101
MEMAHAMI TEOLOGI ISLAM (Sejarah dan Perkembangannya) Halimah Dja’far1
Abstract Conversation on Islamic theology rose during the mutakallimin or theologians understand the problem about the doer of major sins. The flow in Islamic theology emerged as socio-political issues. Theology rests on three things, that are "talks", "knowledge", and "truth". These three dimensions are indivisible. They then make theology as a discipline of the Lord which is different from other sciences. Theology is another name of Kalam Science, Science of Tawheed, Ushuluddin Sciences, Science Aqaid (aqidah), Alfiqhu alpolitical Akbar. Political courses are the trigger of streams in theology, such as, the Khawarij, Murji'ah, Qodariyah, Jabariyah, Mu'tazila , Shiite, Asy'ariah. Among these streams flow only Shiite and Ash'arite that still exist and more popular with the flow ahlu al Sunnah wa al-Jama'ah (Sunni) whereas the others has not existed anymore. Words -keyword: Theology, history, theologians, knowledge, sciences.
I. Pendahuluan Tulisan ini bermaksud ingin menyegarkan kembali pemahaman kita terkait dengan teologi Islam , suatu istilah yang diyakini belum banyak dikenal oleh pembaca di Indonesia, karena selama ini penamaan tersebut sering digunakan dengan “Ilmu Tauhid”. 1
Halimah Dja’far adalah dosen Fakultas Adab IAIN STS Jambi
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far
102
Teologi Islam, adalah istilah lain dari ilmu kalam dan ilmu tauhid, yang berasal dari bahasa asing. Kemunculan istilah teologi dalam islam, tidak terlepas dari sejarah dakwah islamiyah dalam rangka perluasan (ekspansi) daerah kekuasaan Islam pada awal tahun hijriah, dengan bertambahnya pemeluk agama islam pada masa ini, maka peristilahan di dalam bahasa ikut pula menyertai perkembangan ilmu tauhid. Teologi berarti ilmu yang membahas tentang ketuhanan, yaitu membicarakan zat tuhan, perkataan tuhan, dan perbuatan tuhan dari segala aspeknya yang berkaitan dengan ketuhanan dengan menggunakan argumentasi rasional. Teologi bisa tidak bercorak agama, tetapi merupakan bagian dari filsafat atau fhilosophical theology, atau “filsafat ketuhanan”2. Karena lapangan teologi sangat luas, biasanya kata teologi sering dibubuhi dengan kualifikasi tertentu seperti Teologi Yahudi, Teologi Kristen, Teologi Katolik atau teologi Islam.3 Pada uraian berikutnya, dalam tulisan ini akan dijelaskan secara singkat pengertian, nama-nama lain dari Teologi dan sejarah perkembangan teologi serta aliran kalam yang masih berkembang sampai masa sekarang.
2 3
. Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta, 1974, Bulan Bintang), hal. v . Ibid.
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far
103
II. Pengertian Teologi dan Sejarah Perkembangannya Teologi lazim dipahami secara umum sebagai “ilmu tentang keTuhan-an”, sebab dilihat dari akar katanya, berasal dari theos (Tuhan) dan logos (ilmu, pengetahuan). Teologi dengan demikian, berbicara tentang Tuhan. Tidak ada teologi tanpa Tuhan. Wacana substantif dalam teologi selalu dan dipastikan berpusat pada Tuhan, dan konteks teologi selalu berarti konteks ketuhanan. Jika demikian, bisa dikatakan bahwa tuhan adalah “penanda” utama teologi; Tuhan adalah Alpha dan Omega teologi, titik berangkat sekaligus titik akhir dari refleksi dan pemikiran dalam teologi. Seluruh fondasi teologi dibangun atas kehadiran Tuhan sebagai faktor pertama. Karena demikian fundamentalnya pembicaraan tentangh Tuhan dalam teologi, maka dapat disimpulkan bahwa subjek “Tuhan” adalah eidos, substansi, sekaligus idea, yang memungkinkan teologi ada sebagai sebuah wacana. Karena teologi terkait dengan “Tuhan” dan “pengetahuan” itu sendiri, maka dapatlah disimpulkan bahwa teologi adalah: 1. Ilmu tentang hubungan dunia ilahi (atau ideal, atau kekal tak berubah) dengan dunia fisik. 2. Ilmu tentang hakikat Sang Ada dan kehendak Allah (atau para dewa). 3. Doktrin-doktrin atau keyakinan-keyakinan tentang Allah (atau para dewa) dari kelompok-kelompok keagamaan tertentu dari para pemikir perorangan.
