Mengajar Untuk Melakukan (Mat. 28:20) Prioritas Program GBKP 2017: Meningkatkan Kemampuan Warga GBKP Dalam Kehidupan Berteologi Dan Menumbuhkan Motivasi Belajar Secara Mandiri (SelfLearning) Batara Sihombing1 Pengantar Saya tidak tahu dengan pasti apa alasan Pak Sekjen GBKP, Pdt. Rehpelita Ginting, meminta saya dari HKI untuk menyampaikan topik dari Sidang Kerja Majelis Sinode GBKP yang berjudul “Mengajar untuk Melakukan” (Mat. 28:20) dengan prioritas Program GBKP untuk meningkatkan kemampuan warga hidup berteologi dan menumbuhkan motivasi belajar secara mandiri. Mengapa ini perlu saya tanyakan di forum publik ini? Jawabannya, tak lain tak bukan, agar saya nanti jangan dituduh menyampaikan ceramah sejarah berdirinya HKI kepada kita semua yang hadir di sidang yang terhormat ini. Karena topik dan sub topik yang disampaikan kepada saya untuk dipaparkan adalah persis sama dengan alasan mengapa Huria Christen Batak (H.Ch. B.)/HKI dulu berdiri pada tgl 1 Mei 1927 di Pantoan Km 4 P. Siantar. Demikianlah Penasehat Gubernur Jenderal Belanda yang datang dari Bogor pd tgl 30 April 1927 dan bersama Assisten Resident Simalungun, memanggil pendiri HKI, Sutan Malu Panggabean, ke rumah Assiten Resident di P. Siantar. Adviseur Gubernur Jenderal Belanda2 itu bertanya: “Dengan dasar apakah tuan memisahkan diri dari Rhinjnse Zending Jerman?” Kemudian Sutan Malu dengan mengutip Yakobus 1:22 menjawab, “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan buka hanya pedengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri”. Mendengar itu maka pejabat Belanda itu spontan memberi respon “Horas ma H.Ch.B!”. Esoknya, tgl 1 Mei 1927, mereka datang menyaksikan warga jemaat yang bersukacita mendirikan Gereja yang baru di Pantoan P. Siantar. Gereja yang berdiri dengan mandiri karena tidak ada Pendeta, Gedung Gereja, dan harta warisan. Gereja HKI sejak awal mandiri (selfreliance) secara teologia, dana, dan sarana. Kemandirian itu dipikul dengan murni selama 40 tahun (1927-1967) di padang gurun kesepian dan kesendirian. Dalam kurun 40 tahun ini HKI
1
Pdt. Dr. Batara Sihombing, MTh sekarang melayani sebagai Sekretaris Jenderal HKI di Pematangsiantar. Walter Lempp, Benih Yang Tumbuh XII. Suatu Survey Mengenai Gereja-Gereja di Sumatera Utara (Jakarta: Litbang PGI, 1976), hal. 262-263. 2
1
tidak mempunyai hubungan oikumene kemanapun. Hanya syukur kepada Tuhan Sang Kepala Gereja selalu disampaikan karena kasih setiaNya yang terus menuntun HKI. Demikianlah keinginan menjadi pelaku Firman Tuhan itu dipikul, dan demikianlah HKI belajar mandiri sejak awal di kala semua Gereja masih bergantung kepada lembaga Zending. HKI belajar mandiri mencukupkan kebutuhannya. HKI belajar mandiri mendidik para pelayannya. HKI belajar mandiri menjalankan misi juruselamatNya.3 1.
