Memuliakan Jeruk Sulawesi dengan Peningkatan Efisiensi Transportasi Multimoda oleh: Dwi Ardianta Kurniawan, S.T, M.Sc Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral), Universitas Gadjah Mada, Jl. Kemuning M – 3, Yogyakarta, telp (0274) 556928, fax (0274) 552229, hp 08122696446 email:
[email protected] Abstrak Komoditas jeruk merupakan komoditas unggulan Kabupaten Konawe Selatan pada beberapa tahun terakhir. Hal ini ditunjukkan dengan dominannya tingkat produksi jeruk yang mencapai 64,4% dibandingkan total produksi jeruk di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2012. Pemasaran jeruk sulawesi dari Konawe Selatan dominan ditujukan ke Surabaya dan kota-kota di Jawa lainnya, yang mencapai 90% dari total produksi. Hal ini menunjukkan diperlukannya beberapa moda angkutan dari wilayah produksi ke wilayah pemasaran, yaitu moda jalan dan laut. Kondisi transportasi merupakan faktor penghambat dalam pemasaran produksi jeruk sulawesi dari Konawe Selatan, baik yang berasal dari buruknya kualitas jalan maupun tata kelola pelabuhan. Dari sisi kewilayahan, tidak berimbangnya volume keluar masuk barang ke wilayah produksi menyebabkan mahalnya ongkos angkutan kapal ke luar daerah karena besarnya muatan kosong yang harus diperhitungkan sebagai biaya. Angkutan multimoda merupakan salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mengurangi biaya, dengan adanya sistem yang lebih terintegrasi baik dalam rute, jadwal maupun kebutuhan armada yang sesuai. Dibutuhkan dukungan dari para pelaku usaha transportasi dan pemerintah agar sistem multimoda yang terbentuk akan mampu eksis dan berperan secara berkelanjutan. Kata kunci: jeruk sulawesi, Konawe Selatan, multimoda, efisiensi, transportasi
1
A.
Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara yang subur, dengan limpahan gununggunung berapi yang abu dari letusannya menyuburkan tanah. Curah hujan yang relatif konstan pada sebagian besar wilayah menyebabkan berbagai komoditas pertanian dan perkebunan tumbuh subur di negeri zamrud khatulistiwa ini. Hal ini tercermin dari prosentase sektor pertanian yang pernah sangat dominan pada era awal Orde Baru yang mencapai 52% (1968), meskipun kemudian menurun hingga mencapai 19,6% (1990) dan 14,3% (2014)1. Penurunan ini tidak terlepas dari perubahan struktur ekonomi Indonesia yang berkembang dari lapangan usaha primer yang memanfaatkan sumber daya alam (pertanian), menjadi lapangan usaha sekunder (industri pengolahan) dan tersier (jasa dan perdagangan). Meskipun demikian, beberapa wilayah di Indonesia telah memiliki komoditas pertanian unggulan yang memiliki trade mark yang cukup kuat untuk tetap eksis dalam perdagangan. Kita dapat menyebutkan misalnya jeruk medan dan pontianak, mangga indramayu, beras delanggu dan sebagainya. Di lain pihak, terdapat beberapa wilayah yang juga telah mengembangkan diri dengan berbagai komoditas unggulan yang diharapkan dapat bersaing dengan produk dari wilayah lain baik nasional maupun impor. Kita dapat menyebutkan misalnya dalam komoditas jeruk dengan berkembangnya pertanian di wilayah Jember maupun Sulawesi, sehingga saat ini dikenal produk jeruk dengan nama jeruk jember maupun jeruk sulawesi. Namun yang ironis, komoditas unggulan yang dikembangkan oleh berbagai wilayah tersebut seringkali tidak dapat bersaing dengan komoditas perdagangan serupa yang berasal dari luar negeri yang notabene memerlukan distribusi yang lebih jauh dan panjang. Hal ini disebabkan oleh buruknya kinerja sistem logistik di Indonesia, terutama yang menyangkut kualitas infrastruktur transportasi dan tata kelola pada simpul-simpul transportasi seperti terminal dan pelabuhan. Hal ini menyebabkan jeruk 1
Badan Pusat Statistik
2
medan memiliki harga lebih tinggi dibandingkan jeruk mandarin yang menempuh perjalanan jauh lebih panjang2. Kondisi yang sama dihadapi oleh jeruk yang diproduksi dari daerah lain, seperti Pontianak dan Sulawesi. Oleh karena itu, diperlukan adanya penanganan sistem logistik untuk mendorong daya saing produk pertanian, khususnya jeruk di Indonesia. Tulisan ini akan membahas pola-pola efisiensi angkutan multimoda dalam pengangkutan jeruk sulawesi sehingga diharapkan akan mampu mendorong daya saing produksi jeruk lokal tersebut dalam menghadapi serbuan jeruk dari luar, khususnya dari China. Lokasi studi yang diteliti adalah Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.
