MENGGALI HUKUM KEWARISAN ISLAM DALAM TATA PERUNDANG-UNDANGAN PERADILAN AGAMA Oleh: Ali Muhtarom, S.H.I, M.H.I.1
A. Pendahuluan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. dinilai banyak kalangan banyak membawa perubahan yang sangat signifikan, baik mengenai eksistensi struktur keberadaan Peradilan Agama dengan jajaran lembaga negara lainnya, maupun mengenai materimateri kompetensi yang di-emban oleh Peradilan Agama. Pemantapan eksistensi Peradilan Agama secara struktural dapat dilihat dari munculnya Undang-Undang yang mendahuluinya yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai Undang-Undang organik atas Pasal 24 UUD 1945 pasca amandemen dengan menetapkan sistem satu atap (one roof system), yang berbunyi: Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berkaitan dengan proses penyelesaian perkara kewarisan bagi umat Islam pasca berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tersebut, harus diselesaikan di Pengadilan Agama, sehingga tidak ada hak opsi lagi. Sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 paragraf kedua yang berbunyi: Dalam kaitannya dengan perubahan undang-undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: “Para pihak sebelum beperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus. Konsekwensi logis berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tersebut adalah Pengadilan Agama mempunyai kewenangan absolut atas penyelesaian sengketa waris yang subyek hukumnya adalah orang yang beragama Islam dan semua materi hukum kewarisan akan tunduk pada materi hukum yang ada di lingkungan Peradilan Agama. Namun demikian yang menjadi pertanyaan adalah mampukah materi-materi hukum di lingkungan Peradilan Agama tersebut menjawab segala permasalahan sengketa waris bagi masyarakat Islam Indonesia, yang sebelumnya terkontruksi pada dua pilihan hukum (opsi) tersebut, mengingat pada masa-masa sebelumnya penolakan kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa waris disebabkan kurang adanya kesesuaian kultur dengan budaya masyarakat Indonesia. Sehingga dalam hal ini, timbul beberapa tuntutan yang harus terpenuhi pada materi hukum tersebut; Pertama, Materi hukum waris di lingkungan Peradilan Agama harus mampu mewadahi kepentingan dan kebutuhan kultur masyarakat Indonesia yang cenderung bersifat bilateral. Kedua, Materi hukum kewarisan Islam yang digunakan dalam mengambil ijtihad pemutusan sengketa waris di Peradilan Agama harus bisa 1
Hakim Pengadilan Agama Tanjung Redeb, Kaltim.
1
meng-cover materi hukum yang ada di Peradilan Negeri sebagai jawaban atas hilangnya hak opsi. Ketiga, Peradilan Agama harus mempunyai banyak pilihan materi hukum (hukum materiil) khususnya tentang kewarisan yang digunakan memperkaya literatur pertimbangan hukum. B. Penerapan Hukum Kewarisan di Lingkungan Peradilan Agama dalam Lintas Sejarah Hukum kewarisan Islam secara legal formal berjalan seiring dengan sejarah perkembangan lembaga peradilan yang berlaku di Indonesia. Lembaga yang melaksanakan fungsi peradilan agama sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam berdiri, namun pada waktu itu kekuasaan sebagai hakim (qadhi) umumnya dilakukan oleh raja atau sultan yang sedang berkuasa, khususnya untuk perkara-perkara yang menyangkut agama. Dalam operasionalisasinya selalu ada pemuka-pemuka agama yang bertugas secara khusus untuk urusan mu’amalah dan muhkamah meliputi perkawinan, talak, rujuk, iddah, waris mewaris dan sebagainya. Oleh karenanya seorang Sultan biasanya akan menunjuk Ulama atau pemuka agama untuk melakukan fungsi tersebut. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada kesultanan Aceh, kerajaan Pasai, Pagaruyung, Demak, Mataram, Jambi dan sebagainya. Walapun pada masa itu secara tertulis yuridis Peradilan Agama belum ada, tetapi secara praktis penyelesaian yang diberikan secara tahkim dari umat Islam pada pemuka agama di daerahnya masing-masing telah dapat merasakan manfaatnya oleh masyarakat.2 Dasar untuk memutus suatu perkara biasanya dikaitkan dengan Al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab fiqh yang telah disusun oleh para Fuqaha (orang yang ahli dalam ilmu fiqh). Di samping itu juga didasarkan pada hukum adat sebagai hukum yang hidup (living law) yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Istilah hukum adat yang dijadikan sebagai sumber hukum ini dalam Islam dikenal dengan Urf. Kedatangan Belanda (VOC) ke Indonesia yang tujuan utamanya hanya untuk berdagang ternyata juga berimplikasi terhadap lembaga Peradilan Agama yang telah ada pada waktu itu. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda atau tepatnya tahun 1882 keluarlah ordonantie Stbl.1882-152 tentang Peradilan Agama di pulau JawaMadura.3 Pemerintah kolonial Belanda dengan Stbl. 1882-152 mengistilahkan lembaga peradilan agama dengan istilah priesterraad yang artinya peradilan pendeta. Hal ini dilakukan karena mereka mengasumsikan bahwa para ulama yang menjalankan kekuasaan kehakiman di bidang hukum perdata sama saja dengan pendeta yang selama ini mereka kenal. Namun demikian dalam Stbl. 1882-152 tersebut tidak ditentukan wewenang Peradilan Agama, sehingga kewenangannya tetap berlaku sebagaimana yang telah ada sebelumnya. Pada waktu itu kewenangan Peradilan Agama terkadang berbenturan dengan Peradilan Negeri karena memang disengaja dibuat tidak jelas oleh pemerintah jajahan, sebab pemerintah jajahan sejak semula memang sangat khawatir terhadap hukum Islam. Hal ini disebabkan karena hukum Islam dinilai bertentangan dengan agama mereka, juga merupakan hukum yang sebagian besar dianut oleh bangsa Indonesia. Oleh karenanya, menurut mereka memberikan hak hidup bagi hukum Islam sama artinya memberikan peluang hidup terhadap hukum bangsa Indonesia.
2 3
Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta; Pustaka Jaya) hal. 4 Raihan A. Rasyid, 2003, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta; PT Raja Grafindo) hal. 1
2
Apa yang terjadi dalam peradilan agama ini didukung dan dipengaruhi oleh teori yang berkembang pada waktu itu, yaitu teori receptio in complexu,4 yang dikemukakan oleh Van den Berg dan teori receptie yang dikemukakan oleh Snouck hurgronje dan Van Vollenhaven. Berdasarkan pada teori receptio in complexu, bahwa yang diterima oleh orang Islam Indonesia tidak hanya bagian-bagian hukum Islam tetapi keseluruhannya sebagai satu kesatuan.5 Maka Peradilan Agama atau raad agama pada awal berdirinya berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutus seluruh sengketa keperdataan yang dialami oleh umat Islam. Sedangkan teori receptie yang dicetuskan oleh Christian Snouck Hurgronje (1857 – 1936) seorang penasehat Pemerintah Hindia Belanda urusan Islam dan Bumi Putera, adalah upaya menentang teori receptio in complexu, yang dikemukakan Van den Berg tersebut di atas. Berdasarkan penyelidikannya terhadap orang-orang Aceh dan Goya di Banda Aceh, ia berpendapat bahwa yang berlaku bagi orang Islam di kedua daerah itu bukanlah hukum Islam, tetapi hukum adat. Pada hukum adat yang berlaku memang telah terpengaruh hukum Islam, tetapi pengaruh itu baru mempunyai kekuaran hukum kalau benar-benar diterima oleh hukum adat.6 Dengan munculnya teori receptie tersebut menyebabkan Peradilan Agama mulai dikurangi kewenangannya, misalnya Peradilan Agama tidak lagi berwenang menerima, memeriksa, dan memutus sengketa dibidang kewarisan (faraid) yang dialami oleh umat Islam. Perubahan kewenangan ini didasarkan pada perubahan Pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling pada tahun 1937 dibatasi melalui pasal 2a Ordonansi Peradilan di Jawa – Madura Staatsblad 1937 Nomor 116 yaitu hanya berwenang mengenai masalah perkawinan, sedangkan perkara kewarisan dicabut dan diserahkan pada Peradilan Umum.7 Selain itu putusan yang dikeluarkan oleh hakim-hakim di Peradilan Agama ternyata juga tidak dapat secara langsung dilaksanakan, melainkan memerlukan adanya fiat eksekusi (executor verklaring) dari Ketua Pengadilan Negeri (Landraad). Pada kenyataanya sisa-sisa peninggalan pemerintahan kolonial Belanda di bidang Peradilan Agama ini masih ada di