[MEDIASI PENGADILAN DAN ASAS PERADILAN SEDERHANA, CEPAT, DAN BIAYA RINGAN]
www.badilag.net
MEDIASI DI PENGADILAN DAN ASAS PERADILAN SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN Oleh Drs. Siddiki Dengan ditetapkannya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma) Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, telah terjadi
perubahan
fundamental
dalam
praktek
peradilan
di
Indonesia.
Pengadilan tidak hanya bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan
perkara
yang
diterimanya,
tetapi
juga
berkewajiban
mengupayakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara. Pengadilan yang selama ini berkesan sebagai lembaga penegakan hukum dan keadilan, tetapi sekarang pengadilan juga menampakkan diri sebagai lembaga yang mencarikan solusi damai antara pihak-pihak yang bertikai. Persoalan yang menjadi beban pengadilan selama ini, terutama pada tingkat Mahkamah Agung adalah semakin meningkatnya perkara yang masuk. Setiap tahun perkara yang masuk bukannya berkurang, tetapi malah meningkat. Sementara hakim yang harus menyelesaikan perkara tersebut daya kerjanya sangat terbatas sehingga perkara yang masuk tidak dapat diselesaikan
dengan
cepat.
Berbagai
solusi
telah
diupayakan
untuk
mengurangi tunggakan perkara agar semakin banyak perkara yang diputus, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Pada era perdagangan bebas yang rencananya akan dimulai pada tahun
2010,
kemungkinan
tingkat
sengketa
antara
pihak-pihak
yang
berkaitan dengan proses perekonomian negeri ini akan menjadi meningkat. Sengketa itu selain kualitas dan kuantitasnya bertambah, juga aneka macamnya juga akan bertambah. Tidak hanya terjadi antar kepentingan di dalam negeri, tetapi juga mencakup kepentingan dengan pihak luar secara internasional. Kalau penyelesaian perkara yang masuk ke pengadilan hanya memakai cara-cara yang konvensional, maka tidak dapat terbayangkan betapa banyak beban pengadilan untuk memutus perkara yang masuk. Kalau tidak terjadi perubahan tentang proses penegakan hukum di Indonesia, maka akan sulit untuk menarik investor asing ke dalam negeri. Padahal prioritas utama pebisnis asing adalah kepastian hukum. Kalau ada sengketa antara pihak-pihak yang berkepentingan, harus ada penyelesaian secara cepat dan jelas. Ini merupakan satu tantangan bagi pengadilan di
1
[MEDIASI PENGADILAN DAN ASAS PERADILAN SEDERHANA, CEPAT, DAN BIAYA RINGAN]
www.badilag.net
mana suatu penegakan hukum harus dilakukan secara cepat dan tuntas. Apabila tidak demikian, maka pebisnis asing bukan hanya tidak mau datang ke Indonesia, tetapi yang sudah ada di Indonesia bisa-bisa hengkang ke luar negeri. Perma Nomor 01 Tahun 2008 ini secara fundamental telah merubah praktek peradilan di Indonesia yang berkenaan dengan perkara-perkara perdata. Mediasi sebagai upaya untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara bukan hanya penting, tetapi harus dilakukan sebelum perkaranya diperiksa. Kalau selama ini upaya mendamaikan pihak-pihak dilakukan secara formalitas oleh hakim yang memeriksa perkara, tetapi sekarang majelis hakim wajib menundanya untuk memberi kesempatan kepada mediator mendamaikan pihak-pihak yang berperkara. Diberikan waktu dan ruang yang khusus untuk melakukan mediasi antara pihak-pihak. Upaya perdamaian bukan hanya formalitas, tetapi harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Untuk
mengerti
secara
konperhensip
mengenai
mediasi,
perlu
dipahami tentang tiga aspek dari mediasi : 1. Aspek urgensi / motivasi : Urgensi dan motivasi dari mediasi adalah agar pihak-pihak yang berperkara menjadi damai dan tidak melanjutkan perkaranya dalam proses pengadilan. Apabila ada hal-hal yang mengganjal yang selama ini menjadi masalah, maka harus diselesaikan secara kekeluargaan dengan musyawarah mufakat. Tujuan utama mediasi adalah untuk mencapai perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai. Pihak-pihak yang bertikai atau berperkara biasanya sangat sulit untuk mencapai kata sepakat apabila bertemu dengan sendirinya. Titik temu yang selama ini beku mengenai hal-hal yang dipertikaikan itu biasanya bisa menjadi cair apabila ada yang mempertemukan. Maka mediasi merupakan sarana untuk mempertemukan pihak-pihak yang berperkara dengan
difasilitasi
oleh
seorang
atau
lebih
mediator
untuk
menfilter
persoalan-persoalan agar menjadi jernih dan pihak-pihak yang bertikai mendapatkan kesadaran akan pentingnya perdamaian antara mereka. 2. Aspek prinsip : Secara hukum mediasi tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Perma Nomor 01 Tahun 2008 yang mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak
2
[MEDIASI PENGADILAN DAN ASAS PERADILAN SEDERHANA, CEPAT, DAN BIAYA RINGAN]
www.badilag.net
untuk mengikuti prosedur penyelesaian perkara melalui mediasi. Apabila tidak menempuh prosedur mediasi menurut Perma ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg. yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Artinya, semua perkara yang masuk ke pengadilan tingkat pertama tidak mungkin melewatkan acara mediasi. Karena apabila hal ini terjadi resikonya akan fatal. 3. Aspek substansi : Yaitu bahwa mediasi merupakan suatu rangkaian proses yang harus dilalui untuk setiap perkara perdata yang masuk ke Pengadilan. Substansi mediasi adalah proses yang harus dijalani secara sunggguh-sungguh untuk mencapai
perdamaian.