B.
Pembahasan Definisi Logistik Apabila dilihat dari definisinya, logistik merupakan seni dan ilmu, barang, energi, informasi, dan sumber daya lainnya, seperti produk, jasa, dan manusia, dari sumber produksi ke pasar dengan tujuan mengoptimalkan penggunaan modal. Manufaktur dan marketing akan sulit dilakukan tanpa dukungan logistik. Logistik juga mencakup integrasi informasi, transportasi, inventori, pergudangan, reverse logistics dan pemaketan. Berdasarkan pengertian di atas, maka misi logistik adalah "mendapatkan barang yang tepat, pada waktu yang tepat, dengan jumlah yang tepat, kondisi yang tepat, dengan biaya yang terjangkau, dengan tetap memberikan kontribusi profit bagi penyedia jasa logistik." Berdasarkan definisi tersebut, maka aspek transportasi merupakan salah satu aspek penting yang harus diperhatikan untuk mencapai efisiensi sistem logistik. Dari karakteristik pengangkutannya, maka terdapat beberapa jenis tipe pengangkutan yang dapat dijalankan dalam perdagangan komoditas, diantaranya adalah berdasarkan jangkauan wilayahnya, maka dapat dibedakan atas perdagangan jarak dekat, menengah dan panjang.
2
http://economy.okezone.com/read/2013/02/23/320/766412/kenapa-jeruk-medan-lebih-mahaldari-jeruk-mandarin
3
Apabila dibedakan berdasarkan jenis moda angkutan yang digunakan, maka dapat dilakukan dengan moda angkutan darat, kereta api, laut dan udara. Semakin panjang jarak angkut dan bervariasinya kondisi suatu wilayah, akan memungkinkan semakin banyak variasi jenis moda yang digunakan. Pada wilayah yang dominan perjalanan darat seperti di Pulau Jawa, moda angkutan jalan sangat dimungkinkan menjadi moda angkutan utama terutama untuk jenis angkutan jarak pendek dan menengah. Moda angkutan kereta api menjadi pilihan untuk jarak perjalanan menengah dan jauh, sementara pada perjalanan jarak jauh lebih mengedepankan moda angkutan udara terutama untuk pengangkutan barang-barang bernilai tinggi (valuable goods) dan moda angkutan laut untuk barang-barang yang kurang bernilai (non valuable goods). Pola pengangkutan yang berbeda dapat terjadi pada wilayah yang berbeda. Di Kalimantan, Sumatera dan Papua misalnya, yang memiliki banyak sungai besar di wilayahnya, angkutan sungai sesungguhnya merupakan moda yang paling efisien untuk pengangkutan jarak pendek dan menengah. Sementara untuk angkutan jarak jauh, moda angkutan laut dan udara tetap merupakan moda yang dominan diperlukan. Apabila ditinjau pola angkutan dari titik asal produksi komoditas hingga titik akhir pemasaran, maka jelaslah diperlukan adanya penggunaan berbagai moda transportasi, misalnya variasi angkutan darat – laut, darat – udara, sungai – laut, sungai udara, rel – laut, rel – darat – udara, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa adanya keterpaduan antar moda diperlukan, sehingga sistem transportasi yang dilakukan akan mencapai tingkat efisiensi yang diperlukan untuk mendukung efisiensi logistik angkutan komoditas. Konsep Transportasi Multimoda Konsep intermoda didefinisikan secara bervariasi, namun dasarnya terdapat keterhubungan dan manajemen yang baik antar berbagai moda (multimoda). Oleh sebab itu, intermodality dapat dilihat sebagai multimoda yang memiliki manajemen yang baik untuk melayani kebutuhan transportasi
4
secara efisien. Keuntungan dari konsep intermoda baik dalam angkutan penumpang atau barang dapat dikuatkan dengan memfokuskan pada perbaikan keterhubungan fisik, koordinasi dan integrasi operasional serta memperbaiki sistem informasi dan komunikasi baik operator maupun penumpang. Tujuan dari diterapkannya sistem intermoda adalah membuat optimalisasi penggunaan dari moda yang bervariasi dan meningkatkan keterhubungan diantara moda tersebut. Definisi paling maju dari sistem intermoda adalah mendorong terjadinya transportasi tanpa hambatan (seamless), efisien dan berlanjut (sustainable), yang dapat mencakup: a.