zaman awal kemerdekaan, khususnya yang berkait dengan diperlukannya fiat eksekusi (executor verklaring) dari Ketua Pengadilan Negeri terhadap putusan yang dikeluarkan oleh hakim-hakim Peradilan Agama. sehingga dapat dinilai bahwa kedudukan Peradilan Agama pada waktu itu adalah subordinatif terhadap peradilan umum (peradilan negeri), sehingga keberadaannya tidak memiliki kemandirian dalam hal melaksanakan fungsi dan peran yang dimilikinya. Hal ini terus berlangsung sampai dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 mengatur tentang Mahkamah Syari’ah Kabupaten dan Mahkamah Syari’ah Propinsi untuk daerah luar Jawa-Madura dan sebagian Kalimantan. Pada Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah tersebut dinyatakan: Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah memeriksa dan memutus perselisihan antara suami istri yang beragama Islam dan segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan nikah, 4
Istilah receptio atau receptie dalam kepustakaan hukum mengandung arti bahwa norma hukum tertentu atau seluruh aturan hukum tertentu diambil alih dari perangkat hukum yang lain. Dalam hubungan ini menurut sejarah hukum Eropa, resepsi telah dilakukan oleh hukum Romawi sebelumnya dan hukum Romawi telah direpsesi pula oleh hukum banyak negara di Eropa, ada yang banyak ada pula yang sedikit (sebagian) 5 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), (Jakarta; Rajawali Press) Hal. 242 6 Ibid, hal 243 7 Idris Djakfar, dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Op Cit, hal. 6
3
talak, fasakh, nafkah, mas kawin (mahar), tempat kediaman (maskan) dan sebagainya, hadlanah, perkara waris mal waris, wakaf, hibah, sadaqah, baitul mal dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat ta’liq sudah berlaku. Pasal ini mengungkapkan bahwa kewenangan perkara kewarisan dimiliki oleh Pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura. Namun hal tersebut telah menimbulkan persoalan sehubungan dengan masalah “wewenang untuk mengadili”, karena persengketaan mengenai harta waris adalah juga merupakan wewenang Pengadilan Negeri untuk mengadilinya. Oleh karena itu dalam masalah kewarisan, Pengadilan Agama waktu itu biasa memberi fatwa saja, yang disebut dengan fatwa waris.8 Pada tataran hukum materiil, secara jelas terdapat perkembangan yang cukup signifikan dalam rangka menggantikan sistem hukum kolonial menjadi hukum nasional. Sebagai contoh adalah diundang-undangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Maka dengan adanya undang-undang ini, sepanjang mengenai perkara perkawinan yang terdapat dalam Buku 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang orang (van personen recht) dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian dalam hukum telah terdapat suatu unifikasi hukum, sehingga setiap orang yang ingin melakukan perbuatan hukum dibidang perkawinan harus melihat ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berbeda dengan hukum perkawinan tersebut, hukum kewarisan justru belum mendapatkan tempat yang layak dalam sistem perundang-undangan di lingkungan Peradilan Agama. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya undang-undang khusus kewarisan sebagaimana tentang perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut. Sehingga proses penyelesaian perkara waris, khususnya bagi umat Islam masih mengikuti undang-undang hukum perdata di lingkungan Peradilan Umum. Perkara waris tersebut mulai mendapatkan perhatian setelah diberlakukan UndangUndang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam undang-undang tersebut Peradilan Agama berwenang menangani sengketa perkawinan, kewarisan, wasit, hibah, wakaf dan shadaqah bagi. Namun demikian penyelesaian perkara waris bagi umat Islam masih diberlakukan proses pemilihan hukum (hak opsi), yaitu hak untuk memilih sistem hukum yang dikehendaki para pihak beperkara sebagai acuan hukum yang akan diterapkan dalam penyelesaian suatu perkara.9 Dalam hal ini penyelesaian perkara waris dapat dipilih untuk diselesaikan di Peradilan Umum atau