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far
104
4. Kumpulan ajaran mana saja yang disusun secara koheren menyangkut hakikat Allah dan hubungan-Nya dengan umat manusia dan alam semesta. 5. Usaha sistematis untuk menyajikan, menafsirkan, dan membenarkan secara konsisten dan berarti, keyakinan akan para dewa dan/atau Allah.4 Teologi bertumpu pada tiga hal, yaitu “pembicaraan”, “pengetahuan”, dan “kebenaran”. Ketiga matra ini tidaklah terpisahkan. Ketiganyalah yang menjadikan teologi sebagai sebuah disiplin ilmu tentang Tuhan yang berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya. Perbedaan ini sangatlah fundamental dan mendasar, karena, sebagai sebuah disiplin ilmu, teologi mempunyai objeknya yang khas untuk dibicarakan, dan objek tersebut adalah sesuatu yang transendental (Tuhan). Karena ketransendentalannya, maka teologi, sebagai akibatnya, juga mempunyai status transendental dan menduduki posisi istimewa di antara ilmu-ilmu lain.5 Dilihat dari aspek metodologis, teologi menurut Muhammad AlFayyadl dapat dibagi ke dalam dua hal, yaitu teologi sebagai “sistem
4
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, Cet. Ke-4, 2005), hlm. 1090. Muhammad Al-Fayyadl, Teologi Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan, (Yogyakarta: LKiS, 2012), hlm. 5. Al-Fayyadl menambahkan, bahwa analisis makna logos dan theologia ini dengan implicit menunjukkan bagaimana teologi mengalami transformasi dalam dirinya. Teologi ternyata bukan semata wacana tentang Tuhan, tetapi juga suatu system pengetahuan yang, pada gilirannya, mengidentifikasi apa arti “kebenaran”. Dengan kata lain, ia menjadi suatu sistem yang menentukan mana yang “benar” dan “tidak benar”, dan mendefinisikan, membatasi, sekaligus memisahkan secara tegas hubungan antara keduanya. Pada titik ini, teologi mengintervensi wacana tentang Tuhan dengan menegaskan bahwa ada wacana tertentu yang “benar”, dan sebaliknya, ada wacana-wacana lain yang “tidak benar” atau “menyimpang dari kebenaran”. 5
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far
105
keyakinan” dan teologi sebagai “kajian”.6 Pertama, sebagai sistem keyakinan, teologi menunjuk pada pandangan dunia yang dibentuk oleh cita-cita ketuhanan (ideals of divinity) yang secara intrinsic terkandung di dalam praktik keberagamaan itu sendiri. sebagai sistem keyakinan, teologi adalah seperangkat doktrin yang diyakini dalam suatu agama, dan dijalankan secara penuh sadar oleh pemeluknya. Karenanya, teologi merupkan sesuatu yang historis dan kontekstual. Ia bersifat historis karena terjadi di dalam suatu lingkup kesejarahan tertentu (misalnya, kemunculan Gereja dalam agama Kristen, atau peristiwa tahkim dalam Islam, yang kemudia melahirkan ilmu kalam. Selanjutnya, ia bersifat kontekstual karena disituasikan oleh konteks tertentu, yang historis dan partikular. Kedua, sebagai sebuah kajian, teologi menunjuk pada wacana yang dikembangkan dari studi, telaah, dan pendekatan atas konsep-konsep ketuhanan. Dalam konteks ini, sebagai sebuah kajian, teologi lebih bersifat kritis daripada normatif. Karena ia terdiri dari sekumpulan wacana, maka teologi dalam pengertian ini adalah sebuah diskursus filosofis tentang konsep ketuhanan. Teologi ini mengkaji pandangan-pandangan ketuhanan yang sangat inti dan pelik, dan karena itu pendekatannya tidak lagi bersifat
6
Ibid, hlm. 63-64.
