Rangkuman FGD II | Jakarta, 13 Juni 2017
MENGGAGAS FONDASI INDONESIA DI ERA DIGITAL
Tatkala merujuk masa depan, kita membayangkan sebuah situasi yang terentang jauh dari saat ini, katakanlah 25 tahun atau bahkan 100 tahun ke depan. Atas dasar itu, kita bicara tentang visi Indonesia 2025, 2030, 2045 atau juga 2050, umpamanya. Masalahnya, konvergensi teknologi, masyarakat digital dan globalisasi telah mendorong perubahan-perubahan yang semakin cepat karena adanya temuan-temuan baru yang belum pernah dikenali sebelumnya. Yang mulanya kita bayangkan baru akan mewujud 20 atau 30 tahun ke depan, bisa saja sudah terjadi dalam 10 atau 5 tahun ke depan saja. Ekstrimnya, mungkin saja sudah mewujud pada tahun depan atau bahkan minggu depan. Apa yang kita sebut masa depan bahkan mulai dihadirkan pada hari ini! Berkaitan dengan itu, siklus perubahan pun menjadi lebih pendek rentangnya. Kita menghadapi dunia yang terus bertransformasi baik di tataran global, regional maupun lokal, pun di aras individu dan institusi. Kita menghadapi perbedaan dan tantangan yang bersifat generasional. Pertanyaannya, seberapa siap kita sebagai bangsa? Sebagai bangsa, kita telah mengalami pergeseran struktural baik secara horizontal, vertikal dan juga regional. Interaksi antar warga bangsa ditandai dengan kian membiasanya proses ekonomisasi, individualisasi, globalisasi dan juga digitalisasi. Hasilnya, Indonesia yang mulanya terbayangkan, kini menjadi mulai tak terbayangkan. Untuk mengarungi dan memenangkan masa depan, sebagai bangsa kita membutuhkan kondisi yang diperlukan dan mencukupi. Tanpa itu, seperti disitir Bung Karno, kita sangat mungkin menjadi bangsa paria di antara bangsa-bangsa yang lain. Bahkan, mungkin pula kita menjadi negara-negara yang terpisah sebagaimana sudah terjadi di belahan dunia lain. Kondisi yang diperlukan dan mencukupi itu adalah pijakan kebangsaan yang sudah selesai agar kita bisa berorientasi pada masa depan. Ini mensyarakatkan kita tak lagi terbelenggu dan atau mewarisi beragam persoalan yang kita tunda-tunda penyelesaiannya karena satu atau lain sebab. Atas pertimbangan itulah, diajukan sejumlah pokok bahasan yang patut dirembukkan oleh segenap elemen bangsa. Pokok bahasan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Kesekretariatan: Plaza Basmar Lt.2.13 Jl. Mampang Prapatan Raya 106, Jakarta Selatan 12760
Telp. +62217989005 | www.rembuknasional.org |
[email protected]
1. Core Values: Pancasila. Dari waktu ke waktu, Pancasila selalu dibicarakan, dipersoalkan tetapi sekaligus tak pernah ada yang memahaminya. Lintasan wacana mengenai Pancasila dalam garis besarnya menunjukkan adanya dua penyikapan yang berbeda. Pertama, Pancasila dipahami dan dimaknai sebagai perekat bangsa. Dalam hal ini, Pancasila diyakini sebagai rumusan dan kesepakatan terbaik para pendiri bangsa. Tugas generasi selanjutnya adalah membawanya maju ke masa depan dan bukannya mengutak-atiknya lagi. Lebih daripada itu, membicarakan kembali Pancasila dinilai berisiko tinggi. Pasalnya, elit politik saat ini dinilai mengalami defisit moral dan intelektual terutama dibandingkan dengan para pendiri bangsa. Bila dipaksakan, output-nya bisa tak terbayangkan dalam artian mungkin saja berseberangan secara diametral dengan maksud para pendiri bangsa ketika menyusunnya. Meski implisit, kekhawatiran ini mengemuka karena kini kembali menyeruak gagasan untuk