mengurangi biaya dan meningkatkan tingkat pelayanan yang diminta dalam angkutan barang dan penumpang dengan menggunakan masingmasing moda dalam fungsinya yang paling tepat,
b.
mengurangi beban dari infrastruktur dan meningkatkan efisiensi total dengan berganti pada moda yang memiliki kapasitas lebih besar,
c.
mengurangi biaya dan waktu serta ketidaknyamanan berkaitan dengan perpindahan antar moda,
d.
meningkatkan
produktifitas
ekonomi
dan
efisiensi,
sehingga
meningkatkan nilai kompetitif dari produk pada tingkat regional dan nasional, e.
mengurangi tingkat penggunaan energi, serta meningkatkan kualitas lingkungan.
Konsep intermoda dapat diterapkan baik dalam lingkup regional, nasional maupun internasional. Namun demikian, pemilihan jenis moda yang paling tepat perlu dilakukan untuk mendapatkan tingkat efisiensi yang tinggi. Konsep intermoda didefinisikan secara bervariasi, namun dasarnya terdapat keterhubungan dan manajemen yang baik antar berbagai moda (multimoda). Oleh sebab itu, keterpaduan antar moda (intermodality) dapat dilihat sebagai multimoda yang memiliki manajemen yang baik untuk melayani kebutuhan transportasi secara efisien. Keuntungan dari konsep intermoda baik dalam angkutan penumpang atau barang dapat dikuatkan dengan memfokuskan
5
pada perbaikan keterhubungan fisik, koordinasi dan integrasi operasional serta memperbaiki sistem informasi dan komunikasi baik operator maupun penumpang. Tujuan dari diterapkannya sistem intermoda adalah membuat optimalisasi penggunaan dari moda yang bervariasi dan meningkatkan keterhubungan diantara moda tersebut. Definisi paling maju dari sistem intermoda adalah mendorong terjadinya transportasi tanpa hambatan (seamless), efisien dan berlanjut (sustainable), yang dapat mencakup: a.
mengurangi biaya dan meningkatkan tingkat pelayanan yang diminta dalam angkutan barang dan penumpang dengan menggunakan masingmasing moda dalam fungsinya yang paling tepat,
b.
mengurangi beban dari infrastruktur dan meningkatkan efisiensi total dengan berganti pada moda yang memiliki kapasitas lebih besar,
c.
mengurangi biaya dan waktu serta ketidaknyamanan berkaitan dengan perpindahan antar moda,
d.
meningkatkan
produktifitas
ekonomi
dan
efisiensi,
sehingga
meningkatkan nilai kompetitif dari produk pada tingkat regional dan nasional, e.
mengurangi tingkat penggunaan energi, serta meningkatkan kualitas lingkungan.
Konsep intermoda dapat diterapkan baik dalam lingkup regional, nasional maupun internasional. Namun demikian, pemilihan jenis moda yang paling tepat perlu dilakukan untuk mendapatkan tingkat efisiensi yang tinggi.
6
Sumber: Rodrigue, Comtois, dan Slack 2006
Gambar 1 Konsep Transportasi Antar Moda Untuk menyusun sebuah transportasi intermoda, hirarki fungsional jaringan (role sharing) antar moda perlu terdefinisi dengan jelas. Titik artikulasi yakni terminal intermoda memegang peran sentral bagi koneksi antara pergerakan internasional/nasional ke level regional/lokal.