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far
106
historis sebagaimana teologi dalam pengertian pertama, melainkan bersifat epistemolopgis dan ontologis. Dalam perkembangannya, rumusan teologi kemudian dimaknai secara variatif sesuai dengan masing-masing agama. St. Eusebius, seorang peletak teologi Kristen setelah St. Origenes, misalnya, merumuskan definisi teologi sebagai pengetahuan tentang Tuhan umat Kristen dan tentang Kristus. Ia mengemukakan definisi ini untuk membersihkan teologi dari mitos-mitos pagan yang diwariskan oleh Neo-Platonisme dan para filusuf Yunani Kuno. Pendapat ini kemudian diikuti oleh St. Thomas Aquinas di Abad Pertengahan
yang mendefinisikan teologi
sebagai
sacra
doctrina,
pengetahuan suci dan sacral tentang ajaran-ajaran utama agama Kristen.7 Agama Yahudi juga memiliki definisi tersendiri tentang teologi. Kaum Yahudi menyebut teologinya sebagaimana umat Islam menamainya sebagai ilmu kalam—sebagaimana akan dibahas dalam sub bab berikutnya—sebab perkembangan teologi Yahudi dipengaruhi oleh perkembangan kalam dalam Islam. Saadia bin Joseph (w. 942), tokoh kalam Yahudi, mendefinisikan teologi Yahudi sebagai pengetahuan tentang dasar-dasar keimanan yang bersumber dari kebenaran kitab suci dan penalaran akal.8 7
Ibid, hlm. 64. Julius Guttmann, Philosophies of Judaism: The History of Jewish Philosophy from Biblical Times to Franz Rosenzweigh, terj. David W. Silverman, ( New York: Schocken Books, 1973), hlm. 70. 8
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far
107
Dalam Islam, definisi teologi juga berkembang sedemikian rupa dan beragam, dengan berbagai dimensi dan variasinya. Istilah “teologi” atau “teologi Islam” disepadankan dengan beberapa istilah berikut ini. Pertama, ilmu kalam. Disebut ilmu kalam setidaknya karena dua hal; 1). Persoalan terpenting yang menjadi pembicaraan pada abad-abad permulaan Hijriyah ialah apakah kalam Allah (al-Qur’an) itu qodim atau hadits. 2). Dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil pikiran ini tampak jelas dalam pembicaraan para mutakallimin. Mereka jarang mempergunakan dalil naqli (al-Qur’an dan hadis), kecuali sesudah menetapkan benarnya pokok persoalan terlebih dahulu berdasarkan dalildalil pikiran.9 Hal senada juga dijelaskan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy yang menyebutkan alasan ilmu ini disebut ilmu kalam, yaitu: 1). problema yang diperselisihkan para ulama dalam ilmu ini yang menyebabkan umat Islam terpecah ke dalam beberapa golongan adalah masalah kalam Allah (alQur’an), apakah ia diciptakan (makhluk) atau tidak (qodim); 2). Materimateri ilmu ini adalah teori-teori (kalam); tidak ada yang diwujudkan ke dalam kenyataan atau diamalkan dengan anggota; 3). ilmu ini, di dalam
9
Sahilun A. Nashir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hlm. 5. Lihat juga Sahilun A. Nashir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajawali Press,Cet. 2, 2012), hlm. 4.