Mengajar Untuk Melakukan Kehendak Tuhan
Meskipun tema Sidang Kerja Majelis Sinode GBKP diambil dari Injil Matius 28:20 dan dasar berdirinya HKI dari Yakobus 1:22, kedua nats itu menyuarakan suara yang sama: bagaimana menjadi pelaku firman Tuhan. Nats-nya berbeda tetapi pesannya sama. Tak dapat disangkal memang Alkitab menekankan agar umat percaya mengikut Yesus di dalam gerak kehidupannya. Menjadi sempurna seperti Yesus. Bertumbuh sesuai dengan kepenuhan Yesus. Dewasa seperti Yesus (Ef. 4:13).4 Artinya, para pengikut Yesus diharapkan bertumbuh pengetahuan, iman, dan perbuatannya. Pengetahuan dan iman yang bertumbuh maka akan menampakkan perbuatan yang bertumbuh juga. Perlu diingat apa yang dikatakan surat Yakobus 2:17, “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati”. Jadi sungguh tepat bila kita mencoba mendalami tema sidang kali ini yaitu mengajar untuk melakukan. Dengan demikian GBKP berkepentingan agar warganya hidup iman dan perbuatannya khususnya di zaman globalisasi dan informasi sekarang ini. Bila kita melihat konteks nats Matius 28:20 maka akan nampak bahwa ayat tersebut bagian dari perintah akhir Yesus (Mat. 28:16-20). Di suatu bukit di Galilia Yesus berkata kepada muridmuridNya kalau segala kuasa di sorga dan dibumi telah diberikan kepadaNya (ay 18). Kemudian murid-murid diberi tugas pemuridan yaitu membuat semua bangsa menjadi murid Yesus dan membaptis mereka (ay 19). Para bangsa yang menjadi murid itu agar diajar melakukan segala yang telah diperintahkan Yesus, dan Dia akan menyertai murid-murid sampai kepada akhir zaman (ay 20).
3
Batara Sihombing, “Pemanggilan Pendeta oleh Jemaat dan Penempatan Pendeta oleh Ephorus serta Teologia Ordinansi Yang Melatarbelakanginya: Suatu Refleksi Terhadap Perjalanan HKI.” Dalam Teologia Ordinansi. Melalui Perjalanan 130 Tahun Kependetaan (P. Siantar: L-SAPA STT-HKBP, 2015), hal. 84-86. 4 H.P. Hamann, The Gospel According to Matthew (Adelaide: Lutheran Publishing House, 1984), hal. 301.
2
Dari uraian konteks nats itu terlihat bahwa sebelum perintah mengajar umat yang percaya diberikan (ay 20) maka di ay 18 telah diberi jaminan bahwa segala kuasa di bumi dan di sorga ada di tanganNya. Hal ini perlu kita garis bawahi karena dalam tugas pemuridan dan mengajar semua bangsa melakukan kehendak Tuhan akan begitu banyak kuasa-kuasa yang menghalangi dan menggerogoti. Kata yang dipakai untuk menyebut “kuasa” di ayat 18 adalah eksousia5 yang dapat juga diterjemahkan dengan “otoritas”. Kata eksousia mengacu kepada sumber kuasa untuk memerintah, mengontrol, atau mengatur. Kata itu juga berarti suatu kuasa atau kapasitas atau kekuatan untuk melakukan perintah Allah.6 Dalam penggunaannya, kata ini sering dipakai untuk menunjukkan suatu kekuatan dalam melakukan sesuatu yang menunjukkan ketahanannya, ketabahannya, dan kekuatannya. Sedangkan kata lain yang digunakan di PB untuk menyebut kuasa adalah dunamis yang artinya “kuasa” atau “kekuatan” yang besar yang cenderung membuat orang tunduk atau menyerah. Dari kata dunamis inilah juga asal kata “dinamit” yang bila meledak membuat batu yang keras pun pecah. Kekuatannya menggetarkan. Kalau bapak/ibu menonton pertandingan tinju. Siapakah yang paling kuat atau yang menang? Petinju yang mempunyai pukulan yg kuat dan mematikan (dunamis) atau petinju yang tahan pukul (eksousia)? Jadi kalau Matius 20:18 mengatakan bahwa kuasa/eksousia telah diserahkan pada Yesus dan kita disertai sampai akhir zaman dalam mengajar para pengikutNya untuk melakukan firmanNya, maka sebesar apapun tantangan atau halangan