Sumber: Rodrigue, Comtois, dan Slack 2006
Gambar 2 Hirarki Fungsional Jaringan Antar Moda Penyelenggaraan transportasi antarmoda dilakukan untuk memberikan pelayanan yang saling berkesinambungan (seamless), tepat waktu (just in time) dan pelayanan dari pintu ke pintu (door to door). Kualitas pelayanan sarana dan prasarana juga perlu ada kesesuaian seperti kesetaraan atau standarisasi pelayanan, keterpaduan jadwal, efisiensi aktivitas alih moda yang didukung sistem ticketing dengan teknologi informasi yang memadai.
7
Produksi Jeruk Sulawesi di Konawe Selatan Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah penghasil jeruk yang dikenal sebagai jeruk sulawesi. Walaupun bukan merupakan daerah produksi dominan secara nasional, namun produksinya pernah mencapai 98.556 ton pada tahun 2010, atau sekitar 5% dari total produksi jeruk nasional sebesar 2.012.355 ton. Angka produksi tersebut memang cenderung menurun, baik secara absolut maupun relatif dibandingkan nasional. Secara rerata, produksi jeruk dari Sulawesi Tenggara menurun sebesar 18% per tahun pada periode 2010 – 2013. Secara relatif, produksi jeruk Sulawesi Tenggara menurun menjadi sekitar 3,3% (54.737 ton) dibandingkan produksi nasional (1.654.731 ton) pada tahun 20133. Meskipun demikian, wilayah Sulawesi Tenggara, terutama Kabupaten Konawe Selatan merupakan wilayah dengan tingkat harga jeruk yang relatif murah dengan tingkat konsumsi yang cukup besar. Hasil pengolahan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2011 dari Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa harga jeruk di Kabupaten Konawe Selatan secara rerata lebih murah dibandingkan rerata harga nasional. Data harga dan konsumsi jeruk di Konawe Selatan disajikan dalam tabel berikut: Tabel 1 Karakteristik Harga dan Konsumsi Wilayah Studi Harga (Rp/kg)
Wilayah Konawe Selatan
4.878,31
Rerata Indonesia
10.528,27
Selisih harga (Rp/kg) 5.649,96
Konsumsi (kg/tahun) 3.283,27
Nilai efisiensi konsumsi (Rp) 18.550.349,66
Sumber: Susenas, 2011 (diolah)
Tabel di atas memperlihatkan adanya nilai efisiensi konsumsi jeruk yang cukup besar di Konawe Selatan dibandingkan daerah lain di Indonesia. Hal ini mengindikasikan 2 hal, yaitu besarnya produksi atau tingginya kualitas distribusi dari wilayah produsen ke Konawe Selatan. Dari sisi produksinya, Kabupaten Konawe Selatan merupakan salah satu sentra produksi jeruk di Sulawesi Tenggara, meskipun bukan merupakan yang terbesar. Data produksi jeruk di Sulawesi Tenggara selama kurun waktu 2005 – 2013 disajikan dalam Tabel 2. 3
Diolah dari Basis Data Statistik Pertanian, 2015
8
Tabel 2 Produksi Jeruk di Provinsi Sulawesi Tenggara Produksi (ton) Kabupaten/Kota
2005
2006
2007
Kab. Buton 387,9 4.590,6 272,5 Kab. Muna 2.091,4 2.488,5 214,3 Kab. Konawe 1144 2.015,9 28,4 Kab. Kolaka 7.352,3 12.171,1 268,6 Kab. Konawe Selatan 738 2.467,3 329,2 Kab. Bombana 7,9 205,2 30,4 Kab. Wakatobi 262,7 54 52,7 Kab. Kolaka Utara 84,1 4.785,6 257,4 Kota Kendari 33,2 54,4 15,3 Kota Bau Bau 452,8 160 0,2 Provinsi Sulawesi 12.554 28.992,6 1.469 Tenggara Sumber: Basis Data Statistik Pertanian, 2015 (diolah)
2008 2.246,3 9.125,5 2277 2.393,8 1.908,5 114,5 2,3 115,6 193,6 29,6 18.406,7
