Budiyono, Hery Prasetyo, Dien Vidia Rosa, Elly Suhartini
1
Memahami Dunia Lelono Alas Purwo Banyuwangi Budiyono, Hery Prasetyo, Dien Vidia Rosa, Elly Suhartini Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jember (UNEJ) Jln. Kalimantan 37, Jember 68121 E-mail:
[email protected] Abstrak Tulisan ini maksudkan untuk membangun pemahaman tentang Lelono. Selama ini tidak ada pemahaman yang mendalam tentang Lelono sehingga Lelono dianggap sebagai subyek yang bermasalah dan mengganggu. Timbul pendapat ini muncul dari bermacam-macam tentang kehadirannya tanpa ada pemahaman tentang tindakannya. Dalam konteks ini peneliti menggunakan paradigma penelitian yang berakar dari Max Weber yaitu interpretatif atau yang disebut dengan Verstehen. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Proses Rasionalisasi. Konsep Proses Rasionalisasi sebagai rujukan telah membawa pemahaman yang mendalam tentang dunia Lelono. Kehadiran Lelono tidak terlepas dari pengalaman dan pengetahuan selama mereka hidup dan membentuk pilihan yang dilakukannya serta komitmen yang memotivasi dirinya untuk tetap memperjuangkan apa yang menjadi tujuannya. Adanya Lelono di Alas Purwo bukan tanpa dasar dan tujuan tetapi terdapat tujuan yang mendasarinya. Secara historis Lelono lekat dengan konsep kejawen yaitu Sangkan Paraning Dumadi yang secara garis besar diartikan pada penghayatan dari mana manusia berasal, apa dan siapa dia masa kini, dan kemana arah tujuan hidupnya. Kesimpulan yang dapat dicapai dari pemahaman tersebut yaitu memahami tidak hanya sebatas mengerti dan mengetahui tetapi dapat menempatkan subyek dengan subyek lain. Kata Kunci: Lelono, Verstehen, Proses Rasionalisasi Abstract This paper is intended to construct understanding of Lelono . So far, there is no deep understanding about Lelono untill Lelono regarded as problematic and disturbing subject . This case arouse from the opinions of a variety of presence without any understanding of his actions . In this context, researchers used a research paradigm that is rooted in the interpretive of Max Weber called Verstehen . The theory used in this study is a process of rationalization . Through the process of rationalization as the reference concept has brought a deep understanding of the world Lelono. Their presence is inseparable from the experience and knowledge during their lives and shape their choices accomplishments and commitment that motivates them to keep fighting for the goal's . Lelono's presence in Alas Purwo was not without basis but were underlying objectives . Historically Lelono closed with the Javanese concept Sangkan Paraning dumadi which broadly interpreted as the comprehension of where humans came from, what know and who he is today, and where the direction of his life goals . The conclusion from the interpretation was to understand it is not only limited to know and to learn, but to place the subject with other subjects. Keywords: Lelono, Verstehen, Process of Rasionalization.
Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013
Budiyono, Hery Prasetyo, Dien Vidia Rosa, Elly Suhartini Pendahuluan Fenomena Lelono Alas Purwo1 sudah ada sejak dulu. Lelono dikenal sebagai para lelaku atau pengelana yang mencoba untuk memperdalam ilmu kebatinannya. Seiring perkembangan sosial budaya yang terjadi pada masyarakat, dalam pandangan umum Lelono dekat dengan permasalahan dimana mereka dipahami sebagai sosok yang mencoba untuk lari dari masalah mereka dan menghabiskan waktunya untuk mengasingkan diri di dalam hutan. Dilihat dari sikap dan perilaku yang nampak dari Lelono memang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Masyarakat umum dalam kesehariannya hidup serta terikat oleh semua tatanan sosial, sedangkan Lelono lebih memilih tinggal dan menjalani hidupnya di hutan. Lelono juga dipahami sebagai sosok yang lebih banyak menghabiskan waktu di tempat pertapaannya karena Lelono itu sendiri diidentikkan dengan kegiatan pertapaan, serta sebagai sosok yang dekat dengan hal-hal gaib seperti orang yang mencari kesaktian dan mereka tidak bisa untuk diajak bergaul sebagaimana orang pada umumnya. Karenanya Lelono dipahami sebagai orang yang gagal dalam bermasyarakat, entah itu dalam berkeluarga atau kegagalan dalam kehidupannya karena tidak sedikit dari Lelono mempunyai latar belakang yang demikian. Taman Nasional Alas Purwo menempatkan Lelono sebagai sosok yang dianggap menggangu. Sebagai Kawasan konvervasi pada umumnya harus bebas dari kehadiran manusia karena dianggap dapat merusak ekosistem yang ada. Pilihan Lelono untuk menjalani hidupnya di hutan dikhawatirkan akan merusak kelangsungan ekosistem yang ada terutama berkaitan dengan aktivitasnya di hutan. Disisi lain ketika dipahami kembali Lelono mencoba untuk menjaga hutan dengan konsep kultural mereka karena Lelono juga mengenal arti keseimbangan yaitu keseimbangan hubungan baik dalam hal transenden maupun keseimbangan hubungan baik dengan lingkungan sekitar atau alam semesta, hutan juga dipahami sebagai tempat tinggal serta tempat untuk menemukan sejati dirinya serta asal-usulnya. Selama ini pemahaman menganai Lelono berhenti pada sosok yang hanya mengasingkan diri di hutan yang diidentikkan dengan hal-hal gaib serta syarat akan permasalahan sosial yang menyertainya. Tulisan ini berusaha untuk mengahadirkan sebuah pemahaman bagaimanakah memahami dunia Lelono alas purwo. Konsekuensi dari menjadi Lelono antara lain; jauh 1 Alas Purwo termasuk dalam kawasan Taman Nasional Alas Purwo yang terletak di Kecamatan Tegaldlimo dan kecamatan Purwoharjo Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur. Sebagian khalayak umum mengenal Alas Purwo sebagai hutan kawitan atau asal usul dan sebagai tempat untuk menyatukan antara kebaikan dan keburukan. Alas Purwo bukan hanya dipandang sebagai hutan sebagaimana umumnya tetapi dipandang sebagai bagian dari kesejarahan dan budaya. Seperti adanya situs kawitan yang ada di Alas Purwo, dapat dipahami juga situs ini sebagai simbol asal usul. Wetan atau dalam bahasa Indonesia adalah timur, ‘’berarti’’ wiwitan, ‘’awal’’ atau ‘’asal’’. Dan adakah tempat yang lebih baik untuk merenungi Wujud Per-tama ketimbang di Alas Purwo, ‘’hutan purba’’ (purwa= asal-usul, timur) di ujung timur. Lihat Suwardi Endraswara, M.Hum, : Agama Jawa Laku Batin Menuju Sangkan Paran,. Lembu Jawa. Yogyakarta. 2012. Hlm. 27.
Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013
2 dari keluarga, dari semua ikatan sosial kehidupan sebelumnya, dari semua aktivitas-aktivitas ekonomi, politik, dari semua kepentingan bentuk keduniawian, yang kesemuanya bukan tanpa rasionalitas. Ada tujuan yang ingin dicapai dan melatarbelakangi tindakannya menjadi Lelono. Dengan memahami Proses Rasionalisasi2, maka Lelono dapat dihadirkan dan ditempatkan pada dunia sosial tempat Lelono memposisikan dirinya. Proses Rasionalisasi itu sendiri terdiri dari beberapa tahapan yaitu mengenai tatanan kosmik dan moral yang dimiliki masing-masing Lelono terkait tatanan yang lebih luas. Selanjutnya kontrol normatif atau sanksi yang dimiliki oleh Lelono hal ini terkait sikap dan tindakannya dalam keseharian. Dan tahapan terakhir yaitu komitmen motivasi dalam hal ini berkaitan dengan keyakinan, keseriusan serta kesiapannya atas konsekuensi yang mereka pilih dalam menjalani hidup3. Metode Penelitian Penelitian tentang Memahami4 Dunia Lelono Alas Purwo Banyuwangi ini menggunakan paradigma penelitian yang berakar dari Max Weber yaitu interpretatif atau yang sering disebut dengan verstehen. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Proses Rasionalisasi Max Weber dalam Sosiologi Agama. Peneliti berangkat dengan ideal type dalam kerangka berfikir Weberian digunakan sebagai menghubungkan antara subyek peneliti dengan subyek penelitiannya. Sehingga apa yang dipahami oleh peneliti dengan subyek penelitiannya dapat dipahami. Ideal Type merupakan kategori nilai, konsep dan imajinasi teoritis yang di bawa oleh peneliti ketika mencoba mendekati realitas. Penelitian tentang memahami Lelono ini dilakukan di alas purwo, tepatnya di Resort Pancur yang termasuk kedalam kawasan Taman Nasional Alas Purwo, kecamatn Tegal Dlimo, kabupaten Banyuwangi. Informan dalam penelitian ini atau aktor adalah Lelono, baik itu yang pernah maupun yang sedang menjalani hidup sebagai Lelono di Alas Purwo. Dalam penelitian ini, data dikumpulkan melalui wawancara mendalam atau indepth interview. 2
Rasionalisasi adalah konsep induk yang melaluinya budaya mendefinisikan situasi-situasi keagamaan, dan yang melaluinya sosiologi agama dapat memahami definisidefinisi budaya untuk situasi-situasi tersebut. Lihat Pendahuluan Talcott Parson dalam. Max Weber: SOSIOLOGI AGAMA. IRCiSoD. 2012. Jogjakarta. Hlm. 36. 3
Untuk lebih lanjut baca Parson Ibid. Hlm 36-38.
4
Memahami(understanding) atau verstehen, bagi Weber, bagaimanapun, ini merupakan pendekatan unik dari ilmuilmu moral atau budaya, hal ini berkaitan dengan manusia jika dibandingkan dengan hewan atau dengan alam yang tak bernyawa. Manusia bisa ‘memahami’ atau mencoba’ memahami’ niatnya sendiri melalui intropeksi, dan ia mungkin menafsirkan motif dari tindakan dari proses atau niat itu berasal. Lihat H. H. Gerth and C. Wright Mills. FROM MAX WEBER: Essays in Sociology. New York: Oxford University Press. 1946. Hlm. 56.
Budiyono, Hery Prasetyo, Dien Vidia Rosa, Elly Suhartini Peneliti juga memperoleh data-data dari informan dalam hal ini adalah para Lelono, melalui cerita-cerita yang disampaikan. Informan selalu bercerita kepada peneliti ketika peneliti sedang bersama mereka. Informasi yang Peneliti dapatkan disusun dalam sebuah monograf, hal ini dilakukan untuk memudahkan peneliti untuk mengumpulkan informasi-informasi dan mengkategorikan semua aktivitas Lelono, kejadian-kejadian serta keseharian peneliti selama melakukan penelitian. Mereka selalu bercerita begitu saja, selalu tidak menentu dan hal ini yag menjadi menarik karena lelon membangun pemahaman tentang dunia Peneliti melakukan penelitian dengan hidup bersama bersama informan. Dimulai pada tanggal 10 September 2012 hingga berakhirnya penelitian yaitu pada tanggal 23 Nopember 2012. Hasil dan Pembahasan 1. Memahami Konsep Lelono Alas Purwo Konsep mengenai Lelono secara Sosiolinguistik dipahami berasal dari dua kata dasar yaitu Lelaku/laku dan lana/pengalana. Sesuai dengan informasi dahulu Lelono merupakan para lelaku yang sedang melaksanakan tirakat atau kegiatan pertapaannya di Alas Purwo. Dikatakan sebagai pengalana karena mereka berasal dari berbagai daerah yang jauh dari lokasi Alas Purwo. Keterkaitan Lelono dengan bertapa adalah karena selama berada di hutan atau tempat yang menjadi tujuannya mengasingkan diri. Lelono juga melakukan hal-hal yang bisa digolongkan dengan kegiatan yang berkaitan dengan bertapa. Konsep bertapa dapat dirujukan pada kajian Benedict R.O’G. Anderson, dalam tradisi ortodok misalnya bertapa erat kaitannya dengan bagaimana mencari sebuah kekuasaan. Praktik bertapa dekat dengan praktik-praktik yoga, walupun praktik-praktik yoga berbeda-beda bentuknya di berbagai daerah jawa, misalya; berpuasa, tidak tidur, bersemedi, tidak melakukan hubungan seksual, pemurnian ritual dan mempersembahkan berbagai sesaji, terdapat satu gagasan pokok yang mendasarinya. Seperti halnya peneliti ketahui ketika melihat seseorang yang sedang bersemedi di sebuah gubuk ketika pertama kali melakukan penelitian. Pertanyaannya adalah apakah mencari kekuasaan seperti yang disebutkan dalam tradisi ortodok diatas yaitu mencari kekuasaan dalam hal gaib atau kekuasaan dalam hal lain misalnya ideologi atau politis. Karena jika mencari kekuasaan politik dapat dipahami sebagai upaya untuk memusatkan hal-hal yang transenden. Kemudian menarik hal-hal yang sifatnya transenden dibawa oleh pertapanya kedunia, karena kekuasaan yang politis erat kaitannya dengan dunia. Benedict R.O’G. Anderson menegaskan kembali arti kejiwaan dari bertapa bahwa bukan mengenai penyiksaan diri dengan tujuan-tujuan etis, melainkan hanyalah dan semata-mata untuk memperoleh kekuasaan. Menurut tradisi ortodoks, bertapa mengikuti hukum kompensasi yang fundamental bagi orang jawa yaitu tentang keseimbangan kosmos. Berangkat dari konsep kekuasan menurut kebudayaan Jawa, di dalamnya terdapat 4 ciri khas dasar Menurut B. Anderson. Seperti konsep yang kedua yaitu:
Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013
3 ‘’Power is homogeneous. It follows from this conception that all power is of the same type and has the same source. Power in the hands of one individual or one group in identicial with power in the hands of any other individual or group'5'. Kekuasaan dalam hal ini bersifat homogen. Dimana mengikuti dari konsep ini bahwa kekuasaan hanya berasal dari satu sumber. Kekuasaan dipegang oleh seseorang dalam suatu kelompok atau beberapa individu dari suatu kelompok tersebut. Tetapi pada umumnya dipahami sebagai kekuasaan Raja. Raja memiliki kemampuan atau pengaruh besar di alam semesta. Dan seperti yang telah disebutkan diatas bertapa mengikuti hukum kompensasi yang fundamental bagi rasa orang jawa tentang keseimbangan kosmos. Keseimbangan kosmos diatur oleh seseorang yaitu raja sebagai pedoman yang universal dari suatu kelompok atau kebudayaan yang mengatur perilaku manusia dan penataan sistem sosial yang ada. Hal ini berbeda dengan Lelono, Lelono dipahami sebagai sosok cosmik dimana Lelono sebagai sosok yang menjalani kehidupannya di alam semesta dengan mencoba untuk menyeimbangkan kosmos yaitu antara mikrokosmos atau merujuk dalam konsep jagad cilik dengan makrokosmos atau merujuk pada konsep jagad gede. Mikrokosmos atau jagad cilik sebagai usahanya dalam pencarian akan dirinya, berhubungan dengan proses pencarian akan asal usulnya. Makrokosmos atau jagad gede dalam hal ini berkaitan dengan hubungannya di alam semesta, yaitu dengan kondisi lingkungan disekitarnya hal ini dapat dilihat dari tindakannya dalam keseharian. Bertapa dalam kajian Florent Y. C. Giehmann yang memulai penelitiannya secara berbeda dari Benedict R. Anderson, dalam tulisannya yang berjudul ‘’ Menutupi sembilan gapura”, untuk mencapai “mati didalam hidup”: praktek pertapaan sebagai teknologi do’a mujarab didalam kebudayaan Jawa6’’. Melalui tulisan tersebut Florent mencoba membangun sebuah kritik terhadap tesis Benedict mengenai konsep kekuasaan di Jawa. Sehingga Tulisannya dikenal dengan hal yang berkaitan mengenai laku prihatin sebagai perwujudan do’a sering di garis bawahi bahwa ini semua ia dapatkan didalam keterangan informannya mengenai maksud dari tapa prihatin. Sifat tapa brata sebagai teknologi do’a mujarab menampakkan diri didalam tiga konteks etnografis yang akan digambarkan disini: 1. Dalam Konteks adat Ritual. 2. Dalam konteks praktek pertapaan yang di panjatkan supaya mengatasi krisis pribadi.
5
Benedict B. Anderson’’ The Idea of Power in Javanese Culture ‘’ dalam ‘’Culture And Politics In Indonesia. Edited By Claire Holt. Equinox Publishing. Jakarta Kuala Lumpur. 2007. Hlm. 7. 6
Florent Y. C. Giehmann. “Menutupi sembilan gapura”, untuk mencapai “mati didalam hidup”: praktek pertapaan sebagai teknologi do’a mujarab didalam kebudayaan Jawa – sebuah kritik terhadap tesis B. Anderson mengenai konsep kekuasaan di Jawa. Ph.D. Candidate, Department of Anthropology. London School of Economics and Political Science.
Budiyono, Hery Prasetyo, Dien Vidia Rosa, Elly Suhartini 3. Dalam praktek pertapaan yang dipanjatkan untuk mendapatkan elmu dan kekuatan ghaib7. Dari hal inilah dalam konsepnya Florent Y. C. Giehmann dikenal dengan istilah ‘prihatin : pertapaan sebagai perwujudan do’a didalam praktek ritual8’. Karena sebagaimana yang ia peroleh dari penelitian, pada umumnya didalam penghayatan kebudayaan Jawa, tujuan praktek pertapaan menurutnya bersifat pragmatis dan bermaksud mempengaruhi keadaan hidup didunia. Setelah diserap oleh atribut-atribut transenden, sang petapa selalu turun kembali ke dunia untuk mewujudkan kehendaknya 9, Dalam konteks praktek pertapaan yang panjatkan supaya mengatasi krisi pribadi, hal ini seperti yang peneliti temui pada salah satu Lelono. Ia bercerita pada awalnya menjalani hidup sebagai Lelono mencoba untuk mengatasi permasalahn yang terjadi padanya. Hal ini ia lakukan sebagai suatu langkah atau solusi yang membantunya menyelesaikan permasalahan yang membelitnya. Mengutip dari pendapat Florent tentang Prihatin ia menegaskan: ''Prihatin menggambarkan keadaan seseorang yang menghadapi kesulitan, secara tak sengaja, misalnya dari penyakit, atau secara sengaja sebagai praktek etis dan ritual, misalnya berpuasa. Istilah ‘prihatin’ juga merupakan pedoman untuk menggambarkan sikap ideal dari seseorang yang berusaha mengatasi kesusahan atau membantu orang lain yang susah: yaitu dengan menunjukkan pengendalian emosi, keprihatinan, perhatian, sikap keterimaan, sikap berdo’a terus menerus, keikhlasan, sikap belas kasih, dan pengorbanan diri. Istilah ‘rasa prihatin’ menggambarkan pula perhatian etis terhadap keadaan dan perasaan orang lain10. Berawal dari cerita salah satu Lelono, ia bercerita bahwasanya salah satu alasan yang melatar belakangi sekaligus awal ia menjadi Lelono adalah karena untuk mengobati istrinya. Ketika ia menikah, istrinya mempunyai sebuah penyakit, ia sudah mengobatkan istrinya kemanamana dari kalangan medis hingga spiritul ia telah lakukan. Bahkan ia sudah berkorban banyak baik materiil maupun non materiil, tetapi hasilnya tetap sama, istrinya masih belum bisa disembuhkan. Hingga akhirnya ia sampai menjadi Lelono, masuk ke alas purwo sekitar tahun 98an, ia pun juga agak lupa tepat tanggalnya masuk alas purwo. Di Alas Purwo ia memulai kehidupan lelakunya sebagai Lelono kala itu dengan tujuan mencarika obat untuk istrinya. Berbagai cara ia tempuh menurut ceritanya, dari berpuasa, bermeditasi, melek’an dan sikap-sikap prihatin lain. Hingga akhirnya ia membuahkan hasil, istrinya yang sakit akhirnya sembuh. Cerita dari salah satu Lelono telah