yang kita dihadapi maka eksousia yang dari Yesus lebih kuat dari semua tantangan yang mungkin datang. Oleh karena Matius 28:20 ini adalah perintah7, “ajarlah mereka melakukan…” maka sebagai Gereja kita tidak mempunyai pilihan kecuali patuh! Hanya ada dua jawaban terhadap perintah, patuh atau menolak. Tentu kita tidak mau menjadi hamba yang bebal, yaitu mereka yang mengetahui firman Tuhan tetapi tidak melakukannya. Di dalam Alkitab orang bebal berbeda dengan orang bodoh. Kalau bodoh itu disebabkan tidak mengetahui. Sedangkan orang bijak adalah orang yang mengetahui firman Tuhan dan melakukannya. Tinggal pilih: bebal atau bijak! Tetapi di dalam sejarah perjalanan Gereja selalu ada sikap yang bebal yaitu punya pengetahuan tetapi tidak dilakukan. Makanya surat Yakobus memperingatkan umat percaya: “Hai manusia 5
Nestle-Aland, Novum Testamentum Graece (Stuttgart: Deutsche Bibelgesellschaft, 1985), hal. 87. F.W. Danker, A Greek –English Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature. Third Edition (Chicago: Chicago University Press, 2000), hal. 152. 7 W.F. Albright and C.S. Mann, Matthew. The Anchor Yale Bible. Volume 26 (New Haven: Yale University Press, 2011), hal. 363. 6
3
bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong?” (Yak. 2:20). Salah satu aspek dari pelayanan Tuhan Yesus Kristus adalah pengajaran (didaskalos). Makanya Dia mengajarkan tentang kerajaan Allah itu melalui khotbah, umpama, nasehat, cerita, muzizat, dsb. Di bukit Yesus mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan orang yang beriman (Mat. 5-7). Bahkan setelah Yesus bangkit dan sebelum naik ke sorga, selama 40 hari yang Dia lakukan adalah mengajar para murid-muridNya (Kis 1:3). Itulah sebabnya salah satu gelar Yesus di PB adalah Guru Hikmat (Mat. 9:11; 26:18; Mrk 5:35; Luk. 8:49; Yoh. 11:28).8 Dalam sejarah kekristenan berikutnya aspek pengajaran atau pendidikan merupakan program yang utama dilakukan Gereja-Gereja. Dengan pengajaran maka orang dilepaskan dari kebodohan. Dengan pengajaran maka kesempatan untuk bertumbuh terbuka dengan luas. Demikianlah sekolahsekolah terkenal di Eropah dan Amerika pada awalnya dibuka dan dikelolah kekristenan. Nah, sekarang GBKP menekankan bagaimana pengajaran itu menggiring kepada tindakan melakukan. Semua kehendak Tuhan yang diajarkan oleh Yesus Kristus melalui khotbah, umpama, nasehat, penyelesaian konflik, cerita, doa, dsb. yang pada dasarnya berisikan kehendak Tuhan, agar dilakukan. Dengan harapan, kiranya semua warga GBKP menjadi pelaku Firman Tuhan. 2. Meningkatnya Kehidupan Berteologi
Warga GBKP dan Tumbuhnya Motivasi
Belajar Mandiri Bila kita lihat rencana program GBKP pada tahun 2017 maka salah satu prioritasnya adalah meningkatkan kehidupan berteologi warganya. Kalau saya memahami maka kata berteologi di sini mengacu kepada bagaimana warga GBKP memahami Firman Tuhan dan melakukannya di konteksnya sekarang. Usaha tersebut dilakukan dengan motivasi belajar mandiri. Artinya, upaya meng-implementasikan firman Tuhan di konteks globalisasi sekarang dapat dilakukan warga melalui proses belajar mandiri atau independen. Tidak bergantung kepada guru. Dalam konteks pengajaran di dalam dunia pendidikan sistem belajar mandiri seperti itu disebut sebagai autonomous learning atau belajar secara otonom.9 Dari latar belakangnya sistem belajar otonom
8 9
Lihat Ben Witherington III, Jesus the Sage. The Pilgrimage of Wisdom (Edinburgh: T&T Clark, 1994). Phil Benson, Teaching and Researching Autonomy in Language Learning (London: Pearson Education, 2001).