menggeser atau mereduksi Pancasila dan menggantinya dengan ideologi yang lain. Kehadiran para predator politik memungkinkan hal yang tak dikehendaki itu justru mendapat ruang yang lebih besar lagi. Kedua, Pancasila dirasakan bagai ada tapi tak ada. Pancasila tak pernah terdeskripsikan dan terjabarkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Rumusan bahwa Pancasila adalah ‘bukan ini dan bukan itu’ tidak banyak membantu jika tak mau disebut malah kian mengaburkan apa yang dimengerti sebagai Pancasila. Pancasila semakin salah dimengerti dan menimbulkan apati karena penguasa kerap memakainya untuk membungkam para pengkritik; Karena tafsir Pancasila ditetapkan sepihak; Karena kekaburan posisi Pancasila, apakah ia dasar negara atau pilar bangsa; Karena Pancasila disekat-sekat menurut pembabakan sejarah pembahasannya (1 juni, 22 Juni, 18 Agustus 1945). Pancasila kian terasa ada tapi tiada karena elit politik tidak memahami Pancasila baik sebagai filsafat maupun ideologi bangsa. Secara lebih umum, Pancasila bagai ada tapi tiada karena tindak-tanduk elit politik dan birokrasi dinilai gagal atau menyimpang dari nilai-nilai Pancasila; Karena kebijakan dan regulasi yang berlaku diragukan masih berpijak pada lima sila dalam Pancasila. Lebih daripada itu, disrupsi pada berbagai bidang kehidupan mengandaikan perlu dan pentingnya mengkontesktualisasikan Pancasila di era digital nation. Kontektualisasi ini merupakan bagian membangun jembatan generasional dan sekaligus merawat daya lenting bangsa. Pancasila perlu dirembukkan karena ia adalah ideologi terbuka: perlu dideskripsikan, dipahami dan diisi seturut perkembangan zaman. Landasan perekat merembukkannya
Kesekretariatan: Plaza Basmar Lt.2.13 Jl. Mampang Prapatan Raya 106, Jakarta Selatan 12760
Telp. +62217989005 | www.rembuknasional.org |
[email protected]
adalah keberterimaan Pancasila sebagai hasil perumusan visioner para pendiri bangsa dan karenanya juga merupakan milik bangsa. Merembukkan Pancasila didasari semangat untuk membangun komitmen dan pemahaman bersama. Hanya dengan itu, kita sebagai bangsa, leluasa mengarungi masa depan. 2. Kemajemukan dan Persatuan. Kemajemukan dan persatuan bagi bangsa Indonesia merupakan dua sisi dari mata koin yang sama. Perjalanan kehidupan kebangsaan menunjukkan adanya upaya mematahkan lintasan ini. Di satu sisi, semangat persatuan terkadang mendorong adanya penyeragamaan; Adanya satu identitas nan tunggal; Pengabaian terhadap yang liyan, yang lokal ataupun yang global. Yang dikedepankan adalah semangat Indonesia yang satu tapi sayangnya tidak disertai kehendak bersatu. Ini ditandai oleh pengabaian untuk merawat dan mengembangkan perekat kita sebagai bangsa dan sekaligus menciptakan beragam situasi dan kebijakan yang membuat rasa bersatu itu terus terkikis. Salah satunya: melanggengkan ketidakadilan dalam ranah sosial, ekonomi, budaya, politik pun teknologi. Persis sebaliknya, tak kurang pula adanya upaya merawat kemajemukan. Namun, kemajemukan dimaknai sebatas sebagai keberagaman. Keberagaman dirayakan secara berlebih-lebihan. Keberagaman dieksplorasi untuk mempelebar perbedaan, dan bukan untuk menguatkan rasa bersatu. Perkubuan mengeras karena dimatangkan oleh kepentingan pragmatis dalam politik. Pengusung narasi persatuan dan kemajemukan berselisih jalan. Masing-masing hanya berbicara dalam lingkupnya sendiri-sendiri. Ada perasaan