1. Januari 2002.
buruk apabila sang peminpin menggunakan kharismanya untuk melanggengkan dominasinya, sedangkan peran dominan peminpin akan menimbulkan akibat yang positif bila sang peminpin menggunakan kharismanya membangun kesisteman dalam partai. Faksi, dan pengelompokan di dalam partai juga tidak dengan sendirinya buruk. Bila pengelompokan di dalam partai terbentuk atas dasar primordial, maka pengelompokan akan merusak solidaritas partai karena akan menimbulkan konflik zero-sum (yang menang mendapatkan semuanya, yang kalah tidak mendapatkan apa-apa). Akan tetapi bila pengelompokan berdasarkan perbedaan orientasi (pola dan arah) kebijakan, maka pengelompokan itu justeru akan mendinamiskan partai karena konflik yang timbul justeru non zero sum (menang-menang alias semua kelompok menang). Untuk membangun kesisteman dalam setiap partai politik dapat ditempuh dengan ‘pasal’ (undang-undang) tetapi dapat pula ditempuh dengan ‘pasar’ (diserahkan pada penilaian warga masyarakat). Dalam rangka membangun kesisteman ini, pada UU Partai Politik perlu dimuat ketentuan yang mengharuskan setiap partai politik merumuskan AD/ART secara mendetail, dan ketentuan yang memuat jenis keputusan perihal apa saja yang harus diputuskan melalui rapat anggota. Setidak-tidaknya tiga isu harus diputuskan melalui mekanisme rapat anggota sesuai dengan tingkatannya, yaitu (a) penentuan pengurus partai politik pada semua tingkatan, (b) penentuan calon partai politik untuk jabatan legislatif (DPR dan DPRD), eksekutif (Presiden/Wakil Presiden, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah) dan jabatan publik lainnya, dan (c) penentuan kebijakan partai politik mengenai peraturan perundang-undangan, dan kebijakan publik pada umumnya. Setiap partai politik harus berangkat dari kerangka berpikir bahwa konflik niscaya akan terjadi dalam partai politik, setidak-tidaknya dalam ketiga isu yang disebutkan di atas. Karena itu partai politik dari sononya memang merupakan wadah konflik atau wadah mengatur dan menyelesaikan konflik setidak-tidaknya dalam ketiga isu tersebut. Bila mencermati peran eksternal partai politik, maka dapat disimpulkan bahwa partai politik juga merupakan peserta konflik dalam pemilihan umum dan dalam pembuatan keputusan di lembaga legislatif. Bahkan dari fungsinya, partai politik berfungsi menampung clan mengaggregasikan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan menjadi suatu alternatif kebijakan publik. Dengan melaksanakan fungsi agregasi kepentingan ini, partai politik berarti juga berperan sebagai pihak yang menyelesaikan konflik. Identitas nilai partai politik Identitas nilai ini berkaitan dengan identitas partai poilitik berdasarkan ideologi atau platform partai, dan karena itu berdasarkan basis sosial pendukungnya, dan identifikasi anggota terhadap pola dan arah perjuangan yang diperjuangkan partai politik tersebut. Karena ilu derajad identitas nilai suatu partai politik berkaitan dengan (a) hubungan partai dengan kelompok populis tertentu (popular bases), yaitu apakah suatu partai politik mengandung dimensi sebagai gerakan sosial yang didukung oleh kelompok populis tertentu, seperti buruh, petani, kalangan masyarakat tertentu, komunitas agama tertentu, komunitas kelompok etnik tertentu, dan (b) pengaruh klientelisme dalam organisasi, yaitu apakah hubungan partai dengan anggota cenderung bersifat instrumentalis (anggota selalu mengharapkan tangible resources berupa materi dari partai) ataukah lebih bersifat