4
atau mandiri dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan sosial yang menggiring manusia itu memilih cara belajar yang mandiri agar dapat berkontribusi secara maksimal di dalam hidupnya. Proses belajar secara mandiri secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut: belajar memahami apa kebutuhannya, belajar menemukan diri sendiri dan melakukan sendiri, mempu mengevaluasi pekerjaan sendiri dan tidak bergantung kepada guru atau orang lain. Tipe belajar seperti itu cocok untuk mengajak warga jemaat bertumbuh missioner. Tanpa bermaksud untuk menggurui GBKP apa yang perlu dilakukan pada tahun 2017 ini sebab warga GBKP-lah yang paling mengetahui firman Tuhan yang mana yang perlu diteologikan di dalam konteksnya saat ini, maka di sini saya hanya memaparkan beberapa aspek teologi yang relevan untuk diimplementasikan. 2.1. Penginjilan Sudah kita lihat di konteks nats kalau perintah mengajar untuk melakukan itu (Mat. 28:20) didahului oleh perintah untuk menjadikan bangsa menjadi murid Yesus (Mat. 28:18). Di sini perintah itu berkaitan untuk melakukan tugas penginjilan. Tentu kita cukup paham apa yang dimaksud dengan tugas penginjilan ini sebagai Gereja. GBKP juga sudah melakukan dari dulu tugas penginjilan ini. Tetapi dalam kaitannya dengan pembentukan para calon Pendeta terhadap panggilannya maka mulai awal 2016 Gereja HKI telah mengirim para calon Pendetanya atau Vikar sebagai Penginjil di daerah zending dari Sumatera sampai Papua di mana HKI belum berdiri dan di mana orang Batak berserak di perantauan. Kami masih memulai menyentuh orang Batak di dalam negeri, belum yang di luar negeri yang begitu banyak merantau. Dengan kata lain, inilah pelayanan pendirian Gereja (Church planting project). Setelah kami bekali selama 1 minggu di Kantor Pusat, maka para Vikar ini kami utus tanpa diberi ongkos, tanpa digaji, dan tanpa ada alamat atau orang yang dikenal untuk ditemui di daerah zending. Kita mengikuti apa yang dilakukan Yesus ketika mengutus para murid-muridNya (Mat. 10:5-11). Pelayanan di daearah zending akan memberi kesempatan bagi para Vikar untuk mendalami bimbingan Tuhan yang Empunya pelayanan dan Kepala Gereja. Mengalami ditolak, dihina, diusir, dan diftnah tetapi dinaungi Tuhan. Kemudian, mereka akan juga mengalami indahnya mengumpulkan jemaat, diterima jemaat, dan mendirikan jemaat, yang semuanya atas pertolongan Roh Kudus. Dengan demikian pengalaman itu diharapkan membentuk dan 5
meluruskan panggilan yang tahan uji dan setia. Pengalaman di daerah zending ini akan memperkaya para Vikar sebelum menerima tahbisan sebagai Pendeta. Alangkah lengkapnya pengalaman mereka nanti, sebelum membina jemaaat di Resort atau klasis telah berpengalaman membetuk jemaat di daerah zending. Pengalaman ini akan mendorong mereka untuk mengasihi jemaat dan jauh dari sikap menghukum jemaat yang mempromosikan Siasat Hukum Gereja. Baru sekitar 6 bulan sejak 12 Vikar kita utus, maka kuasa dan pertolongan Tuhan telah dapat kita saksikan melalui pelayanan para Vikar. Telah berdiri 5 jemaat HKI Persiapan (Bogor, Pangkalan Banteng, Sampit, Balikpapan, dan Sei Belibas Jambi). Telah berdiri 5 pos pelayanan HKI (Kalbar, Kendari, Papua, Semarang, dan Sumatera Selatan) dalam bentuk ibadah-ibadah. Kemudian dengan adanya program Vikar sebagai penginjil di daerah zending maka warga jemaat juga banyak yang memberikan persembahannya melalui rekening zending. Banyak manfaat didapat: penginjilan berjalan, Gereja berdiri, pembentukan panggilan sebagai hamba Tuhan untuk Vikar berproses, dan warga jemaat terdorong menyalurkan persembahannya untuk zending. 2.2. Mamon Firman Tuhan dalam Dasatitah pertama berbunyi: “Jangan ada padamu allah lain di hadapanKu”.10 Dalam penjelasannya dikatakan bahwa apa saja yang kita andalkan adalah Allah kita. Khususnya dalam kehidupan sehari-hari banyak orang sudah mempunyai Allah dan merasa cukup bila mereka memiliki uang dan harta. Hal ini mereka andalkan dan sombongkan. Mereka begitu keras kepala, merasa aman, dan tidak peduli kepada siapa pun. Orang seperti itu allahnya adalah Mamon (Matius 6:24), yaitu uang dan harta. Hati mereka melekat padanya, dan inilah berhala yang paling umum di dunia ini (bnd. Kolose 3:5). Sedikit sekali orang yang bergembira, tidak mengeluh bila mereka tidak mempunyai Mamon. Cinta akan uang begitu melekat pada diri kita sampai ke liang kubur. Negara kita Indonesia juga menderita terpuruk karena bahaya Mamon di mana orang melakukan praktek korupsi tanpa merasa malu lagi. Kita ingat bagaimana Suharto turun pada tahun 1998 karena krisis ekonomi yang diakibatkan oleh KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Apalagi, lembaga ekonomi dunia mengatakan bahwa Indonesia adalah negeri kelas wahid dalam
10
Theodore G. Tappert, Rumus Konkord, hal. 485-486.