harus berkontestasi. Ada perasaan sebagai yang paling benar, paling disakiti dan paling menjadi korban. Konsekuensi yang tak terduga menyeruak berupa bangkitnya identitas-identitas yang sebelumnya terpinggirkan. Primodialisme bangkit kembali. Pilihannya menjadi hitam-putih. Terlebih, benihnya tersedia: konteks spasial dan alam pikir masyarakatnya yang begitu senjang. Semangat untuk menemukan warna Indonesia (mulai) memudar. Kemajemukan yang mulanya adalah aset (berpotensi) kini menjadi beban. Ketidakdewasaan menyikapinya menyebabkan kita harus mengorbankan hal-hal yang lebih pokok. Dalam politik, misalnya, tuntutan adanya representasi dalam politik pun dalam birokrasi pemerintahaan menyebabkan kita terpaksa mengorbankan kompetensi dan meritokrasi. Dan, karenanya, secara sadar atau tidak, justru merawat primodialisme. Kemajemukan dan persatuan mendesak dirembukkan kembali karena keduanya tak lagi berjalan beriringan. Keduanya perlu kembali dipertautkan agar jadi penjungkit dalam memajukan bangsa dan bukannya menjadi virus yang merontokkan Indonesia.
Kesekretariatan: Plaza Basmar Lt.2.13 Jl. Mampang Prapatan Raya 106, Jakarta Selatan 12760
Telp. +62217989005 | www.rembuknasional.org |
[email protected]
3. Memahami Disrupsi Berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi membuat berbagai aspek kehidupan menjadi lebih mudah, lebih nyaman dan juga lebih efisien. Bersamaan dengan itu, kemajuan teknologi juga berpotensi menciptakan kelas baru dalam lingkup masyarakat maupun dalam konteks pergaulan antar bangsa: mereka yang berlimpahan manfaat darinya dan sisanya. Disrupsi, inovasi yang sebelumnya tak pernah ada, kini telah mengada. Disrupsi mengusangkan layanan, produk dan sistem yang ada. Di tanah air, bisnis transportasi konvensional, umpamanya, tengah mengalami guncangan karena adanya layanan berbasis aplikasi. Di ranah perdagangan, keuangan dan juga layanan publik hal yang sama mulai menggejala. Di sektor manufaktur, otomatisasi dan robotisasi semakin menjadi pilihan yang rasional dihadapkan pada makin tingginya biaya SDM dan potensi gejolak terkait konflik dalam hubungan industrial. Disrupsi yang sudah menggejala membawa satu pesan penting: bersiap atau terpinggirkan karena hari esok dihadirkan pada hari ini. Secara makro dapat dikatakan, disrupsi akan mematahkan semua lintasan aspek kehidupan yang sebelumnya bisa jadi merupakan sumber kekuatan sebuah bangsa, dari mulai sosial, ekonomi, budaya, pertahanan hingga politik. Hal ini menjadi tantangan yang sangat krusial bagi negara seperti Indonesia. Di ranah domestik, bauran kesenjangan akan menjadi makin luas dan karenanya kompleksitasnya juga makin rumit. Di tataran global, posisinya masih rentan untuk terjerembab karena tak ditopang struktur sosial-ekonomi yang kokoh. Disrupsi perlu dirembukkan karena menghadirkan peluang tetapi sekaligus ancaman yang sangat besar bagi Indonesia. Disrupsi perlu dikenali agar kita berlekas meninggalkan zona nyaman; Menanggalkan cara pandang, kebijakan dan regulasi yang hanya relevan di masa lalu karena hari esok telah dihadirkan pada hari ini. 4. Demokrasi dan Kepemimpinan Sejak pembentukannya, Indonesia telah memilih jalan demokrasi. Tapi, terus dipertengkarkan demokrasi seperti apa yang kita kehendaki dan lebih penting lagi, yang sesuai dengan keadaban zaman. Tapi, jangan lupa, telah ada suara-suara untuk menolak demokrasi, termasuk dari kalangan generasi muda. Lintasan kehidupan politik kita telah menunjukkan berbagai percobaan corak demokrasi yang sesuai dengan Indonesia, sesuai dengan konstitusi. Pendulumnya terentang lebar dari mulai pilihan liberal hingga yang otoriter. Demokrasi -- dalam pengertian kedaulatan rakyat -- yang digadang-gadang pendiri bangsa adalah demokrasi politik dan juga demokrasi ekonomi. Yang terakhir ini bahkan tetap