4 menggambarkan bahwa ia juga melakukan sikap prihatin. Ia menghadapi kesulitan, secara tak sengaja, misalnya dari penyakit, atau secara sengaja sebagai praktek etis dan ritual, misalnya berpuasa. Peneliti berpijak pada konsep asketik sebagaimana Weber sebutkan Asketisisime adalah jenis religiositas pertama yang cakupannya begitu luas yang menggabungkan orientasi pada tindakan dengan komitmen orang beriman untuk meninggalkan kenikmatan dunia11. Agama-agama asketis dapat dibagi kedalam dua subtipe. Pertama, asketisisme dunia lain, yang meliputi serangkaian norma dan nilai yang memerintahkan para pengikut agar tidak bekerja di dunia sekuler dan melawan hawa nafsu12. Yang paling menarik perhatian Weber adalah subtipe kedua, asketisisme duniawi, karena jenis ini mencakup Calvinisme. Agama semacam itu tidak menolak dunia; namun, ia secara aktif menyerukan anggotanya untuk bekerja di dunia sehingga mereka dapat menemukan keselamatan, atau paling tidak tanda-tandanya13. Pada tulisan ini peneliti lebih memilih konsep Weber tentang Asketisisme subtipe yang pertama. Dari konsep Weber subtipe yang pertama ini dapat dipahami pilihan para Lelono memutuskan untuk menjadi Lelono dan konsekuensi yang mereka hadapi ialah jauh dari keluarga, lingkungan, dan semua ikatan sosial kehidupan sebelumnya, dari semua aktivitas-aktivitas ekonomi, politik, dari semua kepentingan akan bentuk keduniawian. Dari semua itu tentunya ada motif14 dan sesuatu hal yang akan mereka capai. Selain itu juga, ada pemicu maupun tekanan baik internal maupun eksternal yang pada puncaknya mereka pilih sebagai jalan atau sikap serta tindakan yang mereka pilih. Lewat penalaran intelektual khususnya inilah mereka menuju kepada sebuah kesimpulan-kesimpulan paling radikal, seperti menjalani hidup sebagai Lelono. Dalam penelitian ini mengarah kepada teodisi 15 yang menjadi basis bagi doktrin-doktrin keselamatan radikal yang sudah membentuk gerakan-gerakan keagamaan terbesar16. Seperti apa yang para Lelono lakukan, mereka tidak begitu saja menjalani hidup sebagai Lelono tanpa adanya sebuah 11
Ritzer dalam TEORI SOSIOLOGI, Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern Edisi Terbaru. Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2008. Hlm. 160. 12 Kalberg, Stepen. ‘’should the’’ Dynamic Autonomy’ of Ideas Matter to Sociologists? Max Weber on the Origin of Other-Worldly Salvation Religions and the Constitution of Group in American Society today.’’ Journal of Classical Sociology. 2001. 1: 291-327. 13
Ibid. Ritzer. Hlm. 160.
Ibid. Florent Y. C. Giehmann. Hlm. 6. 8 Sebagai contoh, salah satu informan pada penelitiannya
14
melakukan ritual seperti puasa mutih selama satu bulan. Menurut keterangan dari informannya, dengan berprihatin doa yang dipanjatkan dapat dikabulkan oleh tuhan. Ibid. Florent Y. C. Giehmann. Hlm. 11. 9 Ibid. Florent Y. C. Giehmann. Hlm. 6.
15
7
10
Ibid. Florent Y. C. Giehmann. Hlm. 6.
Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013
Dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Disiplin yang berupaya untuk menjustifikasi jalan-jalan Tuhan menuju manusia. 16
Talcott Parson. ‘’pendahuluan’’. Max Weber. Sosiologi Agama. Jogjakarta. IRCiSodD. 2012. Hlm. 55.
Budiyono, Hery Prasetyo, Dien Vidia Rosa, Elly Suhartini basis fundamental yang melekat pada diri mereka yaitu antara yang imanen dan transenden dari hal inilah adanya keterhubungan antara keduanya yang mereka bawa dalam keseharian. Seperti sebuah pemahaman yang ia pahami tentang dirinya dan menjadi motivasi salah satu Lelono. Menurut pandangannya, tempat kita bukan disini, dulu kita adalah sebuah roh yang masih dekat dengan dzat Sang Pencipta. Dan dunialah yang telah melupakan kita dan mejauhkan kita dari tempat kita berasal. Tindakan dan perilaku Lelono dalam kesehariannya di Alas Purwo pada konteks ini dapat dirujuk dengan beberapa konsep seperti konsep bertapa dan konsep Asketik. Ada beberapa hal yang berbeda dengan konsep-konsep tersebut. Seperti konsep bertapa yang merujuk dari pendapat Benedict R.O’G. Anderson tentang pengertian bertapa yang hanya semata-mata untuk memperoleh kekuasaan. Hal ini berbeda dengan Lelono. Mereka bertapa tidak untuk memperoleh kekuasaan melainkan sebagai upaya untuk menyeimbangkan kosmos yaitu antara mikrokosmos dengan makrokosmos. Lelono juga dapat dirujuk dengan konsep ‘Prihatin’ sebagaimana yang diungkapkan oleh Florent yaitu pedoman untuk menggambarkan sikap ideal dari seseorang yang berusaha mengatasi kesusahan. Sikap prihatin yang dilakukan oleh Lelono merupakan sebuah sikap yang tidak terpisahkan dalam kesehariannya karena dengan menjalani hidup berprihatin lebih mendekatkan dirinya dengan sesuatu yang transenden, yaitu hal yang menjadi tujuannya. Dan yang terakhir adalah terkait tindakan dan perilakunya yang merujuk pada konsep Asketik sebagaimana disebutkan oleh Weber sebagai subtipe yang pertama yaitu memerintahkan para pengikut agar tidak bekerja di dunia sekuler dan melawan hawa nafsu. Dalam hal ini Lelono juga tidak bekerja di dunia sekuler dan melawan hawa nafsu saja tetapi pada suatu titik, mereka kembali kepada dunia sekuler seperti lingkungan sosial budaya maupun kelurga asalnya masing-masing karena mereka tidak selamanya mengasingkan diri di dalam hutan dalam hal ini Alas Purwo. 2. Proses Rasionalisasi Agama Orang-Orang Alas Purwo/Lelono Masing-Masing dari Lelono memiliki latar belakang yang berbeda beda, hal ini dapat dilihat dari masing-masing karakter yang mereka miliki. Oleh sebab itu masing-masing dari mareka mempunyai sejarah hidupnya yang membentuk sikap-sikap lelaku dari Lelono. Selain itu juga, dapat dilihat juga dari segi kebiasaan yang mereka bawa dari sebelum menjadi Lelono. Dan yang mendasar adalah masalah agama17, setiap Lelono mempunyai suatu sistem simbol yang 17
Menusia juga memiliki suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai suatu hukum (order) yang berlaku umum berkenaan dengan eksistensi (manusia), dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaanperasaan dan motivasi-motivasi tersebut nampaknya secara Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013