6
urusan korupsi di dunia dan juara korupsi di Asia.11 Tuhan tidak pernah melarang orang untuk kaya. Silahkan kaya, asalkan itu didapat dari jalan yang jujur, benar, dan adil (Ams. 8:17-21; 16). Indonesia jatuh menjadi negara miskin dan pengangguran bertambah dengan pesat. Oleh sebab itu sejak zaman Reformasi hingga sekarang, berjuta Tenaga Kerja Indonesia, baik legal atau illegal, khususnya perempuan/TKW, pergi ke luar negeri dan banyak mengalami nasib yang tidak manusiawi oleh karena kemiskinan di negeri sendiri. Pemerintah kemudian mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan banyaklah kita dengar berita setiap minggu para pejabat yang ditangkap karena korupsi: Menteri, Jenderal, Dubes, DPR, Hakim, Jaksa, Gubernur, Bupati, Rektor, dsb. hingga hari ini. Tetapi terlihat perilaku korupsi bukan semakin sunyi tetapi menjadi hingar bingar. Budaya korupsi memang telah memasuki mental masyarakat kita yang sulit diberantas. Banyakkah anggota jemaat kita yang terlibat dalam korupsi ini? Kitalah yang menjawab. Di sini warga jemaat perlu berteologia secara mandiri bagaimana melawan korupsi – melawan godaan kerakusan. Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa kerakusan adalah penyembahan berhala (Kol. 3:5). Memang di PL penyembahan berhala itu diungkapkan dalam bentuk menyembah benda-benda konkrit seperti patung yang terbuat dari kayu dan batu. Itulah sebabnya para nabi menghardik praktek penyembahan berhala karena menyembah benda mati hasil ciptaan tangan manusia. Tetapi di PB konsep berhala itu telah bergeser dari menyembah benda konkrit kepada menyembah benda abstrak dengan cara tunduk atau mengarahkan hidupnya untuk mengejar benda itu yaitu uang atau Mamon. Itulah sebabnya juga Alkitab melarang orang untuk mengabdi kepada Mamon (Mat. 6:26). Di sini Mamon mewakili semua bentuk harta atau uang yg ada di dunia. Memang, mammon itu benda netral. Tetapi benda netral itu dapat dipakai Belial atau Iblis (2 Kor 6:15) untuk menarik manusia menjauh dari Allah sehingga demi mengejar mammon atau uang manusia mengerjakan pekerjaan yg merusak mahkluk ciptaan lainnya.12 Tepatlah apa yang disebutkan oleh 1 Timoteus 6:10 bahwa akar segala kejahatan adalah cinta akan uang. Agar kita jangan rusak dan terjebak pada perbudakan kejahatan maka kita perlu konsisten untuk tetap setia mencintai Tuhan Allah (Mat. 22:37; Mark. 12:30). Untuk memerangi korupsi atau rakus akan uang ini dapat dilakukan Gereja dan warga Gereja secara mandiri. Sebagai contoh, mengapa
11 12
http://www.tempo.co.id/majalah/arsip/3rd/edition37/law-7.html 11/18/03, 6112 bytes Batara Sihombing, “Naskah Laut Mati dan Perjanjian Baru. Forum Biblika 25 (2010): 63-82.