ideologis (anggota mengenal dan mengharapkan partai bertindak berdasarkan identifikasi terhadap ideologi partai). Partai politik yang mempunyai basis sosial pendukung yang spesifik niscaya akan memiliki identitas nilai yang jelas. Partai buruh sesuai dengan namanya jelas memiliki basis sosial pendukung yang jelas buruh karena pola dan arah perjuangan partai itu memperhatikan kepentingan buruh, dan Partai Republik di Amerika Serikat memiliki basis sosial pendukung yang jelas, yaitu kulit putih menengah ke atas beragama Protestan. Enam partai politik peserta pemilu yang 1999 yang berhasil memenuhi ketentuan electoral threshold, memang sudah memiliki ciri ideologi yang dikenal masyarakat, seperti nasionalisme/kebangsaan untuk PDIP dan Partai Golkar, Islam untuk PPP, NU untuk PKB, dan Muhammadiyah untuk PAN. Akan tetapi pola dan arah program kebijakan publik yang diperjuangankannya belum jelas sehingga perbedaan diantara partai politik tersebut juga tidak jelas. Karena itu, masih sukar mengkategorikan basis social pendukung setiap partai politik di Indonesia. Derajad otonomi partai politik Derajad otonomi suatu partai politik dalam pembuatan keputusan berkaitan dengan hubungan partai dengan aktor luar partai baik dengan sumber otoritas tertentu (penguasa, pemerintah), maupun dengan sumber dana (pengusaha, penguasa, negara atau lembaga luar) dan sumber dukungan massa (organisasi masyarakat): (a) apakah partai tergantung kepada aktor luar tersebut ataukah hubungan itu bersifat saling tergantung (interdependen), dan (b) apakah keputusan paitai ditentukan oleh aktor luar ataukah hubungan itu berupa jaringan (linkage) yang memberi dukungan kepada partai. Hubungan Golkar dengan penguasa pada masa Orde Baru adalah hubungan ketergantungan, yaitu keputusan Golkar ditentukan oleh presiden untuk tingkat nasional, oleh gubernur untuk tingkat provinsi, dan bupati/walikota untuk tingkat kabupaten/kota. Hubungan Golkar dengan unsur ABRI, birokrasi merupakan hubungan saling mendukung, sedangkan AMPI dan berbagai organisasi yang berafiliasi dengan Golkar tergantung kepada Golkar. Bagaimanakah hubungan suatu partai politik dengan pengusaha penyandang dana: siapa yang menentukan siapa? Derajad pengetahuan publik tentang partai politik Derajad pengetahuan publik tentang partai politik merujuk pada pertanyaan apakah keberadaan partai politik tersebut telah tertanam pada imajinasi publik. Bila keberadaan partai politik tertentu telah tertanam pada imajinasi publik, maka pihak lain baik para individu maupun lembaga akan menyesuaikan aspirasi dan harapan ataupun sikap dan perilaku mereka dengan keberadaan partai politik tersebut. Derajad pengetahuan publik ini merupakan fungsi dari waktu dan kiprah partai tersebut. Makin tua umur suatu partai politik makin jelas citra atau pengetahuan publik mengenai partai tersebut. Makin luas dan mendalam kiprah suatu partai dalamn percaturan politik clan penyelenggaraan negara, makin mudah bagi kalangan masyarakat untuk mengetahui partai politik tersebut. Pengetahuan publik tentang partai Golkar dan PPP jelas lebih mendalam daripada pengetahuan public tentang PDIP, apalagi PAN, PKB dan PBB. Akan tetapi karena di sejumlah daerah PDIP menjadi memperoleh jumlah suara secara signifikan, bahkan pada tingkat nasional ketua umum PDIP menjadi presiden, maka pengetahuan publik tentang
PDIP juga makin jelas. Yang menjadi isu utama di sini bukan terutama tentang sikap masyarakat mengenai partai politik pada umumnya melainkan apa definisi masingmasing partai politik itu bagi masyarakat. Partai politik yang hendak dikembangkan Partai politik macam apakah yang perlu dikembangkan di Indonesia? Jawaban atas pertanyaan ini dapat mencakup banyak dimensi. Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Kompas pada tanggal 26 juli 2002 muncul sejumlah pendapat yang berangkat dari berbagai dimensi partai politik. Pertama, partai politik yang dikehendaki terbentuk dan berkembang di Indonesia adalah partai politik yang dapat dikontrol oleh rakyat. Partai politik yang dapat dikontrol oleh rakyat adalah partai politik yang (a) dibentuk bukan dari kalangan parlemen melainkan dari kalangan masyarakat sebagai suatu gerakan rakyat, (b) partai politik yang mempunyai basis lokal yang jelas dan kuat, (c) dibentuk berdasarkan kepedulian yang sama pada satu atau lebih isu penting, (d) dari segi keuangan tergantung kepada iuran dan kontribusi para anggota, dan (e) para pengurus dan calon partai untuk lembaga legislatif dan eksekutif dipilih secara langsung, terbuka, dan kompetitif oleh para anggota. Kedua, sistem kepartaian yang dipandang cocok dan sesuai dengan kemajemukan masyarakat Indonesia tetapi pada pihak lain dapat menghasilkan pemerintahan yang efektif adalah sistem kepartaian pluralisme moderat yang ditandai oleh jumlah partai yang tidak terlalu banyak tetapi juga tidak terlalu sedikit dan jarak ideologi antar partai juga tidak terlalu jauh sehingga konsensus masih mungkin dicapai. Bagaimana mewujudkan sistem kepartaian pluralisme moderat ini? Untuk mewujudkan sistem kepartaian seperti ini terbuka tiga alternatif pendekatan: (a) dengan cara Orde Baru, yaitu menetapkan hanya sekian jumlah partai politik yang dapat berkiprah, (b) secara alamiah tanpa melakukan ‘intervensi’ dalam bentuk apapun juga, dan (c) melakukan seleksi berdasarkan kriteria ataupun persyaratan dukungan rakyat yang ditetapkan dalam undang-undang. Pendekatan pertama dianggap tidak demokratik, sedangkan pendekatan kedua sangat demokratik tetapi memerlukan waktu yang sangat lama untuk mencapai system kepartaian yang dikehendaki. Pendekatan ketiga dipandang lebih tepat untuk mencapai system kepartaian tersebut karena selain bersifat selektif berdasarkan kriteria dan persyaratan dukungan rakyat yang disepakati bersama dalam undang-undang juga relatif lebih cepat mencapai system kepartaian yang dikehendaki bersama. Kriteria dan persyaratan itu dapat berupa persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum dan/atau electoral threshold yang diberlakukan di depan, yaitu persyaratan jumlah suara minimal yang harus dicapai untuk dapat memasuki parlemen. Ketiga, partai politik yang dikelola oleh para peminpin dan aktivis yang memahami demokrasi: (1) merupakan upaya memanusiakan kekuasaan (humanizing power), dan (2) bukan sekedar kompetisi tetapi juga kompetensi, dan yang mengelola partai politik (a) tidak dengan pragmatisme yang berdampingan sektarianisme kental melainkan dengan dengan visi dan misi memanusiakan penggunaan kekuasaan, (b) sebagai sarana
pencerahan masyarakat, dan (c) dengan moralitas publik yang jelas sehingga dengan tegas menolak praktek KKN. Dan keempat, yang dikehendaki terbentuk dan berkembang di Indonesia bukan saja partai politik yang merasa memerlukan dan tergantung kepada masyarakat tetapi juga partai politik yang tidak memonopoli: (a) definisi kepentingan bersama sebagai bangsa melainkan bersedia berdialog dengan kalangan ranah masyarakat warga dan ranah dunia usaha untuk menyepakati apa yang menjadi kepentingan bersama, (b) ranah kekuasaan (legislatif, eksekutif, judikatif, dan lembaga-lembaga negara lainnya) sehingga yang dapat berkiprah pada ranah kekuasaan tidak hanya orang-orang yang dipersiapkan dan diajukan partai politik tetapi juga oleh calon-calon yang dipersiapkan dan diajukan oleh masyarakat sendiri, (c) informasi publik, seperti agenda dan rancangan peraturan perundang-undangan yang akan dibahas dan diputuskan, dan penerimaan dan pengeluaran partai, melainkan bertinclak transparan kepada publik dengan membuka akses kepada publik seluas mungkin untuk berinteraksi dengan partai politik tersebut.