“MEDIASI PENAL PENERAPAN NILAI-NILAI RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA ADAT BALI”
TESIS
I MADE AGUS MAHENDRA ISWARA 1106110423
PROGRAM STUDI HUKUM DAN SISTEM PERADILAN PIDANA PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA 2013
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
“MEDIASI PENAL PENERAPAN NILAI-NILAI RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA ADAT BALI”
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H) dalam Hukum dan Sistem Peradilan Pidana
I MADE AGUS MAHENDRA ISWARA 1106110423
PROGRAM STUDI HUKUM DAN SISTEM PERADILAN PIDANA PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA 2013
ii Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
KATA PENGANTAR Sreyan Drawyamayad’ yajnaj Jnana yajnah paramtapa Sarvam karma’khilam partha Jnane Parisamapyate (“Persembahan berupa ilmu pengetahuan, O Arjuna lebih mulia dari persembahan materi, dalam keseluruhannya semua kerja ini akan mendapat apa yang diinginkan dalam ilmu pengetahuan, Oh Partha”) (Bhagavadgita IV. 33) Om Swastiastu, Puji syukur saya panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas limpahan Asung Kertha Wara Nugraha-Nya, Penulisan Tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum Pada Program Studi Ilmu Hukum Jurusan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ide awal dari penulisan Tesis yang berjudul : “Mediasi Penal Penerapan Nilai-Nilai Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali” Adalah ketertarikan saya terhadap Penyelesaian secara kekeluargaan yaitu dengan mempergunakan Mekanisme Mediasi Penal yang merupakan penjabaran nilainilaii Restorative Justice terhadap kasus Tindak Pidana Adat Bali Keberhasilan penyusunan ini tidak lepas dari bimbingan dan batuan secara moril maupun materiil. Untuk itu melalui kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ida Sang Hayang Widi Wasa atas segala Asung Kerta Wara NugrahaNya, yang selalu memberikan dorongan semangat dan tidak ada kata menyerah untuk menyelesaikan Tesis ini. 2. Ibu Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H.,M.H. Selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
vii Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
3. Bapak Prof. Mardjono Reksodiputro, SH.,MA, selaku Ketua Jurusan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 4. Ibu Dr. Eva Achjani Zulfa, SH.,MH, Selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu merahmati dan melindungi Ibu. 5. Bapak Prof. Dr. I Wayan Windia, SH., selaku Guru Besar Hukum Adat Bali sekaligus Tim Hukum Majelis Desa Pekraman yang telah memberikan
informasi-informasi
mengenai
Hukum
Adat
Bali
khususnya mengenai Tindak Pidana Adat Bali serta buku-buku yang memberikan tambahan informasi buat penulisan tesis saya ini. 6. Bapak I Ketut Sudantra, SH.,MH, selaku dosen Hukum Adat Bali Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan informasi dan masukan mengenai Tindak Pidana Adat Bali. 7. AKBP Ni Ketut Werki, SH, AKP Ida Ayu Made Yuni Astuti SH, AKBP Fatmah Nasution, SH, MH yang telah memberikan data-data dan Informasi tentang Polisi Masyarakat dalam penyelesaian Tindak Pidana umum maupun Tindak Pidana Adat Bali khususnya. 8. Binmas Polresta Denpasar dan Polres Gianyar terhadap data-data berupa kasus-kasus yang diselesaikan oleh Polmas yang bersinergi dengan Lembaga-Lembaga Adat Bali. 9. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Pengajar Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jurusan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana yang telah membimbing, mendidik dan membekali ilmu pengetahuan. 10. Segenap Staf Tata Usaha Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang telah membantu dalam mengurus segala keperluan administrasi selama saya kuliah. 11. Nenek (Nyoman Rupig), Papa (I Made Mendra, SH.,MBA.,MM), Mama (A.A Sayuraka Arifini, SE), Kakak (Putu Ratih Pratiwi, S.S., M.Si), Adik (Ni Komang Ayu Wulandari dan Arya Agung Iswara) tercinta atas
viii Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
segala perhatian dan kasih sayangnya dan dukungan terhadap penyusunan Tesis ini. 12. Pacar Tercinta, Putu Vera Purnama Diana, SH atas segala bantuan dan motivasi serta perhatiannya. 13. Sahabat terbaik Dwi Andika Prayojana, SH atas segala motivasi dan perhatiannya. 14. Seluruh rekan-rekan angkatan 2011 Kelas Pidana Reguler Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Papa “yes”, Pak Rois, Pak Gunadi, Mbak Kiki, Mbak Dini, Mbak Elhida (Ketua Kelas Tercinta), Bang Iwa, Bang Djay, Mas Didit, Mas Ananta, Mas Esha, Mas Avie, Mas Afif, Mas Hendra, Mas Iftar, Samuel, Richard, Three Musketir Kelas Pidana (Bang Budi (Si Tikus Gorong-Gorong), Irham (Si Siput), dan Saya (Si Ayam)), Terima Kasih atas pertemanan dan pengalamannya, moga kalian selalu diberikan jalan yang terbaik oleh Tuhan Yang Maha Esa. Spesial buat Alm. Mbak Fitri yang telah memberikan warna dalam perjalanan kuliah saya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, moga mbak bisa tersenyum dialam sana melihat kawan-kawan kita sukses semua. 15. Seluruh rekan-rekan angkatan 2011 Kelas Kejaksaan Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia beserta seluruh pihak yang tidak dapat disebut secara terperinci.
Semoga atas segala jasa dan budi baik yang telah diberikan dengan tulus ikhlas mendapat imbalan yang setimpal dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Saya menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan untuk kesempurnaan Tesis ini. Akhirnya saya berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Jakarta, 28 Desember 2012
Penulis
ix Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
ABSTRAK Nama
: I Made Agus Mahendra Iswara
Program Studi : Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Judul
: Mediasi Penal Penerapan Nilai-Nilai Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali.
Dalam perkembangan hukum pidana dikenal Keadilan Restoratif yaitu keadilan yang berorientadi pada pemulihan kekeadaan semula (restorasi). Dalam Hukum Adat Bali dikenal beberapa aturan yang mengatur menganai Tindak Pidana Adat Bali. Permasalahan adalah : Bagaimana Implementasi penerapan nilai-nilai Restorative Justice melalui mekanisme Mediasi Penal dalam penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali? Pada umumnya penyelesaian suatu perkara pidana menggunakan mekanisme peradilan formal (Sistem Peradilan Pidana) akan tetapi untuk menciptakan keharmonisan dalam masyarakat yaitu untuk menciptakan keseimbangan lahir dan batin yang sesuai dengan tujuan Hukum Adat Bali, maka penyelesaian dengan menggunakan pendekatan nilainilai Restorative Justice pantas dikedepankan. Salah satu bentuk penerapan Keadilan Restoratif adalah dengan menggunakan mekanisme Mediasi. Mediasi pada umumnya dikenal sebagai salah satu bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam hukum perdata, namun dalam perkembangannya mediasi dapat dilakukan dalam perkara pidana yang dikenal dengan Mediasi Penal. Dalam Masyarakat Adat Bali yang berlandaskan nilai-nilai agama Hindu, nilai-nilai Restoratif dapat dipergunakan dalam penyelesaian perkara-perkara adat. Dalam Masyarakat Adat Bali terdapat Lembaga-Lembaga Adat seperti Subak, Banjar, Desa Pekraman, Majelis Desa Pekraman dan sebagainya. Lembaga-Lembaga Adat ini berperan penting dalam membantu menyelesaikan suatu perkara-perkara adat yang terjadi dalam masyarakatnya. Dalam Masyarakat Adat Bali suatu perkara adat diselesaikan secara berjenjang dimulai dari penyelesaian secara intern kekeluargaan, kemudian penyelesaian diselesaikan ditingkat Banjar, jika gagal dilanjutkan dengan bantuan bendesa adat (Desa pekraman), apabila Desa Pekraman gagal dilanjutkan ke Majelis Desa Pekraman (MDP) yang diselesaikan pada awalnya tetap dengan mediasi (mejelis alit desa pekaraman), kemudian bila gagal dilanjutkan dengan sabha kertha (peradilan adat oleh Majelis Madya Desa Pekraman), dan tingkat bandingnya oleh Majelis Utama Desa Pekraman. Dalam penyelesaian perkara adat juga terdapat sutau sinergi (kerjasama) antara Sub Sistem Peradilan Pidana (Kepolisian dalam bentuk Polisi Masyarakat) bekerjasama dengan Lembaga adat (Banjar, Desa Pekraman, dan Majelis Desa Pekraman) yang kita kenal sebagai Model Hybrid Justice System. Penerapan model Hybrid Justice System masih berfungsi dengan baik dalam penyelesaian perkara-perkara pidana umum yang ringan maupun Tindak Pidana Adat Bali. Model Hybrid Justice System merupakan salah satu model dari penjabaran nilainilai Restorative Justice. Kata Kunci : Restoratif Justice, Mediasi Penal, Tindak Pidana Adat Bali, Lembaga Adat Bali, Hybrid Justice System.
x Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
ABSTRACT Name
: I Made Agus Mahendra Iswara
Study Major
: Law and Criminal Justice System
Title
: The Penal Mediation of Restorative Justice Values Application in Adjudication of Criminal Offense of Balinese custom.
In penal code today, known a Restorative Justice which means a justice which is oriented to the restoration. In Balinese customary law, known some rules which organize the Criminal Offense of Balinese custom. The problem is how the implementation of Restorative Justice values application through the penal of mediation mechanism in adjudication of Criminal Offense of Balinese custom. Normally, the settlement of a criminal case uses a formal justice. But, in order to create the people harmonization by creating the balance of spiritual and physical things which is related to the objective of Balinese Customary Law. Hence, the settlement by using Restorative Justice approach is hugely appropriate. One kind of the Restorative Justice application is shown by using mediation mechanism. Mediation is normally used for the Alternative Dispute Resolution of legal action in civil law. But today, mediation can be applied in Criminal case which is known as Penal of Mediation. In Balinese custom which is based on Hindu values, the values of restorative can be applied on the adjudication of custom case. There are also the custom institutions such as: Subak, Banjar, Desa Pekraman, Majelis Desa pekraman (MDP) and etc. those institutions are playing important role in solving any custom cases. The custom cases of balinese are solved in some steps which is started from intern kindred, then, in Banjar level, if there is still failed to be solved, it is continued to Bendesa Adat level, if it still failed, the cases are submitted to the Majelis Desa Pekraman which is solved by mediating in the beginning. For the last step, if there is still facing any failed, Sabha Kertha as the custom justice of Majelis Madya Desa Pekraman and the Majelis Utama Desa Pekraman as the appeal side. In adjudication of custom case, there is a synergy of policeman and custom institutions as Hybrid Justice System which it is one of the model from Restorative Justice values. The application of this model is still used well in solving of common criminal case as well as in criminal offense of Balinese custom. Keyword: Restorative Justice, Penal of Mediation, Criminal Offense Balinese Custom, Balinese Custom Institutions, Hybrid Justice System.
xi Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL............................................................................................................ i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................................. iii HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... iv HALAMAN PERSETUJUAN TESIS ............................................................................... v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ....................................... vi KATA PENGANTAR ...................................................................................................... vii ABSTRAK ......................................................................................................................... x DAFTAR ISI..................................................................................................................... xii DAFTAR TABEL ........................................................................................................... xv DAFTAR BAGAN ......................................................................................................... xvi DAFTAR KASUS .......................................................................................................... xvii BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang........................................................................................................... 1 1.2. Pernyataan Permasalahan .......................................................................................... 8 1.3. Pertanyaan Penelitian ............................................................................................... 9 1.4. Tujuan Penelitian ...................................................................................................... 9 1.5. Kegunaan Penelitian ................................................................................................ 10 1.6. Kerangka teori ......................................................................................................... 10 1.7. Kerangka Konseptual .............................................................................................. 16 1.8. Metode Penelitian .................................................................................................... 20 1.8.1. Jenis Penelitian .............................................................................................. 20 1.8.2. Teknik Perolehan Data .................................................................................. 22 1.8.2.1. Penelitian Lapangan ............................................................................. 22 1.8.2.2. Penelitian Kepustakaan......................................................................... 24 1.8.3. Analisis Data ................................................................................................. 24 1.9. Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................................... 25 1.10. Sistematika Penulisan ............................................................................................. 26
xii Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
BAB 2. TUJUAN PUSTAKA 2.1. Restorative Justice ................................................................................................... 28 2.1.1. Definisi Restorative Justice............................................................................ 28 2.1.2. Sejarah Restorative Justice............................................................................. 31 2.1.3. Nilai Dasar Restorative Justice ...................................................................... 34 2.1.4. Nilai-Nilai Agama dalam Keadilan Restoratif .............................................. 42 2.1.5. Nilai Hukum Adat dalam Keadilan Restoratif .............................................. 44 2.1.6. Bentuk-Bentuk Restorative Justice ................................................................ 46 2.2. Mediasi Penal .......................................................................................................... 48 2.2.1. Definisi Mediasi ............................................................................................. 48 2.2.2. Definisi Mediasi Penal ................................................................................... 51 2.2.3. Perbandingan Mediasi Perdata dan Mediasi Penal ........................................ 54 2.2.4. Bantuk-Bentuk Mediasi Penal ....................................................................... 56 2.2.5. Mediasi Penal dan Peradilan Adat ................................................................ 58 BAB 3. PERBANDINGAN PENYELESAIAN PERKARA PIDANA OLEH LEMBAGA ADAT DIBEBERAPA NEGARA DI DUNIA DAN DAERAH DI INDONESIA 3.1. Penyelesaian Perkara Pidana oleh Lembaga Adat diBeberapa Negara................... 62 a.
Amerika Serikat ............................................................................................ 63
b.
Bangladesh .................................................................................................... 65
c.
Filipina .......................................................................................................... 70
d.
Liberia Tengah .............................................................................................. 72
e.
Malaysia ........................................................................................................ 74
f.
Mexico ........................................................................................................... 75
g.
Samoa Barat .................................................................................................. 76
3.2. Penyelesaian Perkara Pidana oleh Lembaga Adat Beberapa Daerah Di Indonesia ................................................................................................................. 86
a.
Banjar ............................................................................................................ 88
b.
Aceh .............................................................................................................. 90
c.
NTT ............................................................................................................... 95
xiii Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
BAB 4. HUKUM PIDANA ADAT BALI........................................................................ 98 4.2. Definisi Hukum Adat Bali ...................................................................................... 98 4.3. Pengaruh Agama Hindu dalam Hukum Adat Bali ............................................... 100 4.4. Defiinisi Tindak Pidana Adat Bali ........................................................................ 101 4.5. Jenis-Jenis Tindak Pidana Adat Bali .................................................................... 111 4.6. Jenis Sanksi Adat Bali .......................................................................................... 120 BAB 5. EKSISTENSI HUKUM PIDANA ADAT MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 5.1.
5.2.
Hukum Pidana Adat menurut Nilai-Nilai Pancasila ........................................... 129 A.
Hukum Pidana Adat dengan nilai Ketuhanan ............................................. 130
B.
Hukum Pidana Adat dengan nilai Kemanusiaam ........................................ 131
C.
Hukum Pidana Adat dengan nilai Persatuan ............................................... 132
D.
Hukum Pidana Adat dengan nilai Kerakyatan ............................................ 132
E.
Hukum Pidana Adat dengan nilai Keadilan Sosial ..................................... 133
Hukum Pidana Adat Dalam Peraturan Perundang-Undangan Nasional.................. 134 5.2.1. Hukum Pidana Adat Menurut Konstitusi .................................................... 134 A.
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) ........................................ 134
B.
Undang-Undang RIS 1949 (Konstitusi RIS) ...................................... 137
C.
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950)..................... 137
5.2.2. Hukum Pidana Adat dalam Undang-Undang Darurat 1951 ....................... 139 5.2.3. Hukum Pidana Adat dalam Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman .................................................................................................. 143 5.2.4. Hukum Pidana Adat dalam Peraturan Daerah ............................................ 144 5.3. Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional ................... 147 5.4. Hukum Pidana Adat dalam Konvensi Internasional ............................................. 154 BAB 6. PERAN LEMBAGA ADAT DALAM MENYELESAIKAN TINDAK PIDANA ADAT BALI DENGAN PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF MELALUI MEDIASI PENAL 6.1. Lembaga Adat Bali ............................................................................................... 158 6.2. Peran Lembaga Adat dalam Sistem Peradilan Pidana .......................................... 170
xiv Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
6.3. Hybrid Justice System dalam penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali ................. 178 6.4. Peran Lembaga Adat dalam menyelesaikan Tindak Pidana Adat Bali dengan mempergunakan pendekatan Keadilan Restoratif ................................................ 191 6.5. Mekanisme Penerapan Mediasi Penal dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Adat Bali ............................................................................................................... 202 6.6. Kasus-Kasus dan Analisanya ................................................................................ 207 BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN. 7.1.Kesimpulan .............................................................................................................. 217 7.2.Saran ......................................................................................................................... 219 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xv Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
DAFTAR TABEL Tabel 2.1
: Perkembangan Orientasi dalam Teori Pemidanaan ............................... 38
Tabel 2.2
: Perbandingan Mediasi Perdata dengan Mediasi Penal ........................... 55
Tabel 3.1
: Perbandingan Penyelesaian Perkara Pidana oleh Lembaga Adat (Non Formal) dibeberapa negara .................................................. 78
Tabel 3.2
: Kelemahan dan Kelebihan yang dimiliki masing-masing Lembaga Adat (Non Formal) ditiap Negara dalam penyelesaian perkara pidana .................................................................. 84
Tabel 4.1
: Perbedaan Hukum Pidana (KUHP) dan Hukum Pidana Adat ............. 104
Tabel 4.2
: Jenis-Jenis Tindak Pidana Adat Bali bandingnya dalam KUHP ......... 120
Tabel 6.1
: Data POLMAS (BHABINKAMTIBMAS, FKPM, dan BKPM) di Provinsi Bali .................................................................................... 183
Tabel 6.2
: Tindak Pidana Adat, Ancaman Pidana dan Upaya Restorative Justice yang dapat dilakukan ................................................................ 214
xvi Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
DAFTAR BAGAN Bagan 1.1
: Pola Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali .......................................... 19
Bagan 6.1
: Bagan Jenjang Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali Oleh Lembaga-Lembaga Adat Bali ................................................... 194
xvii Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
DAFTAR KASUS Kasus 6.1
: Kasus penganiayaan 1 yang diselesaikan melalui Hybrid Justice System ..................................................................................... 185
Kasus 6.2
: Kasus Penganiayaan 2 yang diselesaikan melalui Hybrid Justice System ...................................................................................... 186
Kasus 6.3
: Kasus Pengerusakan yang diselesaikan melalui Hybrid Justice System ...................................................................................... 187
Kasus 6.4
: Kasus Penganiayaan 3 yang diselesaikan melalui Hybrid Justice System ...................................................................................... 188
Kasus 6.5
: Kasus Tindak Pidana Adat Bali (Memitra Ngalang) 1 yang diselesaikan melalui Hybrid Justice System .............................. 189
Kasus 6.6
: Kasus Tindak Pidana Adat Bali (Memitra Ngalang) 2 yang diselesaikan melalui Hybrid Justice System ............................... 190
Kasus 6.7
: Kasus Lokika Sanggraha ...................................................................... 209
Kasus 6.8
: Kasus Salah Krama .............................................................................. 212
xviii Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam hukum Indonesia masih sering kita dapati fakta bahwa keadilan yang diharapkan melalui jalan formal ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan, dan tidak menyelesaikan masalah, serta yang lebih parah lagi adalah di dalamnya penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.1 Ketidakpuasan terhadap mekanisme pemidanaan yang ada karena dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan dan tujuan yang ingin dicapai yaitu mencegah dan menanggulangi kejahatan. Memicu sejumlah pemikiran untuk melakukan upaya alternatif dalam menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan penanganan tindak pidana yang terjadi. Oleh karena itu banyak alternatif perubahan yang ditawarkan, salah satunya paham Abolisionis. Paham Abolisionis menganggap Sistem Peradilan Pidana mengandung masalah atau cacat struktural sehingga secara relatif harus dirubah dasar-dasar struktur dari sistem tersebut. Dalam konteks sistem sanksi pidana, nilai-nilai yang melandasi paham Abolisionis tersebut masih masuk akal untuk mencari alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti penjara.2 Paham Abolisionis meminta adanya penghapusan hukuman mati hingga reformasi terhadap sistem pemenjaraan digantikan jenis hukuman jenis lainnya.3 Dalam perkembangan Paham Abolisionis, menawarkan Keadilan Restoratif sebagai suatu wacana baru dalam menjawab ketidakpuasan terhadap hukum pidana dan hukum acara pidana yang berlaku.4 Jim Consedine seorang pelopor keadilan Restoratif, berpendapat “konsep keadilan Retributive dan Restitutif yang 1
R. Budi Wicaksono, Community Policing dan Restorative Justice Sebagai Paradigma Baru dalam Resolusi Konflik, Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Kriminologi Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 2008, hlm.47. 2 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensionalisme, dan Abolisionisme, (Bandung : Bina Cipta,1996) hlm.101. 3 Syaiful Bahri, Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia, (Yogyakarta : Total Media, 2009) hlm.89. 4 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung : Lubuk Agung) 2011, hlm.3. (Selanjutnya disebut Eva Achjani Zulfa 1)
1
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
berlandaskan hukuman, balas dendam terhadap pelaku, pengasingan, dan perusakan harus digantikan oleh Keadilan Restoratif yang berlandaskan rekonsiliasi, pemulihan korban, integrasi dalam masyarakat, pemaafan, dan pengampunan.5 Restorative Justice atau sering diterjemahkan sebagai Keadilan Restoratif, merupkan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana yang konvensional, pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.6 Keadilan Restoratif (Restorative Justice) di Indonesia di artikan sebagai :7 “Restorative Justice adalah suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.” Penanganan perkara pidana secara umum berbeda dengan pendekatan Keadilan Restoratif, dimana penanganan perkara pidana secara umum makna dari tindak pidana pada dasarnya menyerang terhadap individu, masyarakat dan hubungan kemasyarakatan, akan tetapi dalam pendekatan Keadilan Restoratif, korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana dalam Sistem Peradilan Pidana yang sekarang ada. Menurut Stephenson, Giller, dan Brown ada 4 (empat) bentuk Keadilan Restoratif, yang mempunyai tujuan yang sama yaitu memperbaiki tindakan kejahatan dengan menyeimbangkan kepentingan Pelaku, Korban, dan Komunitas. 5
Jim Consedine, Restorative Justice : Healing the Effects of Crime, (Lyttelton : Ploughshares Publications, 1995), hlm.11. 6 Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi tentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana), Disertasi Fakultas Hukum Program Doktor Ilmu Hukum, Juni 2009, hlm.1. (Selanjutnya disebut Eva Achjani Zulfa 2) 7 Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan Ham Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Pada Tanggal 22 Desember 2009.
2
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Keempat bentuk Keadilan Restoratif adalah :8 (1) Mediasi Penal (Victim-Offender Mediation), (2) Restorative Conference (3) Family Group Conferencing, dan (4) Community Panel Meetings. Mediasi merupakan proses negoisasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (imparsial) bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan.9 Pada umumnya di Indonesai kita mengenal Mediasi sebagai bentuk pilihan penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution) dalam bidang hukum perdata, namun dalam perkembangannya di Indonesia Mediasi dapat dipergunakan dalam menyelesaiakan perkara-perkara Pidana, yang lebih dikenal dengan Mediasi Penal. Menurut DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal adalah “Penyelesaian perkara pidana melalui musyawarah dengan bantuan mediator yang netral, dihadiri korban dan pelaku beserta orang tua dan perwakilan masyarakat, dengan tujuan pemulihan bagi korban, pelaku, dan lingkungan masyarakat.”10 Dalam Hukum Positif Indonesia perkara pidana tidak dapat diselesaikan diluar proses pengadilan, akan tetapi dalam hal-hal tertentu dimungkinkan pelaksanaanya. Dalam praktiknya penegakan hukum pidana di Indonesai, walaupun tidak ada landasan hukum formalnya perkara pidana sering diselesaikan diluar proses pengadilan melalui diskresi aparat penegak hukum, mekanisme perdamaian, Lembaga Adat dan sebagainya. Konsekuensi makin diterapkan eksistensi Mediasi Penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara dibidang hukum pidana melalui restitusi dalam proses pidana menunjukkan, bahwa perbedaan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi.11 8
Martin Stephenson, Henry Giller, dan Sally Brown, Effective Practice in Youth Justice, (Portland : Willan Publishing, 2007), hlm. 163-166. 9 Gary Gopaster, Negoisasi dan Mediasi : Sebuah Pedoman Negoisasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negoisasi, (Jakarta : Elips Projek, 1993), hlm. 201. 10 DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal : Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia, (Depok : Indie-Publishing, 2011), hlm.86. 11 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan, (Semarang : Pustaka Magister, 2008), hlm. 4-5 (Selanjutnya Barda Nawawi Arief 1).
3
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Mediasi Penal yang menerapkan nilai-nilai Keadilan Restoratif bukanlah barang baru bagi masyarakat Indonesia, malahan sekarang keadilan ini dikatakan sebagai pendekatan yang Progresif seperti yang disampaikan oleh Marc Levin “Pendekatan yang dulu dinyatakan usang, kuno dan tradisional dikatakan sebagai pendekatan yang progresif”.12 Menurut Eva Ahjani Zulfa Peradilan Desa (Adat) merupakan bagian penting dari perkembangan falsafah pemidanaan keadilan Restoratif yang lahir dari keyakinan bahwa Keadilan Restoratif pada dasarnya bersumber dari nilai-nilai masyarakat Adat yang telah ada selama ini,13 dan salah satunya Hukum Adat Bali yang menerapkan nilai-nilai Keadilan Restoratif. Hukum Adat pada umumnya berkaitan dengan nilai-nilai kebudayaan ataupun nilai keagamaan. Nilai-nilai keagamaan juga terkandung dalam Keadilan Restoratif, hal ini disampaikan oleh Hardley’s bahwa landasan filosofis, doktrin, tradisi dan pengalaman praktek penerapan pendekatan Keadilan Restoratif telah lama ada dan diberlakukan oleh umat Hindu, Budha, Islam, Yahudi, Sikh, Tao, atau Kristen.14 Hukum Adat Bali ialah hukum Adat Hinduis, hukum Adat yang berlaku bagi masyarakat Bali yang mayoritasnya beragama Hindu. Masyarakat Bali terikat oleh norma-norma hukum yang mengatur pergaulan hidup mereka, baik berupa hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis, Hukum tertulis yang berlaku berasal dari negara dalam bentuk peraturan perundangundangan Republik Indonesia, sedangkan hukum tidak tertulisnya (Hukum Adat) yang berlaku dalam masyarakat bali bersumber dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat Bali yang disebut Dresta.15 Pengertian Hukum Adat dinyatakan sebagai berikut :16
12
Marc Levin dalam Eva Achjani Zulfa 1, Op.Cit, hlm. 67. Eva Achjani Zulfa , Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.6 No.II Agustus 2010, hlm.187-188. (Selanjutnya disebut Eva Achjani Zulfa 3). 14 Hardley’s dalam Eva Achjani Zulfa 1, Op.Cit, hlm..72. 15 Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, Pengantar Hukum Adat Bali, (Denpasar : Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2006) hlm.3. Dresta adalah Hukum Adat yang berlaku dalam masyarakat Bali. 16 K. Wantjik Saleh, Seminar Hukum Nasional, 1963-1979, (Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia, 1980) hlm.64. dalam I Wayan Surpha, Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, (Denpasar : Penerbit Pustaka Bali Post, 2004) hlm.31. 13
4
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
“Hukum Adat adalah Hukum Indonesia asli yang bentuknya tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur agama.” Hukum Adat yang khusus berlaku dalam masyarakat Bali ialah Hukum Adat Bali, Hukum Adat Bali merupakan Kompleks norma-norma, baik dalam wujudnya yang tertulis maupun yang tidak tertulis, berisi perintah, kebolehan dan larangan, yang mengatur kehidupan masyarakat Bali yang menyangkut hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan lingkungan alamnya, dan hubungan antara manusia dengan tuhannya dengan tujuan mensejahterakan umat manusia (Sukerta Sakala Niskala).17 Hukum Adat Bali sangat kental dengan pengaruh Agama Hindu, karena kuatnya pengaruh Agama Hindu sehingga sulit membedakan mana yang aspek kehidupan orang Bali yang bersumber dari kebudayaan, tradisi maupun kebiasaan masyarakat Bali dan mana yang bersumber dari Agama Hindu. Tujuan Hukum Adat Bali adalah adanya keharmonisan hubungan antara manusia, alam lingkungan dan penciptanya hal ini merupakan penerapan filosofi Tri Hita Karana.18, selain itu ajaran Tat Twam Asi
19
juga
menjadi dasar dalam penerapan Hukum Adat Bali. Penyelesaian Konflik Adat (Delik Adat) dipergunakan Hukum Adat, disini berarti
menggali
nilai-nilai
yang
hidup
dalam
masyarakat,
kemudian
menerapkannya secara adil dan bijaksana. Dalam penyelesaian Konflik Adat (Delik Adat) bersifat Win-Win Solution (tidak ada pihak yang menang maupun kalah), diupayakan agar keseimbangan yang terganggu pulih kembali, dan para pihak yang bersengketa dapat berhubungan secara harmonis.20 Menurut Koesnoe, upaya penyelesaian Delik Adat diselesaikan dengan pendekatan Hukum Adat
17
Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, Op.Cit, hlm.6. Tri Hita Karana merupakan tiga penyebab kesejahteraan (tri=tiga, Hita=kesejahteraan, kebahagiaan, Karana=Penyebab), berdasarkan keyakinan hindu, ada tiga unsur yang mempengaruhi kehidupan umat manusia di dunia ini, yaitu : (1) Sanghyang Jagatkaranan, yaitu tuhan, (2) Bhuanan, yaitu alam semesta, dan (3) Manusa, yaitu manusia. 19 Tat Twam Asi dalam ajaran Agama Hindu Berarti ,Aku adalah kamu. Kamu adalah aku, dalam arti jika aku menyakiti kamu berarti aku menyakiti diriku sendiri. 20 I Nyoman Sirtha, Aspek Hukum dalam Konflik Adat Bali, (Denpasar : Udayana University Press, 2008) hlm.78. 18
5
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
yang berdasarkan Asas Kerukunan, Keselarasan, dan Kepatutan.21 Sedangkan menurut Tjok Istri Putra Astiti, Dalam Penyelesaian persoalan atau kasus-kasus Adat di Bali, Asas-asas yang terkandung dalam ajaran Tri Hita Karana dan Tat Twam asi khususnya asas kerukunan, keselaras, kepatutan, serta asas musyawarah perlu dijadikan sebagai acuan.22 Hukum Pidana Adat adalah Hukum yang hidup dan akan terus hidup, selama ada manusia budaya, ia tidak akan dapat dihapus dengan perundangundangan.23 Dalam hukum pidana, perbuatan jahat disebut dengan berbagi macam sebutan seperti delik, peristiwa pidana, tindak pidana dan sebagainya, Sedangkan dalam kepustakaan hukum Adat, Tindak Pidana Adat sering disebut Delik Adat, Pelanggaran Adat atau Pidana Adat.24 Dalam Hukum Adat Bali istilah delik Adat, pelanggaran Adat atau pidana Adat dikalangan masyarakat Bali lazim digunakan ialah istilah Salah, Sisip, Dosa.25 Sudah menjadi pendapat umum bahwa hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Dengan konsepsi ini, kepentingan yang hendak dilindungi oleh hukum pidana adalah kepentingan umum, sehingga kedudukan negara dengan alat penegak hukumnya menjadi pedoman. Moeljatno mengatakan bahwa “hukum pidana digolongkan dalam golongan hukum publik, yang mengatur hubungan antara negara dan perseorangan atau kepentingan umum.”26 Pendapat lain disampaikan oleh Andi Zainal Abidin yang mengatakan, bahwa “Sebagian besar kaidah-kaidah dalam hukum pidana bersifat Hukum publik, sebagian lagi bercampur dengan hukum publik dan hukum privat, memiliki sanksi istimewa karena sifatnya yang melebihi sanksi bidang hukum lainnya, berdiri sendiri, dan
21
Moh. Koesnoe, dalam I Nyoman Sirtha, Op.Cit, 78. Tjok Istri Putra Astiti, Desa Adat menggugat dan digugat, (Denpasar : Udayana University Press, 2010) hlm.79-80. 23 Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, (Bandung : Alumni, 1984) hlm.20. (Selanjutnya disebut Hilman Hadikusuma 1) 24 Ibid, hlm.17. 25 Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, Op.Cit, hlm.136-137. 26 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, (Jakarta : Renika Cipta, 2008) hlm.2. 22
6
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
kadangkala menciptakan kaidah baru yang sifat dan tujuannya berbeda dengan kaidah hukum yang telah ada.”27 Di dalam hukum tertulis di Indonesia, umumnya dibedakan antara pelanggaran-pelanggaran hukum dilapangan publik (hukum Pidana) dan pelanggaran-pelanggaran hukum dilapangan Privat (Keperdataan). Berbeda halnya dengan Hukum Adat, dalam Hukum Adat tidak dibedakan secara tajam antara hukum perdata dan hukum pidana. Sebagaimana yang dikatakan oleh Soepomo “antara perbuatan illegal yang dapat dipidana dan perbuatan illegal yang hanya mempunyai akibat-akibat dilapangan perdata tidak ada perbedaan struktur.”28 Karena dalam Hukum Adat tidak adanya perbedaan antara hukum pidana dan hukum perdata maka penyelesaian Tindak Pidana Adat memiliki landasan yang kuat diselesaikan diluar proses pengadilan. Dimana bangunan hukum pidana tidak lagi bersifat eksklusif dengan memberikan otoritas penuh terhadap negara untuk menentukan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan hanya aparat penegak hukum yang berhak menyelesaikan perkara pidana, tapi membuka diri dapat diselesaikan diluar proses pengadilan.29 Dalam Hukum Adat khususnya Hukum Adat Bali, Kasus-kasus yang menurut hukum negara dikategorikan hukum pidana dapat saja diselesaikan secara musyawarah atau melalui upaya perdamaian. Terhadap masalah ini Bagir Manan mengatakan :30 “Perdamaian dalam sistem Adat-istiAdat maupun hukum Adat kita tidak terbatas pada sengketa perdata. Perdamaian juga lazim dalam perbuatan (perkara) yang bersifat kepidanaan. Tidak Jarang perbuatan yang dapat dipidana diselesaikan secara kekeluargaan. Dalam hal terjadi kematian akibat perkelahian atau pertengkaran, perdamaian, terjadi melalui kompensasi terhadap keluarga korban. Kompensasi tidak semata bersifat 27
Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hlm.13. 28 R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1977), hlm.17. 29 Mahrus Ali, Menggugat Dominasi Hukum Negara Berdasarkan Perkara Carok Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Madura, (Yogyakarta : Rangkang Indonesia, 2009), hlm.131. 30 Bagir Manan, Mediasi Sebagai Alternatif Menyelesaikan Sengketa, Varia Pengadilan No. 248 Juli 2006, hlm.10-11.
7
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
materiil, dapat juga bersifat inmateriil seperti denda Adat, kewajiban melakukan sesuatu untuk memulihkan keseimbangan magis.” Ditambahkan oleh Takdir Rahmadi “Penggunaan Mediasi selain diatur dalam peraturan perundang-undangan juga dipraktikan dalam penyelesaian sengketa dalam lingkup masyarakat Adat dan terhadap masalah-masalah Pidana seperti perkelahian dan pencurian Barang dengan nilai relatif kecil.”31 Dapat dikatakan Mekanisme Mediasi Penal telah ada dalam nilai-nilai Hukum Adat Khususnya Hukum Adat Bali sehingga dapat dipergunakan dalam menyelesaikan Tindak Pidana Adat Bali. Dengan berdasarkan latar belakang seperti telah diuraikan di atas perlu kiranya Hukum Pidana Adat khususnya Hukum Pidana Adat Bali untuk diteliti dan dibahas secara mendalam dan Hasilnya disajikan dalam bentuk tesis dengan judul “Mediasi Penal Penarapan nilai-nilai Restorative Justice dalam penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali. 1.2. Pernyataan permasalahan Masyarakat Bali terikat oleh dua aturan hukum, yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum tertulis merupakan ketentuan hukum nasional sedangkan hukum tidak tertulis merupakan nilai-nilai yang hidup dalam Masyarakat Adat Bali (Hukum Adat Bali). Dalam kehidupan bermasyarakat di Bali, Terdapat juga perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Bali, yang mana perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan pidana (Tindak Pidana Adat Bali). Pada umumnya Tindak pidana diselesaikan melalui upaya litigasi (melalui mekanisme pengadilan), namun berbeda halnya dengan penyelesaian terhadap Tindak Pidana Adat khususnya Hukum Adat Bali. Dimana terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang daripada Hukum Adat Bali diselesaikan melalui semangat kekeluargaan. Penyelesaian suatu perkara dengan pendekatan kekeluargaan merupakan ciri dari penyelesaian dengan menggunakan pendekatan Restorative Justice. Dalam masyarakat Bali masalah-masalah Adat ini diselesaikan dengan menggunakan 31
Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010), hlm.69.
8
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
mekanisme mediasi, yang dalam ranah hukum pidana dikenal dengan Mediasi Penal. Dalam Sistem Peradilan Pidana kita mengenal aparat penegak hukum ialah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Permasyarakatan dan Advokat. Di Bali peran lembaga Adat (seperti Banjar, Desa Pekraman, MDP (Majelis Desa Pekraman) masih eksis terbukti mampu menyelesaikan dan atau mendamaikan suatu perkara atau pelanggaran yang dikualifikasikan sebagai perkara pidana umum maupun tindak pidana Adat. Disini adanya peran Lembaga Adat Bali dalam Sistem Peradilan Pidana dalam menyelesaikan suatu perkara pidana. 1.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan kepada Latar Belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah Eksistensi Hukum Pidana Adat dalam Peraturan Perundang-Undangan ?
2.
Bagaimanakah peran Lembaga Adat dalam menyelesaikan Tindak Pidana Adat Bali dengan mempergunakan pendekatan Keadilan Restoratif melalui mekanisme Mediasi Penal ?
3.
Bagaimanakah
mekanisme
penerapan
Mediasi
Penal
dalam
menyelesaikan Tindak Pidana Adat Bali ? 1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang serta permasalahan yang telah dikemukakan tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Untuk mengetahui sejauh mana eksistensi Hukum Pidana Adat dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia.
2.
Untuk mengetahui peran Lembaga Adat dalam menyelesaikan Tindak Pidana Adat Bali dengan mempergunakan pendekatan Keadilan Restoratif melalui mekanisme Mediasi Penal.
3.
Untuk mengetahui mekanisme Penerapan Mediasi Penal dalam menyelesaikan Tindak Pidana Adat Bali.
9
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
1.5. Kegunaan Penelitian Dari penelitian ini diharapkan adanya dua kegunaan atau manfaat, yaitu kegunaan dari segi praktis dan kegunaan dari segi akademis. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi para praktisi hukum (Aparat Penegak Hukum dan Lembaga Adat Bali), khususnya yang sedang melaksanakan tugas kedinasannya di Provinsi Bali yang bergerak dalam bidang peradilan pidana. Secara Akademis, Penelitian ini diharapkan adanya pertambahan informasi faktual dan dapat menambah khasanah kepustakaan di bidang ilmu hukum pidana dan ilmu hukum dan masyarakat khususnya Hukum Adat Bali. 1.6. Kerangka Teori Keadilan Restoratif Banyaknya kekurangan penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan represif yang sebagaimana dilaksanakan dalam Sistem Peradilan Pidana, telah melahirkan keadilan Retributif, yang berorientasi pada pembalasan berupa pemidanaan dan pemejaraan pelaku. Ironis dalam Sistem Peradilan Pidana saat ini, walaupun pelakunya sudah menjalani hukuman namun belum memberikan kepuasan bagi para korban. Terhadap pelaku, kehadirannya belum dapat diintegrasikan atau direkatkan ke dalam lingkungan sosialnya, sehingga menyebabkan rasa dendam yang berkepanjangan, dan dapat melahirkan prilaku kriminal baru. Hal ini dikarenakan belum tercapainya penyelesaian perkara secara tuntas antara pelaku dengan pihak korban serta lingkungannya, sebab mereka (pelaku dan korban) tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Padahal sejatinya penyelesaian suatu perkara harus memberikan kontribusi keadilan bagi mereka yang berperkara.32 Mudzakir memandang hukum pidana dan Sistem Peradilan Pidana saat ini tidak memberikan keadilan bagi masyarakat karena keadilan yang ditegakkan masih bersifat pembalasan (Retributif). Konsep 32
Mansyur Kartayasa, Restorative Justice dan Prospeknya Dalam Kebijakan Legislasi, Makalah disampaikan pada seminar Nasional Peran Hakim Dalam Meningkatkan Profesionalisme Menuju Peradilan yang Agung, Diselenggarakan IKAHI dalam rangka Ulang Tahun IKAHI ke59, 25 April 2012, hlm.1-2.
10
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
keadilan dalam Kebijakan pidana pada masa depan harus bergeser dari keadilan Retributif menuju keadilan Restoratif.33 Melihat dari perkembangan teori pemidanaan yang pada awalnya terfokus pada kedudukan pelaku, berlanjut kepada peran penting bagi korban. Dalam perkembangan pemikiran pemidanaan lahirlah suatu Filosofi Pemidanaan baru yang berorientasi pada penyelesaian perkara pidana yang menguntungkan semua pihak baik korban, pelaku maupun masyarakat. Dalam menyelesaikan suatu perkara pidana tidaklah adil apabila menyelesaikan suatu persoalan pidana hanya memperhatikan salah satu kepentingan saja, baik pelaku maupun korban. Maka diperlukan suatu teori tujun pemidanaan yang mewakili semua aspek dalam penyelesaian suatu perkara baik korban, pelaku dan masyarakat oleh karenanya diperlukan adanya kombinasi antara satu teori dan teori lainnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Muladi yang menyatakan bahwa masalah pemidanaan menjadi sangat kompleks sebagai akibat usaha untuk memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut hak asasi manusia, serta menjadikan pidana bersifat operasional dan fungsional. Untuk itu diperlukan pendekatan
multidimensional
yang
bersifat
mendasar
terhadap
dampak
pemidanaan, baik yang menyangkut dampak yang bersifat individual maupun keharusan untuk memilih teori integratif tentang tujuan pemidanaan yang dapat mempengaruhi fungsinya dalam rangka mengatasi kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.34 Keadilan Restoratif merupakan filosofi hukum baru yang merupakan gabungan dari teori pemidanaan yang ada. Keadilan Restoratif yang berorientasi pada penyelesaian yang memfokuskan perhatian kepada pelaku, korban, maupun masyarakat. Disini keadilan Restoratif mengandung nilai teori pemidanaan klasik yang terfokus pada upaya pemulihan korban yang terdapat dalam teori pemidanaan Retributif, Deterrence, Rehabilitation, Resocialization. Selain terfokus pada pemulihan pelaku, keadilan Restoratif juga memperhatikan 33
Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi dalam memperoleh Gelar Docktor Ilmu Hukum Program PascaSarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2001, hlm.180. 34 Muladi dalam Eva Achjani Zulfa 2, Op.Cit, hlm.81.
11
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
kepentingan korban (teori Restitusi, Kompensasi, dan Reparasi) dan masyarakat (Incapacitation). Restorative Justice adalah konsep pemidanaan, Restorative Justice sebagai konsep pemidanaan tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana (formal dan materil). Restorative Justice harus juga diamati dari segi kriminologi dan sistem pemasyarakatan.35 Restorative Justice mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu :36 1.
Pengertian keadilan dalam perspektif etis, yaitu merujuk pada konsep keseimbangan moral tentang kebenaran dan kesalahan, keuntungan dan beban dari para pihak. Dalam keadilan Retributif, keseimbangan ini diaktualisasikan dalam bentuk derita yang ditimpakan bagi pelaku sebagai pembalasan
sedangkan
dalam
keadilan
Restoratif,
keseimbangan
diwujudkan dengan upaya perbaikan melalui sejumlah ganti rugi atau kompensasi lain dalam upaya penyembuhan atau perbaikan atas kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang dilakukan. Tujuan dari keadilan Restoratif adalah mendorong terciptanya peradilan yang adil dan mendorong para pihak yang ikut serta didalamnya. 2.
Pengertian keadilan dalam perspektif yuridis, yaitu keadilan hukum biasanya disejajarkan dengan jaminan atau kepastian hukum. Keadilan Restoratif dalam pelaksanaannya harus tetap menghormati hukum yang berlaku. Termasuk didalamnya adalah hasil proses yang ada dan pelaksanaannya. Pendekatan dengan keadilan ini tidak dapat dilaksanakan selama masih bertentangan dengan sistem hukum dan aturan perundangundangan yang berlaku. Hal ini menjadi penting karena legitimasi atas hasil proses dan jaminan pelaksanaannya akan sangat bergantung pada suatu aturan yang menjadi dasar akan adanya jaminan dan kepastian hukum. Oleh karenanya keadilan Restoratif harus dikonsentrasikan dalam aturan
35
Bagir Manan, Retorative Justice (Suatu Perkenalan), dalam Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam dekade Terakhir, (Jakarta : Perum Percetakan Negara RI, 2008), hlm. 4. 36 Loge Walgrave, Restoration in Youth Justice, (Chicago : University of Chicago, 2004) hlm.558. Dalam Eva Achjani Zulfa 2, Op.Cit, hlm.43-44.
12
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
perundang-undangan serta diintegrasikan dalam Sistem Peradilan Pidana bila akan dilaksanakan. Sedangkan Braithwaite seorang Ahli Kriminologi Australia, membedakan Restorative Justice menjadi 2 (dua) konsep yaitu, Pertama, fokus pada proses dan konsep (concept), yaitu mempertemukan semua kepentingan yang terdampak oleh suatu kesalahan. kedua, fokus pada nilai (values), yiatu Keadilan Restoratif sebagai nilai yang berkaitan dengan kesembuhan (pemulihan) korban dan ketidakadilan dan menempatkan korban sebelum terjadinya kejahatan termasuk reparasi hubungan antara pelaku dan korban. Keadilan Restoratif baik sebagai proses maupun sebagai nilai, erat kaitannya dengan rekonsiliasi antara pelaku dan korban.37 Adapun ciri-ciri dari pelaksanaan Restorative Justice dalam merespon suatu tindak pidana adalah sebagai berikut :38 (a) melakukan identifikasi dan mengambil langkah untuk memperbaiki kerugian yang diciptaka, (b) melibatkan seluruh pihak yang terkait (stakeholder), dan (c) adanya upaya untuk melakukan transformasi hubungan yang ada selama ini antara masyarakat dengan pemerintah dalam merespon tindak pidana. Inti dari Restoratif Justice adalah Penyembuhan, pembelajaran moral, partisipasi dan perhatian masyarakat, dialog, rasa memaafkan, tanggung jawab dan membuat perubahan, yang semuanya itu merupakan pedoman bagi proses restorasi dalam perspektif Restorative Justice.39 Restorative Justice bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum, dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat.40 Menurut Wright. M konsep Keadilan Restoratif pada dasarnya sederhana. Ukuran 37
M. Cherif Basisiouni, The Pursuit Of International Criminal Justice : A World Study On Conflicts, Victimization, and Post-Conflict Justice, Intersentia, Vol 1 Tahun 2010, hlm.700-701, Dalam Romli Atmasasmita, Cita Keadilan Restoratif Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Makalah disampaikan pada seminar Nasional Peran Hakim Dalam Meningkatkan Profesionalisme Menuju Peradilan yang Agung, Diselenggarakan IKAHI dalam rangka Ulang Tahun IKAHI ke-59, 25 April 2012, hlm.8. 38 www.restorativejustice.com 39 Ridwan Masyur, Mediasi Penal Teradap Perkara Pidana KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), (Jakarta : Yayasan Gema Yustisia Indonesia, 2010), hlm.121. 40 Pavlich, G, Towards An Ethics of Restorative Justice. In L. Walgrave (Ed.), Restorative Justice and The Law (Oregon: Willan Publishing, 2002), hlm.1.
13
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman), namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan.41 Menurut Bagir Manan substansi Restorative Justice berisi prinsip-prinsip, sebagai berikut: ”Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai ”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions)”.42 Sedangkan Mackay merumuskan sejumlah prinsip yang harus ditaati dalam penyelenggaraan program yang meliputi prinsip yang melekat pada para pihak yang berkepentingan, masyarakat lokal, aparat, sistem peradilan serta lembaga yang menjalankan konsep keadilan Restoratif itu sendiri, adapaun prinsip-prinsip sebagai berikut :43 1.
Voluntary participation and Informed Content; Prinsip ini unsur kerelaan dari semua pihak yang berperkara untuk duduk bersama-sama duduk mencari upaya penyelesaian dari suatu tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat.
Hal ini yang membedakan keadilan
Restoratif dengan keadilan Retributive yang mengandalkan unsur paksaan dalam upaya penegakan hukumnya. Disamping Kerelaan dan partisispasi, dibutuhkan juga kerahasian, diharapkan para pihak mampu menjaga kerahasian apabila didalam proses terjadi hal-hal yang berkaitan dengan kesusilaan atau nama para pihak yang terlibat dalam perkara tersebut. Prinsip kerahasian merupakan upaya perlindungan terhadap korban dan pelaku. 41
Wright, M., Victim-Offender Mediation as A Step Towards A Restorative Sistem of Justice. In H. Messmer & H.-U. Otto (Eds.), Restorative Justice on Trial: Pitfalls and Potentials of Victim Offender Mediation-International Research Perspectives. (Dordrecht : Kluwer Academic Publishers. 1992), hlm.525. 42 Bagir Manan, Op.Cit, hlm.7. 43 R.E. Mackay, Eticts dan Good Practice in Restorative Justice, in The European Forum For Victim-Offender Mediation and Restorative Justice, Victim-Offender Mediation in Europe, (Leuven : Leuven University Press, 2000), hlm.49-68.
14
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
2.
Non discrimination, irrespective of the nature of the case; Prinsip Non Discrimination harus diterjemahkan bahwa prinsip equality before the law merupakan prinsip yang menjadi fondasi baik dalam sistem peradilan pidana konvensional, maupun dalam proses penanganan perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan Restoratif. Dimana semua pihak yang bertikai berposisi sama dalam menentukan suatu proses penanganan perkara pidana dengan pendekatan Restoratif bukan berarti tanpa pengecualian.
3.
Accesibility to relevant helping agencies (including restorative practice agencies); Pendekatan keadilan Restoratif membuka peluang bagi penggunaan upayaupaya posiitif sepanjang tidak bertentangan dengan ,asas-asas umum dalam hukum dan hak asasi manusia dalam menyelesaikan perkara pidana. Dimana dimungkinkan suatu lembaga lain (diluar proses pengadilan) untuk menyelesaikan suatu perkara pidana. Disini dimungkinkan lembagalembaga
diluar
proses
pengadilan
seperti
LSM,
Lembaga
Adat
menyelesaikan suatu perkara pidana. 4.
Protection of vulnerable parties in process; Adanya proteksi atau upaya khusus terhadap para pihak yang tergolong kedalam kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, orang cacat ataupun mereka yang berusia lanjut. Disini harus ada proteksi untuk menempatkan mereka kedalam posisi yang sejajar dengan pihak-pihak. Asas Non Diskriminasi harus dijunjung tinggi sehingga mereka (kelompok yang rentan) dapat menjalankan hak dan kewajiban selaku para pihak yang dapat berpartisipasi secara langsung dalam proses yang berjalan.
5.
Maintaining accessibility to conventional methods of dispute/case resolution (including court); Keadilan
Restoratif
tidak
menghilangkan
sistem
peradilan
pidana
konvensional yang ada, kehadiran Sistem Peradilan Pidana masih dianggap perlu manakala pendekatan keadilan Restoratif tidak dapat mencapai tujuan yang dikehendaki. Disini keadilan Restoratif menjadi bingkai bekerjanya Sistem Peradilan Pidana konvensional.
15
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
6.
Previlege should apply to information disclosed before trial (subject to public interest qualification); Penyelesaian perkara pidana diluar proses pengadilan terdapat kendala dalam hal administrative, hal ini berkaitan dengan hal-hal teknis dalam mekanisme pengadilan seperti membuka surat rahasia dimana hanya orangorang yang memiliki kapabilitas saja yang dapat mengaksesnya. Penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan Restoratif, sifat kerahasian mungkin bersifat relatif, tergantung kepada pihak yang terkait dan yang berkepentingan.
7.
Civil right and dignity of individual should be respected; Nilai hak asasi manusia merupakan bagian penting dan harus selalu dihormati
didalam
proses
penyelesaian
perkara
pidana
dengan
menggunakan pendekatan Restoratif justice. 8.
Personal safety to be protected. Disamping perlindungan atas kebebasan pribadi, perlindungan atas rasa aman pun menjadi prasyaratan bila pendekatan keadilan Restoratif akan dipergunakan. Perlindungan keamanan bagai berbagai pihak yang menjadi bagian dari proses yang berjalan, menjadi bagian yang menentukan bagaimana proses itu berjalan dengan baik atau tidak.
1.7. Kerangka Konseptual Penelitian ini merupakan perwujudan dari kerangka pemikiran dalam menggambarkan mekanisme yang ada dalam Masyarakat Adat Bali, yang dalam menyelesaikan suatu perkara pidana dapat mempergunakan mekanisme mediasi penal yang merupakan penerapan nilai-nilai keadilan Restoratif. Pendekatan keadilan Restoratif sekarang diasumsukin sebagai pergeseran paling akhir dari berbagai model mekanisme dalam menangani perkara-perkara pidana. Pendekatan yang dulu dinyatakan usang, kuno dan tradisional dikatakan sebagai pendekatan yang progresif, Sebanarnya nilai-nilai keadilan Restoratif telah tumbuh dan berkembang sejak lama dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia yang mana akar budaya masyarakatnya berorientasi pada nilai budaya kekeluargaan, mengedepankan asas musyawarah mufakat untuk
16
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
menyelesaikan suatu sengketa dalam suatu sistem sosial. Hukum Adat merupakan penjelmaan dari kebudayaan masyarakat Indonesia. Snouck Hurgronje dengan teorinya Theorie Receptie menyatakan dalam jangka waktu yang lama hukum Adat ini sebagai norma hukum, bersama-sama dengan norma-norma sosial lainnya dan norma agama Hindu, memainkan peranannya berfungsi sebagai alat pengendalian sosial.44 M.M. Djojodiguno menyatakan “hukum Adat memandang masyarakat sebagai paguyuban artinya sebagai satu hidup bersama, dimana manusia memandang sesamanya sebagai tujuan, hubungan manusia dengan sesamanya dengan segala perasaan, dengan segala sentimennya dan antisipasi sebagai yang baik dan yang kurang baik… selaras dengan pandangannya atas masyarakat maka dihadapilah oleh hukum Adat manusia itu dengan kepercayaan sebagai orang yang bertabiat anggota masyarakat. Artinya sebagai manusia yang menghargai benar hubungan damai dengan sesamanya oleh karena bersedia untuk menyelesaikan segala perselisihan dengan perukunan, dengan perdamaian, dengan kompromi, artinya tidak sebagai satu masalah pengadilan yang berdasarkan benar salah suatu peristiwa dan yang bersifat represif, melainkan satu masalah perukunan yang diajukan kepada tercapainya satu perhubungan damai dalam masa akan datang…”45 Penyelesaian sengketa atau perkara dalam Masyarakat Hukum Adat didasarkan pada pandangan hidup yang dianut oleh masyarakat itu sendiri. Koesnoe menyebutkan pandangan hidup masyarakat Adat tertumpu pada eksistensi manusia.46 Dalam pandangan Adat manusia tidak dilihat sebagai mahluk individual akan tetapi sebagai mahluk komunal yang hidup dalam suatu kelompok secara bersama-sama yang dilandasi nilai-nilai kekeluargaan. Dalam hal inilah penyelesaian perkara melalui keadilan Restoratif memiliki kesamaan dengan cara-cara hukum Adat menyelesaikannya. Dimana pendekatan Keadilan Restoratif pada dasarnya fokus pada upaya mentransformasikan kesalahan yang 44
H.R. Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, (Bandung : Alumni, 2007), hlm. 21 45 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010) hlm.86-87. 46 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009) hlm.228.
17
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
dilakukan pelaku dengan upaya perbaikan dalam hal ini perbaikan hubungan dengan para pihak yang terkait dalam suatu peristiwa. Disini pelaku, korban dan masyarakat bersama-sama mengidentifikasi permasalahan guna mencari akar permasalahannya, maka timbulah kebutuhan yang dipersyaratakan atau kewajiban yang dipersyaratkan sebagai upaya perbaikan. Dimana sebenarnya konsep keadilan Restoratif menghasilkan tujuan dengan adanya kesepakatan antara para pihak yang terikat. Salah satu bentuk keadilan Restoratif adalah Mediasi Penal (VictimOffender Mediation). Menurut Barda Nawawi Arief, Alasan dipergunakan Mediasi Penal dalam penyelesaian perkara pidana adalah karena ide dari Mediasi Penal berkaitan dengan masalah pembaharuan hukum pidana (Penal Reform), berkaitan juga dengan masalah pragmatisme, alasan lainnya adalah adanya ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide Restorative Justice, ide mengatasi kekakuan (formalitas) dan efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan yang berlaku, serta upaya pencarian upaya alternatif pemidanaan (selain penjara).47 Sebenarnya dalam masyarakat Indonesia penyelesaian suatu perkara baik perdata maupun pidana dengan Mediasi Penal bukan hal baru, hal ini dibuktikan dengan adanya penyelesaian dengan pendekatan musyawarah. Bila dilihat secara histories kultur (budaya) masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan konsensus48, yang lebih mengutamakan pengambilan keputusan secara tradisional dan penyelesaian melalui mekanisme Adat. Bahkan dalam masyarakat Bali, penyelesaian suatu perkara Adat melalui Mediasi Penal telah berlangsung. Mediasi penal penerapan nilai-nilai keadilan Restoratif dalam menyelesaikan tindak pidana Adat Bali ini akan digambarkan dalam bagan sebagai berikut ini :
47
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponogoro. Semarang, 2000) hlm. 169171. (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief 2). 48 Mushadi, Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia, (Semarang : Walisongo Mediation Center, 2007) hlm. 38
18
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Bagan 1.1. Pola penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali
LITIGASI
RETRIBUTIF JUSTICE
WIN-LOSE SOLUTION
NON LITIGASI
RESTORATIF JUSTICE
MEDIASI PENAL
TINDAK PIDANA ADAT BALI
PELAKU
LEMBAGA ADAT
WIN-WIN SOLUTION
NB :
Beberapa Jenis Tindak Pidana Adat Bali memiliki kesamaan dalam
delik di KUHP. Bagan diatas menggambarkan bagaimana suatu Tindak Pidana Adat Bali dapat diselesaikan secara litigasi dan non litigasi, dimana penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali melalui pendekatan Litigasi akan menghasilkan konsep keadilan Retributif, sehingga hasil dari keputusan tersebut win-lose solution, berbeda halnya apabila kasus ini diselesaikan diluar proses pengadilan (melalui Lembaga Adat Bali) maka mempergunakan pendekatan konsep Restorative Justice, Salah satu bentuknya adalah Mediasi Penal, penyelesaian perkara pidana (Tindak Pidana Adat Bali) melibatkan pihak-pihak yang bersengketa yaitu korban, pelaku,
19
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
KORBAN
ditambahkan pihak ketiga yaitu mediator yang biasanya oleh tetua Adat (Kelian Dinas, Kelian Adat, atau Kepala Desa untuk Hukum Adat Bali), serta diikuti dan disaksikan oleh masyarakat Adat (baik Desa Pekaraman atau Krama Desa). Disini keadilan Restoratif menempatkan pada posisi yang mengusung lembaga musyawarah atau lembaga diluar pengadilan (Lembaga Adat Bali) sebagai upaya yang dapat dilakukan dalam mencari jalan terbaik atas suatu pemecahan masalah yang timbul akibat dilakukannya suatu tindak pidana (Delik Adat Bali). Penerapan keadilan Restoratif melalui Mediasi Penal di Bali dapat dilihat dalam Desa Adat atau Desa Pakraman diterapkan adanya awig-awig yang merupakan dimensi lain identik dengan penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui Mediasi Penal. Mekanisme penyelesaian konflik melalui Kelembagaan Adat Bali tidak membutuhkan prosedur-prosedur formil dan rumit seperti dalam pengadilan, melainkan dilakukan dengan cara yang sederhana. 1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian Dilihat dari jenisnya penelitian ini termasuk ke dalam jenis studi hukum Non-Doktrinal (Socio-legal Research), karena hukum dikonsepsikan sebagai menifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi antara mereka.49 Jenis penelitian ini berasumsi bahwa hukum tidak terletak dalam ruang hampa. Dimana hukum tidak dapat eksis, dan oleh karena itu tidak dapat dipelajari dalam ruang yang kosong. Hukum terletak dalam ruang sosial yang dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan diluar hukum.50 Penelitian ini berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di masyarakat. Dalam Penelitian Social-Legal Research hukum bukan terkonsepsikan sebagai aturan (Rules), melainkan sebagai regularities yang terjadi di alam pengalaman dan sebagaimana yang tersimak di dalam kehidupan sehari-hari. Disini hukum adalah 49
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahanya, (Jakarta : HuMa, 2002) hlm.148-176. 50 Rikardo Simarmata, Socio-Legal Studies dan Gerakan Pembaharuan Hukum, dalam Law, Society & Development, Vol.1 Tahun 2006-2007.
20
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
perilaku-perilaku manusia yang secara aktual telah dan atau secara potensial akan terpola.51 Jenis penelitian ini socio-legal reaserch ini mempergunakan pendekatan Kualitatif, yang mencoba menelaah suatu konsep hukum yang selama ini masih dianggap sebagai wacana secara mendalam, akan tetapi dalam realitanya sudah sejak lama ada dalam masyarakat. Pendekatan ini dipilih didasarkan pemikiran bahwa keadilan Restoratif merupakan pengembangan paradigma baru dalam sistem peradilan pidana dalam upaya penanganan dan penyelesaian perkaraperkara pidana yang ada dalam masyarakat. Secara teoritis, keadilan Restoratif merupakan suatu asas hukum yang selama ini hidup dan dikenal dalam masyarakat namun belum tertuang dalam aturan perundang-undangan. Corak penelitian Kualitatif dipilih sebagai wadah yang dapat membantu penulis dalam menelaah konsepsi hukum tidak sekedar dikonseptualisasikan dan didefinisikan sebagai norma yang abstrak, tetapi juga sebagai suatu realitas yang empiris.52 Penelitian Kualitatif berupaya mengangkat sejumlah nilai yang berkembang dalam masyarakat. Karena sifatnya yang “Multimethod in focus, involving an interpretive and naturalistic approach to its subject matter”,53 dapat membantu penulis dalam menjawab permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan ini. Pada akhirnya terlihat nyata dari analisis dan pembahasan penerapan pendekatan keadilan Restoratif dalam pandangan hukum Adat yang menggali pandangan masyarakat terhadap lembaga peradilan pidana dan proses yang berjalan didalamnya serta pengaruh dan norma hukum Adatnya. Penelitian Kualitatif juga membuka kemungkinan bagi penulis untuk meneliti kemungkinan penerapan pendekatan keadilan Restoratif dalam menyelesaikan Tindak Pidana Adat Bali. Analisis terhadap bekerjanya keadilan
51
M.Syamsudin, Operasional Penelitian Hukum, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2007)
hlm.30.
52
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Rajawali Pers, 1990) hlm.15. 53 Norman K Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research, (California : Sage Publication, 1994), hlm.2-4.
21
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Restoratif dalam menyelesaikan (mendamaikan) Tindak Pidana Adat Bali yang dimediasikan oleh Lembaga diluar pengadilan (Lembaga Adat Bali). 1.8.2. Teknik Perolehan Data Sebagai suatu penelitian Socio-Legal research dengan pendekatan Kualitatif yang memperkenankan dipergunakannya berbagai variasi data dan metode pengumpulannya, dalam meneliti kemungkinan penerapan keadilan Restoratif dalam bentuk mekanisme Mediasi Penal dalam menyelesaikan Tindak Pidana Adat Bali, maka analisis terhadap bekerjanya keadilan Restoratif dalam bentuk mekanisme Mediasi Penal akan dilakukan melalui penelitian terhadap praktek penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali yang dilakukan diluar proses pengadilan khususnya yang dimediasikan oleh Lembaga Adat Bali. Penelitian ini mempergunakan dua metode dalam memperoleh data yaitu penelitian Lapangan dan didukung oleh penelitian kepustkaan. 1.8.2.1. Penelitian Lapangan Adapun penelitian lapangan akan dilakukan oleh penulis dalam rangka melihat langsung proses penyelesaian perkara Tindak Pidana Adat Bali dengan mempergunakan mekanisme Mediasi Penal. Mengingat penelitian yang sudah ada telah memberikan gambara secara umum penyelesaian perkara pidana Adat diberbagai daerah termasuk beberapa daerah di Bali, maka penelitian lanjutan dilakukan dengan mempergunakan metode wawancara. Adapun wawancara dilakukan di Beberapa kota dan Kabupaten di Provinsi Bali. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada beberapa alasan, yaitu: 1.