7
warga Gereja yg melakukan dosa biologis cepat dihukum tetapi yang koruptor seperti didiamkan saja. Nampaknya Hukum Gereja belum menyentuh penyakit korupsi yang telah membuat bangsa ini miskin. 2.3. Perubahan Iklim (Climate Change) Bila kita membaca riwayat penciptaan bumi ini dan segala isinya maka keadaan ekosistem bumi dan isinya diciptakan Tuhan Allah dengan amat baik. Kejadian 1:31-2:1 menyaksikan sebagai berikut, “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Demikianlah diselesaikan langit dan bumi dan segala isinya”. Jelas bahwa bumi ini diciptakan sejak awal seimbang, nyaman, harmonis, dan sehat untuk ditempati manusia. Tuhan tidak menciptakan tempat yang panas, ganas, dan penuh bahaya untuk ditempati manusia. Allah itu penuh kasih. Dia menciptakan bumi yang penuh syalom sebagai tempat manusia berkembang dan berkarya. Jadi manusia diberi tugas bekerja, mengolah bumi (Kej. 2:15): “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya di taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu”. Di bumi yang ekosistemnya amat baik itu manusia ditempatkan untuk berusaha atau bekerja, bukan untuk diam-pasip atau tidak bekerja, apalagi merusak kehidupan ciptaan.13 Artinya, pekerjaan manusia di bumi tidak pernah diarahkan untuk membuat bumi rusak tetapi justru memelihara kebaikan ekosistem bumi itu. Harus diakui sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa-lah (Kej. 3) maka perilaku manusia mempunyai muatan yang merusak. Tetapi setelah penebusan dosa manusia itu oleh Anak Allah (Yoh. 3:16) maka pendamaian telah didirikan termasuk pendamaian manusia ke ciptaan lainnya, termasuk memelihara bumi. Bila kita menyaksikan bahwa dunia sekarang dilanda perubahan iklim, maka tugas umat percayalah untuk menghadirkan keadilan iklim/climate justice di bumi ini agar manusia hidup sehat dan sejahtera karena sejak awal bumi ini diciptakan Tuhan Allah amat baik. Sebagai anak-anak Allah, umat percaya terpanggil menampakkan pekerjaan Allah yang membuat bumi ini amat baik sejak diciptakan. Anak-anak Allah meneruskan pelayanan pemeliharaan Allah terhadap bumi ini. Apakah yang menyebabkan perubahan iklim? Artinya, iklim bumi ini berubah karena pengaruh pemanasan global (global warming). Semua sudut di seluruh dunia ini telah merasakan 13
J.T.E. Renner, Genesis (Adelaide: Lutheran Publishing House, 1984), hal. 33-34.
8
pengaruh dari akibat pemanasan global ini. Perubahan iklim itu mengacu kepada suatu perubahan baik oleh karena perubahan secara alamiah maupun perubahan oleh karena aktivitas manusia.14 Memang proses alamiah seperti perubahan dalam energy matahari, pergerakan arus samudera, dan yang lainnya mempengaruhi iklim bumi. Akan tetapi penyebab alamiah itu saja tidak dapat menjelaskan terjadinya perubahan iklim bumi yang telah diamati selama 25 tahun ini. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2014 menyatakan bahwa iklim bumi memanas dan aktivitas manusia secara signifikan penyebab dari pemanasan global itu.15 Suatu penelitian yang dilakukan oleh U.S. National Academy of Sciences di tahun 2010 menyebutkan bahwa perubahan iklim terjadi dan sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia. Perubahan iklim itu telah memberikan resiko yang besar kepada kehidupan manusia.16 Kontribusi aktivitas manusia terhadap pemanasan global dapat terlihat dari pengiriman bermilyar ton karbon dioksida (CO2) dan gas efek rumah kaca (greenhouse gasses) ke atmosfir setiap tahun. Para ahli sebanyak 97% setuju kalau perubahan iklim tidak hanya suatu fakta realita tetapi juga setuju bila manusia penyebab dari pemanasan global.17 Perubahan iklim ini telah mempengaruhi kesejahteraan manusia, lingkungan hidup, dan ekonomi. Beberapa dampak dari pemanasan global yang menyebabkan climate change itu antara lain: -
Suhu yang panas meningkatkan frekwensi, intensitas, dan waktu gelombang panas yang dapat membahayakan kesehatan anak-anak dan orang tua.
-
Perubahan iklim juga memperburuk kwalitas air dan meningkatkan penyebaran sakit yang enpidemik.