Kesekretariatan: Plaza Basmar Lt.2.13 Jl. Mampang Prapatan Raya 106, Jakarta Selatan 12760
Telp. +62217989005 | www.rembuknasional.org |
[email protected]
berhenti sebagai wacana. Adapun yang pertama implementasinya terus dipertengkarkan para pihak, utamanya untuk memastikan peluangnya untuk memenangi kontestasi. Dalam kaitan pula itulah, kontestasi politik belakangan ini telah menciptakan efek yang tak terduga: perkubuan yang mengeras dan berlanjut bahkan ketika prosesi kontestasi tersebut sudah berakhir. Lebih daripada itu, proses demokrasi kontemporer telah mendorong pemilih untuk sekadar mengapresiasi aspek permukaan (citra), dan mengabaikan aspek subtansi (gagasan). Sebagai akibatnya, terjadi miss-match antara kepemimpinan yang dibutuhkan (oleh bangsa) dan kepemimpinan yang terpilih. Miss-match ini dinilai turut berkontribusi dalam memperumit permasalahan bangsa. Pemimpin menjadi bagian dari masalah alih-alih penyelesai masalah; Pemimpin mengelola pemerintahannya sekadar mengikuti sentimen publik dan bukan mengarahkan visi bangsa ke depan; Pemimpin sekadar orang baik tetapi belum tentu pemimpin yang benar. Demokrasi dan kepemimpinan perlu dirembukkan lagi karena mempengaruhi gerak dan peri kehidupan bangsa di berbagai lini. Ketidakmatangan dalam berdemokrasi niscaya tidak saja akan mengajekan ketidakstabilan dan karenanya akan mempertinggi valuasi terhadap risiko tetapi juga menjadikan bangsa ini tersandera berbagai kepentingan jangka pendek. Ini pada gilirannya akan mengorbankan kesiapan bangsa dalam menyambut disrupsi yang terus hadir dengan percepatan yang makin tinggi. 5. Mengkontekstualisasikan Janji Kemerdekaan Janji kemerdekaan dikenali tetapi sekaligus tak terbayangkan. Janji kemerdekaan itu dipadatkan dalam sebuah ungkapan, “Terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”. Lintasan kehidupan berbangsa menunjukkan, semua pemerintah yang berkuasa dan para pengkritiknya sama-sama menjadikannya sebagai legitimasi atas tindakan dan perkataannya. Dan, ini terjadi karena tak pernah terdeskripsikan apa yang dimaksud dengan frasa tersebut. Janji kemerdekaan tidak saja perlu dielaborasi, tetapi juga perlu dikontektualisasikan. Pasalnya, disrupsi yang terjadi karena kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah tidak saja cara berkosumsi, tetapi juga berproduksi; Mengubah posisi produsen, perantara dan konsumen; Mengubah posisi pemerintah dan warganya. Merembukkan kembali janji kemerdekaan menjadi niscaya agar terbangun komitmen bersama sekaligus panduan dalam mengarungi masa depan. Tanpa itu, peri kehidupan kita berbangsa dan bernegara hanya akan digerakkan oleh wealth driven social life without justice. Sebagai bangsa kita bisa tetap menjadi negara maju tetapi bak penari yang sekadar mengikuti gendang orang lain. (*)
Kesekretariatan: Plaza Basmar Lt.2.13 Jl. Mampang Prapatan Raya 106, Jakarta Selatan 12760
Telp. +62217989005 | www.rembuknasional.org |
[email protected]