Denpasar dipilih karena merupakan ibukota provinsi Bali, dimana merupakan sentral kegiatan provinsi bali yang dihuni oleh beraneka orang yang memiliki latar belakang yang berbeda, baik yang berasal dari dalam provinsi bali (dari berbagai Kabupaten masih satu Provinsi Bali) maupun yang berasal dari Luar provinsi Bali.
2.
Gianyar dipilih karena sering terjadi pertikaian mengenai ambang batas setra (kuburan) serta Tindak Pidana Adat Bali lainnya.
22
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
3.
Serta wilayah-wilayah lain yang merupakan rujuakan dari para pihakpihak yang pernah terlibat dalam proses penyelesaian perkara pidana Adat.
Adapun para pihak yang dijadikan informan (sebagai pihak yang diwawancarai) adalah sebagai berikut : 1.
Para pakar hukum Adat Bali, dalam hal ini mewawancarai dosendosen Hukum Adat Bali (Dosen Hukum Adat Bali di Fakultas Hukum Universitas Udayana).
2.
Para tokoh Lembaga Adat Bali (Ketua Desa Pekraman, kelihan Banjar, Kepala Desa, dan sebagainya).
3.
Instansi-Instansi dalam Sistem Peradilan Pidana khususnya Kepolisian (Polda Bali dan Polres maupun Polresta ditiap Kabupaten di Bali).
4.
Pihak-pihak
yang
pernah
terlibat
dalam
proses
mekanisme
penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali dengan mempergunakan mekanisme mediasi penal. (baik pelaku, korban, kelurganya, tokoh masyarakat atau pihak-pihak lain yang terlibat). 5.
Pihak-pihak lain yang memiliki pengetahuan tentang penyelesaian perkara pidana oleh Lembaga Adat Bali.
Wawancara dilakukan baik secara formal maupun informal, dengan mempergunakan media Bahasa Indonesia maupun Bahasa Bali. Wawancara dilakukan secara formal dilakukan kepada pihak-pihak yang memiliki jabatan resmi seperti wawancara dengan Dosen, Bendesa pekraman, kelihan banjar dan sebagainya. Sedangkan wawancara informal dilakukan kepada para pihak-pihak yang pernah terlibat dalam mekanisme Mediasi Penal dalam menyelesaikan Tindak Pidana Adat Bali agar terlihat santai sehingga mereka tidak malu menceritakan
kronologi
permasalahan
dan
mekanisme
penyelesaiannya.
Pertanyaan yang diajukan oleh peneliti terhadap satu informan ditanyakan kembali kepada informan yang lain guna mengetahui validitas dan akurasi data serta diharapkan menghasilkan pemahaman yang lebih komprehensif.
23
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
1.8.2.2. Penelitian Kepustakaan Didalam penelitian ini, yang menjadi fokus perhatian penulis adalah mengenai landasan teoritis bagi penggunaan pendekatan Keadilan Restoratif dalam menyelesaikan Tindak Pidana Adat Bali dan gambaran umum mengenai mekanisme Mediasi Penal. Oleh sebab itu disamping penelitian empiris (penelitian dilapangan) tersebut diatas, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data kepustakaan baik berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa : 1.
Bahan hukum primer yang akan diteliti adalah ketentuan-ketentuan dalam KUHP dan KUHAP serta perundang-undangan lain yang terkait.
2.
Bahan hukum Sekunder meliputi buku-buku dan laporan hasil penelitian yang relevan dengan topik yang akan dibahas. Adapun data mengenai praktek penyelesaian perkara Pidana Khususnya mengenai Tindak Pidana Adat Bali diluar proses pengadilan terutama oleh Lembaga Adat (Lembaga Adat Bali) diperoleh melalui hasil kajian atas penelitian-penelitian terdahulu.54 Dengan telah adanya penelitian terlebih dahulu akan mempermudah bagi penulis dalam melakukan penelitian dilapangan dan menambah khasanah temuan dalam penelitian ini.
1.8.3. Analisis Data Sebagai konsistensi dan dalam menjaga validitas akan hasil penelitian maka data yang akan diperoleh ditelaah secara Induktif dan bersifat kualitatif. Ciri khas Socio-legal Research adalah titik tekannya pada kenyataan empiris sehingga proses berpikirnya bersifat induktif, yaitu proses berpikir yang memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat khusus berupa kenyataan empiris, kemudian beralih pada hal-hal yang bersifat umum berupa rangkaian konsep atau teori, dan diakhiri dengan pengambilan kesimpulan. Sedangkan analisis kualitatif, lebih 54
Terdapat sejumlah Laporan Penelitian seperti Hasil penelitian oleh I Ketut Sudantra dan Ayu Putu Nantri, Identifikasi Pola Penyelesaian Kasus Adat Menurut Awig-awig Desa Adat di Kabupaten Badung, Laporan Penelitian, Pusat Studi Hukum Adat Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, 2003. Begitu pula Hasil penelitian Anak Agung Istri Ari Atu Dewi dan I Wayan Koti Çantika, Identifikasi Pola Penyelesaian Kasus Adat Menurut Awig-awig Desa Adat di Kabupaten Tabanan Provinsi Bali, Laporan Penelitian, Pusat Studi Hukum Adat Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, 2006.
24
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
menekankan pada kualitas data dari pada kuantitas data itu sendiri. Dalam analisis kualitatif umumnya data diuraikan dalam bentuk narasi yang tersusun secara sistematis, logis, dan merupakan hasil dari proses interprestasi penelitian terhadap data yang dihasilkan. Secara umum analisis kualitatif terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi bersamaan yaitu : 1.
Reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis dilapangan. Dalam reduksi data berkaitan dengan identifikasi dan penemuan “pola” atau “tema” yang ada dalam data-data lapangan baik berupa hasil wawancara dengan informan, maupun observasi langsung. Pola atau tema tersebut ditampilkan seolah-olah acak dalam tumpukan informasi yang ada. Setelah pola atau tema ditemukan, langkah selanjutnya adalah mengklasifikasikan tema tersebut dengan memberi label, definisi, dan deskripsi.55
2.
Penyajian data, yaitu sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Bentuk penyajian data yang sering dilakukan adalah teks naratif.
3.
Penarikan kesimpulan, merupakan tahap terakhir dalam suatu penulisan, dimana menarik kesimpulan berdasarkan reduksi data dan penyajian data yang dilakukan.
1.9. Ruang Lingkup Penelitian Penyelesaian perkara pidana pada umumnya diselesaikan melalui proses ajudikasi (lembaga peradilan), sehingga memberikan beban yang besar kepada pengadilan sehingga asas Trilogi peradilan (asas sederhana, cepat dan biaya ringan) yang sebagaimana diamanatkan oleh KUHAP hanya sebatas angan-angan saja. Penyelesaian suatu perkara dengan mempergunakan media pengadilan sering menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara pihak yang bertikai, penyelesaian suatu perkara pidana melalui proses pengadilan bersifat win-lose 55
M.Syamsudin, Op.Cit, hlm.136.
25
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
solution. Apalagi bila suatu perkara pidana itu termasuk Delik Adat, Sudah semestinya diselesaikan melalui Lembaga-Lembaga Adatnya bukan sebaliknya diserahkan kepengadilan sehingga menambah penumpukan perkara dipengadilan. Penulisan Tesis ini berorientasi pada Penyelesaian perkara pidana diluar proses pengadilan dengan menggunakan mekanisme Mediasi Penal dalam upaya menyelesaikan Tindak pidana Adat Bali. Dari hasil analisa tersebut akan ditemukan Bagaimana Eksistensi Hukum Pidana Adat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, Bagaimana kriteria Tindak Pidana Adat Bali apa saja yang relevan diselesaikan oleh Lembaga Adat dengan mempergunakan pendekatan Restorative Justice (Mediasi Penal), serta bagaimana tahapan-tahapan mekanisme Mediasi Penal dalam menyelesaikan Tindak Pidana Adat Bali.
1.10. Sistematika Penulisan Hasil penelitian akan disajikan secara sistematis dalam 5 (lima) Bab, yang akan terdiri dari bagian-bagian yang berisi pembahasan teori dan analisis sejumlah hasil penelitian terdahulu mengenai Mediasi Penal, penerapan keadilan Restoratif dalam menyelesaikan Tindak Pidana Adat Bali, dengan rincian sebagai berikut : BAB 1, Merupakan pendahuluan yang sebagaimana layaknya suatu karya tulis, yang terdiri Latar Belakang, Pernyataan Permasalahan, Pertanyaan Penelitian, Tujuan Penelitian dan Manfaatnya, Ruang Lingkup, Kerangka Teoritis, Metode Penelitian dan Sistematika penulisan. BAB 2, Tentang Tinjauan Pustaka mengenai Mediasi penal dalam penerapan keadilan Restoratif dalam upaya penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali, adapun yang akan diuraikan (a) Keadilan Restoratif, dan (b) Mediasi Penal, BAB 3, Perbandingan Penyelesaian Perkara Pidana oleh Lembaga Adat di beberapa Negara dan Daerah di Indonesia, BAB 4, Tindak Pidana Adat Bali. BAB 5, Eksistensi Hukum Pidana Adat dalam Peraturan Perundang-Undangan.
26
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
BAB 6, Tentang penyajian data dan analisis mengenai : (a)
Lembaga Adat;
(b)
Peran Lembaga Adat dalam Sistem Peradilan Pidana;
(c)
Hybrid Justice System dalam penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali
(d)
Peran Lembaga Adat dalam menyelesaikan Tindak Pidana Adat Bali dengan mempergunakan pendekatan Keadilan Restoratif melalui mekanisme Mediasi Penal; dan
(e)
Mekanisme penerapan Mediasi Penal dalam menyelesaikan Tindak Pidana Adat Bali.
BAB 7, Tentang penutup terdiri dari (a) Simpulan dan (b) Saran.
27
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Restorative justice
2.1.1. Pengertian Restorative Justice Penyelesaian perkara pidana dengan mempergunakan pendekatan represif sebagaimana dilaksanakan dalam Sistem Peradilan Pidana, telah melahirkan keadilan Retributif (Retributive Justice), yang berorientasi pada pembalasan berupa pemidanaan dan pemenjaraan. Dalam perkembangannya timbul wacana orientasi pemidanaan yang mendudukan korban sebagai bagian penting dalam tujuan pemidanaan. Maka ditawarkanlah suatu sistem penyelesaian perkara pidana yang berorientasi menguntungkan segala pihak yaitu keadilan Restoratif. Dalam konsep Restoative Justice terkandung konsep Rehabiltasi, Resosialisasi, Restitusi, Reparasi, dan Kompensasi dalam menyelesaikan suatu perkara pidana.56 Perlunya konsep Restorative Justice dalam upaya pembaharuan pemidanaan sangat penting Menurut Adrianus Meliala, Hal ini dikarenakan sistem pemidanaan saat ini membawa masalah lanjutan bagi keluarga pelaku kejahatan, pemidanaan pelaku kejahatan tidak melegakan atau menyembuhkan korban, proses formal peradilan pidana yang membutuhkan waktu yang lama, mahal, dan tidak pasti, apalagi permasyarakatan sebagai lanjutan pemidanaan juga tidak memberikan sumbangan yang berarti bagi masa depan bagi narapidana dan tata hubungannya dengan si korban.57 Di beberapa negara maju keadilan Restoratif bukan sekedar wacana oleh para akademisi hukum pidana maupun kriminologi. Di Amerika Utara, Australia, dan beberapa negara di Eropa keadilan Restoratif telah diterapkan dalam tahap proses peradilan pidana yang konvensional, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, ajudikasi dan tahap eksekusi.58 Adapun yang dimaksud dengan Restorative Justice akan dijelaskan dalam beberapa definisi sebagai berikut : 56
Eva Achjani Zulfa 1, Op.Cit, hlm.64. Adrianus Meliala dalam Mansyur Kartayasa, Op.Cit, hlm.3. 58 Eriyantouw Wahid, Keadilan Restorative Justice dan Peradilan Konvensional Dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti, 2009) hlm.1. 57
28
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
1.
Tony F. Marshall,59 Restorative Justice adalah Suatu Proses dimana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, dan bagaimana menangani akibat dimasa yang akan datang atau implikasinya dimasa depan.
2.
Basic principles PBB, Restorative Justice adalah pendekatan yang dapat dipakai dalam Sistem Peradilan Pidana yang rasional.60
3.
Eva Achjani Zulfa, Restorative Justice adalah Sebuah Konsep pemikiran yang
merespon
pengembangan
Sistem
Peradilan
Pidana
dengan
menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisih dengan mekanisme yang bekerja pada Sistem Peradilan Pidana yang ada pada saat ini.61 4.
www.restorativejustice.org, Restorative Justice adalah konsep yang sistematis atas tindak penyimpangan yang ditekankan pada pemulihan atas kerugian yang dialami korban dan/atau masyarakat sebagai akibat dari perbuatan kriminal.62
5.
Braitwaite, Restorative Justice adalah “reintegrative shaming of the offender with an empashis on moralizing social control”. Dalam pengertian ini Braitwaite lebih menekankan pada cara untuk mencapai tujuan kontrol sosial dilihat dari sudut pandang moral.63 Dari uraian diatas dapat penulis asumsikan Restorative Justice adalah Suatu
bentuk penyelesaian suatu perkara baik perdata maupun pidana, yang melibatkan semua pihak yang berperkara, dalam hal ini korban, pelaku, pihak ketiga dalam hal ini keluarga korban maupun pelaku beserta pihak-pihak ketiga lainnya seperti masyarakat dalam memecahkan suatu perkara dengan mengutamakan upayaupaya rekonsiliasi daripada retributif guna memperbaiki keseimbangan yang telah dilukai sebelumnya. Unsur terpenting dalam definisi Restorative Justice dalam aspek penyelesaian berbagai konflik ialah pengutamaan rekonsiliasi (penyelesaian 59
Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.3 No.III September 2004, hlm.19. 60 Eva Achjani Zulfa 1, Op.Cit, hlm.64. 61 Ibid, hlm.65. 62 www.restorativejustice.org. 63 Ridwan Mansyur, Op.Cit, hlm. 122.
29
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
seperti semula) dibandingkan upaya pembalasan (retributive). Pernyataan ini sama dengan yang disampaikan oleh Wright, konsep Restorative Justice, melihat ukuran keadilan tidak didasarkan pada konsep pembalasan kepada pelaku, namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggung jawab, dengan melibatkan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan.64 Dari beberapa definisi-definisi yang disampaikan diatas maka dapat kita mengetahui karakteristik dari Restorative Justice. Muladi secara rinci menyatakan beberapa karakteristik dari Restorative Justice, yaitu :65 1.
Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik,
2.
Titik perhatian pada pemecahan masalah, pertanggung jawaban dan kewajiban pada masa depan,
3.
Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi,
4.
Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama,
5.
Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil,
6.
Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial,
7.
Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restorative,
8.
Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban, pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab,
9.
Pertanggung jawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemohonan terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik.
10.
Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomi, dan
11.
Stigma dapat dihapus melalui tindakan restorative.
64
Mansyur Kartayasa, Op.Cit, hlm.4. Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995) hlm.127-129. 65
30
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
2.1.2. Sejarah Restorative Justice Dilihat dari konteks sejarahnya Restorative Justice telah ada sejak 40 abad lalu. Dalam Code of Ur-Namamu (Kitab Hukum Tertua yang ditulis sekitar tahun 2000 SM di Sumeria), ditemukan kewajiban pembayaran ganti rugi kepada korban kejahatan kekerasan. Pembayaran ganti rugi kekerasan sebagai sanksi atas kejahatan harta benda ditemukan pula dalam Code of Hammurabi yg ditulis 1700 SM di Babylon. Dalam Hukum Romawi, mewajibkan pencuri membayar dua kali nilai objek yang dicurinya. Hal ini dilihat dalam Twelve Tablet (selusin prasasti) yg ditorehkan tahun 449 SM.66 Bahkan dahulu sebelum Islam masuk ke dunia Arab (Palestina) telah terjadi upaya penyelesaian suatu perkara pidana dengan menggunakan upaya perdamaian antara keluarga korban dan keluarga pelaku, termasuk yang diselesaikan disini ialah delik berat seperti pembunuhan.67 Ganti rugi dalam kejahatan dengan atau tanpa kekerasan juga terdapat di Jerman, Ketika itu Jerman diperintah oleh Raja Clovis dengan Undang-Undang Jerman tahun 496. Sedangkan pada tahun sekitar 600-900 di Irlandia Kuno, terdapat pengaturan hukum yang mengatur tentang ganti rugi dengan cara membayar kerugian akibat segala macam kejahatan. Pengaturan Ganti rugi juga terdapat dalam UndangUndanng Inggris (Undang-Undang Elthelbert of Kent).68 Menurut Andi Hamzah, akar Restorative Justice sudah ada sejak dahulu kala baik di Eropa maupun Indonesia, yaitu tidak adanya perbedaan antara gugatan perdata dan tuntutan pidana. Gugatan perdata dan tuntutan pidana diajukan oleh pihak dalam sengketa, baik perdata maupun pidana. Jadi, jika terjadi pelanggaran pidana, maka pihak yang dirugikan atau korban sendiri yang menuntut ke hakim. Terkenal dengan adigium di Jerman : “Wo Kein Klager ist, ist kein Richter” (Jika tidak ada pengaduan, maka tidak ada hakim). Dimana dengan sendirinya, jika terjadi perdamian antara para pihak, misalnya ganti kerugian kepada korban dan/atau permintaan maaf maka perkara selesai.69 Oleh Andi 66
Andi Hamzah, Restorative Justice dan Hukum Pidana Indonesia, Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional “Peran Hakim dalam Meningkatkan Profesionalisme Menuju Peradilan yang Agung”, Diselenggarakan IKAHI dalam rangka Ulang Tahun IKAHI ke-59 Tanggal 25 April 2012, hlm.2. 68 69 Andi Hamzah, Op.Cit, hlm.1. 67
31
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Hamzah penyelesaian perkara melalui Restorative Justice adalah penyelesaian perdata. Keadilan Restoratif sebagai model pendekatan muncul pada era tahun 1960an, dalam upaya penyelesaian suatu perkara pidana. Pada pertengahan tahun 1970-an,
asas-asas
tentang
keadilan
Restoratif
dengan
segala
bentuk
partisipasinya seperti rekonsiliasi korban dan pelaku kejahatan telah dilakukan oleh kelompok kecil aktivis kecil secara tersebar, personil Sistem Peradilan Pidana dan beberapa ahli di Amerika Utara dan Eropa, yang sebenarnya secara keseluruhan belum menampakkan dirinya sebagai gerakan reformasi yang terorganisasi. Mereka tidak berfikir bahwa usahanya pada akhirnya akan mempengaruhi dan mempromosikan serta menggerakan pembaharuan sosial dalam pendekatan keadilan secara meluas dengan dampak internasional.70 Di Canada (Ontario) tahun 1974, gerakan terhadap keadilan Restoratif ditandai dengan hadirnya Victim Offender Reconciliation Program (VORP), Program ini awalnya dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak. Program ini menganggap pelaku akan mendapat perhatian dan manfaat secara khusus, sehingga dapat menurunkan jumlah residivis dikalangan pelaku anak dan jumlah pemberian ganti rugi kepada pihak korban. Dari pelaksanaan program ini diperoleh tingkat kepuasan yang tinggi bagi korban dan pelaku, dibandingkan penyelesaian pidana secara formal.71 Keberhasilan program ini melahirkan program-program keadilan Restoratif eksperimental baik di Amerika Utara maupun di Eropa, misal VORP di Indiana (Amerika Serikat) dan di Inggris Tahun 1978. American Bar Association (ABA) pada tahun 1994 mendukung keberadaan mediasi antara korban dengan pelaku dan dialog di pengadilan dan Dirumuskan pedoman penggunaannya yang bersifat sukarela. Kemudian pada Tahun 1995 dibentuk The National Organization for Victim Assistance) yang mempublikasikan “Restorative Community Justice : A Call to 70
Muladi, Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana, Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional “Peran Hakim dalam Meningkatkan Profesionalisme Menuju Peradilan yang Agung”, Diselenggarakan IKAHI dalam rangka Ulang Tahun IKAHI ke-59 Tanggal 25 April 2012, hlm.1. 71 Surya Jaya, Keadilan Restorative Tuntutan dan Kebutuhan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional “Peran Hakim dalam Meningkatkan Profesionalisme Menuju Peradilan yang Agung”, Diselenggarakan IKAHI dalam rangka Ulang Tahun IKAHI ke-59 Tanggal 25 April 2012, hlm.3.
32
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Action” dalam bentuk monograf. Hasil yang luar biasa dari penyelesaian melalui pendekatan Keadilan Restoratif ini, berkembang luas keseluruh Amerika Serikat, Australia, Afrika, Korea dan Rusia, termasuk, Dewan eropa dan Uni Eropa, PBB72 Bahkan PBB telah mencanangkan bahwa dalam setiap 5 (lima) Tahun sekali, PBB menyelenggarakan kongres yang diberi nama “Congres on Crime Prevention and The Treatment of Offenders”. Pada kongres tersebut yang berlangsung tahun 2000 menghasilkan “United Nation, Basic Principles on The Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters” (Prinsip-prinsip pokok tentang penggunaan program-program keadilan Restoratif dalam permasalahan-permasalahan pidana) yang memuat sejumlah prinsip-prinsip dasar dari penggunaan pendekatan Restorative Justice dalam penanganan perkara pidana. Hal ini dipertegas oleh Deklarasi Wina tentang Tindak Pidana dan Keadilan (Vienna Declaration on Crime and Justice ; “Meeting the Challenges of The Twenty-First Century) dalam butir 27 dan 28.73 Dengan demikian PBB telah mengakui bahwa Pendekatan Restorative Justice sebagai pendekatan yang dapat dipergunakan dalam sistem peradilan pidana rasional. Jauh sebelum lahirnya PBB, di Indonesia telah mengenal upaya penyelesaian suatu sengketa baik perdata maupun pidana dengan mempergunakan upaya penyelesaian dengan pendekatan musyawarah, yang mana merupakan nilai terpenting dalam keadilan Restoratif. Pada masa kerajaan Majapahit sudah ada kitab hukum pidana kutara Manawa, yang mana dalam kitab tersebut sudah mengenal adanya suatu ketetapan yang memperhatikan kepentingan korban dalam pengambilan suatu keputusan, dan mengenal juga ganti kerugian bagi pihak si korban.74 Berarti disini nilai utama dari keadilan Restoratif yaitu melibatkan partisipasi korban, pelaku, masyarakat dalam melakukan perbaikan atas suatu tindak pidana. Selain kitab kutara Manawa, terdapat juga beberapa aturan hukum pada masa kerajaan dahulu di Indonesia yang menerapkan keadilan Restoratif 72
Muladi, Op.Cit, hlm.1. Ridwan Mansyur, Op.Cit, hlm.124. 74 Slamet Mulyana, Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya (Jakarta : Bhatara Karya Aksara, 1979) hlm.182-188. 73
33
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
seperti, Qonun Mangkuta Alam (Samudera Pasai, Aceh), Kitab Simbur Cahaya, Kuntara Radjaniti (lampung).75 2.1.3. Nilai Dasar Restorative Justice Banyaknya kasus hukum yang tidak diselesaikan atau selesai dengan akhir yang kurang memuaskan membuat hukum semakin tidak dipercaya masyarakat sebagai alat mencari keadilan. Oleh Satjipto Haradjo hal sebagaimana dijelaskan diatas dikarenakan bentuk krisis sosial yang menimpa aparat penegak hukum kita. Berbagai hal yang muncul dalam kehidupan hukum kurang dapat dijelaskan dengan baik. Keadaan ini kurang disadari, dalam hubungannya dengan kehidupan hukum di Indonesia.76 Keterpurukan hukum di Indonesia tersebut menurut A.M. Mujahidin disebabkan karena 2 (dua) faktor yaitu perilaku penegak hukum (professional juris) yang koruptif dan pola pikir para penegak hukum yang masih terkungkung dalam pikiran legalistic-positivistik.77 Kondisi hukum yang semakin terpuruk ini pada akhirnya tidak mendapat tempat di hati masyarakat karena sama sekali tidak memberikan jawaban atas kebutuhan hukum yang berkeadilan. Bangsa Indonesia pada saat ini sedang mengalami multi krisis yang salah satunya adalah krisis dalam penegakan hukum (law enforcement).78 Pada saat ini, kecenderungan kegiatan hukum dalam masyarakat ditandai dengan meningkatnya penggunaan sumber-sumber hukum dan penyelesaian masalah-masalah dengan hukum.79 Ironisnya meningkatnya kesadaran hukum masyarakat berbanding terbalik dengan proses penyelesaian masalah hukum. Dalam praktiknya, hukum tidak selamanya berposisi sebagai penyeimbang kepentingan masyarakat karena hukum cenderung mengakomodasi kepentingan elit tertentu.80 75
Ibid, hlm.71-72. Satjipto Rahardjo dalam Umar Sholehudin, Hukum & Keadilan Masyarakat Perspektif Kajian Sosiologi Hukum, (Malang : Setara Press, 2011), hlm.3. 77 A.M. Mujahidin, “Hukum Progresif: Jalan Keluar dari Keterpurukan Hukum di Indonesia”, Varia Peradilan, Tahun ke XXII No. 257, April, 2007, hlm. 52. 78 Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas,) hal.169. 79 Ronny Hanitijo, Politik, Kekuasaan dan Hukum, (Semarang : Universitas Diponegoro, 1998) hal.45. 80 Umbu Lily Pekuwali, Memposisikan Hukum Sebagai Penyeimbang Kepentingan Masyarakat, Jurnal Pro Justitia, vol.26 (4) Oktober 2008, hal.359-370. 76
34
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Indikasi ketika dalam penegakan hukum semata-mata mengutamakan aspek kepastian hukum (reschtssicherheit) dengan mengabaikan keadilan (gerechtigkeit) dan kemanfaatan hukum (zweckmassigheit) bagi masyarakat. Adagium keadilan telah
berubah
sering
perkembangan
abad
nasionalisme
modern
yang
mengutamakan daya nalar hampir tidak pernah memuaskan pikiran manusia tentang arti dan makna keadilan di dalam irama gerak hukum dalam masyarakat.81 Hukum atau peraturan perundang-undangan dalam implementasinya harus adil, tetapi ternyata yang terjadi adalah ketidakadilan. Padahal hukum terkait dengan keadilan, namun dalam praktik di kalangan aparatur penegak hukum belum sepenuhnya menyadari hal tersebut.82 Hakikat hukum adalah keadilan. Keadilan Hukum Merupakan hak setiap warga negara yang harus dijamin dan dilindungi negara. Bahkan hak keadilan hukum ini ditegaskan dalam Pasal 3 UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama didepan hukum. Dalam praktiknya dalam masyarakat proses penegakan hukum yang dilaksanakan diarasakan masih jauh dari rasa keadilan masyarakat. Keadilan hukum yang muncul lebih bersifat legal-formal, keadilan yang berdasarkan teksteks tertulis yang ada dalam undang-undang (rule bound). Melihat probelmatik yang tejadi dalam masyarakat terhadap hal itu, Satjipto Rahardjo, menawarkan fungsi hukum sebagai alat bagi masyarakat yang disebutnya dengan hukum Progresif. Aliran hukum Progresif menekankan penafsiran hukum sebagai upaya menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat sehingga tercipta sebuah putusan yang adil. Pemikiran tersebut memang sangat sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia, terutama bagi masyarakat kecil yang tidak mempunyai posisi yang kuat dalam hal ekonomi maupun sosial. Tidak hanya itu, hukum
81
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, (Bandung : Bandar Maju, 2001) hal.30. 82 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum : Perspektif Historis, (Bandung : Nuansa dan Nusamedia, 2004) hal.239.
35
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
progresif juga menawarkan satu cara pandang baru dalam berhukum yaitu dengan melibatkan hati nurani.83 Setiap penegak hukum harus mampu merasakan pesan moral yang terkandung dalam suatu peraturan perundang-undangan. Satjipto Rahardjo mengatakan “tidak ada undang-undang yang abadi, oleh karena undang-undang itu adalah perumusan yang pasti, sementara ia harus berhadapan dengan kehidupan yang selalu berubah. Undang-undang yang terpaku pada rumusan katakata akan tertinggal dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, yang justru harus dikontrol atau dikendalikan” inilah yang disebut “de wet hinkt achter de feiten aan”.84 Menurut
Satjipto
Rahardjo,
Penegakan
hukum
Progresif
adalah
menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan.85 Inti dari hukum Progresif terletak pada berpikir dan bertindak Progresif yang membebaskannya dari belenggu teks dokumen hukum, karena pada akhirnya hukum itu bukan teks hukum, melainkan untuk kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.86 Sebenarnya pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya yaitu hukum untuk manusia.87
83
Hwian Cristianto, Penafsiran Hukum Progresif dalam Perkara Pidana, dalam Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, hlm.480. 84 Satjipto Rahardjo, UUD 1945, Desain Akbar Sistem Politik dan Hukum Nasional, Makalah dalam Konvensi Hukum Nasional Tentang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sebagai Landasan Konstitusional Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional, Diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, 15-16 april 2008, hal.11. 85 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. xiii 86 Satjipto Rahardjo, konsep dan Karakteristik Hukum Progresif, Makalah dalam Seminar Nasional Hukum Progresif I, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro bekerjasama dengan Program Doktr Ilmu Hukum Universitas Diponegoro dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakrta dan Semarang, 15 Desember 2007, hal.11. 87 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan), Makalah dalam Acara Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Undip , Semarang, 4 September 2004, hal.4.
36
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Hukum Progresif berangkat dari pemikiran bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum bukan sebagai institusi yang bersifat mutlak dan final, melainkan sebagai institusi bermoral, bernurani, dan karena itu sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum merupakan suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.88 Hukum Progresif tidak berpikir menurut Legal Way tetapi menurut Reasonable way, apabila terjadi kebuntuan, maka hukum Progresif akan melakukan cara alternatif yang kreatif, diatas menjalankan cara alternatif yang kreatif “to the letter”.89 Inti dari Hukum Progresif terletak pada berpikir dan bertindak Progresif yang membebaskannya dari belenggu teks hukum, melainkan untuk kebahagian dan kesejahteraan manusia.90 Penegakkan hukum Progresif berupaya untuk menyelesaikan perkara dengan pendekatan keadilan Restoratif, guna menciptakan keadilan yang menguntungkan semua pihak yang berkonflik. Dalam konteks penerapan hukum pidana seharusnya mempunyai pengaruh yang efektif untuk mencegah sebelum suatu kejahatan terjadi. Penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan Restoratif pada dasarnya menyelesaikan suatu persoalan pidana dengan upaya perbaikan ke keadaan semula melalui kesepakatan antara para pihak yang terlibat. Termasuk memperbaiki hubungan antara para pihak (korban, pelaku, keluarga mereka dan masyarakat) yang terkait dengan peristiwa tersebut. Menurut Adrianus Meliala, Model keadilan Restoratif diperkenalkan karena Sistem Peradilan Pidana dan pemidanaan yang sekarang bukan menyelesaikan suatu persoalan namun malah sebaliknya menimbulkan masalah baru.91 Ditambahkan oleh Muhammad Mustofa bahwa Restorative Justice memberikan perhatian sekaligus pada kepentingan korban kejahatan, pelaku kejahatan dan masyarakat. Terhadap korban, adanya pemulihan kerugian aset, derita fisik, keamanan, harkat dan kepuasan atau rasa keadilan. Sedangkan bagi pelaku dan masyarakat, 88
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif (penjelajahan Suatu Gagasan), News Letter Kajian hukum ekonomi dan Bisnis, No. 59 Desember 2004, hal, 1-14. 89 Satjipto Rahardjo, Membedah hukum Progresif, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2007) hal.10. 90 Ibid. 91 http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=9768$&cl=Berita
37
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
tujuannya adalah pemberian malu agar pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya, dan masyarakat pun menerimanya. Dengan model ini, pelaku tidak perlu masuk penjara kalau kepentingan dan kerugian korban sudah direstorasi, korban dan masyarakat pun sudah memaafkan, sementara pelaku sudah menyatakan penyesalannya.92 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan Restoratif ialah pendekatan yang memuaskan semua pihak (win-win solution), tidak memperpanjang suatu persoalan sehingga tidak menimbulkan suatu persoalan baru. Untuk mengetahui perbandingan antara Keadilan Restoratif dengan Teori pemidanaan lain. Maka akan ditampilkan Tabel tentang Perkembangan Orientasi dalam Teori Pemidanaan. Tabel 2.193 Perkembangan Orientasi dalam Teori Pemidanaan Teori
Orientasi Pemidanaan
Fokus Perhatian Pelaku
Retribution94
Pembalasan
√
Deterrence95
Pencegahan dan penjeraan
√
Korban
Masyarakat
√
92
Ibid. Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif, (Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012), hlm.80. (Selanjutnya disebut Eva Achjani Zulfa 3) 94 Penegakan hukum di Indonesia pada dasarnya bersifat Retributif. Teori Retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “Morally Justifed” (pembenaran secara moral) karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak menerima hukuman karena perbuatannya. Asumsi pembenaran untuk penghukuman sebagai respon atas kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma-norma tertentu yang mendasari aturan hukum yang dilakukan dengan sengaja dan sadar, hal ini merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dari kesalahan hukum si pelaku. (Alexandar Fatic, Punishment and Restorative Crime-Handling, (Avebury Ashatage Publishing Limited, 1995) hal.9. Dalam Mahmud Mulyadi, Perlindungan Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum: Upaya Menggeser Keadilan Retributif Menuju keadilan Restoratif, Jurnal Equality, Vol.13 No.1 Februari 2008, hal.84-85) Teori Retributif meligitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan. Dimana kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, Oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan. (Van. J.M. Bammelen, Hukum Pidana I, Selanjutnya disebut buku II, (Bandung : Bina Cipta, 1997) hlm.25) 95 Menurut Zimring dan Hawkins terminologi Deterrence dipergunakan terbatas pada penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut membuat seseorang 93
38
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Incapacitation96
Perlindungan masyarakat
Rehabilitation97
pengobatan
√
Resocialization98
pemasyarakatan
√
Restitusi, Kompensasi, dan Reparasi99
Ganti kerugian
Integrasi Teori (Restorative Justice)
Pembalasan, pencegahan, dan penjeraanm perlindungan masyarakat, pengobatan, pemasyarakatan, dang anti kerugian
√
√
√
√
√
merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Namun “The net deterrence effect” dari ancaman secara khusus kepada seseorang ini dapat juga menjadi ancaman bagi seluruh masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan.( Franklin Zimring, Deterrence, The Legal Threat in Crime Control, The University of Chicago Press, Chicago, 1976, hal.71. Dalam Mahmud Mulyadi, Op.Cit, hlm.85) 96 Incapacitation, teori ini pada dasarnya merupakan teori pemidanaan yang membatasi orang dari masyarakat selama waktu tertentu dengan tujuan perlindungan terhadap masyarakat pada umumnya. Menurut Andrew Ashword teori pemidanaan ini dipergunakan terhadap ukuranukuran : (1) hanya dijatuhkan terhadap pelaku yang membahayakan masyarakat, dan (2) bentuk sanksinya adalah mengisolasi atau memisahkan sipelaku dari masyarakat untuk jangka waktu tertentu (biasanya untuk waktu yang alam). (Andrew Ashword dalam Eva Achjani Zulfa 3, Op.Cit, hlm.74) 97 Rehabilitasi, memfokuskan lebih memfokuskan diri untuk memperbaiki sipelaku. Menurut Teori ini kejahatan disebabkan lebih karena adanya penyakit kejiwaan atau penyimpangan sosial baik dalam pandangan psrikiatri atau psikologi, dipihak lain kejahatan dalam teori rehabilitasi dipandang sebagai penyakit sosial yang disintegratif dalam masyarakat. Inti dalam teori ini bahwa seorang pelaku tindak pidana merupakan orang yang perlu diberikan pertolongan, dan hakim dalam memberikan model pidanaan diharapkan cocok sebagai sarana terapi bagi sipelaku.(Ibid,hlm. 73-74) 98 Resocialization, melihat bahwa pemidanaan dengan cara Desosialisasi, yaitu memisahkan pelaku dari kehidupan sosial masyarakat dan membatasnya untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat, pada dasarnya dapat menghancurkan pelaku. Velinka dan Ute menyatakan Resocialization merupaan proses yang mengakomodasi dan memenuhi kebutuhan pelaku tindak pidana akan kebutuhan sosialnya.(Ibid, hlm.75-76) 99 Restitusi, Kompensasi, dan Reparasi, teroi ini memfokuskan perhatiannya kepada korban sebagai bagian penting untuk dipertimbangkan dalam penjatuhan suatu pidana. Reparasi merupakan perbuatan untuk mengganti kerugian akibat dari suatu yang tidak benar. Reparasi dipandang sebagai suatu jalan yang harus dilalui oleh pelaku sebagai konsekwensi atas tindak pidana yang dilakukan. Restitusi merupakan pengembalian atau memperbaiki beberapa hal yang khusus berkaitan dengan kepemilihan atau status. Sedangkan kompensasi adalah pembayaran atas kerusakan atau perbuatan lain yang diperintahkan oleh pengadilan kepada orang yang terbukti menyebabkan kerusakan sebagai proses selanjutnya. Kompensasi disini tidak hanya dalam bentuk uang tetapi bisa dalam bentuk perbuatan lain. (Ibid, hlm.76-77)
39
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Jim Consedine seorang pelopor keadilan Restorative, berpendapat “konsep keadilan Retributive dan Restitutif yang berlandaskan hukuman, balas dendam terhadap pelaku, pengasingan, dan perusakan harus digantikan oleh keadilan Restorative yang berlandaskan rekonsiliasi, pemulihan korban, integrasi dalam masyarakat, pemaafan, dan pengampunan.100 Ditambahkan oleh Mudzakir yang memandang hukum pidana dan Sistem Peradilan Pidana saat ini tidak memberikan keadilan bagi masyarakat karena keadilan yang ditegakkan masih bersifat pembalasan (Retributif). Konsep keadilan dalam Kebijakan pidana pada masa depan harus bergeser dari keadilan Retributif menuju keadilan Restoratif.101 Braithwaite mengemukakan beberapa nilai dasar yang merupakan ciri khas Restorative Justice yang membedakannya dengan teori pemidanaan lainnya. Nilai-nilai dasar tersebut oleh Braithwaite dikelompokan menjadi 3 (tiga) kelompok :102 1.
Nilai-nilai yang terkait dengan penerapan keadilan Restoratif dalam praktek yang disebut sebagai fundamental Procedural Safeguard yang terdiri atas : a.
Non Domination, dalam menyelesaikan suatu perkara pidana dengan mempergunakan Restorative Justice diharapkan semua pihak dalam posisi yang sama dan sederajat. Disini dominasi salah satu pihak akan mempengaruhi suatu putusan yang dihasilkan sehingga akan merusak tujuan dari pada penyelesaian dengan menggunakan pendekatan ini. Dalam model pendekatan ini diharapkan keputusan diambil secara bersama-sama oleh semua pihak yang terlibat.
b.
Empowerment,
Adanya
keharusan
pemberdayaan
(protection)
terhadap pihak yang tidak dalam posisi yang menguntungkan. Pemberdayaan ini bukan maksud pilih kasih namun sebagai upaya membangun keberanian untuk mengutarakan pemikiran, pandangan 100
Jim Consedine, Restorative Justice : Healing the Effects of Crime, (Lyttelton : Ploughshares Publications,1995), hlm.11. 101 Mudzakkir, Loc.Cit. 102 Andrew Von Hirsch et all, Restorative Justice and Criminal Justice : Competing or Reconcilable Paradigms ?, (Oregon : Hart Publishing, 2003) hlm.9-11. Dalam Eva Achjani Zulfa 1, Op.Cit, hlm.92-95.
40
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
dan kehendak sehingga kebutuhan pelaku, korban atau masyarakat dapat didengar dan diperhatikan dalam pengambilan keputusan. c.
Honouring Legally Specific upper limits on sanction, ketika para pihak sudah mengambil keputusan untuk menyelesaiakn suatu persoalan dengan menggunakan konsep ini, maka mereka harus menerima segala keputusan yang dihasilkan oleh model penyelesaian tersebut.
d.
Respecful Listening, Dalam menyelesaikan perkara ini para pihak harus memiliki rasa saling menghormati dan berempati antara para pihak.
e.
Equal Concern for All Stakeholders, Harus adanya perhatian kepada semua stakeholder, dalam upaya penyelesaian model ini tidak hanya difokuskan kepada salah satu stakeholder.
f.
Accountability, Appealability, Accountability dalam arti Restorative justice adalah keleluasaan untuk memilih mekanisme penyelesaian yang berdasarkan atas pilihan semua pihak.
g.
Respect for the Fundamental Human Right, Dalam menyelesaikan perkara pidana harus mengacu pada instrumen hak asasi manusia. Nilai-nilai hak asasi manusia harus diakomodasikan kedalam tujuan pemidanaan dan dalam merancang suatu model pemidanaan.
2.
Nilai yang terkait dengan kemampuan untuk melupakan kejadian pada masa lalu. Melupakan dan bukan menghapuskan atau membiarkan saja tanpa suatu penyelesaian. Kemauan untuk melupakan kejadian pada masa lalu bukan merupakan alasan untuk menelantarkan atau mencegah proses penyelesaian yang sedang berlangsung. Diterimanya suatu kesepakatan mengandung arti dengan suatu tugas membawa dan menyebarkan nilai baru dan mengubah paradigma masyarakat sekitar terhadap tindak pidana yang terjadi. Permasalahan yang terjadi adalah seringnya benturan terjadi dimasyarakat sehingga proses realisasi program menjadi terhambat, utamanya terkait dengan
nilai-nilai
lokal/setempat
41
yang
dianut
masyarakat
justru
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
menghambat program perbaikan dan Restoratif. Dalam kondisi yang demikian, kesepakatan yang telah dicapai harus dievaluasi kembali. 3.
Nilai yang terkandung dalam keadilan Restoratif adalah mencegah ketidakadilan, maaf memaafkan, dan rasa terimakasih. Berbeda dengan pandangan sebelumnya, keadilan Restoratif pada dasarnya merupakan suatu konsep yang berkembang. Banyak Sarjana yang kemudian mengembangkan lebih lanjut konsep ini secara terus menerus. Termasuk didalamnya pengembangan terhadap ide-ide potensial serta resiko-resiko negatif bila konsep ini akan dijalankan.
2.1.4. Nilai-Nilai Agama dalam Keadilan Restoratif Banyak Sarjana hukum Pidana yang mengulas konsep Restorative Justice bersumber daripada nilai-nilai agama. Dalam prakteknya penerapan keadilan Restoratif telah lama ada dan berlaku oleh umat Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Bahkan Andi hamzah menyarankan dalam penerapan Restorative Justice, perlu berguru kepada Nabi Muhammad yang memaafkan orang-orang Qurais yang telah melakukan kejahatan berat terhadap kaum muslimin, Mahatma Gandhi, yang merupakan tokoh Hindu yang memperjuangan Negara India dengan menggunakan nilai-nilai Hindu (tanpa kekerasan) dalam melawan penjajah (Inggris), dan Dhalai Lama (Budha).103 Mereka merupakan tokoh-tokoh agama yang dalam menyelesaikan suatu perkara maupun memperjuangkan kemerdekaan bangsanya mempergunakan cara-cara non kekerasan maupun rekonsiliasi. Dalam Islam dikenal istilah islah yang mana tujuan maupun perannya sama dengan keadilan Restoratif. Dimana melalui mediasi pihak-pihak yang berkepentingan dipertemukan untuk rukun kembali. Adapun dasar dari islah adalah pemberian maaf. Ketentuan islah salah satunya dapat dilihat dalam (Alhujarat : 10) yang berbunyi : "sesama mu'min yang bersengketa wajib berislah karena mereka itu bersaudara". Penggunaan Islah dalam penyelesaian suatu konflik termasuk perkara pidana didukung oleh Nurcholish Madjid yang menyatakan “semua kitab suci mengajarkan prinsip bahwa semua orang yang 103
Andi hamzah, Op.Cit, hlm.6.
42
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
beriman adalah bersaudara. Kemudian diperintahkan agar antara sesama orang beriman yang berselisih selalu diusahakan islah (rekonsiliasi) dalam rangka taqwa kepada Allah dan usaha mendapat rahmatNya”.104 Dalam Kristen, dikenal istilah zakeus, penarik pajak yang curang dan kemudian bertaubat dihadapkan Yesus, kemudian mau mengembalikan hasil kejahatannya senilai 4 (empat) kali lipat kepada semua korban. Separuh hartanya bahkan dibagi-bagikan kepada kaum papa. Pada hakekatnya, hakim Charie Booth dari Inggris menilai serangkaian kunjungan zakeus kepada korban dalam rangka Mengembalikan hasil kejahatannya merefleksikan Injil, yang menerapkan keadilan Restoratif demi Shalom yang bermakna keadilan (justice).105 Dalam Hindu dikenal istilah Panca Sradha (Panca : lima, Sradha : keyakinan/kepercayaan), yang berarti lima dasar kepercayaan atau keyakinan umat Hindu yang selalu menjiwai setiap prilakunya sehari-hari sebagai cerminan manusia yang beragama. Adapun 5 (lima) dasar kepercayaan umat Hindu adalah : 1.
Percaya dengan adanya Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa),
2.
Percaya dengan adanya atma,
3.
Percaya adanya Karma Phala,
4.
Percaya dengan adanya moksa, dan
5.
percaya adanya punarbhawa/Reimkarnasi. Nama terkhir inilah yang berkaitan dengan keadilan Restoratif. Kata
Reinkarnasi berasal dari dua kata Latin: re (lagi) dan incarnere (dalam daging). Secara harfiah istilah ini berarti “kembali ke dalam daging.” Seorang ahli agamaagama dunia Geoffrey Parrinder, mendefinisikan istilah Reinkarnasi sebagai “Keyakinan bahwa jiwa atau suatu kekuatan keluar sesudah kematian dan masuk ke tubuh lain.”106 Dalam konsep Reinkarnasi mengajarkan kepada setiap manusia untuk menghindari perbuatan dosa, dengan melakukan upaya-upaya pemulihan pada setiap dosa atau kejahatan yang terjadi untuk menghindari keburukan yang 104
Suparmin, Model Polisi Pendamai Dari Perspektif Alternative Dispute Resolution (ADR) (Studi Penyelesaian Konflik antar Partai Politik), (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2012, hlm.5. 105 Eriyantouw Wahid, Op.Cit, hlm.9. 106 Norman Geisler dan Yutaka Amano, Reinkarnasi, (Malang: Gandum Mas 1986) hlm.23.
43
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
menimpa dalam kehidupan selanjutnya. Hal ini memiliki persamaan dengan keadilan Restoratif yang menghendaki adanya pemulihan keadaan semula dalam menyelesaikan suatu perkara pidana. Menurut Wayan P. Windia,107 Dalam Hukum Adat Bali yang dilandasi oleh nilai-nilai agama Hindu, Nilai Restorative Justice nampak juga dalam tujuan Agama Hindu yang tertuang dalam Kitab Suci Weda yaitu “Moksartam Jagadhita Yaca Iti dharma” yang artinya “Bahwa Agama Hindu Dharma bertujuan untuk mencapai moksa (moksartam) dan mencapai kesejahteraan hidup mahluk hidup (yagaditha)”, moksa disini diartikan sebagai perwujudan keseimbangan lahir dan batin. Sebagaimana yang diharapkan oleh keadilan Restoratif. 2.1.5. Nilai-Nilai Hukum Adat dalam Restorative Justice Menurut Eva Achjani Zulfa, Konsep hukum Adat di Indonesia sebagai wadah atau upaya penyelesaian suatu perkara, merupakan akar dari keadilan Restoratif. Menurut beliau karakteristik hukum Adat di tiap daerah amat mendukung penerapan keadilan Restoratif. Hal ini dilihat dari ciri-ciri umum hukum Adat Indonesia, dalam pandangan terhadap pelanggaran Adat serta model penyelesaiannya.108 Adapun ciri umum dari hukum Adat adalah :109 a.
corak religius yang menempatkan hukum Adat sebagai bentuk kesatuan batin masyarakat dalam suatu persekutuan (komunal);
b.
Sifat Komunal dari hukum Adat menempatkan individu sebagai orang yang terikat dengan masyarakat.
c.
Tujuan dari persekutuan masyarakat adalah memelihara keseimbangan lahir dan batin antara individu, golongan dan lingkungan hidupnya.
107
Dalam wawancara pada tanggal 20 November 2012 dengan Wayan P. Windia Guru Besar Hukum Adat Bali Fakultas Hukum Universitas Udayana dan juga Tima Ahli Hukum Majelis Desa Pekraman. Menurut Wayan Windia Hukum Adat Bali bertujuan menciptakan kebahagian sekala niskala (kebahagian lahir dan batin), dari tujuan tersebut menciptakan kebahagian yang seimbanga antara sekala niskala maka suatu perbuatan yang merupakan delik Adat maka bentuk penyelesaiannya harus bertujuan keharmonisan lahir batin, oleh karenanya solusi yang diambil dalam penyelesaian delik Adat harus berorientasi pada restorasi (pemulihan kekeadaan semual) agar kembali tercipta keseimbangan sekala niskala tersebut. 108 Eva Achjani Zulfa 1, Op.Cit, hlm.67. 109 R Soepomo dalam Ibid, hlm.68.
44
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
d.
Tujuan memelihara keseimbangan lahir batin berangkat dari pandangan atas ketertiban yang ada dalam alam semesta (kosmos), dimana ketertiban masyarakat merupakan bentuk hubungan harmonis antara segala sesuatu.
e.
Pelanggaran terhadap hukum Adat diterjemahkan sebagai pelanggaran terhadap garis ketertiban kosmos tersebut. Pelanggaran terhadap hukum Adat diterjemahkan sebagai pelanggaran
terhadap keseimbangan kosmos yang ada dalam masyarakat, yang mana dalam menyelesaikan suatu gangguan keseimbangan tersebut diperlukan suatu mekanisme penyelesaian yang melibatkan semua pihak, hal ini dikarenakan sifat masyarakat hukum Adat adalah bersifat komunal (individu terikat dalam suatu masyarakat). Jadi dalam menyelesaikan suatu perkara Adat, semua pihak dalam hal ini pelaku, korban, dan masyarakat merupakan pihak-pihak yang akan menyelesaikan suatu perkara sehingga tercipta keseimbangan kosmis dalam masyarakat. Nilai-nilai inilah yang melandasi keadilan Restoratif dalam menyelesaikan suatu perkara pidana. Dalam keadilan Restoratif korban disini bukanlah negara, sebagaimana dalam Sistem Peradilan Pidana pada umumnya. Dimana keadilan Restoratif menjawab persoalan yang ada dengan melibatkan semua pihak (korban, pelaku, masyarakat) dalam mengusahakan perbaikan (rekonsiliasi). Begitu pula dalam penerapan sanksi Adat, yang mengupayakan untuk mengembalikan langkah yang berada diluar kosmos demi tidak terganggu ketertiban kosmos. Sanksi Adat merupakan usaha mengembalikan keseimbangan yang terganggu. Begitu pula dalam keadilan Restoratif, tujuan pemidanaannya disini berorientasi pada perlindungan pelaku, korban, dan masyarakat, hal ini berbeda dengan tujuan pemidanaan pada umumnya yang hanya terfokus pada satu point saja baik pelaku maupun korban. Sehingga sering kali dalam penyelesaian suatu perkara pidana tidak sampai tuntas. Hal ini dikarenakan belum tercapainya penyelesaian perkara secara tuntas antara pelaku dengan pihak korban serta lingkungannya, sebab mereka (pelaku dan korban) tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Padahal sejatinya penyelesaian suatu perkara harus memberikan kontribusi keadilan bagi mereka yang berperkara (semua pihak).
45
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
2.1.6. Bentuk-Bentuk Restorative Justice Restorative Justice merupakan konsep yang harus diaplikasikan melalui proses yang nyata. Proses Restorative Justice dapat dilakukan dalam beberapa mekanisme tergantung situasi dan kondisi yang ada bahkan ada yang mengkombinasikan satu mekanisme dengan mekanisme yang lainnya. Menurut Stephenson, Giller, dan Brown membagi bentuk keadilan Restoratif menjadi 4 (empat) bentuk, yaitu :110 1.
Victim Offender Mediation (Mediasi Penal) Bentuk pendekatan Restorative Justice yang membentuk suatu forum yang mendorong pertemuan antara para pihak yaitu korban, pelaku, dan pihak ketiga (mediator) yang netral dan imparsial, yang membantu para pihak untuk berkomunikasi satu sama lainnya dengan harapan mencapai sebuah kesepakatan. Dalam pertemuan tersebut, korban dapat menggambarkan pengalamannya berkaitan dengan tindak pidana yang dialaminya dan efek yang ditimbulkannya. Pelaku menjelaskan perbuatan pidana apa dan latar belakang mengapa si pelaku melakukan hal tersebut. Sedangkan mediator bertugas memberikan berbagai masukan bagi tercapainya penyelesaian terbaik yang mungkin dilakukan. Mediasi dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung (Shuttle Mediation).
2.
Restorative Conference (Conferencing) Bentuk penyelesaian dengan model ini merupakan aplikasi keadilan Restoratif yang dikembangkan oleh Suku Maori (Selandia Baru), akan tetapi pelaksanaannya banyak negara-negara mempergunakan aplikasi ini. Dalam bentuk Conferencing, penyelesaian tidak hanya melibatkan pelaku dan korban langsung saja (Primary Victim) namun juga melibatkan korban tidak langsung (Secondary Victim), seperti keluarga, kawan dekat korban serta kerabat dari pelaku.
3.
Family Group Conference (FGC) Model ini merupakan pengembangan dari model Conferencing, Model ini dipergunakan dalam penanganan tindak pidana yang pelakunya anak. Fokus
110
Martin Stephenson, Henry Giller, dan Sally Brown, Effective Practice in Youth Justice, (Portland : Willan Publishing, 2007), hlm.163-166.
46
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
penyelesaian model ini ialah upaya pemberian pelajaran atau pendidikan bagi pelaku atas apa yang telah dilakukannya. Dimana kedua belah pihak (korban dan pelaku) membuat sebuah Action Plan yang berasal dari informasi dari korban, pelaku, dan kalangan profesional. Hal ini dilakukan dengan tujuan pencegahan agar suatu kesalahan tidak terulang lagi. 4.
Community Panels Meetings Pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pelaku, korban, dan orang tua pelaku untuk mencapai sebuah kesepakatan perbaikan kesalahan. Daly dan Immarigeon, menambahkan bentuk-bentuk keadilan Restoratif
yang berkembang didunia, terutama di Amerika Serikat dan Canada, adapun bentuknya adalah :111 1.
Hak Tahanan dan Alternatif selain penjara Diperlukannya suatu upaya alternatif pemidanaan selain penjara guna menjamin hak seseorang untuk dapat berkumpul dalam masyarakat, guna mencagah meledaknya populasi penjara apabila semua perkara diselesaikan dengan pemidanaan penjara.
2.
Pilihan penyelesaian sengketa Penyelesaian dengan upaya informal (alternatif penyelesaian sengketa) yang difokuskan pada upaya negoisasi antara para pihak, dengan juga melibatkan peran masyarakat serta mengurangi ketergantungan akan peran para profesional hukum.
3.
Advokasi Keadilan Restoratif ini melakukan advokasi untuk korban tindakan kriminal karena mereka kurang bisa bersuara dalam proses peradilan pidana.
4.
Justice Circles Model penerapan keadilan Restoratif dalam aplikasi ini, hampir sama dengan
Conferencing,
yaitu
dalam
menyelesaikan
perkara
pidana
melibatkan para pihak yang terlibat meliputi pelaku, korban, keluarga korban dan pelaku, termasuk didalamnya ikutnya aparat penegak hukum. 111
Kathleen Daly dan Russ Immarigeon, The Past, Present, and Future of Restorative Justice : Some Critical Reflection, dalam Contemporary Justice Review, 1 (1), 1998, hlm.24-26.
47
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Titik perbedaannya ialah setiap anggota masyarakat yang merasa berkepentingan dengan perkara tersebut dapat datang dan ikut berpartisipasi. Circles dalam hal ini diartikan sebagai pihak-pihak yang berkepentingan dengan tindak pidana secara meluas. Dalam model penyelesaian ini para pihak duduk dalam sebuah lingkaran. Penerapan ini diadopsi dari praktek yang ada di Kanada. Selain bentuk-bentuk aplikasi Restorative Justice diatas, ada juga bentuk aplikasi dalam bentuk Reparative Board (membahas perencanaan programprogram yang tepat tentang keadilan Restoratif yang juga melibatkan pelaku dan korban),112 Victim Assistance (pendampingan korban), Ex-Offender Assistance (pendampingan mantan pelaku), Restitution (ganti rugi), dan Community Service (layanan masyarakat).113 2.2. Mediasi Penal 2.2.1. Pengertian Mediasi Pada umumnya masyarakat apabila bermasalah dengan hukum pasti mempergunakan upaya litigasi (menggunakan pengadilan) dalam menyelesaikan suatu perkara baik perdata maupun pidana. Namun dalam realitanya di masyarakat, penyelesaian dengan menggunakan jalur pengadilan tidaklah menguntungkan sebab memerlukan biaya yang besar, waktu lama, mempertajam konflik dengan pihak lawan (bersifat win lose solution). Penyelesaian suatu perkara dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu dengan model litigasi (pengadilan) dan jalur non litigasi (diluar pengadilan). Pendekatan yang kedua ini (non litigasi) bersifat win-win solution. Dalam literatur hukum penggunaan mekanisme penyelesaian yang bersifat win-win solition disebut dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute Resolution (ADR). Menurut ketentuan pasal 1 butir (10) Undang-Undang 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternative, yang dimaksud dengan ADR adalah “lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang 112 113
Muladi, Op.Cit, hlm.9. www.restorativejustice.org
48
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara Konsultasi, Negoisasi, Mediasi, Konsiliasi, atau Penilaian Ahli”. Jadi dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk Alternative Dispute Resolution adalah Konsultasi, Negoisasi, Mediasi, Konsiliasi atau Penilaian Ahli. Dalam pembahasan tulisan ini hanya dibahas mengenai definisi dari Mediasi. 1.
Secara etimologi istilah Mediasi berasal dari bahasa latin, Mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. Berada ditengah juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan dari para pihak yang bersengketa.114
2.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat.115
3.
Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif tidak memberikan pengertian tentang mediasi namun, pengertian mediasi dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 6 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 yang memberikan pengertian mediasi sebagai penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak yang dibantu oleh mediator.
4.
Christopher W. Moore, Mediasi adalah intervensi dalam sebuah sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang bersengketa, bukan merupakan bagian dari kedua belah pihak dan bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Dia bertugas untuk membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara sukarela
114
I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengekat (ADR), (Jakarta : Indonesia Business Law Centre (IBLC), 2007), hlm. 2. 115 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999) hlm.640.
49
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
mau mencapai kata sepakat yang diterima oleh masing-masing pihak dalam sebuah persengketaan.116 5.
Lawrence Boulle, “Mediation is a decision making process in which the parties are assisted by a mediator, the mediator attempt to improve the process of decision making and to assist the parties the reach an outcome to which of them can assent”.117 Dari uraian diatas dapat penulis asumsikan bahwa mediasi adalah
merupakan salah satu bentuk mekanisme alternatif penyelesaian sengketa atau penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang menggunakan bantuan pihak ketiga (mediator) yang bersikap netral dan tidak memihak serta tidak sebagai pengambil keputusan yang tujuannya untuk mencapai kesepakatan penyelesaian sengketa yang sedang mereka hadapi tanpa ada yang merasa dikalahkan. Dalam pengertian Mediasi mengandung tiga unsur penting yaitu, Pertama, mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa. Ketiga, Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasihat dan tidak memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan.118 Lourence Boulle, membagi mediasi menjadi 4 (empat) bentuk, yaitu :119 1.
Sattlement Mediation (Compromise Mediation), Model ini bertujuan mempertemukan posisi tawar para pihak sampai ke suatu titik yang dapat mereka sepakati.
2.
Facilitative Mediation (Interest-Based, Problem-Solving, dan RationalAnalytic Mediation), Model ini paling sering dipergunakan dalam praktik mediasi, fokus pendekatan terletak pada pencapaian kesepakatan yang memuaskan sesuai kebutuhan semua pihak.
116
Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, 1 April 2006, hlm.5. 117 Laurence Boulle, Mediation Principles, Process and Practice, (New York : Prince Hall, 1996) hlm.1. 118 Syahrizal Abbas, Op.Cit, Hlm.3. 119 Laurence Boulle, Op.Cit, hlm.44-45.
50
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
3.
Transformative Mediation (Therapeutic dan Reconciliation Mediation), Model ini meyakini bahwa para pihak yang terlibat mempunyai kemampuan untuk berubah melalui proses mediasi, disini para pihak terlibat langsung untuk menentukan proses mediasi yang diinginkan.
4.
Evaluation Mediation (Advisory, Managerial, dan Normative Mediation), Model ini terkait dengan pencapaian kesepakatan berdasarkan hak hukum (Legal Right) yang dimiliki oleh para pihak.
2.2.2. Pengertian Mediasi Penal Salah satu bentuk mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan Restoratif adalah Mediasi Penal. Dari perspektif terminologinya Mediasi Penal dikenal dengan istilah mediation in criminal cases, mediation in penal matters, victim offenders mediation, offender victim arrangement (Inggris), strafbemiddeling (Belanda), der AuBergerichtliche Tatausgleich (Jerman), de mediation penale (Perancis).120 Menurut Ms. Toulemonde (Menteri Kehakiman Perancis) Mediasi Penal (penal mediation) adalah “Sebagai suatu alternatif penuntutan yang memberikan kemungkinan penyelesaian negosiasi antara pelaku tindak pidana dengan korban”.121 Sedangkan Martin Wright mengartikan Mediasi penal sebagai “a process in which victim(s) and offender(s) communicate with the help of an impartial third party, either directly (face- to-face) or indirectly via the third party, enabling victim(s) to express their needs and feelings and offender(s) to accept and act on their responsibilities”.122 (Suatu proses di mana korban dan pelaku kejahatan saling bertemu dan berkomunikasi dengan bantuan pihak ketiga baik secara langsung atau secara tidak langsung dengan menggunakan pihak ketiga sebagai 120
Lilik Mulyadi, “Mediasi Penal” Dalam Sistem Peradilan Pidana Pengkajian Asas, Norma, dan Praktik, Makalah Seminar hasil penelitian tentang, “Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, pada tanggal 26 Oktober 2011, di Hotel Alila Pecenongan, Jakarta Pusat, hlm.1. 121 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal dalam Penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Pertanggungjawaban Hukum korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance, 27 Maret 2007, hlm.1. 122 Martin Wright dalam Marc Groenhuijsen, Victim-Offender-Mediation: Lagal And Procedural Safeguards Experiments And Legislation In Some European Jurisdictions, Leuven, Oktober 1999, hlm. 1.
51
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
penghubung, memudahkan korban untuk mengekspresikan apa yang menjadi kebutuhan dan perasaannya dan juga memungkinkan pelaku menerima dan bertanggung jawab atas perbuatannya.) Mediasi Penal merupakan dimensi baru yang dikaji dari aspek teoretis dan praktik. Dikaji dari dimensi praktik maka Mediasi Penal akan berkorelasi dengan pencapaian dunia peradilan. Seiring berjalannya waktu dimana semakin hari terjadi peningkatan jumlah volume perkara dengan segala bentuk maupun variasinya yang masuk ke pengadilan, sehingga konsekuensinya menjadi beban bagi pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara sesuai asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan tanpa harus mengorbankan pencapaian tujuan peradilan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.123 Adapun ide dan prinsip dari Mediasi Penal, adalah :124 1.
Penanganan konflik (Conflict Handling/ Konfliktbearbeitung) : Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.
2.
Berorientasi pada proses (Process Orientation/Prozessorientierung) : Mediasi Penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhankebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dan sebagainya.
3.
Proses informal (Informal Proceeding/Informalität) : Mediasi Penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat.
4.
Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous Participation - Parteiautonomie/Subjektivierung) : Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih
123
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm.2. Stefanie Tränkle, The Tension between Judicial Control and Autonomy in VictimOffender Media-tion - a Microsociological Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germany and France, http://www. iuscrim.mpg.de/forsch/krim/traenkle_ e.html. 124
52
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri. Dalam hukum pidana proses penyelesaian perkara diluar proses pengadilan melalui Mediasi Penal berbeda dengan proses penyelesaian sengketa diluar proses pengadilan
melalui
mediasi.
Dalam
hukum
perdata
mediasi
biasanya
dipergunakan berkaitan dengan masalah uang, sedangkan dalam hukum pidana yang dipermasalahkan lebih banyak pada kebebasan dan kehidupan seseorang. Terhadap pihak-pihak yang terlibat, Mediasi perdata biasanya para pihak yang secara langsung bersengketa atau pihak kedua yang berkepentingan, Sedangkan dalam Mediasi hukum pidana para pihak yang terlibat lebih kompleks tidak hanya pelaku, korban, tapi juga jaksa penuntut umum, serta masyarakat luas.
125
Oleh
Detlev Frehsee, Makin meningkatnya penggunaan restitusi dalam proses penyelesaian perkara pidana menunjukan bahwa perbedaan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaannya itu menjadi tidak berfungsi.126 Mediasi dalam hukum pidana berarti proses penyelesaian perkara pidana dengan mempertemukan pelaku kejahatan dengan korban untuk mencapai kesepakatan bersama berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan pelaku dan restitusi yang diberikan kepada korban.127 Pertemuan (Mediasi) diperantarai oleh seorang mediator yang lebih baik berasal dari penegak hukum, pemerintah, LSM, maupun tokoh masyarakat.128 Peradilan pidana sesungguhnya bukan merupakan institusi yang paling baik dalam menyelesaikan konflik antara korban dan pelaku. Dalam realitanya peradilan pidana memiliki standar keadilan tersendiri terkait dengan pelaku kejahatan yang sama sekali tidak memperhatikan kepentingan-kepentingan korban. Penyelesaian konflik dengan peradilan pidana merusak hubungan 125
Mahrus Ali, Op.Cit, hlm.133. Detlev Frehsee (Professor of Criminology and Criminal Law, University of Bielefeld, Germany), “Restitution and Offender-Victim Arrangement in German Criminal Law: Development and Theoretical Implications”, http://wings.buffalo.edu/law/ bclc/bclr.htm 126
127
Mark William Bakker, Repairing The Breach and Reconciling The Discordant : Mediation in the Criminal Justice System, Dalam North Carolina Law Review, No. 72 Tahun 1994, hlm.1483. 128 Ibid, hlm.1485.
53
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
kekeluargaan antara korban dan pelaku. Hubungan yang awalnya damai, tentram, harmonis, dan bersifat kekelurgaan hancur dengan kehadiran Sistem Peradilan Pidana.129 Karena kelemahan dari peradilan pidana dalam menyelesaikan perkara pidana maka dapat direkomendasikan penyelesaian mekanisme Mediasi Penal (Penal Mediation), karena memiliki kelebihan yang tidak ditemukan dalam peradilan pidana, Adapun kelebihan dari Mediasi Penal, adalah sebagai berikut : 1.
Mediasi Penal membantu mengurangi perasaan balas dendam terhadap korban, lebih fleksibel karena prosedurnya lebih sederhana, hemat biaya, prosesnya lebih cepat dibandingkan dengan proses melalui peradilan pidana,
2.
Mengurangi beban penumpukan perkara dalam pengadilan dan mengurangi waktu yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu perkara dengan mempergunakan Mediasi Penal.
3.
Mediasi Penal memberikan kesempatan kepada korban dan pelaku bertemu untuk
membahas
kejahatan
yang
telah
merugikan
kehidupannya,
mengungkapkan perhatian dan perasaannya serta meminta adanya restitusi. 4.
Mediasi Penal menciptakan kembali hubungan yang harmonis antara korban dan pelaku. Kondisi ini tidak ditemukan di dalam penyelesaian perkara dengan peradilan pidana. Pemberian maaf korban kepada pelaku akan mengurangi rasa bersalah pelaku dan menciptakan rekonsiliasi antara keduanya.
2.2.3. Perbandingan Mediasi Perdata dan Mediasi Penal Mark Umbreit untuk mengetahui perbedaan antara Mediasi perdata dan Mediasi Penal, olehnya dilakukan perbandingan mengenai Mediasi secara umum (Perdata) dengan pendekatan Mediasi yang pendekatan manusiawi (Humanistic Mediation). Perbandingan hal tersebut akan dijelaskan dalam tabel sebagai berikut :130 129
Jack B. Weinstein, Some Benefit and Risks of Privatization of Justice Though ADR, Artikel pada Ohio State Journal on Dispute Resolution, 1996, hlm.292. 130 Mark Umbreit, Humanistic Mediation : a Transformative Journey of Peacemaking, dalam The Handbook of Victim Offender Mediation : an Essential Guide Guide to Practice and Research, ed. Mark Umbreit (San Francisco : Jossey-Bass, 2001), hlm.17.
54
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Tabel 2.2 Perbandingan Mediasi Perdata dan Mediasi Penal No 1.
Aspek Fokus Utama
Mediasi Perdata Permasalahan dan kesepakatan Mediator tidak boleh menghubungi para pihak sebelum Mediasi dimulai.
2.
Persiapan para pihak dalam konflik
3.
Peran Mediator
Mengarahkan dan membimbing para pihak untuk mencapai kesepakatan yang memuaskan.
4.
Gaya Mediator
Aktif dan kadang sangat mengatur, sering berbicara dan bertanya dalam sesi Mediasi
5.
Menghadapi Konteks Emosi dalam Konflik
6. 7.
Jeda Hening Kesepakatan Tertulis
Toleransi yang rendah terhadap curahan perasaan terkait latar belakang konflik. Sedikit Merupakan tujuan utama yang ingin dicapai sebagai hasil Mediasi.
Mediasi Penal Dialog dan hubungan Setidaknya sekali pertemuan tatap muka mediator dengan masing-masing pihak sebelum pertemuan bersama. Menyiapkan korban dan pelaku agar mempunyai harapan yang realistis dan merasa cukup aman untuk berdialog secara langsung. Sangat tidak mengatur (Non-directive) selama Mediasi. Para pihak yang mengontrol semuanya. Mendorong curahan perasaan dari para pihak dan mendiskusikan latar belakang konflik. Banyak Merupakan target sekunder. Yang primer adalah dialog dan saling membantu.
Adapun point utama perbedaan antara Mediasi Perdata dengan Mediasi Penal adalah Kalau Mediasi perdata terfokus dalam upaya mencapai kesepakat antara para pihak, sedangkan Mediasi Penal lebih fokus terciptanya dialog konstruktif dengan penekanan pada upaya rekonsiliasi, pemulihan korban, tanggung jawab pelaku, perbaikan terhadap kerusakan yang telah terjadi.
55
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
2.2.4. Bentuk-Bentuk Mediasi Penal Berdasarkan Komparasi implementasi Mediasi Penal dari beberapa Negara tersebut, Barda Nawawi selanjutnya mengelompokkan Mediasi Penal menjadi 6 (enam) model atau bentuk , yaitu sebagai berikut :131 1.
Informal Mediation, Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice personnel) dalam tugas formalnya, yaitu : a.
JPU mengundang para pihak untuk penyelesaian informal dengan tujuan
untuk
tidak
melanjutkan
penuntutan
apabila
tercapai
kesepakatan. b.
Pekerjaan sosial atau pejabat pengawas (probation officer) yang berpendapat bahwa kontak dengan korban akan mempunyai pengaruh besar bagi pelaku tindak pidana.
c.
Pejabat Polisi menghimbau perselisihan keluarga yang mungkin dapat menenangkan situasi tanpa membuat penuntutan pidana.
d.
Hakim dapat juga memilih upaya penyelesaian di luar pengadilan dan melepaskan kasusnya.
Jenis intervensi informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum. 2.
Traditional Village or Tribal Moots, Menurut model ini, seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik kejahatan di antara warganya. Model ini ada di beberapa Negara yang kurang maju dan di wilayah pedesaan atau pedalaman. Model ini lebih memilih keuntungan bagi masyarakat luas. Model ini mendahului hukum barat dan telah menginspirasi bagi kebanyakan program-program Mediasi modern. Program Mediasi modern sering mencoba memperkenalkan berbagai keuntungan dari pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan hak-hak individu yang diakui menurut hukum.
3.
Victim-offender mediation, Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari
131
Ridwan Mansyur, Op.Cit, hlm.171-173.
56
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen, atau kombinasi. Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap pembiasan penuntutan, tahap kebijaksanaan polisi, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan. Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana, ada yang khusus untuk anak, ada yang untuk tipe tindak pidana tertentu (misalnya pengutilan, perampokan dan tindak kekerasan), dan ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga delik-delik berat dan bahkan untuk residivis. 4.
Reparation negotiation programmes, Model ini semata-mata untuk menaksir atau menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan. Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiil. Dalam model ini, pelaku tindak pidana dapat dikenakan program kerja yang dengan demikian dapat menyimpan uang untuk membayar ganti rugi/kompensasi.
5.
Community panels or courts, Model ini merupaka program untuk membelokkan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur Mediasi atau Negosiasi. Pejabat lokal dapat mempunyai lembaga/badan tersendiri untuk Mediasi itu.
6.
Family and community group conferences, model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand, yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam Sistem Peradilan Pidana. Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim anak) dan para pendukung korban. Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga si pelaku keluar dari kesusahan/persoalan berikutnya.
57
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
2.2.5. Mediasi Penal dan Pengadilan Adat Keberadaan dan praktek Peradilan Adat di Indonesia sudah berlangsung dalam waktu yang lama. Mungkin seusia dan sejalan dengan sejarah dan perkembangan keberadaan kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami wilayah Nusantara ini. Hilman Hadikusuma memastikan, bahwa jauh sebelum agama Islam masuk ke Indonesia, negeri yang memiliki keragaman ini telah lama melaksanakan tertib peradilannya.132 Sebagai sebuah sistem hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat, Peradilan Adat sesungguhnya mengemban peranan penting bagi peradaban komunitas Adat di Indonesia. Terutama karena fungsinya sebagai pilar yang menjaga keseimbangan hubungan sosial maupun perilaku kearifan lokal masyarakat Adat seperti, menjaga harmonisasi hubungan antara masyarakat dan alamnya. Dengan demikian Peradilan Adat tidak lagi hanya berfungsi sebagai pilar penyeimbang tetapi telah menjelma menjadi entitas budaya masyarakat Adat. Menurut Wirtha Griadi dalam menegakan hukum Adat diperlukan komponen-komponen berupa :133 1.
Badan yang mempunyai tugas untuk mempertahankan atau menegakkan aturan hukum Adat; dan
2.
Cara-cara yang diikuti di dalam menegakkan hukum tersebut. Maka dalam menegakan hukum Adat diperlukan suatu badan peradilan
yang bersifat khusus (sesuai dengan nilai falsafah hukum Adat) dalam menegakan hukum Adat. Hal senada disampaikan oleh Max Webber, untuk memberlakukan suatu hukum harus terdapat alat pemaksa dalam hukum karena alat pemaksa menentukan bagi adaya hukum. Alat pemaksa tersebut tidak perlu berbentuk badan peradilan sebagaimana yang dikenal dalam masyarakat modern dan komplek, tetapi alat tersebut dapat berwujud suatu keluarga atau suatu clan.134 Hal ini dapat diartikan bahwa dalam menyelesaikan suatu persoalan hukum tidak perlu berpatokan dengan pengadilan formal, tetapi dapat dipergunakan pendekatan yang 132
Abdurrahman Saleh, Peradilan Adat dan Lembaga Adat Dalam Sistem Peradilan Indonesia, makalah pada Sarasehan Peradilan Adat, KMAN, Lombok, September 2003. 133 I Ketut Wirtha Griadi, dkk., Laporan penelitian : “Cara-Cara Menegakkan Hukum Dalam Hukum Adat di Bali, (Universitas Udayana : Denpasar,1984) hlm.7. 134 Soejono Sokanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Rajawali : Jakarta, 1982) hlm.2.
58
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
lebih sederhana melalui penyelesaian secara kekeluargaan, atau menggunakan mekanisme penyelesaian menurut nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (Pengadilan Adat). Sebagaimana dijelaskan diatas, keberadaan Peradilan Adat sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Namun Landasan hukum tentang pengakuan Pengadilan Adat baru ada pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Pemerintah Kolonial memberikan landasan hukum mengenai keberadaan Peradilan Adat yang berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lainnya, dengan mengeluarkan Staatsblad (Stb), adapun beberapa contoh Staatsblad yang dikeluarkan oleh pemerintah koloniah adalah sebagai berikut :135 1. 2. 3. 4. 5.
Staatsblad 1881 No.83 untuk Aceh Besar Staatsblad 1886 No.220 untuk Pinuh (Kalimantan Barat) Staatsblad 1889 No.90 untuk Gorontalo Staatsblad 1906 No.402 unuk Kepulauan Mentawai Staatsblad 1908 No.234 untuk Irian Barat, dan lain-lainnya. Pada tahun 1935, melalui Staatsblad. 1935 No. 102, disisipkan pasal 3a
kedalam R.O, yang secara singkat pasal ini menyebutkan melanjutkan kewenangan hakim-hakim dari masyarakat-masyarakat hukum kecil untuk memeriksa perkara-perkara Adat yang menjadi kewenangannya, untuk mengadili secara Adat tanpa menjatuhkan hukuman. Kewenangan hakim-hakim ini tidak mengurangi kewenangan para pihak untuk setiap saat menyerahkan perkaranya kepada putusan hakim. Dengan disisipkanya pasal ini, berati diakui sudah kedudukan Peradilan Desa. Berdasarkan ini, selama pemerintahan kolonial, dikenal 2 bentuk peradilan bagi orang pribumi, yaitu Peradilan Adat dan Peradilan Desa yang tidak memiliki dasar perbedaan yang prinsipil. Pada Tahun 1951, dikeluarkannya UU Darurat No. 1 tahun 1951. Yang mengatur mengenai tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil. UndangUndang ini berisi 4 hal pokok, yaitu :136
135
Sekilas mengenai Peradilan Adat (Catatan dari beberapa forum tentangnya), http;//www.huma.or.id, hlm.2. 136 Ibid, hlm.3.
59
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
1.
Penghapusan beberapa pengadilan yang tidak lagi sesuai dengan susunan negara kesatuan
2.
Penghapusan secara berangsur-angsur pengadilan swapraja didaerah-daerah tertentu dan semua Pengadilan Adat
3.
Melanjutkan peradilan agama dan Peradilan Desa, sepanjang pangadilan tersebut merupakan bagian yang tersendiri atau terpisah dari Pengadilan Adat
4.
Pembentukan pengadilan negeri dan kejaksaan ditempat-tempat dimana dihapuskan landgerecht. Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951, pada intinya menghapus
keberadaan Peradilan Adat sebagai salah satu peradilan yang bertugas menyelesaikan perkara yang ada dalam masyarakat di Indonesia. Dengan penghapusan Peradilan Adat, maka hanya pengadilan negeri sajalah yang berkuasa memeriksa dan memutus segala perkara baik perdata maupun pidana. Nasib Peradilan Adat berbanding terbalik dengan hakim Peradilan Desa, berdasarkan pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951 yang menyatakan hakim perdamaian dapat disusun kembali. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peranan hakim perdamaian desa masih diakui oleh aturan perundang-undangan akan tetapi wadahnya dihapuskan.137 Menurut Tjokorde Istri Putra Astiti masih ada Peradilan Desa (peradilan perdamaian desa) yang masih berlaku di Bali, salah satunya adalah Peradilan Desa Tenganan Pegringsingan Karangasem.138 Adapun mekanismenya yaitu : “Apabila ada seorang warga desa si sana melakukan pelanggaran terhadap peraturan desa, maka bagi si pelanggar akan dihadapkan kepada para kliang Desa yang berjumlah 6 (enam) orang. Perkaranya ini dicoba diselesaikan dulu oleh kliang-kliang tersebut, akan tetapi jika kliang tidak mampu menyelesaikannya, maka perkara tersebut disidangkan dalam rapat umum di Balai Agung Desa Tenganan, dimana pada waktu itu hadir semua krama desa (warga desa) termasuk tetua-tetua Adat disana yang mereka namakan luanan (berjumlah 5 orang). Pada waktu sidang di Balai Agung ini pertamatama kliang-kliang desa (yang berjumlah 6 orang itu) tetap berusaha dulu menyelesaikan secara damai dan apabila tidak berhasil, baru dimintalah nasehat kepada luanan dan sesuadah itu diminta juga pendapat-pendapat 137
Tedi Sudrajat, Aspirasi Reformasi Hukum dan Penegakkan Hukum Progresif Melalui Media Hakim Perdamian Desa, Jurnal Dinamika Huum Vol.10 No.3 September 2010, hlm.288. 138 Tjokorde Istri Putra Astiti dalam Nyoman Serikat Putra Jaya, Op.Cit, hlm.67.
60
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
dari para warga desa lainnya. Berdasarkan nasehat-nasehat dari warga desa itu barulah kliang-kliang desa mengambil keputusannya”.139 Dari penjelasan diatas Peradilan Adat maupun Peradilan Desa merupakan sarana (lembaga) yang berfungsi menegakkan hukum Adat, dalam fungsinya sebagai arbiter (mengambil keputusan) maupun sebagai mediator. Model penyelesaian melalui peradilan Adat dimana tetua Adat berkedudukan sebagai mediator, maka memiliki kesamaan dengan bentuk Mediasi Penal yaitu traditional village or tribal moots. Model ini merupakan akar penyelesaian perkara
pidana
berdasarkan
Mediasi.140
Penyelesaian
model
ini
dapat
dipergunakan dalam menyelesaikan perkara baik perdata maupun pidana antara warga dalam suatu suku maupun dengan suku lainnya. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan keharmonisasian dan kedamaian dengan berlandaskan atas nilai-nilai agama dan kultur (budaya). Penerapan model ini cocok dilakukan dalam masyarakat yang anggota-anggotanya masih terikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal.141 Sangat sesuai dengan masyarakat Indonesia yang bersifat komunal yang berlandaskan nilai-nilai kekeluargaan. Dalam Mediasi penal model traditional village or tribal moots seluruh anggota masyarakat bertemu untuk memecahkan suatu perkara pidana diantara warganya, dengan menekankan pada penyelesaian yang menguntungkan segala pihak (win-win solution). Konsep penyelesaian melalui Mediasi Penal memiliki kesamaan karakteristik dengan penyelesaian melalui peradilan Adat (Peradilan perdamaian desa).
139
Ibid. Gloria Valencia-Weber, Tribal Courts : Custom and Innovative Law, dalam New Mexico Law Review, No.24 Tahun 1994, hlm.22. 141 Trisno Raharjo, Mediasi dalam Ketentuan Hukum Pidana Adat, Jurnal Hukum No.3 Vol.17 Juli 2010, hlm.496. 140
61
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
BAB 3 PERBANDINGAN PENYELESAIAN PERKARA PIDANA OLEH LEMBAGA ADAT DIBEBERAPA NEGARA DAN BEBERAPA DAERAH DI INDONESIA 3.1. Perbandingan Penyelesaian Perkara Pidana oleh Lembaga Adat dibeberapa Negara. Dibeberapa negara seperti Indonesia, Jepang, Selandia Baru, Samoa Barat, Papua Nugini, Bangladesh, Filipina, Peru, bahkan banyak di negara Afrika yang mana Hukum Adatnya merupakan fondasi dasar pembangunan sistem hukumnya, tercatat bahwa Lembaga Peradilan Adat masih dipertahankan sebagai sarana bagi masyarakat untuk menyelesaikan suatu perkara baik perdata maupun pidana (pada umumnya Hukum Adat tidak membedakan hukum perdata maupun hukum pidana). Menurut Sonclair Dinnen, mekanisme penyelesaian suatu perkara melalui Lembaga Peradilan Adat masih berlaku di daerah-daerah pedalaman di banyak negara di dunia. Hal ini dikarenakan beberapa hal, diantaranya :142 1. Terbatasnya akses masyarakat terhadap sistem hukum formal yang ada; 2. Masyarakat tradisional di daerah terisolasi pada dasarnya masih memiliki tradisi hukum yang kuat berdasarkan hukum tradisionalnya dalam memecahkan permasalahan hukum yang terjadi. Hal ini merupakan realitas dimana tradisi atau kebudayaan masih berlaku di banyak tempat. Ini juga merupakan realita dimana perubahan masyarakat kadang kala terbentur batas wilayah, dan bahwa hal ini juga merupakan kenyataan dimana terdapat daerah-daerah yang masih jarang pemberlakuan sistem hukum formal (Nasionalnya); 3. Tipe pemecahan masalah yang ditawarkan sistem hukum formal terkadang memperoleh pandangan yang berbeda dan dianggap kurang memadai dan kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat yang masih memegang tradisi hukum mereka sendiri; 142
Sinclair Dinnen, Interface Between Formal and Informal Justice Sistem To Strengthen Access to Justice By Disadvantaged Sistem, Makalah disampaikan dalam Practice in Action Workshop UNDP Asia-Pasific Rights and Justice Initiative, Ahungala Sri Lanka, 19-21 November 2003, hlm.2-4. Dalam Eva Achjani Zulfa 1, Ibid, hlm.135.
62
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
4. Kurang memadainya infrastruktur dan sumber daya yang dimiliki oleh sistem hukum formal yang menyebabkan kurangnya daya adaptasi dalam menyerap kebutuhan rasa keadilan masyarakat setempat. Adapun beberapa Bentuk Lembaga Perdamaian Adat (Non State-Justice System) yang dapat menyelesaikan perkara pidana dibeberapa Negara, adalah sebagai berikut : A.
AMERIKA SERIKAT Amerika Serikat merupakan salah satu negeri Superpower atau yang
berpengaruh di dunia ini. Bayangan kita terhadap Amerika Serikat adalah negara modern, yang penuh dengan teknologi yang modern. Namun dibalik kemodernnya tersebut di Amerika Serikat terdapat Suku Indian Comanche. Suku ini ialah orang-orang Indian yang pandai berkuda. Mereka menetap didaerah selatan Amerika Serikat dan tidak jarang mengembara hingga ke wilayah Mexico. Menurut Hoebel,143 Suku ini tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, tidak memiliki organisasi politik. Orang-orang dari suku ini merupakan orang-orang yang memiliki sifat agresif, pemberani dan keberaniannya ini merupakan ciri pokok dari masyarakat tersebut. Dibalik keberaniannya tersebut orang-orang ini ramah dan santun dalam berbicara. Hal inilah yang mempengaruhi bentuk penyelesaian suatu sengketa, dimana disamping mencari kebenaran hal yang menentukan dari suatu bentuk penyelesaian ialah keberanian. Alasan lainnya adalah suku ini tidak mengenal sistem peradilan. Suku ini menyelesaikan suatu perkara dapat dibagi menjadi 4 (empat) bentuk model penyelesaian, yaitu :144 1.
Penyelesaian antar pribadi, Apabila terjadi suatu perbuatan yang merugikan seseorang, orang tersebut akan bertindak sendiri (langsung) menyelesaikan tuntutan ganti kerugiannya. Oleh karena apabila tidak segera akan menjadi bahan pembicaraan yang menghina, seperti disebut pengecut. Contoh : Apabila istri bermain cinta dengan lelaki lainnya, maka suami tersebut akan bertindak sendiri mencari pelaku, bahkan si suami berani bertandang
143 Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004), hlm.130. (Hilman Hadikusuma 2) 144 Ibid, hlm.131-133.
63
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
kerumah si pelaku. Kemudian si suami (penuduh) akan memanggil saudara tertuduh, untuk menjelaskan perilah persoalan tersebut, termasuk merinci tuntutan ganti rugi yang akan dituntut kepada pelaku. Disini akan terjadi tawar menawar antara pelaku dan penuntut (korban) yaitu sang suami, sebab ganti rugi yang dikenakan kepada pelaku haruslah berdasarkan persetujuan bersama. Dalam model penyelesaian ini mirip dengan model Negoisasi dalam Alternatif Penyelesaian Sengketa. 2.
Penyelesaian dengan perantara perempuan, Terhadap perkara zinah yang dilakukan istri dengan lelaki lain. Sang suami juga dapat menyuruh si istri meminta ganti rugi kepada si pelaku (lelaki yang diajak berzinah). Apabila berhasil hasil ganti rugi tersebut kemudian diserahkan kepada suami didepan khalayak ramai, dan suami memaafkan hal tersebut dan tidak menceraikannya. Dalam perkembangannya dapat juga penuduh meminta bantuan kepada wanita tua. Dengan asumsi untuk mencegah terjadinya halhal yang tidak diinginkan, maupun menciptakan rasa prihatin bagi si wanita tua tersebut sehingga tertuduh berbelas kasihan bersedia membayar ganti kerugian. Disini yang berunding menentukan besar kecilnya ganti kerugian adalah tertuduh dan wanita tua tersebut.
3.
Penyelesian dengan bantuan kelompok, Dalam mengajukan tuntuan ganti rugi penuduh mengajak kelompok keluarganya maupun kenalannya (kaka) untuk mendatangi tertuduh. Biasanya yang melakukan perundingan ialah perwakilan dari keluarga penuduh dan tertuduh, sedangkan si penuduh biasanya cukup menunggu diluar atau tetap berada diatas kudanya. Adakalanya si penuduh ikut serta apabila dalam proses pengajuan ganti rugi apabila ia merasa kurang puas.
4.
Penyelesaian dengan Bantuan Panglima Perang, Apabila penuduh tidak mampu bertindak sendiri, ataupun tidak memiliki keluarga, maka penuduh dapat meminta bantuan kepada panglima perang sebagai pembela hukum dengan memperhatikan dan mempertimbangkan kebenaran dari penuduh, disini panglima perang yang mengurus ganti kerugian tanpa mengharapkan imbalan jasa.
64
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
B.
BANGLADESH Dalam masyarakat Bangladesh dikenal lembaga Shalish, Umumnya Shalish
diartikan Mediasi di dalam masyarakat Bangladesh.145 Lembaga tradisional ini ada pada sebagian masyarakat Bangladesh, yang memiliki nilai-nilai keadilan Restorative dalan bentuk metode Community-Based. Dimana terhadap perkara pidana diselesaikan melalui mekanisme diluar proses pengadilan (jalur Informal), dengan menggunakan mekanisme panel kecil dengan bantuan tokoh-tokoh lokal yang berpengaruh dalam membantu menyelesaikan perselisihan anggota masyarakat dan atau memberikan sanksi kepada mereka (hal ini merujuk dari model panel itu sendiri).146 Selain dengan menggunakan upaya panel-panel, lembaga Shalish terdapat tiga cara proses penanganan dan penyelesaian sengeketa dalam masyarakat, yaitu :147 1.
Melalui mekanisme Mediasi (Mediasi Penal) diantara pihak yang berperkara (korban dan pelaku suatu tindak pidana) dalam mencari solusi bagi permasalahan yang dihadapinya;
2.
Melalui mekanisme panel yang beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat yaitu mereka yang dituakan atau yang memiliki pengaruh dalam masyarakat. Panel ini akan membantu mencari jalan keluar (termasuk di dalam hal pemberian sanksi Pidana) bagi setiap permasalahan yang ada dalam masyarakat tidak terkecuali suatu tindak pidana. Tentunya penyerahan masalah melalui mekanisme panel ini harus dengan persetujuan para pihak dan komitmen untuk mematuhi setiap keputusannya.
3.
Melalui mekanisme gabungan antara mekanisme Mediasi (Mediasi Penal) dan mekanisme Panel, Konsep ini dilakukan pengabungan mekanisme secara bersama-sama yaitu adanya mekanisme mediasi diantara pihak yang berperkara dalam tindak pidana (pelaku dan korban suatu tindak pidana) dimana Panel (tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh atau yang dituakan) menjadi mediatornya.
145
Huq, Fazlul, Towards to a Local Justice System for the Poor, Dhaka, 1998. Stephen Golub, Non-State Justice System in Bangladesh and The Philippines, Paper prepared for the United Kingdom Department for International Development, Januari 2003, hlm.3. 147 Eva Achjani Zulfa 1, Op.Cit, hlm.177. 146
65
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Di Bangladesh sebelum adanya lembaga Shalish biasanya dipergunakan sanksi pidana yang tidak dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, dalam menangani berbagai macam tindak pidana dengan segala implikasinya. Dalam perkembangannya Shalish menjadi rujukan dalam menyelesaikan persoalan sipil, dengan beberapa implikasi pidana. Shalish juga dipergunakan dalam menyelesaikan persoalan gender dan keluarga, seperti kekerasan terhadap perempuan (baik di dalam maupun diluar perkawinan) atau KDRT, Perzinahan, warisan, mas kawin, Poligami, Perceraian, Pengaturan keuangan (adanya penggelapan) untuk istri dan anak, eksploitasi secara ekonomi baik terhadap perempuan atau anak-anak, atau kombinasi dari permasalahan-permasalahan tersebut. Selain menyelesaikan persoalan yang berkaiatan dengan isu gender dan keluarga Shalish juga focus dalam menyelesaikan persoalan konflik tanah, seperti tentang batas persil dengan tetangga, serta perselisihan properti lainnya.148 Shalish pada umumnya menghemat waktu dan pengeluaran (uang) serta juga berfungsi sebagai Platform (dasar pijakan) dalam menyelesaikan suatu persoalan.149 Shalish merupakan salah aplikasi mekanisme Alternative Dispute Resolution yang hanya ada di Bangladesh. Adapun Golub memberikan gambaran mengenai Shalish sebagai berikut :150 “Para Shalish sebenarnya bersuara dan bersemangat, pada saat para pihak yang bersengketa, keluarganya, Anggota Panel Shalish, dan bahkan masyarakat yang tidak diundang berkumpul untuk menyampaikan pikirannya dan perasaan mereka. Ditambahkan dalam pengamatannya adanya antusias, baik oleh orang dewasa maupun anak-anak, dimana mereka berkumpul di dalam atau diluar ruangan untuk menyaksikan proses mekanisme ini. Dimana dalam proses penyelesaian ini sering terjadi pertukaran pendapat secara bersamaan. Diskusi yang pada awalnya tenang tiba-tiba meledak menjadi semburan teriakan dengan penuh tawa dan air mata. Biasa mekanisme ini berlangsung dalam ruangan sekolah maupun ruang publik lainnya, yang ditemani dengan kebisingan dari kegiatan 148
Stephen Golub, Op.Cit, hlm.4. Sumaiya Khair, Karen L. Casper, Julia Chen, Debbie Ingram, and Riffat Jahan, Access to Justice: Best Practices under the Democracy Partnership, (Dhaka : The Asia Foundation, April 2000), hlm.8-9. 150 Stephen Golub, From the Village to the University: Legal Activism in Bangladesh, in Mary McClymont and Stephen Golub, eds., Many Roads to Justice: The Law-related Work of Ford Foundation Grantees Around the World, (New York : Ford Foundation, September 2000), hlm.137-138. 149
66
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
masyarakat lainnya. Para peserta dan pengamat yang hadir bisa berkisaran dari hanya selusin (12 orang) hingga mencapai lebih dari seratus”. Dalam masyarakat Bangladesh, Shalish ada 3 (tiga) bentuk, yaitu :151 1.
Shalish Tradisional (Traditional Shalish). Oleh Sumaiya Khair menggambarkan mengenai Shalish mekanisme Shalish
dalam praktik Shalish tradisional : Pada dasarnya dimulai dengan pengumpulan tetua desa, pihak terkait (dalam hal ini pelaku, korban, keluarganya) dalam hal ini terfokus hanya pada laki-laki, dalam menyelesaiakan persoalan sengketa lokal. Kadang-kadang ketua dan anggota elit dari Union Parishad (salah satu item dalam Shalish pemerintah) diundang untuk ikut dalam mekanisme ini. Shalish tidak memiliki dimensi tetap, ukuran dan struktur dalam menyelesaiakan suatu persoalan bergantung sepenuhnya pada sifat dan berat suatu masalah yang dihadapinya.152 Dalam menyelesaikan suatu perkara, anggota Shalish memiliki pilihan mekanisme penyelesaian yaitu Mediasi atau Arbitase. Namun yang paling sering dipilih adalah Arbitrase, yang mana metode ini menyelesaikan suatu persoalan dengan adanya keputusan sepihak yang dibuat oleh pihak yang berwenang dalam hal ini arbiter. Sedangkan Mediasi menyelesaikan persoalan dengan melibatkan pihak lawan dalam mencapai solusi yang memuaskan semua pihak. Persoalan akan timbul apabila para pihak tidak menghormati keputusan yang diambil. Sehingga penegakkan atas keputusan yang telah diambil akan sulit terealisasi.153 Dalam realitnya solusi yang diberikan Shalish kadang didasarkan pada penilaian yang subyektif guna menjamin kelangsungan pemimpin mereka (Shalish), memperkuat aliansi relasional mereka, atau untuk menjunjung tinggi normanorma budaya yang masih dirasakan bias (bias gender begitu kuat, dimana shalish tradisional pejabat eksekutifnya diisi oleh kaum laki-laki, sehingga perspektif
151
Stephen Golub, Op.Cit, hlm.4-12. Sumaiya Khair, Alternative Approaches to Justice: A Review of ADR Initiatives Under the Democracy Partnership, (Dhaka : Report prepared for the Asia Foundation, May 2001) hlm.5. 153 Sumaiya Khair, Karen L. Casper, Julia Chen, Debbie Ingram, and Riffat Jahan, Loc.Cit. 152
67
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
dalam membuat keputusan bersifat Patriarki, akibatnya posisi perempuan sangat rentan dalam penilaian ekstrim dan hukuman yang keras.154 2.
Shalish oleh Pemerintah (Government-facilitated Shalish). Serangkaian aturan telah diusahakan oleh pemerintah untuk mengatur dan
mengurus Shalish, diantaranya sebagai berikut : a.
The Muslim Family Laws Ordinance of 1961 empowers the Union Parishad (Union Parishad, merupakan unit terendah dari pemerintah lokal) digunakan dalam menangani perselisihan keluarga.
b.
The Village Court Ordinance of 1976 dan Conciliation of Dispute Ordinance of 1979, digunakan untuk menyelesaikan perselisihan sipil dan pelanggaran pidana kecil, dimasing-masing pedesaan atau perkotaan. Shalish oleh pemerintah (atau yang dikenal dengan Pengadilan Desa) tidak
memaksakan fatwa dan hukuman yang keras dan ekstrim sebagaimana dalam bentuk Shalish Traditional. Berbedanya dalam Shalish ini terdapat Union Parishad yang mana anggotanya memiliki peran yang sentral dalam sesi pertemuan. Namun secara umum realitas Government-facilitated Shalish tidak berbeda secara substansial dari Shalish Traditional. Keanggotaan panel Shalish pemerintah masih menyerupai bentuk tradisionalnya, Akses keadilan bagi kaum perempuan masih belum terealisasi dengan baik. Dari sejumlah penelitian yang ada, menunjukan masih adanya tumpang tindih besar antara Shalish dengan Union Parishad dengan Shalish tradisional. 3.
Organisasi Non Pemerintah (NGO) memfasilitasi Shalish (NGOfacilitated Shalish). Organisasi Non Pemerintahan (NGO) telah memainkan peran yang
signifikan di Bangladesh. Salah satu peran NGO adalah memulai dan memfasilitasi Shalish, khususnya dalam menghilangkan diskriminasi terhadap kaum perempuan dan terhadap kaum kecil (miskin). Perubahan ini dirintis oleh MLAA (Madaripur Legal Aid Asociation) dan NGO lainnya. Walaupun 154
Ibid.
68
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
pendekatan tiap-tiap Shalish NGO berbeda dan bervariasi, namun intinya sama. Adapun perbedaan antara Organisasi Non Pemerintah (NGO) memfasilitasi Shalish (NGO-facilitated Shalish) dengan Shalish Tradisional (Traditional Shalish), dan Pemerintah memfasilitasi Shalish (Government-facilitated Shalish) adalah sebagai berikut ini : a.
Shalish NGO cenderung mempergunakan mekanisme Mediasi sedangkan dua bentuk lainnya (Shalish pemerintah dan Tradisional) umumnya mempergunakan arbitrase.
b.
Shalish NGO sering memainkan peran dalam pelatihan dan / atau memilih orang-orang yang merupakan panel shalish. Pelatihan ini berkaitan dengan hukum dan pelatihan pelaksanaan Mediasi.
c.
Shalish NGO mendorong partisipasi perempuan untuk ikut terlibat dalam proses, baik sebagai panel anggota shalish atau sebagai pembicara dari pihak yang berselisih dalam sesi Shalish.
d.
Shalish NGO memfasilitasi organisasi shalish, dan kadang-kadang mengambil peran utama dan kadang-kadang peran pendukung.
e.
Shalish NGO memperkenalkan dasar pencatatan tertulis dalam proses Shalish, sehingga perjanjian dan proses shalish lainnya dilakukan dengan proses dokumentasi.
f.
Shalish NGO cenderung mengambil pendekatan terpadu dalam memberi bantun (jasa) hukumnya, sehingga shalish hanya merupakan bagian dari sistem dalam pendekatan yang terpadu tersebut. Anggota staf NGO dapat berusaha menyelesaiakn persoalan yang ada sebelum diserahkan kepada Shalish, Mungkin yang paling menonjol ialah menyerahkan para pihak yang bersengketa yang bandel, yang menolak berpartisipasi dalam shalish atau yang tidak menghormati dan melaksanakan kesepakatan ke pengadilan yang ada.
g.
Shalish NGO mendukung pengembangan organisasi perempuan dalam memperbaiki dan mengubah ketidakseimbangan yang terjadi dalam masyarakat, khususnya menghilangkan adanya bias gender dan diskriminasi bagi kaum tidak mampu.
69
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Penelitian menunjukan bahwa Shalish NGO paling efektif dalam memberikan bentuk keadilan. Dalam laporan Asia Foundation, Haque dan rekanrekannya menyimpulkan bahwa NGO shalish lebih adil memperlakukan kaum wanita dibandingkan Shalish tradisional dan Pemerintah. Sumaiya Khair menyebutkan beberapa keuntungan NGO Shalish dibandingkan dengan bentuk sistem peradilan lainnya : Efektif biaya dalam memperoleh keadilan, Komunikasi pengetahuan guna penyempurnaan hukum, mengikutsertakan peran perempuan dalam pengambilan keputusan, dan menghilangkan bias gender. C.
FILIPINA: Penduduk pertama Filipina adalah suku Negrito. Penduduk ini kemudian
membentuk sebuah Barangays atau komunitas kecil, yang kepalai oleh seorang Datu, (kepala suku). Barangays ini menjadi struktur sosial yang paling mendasar dan sampai sekarang masih bertahan. Sistem hukum pidana Filipina adalah suatu sistem hukum pidana yang berasal dari negara-negara Anglo Saxon yaitu Amerika Serikat dan Inggris. Selain terdapat hukum nasionalnya, Filipina juga memiliki lembaga perdamaian Adat yang berfungsi menyelesaikan perkara pidana. Katarungan Pambarangay atau Barangay Justice System (BJS) merupakan lembaga formal yang dibangun berdasarkan mekanisme tradisional Hukum Filipina dalam menangani masalah perselisihan lokal.155 Lembaga ini pada umumnya mempergunakan Mediasi dalam menyelesaikan perselisihan dalam masyarakat termasuk juga terhadap perkara-perkara pidana. Secara kelembagaan Barangay dipimpin oleh Barangay Captain atau Punong Barangay, Punong Barangay merupakan pejabat terpilih yang bertindak sebagai kepala eksekutif dan juga sebagai pejabat ketua dewan legislatif lokal. Punong Barangay dibantu oleh Tagapamayapa Lupong (Komite pencari keadilan) yang terdiri dari 10-20 orang, yang pada umumnya dipilih dari penduduk desa atau yang bekerja di Barangay. Sebuah perbedaan karakter dari sistem ini dengan sistem yang lainnya yaitu dengan dilarangnya pengacara di terlibat dalam penyelesaian oleh lembaga ini.
155
Stephen Golub, Op.Cit, hlm.12.
70
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Fungsi Barangay Berbeda dengan lembaga institusi pengadilan formil. Sebab Barangay tidak dapat menangani semua jenis tindak pidana, hanya beberapa tindak pidana yang dapat ditangani oleh Barangay Justice system. Adapun perkara yang bisa diselesaikan oleh lembaga ini yaitu mengenai perselisihan antar anggota Barangay atau Barangay tetangga. Terhadap konflik yang berimplikasi pidana, Barangay Justice system hanya bisa mengatasi konflik yang dendanya tidak melebihi 1 (satu) tahun penjara atau denda 5.000 (lima ribu) Peso atau sekitar 60 (enam puluh) Poundsterling. Adapun Tindak Pidana yang tidak dapat ditangani Barangay adalah Tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat negara atau aparat penegak hukum yang terkait dengan jabatannya, atau sengketa tanah, atau kejahatan tanpa korban. Tujuan dari lembaga BJS adalah sebagai berikut : a.
Untuk pengalihkan pengadilan dari kasus yang dibawa sebelumnya.156 Hal tersebut memajukan tujuan ini melalui persyaratan bahwa perselisihan sipil tidak bisa dibawa ke pengadilan, kecuali Punong Barangay mengesahkan resolusi yang telah diupayakan melalui BJS. Hal ini memberi kontribusi tujuan ini, Baik hal ini berhasil atau tidak itu merupakan masalah lain. Ketika pengadilan Filipina tenggelam pada kasus dan penundaan, BJS mampu menangani hampir 279.115 Sengketa tahun 1998, atau hampir menyelesaikan 84 (delapan puluh mepat) % dari kasus yang ada.157 Bahkan dalam realitanya banyak kasus perkara yang tidak tercata ditangani dan diselesaikan oleh BJS.158
b.
BJS merupakan pengakuan terhadap model penyelesaian sengketa yang lahir dari tradisi dan budaya asli filipina Filipina. Menghormati tradisi Filipina yang berdasarkan pada kekerabatan, Utang na loob (Hutang Budi), Padrino (orang yang dituakan), Pakikisama (persahabatan) serta Adat
156
Rojo, Silvia Sanz-Ramos, Rojo, Silvia Sanz-Ramos, The Barangay Justice System in the Philippines: Is It an Effective Alternative to Improve Access to Justice for the Disadvantaged? Dissertation for the MA in Governance and Development, Institute of Development Studies, University of Sussex (September), 2002, hlm.1. 157 Ibid, hlm.136. 158 Ibid.
71
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
istiadat
masyarakat
dalam
menentukan
bagaimana
keadilan
itu
159
ditegakkan. c.
Adapun Tujuan ketiga dari BJS adalah akses keadilan. Selain Barangay di Filipina juga terdapat upaya penyelesaian lainnya,
Dalam masyarakat ifugao yang berdomisili di Luzon Utara Filipina. Masyarakat Ifugao tidak mengenal sistem peradilan yang dilakukan dengan persidangan yang dihadiri oleh kedua belah pihak yang berselisih, dihadapan hakim. Cara penyelesaian dilakukan dengan menggunakan seorang perantara yang merupakan juru damai yang disebut Monkalun (kalun : nasihat). Disini seorang Monkalun tidak boleh memiliki hubungan kekerabatan dengan para pihak bersengketa. Fungsi Monkalun seperti seorang mediator dalam proses penyelesian dengan mediasi, disini monkalun tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan suatu keputusan, karena perannya adalah sebagai juru damai. Kesuksesan monkalun dihargai dengan imbalan jasa (upah) yang disebut lukba atau liwa. Dalam penyelesaian yang ditangani oleh monkalun para pihak yang berselisih tidak pernah dihadapkan secara langsung. Karena ada anggapan, kalau saling berhubungan yang bersengketa merupakan hal yang tabu oleh karenanya diperlukan suatu peran monkalun.160 Peran Monkolun disini sama dengan peran mediator yang salah satunya ialah dapat melakukan pertemuan terpisah kepada para pihak guna memperoleh suatu kesepakatan. Tugas utama Monkalun ialah harus berusaha mempertemukan keseimbangan diantara para pihak yang berselisih, sehingga tercapai perdamaian dan selesai dengan baik.161 Disini sesuai dengan prinsip dalam keadilan Restoratif yang menginginkan kedudukan yang sama dan seimbang dalam menyelesiakan suatu perkara pidana. D.
LIBERIA TENGAH Di Liberia Tengah terdapat Masyarakat Adat Kpelle yang pada umumnya
berprofesi sebagai petani. Dalam masyarakat Adat ini sering terjadi perselisihan warisan, maupun kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Masyarakat Kpelle 159
Ibid, hlm.2. Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hlm.119-122. 161 Ibid, hlm.123. 160
72
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
belum mengenal adanya sistem pengadilan formal, namun mereka memiliki suatu lembaga peradilan yang disebut “Berei mu meni saa” yang berarti rumah tempat berembuk.162 Ditempat ini suatu perkara diselesaikan berdasarkan permintaan atau pengaduan dari para pihak yang berkepentingan. Misal, dalam kasus KDRT, pihak yang merasa diperlakukan kasar atau dirugikan (Korban) akan mengadukan masalahnya kepada anggota kerabatnya yang terpandang (biasanya kepala perkampungan, atau pemegang jabatan lain yang tinggi dalam masyarakat tersebut). Pejabat ini dimintai bantuan untuk menyelesaikan suatu perkara yang terjadi. Pejabat ini akan bertindak sebagai mediator dalam menyelesaikan persoalan tersebut, dimana pejabat ini awalnya mendengarkan keluh kesah dari si korban kemudian, pejabat ini mengajak sesepuh masyarakat lainnya untuk membantu menyelesaikan persoalan tersebut.163 Persoalan ini kemudian diselesaikan melalui Persidangan Adat yang biasanya dilaksanakan di tempat kediaman pengadu. Jika bangunan tersebut tidak memadai dipindahkan diserambi atau disamping rumah kediaman korban. Persidangan dilaksanakan pada malam hari, biasanya dilakukan pada hari minggu dan terbuka untuk umum.164 Persidangan dibuka oleh mediator dengan pembacaan doa oleh para sesepuh. Acara peradilan dimulai dengan mendengarkan keterangan pihak korban, dilanjutkan dengan jawaban dari si pelaku.165 Setalah selesai mendengarkan keterangan baik korban maupun pelaku, maka mediator akan mempertimbangkan dan menyimpul penyelesaian tersebut dengan menawarkan kesepakatan yang didengar oleh hadirin sidang, yang intinya : kepada pihak pelaku yang bersalah agar meminta maaf kepada korban, Permintaan maaf tersebut berbentuk pemberian hadiah kepada si korban. Dan juga meminta kepada pihak korban memberikan hadiah juga kepada pihak pelaku sebagai tanda kebersihan hatinya. 166
162
Ibid, hlm.134. Ibid, hlm.135. 164 Ibid 165 Ibid, hlm.136-137. 166 Ibid, hlm.137. 163
73
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
E.
MALAYSIA Masyarakat Iban adalah salah satu dari suku Daya Pemberani yang berada di
lembah sungai Rajang Serawak Malaysia Timur, dan sebagian wilayahnya berada diwilayah kalimantan barat Indonesia. Masyarakat Iban pada umumnya bekerja sebagai petani. Mereka mendiami rumah panjang yang berfilosofi agar terciptanya suatu hubungan baik antara anggota serumah panjang. Satu rumah panjang diketuai oleh ketua rumah yang disebut Tuai Rumah, sedangkan anggota penghuninya disebut anak biak, selain itu terdapat juga sesepuh yang disebut tuai umai, juru ramai (Tuai Burong). Tuai Umai, Tuai Burong, Tuai Rumah berperan sebagai tetua Adat sekaligus penguasa Adat yang berperan menyelesiakan suatu persoalan yang ada. 167 Bentuk penyelesaian oleh masyarakat Adat Iban ada 3 (tiga) cara yaitu :168 1.
Penyelesaian damai : apabila dalam satu rumah panjang terjadi perkara kecil-kecil amak Tuai Rumah akan berusaha mendamaikan para pihak yang berperkara. Oleh Tuai Rumah para pihak dipertemukan secara langsung untuk mengadakan perundingan guna mencari suatu kesepakatan secara damai (disebut baum mit atau berandau). Pada umumnya para pihak yang berperkara hanya dikenakan sanksi pembayaran ganti rugi bagi pihak pelaku. Hal ini merupakan penerapan konsep keadilan Restoratif yaitu penyelesian yang melibatkan pihak pelaku, korban, pihak ketiga guna mengembalikan keseimbangan atau keadaan semula.
2.
Apabila upaya perdamian tidak mampu diselesaikan maka akan dilakukan upacara Bechara, yaitu membicarakan perkara tersebut dalam persidangan terbuka. Model penyelesaian ini mirip dengan Pengadilan Adat pada umumnya. Peradilan Adat merupakan salah satu kearifan lokal komunitas yang berfungsi menciptakan tatanan sosial yang harmonis, dan secara potensial mempunyai nilai serta spirit untuk menciptakan perdamaian yang berbasis budaya lokal. Mekanisme Peradilan Adat memiliki kemiripan dengan praktek mediasi, akan tetapi lebih menekankan pada musyawarah. Ciri khas dari pendekatan penyelesaian konflik berbasis kearifan lokal yaitu
167 168
Ibid, hlm.138. Ibid, hlm.138-144.
74
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
mengedepankan musyawarah, hal ini dikarenakan tipe masyarakat yang komunalistik. Proses penyelesaian konflik tersebut selain diilhami dengan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, nilai budaya, tetapi memiliki pola yang bisa dikatakan sebagai mekanisme penyelesaian konflik yang modern. Pengadilan Bechara dilakukan di serambi rumah panjang. Diawali dengan santap malam, setelah santap malam pengadilan dimulai. Pihak pengadu (korban) dipersilahkan terlebih dahulu menyampaikan aduannya. Setelah itu dilanjutkan secara berturut-turut dimulai tertuduh menjawab aduan dari pengadu, selanjutnya didengar kesaksian para saksi serta mendengar pendapat para tetua Adat. Tahap akhir ialah diambilnya suatu keputusan yang didasari oleh pendapat para ahli Adat, yurisprudensi Adat terdahulu, serta aturan dalam hukum Adat. 3.
Apabila pihak yang berperkara tidak menerima keputusan pengadilan bechara maka dapat diajukan banding ke peradilan penghulu. Sebagaimana pada tahap sebelumnya tetap diawali dengan pendamaian terhadap penyelesaian suatu persoalan.
4.
Terhadap persoalan tanah dimasa lampau, apabila tidak mampu diselesaikan oleh tetua Adat maupun pengadilan bechara, maka kedua belah pihak meminta izin kepada tetua Adat untuk menyelesaikan suatu perkara dengan cara betempoh (bertempur perkelahian) dengan menggunakan pentungan kayu.
F.
MEXICO Dibagian selatan Mexico tepatnya daerah Oaxaca berkumpul masyarakat
Indian Zapotec. Dalam masyarakat Indian Zapotec sering terjadi perselisihan seperti perselisihan antara suami istri (KDRT), perselisihan kreditur dan debitur, perkara orang-orang pemabuk, perkara pembangkangan dari kewajiban tugastugas warga kota, perselisihan hak miliki harta kekayaan dan perkara pencurian. Dalam masyarakat ini terdapat suatu bentuk peradilan kota, yang diurus oleh tiga pejabat yaitu : Presidente, Alcado, dan Sindico. Mereka merupakan pejabat yang bertugas menyelesaikan perselisihan antar warga kota. Pada umumnya masyarakat India Zapotec apabila terjadi perselisihan seperti KDRT mereka berupaya
75
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
menyelesaikan sendiri diantara para pihak (negoisasi), diselesaikan antar keluarga, dilanjutkan dengan meminta pertolongan pastur desa, dan apabila tidak mampu untuk diselesaikan maka barulah menyampaikan perkara ini ke pengadilan kota. Adapun perkara yang masuk kepengadilan kota akan diselesaikan oleh pejabat pengadilan kota berdasarkan tugasnya. Tugas Presidente ialah menyelesaikan perkara-perkara ingan seperti pertikaian keluarga, hutang piutang dan mabokmabokan. Apabila ini tidak mampu diselesaikan dioleh Alcade. Tugas Sindico adalah bertanggung jawab menyelesaikan perkara pencurian, pembunuhan dan juga menyelesaikan persoalan hak milik atas harta kekayaan. Apabila Sindico tidak mampu menyelesaikan diserahkan kepada pejabat alcade. Untuk Alcade selain menyelesaikan perkara yang diserahkan oleh presidente maupun sindico apabila tidak mampu diselesaikannya, tugas alcade adalah menangani perkara perselisihan harta kekayaan dan pencurian. Dan apabila ketiga pejabat ini tidak mampu menyelesaikannya barulah diserahkan ke pengadilan distrik. Dikalangan masyarakat ini sanski yang diterima dapat berupa teguran umum, denda, kerja paksa, dan hukuman berat ringan berdasarkan besar kecilnya kesalahan. G.
SAMOA BARAT : Di Samoa Barat norma masyarakat yang ada tidak lepas dari budaya bahari
(kelautan) yang mereka miliki. Tiap-tiap pulau identik dengan suatu keluarga besar yang dikepalai oleh seorang Matai. Matai memiliki kuasa untuk membentuk dewan pertimbangan Adat yang disebut Fono. Fono disini memiliki tanggung jawab untuk merumuskan hukum yang berlaku di masyarakat, menyelesaikan sengketa melalui musyawarah Adat dan memutuskan bentuk sanksi yang harus dilaksanakan. Penyelesaian perkara pidana termasuk dalam kewenangan lembaga ini. Pemenjaraan, pemukulan, dan beberapa jenis pidana lainnya seperti duduk menghadap matahari untuk jangka waktu yang lama merupakan jenis pemidanaan yang dijatuhkan lembaga ini, belakangan sanksi lebih sering berbentuk denda atau ganti rugi baik dalam bentuk uang atau benda lainnya. Berkaitan dengan lembaga Fono, terdapat suatu sistem yang bernuasa dengan nilai-nilai keadilan Restoratif yaitu Ifoga. Ifoga berarti tindakan
76
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
masyarakat
(publik)
untuk
mewakili
anggotanya
dalam
menyampaikan
permintaan maaf terhadap suatu kelompok yang tersinggung, permintaan maaf ini disampaikan dengan menyerahkan ie Toga atau tikar halus, beserta juga penyampaian maaf secara lisan dengan berpidato.169 Secara Etimologi Ifoga berasal dari bahasa Samoa Barat, yaitu “Ifo” yang berarti “Membungkuk atau sujud, jangan ditaklukan dengan perang, sebagai tanda penyerahan.”170 Jadi Ifoga dapat digambarkan sebagai suatu gerakan yang merupakan simbol penghormatan dan permohonan maaf. John Stair seorang misionaris Inggris, menggambarkan Ifoga sebagai berikut :171 Dalam kasus-kasus pembunuhan atau perzinahan, pada umumnya memberikan kompensasi kepada pihak-pihak yang dirugikan atau keluarga mereka dengan cara Ifonga, yaitu membukukan diri, disertai dengan Totongi atau pembayaran denda. Dalam kasus ini pihak keluarga pelaku mempersiapkan pernyataan permintaan maaf bagi pihak korban dengan mengumpulkan beberapa tikar berharga, dengan jumlah dan kualitas yang sesuai dengan sifat pelanggarannya, dan teman-teman mereka mempersiapkan pengajuannya. Dalam kaitannya dengan penyelesaian suatu perkara pidana Ifoga berarti Kompensasi. Dalam hal terjadinya suatu perkara pidana dan pelaku minta dilakukan suatu perdamaian, maka ia dan keluarganya akan duduk dimuka rumah dari korban atau pihak yang dirugikan sambil mengadahkan tangan. Hal ini terus dilakukan hingga korban keluar dari rumah dan mau duduk bersama untuk memulai proses negoisasi yang diakhiri dengan kesepakatan ganti rugi, saling memaafkan dan terjadinya Rekonsiliasi. Dalam kasus pertentangan antar suku, orang yang paling dituakan akan membungkuk dan memberikan sejumlah mahar (persembahan) sebagai tanda agar para pihak segera berdamai dan saling memaafkan. Para pihak akan merasakan rasa malu antara satu dengan lainnya. Biasanya dalam keadaan demikian para pihak lebih memilih memusnahkan desa mereka dan melarikan diri. Namun dengan upaya rekonsiliasi yang dilakukan
169
Cluny Macpherson & La’ avasa Macpherson, The Ifoga : The Exchange Value Of Social Honour in Samoa, hlm.109. 170 Ibid. 171 J.B Stair, Old Samoa or Flotsam and Jetsam from the Pacific Ocean,.McMillan, Papakura, 1983, hlm. 96.
77
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
lewat lembaga Adat, para pihak dapat bertahan dan melanjutkan hubungan dengan lebih baik. Dominasi hukum Barat (kolonial) dalam sistem hukum nasional, menyebabkan lembaga Ifoga ini tidak dapat bekerja dengan baik dan maksimal. perbedaan mendasar bukan hanya terletak dari sisi kelembagaan yang memiliki otoritas untuk menjalankan fungsi peradilan akan tetapi karena jenis sanksi juga berbeda. Permasalahan akan muncul apabila suatu perkara pidana diproses melalui dua mekanisme hukum yang berbeda (melalui Ifoga dan Lembaga Formil (Hukum Nasional)), karena solusi atau tata cara penyelesaiannya juga berbedabeda. Di Samoa Barat tingkat kepercayaan dari masyarakatnya masih begitu tinggi kepada lembaga Adat ini (Ifoga). Ifoga relatif jarang dipergunakan dalam masyarakat Samoa Barat dikarenakan masyarakat sudah memiliki seperangkat prosedur yang mengatur apabila terjadi ketegangan dalam masyarakat. Perselisihan dalam keluarga biasanya diselesaikan melalui mediasi antara perwakilan dari berbagai keluarga besar atau Aiga, yang dipimpin oleh seorang matai. Mediasi dilakukan setelah Matai meneliti secara informal pendapat dan solusi yang diberikan oleh subkelompok dalam masalah tersebut. Dari penjelasan mengenai proses penyelesaian suatu perkara pidana melalui Lembaga Adat (Non State-Justice System) oleh beberapa negara, maka akan diperbandingkan bagaimana bentuk proses penyelesaiannya, terhadap tindak pidana apa saja, dan pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian tersebut. Tabel 3.1 Perbandingan Penyelesaian Perkara Pidana oleh Lembaga Adat (Non Formal) dibeberapa Negera Negara
Ameika Serikat
Lembaga Adat
Suku Indian Comanche
Program
Penyelesaian dengan 4 bentuk model :
78
Tindak pidana yang diselesaikan Perzinahan, KDRT.
Pihak yang terlibat P
K
M
√
√
√
I
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
- Penyelesaian antar Pribadi (Negoisasi) - Penyelesaian dengan Perantara perempuan (negoisasi dengan bantuan pihak ke 3) - Penyelesaian dengan bantuan kelompok, (mediasi, negosiasi pihak ke-3) - Penyelesaian dengan bantuan Panglima Perang. (mediasi) Banglades h
Filipina
Shalish Shalish dapat dibedakan menjadi 3 yaitu : - Shalish Tradision al - Shalish pemerinth - Shalish NGO Barangays, Masyarakat Adat Ifugao (Filipina utara)
Penyelesaian dengan 3 model penyelesaian : -
-
Mediasi Penal Community-Based Mekanisme Campuran (mediasi penal dan community-Based)
Barangays : mengutamakan penyelesaian dengan mediasi, Masyarakat Ifugao : Mediasi
Persoalan Gender (kekerasan terhadap perempuan), KDRT, Perzinahan, Poligami, perceraian, eksploitasi ekonomi terhadap anak dan perempuan
√
√
√
Perselisihan antar anggota barangays, perkaraperkara yang hukumannya tidak melebihi 1 tahun, dan denda 5000 peso atau 60 pound.
√
√
√
Liberia Tengah
Masyarakat Adat Kpelle
Model penyelesaian Mediasi
Perselisihan warisan, KDRT
√
√
√
Malaysia
Masyarakat Adat Iban
Model penyelesaian ada 4 :
KDRT,
√
√
√
√
- Penyelesaian damai (mediasi), - Penyelesaian dengan upacara Bechara - Penyelesian di tahap pengadilan penghulu (seperti banding) - Penyelesaian secara
79
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Mexico
Masyarakat Indian Zapotec, Peradilan kota oleh presidente, alcado, dan sindico
Samoa Barat
Lembaga Fono
bertempoh (berkelahi) Model penyelesaian : Diawali Negoisasi personal,keluarga, Mediasi, baru pengadilan kota oleh presidente, alcado, dan sindico.
Ifonga
KDRT, Perselisihan Ekonomi. Pembangkan gan tugas warga kota, mengganggu ketertiban masy.
√
√
√
Perkara pencurian, perkelahian, pembunuhan , perzinahan,
√
√
√
√
Keterangan : P : Pelaku K : Korban M : Masyarakat I : Institusi Lainnya
Dilihat dari tabel diatas terdapat persamaan proses penyelesaian perkaraperkara pidana oleh Lembaga Adat (Non State-Justice System) atau masyarakat Adat dibeberapa negara. Adapun Persamaannya, antara lain yaitu : -
Sama-sama Penyelesaian perkara pidananya dilakukan sebelum masuk ke tahap ajudikasi (peradilan umum),
-
Sama-sama menyelesaiakan perkara pidana diluar proses mekanisme formal (penyelesaian diluar proses pengadilan),
-
Sama-sama Lembaganya dipengaruhi oleh nilai-nilai Adat Istiadat masingmasing daerah dan negaranya,
-
Pada umumnya sama-sama menawarkan penyelesaian melalui mekanisme Mediasi,
-
Shalish, Barangay, Lembaga Fono, dan Lembaga-lembaga Adat lainnya hidup berdampingan dengan sistem hukum formal (hukum Nasionalnya).
80
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
-
Sama-sama merupakan Lembaga Informal yang menyelesaikan perkara dengan lebih cepat dan efesien biaya.
-
Sama-sama
memiliki
kemampuan
mendamaikan
perkara
pidana
(mencerminkan nilai-nilai Restorative Justice). Perbedaannya, antara lain yaitu : 1.
Perbedaan dilihat dari bentuknya : Adat istiadat yang mempengaruhi hukum Adat suatu daerah disuatu negara. Lembaga Adat tiap daerah berbeda-beda tiap negaranya, yang dilandasi oleh nilai-nilai dasar bangsanya. Di Bangladesh dikenal istilah shalish ajaran syariat islam. Barangays di Filipina dipengaruhi oleh Adat istiadat suku negrito, Suku Indian Comance dipengaruhi Adat kebiasaan-kebiasaan dari pada suku tersebut, yang mana lebih menekankan pada rasa keberanian, Suku Adat Kpelle juga memiliki lembagaan Adat yang disebut dengan berei mu meni saa yang merupakan lembaga peradilan Adat guna menyelesaikan perkara Adat, Adat istiadat masyarakat ini dipengaruhi oleh nuansa masyarakat agraris (pertanian), Masyarakat Iban juga yang merupakan lembaga Adat yang ada didaerah perbatasan Indonesia dan Malaysia juga dipengaruhi oleh nuansa agraris karena sebagaian penduduknya adalah petani, selain itu masyarakat Iban dikenal sebagai bangsa yang berani, Bahkan salah satu model penyelesaian perkara pidana Adat ini diselesaikan melalui perkelahian yang telah diizinkan oleh tetua Adatnya. Sedangkan masyarakat Indian Zapotec dalam penyelesaian perkara pidana dibantu oleh lembaga peradilan kota seperti Presidente, Alcado, dan Sindico, serta masih kental peranan pastur dalam mendamaikan suatu perkara hukum (kental pengaruh agama Kristen), Sedangkan di Samoa Barat dikenal adanya lembaga Fono yang dipengaruhi oleh nuansa bahari.
2.