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far
108
menerangkan cara atau jalan menetakan dalil pokok-pokok akidah serupa dengan ilmu mantiq; 4). ulama-ulama mutaakhirin membicarakan di dalam ilmu ini hal-hal yang tidak dibicarakan oleh ulama salaf, seperti penakwilan ayat-ayat mutasyuabihat, pembahasan tentang qadha’, kalam, dan lainlain.10 Kedua, ilmu tauhid. Dinamakan ilmu tauhid karena pokok pembahasannya menitikberatkan pada ke-Esa-an Allah Swt. Tauhid adalah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mempercayai tidak ada yang menjadi sekutu bagi-Nya.11 Tujuan tauhid adalah menetapkan ke-Esa-an Allah dalam Dzat, sifat, dan perbuatan-Nya. Karena itulah pembahasan yang berhubungan dengan-Nya dinamakan ilmu tauhid. Muhammad Abduh, mendefinisikan tauhid sebagai ilmu yang membahas tentang wujud Allah tentang sifat-sifat yang wajib tetap bagiNya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan sifat-sifat yang sama sekali wajib ditiadakan kepada-Nya. Membahas juga tentang Rasul-rasul Allah untuk menetapkan kebenaran risalahnya, apa yang wajib ada pada
10
10.
Muhammad Ahmad, Tauhid: Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm.
11
Lihat Abu Fattah Muhammad Abdul Karim Asy-Syarastani , Milal wa al-Nihal, (Kairo: Muassasah al-Malaby, 1968), hlm. 42.
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far
109
dirinya, hal-hal yang boleh dihubungkan (dinisbatkan) pada diri mereka, dan hal-hal yang terlarang menghubungkannya kepada diri mereka.12 Ketiga, ilmu ushuluddin. Disedut demikian karena objek pembahasan utamanya adalah dasar-dasar agama yang merupakan masalah esensial dalam ajaran Islam. Masalah kepercayaan itu betul-betul menjadi dasar pokok dari persoalan lain dalam agama Islam. Ilmu ushuluddin adalah ilmu yang membahas tentang prinsip-prinsip kepercayaan agama dengan dalil-dalil yang qath’i (al-Qur’an dan hadis) dan dalil-dalil akal pikiran.13 Keempat,
ilmu
aqaid
(akidah),
yang
membicarakan
tentang
kepercayaan Islam. Penamaan dan makna istilah ini mirip dengan ilmu tauhid. Syaikh Thahir al-Jazary mendefinisikan akidah adalah hal-hal yang diyakini oleh orang-orang Islam, artinya mereka menetapkan atas kebenarannya.14 Istilah ilmu akidah yang diidentikkan dengan teologi Islam menurut Hassan Hanafi, merupakan nama paling tidak popular di kalangan pengkaji Islam.15
7.
12
Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, (Kairo: Muassasah al-Malaby, tt), hlm.
13
Sahilun A. Nashir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam)…, hlm. 4. Thahir al-Jazair, al-Jawahir al-Kalamiyah, (Surabaya: Salim Nabhan, 1966),
14
hlm. 2.
15
Hassan Hanafi, Dari Aqidah ke Revolusi: Sikap Kita terhadap Tradisi Lama, terj. Asep Usman Ismail, dkk, (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. 10.
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far
110
Kelima, al-fiqh al-akbar. Nama ini tidak banyak muncul kecuali di dalam perkembangan ilmu itu. Kemunculannya juga tidak berlangsung lama setalah ilmu akidah berkembang dan mencapai kesempurnaannya.16 Istilah al-fiqh al-akbar dicetuskan oleh Abu Hanifah, yang sebenarnya mengacu pada persoalan hukum Islam (fikih). Menurut Abu Hanifah, hukum Islam terbagi atas dua bagian. Pertama, fal-fiqh al-akbar, membahas keyakinan pokok atau pokok-pokok agama atau ilmu tauhid. Kedua, al-fiqh al-ashghar, membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalah, bukan pokok-pokok agama, tetapi hanya cabang saja.17 Kelima istilah tersebut telah lazim dikenal masyarakt luas dan banyak dikutip oleh para pengkaji studi Islam,18 meskipun sebenarnya masih ada istilah lain, tetapi kurang populer, yaitu “ilmu hakikat”19 dan “ilmu makrifat”.20 Meskipun nama yang diberikan berbeda-beda, tetapi inti pokok
16
Ibid. Lihat Musthafa Abdu al-Raziq, Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah, (Kairo: Lajnah wa al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1959), hlm. 265. 18 Lihat misalnya, Hassan Hanafi, Dari Aqidah ke Revolusi…, hlm. 2-12. Sahilun A. Nashir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam)…, hlm. 4-6. 19 Ilmu hakikat adalah ilmu sejati karena ilmu ini menjelaskan hakikat segala sesuatu, sehingga dapat meyakini akan kepercayaan yang benar (hakiki). Lihat Muhammad Ahmad, Tauhid: Ilmu Kalam…, hlm. 17. 20 Disebut ilmu makrifat karena dengan pengetahuan ini dapat mengetahui benarbenar tentang Allah dan segala sifat-sifat-Nya dan dengan keyakinan yangh teguh. Lihat Ibid. 17