Karena
itu
diberikan
waktu
tersendiri
untuk
melaksanakan mediasi sebelum perkaranya diperiksa. Mediasi bukan hanya sekadar untuk memenuhi syarat legalitas formal, tetapi merupakan upaya yang sungguh-sungguh yang harus dilakukan oleh pihak-pihak terkait untuk mencapai perdamaian. Mediasi adalah merupakan upaya pihak-pihak yang perperkara untuk berdamai demi kepentingan pihak-pihak itu sendiri. Bukan kepentingan Pengadilan atau hakim, juga bukan kepentingan mediator. Sehingga dengan demikiaan segala biaya yang timbul karena proses mediasi ini ditanggung oleh pihak-pihak yang berperkara. Di masa depan, pengadilan diharapkan bisa menjadi filter dari persoalan-persoalan sehingga
dan
masyarakat
pertikaian
menjadi
yang
tenteram
terjadi dan
di
dalam
damai,
masyarakat
bukan
malah
memunculkan masalah-masalah baru yang pada gilirannya akan mengganggu proses pembangunan pada umumnya. Apabila masyarakat selalu berada di dalam kondisi konflik, maka secara psikologis kehidupan berbangsa akan menjadi
terganggu
yang
pada
gilirannya
akan
memacetkan
rencana
pemberdayaan perekonomian masyarakat. Sungguhpun Perma Nomor 01 Tahun 2008 merupakan langkah genius dalam praktek peradilan di Indonesia guna meningkatkan kualitas penegakan hukum, namun masih ada beberapa persoalan yang butuh jawaban yang berkenaan dengan praktek pelaksanaan mediasi itu sendiri. Minimal sebagai bahan renungan apabila suatu saat nanti ada revisi kembali terhadap Perma ini. Salah satu
yang menjadi pertanyaan adalah berhubungan dengan
asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Banyak
3
[MEDIASI PENGADILAN DAN ASAS PERADILAN SEDERHANA, CEPAT, DAN BIAYA RINGAN]
www.badilag.net
pertanyaan dari rekan-rekan prakisi hukum, apakah pelaksanaan mediasi nantinya dalam setiap perkara perdata yang masuk ke pengadilan tidak akan mengganggu asas peradilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Memang untuk pelaksanaan mediasi butuh waktu, butuh biaya yang akhirnya menjadi tidak sederhana. Apabila diperhatikan secara sepintas, mungkin jawabannya pasti ya. Artinya proses mediasi akan mengganggu proses peradilan yang harus dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Tetapi apabila dikaji secara mendalam, maka akan ditemukan suatu pencerahan yang luar biasa dari praktek mediasi ini. Memang, karena mediasi merupakan hukum acara baru dalam praktek peradilan di Indonesia, maka pada awal pelaksanaannya seakan menjadi beban dalam proses berperkara di pengadilan. Padahal kalau nanti mediasi sudah menjadi praktek yang mapan dan dijalankan secara profesional, maka mediasi akan merupakan alternatif yang ideal bagi proses berperkara di pengadilan. Barangkali untuk langkah ke depan ada beberapa hal masukan dari penulis untuk menjadikan mediasi sebagai sarana upaya perdamaian yang lebih
berdaya-guna
dan
berhasil-guna.
Juga
untuk
meningkatkan
profesionalisme mediator sebagai komponin penting dalam mediasi. Pertama Menurut Pasal 7 ayat (1) Perma Nomor 01 Tahun 2008,
pada hari
sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Dari ketentuan ini bahwa proses mediasi merupakan kewajiban pihak-pihak yang berperkara
yang
mana kalau tahapan mediasi ini tidak dilalui oleh pihak-pihak, maka majelis hakim juga
wajib untuk menolak / tidak menerima gugatannya. Apabila
majelis hakim terus memproses perkara tersebut maka putusannya batal demi hukum. Persoalannya apabila pada persidangan hanya dihadiri oleh penggugat tetapi tidak dihadiri oleh tergugat, maka terhadap perkara tersebut tidak wajib melalui proses mediasi. Padahal menurut Pasal 4
semua sengketa
perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Menurut Pasal 4 ini semestinya semua perkara tanpa kecuali harus melalui
4
www.badilag.net
[MEDIASI PENGADILAN DAN ASAS PERADILAN SEDERHANA, CEPAT, DAN BIAYA RINGAN]
proses mediasi, apakah dihadiri oleh kedua belah pihak, atau hanya dihadiri oleh satu pihak saja. Jalan keluar dari persoalan ini menurut penulis, seharusnya bukan hakim pemeriksa perkara yang menunjuk mediator. Tetapi sejak perkara telah terdaftar di Pengadilan, maka Ketua Pengadilan yang harus menunjuk mediator guna memediasi
pihak-pihak yang berperkara suapaya berdamai.