Porsi tahun 2008 12,2% 49,6% 12,4% 13,0% 10,4% 0,6% 0,0% 0,6% 1,1% 0,2% 100,0%
Pertumbuhan 2005 – 2008 79,6% 63,4% 25,8% -31,2% 37,3% 143,8% -79,4% 11,2% 80,0% -59,7% 13,6%
Data di atas menunjukkan bahwa Kabupaten Konawe Selatan merupakan daerah penghasil jeruk nomor 5 di Provinsi Sulawesi Tenggara, dengan porsi produksi sebesar 10,4% dari total produksi jeruk pada tahun 2008. Produksi komoditas jeruk memiliki pertumbuhan rerata yang cukup tinggi, yaitu sebesar rerata 13,6% per tahun pada periode 2005 – 2008, dengan pertumbuhan di Kabupaten Konawe Selatan sebesar rerata 37,3% per tahun. Dengan tingkat pertumbuhan yang relatif konsisten, Kabupaten Konawe Selatan berhasil menjadi daerah penghasil jeruk terbesar pada tahun 2012 dengan jumlah produksi sebesar 24.630,4 ton, atau sekitar 64,4% dari total produksi jeruk di Provinsi Sulawesi Tenggara4. Pergeseran jumlah dan porsi produksi ini menunjukkan bahwa komoditas jeruk merupakan salah satu komoditas unggulan di Kabupaten Konawe Selatan. Apabila dibandingkan dengan komoditas lainnya, maka produksi jeruk siam/keprok merupakan yang terbesar, dengana jumlah produksi sebesar 10.640 ton pada tahun 2012 dan 10.083 ton pada tahun 2013. Dari sisi jumlah tanaman, jeruk siam/keprok juga memiliki jumlah tanaman terbesar, yaitu mencapai lebih dari 1,1 juta pohon pada tahun 2013 (lihat Tabel 3). Hal ini lebih mempertegas posisi komoditas jeruk sebagai komoditas andalan Kabupaten Konawe Selatan.
4
Sumber: Sulawesi Tenggara dalam Angka, 2013
9
Tabel 3 Jumlah Tanaman dan Produksi Buah di Kabupaten Konawe Selatan Jumlah Tanaman Nama tanaman buahbuahan 2012 2013 1 Alpukat 2.356 2.510 2 Belimbing 2.058 2.105 3 Duku/Langsat 29.457 33.079 4 Durian 43.694 48.949 5 Jambu Biji 7.583 7.623 6 Jambu Air 10.831 11.350 7 Jeruk Siam/Keprok 1.156.873 1.153.372 8 Jeruk Besar 5.814 5.718 9 Mangga 165.792 163.955 10 Manggis 4.036 4.058 11 Nangka/Cempedak 19.627 19.551 12 Nenas *) 81.135 47.851 13 Pepaya 56.907 57.908 14 Pisang *) 186.160 180.795 15 Rambutan 137.795 137.949 16 Salak *) 27.577 27.728 17 Sawo 1.229 1.234 18 Markisa/Konyal 200 200 19 Sirsak 6.872 6.858 20 Sukun 6.354 6.379 Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Konawe Selatan, 2013 No
Produksi (Kuintal) 2012 2013 96 316 467 171 2.100 737 1.436 382 280 488 106.400 100.813 136 325 1.585 607 323 248 2.220 2.157 2.098 915 3.112 1.953 4.985 3.939 12.966,2 161 293,7 3 132 20 172 97 34 1.689
Apabila dilihat wilayahnya, maka wilayah dengan jumlah tanaman terbesar adalah Kecamatan Lalembuu yang mencapai 535.541 batang atau hampir mencapai separuh dari jumlah total tanaman di Kabupaten Konawe Selatan, disusul Kecamatan Basala, Buke, Banua dan Konda. Secara lengkap sebaran wilayah penghasil jeruk di Kabupaten Konawe Selatan disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4 Sebaran Wilayah Penghasil Jeruk di Kabupaten Konawe Selatan, 2013 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Nama Kecamatan Tinanggea Lalembuu Andoolo Buke Palangga Palangga Selatan Baito Lainea Laeya Kolono Laonti Moramo Moramo Utara Konda Wolasi Ranomeeto Ranomeeto Barat Landono Mowila
Jumlah Tanaman Akhir Triwulan Laporan batang 12.750 535.541 56.000 100.110 0 27.010 2.587 0 24.500 2.500 1.380 38.650 0 64.911 32.000 878 8.150 5.845 8.915