5 bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh dan bertahan lama pada dirinya. Pada titik ini selanjutnya akan dibahas lebih dalam terkait Proses Rasionalisasi agama orang-orang alas Purwo/Lelono. Pada tataran ini peneliti membangun pemahaman agama orang-orang Alas Purwo Lelono dengan menggunakan kajian Max Weber yaitu Proses Rasionalisasi. Melalui konsep inilah peneliti memahami situasi-situasi keagamaan yang dipahami oleh Lelono. Seperti yang diketahui dari masing-masing Lelono yaitu Mas A, Kang D1, Mas R, Pak L, Kang J, Kang D2 dan Mas Z jika dilihat secara administrasi atau yang tercatat dalam KTP mereka beragama Islam, tetapi dalam keseharian mereka mempunyai pemahaman yang berbeda-beda dalam memaknainya. Salah satu contoh adalah sikap dan tindakan yang dilakukan oleh Mas A, Kang D1, Kang J dan Pak L, peneliti selama melakukan penelitian sering melihat mereka melaksanakan sholat lima waktu. Walaupun demikian secara penampilan dan kebiasaan yang dilakukan dalam keseharian dari masing-masing mereka berbeda-beda. Kang D1, Kang J dan Pak L secara penampilan hampir sama yaitu sama-sama berambut panjang tetapi Kang D1 dan Mas A berpakaian sebagaimana masyarakat pada umumnya, sedangkan Kang J dan Pak L selalu mengenakan pakaian yang serba hitam. Berebeda lagi dengan Mas R, Kang D2 dan Mas Z selama melakukan penelitian dan tinggal bersama dengan mereka bertiga peneliti belum pernah sekalipun melihatnya sholat atau menjalankan syariat Islam pada umumnya. Perbedaan pemahaman antara Lelono yang satu dengan yang lain mengenai pandangannya terhadap agama, Pada tahap ini dapat dipahami kedalam proses Rasionalisasi pada tahap pertama18, dalam Pengklarifikasian, disini apa yang Lelono lakukan atau tindakan-tindakan sehariannya merupakan interpretasi mengenai tentang ide yang membentuk makna pada posisinya sebagai manusia serta tentang tempatnya di alam semesta. Secara khusus Lelono mencoba untuk melakukan pemilahan pada ide atau yang membentuk makna yang sesuai dengan berdasar pada pengalaman, latar belakangnya serta penghayatan pada tunjuan transedental. Selanjutnya secara sistematis para Lelono menggunakan ide atau yang tersendiri (unik) adalah nyata yaitu ‘’agama”. Lihat Pengantar Parsudi Suparlan, dalam. Clifford Geertz: ABANGAN, SANTRI, PRIYAYI Dalam Masyarakat Jawa. Pustaka Jawa. Jakarta. Hlm. XI. 18
pengklarifikasian, pengspesifikasian, dan pensistematisasian ide-ide secara intelektual. Ide-ide dibangkitkan oleh apa yang disebut weber makna-makna teleologis konsep manusia tentang dirinya dan tempatnya di semesta, yaitu konsep-konsep yang melegitimasi orientasi manusia di dalam dan terhadap dunia, dan yang memberi makna untuk berbagai tujuan manusia. Ide-ide seperti itu mengandung konsep metafisik dan teologis tentang tatanantatanan kosmik dan moral, selain juga posisi manusia terkait tatanan yang lebih luas. Lihat Pendahuluan Talcott Parson dalam. Max Weber: SOSIOLOGI AGAMA. IRCiSoD. 2012. Jogjakarta. Hlm. 37.
Budiyono, Hery Prasetyo, Dien Vidia Rosa, Elly Suhartini membentuk makna sesuai dengan apa yang dipahaminya. Oleh sebab itu walaupun secara administratif atau kartu identitas agama mereka sama, tetapi ide-ide mereka dalam melihat agamanya berbeda-beda. Ha tersebut dikarenakan masing-masing mempunyai ide-ide yang membentuk makna teleologis konsep manusia tentang dirinya dan tempatnya di semesta. Perbedaan antara Kang D1 dan Mas A, walaupun sama-sama beragama islam, misalkan mas A lebih mengutaman sholat dan tidak menambahkan ritula-ritual lain seperti yang dilakukan oleh Kang D1 walaupun juga samasama sholat, tetapi juga bersemedi, puasa untuk tidak makan nasi dan daging, dan melek’an. Sedangkan mas A tidak melakukan hal tersebut, ini tidak terlepas dari Latar belakang Mas A yang memang anak pondok pesantren sedangkan Kang D1 bukan dari kalangan pesantren. Mas A tidak menambahkan ritual lain seperti yang dilakukan kang D1 karena ia mencoba untuk memahami tentang dirinya. Dan memposisikan dirinya yang sebagai seorang yang pernah di pesantren sehingga tidak mengenal seperti yang dilakukan kang D1. Perbedaan Lelono dalam mengklarifikasi, mengspesifikasikan, serta mengsistematisasian ide-ide atau disebut makna dalam pemahaman tentang dirinya dan tempatnya di alam semesta, ini berkonsekuensi pada caracara yang digunakan dalam pencapaiannya. Merujuk pada konsep Weber, dalam hal ini menggunakan lagi dikotomi dasar yang sudah dibuat sebelumnya antara konsep keilahian imanen lawan transenden. Didalam prinsip imanen, keilahian menjadi bagian dunia sejak kekekalan atau sesuatu hal yang mencoba untuk dipertahankan selama-lamanya. Kepada jenis keilahian ini, dalam arti tertentu, manusia berusaha ‘mengadaptasikan19’dirinya sesuai dengan apa yang diterima oleh akal budi mereka, Didalam prinsip transendental, sebaliknya, keilahian mengontrol dari atas 20. Apa yang dilakukan oleh salah satu Lelono yaitu Kang D1, seperti yang pernah ia ungkapkan kepada peneliti ada sebuah keinginan yang medasar yaitu untuk bertemu dengan Gusti. Gusti dalam hal ini dimaknai sebagai yang tertinggi dan sebagai ujung yang ia cari serta menjadi tujuan dari semua yang ia lakukan dengan hidup menjadi Lelono. Terhadap latar belakang inilah Weber menyoroti salah satu aspek persoalan makna yang cukup penting, bahkan menjadi satu dari sekian dorongan utama seluruh pencariannya: integrasi dan keretakan antara sistem-sistem harapan yang dilembagakan di tatanan normatif, dengan pengalamanpengalaman aktual yang dijalani masyarakat. Minatnya terletak kepada apa yang diinterpretasikan masyarakat sebagai konsekuensi-konsekuensi tersebut, dan setuju tidaknya mereka terhadap tatanan normatif yang sudah ada21. Ketika Kang D1 berkomentar terkait dengan apa yang ia lakukan dengan segala konsekuensi-konsekuensi yang 19
Adaptasi dalam penelitian ini dipahami sebagai penyesuan diri terhadap lingkungan sekitarnya, seperti sosial dan budaya. 20
Ibid. Talcott Parson. Hlm.56.