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far
111
pembahasannya sama, yaitu berusaha memahami tentang segala hal terkait dengan ke-Tuhan-an. Teologi Islam atau ilmu kalam atau istilah-istilah lain sebagaimana telah dijelaskan di atas, dikenal sebagai ilmu keislaman yang berdiri sendiri, yakni pada masa Khalifah al-Makmun (813-833) dari bani Abbasiyah. Sebelum itu pembahasan terhadap kepercayaan Islam disebut al-fiqhu fi alddin sebagai lawan dari al-fiqhu fi al-‘ilmi.21 Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dalam Islam dipicu oleh persoalan politik22 yang menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan yang berujung pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib berujung pada peristiwa perang Shiffin yang menghasilkan keputusan tahkim (arbitrase). Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin al-Ash, delegasi dari pihak Muawiyah dalam tahkim, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam
21
Sahilun A. Nashir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam)…, hlm. 3. Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, cet. 5, 2012), hlm. 3. 22
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far
112
Al-Qur’an. La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hokum Allah) atau la hukma illa Allah (tidak ada perantara selain Allah) menjadi semboyannya. Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah Islam, sikap kelompok yang keluar dari barisan Ali tersebut dikenal dengan nama khawarij, yaitu mereka yang keluar dan memisahkan diri atau secerders.23 Di luar pasukan yang keluar dari barisan Ali, ada pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian menamakan diri kelompok Syi’ah. Menurut Watt, Syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah itu. Ketika Ali menerima arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyah, pasukan Ali terpecah menjadi dua, yaitu satu kelompok mendukungh sikap Ali—yang kemudian dikenal dengan kelompok Syi’ah, dan kelompok lain yang menolak sikap Ali, yang dikenal dengan kelompok Khawarij.24 Dari sanalah, persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir; siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Khawarij, sebagaimana yang telah disebutkan, memandang bahwa orang-orang yang
23
W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim, (Jakarta: P3M, 1987), hlm. 10. 24 Ibid, hlm. 6-7.
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far
113
terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu’awiyah, Amr bin al-Ash, Abu Musa al-Asy’ari, adalah kafir berdasarkan firman Allah pada Q.S alMaidah: 44.25 Persoalan itu telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam, yaitu pertama, aliran Khawarij, yang menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam, atau murtad, dan wajib dibunuh. Kedua, aliran Murji’ah, yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuni dan menghukumnya. Ketiga, aliran Mu’tazilah, yang tidak menerima kedua pendapat di atas. Bagi aliran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir, yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan istilah al-manzilah manzilatain (posisi di atara dua posisi). Selanjutnya, timbul pula dua aliran teologi yang terkenal dengan nama Qodariyah dan Jabariyah. Menurut Qodariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya, sedangkan Jabariyah, berpendapat sebaliknya bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.
25
Ibid.
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far
114
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama golongan Hanbali, yaitu pengikutpengikut madzhab Ibn Hanbal. Mereka yang menantang ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang dipelopori oleh Abu alHasan al-Asy’ari. Di samping aliran al-Asy’ariyah, timbul pula suatu aliran di Samarkand yang juga bermaksud menentang aliran Mu’tazilah. Aliran ini didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi (w. 944 M). aliran ini kemudian terklenal dengan nama teologi al-Maturidiyah. Kini di zaman modern, aliran-aliran seperti Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah tidak terlembagakan lagi, kecuali hanya dalam sejarah. Adapun yang masih ada sampai sekarang adalah aliran al-Asyariyah dan Maturidiyah yang keduanya lazim disebut ahlu al-sunnah wa al-jama’ah.