di Peradilan Agama. Kewenangan terhadap penyelesaian perkara waris di lingkungan Peradilan Agama dapat terealisasikan secara sempurna adalah setelah diundang-undangkannya UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dan dengan berlakunya undang-undang tersebut, penyelesaian perkara waris bagi umat Islam harus di putus dan diselesaikan di lembaga Peradilan Agama. C. Hukum Waris Pasca berlakunya No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UndangUndang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang No. 3 Tahun 2006 juga memberikan perluasan kewenangan Peradilan Agama, dimana sebelumnya hanya menangani sengketa di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah. Maka ditambah menangani
8 9
Wantjik Saleh, Kehakiman dan Peradilan (Jakarta; Ghalia Indonesia, 1977) hal. 71 Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) hal 73
4
sengketa zakat, infaq dan ekonomi syari’ah. Sebagaimana dituangkan dalam perubahan pasal 49 yang berbunyi: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan; b. Waris; c. Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f. Zakat; g. Infaq; h. Shadaqah; dan i. Ekonomi Syari’ah. Dengan adanya penegasan tentang perluasan kewenangan Peradilan Agama tersebut, dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada Peradilan Agama dalam menyelesaikan perkara tertentu. Termasuk pelanggaran atas undang-undang tentang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syari’ah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qanun (bagi daerah tertentu). Sehingga dalam pasal 2 istilah “perdata tertentu” dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 diubah menjadi “perkara tertentu” dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Penghapusan kata “perdata” tersebut mengandung pengertian bahwa tidak hanya perkara perdata saja yang menjadi kompetensi Pengadilan Agama, tetapi juga termasuk di dalamnya adalah perkara pidana yang berdasarkan syariat Islam seperti yang berlaku di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Khusus dalam bidang kewarisan, Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 telah memberikan kekuasaan dan kewenangan penuh terhadap Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa waris bagi umat Islam. Hal ini ditandai dengan dihapuskanya pilihan hukum penyelesaian perkara waris baik di Peradilan Agama atau Peradilan Umum. Sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 paragraf kedua yang berbunyi: Dalam kaitannya dengan perubahan undang-undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: “Para pihak sebelum beperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus. Dan pernyataan tersebut dikuatkan dengan Pasal 50 ayat (1) dan (2) UU No. 3 Tahun 2006, yang berbunyi: 1. Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai obyek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. 2. Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49. Dalam hal ini Prof. Dr. Abdul Ghafur Al-Anshori menilai bahwa hukum waris yang berlaku adalah berdasarkan agama pewaris. Jadi bukan berdasarkan agamanya para ahli waris. Apabila pewaris beragama Islam, maka hukum waris yang berlaku adalah hukum waris Islam. Begitu juga jika pewarisnya beragama selain Islam, maka hukum waris yang berlaku mengikuti agama pewaris tersebut. 10
10
Abdul Ghafur al-Anshari, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006. (Yogyakarta; UII Press, 2007) hal. 55
5
D. Proses Penyelesaian Sengketa Hukum Kewarisan dalam Sistem Perundangundangan di Indonesia. Materi hukum kewarisan yang berlaku dalam perundang-undangan di Indonesia adalah disesuaikan dengan kewenangan dan lembaga yang menanganinya, artinya bagi masyarakat non muslim dengan kewenangan penyelesaian sengketa waris dilakukan di Pengadilan Negeri maka materi hukumnya adalah sistem hukum perdata KUHPerdata (BW). Begitu juga bagi umat Islam, maka kewenangan penyelesaian sengketa waris harus dilakukan di Pengadilan Agama, maka materi hukum yang digunakan adalah sistem hukum Islam yang berlaku. Sumber Hukum Materiil Peradilan Agama dapat terdiri dari beberapa hal berikut : a. Hukum Islam yg bersumber dari Al-Qur’an dan hadits b. Undang Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan c. Undang Undang No. 7 Tahun 1989 jo UU No.3/2006 tentang Peradilan Agama d. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 e. PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik f. Inpres No.1 Tahun 1991 g. Peraturan Menteri Agama No.2 Tahun 1987 h. Yurisprudensi i. Doktrin Ilmu hukum termasuk kitab-kitab fiqh j. Hukum positif yang berkaitan dengan kewenangan Peradilan Agama Dan khusus mengenai hukum waris yang berkembang di Indonesia bersumber dari : a. Gagasan tentang harta bersama (gono-gini) dan sistem Bilateral yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Hazairin, SH. b. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama c. UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. d. Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Hukum Materiil Peradilan Agama di Indonesia pada awalnya bukan merupakan hukum tertulis atau hukum positif, tetapi masih berserakan dalam berbagai kitab karya ulama masa lalu (salaf) dan masih terdapat perbedaan pendapat (khilaf) antara ulama satu dengan yang lainnya. Sebagai upaya untuk mengeliminasi berbagai perbedaan tersebut, dikeluarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 dan No. 23 Tahun 1954 yang mengatur tentang hukum perkawinan, talak dan rujuk. Undang-undang tersebut ditindaklanjuti dengan surat biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Pebruari 1958 yang merupakan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan di luar Jawa dan Madura. 1. Dalam surat biro peradilan tersebut, dinyatakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum materiil dalam memeriksa dan memutuskan perkara, maka para hakim Peradilan Agama / Mahkamah Syar’iyah dianjurkan agar menggunakan 13 kitab rujukan. Sebagai kitab-kitab ilmiah, maka hukum yang terkandung di dalamnya belum merupakan hukum yang tertulis sebagaimana halnya undang-undang yang disahkan oleh pemerintah bersama DPR. Oleh karenanya dalam upaya aktualisasi materi kitabkitab tersebut dalam hukum formil di Indonesia, maka sejak tanggal 2 Januari 1974 pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, 6
dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Ketentuan ini disusul dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Namun bagian lain dari hukum perkawinan, kewarisan dan wakaf masih di luar hukum tertulis, sehingga masih banyak terjadi perbedaan putusan oleh Pengadilan Agama terhadap kasus yang sama, karena pengambilan dasar hukumnya dari kitab fikih yang berbeda, meskipun kitab-kitab rujukan telah dibingkai dalam 13 kitab fikih tersebut. Seiring dengan kebutuhan materi hukum masyarakat Indonesia dan untuk mewujudkan kepastian hukum sekaligus mewujudkan hukum Islam, setidaknya dibidang hukum perkawinan, kewarisan dan wakaf menjadi hukum tertulis, maka Indonesia merintis Kompilasi Hukum Islam dengan SKB No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 tentang Pelaksanaan Proyek Pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama fikih yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan.11 KHI merupakan fikih Indonesia yang disusun dengan mempersatukan berbagai fikih madzhab dan memperhatikan kondisi kebutuhan umat Islam Indonesia. Pembentukan KHI dapat terselesaikan pada pertengahan tahun 1991. Hal ditunjukkan dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Instruksi Presiden tersebut merupakan landasan hukum KHI untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Status hukum Kompilasi Hukum Islam dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, juga sempat menimbulkan keraguan dari beberapa kalangan. Hal ini karena KHI hanya dituangkan dalam Inpres, yaitu Inpres Nomor 1 Tahun 1991, bukan dituangkan dalam undang-undang. Sumber hukum waris yang ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah Ijtihad. Dan ijtihad adalah menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum dengan menyimpulkan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ijtihad tentang hukum waris Islam banyak ditulis para ulama’ dalam kitab-kitab klasik pada pembahasan fiqih mawaris. Selain ijtihad yang dikeluarkan oleh perorangan, ada juga yang dikeluarkan oleh lembaga, seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dikeluarkan oleh pemerintah.12 Dan apabila dibandingkan dengan beberapa kitab fiqh mawaris, seperti karya Prof. T.M. Hasbi Ashiddieqy, Prof. Dr. Amir Syarifuddin dan lain sebagainya, maka rumusan pasal-pasal tentang hukum kewarisan dalam KHI tersebut, menurut Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH. dinilai bahwa hukum kewarisan dalam Buku II KHI hanyalah berupa pokok-pokok saja. Hal ini disebabkan garis-garis hukum dalam KHI hanyalah pedoman dalam menyelesaikan perkara dibidang hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Pengembangannya diserahkan kepada hakim (agama) yang wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan, seperti yang diharapkan oleh pasal penutup (229) KHI.13 11
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Cet-3, (Jakarta; Akademika Pressindo, 2001) hal. 14 Syaifudin Arif, Praktik Pembagian Harta Peninggalan Berdasarkan Hukum Waris Islam, Cet-III, (Jakarta; Darunnajah, 2008) hal. 45 13 Mohammad Daud Ali, Op Cit, hal 330 12
7
Berangkat dari kondisi tersebut, maka tidak ada larangan untuk menggunakan pendapat siapa saja, sepanjang masih berpegang pada roh keislaman dan kebutuhan masyarakat. Berangkat dari keterangan di atas, penulis merumuskan ada 3 tahapan pengambilan hukum yang dapat digambarkan sebagai berikut:
I
Tahap I : Peraturan Perundangundangan
II
Tahap II : Aliran Pemikiran yang berlaku / disepakati Tahap III : Pemikiran yang sesuai kebutuhan
III
Dari ketiga tahapan tersebut hanya berhubungan dengan materi atau bahan dasar seorang mujtahid (hakim) dalam mengambil keputusan. Tetapi pada dasarnya proses penentuan dan pengambilan keputusan seorang hakim adalah berdasarkan ijtihadnya sendiri untuk menentukan dasar hukum mana yang patut diterapkan dalam melihat kondisi konkrit per-kasus. Kesimpulan dari semuanya adalah, bahwa tidak ada halangan atau bisa dikatakan ”sangat siap” apabila lembaga peradilan agama menangani sengketa kewarisan, khususnya pasca berlakukan UU No. 3 Tahun 2006 yang melegitimasikan tidak ada pilihan hukum (opsi) bagi umat Islam menyelesaikan sengketa waris. Selain itu materi hukum yang dijadikan pegangan oleh seorang mujtahid hukum (hakim) sangatlah cukup untuk memutus suatu perkara di Peradilan Agama, karena selain tertulis dalam norma peraturan dan perundang-undangan, dapat pula mengambil pemikiran mujtahid sendiri dalam mengisi kekosongan hukum. Pustaka: - Abdurrahman, H. SH. MH. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Cet-3, Jakarta; Akademika Pressindo, 2001 - Anshori, Prof. Dr. Abdul Ghafur, SH. MH., Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan, dan Kewenangan), Cet-1, Yogyakarta; UII Press, 2007 - Ali, Prof. H. Mohammad Daud, SH., Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet-1, Jakarta; RajaGarafindo Persada, 2007 - Abdul Ghafur al-Anshari, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006. Yogyakarta; UII Press, 2007 - Bakar, Al Yasa Abu, Ahli Waris Sepertalian Darah; Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Mazhab, Cet-1, Jakarta; INIS, 1998 - Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, Cet-2, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1998 - Budiono, A. Rachmad, SH. MH., Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Cet-1, Bandung; Citra Aditya Bakti, 1999 - Rasyid, Drs. H. Roihan A., SH., Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, Cet-1, Jakarta; Pedoman Ilmu Jaya, 1989 - Saleh, K. Wantjik, SH., Kehakiman dan Peradilan, Cet-2, Jakarta; Ghalia Indonesia,1977 - Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 - Syaifudin Arif, Praktik Pembagian Harta Peninggalan Berdasarkan Hukum Waris Islam, Cet-III, Jakarta; Darunnajah, 2008 - Dan lain-lain.
8