-
Meningkatnya level permukaan air laut mengancam pemukiman manusia di pantai dan ekosistem
-
Perubahan peristiwa cuaca seperti musim kemarau yg panjang dan banjir merugikan harta manusia dan kehidupan masyarakat.
Nah, sekarang apa yang dapat dilakukan warga Gereja atau umat percaya sebagai aksi adaptasi terhadap dampak perubahan iklim itu? Harus diakui bahwa membuat iklim bumi ini baik 14
https://www.ippc.ch/publications_and_data/ar4/syr/en/mains1.html (dilihat pd 18 October 2016). IPPC, 2014: Climate Change 2014: Synthesis Report. Contribution of Working Groups I,II, and III to the Fifth Assessment Report on the Intergovernmental Panel on Climate Change (Core Writing Team, R.K. Pachauri and L.A. Meyer, eds. IPPC, Geneva, Switzerland, 151 pp. 16 National Academy of Sciences (2010). Advancing the Science of Climate Change, Washington, DC. 17 http://www3.epa.gov/climatechange/science/overview.html (dibaca 18 Okt. 2017). 15
9
sebagaimana Allah menciptakannya adalah tugas stewarship anak-anak Allah.18 Misi Gereja memang theosentrik. sebab sumber dari misi itu adalah Allah sendiri. Misi memelihara bumi dengan baik datang dari Allah Sang Pencipta. Misi pemeliharaan itu berorientasi ke bumi sebab misi Gereja tidak diarahkan ke dunia atau planet yang lain tetapi ke dunia tempat kita tinggal sekarang. Kita perlu sadar dan paham menyaksikan apa yang Allah sedang lakukan di tengah dunia saat ini khususnya untuk memelihara bumi yang baik sebagai tempat manusia dan ciptaan lainnya hidup.19 Dalam kaitan perlu menyimak ungkapan etika yang diungkapkan Larry Ramussen20 tentang iman yang menghormati bumi (earth-honoring faith). Iman yang menghormati bumi itu adalah pemuridan, panggilan, dan praktek. Dengan kata lain ada pergeseran subjek dari manusia kepada alam secara komprihensif sebagai titik berangkat dan ukurannya. Semua species, bumi, air, dan udara adalah baik sebab semuanya itu bagian dari planet yang keberadaannya saling berkaitan. Demikianlah Allah menciptakan dunia dan isinya dengan amat baik. Ketika semua unsur-unsur ciptaan itu berfungsi dalam hubungannya satu dengan yang lain maka kelihatan alangkah baiknya ciptaan Allah itu. Hal inilah yang menjadi panggilan kita untuk memelihara kebaikan itu. Untuk itu perlu dibuat program bersama Gereja di tingkat lokal yang dapat mengembalikan climate justice/keadilan iklim seperti penanam pohon bersama, pendaur-ulangan sampah atau polusi sampah lainnya, dan menjaga lingkungan bersama dari penggudulan hutan dan kebakaran hutan. Hutan mempunyai pengaruh besar terhadap iklim bumi karena hutan menyerap gas karbondioksida dari atmosfer sehingga bumi dingin, kemudian menguapkan air ke atmosfer sehingga meneduhkan bumi. Hutan juga juga menyerap sinar matahari sehingga menjaga kehangatan bumi. Dalam kaitannya dengan efek rumah kaca, hutan juga berperan penyerap karbondioksida yg sekaligus melepaskan oksigen dan air ke atmosfer, di mana sekitar 80% penyerapan karbon terjadi oleh vegetasi hutan. Oleh karena pentingnya peranan hutan dalam keadilan iklim maka hutan itu perlu dijaga dengan cermat dan bertanggungjawab. Program mencintai bumi ini dapat dilakukan oleh warga Gereja secara mandiri. Kasihilah Bumi!
18
Victor Aguilan, “Mission and Climate Justice: Struggling with God’s Creation”. Dalam Mission Still Possible?. Ed. Jochen Motte dan Andar Parlindungan (Wuppertal: UEM, 2016), hal. 85. 19 Norman Habel, “Earth-Mission: The Third Mission of the Church.” Currents in Theology and Mission 37 (2010): 114-125. 20 Larry Ramussen, Earth-Honoring Faith: Religious Ethics in a New Key (New York: Oxford University Press, 2014), 24.
10
.
11