% total 1,1% 46,3% 4,8% 8,7% 0,0% 2,3% 0,2% 0,0% 2,1% 0,2% 0,1% 3,3% 0,0% 5,6% 2,8% 0,1% 0,7% 0,5% 0,8%
Produksi (Kuintal) Kwintal
% total
8.000 100 0 1.800 0 100 100 0 280 1.800 3.000 3.000 0 228 0 260 5.000 5.000 70
20,7% 0,3% 0,0% 4,6% 0,0% 0,3% 0,3% 0,0% 0,7% 4,6% 7,7% 7,7% 0,0% 0,6% 0,0% 0,7% 12,9% 12,9% 0,2%
Harga Jual Petani Per Kilogram (Rupiah) 3.000 1.000 0 8.000 0 7.000 5.000 0 8.000 5.000 5.000 5.000 0 1.500 0 5.000 10.000 10.000 5.000
10
No
Nama Kecamatan
Jumlah Tanaman Akhir Triwulan Laporan batang
% total
20 Angata 156 0,0% 21 Benua 78.000 6,7% 22 Basala 157.000 13,6% Jumlah / Rerata 1.156.883 100,0% Keseluruhan Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Konawe Selatan, 2013
Produksi (Kuintal) Kwintal
% total
0 0 10.000 38.738
0,0% 0,0% 25,8% 100,0%
Harga Jual Petani Per Kilogram (Rupiah) 0 0 7.000 6.529
Sebagai catatan adalah bahwa pembudidayaan jeruk di Konawe Selatan mula-mula dilakukan oleh para transmigran dari Bali yang banyak bermukin di Kecamatan Lalembuu. Mereka bahkan menjadi pembimbing bagi para petani di kecamatan lainnya. Selain itu, mereka juga menjadi sumber lokasi bibit serta pemasaran hasil produksi jeruk yang dihasilkan. Peran Dinas Pertanian Kabupaten Konawe Selatan adalah mendorong budidaya tersebut menjadi lebih maju dan produktif.
Gambar 3 Gambaran Produksi dan Panen Jeruk di Kecamatan Wolasi, Konawe Selatan Perdagangan Jeruk di Konawe Selatan Pangsa pasar perdagangan jeruk di Konawe Selatan sebagian besar diperdagangkan di Jawa, yaitu diangkut menuju Surabaya. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani di Wolasi, proporsi pemasaran di Jawa mencapai sekitar 90%, sementara sisanya dipasarkan di Kendari dan Makassar. Berdasarkan hasil wawancara, petani lebih suka menjual hasil produksinya ke pedagang besar untuk dijual ke Jawa, karena: a.
Tidak terlalu memilih dari sisi kualitas, yang penting telah mengkal dan
11
siap dikonsumsi sekitar satu minggu lagi,, b.
Volume penjualan besar, sehingga lebih praktis dan aman dalam penjualan. Hal ini mengurangi resiko jeruk membusuk di pohon karena tidak laku dijual
c.
Petani tidak mengurusi proses pemetikan, karena sudah diurusi semua oleh pedagang.
Perdagangan jeruk ke luar pulau sebagian besar dilakukan oleh pedagang dari Lalembuu sebagai daerah pionir dan sentra produksi jeruk di Konawe Selatan. Namun saat ini mulai muncul petani jeruk dari Wolasi yang juga berperan sebagai pedagang. Pedagang besar biasanya melibatkan pedagang pengepul yang dikontak oleh pedagang besar untuk membantu proses pemetikan. Pedagang besar biasanya datang pada saat panen raya, dan membeli dalam jumlah besar, sementara pedagang lokal datang sepanjang tahun, walaupun volume pembeliannya relatif kecil untuk dijual eceran. Pembentukan harga jeruk terbentuk dengan karakteristik sebagai berikut5: a.
Biaya pada tingkat petani terbentuk dari biaya untuk aktifitas produksi. Aktifitas pengolahan tidak dilakukan karena jeruk dijual dalam bentuk barang mentah.
b.
Faktor yang berpengaruh terhadap biaya di tingkat pedagang adalah kondisi infrastruktur, jarak tempuh dan proses selama dalam pengiriman,
c.