Perbedaan dilihat dari jenis Tindak Pidana yang diselesaikannya : Lembaga Shalish (Bangladesh) hanya dapat menyelesaikan perkara pidana mengenai persoalan gender dan keluarga, seperti kekerasan terhadap perempuan (baik di dalam maupun diluar perkawinan) atau KDRT, Perzinahan, warisan, mas kawin, Poligami, perceraian, Pengaturan keuangan (adanya penggelapan)
81
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
untuk istri dan anak, eksploitasi secara ekonomi baik terhadap perempuan atau anak-anak, atau kombinasi dari permasalahan-permasalahan tersebut. Selain menyelesaikan persoalan yang berkaiatan dengan isu gender dan keluarga Shalish juga fokus dalam menyelesaikan persoalan konflik tanah, seperti tentang batas persil dengan tetangga, serta perselisihan property lainnya. Sedangkan Barangay Justice system (Filipina) dapat menyelesaiakn perkara pidana, mengenai perselisihan antar anggota Barangay atau Barangay tetangga. Terhadap konflik yang berimplikasi pidana, BJS hanya bisa mengatasi konflik yang dendanya tidak melebihi 1 (satu) tahun penjara atau denda 5.000 (lima ribu) Peso atau sekitar 60 (enam puluh) Poundsterling. Adapun Tindak Pidana yang tidak dapat ditangani Barangay adalah Tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat negara atau aparat penegak hukum yang terkait dengan jabatannya, atau sengketa tanah, atau kejahatan tanpa korban. Suku Indian Comanche tindak pidana yang diselesaikan melalui mekanisme yang ada didalam masyarakat Adatnya, adalah masalah perzinahan, KDRT (perbuatan yang merupakan hal-hal yang tabu dilakukan oleh masyarakat suku Indian Comanche). Untuk Masyarakat Adat Kpelle di Liberia tengah, penyelesaian secara mediasi oleh kelembagaan Adatnya hanya untuk perselisihan warisan dan KDRT. Di dalam masyatakat Adat Iban (Malaysia) penyelesaian oleh lembaga Adatnya hanya terhadap perkara KDRT, Tindak pidana yang terjadi dalam keluarga. Bagi masyarakat Indian Zapotec di Mexico, Perkara yang diselesaikan adalah KDRT, Perselisihan Ekonomi. Pembangkangan tugas warga kota, mengganggu ketertiban masyarakat, dan Bagi masyarakat Samoa Barat dengan
kelembagaan
Fono
maupun
Ifonga
perkara-perkara
yang
diselesaikan berupa perkara kecil seperti pencurian, perkelahian, hingga pembuhan dan perzinahan. 3.
Perbedaan dilihat dari mekanisme yang digunakan : Kalau Lembaga Shalish di Bangladesh memiliki 3 bentuk mekanisme dalam menyelesaiakan perkara pidana yaitu metode Community-Based, Metode Mediasi (Mediasi Penal) dan mekanisme gabungan antara mekanisme Mediasi (Mediasi Penal) dan mekanisme Panel, Konsep ini dilakukan pengabungan mekanisme secara
82
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
bersama-sama yaitu adanya mekanisme mediasi diantara pihak yang berperkara dalam tindak pidana (pelaku dan korban suatu tindak pidana) dimana Panel (tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh atau yang dituakan) menjadi
mediatornya,
dalam
perkembangannya
juga
dipergunakan
mekanisme Abitrase dalam menyelesaikan perkara pidana oleh Shalish tradisional dan Shalish oleh Pemerintah. Sedangkan Barangay di Filipina, menawarkan
mekanisme
Arbitrase
dan
Mediasi
Penal
dalam
penyelesaiannya oleh Barangay Justice System. Dalam suku Indian Comanche yang berdomisili di Amerika Serikat terdapat 4 bentuk mekanisme penyelesaian yaitu Penyelesaian antar Pribadi (Negoisasi), Penyelesaian dengan Perantara perempuan (negoisasi dengan bantuan pihak ke 3), Penyelesaian dengan bantuan kelompok, (mediasi, negosiasi pihak ke-3) dan Penyelesaian dengan bantuan Panglima Perang. (mediasi). Sedangkan dalam masyarakat Adat Kpelle lembaga Adatnya model penyelesaiannya ialah model penyelesaian dengan Mediasi. Dalam masyarakat Adat Iban, model bentuk penyelesaian suatu perkara pidana sama dengan model bentuk penyelesaian suku Indian Comanche, ada 4 (empat) bentuk mekanisme penyelesaian, tapi berbeda. Dalam masyarat Adat Iban model bentuk mekanisme penyelesaian adalah Penyelesaian damai (mediasi), Penyelesaian dengan upacara Bechara, Penyelesian di tahap pengadilan penghulu (seperti banding), dan Penyelesaian secara bertempoh (berkelahi). Bagi masyarakat Indian Zapotec, Model bentuk penyelesaian : Diawali Negoisasi personal,keluarga, Mediasi, baru pengadilan kota oleh Presidente, Alcado, dan Sindico sedangkan bagi masyarakat Samoa Besar bentuk penyelesaiannya yang terkenal ialah Ifonga.
83
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Tabel 3.2 Kelemahan dan Kelebihan yang dimiliki masing-masing Lembaga Adat (lembaga Non Formal) ditiap Negara dalam penyelesaian perkara pidana Negara Ameika Serikat
Kelebihan -
memiliki banyak opsi penyelesaian perkara.
- memiliki sifat dan kebiasaan yang agresif dan pemberani yang cenderung dalam menyelesaikan suatu perkara dengan cara mereka sendiri (pertarungan)
-
Penyelesaian masih didasari nilai-nilai agama islam (syariat),
-
Hemat biaya, waktu
- Ada diskriminasi gender (anggota panel didominasi oleh laki-laki) oleh Shalish tradisonal, dan shalish pemerintah
-
Bersifat win-win solution,
-
Tidak diskriminasi menyelesaikan (Shalish NGO)
-
Barangay Didasari Adat istiadat suku negrito,
-
Penyelesaian bersifat win-win solution, murah, hemat biaya, cepat dalam hitungan hari atau minggu.
(Suku Indian Comanche)
Bangladesh (Shalish)
Filipina (Barangays), (Masyarakat Adat Ifugao )
Kekurangan
bersifat dalam kasus
- Adanya misi Interprestasi terhadap nilai-nilai Syariat islam termasuk didalam menerapkan sanksi-sanksi dan adanya Keterpihakan pada kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. - Dipertanyakan netraliasnya, - Masih dipengaruhi faktor-faktor politik,
oleh
- Masih ada nepotisme (hubungan sosial dalam masyarakat bersifat PatroKlien) - Banyak kasus-kasus yang dimanipulasi oleh Punong Barangay. - Masih ada diskriminasi dalam penyelesaian kasus.
Liberia Tengah
-
memiliki pengadilan Adat (berei mu meni saa) yang berfungsi menyelesaikan perkara Adat.
-
Memiliki berbagai variasi bentuk mekanisme penyelesaian (diawali negoisasi, mediasi, hingga berei mu meni
(Masyarakat Adat Kpelle)
84
- Apabila terjadi kebuntuan dalam penyelesaian suatu perkara, masyarakat Adat Kpelle tidak mengenal sistem peradilan formal.
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
saa).
Malaysia
-
Hemat biaya, waktu dan Bersifat win-win solution,
-
memiliki 4 variasi bentuk mekanisme penyelesaian suatu perkara (penyelesaian damai, melalui upacara bechara, banding dipengadilan penghulu, dan melalui pertempuran (bertempoh).
-
Memiliki banyak variasi bentuk Model penyelesaian : Diawali Negoisasi personal,keluarga, Mediasi, baru pengadilan kota oleh presidente, alcado, dan sindico.
-
Peran pemuka berperan mendamaikan perkara.
-
Memiliki lembaga Fono yang memiliki tanggung jawab untuk merumuskan hukum yang berlaku di masyarakat, menyelesaikan sengketa melalui musyawarah Adat dan memutuskan bentuk sanksi yang harus dilaksanakan.
(Masyarakat Adat Iban)
Mexico (Masyarakat Indian Zapotec, Peradilan kota oleh presidente, alcado, dan sindico)
Samoa Barat (Lembaga Fono)
-
- Tahap penyelesaian dengan cara bertempur (bertempoh) dirasakan kurang manusiawi dan tidak diselesaikan berdasarkan pertimbangan yang realistis.
-
presidente, alcado, dan sindico sering terjadi tumpang tindih kewenangan.
agama dalam suatu Terdapat dominasi hukum kolonial yang menghambat penyelesaian dengan model ifoga. Terjadi kesulitan apabila penyelesaian suatu perkara dilakukan dengan 2 bentuk mekanisme (melalui peradilan formal dan Ifoga)
Memiliki lembaga ifoga yang bernuansa Restorative Justice, Ifoga berarti tindakan masyarakat (publik) untuk mewakili anggotanya dalam menyampaikan permintaan maaf terhadap suatu kelompok yang tersinggung (tersakiti, terlukai).
85
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
3.2. Perbandingan Penyelesaian Perkara Pidana oleh Lembaga Adat dibeberapa daerah di Indonesia. Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki luas wilayah terbesar di Asia Tenggara, Dimana Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana diatur dalam konstitusi negara kita.172 Masyarakat Indonesia selain tunduk pada ketentuan aturan formil (hukum Nasional) juga memiliki nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang masih diakui keberlakuannya dalam masyarakat Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Hukum Adat. Hukum Adat merupakan Hukum Indonesia asli yang bentuknya tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur agama. Sebagaimana diketahui dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia, sebelum berlakunya hukum modern abad XVII, Indonesia telah mengenal hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu hukum yang bersumber pada agama (Islam, Hindu) dan kebiasaan (Adat).173 Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam suku bangsa, sehingga tiap daerah memiliki ciri khas yang berbeda dalam hukum Adatnya. Menurut Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Van Vollenhoven jauh sebelum Indonesia merdeka diwilayah nusantara sudah terdapat 19 wilayah hukum Adat, yaitu sebagai berikut :174 (1) Aceh, (2) Gayo, Alas, Batak dan Nias, (3) Minangkabau, Mentawai, (4) Sumatera Selatan, Enggano, (5) Melayu, (6) Bangka, Belitung, (7) Kalimantan, (8) Minahasa, (9) Gorontalo, (10) Toraja, (11) Sulawesi Selatan, (12) Kepulauan Ternate, (13) Maluku, (14) Irian Barat, (15) Kepulauan Timor, (16) Bali, Lombok, (17) Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, (18) Solo, Yogyakarta, (19) Jawa Barat, Jakarta.
172
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 : “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. C.F.G. Sunaryati Hartono Sunario, “Pembinaan Hukum Nasiona Dalam Suasana Globalisasi masyarakat Dunia”. Pidato Pengukuhan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 1991, hlm. 22 dalam Abdul Jamil, Cara Berhukum yang Benar Bagi Profesional Hukum (Ijtihad Sebagai Terobosan Hukum Progresif), Jurnal Hukum No.1 Vol.15 Januari 2008, hlm.1. 174 Seri Kebijakan I, Kajian Kebijakan Hak-Hak Masyarakat Adat di Indonesia; Suatu Refleksi Pengaturan Kebijakan dalam Era Otonomi Daerah, ICRAF-LATIN-P3AE-UI, Maret 2001, hlm.2-3. 173
86
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Di Indonesia, nilai harmoni, tenggang rasa, dan komunalisme atau kebersamaan lebih diutamakan daripada individualisme. Dimana penyelesaian melalui pendekatan consensus dengan hasil win-win solution lebih cocok daripada penyelesaian sengketa melalui jalur ligitasi, yang menghasilkan win-lose solution. Menurut Jack Ethridge "Litigation paralyzes people. It makes them enemies. It pets them not only against one another but against the other's employed combatant.”175 Di sisi lain, Thomas E. Carbonneau, menyatakan bahwa keadilan yang diperoleh melalui jalur ligitasi adalah "dehumanizing and riddled with abusive interpretations of truth."176 Pada dasarnya budaya untuk penyelesaian secara musyawarah atau konsiliasi merupakan nilai yang banyak dianut oleh masyarakat di Indonesia. Berbagai suku bangsa di Indonesia mempunyai budaya penyelesaian konflik secara damai, misalnya masyarakat Jawa, Lampung, Bali, Sumatra Selatan, Lombok, Papua, Sulawesi Barat, dan masyarakat Sulawesi Selatan.177 Penyelesaian konflik secara musyawarah untuk secepat mungkin diadakan perdamaian berkembang sebagai hukum Adat. Perkembangan selanjutnya dari hukum Adat pada suku bangsa di Indonesia khususnya terhadap penyelesaian konflik melalui musyawarah memiliki berbagai kesamaan yaitu konflik diarahkan pada harmonisasi atau kerukunan dalam masyarakat serta tidak memperuncing keadaan, dengan sedapat mungkin menjaga suasana perdamaian.178 Budaya musyawarah, sebagai sistem nilai yang dihayati oleh masyarakat Indonesia, merupakan semangat untuk masing-masing pihak yang berunding di dalam musyawarah tersebut untuk menyelesaikan konflik misalnya, akan berupaya mengurangi pendiriannya sehingga dapat dicapai titik temu yang menguntungkan bagi semua pihak, yang berujung pada mufakat. Suatu musyawarah memerlukan tokoh yang dihormati untuk memimpin musyawarah dapat mencapai mufakat 175
Peter Lovenheim, Mediate Don't Litigate, (New York : Mc Graw-Hill Publishing Company, 1989) hlm. 23 176 Thomas E. Carbonneau, Alternatif Dispute Resolution, Melting the Lances and Diemounting the Steeds, (Chicago : University of Illinois, 1989) hlm.8. 177 Ahmadi Hasan, Penyelesaian Sengketa Melalui Upaya (Non-Litigasi) Menurut Peraturan Perundang- Undangan, Jurnal Al-Banjari, Vol. 5, No. 9, Januari-Juni 2007, hlm. 5. 178 Sudargo Gautama, Penyelesaian Sengketa Secara Alternatif (ADR), dalam Hendarmin Djarab, et al, (Editor), Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia Mengenang Alm. Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, S.H., LL.M., (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001) hlm. 124.
87
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
tersebut. Apa yang diputuskan dalam musyawarah guna menyelesaikan konflik tersebut secara perlahan-lahan berkembang menjadi hukum Adat. Dari banyaknya Hukum Adat beserta Lembaga Adatnya dalam pembahasan makalah ini hanya terbatas pada beberapa Lembaga Adat dibeberapa daerah, Sebagai Berikut : 1.
ADAT BADAMAI, KALIMANTAN SELATAN Adat badamai adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang lazim
dilakukan oleh masyarakat Banjar. Adat Badamai bermakna pula sebagai hasil proses perembukan atau musyawarah dalam pembahasan bersama dengan maksud mencapai suatu keputusan sebagai penyelesaian dari suatu masalah.179 Adat Badamai ini lazim pula disebut dengan, babaikan, baparbaik, bapatut atau mamatut, baakuran dan penyelesaian dengan cara suluh.180 Hukum Adat Badamai pada masyarakat Banjar adalah keseluruhan hukum yang tidak tertulis yang berlaku di kalangan orang-orang Banjar yang untuk sebagian dipengaruhi oleh Hukum Islam.181 Adat Badamai merupakan istilah bagi penyelesaian sengketa baik yang bersifat keperdataan maupun pidana. Adat Badamai dalam penyelesaian sengketa pidana disebut juga dengan istilah Baparbaik dan Bapatut.182 Dalam masyarakat Adat Banjar terdapat beberapa peristilahan, terhadap perkara pidana seperti perkara pelanggaran kesusilaan, pelangaran lalu lintas dan peristiwa tindak kekerasan, lebih dikenal dengan istilah istilah badamai, baparbaik (babaikan), baakuran, bapatut atau mamatut dan sebagainya. Sedangkan untuk kasus perdata, dipergunakan istilah basuluh atau ishlah. 179
Ahmadi Hasan, Adat Badamai Pada masyarakat Banjar Dulu Kini dan Masa Mendatang, Makalah dalam Annual Conference on Islamic Studies, Banjarmasin, 1-4 Nov 2010, hlm.143. (Selanjutnya disebut Ahmadi Hasan 1) 180 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar, Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997) hlm.198. 181 Laporan Hasil Penelitian, Hukum Adat Kalimantan Selatan, Tim Peneliti Unlam bekerjasama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Dati I Kalimantan Selatan Banjarmasin, 1990. 182 Ahmadi Hasan, Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai pada Masyarakat Banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, Disertasi, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2007, hlm. 117 (Ahmadi Hasan 2)
88
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Adat Badamai dilakukan dalam rangka menghindarkan persengketaan yang dapat membahayakan tatanan sosial. Putusan Badamai yang dihasilkan melalui mekanisme musyawarah merupakan upaya alternatif dalam mencari jalan keluar guna memecahkan persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Pada masyarakat Banjar jika terjadi persengketaan diantara warga atau terjadi tindak penganiayaan atau pelanggaran norma (Adat) atau terjadi perkelahian ataupun pelanggaran lalu lintas, maka warga masyarakat berkecenderungan menyelesaikan secara badamai. Adat Badamai ini diakui efektif dalam menyelesaikan pertikaian atau persengketaan. Sekaligus mampu menghilangkan perasaan dendam.183 Undang-Undang Sultan Adam sebagai dasar hukum Adat Badamai sampai kini tetap menjadi landasan norma dan perilaku dalam masyarakat Banjar. Bahkan sampai sekarang masih menjadi suatu tradisi mamatut. Mematut merupakan proses mendamaikan antara kedua belah pihak yang bersengketa seperti kasus pelanggaran hukum seperti perkelahian.184 Mochrani membagi penyelesaian sengketa itu kepada 2 (dua) kelompok hal, yaitu :185 a.
Penyelesaian dalam masalah agama yaitu dengan cara mengadakan hujjah dan,
b.
penyelesaian konflik yang bersifat fisik yang berkaitan dengan kasus penganiayaan, perkelahian, pelanggaran lalu lintas maupun sengketa pembagian harta warisan.186
Jika terjadi konflik atau persengketaan antara warga dan tidak dilakukan Adat Badamai diyakini akan merusak tatanan harmoni yang merupakan pelanggaran terhadap kearifan tradisional. Jika konflik terjadi apalagi yang berkaitan dengan peristiwa pidana, maka tokoh-tokoh masyarakat (tetuha 183
Ahmadi Hasan 1, Loc.Cit. Gazali Usman, Kerajaan Banjar Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi Perdagangan dan Agama Islam, (Banjarmasin : Unlam, 1994) Hlm.184-185. 185 Ahmadi Hasan 2, Op.Cit, hlm. 144-145. 186 Mochrani, Sistem Kemasyarakatan Masyarakat Banjar, Seminar Sistem Nilai Budaya Masyarakat Banjar dan Pembangunan, Banjarmasin, 28-30 Juni 1985. Dalam Ibid. 184
89
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
kampung) berinsiatif untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Diupayakan pertemuan (musyawarah) keluarga, dilanjutkan acara selamatan, dengan bermaaf-maafan dan terkadang disertai dengan perjanjian tidak akan memperpanjang sengketa dan permusuhan. Bahkan diantara kedua belah pihak diikat dalam sebuah persaudaraan yang lazim disebut sebagai baangkat dangsanak (dipersaudarakan) atau baangkat kuitan (menjadi orang tua dan anak angkat).187 Ciri khas yang membedakan Adat Badamai dengan penyelesaian damai pada masyarakat lainnya adalah adanya nilai-nilai atau norma yang harus dipatuhi, adanya upacara yang mengiriingi sebagai simbol tuntasnya sengketa atau pertikaian,
adanya
acara
maangkat
dangsanak
atau
maangkat
kuitan
(dipersaudarakan) yang sarat dengan unsur-unsur ritual yang bersifat religius semisal adanya upacara batapung tawar (Upacara perdamaian yang ditandai dengan simbol memercikkan minyak likat baboreh (minyak kelapa dicampur dengan wewangian) ke kepala para pihak sebagai simbol persaudaraan), lengkap dengan hidangan nasi ketan dan kelapa parut yang dicampur dengan gula jawa.188 Peran Adat Badamai dalam bentuk penyelesaian perkara pidana begitu penting, tidak diiringi dengan adanya landasan hukum yang mengatur maupun yang mengakui keberadaan Adat Badamai dalam peraturan daerah provinsi Kalimantan Selatan. Eksistensinya hanya diatur secara umum dalam UUD 1945, Undang-Undang yang mengakui keberadaan masyarakat hukum Adat seperti Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Kehutanan, dan sebagainya. 2.
ADAT ATJEH, NAD Bila ditelusuri jejak sejarah Aceh, akan ditemukan bahwa lembaga agama
dan lembaga Adat istiadat sangat dalam berakar dalam masyarakatnya. Semboyan ”Hukom ngon Adat han jeuet cre, lagee zat ngon sifeut”189 Syariat (hukum) dan Adat tidak dapat dipisahkan seperti zat tuhan dengan sifatnya. Pandangan dunia etnis Aceh tentang hal tersebut tercermin dari tulisan seorang ulama besar pada 187
Ahmadi Hasan 2, Op.Cit, hlm. 145. Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar, Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, (Jakarta : Raja Persada, 1997) h. 198. 189 T. Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintaasn Sejarah, (Banda Aceh : PDIA,1999) hlm. 232. 188
90
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
abad XIX, Sheikh Abbas Ibnu Muhammad alias Teungku Chik Kutakarang yang menulis dalam Kitab Tadhkirad a Rakidin (1889), antara lain sebagai berikut ”Adat ban Adat hukom ban hukom, Adat ngon hukom sama keumba tatkala mufakat Adat ngon hukom, nanggroe seunang hana goga”. Maknanya ”Adat menurut Adat, hukum syariat menurut hukum syariat. Adat dengan hukum syariat tidak dapat dipisahkan. Masyrakat Aceh memiliki pola tersendiri dalam menyelesaiakn suatu konflik Adat. Pola penyelesaian dalam masyarakat aceh dikenal dengan pola penyelesaian Adat gampong. Penyelesaian ini bersumber Al-Quran dan AsSunah. 190 Cara penyelesaian konflikyang berasal dari Syariat Islam diterjemahkan oleh masyarakat aceh dalam bingkai Adat, sehingga tampak terjadi pergeseran secara tekstual antara aturan yang tertulis dengan doktin syariah. Dalam Syariat Islam mengajarkan penyelesaian konflik dengan maksud mewujudkan kedamaian dalam arti yang menyeluruh baik kedamaian pribadi, masyarakat, maupun negara. Perwujudan kedamaian dalam dimensi syariat melalui seperangkat aturan baik yang terdapat dalam ranah hukum perdata atau pidana. Pola penyelsaian konflik yang dipraktikan turun temurun oleh masyarakat Aceh terdiri atas pola di’iet, suloh, dan Peumat Jaroe. Bahkan sebelum Islam masuk ke nusantara di Aceh telah terdapat penyelesaian suatu perkara melalui institusi Sayam. Adapun penjelasan mengenai di’iet, suloh, Peumat Jaroe, dan Sayam, akan dijelaskan sebagai berikut : 1.
Di’iet Di’iet berasal dari bahasa arab yang berarti diyat. Diyat bermakna pengganti jiwa atau pengganti anggota tubuh yang hilang atau rusak. Penggantian ini berupa harta baik bergerak maupun tidak bergerak. Diyat merupakan konsep yang terdapat dalam Hukum Pidana Islam. Dalam prakteknya di Aceh, Di’iet dipergunakan terhadap kasus pembunuhan. Pembayaran diyat ditanggung oleh pelaku pidana, karena ialah yang bertanggung jawab terhadap perbuatan tersebut. Penjabaran ajaran diyat dalam fikih pada hakikatnya mengandung makna yang sama dengan hakikat yang terkandung
dalam Di’iet. Namun terjadi pergeseran dalam penerapannya dalam 190
Syahrizal Abbas, Op.Cit, hlm.251.
91
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
masyarakat Aceh, dimana terjadi pergeseran dalam jumlah maupun jenis kompensasi yang dibayarkan oleh pelaku pidana kepada korban atau ahli warisnya. Contoh : Dalam fikih disebutkan bahwa kompensasi terhadap pembunuhan adalah dengan membayar 100 ekor unta, namun dalam realiasasinya dalam masyarakat aceh pembayaran dilakukan dengan media kerbau atau sapi yang jumlahnya dibawah 100 ekor. Nilai yang terpenting bukanlah pada nilai kompensasinya namun terletak pada penghormatan terhadap jiwa atau anggota tubuh manusia. Pembayaran di’iet dimulai dengan proses peradilan Adat terhadap pelaku pidana, sehingga diketahui siapa pelakunya yang jelas dan tingkat kemaafan yang diberikan oleh korban maupun keluarganya. Jika kemaafan diberikan, maka tetua gampong akan bermusyawarah dengan pelaku atau ahli warisnya tentang jumlah di’iet yang harus dibayar kepada si korban.Yang menjadi fasilitator, negoisator, dan mediator adalah geuchik, tengku meunasah, dan tetua gampong termasuk pemangku Adat. Mereka ini melakukan pembicaraan awal dengan keluarga pelaku maupun korban, pada awalnya mereka ini mengajak dan menawarkan upaya penyelesaian suatu perkara dengan di’iet.191 2.
Sayam Sayam adalah salah satu pola penyelesaian konflik yang ditemukan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Penerapannya dalam masyarakat Aceh telah lama dilaksanakan dibandingkan dengan di’iet atau suloh. Sayam merupakan bentuk penyelesaian suatu perkara pidana khusus terhadap perbuatan yang menyebabkan rusak atau tidak berfungsinya anggota tubuh seseorang. Filosofi sayam didasarkan atas adigum “luka ta sipat darah ta sukat” (luka seseorang harus diukur lebarnya dan darah yang keluar dari seseorang pun harus diukur banyaknya). Adigum tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat Aceh benar-benar menghormati perlindungan terhadap tubuh manusia sebagai mahluk ciptaan tuhan, manusia tidak memiliki hak untuk merusak atau melukai tubuh seseorang tanpa alasan syara’ yang sah. Proses sayam difasilitasi oleh Keuchik dan teungku meunasa. Pada awalnya
Keuchik dan teungku meunasa melakukan negoisasi dengan para pihak yang 191
Ibid, hlm.253-260.
92
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
bersengketa. Apabila kedua belah pihak telah setujui, barulah prosesi sayam itu dilaksanakan dirumah korban atau di meunasah. Mengingat sayam hanya berlaku terhadap tindak pidana yang bersifat ringan (yang menimbulkan luka dan keluar darah) maka peralatan dan bahan prosesi harus disiapkan oleh
pelaku.
Yang
berbeda
dengan
di’iet
adalah
pada
jumlah
kompensasinya, dalam sayam jumlah kompensasinya berupa seekor kambing atau domba ditambah sejumlah uang sesuai dengan kesepakatan dan kemampuan para pihak. Contoh penerapannya dalam kasus tabrakan, terhadap kasus tabrakan maka penyelesaian Adatnya melalui sayam. Dimana terhadap korban tabrakan tersebut setelah di Pesijuek melalui sayam, pada umumnya akan diangkat anak (tsebot). Bahkan tidak jarang terjadi perkawinan antara anak tsebot dengan salah satu anak dari anggota pelaku tindak pidana.192 3.
Suloh Suloh berasal dari bahasa arab yaitu al-shulhu atau islah, yang berarti perdamian. Oleh masyarakat aceh suloh dipergunakan dalam menyelesaikan suatu sengketa keperdataan. Dalam prosesi suloh tidak ada upacara penyembelihan hewan baik kerbau, sapi, kambing maupun domba hal ini dikarenakan tidak ada pihak yang meninggal atau rusaknya salah satu bagian badan seseorang. Jenis sengketa yang diselesaikan oleh Suloh berkaitan dengan perebutan sentra ekonomi, seperti batas tanah, lapak tempat berjualan dan sebagainya. Mekanisme Suloh berbeda dengan di’iet maupu Sayam, dimana dalam suloh, Keuchik dan teungku meunasa melibatkan perangkat gampong lainnya seperti huria peukan (sengketa lapak), keujreun blang (sengketa persawahan) dan sebagainya.193
4.
Peumat Jaroe Peumat Jaroe merupakan upacara pelengkap dari kegiatan di’iet, suloh, maupun sayam, dimana prosesi ini merupakan upacar yang penting karena prosesi ini merupakan cerminan rasa persaudaraan antara para pihak yang bersengketa. Peumat Jaroe merupakan simbol perbaikan hubungan antara
192 193
Ibid, hlm.261-263. Ibid, hlm.263-265.
93
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
para pihak yang bersengketa, dengan harapan konflik antara mereka dapat segera berakhir. Bentuk prosesi ini dilakukan dalam bentuk kunjungan keluarga pelaku ke keluarga korban. Dengan maksud agar persaudaraan diantara keluarga mereka lebih akrab seolah-olah seperti saudara sedarah. Bahkan kadang kala dipererat dengan perkawinan diantara para pihak.194 Jadi dapat dikatakan bahwa, penyelesaian konflik (perkara pidana) melalui jalur Adat dapat membawa kedamaian, memperkukuh persaudaraan dimana tetap kokoh terjalin hubungan silaturahmi yang berkelanjutan, bukan malah konflik sebagaimana yang terjadi dalam mekanisme peradilan formal, serta terbangun rasa ukhuwah islamiyah didalam masyarakat gampong di Aceh. Adapun landasan hukum bagi pelaksanaan Adat diaceh adalah : 1.
Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, Ketentuan Pasal 3 dan 6 menegaskan bahwa Daerah diberikan kewenangan untuk menghidupkan Adat yang sesuai dengan Syariat Islam.
2.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Bab XIII tentang Lembaga Adat mengatakan bahwa : Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara Adat ditempuh melalui Lembaga Adat.
3.
Peraturan
Daerah
(Perda)
Nomor
7
Tahun
2000
tentang
Penyelenggaraan Kehidupan Adat menegaskan bahwa : a.
Lembaga Adat berfungsi sebagai alat kontrol keamanan, ketentraman, kerukunan dan ketertiban masyarakat.
b.
Tugas lembaga Adat adalah:
Menyelesaikan berbagai masalah sosial kemasyarakatan (Pasal 5)
Menjadi Hakim Perdamaian dan diberikan prioritas utama oleh aparat penegak hukum untuk menyelesaikan berbagai kasus (Pasal 6 dan 10)
4.
Qanun No. 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam memberikan wewenang kepada 194
Ibid, hlm.265-267.
94
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Mukim untuk : (1) Memutuskan dan atau menetapkan hukum, (2) Memelihara dan mengembangkan Adat, (3) Menyelenggarakan perdamaian Adat, (4) Menyelesaikan dan memberikan keputusankeputusan Adat terhadap perselisihan-perselisihan dan pelanggaraan Adat, (5) Memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut Adat, dan (6) Menyelesaikan perkaraperkara yang berhubungan dengan Adat dan Adat istiadat 5.
Qanun No. 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, menegaskan bahwa tugas dan kewajiban pemerintahan Gampong adalah : (1) Menyelesaikan sengketa Adat, (2) Menjaga dan memelihara kelestarian Adat dan Adat istiAdat, (3) Memelihara ketentraman dan ketertiban serta mencegah munculnya perbuatan maksiat dalam masyarakat, dan (4) Bersama dengan Tuha peuet dan Imum Meunasah menjadi hakim perdamaian.
3.
ADAT LAMAHOLOT, NTT Masyarakat Lamaholot berpandangan untuk bisa menyelesaikan dengan
baik kasus-kasus sengketa kriminal, institusi Adat mela sareka dan tapan holo difungsikan untuk memperbaiki relasi sosial yang rusak antara pihak. Mela sareka, terdiri Mela berarti baik, sedangkan sare berati damai, atau berbaik kembali dalam suasana hati yang bersih, tiada dendam dan tiada amarah. Istilah Mela Sareka sepadan dengan istilah tapan holo (tapan = menambah, holo = sambung, tersambung, terhubung kembali).195 Dalam masyarakat Lamaholot penyelesaian perkara tidak saja bertumpu pada peradilan formal, tetapi juga terdapat pola-pola peradilan versi lain, seperti pola peradilan Adat dan pola peradilan campuran (baik campuran antara peradilan Adat dengan peradilan negara maupun antara peradilan Adat dengan lembaga permerintahan modern).196 Sekalipun pola peradilannya beragam namun tetap 195
Karolus Kopong Medan, Peradilan Berbasis Harmoni dalam Guyub Budaya Lamaholot-Flores, Jurnal Dinamika Hukum Vol.12 No.2 Mei 2012, hlm.209. 196 Ibid, hlm.210.
95
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
memanfaatkan institusi Adat mela sareka dan tapan holo sebagai sarana untuk mendamaikan atau memperbaiki relasi sosial diantara pihak yang bertikai. Proses penyelesaian kasus pidana melalui forum peradilan Adat pada prinsipnya berupaya agar para pihak dapat berdamai dalam suasana persaudaraan (mela sareka dan sare dame).197 Proses penyelesaian kasus pidana dimulai dengan adanya pengaduan dari pihak yang menjadi korban atau keluarganya kepada Belen Suku Onen (kepala suku), kalau pelaku dan korban masih satu suku maka akan diselesaikan oleh Belen Suku Onen. Apabila pelaku dan korban berlainan suku maka dibawa ke kebelen lewotana (kepala kampung). Dalam pertemuan tersebut hadir kebelen suku onen, kebelen lewotana, tokoh Adat, tokoh masyarakat yang akan bersama-sama mencari jalan keluar yang terbaik. Selain itu juga hadir lima lei uhu wanan atau lei raran (mediator Adat) yang dipercayakan sebagai mediator dalam mendamaikan pihak yang bertikai.198 Proses ritual Adat perdamaian mela sareka yaitu para pihak melakukan getun liko petin pepa atau pemisahan para pihak, karena ada konflik maka harus dipisahkan sehingga mereka yang berkonflik tidak boleh bertemu dan makan bersama jika dilanggar maka akan terkena risiko Adat yaitu sakit, celaka atau meninggal.199 Ritual herun haban, acara untuk mempertemukan para pihak dan diakhiri dalam Bua Behin atau deklarasi hidup dalam damai, melalui makan minum bersama menandakan konflik telah hilang antara pelaku dan korban.200 Soba Sewalet ajakan damai, Mediator Adat dipilih dari orang-orang yang mempunyai pengaruh besar dalam suku atau kampung. Pada pertikaian antar kampung maka tokoh Adat yang akan menjadi mediator adalah tokoh Adat netral yang tidak terlibat dalam perkelahian. Mediator akan mengupayakan gencatan senjata (leba rekat leu) menghasilkan perjanjian Adat (nayu baya) agar dinamika masyarakat tidak terganggu.201 Uku loyak gatu gatan atau rekonstruksi kebenaran, pelaku tindak pidana berbicara dari hati ke hati untuk merekonstruksi kebenaran, 197
Ibid. Ibid, hlm.211. 199 Karolus Kopong Medan, Peradilan Rekonsiliatif Konstruktif Penyelesaian Kasus Kriminal Menurut Tradisi Masyarakat Lamaholot, di Flores NTT, Disertasi, PDIH Undip, 2006, hlm. 295-296. 200 Ibid, 201 Ibid, hlm. 301. 198
96
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
pihak yang merasa paling bersalah wajib memohon kepada korban untuk melakukan perdamaian.202 Selanjutnya baik pelaku dan korban untuk menghapus segala kesalahan yang dilakukan oleh para pihak maka baik pelaku dan korban melakukan ritual Adat haput ele kirin. Selanjutnya dilakukan ritual haput nuhuka bohok weweka untuk menghapus segala kesalahan yang dilakukan melalui kata-kata. Puncaknya dilakukan melalui mela sareka yaitu menuju dunia baru penuh damai sebagai puncak ritual.203 Mekanisme penyelesaian perkara oleh masyarakat Adat Lamaholot belum dijamin dalam bentuk peraturan daerah oleh provinsi Nusa Tenggara Timur. Jadi Eksistensinya hanya diatur oleh peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, seperti pengakuan eksistensi masyarakat hukum Adat oleh UUD 1945.
202 203
Ibid, hlm. 303. Ibid, hlm. 306.
97
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
BAB 4 HUKUM PIDANA ADAT BALI 4.1. Pengertian Hukum Adat Bali Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai definisi Hukum Adat Bali, maka sebelumnya perlu dikemukakan pengertian hukum Adat secara umum. Hukum Adat bersumber dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (Adat istiadat). Hukum Adat berasal dari dua kata, yaitu Hukum dan Adat. Adat berasal dari bahasa Arab : “Adat” yang berarti kebiasaan (Custom, Practice, use and wont).204 Namun adapula yang mengatakan berasal dari bahasa Sansekerta yakni : “a” yang berarti :bukan dan “Dato” yang berarti sifat kebendaan.205 Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.206 Oleh karenanya tiap-tiap bangsa memiliki Adat kebiasaan yang memiliki ciri khas yang berbeda satu dengan lainnya. Definisi Hukum Adat oleh beberapa sarjana hukum, adalah sebagai berikut : 1.
Van Vollenhoven, Hukum Adat adalah Perangkat kaidah yang berlaku bagi penduduk asli dan golongan timur asing yang disatu pihak mempunyai sanksi (karena itu merupakan “ilmu”) dan pihak lain tidak dikodifikasikan (karena itu merupakan “Adat”).207
2.
Hardjito Notopuro, Hukum Adat adalah hukum tak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan bersifat kekeluargaan.208
204
R.A. Kren, “Adat Law”, dalam Indonesian Legal History, dikumpulkan oleh Rifyal Ka’ba, (Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003) hlm.55. 205 I Nengah Lestawi, Hukum Adat, (Surabaya : Penerbit Paramita, 1999, hlm.3. 206 Soerojo Wignjodiputro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta : Gunung Agung, 1982) hlm.10. 207 Soerjono Soekanto, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia, (Jakarata : Kurniaesa, 1981) hlm.28. 208 Hardjito Notopuro, dalam Abdurrahman, Hukum Adat Menurut Perundang-Undangan Republik Indonesia, (Jakarta : Cendana Press, 1984) hlm.19.
98
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
3.
Sukamto, Hukum Adat adalah Kompleks Adat-Adat, yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, jadi mempunyai akibat hukum.209 Di dalam kehidupan masyarakat Adat di Bali, masyarakatnya hidup
dalam
suatu himpunan organisasi kemasyarakatan dengan sistem budaya yang berkaitan erat dengan nilai-nilai yang bersifat religius. Demikianlah, hukum Adat yang ada yang hidup dan diakui dalam kenyataan masyarakat banyak berbaur dengan nilainilai keagamaan. Eratnya kaitan antara hukum Adat dan agama, sebenarnya telah pernah dikemukakan oleh Van Vollenhoven, di mana dikemukakan bahwa hukum Adat dan agama Hindu di Bali merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai akibat pengaruh agama Hindu demikian kuatnya ke dalam Adat istiAdat. Hukum Adat Bali merupakan kompleks norma-norma, baik dalam wujudnya yang tertulis maupun tidak tertulis, berisi perintah, kebolehan dan larangan, yang mengatur kehidupan masyarakat Bali yang menyangkut hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan lingkungan alamnya, dan hubungan antara manusia dengan tuhannya.210 Istilah lain dari Hukum Adat Bali yang sering dipergunakan dalam masyarakat Adat bali adalah Adat, Dresta, Gama, Sima, Cara, Kerta Sima, Geguat, Pengeling-eling, Tunggul, Awig-awig, Pararem.211 Moh. Koesnoe, mengkategorikan Hukum Adat Bali menjadi 3 (tiga) kategori Adat, yaitu :212 1.
Gama, Adat yang bersifat sangat abstrak yang oleh semua anggota masyarakat Bali dijunjung tinggi dan diusahakan untuk dilaksanakan.
2.
Sima, merupakan pelaksanaan dari ajaran-ajaran dan asas-asas umum dalam Gama, yang berlaku terbatas pada suatu daerah sesuatu desa atau sekelompok desa-desa.
3.
Pararem, Jenis Adat yang dirumuskan dalam rapat-rapat desa yang disebut sangkepan.
209
I Nengah Lestawi, Op.Cit, hlm.4. Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, Op.Cit, hlm.6. 211 Ibid, hlm.7. 212 Ibid. 210
99
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
4.2. Hukum Adat Bali dan Agama Hindu Menurut Teori Receptio in Complexu yaitu teori tentang penerimaan dalam keseluruhan, yang menjelaskan bahwa hukum Adat suatu golongan masyarakat adalah resepsi seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan masyarakat tertentu. Akan tetapi hal ini dikritisi oleh Snouck Hurgronje yang menyatakan tidak semua aturan agama diatur oleh suatu hukum Adat, hanya beberapa bagian hukum yang berkaitan dengan urusan kehidupan yang bersifat religius saja. Namun bagi masyarakat Bali pengaruh agama Hindu cukup besar sekali, sehingga Adat dan Hukum Adat Bali sebagian besar merupakan pelaksanaan ajaran agama Hindu, karena begitu kuatnya pengaruh agama Hindu sehingga sulit mana membedakan yang mana bagian dari aspek kehidupan yang bersumber dari kebudayaan, tradisi atau Adat istiadat masyarakat Bali dan mana yang merupakan bagian dari ajaran agama. Bahkan banyak kalangan berpendapat bahwa hukum Adat yang berlaku di Bali adalah Hukum Hindu. Menurut Wayan Windia dan Ketut Sudantra, Batas antara Adat (hukum Adat) dan agama Hindu amat kabur.213 Dalam masyarakat Bali tujuan hukum Adatnya adalah konsep keharmonisan yang berlandaskan atas fisolosi Tri Hita Karana. Yang tidak hanya memfokuskan pada keharmonisan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya (Pawongan), tapi juga hubungan manusia dengan alam lingkungannya (Palemahan) dan juga hubungan keharmonisan antara manusia dengan tuhannya (Parhyangan). Konsep keseimbangan dalam hubungan manusia-alam-tuhan ini diakui sebagai asas yang bersifat universal yang dianut dalam masyarakat Indonesia. Alam pemikiran masyarakat Indonesia, bersifat kosmos dalam arti selalu mencari keseimbangan dengan alam. Dalam pemikiran masyarakat Indonesia membedakan alam kosmos menjadi 2 (dua) yaitu alam nyata (sekala) dan alam tidak nyata (niskala), yang mana kedua alam ini saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Dalam hubungan manusia dengan sesamanya, masyarakat Indonesia dilandasi alam pikiran yang bersifat komunal (paguyuban/kebersamaan) yang dilandasi nilai-nilai kekeluargaan. Disini kepentingan yang ditonjolkan ialah kepentingan bersama bukan individual. Semuanya yang pertama-tama dan 213
Ibid, Op.Cit, hlm.11.
100
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
terutama adalah kepentingan untuk masyarakat keseluruhan.214 Dalam hubungan manusia dengan Tuhan, masyarakat Indonesia memandang Tuhan sebagai asal dan tujuan hidup manusia, maupun mahluk ciptaannya yang lainnya. Tuhan merupakan sumber segala yang ada di dunia ini. Dalam masyarakat Bali, pelaksanaan hubungan antara manusia-alam-tuhan ini merupakan penjabaran dari konsep Tri Hita Karana. Konsep Tri Hita Karanayang merupakan penjabaran dari ajaran agam Hindu dalam masyarakat Bali dituangkan dalam aturan yang tercatat yaitu awig-awig. Dalam awig-awig terdapat aturan-aturan yang diperbolehkan atau dilarang. Apabila terjadi suatu pelanggaran terhadap aturan awig-awig maka akan dikenakan sanksi yang disebut pamidanda.
4.3. Tindak Pidana Adat Bali Eksistensi pranata sosial yang mengatur tata laku dan tertib masyarakat di Indonesia tercermin dalam ketentuan hukum Adat, demikian pula ketentuan hukum pidana, tercantum dalam Hukum Pidana Adat. Keberadaanya sebagai realitas sosial adalah sebagai hukum yang hidup (the living law), diikuti dan ditaati oleh masyarakat Adat secara terus menerus, dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib (Hukum Pidana Adat), dipandang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat, karena dianggap telah mengganggu keseimbangan kosmis, oleh sebab itu, bagi si pelanggar delik diberikan reaksi Adat, koreksi Adat atau sanksi Adat.215 Pernyataan diatas mengandung 3 (tiga) hal pokok, yaitu :216 1.
Adanya rangkaian peraturan tata tertib yang dibuat, diikuti dan di taati masyarakat Adat bersangkutan.
214
I Gusti Ketut Sutha, Bunga Rampai Beberapa Aspekta Hukum Adat, (Yogyakarta : Liberty, 1987) hlm.29. 215 I Made Widnyana, Op.Cit Hlm. 3 216 Ibid.
101
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
2.
Pelanggaran terhadap peraturan tata tertib tersebut dapat menimbulkan kegoncangan karena dianggap mengganggu keseimbangan kosmis. Perbuatan yang melanggar peraturan tata tertib ini dapat disebut dengan Delik Adat.
3.
Pelaku yang melakukan pelanggaran tersebut dapat dikenakan sanksi oleh masyarakat yang bersangkutan. Menurut Bushar Muhammad, mengartikan Tindak Pidana (delik) Adat
sebagai perbuatan sepihak dari seseorang atau kumpulan perseorangan, mengancam atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan dan kehidupan persekutuan bersifat material atau inmaterial, terhadap orang seorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan, dari tindakan ini menyebabkan suatu reaksi dari Adat.217 Sedangkan Ter Haar mengartikan Tindak Pidana Adat (Pelanggaran Delik) sebagai suatu gangguan segi satu terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan segi satu pada barang-barang kehidupan materiil orang seorang, atau dari pada orang-orang banyak yang merupakan kesatuan (segerombolan), tindakan demikian itu menimbulkan suatu reaksi Adat karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali (kebanyakan dengan cara pembayaran pelanggaran berupa barang-barang atau uang).218 I Made Widnyana mengartikan Hukum Pidana Adat (Delik Adat) adalah semua perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kepatuhan, kerukunan, ketertiban,
keamanan
rasa
keadilan,
dan
kesadaran
masyarakat
yang
bersangkutan, baik hal itu sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, sekelompok orang, maupun perbuatan yang dilakukan oleh pengurus Adat itu sendiri, perbuatan mana dipandang dapat menimbulkan kegoncangan karena mengganggu keseimbangan kosmos serta menimbulkan reaksi dari masyarakat yang berupa sanksi.219
217
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 1983)
hlm.67.
218 219
Ter Haar dalam I Made Widnyanan, Op.Cit, hlm.5. I Made Widnyanan, Op.Cit, hlm.6.
102
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Hukum Pidana Adat berbeda dengan hukum pidana dalam KUHP. Karena dilatarbelakangi oleh filosofi dan sistem hukum yang berbeda. Hukum Pidana Adat dalam penerapannya memiliki sifat :220 1.
Menyeluruh dan menyatukan, karena dijiwai oleh sifat kosmis, yang mana satu sama lainnya saling berhubungan. Hukum Pidana Adat tidak membedakan pelanggaran yang bersifat pidana dan pelanggaran yang bersifat perdata.
2.
Ketentuan yang Terbuka, hal ini didasarkan atas ketidakmampuan meramal apa yang akan terjadi sehingga tidak bersifat pasti, sehingga ketentuannya selalu terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang memungkinkan terjadi.
3.
Membeda-bedakan permasalahan, Apabila terjadi peristiwa pelanggaran, maka yang dilihat bukan semata-mata perbuatan dan akibatnya tetapi dilihat apa yang menjadi latar belakang dan siapa pelakunya. Dengan alam pikiran demikian, maka dalam mencari penyelesaian dalam suatu peristiwa menjadi berbeda-beda.
4.
Peradilan dengan permintaan, Menyelesaikan pelanggaran Adat sebagian besar berdasarkan adanya permintaan atau pengaduan, adanya tuntutan atau gugatan dari pihak yang dirugikan atau diperlakukan tidak adil.
5.
Tindakan reaksi atau koreksi, Tindakan reaksi ini tidak hanya dapat dikenakan pada si pelakunya tetapi dapat juga dikenakan pada kerabatnya/keluarganya bahkan mungkin juga dibebankan pada masyarakat yang bersangkutan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu. Dilihat dari penjelasan diatas, terdapat beberapa perbedaan antara Hukum
Pidana dalam KUHP dengan Hukum Pidana Adat. Adapun perbedaannya dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut
220
Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hlm.22-24.
103
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Tabel 4.1 Perbedaan Hukum Pidana (KUHP) dan Hukum Pidana Adat NO
Aspek
Hukum Pidana KUHP
Hukum Pidana Adat
1.
Subyek Hukum
Individu, Kelompok masyarakat
2.
Sumber Hukum
Individu, dalam perkembangannya Korporasi (Badan Hukum dan Non Badan Hukum) Tertulis
3. 4.
Sifat Hukum Unsur Kesalahan
Statis (tertutup) Persyaratan Mutlak
5. 6.
Asas Legalitas Praeexixtente Regels (Pelanggaran Hukum ditetapkan terlebih dahulu) Masalah Percobaan Membedakan Medeplichtigheid (Membantu), Uitlokking (membujuk), Mededader-Schap (turut serta)
Mutlak Diatur
Tercatat dan Tidak tertulis Dinamis (Terbuka) Tidak persyaratan mutlak Tidak Mutlak Tidak diatur
Diataur Mengenal
Tidak Diatur Tidak Mengenal
7. 8.
9.
Delik kepentingan Negara dan Kepentingan Umum
Tanggung Jawab Individu
Tanggung Jawab Individu dan kelompoknya
10.
Kemampuan bertanggung jawab
Bagi Individu yang mempunyai cukup sifat psikis untuk bertanggung jawab.
Orang gila dipersamakan dengan orang biasa pada umumnya
11.
Pertanggung jawaban pelaku anak
Dalam KUHP tidak jelas mengatur mengenai hal ini. Namun pelaku anak diatur dengan UU SPP sendiri (pelaku 8sebelum mencapai 18 thn)
- anak dibawah 8 thn tidak dapat dipertnggung jawab.
104
- Tiga kali melakukan perbuatan pidana dapat dihukum.
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
12.
Pembedaan hukuman terhadap pelaku
Tidak ada
Ada
13.
Main hakim Sendiri (eigenrichting)
Tidak ada
Ada
14.
Pembedaan Obyek perbuatan pidana
Tidak Ada
Ada
15.
Kesalahan Residif
Hanya dihukum atas perbuatan yang terakhir
Diakumulasi keseluruhan perbuatan pidananya
16.
Berat Ringan Hukuman
Hakim tidak bebas membuat suatu putusan, ada aturan hukumnya.
Hakim bebas, dengan memperhatikan suasana dan kesadaran masyarakat setempat.
Adapun penjelasan dari pada Tabel 4.1 yang menggambarkan perbedaan antara Hukum Pidana Umum dalam KUHP dengan Hukum Pidana Adat, adalah sebagai berikut : 1.
Didalam KUHP ditegaskan yang dapat dikatakan sebagai subyek hukum pidana hanya seorang manusia (individu), namun dalam perkembangannya terjadi pergeseran dimana tidak hanya individu tetapi kelompok (Badan Hukum dan Badan Non Hukum) merupakan subyek hukum pidana. Sedangkan dalam Hukum Pidana Adat, Selain Individu, Persekutuan hukum umumnya dapat dibebani tanggung jawab pidana. Sebagai contoh sebuah kampung (desa) si penjahat atau tempat terjadinya delik, dapat wajib membayar denda atau ganti kerugian kepada suku/keluarga dari si korban.
2.
Hukum pidana dalam KUHP bersifat tertulis sebab KUHP merupakan kodifikasi atau aturan-aturan pidana yang dikitabkan, sedangkan aturan Hukum Pidana Adat pada umumnya tidak tertulis sebab Hukum Adat merupakan kebiasaan-kebiasaan dari masyarakat yang bersifat dinamis yang berubah seiring perubahan zaman. Namun dalam perkembangannya aturan Pidana Adat mulai dicatat dalam bentuk aturan Hukum Adat, seperti : awig-
105
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
awig mengatur aturan-aturan mengenai perbuatan yang merupakan pelanggaran Adat. 3.
Sifat Hukum Pidana Umum dalam KUHP ialah bersifat Statis ialah tidak mengikuti perkembangan zaman, dimana aturan pidana umum ditegakkan berdasarkan apa yang telah diatur sebelumnya dalam KUHP. Sedangkan dalam Hukum Pidana Adat bersifat dinamis bisa berubaha-ubah sepanjang itu dianggap benar oleh masyarakat Adat tersebut. Dimana pada awalnya suatu
perbuatan
dianggap
salah,
namun
dalam
perkembangannya
selanjutnya diatur sebagai perbuatan yang dibenarkan. 4.
Didalam KUHP seorang dapat dipidana karena kesengajaan (dolus/opzet) dan karena khilaf (culpa/alpa) dalam arti seseorang bertanggung jawab karena unsur kesalahan pada orang tersebut. Sedangkan dalam Hukum Pidana Adat tidak dikenal adanya unsur kesalahan baik kesengajaan maupun kekhilafan. Sebagai contoh seorang yang melahirkan anak kembar yang berbeda jenis kelamin (Kembar Buncing) didalam masyarakat Adat Bali dikenal dengan istilah Manak Salah dianggap merupakan delik Adat walaupun tidak ada unsur kesalahan.
5.
Didalam KUHP asas legalitas merupakan unsur mutlak dalam memidana seseorang, asas legalitas dalam KUHP diatur dalam pasal 1 KUHP. Dimana suatu perbuatan pidana baru dapat diancam pidana jikalau sudah terdapat aturan yang mengaturnya sebelumnya dalam KUHP. Sedangkan dalam Hukum Pidana Adat tidak dikenal asas legalitas sebab sifat dari hukum pidana Adat yang dinamis (berubah mengikuti desa kala patra tempat, waktu, dan kebutuhan masyarakat).
6.
Didalam KUHP berlandaskan kepada sistem Praeexistante Regels (pelanggaran hukum yang ditetapkan terlebih dahulu) yang diatur dalam ketentuan pasal 1 KUHP sedangkan dalam Hukum Pidana Adat tidak dikenal sistem Praeexistante Regels, dimana hukum Adat tidak mengenal sistem pelanggaran atau perbuatan kejahatan yang telah ditetapkan terlebih dahulu, untuk dapat dikenakan hukuman atau tindakan balasan atau
106
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
perbuatan pengembalian keseimbangan. Dalam KUHP aturan demikian tidak ada, akan tetapi yang dijadikan landasan adalah KUHP Adat adalah seluruh kehidupan didalam totalitasnya yaitu seluruh lapangan kehidupan menjadi buku (KUHP) yang bersifat terbuka memuat hal-hal apa saja yang dilarang dan yang diperbolehkan. Pembedanya dengan KUHP adalah dalam hukum pidana suatu Delik Adat maupun upaya pemulihannya lebih ditentukan oleh unsur yang bersifat pribadi (unsur perasaan malu, unsur tersinggung perasaan, rasa balas dendam dan sebagainya). 7.
Didalam KUHP diatur mengenai percobaan yang diatur dalam pasal 53 KUHP sedangkan dalam Hukum Pidana Adat percobaan dianggap tidak berarti (tidak memidana seseorang karena percobaan). Sebab dalam Hukum Pidana Adat, suatu sanksi Adat atau reaksi Adat hanya diberikan jika suatu kepentingan hukum nyata terganggu atau perimbangan hukum dalam suatu masyarakat mendapat cedera, sehingga perlu memulihkannya kembali menurut cara Adat. Sebagai contoh : Bila ada seseorang yang ingin mencoba membunuh seseorang dengan jalan menusuk, akan tetapi orang itu hanya berdampak luka-luka saja, maka pelaku yang mencoba membunuh itu dihukum bukan karena membunuh melainkan karena melukai (menganiaya) seseorang. Sebab pelanggaran hukum yang nyata hanya melukai karena adanya luka.
8.
Didalam KUHP mengenal serta membedakan masalah membantu melakukan
kejahatan
kejahatan
(Medeplichtigheid),
membujuk
(Uitlokking), turut serta (Mededader-Schap ) yang diatur dalam pasal 55 dan 56. Sedangkan dalam Hukum Pidana Adat siapa saja yang turut membantu melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan hukum Adat, diharuskan untuk memenuhi usaha yang diwajibkan untuk memulihkan kembali perimbangan hukum Adat. Jadi semua orang yang ikut serta melakukan kejahatan atau melawan delik Adat harus ikut bertanggung jawab. 9.
Didalam KUHP tiap-tiap delik yang menentang kepentingan negara atau kepentingan umum adalah soal perorangan atau tanggung jawab perorangan tetapi dalam hukum Adat, delik-delik menyangkut kepentingan umum atau
107
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
seluruh desa seseorang, didalam banyak hal menjadi persoalan bagi seorang yang berbuat dan golongan atau keluarganya karena menyangkut kepentingan desa (kepentingan umum). Terhadap delik-delik demikian, jika tidak membahayakan kepentingan hukum masyarakat, Kepala Adat akan bertindak, bila diminta oleh pihak yang terkena. Biasanya menurut hukum Adat akan diadakan usaha mendamaikan dan merukunkan, demikian juga diadakan denda atau pembayaran Denda Adat terhadap pihak yang dirugikan. 10.
Didalam KUHP hanya terhadap orang yang berpsikis waras saja dapat dipertanggung jawabkan secara pidana, sedangkan dalam Hukum Pidana Adat orang gila yang membunuh orang, disamakan perlakuannya dengan orang biasa atau normal. Jadi gilanya seseorang tidak mempengaruhi berat ringannya daya upaya yang harus dilakukan terhadap delik yang telah dilakukan oleh orang gila tersebut. Persamaan antara orang gila dan orang waras dalam Hukum Pidana Adat dalam delik pembunuhan terjadi didaerah Minangkabau. Sedangkan di Bali orang gila tidak bisa dihukum kecuali dia melakukan delik yang berkategori berat (sadta taji) seperti pembakaran, meracuni orang, menghina raja dan sebagainya.
11.
Dalam KUHP tidak jelas mengatur mengenai batas umur pelaku kejahatan oleh anak ataupun jenis-jenis delik yang dilakukan oleh anak. Namun pelaku anak diatur dengan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana sendiri (pelaku 8 - belum mencapai 18 tahun) sedangkan dalam Hukum Pidana Adat pelaku anak yang belum berumur 8 (delapan) tahun tidak boleh dihukum kecuali melakukan perbuatan yang melangar delik yang berkategori berat. Di Bali dianggap kurang umur atau belum dapat dipertanggung jawabkan perbuatannya apabila belum mencapai tinggi badan satu setengah meter, belum melakukan upacara mepandes (potong gigi) atau belum bekerja disawah. Tetapi dalam Hukum Adat Bali bagi anak yang melakukan tiga kali berturut-turut suatu perbuatan delik Adat maka dihukum kehilangan kedudukan kasta (tidak mendapat perlindungan hukum). Sedangkan di Batak seorang bapak bertanggung jawab atas segala
108
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan anaknya yang belum cukup umur. 12.
Didalam KUHP tidak membedakan orang perorang berdasarkan tingkat kedudukan atau peranannya dalam kehidupan masyarakat, hanya saja dalam beberapa aturan KUHP adanya pemberatan pidana terhadap PNS atau dokter yang tidak melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya atau yang melakukan perbuatan pidana lainnya sebagaimana dalam fungsi tugasnya. Sedangkan dalam Hukum Pidana Adat besar kecilnya kepentingan hukum seseorang sebagai individu tergantung pada kedudukan atau fungsinya dalam masyarakat. Semakin tinggi fungsi dan perannya dalam masyarakat maka makin berat hukuman yang diterimanya.
13.
Didalam KUHP melarang bertindak sendiri dalam menegakkan hukum atas perbuatan orang lain terhadap dirinya, hal ini dikarenakan segala delik yang termasuk hukum publik (pidana) menjadi soal negara atau terlepas dari soalsoal privat. Sedangkan dalam Hukum Pidana Adat terdapat keadaan dimana seseorang yang terkena diperbolehkan bertindak sebagai hakim. Contoh : Seorang yang melakukan perbuatan perzinahan, atas perbuatannya dia tertangkap basah, maka pihak yang terkena dampak malu dapat bertindak menegakkan hukum (hal ini terjadi di Batak dan Minangkabau).
14.
Didalam KUHP tidak mengatur mengenai pembedaan barang satu dengan barang yang lainnya yang menjadi obyek perbuatan pidana. Sedangkan dalam Hukum Pidana Adat mencuri atau merusak barang orang lain yang mengandung nilai religius yang tinggi dianggap sebagai delik yang lebih berat dibandingkan mencuri barang yang biasa. Disini terdapat perbedaan nilai antara barang satu dengan barang yang lain (mencuri permata dengan mencuri benda suci dalam Hukum Pidana Adat, mencuri benda suci merupakan delik yang berat).
15.
Didalam KUHP seorang yang melakukan perbuatan pidana berkali-kali hanya dapat dijatuhi hukuman atas perbuatan yang terakhir. Sedangkan dalam Hukum Pidana Adat, kesemua perbuatan pidana yang dilakukan
109
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
diperhitungkan dan dinilai keseluruhannya, untuk dipertimbangkan apakah si pelaku masih dapat diampuni atau dimaafkan ataupun ditindak lanjut lebih jauh. 16.
Didalam KUHP terdapat aturan tentang penglenyapan, pengurangan dan penambahan hukuman (Pasal 44-52 KUHP) sehingga hakim dalam membuat keputusan tidak boleh asal-asalan namun harus berdasarkan aturan-aturan yang ada dalam KUHP. Sedangkan dalam Hukum Pidana Adat yang berasaskan azas kekeluargaan, kedamaian, kerukunan dan rasa keadilan, maka para hakim Adat bebas menyelesaikan sesuatu kasus pidana Adat dengan memperhatikan suasana dan kesadaran masyarakat setempat. Suatu peristiwa dikatakan sebagai Delik Adat dalam Hukum Adat Bali ialah
apabila kejadian itu dirasakan oleh masyarakat dianggap mengganggu keseimbangan di dalam masyarakat. Terganggunya keseimbangan dalam masyarakat berkaitan dengan pandangan masyarakat bali yang Hinduisme yang menekankan pada keseimbangan dalam hubungannya dengan Tri Hita Karana. Terhadap Gangguan keseimbangan dalam hubungan Tri Hita Karana dipandang sebagai pelanggaran Adat yang wajib mendapatkan penyelesaian. Masyararakat Bali terikat oleh norma-norma hukum yang mengatur pergaulan hidup masyarakatnya, baik yang berupa tertulis (hukum nasional) dan hukum yang tidak tertulis yang bersumber dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang disebut Dresta.221 Berlakunya hukum lokal ini berdampingan dengan hukum nasional sebagai suatu kesatuan hukum yang nasional (univikasi Hukum). Hukum Adat Bali ialah kompleks norma-norma baik dalam wujud tertulis maupun tidak tertulis yang berisi perintah, kebolehan dan larangan, yang mengatur kehidupan masyarakat Bali, yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam lingkungannya dan manusia degan tuhannya dengan tujuan mensejahterakan umat manusia (Sukerta Sakala Niskala).222
221 222
Wayan Windia & Ketut Sudantra, Op.Cit, hlm.3. Ibid, hlm. 6.
110
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
4.4. Jenis Tindak Pidana Adat Bali Pada umumnya terdapa 13 (tiga belas) kategori jenis delik-delik Adat yang oleh Soepomo dikatakan sebagai jenis delik tertentu yang merupakan “delik yang paling berat” yaitu sebagai berikut :223 1.
Perbuatan penghianatan, suatu perbuatan yang memperkosa nilai-nilai kehidupan sosial bersama dan bertentangan dengan nilai kehidupan bersama.
2.
Membuka Rahasia Masyarakat atau Sengkongkol dengan golongan musuh.
3.
Perbuatan yang mengadakan pembakaran, perbuatan yang memusnahkan tempat pemukiman atau beserta isinya, adalah menentang keselamatan masyarakat dan merusak keseimbangan tiada tara.
4.
Perbuatan menghina secara pribadi terhadap kepala Adat (kepala suku atau raja). Kepala Adat merupakan simbol penjelmaan dari suatu masyarakat Adat,
sehingga
menghina
ketua
Adat
berdampak
mengganggu
keseimbangan masyarakat. 5.
Perbuatan Sihir atau Tenung, ketentuan mengenai sihir atau tenung tidak terdapat dalam KUHP. Didalam Hukum Pidana Adat perbuatan ini digolongkan sebagai delik yang berat karena merupakan perbuatan yang dapat mencelakakan seluruh masyarakat.
6.
Perbuatan Incest, Incest dibedakan menjadi 4 (empat) macam yaitu : a.
Suatu hubungan seksual antara dua orang, yang menurut hukum Adat tidak boleh melakukan perkawinan, karena pelanggaran terhadap asas eksogami;
b.
Pelanggaran terhadap hubungan darah yang terlalu dekat menurut ukuran hukum Adat;
c.
Suatu hubungan seksual antara dua orang, yang berlainan kasta;
223
Bushar Muhammad, Op.Cit, hlm.63-65.
111
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
d. 7.
Hubungan sumbang antara orang tua dan anaknya.
Pebuatan yang menentang kepentingan hukum masyarakat dan keluarga (hamil diluar perkawinan),
8.
Perbuatan melarikan seorang perempuan (schaking), dianggap sebagai delik berat dibeberapa daerah seperti di suku Bugis Makasar. Delik ini dianggap dapat mengakibatkan timbulnya delik lain, dimana akibat dilarikannya seorang perempuan, keluarga diantara mereka saling membunuh, hal ini didasari adanya rasa malu bagi keluarga si perempuan atas perbuatan dari si lelaki, salah satu penebusan bagi keluarga si perempuan ialah membunuh si lelaki tersebut. Satunya jalan untuk menolong jiwa laki-laki tersebut ialah meminta perlindungan ke kepala Adat, pemuka Adat, atau rajanya.224 Disini kepala Adat akan mendamaikan kedua belah pihak, sehingga dapat terealisasi pernikahan diantara pasangan laki-laki dan perempuan tersebut, ditambah pembayaran uang denda dan uang antara. Bagi suku Dayak diberikan seekor binatang kepada kepala desa sebagai tanda pengembalian keseimbangan yang telah tercemar.