Apabila pihak-pihak belum melakukan proses mediasi secara formal sesuai dengan penetapan Ketua Pengadilan, maka Ketua Pengadilan belum boleh menetapkan majelis hakim untuk memeriksa perkaranya. Dengan cara ini mediasi akan lebih berdaya guna karena sejak awal mediator secara proaktif akan menghubungi pihak-pihak yang berperkara supaya berdamai. Resikonya biaya memang akan membengkak. Tetapi biaya ini murni untuk proses mediasi. Masyarakat akan mendapatkan
pelajaran
bahwa setiap mengajukan perkara ke pengadilan, perkaranya baru akan diperiksa majelis hakim apabila sudah melalui proses mediasi secara formal. Secara proses alamiah nantinya masyarakat akan menjadi mandiri dengan mencari solusi sendiri secara damai terhadap perkara yang dihadapinya. Setelah mediator bekerja dan memberi laporan secara tertulis bahwa pihak-pihak yang berperkara tidak bisa didamaikan, maka baru Ketua Pengadilan membuat penetapan tentang penunjukan majelis hakim pemeriksa perkara. Apabila berhasi damai, perdamaian itu bisa dengan penetapan Ketua Pengadilan, bisa juga cukup dengan tandatangan mediator dan pihak-pihak yang berperkara. Dengan demikian majelis hakim pemeriksa perkara
tidak akan
direpotkan dengan proses mediasi, jadi murni memeriksa perkara sengketa. Dan perkara yang masuk ke majelis hakim dengan sendirinya sudah melalui proses mediasi. Apabila tidak, maka majelis hakim tersebut berwenang untuk menolak / tidak menerima gugatannya. Gagasan penulis tentang proses mediasi ini tidak akan menggangu asas peradilan yang harus dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biya ringan. Bahkan justru memperkuat asas tersebut karena membantu pihakpihak yang berperkara untuk menyelesaikan perkaranya secara mandiri. Berbeda dengan cara Pasal 7 ayat (1) Perma Nomor 01 Tahun 2008 yang mana sering terjadi mejelis hakim pemeriksa perkara tidak menunjuk mediator karena dalam perkiraannya perkara tersebut tidak akan banding.
5
www.badilag.net
[MEDIASI PENGADILAN DAN ASAS PERADILAN SEDERHANA, CEPAT, DAN BIAYA RINGAN]
Padahal secara hukum, banding atau tidak banding, putusan terhadap perkara yang tidak melalui proses mediasi secara formal adalah batal demi hukum yang mana pada gilirannya nanti seluruh produk yang didasarkan pada putusan tersebut juga batal demi hukum. Kedua Dalam Pasal 10 ayat (1) Perma Nomor 01 Tahun 2008 disebutkan bahwa penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya. Dalam ayat (2) nya disebutkan bahwa uang jasa mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh para pihak atau berdasarkan kesepakatan para pihak. Ketentuan ini kurang adil. Menurut penulis semestinya semua mediator mendapatkan uang jasa. Kalau non hakim uang jasanya dari pihak-pihak, maka kalau dari unsur hakim uang jasanya ditanggung oleh Negara. Pasal 25 ayat (1) Perma Nomor 01 Tahun 2008 yang mana M.A. menyediakan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator, tetapi ketentuan ini tidak bergigi karena Perma sebagaimana yang dimaksudkan oleh ayat (2) nya sampai sekarang belum ada. Menurut penulis semestinya semua hakim yang menjalankan fungsi mediator mendapatkan uang jasa dari Negara berdasarkan Perma yang sudah ada, bukan Perma yang masih menunggu keluarnya entah sampai kapan. Dengan ketentuan yang ada sekarang, maka bisa jadi hakim yang menjadi mediator akan bekerja secara asal-asalan atau hanya sekedar untuk memenuhi standar legalitas formal. Kalau cara kerja seperti ini terus berlanjut, maka mediasi sebagai alternatif penyelesaian perkara di pengadilan hanya akan berwujud sebagai hayalan belaka. Sementara mediator yang bersertifikat sekarang jumlahnya masih sangat sedikit, padahal kebutuhannya sangat banyak. Tulisan ini semoga menjadi bahan pertimbangan apabila nanti Perma Nomor 01 Tahun 2008 akan direvisi di kemudian hari. Keistimewaan Perma ini karena proses pembuatannya yang hanya melalui satu lembaga M.A. sehingga kalau ada rencana perobahan akan menjadi lebih gampang, terutama apabila ada target keadilan yang harus diterima oleh semua orang.
6
[MEDIASI PENGADILAN DAN ASAS PERADILAN SEDERHANA, CEPAT, DAN BIAYA RINGAN]
www.badilag.net
*
Penulis
bekerja
sebagai
hakim
pada
Pengadilan
Agama
Tulungagung, Jawa Timur. E-Mail:
[email protected]
7