Harga jual ditentukan oleh pedagang pembeli sesuai dengan permintaan pasar. Pedagang yang terindikasi memiliki kekuatan untuk menentukan harga adalah pedagang besar di Jawa, dengan implikasi penetapan harga hingga ke tingkat petani. Ada skema kejasama dengan pedagang jeruk di Jawa dengan sistem bagi hasil untuk meminimalkan resiko kerusakan
5
Wawancara dengan pelaku usaha pertanian jeruk
12
Kondisi Transportasi di Konawe Selatan Kondisi transportasi di Konawe Selatan merupakan salah satu faktor yang menghambat dalam pemasaran jeruk ke luar daerah. Dalam survey lapangan yang dilakukan pada akhir tahun 2013, bertepatan dengan setelah terjadinya banjir besar di wilayah tersebut, dapat disimak parahnya kondisi jalan yang dimiliki oleh kabupaten tersebut. Dokumentasi foto berikut dapat membantu menjelaskan parahnya kondisi infrastruktur jalan di wilayah tersebut.
Gambar 4 Jembatan yang Rusak Karena Banjir dan Beban Berat
13
Gambar 5 Truk yang Terguling
Gambar 6 Jalan Tanah dengan Kondisi Medan yang Berat
14
Kondisi infrastruktur jalan yang rusak parah seringkali menyebabkan petani tidak mampu menjual hasil produksi ke luar daerah. Hal ini karena tingginya resiko kerusakan barang akibat kendaraan terperosok/terguling di jalan, maupun waktu pengangkutan yang lama. Hal tersebut seringkali membuat para petani memutuskan untuk membiarkan jeruk hasil produksi mereka membusuk dan berjatuhan dari pohon tanpa terjual. Hal ini tentunya merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan. Permasalahan lain yang muncul adalah terkait dengan belum memadainya tata kelola di Pelabuhan kendari, yang menyebabkan biaya pengangkutan melalui pelabuhan menjadi mahal. Adanya tarik menarik kepentingan para pihak yang berperan di pelabuhan menjadikan proses penanganan bongkar muat barang menjadi tidak efisien. Adanya pentarifan harga yang tinggi yang dilakukan oleh asosiasi buruh bongkar muat misalnya, menjadikan tingginya biaya penanganan barang yang harus dilakukan6. Belum lagi dengan tidak seimbangnya arus barang masuk dan ke luar Pelabuhan Kendari, terutama yang berasal dari Jawa, yang menyebabkan operator kapal harus memperhitungkan kondisi kosong ketika kapal kembali di Jawa, terutama
Surabaya.
Kondisi
lain
yang
menjadi
masalah
dengan
pengangkutan barang adalah prioritas akhir yang diberikan kepada angkutan barang dibandingkan dengan angkutan penumpang. Hal ini seringkali menjadikan waktu tunggu yang lama di pelabuhan, yang akan berpengaruh pada barang yang diangkut, terutama yang mudah busuk (perishable goods). Multimoda sebagai Alternatif Solusi Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa adanya penanganan transportasi, baik dari sisi infrastruktur maupun tata kelola merupakan aspek yang penting dan mendesak untuk dilakukan. Berdasarkan hasil identifikasi lapangan, porsi biaya logistik, yang sebagian besar dihasilkan oleh biaya angkutan rerata adalah 56,8% dibanding biaya total. Biaya tersebut bervariasi berdasarkan lokasi pasar. Pada lokasi di luar pulau, seperti Jawa, biaya logistik mencapai antara 66,6% hingga 87,2%, 6
Wawancara dengan Pelindo Cabang Pelabuhan Kendari, 2013
15
tergantung dari sumber wilayah produksinya. Wilayah dengan infrastruktur jalan yang bagus seperti Buke dan Konda memiliki porsi biaya yang relatif lebih kecil dibandingkan wilayah dengan infrastruktur jalan yang buruk seperti Lalembuu dan Wolasi. Sementara itu, porsi biaya transportasi pada tingkat lokal memberikan nilai peran biaya logistik antara 18,1% hingga 36,1%. Hal ini menunjukkan dominannya biaya pengangkutan melalui laut ke luar pulau yang mencapai hampir sekitar 50% dari total biaya. Angkutan
multimoda,
dengan
karakteristiknya
yang
mampu
mengkoordinasikan pengangkutan dari titik awal produksi hingga titik akhir pemasaran,
diharapkan
akan