9.
Perzinahan, Perbuatan ini melanggar kehormatan keluarga dan kepentingan hukum dari suami dan juga melanggar kepentingan umum, merusak kesucian masyarakat.
10.
Pembunuhan, merupakan suatu perbuatan yang memperkosa terhadap jiwa seseorang. Dalam hukum Adat pembunuhan merupakan pelanggaran terhadap keselamatan dan keseimbangan masyarakat, dimana dapat diberikan reaksi Adat yang seberat-beratnya. Walaupun dalam KUHP sudah terdapat aturan mengenai pembunuhan (Pasal 380 KUHP) sehingga pengadilan wajib mengadilinya dengan dijatuhkan hukum pidana, juga
224
Suatu hak untuk meminta perlindungan kepada raja atau kepala Adat, karena ia telah melakukan suatu delik terhadap famili, dikenal sebagai hak asyl. Van Vollenhoven menyebut hak asyl Adat sebagai suatu lembaga dalam hukum delik Adat. Dengan adanya hak asyl Adat maka pihak-pihak yang dirugikan dilarang melakukan upaya hukum sendiri, namun menyerahkan upaya penyelesaiannya kepada tetua Adat atau raja. Dalam hukum Internasional juga dikenal hak asyl, hak seseorang warganegara karena melakukan sesuatu kejahatan politik diburu oleh polisi, dan kemudian meminta perlindungan duta besar. Lihat dalam Ibid, hlm. 72.
112
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
dapat dibebankan pembayaran ganti kerugian sebagai upaya Adat dalam memperbaiki keseimbangan yang tercemar. Dimana diyakini tanpa adanya upacara Adat tersebut, akan timbul suatu kutukan yang dialami masyarakat Adat, dan terjadi secara terus-menerus. 11.
Perbuatan Jual beli manusia (budak berlian/human trafficking)
12.
Perbuatan pemenggalan kepala
13.
Delik terhadap harta benda.
Di Bali terdapat beberapa jenis Tindak Pidana Adat (Delik Adat bali). Berdasarkan hasil penelitian Fakultas Hukum Universitas Udayana sejak 19451973,225 di Bali dikenal 4 jenis tindak pidana Adat (pelanggaran Adat) yang masih hidup hingga sekarang yaitu : 1.
Delik Adat Kesusilaan : Berbicara tentang kesusilaan tidaklah dapat dipisakan dari kelahiran
manusia itu sendiri karena tujuan dari kesusilaan itu adalah untuk menciptakan keseimbangan atau keharmonisan hubungan antara makro kosmos (Bhuana Agung) dengan mikro kosmos (Bhuana Alit).226 Adapun Contoh Delik Adat Kesusilaan : a.
Lokika Sanggraha, Delik lokika Sanggraha diatur dalam pasal 359 Kitab Adigama. Secara Etimologi Lokika Sanggraha berasal dari bahasa Sansekerta, terdiri atas dua kata yaitu Lokika dan Sanggraha. Kata Lokika berasal dari kata laukika yang berarti umum, orang banyak, sedangkan kata sanggraha berarti pegang (dalam arti luas), sentuh, hubungan. Jadi Lokika Sanggraha diartikan dipegang/sentuh/jamah orang banyak (usud ajak anak
225
Nyoman Serikat Putra Jaya, Relavansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional (Studi Kasus Hukum Pidana Adat Bali), Tesis dalam memperoleh gelar Magister Hukum Ilmu Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1989, hlm. 109. 226 I Made Widnyana, Op.Cit, hlm.14.
113
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
liu).227 Secara etimologi belum dapat ditemukan secara jelas pengertian yang mencerminkan adanya hubungan seksual yang terlarang. Secara Yuridis yaitu berdasarkan pasal 359 kita Adigama Lokika Sanggraha diartikan sebagai : “Malih Lokika Sanggraha, loewir ipoen djanma mededemenan, sane moewani tan neherang demen ipoen, dening djirih pantjang kasisipang, awanan ipoen ngerereh daje, saobajan iloeh kasanggoepin, wastoe raoeh ring pepadoen tungkas paksane, sane loeh ngakoe kesenggama, sane moewani ngelisang mepaksang patoet tetes terangan pisan, jan djakti imoewani menemenin wenang ipoen kesisipang dande oetama sehasa 24.000, poenika mewasta Lokika Sanggraha, oetjapang sastra”. (Lagi Lokika Sanggraha, misalnya orang bersenggama, si laki-laki tidak setia akan mencitainya, karena takut akan dipersalahakan maka mencari daya upaya, syarat-syarat si wanita disanggupi, kemudian si wanita menyatakan dirinya dipaksa disetubuhi dan si laki-laki dengan cepat mengaku diperkosa oleh di wanita, kalau demikian halnya sepatutnya diusut kejelasannya, dan kalau benar si laki-laki yang berbuat patutlah dihukum denda sebesar 24.000 uang kepeng). Untuk menjelaskan pengertian Lokika Sanggraha, Maka akan disampaikan pengertian Lokika Sanggraha menurut para ahli hukum, yaitu sebagai berikut : 1.
Menurut Made Widanyana Lokika Sanggraha ialah Hubungan cinta antara pria dan wanita yang sama-sama belum menikah, dilanjutkan hubungan seksual atas dasar suka sama suka karena adanya janji setia dari si pria untuk mengawininya, namun setelah si wanita hamil si pria memungkiri janjinya, memutuskan hubungannya tanpa alasan.228
2.
Gde Panetje mengartikan Lokika Sanggraha sebagai pelanggaran berupa seorang perempuan Triwangsa yang bunting (dalam arti mengandung atau hamil), karena pergendekan (hubungan seksual) yang sementara tidak diketahui atau tidak mau disebut siapa lelaki yang membuat kebuntingan itu.229
227
Institut Hindu Dharma, Pandangan Agama Hindu Terhadap Delik Adat Lokika Sanggraha, Makalah, 1985, hal.2. 228 I Made Widnyana, Op.Cit, hlm.14-15. 229 Gede Panetje, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, (Denpasar : Kayumas, 1986), hlm.39.
114
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
3.
I Wayan Windia, Lokika Sanggraha adalah delik Adat berupa seorang laki-laki yang menghamili seorang perempuan diluar perkawinan dengan janji akan mengawini, tetapi ternyata tidak dikawini.230 Jadi Delik Lokika Sanggraha ialah Suatu Delik Adat yang merupakan
suatu perbuatan terlarang yaitu seorang laki-laki yang menghendaki pelayanan nafsu birahi terhadap seorang wanita bebas (status belum menikah atau janda) atas dasar suka sama suka dengan janji akan mengawini si perempuan, akibat dari perbuatan tersebut berakibat si wanita hamil, kemudian si pria meingkari janjinya untuk mengawini si perempuan tanpa alasan. Adapun unsur-unsur daripada delik Lokika Sanggraha adalah :231 1. Adanya hubungan cinta antara seorang pria dengan seorang wanita; 2. Antara pria dan wanita yang sedang bercinta itu terjadi hubungan seksual atas dasar suka sama suka; 3. Pria berjanji akan mengawini si wanita; 4. Hubungan seksual yang telah terjadi menyebabkan si wanita menjadi hamil; dan 5. Pria memungkiri janji untuk mengawini wanita itu tanpa alasan. Dalam Adat Istiadat Bali yang berlandaskan nilai-nilai agama Hindu, suatu perbuatan seksual hanya diperbolehkan dalam suatu hubungan perkawinan (pawiwahan). Suatu hubungan seksual yang dilakukan tanpa suatu upacara pakalan-kalaan dianggap tidak baik, karena disebut kapirangan. Karena hal itu dipercaya dari hubungan tersebut apabila terjadi pembuahan dan melahirkan anak, maka anak tersebut dipercaya akan menjadi anak yang tidak akan mendengarkan nasihat orangtua atau ajaranajaran agama (raredyadyu). Oleh karena melanggar perasaan hukum dan kepercayaan masyarakat Adat Bali maka hubungan seksual diluar 230
I Wayan Windia, Memitra Ngalang, Catatan Populer Hukum Adat Bali, (Denpasar : Upada Sastra, 2004), hlm.47. 231 Merupakan aspek pertimbangan atas Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.22/PID/S/1988/PT.DPS) dalam perkara Lokika Sanggraha dengan terdakwaa I Nyoman AS, yang melanggar ketentuan Pasal 359 Kitab Adigama jo Pasal 5 ayat 3 sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.
115
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
pernikahan seperti Lokika Sanggraha dianggap sebagai perbuatan yang melanggar norma-norma Adat dan moral agama. b.
Amandel Sanggana, Suatu delik Adat yang berupa seorang istri yang meninggalkan suaminya tanpa alasan yang jelas, sedangkan statusnya masih dalam suatu ikatan perkawinan.
c.
Drati Krama, Hubungan seksual antara wanita dan pria yang sedang masih dalam ikatan perkawinan dengan orang lain (sama dengan perzinahan KUHP).
d.
Gamia Gamana, Hubungan seksual antara pria dan wanita yang masih memiliki hubungan keluarga dekat baik menurut garis lurus maupun ke samping.232 I Made Widanyana mengartikan gamia gemana, sebagai perkawinan antara saudara kandung, antara ibu dengan anak, dan lainlain.233 Sedangkan Jelantik Sushila menjelaskan gamia gemana sebagai perkawinan laki-laki dan perempuan yang masih mempunyai ikatan keluarga yang agak dekat, yang dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu (1) gamia atau perkawinan sumbang, dan (2) gamia gemana.234 dari penjelasan diatas terdapat tiga definisi mengenai gamia gemana, I Wayan Windia memasukan unsur hubungan seksual antara orang-orang yang masih ada hubungan kekeluargaan, sedangkan I Made Widnyana dan Jelantik Sushila menyatakan bahwa gamia gemana adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang masih mempunyai ikatan keluarga yang dekat. Disini ada dua istilah yang berbeda Wayan Windia dengan hubungan seksual sedangkan I Made Widanyana dan Jelantik Sushila mempergunakan istilah perkawinan. Walaupun antara hubungan seksual dan perkawinan memiliki perbedaan yang tipis, namun tetap saja berbeda pengertiannya. Menurut Jiwa Atma, umumnya orang menganggap gamia gemana sebagai perkawinan yang terlarang, bukan sebagai hubungan
232
Ibid, hlm.187. I Made Widnyana, dalam Jiwa Atmaja, Bias Gender Perkawinan Terlarang Pada Masyarakat Bali, (Denpasar : Udayana University Press, 2008), hlm.83-84. 234 Jelantik Sushila, dalam Ibid, hlm.84. 233
116
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
seksual.235 Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan dilarang antara dua orang yang : 1.
Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
2.
Berhubungan darah dalam garis keturunan yang menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara nenenknya;
3.
Berhubungan semenda yaitu mertua, anak istri, menantu dan Ibu/Bapak Tiri;
4.
Berhubungan susuan, yaitu orang susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
5.
Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
6.
Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau aturan lain yang berlaku dilarang kawin.
e.
Mamitra ngalang, Laki-laki sudah beristri mempunyai hubungan dengan wanita lain yang diberi nafkah lahir batin seperti layaknya suami istri, tapi belum kawininya secara sah.236 Hubungannya bersifat terus menerus. Mamitra Ngalang agak mirip dengan drati krama, namun yang membedakan ialah Status pelaku. Jika dalam Drati krama salah satu atau kedua pelaku masih terikat perkawinan yang sah (sama dengan delik Pasal 284 KUHP, Perzinahan), sedangkan dalam mamitra ngalang, pelaku pria berstatus suami.
f.
Salah Krama, Melakukan hubungan seksual dengan mahluk tidak sejenis. Contoh manusia dengan hewan. Misalnya : Seorang wanita melakukan hubungan badan guna menyalurkan nafsu birahinya dengan memanfaatkan seekor anjing jantan. Bahkan kisah nyata adanya hubungan kelamin seorang manusia dan seekor binatang, dilukiskan dalam Babad Prati Sentana Sri Nararya Kresna Kepakisan (1999). Dalam babad ini diungkapkan permusuhan antara Pengeran Kapal dan Pangeran Beringkit, berasal dari
235 236
Ibid. Ibid, hlm.188.
117
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
kematian seorang putri pangeran Beringkit yang dipinang oleh pangeran Kapal. Putri Pangeran Beringkit dipaksakan kawin dengan seekor kuda kesayangan pangeran kapal hingga menuai ajalnya dikandang kuda. Hal ini dilakukan karena sumpah (kaul) yang pernah diucapkan Pangeran Beringkit ketika kuda kesayangannya itu sakit, dalam kaulnya diucapkan jika kudanya sembuh akan dikawinkan dengan seorang putri. Akibat dari peristiwa ini terjadi Peperangan Beringkit dan Kapal. g.
Kumpul Kebo, Seorang laki-laki dengan seorang perempuan hidup bersama, dalam satu rumah dan mengadakan hubungan seksual, seperti layaknya suami isteri, tetapi mereka belum terikat oleh ikatan perkawinan.
2.
Delik Adat menyangkut harta benda, Delik Adat Bali yang berikatan dengan harta benda pada umumnya telah diatur dalam KUHP. Namun berbedanya dalam Delik Adat Bali lebih pada Obyek yang dicuri. Contoh Delik Adat dalam bidang harta benda adalah pencurian, perusakan terhadap benda suci merupakan suatu perbuatan yang mengganggu keseimbangan kosmis dari pada daerah setempat. Benda suci yang dimaksud disini adalah “ Benda-benda yang telah disucikan dengan suatu upacara menurut agama Hindu, yang digunakan sebagai stana (Pralingga) Sang Hyang Widhi Wasa atau dipergunakan sebagai alat-alat didalam upacara keagamaan.237 Benda-Benda Suci menurut besar kecil nilai Kesuciannya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan : a.
Pralingga-Pralingga, merupakan benda suci yang dibuat khusus untuk melambangkan Sang Hyang Widhi Wasa yang wujudnya seperti pewayangan sesuai dengan menisfestasinya, misal Patung Dewi Saraswati sebagai simbul ilmu pengetahuan;
b.
Tapakan-Tapakan, Benda suci yang dibuat dengan tujuan supaya dijiwai oleh Istadewata yang mempunyai kekuatana gaib supaya jangan mengganggu di alam semesta, missal Barong, Rangda, celuluk; dan
237
Sarka dalam I Made Widanyana,Op.Cit, hlm.17.
118
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
c.
Alat-Alat upacara yaitu semua alat yang khusus dipakai dalam upacara keagamaan, misal Umbul-Umbul, Wastra.
3.
Delik Adat menyangkut kepentingan pribadi, seperti memisuh, mapisuna, memauk,dsb238
4.
Pelanggaran Adat karena kelalaian atau tidak menjalankan kewajiban terhadap lembaga tradisional, tidak datang ketika ada pertemuan desa (paruman), tidak membayar iuran (Papeson) dan sebagainya. Oleh Nyoman Serikat Putra Jaya, delik-delik Adat Bali diatas menjadi 2
(dua) kelompok berdasakan tempat kejadiannya :239 1. Jenis-Jenis tindak Pidana Adat Bali yang dilakukan ditempat Suci (pura), yaitu : a. Pencurian benda suci, b. Pengerusakan benda suci/tempat suci (pura), c. Pembunuhan dan Penganiayaan dalam tempat suci, d. Pelanggar kesusilaan. 2. Jenis-Jenis Tindak Pidana Adat Baliyang dilakukan diluar tempat suci (pura), yaitu : a. Lokika sanggraha, b. Amandel Sanggama, c. Gamia Gamana, d. Salah krama, e. Drarti krama, f. Wakparusia, g. Melarikan isteri orang lain, h. Pembongkaran kuburan. Delik Adat dalam masyarakat Hukum Adat Bali memeliki beberapa bandingnya dalam KUHP Nasional. Adapun Bandingnya akan ditampilkan dalam tabel sebagai berikut : 238
memisuh (mengucapkan kata kotor), mapisunah (memfitnah), memauk (menipu), mogbog (berbohong). 239 Nyoman Serikat Putra Jaya, Loc.Cit.
119
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Tabel 4.2 Jenis-Jenis Tindak Pidana Adat Bali bandingnya dalam KUHP No.
Jenis Tindak Pidana Adat Bali
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Lokika Sanggraha Drati Krama Gamia Gamana Mamitra ngalang Salah Krama Kumpul Kebo Pencurian Benda Suci Pengrusakan Benda Suci/ Tempat Suci (Pura) Pembunuhan/penganiayaan Pembongkaran Kuburan Wakperusia Melarikan isteri orang memisuh (mengucapkan kata kotor), mapisunah (memfitnah), memauk (menipu),
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Bandingnya dalam KUHP/ Di Luar KUHP Tidak Ada Banding Pasal 284 KUHP Tidak Ada Banding Tidak Ada Banding Tidak Ada Banding Tidak Ada Banding Pasal 362 KUHP Pasal 156 KUHP Pasal 338 KUHP/ Pasal 351 KUHP Pasal 179 KUHP Pasal 315 KUHP Pasal 332 KUHP Pasal 310 KHUP Pasal 310 KUHP Pasal 378 KUHP
4.4.1. Jenis Sanksi Adat Bali Emile Durkheim, mengatakan bahwa reaksi sosial (sanksi Adat) yang berupa penghukuman atau sanksi itu sangat diperlukan, sebab mempunyai maksud untuk mengadakan perawatan agar tradisi-tradisi kepercayaan Adat menjadi tidak goyah sehingga kestabilan masyarakat dapat terwujud.240 Reaksi Adat ini merupakan tindakan-tindakan yang bermaksud mengembalikan ketentraman magis yang diganggu dan meniadakan atau menetralisasi suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran Adat.241 Masyarakat Adat Bali terikat oleh suatu aturan Adat yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat setempat atau yang lebih dikenal dengan awig-awig. Dalam awig-awig terdapat aturan yang bersifat mengatur dan 240 241
Emile Durkheim dalam, I Made Widnyana, Op.Cit, hlm.8. Ibid.
120
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
memaksa yang tujuannya untuk menciptakan keserasian dan keselarasan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam awig-awig diatur mengenai perbuatan mana yang disebut dengan pelanggaran Adat. Terhadap Krama Desa yang melanggar ketentuan awig-awig dapat diberikan tindakan berupa reaksi Adat atau sanksi Adat oleh pengurus Adat (Prajuru). Sanksi Adat dalam hukum Adat bali dikenal dengan sebutan sanksi Adat, koreksi Adat dan reaksi Adat (danda atau pamidanda). Tujuannya untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat adanya pelanggaran Adat. Sanksi ini dikenakan oleh Lembaga Adat atau Lembaga desa kepada seseorang atau kelompok atau keluarganya atau bahkan seluruh masyarakat, karena dianggap telah melanggar norma Adat (norma agama Hindu), dimana untuk dikembalikan keseimbangan sekala niskala (alam nyata & alam gaib). Ada 3 golongan sanksi Adat yang disebut tri danda,yaitu :242 1.
Artha danda, hukuman berupa penjatuhan denda (uang atau barang), Contoh :243 a. Dedosan Saha Panikel-nikelnya miwah panikel urunan (Denda berupa uang atau barang beserta kelipatannya atau kelipatan tunggakan iuran); b. Kataban (Penahanan ternak yang keberadaannya melanggar hukum); c. Kadaut Karang ayahan desanya (Pengambil alihan tempat kediamannya yang berupa tanah milik desa); d. Kerampag (Pengambil alihan secara paksa atau perampasan harta untuk melunasi utang pelanggar hukum); e. Ngingu Banjar/Desa (Menjamu seluruh anggota banjar/desa) f. Dan lain-lain.
2.
Jiwa danda, hukuman berupa pengenaan derita jasmani dan rohani. Contoh :244
242
Dharmayuda Suasthawa, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Bali, Upada Sastra, Denpasar, 2001, h.1145. 243 I Wayan Suardana, Delik dan Sanksi Adat dalam Perspektif Hukum Nasional, dalam Dewa Nyoman Rai Asmara Putra Dkk Wicara Lan Pamidanda pemberdayaan Desa Pekraman dalam Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, (Denpasar : Udayana University Press, 2010) hlm.77-78. 244 Ibid, hlm.78.
121
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
a. Kapademang (dibunuh); b. Katugel limane (dipoyong tangannya); c. Mengaksama, mapilaku, lumaku, mengolas-olas, nyuaka (minta maaf); d. Matirta Gemana atau Matirta Yatra (melakukan perjalanan suci (golongan Brahmana/pendeta); e. Kaselong (dibuang ke luar kerajaan bahkan adakalanya keluar bali); f. Mapulang kepasih (ditenggelamkan ke laut); g. Kablagblag (dipasung); h. Katundung, kairid (diusir); i. Kasepekang/kanoroyang (dikucilkan atau tidak diajak berbicara); j. Ayahan panukun kasisipan (wajib kerja pengganti kesalahan); k. Kawasang mabanjar/madesa (diberhentikan sebagai warga banjar atau desa); l. Tan polih suaran kulkul (tidak mendapat informasi); m. Kalatengan (disiksa menggunakan daun lateng); n. Kaople (diarak keliling desa); o. Kapelungguh, kapesaje, karepotang (diperingatkan lisan, dilaporkan); p. Keantenang (mengawini gadis); q. Kaginggsiran (ditempatkan sementara di dekat kuburan atau diluar tegak desa). 3.
Sangaskara danda, hukuman berupa mengembalikan keseimbangan magis (hukuman dalam bentuk melakukan upacara agama). Contoh : kewajiban melaksakana upacara pecaruan, pemarisudan, prayascita (bentuk-bentuk upacara yang bertujuan membersihkan benda-benda, tempat-tempat suci agar kembali kesuciannya seperti dahulu kala). Menurut Loeby Loeqman, Hukum yang hidup dalam masyarakat ada dua,
yaitu hukum yang bersifat adil dan ada pula yang bersifat kurang atau tidak adil.245 Seiring perkembangan jaman, sebagian sanksi-sanksi Adat yang dikenal dalam masyarakat Bali sudah ditinggal karena tidak sesuai dengan perasaan 245
Loebby Loqman, Pengaruh Hukum (pidana) Adat di dalam Perkembangan Hukum Pidana Nasional, Makalah Seminar Nasional Relevansi Hukum Pidana Adat dan Implementasinya dalam Hukum Pidana Nasional, 1994, hlm.8.
122
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
keadilan masyrakat, bertentangan dengan aturan hukum nasional serta melanggar nilai-nilai hak asasi manusia. Sanksi Adat yang bertentangan dengan keadilan masyarakat inilah yang oleh Loeby Loeqman dikatakan sebagai hukum Adat yang bersifat kurang atau tidak adil. Oleh I Made Widnyana, Jenis-Jenis Sanksi Adat tersebut dikelompokan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu :246 1.
Sanksi Adat yang sama sekali ditinggal oleh masyarakat : Sanksi Adat yang sudah tidak sesuai dengan keadaan masyarakat, olehnya dilarangan dengan tegas oleh pihak yag berwenang dengan peraturan perundang-undangan. Contoh : Kapademang (dibunuh), Katugel limane (dipoyong tangannya), dan lain-lain.
2.
Sanksi Adat yang masih berlaku sepenuhnya : Sanksi yang masih hidup dan berlaku dalam masyarakat Adat Bali. walaupun terhadap pelaku suatu delik Adat telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan berdasarkan peraturan yang berlaku, namun sanksi Adat harus tetap dikenakan guna mengembalikan keseimbangan kosmis suatu daerah masyarakat Adat. Berdasarkan Laporan Purwati, Dkk (dosen-dosen Hukum Adat di Fakultas Hukum Universitas Udayana) maka sanksi-sanksi Adat yang masih berlaku dalam masyarakat Adat bali terdapat dalam awig-awig suatu desa, yaitu :247 1.
Danda (Denda);
2.
Maprayacitta (Membuat upacara pembersihan menurut agama Hindu);
3.
Kawasang mabanjar/madesa (Diberhentikan sebagai warga Banjar atau Desa);
4.
Karampag (dirampas harta kekayaannya);
5.
Ngingu Banjar/Desa atau nyanguin Banjar/Desa (menjamu Banjar);
6.
Keantenang (mengawini gadis).
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa ada beberapa sanksi Adat Bali yang telah tidak diberlakukan lagi karena dianggap tidak adil (tidak sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat), bertentangan dengan hak asasi manusia. Hal ini 246 247
I Made Widnyana, Op.Cit, hlm.21. Purwati dkk dalam Ibid, hlm.21.
123
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
menunjukan bahwa Hukum Adat bersifat fleksibelitas. Sebagaimana dikatakan oleh Soepomo bahwa hukum Adat adalah suatu hukum yang hidup, karena penjelmaan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan sifatnya sendiri, hukum Adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.248 Apabila ada hukum Adat yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman, maka hukum Adat tersebut dengan sendirinya akan ditinggalkan oleh masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum Adat Bali masih kuat memegang tradisinya, dan hukum Adat bali juga berubah dan menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman sesuai dengan konsep Desa, Kala, Patra.249 Terhadap suatu perkara Adat (delik Adat) tertentu terutama terhadap delikdelik kesusilaan yang hukumannya dianggap tidak cukup oleh masyarakat Adat (desa), karena dianggap masih belum memenuhi rasa keadilan rakyat umum. Dapat dituntut hukuman tambahan oleh pengadilan desa untuk melakukan upayaupaya
Adat
guna
memulihkan
keseimbangan
dalam
masyarakat
dan
membersihkan hal-hal yang kotor akibat perbuatan tersebut. Maka disini pelaku memperoleh dua hukuman selain hukuman pidana yang diperoleh dipengadilan dan hukuman pemenuhan kewajiban Adat oleh hakim desa yang berwenang.250 Hal ini sebenarnya bertentangan dengan asas ne bis in idem. Dimana seseorang tidak dapat dihukum atas perbuatan yang sama sebelumnya. Bahkan terhadap perkara Adat telah terdapat yurisprudensi yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 1644 K/Pid/1988 Tanggal 15 Mei 1991 yang menyatakan bahwa terhadap terdakwa yang telah dijatuhi sanksi Adat (reaksi Adat) oleh kepala Adat, ia tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) kepada badan peradilan negara (pengadilan negeri) dengan dakwaan yang sama melanggar hukum Adat dan
248
R. Soepomo, Op.Cit, hlm.7. Desa, Kala, Patra adalah konsep yang dipegang teguh oleh masyarakat Bali didalam penerapan nilai-nilai hukum Adat. Dimana terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam hukum Adat bali senantiasa disesuaikan menurut desa (tempat), dimana nilai-nilai tersebut diterapkan, kala (waktu) pada nilai itu dilaksanakan, serta dalam keadaan (patra) apa nilai-nilai hukum Adat ini hendak diterapkan, 250 Bushar Muhammad, Op.Cit, hlm. 73. 249
124
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
dijatuhi penjara menurut ketentuan hukum pidana.251 Yurisprudensi ini menyamakan antara putusan hakim dalam pengadilan dengan putusan oleh pengadilan Adat. Namun timbul persoalan sebab UU Darurat Nomor 1/1951 telah menghapus kedudukan pengadilan Adat. Namun menurut penulis putusan pengadilan negeri dan pembebanan kewajiban Adat bukanlah bentuk putusan yang sama. Sehingga tidaklah tepat mengaitkan antara asas ne bis in idem terhadap kasus pelanggaran Adat yang dihukum pidana oleh pengadilan negeri dan pembebanan kewajiban Adat oleh masyarakat Adat. Sebab dalam KUHP pembebanan kewajiban Adat bukan termasuk jenis sanksi pidana.
251
Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer : Telaah Kritis Terhadap Hukum Adat Sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, (Bandung : Alumni, 2002), hlm. 157.
125
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
BAB 5 EKSISTENSI HUKUM PIDANA ADAT MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya memiliki keragaman suku, ras, agama dan Adat kebiasaan yang tersebar dikota maupun didesa. Keragaman ini menjadi suatu kekayaan dan potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dalam kehidupan bermasyarakat, hukum dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. dimana ada masyarakat, disana ada hukum (Ibi Ius Ibi Societas). Oleh sebab itu diperlukan suatu aturan hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat demi mencapai ketertiban umum. Menurut Von Savigny, hukum merupakan bagian dari budaya masyarakat, hukum tidak lahir dari tindakan bebas (arbitrary act of a legislator), tetapi ditemukan didalam jiwa masyarakat (Volkgeist). Sehingga hukum dapat dikatakan berasal dari kebiasaan dan selanjutnya dibuat melalui aktivitas hukum (Juristice Activity).252 Sebelum masa penjajahan, sebenarnya masyarakat Indonesia telah memiliki hukum sendiri, hukum yang lahir dari jiwa masyarakat (volkgeist) Indonesia sendiri, yang mana kita kenal sebagai Hukum Adat.253 Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, “Hukum Adat merupakan suatu konsep hukum yang baru dikonstruksikan pada awal abad 20. Ketika itu diambil arah kebijakan etis dalam tata pemerintahan Hindia Belanda”.254 Istilah Hukum Adat Diperkenalkan pertama kali oleh Snauck Hugronje dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers” dan kemudian dipopulerkan oleh Van Vollenhoven.255 Sepanjang paruh akhir abad ke-19, istilah de gebruiken, gewoonten en godsdienstige instellingen der inlanders (kelaziman, kebiasaan dan lembaga 252
M. D. A. Freeman, Lloyd’s Introduction to Jurisprudence, Edisi Ketujuh, (London : Sweet & Maxweel Ltd, 2001), hlm. 904-905. 253 Ferry Fathurokhman, Evolusi Pemikiran Hukum Baru: Dari Kera ke Manusia, Dari Positivistik ke Hukum Progresif, Genta Press, Yogyakarta, 2009, hlm. 68. 254 Soetandyo Wignjosoebroto, Eksistensi Hukum Adat : Konseptualisasi, Politik Hukum dan Pengembangan Pemikiran Hukum Sebagai Upaya Perlindungan Hak-Hak Rakyat Yang Asasi, hlm.1. 255 I Nengah Lestawi, Op.Cit, hlm.3.
126
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
lembaga keagamaan orang-orang pribumi) digunakan oleh administrasi kolonial dalam mengembangkan tata hukum. Pada masa kolonial, dirasakan adanya pengingkaran eksistensi hukum Adat sebagai hukum yang bisa difungsikan untuk mengintegrasi organisasi kehidupan berskala antarlokal. Pengingkaran ini terlihat dari berbagai kebijakan pemerintah kolonial yang mengonsepkan hukum sebagai lege (peraturan perundangan positif tertulis), salah satunya dengan berlakulah asas konkordansi hukum yang mengharuskan hukum Negara Penjajah juga berlaku dinegara jajahannya, sehingga berlakulah Hukum Kolonial di Indonesia.256 Oleh karenanya Indonesia dikategorikan sebagai negara yang menganut sistem hukum campuran yaitu menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil law system) dan juga mengakui keberadaan sistem hukum Adat dan sistem hukum agama (hukum Syariah), dalam bidang-bidang hukum perdata dimungkinkan berlaku hukum yang berasal dari sistem hukum Anglo Saxon (common law system), serta tidak menutup kemungkinan berlakunya sistem hukum lainnya dalam tata hukum di Indonesia kedepannya.257 Dalam hukum Adat terdapat ketentuan mengenai Hukum Pidana Adat. Hukum Pidana Adat merupakan terjemahan istilah Belanda Adat Delicten Recht, Hukum Pidana Adat merupakan Hukum yang menunjukkan peristiwa atau perbuatan yang harus diselesaikan karena peristiwa atau perbuatan itu telah mengganggu keseimbangan masyarakat.258 Beberapa daerah di nusantara masih memberlakukan Hukum Pidana Adat terhadap perkara-perkara Adat, Dimana terdapat beberapa ketentuan pidana Adat yang tidak memiliki kesamaannya (bandingannya) dalam KUHP, misal delik Lokika Sanggraha di Bali, Salaq Timpal di Lombok. Sehingga Peran Hukum Pidana Adat begitu penting dalam pembaharuan hukum pidana nasional. Cita-cita membangun hukum nasional (hukum pidana) yang kokoh dan berakar pada hukum Adat juga dikemukakan oleh Soenaryati Hartono, hukum Adat sesungguhnya tidak lain dari pada hukum 256
Yanis Maladi, Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pascaamandemen, Mimbar Hukum Vol.22, No.3, Oktober 2010, hlm. 451. 257 F.H. Edy Nugroho, Keberadaan Hukum Adat Dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, Gloria Juris, Volume 8, Nomor 1, Januari-April 2008, hlm.42. 258 Eva Rajagukguk, Perbuatan Ingkar Janji Kawin Menurut Hukum Pidana Adat (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia), Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Program Megister Kenotariatan, Depok, 2006, hlm.28
127
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
asli bangsa kita, maka dengan sendirinya hukum nasional yang bersama-sama dibentuk itu harus berakar pada hukum Adat. Disini beliau mengibaratkan hukum Adat sebagai tanah dan hukum nasional sebagai bangunan diatasnya. Dalam arti disini bangunan tersebut haruslah kokoh berdiri dan mampu memenuhi kebutuhan manusia Indonesia di zaman ini, serta masih sesuai dengan martabat bangsa yang berlandaskan Pancasila.259 Hukum Adat (Hukum Pidana Adat) masih berlaku hingga sekarang ini, hal ini dikarenakan disetiap daerah (Masyarakat Hukum Adat) masih memberlakukan ketentuan hukum Adat, dalam arti hukum Adat ini diturunkan secara turun temurun dari generasi ke generasi dalam masyarakat Adat. Masih kuatnya hukum Adat (Hukum Pidana Adat) di Indonesia dapat dilihat dibeberapa daerah seperti Aceh, Minangkabau, kalimantan, Maluku, sumbawa, Bali dan dibeberapa daerah lainnya di Nusantara. Oleh karena Peran hukum Adat khususnya dalam Hukum Pidana Adat masih penting dan vital, karena berukar-ukar kepada kebudayaan rakyat, hukum yang merupakan penjelmaan perasaan hukum dari rakyat (mencerminkan jiwa, cara dan pandangan hidup masyarakat Indonesia), oleh karenanya pembangunan hukum dalam menuju perwujudan tata hukum nasional harus mampu menampung kebutuhan-kebutuhan hukum yang sesuai dengan kesadarang hukum rakyat Indonesia serta mampu menjamin adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam segala segi kegiatan kehidupan masyarakat seharihari sehingga memungkinkan segera terwujudnya masyarakat makmur dan berkeadilan sosial, menjamin kesejahteraan lahir dan batin bagi kita semua, yang berlandaskan atas sumber tertib hukum UUD 1945 dan Pancasila.260 Pembanguan
259
Soenaryati Hartono, Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1981), hlm.18. 260 Lihat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Rencana pembangunan Lima Tahun Kedua (REPELITA II0, 1974/1975-1978-1979, Lampiran BAGIAN IIBAB 27-Hukum, dalam pendahuluannya bahwa pembangunan bidang hukum harus dilaksanakan berdasarkan GBHN (garis-garis besar haluan negara) yang menegaskan : “Pembangunan dibidang hukum dalam negara hukum Indonesia adalah berdasarkan atas landasan sumber tertib hukum negara, yaitu cita-cita yang terkadung pada pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak bangsa Indonesia yang didapat dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.
128
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
hukum nasional harus sesuai dengan haluan negara dan berlandaskan hukum Adat yang tidak menghambat masyarakat adil dan makmur.261 Eksistensi keberadaan hukum Adat khususnya Hukum pidana Adat diakui oleh pemerintah dan bahkan Dunia Internasional, Hal ini terlihat dari beberapa ketentuan yang bersumber pada norma-norma dasar (Staatsfundamental recht atau Fundamental Law) mulai dari UUD 1945, Undang-Undang, Peraturan Daerah, Konvensi Internasional, dan sebagainya. 5.1
Hukum Pidana Adat menurut nilai-nilai Pancasila Setelah Indonesia merdeka, para pendiri negara (founding fathers) telah
mencapai kesepakatan bahwa Pancasila merupakan cita, asas dan norma hukum tertinggi serta norma dasar negara Indonesia. Bahkan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dituangkan didalam konstitusi negara yaitu UUD 1945. Dalam UUD 1945 kedudukan Pancasila terdapat dalam klausal pembukaan UUD 1945, paragraph keempat, yang berbuyi : “….. maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia di dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkaudalatan rakyat yang berdasarkan kepada : Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pengakuan nilai-nilai Pancasila dalam pembukaan UUD 1945 merupakan pengakuan Pancasila sebagai cita hukum (Rechtsidee).262 Selain sebagai cita hukum (Rechtsidee), Pancasila juga diakui sebagai norma hukum (rechtsnorm) yang tertinggi dan norma dasar negara (sataatsfundamentalnorm), yaitu suatu aturan, pola atau standar yang harus diakui dan ditaati serta mempunyai daya pemaksa, bersifat mengatur dan memerintah (imperatif). Selain itu Pancasila juga berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum, Pancasila dikatakan Sumber dari segala sumber hukum diartikan Pancasila sebagai pandangan hidup, 261
Lampiran A Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 Paragraf 402 Np. 35 dan 35 mengenai pembinaan Pembinaan Hukum Nasional. 262 Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat dan Sistem Kepartaian, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), hlm.26-30
129
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan dan watak rakyat dari negara yang bersangkutan. Jelaslah bahwa nilainilai Pancasila melandasi seluruh hukum yang ada di Indonesia, baik hukum yang tertulis (peraturan perundang-undangan) dan hukum yang tidak tertulis (hukum Adat) termasuk juga mengatur mengenai ketentuan Hukum Pidana Adat. Menurut Hilman Hadikusuma, Hubungan Pancasila dan Hukum Adat khususnya Hukum Pidana Adat adalah hubungan antara jiwa dan hukum, dalam arti Pancasila merupakan jiwa rakyat dan pandangan hidup bangsa, sedangkan hukum Adat adalah hukum rakyat. oleh karenanya hukum Adat dapat ditafsirkan sama dengan hukum Pancasila atau hukum yang berjiwa Pancasila, dan hukum Adat juga dapat dikatakan sebagai hukum yang berdasarkan kepribadian dan sesuai dengan pandangan hidup bangsa.263 Alam Pikiran Hukum Pidana Adat yang masih bersifat Magis-Religiusm meliputi asas-asas yang terkandung dalam Pancasila, yang meliputi asas Ketuhanan, peri kemanusiaan, Persatuan dan kebersamaan, Kerakyatan dan Kesepakatan, dan keadilan serta kemasyarakatan.264 Oleh karenanya nilai-nilai Pancasila terkandung dalam Hukum Pidana Adat, yaitu sebagai berikut : A.
Hukum Pidana Adat dengan nilai Ketuhanan Hukum Adat merupakan hukum yang berjiwa Ketuhanan yang Mahaesa,
hukum yang tumbuh bersama rakyat yang percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Pencipta, yang menciptakan alam semesta beserta isinya.265 Kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa sudah ada sebelum masuknya agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Dimana masyarakat masih menghormati roh-roh nenek moyang, kekuatan gaib dan rohroh yang lainnya. Pengaruh nilai Ketuhanan (agama) dalam hukum Adat khususnya dalam Hukum Pidana Adat nampak dari alam pikiran tradisional (magis-religius). Alam pikiran yang mempertautkan antara dunia nyata dan dunia gaib, antara hukum manusia dan hukum Tuhan. Alam pikiran masyarakat Indonesia yang kosmis, yang menempatkan kehidupan manusia sebagai bagian 263
Hilman Hadikusuma, Pokok-Pokok Pengertian Hukum Adat, (Bandung : Alumni, 1980), hlm.120-121. (Selanjutnya disebut Hilman Hadikusuma III) 264 Hilman Hadikusuma I, Op.Cit, hal.10-11. 265 Hilman Hadikusuma III, Op.Cit, hal.121.
130
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
dari alam, dimana kegoncangan hidup manusia merupakan ketidakseimbangan dengan kehidupan alam, kegoncangan alam adalah akibat ketidakseimbangan kehidupan manusia. Contoh : Suatu desa dianggap sial apabila warganya melakukan perzinahan (masyarakatnya melakukan perbuatan dosa). Pencerminan alam pikiran seperti ini nampak dalam Hukum Pidana Adat, apabila seorang melakukan pelanggaran Adat yang berakibat kehidupan masyarakat menjadi tergoncang (tidak seimbang), maka pelakunya dikenakan reaksi Adat (sanksi Adat) yang berguna mengembalikan keseimbangan kekeadaan sebelumnya. Disinilah dituntut petugas-petugas masyarakat hukum Adat untuk mempu mempertahankan,
menjaga
keseimbangan
dan
berusaha
mengembalikan
keseimbangan apabila terjadi pelanggaran Adat. B.
Hukum Pidana Adat dengan nilai Kemanusiaan Oleh karena dalam hukum Adat terkandung nilai-nilai ajaran agama, maka
dalam hukum Adat terdapat pula jiwa kemanusiaan yang adil dan beradab. Dimana manusia sebagai mahluk ciptaan tuhan harus saling menghargai sesamanya, baik sesama manusia maupun dengan mahluk ciptaan tuhan lainnya. Dalam asas kemanusiaan terdapat nilai-nilai kekeluargaan dan tolong menolong, yang merupakan kepribadian hukum Adat bangsa Indonesia sejak zaman dahulu. Adanya ailai-nilai keluarga dalam asas kemanusiaan, menjadi suatu nilai penting yang diatur dalam suatu aturan hukum Adat (tata-tertib Adat). Tata-tertib Adat adalah ketetuan-ketentuan Adat yang bersifat tradisionil yang harus ditaati oleh setiap orang dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Termasuk didalamnya ketentuan-ketentuan yang bersifat Adat sebenarnya Adat, Adat-istiadat, Adat nan diadatkan, dan Adat nan teradat.266 Apabila ada ketentuan tata-tertib Adat dilanggar maka terjadilah delik Adat yang berakibat timbulnya reaksi Adat. Sebagai contoh dalam tata-tertib Adat ini salah satunya diatur mengenai hubungan kekerabatan, di Bali terdapat aturan dalam awig-awig yang mengatur mengenai hubungan kekerabatan, dimana adanya kewajiban krama desa (masyarakat Adat) untuk melakukan ayahan-ayahan (kewajiban Adat) berupa membersihkan setra (kuburan), menghadiri paruman (rapat Adat), dan menghadiri upacara kematian 266
Soepomo, Op.Cit, hal.103.
131
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
seseorang. Dalam masyarakat Bali nilai kekeluargaan begitu penting, dimana tiap kegiatan Adat selalu dilakukan secara kekeluargaan. Apabila krama desa tidak melaksanakan kewajibannya maka akan dikenakan reaksi Adat (sanksi Adat) oleh masyarakat Adat berupa teguran hingga dikeluarkan dari suatu Banjar atau desa Adat. C.
Hukum Pidana Adat dengan nilai Persatuan Hukum Adat sebagai dasar persatuan Indonesia, dalam arti hukum asli
Indonesia ini yang bersendikan nilai-nilai kekeluargaan yang bersifat komunal, bersifat kebersamaan yang kuat, yang berlawanan dengan hukum barat (kolonial) yang bersifat individualisme dan materialisme. Dalam hukum Adat lebih mementingkan kepentingan bersama (komunal) diatas kepentingan pribadi atau golongan. Dalam konteks penyelesaian perkara Adat, biasanya petugas-petugas masyarakat Adat akan menyelesaikan perkara Adat ini dengan cara-cara kekeluargaan, seperti melakukan peradilan perdamaian atau mediasi. Penyelesaian perkara pidana dengan cara-cara ini bertujuan untuk melindungi semua pihak (baik korban, pelaku, maupun masyarakat), dimana diharapkan adanya penyelesaian yang tidak mengganggu hubungan kemasyarakatan, dan tidak berdampak pada konflik yang berkepanjangan seperti dalam pengadilan formal. Hal itu didasari satu untuk mewujudkan rasa kebersamaan (komunal) sehingga nilai-nilai persatuan yang diamanatkan oleh Pancasila. D.
Hukum Pidana Adat dengan nilai Kerakyatan Hukum Adat dalam arti nilai kerakyatan, yaitu adanya persatuan kerakyatan,
dengan pengetian bahwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dimana apabila terdapat perbedaanperbedaan dalam masyarakat maka harus diselesaikan dengan wadah atau cara bermusyawaraf atau mufakat. Dimana dalam menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang terjadi maka musyawarah dilakukan oleh pimpinan hikmat kebijaksanaan (biasanya oleh ketua Adat) yang didasari oleh asas kekeluargaan, kebersamaan,
132
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
kerukunan, keselarasan dan seia-sekata.267 Apabila sesuatu masalah telah disepakati dalam musyawarah dan telah diputuskan atau diselesaikan maka semua anggota musyawarah yang hadir dan tidak hadir dengan ithikad baik dan penuh rasa tanggung jawab untuk melaksanakannya dengan baik. Dalam konteks, Tindak Pidana Adat, penyelesaian biasanya dilakukan dengan mekanime musyawarah melalui pengadilan desa atau pengadilan Adat, dimana ketua Adat selaku pimpinan pengadilan tersebut. Dalam penyelesaian ini tidak hanya melibatkan pelaku, korban, ketua Adat, namun juga mengikutsertakan masyarakat untuk mencari jalan penyelesaiannya maupun sanksi pidana yang akan diberikan kepada si pelaku. Bahkan sifat komunal (kebersamaan dan persatuan) dari masyarakat Adat tersebut juga turut mempengaruhi suatu sanksi Adat (reaksi Adat). Tidak jarang suatu sanksi Adat atas suatu delik Adat, yang sepantasnya dikenakan bagi pelaku, namun ditanggung bersama oleh semua masyarakat Adat. Contoh : Terjadi pembunuhan ditempat suci (pura) maka akan diadakan upacara pembersihan guna mengembalikan keseimbangan kosmis kesediakalanya, biaya yang dikeluarkan untuk upacara tersebut tentulah besar tidak bisa ditanggung sendiri oleh pelaku, maka disinilah masyarakat turut serta terkena sanksi Adat untuk membantu pelaku membersihkan tempat suci tersebut. E.
Hukum Pidana Adat dengan nilai Keadilan Sosial Dapatlah
dibayangkan
bagaimana
petugas-petugas
hukum
Adat
melaksanakan tugasnya dalam menyelesaikan sengketa maupun pelanggaran Adat atas dasar masyawarah mufakat guna mewujudkan tujuan kehidupan yang adil bagi seluruh rakyat (masyarakat Adat). Hal itu dapat dilihat dalam tata cara pelaksanaan
peradilan
perdamaian
desa,
dimana
segala
sesuatu
yang
menyebabkan timbulnya sengketa atau pelanggaran Adat diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mufakat atas dasar kekeluargaan dan kerukunan, yang diperiksa dan dipertimbangkan oleh para pemuka Adat (tetua Adat) sebagai hakim dengan hati yang jujur dan bersih karena iman dan takwanya kepada tuhan Yang Maha Esa. 267
Hilman Hadikusuma III, Op.Cit, hlm.126.
133
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
5.2
Hukum Pidana Adat Dalam Perundang-Undangan Nasional
5.2.1 Hukum Pidana Adat Menurut Konstitusi Pada masa perjuangan kemerdekaan, pemakaian istilah hukum Adat secara khusus pada awal mulanya dipelopori oleh kalangan pemuda pada 1928 dalam suatu Kongres Pemuda. Mereka sepakat mencantumkan hukum Adat sebagai pemersatu bangsa Indonesia dan mengikrarkan hukum Adat sebagau asas-asas hukum Indonesia dimasa mendatang.268 Oleh Moh.Koesnoe ditegaskan, Bahwa Hukum Adat telah menjadi jiwa dan isi tatanan hukum nasional.269 Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia kemudian membentuk pemerintah negara Indonesia dan hukum dasar negara (konstitusi). Melihat sejarah konstitusi di Indonesia, dimana Indonesia mengalami permberlakuan 3 konstitusi, yaitu : UUD 1945, Konstitusi (RIS) 1949, UUDS 1950, dan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dalam perkembangannya UUD 1945 mengalami 4 kali amandemen. A.
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Untuk mengetahui kedudukan hukum Adat khususnya Hukum Pidana Adat
dalam tata hukum nasional, maka pertama harus dilihat dalam konstitusi negara yakni Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Menurut Padmo Wahjono dalam hidup bermasyarakat sudah tentu berpuncak pada suatu organisasi negara yang merdeka, maka tertib bermasyarakat tersebut dipedomi oleh dasar organisasi negara tersebut. Tertib masyarakat yang merupakan tertib hukum, haruslah berdasarkan kepada Undang-Undang Dasar negara tersebut. Dengan demikian menurut pendapatnya perlu kita memahami pokok-pokok sistem hukum nasional Indonesia yang terumus dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang bersumber dari Pancasila.270 Maka untuk mengetahui sistem hukum Adat (Hukun Pidana Adat) maka kita juga perlu memahami UUD 1945. 268
Yanis Maladi, Op.Cit, hal. 451-452. Moh. Koesnoe, dalam Siti Soendari (editor), Hukum Adat dalam Alam Kemerdekaan Nasional dan Soalannya Menghadapi Era Globalisasi, (Surabaya : Ubhara Press, 1996), hlm. 5. 270 Padmo Wahjono, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum Pancasila, Pidato ilmiah pada peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia ke-33, Rajawali, Jakarta, hlm.1. 269
134
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
UUD 1945 menciptakan pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan daripada Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-Pokok pikiran ini merupakan perwujudan dari cita-cita hukum dari bangsa Indonesia. Dalam pembukaan UUD1945 pokok-pokok pikiran yang menjiwai perwujudan cita-cita hukum dasar negara yaitu Pancasila. Dengan demikian berarti banga Indonesia telah memiliki sumber tertib hukum yaitu Pancasila, Pancasila merupakan pencerminkan kepribadian bangsa Indonesia yang berfungsi untuk mengatur tata tertib hidup bangsa dan masyarakat Indonesiaa. Pancasila sebagai Sumber tertib hukum inilah yang berperan besar bagi hukum Adat khususnya Hukum Pidana Adat, Karena Hukum Adat termasuk juga Hukum Pidana Adat merupakan nilai-nilai hukum yang berakar dari kebudayaan atau kepercayaan masyarakat sehingga merupakan penjelmaan perasaan hukum yang nyata dan hidup dikalangan rakyat.271 Pada awalnya dasar berlakunya UUD 1945 tidak ada satu pasal pun yang memuat ketentuan hukum Adat,272 kecuali ketentuan Pasal II Aturan peralihan, yang berbunyi : Pasal II Aturan Peralihan Segala badan negara dan peraturan yang ada, masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru dalam Undang-Undang Dasar ini”.
Adapun makna dari Aturab Peralihan ini adalah, Segala badan negara dan peraturan yang ada, masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru dalam Undang-Undang Dasar ini, sehingga dasar konstitusional berlakunya hukum Adat sekarang adalah Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 jo Pasal 131 Ayat 6 dan Pasal 131 Ayat 2 Sub b Indische Staatsregelling. Namun dengan adanya penegasan Pancasila dalam UUD 1945 sebagai sumber tertib hukum, maka penerapan dari pasal-pasal perundang-perundang yang merupakan warisan kolonial, sekarang wajib dijiwai dengan nilai-nilai Pancasila dan tidak lagi 271
Soerojo Wignjodipoero, Kedudukan Serta Perkembangan Hukum Adat Setelah Kemerdekaan, (Jakarta : Gunung Agung, 1983), hlm. 14. 272 Ibid.
135
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
berorientasi pada Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie. Dalam perkembangannya Aturan peralihan mengalami amandemen (Amandemen keempat) yakni merubah ketentuan pasal II Aturan peralihan menjadi 2 (dua) Pasal, yakni Pasal I dan Pasal II. Adapun kedua pasal itu berbunyi yaitu sebagai berikut : Pasal I Aturan Peralihan “Segala Peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Pasal II Aturan Peralihan “Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Namun bila perhatikan lebih lanjut ketentuan mengenai hukum Adat tersirat dalam urian penjelasan bagian umum UUD 1945, “Bahwa Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang-Undang Dasar berlaku juga hukum dasar tidak tertulis.” Yang oleh Soepomo, istilah hukum tidak tertulis ini merupakan sinonim dari hukum Adat. Jaminan konstitusional terhadap masyarakat hukum Adat dan Aturan Hukum Adatnya telah termaktub dalam konstitusi Indonesia (UUD 1945), yang dirumuskan
dalam
ketentuan
pasal
18A
ayat
(1)
UUD
1945,
yang
mengamanatkan pemerintah untuk memerhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Sementara itu, Pasal 18B ayat (2) berbunyi : Pasal 18B ayat (2) “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Ketentuan pasal 18B ayat (2), menjelaskan bahwa konstitusi menganggap hukum Adat termasuk hukum yang perlu dijadikan sebagai sumber pedoman
136
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
hidup dalam masyarakat modern. Dikarenakan sifat hukum Adat yang flesibel dan dinamis dalam maenyelesaikan suatu persoalan hukum.
B.
Konstitusi RIS 1949 Konstitusi RIS 1949 menggantikan UUD 1945 pada tanggal 6 Februari
1950 dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden RIS tanggal 31 Januari 1950 Nomor 48, Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 3. Dalam Konstitusi RIS keberadaan dan peranan tidak mengalami perubahan yang berarti. Sebab ketentuan-ketentuan dalam Konstitusi RIS sama dengan yang ada dalam UUD 1945, walaupun berbeda kata-katanya sedikit. Dalam mukadimah konstitusi juga tercantum perumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karenanya jiwa Pancasila tetap menjadi landasan bagi semua pasalpasal dalam Konstitusi RIS. Keberadaan Hukum Adat dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 146 ayat (1), yang berbunyi : “Segala keputusan kehakiman berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman harus menyebut aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan hukum Adat yang dijadikan dasar hukuman itu”. Ketentuan Pasal 146 ayat (1) jelas berarti bahwa Konstitusi menjamin bahwa selain aturan hukuman tertulis diakui juga aturan tidak tertulis (hukum Adat) termasuk juga adanya pengakuan terhadap eksistensi Hukum Pidana Adat. Disini berarti konstitusi mengakui adanya aturan-aturan hukum Adat yang pada umumnya masih belum tertulis yang masih hidup dan berkembang didalam kehidupan bermasyarakat. Disini hakim dalam mengambil keputusan harus didasarkan atas aturan-aturan hukum yang berlaku (tertulis) dan juga hukum tidak tertulis (hukum Adat).
C.
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) Konstitusi RIS 1949 dalam perkembangannya diganti dengan UUDS 1950,
diberlakukan dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1950. Sama seperti halnya
137
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, begitu pula UUDS 1950 ketentuan-ketentuan mengenai hukum Adat khususnya Hukum Pidana Adat tidak diatur secara tegas. Keberadaan Pancasila sebagai jiwa dan pandangan hidup bangsa masih tercantum dalam mukadimah UUDS 1950, sehingga Pancasila tetap menjadi nilai-nilai yang fundamental dari pasal-pasal dalam konstitusi ini. Pengaturan mengenai hukum Adat dalam UUDS 1950 masih merupakan penafsiran dari aturan peralihan sebagaimana yang diatur dalam Pasal II aturan peralihan UUD 1945, Pasal 192 ayat (1) Konstitusi RIS, dan dalam UUDS 1950 diatur dalam ketentuan pasal 142.273 Sedangkan ketentuan yang jelas masih mencantumkan kata hukum Adat nampak dalam pasal 104 ayat (1) UUDS 1950 : Pasal 104 ayat (1) “Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannja dan dalam perkara hukuman menjebut aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan hukum Adat jang didjadikan dasar hukuman itu”.
Ketentuan pasal 104 ayat (1) UUDS 1950 menegaskan kembali apa yang tercantum dalam ketentuan pasal 146 ayat (1) Konstitusi RIS. Jika dikaitkan dengan hukum pidana khususnya mengenai asas hukum pidana “Nulum delictum, nulla poena sine praevia lage poenali”. Terdapat ketentuan dalam UUDS 1950 yang serupa tapi berbeda makna, yang tertuang dalam ketentuan pasal 14 ayat (2) UUDS 1950 yang berbunyi : Pasal 14 ayat (2) “Tiada seorang djuapun boleh dituntut untuk dihukum atau didjatuhi hukuman, ketjuali karena suatu aturan hukum jang sudah ada dan berlaku terhadapnja.” Ketentuan pasal 14 ayat (2) UUDS 1950 berbeda makna dengan ketentuan pasal 1 KUHP yang berbuyi “Tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum selain 273
Pasal 142 UUDS 1950 berbunyi : “Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuanketentuan tata-usaha jang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak ditjabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan- ketentuan tata-usaha atas kuasa Undang-undang Dasar ini”.
138
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
atas kekuatan aturan pidana didalam undang-undang yang terdahulu dari perbuatan itu”. Dalam ketentuan asas legalitas ini bertujuan untuk mencegah tindakan para hakim yang dimasa sebelumnya melakukan peradilan atas “delik arbitrair”, dimana hakim dapat menjatuhi hukuman berdasarkan perasaan dan pandangannya sendiri, sehingga seseorang tidak terlindungi dari perbuatan yang sewenang-wenang dilakukan oleh pemerintah, Akibatnya dari adanya azas tersebut
hakim
tugasnya
hanya
melaksanakan
undang-undang
saja.274
Kekurangannya adalah hakim disini tidak dapat menegakkan keadilan dengan mengadakan atau mengambil keputusan yang didasari oleh hukum Adat atau hukum kebiasaan. Disini hakim tidak dapat mempergunakan anologi dalam membuat suatu keputusan. Perbedaan antara ketentuan pasal 14 ayat (2) UUDS 1950 dengan ketentuan asas legalitas dalam pasal 1 KUHP adalah dalam ketentuan pasal 1 KUHP dikatakan “melainkan atas kekuatan aturan pidana didalam Undang-Undang” sedangkan dalam pasal 14 ayat (2) UUDS 1950 dikatakan “kecuali karena suatu aturan yang sudah ada dan berlaku terhadapnya”. Sebenarnya Pasal 14 ayat (2) UUDS 1950, merupakan landasan konstitusional bagi hakim-hakim dalam menangani perkara-perkara Adat yang tidak terdapat padanannya dalam KUHP atau peraturan perundang-undangan lainnya. Namun pasal 95 ayat (2) UUDS 1950 “Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat” sehingga hakim tetap harus berpegangan terhadap ketentuan pasal 1 KUHP (asas legalitas). Disini hakim dilarang menguji (toetsen) atas isi dan tujuan Undang-Undang Dasar.275
5.2.2
Hukum Pidana Adat dalam Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951. Undang-Undang
Darurat
1951
(Undang-Undang
darurat
Nomor
1/Drt./1951) diundangkan pada tanggal 14 Januari 1951, undang-undang ini 274 275
Hilman Hadikusuma I, Op.Cit, hlm.2. Ibid, hlm.3.
139
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
mengatur tentang tindakan-tindakan untuk menyelenggarakan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan Sipil.
Dalam Undang-Undang Darurat 1951 terdapat
beberapa ketentuan pasal yang berkaitan dengan hukum Adat (Hukum Pidana Adat) yaitu ketentuan pasal 1 dan 5 ayat (3) sub b. Pasal 1 Bahwa kecuali pengadilan desa seluruh badan pengadilan yang meliputi pengadilan gubernemen, badan pengadilan swapraja, dan badan pengadilan Adat kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari pengadilan Adat yang telah dihapuskan. Sebetulnya ketentuan pasal 1 Undang-Undang Darurat 1951 mempunyai arti bahwa Pengadilan Swapraja yang meliputi Pengadilan gubernemen, Pengadilan swapraja dan termasuk hukum Adat telah dihapuskan. Akan tetapi eksistensi daripada Peradilan Adat masih diakui sepanjang menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian hukum tersendiri dari Peradilan Adat. Istilah “hukum yang hidup” dapat kita interprestasikan sebagai istilah lain dari pada hukum Adat. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang ini menghapus Peradilan Adat dan Peradilan swapraja dengan menggantikannya dengan peradilan negara (Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara). Nasib Pengadilan Adat dan Pengadilan desa berbanding terbalik, jika Peradilan Adat dengan dikeluarkannya UU Darurat Nomor 1/1951 kedudukannya dihapus, namun sebaliknya bagi Peradilan Desa keberadaannya diakui dan masih dipertahankan. Dalam pasal 1 ayat (3) UU Darurat Nomor 1/1951 : “Ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak sedikitpun juga mengurangi hak- kekuasaan yang sampai selama ini telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 3a Rechterlijke Organisatie”. Pasal 1 ayat (3) UU Darurat Nomor 1/1951 mengakui kekuasaan (dorpsjustitie
atau
dorpsrechter)
yaitu
hakim-hakim
perdamaian
dalam
masyarakat-masyarakat hukum ada sebagaimana diatur dalam pasal 3a
140
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Rechterlijke Organisatie. Hakim-hakim sebagaimana dijelaskan diatas sering disebut sebagai hakim desa.276 Menurut ketentuan pasal 3a Rechterlijke Organisatie, Hakim desa berwenang tidak hanya mendamaikan suatu perkara Adat tetapi juga dapat memeriksa dan memutuskan segala perkara ataupun sengketa yang menurut hukum Adat (tanpa membedakan antara hukum pidana, perdata, publik dan privat). Jadi dengan demikian hakim desa berwenang memeriksa segala perkara Adat termasuk perkara Delik Adat (Tindak Pidana Adat). Dalam prakteknya diberbagai daerah hakim desa berwenang memeriksa Delik-Delik Adat, Delik Adat yang dimaksud adalah Delik Adat yang tidak memiliki bandingnya dalam KUHP, seperti : perawan bunting, incest dan delik-delik yang mengganggu keseimbangan suatu masyarakat Adat. Dikaji dari perspektif normatif, teoretis, asas dan praktik dimensi dasar hukum dan eksistensi keberlakukan Hukum Pidana Adat bertitik tolak berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Adapun bunyi ketentuan pasal 5 ayat (3) sub b adalah sebagai berikut : “ Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktupun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh pengadilan Adat, Adat tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian : − Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukum Adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan dasar kesalahan terhukum. − Bahwa bilamana hukuman Adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksudkan di atas , maka atas kesalahan terdakwa dapat 276
Hakim Desa adalah suatu lembaga desa yang kehadirannya dalam masyarakat hukum Adat merupakan suatu conditio sine quanon (merupakan alat pelengkap) kekuasaan desa selama desa itu sanggup mempertahankan wajah aslinya dan sifat-sifat istimewanya sebagai kesatuan sosial, politik, ekonomi yang dapat berdiri sendiri.
141
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
−
dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman Adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan jaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas. bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman sama dengan hukuman. bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana tersebut”
Ada 3 (tiga) konklusi dasar dari ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UndangUndang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, yaitu : 1.
Bahwa Tindak Pidana Adat yang tiada bandingan atau padanan dalam KUHP dimana sifatnya tidak berat atau dianggap Tindak Pidana Adat yang ringan ancaman pidananya adalah pidana penjara dengan ancaman paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman Adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum.
2.
Bahwa Tindak Pidana Adat yang ada bandingnya dalam KUHP maka ancaman pidananya sama dengan ancaman pidana yang ada dalam KUHP.
3.
Bahwa sanksi Adat sebagaimana ketentuan konteks di atas dapat dijadikan pidana pokok atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perbuatan yang menurut hukum yang hidup (living law) dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya dalam KUHP sedangkan tindak pidana yang ada bandingnya dalam KUHP harus dijatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan KUHP.
Nilai yang terkandung dalam pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat 1951, yaitu adanya kehendak menghilangkan kedudukan Hukum Pidana Adat dalam peraturan hukum pidana. Berlakunya KUHP secara unfikasi untuk seluruh golongan masyarakat, mendesak keberadaan Hukum Pidana Adat karena legalistis daripada KUHP. Menanggapi hal tersebut Otje Salman Soemadiningrat berpendapat, Hukum Pidana Adat berikut sanksi-saksi Adat diupayakan untuk dihapuskan dari sistem hukum di Indonesia dan digantikan oleh peraturan
142
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
perundang-undangan sehingga dimaksudkan agar prosedur penyelesaian perkara pidana umumnya disalurkan melalui peradilan Umum.277
5.2.3
Hukum Pidana Adat dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, yang dapat dijadikan dasar untuk melembagakan (mengatualisasikan) Hukum Pidana Adat, dalam praktek peradilan yaitu terdapat dalam beberapa ketentuan pasal yaitu sebagai berikut : Pasal 5 ayat (1) “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Pengakuan keberadaan Hukum Adat (Hukum Pidana Adat) hal ini dapat dilihat dari frase “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Ketentuan pasal ini menghendaki hakim sebagai aparat penegak hukum dalam mengadili perkara (yang termasuk perkara Adat) diwajibkan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum Adat. Dilihat dari penjelasan undang-undang ini, hal ini disebabkan karena dalam masyarakat Indonesia masih mengenal hukum tidak tertulis. Oleh sebab itu diharapkan hakim untuk mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Pasal 10 ayat (1) “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya” Pasal ini menghendaki keberadaan hukum Adat dilihat dari frase “hukum tidak ada atau kurang jelas”, Melihat dari asas peradilan bahwa hakim tidak dapat menolak perkara serta hakim yang berkedudukan tahu hukum, maka apabila dalam peraturan perundang-undangan tertulis tidak terdapat pengaturan mengenai 277
Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, Op.Cit, hal.31.