III. Aliran ahlu-al-sunnah wa al-jama’ah Golongan ahlu-al-sunnah wa al-jama’ah berasal dari dua kelompok islam, yaitu Asy’ariyah dan Maturidiyah, yang lahir sebagai reaksi terhadap paham Mu’tazilah yang rasional dan filosofis, terutama dalam meyikapi hadis Nabi Muhammad SAW.26
26
. Nina M. Armando ...(et al.), Ensiklopedi Islam, (Jakarta, PT Ichtiar Baru van Hoeve, jilid I, 2005), hal. 106.
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far
115
Dalam banyak literatur dijelaskan, kehadiran golongan ahlu-alsunnah wa al-jama’ah mendapat sambutan yang sangat baik dari umat islam, karena orang awam menginginkan ajaran sederhana yang sejalan dengan sunah Nabi Muhammad SAW dan mereka sangat sulit menerima ajaran mu’tazilah yang rasional dan sangat filosofis. Sampai saat ini sekitar 70% umat muslim di dunia menganut paham golongan ahlu-al-sunnah wa al-jamaa’h. Istilah ahlu-al-sunnah wa al-jama’ah dinisbahkan pada aliran teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah karena mereka berpegang kuat pada sunah Nabi Muhammad SAW dan juga merupakan kelompok mayoritas umat islam sedangkan golongan Mu’tazilah adalah golongan yang tidak kuat berpegang pada sunah Nabi Muhammad SAW dan sejak semula merupakan kelompok minoritas dalam masyarakat Islam pada waktu itu.27 Oleh sebab itu, sunah dalam istilah ini berarti hadis. Aliran ini sangat cepat berkembang pada masanya, karena komunitas aliran Asy’ariyah di Basrah ini menganut mazhab Syafi’i serta Ahmad bin Hanbal, sedangkan di Irak teologi Maturidiyah banyak dianut oleh pengikut mazhab Imam Hanafi. Kedua mazhab ini pada masanya sangat banyak
27
. Ibid
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far
116
dianut oleh umat islam sehingga memudahkan bagi tokohnya untuk memperluas dan memperbanyak komunitas aliran tersebut. Selanjutnya istilah ahlu-al-sunnah wa al-jamaa’h di sebut juga dengan Ahl-al-Hadis wa as-Sunnah (golongan yang berpegang teguh pada hadis
dan
sunah)
dalam
kitabnya
yang
berjudul
Maqalat
al-
Islamiyah.28Aliran Mu’tazilah, Khawarij, Murji’ah dan Syi’ah tidak termasuk aliran ahl-al-sunnah wa al-jama’ah.