21
Ibid. Hlm.57.
Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013
6 harus ia ambil, membandingkan dengan segala yang normatif. Tampaknya konsekuensi-konsekuensi ini telah melekat terhadap kang D1. Seperti komentar ‘’ Wes tak rewangi puoso, nyepi, ngadoh’i hawa nafsu lan sak panunggalane’’ itu adalah sebuah konsekuensi-konsekuensi yang harus ia ambil, salah satunya ketika mampu untuk makan ia memilih untuk berpuasa. Ia tidak menjadi orang sebagaimana pada umumnya yang tanpa membatasi akan hasrat-hasrat untuk pemenuhan akan kenikmatan keduniawian. Ada dua dimensi yang esensial untuk soal ini. Dimensi pertama menyoroti tingkat rasionalisasi, titik pijaknya dibuat ketika Weber melakukan pemilahan awal tabu dan etika agama. Jika tingkat rasionalisasinya rendah, kemungkinan yang bakal muncul adalah sejumlah gesekan. Yaitu tegangan yang muncul dari ketidaksesuian (discrepancies) antara harapan normatif dan pengalaman aktual. Yang seperti ini mirip konsep Weber tentang magi di mana agen-agen adikodrati difungsikan untuk menjawab elemen-elemen ad hoc tegangan di situasi-situasi hidup22. Apa yang Kang D1 lakukan, pada ungkapannya bahwa ia sudah melakukan seperti apa yang ia percayai untuk bertemu dengan Gustinya/transenden, tetapi pada akhirnya ia masih sulit untuk bertemu, jika rasionalisasinya rendah, kemungkinan besar akan terjadi gesekan ketika antara harapan dan kenyataannya tidak sesuai, atau langkah selanjutnya ia berhenti untuk menjalani hidup sebagai Lelono. Tetapi dalam hal ini berbeda, bisa dipahami ia mencoba sesuatu yang adikodrati difungsikan untuk menjawab elemen-elemen ad hoc tegangan di situasi-situasi hidupnya, walaupun ia sudah melakukan segala upaya yang bisa untuk mendekatkan kepada Gustinya dan masih tetap saja sulit, tetapi dengan sadar ia masih melakukannya dengan penuh keyakinan. Contoh lain adalah cerita tentang mas R, pertama kali di Alas Purwo ia memulai kehidupan lelakunya sebagai Lelono kala itu dengan tujuan mencarikan obat untuk istrinya. Berbagai cara ia tempuh, dari berpuasa, bermeditasi, melek’an dan lain-lain. Hingga akhirnya ia membuahkan hasil, istrinya yang sakit akhirnya sembuh. Kemudian ia pulang ke rumahnya kembali, sesampainya pulang bukannya kebahagiaan yang ia peroleh, melainkan sebuah ujian yang berat kembali menimpanya. Istri yang ia obati, bahkan yang telah mengahbiskan sebagian hartanya hingga ia kehilangan pekerjaannya juga. Baik waktu, tenaga pikiran, serta harta benda miliknya sudah ia habiskan untuk kesembuhan istrinya ternyata setelah sembuh ia ditinggalkan. Tidak hanya berhenti disitu, perpisahannnya dengan istrinya juga turut campur oleh mertuanya juga. Dari cerita dan situasi di atas dapat digambarkan bahwa secara moral ia mencoba untuh membantu dan menyembuhkan istrinya, walaupun berbuah hasil dan sembuh, pada akhirnya ia ditinggalkan oleh istrinya23. Orang 22
Ibid. Talcott Parson . hlm .57.
23
Istri dalam kebudayaan Jawa pada umumnya di kenal dengan sebutan Garwo(sigaran nyowo/belahan jiwa). Istri tidak hanya berfungsi sebagai pasangan hidup saja, tetapi
Budiyono, Hery Prasetyo, Dien Vidia Rosa, Elly Suhartini yang ia bantu dan ia obati, dengan pengorbanannya selama menjadi Lelono di Alas Purwo, ketika sembuh ia di tinggalkan. Di sinilah lebih dari segalanya, isu-isu penderitaan dan kejahatan berada, bukan hanya karena munculnya fenomena yang didefinisikan konsep-konsep tersebut, tapi juga menyoloknya penderitaan terhadap mereka yang secara moral tidak layak mengalami, kejahatan yang justru menimpa ke pihak-pihak yang secara moral sudah benar, menjadikan penderitaan lebih mirip hukuman daripada ujian. Yang lebih buruk lagi, fakta bahwa konsekuensi kejahatan seringkali mengejar manusia yang sudah berusaha mati-matian mengikuti jalan moral 24. Hal ini juga seperti kutipan: Ketika ia merasa bahwa apa yang ia lakukan secara moral sudah benar yaitu dengan membantu mengobati istrinya, tapi pada akhirnya ketidaksesuain antara harapan dan fakta. Pada kondisi ini timbul dorongan dasar menuju makna dan persolusian ketidaksesuaian. Pencarian Weber terhadap landasan makana yang dapat menjawab ketidaksesuaian lalu bergeser semakin jauh dari tingkat pengalaman yang masuk akal, tempat akar-akar ketidaksesuaian muncul ‘’eksplanatori’, khususnya tentang solusi bagi persoalan makna, harus dilandaskan kepada semakin tergeneralisasi dan ‘fundamental’-nya konsep filosofis agama-agama25. Dapat dimengerti jika mas R kembali lagi menjadi Lelono, tingkat pengalamannya ini yang membuatnya kembali sehingga dengan cara inilah ia berkeyakinan dapat mengatasi permasalahannya. Karena itulah, bagi mereka yang tidak bisa dipuaskan dengan ‘kompromi-kompromi’ keseimbangan dunia, muncul kebutuhan akan solusi yang radikal di tingkatan pribadi. Weber menyebut ini kebutuhan akan keselamatan, dideskripsikannya sebagai kebutuhan seseorang akan suatu basis legitimasi pribadi yang bersesuaian dengan standarstandar tertinggi, dan melihat dirinya berdiri di dalam konflik habis-habisan dengan tatanan dunia yang sudah ada dan terlembagakan26. Oleh sebab itu seperti yang dilakukan oleh mas R dan Lelono lain ialah kemunculan kebutuhan akan solusi radikal dengan menjalani hidup sebagai Lelono. Pada proses Rasionalisasi, hal-hal diatas termasuk kedalam proses yang kedua27, Apa yang dilakukan oleh kang