143
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
persoalan yang ada, maka diharapkan pengadilan dalam hal ini hakim untuk menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat (lihat ketentuan pasal 5 ayat (1)), sehingga tidak ada persoalan hukum apapun yang tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan. Pasal 50 ayat (1) “Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.” Ketentuan pasal 50 ayat (1) menjelaskan bahwa sumber hukum tidak tertulis dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk mengadili dan memutuskan suatu perkara. Sumber hukum tidak tertulis memiliki kedudukan yang setara dengan sumber hukum yang tertulis, hal ini dapat dilihat dari frase “peraturan perundangundangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”, Kata “atau” inilah yang menunjukan kesetaraan antara sumber hukum tertulis dan tidak tertulis.
5.2.4
Hukum Pidana Adat dalam Peraturan Daerah (Perda) Pengaturan tentang masyarakat hukum Adat termasuk hukum Adat beserta
ketentuan Hukum Pidana Adat tersebar dalam beberapa Peraturan Daerah, Pada umumnya kedudukan masyarakat hukum Adat disuatu daerah terdapat pengaturannya dalam Peraturan Daerah, diantaranya antara lain : -
Peraturan daerah kabupaten Gunung Mas Nomor 33 Tahun 2011 Tentang kelembagaan Adat dayak di kabupaten Gunung Mas, bahkan keberadaan kelembaga Adat dayat ditunjang oleh Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayat di Kalimantan Tengah.
-
Peraturan Daerah Khusus Papua Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Peradilan Adat di Papua;
-
Peraturan Daerah Kabupaten Banggai Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
144
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Pemberdayaan, Pelesatarian, Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat Banggai; -
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pekraman Jo. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Tentang Desa Pekraman. Dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur eksistensi
keberadaan Lembaga masyarakat Adat. Keberadaan Lembaga Adat yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Adat memiliki peran penting bagi kehidupan dan keberadaan suatu masyarakat hukum Adat sebagai bagian dari komitmen Kebangsaan yang berbhineka Tunggal Ika, sehingga perlu dilestarikan, dikembangkan, dan diberdayakan dengan memberikan kedudukan, kewenangan, tugas, fungsi, dan peranan yang memadai dengan dukungan dan bantuan kelembagaan masyarakat Adat (seperti Lembaga Adat dayat, Desa pekraman, dan sebagainya), sehingga sesuai dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan daerah otonomi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada umumnya alasan sebagaimana dijabarkan diatas dijadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam membentuk Peraturan Daerah guna mengatur keberadaan kelembagaan Adat.278 Bahkan Keberadaan Kelembagaan Adat diinstruksikan oleh ketentuan Pasal 2 ayat (9) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Dimana Adat istiadat dan lembaga Adat diakui Keberadaannya dan mempunyai peranan dalam kehidupan masyarakat luas dan tumbuh berkembang di daerah-daerah, berkualifikasi sebagai nilai-nilai dan ciri-ciri budaya serta kepribadian bangsa yang perlu diberdayakan. Selain keberadaan Adat istiadat, kelembagaan Adat, peradilan Adat yang merupakan bagian dari masyarakat Adat yang berfungsinya menyelesaikan perkara atau 278
Lihat pembukaan Peraturan daerah kabupaten Gunung Mas Nomor 33 Tahun 2011 Tentang kelembagaan Adat dayak di kabupaten Gunung mas, dalam pembukaannya menimbang point a. “bahwa Lembaga Kedamangan di Kabupaten Gunung Mas yang hidup, tumbuh dan berkembang memiliki peran penting bagi kehidupan dan keberadaan Masyarakat Adat Dayak sebagai bagian dari komitmen kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika, sehingga perlu dilestarikan, dikembangkan dan diberdayakan dengan memberikan kedudukan, kewenangan, tugas, fungsi dan peranan yang memadai dengan didukung dan dibantu oleh kelembagaan Adat Dayak lainnya, sehingga sesuai dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan daerah otonom dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
145
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
sengketa Adat juga dibuatkan Perda, seperti dalam Peraturan Daerah Khusus Papua Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di Papua. Pengakuan terhadap lembaga Adat secara otomatis mengakui keberadaan hukum Adat dan tidak terkecuali Hukum Pidana Adatnya. Sebenarnya tujuan dan maksud pembuat peraturan daerah yang mengakui Keberadaan Lembaga Adat adalah untuk pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan Adat istiadat adalah untuk meningkatkan peran nilai-nilai Adat istiadat dalam menunjang kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, kelangsunagn pembangunan dan peningkatan Ketahanan Nasional serta mendorong kesejahteraan masyarakat setempat.279 Salah satu bentuk pengakuan negara dalam arti pemerintah daerah terhadap keberadaan masyarakat Adat dapat dilihat, dari pengakuan keberadaan masyarakat Adat Bali atas adanya kelembagaan Adat yaitu Desa Adat/Desa Pekraman280 oleh pemerintah daerah provinsi Bali. Bahkan Lembaga Adat memiliki fungsi sebagai badan hukum yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan perkara-perkara Adat berupa pelanggaran atau sengketa Adat.281 Tidak hanya pelanggaran Adat (delik Adat) yang dapat diselesaikan oleh lembaga-lembaga Adat, namun dimungkinkan juga perkara-perkara pidana umum diselesaikan oleh lembaga Adat, seperti apa yang termaktub dalam ketentuan pasal 8 huruf c Peraturan daerah kabupaten Gunung Mas Nomor 33 Tahun 2011 Tentang kelembagaan Adat dayak di kabupaten Gunung Mas, Damang Kepala Adat bertugas : “menyelesaikan perselisihan dan atau pelanggaran Adat, dimungkinkan juga masalah-masalah yang termasuk dalam perkara pidana, baik dalam pemeriksaan 279
Ketentuan Pasal 5 Peraturan Daerah Kabupaten Banggai Nomor 1 tahun 2008 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan Adat IstiAdat dan Lembaga Adat Banggai. 280 Menurut ketentuan pasal 1 angka 4 Perda Nomor 3 Tahun 2001 Jo. Perda Nomor 3 Tahun 2003, Desa Pekraman adalah kesatuan masyarakat hukum Adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. 281 Lihat ketentuan Pasal 10 huruf c Peraturan Daerah Kabupaten Banggai Nomor 1 tahun 2008 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan Adat IstiAdat dan Lembaga Adat Banggai. Lembaga Adat mempunyai hak dan wewenang, yaitu : Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut masalah Adat istiAdat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaian itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Desa Pekraman dibali juga memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa-sengketa Adat dan agama (Ketentuan Pasal 6 huruf a Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pekraman Jo. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Tentang Desa Pekraman.
146
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
pertama maupun dalam sidang penyelesaian terakhir sebagaimana lazimnya menurut Adat yang berlaku. Sebenarnya beberapa lembaga Adat juga memiliki fungsi yang sama dengan Damang kepala Adat menyelesaikan perkara pidana umum, seperti pencurian dalam keluarga, perkelahian dalam keluarga yang diselesaikan secara intern secara perdamaian oleh tetua Adat. Bahkan suatu lembaga Adat memiliki suatu kewenangan untuk membentuk suatu aturan hukum Adat, yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat hukum Adat. Sebagai contoh Salah satu tugas Desa Pekraman menurut Pasal 5 huruf a Perda Nomor 3 Tahun 2001 Jo. Perda Nomor 3 Tahun 2003 ialah Membuat awig-awig. Dalam awig-awig inilah berada ketentuan-ketentuan mengenai Hukum Adat yang salah satunya mengatur mengenai ketentuan Pidana Adat Bali, yaitu mengatur mengenai bentuk-bentuk Tindak Pidana Adat Bali maupun pemidanda (sanksi Adat). 5.3
Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional Hukum Adat merupakan hukum yang tidak tertulis dalam Perundang-
undangan Republik Indonesia. Namun hubungan antara Hukum Adat dengan Peraturan Perundang-undangan tertulis tidak dapat dipisahkan begitu saja. Didalam KUHP kita masih terdapat kekosongan-kekosongan dalam peraturan ketentuan-ketentuan pidana yang baru, yang lebih sesuai dan serasi dengan aspirasi dan tuntutan hati nurani yang hidup dan berakar dalam masyarakat dan sejalan pula dengan pertumbuhan cita-cita sosial dan ekonomi dalam pembangunan masyarakat Indonesia. Disini ada hubungan erat antara UndangUndang dengan masyarakat sangat erat, dan kedua-duanya sama sekali tidak dapat dipisahkan. Undang-Undang tanpa masyarakat sama sekali tidak ada gunanya, dan masyarakat tanpa Undang-Undang akan menimbulkan kekacauan. Dengan Undang-Undang dapat diatur masyarakat, dicegah kezaliman, dijamin hak-hak manusia, dan dijalankan keadilannya.282 Didalam KUHP tidak terdapat satupun 282
Abdul Gani Karim, Pengaruh Agama Islam Terhadap Hukum Pidana Nasional, Makalah dalam Symposium Pengaruh Kebudayaan/Agama Terhadap Hukum Pidana yang diselenggarakan dalam kerjasama Badan Pembinaan Hukum Nasional dengan Fakultas Hukum & Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana di Denpasar, 17-19 Maret 1975, hlm.1.
147
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
pasal yang mengatur kedudukan Hukum Adat khususnya mengenai Delik Adatnya. Padahal penerapannya dalam masyarakat di Indonesia berfungsi dengan baik sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat Adatnya. Eksistensi Delik Adat (Hukum Pidana Adat) tidak diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang diberlakukannya Wetboek van Strafrescht (WvS) voor Nederlands Indie, sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional. Hal dilihat dari adanya pengaturan asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang merumuskan “Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Berarti disini suatu perbuatan yang dipandang oleh masyarakat Adat sebagai suatu perbuatan tercela, tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana dan diancam pidana kalau tidak diatur oleh Undang-Undang. Sehingga dapat dikatakan KUHP hanya mengakui hukum pidana yang tertulis saja, yaitu ketentuan tindak pidana dan ancaman pemidanaan yang diatur oleh UndangUndang saja, sedangkan Tindak Pidana Adat beserta sanksinya tidak diakui karena tidak diatur oleh undang-undang. Hukum Pidana Adat adalah suatu aturan yang mengatur suatu perbuatanperbuatan mana yang dinyatakan melanggar perasaan masyarakat yang menimbulkan ketidakseimbangan dalam masyarakat. Peran Hukum Pidana Adat untuk mengatur supaya masyarakat terjamin perasaan hukum masyarakatnya. Sehingga dapat dikatakan Delik Adat berperan penting dalam kehidupan masyarakat. KUHP sebagai aturan hukum pidana tidak mengakomodasikan Delik Adat didalamnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa Undang-Undang merupakan alat yang diwujudkan masyarakat, maka apabila alat tersebut tidak dapat melayani kebutuhan masyarakat, maka alat tersebut akan menimbulkan atau memancing timbulnya kerusakan terhadap pribadi-pribadi anggota masyarakat, oleh karena itu aturan tersebut harus dibuang jauh atau tidak lagi dipergunakan.283 Oleh karenanya Pembaharuan hukum pidana di Indonesia, telah dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang mendesak, sebagai akibat KUHP yang selama ini diberlakukan merupakan produk hukum peninggalan kolonial (Wetboek van Strafrecht) yang 283
Ibid, hal.2.
148
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
dinyatakan berlaku sebagai hukum positif di Indonesia belum menjamin kedudukan Hukum Pidana Adat. Pembaharuan hukum pidana meliputi 3 alasan yaitu : 1.
Alasan politis (kebanggaan nasional untuk memiliki KUHP sendiri),
2.
Alasan sosiologis (merupakan tuntutan sosial untuk memiliki KUHP yang bersendikan sistem nilai nasional) dan,
3.
Alasan praktis (adanya KUHP yang asli berbahasa Indonesia). Selain ketiga alasan tersebut di atas, masih terdapat pula alasan yang tidak
kalah pentingnya, yaitu alasan adaptif, yakni KUHP nasional mendatang hendaknya dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan baru, khususnya perkembangan internasional yang telah disepakai oleh masyarakat beradab.284 Pertimbangan lain, sebagai persoalan yang bersifat mendasar adalah hal-hal menyangkut heterogenitas kultur serta pluralisme hukum dalam masyarakat Indonesia baik yang bersifat hukum Adat maupun yang bersifat religius yang mempunyai pengaruh terhadap hukum pidana. Keberadaan hukum Adat dalam beberapa daerah di Indonesia tidak dapat dikesampingkan. Dimana pengaruh-pengaruh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat harus mencerminkan suatu produk hukum di Indonesia (KUHP). Oleh sebab itu Keberadaan Hukum Adat (Hukum Pidana Adat) harus diakomodasikan kedalam pembaharuan KUHP kedepan. Proses ini nampak dalam pemikiran Konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Nasional dari konsep yang pertama tahun 1964 sampai konsep terakhir tahun 2012. Sejak Konsep RKUHP Nasional yang pertama, Hukum Pidana Adat selalu mendapat tempat atau perhatian untuk dibahas pemberlakuannya. Dalam Konsep Rancangan KUHP Nasional tahun 2012 eksistensi Hukum Pidana Adat diatur dalam beberapa ketentuan pasal, sebagai berikut : Pasal 2 ayat (1) “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 1ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa 284
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia Dimasa Datang, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, 1990, hlm. 3
149
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
seorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.” Pasal 2 ayat (2) “Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsipprinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.” Ketentuan tersebut menunjukkan adanya perluasann asas legalitas, yaitu disamping asas legalitas formil (Pasal 1 ayat (1) RKUHP) diakui juga asas legalitas materiil, yang bersumber dari ketentuan hukum yang hidup (the living law) sebagai landasan hukum. Diakuinya Hukum Pidana Adat tersebut sesuai dengan ajaran sifat melawan hukum materiil, baik dalam fungsinya yang positif maupun negatif. Dalam fungsinya yang positif, suatu perbuatan dianggap tetap menjadi suatu tindak pidana meskipun tidak nyata diancam dengan pidana oleh undang-undang, asalkan menurut hukum yang hidup dianggap sebagai tindak pidana. Dalam hal ini Hukum Pidana Adat menjadi sumber hukum yang positif. Sebaliknya dalam fungsinya yang negatif, Hukum Pidana Adat menjadi sumber hukum yang negatif dalam arti ketentuan-ketentuan Hukum Pidana Adat bisa menjadi alasan pembenar, alasan meringankan pidana atau alasan memperberat pidana. Disamping secara tegas Hukum Pidana Adat diberi ruang sebagai salah satu sumber hukum, dalam penyusunan Konsep KUHP Nasional yang tercermin dalam rumusan tindak pidana, tujuan pemidanaan, ketentuan sanksi dan penentuan kebijakan hukum pidana lainnya juga menyerap dan mengadaptasi asas-asas dan sistem nilai yang bersumber dari ketentuan hukum yang hidup (Hukum Pidana Adat). Pasal 54 ayat (1) Tujuan pemidanaan bertujuan: a. b. c. d.
Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman mesyarakat; Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
150
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Eksistensi dari pada hukum Adat (hukum pidana) Nampak dalam ketentuan tujuan pemidanaan, yaitu point (c) menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Kita ketahui bersama sistem hukum Adat berlandaskan pada nilainilai yang terkandung dalam masyarakat dengan bercirikan asas kekeluargaan, religius magis, komunal yang bertitik tolak pada keadilan secara bersama. Konsekuensinya penyelesaian suatu perkara dalam masyarakat Adat berlandaskan pada upaya penyelesaian yang bertujuan pada keselarasan, kerukunan dan kebersamaan. Tegasnya Hukum Pidana Adat lebih mengedepankan eksistensi pemulihan kembali keadaan terguncang akibat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku. Menurut Soepomo menyebutkan bahwa tujuan dijatuhkannya sanksi Adat bukanlah bersifat pembalasan akan tetapi memulihkan perimbangan hukum yang terganggu dengan terjadinya suatu pelanggaran delik. Point (c) dari Pasal 54 ayat (1) ini mencerminkan tujuan pemidanaan sebagaimana prinsip dari tujuan pemidanaan dalam hukum Adat. Pasal 55 ayat (1) Dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Kesalahan pembuat tindak pidana; Motif dan tujuan melakukan tindak pidana; sikap batin pembuat tindak pidana; Tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan; Cara melakukan tindak pidana; Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; Riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana; Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Dalam ketentuan pasal ini, hakim dalam memutuskan suatu perkara pidana harus memperhatikan dimensi legal justice, moral justice dan social justice. Point 1 sampai dengan point 5 merupakan anasir (pertimbangan) yang bersifat legal justice, untuk point 6 samapi dengan 9 merupakan pertimbangan hukum yang
151
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
bersifat Moral Justice, dan untuk pertimbangan Social Legal ada dalam pint 10 dan 11. Point 10 dan 11 merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam pendekatan Restorative Justice. Dimana dalam pendekatan ini diperlukan adanya peran serta korban (beserta keluarganya) dalam hal ini permohonan maafnya serta adanya peran serta dari pihak ketiga (pandangan masyarakat) dalam mempertimbangkan suatu pemidanaan. Pendekatan Restorative Justice berakar daripada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia (hukum Adat).
(1)
(2) (3)
Pasal 67 Pidana tambahan terdiri atas: a. pencabutan hak tertentu; b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c. pengumuman putusan hakim; d. pembayaran ganti kerugian; dan e. pemenuhan kewajiban Adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain. Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban Adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana.
Ketentuan yang paling jelas mengadopsi nilai-nilai hukum Adat tampak dalam Pasal 67, dimana salah satu jenis pidana tambahan yaitu pemenuhan kewajiban Adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Penjatuhan hukuman kewajiban Adat dikenakan terhadap suatu tindak pidana yang dikategorikan sebagai tindak pidana Adat (Pasal 2 ayat (1) dan (2) RKUHP). Eksistensi adanya penjatuhan pidana tambahan dimaksudkan untuk menambah pidana pokok yang dijatuhkan dan pada dasarnya bersifat fakultatif. Tegasnya hakim bebas dalam menentukan pidana tambahan baik bersama dengan pidana pokok atau sebagai pidana berdiri sendiri atau juga dijatuhkan bersamasama dengan pidana tambahan lain, meskipun tidak dicantumkan sebagai ancaman dalam rumusan tindak pidana. Konsekuensi logis diakui dan adanya dasar hukum yang tegas eksistensi hukum yang hidup (Hukum Pidana Adat) akan memberikan tugas, tanggung jawab dan beban relatif lebih berat kepada hakim untuk lebih dapat memahami
152
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hakim harus benar-benar memahami perasaan masyarakat, keadaan masyarakat, terlebih masyarakat Indonesia yang majemuk dengan pelbagai macam Adat istiadat, tradisi dan budaya yang berbeda-beda yang tetap dipertahankan sebagai hukum yang hidup. Soedarto menyebutkan bahwa mata, pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat menangkap apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, agar supaya keputusannya tidak kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh kepribadiannya harus bertanggung jawab atas kebenaran putusannya baik secara formal maupun materiil. (1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 100 Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) hakim dapat menetapkan pemenuhan kewajiban Adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Pemenuhan kewajiban Adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang diutamakan, jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Kewajiban Adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda Kategori I dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban Adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana. Pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat juga berupa pidana ganti kerugian.
Ketentuan pasal 100, merupakan pedoman pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban Adat. Pidana berupa pemenuhan kewajiban Adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dianggap setara atau sebanding dengan pidana denda Kategori I dengan besaran sejumlah Rp. 1. 500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) dan jikalau pidana berupa pemenuhan kewajiban Adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat tidak dilaksanakan terpidana maka dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda yang dapat berupa pidana pengganti kerugian. Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban Adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang
153
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
hidup dalam masyarakat di dalam konsep RKUHP merupakan salah satu aspek perlindungan terhadap korban dimana jenis pidana ini pada dasarnya dapat juga dilihat sebagai bentuk pemberian ganti rugi kepada korban. Hanya saja yang menjadi korban di sini adalah masyarakat Adat.
5.4 Hukum Pidana Adat dalam Konvensi Internasional Pengakuan terhadap Hukum Adat (Hukum Pidana Adat) diatur dalam Konvensi ILO (International Labour Organization) 169 tentang Masyarakat Adat. Pada Tahun 1989, ILO mengadopsi konvensi 169, yang kemudian telah diratifikasi oleh 20 negara (termasuk Indonesia). Adapun tujuan konvensi ini ialah untuk semakin meningkatan perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Adat termasuk pengakuan terhadap keberadaan Hukum Adatnya. Banyak Masyarakat Adat memiliki Adat istiadat dan kebiasaan sendiri yang berasal dari Hukum Adat mereka. Hukum Adat yang sudah bertahun-tahun hingga berabad-abad berfungsi menjaga kerukunan hidup dalam Masyarakat Adat. Dalam memberlakukan Adat istiadanya dan kebiasaan-kebiasaan tersebut, Masyarakat Adat telah memiliki struktur lembaga sendiri, seperti lembaga peradilan dan administrasi. Contoh : Di Bali masih hidup Hukum Adat Bali dengan kebiasaankebiasaan maupun Adat istiadat yang telah diatur dalam Hukum Adatnya (Dresta) yang pada perkembangannya tercatat dalam suatu Awig-awig. Terhadap Lembaga Adatnya di Bali terdapat Banjar, Desa Pekraman yang berfungsi sebagai lembaga peradilan (perdamaian) maupun administrasinya. Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat terhadap sistem Hukum Adat maupun Hukum Adatnya termasuk Hukum Pidana Adat, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan (2) Konvensi ILO 168, yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 8 ayat (1) “Dalam memberlakukan peraturan perundang-undangan pada masyarakat yang bersangkutan, harus ada kepedulian atas Adat istiadat atau Hukum Adat mereka”. Pasal 8 ayat (2) “Masyarakat berhak untuk mempertahankan Adat istiadat dan lembaga mereka. Semua ini harus tidak bertentangan dengan hak-hak mendasar yang ditentukan dalam sistem hukum nasional serta hak asasi manusia yang
154
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
diakui secara internasional. Prosedur-prosedurnya pun harus ditetapkan untuk mengatasi perselisihan yang dapat ditimbul dalam penerapan prinsip ini”. Menurut Pasal 8 ayat (2) Konvensi 169, kedudukan Adat istiadat dan institusi yang tidak selaras dengan hak-hak mendasar yang ditetapkan dalam sistem hukum nasional yang dikecualikan dari prinsip-prinsip yang terkandung dalam pasal 8 ayat (1). Ketentuan ini menetapkan kriteria pengecualian yakni (a) Adat istiadat tidak selaras dengan baik, (b) peraturan perundang-undangan nasional maupun ketentuan internasional hak-hak asasi manusia. Dengan demikian, ketentuan hukum nasional yang tidak selaras dengan hak-hak yang diakui dalam hukum internasional hak-hak asasi manusia tidak dapat dipergunakan sebagai alasan untuk membenarkan penolakan terhadap Adat istiadat masyarakat dalam pemberlakuan peraturan perundang-undangan nasional. Sebaliknya, Adat istiadat masyarakat tidak dibenarkan bila bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Misalnya : Delik Manak Salah.285 Konvensi ILO 169, juga menghargai keberadaan penghukuman tradisional. Pengakuan terhadap metode penghukuman tradisonal diatur dalam ketentuan pasal 9 dan 10 Konvensi ILO 169. (1)
(2)
(1)
Pasal 9 Selaras dengan sistem hukum nasional dan hak asasi manusia yang diakui secara internasional, metode yang biasa dipakai oleh masyarakat yang mengatur tentang pelanggaran yang dilakukan anggota Masyarakat Adat harus dihargai. Adat istiadat yang berhubungan dengan masalah hukum masyarakat ini harus dipertimbangkan oleh pemerintah dan pengadilan. Pasal 10 Dalam memberlakukan hukuman yang ditetapkan dalam hukum umum atas anggota masyarakat ini, pertimbangan harus diberikan atas tata perekonomian, sosial, dan budaya mereka.
285
Manak Salah merupakan istilah kelahiran anak kembar beda jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), dari kalangan rakyat biasa di Bali. Dikalangan masyarakat Adat Bali (dari sudut pandang agama hindu), kelahiran ini dianggap tidak wajar, karena dianggap Ngeletehin Gumu (mengganggu keseimbangan sekala (alam nyata) dan Niskala (alam gaib), sehingga menimbulkan Kecuntakan (keadaan yang tidak suci dari sudut agama hindu). Dalam perkembangnnya Manak Salah telah dihapuskan melalui Konsideran Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Bali Nomor : 10/1951. Lihat (Wayan P. Windia, Menyoal Awig-Awig Eksistensi Hukum Adat dan Desa di Bali, (Denpasar : Penerbit Lembaga Dokumentasi dan Publikasi FH. Unud, 2008), hal.106-108.
155
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
(2)
Harus ada bentuk hukuman lain selain pemenjaraan.
Ketentuan pasal 9 ayat (1), menyerukan agar negara berkewajiban untuk menghargai metode penghukuman tradisional Masyarakat Adat terhadap pelaku Tindak Pidana Adat dan pelanggaran lainnya, dengan pertimbangan harus selaras dengan sistem hukum nasional dan hukum nasional serta hak-hak asasi manusia. Keselarasan dengan sistem hukum nasional tidak terbatas pada masalah kesesuaian hukum substanti, karena bisa saja tidak selaras dengan sistem administrative hukum di negara yang bersangkutan, Banyak Masyarakat Adat menyelesaikan perkara-perkara kecil yang dilakukan oleh warganya tanpa campur tangan negara. Namun terhadap perkara yang berat tetap diselesaikan melalui proses hukum nasional. Ketentuan Pasal 9 ayat (2), diartikan bahwa pemerintah dan pengadilan harus mempertimbangkan cara-cara penghukuman tradisonal Masyarakat Adat dalam menyelesaikan suatu perkara Adat. Konsep ini sebenarnya sudah diakomodasikan dalam ketentuan pasal 67 RKUHP 2012, mengenai pidana tambahan. Dimana salah satu macam pidana tambahan ialah pemenuhan kewajiban Adat. Terhadap ketentuan pasal 10 ayat (2), berarti harus ada pilihan alternatif terhadap bentuk hukuman selain penjara. Konsep pasal ini mengandung nilai-nilai paham Abolisonisme yang menghendaki tidak adanya suatu pidana penjara. Selain Konvensi ILO 169, pengakuan Hukum Adat (Hukum Pidana Adat) juga terdapat pada Kongres PBB V tahun 1975 yang mengambil topik Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, dihimbau pentingnya perubahan terhadap sistem hukum pidana yang sudah ketinggalan zaman dan yang tidak sesuai dengan kenyataan dan tidak berakar pada nilai-nilai budaya masyarakat. Himbauan ini lebih ditujukan pada usaha untuk melakukan pemikiran ulang terhadap keseluruhan kebijakan kriminal (to rethink the whole of criminal policy).286 Hal ini menghendaki adanya upaya-upaya untuk mengkaji dan menggali nilai-nilai keadilan dan Hukum Adat yang hidup dalam masyarakat 286
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 117.
156
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
dalam upaya pembaharuan hukum pidana kedepan. Pemikiran ini juga mendapat dukungan, seperti dari Roeslan Saleh :287 “…..Hal keberlakuan Hukum Adat khususnya, perlu mendapat perhatian. Ada hal yang memang dapat disusun dan akhirnya disistematik sedemikian rupa, sehingga berlaku sebagai bagian dari hukum pidana keseluruhan, yaitu yang dapat dimasukan ke dalam hal-hal yang meniadakan kesalahan tersangka atau terdakwa, ataupun hal-hal yang akhirnya membenarkan perbuatan tersangka atau terdakwa, hal-hal yang dalam ajaran hukum pidana termasuk dalam ajaran melawan hukum materiil dan ajaran kesalahan”.
287
Roeslan Saleh, Perkembangan Pokok-pokok Pikiran dalam Konsep KUHP Baru, Makalah, Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, Universitas Diponegoro, Semarang, 3-15 Desember 1995.
157
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
BAB 6 MEDIASI PENAL PENERAPAN NILAI-NILAI RESTORATIVE JUSTICE DALAM MENYELESAIKAN TINDAK PIDANA ADAT BALI 6.1. Lembaga Adat Bali Lembaga Adat adalah sebuah organisasi kemasyarkatan baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam suatu masyarakat hukum Adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas kekayaan di dalam wilayah Adat tersebut serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai masalah kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada Adat istiadat dan hukum yang berlaku.288 Secara yuridis kedudukan Lembaga-Lembaga Adat sangat kuat karena mendapat pijakan pada pasal 18B ayat (2) UUD 1945.289 Untuk mengetahui suatu ketentuan maka kita harus mengetahui badanbadan Persekutuan Adat atau lembaga Adat yang berfungsi menyelesaikan suatu sengketa atau pelanggaran Adat. Soepomo menyatakan “untuk mengetahui hukum (Hukum Adat), maka terutama perlu diselidiki buat waktu apabilapun dan didaerah mana jugapun, sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu, hidup sehari-hari.290 Susunan badan-badan
Persekutuan
hukum291
dalam
suasana
kerakyatan,
harus
dikemukakan dalam tiap-tiap uraian tentang hukum Adat292 termasuk dalam menguraikan Hukum Pidana Adat termasuk juga bagaimana mekanisme penyelesaian perkara-perkara Adat. Oleh karenanya untuk memahami dan 288
Ketentuan Pasal 1 Huruf e Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1997 Tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat IstiAdat, Kebiasaan-Kebiasaan masyarakat dan Lembaga Adat di Daerah 289 Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang”. 290 Soepomo, Op.Cit, hlm.49. 291 Persekutuan hukum diartikan sebagai pergaulan hukum dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai satu kesatuan terhadap dunia luar dan batin, mempunyai tata susunan yang tetap kekal dan kekal, mempunyai pengurus sendiri, harta benda sendiri baik milik keduniawian maupun milik gaib. (Ter Haar dalam I Ketut Wirta Griadhi, I Nyoman Sirtha dan I Made Suasthawa, Subak dalam perspektif Hukum, dalam Subak Sistem Irigasi Tradisional di Bali Sebuah Canangsari, (Denpasar : Upada Sastra, 1993), hlm. 70.) 292 Soepomo, Loc.Cit.
158
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
mengatahui mekanisme penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali maka sudah sepatutnya memahami masyarakat hukum Adat bali dan termasuk juga lembagalembaga Adatnya. Masyarakat Hukum Adat (persekutuan hukum Adat/Lembaga Adat) secara garis besar dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu : 1.
Persekutuan Adat yang didasarkan atas azas kedaerahan atau territorial;
2.
Persekutuan Adat yang didasarkan atas azas genealogis atau keturunan; dan
3.
Persekutuan Adat yang didasarkan atas kepentingan bersama.
Dalam Masyarakat Adat Bali, persekutuan Adat yang didasari atas azas kedaerahan dapat dilihat dalam Desa (Desa Adat, Desa pekraman). Untuk persekutuan Adat atas azas keturunan dapat dilihat dalam sekeha dadia.293 Dan untuk persekutuan Adat yang didasari atas kepentingan bersama dapat dilihat dalam subak,294 sekaa.295 Jadi dapat dikatakan masyarakat Hindu Bali tidak hanya 293
Sekeha dadia merupakan bentuk persekutuan hukum Adat yang dilandasi atau didasari oleh kesamaan wit (asal) berdasarkan kesamaan leluhur. Sekeha dadia terikat oleh suatu tempat persembahyangan bersama yang merupakan tempat roh leluhur mereka bersemayam (pura dadia, sanggah gede). Sebagai persekutuan hukum Adat sekeha dadia memiliki aturan-aturan (awigawig) yang dibuat oleh dan mengikat kelompok dadia tersebut. (Wayan P. Windia & Ketut Sudantra, Op.Cit, hlm.71-72) 294 Geertz memberikan definisi mengenai subak sebagai areal persawahan yang mendapatkan air irigasi dari satu sumber. (I Gede Pitana, Subak, Sistem Irigasi Tradisional di Bali, dalam Subak Sistem Irigasi Tradisional di Bali Sebuah Canangsari, (Denpasar : Upada Sastra, 1993), hlm. 1) tidak hanya diartikan sebagai arela persawahan saja subak tersebut. Namun dapat diartikan sebagai suatu organisasi (persekutuan hukum), Menurut ketentuan pasal 4 Peraturan Daerah Bali No. 2/DPRD/1972, yang disebut pajak adalah Masyarakat Hukum Adat yang bersifat sosio-agraris-religius yang secara histories didirikan sejak dahulukala dan berkembang terus sebagai organisasi penguasa tanah dalam bidang pengaturan air dan lain-lain untuk persawahan dari suatu sumber air didalam suatu daerah. Perwujudan dari filosofi tri hita karana juga ditemukan dalam organisasi subak. Dimana ditemukan pura-pura sebagai tempat memuja Tuhan seperti pura ulun carik, pura ulunsuwi (perhyangan), lahan pertanian (pelemahan), dan adanya krama carik atau krama subak (pawongan). Sebagai suatu organisasi atau persekutuan hukum pastilah memiliki suatu struktur sendiri yang memiliki kelengkapan berupa pengurus dan anggotanya. Pada umumnya pengurus subak antara satu subak dengan subak lainnya sama, Pengurus subak terdiri atas : 1. kelihan subak (pekaseh) (ketua subak); 2. petajuh atau Pangliman (wakil ketua); 3. penyarikan (sekretaris); 4. Patengen atau juru raksa (Bendahara); 5. Juru arah atau kasinoman (Penyalur Informasi), dan 6. Saya (pembantu Khusus. (Wayan P.Windia & Ketut Sudantra, Op.Cit, hlm.64), Dalam subak juga terdapat aturanaturan (awig-awig) yang dibuat oleh anggota subak berdasarkan musyawarah mufakat melalui
159
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
terikat pada satu persekutuan Adat tetapi terikat dengan 3 bentuk persekutuan Adat yaitu : pada desanya (Desa Adat/Desa Pekraman), terikat pada kesatuan keturunannya (dadia) dan terikat pada persekutuan atas kepentingan bersama seperti subak, sekaa.296 Adapun Lembaga Adat yang berperan dalam menyelesaikan suatu sengketa atau pelanggaran Adat di Bali, adalah : 1.
Desa Pekraman. Di Provinsi Bali dikenal 2 (dua) bentuk desa yang mempunyai fungsi,
sistem atau struktur organisasi yang berbeda-beda. Dua bentuk desa yang dikenal ialah : (a) Desa Dinas (desa atau kelurahan), dan (b) Desa Pekraman atau Desa Adat. Desa Dinas adalah organisasi pemerintahan di desa yang menyelenggarakan fungsi administrasi, atau yang menangani persoalan-persoalan kedinasan yang berhubungan dengan pemerintahan. Fungsinya diantaranya mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP). Desa dinas dipimpin oleh Kepala desa atau Perbekel. Desa dinas diperkotaan dikenal sebagai kelurahan. Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan langsung dibawah camat yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Kelurahan dipimpin oleh Lurah yang diangkat oleh sangkepan. Dalam awig-awig terdapat perintahm larangan, kebolehan, sanksi dalam kelembagaan subak. Dalam kehidupan bermasyarakat khususnya dalam subak tidak jarang terjadi sengketa ataupun pelanggaran terhadap tata tertib subak. Sebagai suatu lembaga Adat, subak memiliki kewenangan dalam menyelesaikan perkara yang terjadi dilingkungnnya. Subak gede (menyelesaikan suatu sengketa antara anggota subak dalam satu organisasi subak) sedangkan subak gede (menyelesaikan sengketa atau perkara antara anggota subak yang berbeda organisasi subaknya). Penyelesainnya dilakukan secara musyawarah mufakat melalui paruman (rapat) subak. Pada umumnya sanksi yang dijatuhkan berupa denda. Bahkan Peran Badan Bimbingan Masyarakat (Babinsa) ditingkat desa, kelompok tani, seperti subak apabila ada pencurian dan pengrusakan suatu lahan pertanian atau mencuri hasil pertanian, jika ketahuan pelakunya maka dibawa ke kantor desa dan diselesaikan secara damai (Umar Sholehudin, Hukum & Keadilan Masyarakat, (Malang : Setara Press, 2011), hlm.90) 295 Sekaa berasal dari kata se dan eka yang berarti satu kesatuan. Sekaa merupakan bentuk persekutuan hukum Adat yang didasarkan atas kegemaran yang sama. Sekaa memiliki pengurus sendiri, kekayaan sendiri, dan aturan-aturan sendiri yang diberlakukan bagi kelompoknya. Menurut Tjok Raka Dherana, dalam kehidupan dibali dikenal beraneka warna bentuk sekaa berhubungan dengan perbedaan obyek usahanya, seperti misalnya : a. Bidang pertanian, dikenal sekaa numbeg (perkumpulan pemacul), b. Bidang sosial ekonomi, dikenal sekaa nembok (perkumpulan pekerja bangunan), c. Bidang kesenian, dikenal sekaa gong (perkumpulan penabuh gamelan), d. Bidang kepemudaan, dikenal sekaa teruna-teruni (Perkumpulan pemuda-pemudi) (Tjok Raka Dherana, pokok-pokok Organisasi Kemasyarakatan Adat di Bali, (Denpasar : Bagian penerbit Fakultas Hukum & Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana, 1975), hlm.17-18.) 296 berdasarkan wawancara tanggal 21 November 2012, dengan I Ketut Sudantra selaku Prajuru Baga Pawongan Majelis Utama Desa Pekraman Provinsi Bali dan juga merupakan dosen Hukum Adat Bali di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
160
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
pemerintah. Tiap desa/kelurahan tersusun atas beberapa dusun /lingkungan, yang mana tiap dusun dipimpin oleh kepala dusun. Selain Desa Dinas, terdapat juga Desa Adat atau Desa Pekraman yang merupakan lembaga yang melaksanakan hukum Adat. Desa Adat atau Desa Pekraman pada jaman Bali Kuna disebut sebagai Banwa atau banua.297 Desa Adat atau Desa Pekraman pada awalnya merupakan kelompok cikal bakal atau keturunan pendiri pemukiman yang sejak awal mendiami daerah tertentu. Kemudian muncul pengaruh kekuasaan Hindu jawa pada abad 14 mulailah desa dibawah pengaruh raja-raja. Sehingga berfungsi ganda selain sebagai kelompok cikal bakal pemuja leluhur tapi juga berfungsi sebagai kelompok sosial politik yang dibina oleh raja.298 Sebenarnya Desa Adat atau Desa Pekraman merupakan lembaga yang sama. Hal ini dapat dilihat dari persamaan definsi dari Desa Pekraman atau Desa Adat. Berdasarkan Ketentuan Pasal 1 Peraturan Daerah Propinsi Tingakat I Bali Nomor 06 Tahun 1986, tentang Keududukan Fungsi dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali. “Desa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum Adat di propinsi daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarkat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga (kahyangan desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Sedangkan Pengertian Desa Pekraman, dilihat dalam ketentuan pasal 1 ayat (4) Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. “Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum Adat di propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Pengertian dari kedua definisi ini sama sehingga dapat dikatakan bahwa Desa Adat dan Desa Pekraman merupakan satu Lembaga Adat. Dengan 297
Wayan P. Windia, Dari Bali Mawacara Menuju Bali Santi, (Denpasar : Udayana University Press, 2010), hlm. 7. 298 I Made Suasthawa Dharmayuda, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Bali, (Denpasar : Upada Sastra, tanpa keterangan tahun), hlm. 1.
161
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
dikeluarkannya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pekraman berarti istilah Desa Adat diganti menjadi Desa Pekraman. Dalam penulisan ini istilah yang dipergunakan ialah istilah Desa Pekraman. Sebagai Lembaga Adat Bali yang bersifat Sosio-Religius berarti disamping berkaitan dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Desa Pekraman juga dipengaruhi oleh nilai-nilai agama khususnya mengenai agama Hindu. Suatu desa dikatakan sebagai Desa otonom (Sima Swatantra) apabila sudah memenuhi empat unsur yang merupakan syarat (Catur Bhuta Desa) yang terdiri atas :299 1. 2. 3. 4.
Parimandala (lingkungan wilayah desa), Karaman (rakyat warga desa), Datu (Pengurus, pimpinan), dan Tuah (Perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa)
Desa Pekraman yang merupakan organisasi masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat tinggal bersama dan spritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola hubungan dan pola interaksi sosial masyarakat Bali. Desa Pekraman merupakan Lembaga Adat yang memiliki ciri-ciri yang bersifat khusus yang tidak dijumpai dalam Lembaga Adat lainnya.300 Ciri khusus itu berkaitan dengan landasan filosofis Hindu yang menjiwai kehidupan masyarakat hukum Adat di Bali, yang dikenal dengan filosofi Tri Hita Karana (Tiga penyebab kebahagian). Adapun unsur-unsur Tri Hita Karana yang melandasi Desa Pekraman adalah sebagai berikut : 1.
Parhyangan : Keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Pelaksanaannya dalam Desa Pekraman dapat dilihat dengan adanya Pura Kahyangan Desa (Pura desa atau Bale Agung, Pura puseh, dan Pura Dalem) sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa dengan segala menisfestasinya ;
2.
Pawongan : Keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam semesta. Dapat dilihat dalam wilayah temapt tinggal dan tempat mencari penghidupan sebagai proyeksi dari adanya bhuana yang tunduk dibawah
kekuasaan hukum teritorial Bale Agung ;dan 299
I Made Suasthawa Dharmayuda, Op.Cit, hlm.4. Wayan P. Windia, Menyoal Awig-Awig Exsistensi Hukum Adat dan Desa di Bali, (Denpasar : Penerbit Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2008), hlm.40. 300
162
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
3.
Palemahan : Keharmonisan hubungan antara manusia dengan sesamanya. Perwujudan unsur ini dapat dilihat dalam penduduk Desa Pekraman yang disebut krama desa sebagai suatu kesatuan hidup masyarakat Desa Pekraman. Desa Pekraman merupakan Lembaga Adat yang bersifat Sosio-Religius
yang bersifat otonom yang berhak mengelola dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini dikarenakan desa pekaraman memiliki landasan hukum yang jelas diakui dalam konstitusi (Pasal 18B ayat (2) UUD 1945) dan ditegaskan lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pekraman Jo. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Tentang Desa Pekraman. Dimana Desa Pekraman diartikan sebagai kesatuan Masyarakat Adat diprovinsi Bali yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Adapun otonomi Desa Pekraman meliputi :301 1. 2. 3.
Kewenangan menetapkan aturan-aturan hukum sendiri dalam bentuk awig-awig; Kewenangan menyelenggarakan pemerintahnya sendiri secara mandiri, yang dilaksanakan oleh prajuru; Kewenangan menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang terjadi dilingkungan wilayahnya, baik berupa sengketa maupun pelanggaran hukum (awig-awig).
Desa Pekraman dikatakan sebagai organisasi yang otonom yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Otonom dari Desa Pekraman tidaklah mutlak (penuh), menurut Sally Falk More302, Desa Pekraman sesungguhnya hanyalah kelompok sosial yang semi-otonom (semiautonomous social fields) karena dalam pelaksanaan otonominya itu Desa Pekraman tetap harus tunduk pada kekuasaan negara. Dalam pasal 5 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pekraman Jo. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 Tentang 301
Wayan P. Windia, I Ketut Sudantra dan Putu Dyatmikawati, Penuntun Penyuratan Awig-Awig Contoh Awig-Awig Tertulis Desa Pekraman Tanah Aron Kabupaten Karangasem, (Denpasar : Udayana University Press, 2001, hal.15. 302 Sally Falk Moore, Hukum da Perubahan Sosial : Bidang Sosial Semi-Otonom Sebagai Suatu Topik Studi Yang Tepat, dalam TO Ihromi, Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1993), hlm.152.
163
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Tentang Desa Pekraman dinyatakan mengenai tugas Desa Pakraman, sehingga Desa Pekraman mempunyai tugas sebagai berikut: a. b. c. d. e.
f.
Membuat awig-awig. Mengatur krama desa, Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa, Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan. Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan “paras-paros, sagilik-saguluk, salulung-sabayantaka” (musyawarah-mufakat). Mengayomi krama desa.
Sedangkan di dalam pasal 6 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pekraman Jo. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Tentang Desa Pekraman disebutkan mengenai wewenang dari desa Pakraman yaitu sebagai berikut : a. b. c.
Menyelesaikan sengketa Adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai dengan awig-awig dan Adat kebiasaan setempat, Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana. Melakukan perbuatan hukum di dalam dan diluar desa Pakraman.
Desa Pekraman dijalankan oleh Prajuru Desa Pekraman. Prajuru Desa Pekraman terdiri atas Bendesa atau Kelian Desa (ketua Desa Pekraman), dibantu oleh Penyarikan (sekretaris), Patengen (bendahara), serta Sinoman (pembantu jalan), dan lain-lain. Prajuru Desa Pekraman mempunyai tugas-tugas yang secara jelas diatur dalam pasal 8 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pekraman Jo. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Tentang Desa Pekraman, yaitu diantaranya : 1. 2. 3. 4.
Melaksanakan awig-awig Desa Pekraman; Mengatur penyelenggaraan upacara keagamaan di Desa Pekraman, sesuai dengan sastra agama dan tradisi masing-masing; Mengusahakan perdamaian dan penyelesaian sengketa-sengketa Adat; Mewakili Desa Pekraman dalam bertindak untuk melakukan
164
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
perbuatan hukum baik didalam maupun diluar peradilan atas persetujuan paruman desa; Mengurus dan mengatur pengelolaan harta kekayaan Desa Pekraman; dan Membina kerukunan umat beragama dalam wilayah desa pakraman.
5. 6.
Desa Pekraman tersusun atas beberapa Banjar Pekraman (selanjutnya disebut Banjar). Susunan Desa Pekraman ini ada yang bersifat tunggal yaitu hanya terdiri atas satu Banjar dan bersifat bertingkat terdiri atas beberapa banjar. Banjar adalah Kelompok masyarakat yang merupakan bagian Desa Pekraman.303 Menurut Tjok Istri Putra Astiti, Banjar merupakan organisasi tradisional yang bersifat religius dengan penekanan fungsinya pada masalah suka-duka,304 khususnya kematian.305 Selain bagian dari Desa Pekraman, Banjar juga merupakan bagian dari desa administrasi (kelurahan). Banjar kemudian dibagi menjadi beberapa Tempekan. Struktur Banjar yaitu Kelian Dinas (kepala dusun berkaitan dengan urusan administrasi), Kelian Adat (berfungsi menyelenggarakan kegiatan Adat atau agama), Penyarikan (sekretaris), Patengen (bendahara), dan dibantu oleh beberapa Kelian Tempekan (yang mengurusi tiap-tiap tempekan). Selain dibantu oleh prajuru Desa Pekraman, Desa Pekraman memiliki aparat guna membantu kinerja prajuru Desa Pekraman dalam hal keamanan dan ketertiban, yaitu Pecalang. Secara etimologi Pecalang berasal darikata celang yang
berarti
tajam
indranya,
tajang
pendengaranya,
maupun
tajam
penglihatannya. Pecalang diartikan sebagai “krama Desa Pekraman yang dipilih melalui paruman desa, cakap lahir batin, dipasupati dan diberikan tugas melancarkan kegiatan Adat dan upacara agama serta menjaga ketertiban dan keamanan Desa Pekraman”.306 Dari pengertian diatas seorang pecalang haruslah seseorang yang merupakan krama Desa Pekraman dan bukan orang diluar krama Desa Pekraman dan seorang pecalang haruslah seorang laki-laki bukan 303
Ketentuan Pasal 1 butir 5 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pekraman Jo. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Tentang Desa Pekraman 304 Suka-duka diartikan sebagai aktivitas-aktivitas pelaksanaan upacara keagamaan yang berhubungan dengan keadaan suka seperti upacara pawiwahan (perkawinan), mepandes (upacara potong gigi), dan keadaan duka seperti upacara kematian (pengabenan). 305 Tjok Istri Putra Astiti, Pemberdayaan Awig-Awig Menuju Ajeg Bali, (Denpasar : Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2005), hlm.9. 306 Nyoman Widnyani & I Ketut Widia, Ajeg Bali Pecalang dan Pendidikan Budi Pekerti, (Surabaya : SIC, 2003), hlm.59.
165
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
perempuan. Pengaturan mengenai Pecalang diatur juga dalam ketentuan pasal 17 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pekraman Jo. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Tentang Desa Pekraman. Bahkan keberadaan Pecalang diakui dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, sebagai bentuk polisi masyarakat yang dikembangkan dari Pola tradisional (Polmas model A) dengan model pemberdayaan pranata sosial/Adat (model A2).307 2.
Majelis Desa Pekraman Pengaruh Globalisasi memberikan dampak positif maupun negatif.
Pengaruh tersebut baru akan berdampak positif dengan terwujudnya Bali Shanti (kedamaian Bali) apabila suatu persoalan dihadapi bersama-sama oleh Desa Pekraman. Dengan kata lain tidak cukup dihadapi oleh satu Desa Pekraman, melainkan harus dihadapi dengan cara dan semangat kebersamaan oleh seluruh Desa Pekraman seBali. Dalam perkembangannya Desa Pekraman memiliki orangtua untuk menjadi pendamping untuk diajak matimbang wirasa (bertukar pikiran)308, yaitu dengan terbentuknya Majelis Desa Pekraman (MDP) Bali pada tanggal 27 Februari 2004. Majelis Desa Pekraman merupakan sebuah organisasi kerjasama antara Desa Pekraman sebagai wujud dari kesadaran krama desa bahwa sesungguhnya Desa Pekraman sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum Adat yang dijiwai oleh ajaran agama Hindu dan nilai-nilai yang hidup di Bali sangat besar peranannya dalam bidang agama dan sosial budaya sehingga perlu untuk diayomi, dilestarikan dan diberdayakan.309 Adapun peran strategis dari Majelis
307
Ketentuan pasal 16 huruf b Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri 308 Wayan P. Windia, Dari Bali Mawacara Menuju Bali Santi, (Denpasar : Udayana University Press, 2010), hlm.55. 309 Nur Wahyu Bintari, Pemberdayaan Aparat Penegak Hukum dalam Mendayagunakan Sanksi Adat Didaerah Bali, Tesis dalam Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005, hlm.102
166
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Desa Pekraman dalam mewujudkan Bali Shanti, adalah sebagai berikut :310 1.
Memperkuat kelembagaan Desa Pekraman,
2.
Sebagai media komunikasi antar krama desa dan antar Desa Pekraman berdasarkan spirit Bali Mawacara.
3.
Menjadi filter terhadap pengaruh yang datang dari “empat jurusan” diluar proses Desa Pekraman,
4.
Secara proaktif membangun komunikasi dan hubungan baik dengan organisasi lain diluar Desa Pekraman dalam usaha mewujudkan kedamaian Bali (Bali Shanti).
Majelis Desa Pekraman terdiri dari :311 (1) Majelis Utama untuk provinsi berkedudukan di ibukota provinsi (MUDP) ; (2) Majelis Madya untuk kabupaten/kota berkedudukan di kabupaten/kota (MMDP); dan (3) Majelis Alit untuk kecamatan berkedudukan dikota kecamatan (MADP). Majelis Desa Pakraman mempunyai tugas :312 1. 2. 3. 4.
Mengayomi Adat istiadat; Memberikan saran, usul dan pendapat kepada berbagai pihak baik perorangan, kelompok/lembaga termasuk pemerintah tentang masalah-masalah Adat; Membantu penyuratan awig-awig; Melaksanakan penyuluhan Adat istiadat secara menyeluruh.
Sedangkan wewenang dari Majelis Desa Pakraman adalah :313 1. 2. 3.
Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-masalah Adat dan agama untuk kepentingan Desa Pakraman; Sebagai penengah dalam kasus-kasus Adat yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat desa. Membantu penyelenggaraan upacara keagamaan dikecamatan, dikabupaten/kota dan di provinsi.
310
Majelis Desa Pekraman (MDP) Bali, Himpunan Hasil-Hasil Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pekraman Bali, (Denpasar : Majelis Desa Pekraman (MDP) Bali, 2011), hlm.15-16. 311 Ketentuan Pasal 14 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pekraman Jo. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Tentang Desa Pekraman 312 Ketentuan Pasal 16 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pekraman Jo. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Tentang Desa Pekraman 313 Ketentuan Pasal 16 ayat (2) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pekraman Jo. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Tentang Desa Pekraman
167
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Dalam menyelesaikan suatu perkara Adat Majelis Desa Pakraman memiliki kelembagaan dengan perangkat hukum yang memiliki kewenangan dan tugas masing-masing dalam menyelesaikan suatu perkara Adat : 1.
Sabha Kerta, Sabha Kerta terdapat di MMDP dan MUDP. Sabha Kerta adalah perangkat MMDP atau MUDP yang berwenang memutus wicara (perkara Adat). Keanggotaan Sabha Kerta berjumlah ganjil yang terdiri dari unsur Bandesa Madya,/Agung Penyarikan Madya/Agung, Panureksa (pemeriksa) ditambah dengan Bendesa Alit se-kabupaten/kota (untuk MMDP) atau Bendesa Madya MMDP seprovinsi
Bali. Bendesa Madya/agung atau Petajuh
Bendesa madya/agung, Penyarikan Madya/Agung atau Patajuh Penyarikan Madya/Agung, Panureksa, dan Bendesa MADP/MMDP yang berasal dari Desa Pakraman yang berperkara, tidak diizinkan menjadi anggota sabha kerta dan keanggotaannya dapat digantikan dengan prajuru lainnya. a.
Tugas Sabha Kerta, 1.
Mempelajari dengan seksama laporan tertulis yang disampaikan oleh Panureksa,
2.
Menggali informasi, keterangan, dan fakta tambahan, terkait dengan perkara Adat yang ditangani,
3.
Menganalisis fakta objektif yang ditemukan oleh Panureksa, berdasarkan Hukum Adat Bali yang dapat dijadikan dasar penyelesaian suatu perkara Adat,
4.
Merumuskan dan memutuskan penyelesaian wicara yang ditangani.
b.
Wewenang Sabha Kerta 1.
Sabha Kerta berwenang meminta penjelasan dari Panureksa serta informasi, keterangan, dan fakta tambahan pihak-pihak yang berperkara apabila dianggap diperlukan,
2.
Sabha Kerta dapat menggali, menemukan, dan mengumpulkan sendiri fakta-fakta tambahan dengan memanggil pihak-pihak yang mawicara ke dalam Pasukertan (persidangan) dan/atau
168
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Panureksan (pemeriksaan) setempat, 3.
Sabha kerta berwenang meminta keterangan ahli dalam bidang tertentu yang terkait dengan substansi perkara Adat yang akan diselesaikan,
4.
Sabha Kerta berwenang merumuskan penyelesaian perkara Adat yang ditangani,
5.
Sabha Kerta berwenang mengumumkan keputusan penyelesaian perkara Adat yang ditangani.
2.
Panureksa, Dalam menyelesaikan perkara Adat, Sabha Kerta MMDP dan MUDP dibantu oleh Panureksa yang dibentuk berdasarkan surat keputusan Bendesa Madya. Keanggotaan Panureksa berjumlah ganjil dipimpin oleh seorang Manggala (ketua) dan seorang Penyarikan (sekretaris). Prajuru MMDP atau MUDP yang berasal dari Desa Pakraman yang berperkara tidak dapat menjadi panureksa. a.
Tugas Panureksa : 1.
memeriksa kelengkapan administrasi perkara Adat yang diajukan pihak yang mawicara (berperkara),
2.
meneliti rangkaian peristiwa yang terjadi berdasarkan informasi dalam berkas wicara (perkara Adat) yang diajukan dan mengkualifikasikan wicara (perkara Adat) yang terjadi dalam kelompok perkara Adat murni, bukan perkara Adat, atau campuran keduanya.
3.
Memastikan
kepada
pihak-pihak
yang
berperkara
mengenai cara-cara penyelesaian perkara yang dipilih dan menjelaskan konsekuensi yang menyertainya. 4.
Mengumpulkan fakta-fakta berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani oleh MDP, baik berdasarkan keterangan para pihak yang berperkara atau saksi (pihak lain yang diperlukan keterangannya), ilikita (bukti tertulis), maupun buki yang merupakan fakta lapangan.
5.
Menggali, menemukan, dan menginventaris alternatif
169
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
penyelesaian perkara Adat yang dihadapi menurut masingmasing pihak yang berperkara. 6.
Menggali, menemukan, dan menginventaris hukum Adat Bali yang dapat dijadikan dasar penyelesaian perkara.
7.
Menganalisis fakta-fakta yang berkaitan dengan perkara Adat berdasarkan Hukum Adat Bali yang dapat dijadikan dasar penyelesaian perkara Adat, baik Hukum Adat Bali yang tertulis maupun hukum tidak tertulis (catur dresta) yang tidak bertentangan dengan hukum nasional dan nilainilai agama.
8.
Merumuskan dan melaporkan secara tertulis rekomendasi berupa alternative penyelesaian perkara Adat yang dimaksud dengan sabha kerta.
b.
Wewenang Panureksa : 1.
memanggil dan meminta keterangan para pihak yang berperkara atau saksi-saksi (pihak lain yang diperlukan keterangannya) dalam rangka pengumpulan bukti (faktafakta) sehubungan dengan perkara Adat yang sedang ditangani oleh sabha kerta,
2.
meminta kelengkapan administrasi perkara Adat yang diajukan,
3.
meminta para pihak yang berperkara untuk menghadirkan saksi untuk dimintai keterangan,
4.
meminta keterangan ahli dibidang tertentu terkait dengan perkara Adat yang sedang ditangani,
5.
menyelenggarakan Panureksan dalam rangka pelaksanaan tugas-tugasnya,
6.
melakukan Panureksan setempat di tempat kejadian perkara
Adat,
apabila
dipandang
perlu
untuk
mengumpulkan bukti (fakta-fakta).
170
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
6.2. Peran Lembaga Adat dalam Sistem Peradilan Pidana Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi berarti disini usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sistem Peradilan Pidana dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan, dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputuskan bersalah serta mendapat pidana.314 Menurut Remington dan Ohlin, Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atai tingkah laku sosial. Pengertian sistem ini sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efesien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.315 Istilah Criminal Justice system dan Criminal Justice Process tidaklah sama. Hagan membedakan Criminal Justice system dengan Criminal Justice Process. Criminal Justice Process diartikan sebagai setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan Criminal Justice System adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.316 Menurut Mardjono Reksodiputro, tujuan dari Sistem Peradilan Pidana adalah :317 1.
Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
2.
Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan 314
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Buku Ketiga, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007), hlm.84. 315 Remington dan Ohlin dalam Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm.1. (Selanjutnya Romli Atmasasmita 1). 316 Ibid. 317 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Buku Kedua, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007), hlm.140.
171
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
3.
Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Komponen-komponen yang bekerjasama dalam Sistem Peradilan Pidana adalah kepolisian, kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan (LP). Keempat komponen ini diharapkan bekerjasama membentuk apa yang dikenal dengan “Integrated Criminal Justice System”. Muladi menegaskan bahwa makna integrated Criminal Justice System merupakan suatu sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan dalam :318 1.
Sinkronisasi Struktural (structural syncronization) adalah keserampakan atau keselarasan dalam rangka hubungan antarlembaga penegak hukum;
2.
Sinkronisasi substansial (substansial syncronization) adalah keserampakan atau keselarasan yang bersifat vertical dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif; dan
3.
Sinkronisasi cultural (cultural syncronization) adalah keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana. Dalam Sistem Peradilan Pidana dikenal 3 (tiga) bentuk pendekatan :319
1.
Pendekatan Normatif memandang keempat aparat penegak hukum sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum samata-mata.
2.
Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang digunakan adalah sistem administrasi.
3.
Pendekatan
sosial
memandang
keempat
aparatur
penegak
hukum
318
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, ), hlm.1-2. 319 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Bandung : Binacipta, 1996), hlm.17-18. (selanjutnya Romli Atmasasmita 2)
172
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat sacara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang digunakan adalah sistem sosial. Menurut Muladi Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun kelembagaan ini harus dilihat dalam kontes sosial. Sifat yang terlalu formal jika dilandasi hanya untuk kepentingan
kepastian
hukum
saja
akan
membawa
bencana
berupa
ketidakadilan.320 Berarti disini suatu Sistem Peradilan Pidana tidak hanya mengajar kebenaran materiil yang ada dalam teks peraturan perundang-undangan namun juga harus melihat nilai-nilai yang ada dan diakui dalam masyarakat. Dalam menyelesaikan suatu Tindak Pidana Adat sebaiknya diberikan kewenangan bagi lembaga-Lembaga Adat dalam menyelesaika suatu perbuatan yang dianggap mengganggu keseimbangan kosmis dari Masyarakat Adat tersebut.321 Dalam Tindak Pidana Adat peranan Sistem Peradilan Pidana dapat dipandang sebagai persoalan sosial yang menghambat upaya penyelesiannya. Hal ini sama dengan pertimbangan yang melandasi pemikiran Hulsman yang menganggap Sistem Peradilan Pidana dipandang sebagai masalah sosial, yaitu :322 1.
Sistem Peradilan Pidana memberikan penderitaan. Sistem Peradilan Pidana telah menjatuhkan pidana kepada pelaku kejahatan, hal ini terjadi pembatasan kemerdekaan terhadap pelaku tersebut dan mereka dipisahkan atau diasingkan dari masyarakat lingkungannya. Lebih dari itu timbul efek negatif, dimana pelaku beserta keluarganya sudah terkena stigma dan direndahkan martabatnya sehingga kedudukan mereka dalam masyarakat
320
Romli Atmasasmita 2, Op.Cit, hlm.5-6. Berdasarkan wawancara dengan AKBP Ni Ketut Werki, SH (Kasubnit 4 Reskrimhum Polda Bali) dan AKP Ida Ayu Made Yuni Astuti, SH (Kanit I, Unit 2, Subdit 4 Reskrimhum Polda Bali) tertanggal 20 November 2012. Dikatakan oleh mereka bahwa terhadap perkara-perkara Adat (tindak pidana Adat bali) penyelesaiannya diserahkan kepada Lembaga-lembaga Adat (Desa Pekraman atau Majelis Desa Pekraman) untuk menyelesaikannya. Penyelesaian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Restoratif Justice yang melindungi kepentingan semua pihak terutama kepada pihak korban. 322 Romli Atmasasmita 2, Ibid, hlm.98-99. 321
173
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
menjadi sangat marjinal. Terhadap penanganan perkara-perkara Adat tidaklah sesuai dengan tujuan dari pemberian sanksi dalam Hukum Adat yaitu yang menghendaki pengembalian keseimbangan yang telah ternodai sebelumnya. Malahan jika suatu perkara Adat diselesaikan melalui mekanisme Sistem Peradilan Pidana maka akan menghasilkan penyelesaian yang bersifat win-lose solution. Akibatnya konflik makin berkepanjangan. 2.
Sistem Peradilan Pidana tidak dapat bekerja sesuai dengan tujuan yang dicita-citakannya. Dalam mekanisme kerja Sistem Peradilan Pidana, korban tidak pernah diikutsertakan sehingga para pihak pelaku ataupun korban tidak dapat ikut menentukan tujuan akhir dari putusan yang diinginkan. Bahkan korban sering tidak memperoleh manfaat dari hasil akhir suatu Sistem Peradilan Pidana. Dimana kepentingan si korban diwakili oleh negara (jaksa penuntut umum). Dalam menyelesaikan suatu perkara Adat, yang menganggu nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, dimana korban tidak hanya orang perseorangan namun korban disini adalah masyarakat umum yang nilai-nilai yang dijunjunginya ternodai oleh karenanya peran korban, pelaku dan masyarakat (Lembaga Adat) memiliki peran sentral dalam mencari keadilan yang memuaskan semua pihak. Model penyelesaian perkara Adat yang menguntungkan semua pihak hanya dapat dilihat dalam keadilan Restoratif, suatu bentuk penyelesaian yang melibatkan semua pihak (pelaku, korban dan masyarakat) unuk mengembalikan keseimbangan seperti keadaan semula.
3.