IV. Sekilas tentang ajaran ahlu-al-sunnah wa al-jama’ah 1. Pandangan ahlu al-sunnah wa al-jama’ah terhadap mukmin yang melakukan dosa besar Persoalan dosa besar dalam teologi islam menjadi tema yang paling banyak menyita perhatian para teolog (mutakallimun), bahkan perbincangan posisi mukmin pelaku dosa besar ini pula yang memicu lahirnya ilmu kalam, meskipun pada awalnya persoalan politiklah yang menjadi latar belakang kemunculan ilmu ini. Pandangan ahlu al- sunnah wa al-jama’ah terhadap mukmin (orang yang beriman) yang melakukan dosa besar seperti berzina, mencuri, dan dosa-dosa besar lainnya, mereka tidak menghukumnya dengan kufur, tetapi pelaku dosa besar tersebut masih mukmin. Berbada dengan aliran Khawarij,
28
. Ibid. Hal. 107
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far
117
yang berpendapat bahwa mukmin pelaku dosa besar sudah dikategorikan kafir dan tempatnya diahirat nanti berada di neraka. Dalam konteks pemikiran tentang mukmin pelaku dosa besar, menurut Al-Asy’ari di dalam tulisannya, “Dan mereka (Ahlus Sunnah) berijma’ bahwasanya orang yang beriman kepada Allah SWT dan beriman kepada semua yang diserukan oleh Nabi Muhammad SAW, maka suatu kemaksiatan tidak akan bisa mengeluarkannya dari keimanan dan tak ada yang bisa menghapus Imannya kecuali kekufuran, dan bahwasanya orang-orang yang suka berbuat maksiat dari ahli kiblat (orang muslim) tetap mendapatkan perintah untuk melaksanakan semua syariat, dalam keadaan tidak keluar dari Iman.”29 Argumentasi yang digunakan oleh aliran ahlu al-sunnah wa al-jama’ah, firman Allah “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari syirik itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar.”30 Pendapat yang sama dikemukakan oleh Syaihul Islam Abu Utsman ashShabuni,31 orang mukmin yang melakukan dosa besar atau dosa kecil, tidak dikatakan dia telah kafir, jika dia telah meninggal dunia dalam iman dan ikhlas meskipun dalam keadaan belum bertobat. Posisi mereka kelak 29
. Abu al-Hasan al-Asy’ari, Risalatun Ila Ahli ats-Tsaghar.(94), sebagaimana dikutip oleh Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais dalam I’tiqad Ahlisunnah Ashhab al-Hadits, Dar al-Ushaimi lin Nasyr wat Tauzi,edisi terjemahan, Pokok-Pokok Akidah Salaf yang diikrarkan Imam al-Asy’ari,Darul Haq, Jakarta , 2006,hal.7 30 . Al-Quran, surat An-Nisa’ ayat 48 31 . Pokok-pokok Akidah Salaf, Ibid. Hal. 79
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far
118
diakhirat diserahkan kepada Allah, apakah mukmin yang melakukan dosa besar ini akan dimasukkan kedalam surga atau akan dimasukkan ke dalam neraka adalah menjadi urusan Allah yang tidak dapat diinterpensi oleh siapapun. 2. Teori Kasb Dalam konteks pemikiran tentang kebebasan manusia, menurut Asy’ari, (ahlu al- sunnah wa al-jama’ah) perbuatan manusia tidak diwujudkan oleh manusia itu sendiri, seperti diciptakan oleh Tuhan. Perbuatan manusia meskipun secara hakiki dimiliki oleh Tuhan, tetapai manusia memiliki kasb(perolehan/usaha) untuk dapat menggunakan perbuatan itu,32 sehingga ia menjadi bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. Jadi secara majazi manusia melakukan perbuatan sesuai dengan daya yang diberikan oleh Tuhan. Tanpa itu manusia tidak bisa apa-apa. Hanya mengusahakan apa yang diberikan Tuhan. Asy’ari bertanggung jawab atas doktrin kasb(usaha manusia). Dia membedakan antara kemampuan untuk berbuat, yaitu mencipta atau menghasilkan,
atau
mengubah
wujud,
dan
kemampuan
untuk
menghendaki yang sama. Mereka menyangkal adanya kemampuan bertindak kepada manusia dengandasar hanya Tuhan yang mempunyai
32
. Harun Nasution, Teologi Islam..., hlm. 106
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far
119
kemampuan tersebut. Manusia hanya berkehendak tetapi Tuhanlah yang menentukan objek yang dikehendaki. Manusia mendapat manfa’at atau keburukan dari suatu kejadian bukan karena dia melakukannya, tetapi karena ia menghendakinya.33 Kekuasaan mutlak Tuhan atas alam semesta ini, hak penciptaan-Nya atas seluruh kejadian,keadilan-Nya, dan tanggungjawab manusia(yang ditegaskan Islam) dengan demikian selaras. Doktrin kasb Asy’ari sesuai dengan pandangan modern tentang realitas sebagai system tertutup yang bebas dari kendalakausal. Pandangan ini juga sesuai dengan pandangan tentang perbuatan manusia yang tak lebih daripada intervensi yang membelokkan aliran kausal darisatu efek ke efek lain yang dipilih manusia. Apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan perbuatannya? Menurut Asy’ari, bahwa antara khalik dan makhluk adalah berbeda; Khalik adalah pencipta yang mampu menciptakan segala sesuatu termasuk keinginan manusia, sedangkan makhluk
33
adalah
muktasib
yang
mengusahakan
sendiri
. Ibid, hal. 105
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far
120
usaha/perbuatannya.34 Jadi, meskipun manusia mempunyai usaha tapitetap Tuhanlah yang berkuasa menentukan dan memberikan usaha tersebut.