7 D1, seperti ia melakukan puasa, nyepi, berusaha menjahui nafsu keduniawian. Dalam hal puasa misalkan, cara ini dipandang sebagai upaya serta fungsi kontrol untuk fokus pada tujuannya. Salah satu contoh, ini dapat terlihat pada kejadian ketika peneliti memasak bersama dengan Kang D1, ketika sudah matang ia menolak untuk makan, karena sedang berpantangan makan nasi. Pantangan inilah yang menjadikan fokus kepada satu tujuan yang akan ia capai, yaitu dengan cara untuk menahan pantangan tersebut, mencoba untuk konsisten atas sikapnya, serta berusaha untuk menguasai suatu keadaan. Ia sadar bahwasanya ada sebuah sanksi jika tidak melaksanakannya atau melanggarnya, yaitu ia tidak akan mencapai apa yang akan menjadi tujuannya. Pada akhirnya hal ini berkonsekuensi kepada tingkat proses Rasionalisasi kedalam proses yang ketiga28, rasionalisasi mengandung konsep ‘komitmen motivasi’. sebuah ‘hirarki kontrol’ yang fundamental, dan bahwa tingkat lebih tinggi hirarki tersebut mau tak mau berada di ranah budaya. Jika dibalik: semua masyarakat manusia memasukkan acuan-acuan ke dalam tatanan budaya, suatu sistem normatif yang meletakkan ‘tuntutan-tuntutan’ teleologis ke manusia. Namun konsep manusia tentang alam di tatanan normatif seperti ini tidak konstan, karena tatanan normatif setiap masyarakat berbeda-beda, bahkan konsep sebuah masyarakat tentang aturan normatif bisa berubah seiring waktu. Minat utama Weber terlihat disini, yaitu mengekplorasi hakikat-hakikat yang berbeda itu dan araharah yang diambil manusia dan masyarakat, yang mewujud pada usaha mereka menjawab ‘alam’(fisik dan spiritual) lewat perasionalisasian masalah-masalah di dalam pemaknaan hidup. ‘Rasionalisasi’ yang dimaksud Weber, oleh karena itu, bersifat intelektual, yaitu mengacu secara khusus ke ide-ide ‘eksistensi’ (meski tidak empiris), teleologis, dan normatif, yang di dalamnya rasionalisasi meletakkan sejumlah kewajiban pada manusia terkait perilaku yang seharusnya dalam menjalani hidup. Lihat Pendahuluan Talcott Parson dalam. Max Weber: SOSIOLOGI AGAMA. IRCiSoD. 2012. Jogjakarta. Hlm. 37. 28
istri disini sebagai bagian penting hidupnya, sebagai bagian dari dirinya, dan sebagai teman hingga akhir hidupnya. Oleh sebab itu ketika istrinya sakit, mas R melakukan carai apapun demi kesembuhan istrinya. 24
Ibid. Talcott Parson. Hlm. 58.
25
Ibid. Talcott Parson. Hlm. 58.
26
Ibid. Hlm.60.
27
Rasionalisasi mencakup kontrol normatif atau sanksi. Ini terjadi karena acuan teleologis ide-ide menyiratkan tindakan-tindakan manusia diorientasikan ke tujuan tertentu, artinya, muncul sebuah fokus kepada ‘cara’. Di sini tersirat bahwa tindakan-tindakan manusia mestinya tunduk ke Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013
Rasionalisasi mengandung konsep ‘komitmen motivasi’. Ide-ide yang ditelusuri menyiratkan bukan hanya pola-pola sosial dan perilaku, tapi juga jenis dan tingkat komitmen motivasi yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan polapola tersebut. komitmen motivasi ini mengandung tidak hanya ‘keyakinan’ maksudnya, keseriusan komitmen untuk menemukan validitas kognitif ide-ide, namun juga komitmen praktis, dalam arti kesiapan untuk meletakkan kepentingan pribadi demi melayani ide-ide. Disinilah dimensi rasionalisasi menyoroti pertama-tama sistematisasi pola atau program bagi hidup secara keseluruhan, yang maknanya diberikan lewat konsep tindakan dilakukan. Lihat Talcott Parson dalam. Max Weber: SOSIOLOGI AGAMA. IRCiSoD. 2012. Jogjakarta. Hlm. 38.
Budiyono, Hery Prasetyo, Dien Vidia Rosa, Elly Suhartini Komitmen dapat dipahami sebagai keterikatan yang selalu ada keterhubungan mereka dalam memperjuangkan apa yang menjadi motivasinya, motivasi yang mendorong kepada tujuannya. Ide-ide yang ditelusuri menyiratkan bukan hanya pola-pola sosial atau lebih kepada sikapa mereka terhadap kondisi sekitarnya dan perilaku atau memaknai dirinya sebagai manusia/mikrokosmos. Sebagaimana yang dipahami oleh kang D1 dengan mengenali unsur-unsur yang ada pada dirinya inilah sebagai salah satu langkah untuk mendekatkan dengan sang pencipta yang transendental. Tapi juga jenis dan tingkat komitmen motivasi yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan polapola tersebut. Apa yang para Lelono lakukan melalui tindakan-tindakannya seperti pematian tubuh secara radikal. Apa yang kang D1 lakukan dengan berpuasa, melek’an, tidak makan nasi dan daging serta yang Mas R lakukan ketika melek’an, walaupun dengan kondisi yang menyiksa fisik atau bentuk materinya semua itu adalah bentuk keseriusan komitmen motivasi untuk menemukan validitas kognitif ide-ide, ide-ide yang sifatnya transendental. Selain apa yang dilakukan Lelono tidak menutup mata pada kondisi di sekitarnya, sekalipun mereka banyak berkonsentrasi atas pemenuhan ide pribadi mereka untuk mencapai sikap-sikap yang transenden, mereka juga peduli dan memahami dengan kondisi sekitarnya. komitmen motivasi ini tidak hanya mengandung keyakinan, maksudnya keseriusan komitmen untuk menemukan validitas atau logika berpikir Lelono yang dipandangnya sebagai suatu kebenaran kognitif yaitu berdasarkan kepada pengetahuan faktual yang empiris tentang ide-ide Lelono, namun juga komitmen praktis, dalam arti kesiapan untuk meletakkan kepentingan pribadi demi melayani ide-ide yaitu jalan keselamatan dengan penyatuan antara yang mikrokosmos dengan yang makrokosmos. Lelono secara konseptual dapat dirujuk dengan konsep Weber tentang Asketik, yang menjadi berbeda dengan Lelono adalah di barat sebagai akibat dari tingkattingkat berbeda kulifikasi religius, seperti contohnya perkumpulan Asketik yang selalu cenderung menjadi organisasi eksklusif arsitokratik di dalam, atau persisnya di luar, dunia rata-rata yang mengelilingi kaum asketik ini. Di titik ini, mereka beroperasi sesuai prinsip sistem kelas sosial. Kelompok istimewa keagamaan bisa saja berupaya menguasai dunia, namun masih tidak bisa membangkitkan karunia religius rata-rata manusia ke tingkat virtuoso29. Tujuan dari Lelono berbeda dengan kaum virtuoso, dimana jika kaum ini dijadikan sebagai suri tauladan atas kemampuan-kemampuannya, lain halnya dengan Lelono. sikap, cara hidup, keyakinan hidup, dan sesuatu yang menjadi rujukannya berbeda. Lelono tidak menganggap