Sistem Peradilan Pidana tidak terkendalikan. Sistem Peradilan Pidana tidak terkendali apabila mengahadapi kebijaksanaan dari pengambil keputusan sehingga sering rentan dan berubah-ubah, bahkan tiap instansi memiliki kewenangan yang berbeda-beda satu sama lainnya dalam menangani mekanisme kerja Sistem Peradilan Pidana yang sering merugikan hak asasi tersangka pelaku kejahatan. Sebagaimana kita ketahui bahwa penyelesaian melalui upaya informal (pengadilan) harus sesuai dengan asas trilogy peradilan yaitu cepat, biaya ringan dan sederhana. Akan tetapi yang terjadi adalah upaya penyelesian yang lama, biaya besar serta menimbulkan suatu konflik yang berkepanjangan. Hal inilah yang tidak sesuai dengan kehendak
174
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Masyarakat Adat yang hidup dilandasi nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan. 4.
Pendekatan yang dipergunakan Sistem Peradilan Pidana memiliki cacat mendasar. Dalam menentukan suatu kejahatan tidak hanya menetapkan apa yang benar dan apa yang salah namun harus melihat faktor-faktor sosiologis yang mempengaruhi mengapa seseorang melakukan kejahatan. Sehingga dalam mencari jalan keluarnya dapat memenuhi perasaan seluruh pihak yang bertikai. Louk Hulsman dalam mengkaji permasalahan mempergunakan pendekatan
kemanusiaan dan rasionalistik. Dimana menurutnya Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) dapat dan harus dimanusiawikan dan dirasionalkan.323 Dalam upaya penyelesaian suatu perkara-perkara Adat dapat dipergunakan pendekatan Sistem Peradilan Pidana yang rasional, manusiawi dan juga progresif. Dimana Sistem Peradilan Pidana tidak harus fokus kepada kepastian hukum namun lebih berorientasi pada nilai-nilai keadilan. Dalam artian disini penulis tidak menghendaki dihapusnya Sistem Peradilan Pidana secara keseluruhan dalam menyelesaikan suatu tindak pidana, namun perlunya suatu bentuk mekanisme yang berorientasi pada nilai keadilan dan kemanusiaan. Nilai-nilai keadilan yang berorientasi pada pemenuhan kepuasaan semua pihak (pelaku, korban, dan masyarakat) dapat kita jumpai dalam keadilan Restoratif. Sebenarnya kita dapat mencontoh Jepang, yang mana Sistem Peradilan Pidananya berorientasi pada konsep hukum barat, namun dalam praktiknya dalam masyarakat Jepang, apabila terdapat persoalan hukum baik sengketa maupun perkara-perkara pidana mereka lebih mengutamakan dasar pemikiran dan budaya masyarakat Jepang yang lebih menekankan kepada kesepakatan atau musyawarah dibandingkan dengan penyelesaian melalui mekanisme peradilan (Sistem Peradilan Pidana). Hal ini sepatutnya ditiru oleh masyarakat Indonesia yang bersifat komunal yang memiliki nilai-nilai luhur seperti kebersamaan, gotong royong dan kekelurgaan dalam menyelesaikan suatu persoalan hukum yang terjadi. 323
Ibid, hlm.97.
175
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Bahkan Mardjono Reksodiputro yang notabene merupakan guru besar yang pertama kali mengenalkan Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), menyerankan agar diperlukannya batasan-batasan toleransi pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana dalam melihat kejahatan dan penegakan hukum. Menurut penulis berarti disini Sistem Peradilan Pidana tidak mutlak dipergunakan terhadap suatu kejahatan, terhadap suatu perkara pidana yang masih berbau perdata, Adat dapat dipergunakan upaya-upaya yang sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu perkara pidana. Dalam peraturan perundang-undangan (KUHAP dan KUHP) tidak memuat ketentuan lembaga-lembaga lain selain Kepolisian, kejaksaan, hakim, LP (aparat penegak hukum) yang berfungsi dalam Sistem Peradilan Pidana. Namun dalam realitanya lembaga-lembaga lain seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), LSM, dan lembagalembaga lainnya termasuk didalamnya Lembaga Adat dapat dimasukan perannya dalam Sistem Peradilan Pidana sebagai saksi ahli yang memberikan keterangan mengenai kemampuannya dalam bidang tertentu. Lembaga Adat dalam konteks pembahasan disini dapat berfungsi sebagai saksi ahli dalam Sistem Peradilan Pidana. Peran lembaga-lembaga diluar Sistem Peradilan Pidana, yang salah satunya Lembaga Adat berperan dalam penyelesaian konflik termasuk didalamnya penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan konsiliasi (perdamaian). Menurut Satjipto Rahardjo bentuk pengendalian konflik sosial yang paling penting adalah konsiliasi (conciliation). Pengendalian semacam itu terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan diantara para pihak-pihak yang bersengketa atau berperkara. Lembaga-lembaga semacam ini berupa badan-badan yang bersifat parlementer atau quasi parlementer, dimana berbagai kelompok atau wakil-wakil mereka dapat bertemu satu dengan yang lain untuk menyalurkan aspirasinya dengan cara-cara yang bersifat damai.324 Adapun persyaratan suatu lembaga-lembaga (diluar proses Sistem Peradilan Pidana) dapat berperan efektif dalam penyelesaian konflik sosial (termasuk perkara pidana), ada 4 (empat) 324
Suparmin, Op.Cit, hlm.19.
176
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
syarat, yaitu :325 1.
Lembaga tersebut harus merupakan lembaga yang bersifat otonom dengan wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan tanpa campur tangan badan-badan lain yang berada diluarnya,
2.
Kedudukan lembaga tersebut didalam masyarakat harus bersifat monopolistis, dalam arti hanya lembaga itulah yang berfungsi demikian,
3.
Peranan lembaga tersebut harus sedemikian rupa sehingga berbagai kelompok kepentingan yang berlawanan satu sama lain itu seolah-olah terikat kepada lembaga tersebut, sementara keputusannya mengikat kelompok tersebut beserta dengan anggota-anggotanya.
4.
Lembaga tersebut harus bersifat demokratis, dalam arti semua pihak harus didengarkan dan diberikan kesempatan untuk menyatakan pendapatnya sebelum keputusan tertentu diambil.
Adapun Lembaga-Lembaga Adat di Bali (Banjar, Desa Pakraman, dan Majelis Desa Pekaraman (MDP) merupakan lembaga yang memenuhi unsurunsur lembaga yang dapat menyelesaikan konflik (perkara Adat). Syarat pertama, Lembaga harus bersifat otonom, Desa Pakaraman, Banjar dan MDP memiliki kewenangan mengatur rumah tangganya sendiri termasuk mengambil keputusan apabila terjadi perkara diwilayah Adatnya. Kedua, dalam Masyarakat Adat Bali terdapat lembaga-Lembaga Adat (Banjar, Desa Pakraman, Majelis Desa Pakraman) itu saja yang berfungsi sebagai penyelesai perkara Adat tidak ada lembaga lainnya dan Penyelesaian perkara Adat dilakukan secara berjenjang dalam masyarakat Bali. Ketiga, Terhadap putusan maupun kesepakatan berdasarkan Paruman (pertemuan Adat) yang diambil oleh lembaga-lembaga Adat Bali ini mengikat bagi kelompok maupun anggotanya. Apabila anggota Lembaga Adat tidak melaksanakan apa hasil kesepakatan atau putusan akan dapat dikenakan sanksi Adat bahkan dikeluarkan dari Lembaga Adat tersebut. Keempat, penyelesaian melalui Lembaga Adat
bersifat demokratis yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan dalam penyelesaian 325
Ronny Hanitijo Soemitro, Studi Hukum dan Masyarakat, (Bandung : Alumni, 1985), hlm.30-31.
177
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
suatu perkara Adat. Tujuan penyelesaiannya adalah pengembalian keseimbangan yang telah dilukai sebelumnya. Dalam menyelesaikan suatu Tindak Pidana Adat dapat kita mengambil pendapat Valerine J.L. Kriekhoff yang menyatakan hukum Adat memang tidak bisa menghapus pidana sebagai hukum publik. Dimana hukum nasional berada diatas pranata hukum lainnya. Kendati demikian, bukan berarti penyelesaian secara Adat itu harus dikesampingkan. Hakim, menurut Valerine bisa mempergunakan penyelesaian secara Adat itu sebagai pertimbangan untuk meringankan hukuman.326 Meskipun secara yuridis tidak ada payung hukum yang jelas tentang penyelesaian diluar proses Sistem Peradilan Pidana, namun dalam prakteknya dalam masyarakat khususnya masyarakat yang masih kental nilai-nilai Adatnya masih terdapat praktek penyelesaian perkara pidana diluar Sistem Peradilan Pidana yang terutama dilakukan oleh lembaga-Lembaga Adat. Bahkan upaya-upaya ini memperoleh dukungan oleh PBB dengan dikeluarkannya Declaration on the rights of indigenous people (deklarasi Perserikatan BangsaBangsa tentang hak-hak asasi masyarakat asli). Dalam Pasal 5 deklarasi ini menyatakan bahwa Masyarakat Adat berhak untuk mempertahankan dan memperkukuh lembaga-lembaga politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya mereka, sementara tetap mempertahankan hak mereka untuk mengambil bagian sepenuhnya kalau mereka juga memilih, dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya dari negara. Sementara dalam pasal 34 deklarasi ini merumuskan bahwa Masyarakat Adat berhak untuk memajukan, mengembangkan, dan memelihara struktur kelmbagaan dan Adat, kerohanian dan tradisi, prosedur, praktek, mereka yang berbeda, dan dalam kasus jika ada, sistem peradilan mereka atau Adat, sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia internasional. 6.3. Hybrid Justice System Dalam penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali Dalam menyelesaikan suatu Tindak Pidana Adat Bali, peran LembagaLembaga Adat berperan penting dalam hal penyelesaiannya. Namun tidak dapat dipungkiri dalam menyelesaikan suatu bentuk tindak pidana umum maupun 326
Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.6 No.II Agustus 2010, hlm.182-183.
178
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Tindak Pidana Adat peran aparat penegak hukum dalam Sistem Peradilan Pidana memiliki peran yang sama penting dengan Lembaga-Lembaga diluar Sistem Peradilan Pidana (Lembaga Adat). Maka dalam penyelesaian suatu Tindak Pidana Adat dapat menawarkan penggunaan model “collaborative approach” atau Hybrid justice system, yaitu merupakan mekanisme penyelesaian suatu perkara dengan bentuk kolaborasi antara sistem hukum informal dalam tradisi hukum Adat dan Sistem Peradilan Pidana formal yang diakui oleh negara. Pelaksanaan mengenai Hybrid Justice System juga ditegaskan oleh Eugen Ehrlich yang menyatakan bahwa hukum positif (peraturan perundang-undangan) hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, atau yang sesuai dengan pola-pola kebudayaan masyarakat.327 Oleh karena untuk menyalaraskan hal tersebut maka diperlukan suatu sinergi antara Aparat penegak hukum dalam Sistem Peradilan Pidana dan Lembaga Adat . Bentuk kolaborasi antara sistem informal dalam sistem hukum Adat dengan Sistem Peradilan Pidana dapat juga dilihat dalam perwujudan Community Policing. Community policing merupakan terjemahan Pemolisian masyarakat atau Perpolisian Masyarakat (Polmas).328 US Departement of Justice, Community Oriented Policing Service (COPS memberikan definisi Community Policing sebagai filosofi organisasi, yang bercirikan pada pelayanan polisi seutuhnya, personalisasi pelayanan, dan desentralisasi dimana anggota ditempatkan secara tetap pada setiap komunitas, kemitraan polisi dengan warga secara proaktif dalam memecahkan masalah kejahatan, ketidaktertiban, ketakutan yang dihadapi warga, dengan tujuan untuk peningkatan kualitas hidup warga setempat.329 Robert C. Trojanowiczy mendeskripsikan Community Policing sebagai a philosophy of full service personalized policing, oleh Mardjono Reksodiputro pendeskripsian tersebut dihubungkan dengan Sistem Peradilan Pidana yang menggambarkan suatu sistem degan kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan serta LP sebagai 327
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2005), hlm.42 328 Ketentuan Pasal 1 angka 3 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2008 tentang Pedoman dasar strategi dan Implementasi Pemolisian masyarakat dalam penyelenggaraan Tugas Polri. 329 Friedman R. Community Policing. Comparative and Prospect.( diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto). Cipta Manunggal. Jakarta. 1998.
179
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
subsistemnya, Dimana terhadap pelanggaran hukum yang berasal dari masyarakat dan akan kembali pula ke masyarakat, dalam hal ini diperlukan keterpaduan dalam Sistem Peradilan Pidana ini.330 Pada umumnya penyelesaian suatu tindak pidana diselesaikan melalui mekanisme peradilan formal dimana salah satu sub sistem dari Sistem Peradilan Pidana adalah kepolisian yang berfungsi sebgai penyidik. Namun dalam perkembangan Kepolisian (POLRI) dapat menyelesaikan suatu tindak pidana dengan cara musyawarah untuk mewujudkan perdamaian, mengutamakan pencegahan atau menuju penegakan keadilan masyarakat (Restorative Community Justice), dengan berpatokan dengan nilai-nilai agama dan norma hukum Adat. Disini
Kepolisian
(POLRI)
dengan
Strategi
Restorative
Justice
ingin
meningkatkan kepercayaan masyarakat, karena disini Kepolisian bertindak sebagai fasilitator bukan sebagai penegak hukum yang menjurus pada penindakan (represif). Tetapi kedudukan Kepolisan disini dapat berperan sebagai pendamai dalam suatu tindak pidana (sebagai pihak ketiga yang menghasilkan solusi yang win-win solution).331 Disini adanya kolaborasi dimana Polisi memberdayakan segenap komponen dalam
masyarakat
mendukung
(Akademisi,
penyelenggaraan
Lembaga-Lembaga
fungsi
kepolisian.
Adat,
Strategi
LSM)
dalam
Polmas
adalah
implementasi pemolisian yang proaktif yang menekankan kemitraan yang sejajar antara polisi dan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penangkalan kejahatan, pemecahan masalah sosial yang berpotensi menimbulkan gangguan Kamtibmas 330
Mardjono Reksodiputro, Polmas Ditinjau Dari Aspek Yuridis dan Implementasi Penegakan Hukum, dalam Mardjono Reksodiputro, Menyelaraskan Pembaharuan Hukum, (Jakarta : Komisi Hukum Nasional RI, 2009), hlm.131. 331 Suparmin, Model Polisi Pendamai dari Perspektif Alternative Dispute Resolution (ADR) (Studi Penyelesaian Konflik antar Partai Politik), (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2012), hlm.10. Menurut Da’I Bachtiar, Berdasarkan Lampiran Kapolri No. Pol. : Skep/360/VI/2005 tanggal 10 Juni 2005, pada pelaksanaannya Polisi pendamai telah sesuai dengan visi dan misi Polri dinyatakan “polisi yang profesional dan akuntabel dalam pelayanan pencegahan kejahatan, gakkum, dan penciptaan rasa aman dan bebas dari rasa takut yang meluas dimasyarakat serta dicintai secara nasional dan diakui secara internasional harus selalu proaktif untuk melaksanakan pencegahan kejahatan dan pelanggaran dengan mengefektivkan community policing guna peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat (crime prevention). Bahwa Strategi restorative Justice untuk pemulihan keadilan dapat meningkatkan kepercayaan karena menunjukan bahwa Polri sebagai fasilitator, bukan hanya sebagai penghukum yang menjurus represif saja, tetapi juga dapat menjadi pendamai bagi penanggulangan kejahatan dan ketertiban yang sebagian besar timbul dari konflik kepentingan, dan Polisi berperan sebagai pihak ketiga yang menghasilkan win-win solution.(Ibid)
180
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
dalam rangka meningkatkan kepatuhan hukum dan kualitas hidup masyarakat. Dalam pola kerja Community Policing setiap masalah yang ada, yang belum terjadi, maupun yang sedang terjadi dimasyarakat dikembalikan kepada masyarakat itu sendiri. Kemudian dilakukan pertemuan untuk mengidentifikasi akar permasalahan atau hal-hal yang mungkin mengakibatkan terganggunya keamanan dan ketertiban lingkungan mereka. Terhadap kasus yang sedang atau sudah terjadi pembahasan atau musyawarah tidak terfokus hanya pada pelaku atau yang berperkara saja. Tetapi aspek-aspek lain yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan permasalahan tersebut juga dibahas didalamnya.332 Pelibatan serta pemberdayaan masyarakat dalam setiap permasalahan yang ada akan menimbulkan kepedulian. Kepedulian masyarakat terwujud dari munculnya keinginan mereka untuk mau tahu dan mulai berempati akan masalah yang sedang terjadi di lingkungan mereka. Berbeda halnya dalam konsep Sistem Peradilan Pidana yang sering disebut sistem formal. Proses yang terjadi pada Sistem Peradilan Pidana, permasalahan atau perkara yang terjadi langsung ditangani oleh Negara melalui aparat penegak hukumnya. Aparat penegak hukum setelah menerima laporan adanya tindak pidana, kemudian aparat penegak hukum menindak lanjutinya dengan mekanisme yang sudah baku. Dalam Sistem Peradilan Pidana yang ternyata dirasakan kurang memperhatikan aspek yang diderita oleh korban dan kepentingan masyarakat. Oleh karenanya dibutuhkan suatu lembaga yang merupakan sinergi dari Sistem Peradilan Pidana dan masyarakat yang dipergunakan dalam menanggulangi kejahatan didalam masyarakat yaitu Polmas. Falsafah Polmas menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan kesetaraan. intinya sama dengan nilai-nilai keadilan Restoratif yaitu menekankan pada dalam hal partisipasi, perjanjian antar warga komunitas, tuntutan kooperatif dari masyarakat dan penyelesaian masalah. Baik community policing maupun Restorative Justice keduanya mengeksploitasi akan tumbuhnya saling pengertian, sikap respek dari berbagai pihak dan pembagian tanggung jawab.333 Hubungan 332
Caroline G. Nicholl, Community Policing, Community Justice, and Restorative Justice. (Departement of Justice U.S : Cops Publication, 1999), hlm. 53. 333 R.Budi Wicaksono, Op.Cit, hlm.66.
181
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Community Policing dan Restorative Justice tergambar pada kerja sama untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada dan mencari pemecahannya. Masingmasing kelompok memikul tanggung jawab yang sama terhadap setiap kejadian dan masalah yang terjadi di masyarakat. Setiap adanya permasalahan diupayakan dikembalikan kepada masyarakat iru sendiri untuk penyelesaianya, dan pengembalian situasi dan hubungan yang rusak akibat kejadian yang terjadi melibatkan semua elemen masyarakat.334 Salah satu dasar pertimbangan penerapan Polmas adalah dalam masyarakat Indonesia telah terdapat pola-pola penyelesaian masalah masyarakat melalui Adat kebiasaan yang sudah umum diterapkan didalam masyarakat tradisional, yang kesemuannya merupakan pola-pola pemecahan masalah yang berorientasi pada kebersamaan, kemitraan, dan keharmonisan di dalam masyarakat (Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2008 tentang Pedoman dasar strategi dan Implementasi Pemolisian masyarakat dalam penyelenggaraan Tugas Polri). Bentuk-bentuk kegiatan dari penerapan Polmas diantara :335 a.
Kegiatan pelayanan dan perlindungan warga masyarakat;
b.
Komunikasi intensif petugas-warga masyarakat;
c.
Pemanfaatan
FKPM
untuk
pemecahan
masalah,
eliminasi
akar
permasalahan dan pengendalian masalah sosial;336 334
Ibid, hlm.67. Pasal 14 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2008 tentang Pedoman dasar strategi dan Implementasi Pemolisian masyarakat dalam penyelenggaraan Tugas Polri 336 Berdasarkan wawancara dengan AKBP Ni Ketut Werki, SH (Kasubnit 4 Reskrimhum Polda Bali) dan AKP Ida Ayu Made Yuni Astuti, SH (Kanit I, Unit 2, Subdit 4 Reskrimhum Polda Bali) tertanggal 20 November 2012. Dikatakan juga oleh mereka bahwa bentuk suatu kolaborasi antara lembaga Adat dan sistem peradilan pidana khususnya kepolisian dapat dilihat wadah yang dikenal dengn Forum kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) yang mana FKPM ini merupakan wahana komunikasi antara polri dan warga (anggota masyarakat Adat) yang dilaksanakan berdasarkan kesepakatan bersama dalam rangka membahas masalah kamtibnas maupun masalahmasalah sosial. Upaya-Upaya pemecahan masalah sosial disini dalam arti mencari mencari pemecahan suatu permasalahan melalui upaya memahami masalah, analisis masalah, mengususlkan alternatif-alternatif solusi yang tepat dan rangka menciptakan rasa aman, tentram, dan ketertiban (tidak hanya berorientasi pada pidana). Kepolisian dengan FKPM ditingak Desa/Kelurahan dapat menyelesaikan kasus-kasus kecil berdasarkan Surat Keputusan Nomor :737/VII/2006 Seri-3 Polmas dan Surat Keputusan 433/Vii/2006 tanggal 1 Juni 2006. Disni Kepolisian yang bertugas untuk memberikan pengertian, dan menanamkan kesadaran bahwa penyelesaian suatu perkara dengan cara musyawarah untuk mencapai perdamaian, merupakan cara penyelesaian yang lebih baik, adil, dan bijaksana dari pada diselesaikan dengan putusan 335
182
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
d.
Pendekatan dan komunikasi intensif dengan tokoh-tokoh formal dan informal (Adat, agama, pemuda dsb) dalam rangka mengeliminasi akar permasalahan dan pemecahan masalah keamanan dan ketertiban;
e.
Pemberdayaan pranata sosial untuk pengendalian sosial, eliminasi akar masalah dan pemecahan masalah sosial;
f.
Penerapan konsep ADR (Alternative Dispute Resolution) yaitu pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif yang lebih efektif berupa upaya menetralisir masalah selain melalui proses hukum atau non litigasi, misal melalui upaya perdamaian.
g.
Pendidikan/pelatihan ketrampilam penanggulangan gangguan kamtibmas; dan
h.
Kordinasi dan kerjasama dengan kelompok formal ataupun informal dalam rangka pemecahan masalah kamtibmas. Dengan demikian Manfaat Penerapan Polmas begitu besar dalam upaya-
upaya pemecahan masalah sosial termasuk upaya-upaya penyelesaian Tindak Pidana Adat. Penerapan strategi Polmas bagi masyarakat Indonesia khususnya Bali sangat cocok/sesuai dengan budaya masyarakat yang mengedepankan kehidupan berkomunitas, gotong royong, keseimbangan (harmonis). Disini diharapkan Polmas mampu meciptakan keadilan hukum yang mencerminkan keadilan sosial. Dimana hukum bukanlah memenjarakan tapi untuk menyadarkan seseorang yang telah berbuat kesalahan agar tidak diulangi perbuatannya. Peran Polmas Khususnya FKPM di Bali memiliki peran yang penting, Menurut Fatmah Nasution peran Polmas (FKPM dan Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) cukup berperan baik dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat, Hal ini dikarenakan masyarakat Bali masih kuat dalam menjalankan dan menjunjung nilai-nilai Adat istiAdat mereka, dimana Lembaga-Lembaga Adat memiliki peran yang penting dalam menyelesaikan suatu perkara pidana.337 pengadilan, baik dipandang dari segi hubungan masyarakat, dari segi waktu yang lama, biaya besar, tenaga yang digunakan. 337 Berdasarkan wawancara dengan AKBP Hj. Fatmah Nasution, S.H,.M.H selaku Kasubdit Binpolmas dit Binmas Polda Bali tanggal 20 Desember 2012.
183
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Tabel 6.1. Data POLMAS (BHABINKAMTIBMAS , FKPM, dan BKPM) di Provinsi Bali No
Kesatuan
1
Polresta Denpasar Polres Buleleng Polres Gianyar Polres Tabanan Polres Klungkung Polres Bangli Polres Karangasem Polres Jembrana Polres Badung Jumlah
2 3 4 5 6 7 8 9
Jumlah Desa/Kel BHABIN FKPM Anggota BKPM FKPM 54 57 54 1278 148
148
35
445
-
70
70
77
942
1
133
133
143
1875
-
59
59
59
1008
-
72
72
72
720
-
78
78
78
1614
-
51
53
51
841
51
51
56
52
733
-
716
726
621
9456
52
KET
Dari data diatas dapat dilihat jumlah Polmas (Bhabinkamtibmas, FKPM) cukup banyak. Dimana masing-masing Desa/Kelurahan memiliki 1 sampai dengan 2 Bhabinkamtibas dan FKPM. Darah Tabanan memiliki FKPM terbanyak dikarenakan masyarakat tabanan masih bersifat Homogen dimana masyarakat tabanan masih belum terlalu banyak
didatangi pendatang dari luar Bali dan
Tabanan merupakan daerah yang paling sering terjadi konflik. Sedangkan Denpasar, Badung dan Buleleng merupakan daerah yang paling sedikit memiliki FKPM dikarenakan daerahnya sudah Heterogen telah banyak berbaur dengan penduduk pendatang dari berbagai daerah diIndonesia. Dari data Polmas tersebut dapat digambarkan bahwa keberadaan Polmas yang merupakan sinergi antara sub Sistem Peradilan Pidana (Kepolisian) dan Masyarakat termasuk Lembaga Adat cukup banyak menarik minat dari masyarakat. Terbukti anggota FKPM mencapai 9456 orang yang tersebar dari beberapa kabupaten dan kota di Provinsi Bali. Peran masyarakat begitu pentig
184
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
dalam penerapan keadilan Restoratif. Dimana keadilan Restoratif tidak hanya berorientasi pada korban saja, namun semua pihak yang berperkara (stakeholder) turut serta dalam menyelesaikan suatu perkara khususnya disini Tindak Pidana Adat Bali. Pelibatan serta pemberdayaan masyarakat dalam setiap permasalahan yang ada akan menimbulkan kepedulian. Kepedulian masyarakat terwujud dari munculnya keinginan mereka untuk mau tahu dan mulai berempati akan masalah yang sedang terjadi di lingkungan mereka. Dengan adanya partisipasi masyarakat ini maka masyarakat bersama-sama dengan kepolisian akan mencari jalan keluar secara bersama terhadap persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat (baik perkara pidana umum maupun perkara khusus seperti Tindak Pidana Adat Bali). Peran Polmas yang bersinergi dengan Lembaga Adat
(Hybrid Justice
System) dalam menyelesaikan perkara pidana dapat dilihat dari beberapa kasus pidana, baik pidana umum maupun pidana khusus (Tindak Pidana Adat Bali), sebagai berikut : Kasus 6.1 Tempus Delicti Jenis Tindak Pidana Pelaku/Korban Kronologis
Proses Penyelesaian
14 Januari 2012 (Desa Dangin Puri Kelod) 351 KUHP (penganiayaan) Putu Eka Widiana/Dewa Putu Nova Wiraputra Pada tanggal 14 Januari 2012, pelaku (Putu Eka Widiana) yang merupakan pelajar melakukan pemukulan terhadap Korban (Dewa Putu Nova Wiraputra) yang juga pelajar. Selain melakukan pemukulan Pelaku juga merampas HP milik dari korban. Melihat Pelaku dan Korban masih berstatus pelajar (SD) maka dilakukan perdamaian oleh Petugas Polmas Dangin Puri Kelod (Suwondo) berkoordinasi dengan Kelihan Dinas Banjar Jayagiri dan Kepala Desa Dangin Kelod. Disini dibuat surat Kesepakatan yang isinya Pelaku meminta maaf kepada korban (Pengaksama), pelaku mengembalikan HP korban, serta berjanji tidak mengulangi perbuatannya tersebut.
Dalam perkara ini Pelaku dapat diancam melanggar ketentuan pasal 351 KUHP atas perbuatan menganiaya korban dan dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) Tahun 8 (delapan) bulan atau pidana denda paling banyak Rp.4.500,(empat ribu lima ratus rupiah). Selain melakukan penganiayaan terhadap korban juga melakukan perampasan terhadap barang milik korban yaitu HP milik korban.
185
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Melihat laporan tersebut Polmas (Polisi Masyarakat) Dangin Puri Kelod berinisiatif untuk menyelesaikan kasus tersebut dengan menggunakan pendekatan musyawarah mufakat melalui mekanisme mediasi perdamaian. Perdamaian ini didasari karena status pelaku dan korban masih berstatus SD yang mana masih memiliki masa depan yang cerah. Maka penyelesaian dilakukan dengan pertemuan antara pelaku dan keluarganya, korban, dan keluarganya Polmas (sub Sistem Peradilan Pidana) dan Lembaga Adat yakni kelihan Dinas Banjar Jayagiri dan kepala desa Dangin Kelod. Penyelesaian dilakukan dengan semangat kekeluargaan dimana para pihak yang berperkara diselesaikan adanya permohonan maaf dari pelaku bagi si korban serta mengembalikan barang milik korban (HP) dan tidak lupa dibuat surat pernyataan perdamaian yang isinya pelaku berjanji tidak mngulangi perbuatan tersebut. Penyelesaian perkara sebagai model kasus ini merupakan penjabaran nilai-nilaikeadilan Restoratif yang merestorasi (mengembalikan kekeadaan semula) antara pelaku dan korban beserta keluarganya agar tidak berkonflik panjang dengan bantuan Polmas (sub Sistem Peradilan Pidana) yang bersinergi dengan Lembaga Adat (Disini Kelihan Banjar dan Kepala Desa). Kasus 6.2 Tempus Delicti Jenis Tindak Pidana Pelaku/Korban Kronologis
Proses Penyelesaian
8 Agustus 2012 (Desa Sayan Ubud) 351 KUHP (penganiayaan) I Wayan Kobang/I Putu Jon Asmaranata Pada 8 Agustus 2012, Pelaku melakukan pemukulan terhadap korban dibagian hidung, hal tersebut terjadi karena persoalan anak muda yaitu Korban dan Pelaku terjadi kesalahpahaman karena masalaha perempuan yang sama-sama dari Kintamani. (Korban dari kintamani). Menanggapi kejadian tersebut, kasus ini diselesaikan oleh Kelihan Dinas Banjar Sindu bersama Polmas (Bhabinkamtibmas) dan Polpos Singakerta mempertemukan kedua belah pihak di Pos Polisi Singakerta untuk memberikan masukan tentang akibat perbuatan yang dilakukannya yang telah melanggar hukum. Kedua belah pihak dimediasi, akhirnya mereka saling memaafkan dan membuat surat pernyataan perdamaian (penyelesaian secara kekeluargaan).
186
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Kasus 6.2 sama dengan kasus 6.1 yaitu kasus penganiayaan. Dimana motif dari kasus ini adalah karena adanya kesalahpahaman antara pelaku dan korban yang berkaitan dengan masalah anak muda yaitu masalaha perebutan perempuan. Penyelesain kasus ini diselesaikan secara perdamaian diluar proses peradilan, dimana kasus ini diselesaikan oleh Kelihan Dinas Banjar Sindu bersama Polmas (Bhabinkamtibmas) dan Polpos Singakerta mempertemukan kedua belah pihak di Pos Polisi Singakerta untuk memberikan masukan tentang akibat perbuatan yang dilakukannya yang telah melanggar hukum. Kedua belah pihak dimediasi, akhirnya mereka saling memaafkan dan membuat surat pernyataan perdamaian (penyelesaian secara kekeluargaan). Kasus 6.3 Tempus Delicti Jenis Tindak Pidana Pelaku/Korban Kronologis
Proses Penyelesaian
1 April 2012 (Desa Sayan) Pengrusakan (Pasal 406 ayat (1) KUHP) I Nyoman Mandi/I Nyoman Jendra Pada tangga; 1 april 2012 sekitar pukul 20.00 WITA di Raund Bar terjadi pengrusakan pot bunga dan sayap sepeda motor yang pecah oleh pelaku, hal ini dikarenakan terjadi kesalahpahaman antara pelaku dan korban, dimana ketika kejadian pelaku sedang dalam keadaan habis mengkonsumsi minuman berakohol, sehingga perbuatannya tersebut merugikan orang lain dan melanggar aturan. Proses perkara ini diselesaikan dengan menggunakan mekenisme musyawarah, dimana dihadiri oleh kelihan dinas Banjar Penestanan Kelod, Bendesa Pakraman Penestanan, dan Anggota FKPM. Pelaku meminta maaf kepada korban, serta dibuatkan surat kesepakatan perdamaian yang isinya tidak melanjutkan perbuatan tersebut keproses hukum, dan berjanji tidak mengulangi perbuatan tersebut. Serta mengganti kerugian sebagai akibat yang ditimbulkan atas perbuatannya.
Dalam kasus 6.3 pelaku diancam melanggar ketentuan pasal 406 ayat (1) KUHP tentang pengrusakan barang seseorang. Disini pelaku melakukan pengrusakan pot bunga dan sayap sepeda motor hinga pecah. Pengrusakan ini dilatarbelakangi kesalahpahaman antara pelaku dan korban, dimana ketika kejadian pelaku sedang dalam keadaan habis mengkonsumsi minuman berakohol, sehingga perbuatannya tersebut merugikan orang lain dan melanggar aturan.
187
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Penyelesaian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan nilai-nilai keadilan Restoratif yaitu perkara ini diselesaikan dengan menggunakan mekenisme musyawarah, dimana dihadiri oleh kelihan dinas Banjar Penestanan Kelod, BenDesa Pakraman Penestanan, dan Anggota FKPM. Pelaku meminta maaf kepada korban, serta dibuatkan surat kesepakatan perdamaian yang isinya tidak melanjutkan perbuatan tersebut keproses hukum, dan berjanji tidak mengulangi perbuatan tersebut. Serta mengganti kerugian sebagai akibat yang ditimbulkan atas perbuatannya. Penyelesaian ini melibatkan semua stakeholder dalam menyelesaikan perkara ini sesuai dengan karakteristik penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan Restoratif. Bahkan disini terlihat adanya bentuk sinergi model Hybrid Justice System. Kasus 6.4 Tempus Delicti Jenis Tindak Pidana Pelaku/korban
Kronologis
Proses Penyelesaian
5 April 2011 351 KUHP (penganiayaan) I Kmang Ariawan I Kadek Rusdi Putu Agus Perdana I Ketut Alit I Kadek Ari I Kadek Sandi (korban) Pada selasa 5 April 2011 telah terjadi penganiayaan terhadap korban yang dilakukan oleh I Komang Irawan Cs. Akibat penganiayaan tersebut korban mengalami memar dibagian pelipis sebelah kanan. Penganiayaan ini terjadi karena kesalahpahaman antara pelaku dan korban. Proses perkara ini diselesaikan dengan menggunakan mekenisme musyawarah (mediasi) dimana buat kesepakatan antara lain : - Pelaku dikenakan sanksi Adat membayar denda beras masing-masing 1 Kg beras dikali jumlah KK di Br.Tarukan (267 KK) sekitar Rp.11.200.000,- Pelaku dikenakan sanksi Adat upacara penyucian (pemerascita) atas penghinaan terhadap prajuru Br. Juga Desa Mas, - Pelaku dikenakan upacara pecaruan 1 ekor ayam di TKP Pelaksanaan perdamaian dilakukan oleh polmas, Kelihan dinas Br.Juga Desa Mas, Kelihan Dinas Banjar Tarukan.
188
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Kasus 6.4 merupakan kasus penganiayaan. Kasus ini berbeda dengan kasus 6.1 dan 6.2 yang sama mengenai kasus penganiayaan. Dalam kasus ini pelakunya berjumlah lebih dari satu yaitu I Kmang Ariawan, I Kadek Rusdi, Putu Agus Perdana, I Ketut Alit,dan I Kadek Ari sedangkan korban adalah I Kadek Sandi. Penganiayaan ini terjadi karena latar belakang kesalahpahaman antara pelaku dan korban. Pelaksanaan perdamaian dilakukan oleh polmas, Kelihan dinas Br.Juga Desa Mas, Kelihan Dinas Banjar Tarukan. Proses perkara ini diselesaikan dengan menggunakan mekenisme musyawarah (mediasi) dimana buat kesepakatan antara lain : - Pelaku dikenakan sanksi Adat membayar denda beras masing-masing 1 Kg beras dikali jumlah KK di Br.Tarukan (267 KK) sekitar Rp.11.200.000,- Pelaku dikenakan sanksi Adat upacara penyucian (pemerascita) atas penghinaan terhadap prajuru Br. Juga Desa Mas, - Pelaku dikenakan upacara pecaruan 1 ekor ayam di TKP Berbeda dengan kasus 6.1 dan 6.2 dalam kasus inio. Kesepakatan perdamaian dibebankan sanksi Adat yaitu pembayaran sejumlah uang guna pelaksanaan upacara penyucian. Sebab dalam kasus penganiayaan ini menimbulkan kegoncangan keseimbangan suatu wilayah masyarakat Adat yang dapat menimbulkan dampak yang negatif apabila tidak disucikan kembali. Kasus 6.5 Tempus Delicti Jenis Tindak Pidana Pelaku Kronologis
Proses Penyelesaian
17 Februari 2012 Mamitra Ngalang Pak Tut De Pak Tut De melakukan tindak Pidan Adat Bali yaitu melakukan perbuatan memitra ngalang, yaitu suami yang mempunyai hubungan dengan wanita lain yang diberi nafkah lahir dan batin layaknya suami istri, tapi belum dikawini secara sah. Dari perbuatan tersebut menghasilkan anak. Permasalahan yang terjadi adalah istri tua tidak menghendaki adanya poligami. Proses perkara ini diselesaikan dengan menggunakan mekenisme musyawarah dirumah Pak Tut De dan Nyoman Sulendra, dimana penyelesaian ini dihadiri oleh I Made Merjaya (Polmas) dan Kelihan Dinas Banjar Umaklungkung.
189
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Dalam kasus 6.5 merupakan kasus yang termasuk delik Adat yang tiada padanannya dalam KUHP. Kasus ini serupa dengan kasus perzinahan dalam KUHP namun kasus ini dikategorikan sebagai Mamitra Ngalang yaitu suami yang mempunyai hubungan dengan wanita lain yang diberi nafkah lahir dan batin layaknya suami istri, tapi belum dikawini secara sah. Si pelaku Tut De dari akibat perbuatannya menghasilkan anak. Permasalahannya adalah istri Tua tidak menghendaki adanya perkawinan. Namun dalam perkembangannya atas dasar kemanusiaaan si istri tua menghendaki perkawinan kedua oleh Tut De. Sebelum adanya kemauan dari si istri tua untuk menikah telah terjadi pertemuan sebelumnya yang dihadiri oleh I Made Merjaya (Polmas) dan Kelihan Dinas Banjar Umaklungkung guna mencari pokok penyelesaian perkara tersebut. Kasus ini tidak diselesaikan melalui mekanisme keadilan Restoratif sebab tidak adanya kesukarelaan dari si istri tua untuk memberikan izin pernikahan kepada sipelaku dan selingkuhannya. Pernikahan terjadi karena rasa kemanusiaan dari si istri tua. Sedangkan persyaratan utama dari keadilan Restoratif yang menghendaki adanya restorasi adalah adanya kesukarelaan dari masing-masing stakeholder. Kasus 6.6 Tempus Delicti Jenis Tindak Pidana Pelaku Kronologis
Proses Penyelesaian
15 Maret 2011 Mamitra Ngalang Ketut Netra Ketut Netra melakukan tindak Pidan Adat Bali yaitu melakukan perbuatan memitra ngalang, yaitu suami yang mempunyai hubungan dengan wanita lain yang diberi nafkah lahir dan batin leyaknya suami istri, tapi belum dikawini secara sah. Dari perbuatan tersebut berakibat selingkuhannya Dewa Putu Dawa Hamil. Ketut Netra Bersedia menikahi teman selingkunya tersebut akan tetapi istri Tuanya (Desak Nyoman Wardani) tidak menyetujui hal tersebut. Proses penyelesaiannya yaitu diadakan pertemuan (secara musyawarah dan kekeluargaan) yang dimediasi oleh kelian Adat/kaling, Polmas (Bhabinkamtibmas) dan keluarga besarnya. Pada awalnya istri tua tetap tidak mau menyetujui perkawinan ini namun setelah dilakukan dialog secara berulang ulang akhirnya istri tua menyetujui pernikahan tersebut dengan alasan kemanusiaan.
Kasus 6.6 sama dengan kasus 6.5 mengenai mamitra ngalang yang
190
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
membedakan hanya tempat kejadiannya saja. Kasus ini diselesaikan diluar proses peradilan formal secara perdamaian. Dari penjabaran kasus diatas dapat disimpulkan dalam penyelesaian perkara-perkara pidana baik pidana umum (dalam KUHP) yang bersifat ringan dan Tindak Pidana Adat telah melakukan suatu bentuk kolaborasi oleh Subsistem Sistem Peradilan Pidana dan Lembaga Adat (Hybrid Justice System). Dimana dalam masyarakat Bali, Polmas dan Lembaga-Lembaga Adat (seperti kelihan Adat, Kelihan dinas, benDesa Adat) melakukan suatu sinergi dalam memecahkan dan menyelesaikan suatu perkara pidana melalui pendekatan musyawarah mufakat (pada umumnya melakukan mediasi). Selain penjabaran Hybrid Justice System dalam Polisi Masyarakat (Polmas), Salah satu aplikasi dari Hybrid Justice System, nampak dalam upaya menyelesaikan suatu perkara Adat Bali diperlukan suatu hubungan yang proporsional dan sinergis antara pemerintah (Sistem Peradilan Pidana) dengan Desa Pakraman, yang dapat digambarkan sebagai berikut :338 a.
hendaklah memberikan kewenangan terlebih dahulu kepada Lembaga Adat untuk menyelesaikan suatu perkara Adat,
b.
dalam hal suatu perkara diselesaikan oleh pemerintah melalui badan peradilan (Sistem Peradilan Pidana), didalam memeriksa perkara yang menyangkut masalah Adat hendaknya mendengarkan keterangan saksi dari Lembaga Adat (sebagai saksi ahli),
c.
pemerintah harus mengayomi keputusan perdamaian yang telah diambil oleh Lembaga Adat.
6.4. Peran Lembaga Adat dalam menyelesaikan Tindak Pidana Adat Bali dengan mempergunakan pendekatan Keadilan Restoratif Suatu perkara baik sengketa atau kejahatan sudah ada sejak dahulu kala hingga sekarang. Bahkan dimasa depanpun diperkirakan hal tersebut masih ada. Suatu perkara bukanlah suatu hal yang istimewa, melainkan suatu hal yang biasa dan pasti akan terjadi didalam interaksi dalam masyarakat. Oleh karenanya, suatu 338
I Gusti Agung Putu Yadnya, Penyelesaian Perkara Adat Beberapa Pokok Pikiran, dalam Wicara lan Pamidanda, (Denpasar : Udayana University Press, 2010), hlm.150.
191
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
perkara bukanlah hal yang terpenting namun yang terpenting adalah bagaimana suatu perkara tersebut diselesaikan agar tidak memberatkan para pihak yang berperkara, tidak menimbulkan suatu masalah hukum yang baru, dan tidak semakin meluas yang pada akhirnya menyusahkan masing-masing piak. Janganlah manusia dikuasai dan diatur oleh suatu perkara namun seBaliknya manusialah yang mengatur dan menyelesaikannya. Di dalam masyarakat ada suatu kata bijak yang menyatakan bahwa “selesaikan suatu sengketa (perkara) dengan tuntas tanpa meninggalkan rasa dengki, permusuhan, dan dendam kesumat, jangan biarkan sengketa (perkara) beranak-cucu perkara”. Beruntung bagi masyarakat Bali karena telah memiliki suatu kearifan lokal yang mumpuni dalam mengelola konflik (perkara perdata dan pidana). Perkara Adat atau yang dikenal dengan wicara adalah perkara yang muncul karena sengketa Adat atau pelanggaran norma hukum Adat Bali, baik tertulis maupun tidak tertulis (catur dresta) yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu, yang tidak termasuk sengketa perdata dan/atau pelanggaran hukum menurut negara. Menurut I Ketut Sudantra perkara-perkara pidana maupun sengketa yang mengganggu keseimbangan masyarakat Bali yang berfilosofis dari konsep Tri Hita Karana termasuk juga sebagai suatu perkara Adat atau wicara, yang mana penyelesaiannya diselesaikan melalui mekanisme yang diakui dalam masyarakat Hukum Adat Bali. Adapun Tujuan penyelesaian suatu perkara Adat adalah menciptakan kedamaian (kasukertan) bagi pihak yang berperkara (mawicara) dan masyarakat pada umumnya serta menemukan kebenaran berdasarkan hukum Adat Bali yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu. Secara histories, sebelum masyarakat mengenal hukum tertulis, cara yang ditempuh untuk menyelesaikan suatu perkara yang mereka hadapi adalah dengan menggunakan kebiasaan mereka yang bersifat informal (Hukum Adat setempat).339 Hal tersebut masih nampak pada Desa-desa di Bali yang mana telah memiliki mekanisme tradisional dalam penyelesaian perkara secara berjenjang, mulai institusi keluarga, Banjar, dan desa (Adat dan dinas), dengan pendekatan
339
Joni Emerson, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negoisasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase), (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm.1.
192
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
penyelesaian secara kekeluargaan berdasarkan asas musyawarah mufakat.340 Secara umum penyelesaia suatu perkara Adat dilakukan secara berjenjang oleh Lembaga-Lembaga Adat di Bali, yaitu dengan jenjang-jenjang sebagai berikut : 1.
Pertama, penyelesaian melalui perundingan langsung antara para pihak yang berperkara (penyelesaian intern kekeluargaan),
2.
Apabila tidak dapat terselesaikan maka penyelesaian dilanjutkan ke tingkat Banjar Pakraman dan kasus tersebut diselesaikan oleh prajuru Banjar Pakraman, terutama apabila para pihak yang berperkara berasal dari 1 (satu) Banjar,
3.
Apabila ditingkat Banjar Pakraman, dengan bantuan prajuru Banjar tidak dapat diselesaikan maka penyelesaian ditingkatkan ketingkat Desa Pakraman oleh Bendesa, Sabha Kerta, Kerta Desa, apabila ditingkat Banjar tidak dapat diselesaikan atau pihak yang berperkara berasal dari Banjar yang berbeda,
4.
Apabila ditingkat Desa Pakraman tidak berhasil maka dilanjutkan dengan Penyelesaian secara perdamaian dengan perantara (mediasi) pihak ketiga, baik perorangan maupun lembaga lain atau Majelis Desa Pakraman (MDP) sesuai jenjang. Penyelesaian perkara Adat dalam tahap ini akan dilaksanakan oleh Majelis Alit Desa Pakraman (MADP) kecamatan apabila prajuru Desa Pakraman tidak berhasil menyelesaikan suatu perkara Adat berdasarkan aturan-aturan yang telah ada (awig-awig) Desa Pakraman setempat.
5.
Apabila suatu perkara Adat tidak dapat diselesaikan dalam tahap mediasi ditingkat MADP, maka pihak yang berperkara dapat menyerahkan Penyelesaian perkara Adat kepada Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP), dengan surat pengantar dari MADP kecamatan untuk mendapatkan putusan. Disini dalam membuat keputusan MMDP wajib berkonsultasi dengan MUDP. Bentuk penyelesaiannya adalah berupa keputusan Bendesa MMDP dan semua anggota Sabha Kertha MMDP.
6.
Pada tahap terakhir penyelesaian suatu perkara Adat oleh Lembaga Adat
340
Dewa Rai Asmara Putra, dkk, Wicara lan Pamidanda, University Press), hlm.v.
193
(Denpasar : Udayanan
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
adalah penyelesaian di tingkat MUDP provinsi Bali oleh Bendesa Agung bersama Sabha Kerta, jika perkara Adat tidak dapat diselesaikan ditingkat MMDP ditingkat kabupaten/kota. (disini MUDP berfungsi membuat keputusan final dalam menyelesaikan suatu perkara Adat), 7.
Apabila pada jenjang penyelesaian oleh Lembaga Adat tidak menemui hasil dalam penyelesaian suatu perkara Adat, maka terhadap perkara tersebut dapat diserahkan kepada badan peradilan yang berwenang untuk dimintai putusan yang dianggap lebih adil. Pada umumnya apabila telah menemupuh jalur pengadilan dan mendapat putusan pengadilan, hal tersebut tidak mengurangi penerapan sanksi Adat yang dikenakan kepada tersangkanya.
194
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Bagan 6.1 Bagan Jenjang Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali Oleh LembagaLembaga Adat Bali
Penyelesaian Intern keluarga
Penyelesaian Tingkat Banjar Pekraman
Penyelesaian Tinkat Desa Pekraman
Penyelesaian Tinkat MADP
Mediasi
Penyelesaian Tinkat MUDP
Putusan
Penyelesaian Tinkat MMDP
Penyelesaian Tinkat Banding dan final
SPP
Sebagaimana Penjabaran Bagan diatas, maka akan dijelaskan tata cara mekanisme penyelesaian suatu perkara pidana Adat oleh Lembaga Majelis Desa Pakraman dapat dikelompokan menjadi 4 (empat tahap), yaitu : 1.
Penyelesaian secara kekeluargaan melalui perundingan langsung para pihak yang terlibat wicara. (negoisasi antara korban dan pelaku atau korban
195
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
beserta
keluarganya
dengan
pelaku
dengan
keluarganya).
Bentuk
penyelesaian penyelesaian model ini berupa kesepakatan bersama yang dituangkan dalam surat pernyataan yang ditandatangani oleh para pihak yang mawicara (berperkara) dan diketahui oleh Bendesa MDP sesuai jenjang. Dalam pelaksanaan penyelesaian perkara Adat secara kekeluargaan terdapat beberapa persyaratan diantaranya : a. b. c. d.
e. f.
g. h. i.
ada ithikad baik dan niat yang kuat dari masing-masing pihak yang berperkara untuk menyelesaikan suatu perkara Adat yang dihadapinya secara kekeluargaan, Masing-masing pihak yang berperkara agar senantiasa menjaga hubungan komunikasi agar tidak terputus dan bersedia berbuat yang patut, Alternatif penyelesaian yang ditawarkan masing-masing pihak masih mungkin untuk diadakan tawar menawar, Ada kesepakatan untuk tidak mempublikasi suasana dan substansi pembicaraan, baik secara langsung maupun tidak langsung, sebelum dicapai kesepakatan akhir dan pengumuman resmi kesepkatan tersebut, Masing-masing pihak yang berperkara agar menyiapkan seorang juru bicara, Selama masih dalam proses penyelesaian perkara Adat, juru bicara tidak dapat diganti, kecuali karena keadaan terpaksa karena sakit, meninggal dunia, tidak dipercaya lagi oleh pihaknya dalam hal pihak yang berperkara adalah lembaga, Setiap perubahan waktu, tempat, substansi pembahasan, agar mendapat persetujuan pihak-pihak yang berperkara, Taat asas (satya) untuk melaksanakan segala kesepakatan yang telah disepakati melalui penyelesaian secara kekeluargaan, dan Sesudah kesepkatan dicapai dan perkara dianggap selesai, dianjurkan untuk melakukan persembahyangan (atur piuning) bersama pada tempat suci yang telah disepakati.
Menurut Artadi, Penyelesaian suatu perkara diluar proses persidangan (pengadilan) adalah penyelesaian yang berkualitas paling tinggi oleh karena suatu perkara yang diselesaikan secara demikiam akan dapat selesai tuntas tanpa meninggalkan sisa kebencian dan dendam. Hal ini disebabkan karena penyelesaian perkara secara non-litigasi intinya adalah penyelesaian tanpa ada yang kalah (win-win solution). Hukum dan cara-cara penerapan hukum dengan meyakinkan kepada para pihak bahwa hukum itu adalah cara yang
196
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
paling bermoral.341 2.
Penyelesaian secara perdamaian dengan perantara (mediasi) pihak ketiga, baik perorangan maupun lembaga lain atau Majelis Desa Pakraman (MDP) sesuai jenjang. Penyelesaian perkara Adat dalam tahap ini akan dilaksanakan oleh Majelis Alit Desa Pakraman (MADP) kecamatan apabila prajuru Desa Pakraman tidak berhasil menyelesaikan suatu perkara Adat berdasarkan aturan-aturan yang telah ada (awig-awig) Desa Pakraman setempat. Penyelesaian pada tahap mediasi ini MADP wajib didampingi unsur MMDP. Penyelesaian suatu perkara Adat dengan menggunakan mediasi dengan perantara MDP, harus diajukan secara tertulis kepada Bendesa Alitan MADP, dengan ketentuan : 1.
permohonan diajukan melalui Bendesa alitan MADP,
2.
melampirkan penyelesaian oleh Bendesa Desa Pakraman,
3.
melampirkan
kronologis
peristiwa
dan/atau
pokok
permasalahan, 4.
mengajukan tawaran penyelesaian dan dasar pertimbangan penyelesaian,
5.
tembusan kepada Bendesa pakraman setempat dan/atau pihakpihak yang berperkara
Penyelesaian dengan menggunakan mediasi bentuk penyelesaiannya adalah kesepakatan bersama yang dituangkan dalam surat pernyataan yang ditandatangani oleh para pihak yang berperkara, pihak ketiga yang menjadi mediator dan diketahui oleh Bendesa MDP342 sesuai jenjang. Sedangkan 341
I Ketut Artadi, I Gede Dermawan, Dewa N. Rai Asmara Putra, dan Nyoman Martana, Ketrampilan Non Litigasi, (Denpasar : Sinay, 2004), hlm.6 342 Peran bendesa MDP dalam proses mediasi suatu perkara Adat , dapat dilihat dari 2 (dua) kedudukan : pertama, peran bendesa MDP ketika pihak lain berfungsi sebagai mediator, disini peran berdesa MDP adalah : (a) menjelaskan kepada pihak yang berperkara bahwa bentuk penyelesaian perkara Adat secara kekeluargaan atau dengan menggunakan pihak lain sebagai perantara adalah berupa kesepakatan bersama yang dituangkan dalam surat pernyataan yang ditandatangani oleh para pihak yang berperkara, pihak lain (mediator) dan Bendesa MDP sesuai jenjang, (b) menjelaskan kepada pihak mawicara tentang persyaratan yang harus dipenuhi serta konsekuensi yuridis dan moral yang menyertai penyelesaian wicara dengan menggunakan pihak ketiga sebagai perantara. Sedangkan kedua, peran Bendesa MDP dalam Hal MDP menjadi mediator, yaitu (a) menjelaskan kepada pihak berperkara bahwa MDP dapat diminta menjadi mediator atau diminta untuk memutuskan suatu perkara Adat, (b) menjelaskan perbedaan
197
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
mediasi
yang
mediatornya
adalah
MDP
surat
kesepakatannnya
ditandatangani oleh MDP dan para pihak yang berperkara. Dalam pelaksanaan mediasi oleh MADP atau lembaga lain, harus memenuhi persyaratan penyelesaian perkara yaitu : a.
b. c. d.
e. f.
g. h.
i.
j. k. l.
ada itikad baik dan niat yang kuat dari masing-masing pihak untuk menyelesaikan perkara Adat yang dihadapi dengan menggunakan MADP atau lembaga lain sebagai perantara (mediator), masing-masing pihak yang berperkara agar senantiasa menjaga hubungan komunikasi tidak terputus dan bersedia tidak berbuat yang tidak patut, alternatif penyelesaian yang ditawarkan masing-masing pihak masih dimungkinkan untuk diadakan tawar menawar, ada kesepakatan untuk tidak mempublikasikan suasana dan substansi pembicaraan, baik secara langsung maupun tidak langsung, sebelum dicapai kesepakatan akhir dan pengumuman resmi kesepakatan tersebut, masing-masing pihak yang berperkara agar menyiapkan juru bicara, Selama masih dalam proses penyelesaian perkara Adat, juru bicara tidak dapat diganti, kecuali karena keadaan terpaksa karena sakit, meninggal dunia, tidak dipercaya lagi oleh pihaknya dalam hal pihak yang berperkara adalah lembaga, Setiap perubahan waktu, tempat, substansi pembahasan, agar mendapat peretujuan pihak-pihak yang berperkara, Menyerahkan berkas perkara selengkap-lengkapnya kepada mediator disertai ringkasan kronologis perkara Adat yang dihadapi dan alternatif penyelesaian yang ditawarkan disertai dasar pertimbangannya, Masing-masing pihak bersedia membahas alternatif penyelesaian perkara yang ditawarkan MADP atau lembaga lain, dalam hal tidak ada kata sepakat atas alternatif penyelesaian yang ditawarkan masing-masing pihak, Dalam menyelesaikan perkara Adat dengan menggunakan MADP sebagai perantara (mediator), MADP wajib didampingi oleh prajuru MMDP. Taat asas (satya) untuk melaksanakan segala kesepakatan yang telah disepakati melalui penyelesaian secara kekeluargaan, dan Sesudah kesepkatan dicapai dan perkara dianggap selesai, dianjurkan untuk melakukan persembahyangan (atur piuning) bersama pada tempat suci yang telah disepakati.
persyaratan dan konsekuensi penyelesaian perkara Adat dengan menggunakan mediator dan penyelesaian perkara Adat dengan menyerahkan kepada MDP untuk memutuskannya.
198
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
3.
Apabila suatu perkara Adat tidak dapat diselesaikan dalam tahap mediasi ditingkat MADP, maka pihak yang berperkara dapat menyerahkan Penyelesaian perkara Adat kepada Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP), dengan surat pengantar dari MADP kecamatan untuk mendapatkan putusan. Disini dalam membuat keputusan MMDP wajib berkonsultasi dengan MUDP. Bentuk penyelesaiannya adalah berupa keputusan Bendesa MMDP dan semua anggota Sabha Kertha MMDP.
4.
Keberatan atas keputusan MMDP dapat diajukan banding kepada Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) selambat-lambatnya 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal keputusan MMDP diterima oleh para pihak yang berperkara. Apabila dalam tenggak waktu tersebut belum ada pernyataan keberataan yang diajukan secara tertulis, maka keputusan MMDP memiliki kekuatan hukum yang tetap. Sepanjang belum ada keputusan lain dari MUDP, maka keputusan MMDP tetap berlaku. Apabila ada keberatan oleh salah satu pihak yang berperkara maka MUDP Bali wajib memberikan keputusan terhadap perkara Adat yang diajukan kepada selambat-lambatnya 100 (seratus) hari sejak
permohonan
tersebut
diterima.
Dengan
menyerahkan
permohonan penyerahan perkara Adat kepada MDP, dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Bendesa MDP sesuai jenjang dengan ketentuan : 1.
melampirkan penyelesaian oleh Bendesa Desa Pakraman dan MDP sesuai jenjang,
2.
melampirkan
kronologis
peristiwa
dan/atau
pokok
permasalahan, 3.
mengajukan tawaran penyelesaian dan dasar pertimbangan penyelesaian,
4.
tembusan kepada Bendesa Pakraman setempat dan/atau pihakpihak yang berperkara.
Bentuk penyelesaian pada tahap ini berupa surat keputusan MUDP yang ditandatangani oleh Bendesa Agung dan semua anggota Sabha
199
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
kertha MUDP. Keputusan ini bersifat final mengikat para pihak yang berperkara. Dengan adanya keputusan final ini maka perkara Adat dianggap telah selesai. Dalam keadaan darurat atau tertentu majelis Desa Pakraman dapat mengambil langkah tertentu untuk mengantisipasi, mengatasi, dan menyelesaikan perkara Adat, berkoordinasi dengan instansi berwenang lainnya. Disini dalam menyelesaikan perkara Adat yang sedang terjadi pada umumnya Majelis Desa Pakraman berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dalam Sistem Peradilan Pidana agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam menyelesaikan suatu perkara Adat atau umum. Dalam menyelesaikan suatu perkara Adat senantiasa para
aparat
penegak
Hukum
Adat
Bali
harus
memperhatikan
dan
mempertimbangkan 3 (tiga) asas, yaitu : 1.
Kalasyaan, yaitu diterima secara tulus ikhlas oleh semua pihak yang mawicara,
2.
Kasujatian, yaitu kondisi objektif yang dihadapi dalam masyarakat,
3.
Kepatutan, yaitu kebaikan berdasarkan hukum Adat Bali dan awigawig Desa Pakraman, baik tertulis maupun tidak tertulis (catur dresta) yang sesuai dengan perkembangan zaman dan nilai-nilai agama Hindu.
Suatu bentuk mekanisme penyelesaian perkara Adat telah terakomodasi dalam aturan hukum Adat yaitu awig-awig. Bahkan Biro Hukum Setda Provinsi Bali telah mengeluarkan contoh awig-awig yang mana salah satu pointnya mengatur mengenai mekanisme penyelesaian perkara Adat, yaitu sebagai berikut : 1.
2.
Sane wenang mawosin makadi mutusang wicara ring desa inggih punika prajuru desa sinanggeh kerta desa: a. Kelihan Banjar, prade sang mawicara sane patunggalan Banjar; b. Bendesa Adat, sang mawicara sami-sami ring patunggalan Desa Adat, tata dudonan mawosin saha muputang wicara warga desa kadi ring sor : a. Kaping ajeng kabawosin antuk kelihan Banjar; b. tan cumpu ring panepas kelihan Banjar katunasang ring panglisir Banjar c. panglingsir Banjar/kerta Banjar tan kacumponin katedunang
200
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
d. e. f.
ring paruman Banjar; Paruman Banjar tan kanutin kengin nunasang ring Bendesa Adat; Bendesa Adat tan (prasida muputang katincapang ring panglingsir desa sinanggeh kerta desa; Prade taler pamatut panglingsir desa tan kacumponin katunasang ring paruman desa, sianggeh wasananing pamutus ring desa.
Terjemahan bebasnya, sebagai berikut : 1.
2.
pihak yang berwenang menyelesaikan perkara diDesa Pakraman adalah prajuru selaku kertha desa (hakim desa) : a. kelihan Banjar, jika yang berperkara berasal dari Banjar yang sama; b. Bendesa Adat, jika yang berperkara sama-sama berasal dari Desa Pakraman yang sama. tatacara membicarakan dan memutus perkara warga desa, sebagai berikut : a. pada tingkat pertama diselesaikan oleh kelihan Banjar; b. (jika para pihak) tidak setuju terhadap keputusan kelihan Banjar, dimohonkan penyelesaiannya kepada panglingsir Banjar; c. keputusan panglingsir Banjar/kerta Banjar tidak diikuti, diminta penyelesaian dari paruman (rapat) Banjar; d. keputusan paruman Banjar tidak diikuti, dapat dimohonkan penyelesaian melalui Bendesa Adat; e. Bendesa Adat tidak mampu menyelesaikan perkara tersebut, ditingkatkan penyelesaian oleh penglingsir selaku kerta desa; f. jika hal itu juga tidak diterima oleh para pihak, dimohonkan penyelesaian diparuman desa, sebagai penyelesaian terakhir ditingkat desa.
Dalam contoh awig-awig yang dikeluarkan oleh Biro hukum Setda Provinsi Bali tidak nampak peran MDP dalam proses penyelesaian suatu perkara Adat, hal itu dikarenakan MDP baru dibentuk pada tahun 2004 sedangkan contoh awigawig ini dikeluarkan pada tahun 2001. Bahkan dalam penelitian oleh Ida Bagus Nyoman Rai yang ikut serta dalam penanganan konflik Adat di Gianyar, menyatakan bahwa dalam menyelesaikan suatu perkara Adat dibentuk suatu Tim Penanganan Kasus Adat/Sosial Kabupaten Gianyar. Berdasarkan Keputusan Bupati Gianyar Nomor 181 Tahun 2007 tentang Pembentukan Tim Penanganan Kasus-Kasus Adat/Sosial di Kabupaten Gianyar, tugas Tim ini adalah sebagai berikut : a.
Melaksanakan kegiatan penanganan kasus-kasus Adat/sosial yang
201
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
terjadi dikabupaten Gianyar; b.
Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait dan aparat keamanan dalam hal penanganan kasus-kasus Adat/sosial di Kabupaten Gianyar;
c.
Menyusun laporan hasil pembahasan tim penanganan kasus-kasus Adat/sosial di Kabupaten Gianyar; dan,
d.
Bertanggung jawab dan melaporkan hasil kerja kepada bupati Gianyar.