mampu
memberikan
efisiensi
biaya
pengangkutan yang dilakukan. Efisiensi dapat terjadi dengan adanya koordinasi rute, jadwal pengangkutan dan kebutuhan antar moda yang berbeda yang memastikan tingkat utilisasi armada yang lebih besar. Memang solusi tersebut tidak sepenuhnya dapat serta merta dijalankan, karena dibutuhkan beberapa persyaratan agar sistem angkutan multimoda tersebut dapat berperan dalam pengembangan dan pemuliaan jeruk sulawesi yang diproduksi di Konawe Selatan, diantaranya: a. Adanya dukungan dari para pelaku usaha yang bergerak dalam bidang transportasi mono moda. Untuk itu, perlu adanya pengakomodasian para pelaku tersebut menjadi bagian dari sistem multimoda yang akan dibentuk, sehingga tidak ada pelaku yang akan hilang dan tersingkirkan, Dalam jangka pendek, dimungkinkan terjadinya penurunan pendapatan karena adanya sharing keuntungan dengan pelaku usaha lainnya, sehingga dapat menimbulkan resiko keluarnya pelaku usaha tersebut dari sistem multimoda yang terbentuk. Namun dalam jangka panjang, keuntungan yang diterima oleh para pelaku dimungkinkan akan meningkat, karena efisiensi yang ditimbulkan akan mampu memicu timbulnya arus barang dan perdagangan, sehingga keuntungan yang diperoleh akan lebih berkelanjutan. b. Adanya dukungan dari pemerintah untuk mengembangkan wilayah layanan (hinterland) pelabuhan Kendari dengan berbagai produksi
16
unggulan. Adanya komoditas unggulan dan strategis akan mampu memicu tumbuhnya aktifitas perdagangan ulang alik dari dan ke luar daerah, sehingga akan mengurangi biaya yang terjadi karena kekosongan muatan kapal. Pengembangan komoditas unggulan daerah tersebut dapat mengacu pada keunggulan-keunggulan komparatif yang dimiliki daerah dengan didukung oleh keunggulan kompetitif yang terus ditingkatkan.
C.
Kesimpulan dan Saran Beberapa kesimpulan dari kajian ini adalah: a.
Komoditas jeruk merupakan komoditas unggulan Kabupaten Konawe Selatan pada beberapa tahun terakhir. Hal ini ditunjukkan dengan dominannya tingkat produksi jeruk yang mencapai 64,4% dibandingkan total produksi jeruk di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2012.
b.
Pemasaran jeruk sulawesi dari Konawe Selatan dominan ditujukan ke Surabaya dan kota-kota di Jawa lainnya, yang mencapai 90% dari total produksi. Hal ini menunjukkan diperlukannya beberapa moda angkutan dari wilayah produksi ke wilayah pemasaran, yaitu moda jalan dan laut.
c.
Kondisi transportasi merupakan faktor penghambat dalam pemasaran produksi jeruk sulawesi dari Konawe Selatan, baik yang berasal dari buruknya kualitas jalan maupun tata kelola pelabuhan.
d.
Dari sisi kewilayahan, tidak berimbangnya volume keluar masuk barang ke wilayah produksi menyebabkan mahalnya ongkos angkutan kapal ke luar daerah karena besarnya muatan kosong yang harus diperhitungkan sebagai biaya.
Saran yang diberikan dari hasil kajian adalah: a.
Angkutan multimoda merupakan salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mengurangi biaya, dengan adanya sistem yang lebih terintegrasi baik dalam rute, jadwal maupun kebutuhan armada yang sesuai.
b.
Dibutuhkan dukungan dari para pelaku usaha transportasi dan pemerintah agar sistem multimoda yang terbentuk akan mampu eksis
17
dan berperan secara berkelanjutan.
D.
Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik. 2011. Survey Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2013. Sulawesi Tenggara dalam Angka 2013 Brad Jones, et. al. 2000. Transportation Law Journal, Vol. 27 Dinas Pertanian Kabupaten Konawe Selatan. 2013. Data Produksi Tanaman Buah di Kabupaten Konawe Selatan http://economy.okezone.com/read/2013/02/23/320/766412/kenapa-jerukmedan-lebih-mahal-dari-jeruk-mandarin Kementerian Pertanian. 2015. Basis Data Statistik Pertanian Rodrigue, Comtois, & Slack. 2006. Transport Geographic
18