V. Penutup Dapat disimpulkan dari pembahasan diatas, teologi merupakan ilmu yang membahas tentang Tuhan, yang terkait dengan segala aspeknya, sifat, zat dan perbuatan Tuhan yang menggunakan argumentasi filosofis, ilmu ini berbeda dengan ilmu lainnya, dikenal sebagai ilmu keislaman yang berdiri sendiri, yakni pada masa Khalifah al-Makmun (813-833) dari bani Abbasiyah. Sebelum itu pembahasan terhadap kepercayaan Islam disebut alfiqhu fi al-ddin sebagai lawan dari al-fiqhu fi al-‘ilmi. Penamaan teologi yang lebih dikenal dengan ilmu tauhid dipengaruhi oleh bahasa asing. Sejarah perkembangan teologi mulai dari masa klasik hingga zaman modern dan kontemporer, mengalami perubahan yang sangat signifikan, hal ini merupakan pengaruh dari perkembangan zaman yang senantiasa berubah, pemahaman keagaamaan Islam harus termodernkan untuk mengatasi masalah kehidupan sosial umat islam yang konpleks. Aliranaliran yang muncul di zaman klasik tentu tidak sesuai lagi dengan kondisi sosial umat islam, namun aliran ahlu sunnah wa al-jama’ah, hingga kini 34
. Abu Hasan bin Ismail Al-Asy’ari, Al-Ibanah An Ushul Ad Diniyanah, (Hyderabat: Deccan, 1903), hlm.9
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far
121
merupakan aliran yang masih eksis dan mempunyai banyak penganut di dunia, utamanya di Asia Tanggara.
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far
122
DAFTAR PUSTAKA Abu Fattah Muhammad Abdul Karim Asy-Syarastani , Milal wa al-Nihal, (Kairo: Muassasah al-Malaby, 1968) Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta, 1974, Bulan Bintang) Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Perbandingan, (Jakarta: UI Press, cet. 5, 2012)
Sejarah
Analisa
Hassan Hanafi, Dari Aqidah ke Revolusi: Sikap Kita terhadap Tradisi Lama, terj. Asep Usman Ismail, dkk, (Jakarta: Paramadina, 2003) Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais, I’tiqad Ahlissunnah Ashhab alHadits, edisi terjemah an ,Pokok-Pokok Akidah Salaf yang diikrarkan Imam al-Asy’ari, (Jakarta Darul Haq , 2006) Julius Guttmann, Philosophies of Judaism: The History of Jewish Philosophy from Biblical Times to Franz Rosenzweigh, terj. David W. Silverman, ( New York: Schocken Books, 1973) Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, Cet. Ke-4, 2005) Muhammad Al-Fayyadl, Teologi Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan, (Yogyakarta: LKiS, 2012), Muhammad Ahmad, Tauhid: Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998) Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, (Kairo: Muassasah al-Malaby, tt) Musthafa Abdu al-Raziq, Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah, (Kairo: Lajnah wa al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1959) Nina M. Armando ...(et al.), Ensiklopedi Islam, (Jakarta, PT Ichtiar Baru van Hoeve, jilid I, 2005) Sahilun A. Nashir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Rajawali Press, 1991) Sahilun A. Nashir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajawali Press,Cet. 2, 2012)
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far
123
Thahir al-Jazair, al-Jawahir al-Kalamiyah, (Surabaya: Salim Nabhan, 1966) W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim, (Jakarta: P3M, 1987)
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014
Halimah Dja’far