Sekilas Tim Penanganan Kasus Adat/Sosial di Kabupaten Gianyar memiliki kemiripan dengan peran Polisi Masyarakat, yang menekankan penyelesaian suatu perkara dengan mengutamakan upaya preventif, yakni mencegah agar suatu masalah tidak berkembang menjadi kasus atau perkara pidana, Upaya preventif ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kekeluargaan. Apabila Upaya Preventif tidak dapat mencegah suatu kasus Adat, maka kasus Adat ini akan diselesaikan secara bertahap/berjenjang. Upaya penanganannya sama dengan Lembaga Adat Bali lainnya, dimulai dari tingkat desa/kelurahan, yang difasilitasi oleh Kades/lurah dengan mediator oleh para tetua Adat (tokoh-tokoh Adat yang disegani didaerah tersebut). Apabila tidak mampu diselesaikan ditingkat desa maka dinaikan ketingkat kecamatan, yang difasilitasi oleh Camat. Camat mempertemukan pihak yang berperkara dengan melibatkan Muspika Kecamatan, MADP, serta Instansi terkait (biasanya mengikut serta aparat penegak hukum formal). Apabila ditingkat kecamatan tidak bisa maka dinaikan tingkat kabupaten (MMDP), dan berlanju ke Provinsi (MUDP) bila tingkat kabupaten gagal. PembentukanTim Penanganan Kasus Adat/Sosial diKabupaten Gianyar merupakan salah satu bentuk penjabaran dari Mekanisme Hybrid Justice System yang mana tim ini dibentuk oleh Lembaga Pemerintahan, Lembaga-Lembaga Adat dan sub-Sistem Peradilan Pidana. Dimana Tim ini diketuai langsung oleh Wakil Bupati, dengan wakilnya yaitu ketua MDP Kabupaten Gianyar dan Asisten I setda Kabupaten Gianyar. Sekretarisnya yaitu Kepala Badan Kesbang-Linas Kabupaten Gianyar. Anggotanya tersusun atas unsur-unsur pemerintahan, sub Sistem Peradilan Pidana, Unsur pemerintahan seperti Kadis kebudayaan, Kadis PMD, dan sebagainya, sedangkan unsur sub Sistem Peradilan Pidana terdiri atas Kasat Intel Kam Polres Gianyar, Kasi Intel Kodim 1616 Gianyar, dan Kasi Intel
202
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Kajari Gianyar. Penyelesaian
suatu
perkara
Adat
di
Kabupaten
Gianyar
lebih
mengutamakan musyawarah (yang merupakan nilai-nilai asli bangsa Indonesia) dan cara damai dengan pendekatan-pendekatan baik formal maupun informal. Para pihak yang berperkara dipertemukan, diadakan dialog-dialaog dengan mengedepankan falsafah menyamebraya (persaudaraan) dan ngandap kasor sehingga penyelesaiannya menguntungkan semua pihak. Penyelesaian oleh Tim Ini sebenarnya telah mencerminkan nilai-nilai keadilan Restoraif, yang mana dalam penyelesaiannya berorientasi pada penyelesaian yang musyawarah, mengedepankan dialog-dialog diantara para pihak dalam mendapat suatu solusi penyelesaian yang menguntungkan semua pihak. 6.5. Mekanisme Penerapan Mediasi Penal dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Adat Bali Penyimpangan nilai-nilai ideal dalam masyarakat seperti pencurian, perzinahan, melukai orang, dan sebagainya. Dimana semua tingkah laku yang menyimpang akan menimbulkan persoalan didalam masyarakat. Dalam keadaan ini, kelompok masyarakat pasti menginginkan adanya jaminan ketertiban sosial (social order) untuk mempertahankan eksistensinya. Penyelesaian atas problem sosial yang melekat dalam institusi sosial masyarakat, melalui fungsi sosial kontrol masyarakat.343 Jadi dapat dikatakan bahwa masyarakat lokal sebenarnya telah memiliki mekanisme sosial yang lebih sosiologis dalam menyelesaikan pelbagai problem sosial kemasyarakatan yang bersifat memulihkan kekeadaan seperti semula (restorasi). Menurut Soepomo alam pikiran masyarakat tradisional Indonesia adalah bersifat kosmis yaitu melihat segala-galanya sebagai suatu bentuk kesatuan (totalitas), dalam alam pikiran tradisional tersebut, organisasi kemasyarakatan (Lembaga Adat) ditujukkan untuk memelihara, mengimbangi antara dunia lahir dan batin, antara golongan manusia seluruhnya dengan individu, antara teman persekutuan dan masyarakat. Segala perbuatan yang mengganggu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil 343
Ali Zainuddin, Sosiologi Hukum, (Jakarta ; Sinar Grafika, 2008), hlm.23.
203
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
tindakan.344 Kelompok-kelompok sosial (Lembaga Adat) yang ada di Bali berazaskan nilai-nilai kebersamaan, yang mengutamakan keselarasan dan keseimbangan dalam kehidupan. Prinsip yang mengutamakan keharmonisan ini lazim dikenal dengan prinsip silih asah, silih asih dan silih asuh yang berkembang menjadi semangat suka-duka salunglung sabayantaka, perasaan solidaritas yang memancarkan suasana kehidupan yang harmonis, rukun, dan tentram.345 Termasuk dalam menyelesaikan suatu perkara Adat (Tindak Pidana Adat) diperlukan suatu mekanisme penyelesaian yang berdasarkan kebersamaan yaitu mediasi. Bahkan Patrialis Akbar (Mantan Menteri Hukum dan HAM) menyatakan bahwa kasus-kasus kecil dan tidak merugikan kepentingan negara serta masyarakat sebaiknya terlebih dahulu dimediasi untuk berdamai sebelum ada kekuatan hukum tetap.346 Dalam hukum pidana dapat juga dilaksanakan mediasi, yang mana dikenal dengan Mediasi Penal. Ide yang mendasari Mediasi Penal adalah untuk menyatukan pihak-pihak yang menginginkan untuk merekonstruksi model peradilan pidana yang sangat panajng dengan model resolusi, yang akan memperkuat posisi korban dan mencari alternatif pidana, serta mencari cara untuk mengurangi kerugian dan beban berat pada Sistem Peradilan Pidana mengingat sistem ini lebih efektif dan efesien.347 Menurut Muladi, Mediasi Penal sebagai alternatif penyelesaian suatu perkara pidana bermanfaat bagi Masyarakat Adat.348 Pelaksanaan Mediasi Penal dalam menyelesaikan suatu Tindak Pidana Adat Bali
dengan
menggunakan
nilai-nilai
masyarakat
Bali
yang
terbiasa
menyelesaikan suatu perkara Adat dengan menggunakan pendekatan musyawarah sehingga menghasilkan kesepakatan berupa perdamaian kedua belah pihak yang harus diakui dan menjadi rujukan utama akomodasi nilai-nilai tersebut dalam hukum pidana. Sebagaimana dijelaskan dalam BAB II mengenai model-model 344
Soepomo, Op.Cit, hlm.111-112. I Gusti Agung Putu Yadnya, Penyelesaian Perakara Adat Beberapa Pokok Pikiran, dalam wicara lan Pamidanda, hlm.144. 346 Umar Sholehudin, Hukum & Keadilan Masyarakat, (Malang : Setara Press, 2011), hlm.85. 347 Umi Rozah, Konstruksi Politik Hukum Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana, dalam Hukum Pidana dalam Perspektif, editor Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings, (Denpasar : Pustaka Larasan, 2012), hlm.312 348 Suparmin, Op.Cit, hlm.40. 345
204
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
mediasi penal, dalam penerapannya dalam menyelesaikan suatu Tindak Pidana Adat Bali bisa kita mempergunakan model-model Mediasi Penal dalam menyelesaikannya. Menurut Mudzakkir mengemukakan beberapa kategorisasi sebagai tolok ukur dan ruang lingkup terhadap perkara yang dapat diselesaikan di luar pengadilan melalui Mediasi Penal adalah sebagai berikut:349 1.
Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan, baik aduan yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif.
2.
Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP).
3.
Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori “pelanggaran”, bukan “kejahatan”, yang hanya diancam dengan pidana denda.
4.
Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang hukum administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium.
5.
Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan/serba ringan dan aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi.
6.
Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses ke pengadilan (Deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum yang dimilikinya.
7.
Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum pidana Adat yang diselesaikan melalui lembaga Adat. Terhadap
penyelesaian
suatu
Tindak
Pidana
Adat
Bali
dengan
mempergunakan mekanisme Mediasi Penal tidak semua Jenis Tindak Pidana 349
Mudzakkir, Alternative Dispute Resolution (ADR): Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, makalah workshop, Jakarta, 18 Januari 2007. Bandingkan dengan kriteria tindak-tindak pidana yang dapat dimediasikan menurut Umi Rozah yaitu : (a) ancaman pidana yang rendah, (b) tingkat kerugian yang ditimbulkan rendah, (c) tindak pidana yang dilakukan karena kelalaian, (d) tindak pidana yang merupakan delik aduan absolut maupun relatif , (e) Tindak Pidana yang melibatkan anggota keluarga sebagai pelaku/korban, (f) tindak pidana dimana pelakunya anak dibawah umur, dan (g) Tindak Pidana yang unsur-unsur tindak pidananya tidak jelas. (Umi Rozah, Konstruksi Politik Hukum Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana, dalam Hukum Pidana dalam Perspektif, editor Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings, (Denpasar : Pustaka Larasan, 2012), hlm.321-322.
205
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Adat Bali yang dapat dimediasikan, terdapat kategorisasi sebagai tolok ukur dan ruang lingkup terhadap Tindak Pidana Adat Bali apa saja yang dapat diselesaikan melalui Mediasi Penal : 1.
Tindak Pidana Adat Bali yang tidak memiliki padanannya dalam KUHP. Hal ini didasari atas hukum Adat berlaku asal tidak bertentangan dengan hukum
nasional.
Apabila
terdapat
persamaannya
dalam
KUHP
dipergunakan aturan hukum dalam KUHP (hukum nasional). Adapun Tindak Pidana Adat yang tidak ada padananya dalam KUHP seperti Gamia Gemana, Mamitra Ngalang, Salah Krama, Kumpul Kebo, dsb. 2.
Tindak Pidana Adat Bali yang tidak menimbulkan korban jiwa.
3.
Tindak Pidana Adat Bali yang berkategori kejahatan tanpa korban dapat diselesaikan. Berbeda halnya dengan penerapan hukum nasional yang berkeadilan Restoratif tidak dapat diterapkan dalam kejahatan tanpa korban.
4.
Tindak Pidana Adat Bali yang tidak mengganggu kesucian atau kesakralan tempat suci atau benda suci. Seperti Pembunuhan di Pura, Pencurian Benda Suci (Pretima). Tindak Pidana Adat Bali ini dapat diselesaikan melalui mekanisme Mediasi
Penal dengan 2 (dua) Pelaksana/Mediator yaitu : 1.
Mediasi penal oleh Lembaga Adat Bali. Terhadap Tindak Pidana Adat Bali yang tidak memiliki padanannya dalam
KUHP, seperti Gamia Gemana, Mamitra Ngalang, Salah Krama, Kumpul Kebo, dapat dilakukan mekanisme Mediasi Penal dengan bantuan Lembaga Adat (seperti Banjar dengan Kelihan Adat/Dinas, Desa Pakraman dengan Bendesa Adat). Adapun bentuk/model Mediasi Penal yang dipergunakan adalah traditional village or tribal moots, Victim-offender mediation model (VOM), dan Community panles or courts model. Prinsi-prinsip kerja Model Mediasi Penal ini tidak diambil semua, melainkan sebagaian saja yang bermanfaat dalam proses penyelesaian suatu Tindak Pidana Adat Bali yang dilakukan oleh Lembaga Adat. Dalam model tribal moots model dalam menyelesaikan suatu perkara pidana dengan menggunakan nilai-nilai kesukuan atau keadaerahan yang berlandaskan pada nilai-nilai agama dan keutuhan cultural dalam menyelesaikan suatu delik
206
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Adat yang sesuai dengan nilai-nilai Masyarakat Adat Bali yang berlandaskan ajaran agama Hindu serta nilai-nilai kebudayaannya (sosial kultural). Dalam prinsip model ini diambil nilai penting yaitu nilai-nilai kedaerahan (kesukuan) yang memiliki ikatan sosial budaya yang erat sehingga dalam menyelesaikan suatu perkara Adat dipergunakan suatu bentuk pendekatan kebersamaan dan kekeluargaan, agar hubungan mereka yang erat tidak terganggu (dapat dipisahkan). Dalam model victim-offender mediation model dalam model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Dalam pekasanaan ini dapat dilihat dari model penyelesaian yang dilakukan scara berjenjang dimana Mediasi antar pihak keluarga (kekeluargaan), mediasi oleh Banjar, mediasi oleh Desa Pakraman, dan terakhir mediasi oleh MDP. Sedangkan dalam Community panles or courts prinsip kerja yang diambil berkenaan dengan pembelokan perkara pidana dari penuntutan dan peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan informal. Dalam penyelesaian model ini penyelesaian dilakukan diluar proses peradilan dengan prosedur dan proses informal dan fleksibel, dengan melibatkan aparat Lembaga Adat (prajuru Adat) sebagai pihak yang menyelesaikan dengan mediasi, sehingga tujuan dari Masyarakat Adat Bali yang menciptakan keharmonisan sekala niskala (gaib dan duniawi) terealisasi dengan baik. 2.
Mediasi Penal oleh Sistem Peradilan Pidana Masyarakat Bali yang terikat oleh dua aturan hukum yaitu hukum nasional
dan hukum Adatnya maka apabila ada suatu persoalan yang ada padanannya atau aturannya dalam hukum nasional maka dipergunakan aturan atau ketentuan hukum nasional. Terhadap Tindak Pidana Adat Bali yang memiliki padanannya dalam KUHP maka wewenang untuk meyelesaikannya diserahkan kepada Aparat Penegak hukum dalam Sistem Peradilan Pidana. Terhadap Tindak Pidana Adat ini dapat dilakukan Mediasi Penal dengan kebijakan masing-masing sub dalam Sistem Peradilan Pidana. Adapun model-model Mediasi Penal yang dipergunakan dalam penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali oleh Sistem Peradilan Pidana yaitu Informal mediation, community panles or courts, dan family and community group conference Prinsi-prinsip kerja Model mediasi penal ini tidak diambil
207
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
semua, melainkan sebagaian saja yang bermanfaat dalam proses penyelesaian suatu Tindak Pidana Adat Bali yang dilakukan oleh Sistem Peradilan Pidana. Pada umumnya kasus-kasus Adat Bali yang masuk ke lembaga peradilan seperti lokika sanggraha, Pencurian benda suci, perkelahian antar Banjar. Dalam model informal mediation dalam menyelesaikan suatu perkara pidana Adat yang dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice personel) dalam tugasnya normal, disini aparat peradilan pidana dapat mempergunakan kebijakannya seperti polisi dengan deskresinya, kejaksaan dengan kebijakannya. Salah satu diskresi oleh kepolisian dalam menyelesaikan suatu delik Adat adalah polisi dapat berperan sebagai mediator dalam menyelesaikan suatu delik Adat, misal dalam menyelesaikan suatu perkara lokika sanggraha polisi dapat menengahi dan mencarikan solusi-solusi yang baik yang menguntungkan para pihak yang berperkara. Bagi JPU (Jaksa Penuntut Umum) kebijakannya dapat dilakukan dengan mengundang para pihak (korban, pelaku, masyarakat, dan pihak ketiga) untuk menyelesaikan secara informal dengan tujuan tidak melanjutkan penuntutan apabila telah tercapai kesepakatan oleh para pihak. Sedangkan dalam Community panles or courts prinsip kerja yang diambil berkenaan dengan pembelokan perkara pidana dari penuntutan dan peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan informal. Dalam arti apabila kasus ini murni kasus Adat dan tidak ada padanannya dalam KUHP maka aparat penegak hukum dapat membelokannya kepada lembaga-Lembaga Adat. Sedangkan Prinsip Family and community group conference dimana disini Sistem Peradilan Pidana dapat melibatkan pasrtisipasi masyarakat dalam Sistem Peradilan Pidana. Dimana prinsip metode yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan suatu Tindak Pidana Adat adalah tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana tetapi keluarga pelaku dan warga masyarakat dalam menyelesaikan suatu persoalan. Salah satu contoh bentuk melibatkan masyarakat dalam proses Sistem Peradilan Pidana adalah Polisi Masyarakat (Polmas). 6.6. Kasus-Kasus dan Analisanya Perkara Adat adalah pelanggaran terhadap norma Hukum Adat Bali, yaitu setiap tindakan yang melanggar swadarma (kewajiban) dan swadikara (hak)
208
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
berdasarkan norma hukum Adat Bali, baik yang tertuang dalam awig-awig tertulis maupun tidak tertulis (dresta), dan atau norma agama Hindu, sehingga menyebabkan keseimbangan dalam dunia nyata (sekala) dan atau magis (niskala) di Desa Pakraman terganggu.350 Perkara Adat sesungguhnya hanyalah perkaraperkara yang berlatar belakang masalah Adat dan agama Hindu. Akan tetapi dalam realitanya dalam masyarakat tidak jarang suatu perkara yang bukan termasuk sebagai perkara Adat diklaim sebagai perkara Adat. Menurut I Ketut Sudantra suatu perkara Adat tidak hanya delik-delik Adat sebagaimana yang dikategorikan sebagai delik-delik Adat, tetapi juga tindak pidana umum yang mengganggu keseimbangan suatu daerah masyarakat hukum Adat (mengganggu keseimbangan nilai-nilai agama Hindu khususnya Tri Hita Karana) dapat dikatakan sebagai perkara Adat yang proses penyelesaiannya diselesaikan melalui mekanisme-mekanisme Adat tersebut. Sebagai contoh : Kasus perkelahian antara pemuda-pemudi yang berbeda Banjar sering diklaim sebagai perkara Adat, yang sebenarya merupakan delik pidana umum murni. Hal inilah oleh Mardjono Reksodiputro sebagai dark number suatu angka gelap yang tidak terdeteksi oleh Sistem Peradilan Pidana. Menurut dari fakta yang terjadi dilapangan Valerine J.L. Kriekhoff membagi 2 (dua) macam konflik yang terjadi disuatu Desa Pakraman di Bali, yaitu :351 a.
Konflik antara individu melawan individu, baik dari kelompok yang sama ataupun dari kelompok yang berbeda;
b.
Konflik antara kelompok melawan kelompok, baik yang berupa konflik antar sub-kelompok dalam satu kelompok, ataupun antar kelompok yang besar dalam masyarakat.
Salah satu bentuk perkara Adat yang terjadi antara individu melawan individu yang terjadi dalam kelompok yang berbeda yang menyebabkan terganggunya keseimbangan kosmis dari Masyarakat Adat disuatu daerah adalah kasus lokika 350
Ida Bagus Nyoman Rai, Penyelesaian Konflik Adat : Pengalaman di Kabupaten Gianyar, dalam Wicara lan Pamidanda, Op.Cit, hlm.162. 351 Valerine J.L. Kriekhoff , Mediasi (Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum), dalam T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Ramapi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hlm.225.
209
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
sanggraha sebagai berikut ini : Kasus 6.7 Lokika Sanggraha Tanggal Laporan Polisi Nomor Perkara / Tersangka Kronologi
Diancam Pidana
Upaya Restorative Justice
13 September 2011 LP/315/IX/2011/Dit Reskrimum Lokika Sanggraha / I Gede Agustino I Gede Agustino (tersangka) berkenalan dengan Ni Made Dwi Antari pada tanggal 15 Januari 2007 bertempat di Kuta. Dari pertemuan tersebut akhirnya tersangka dan korban berpacaran dari bulan april 2008 hingga September 2010 dapat putus dan kemBali lagi pacaran maret 2011. Tersangka melakukan tindak pidana lokika sanggraha pertama kali pada bulan maret 2011. Dimana tersangka datang ke kost korban yang beralamat di jalan Kelingkung disamping pura desa sanur Denpasar. Bahwa ketika itu terjadi hubungan seksual antara korban dan tersangka dimana sebelum hubungan seksual tersebut tersangka berjanji akan menikahi siwanita apabila terjadi kehamilan, dengan mengucapkan “jika terjadi sesuatu pada korban, tersangka mengatakan telepon saja dirinya’ janji tersebut diucapkan pada waktu melakukan persetubuhan dengan korban. Dari hubungan seksual tersebut menyebabkan siwanita (korban) hamil. Setelah mengetahui si korban hamil tersangka memungkiri janjinya untuk menikahi si korban. Pasal 359 Kitab Adigama jo Pasal 5 Undang-Undang Darurat Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan untuk menyelenggarakan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan Sipil. - Upaya penyelesaian secara kekeluargaan, dimana si Korban datang bersama keluarga besarnya untuk mencari upaya penyelesaian yang menguntungkan semua pihak. - Upaya penyelesaian dengan menggunakan bantuan dari kelian Banjar dari masing-masing pihak untuk menyelesaikan suatu perkara Adat tersebut. - Jika tidak berhasil dapat dipergunakan mekanisme terakhir yaitu dilaporkan kepolisian. Berdasarkan hasil wawancara kasus ini diselesaikan melalui mekanisme perdamaian (mediasi) oleh kepolisian selaku mediator dalam mendamaikan para pihak. Kasus ini ditutup dengan dikeluarkan SP3 karena aduannya dicabut setelah diperoleh kesepakatan dalam penyelesaian kasus tersebut.
210
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Salah satu upaya penerapan keadilan Restoratif yang dapat dilakukan oleh kepolisian dalam memaksimalkan penyelesaian dengan menggunakan mekanisme mediasi Penal. Penyelesaian perkara-perkara ini dapat dilakukan oleh kepolisian selaku garda utama Sistem Peradilan Pidana, dengan kewenangannya yaitu Diskresinya dalam menyelesaikan suatu perkara pidana perlindungan konsumen. Bahkan pelaksanaan nilai-nilai keadilan Restoratif oleh aparat kepolisian telah diberikan suatu dasar hukum berupa Surat telegram rahasia Kabareskrim Kepolisian Negara Republik Indonesia No : STR/583/VII/2012 Tanggal 8-8-2012 Tentang Contoh Penanganan Kasus yang berkaitan dengan Konsep Restorative Justice, yang intinya menyatakan bahwa Restorative Justice walaupun belum terdapat payung hukum yang jelas (sudah ada 1 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana anak yang mengadopsi nilai-nilai restorative justice melalui mekanisme Diversi) diberikan rambu-rambu pelaksanaan Restorative Justice diantaranya : -
Mempertimbangkan proses penegakan hukum sesuai hukum positif yang berlaku dan bila penyelesaian melalui restorative Justice merupakan hal yang sangat mendesak dengan melihat situasi psikologis masyarakat di wilayah serta atas pertimbangan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat maka keputusan diserahkan diwilayah masing-masing, sejauh dapat dipertanggung jawabkan dengan upaya ultimum remedium dan koordinasi dengan penegak hukum wilayah.
-
Penanganan kasus pidana dengan keadilan Restorative Justice dengan mengutamakan azas kemanfaatan dan keadilan hukum bukan pendekatan kepastian hukum, dilaksanakan tanpa pamrih dan semata-mata untuk keadilan dan tanpa imbalan. Dalam pertimbangan ini, azas hukum yang diutamakan adalah keadilan dan kemanfaatan, posisi kepastian hukum tetap dipertimbangkan tapi diletakan pada posisi akhir demi kesejahteraan masyarakat.
-
Dalam pelaksanaan Restorative Justice oleh kepolisian dipergunakan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia, yaitu melakukan tindakan berdasarkan diskresi yaiu bertindak atas penilai sendiri yang didasarkan kepada pertimbangan manfaat serta
211
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
resiko dari tindakan tersebiut dan betul-betul untuk kepentingan umum. -
Dalam rangka pelaksanaan Restorative Justice, proses penyidikan dengan mengemukakan alasan sebenarnya yaitu karena berdamai, dimanfaatkan atau kerugian telah dikembalikan, melalui proses mediasi alasan tersebut dapat dimasukan dalam alasan penghentian yaitu “demi hukum”, karena dengan proses mediasi dalam rangka restorative justice tujuan hukum yakni kepastian hukum, keadilan, dan manfaat salah satunya telah tercapai. Berarti disini salah satu upaya penyelesaian perkara Adat sebagaimana
dijelaskan diatas dapat dipergunakan mekanisme Mediasi Penal yang merupakan penjabaran nilai-nilai Restorative Justice dengan menggunakan kebijakan deskresi yang dimiliki oleh kepolisian sebagaimana instruksi dari penguasa wilayang masing-masing (Kapolda masing-masing daerah). Dalam kaitan dengan pelaksanaan Mediasi Penal oleh Lembaga Kepolisian maka akan dipergunakan kebijakan Diskresi dari aparat Kepolisian. Diskresi merupakan suatu wewenang untuk bertindak atau tidak bertindak atas dasar penilaiannya sendiri dalam menjalankan kewajiban hukum. Oleh karena tindakan yang dilakukan atas dasar penilaian dan pertimbangan sendiri, maka tepat dan tidaknya penilaian dipengaruhi oleh moralitas pengambil tindakan.352 Diskresi hanya dimiliki oleh Kepolisian yaitu suatu wewenang yang melekat pada kepolisian untuk bertindak atas dasar kebijaksanaan dan penilaiannya sendiri dalam rangka menjalankan fungsi kepolisian. Wewenang yang dimaksud disini adalah wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang (rechtmatigheid), sehingga diskresi kepolisian dilaksanakan tetap berdasarkan atas pertimbangan hukum dan moral serta tujuan yang diberikannya wewenang bagi setiap anggota kepolisian selaku pengambil keputusan untuk bertindak.353 Pelaksanaan diskresi oleh Kepolisian dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa: “Untuk Kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak atas penilaiannya sendiri.” 352 353
Sadjijono, Hukum Kepolisian, (Yogyakarta : LaksBang, 2006), hlm.155. Ibid, hlm.156.
212
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Tindakan diskresi dijalankan atas dasar wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang dan tindakan tersebut harus dipertanggung jawabkan secara hukum, maka tindakan penyalahgunaan wewenang dan kesewenangan-wenangan dalam penggunaan diskresi kepolisian dapat dikontrol melalui syarat yang dirumuskan dalam Undang-Undang. Dimana suatu tindakan diskresi Kepolisian dilakukan dengan syarat :354 a.
Tindak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b.
Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut harus dilakukan;
c.
Harus patuh, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d.
Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa, dan;
e.
Menghormati hak asasi manusia. Dalam penyelesaian suatu Tindak Pidana Adat Bali maka dapat
dipergunakan
diskresi
dari
kebijakan
penguasa
daerah
masing-masing
(Kapolda/Kapolresta masing-masing daerah) sesuai dengan Surat telegram rahasia Kabareskrim Kepolisian Negara Republik Indonesia No : STR/583/VII/2012 Tanggal 8-8-2012 Tentang Contoh Penanganan Kasus yang berkaitan dengan Konsep Restorative Justice. Kasus 6.8 Salah Krama (hubungan seksual antara Manusia dan Hewan) Tanggal Perkara / Tersangka Kronologi
6 Juni 2010 Salah Krama (Hubungan badan manusia dan hewan) / GA (18 Tahun) Pada tanggal 6 Juni 2010 Seorang ABG yang berisinial GA (18 Tahun) melakukan suatu perbuatan yang melanggar nilai-nilai yang ada dalam Masyarakat Adat Yeh Embang, dimana ia melakukan hubungan seksual antara dirinya dengan Sapi (milik Wayan Yasa) yang dilakukan ditepi pantai (Desa Yeh Embang Jembrana Bali), perbuatanya tersebut dipergoki oleh saksi (Gusti Ngurah Dinar).355
354
Ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 355 Diunduh dari Detik News_ABG Setubuhi Sapi di Bali tanggal 10/06/2010.
213
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Diancam Pidana Upaya Restorative Justice yang dilakukan ditawarkan
Tidak ada ketentuan khusus dalam KUHP yang mengatur mengani perbuatan tersebut. Upaya dilakukan adalah melakukan rapat Adat (paruman Adat) dengan masyarakat untuk mencari sanksi Adat yang dapat dipergunakan dalam mengembalikan keseimbangan yang telah ternodai. Adanya Upaya Restorative disini dalam hal bagi si pelaku perbuatan tersebut tidak dibawa keranah hukum pidana, korban (pemilik sapi) diberikan ganti rugi terhadap perbuatan yang dilakukan, dan bagi masyarakat atas perbuatan tersebut pelaku (beserta keluarganya) dibebankan kewajiban Adat membuang sapi kelaut, dan upaca pengembalian keseimbangan kosmis kesemula (pecaruan).
Dalam Tindak Pidana Adat Bali Salah Krama yang tidak memiliki persamaannya dalam KUHP maka dapat dilakukan suatu bentuk keadilan Restoratif sebagaimana dijelaskan diatas, Salah Krama merupakan suatu Tindak Pidana Adat Bali yaitu hubungan seksual antara manusia dengan mahluk hidup lainnya (bisa dengan hewan, bisa dengan mahluk gaib). Secara sekilas Salah Krama merupakan suatu perkara pidana yang berkategori kejahatan tanpa korban,356 karena yang diajak berhubungan seksual adalah hewan atau mahluk hidup maupun mahluk gaib, namun sebenarnya yang menjadi korban disini adalah masyarakat luas (Masyarakat Adat suatu daerah) hal tersebut dikarenakan keseimbangan kosmis dari suatu daerah terganggu karena adanya perbuatan tersebut. Dalam pandangan masyarakat Indonesia (Bali) akibat yang timbul apabila suatu keseimbangan terganggu adalah akan terjadi bencana dan kesialan bagi suatu daerah. Oleh karenanya dalam menyelesaikan Tindak Pidana Salah Krama diperlukan suatu mekanisme yang berorientasi pada nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan yang tertuang dalam nilai-nilai keadilan Restoratif. Suatu bentuk mekanisme penyelesaian suatu Tindak Pidana Adat Salah Krama adalah dengan menggunakan mekanisme musyawarah melalui Paruman Desa guna mencari jalan keluar penyelesaian perkara pidana tersebut. Pada umumnya si Pelaku dikenakan sanksi Adat berupa penyucian kembali suatu 356
Dalam perkara pidana yang berkategori kejahatan tanpa korban, seperti perjudian, narkona, atau tindakan asusila seperti pelacuran agaknya sulit mempergunakan pendekatan keadilan Restoratif untuk menyelesaikannya.
214
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
daerah. Ada beberapa jenis Tindak Pidana Adat yang kasus-kasusnya tidak masuk kedalam laporan Kepolisian, sehingga menyulitkan bagi penulis untuk menelusuri jejak kasus pidana Adat tersebut. Maka secara garis besar penulis akan memaparkan Tindak Pidana Adat Bali, ancaman pidana yang dapat dijatuhkan dan upaya-upaya Restorative Justice yang dapat dilakukan serta kendala pelaksanaan Restorative Justice dalam masyarakat terhadap suatu Tindak Pidana Adat. Hal tersebut akan dijelaskan dalam tabel sebagai berikut : Tabel 6.2 Tindak Pidana Adat, Ancaman Pidana dan Upaya Restorative Justice yang dapat dilakukan Tindak Pidana Adat Bali
Ancaman Pidana
Pencurian Benda Suci
Pasal 362 KUHP
Pembunuhan/ penganiayaan
Pasal 338 KUHP /pasal 351 KUHP
Upaya Restorative yang dapat dilakukan Pengembalian barang curiannya, serta membayar biaya kewajiban Adat (penyucian benda suci kemBali kekondisi semula)
Pembunuhan : melakukan upacara pembersihan ditempat kejadian (memberi biaya), Penganiayaan : pada umumnya apabila terjadi penganiayaan keluarga pelaku akan mendatangi keluarga korban untuk melakukan pengaksama (permintaan maaf) kepada korban dan keluarganya serta memberikan uang
215
Kendala dalam masyarakat dalam Masyarakat Adat Bali jarang mampu menerima atau memberikan maaf apabila terjadi pencurian terhadap bendabenda suci yang dianggap berharga bagi mereka. Pembunuhan : Terhadap perkara yang mengakibatkan seseorang meninggal dunia jarang terjadi upaya perdamaian. Sedangkan untuk perkara penganiayaan masih dimungkinkan terjadi dengan melibatkan bantuan tetua desa(kelihan
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
ganti kerugian. Pengerusakan Tempat suci (pura)
Pasal 156 KUHP
Membayar ganti rugi (memperbaiki pura), melakukan upacara pembersihan. Terhadap pelaku yang kurang waras beban ganti rugi ditanggung oleh keluarganya
Amandel Sanggama
UU Drt. No.1 tahun 1951 jo Hukum Adat Bali amandel sanggama
Melakukan penyelesaian secara intern kekeluargaan, para pihak keluarga mencari jalan keluar bersama yang menguntungkan kedua belah pihak.
Gamia Gemana
UU Drt. No.1 tahun 1951 Jo Peswara 1927
Drati Krama
Pasal 284 KUHP
Banjar atau Bendesa Adat) Pada umumnya masyarakat jarang menerima apabila telah terjadi perusakan Pura, bahkan pelakunya bisa dikeluarkan dari daerah tersebut.
Masyarakat Bali adalah masyarakat Patriarkhi, sehingga apabila perempuan sudah meninggalkan suaminya maka itu suatu pelecehan bagi harga diri keluarga si lakilaki Para pelaku Hubungan seksual dipisahkan, pelaku antara orang-orang dilakukan upaya yang masih pembersihan berkekerabatan dimandikan ke laut merupakan dengan biaya sendiri. perbuatan yang mambawa pengaruh negatif (tabu) bagi masyarakat Bali. Pada umumnya mereka yang melakukan tindakan ini tidak noleh masuk Banjar, atau diselong -Permintaan Maaf, Drati Krama Diadakan dialog merupakan untuk meminta suami perbuatan yang dari si Istri untuk melecehkan harga
216
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Wakperusia
Pasal 315 KUHP
memaafkan dan menceraikan si istri (wanita). Kemudian apara pelaku dinikahkan Dapat melakukan pengaksama (permintaan maaf) kepada korban.
diri seorang suami. Jarang adanya permohonan maaf. Terkadi kendala apabila yang dihina adalah golongan yang memiliki kasta tinggi ataupun seseorang yang memiliki tingkat stratifikasi sosial yang berkategori mampu (harga dirinya tinggi)
Penyelesaian perkara pidana Adat pada umumnya dilakukan secara berjenjang,
pada
umumnya
penyelesaian
dilakukan
melalui
pendekatan
musyawarah yang lebih memfakokuskan perhatian pada perdamaian guna menciptakan keadaan yang seimbang dunia sekala dan niskala (keseimbangan kosmis). Menurut Muladi, Penyelesaian secara perdamaian memiliki nilai sama dengan putusan hakim. Jika kita melihat ketentuan hukum Perdata khususnya Pasal 1338 KUHPerdata,” Semua kesepakatan yang dibuat sesuai dengan undangundang bagi para pihak yang membuatnya”.357
357
Muladi dalam Suparmin, Op.Cit,hlm.40.
217
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
BAB 7 PENUTUP 7.1. KESIMPULAN Dalam setiap masyarakat terdapat nilai-nilai yang hidup dan berkembang yang mengatur tingkah laku dari masyarakatnya. Perbuatan-perbuatan yang mengganggu keseimbangan kosmis daripada masyarakat dianggap sebagai suatu Tindak Pidana Adat yang memerlukan suatu bentuk mekanisme penyelesaian yang sesuai dengan jati diri dari masyarakat tersebut. Bali merupakan salah satu daerah yang masih terikat oleh nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakatnya yang dikenal dengan Hukum Adat Bali, salah satu nilai-nilai dari Hukum Adat Bali mengatur mengenai Tindak Pidana Adat Bali. a.
Hukum Pidana Adat merupakan perbuatan-perbuatan yang mencederai rasa keseimbangan baik dunia gaib maupun duniawi. Eksistensi mengenai Hukum Pidana Adat di Indonesia tidak diatur secara jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun peraturan perundang-undangan pidana lainnya. Namun keberadaan aturan-aturan mengenai hukum pidana Adat secara implisit masih diakui dalam konstitusi (UUD 1945), maupun dalam beberapa produk Undang-Undang lainnya. Bahkan Konvensi Internasional (konvensi ILO) secara jelas mengakui dan menghormati Keberadaan hukum Adat khususnya Hukum Pidana Adat yang ada dalam Masyarakat Hukum Adat.
b.
Dalam Masyarakat Hukum Adat Bali terdapat aparat penegak hukum Adat yang berfungsi sebagai pelaksana dari pada hukum Adat. Salah satu perannya dilaksanakan oleh Lembaga Adat seperti Desa Peraman, Majelis Desa Pekraman (MDP), Banjar dan sebagainya. Bentuk Penyelesaian suatu Perkara Adat dibali diselesaikan secara berjenjang, dimulai penyelesaian intern keluarga, apabila tidak mampu diselesaikan dilanjutkan melalui mediasi dengan bantuan kelihan banjar (pada tingkat penyelesaian dibanjar pekaraman), selanjutnya apabila tidak selesai diserahkan pada bendesa Adat (tingkat desa pekraman), bila tidak selesai juga diserahkan kepada MDP dan dilakukan penyelesaian lagi secara berjenjang, yaitu : Mediasi (MADP),
218
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
putusan (MMDP), dan Banding terhadap putusan MMDP dan bersifat final (MUDP). Apabila tidak terdapat penyelesaian terhadap perkara pidana Adat tersebut diserahkan kepada Lembaga peradilan Formal. Penyelesaian secara formal juga dapat mempergunakan mekanisme Hybrid Justice System (adanya kolaborasi antara SPP dan Lembaga Adat) dalam menyelesaikan suatu perkara Adat. c.
Penggunaan mediasi pada umumnya berlangsung pada ranah hukum perdata namun dalam perkembangannya mediasi dapat diaplikasikan kedalam Hukum Pidana. Dalam penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali aparat penegak hukum (SPP) dan Lembaga Adat dapat mengambil prinsip-prinsip dari model penyelesaian melalui Mediasi Penal. Terhadap Tindak Pidana Adat Bali yang tidak memiliki padanannya dalam KUHP, seperti Gamia Gemana, Mamitra Ngalang, Salah Krama, Kumpul Kebo, dapat dilakukan mekanisme Mediasi Penal dengan bantuan Lembaga Adat (seperti Banjar dengan Kelihan Adat/Dinas, Desa Pakraman dengan Bendesa Adat). Penyelesaian Perkara Adat oleh Lembaga Adat Bali dapat Adapun modelmodel yang dipergunakan yaitu traditional village or tribal moots, Victimoffender mediation model (VOM), dan Community panles or courts model. Prinsi-prinsip kerja Model mediasi penal ini tidak diambil semua, melainkan sebagaian saja yang bermanfaat dalam proses penyelesaian suatu tindak pidana Adat Bali yang dilakukan oleh Lembaga Adat. Sedangkan terhadap Tindak Pidana Adat Bali yang memiliki padanannya dalam KUHP maka wewenang untuk meyelesaikannya diserahkan kepada Aparat Penegak hukum dalam Sistem Peradilan Pidana. Terhadap Tindak Pidana Adat ini dapat dilakukan Mediasi Penal dengan kebijakan masing-masing sub dalam Sistem Peradilan Pidana. Adapun model-model yang dipergunakan dalam penyelesaian perkara Adat oleh sistem peradilan pidana yaitu Informal mediation, community panles or courts, dan family and community group conference Prinsi-prinsip kerja Model mediasi penal ini tidak diambil semua, melainkan sebagaian saja yang bermanfaat dalam proses penyelesaian suatu tindak pidana Adat Bali yang dilakukan oleh Sistem peradilan pidana.
219
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
7.2. SARAN Berkaitan dengan penulisan tesis ini maka yang perlu diperhatikan kedepan dalam pelaksanaan Mediasi Penal dalam penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali adalah sebagai berikut : a.
Disarankan untuk melakukan kajian sejumlah peraturan perundangundangan terkait keberadaan dan kewenangan peradilan Adat maupun lembaga Adat dalam menyelesaikan suatu perkara Adat sehingga diakui keberadaannya dan kewenangannya dalam menyelesaikan suatu persoalan hukum.
b.
Disarankan sebelum adanya payung hukum yang jelas dalam pelaksanaan keadilan Restoratif dalam bentuk mekanisme Mediasi Penal, aparat penegak hukum maupun lembaga Adat dapat menembus positivisme peraturan perundang-undangan demi menjamin terciptanya keadilan dan kemanfaatan dalam penyelesaian suatu tindak pidana Adat. Disini aparat penegak hukum dapat mempergunakan kebijakan-kebijakanya dalam penyelesaian suatu persoalan pidana.
c.
Disarankan dalam penyelesaian suatu perkara pidana umum maupun khusus pidana Adat, dibangun suatu mekanisme penyelesaian yang merupakan kerjasama antara lembaga Adat dengan Sub-Sistem Peradilan Pidana dalam pelaksanaan mekanisme penyelesaian yang berorientasi pada nilai-nilai keadilan Restoratif.
220
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA BUKU : Abbas, Syahrizal, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009). Abdurrahman, Hukum Adat Menurut Perundang-Undangan Republik Indonesia, (Jakarta : Cendana Press, 1984). Abidin Farid, Andi Zainal, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007). Alfian, T. Ibrahim, Wajah Aceh Dalam Lintaasn Sejarah, (Banda Aceh : PDIA,1999). Ali, Mahrus, Menggugat Dominasi Hukum Negara Berdasarkan Perkara Carok Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Madura, (Yogyakarta : Rangkang Indonesia, 2009). Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996). ---------------------------, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponogoro. Semarang, 2000). ---------------------------, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan, (Semarang : Pustaka Magister, 2008). Astiti, Tjok Istri Putra, Desa Adat menggugat dan digugat, (Denpasar : Udayana University Press, 2010). Atmaja, Jiwa, Bias Gender Perkawinan Terlarang Pada Masyarakat Bali, (Denpasar : Udayana University Press, 2008). Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Bandung : Binacipta, 1996). -------------------------, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, (Bandung : Bandar Maju, 2001). -------------------------, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010). Bahri, Syaiful, Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia, (Yogyakarta : Total Media, 2009). Bammelen, Van. J.M, Hukum Pidana I, Selanjutnya disebut buku II, (Bandung : Bina Cipta, 1997). Boulle, Laurence, Mediation Principles, Process and Practice, (New York : Prince Hall, 1996). Carbonneau, Thomas E, Alternatif Dispute Resolution, Melting the Lances and Diemounting the Steeds, (Chicago : University of Illinois, 1989). Cluny Macpherson & La’ avasa Macpherson, The Ifoga : The Exchange Value Of Social Honour in Samoa. Consedine, Jim, Restorative Justice : Healing the Effects of Crime, (Lyttelton : Ploughshares Publications, 1995) Daud, Alfani, Islam dan Masyarakat Banjar, Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997).
221
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Dewa Nyoman Rai Asmara Putra Dkk Wicara Lan Pamidanda pemberdayaan Desa Pekraman dalam Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, (Denpasar : Udayana University Press, 2010). Dharmayuda, I Made Suasthawa, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Bali, (Denpasar : Upada Sastra, tanpa keterangan tahun). Dherana, Tjok Raka, pokok-pokok Organisasi Kemasyarakatan Adat di Bali, (Denpasar : Bagian penerbit Fakultas Hukum & Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana, 1975). DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal : Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia, (Depok : Indie-Publishing, 2011). Emerson, Joni, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negoisasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase), (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2001). Fathurokhman, Ferry, Evolusi Pemikiran Hukum Baru: Dari Kera ke Manusia, Dari Positivistik ke Hukum Progresif, (Yogyakarta : Genta Press, 2009). Friedman R, Community Policing. Comparative and Prospect.(diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto) (Jakarta : Cipta Manunggal. 1998). Friedrich, Carl Joachim, Filsafat Hukum : Perspektif Historis, (Bandung : Nuansa dan Nusamedia, 2004). Gautama, Sudargo, Penyelesaian Sengketa Secara Alternatif (ADR), dalam Hendarmin Djarab, et al, (Editor), Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia Mengenang Alm. Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, S.H., LL.M., (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001). Golub, Stephen , From the Village to the University: Legal Activism in Bangladesh, in Mary McClymont and Stephen Golub, eds., Many Roads to Justice: The Law-related Work of Ford Foundation Grantees Around the World, (New York : Ford Foundation, September 2000). Golub, Stephen , Non-State Justice System in Bangladesh and The Philippines, Paper prepared for the United Kingdom Department for International Development, Januari 2003. Gopaster, Gary, Negoisasi dan Mediasi : Sebuah Pedoman Negoisasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negoisasi, (Jakarta : Elips Projek, 1993). Hadikusuma, Hilman, Pokok-Pokok Pengertian Hukum Adat, (Bandung : Alumni, 1980) --------------------------, Hukum Pidana Adat, (Bandung : Alumni, 1984) --------------------------, Pengantar Antropologi Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004). Hartono, Soenaryati, Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1981). Huq, Fazlul, Towards to a Local Justice System for the Poor, Dhaka, 1998. I Ketut Artadi, I Gede Dermawan, Dewa N. Rai Asmara Putra, dan Nyoman Martana, Ketrampilan Non Litigasi, (Denpasar : Sinay, 2004) I Ketut Wirta Griadhi, I Nyoman Sirtha dan I Made Suasthawa, Subak dalam perspektif Hukum, dalam Subak Sistem Irigasi Tradisional di Bali Sebuah Canangsari, (Denpasar : Upada Sastra, 1993). I Ketut Wirtha Griadi, dkk., Laporan penelitian : “Cara-Cara Menegakkan Hukum Dalam Hukum Adat di Bali, (Universitas Udayana : Denpasar,1984).
222
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
J.B
Stair, Old Samoa or Flotsam and Jetsam from the Pacific Ocean,McMillan,Papakura, 1983. Kathleen Daly dan Russ Immarigeon, The Past, Present, and Future of Restorative Justice : Some Critical Reflection, dalam Contemporary Justice Review, 1 (1), 1998. Khair, Sumaiya, Alternative Approaches to Justice: A Review of ADR Initiatives Under the Democracy Partnership, (Dhaka : Report prepared for the Asia Foundation, May 2001). Khair, Sumaiya, Karen L. Casper, Julia Chen, Debbie Ingram, and Riffat Jahan, Access to Justice: Best Practices under the Democracy Partnership, (Dhaka : The Asia Foundation, April 2000). Kriekhoff, Valerine J.L, Mediasi (Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum), dalam T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Ramapi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993). Lapoaran Hasil Penelitian, Hukum Adat Kalimantan Selatan, Tim Peneliti Unlam bekerjasama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Dati I Kalimantan Selatan Banjarmasin, 1990. Lestawi, I Nengah, Hukum Adat, (Surabaya : Penerbit Paramita, 1999) Lovenheim, Peter, Mediate Don't Litigate, (New York : Mc Graw-Hill Publishing Company, 1989). M. D. A. Freeman, Lloyd’s Introduction to Jurisprudence, Edisi Ketujuh, (London : Sweet & Maxweel Ltd, 2001). M. Syamsudin, Operasional Penelitian Hukum, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2007). Mahendra, Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia, Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat dan Sistem Kepartaian, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996). Majelis Desa Pekraman (MDP) Bali, Himpunan Hasil-Hasil Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pekraman Bali, (Denpasar : Majelis Desa Pekraman (MDP) Bali, 2011), hlm.15-16. Manan, Bagir, Retorative Justice (Suatu Perkenalan), dalam Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam dekade Terakhir, (Jakarta : Perum Percetakan Negara RI, 2008). Mark Umbreit, Humanistic Mediation : a Transformative Journey of Peacemaking, dalam The Handbook of Victim Offender Mediation : an Essential Guide Guide to Practice and Research, ed. Mark Umbreit (San Francisco : Jossey-Bass, 2001). Mark William Bakker, Repairing The Breach and Reconciling The Discordant : Mediation in the Criminal Justice System, Dalam North Carolina Law Review, No. 72 Tahun 1994. Martin Stephenson, Henry Giller, dan Sally Brown, Effective Practice in Youth Justice, (Portland : Willan Publishing, 2007). Masyur, Ridwan, Mediasi Penal Teradap Perkara Pidana KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), (Jakarta : Yayasan Gema Yustisia Indonesia, 2010). Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, (Jakarta : Renika Cipta, 2008).
223
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Moh. Koesnoe, dalam Siti Soendari (editor), Hukum Adat dalam Alam Kemerdekaan Nasional dan Soalannya Menghadapi Era Globalisasi, (Surabaya : Ubhara Press, 1996). Muhammad, Bushar, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 1983). Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995). Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia Dimasa Datang, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, 1990. Mulyana, Slamet, Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya (Jakarta : Bhatara Karya Aksara, 1979). Mushadi, Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia, (Semarang : Walisongo Mediation Center, 2007). Nicholl, Caroline G, Community Policing, Community Justice, and Restorative Justice. (Departement of Justice U.S : Cops Publication, 1999), hlm. 53. Norman Geisler dan Yutaka Amano, Reinkarnasi, (Malang: Gandum Mas 1986). Norman K Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research, (California : Sage Publication, 1994). Nyoman Widnyani & I Ketut Widia, Ajeg Bali Pecalang dan Pendidikan Budi Pekerti, (Surabaya : SIC, 2003). Panetje, Gede, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, (Denpasar : Kayumas, 1986). Pavlich, G, Towards An Ethics of Restorative Justice. In L. Walgrave (Ed.), Restorative Justice and The Law (Oregon: Willan Publishing, 2002). Pitana, I Gede, Subak, Sistem Irigasi Tradisional di Bali, dalam Subak Sistem Irigasi Tradisional di Bali Sebuah Canangsari, (Denpasar : Upada Sastra, 1993) R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1977). R.A. Kren, “Adat Law”, dalam Indonesian Legal History, dikumpulkan oleh Rifyal Ka’ba, (Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003). R.E. Mackay, Eticts dan Good Practice in Restorative Justice, in The European Forum For Victim-Offender Mediation and Restorative Justice, VictimOffender Mediation in Europe, (Leuven : Leuven University Press, 2000). Rahardjo, Satjipto, Membedah hukum Progresif, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2007). ----------------------, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009. ----------------------, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas). Rahmadi, Takdir, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010). Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Buku Ketiga, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007).
224
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
-------------------------------, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Buku Kedua, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007). ------------------------------, Menyelaraskan Pembaharuan Hukum, (Jakarta : Komisi Hukum Nasional RI, 2009). Rojo, Silvia Sanz-Ramos, Rojo, Silvia Sanz-Ramos, The Barangay Justice System in the Philippines: Is It an Effective Alternative to Improve Access to Justice for the Disadvantaged? Dissertation for the MA in Governance and Development, Institute of Development Studies, University of Sussex (September), 2002. Rozah, Umi, Konstruksi Politik Hukum Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana, dalam Hukum Pidana dalam Perspektif, editor Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings, (Denpasar : Pustaka Larasan, 2012). Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, 1 April 2006. Sadjijono, Hukum Kepolisian, (Yogyakarta : LaksBang, 2006). Salman, H.R. Otje , Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, (Bandung : Alumni, 2007). Seri Kebijakan I, Kajian Kebijakan Hak-Hak Masyarakat Adat di Indonesia; Suatu Refleksi Pengaturan Kebijakan dalam Era Otonomi Daerah, ICRAFLATIN-P3AE-UI, Maret 2001. Sholehudin, Umar, Hukum & Keadilan Masyarakat Perspektif Kajian Sosiologi Hukum, (Malang : Setara Press, 2011). Sholehudin, Umar, Hukum & Keadilan Masyarakat, (Malang : Setara Press, 2011). Sirtha, I Nyoman, Aspek Hukum dalam Konflik Adat Bali, (Denpasar : Udayana University Press, 2008). Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Rajawali Pers, 1990). Soekanto, Soerjono, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia, (Jakarata : Kurniaesa, 1981). ------------------------, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Rajawali : Jakarta, 1982). ------------------------, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2005). Soemadiningrat, Otje Salman, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer : Telaah Kritis Terhadap Hukum Adat Sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, (Bandung : Alumni, 2002). Soemitro, Ronny Hanitijo , Politik, Kekuasaan dan Hukum, (Semarang : Universitas Diponegoro, 1998). Soemitro, Ronny Hanitijo, Studi Hukum dan Masyarakat, (Bandung : Alumni, 1985). Suasthawa, Dharmayuda, Desa adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Bali, (Denpasar : Upada Sastra, 2001)
225
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Suparmin, Model Polisi Pendamai Dari Perspektif Alternative Dispute Resolution (ADR) (Studi Penyelesaian Konflik antar Partai Politik), (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2012. Surpha, Wayan, Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, (Denpasar : Penerbit Pustaka Bali Post, 2004). Sutha, I Gusti Ketut, Bunga Rampai Beberapa Aspekta Hukum Adat, (Yogyakarta : Liberty, 1987). Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999). Tjok Istri Putra Astiti, Pemberdayaan Awig-Awig Menuju Ajeg Bali, (Denpasar : Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2005). TO Ihromi, Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1993). Usman, Gazali, Kerajaan Banjar Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi Perdagangan dan Agama Islam, (Banjarmasin : Unlam, 1994). Wahid, Eriyantouw, Keadilan Restorative Justice dan Peradilan Konvensional Dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti, 2009). Wahjono, Padmo , Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum Pancasila, Pidato ilmiah pada peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia ke-33, Rajawali, Jakarta. Weinstein, Jack B, Some Benefit and Risks of Privatization of Justice Though ADR, Artikel pada Ohio State Journal on Dispute Resolution, 1996. Widnyana, I Made Alternatif Penyelesaian Sengekat (ADR), (Jakarta : Indonesia Business Law Centre (IBLC), 2007). Wignjodipoero, Soerojo, Kedudukan Serta Perkembangan Hukum Adat Setelah Kemerdekaan, (Jakarta : Gunung Agung, 1983). Wignjodiputro, Soerojo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta : Gunung Agung, 1982). Wignjosoebroto, Soetandyo, Eksistensi Hukum Adat : Konseptualisasi, Politik Hukum dan Pengembangan Pemikiran Hukum Sebagai Upaya Perlindungan Hak-Hak Rakyat Yang Asasi. Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum, Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahanya, (Jakarta : HuMa, 2002). Windia, Wayan P dan Ketut Sudantra, Pengantar Hukum Adat Bali, (Denpasar : Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2006) Windia, Wayan P, I Ketut Sudantra dan Putu Dyatmikawati, Penuntun Penyuratan Awig-Awig Contoh Awig-Awig Tertulis Desa Pekraman Tanah Aron Kabupaten Karangasem, (Denpasar : Udayana University Press, 2001) Windia, Wayan P, Memitra Ngalang, Catatan Populer Hukum Adat Bali, (Denpasar : Upada Sastra, 2004). ----------------------, Menyoal Awig-Awig Exsistensi Hukum Adat dan Desa di Bali, (Denpasar : Penerbit Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2008). ----------------------, Dari Bali Mawacara Menuju Bali Santi, (Denpasar : Udayana University Press, 2010).
226
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Wright, M., Victim-Offender Mediation as A Step Towards A Restorative Sistem of Justice. In H. Messmer & H.-U. Otto (Eds.), Restorative Justice on Trial: Pitfalls and Potentials of Victim Offender Mediation-International Research Perspectives. (Dordrecht : Kluwer Academic Publishers. 1992). Zainuddin, Ali Sosiologi Hukum, (Jakarta ; Sinar Grafika, 2008). Zulfa, Eva Achjani, Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.6 No.II Agustus 2010, hlm.187-188. Zulfa, Eva Achjani, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung : Lubuk Agung, 2011) ------------------------, Keadilan Restoratif, (Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012). JURNAL HUKUM : A.M. Mujahidin, Hukum Progresif: Jalan Keluar dari Keterpurukan Hukum di Indonesia, Varia Peradilan, Tahun ke XXII No. 257, April, 2007. Cristianto, Hwian, Penafsiran Hukum Progresif dalam Perkara Pidana, dalam Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011. Gloria Valencia-Weber, Tribal Courts : Custom and Innovative Law, dalam New Mexico Law Review, No.24 Tahun 1994. Groenhuijsen, Marc, Victim-Offender-Mediation: Lagal And Procedural Safeguards Experiments And Legislation In Some European Jurisdictions, Leuven, Oktober 1999. Hasan, Ahmadi Penyelesaian Sengketa Melalui Upaya (Non-Litigasi) Menurut Peraturan Perundang- Undangan, Jurnal Al-Banjari, Vol. 5, No. 9, JanuariJuni 2007. Herlina, Apong, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.3 No.III September 2004. Jamil, Abdul, Cara Berhukum yang Benar Bagi Profesional Hukum (Ijtihad Sebagai Terobosan Hukum Progresif), Jurnal Hukum No.1 Vol.15 Januari 2008. Maladi, Yanis, Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pascaamandemen, Mimbar Hukum Vol.22, No.3, Oktober 2010. Manan, Bagir, Mediasi Sebagai Alternatif Menyelesaikan Sengketa, Varia Pengadilan No. 248 Juli 2006. Medan, Karolus Kopong, Peradilan Berbasis Harmoni dalam Guyub Budaya Lamaholot-Flores, Jurnal Dinamika Hukum Vol.12 No.2 Mei 2012. Mulyadi, Mahmud, Perlindungan Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum: Upaya Menggeser Keadilan Retributif Menuju keadilan Restoratif, Jurnal Equality, Vol.13 No.1 Februari 2008. Nugroho, F.H. Edy, Keberadaan Hukum Adat Dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, Gloria Juris, Volume 8, Nomor 1, Januari-April 2008. Pekuwali, Umbu Lily, Memposisikan Hukum Sebagai Penyeimbang Kepentingan Masyarakat, Jurnal Pro Justitia, vol.26 (4) Oktober 2008. Rahardjo, Satjipto, Hukum Progresif (penjelajahan Suatu Gagasan), News Letter Kajian hukum ekonomi dan Bisnis, No. 59 Desember 2004. Raharjo, Trisno, Mediasi dalam Ketentuan Hukum Pidana Adat, Jurnal Hukum No.3 Vol.17 Juli 2010.
227
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Simarmata, Rikardo, Socio-Legal Studies dan Gerakan Pembaharuan Hukum, dalam Law, Society & Development, Vol.1 Tahun 2006-2007. Sudrajat, Tedi, Aspirasi Reformasi Hukum dan Penegakkan Hukum Progresif Melalui Media Hakim Perdamian Desa, Jurnal Dinamika Huum Vol.10 No.3 September 2010. Zulfa, Eva Achjani, Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.6 No.II Agustus 2010. MAKALAH : Arief, Barda Nawawi, Mediasi Penal dalam Penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Pertanggungjawaban Hukum korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance, 27 Maret 2007. Atmasasmita, Romli , Cita Keadilan Restoratif Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Makalah disampaikan pada seminar Nasional Peran Hakim Dalam Meningkatkan Profesionalisme Menuju Peradilan yang Agung, Diselenggarakan IKAHI dalam rangka Ulang Tahun IKAHI ke-59, 25 April 2012. Hamzah, Andi, Restorative Justice dan Hukum Pidana Indonesia, Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional “Peran Hakim dalam Meningkatkan Profesionalisme Menuju Peradilan yang Agung”, Diselenggarakan IKAHI dalam rangka Ulang Tahun IKAHI ke-59 Tanggal 25 April 2012. Hasan, Ahmadi Adat Badamai Pada masyarakat Banjar Dulu Kini dan Masa Mendatang, Makalah dalam Annual Conference on Islamic Studies, Banjarmasin, 1-4 Nov 2010. Institut Hindu Dharma, Pandangan Agama Hindu Terhadap Delik Adat Lokika Sanggraha, Makalah, 1985. Jaya, Surya, Keadilan Restorative Tuntutan dan Kebutuhan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional “Peran Hakim dalam Meningkatkan Profesionalisme Menuju Peradilan yang Agung”, Diselenggarakan IKAHI dalam rangka Ulang Tahun IKAHI ke-59 Tanggal 25 April 2012. Karim, Abdul Gani Pengaruh Agama Islam Terhadap Hukum Pidana Nasional, Makalah dalam Symposium Pengaruh Kebudayaan/Agama Terhadap Hukum Pidana yang diselenggarakan dalam kerjasama Badan Pembinaan Hukum Nasional dengan Fakultas Hukum & Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana di Denpasar, 17-19 Maret 1975. Kartayasa, Mansur, Restorative Justice dan Prospeknya Dalam Kebijakan Legislasi, Makalah disampaikan pada seminar Nasional Peran Hakim Dalam Meningkatkan Profesionalisme Menuju Peradilan yang Agung, Diselenggarakan IKAHI dalam rangka Ulang Tahun IKAHI ke-59, 25 April 2012. Loqman, Loebby, Pengaruh Hukum (pidana) Adat di dalam Perkembangan Hukum Pidana Nasional, Makalah Seminar Nasional Relevansi Hukum Pidana Adat dan Implementasinya dalam Hukum Pidana Nasional, 1994. Mudzakkir, Alternative Dispute Resolution (ADR): Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, makalah workshop, Jakarta, 18 Januari 2007.
228
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Muladi, Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana, Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional “Peran Hakim dalam Meningkatkan Profesionalisme Menuju Peradilan yang Agung”, Diselenggarakan IKAHI dalam rangka Ulang Tahun IKAHI ke-59 Tanggal 25 April 2012. Mulyadi, Lilik, “Mediasi Penal” Dalam Sistem Peradilan Pidana Pengkajian Asas, Norma, dan Praktik, Makalah Seminar hasil penelitian tentang, “Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, pada tanggal 26 Oktober 2011, di Hotel Alila Pecenongan, Jakarta Pusat. Rahardjo, Satjipto, Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan), Makalah dalam Acara Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang, 4 September 2004. ----------------------, konsep dan Karakteristik Hukum Progresif, Makalah dalam Seminar Nasional Hukum Progresif I, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro bekerjasama dengan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakrta dan Semarang, 15 Desember 2007. ----------------------, UUD 1945, Desain Akbar Sistem Politik dan Hukum Nasional, Makalah dalam Konvensi Hukum Nasional Tentang UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sebagai Landasan Konstitusional Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional, Diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, 15-16 april 2008. Saleh, Abdurrahman, Peradilan Adat dan Lembaga Adat Dalam Sistem Peradilan Indonesia, makalah pada Sarasehan Peradilan Adat, KMAN, Lombok, September 2003. Saleh, Roeslan, Perkembangan Pokok-pokok Pikiran dalam Konsep KUHP Baru, Makalah, Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, Universitas Diponegoro, Semarang, 3-15 Desember 1995.
TESIS/DESERTASI Bintari, Nur Wahyu, Pemberdayaan Aparat Penegak Hukum dalam Mendayagunakan Sanksi Adat Didaerah Bali, Tesis dalam Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Hasan, Ahmadi, Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai pada Masyarakat Banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, Disertasi, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2007. Medan, Karolus Kopong, Peradilan Rekonsiliatif Konstruktif Penyelesaian Kasus Kriminal Menurut Tradisi Masyarakat Lamaholot, di Flores NTT, Disertasi, PDIH Undip, 2006. Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi dalam memperoleh Gelar Docktor Ilmu Hukum Program PascaSarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
229
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Putra Jaya, Nyoman Serikat, Relavansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional (Studi Kasus Hukum Pidana Adat Bali), Tesis dalam memperoleh gelar Magister Hukum Ilmu Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1989. Rajagukguk, Eva, Perbuatan Ingkar Janji Kawin Menurut Hukum Pidana Adat (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia), Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Program Megister Kenotariatan, Depok, 2006. Wicaksono, R. Budi, Community Policing dan Restorative Justice Sebagai Paradigma Baru dalam Resolusi Konflik, Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Kriminologi Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 2008. Zulfa, Eva Achjani, Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi tentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana), Disertasi Fakultas Hukum Program Doktor Ilmu Hukum, Juni 2009. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN : Undang-Undang Dasar 1945 Konstitusi RIS 1949 Undang-Undang Dasar Sementara 1950 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang diberlakukannya Wetboek van Strafrescht (WvS) voor Nederlands Indie (KUHP) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan untuk Menyelenggarakan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 202 Tentang Kepolisian Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Rencana pembangunan Lima Tahun Kedua (REPELITA II0, 1974/1975-1978-1979, Lampiran BAGIAN II-BAB 27-Hukum, Peraturan Daerah Kabupaten Gunung Mas Nomor 33 Tahun 2011 Tentang kelembagaan adat dayak di kabupaten Gunung mas Peraturan Daerah Kabupaten Banggai Nomor 1 tahun 2008 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat Banggai. Peraturan Daerah Kabupaten Banggai Nomor 1 tahun 2008 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat Banggai. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pekraman Jo. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Tentang Desa Pekraman Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2008 tentang Pedoman dasar strategi dan Implementasi Pemolisian masyarakat dalam penyelenggaraan Tugas Polri. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1997 Tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-Kebiasaan masyarakat dan Lembaga Adat di Daerah
230
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013
Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan Ham Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Pada Tanggal 22 Desember 2009. Konvensi Internasional Labour Organization 169 WEBSITE : Detik News_ ABG Setubuhi Sapi di Bali tanggal 10/06/2010. Frehsee, Detlev, Restitution and Offender-Victim Arrangement in German Criminal Law : Development and Theoretical Implications, http://wings.buffalo.edu/law/ bclc/bclr.htm http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=9768$&cl=Berita Sekilas mengenai Peradilan Adat (Catatan dari beberapa forum tentangnya), http;//www.huma.or.id. Stefanie Tränkle, The Tension between Judicial Control and Autonomy in VictimOffender Media-tion - a Microsociological Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germany and France, http://www. iuscrim.mpg.de/forsch/krim/traenkle_ e.html. www.restorativejustice.com
231
Universitas Indonesia
Mediasi penal..., I Made Agus Mahendra Iswara, FH UI, 2013