8 dirinya lebih tinggi dari yang lain, ia hanya menunjukkan sebagai sosok yang tidak untuk dijadikan suri tauladan atas kemampuannya, ia hanya sebagai individu yang mencoba mengerti dan memahami akan situasi-situasi lingkungannya dengan cara ia sendiri. Seperti halnya ungkapan temukan dirimu dengan caramu sendiri. Ini adalah ungkapan salah satu Lelono yang ditujukan peneliti dari ungkapan inilah peneliti mengerti arti dari memahami. Kesimpulan Dalam pengertian Sosiologis, Lelono merupakan bagian dari kekayaan teoritis yang merujuk pada kerangka berfikir Weberian yaitu interpretatif atau dikenal dengan Verstehen. Secara historis Lelono lekat dengan tradisi kejawen terutama melalui konsep Sangkan Paraning Dumadi yang secara garis besar dapat diartikan dari mana manusia berasal, apa dan siapa dia masa kini, dan kemana arah tujuan hidup yang akan dijalani dan tujuannya. Secara konseptual memahami konsep Lelono dapat dihubungkan dengan beberapa konsep yang sudah ada, antara lain bertapa dan Asketism. Dari hal inilah apa yang menjadi tindakannya dalam keseharian dapat diidentifikasi sehingga dapat digunakan untuk membatasi penyebutan Lelono dengan orang-orang alas purwo. Dengan demikian Lelono tidak bisa dikatakan sebagai sosok yang mencoba untuk lari dari masalah dan lebih menghabiskan waktunya untuk mengasingkan diri di hutan. Sikap serta perilakunya dalam menjalani kesehariannya dapat dirujuk dan dijelaskan dengan beberapa konsep-konsep yang melingkupinya seperti bertapa, berprihatin dan sebagai sosok kosmos. Dalam memahami Lelono dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan verstehen. Proses Rasionalisasi sebagai rujukan telah membawa pemahaman yang mendalam mengenai dunia Lelono. Lelono sejatinya adalah sosok yang menjalani kehidupannya atas keyakinan yang dimilikinya. Mereka mencoba untuk mengidentifikasi dirinya sesuai dengan pengetahuan serta pengalaman yang melingkupinya selama mereka hidup. Sehingga karakteristik masing-masing dari mereka berbeda antara yang satu dengan yang lain. Lelono dalam bertindak sesuai dengan cara mereka sendiri tetapi hal ini tidak menjadikannya sosok yang mengkesampingkan kondisi sekitar. Selama ini tindakan serta sikapnya yang kontradiktif merupakan interpretasi atas komitmen motivasi yang mereka miliki. Mereka tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang bermasalah ataupun sesuatau yang menyimpang. Lelono melakukan apa yang mereka yakini dari yang mereka peroleh dalam hidupnya. Memahami tidak hanya sebatas mengerti dan mengetahui, tetapi memahami dalam pemahaman ini yaitu dapat menempatkan subyek dengan subyek lain.
29
Peneliti sengaja mempertahankan istilah virtuoso disini meski bisa diterjemahkan sebagai ‘suri tauladan atau ahli magi’ karena sepertinya Weber lebih menekankan aspek kesadaran dari istilah ini, sehingga makna virtuoso menjadi ‘individu yang punya kesadaran penuh akan kemampuan luar biasa yang dimilikinya, sehingga sering membiarkan diri dijadikan teladan karena keahliannya itu’. Max Weber: SOSIOLOGI AGAMA. IRCiSoD. 2012. Jogjakarta. Hlm. 388. Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013
Ucapan Terima Kasih Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan jurnal yang berjudul Memahami Dunia Lelono Alas Purwo Banyuwangi. Jurnal ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan
Budiyono, Hery Prasetyo, Dien Vidia Rosa, Elly Suhartini pendidikan strata satu (SI) pada Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember. Penyusunan jurnal ini dapat terselesaikan karena bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Hery Prasetyo, selaku dosen pembimbing skripsi, yang dengan sabar membimbing, mengarahkan, dan memberikan motivasi kepada penulis. Beliau juga menjadi seorang orang tua, serta saudara bagi peneliti, terima kasih yang sebasarbesarnya atas kebaikan beliau selama ini. 2.Kepada Ibu Dra. Elly Suhartini, M.Si. selaku Ketua tim penguji, dan Dien Vidia Rosa, selaku Anggota penguji terima kasih atas bimbingan, masukan dan pengarahan kepada penulis. 3. Kepada semua informan yaitu para Lelono yang di Alas Purwo khususnya di Resort Pancur, terima kasih sudah menerima kehadiran penulis selama melakukan penelitian serta informasi dan pembelajaran kepada penulis. Daftar Pustaka Anderson, Benedict R.O’G. 2003. MITOLOGI dan Toleransi Orang Jawa. Yogyakarta: Jejak. Anderson, Benedict R.O’G. 2007. ’’ The Idea of Power in Javanese Culture ‘’ dalam ‘’Culture And Politics In Indonesia. Edited By Claire Holt. Equinox Publishing. Jakarta Kuala Lumpur.. Budiardjo, Miriam. 1984. Aneka Pemikiran Tentang Kuasa Dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan. Endraswara, Suwardi M.Hum. 2012 . Agama Jawa Laku Batin Menuju Sangkan Paran,. Lembu Jawa. Yogyakarta. Geertz , Clifford. 1981. ABANGAN, SANTRI, PRIYAYI Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta. Pustaka Jawa. Giehmann ,Florent Y. C. 2008. “Menutupi sembilan gapura”, untuk mencapai “mati didalam hidup”: praktek pertapaan sebagai teknologi do’a mujarab didalam kebudayaan Jawa – sebuah kritik terhadap tesis B. Anderson mengenai konsep kekuasaan di Jawa. Ph.D. Candidate, Department of Anthropology. London School of Economics and Political Science. Goodman, Douglas J. dan George Ritzer. 2008. TEORI SOSIOLOGI, Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern Edisi Terbaru. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Purwadi, M.Hum, Eko Priyo Purnomo, SIP. 2008.Kamus Bahasa Sanksekerta. Budaya Jawa.comYogyakarta. Tim Penulis Rosda. 1995. Kamus Filsafat. Bandung. PT Rosdakarya. Weber, Max. 1946. FROM MAX WEBER: Essays in Sociology. H. H. Gerth and C. Wright Mills (ed.). New York: Oxford University Press.
Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013
9 Weber, Max. 2012. : SOSIOLOGI AGAMA. Penerjemah Yudi santoso dan Editor Abdillah Halim. Jogjakarta. IRCiSoD.